Majalah Edisi April 2015.indd

advertisement
Edisi April 2015
BIRO HUKUM
SEKRETARIAT JENDERAL
Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5
Jakarta Pusat
Telp. (021) 23528444
Fax. (021) 23528454
Email : [email protected]
Sekjen/BJ/36/IV/2015
Dari Redaksi
P
uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang berkat rahmat
dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang
Perdagangan untuk Edisi April 2015. Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang
Perdagangan ini membahas mengenai aturan-aturan beserta koridor baik dalam kegiatan
perdagangan domestik maupun internasional yang dibuat berdasarkan tulisan Ilmiah yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan.
Hal ini dikarenakan penulis artikel Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini
ikut terlibat dalam pembahasan materi yang ditulis dan dimuat sebagai isi dari Jurnal pada
setiap penerbitannya, sehingga mengetahui dan menguasai materi bahasan yang dimuat pada
Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan.
Susunan Redaksi
PENANGGUNG JAWAB
Yuni Hadiati, SH
REDAKTUR
Maryam Sumartini, SmHk
Kartika Puspitasari, SH
Sara Lingkan Mangindaan, SH
Armiyati
PENYUNTING /EDITOR
Aminah
Indra Wijaya
Saumin
DESAIN GRAFIS
Sosi Pola
FOTOGRAFER
Sudarmi
SEKRETARIAT
Yuliana
Aristya Kusuma
Alim Sarwoto
ALAMAT
M.I. Ridwan Rais No. 5 , Jakarta Pusat
Telp. (021) 23528444;
Fax. (021) 23528454
EMAIL
[email protected]
Adapun Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan di edisi April 2015 ini memuat
materi bahasan mulai dari perdagangan elektronik yang sudah mulai marak belakangan ini,
kebijakan produk penjualan, tinjauan perdagangan luar negeri, pandangan mengenai sistem
bisnis penjualan, hingga peraturan dan ketentuan dasar mengenai barang.
Keberadaan Jurnal ini sejak Penerbitan pertama nya di tahun 2012 hingga sampai Edisi April
2015 keberlangsungannya berkat kerjasama dan bantuan beberapa pihak, higga bisa
berlangsung terus menerus sampai saat ini. Oleh karena itu Redaksi mengucapkan terimakasih
kepada berbagai pihak yang selama ini sejak penerbitan pertama telah bekerja sama dan
membantu terselesaikannya Jurnal ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang
Perdagangan ini, oleh karena itu kami mengajak pembaca untuk memberikan kritik dan saran
membangun untuk perbaikan Jurnal ini kedepan. Kami akan terus berbenah diri agar Jurnal
yang kita cintai sesuai dengan harapan para pembaca sekalian. Harapan kami semoga Jurnal
Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini memberikan manfaat bagi pembaca dan
memberikan sumbangsih informasi dalam koridor hukum bidang perdagangan.
Selamat membaca......
Jakarta,
April 2015
Daftar Isi
Antisipasi Hukum Atas Riuh Sedapnya Perdagangan
Melalui Elektronik .......................................................................... 4
Oleh : Djunari Inggit Waskito, SH, LL.M
Selayang Pandang Kebijakan Minuman Beralkohol
Di Indonesia .................................................................................... 8
drh. Doni Adria Novri
Perdagangan Pakaian Bekas Dari Luar Negeri:
Sebuah Tinjauan Yuridis ................................................................ 12
Oleh : Didit Akhdiat Suryo
Penipuan Skema Piramida dalam Sistem Bisnis Penjualan
Langsung .......................................................................................... 17
Oleh : Adhi Santoso Handaru Mukti
Redaksi menerima artikel, berita
yang terkait dengan “Informasi
Hukum Bidang Perdagangan” dan
disertai identitas penulis/pengirim.
Kritik dan saran kami harapkan demi
kelengkapan dan kesempurnaan
majalah kami.
Garis Besar Pengaturan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 77/M-Dag/Per/10/2014 Tentang Ketentuan Asal
Barang Indonesia (Rules Of Origin Of Indonesia) ........................ 22
Oleh Lina Rachmatia
Ketentuan Dasar Perubahan Klasifikasi Tarif, Identifikasi
Barang Dalam Ketentuan Asal Barang (ROO)
Dalam Asean-Australia New Zealand Free Trade Agreement
(AANZFTA) .................................................................................... 25
Oleh Drh. LinaRachmatia
nama produk, Tariff Finder akan menampilkan kode HS
yang memuat nama produk tersebut. Eksportir kemudian
dapat memilih kode yang sesuai dengan barang mereka.
Tariff Finder juga dapat menampilkan tingkat tarif yang
berlaku di setiap Negara dan membantu menemukan
PSR yang berlaku bagi setiap lini tarif.
Tidak ada hirarki yang menentukan apakah suatu
tingkat perubahan tertentu mewakili tingkat transformasi
substansial yang lebih kecil atau lebih besar daripada
yang lain. Tingkat perubahan yang menjadi persyaratan
ditentukan dari bagaimana barang dan inputnya
diklasifikasikan di dalam HS. Dengan demikian mungkin
saja ketentuan perubahan pada bab tarif (CC) memiliki
tingkat transformasi yang serupa dengan perubahan
pada sub judul tarif (CTSH), bergantung dari letak
klasifikasi barang di dalam HS.
Konsep CTC berlaku di tahap akhir produksi barang
yang mengandung material non-asal. Ketentuan CTC
mensyaratkan bahwa semua material non-asal yang
digunakan di dalam produksi suatu barang memiliki
klasifikasi HS yang berbeda dengan barang final dimana
material tersebut digabungkan. Oleh karena itu, ROO
mengenai CTC hanya relevan atau berlaku kepada
barang yang mengandung material non-asal. Konsep
CTC adalah suatu material non-asal yang digunakan di
dalam produksi suatu barang dan tidak boleh memiliki
klasifikasi HS yang sama dengan barang akhir dimana
material itu digabungkan. Material non-asal harus melalui
perubahan klasifikasi tarif di dalam teritori suatu pihak
atau negara anggota AANZFTA pengekspor agar dapat
dianggap sebagai barang asal dari Negara pengekspor.
Persyaratan CTC hanya berlaku terhadap material nonasal. Pada ROO AANZFTA, jika kode HS suatu barang
tidak terdaftar di dalam Annex PSR, maka Article 4
(Goods Not Wholly Produced or Obtained) dari Chapter
3 (Rules of Origin) mengarahkan penerapan ‘Ketentuan
Umum’ kepada barang tersebut.
material non-asal yang digunakan di dalam produksi
suatu barang memiliki klasifikasi di tingkat judul HS
yang berbeda dengan barang final dimana material
tersebut digabungkan. Ketentuan CTC pada tingkat judul
mensyaratkan semua material non-asal yang digunakan
di dalam produksi suatu barang memiliki klasifikasi HS
yang berbeda di tingkat judul dengan barang final dimana
material tersebut digabungkan.
08
04
Contoh– Perubahan Judul Tarif (CTH)
Mesin penerima pesan telepon (HS 8519.50) diproduksi di Singapura menggunakan
stasion basis telepone (HS 8517.63) yang diimpor dari Cina dan material asal dari
Singapura. ROO untuk barang di 8519.50 adalah “CTH”.material non-asal berasal
dari judul HS (HS 8517) yang berbeda dengan barang final (HS 8519). Dengan
demikian, ketentuan perubahan judul tarif sudah terpenuhi dan mesin penerima pesan
telepon dianggap sebagai barang asal.
Telephone base stations dari
Cina(HS 8517.63)
Material asal dari Singapore
12
Telephone
answering
machine (HS
8519.50)
CTH berarti jika pabrikan di suatu pihak atau negara
anggota AANZFTA membuat suatu barang menggunakan
material non-asal, barang tersebut akan memenuhi
kriteria keasalan jika terjadi perubahan kode HS di tingkat
judul dari barang akhir dibandingkan dengan material
yang digunakan untuk membuatnya, yaitu jika judul HS
barang akhir berbeda dengan judul HS material.
25
17
Berikut adalah suatu contoh dari Perubahan Judul Tarif
dari suatu barang dalam kerangka perjanjian AANZFTA
yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan judul tarif
dapat menentukan suatu keasalan barang.
Ketentuan Umum memberikan pilihan dari salah satu
ROO di bawah ini:3
1. 40% RVC;
22
2. Perubahan Klasifikasi Tarif (CTC) di tingkat judul,
yaitu Perubahan Judul Tarif (CTH).
Annex PSR juga mencantumkan ketentuan CTC di
berbagai tingkat, termasuk pada tingkat CTH. Ketentuan
CTC pada tingkat judul tarif mensyaratkan semua
3 AANZFTA, Chapter 3, Article 4: 1. For the purposes of Article 2.1(b) (Originating Goods), except for those goods covered under Paragraph 2, a good shall
be treated as an originating good if: (a) the good has a regional value content
of not less than 40 per cent of FOB calculated using the formulae as described
in Article 5 (Calculation of Regional Value Content), and the final process of
production is performed within a Party; or (b) all non-originating materials used
in the production of the good have undergone a change in tariff classification
at the four-digit level (i.e. a change in tariff heading) of the HS Code in a Party,
Page. 19.
30
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
3
Antisipasi Hukum Atas Riuh Sedapnya
Perdagangan Melalui Elektronik
Oleh : Djunari Inggit Waskito, SH, LL.M
besar barang dihilangkan pada saat FTA diberlakukan
atau di tahun-tahun awal implementasi. Vietnam serta 3
(tiga) negara ASEAN yang baru berkembang (Myanmar,
Kambodia, Laos) diberikan periode transisi yang lebih lama,
dan tingkat eliminasi yang lebih rendah, karena mengenali
status mereka sebagai anggota ASEAN terbaru dan
perekonomiannya yang baru berkembang. Tidak semua
barang yang diimpor ke para pihak atau negara anggota
AANZFTA memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan tarif
preferensi. Berikut adalah tabel proses bertahap dalam
pemberlakuannya bagi seluruh negara anggota AANZFTA.
Persentase Lini Tarif yang Bebas tarif
Pendahuluan
Perlu furniture, kamera, peralatan
dapur, barang elektronika baru
ataupun bekas dari merek A sampai
dengan Z dengan spesifikasi teknis,
warna dan variasi harga tertentu?
juga ingin mencari layanan jasa
yang ditawarkan tapi malas ikut
berdesakan dalam kepadatan lalu
lintas di kota besar? Buka saja
website manapun, maka akan
muncul berbagai iklan barang dan
jasa yang ditawarkan secara “on
line”. Perlu waktu sedikit untuk
perbandingan harga barang dan
jasa yang dtawarkan, selanjutnya
tinggal pilih, bayar dan barang
ataupun jasa yang dipesan dapat
diterima dalam maksimal beberapa
hari tertentu ke depan. Itulah fakta
sebagian transaksi perdagangan
barang dan jasa masa sekarang dan
sangat besar kemungkinan bahwa
perdagangan melalui elektronik akan
4
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
semakin meningkat nilai maupun
frekwensinya. Perdagangan melalui
elektronik mulai dikenal seiring
dengan pertumbuhan teknologi
informasi yang sangat pesat. Di
luar negeri, sistem perdagangan
melalui elektronik dikenal dengan
terminologi
“E-Commerce”
dan
karena semakin banyak negara
yang terbiasa menggunakan sistem
ini, salah satu organisasi yang
ada dalam organisasi Persatuan
Bangsa-Bangsa yaitu UNCITRAL
atau United Nation Conference on
International Trade Law menyusun
dan akhirnya menerbitkan “model
law” mengenai e-commerce tersebut
pada tahun 1996 dan dilengkapi
pada tahun 1998.
Dari tulisan Saudara Nur Arianto,
pegawai Ditjen Pajak Kementerian
Keuangan yang mengutip analisa
Lembaga Riset Mark Plus Insight,
Indonesia merupakan salah satu
pengguna internet terbesar di dunia.
Tahun 2013 yang lalu, pengguna
internet
di
Indonesia
sudah
mencapai sekitar 74.57 juta dari
total penduduk Indonesia. Menurut
laporan E-Marketer yang juga dikutip
Saudara Nur Arianto, nilai transaksi
e-commerce di Indonesia di tahun
2013 diperkirakan sudah mencapai
US $ 1.8 milliar atau sekitar Rp 18
trilliun. Seiring dengan semakin
majunya teknologi dan mudahnya
akses penduduk Indonesia ke
internet, nilai transaksi e-commerce
akan semakin menggurita dan
akan membawa dampak positif
dalam kecepatan putaran uang dan
kegiatan ekonomi maupun imbas
negatif dari sisi perpajakan maupun
konten barang dan jasa yang
ditawarkan.
Sistem
perdagangan
melalui
elektronik terdiri dari berbagai sub
sistem, bisa peralatan elektronik
yaitu RVC (40) dan CTH ROO. Didalam ROO dikenal
Perubahan Bab Tarif (Change in Tariff Chapter – CC)
dan Perubahan dalan Sub Judul Tarif (Change in Tariff
Subheading – CTSH).
Untuk memenuhi ROO CTC, suatu material non-asal
yang digunakan dalam produksi suatu barang harus
memiliki klasifikasi HS yang berbeda dengan barang
final dimana material itu digabungkan. Ketentuan CTC
ditetapkan sedemikan rupa untuk memastikan terjadinya
transformasi substansial dari material non-asal di dalam
Suatu pihak atau negara anggota AANZFTA.
Konsep material non-asal khususnya sangat penting di
dalam penentuan asal barang karena hanya material
2
Negara
2005
Base Tariffs (%)
2010
(%)
2013
(%)
Eliminasi Tarif
Final (%)
Tahun tercapainya
Australia
47.6
96.4
96.5
100
2020
Brunei
68
75.7
90
98.9
2020
Myanmar
3.7
3.6
3.6
85.2
2024
Cambodia
4.7
4.7
4.7
88
2024
Indonesia
21.2
58
85
93.2
2025
Laos
0
0
0
88
2023
Malaysia
57.7
67.7
90.9
96.3
2020
New Zealand
58.6
84.7
90.3
100
2020
Philippines
3.9
60.3
91
94.6
2020
Singapore
99.9
100
100
100
2009
Thailand
7.1
73
87.2
99
2020
Viet Nam
29.3
29
29
89.8
2020
Untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan nontarif, AANZFTA menetapkan prosedur yang mengijinkan
para pihak atau negara anggota untuk mengajukan
permohonan agar hambatan non-tarif tertentu dikaji oleh
AANZFTA Trade in Goods Committee dengan tujuan
mengurangi atau menghilangkan dampak negatif dari
hambatan tersebut terhadap perdagangan.
Hal ini
merupakan ketentuan yang penting bagi bisnis, karena
hambatan non-tarif dapat mengurangi atau membalikkan
keuntungan yang didapatkan dari ketentuan akses
pasar lain. Pelaku bisnis yang melihat adanya hambatan
non-tarif di pihak atau negara anggota AANZFTA yang
mempengaruhi bisnis mereka dapat memajukan masalah
ini ke pemerintah mereka. Jika layak, Pemerintah yang
bersangkutan dapat mengajukan masalah tersebut ke
Trade in Goods Committee.
AANZFTA memiliki “Ketentuan Umum” yang terdiri atas
dua ketentuan alternatif yang kedudukannya sama,
non-asal yang harus ditransformasikan dan memenuhi
persyaratan dari ROO CTC. ROO CTC hanya berlaku
terhadap material non-asal yang digunakan untuk
memproduksi barang yang diperdagangkan. Cara yang
wajar untuk mengukur tingkat transformasi material
non-asal di dalam suatu pihak atau negara anggota
adalah dengan membandingkan klasifikasi tarif material
non-asal yang digunakan di dalam produksi dengan
klasifikasi tarif barang final yang diekspor. Jika kedua
kode HS cukup “jauh” (sebagaimana ditentukan dalam
ROO), dalam pengertian kode HS ini berlaku pada
barang yang berbeda secara substansial, maka barang
yang dihasilkan dari proses produksi tersebut memenuhi
kriteria keasalan.
Website AANZFTA yang dibuat oleh ASEAN Secretariat
memuat AANZFTA Tariff Finder. Tariff Finder membantu
eksportir, pedagang, dan pihak lain untuk menntukan
kode HS barang mereka. Dengan hanya mengetik
2 Ibid, Hlm. 1-5.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
29
KETENTUAN DASAR PERUBAHAN
KLASIFIKASI TARIF, IDENTIFIKASI BARANG
DALAM KETENTUAN ASAL BARANG (ROO)
DALAM ASEAN-AUSTRALIA NEW ZEALAND
FREE TRADE AGREEMENT (AANZFTA)
Oleh : Lina Rachmatia
Pada saat FTA berjalan, yaitu ketika FTA
diberlakukan, tarif mungkin dihilangkan, atau
secara bertahap dikurangi sampai 0 (nol)
atau sampai jumlah tertentu selama jangka
waktu yang ditentukan. Perlakuan prefensi
didapatkan dari perbedaan antara tarif nonpreferensi yang berlaku normal bagi barang
dan tingkat tarif yang ditetapkan di bawah
FTA (tarif preferensi hanya berlaku bagi suatu
pihak atau negara anggota FTA).
Untuk sejumlah barang, tingkat tarif umum
yang diberlakukan suatu negara, disebut
sebagai tarif Most Favoured Nation (MFN)
sudah mencapai 0. Di dalam kasus ini,
tarif FTA dan MFN adalah sama, sehingga
tidak ada pilihan. Namun demikian, tarif FTA
tunduk kepada komitmen yang secara hukum
mengikat, yang berarti tarif FTA tidak bisa
dinaikkan.
Perdagangan barang dalam AANZFTA
harus memenuhi ketentuan minimal sebagai
berikut:
a) menentukan kawasan perdagangan
bebas yang mendapat keuntungan dari
akses pasar preferensi;
b) menetapkan
sistem
ROO
untuk
menentukan apakah suatu barang dapat
menerima tarif preferensi;
c) menentukan lini tarif dimana tarif
dihilangkan ketika perjanjian diberlakukan;
d) mengatur jadwal penurunan tarif menuju
elimimasi bertahap;
28
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
e) menuliskan pendekatan bagi suatu pihak atau negara anggota
dalam penggunaan pemulihan perdagangan;
f)
mencantumkan garis besar prosedur yang harus diikuti oleh
Otoritas Pabean ketika menangani barang yang diimpor dari
kawasan perdagangan bebas;1
AANZFTA menetapkan komitmen pengurangan tarif yang progresif
atau, untuk sebagian besar barang, atau eliminasi tarif. Tarif ini hanya
berlaku bagi barang-barang yang diekspor atau diimpor dari para pihak
atau negara anggota AANZFTA yang memenuhi ROO AANZFTA.
AANZFTA menciptakan peluang baru bagi para eksportir barang
asal AANZFTA melalui pengurangan dan eliminasi tarif. Australia,
New Zealand, negara ASEAN yang lebih maju, serta Viet Nam akan
menghilangkan tarif di sekitar 90-100 lini tarif, dimana tarif sebagian
1
ASEAN Secretariat, AusAid, and Ministry of Foreign Affairs and Trade,
ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) Modul 1 (modul terjemahan Indonesia), Jakarta: ASEC and AANZFTA, 2013.
Hlm. 4.
penunjang seperti “software” dan
“hardware”, teknologi informasi,
para pihak dalam perdagangan dan
hukum yang mengatur perdagangan
melalui elektronik. Seberapa jauh
Indonesia sudah mempersiapkan sub
sistem hukum perdagangan melalui
elektronik sehingga para pihak yang
terlibat dalam perdagangan melalui
elektronik
tersebut
terlindungi?
Sudah ada usaha dan bahkan
kan
hasil yang dibuat oleh eksekutif
utif
dan
legislatif
yaitu
dengan
gan
diterbitkannya
Undang-undang
ang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang
tang
Informasi dan Transaksi Elektronik
onik
(selanjutnya disebut dengan UU
ITE) serta Undang-undang Nomor
omor
7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
ngan
yang salah satu bab dan pasal
asal
di dalamnya mengatur mengenai
enai
perdagangan melalui elektronik
onik
yaitu Bab VIII tentang Perdagangan
ngan
Melalui Sistem Elektronika dan
hanya diatur dalam 2 pasal, yaitu
Pasal 65 dan 66.
Dengan adanya dua undang-undang
dang
yang mengatur hal yang sama tentu
entu
mengundang pertanyaan, apakah
akah
dua
undang-undang
tersebut
ebut
memang berbeda satu sama lain
ain
apakah kedua undang-undang
ng
tersebut
bersifat
tumpang
g
tindih? Atau apakah justru
u
kedua undang-undang tersebut
saling
melengkapi?
Untuk
menjawab ketiga pertanyaan
tersebut, harus kita sepakati dulu
u
bahwa Undang-undang apapun
pun
dan mengatur apapun, maka
aka
undang-undang tersebut adalah
alah
milik nasional dan berlaku secara
nasional, bukan milik instansi atau
kementerian tertentu walaupun
memang diinisiasi oleh instansi
yang berbeda. Mengingat bahwa
UU ITE yang sudah mengatur
cukup rinci mengenai informasi
dan transaksi elektronik masih
juga
memerintahkan
peraturan
pelaksana dan Undang-undang
Perdagangan juga mengamanatkan
penyusunan peraturan pemerintah
tentang
perdagangan
melalui
elektronik, maka tulisan di bawah
ini dimaksudkan untuk memberi
masukan untuk dianalisa lebih
lanjut, kira-kira cakupan dan
hal apa saja yang akan menjadi
materi
pengaturan
Peraturan
Pemerintah tentang Perdagangan
Melalui Elektronik yang saat ini
sedang disusun oleh Kementerian
Perdagangan.
Perkembangan
UU ITE sebenarnya sudah banyak
mengatur
mengenai
teknologi
informasi dan transaksi melalui
elektronik dan jika peraturan
pelaksanannya
sudah
terbit
sesuai
yang
diperintahkan
UU
ITE, maka boleh
d i b i l a n g
kebijaksanaan
mengenai
teknologi
informasi
sudah cukup lengkap. Dikatakan
cukup lengkap berarti belum bisa
dikatakan lengkap. Hal-hal apa saja
yang sudah diatur dalam transaksi
elektronik dan yang belum diatur
dalam UU ITE? Kita mulai dengan
hal-hal yang sudah diatur dalam UU
ITE yaitu antara lain :
I.
Umum
a. Informasi elektronik merupakan
bukti yang sah, kecuali dokumen
atau surat yang menurut Undangundang harus dalam bentuk
tertulis atau yang wajib dalam
bentuk akta notarial. Sebelum
UU ITE ini berlaku, bukti yang sah
selalu diandalkan dalam bentuk
tertulis formal, maka setelah
UU ITE berlaku hasil cetakan
informasi
elektronik
dalam
bentuk foto, gambar, tanda,
angka, suara maupun surat
dapat diterima sebagai bukti
sah di depan pengadilan. Selain
itu, melakukan transaksi melalui
elektronik adalah merupakan
suatu
perbuatan
hukum
sehingga memiliki konsekwensi,
tanggung jawab dan akibat
hukum bagi pelakunya.
b. Bersifat ekstra teritorial
karena menurut Pasal
2, UU ITE berlaku
untuk setiap
orang
yang melakukan
perbuatan
hukum
berdasar
UndangUndang ini, baik yang
berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia
dan merugikan kepentingan
Indonesia.
c. Beban
pembuktian
terletak
pada orang yang menyatakan
hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak
orang lain berdasarkan adanya
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik, yaitu yang
bersangkutan harus memastikan
bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik
yang ada berasal dari Sistem
Elektronik
yang
memenuhi
syarat berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
5
II. Khusus
perlindungan
hak
pribadi
yang didasarkan pada prinsip
pendaftar
pertama
dan
wajib
berdasar pada
a. Waktu
pengiriman
dan
penerimaan
informasi
elektronik yang dibedakan jika
menggunakan satu atau
au dua
atau lebih sistem informasi
si
b. Kewajiban bagi pelaku
aku
usaha untuk menyediakan
an
informasi yang lengkap dan
an
benar berkaitan dengan
an
syarat kontrak, produsen,
sen,
dan produk yang ditawarkan.
kan.
terbatas pada “international data
messages”.
b. Materi
“model
law”
tidak
bermaksud menganulir apa yang
sudah diatur
diatu dalam Undangundang
Perlindungan
Konsu
Konsumen
c.
Mengatur
pe
perdagangan barang
da
dan jasa, termasuk
di
antaranya
peng
pengangkutan barang
dan jasa
ja
c. Walaupun
tidak
wajib,
setiap
pelaku
usaha
ha
yang menyelenggarakan
an
Transaksi Elektronik dapat
at
disertifikasi oleh Lembaga
ga
Sertifikasi Keandalan.
d. Tanda tangan elektronik memiliki
kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah
iktikad
b a i k ,
t i d a k
melanggar prinsip persaingan
usaha secara sehat, dan tidak
melanggar hak orang lain.
e. Penyelenggaraan
Transaksi
Elektronik
dapat
dilakukan
dalam lingkup publik atau privat
f.
Kontrak elektronik mengatur
mengenai pilihan hukum yang
berlaku tapi apabila dalam
kontrak elektronik tidak diatur
maka berlaku asas Hukum
Perdata Internasional. Para
pihak juga berhak menetapkan
forum pengadilan, arbitrase atau
lembaga penyelesaian sengketa
alternatif dan jika tidak disepakati
para pihak, maka berlaku asas
Hukum Perdata Internasional
g. Waktu terjadinya kesepakatan
dan diperbolehkannya para
pihak menggunakan kuasa
h. Nama domain, hak kekayaan
d
a
n
intelektual
i.
Tercatat ada 23 perbuatan yang
dilarang berdasar UU ITE
j.
Penyelesaian sengketa, sanksi
pidana dan penyidik
Substansi
E-Commerce
Yang Disusun UNCITRAL
Sebagai salah satu badan yang
bernaung dalam organisasi PBB,
UNCITRAL sudah mempersiapkan
konsep atau sistem perdagangan
melalui elektronik yang diterbitkan
pada tahun 1996 dan ditambah
dengan penyempurnaan kecil pada
tahun 1998 sehingga menjadi
me
suatu
“model” yang bisa diacu oleh
o
negara
manapun manakala
negara tersebut
ingin
membuat
Undang-undang
Undan
yang
mengatur
“E-Commerce”.
“E-Com
Dalam UNCITRAL
“Model Law on
E-Commerce”
tersebu
tersebut
diatur
hal-hal sebagai
berikut :
Umum
a.
Ruang lingkup
lin
yang
“disarankan” dalam “model
“
law”
ini adalah “e-Commerce”
“e-Comm
yang
6
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
d.
Kekuatan
leg
legal terhadap “data
me
messages”
yaitu
ba
bahwa
informasi
tida
tidak bisa ditolak
hanya karena alasan
bahwa informasi
inform
tersebut masih
dalam bentuk data elektronik
dan sebaliknya, informasi tidak
bisa ditolak hanya karena belum
dalam bentuk data elektronik.
e. Jika informasi harus dalam
bentuk tertulis, maka informasi
yang ada dalam data elektronik
memenuhi
syarat
tersebut
apabila informasi dapat diakses
atau digunakan untuk jangka
waktu ke depan, artinya jika
informasi yang ada dalam data
elektronik hanya dapat diakses
sesaat saja atau waktu tertentu
saja, maka informasi yang
tercantum dalam data elektronik
tidak memenuhi persyaratan
“tertulis”.
Khusus
a. Tanda tangan elektronik
b. Syarat keaslian bagi informasi
yang ada dalam data elektronik
c. Penyimpanan informasi yang
ada dalam data elektronik
d. Terbentuknya dan sahnya suatu
kontrak melalui elektonik
e. Karakteristik informasi yang ada
dalam data elektronik
f. Pengakuan telah diterimanya
informasi atau penawaran dari
salah satu pihak
g. Waktu dan tempat terjadinya
kata sepakat mengenai informasi
dalam data elektronik
h. Pengangkutan barang
i.
f.
Barang-barang
dari
hasil
memancing atau menangkap
di laut dan barang-barang lain
yang diambil dari laut oleh kapal
berbendera
Indonesia
baik
di dalam atau di luar teritorial
Indonesia;
g. Barang-barang yang langsung
diolah di kapal berbendera
Indonesia baik di dalam atau
di luar teritorial Indonesia yang
diproduksi menggunakan bahan
baku sebagaimana dimaksud
pada huruf f;
j.
Barang-barang yang diproduksi di Indonesia dengan
menggunakan bahan baku dari barang sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf i yang seluruhnya berasal dari
Indonesia.
Jadi Surat Keterangan Asal (SKA) dapat diterbitkan apabila kriteria
asal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (tigabelas)
Permendag Nomor 7/PER/M-DAG/10/2014) dan syarat administrasi
sesuai Permendag Nomor 59/M-DAG/PER/12/2010 dalam Pasal 4
(empat) telah terpenuhi.
h. Barang-barang
yang
diambil
dari dasar laut atau lapisan
bawah tanah di bawah dasar
laut di luar teritorial Indonesia,
dengan
ketentuan
bahwa
Indonesia memiliki hak untuk
mengeksploitasi dasar laut atau
lapisan bawah tanah tersebut;
i.
Sisa dan limbah yang dihasilkan
dari operasional pabrikasi atau
pengolahan atau dari konsumsi di
Indonesia dan hanya cocok untuk
dibuang atau untuk pemanfaatan
kembali sebagai bahan baku; dan
Dokumen pengangkutan barang
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
27
KRITERIA ASAL BARANG
Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin
of Indonesia) Preferensi dan Ketentuan Asal
Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia)
Non Preferensi harus memilki kriteria asal barang.
Kriteria asal barang digunakan untuk mendeteksi
atau mengetahui secara rinci dengan data-data
dalam penelusuran asal barang, baik dalam ROO
Preferensi maupun ROO Non Preferensi.
Dalam
Permendag
Nomor
77/M-DAG/
PER/10/2014, pengaturan tentang Kriteria ROO
jelas diatur dalam Pasal 5 (lima) sampai dengan
Pasal 13 (tiga belas). Adapun kriteria asal barang
ROO Preferensi dan ROO Non Preferensi
dimaksud terdiri dari kriteria sebagai berikut:
(1) kriteria asal barang (origin criteria), terdiri dari
kriteria asal barang (origin criteria) sebagai
berikut (Pasal 7 (tujuh):
Karena bersifat pedoman belaka, “UNCITRAL model
law on electronic commerce” juga tidak mengharuskan
bahwa apa yang diatur dalam model law harus dianut
dalam hukum positif di suatu negara yang akan mengatur
e-commerce, melainkan sekedar panduan belaka. Namun
demikian, jika diamanati, hampir semua yang tercantum
dalam “model law” sudah diatur dalam UU ITE. Hanya
beberapa yang belum diatur, misalnya dokumen ekspor
dan impor serta pengangkutan barang. Hal lain yang
perlu diatur adalah apakah barang yang diperdagangkan
melalui elektronik bebas dari pajak atau tetap dibebani
pajak yang berlaku. Untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih peraturan, maka hal-hal apa saja yang
belum diatur dalam UU ITE dan peraturan pelaksananya,
itulah yang secara ideal akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah tentang pelaksanaan perdagangan melalui
sistem elektronik.
a. wholly obtained; (Pasal 6 dan Pasal 8)
Pengaturan E Commerce Di Forum WTO
b. kandungan nilai tambah; (Pasal 6 dan Pasal 9)
Liberalisasi perdagangan di forum WTO berjalan sangat
lambat, termasuk di dalamnya adalah pembahasan
isu E-Commerce. Pentingnya E-Commerce untuk
c. perubahan klasifikasi tarif (change in tariff
classification); (Pasal 6 dan Pasal 10) dan
d. proses khusus (spesific process). (Pasal 6 dan
Pasal 11)
(2) kriteria pengiriman (consignment
(Pasal 6 dan Pasal 12) dan
b. Barang pertanian dan kehutanan yang dipanen
atau dikumpulkan di Indonesia;
c. Binatang hidup yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia;
d. Barang-barang yang dihasilkan dari binatang
hidup di Indonesia;
e. Barang yang didapat dari hasil berburu atau
memancing/perikanan tangkap di teritorial
Indonesia;
26
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
serangkaian perangkat dan pros edur elektronik.
Selanjutnya dalam Pasal 65 diatur antara lain :
b. Data tersebut pada huruf a di atas adalah mencakup
identitas dan legalitas pelaku usaha, persyaratan
teknis barang/jasa yang ditawarkan, harga dan cara
pembayaran dan cara penyerahan barang
(3) ketentuan mengenai proses penerbitan SKA
(procedural provision), akan diatur lebih lanjut
dalam peraturan tersendiri, pada saat penuilis
membuat tulisan ini masih didasarkan pada
Permendag Nomor 59/M-DAG/PER/12/2010.
a. Barang tambang dan substansi lain yang
timbul secara alami yang diambil dari teritorial
Indonesia;
Dalam Pasal 1 Undang-undang Perdagangan,
E-Commerce diterminologikan sebagai “Perdagangan
Melalui Sistem Elektronika” yang diartikan sebagai
perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui
a. Kewajiban pelaku usaha yaitu menyediakan data/
informasi secara lengkap dan benar dan mematuhi
UU ITE
criteria;
Barang yang memenuhi kriteria wholly obtained
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (delapan)
hanya Barang yang seutuhnya diperoleh dari
sumber yang ada di Indonesia atau Barang yang
diproduksi di Indonesia dengan menggunakan
bahan baku yang seutuhnya diperoleh dari sumber
yang ada di Indonesia, seperti barang sebagaimana
berikut:
Pengaturan dalam Undangundang Perdagangan
c. Penyelesaian sengketa.
d. Sanksi administratif berupa pencabutan ijin.
Kesimpulan
dibahas di WTO dimulai tahun 1998 dan selanjutnya
hanya dicantumkan di para 34 Doha Development
Agenda agar “General Council” WTO melanjutkan
program pengembangan e-commerce, mengklarifikasi
atas isu yang muncul dalam e-commerce dan tetap
mempertahankan praktik yang sampai sekarang tetap
berjalan yaitu tidak menerapkan bea masuk atas
barang/jasa yang dikirim melalui elektronik. Isu dalam
E-Commerce dibahas di 4 (empat) komisi yaitu Komisi
Perdagangan Barang, Komisi Perdagangan Jasa, Komisi
TRIPs dan Komisi Perdagangan dan Pembangunan.
Adapun isu yang dibahas adalah klasifikasi mengenai
isi pengiriman (barang dan jasa) melalui elektronik;
isu pembangunan; implikasi fiskal; kaitan e-commerce
dengan sistem perdagangan tradisional; penerapan bea
masuk atas pengiriman barang/jasa melalui elektronik;
persaingan usaha dan jurisdiksi serta hukum yang
berlaku.
Mengingat UU ITE sudah cukup rinci mengatur hal-hal
yang terkait dengan informasi termasuk transaksi melalui
elektronik dan UU Perdagangan yang mengamanatkan
terbitnya Peraturan Pemerintah yang akan mengatur
perdagangan melalui sistem elektronika, maka perlu
penyusunan ekstra hati-hati atas konsep peraturan
pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undangundang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Unsur kehati-hatian sangat perlu karena tidak ada satupun
di Indonesia yang menghendaki terjadinya tumpang
tindih antara UU ITE dengan UU Perdagangan. UU ITE
mengenal sanksi pidana sedangkan untuk perdagangan
melalui sistem elektronika di UU Perdagangan hanya
mengenal sanksi administratif, namun semuanya itu
bisa diatasi jika peraturan pelaksana kedua undangundang tersebut bersifat melengkapi. Dalam penyusunan
peraturan pemerintah melalui sistem elektronika tidak
salah dan tidak akan menjadi beban terlalu berat jika
perumus RPP tersebut memperhatikan UU ITE dan
mempelajari “model law on E-Commerce” yang sudah
dirumuskan dan diformulasikan oleh banyak ahli hukum
dari berbagai negara.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
7
Selayang Pandang Kebijakan
Minuman Beralkohol
Di Indonesia
‘’Perubahan ketentuan pengaturan Minuman Beralkohol dari Keputusan Presiden No 3
Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol menjadi Peraturan
Presiden No 74 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol”
Oleh : Doni Adria Novri
M
inuman Beralkohol merupakan
Minuman yang mengandung etil
alkohol atau etanol yang diproses
dari bahan pertanian yang mengandung
karbohidrat dengan cara fermentasi dan
destilasi atau melalui fermentasi tanpa
destilasi. Secara umum Minuman beralkohol
dan konsumsinya bukan merupakan bagian
dari tradisi maupun kebiasaan dari sebagian
besar masyarakat indonesia, berdasarkan
ajaran agama yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia, meminum
minuman yang memabukan memiliki hukum
yang haram sehingga bagi umat islam dilarang
minuman beralkohol. Dari pertimbangan
kesehetan minuman beralkohol berpontensi
merugikan kesehatan seperti gangguan
mental organik, kerusakan saraf dan daya
ingat, odema otak, sirosis hati, gangguan
jantung, gastrinitas dan paranoid. Dari sudut
pandang sosial banyak orang yang mabuk
dikarenakan meminum minuman beralkohol
kehilangan kontrol atas dirinya sehingga
berpontensi
mengganggu
ketertiban
keamanan dan terkadang menjurus kepada
tindakan pidana. Akan tetapi di sebagian
daerah tertentu di Indonesia terdapat
masyarakat dengan beberbagai macam
budaya dan adat istiadat yang memandang
meminum minuman beralkohol merupakan
bagian dari adat istiadat. Minuman beralkohol
dalam adat istiadat digunakan sebagai
bagian dari upacara dan ritual dalam adat
budaya, kebiasaan turun temurun atau
bahkan menjadi minuman utama untuk
menjaga kesehatan. Dalam sektor pariwisata
8
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Minuman beralkohol merupakan salah satu komoditi mendukung
sektor pariwisara terutama untuk wisatawan mancanegara.
Perbedaan sikap dan cara pandang masyarakat Indonesia terhadap
minuman beralkohol membuat kedudukan komoditi ini menjadi
memperoleh perlakuan yang sedikit berbeda dibandingkan komoditi
lain, oleh sebab itu Pemerintah kemudian mengambil sikap untuk
mengatur komoditi ini secara langsung. Penulis sebagai seorang
yuris dan drafter peraturan perundang-undangan yang terlibat
secara langsung pada pengaturan Komoditi minuman beralkohol dari
tahun 2013 sampai dengan saat ini merasa perlu membuat suatu
tulisan yang dapat memberikan informasi terkait dengan Kebijakan
Perdagangan Minuman Beralkohol.
Minuman Beralkohol pertama kali diatur secara khusus hampir 18
tahun yang lalu yakni dalam Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997
Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol,
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
25
dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan
yang didasarkan kepada Ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang
izin usaha industri. Pengaturan berkenaan
dengan produksi ini adalah salah satu bentuk
upaya pemerintah dalam rangka melakukan
pengendalian terhadap minuman beralkohol,
dengan kewajiban adanya izin usaha industri
yang diterbitkan oleh menteri perindustrian
dan perdagangan maka pembuatan minuman
beralkohol di Indonesia menjadi tidak bebas
sehingga akan memudahkan melakukan
pengawasan terhadap produsen produsen
yang memproduksi minuman beralkohol ini.
bea masuk yang diberikan oleh suatu negara atau
sekelompok negara berdasarkan ketentuan dalam
perjanjian internasional yang telah disepakati atau
berdasarkan penetapan sepihak dari suatu negara atau
sekelompok negara tujuan ekspor. Sedangkan ROO Non
Preferensi hanya digunakan untuk memenuhi permintaan
dari suatu negara, importir dan/atau eksportir terhadap
barang ekspor Indonesia dengan tidak memperoleh
fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk.
9. Instansi Penerbit SKA yang selanjutnya
disebut IPSKA adalah instansi/badan/
lembaga yang ditetapkan oleh Menteri
dan diberi kewenangan untuk menerbitkan
SKA.
Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of
Origin of Indonesia) yang diatur dalam Pasal 2
(dua) Peraturan Menteri ini meliputi Ketentuan
Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of
Indonesia) Preferensi dan Ketentuan Asal
Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia)
Non Preferensi.
ROO PREFERENSI
Dalam Pasal 3 (tiga) ayat 1 (satu) ROO
Preferensi hanya digunakan untuk memperoleh
fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif
24
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Berdasarkan Permendag Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014
sebagaimana diterangkan dalam Pasal 4 ayat 2 (dua)
dan Pasal 7 (tujuh), ROO Preferensi didasarkan pada
Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of
Indonesia) yang diatur dalam perjanjian internasional
yang telah disepakati dan Ketentuan Asal Barang
Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Preferensi yang
ditetapkan oleh negara pemberi preferensi.
ROO NON PREFERENSI
Berdasarkan Permendag No. 77/M-DAG/PER/10/2014
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 (tiga) ayat
2 (dua) menerangkan bahwa ROO Non Preferensi
hanya digunakan untuk memenuhi permintaan dari
suatu negara, importir dan/atau eksportir terhadap
barang ekspor Indonesia dengan tidak memperoleh
fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea
masuk. Jadi secara garis besar bahwa ROO Non
Preferensi itu didasarkan pada perjanjian internasional
dan permintaan di negara tujuan ekspor sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 7 (tujuh) Permendag Nomor
77/M-DAG/PER/10/2014.
Keputusan ini dilatar belakangi pertimbangan bahwa dalam
upaya menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban kehidupan
masyarakat produksi, penjualan penyajian minuman beralkohol
harus diawasi dan dikendalikan. Peraturan ini memiliki 10 pasal yang
terdiri atas 6 bab yakni ketentuan umum, Produksi, Golongan dan
Standar Mutu, Pengedaran dan Penjualan, Pajak, Bea Masuk dan
Cukai Serta Ketentuan Penutup. Keputusan Presiden No 3 Tahun
1997 mendefinisikan Minuman Beralkohol sebagai “Minuman yang
mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang
mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau
fermentasi tanpa destilasi , baik dengan cara memberikan perlakukan
terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak
maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan
ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung
ethanol” .
Definisi yang diberikan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 ini
memiliki cakupan yang cukup luas dimana dapat dinterprestasikan
menjadi dua pengertian pertama bahwa minuman beralkohol
diproduksi melalui hasil proses bahan pertanian melalui fermentasi
dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dengan memberikan
perlakuan tertentu terlebih dahulu maupun tidak, memberikan
perlakuan terlebih dahulu atau tidak atau menambahkan bahan
lain atau tidak yang diproses dengan cara mencampur konsetrat
dengan ethanol. Serta pengertian yang kedua adalah pengenceran
minuman mengandung ethanol yang dapat dinterprestasikan bahwa
yang kedua ini adalah proses pencampuran (mixing) minuman atau
bahan pangan dengan minuman yang mengandung alkohol seperti
pembuatan cocktail, mojito atau percampuran lainnya yang umum di
Bar dan cafe.
Dalam pengaturan terkait dengan produksi Keputusan Presiden No 3
Tahun 1997 menetapkan bahwa produksi atau pembuatan Minuman
beralkohol hanya dapat dilakukan apabila terdapat adanya izin
Selain melakukan pembatasan dari segi
produksi dengan perlunya izin industri bagi
produsen Minuman Beralkohol Pemerintah
dalam upaya mempermudah pengawasan
membagi Minuman Beralkohol menjadi
beberapa golongan dan harus memenuhi
standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah
dalam hal ini Menteri Kesehatan. Minuman
Beralkohol berdasarkan pada Keputusan
Presiden No 3 Tahun 1997 dibagi berdasarkan
3 golongan yakni:
• Minuman Beralkohol golongan A yakni
Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol
mulai dari 1% (satu persen) sampai dengan
5 % (lima persen);
•
Minuman Beralkohol golongan B yakni
Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol
mulai dari 5% (lima persen) sampai dengan
20% (dua puluh persen)
•
Minuman Beralkohol golongan C yakni
Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol
mulai dari 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 55% (lima puluh lima persen).
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
9
Minuman Beralkohol berdasarkan kepada
Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997
dilarang diperjual belikan selain di Hotel, Bar,
Restoran dan ditempat tertentu lainnya yang
ditetapkan bupati/walikotamadya, kepala
daerah tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota DKI Jakarta,sekalipun
kepala daerah berdasarkan peraturan ini
diberikan kewenangan untuk menentukan
tempat tertentu yang dapat menjual Minuman
Beralkohol tempat tertentu yang ditetapkan
tersebut tidak boleh berdekatan dengan
tempat peribadatan suatu agama, sekolah,
rumah sakit. Dalam Keputusan Presiden
ini Minuman Beralkohol Golongan A dan
Golongan B ditetapkan sebagai barang dalam
pengawasan yang mana Produksi, Distribusi
dan Penjualannya memiliki perlakukan
khusus.
Pada tahun 2012 keputusan ini diajukan uji
materiil terhadap Undang-Undang no 8 tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan
Undang-Undang No 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan kepada Mahkamah Agung oleh
Front Pembela Islam. Pada bulan september
2013 Mahkamah Agung memutuskan
mengabulkan permohonan uji materiil Front
Pembela Islam terhadap Keputusan Presiden
10
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
No 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol, sehingga Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga presiden harus
mencabut Keputusan Presiden ini.
Adapun pertimbangan Keputusan Mahkamah Agung adalah sebagian
dari peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
penerbitan objek permohonan Hak Uji Materiil telah diubah dan
dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dengan peraturan perundangundangan yang baru sehingga karena peraturan perundang-undangan
yang dipergunakan sebagai dasar penerbitan Keputusan Presiden No
3 Tahun 1997 telah diubah dan dinyatakan dicabut dengan peraturan
perundang undangan yang baru, maka Keputusan Presiden No 3
Tahun 1997 kehilangan dasar hukum kekuatan berlakunya. Dicabutnya
Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 menyebabkan hilangnya dasar
hukum pengaturan bagi kebijakan perdagangan minuman beralkohol
yakni Peraturan Menteri Perdagangan No 43 Tahun 2009 Jo Peraturan
Menteri Perdagangan No. 54 Tahun 2012 tentang Pengadaan,
Peredaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman
Beralkohol. Hilangnya dasar hukum bagi Permendag ini menyebabkan
adanya kekosongan hukum terhadap komoditi Minuman Beralkohol,
menanggapi hal ini Kementerian Perdagangan pada saat itu mengambil
insiatif untuk merumuskan peraturan pengganti dari Keputusan
Presiden No 3 Tahun 1997, perumusan peraturan pengganti dianggap
perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap
pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol sehingga
dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesegaran, ketertiban
dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalah
gunaan Minuman Beralkohol.
SUBSTANSI DAN PENGATURAN
Sebelum kita beranjak pada pembahasan substansi
Permendag Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014 tentang
Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules Of Origin
Of Indonesia), ada baiknya mengetahui istilah yang
nantinya sering menjadi substansi pembahasan
didalamnya. Semua definisi tersebut berada dalam
Pasal 1 (satu), yaitu:
1. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of
Indonesia) adalah peraturan perundang-undangan
dan ketentuan administratif yang bersifat umum
yang diterapkan untuk menentukan asal barang
Indonesia.
2. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of
Indonesia) Preferensi adalah ketentuan mengenai
asal barang Indonesia yang digunakan untuk
memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan
tarif bea masuk di negara tujuan ekspor.
3. Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) Non
Preferensi adalah ketentuan mengenai asal barang
Indonesia dengan tidak memperoleh fasilitas
pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk di
negara tujuan ekspor.
4. Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum, yang melakukan
ekspor.
5. Barang adalah barang mentah, barang
setengah jadi, atau barang jadi.
6. Barang asal Indonesia (Indonesia originating
goods) adalah Barang yang berasal dari
Indonesia yang telah memenuhi Ketentuan
Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of
Indonesia).
7. Surat Keterangan Asal (Certificate of
Origin) yang selanjutnya disingkat SKA
adalah dokumen yang membuktikan bahwa
barang ekspor Indonesia telah memenuhi
Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of
Origin of Indonesia).
8. Sistem elektronik SKA yang selanjutnya
disebut e-SKA adalah sistem pengajuan
dan penerbitan SKA secara elektronik.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
23
GARIS BESAR PENGATURAN PERATURAN
MENTERI PERDAGANGAN
NOMOR 77/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG
KETENTUAN ASAL BARANG INDONESIA
(RULES OF ORIGIN OF INDONESIA)
Oleh : Lina Rachmatia
Pada saat itu Kementerian Perdagangan bersama dengan
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata,
BPOM, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian melakukan pembahasan secara
intens, pembahasan tersebut juga melibatkan pemangku
kepentingan dalam rangka menyerap aspirasi dari
pemangku kepentingan mengenai hal-hal apa yang
diatur dalam peraturan pengganti Keppres no 3 tahun
1997. Setelah dilakukan pembahasan dan harmonisasi
dengan peraturan perundang-undangna yang ada, pada
tanggal 6 Desember 2014 Presiden Republik Indonesia
menetapkan peraturan pengganti Keputusan Presiden No
3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian
Minuman Beralkohol yakni Peraturan Presiden No 74
Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan
MInuman Beralkohol.
fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi”,
tidak hanya menyempurnakan definisi dari Minuman
Beralkohol Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 dalam
upaya menyempurnakan pengaturan terhadap minuman
beralkohol juga memberikan definisi terhadap apa yang
dimaksud dengan Minuman Beralkohol tradisional, yakni
“Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional
dan turun temurun yang dikemas secara sederhana
dan pembuatannya dilakukan sewaktu waktu, serta
dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara
keagamaan. ”
Pada saat Peraturan Pengganti Keputusan Presiden No
3 Tahun 1997 dirancangan definisi Minuman Beralkohol
Golongan Minuman Beralkohol pada Peraturan Presiden
No 74 Tahun 2013 mengalami sedikit perubahan
dibandingkan dari Keppres No 3 Tahun 1997 dimana
golongan A dimulai dari 0% (nol persen) sampai dengan
5 % (lima persen) sedangkan golongan B dan C tetap
seperti pengaturan pada keppres 3 Tahun 1997 yakni 5%
(lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen),
yang diberikan oleh Keputusan Presiden tersebut
dirasakan sudah tidak sesuai lagi sehingga pada Peraturan
Presiden No 74 Tahun 2013 definisi minuman beralkohol
dilakukan penyempurnaan menjadi ‘’Minuman Beralkohol
adalah Minuman yang mengandung Etil Alkohol atau
Ethanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil
pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara
golongan C mulai dari 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 55% (lima puluh lima persen). Berbeda dengan
Keputusan Presiden No 3 tahun 1997 yang hanya
menetapkan golongan B dan golongan C sebagai barang
dalam pengawasan, Peraturan Presiden No 74 Tahun
2013 mengatur minuman beralkohol golongan A, golongan
B dan golongan C menjadi barang dalam pengawasan
LATAR BELAKANG
PENERBITANNYA
S
eperti telah diketahui sebelumnya bahwa
dalam pelaksanaan ekspor diperlukan
Surat Keterangan Asal. Surat Keterangan
Asal atau sering disebut SKA adalah dokumen
pendukung ekspor untuk membuktikan barang
ekspor Indonesia telah memenuhi Ketentuan Asal
Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia).
Pengaturan ketentuan asal barang Indonesia
hingga tahun 2014 belum ada payung
hukumnya. Pengaturan yang menjadi dasar
pengaturan mengenai ketentuan asal barang
Indonesia (Rules of Origin) selama ini hanya
berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
57, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3564). Oleh karena itu sebagai
langkah langkah harmonisasi pengaturan hukum
di Indonesia pemerintah Indonesia merasa
perlu untuk dapat menerbitkan Peraturan yang
mengatur tentang ketentuan asal barang ekspor
Indonesia. Hal itu sesuai dengan amanat dari
22
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
peraturan per Undang-Undangan sebagaimana berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5512);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
3. Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1971 tentang
Penetapan Pejabat yang Berwenang Mengeluarkan Surat
Keterangan Asal;
4. Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/
PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
11
dimana pengawasannya meliputi pengadaaan
minuman asal impor dan produksi dalam negeri serta
peredaran dan penjualannya.
yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
bagi Minuman Beralkohol asal Impor dan produksi
dalam negeri hal ini dimaksudkan untuk melakukan
pembatasan terhadap Minuman Beralkohol dan dalam
upaya melakukan perlindungan terhadap konsumen di
Indonesia, selain hal tersebut terdapat juga ketentuan
kewajiban untuk mencantumkan label sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang pangan.
Pencantuman label ini juga memiliki maksud sebagai
upaya melakukan pembatasan dan pengendalian
terhadap Minuman Beralkohol yang beredar sehingga
tidak merugikan konsumen yang kelak akan meminum
Minuman tersebut.
Penjualan Minuman Beralkohol golongan A, Golongan
B dan Golongan C pada Peraturan Presiden ini dapat
dilakukan di:
• Hotel, bar dan restoran yang yang memenuhi
persayaratan dan izin dari instansi yang berwenang
di bidang kepariwisataan.
Tidak jauh berbeda dengan Keputusan Presiden No
3 Tahun 1997, Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014
mengatur bahwa Produksi Minuman Beralkohol hanya
dapat diproduksi oleh produsen yang telah memiliki izin
usaha industri dari instansi yang terkait dan Minuman
beralkohol hanya dapat diedarkan setelah memperoleh
izin edar dari instansi yang berwenang serta impor
Minuman Beralkohol dan perdagangannya hanya
dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki izin
dari Kementerian Perdagangan. Salah satu substansi
baru yang diatur didalam Peraturan Presiden No 74
Tahun 2014 adalah adanya ketentuan mengenai
standar mutu produksi dan standar keamanan pangan
12
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
•
Toko Bebas Bea, dan
•
Tempat tertentu yang ditetapkan bupati/walikota
dan gubernur untuk Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta yang tidak berdekatan dengan tempat
peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit.
Mengingat kondisi Indonesia yang berbeda pada saat
pemberlakuan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997
masih terpusat, dengan saat Pemberlakuan Peraturan
Presiden No 74 Tahun 2013 yang telah menganut
otonomi daerah, Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014
berdasarkan pertimbangan perbedaan karakterikstik
daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan pembatasan terhadap
tempat-tempat penjualan minuman beralkohol dan
Pemerintah daerah dapat melakukan pengendalian
dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan
penjualan Minuman Beralkohol tradisional untuk
kebutuhan adat istiadat dan upacara keagamaan.
Dengan adanya Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014
yang mulai berlaku pada tanggal 6 Desember tahun
2013, pengaturan keberadaan Minuman Beralkohol
sebagai komoditi yang diawasi menjadi jelas dan
memiliki dasar hukum. Dengan adanya dasar hukum
yang jelas sebagai barang dalam pengawasan
maka instansi yang terkait dengan komoditi ini dapat
mengatur lebih lanjut mengenai produksi, pengadaan
asal impor, peredaran dan penjualan dari komoditi ini
agar kemudian tidak ada kerugian yang ditimbulkan
kepada masyarakat Indonesia
If it’s too good to be true,
then it probably is
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
21
No
Good Multi Level marketing
1
Sudah dimasyarakatkan dan diterima hampir di seluruh Ilegal dan dilarang menurut Undang-Undang (Pasal 9
dunia
Undang-Undang Perdagangan)
2
Perusahaan memegang ijin usaha penjualan langsung – Perusahaan tidak memiliki SIUPL atau ijin usaha lain
Surat ijin Usaha Perdagangan Langsung (SIUPL) dll
yang diperlukan
3
Semua Mitra usaha memiliki peluang yang sama untuk Hanya menguntungkan bagi orang-orang yang pertama
berpenghasilan tinggi
atau lebih dulu bergabung sebagai anggota, atas kerugian
yang mendaftar belakang
4
Anggota memperoleh keuntungan berdasarkan volume Keuntungan anggota ditentukan dari seberapa banyak
penjualan produk
ybs merekrut orang lain yang menyetor sejumlah uang
sampai terbentuk satu format Piramida
5
Seorang anggota hanya mendapatkan satu keanggotaan Setiap orang boleh menjadi anggota berkali-kali (membeli
dan tidak boleh lebih
beberapa KAVLING)
6
Biaya pendaftaran wajar sesuai dengan nilai starter kit Biaya pendaftaran anggota sangat tinggi, sehingga
yang diperoleh
mendorong anggota untuk merekrut anggota baru agar
mendapat keuntungan
7
Setiap Mitra Usaha dilarang menumpuk barang (Inventory Setiap anggota untuk mencapai target penjualan
Loading) barang harus disalurkan/ dijual kepada dianjurkan menjadi anggota baru berkali-kali dan
menimbun produk sebanyak-banyaknya tanpa perlu
konsumen akhir
disalurkan/ dijual ke konsumen akhir
8
Perusahaan menjalankan Program pembinaan mitra Tidak ada program pembinaan karena yang diperlukan
usaha
hanya rekruting saja
9
Program pemasaran (Marketing Plan) sederhana dan Program pemasaran membingungkan, anggota biasanya
transparan dari perusahaan sampai dengan kepada selalu diyakinkan atas kelegalan bisnisnya dengan tujuan
saling memperdaya anggota lain untuk menutupi tujuan
konsumen akhir.
skema piramida
10
Produk yang dijual berkualitas dan dipasarkan dengan
asal-usul dan informasi yang benar, jelas, dan jujur,
dengan kegunaan/khasiat yang masuk akal dan biasanya
memiliki sertifikasi dari badan resmi (Label Kemendag,
BPOM, dll)
11
Perusahaan memberi kompensasi berupa ganti rugi Perusahaan tidak memberi kompensasi/ jaminan atas
dan/atau penggantian hingga pembelian kembali atas peredaran produknya menyebabkan barang yang tidak
produknya apabila produk tidak berhasil terjual atau terjual ke konsumen banyak ditimbun oleh anggota
kegunaanya tidak sesuai dengan yang diinformasikan
Melindungi Investasi bisnis dari Skema Piramida
Dalam rangka menertibkan lalu lintas perdagangan langsung
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan
telah melakukan upaya sosialisasi dan pengawasan terhadap
praktek direct selling ilegal salah satunya adalah dengan
menjalin kerjasama dengan asosiasi pelaku usaha seperti
APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia). Selain
memberikan bimbingan kepada anggota asosiasi dan
konsumen terkait proses bisnis penjualan langsung yang
baik APLI juga diberikan tugas untuk memberikan masukan
kepada Pemerintah terkait marketing plan mencurigakan
yang dilakukan oleh Perusahaan Penjualan Langsung yang
beroperasi di Indonesia.
Umumnya promotor skema piramida adalah ahli psikologi
kelompok. Pada acara perekrutan anggota baru, mereka
menciptakan suasana hingar-bingar dan antusias dimana
terjadi tekanan kelompok serta janji-janji kemudahan
memperoleh uang, sehingga menimbulkan kekhawatiran
bagi seseorang akan hilangnya suatu peluang bisnis yang
20
Ilegal MLM - Pyramid Scheme
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
PERDAGANGAN PAKAIAN BEKAS
DARI LUAR NEGERI:
SEBUAH TINJAUAN YURIDIS
Oleh : Didit Akhdiat Suryo
Produk dipromosikan secara berlebihan dengan
kegunaan/ khasiat diluar nalar logika umum, produk
masih diragukan kegunaan/kualitasnya dan biasanya
tanpa disertai sertifikasi dari badan resmi (menggunakan
sertifikasi palsu)
menguntungkan dengan usaha yang kecil. Pertimbanganpertimbangan serta pertanyaan calon anggota diabaikan.
Sulit sekali bertahan untuk tidak tergoda kecuali peserta
benar-benar yakin bahwa konsep ini menjebak mereka.
Masyarakat sebagai calon konsumen dan calon distributor
harus meningkatkan kewaspadaan dan teliti sebelum
membeli produk dan bergabung ke perusahaan penjualan
langsung untuk menghindari terjebak dalam perusahaan
MLM ilegal. Selain itu, masyarakat harus berhati-hati dan
meningkatkan rasa curiga terhadap model investasi yang
dapat mendatangkan untung yang besar dalam jangka
waktu yang singkat agar tidak terjebak didalam bisnis
money game. Dalam situsnya APLI menerangkan beberapa
poin untuk mengidentifikasi perusahaan penjualan langsung
yang berindikasi menjalankan praktek piramida, oleh karena
itu sebelum anda memutuskan untuk berinventasi dalam
suatu bisnis multi level luangkanlah sedikit waktu untuk
mengidentifikasi model bisnis penjualan langsung seperti
yang diterangkan dalam gambar sebagai berikut.
ABSTRAKSI
PENDAHULUAN
Artikel ini menganalisis ketentuan hukum di Indonesia
terkait degan perdagangan pakaian bekas yang berasal
dari luar negeri yang berasal dari penyelundupan
(impor) sampai dengan penjualan ke konsumen di
Indonesia. Pertama, kajian akan dilakukan terhadap
ketentuan yuridis importasi pakaian bekas dengan
menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan)
dan Peraturan Menteri yang mengatur di bidang
perdagangan. Kedua, pembahasan dilakukan terkait
dengan importasi pakaian bekas dari sudut pandang
hukum kepabeanan dengan menggunakan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketiga, analisis
hukum dilakukan terkait dengan ketentuan pidana
dalam perdagangan pakaian bekas dilakukan di dalam
negeri dengan menggunakan dasar hukum Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keempat
dan terakhir, fenomena pakaian bekas ini akan dikaji
dari perspektif hukum perlindungan konsumen.
Sampai saat ini, perdagangan pakaian bekas yang berasal
dari luar negeri nampaknya menjadi sebuah kegiatan
bisnis menguntungkan dan menggiurkan berbagai pihak.
Hal tersebut didasarkan pada besarnya keuntungan yang
didapat oleh penjual,1 sedangkan bagi konsumen khususnya
yang berpendapatan menengah kebawah, harga yang relatif
murah dan model yang beragam menjadi alasan yang masuk
akal.2 Kegiatan bisnis tersebut nampaknya tidak lepas dari
perhatian Kementerian Perdagangan yang dalam salah satu
Siaran Pers tanggal 4 Februari 2015 menyatakan bahwa
pakaian bekas yang beredar di pasar yang ditengarai berasal
dari luar negeri mengandung berbagai bakteri dan jamur
yang berbahaya bagi kesehatan.3 Selain hal itu, menurut
1 ‘Menangguk Untung dari Baju Bekas Impor’, Kompas (online), (21 April 2015)
<http://regional.kompas.com/read/2008/09/25/09275520/menangguk.untung.dari.
baju.bekas.impor>.
2 Feby Dwi Sutianto, ‘Klaim Pedagang Pakaian Bekas Impor: Pembeli dari Kalangan
Atas Hingga Artis’, Detik.com (online), (21 April 2015) <http://finance.detik.com/rea
d/2015/02/04/152520/2823522/4/klaim-pedagang-pakaian-bekas-impor-pembeli-darikalangan-atas-hingga-artis>.
3 Kementerian Perdagangan, ‘Siaran pers: Pakaian Bekas Mengandung Ribuan
Bakteri, Kemendag Intensifkan Publikasi Kepada Konsumen’, (4 Februari
2015)
<http://ditjenspk.kemendag.go.id/files/pdf/2015/03/02/pakaian-bekasmengandung-ribuan-bakteri-kemendag-intensifkan-publikasi-kepada-konsumenid0-1425263897.pdf>.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
13
Selanjutnya ayat (2) dan (4) mengecualikan ketentuan
pada ayat (1) dengan menyebutkan bahwa Kementerian
Perdagangan di beri kewenangan untuk menentukan
barang yang dapat diimpor dalam keadaan tidak baru
melalui penerbitan Peraturan Menteri. Selain hal tersebut,
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, juga telah
mengatur ketentuan yang serupa dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), (2) dan
(4). Dengan kata lain, pakaian bekas bukan merupakan
salah satu barang bekas yang dapat di impor karena tidak
ada Peraturan Menteri Perdagangan yang mengecualikan
pakaian bekas sebagai barang yang boleh di Impor.
Menteri Perdagangan bahwa “Industri garmen dalam
negeri pasti akan kena imbas dari masuknya pakaian
bekas secara ilegal ini. Bisa dibayangkan kalau industri
garmen dalam negeri sampai tutup gara-gara beredarnya
pakaian bekas dengan harga murah ini, berapa tenaga
kerja yang akan dirugikan,”.4
Uraian tersebut menggambarkan bahwa perdagangan
pakaian bekas menjadi pro dan kontra di masyarakat. Di
satu sisi memberikan keuntungan bagi beberapa pihak
khususnya pedagang dan/atau sebagian konsumennya,
namun di sisi lain bisnis tersebut juga menimbulkan efek
negatif jika dilihat dari sisi kepentingan produsen pakaian
dalam negeri ataupun kemungkinan bagi kesehatan
konsumen. Nampaknya pemerintah mengambil posisi
cenderung untuk mendorong dan mengefektifkan
pelarangan penjualan pakaian bekas yang berasal dari
luar negeri (penyelundupan).5 Sehubungan dengan
hal tersebut, menarik untuk di kaji apakah transaksi
perdagangan yang dilakukan dalam hal ini apakah impor
sampai dengan penjulan kepada konsumen bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MENURUT UU KEPABEANAN
Impor pakaian bekas dilarang oleh peraturan perundangundangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, ayat (1) yang menyatakan bahwa pada
prinsipnya barang wajib di Impor dalam keadaan baru.
Terkait dengan pakaian bekas yang berasal dari luar
negeri, sebagaimana dijelaskan di atas secara hukum
sudah tidak dimungkinkan melalui mekanisme impor.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
pakaian bekas berasal dari luar negeri merupakan hasil
dari penyelundupan dari pelabuhan tidak resmi yang
kurang mendapatkan pengawasan dari pihak Bea dan
Cukai.6 Menurut catatan dari Dirjen Bea dan Cukai kasus
penyelundupan pakaian bekas dari luar negeri mengalami
peningkatan 100% dari 11 kasus pada tahun 2013 menjadi
22 kasus pada tahun 2014.7 Adapun dari kasus tersebut,
Kepulauan Riau menjadi tempat yang paling sering terjadi
kasus yaitu 6 kali pada tahun 2013 dan 12 kasus pada tahun
2014, sedangkan sisanya sebagian besar terjadi di pesisir
pantai Sumatera khususnya bagian Timur.8 Terhadap
penyelundupan pakaian bekas tersebut dapat dikenakan
4 Hendri Kremer, ‘Kemendag Dukung Pemberantasan Penyelundup’, Media
Indonesia (online), 10 April 2015 <http://www.mediaindonesia.com/mipagi/
read/9592/Kemendag-Dukung-Pemberantasan-Penyelundup/2015/03/23>
5 Dewi Rachmat Kusuma,’Mulai 2016, Perdagangan Pakaian Bekas Impor
Dilarang’, Detik.com (10 April 2015) <http://finance.detik.com/read/2015/0
3/15/143713/2859115/4/mulai-2016-perdagangan-pakaian-bekas-impordilarang>.
6 Dedy Maryanto, ‘Jalur Masuk dan Penyebaran Baju Bekas Impor’, varia.
id (online), 10 April 2015 <http://www.varia.id/2015/02/25/jalur-masuk-danpenyebaran-baju-bekas-impor/>.
7 Wiji Nurhayat, ‘Kasus Penyelundupan Pakaian Bekas Impor Melonjak 100%’, 10
April 2015, detik.com (online) <http://finance.detik.com/read/2015/02/05/152259
/2824675/4/kasus-penyelundupan-pakaian-bekas-impor-melonjak-100>.
8 Ibid.
IMPOR PAKAIAN
PERDAGANGAN
14
Terhadap importir yang melakukan pelanggaran
melakukan impor barang bekas baik sebelum atau
sesudah diberlakukan UU Perdagangan dapat dikenakan
sanksi administrasi berupa pencabutan izin yang terkait
dibidang impor, hal tersebut sebagaimana dinyatakan
dalam ketentuan dalam Pasal 12 Permendag Nomor
54 Tahun 2009. Adapun untuk importir yang melakukan
impor pakaian bekas yang dilakukan setelah UU
Perdagangan berlaku dapat dijerat dengan perbuatan
pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 111 UU
Perdagangan dengan dipidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima miliar
rupiah. Berdasarkan hal tersebut, Kemudian timbul
pertanyaan dari mana pakaian bekas tersebut berasal?
Jika dilihat dari tempat memperolehnya, secara garis besar
ada dua cara pakaian bekas tersebut berasal, yaitu luar
negeri dan domestic. Namun demikian, dalam artikel ini
akan dibahas pakaian bekas yang berasal dari luar negeri
khususnya terkait dengan penyelundupan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Kepabeanan karena tidak
ada aturan yang melarang perdagangan untuk pakaian
bekas yang berasal dari dalam negeri.
BEKAS
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
MENURUT
UU
jika disertai dengan kerja keras, bisa menjadi sumber penghasilan
yang cukup signifikan.
3. Tingkat pertumbuhan usaha yang tinggi
Perusahaan MLM yang ideal memiliki manajemen mitra usaha dan
sistem pemasaran yang baik, serta dapat berkembang dengan
tingkat pertumbuhan 20%, 50%, bahkan lebih dari 100% setiap
bulan.
Namun demikian di Indonesia saat ini telah berkembang MLM ilegal
menggunakan skema Piramida. Skema piramida ini secara sepintas
mirip Multi Level Marketing dan cukup banyak orang telah melibatkan
diri sebagai anggota, lebih tepat disebut bahwa sistem ini berkedok
Multi Level Marketing. Pengertian dari MLM ilegal tersebut tidak
disebutkan secara langsung di dalam Permendag RI No. 32 Tahun
2008, akan tetapi dengan menggunakan istilah pemasaran jaringan
terlarang kita dapat mengetahuinya. Pemasaran jaringan terlarang
menurut Pasal 1 angka 12 Permendag RI No. 32 Tahun 2008
adalah kegiatan usaha dengan nama atau istilah apa pun dimana
keikutsertaan mitra usaha berdasarkan pertimbangan adanya
peluang untuk memperoleh imbalan yang berasal atau didapatkan
terutama dari hasil partisipasi orang lain yang bergabung kemudian
atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, dan bukan dari
hasil kegiatan penjualan barang dan/atau jasa.
Dalam direct selling tradisional, distributor/ mitra usaha membeli
barang dari supplier dengan harga grosir, kemudian selisih dari
penjualan barang harga retail dengan harga grosir menjadi
keuntungan bagi distributor. Namun dalam kasus sistem piramida,
produk perusahaan (yang benar-benar dijual ke publik) hanya
terjual dalam jumlah yang kecil atau bahkan sebenarnya tidak ada
produk yang terjual sama sekali.
Dalam kasus ini penjualan produk hanya digunakan sebagai
kamuflase untuk menjalankan sistem piramida. Keuntungan besar
yang dijanjikan kepada mitra usaha tidak berasal dari penjualan
langsung produk namun dari komisi yang didapat dari perekrutan
dan penjualan yang dilakukan oleh anggota baru, adanya produk
yang dijual hanya digunakan untuk menutupi skema perputaran
uang “money game”. Dalam prakteknya 40%-50% dari uang
pendaftaran atau pembelian produk oleh anggota baru secara
sistematis menjadi komisi bagi anggota yang mendaftar terlebih
dahulu sehingga menyebabkan anggota yang berada di level teratas
“top upline” menerima keuntungan yang besar dari hasil komisi
setiap pembelian/ pendaftaran anggota-anggota
baru dibawahnya meskipun dia tidak melakukan
penjualan produk sama sekali. Dalam MLM ilegal
produk dijadikan sebagai kedok untuk menutupi
niat tidak baik perusahaan dalam menghimpun
dan mengolah dana masyarakat secara ilegal,
padahal perusahaan yang oleh Undang-Undang
diperbolehkan menghimpun dan mengelola
dana-dana masyarakat hanyalah yang bergerak
dibidang perbankan, pasar modal, dan asuransi.
Skema piramida adalah kegiatan perdagangan
yang ilegal sebagaimana dilarang dalam Pasal
9 Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang
Perdagangan yang menyebutkan:
“Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan
sistem skema piramida dalam mendistribusikan
Barang.”
Skema piramida sangat merugikan, sebagian
besar orang yang terjebak dalam praktek ini
mengalami kerugian uang dalam jumlah yang
besar bahkan tidak sedikit korban mengalami
krisis keungan.
Bagaimana
mengidentifikasi
skema piramida?
Sistem pemasaran MLM memiliki perbedaan
yang jelas dengan skema piramida. Apabila
besarnya profit yang diterima oleh mitra usaha
berasal dari penjualan produk yang dia jual ke
publik maka perusahaan tersebut menerapkan
sistem MLM yang legal. Namun apabila
besarnya profit yang diterima tergantung dari
banyaknya member yang berhasil dia rekrut dan
produk yang dijual ke member baru tersebut,
maka kemungkinan besar perusahaan tersebut
menggunakan skema piramida.
Secara umum perbedaan sistem MLM yang
baik dengan skema piramida berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
adalah sebagai berikut:
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
19
PENIPUAN SKEMA PIRAMIDA
DALAM SISTEM BISNIS
PENJUALAN LANGSUNG
Oleh : Adhi Santoso Handaru Mukti
P
embangunan
dan
perkembangan
perekonomian
pada
umumnya
dan
khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan
berbagai variasi barang dan/atau jasa yang
dapat dikonsumsi. Di samping itu globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan
teknologi telekomunikasi dan informatika telah
memperluas ruang gerak arus transaksi barang
dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu
negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan bervariasi, baik produk luar negeri
maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang
demikian pada satu pihak mempunyai manfaat
bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
kebutuhan barang dan/ atau jasa yang diinginkan
dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar
kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen.
Salah satu cara yang dilakukan oleh pelaku usaha
dalam memenuhi kebutuhan konsumen dan
sekaligus mengembangkan sistem pemasaran
perusahaan adalah dengan menggunakan sistem
penjualan langsung/ direct selling. Pengertian
Sistem penjualan langsung/direct selling menurut
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor :
32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem
Penjualan Langsung Pasal 1 ayat 1 adalah metode
penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui
jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh
mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/
atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada
konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Perusahaan Direct selling dalam mengembangkan
bisnis selalu melibatkan mitra usaha selaku
distributor maupun anggota jaringan. Pengertian
distributor atau mitra usaha menurut Permendag
No.32/MDAG/PER/8/2008 berdasarkan Pasal
1 yaitu : Anggota mandiri jaringan pemasaran
atau penjualan yang berbentuk badan usaha
atau perseorangan dan bukan merupakan
bagian dari struktur organisasi perusahaan yang
memasarkan atau menjual barang dan/atau jasa
kepada konsumen akhir secara langsung dengan
mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau
bonus atas penjualan. Mitra usaha dalam direct
selling memegang peran yang penting karena
selain berperan dalam pengembangan usaha dan
promosi melalui mouth to mouth marketing, mitra
usaha juga memiliki andil dalam pengembangan
jaringan mitra usaha/ anggota dan sebagai
konsumen akhir yang membeli dan menggunakan
produk perusahaan untuk pribadi.
18
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa penyelundupan pakaian bekas
merupakan perbuatan melawan hukum atau dengan
kata lain pakaian bekas hasil penyelundupan tersebut
merupakan barang illegal. Kemudian timbul permasalahan
hukum yaitu terkait dengan perdagangan barang illegal
dalam hal ini terkait dengan pedagang yang membeli
pakaian bekas dari penyelundup dan kemudian menjual
pakaian bekas hasil penyelundupan tersebut kepada
konsumen di Indonesia.
Berbeda dengan sistem penjualan biasa, sistem penjualan
langsung memiliki beberapa kelebihan yang menyebabkan banyak
perusahaan baru menggunakan sistem ini dalam mengembangkan
bisnisnya:
1. Biaya overhead yang rendah
Dalam dunia penjualan langsung, baik di Indonesia maupun di
tingkat internasional, dikenal 3 sistem pemasaran, yaitu sistem
konvensional atau Single Level Marketing, sistem Limited Level
dan sistem Multi Level atau Multi Level Marketing (MLM). Definisi
MLM/ Pemasaran Berjenjang secara hukum dapat dijumpai dalam
Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perdagangan RI No.73/MPP/
Kep/3/2000 tentang Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang adalah
suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada
konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh
perorangan atau badan usaha yang memperkenalkan barang dan/
atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha
lainnya secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau
iuran keanggotaan yang wajar.
Tidak seperti perusahaan retail, pemasaran dengan MLM tidak
perlu mengalokasikan dana yang besar dalam advertising untuk
menarik customer. Sebagai penggantinya, dana dialihkan untuk
memberikan komisi bagi distributor untuk memasarkan produk ke
customer tanpa melewati jalur distribusi yang rumit dan nyaris tidak
mengandalkan promosi.
2. Tim sales dan marketing yang termotivasi.
Berbeda dengan metode pemasaran retail, perusahaan MLM yang
baik meletakkan etika bisnis sebagai panglima. Keyakinan bahwa
jiwa perusahaan bukan pada ilmu pemasaran tetapi lebih kepada
etika bisnis, nilai-nilai, dan motivasi yang menjadi motor penggerak
bisnis dengan prinsip mouth to mouth marketing. Prinsip tersebut
dapat menciptakan tim marketing yang solid dan lebih dekat dengan
konsumen. Bagi jaringan mitra usaha MLM, MLM bisa memberikan
kesempatan untuk mempunyai sumber penghasilan tambahan yang,
Tindak Pidana Penyelundupan disebutkan dalam Pasal
102 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dimana telah
diatur delik pidana atau tindakan-tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan.
Adapun ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Selain hal tersebut, Penyelundupan juga dapat dilakukan
dengan melakukan pemalsuan dokumen barang sehingga
seolah-olah telah terjadi pengiriman barang antar pulau.9
Atau dengan kata lain, pakaian bekas yang merupakan
hasil penyelundupan dari luar negeri dikirimkan kembali
ke pelabuhan-pelabuhan lainnya dengan dengan
cara memalsukan dokumen. Sebagai contoh, kasus
penyelundupan pakaian bekas sebayak 34 kontainer yang
digagalkan oleh Dirjen Bea dan Cukai Jawa Timur dimana
dokumen barang menyebutkan asal barang berasal dari
Sulawesi menuju Meratus Prapat Kurung, Surabaya
padahal pakaian bekas tersebut setelah diteliti berasal
dari luar negeri .10 Terkait dengan permasalah tersebut,
pihak yang memalsukan dokumen juga dapat dijerat
menggunakan ketentuan Pasal 103 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 dengan pidana penjara minimal
dua tahun dan pidana penjara paling lama delapan tahun
dan/atau pidana denda minimal seratus juta rupiah dan
maksimal lima miliar rupiah.
9 Dedy Maryanto di atas no 6.
10 Nurul Arifin, ‘Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Baju Bekas Senilai Rp3
Milliar’, okezone.com (online), 10 April 2015 <http://economy.okezone.com/
read/2012/02/22/20/580650/bea-cukai-gagalkan-penyelundupan-baju-bekassenilai-rp3-milliar>.
PERDAGANGAN PAKAIAN BEKAS MENURUT
KUHP
Pada dasarnya ketentuan tentang pembelian barang hasil
kejahatan dalam hal ini pakaian bekas hasil penyelundupan
dapat di kenakan tindak pidana penadahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 480 dan 481 KUHP. Ketentuan Pasal
480 KUHP menjatuhkan pidana penjara maksimal selama
4 tahun dan denda maksimal sembilan ratus rupiah
dalam hal membeli atau dengan tujuan mencari untung
menjual suatu barang yang ‘diketahui atau sepatutnya
harus diduga’ bahwa barang tersebut merupakan hasil
dari kejahatan. Berdasarkan rumusan delik tersebut,
terdapat unsur penting yang harus dibuktikan yaitu barang
tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga hasil dari
kejahatan. Unsur tersebut bermakna bahwa pedagang
tidak perlu tahu dengan pasti bahwa pakaian bekas berasal
dari penggelapan tapi sudah cukup apabila pedagang
tersebut mengira atau mencurigai bahwa pakaian bekas
yang dibelinya dari penyelundup.11 Berikutnya, dalam hal
penadahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480
dilakukan oleh pedagang sebagai kebiasaan, maka dapat
dijerat dengan pasal 481 dengan ancaman pidana penjara
maksimal tujuh tahun.
MENURUT UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dari persepektif perlindungan konsumen, bahwa tidak ada
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang secara
khusus melarang pedagang untuk menjual barang bekas
baik yang berasal dari hasil kejahatan. Namun demikian,
dalam rangka untuk melindungi konsumen, Pasal 8 ayat (2)
UUPK mengatur larangan bagi pedagang untuk menjual
barang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa
11 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Politea, 1991) 314.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
15
REFERENSI:
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan.
memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai
kondisi barang dimaksud. Rumusan delik Pasal 8 ayat
(2) bersifat formal atau pemenuhan unsur-unsur delik
sebagai sebuah perbuatan pidana telah terpenuhi ketika
perbuatan pedagang tersebut bertentangan dengan
larangan atau perintah tanpa memperhatikan pada akibat
atau kerugian yang mungkin timbul.12 Dengan kata lain,
pedagang dapat dijerat melakukan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen Pasal 8 ayat (2) apabila
tidak memberikan informasi kepada konsumen mengenai
pakaian bekas (hasil penyelundupan dari luar negeri) dan
kemungkinan tercemar dalam hal ini mengandung bakteri
yang berbahaya bagi kesehatan. Untuk membuktikan
pakaian bekas tersebut mengandung bakteri, dapat
dibuktikan dengan penelitian di laboratorium. Dengan
demikian, karena rumusan delik bersifat formil, kerugian
konsumen atau penyakit yang diderita oleh konsumen
akibat pakaian bekas tersebut tidak perlu di buktikan.
Berdasarkan analisis tersebut di atas dapat di simpulkan
bahwa terhadap importir, penyelundup dan pedagang
pakaian bekas yang berasal dari penyelundupan
dari luar negeri dapat dikenakan sanksi yang bersifat
administratif maupun pidana sebagaimana diatur dalam
berbagai Peraturan Perundang-undangan. Bagi importir
yang mengimpor pakaian bekas dapat dikenakan sanksi
administratif maupun pidana sebagaimana diatur dalam
UU Perdagangan dan peraturan menteri. Selain hal
tersebut bagi pihak yang melakukan penyelundupan
pakaian bekas dapat dipidana berdasarkan undang UU
Kepabeanan. Selanjutnya, bagi pedagang pakaian bekas
dapat dipidana dengan menggunakan ketentuan dalam
KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan demikian, apabila peraturan perundangundangan telah cukup mengatur ketentuan perdagangan
pakaian bekas dari tahap impor sampai perdagangan
12 D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan PHJ. Sutorus diedit J.E. Sahetaphy, Hukum
Pidana (Liberty,1995) 31.
16
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang
Impor.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (Politea, 1991).
kepada konsumen, selanjutnya penting untuk dikaji
secara mendalam tentang penegakan hukum peraturan
dimaksud.
Namun demikian, agar permasalahan penyelundupan dan
perdagangan pakaian bekas dari luar negeri tidak semakin
meluas berkembang di Indonesia dan menimbulkan
dampak yang buruk bagi konsumen maupun produsen
pakaian di dalam negeri, secara umum berpendapat bahwa
penting kiranya instansi terkait meningkatkan koordinasi
baik dalam pencegahan maupun penegakan hukumnya.
Dalam hal pencegahan penyelundupan, pihak dari Bea dan
Cukai dapat lebih meningkatkan pengawasan kesesuaian
dokumen dan barang yang dikirim. Selain hal tersebut,
pihak Bea dan Cukai bersama-sama dengan Kepolisian
juga dapat bekerja sama dengan meningkatkan patroli
ke pelabuhan yang dapat dijadikan jalur penyelundupan.
Terkait dengan penegakan hukum di UU Perdagangan
maupun UU Perlindungan Konsumen kepolisian juga dapat
bekerja sama dengan pihak Kementerian Perdagangan.
Lebih lanjut, kesadaran konsumen tentang bahaya
pemakaian pakaian bekas hasil penyelundupan dari luar
negeri juga harus terus ditingkatkan.
Schaffmeister, D., Keijzer, N., dan Sutorus,
PHJ. diedit Sahetaphy, J.E., Hukum Pidana
(Liberty,1995).
Menangguk Untung dari Baju Bekas Impor’,
Kompas (online), (21 April 2015) <http://regional.
kompas.com/read/2008/09/25/09275520/
menangguk.untung.dari.baju.bekas.impor>.
Sutianto, Feby Dwi, ‘Klaim Pedagang Pakaian
Bekas Impor: Pembeli dari Kalangan Atas Hingga
Artis’, Detik.com (online), (21 April 2015) <http://
finance.detik.com/read/2015/02/04/152520/282
3522/4/klaim-pedagang-pakaian-bekas-imporpembeli-dari-kalangan-atas-hingga-artis>.
Kementerian Perdagangan, ‘Siaran pers:
Pakaian Bekas Mengandung Ribuan Bakteri,
Kemendag Intensifkan Publikasi Kepada
Konsumen’, (4 Februari 2015) <http://ditjenspk.
kemendag.go.id/files/pdf/2015/03/02/pakaianbekas-mengandung-ribuan-bakteri-kemendagintensifkan-publikasi-kepada-konsumenid0-1425263897.pdf>.
Kremer,
Hendri,
‘Kemendag
Dukung
Pemberantasan Penyelundup’, Media Indonesia
(online), 10 April 2015 <http://www.mediaindonesia.com/
mipagi/read/9592/Kemendag-Dukung-PemberantasanPenyelundup/2015/03/23>
Kusuma, Dewi Rachmat,’Mulai 2016, Perdagangan Pakaian
Bekas Impor Dilarang’, Detik.com (10 April 2015) <http://
finance.detik.com/read/2015/03/15/143713/2859115/4/
mulai-2016-perdagangan-pakaian-bekas-impor-dilarang>.
Maryanto, Dedy, ‘Jalur Masuk dan Penyebaran Baju Bekas
Impor’, varia.id (online), 10 April 2015 <http://www.varia.
id/2015/02/25/jalur-masuk-dan-penyebaran-baju-bekasimpor/>.
Nurhayat, Wiji, ‘Kasus Penyelundupan Pakaian Bekas Impor
Melonjak 100%’, 10 April 2015, detik.com (online) <http://
finance.detik.com/read/2015/02/05/152259/2824675/4/
kasus-penyelundupan-pakaian-bekas-impor-melonjak-100>.
Arifin, Nurul, ‘Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Baju
Bekas Senilai Rp3 Milliar’, okezone.com (online), 10 April 2015
<http://economy.okezone.com/read/2012/02/22/20/580650/
bea-cukai-gagalkan-penyelundupan-baju-bekas-senilai-rp3milliar>.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
17
Download