"ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOPERASI UNTUK MEMANTAPKAN KEDUDUKAN KOPERASI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL " Oleh Untung Tri Basuki, SH, SPN Menurut pengertian yang diatur dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, Koperasi adalah Badan Usaha, sehingga Koperasi pada hakekatnya dipandang oleh Undang Undang sebagai suatu perusahaan. Ia merupakan organisasi yang dibentuk oleh anggota anggotanya untuk melakukan kegiatan usaha dan menunjang kepentingan ekonomi anggotanya. Konsekwensinya, dalam kedudukannya sebagai badan usaha, Koperasi akan bergaul dan berinteraksi dalam masyarakat bisnis, sehingga ia perlu akrab dengan kaidah umum yang berlaku dalam dunia bisnis. Sementara itu, pada rumusan tentang Jati Diri Koperasi menurut International Cooperatives Alliance (ICA) di Manchaster, Inggris, tahun 1995, dinyatakan bahwa Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Jadi, selain mempunyai motive ekonomi, maka Koperasi punya motive social dan budaya. Sehubungan dengan keadaan itu, diperlukan adanya kebijakan pembangunan Koperasi yang disusun secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan oleh Pemerintah. Tulisan ini menguraikan pemikiran yuridis mengenai alternatif upaya yang dapat dilakukan untuk memantapkan kedudukan Koperasi sebagai suatu perusahaan, tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai Koperasi. Pembahasannya meliputi 4 (empat) unsur penting yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai badan usaha, proses pembentukannya, penataan hubungan hukum diantara alat perlengkapan organisasinya, serta peranan pemerintah. Status Koperasi sebagai Perusahaan. Mengenai pengertian Koperasi sebagai suatu perusahaan, dapat dikatakan bahwa Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian sendiri secara tegas menyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha. Istilah perusahaan dalam kaitan ini adalah suatu pengertian ekonomi yang banyak dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), walaupun KUHD maupun Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian sendiri tidaklah memberikan penafsiran maupun penjelasan resmi tentang apakah yang dimaksud Koperasi sebagai badan usaha atau perusahaan itu. Secara tersirat, penjelasan umum UU Nomor 25 Tahun 1992 memberikan arah yang cukup jelas bahwa Koperasi seharusnya 1 merupakan suatu perusahaan yang bergerak bidang perekonomian. Alinea ketiga Penjelasan Umum UU Perkoperasian ini menyatakan bahwa pembangunan Koperasi perlu diarahkan sehingga semakin berperan dalam perekonomian nasional. Pengembangannya diarahkan agar benar-benar menerapkan prinsip Koperasi dan kaidah ekonomi. Para Penyusun Undang-Undang Perkoperasian agaknya berkehendak menyerahkan perumusan "perusahaan" kepada pandangan para ilmuwan dan peraturan lain yang mengatur secara khusus mengenai hal itu. Sebenarnya ada beberapa pendapat yang pernah memberikan perumusan pengertian perusahaan. Kementerian Kehakiman Belanda, pernah menyatakan bahwa dikatakan adanya perusahaan, apabila pihak yang berkepentingan bertindak secara tidak terputus-putus dan terang-terangan serta di dalam kedudukan tertentu untuk memperoleh laba rugi bagi dirinya sendiri. Seorang ahli hukum Belanda, yaitu Molengraff menyatakan bahwa secara yuridis, suatu perusahaan harus mempunyai paling sedikit 6 (enam) unsur. Pertama, bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus; Kedua, secara terang-terangan (karena berhubungan dengan pihak ketiga); Ketiga, dalam kualitas tertentu (karena dalam lapangan perniagaan); Keempat, menye rahkan barang-barang; Kelima, mengadakan perjanjian - perjanjian perdagangan ; Keenam, harus bermaksud memperoleh laba. Di Indonesia sendiri, pengertian perusahaan itu tercantum dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan menurut ketentuan umum Undang Undang ini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta 2 berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan; Sedangkan pengertian usaha dalam hubungan ini adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Berkaitan dengan pengertian-pengertian tersebut, dan sebagaimana ditegaskan oleh Undang Undang Tentang Wajib Daftar Perusahaan, maka Koperasi adalah termasuk badan usaha yang wajib melakukan daftar perusahaan. Suatu kewajiban yang menurut sumber di Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sampai saat belum banyak dilakukan oleh Koperasi. Sesuai dengan perkembangan dunia perdagangan dewasa ini, maka sebagian dari Hukum Perusahaan merupakan peraturanperaturan hukum yang masih baru. Apabila Hukum Dagang (KUHD) merupakan hukum khusus (lex specialis) terhadap Hukum Perdata (KUHPer) yang bersifat lex generalis demikian pula Hukum Perusahaan meru pakan hukum khusus dari Hukum Dagang. Konsekwensinya terhadap Koperasi adalah bahwa apabila Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian tidak mengatur secara khusus tentang masalah hukum dagang, maka yang akan berlaku terhadap Koperasi adalah ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan Kitab Undang Undang Hukum Dagang. Selama ini kita tidak dapat menutup mata terhadap pandangan dan penilaian sebagian masyarakat yang menganggap bahwa Koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional telah tertinggal perkembangannya dibanding pelaku ekonomi lainnya. Dalam beberapa hal, penilaian itu ada benarnya, yaitu jika kita hanya membandingkan pelaku ekonomi swasta dan BUMN/BUMD dengan Koperasi yang gurem dan kecil-kecil, yang belum menerapkan prinsip prinsip ekonomi modern. Namun kita tidak dapat memungkiri pula bahwa saat ini telah banyak Koperasi yang maju dan berkembang menjadi besar, misalnya GKBI, IKPRI, dan Koperasi Swadarma Bank BNI'46. Koperasi Koperasi yang telah maju dan menjadi besar itu adalah Koperasi yang sadar bahwa Koperasi merupakan badan usaha yang bergerak dalam bidang ekonomi, untuk mewujudkan kesejahteraan anggotanya dan masyarakat disekitarnya. badan usaha yang diakui sebagai badan hukum, diantaranya Koperasi, Perseroan Terbatas (PT), Badan Hukum Pendidikan, Dana Pensiun dan Yayasan. Sebagai badan hukum, Koperasi memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pribadi anggotanya atau pemilik Koperasi. Anggota Koperasi sebagai pemilik Koperasi, hanya mempunyai tanggung jawab yang terbatas sebesar modal atau simpanannya dalam Koperasi. Hanyalah Koperasi itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan hubungan perdagangan. Tak seorangpun dari anggota Koperasi yang bertanggung jawab terhadap para kreditur. Oleh karena itu, harus diakui bahwa Koperasi sebagai suatu badan usaha, tanpa harus meninggalkan prinsip prinsip Koperasi, sepatutnya mampu menerapkan berbagai prinsip ekonomi dan aturan aturan yang umumnya berlaku terhadap suatu perusahaan, agar mereka dapat berusaha secara lebih efisien dan mampu bersaing dengan pelaku ekonomi lain. Ketentuan mengenai hal tersebut seharusnya diatur dalam UndangUndang Tentang Perkope rasian. Ketentuan mengenai Koperasi sebagai perusahaan penting diatur, mengingat bahwa Koperasi harus tetap bertumpu pada prinsip dari, oleh dan untuk anggota. Suatu prinsip yang tidak kita temui pada perusahaan lain selain Koperasi. Hal inilah yang merupakan ciri-ciri badan hukum Koperasi, yaitu tanggung jawab terbatas dari anggotanya. Anggota-anggota Koperasi tidak dapat menderita kerugian uang lebih besar daripada jumlah yang menjadi simpanannya dalam Koperasi itu dan yang dengan tegas disebutkan dalam daftar simpanan anggota. Para anggota Koperasi hanyalah bertanggung-jawab terhadap Koperasi untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah simpanan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar Koperasinya. Pemantapan Kedudukan Badan Hukum Koperasi Status badan hukum yang diberikan oleh undang undang kepada Koperasi, seharusnya membuat kedudukan Koperasi sebagai suatu badan usaha yang bergerak dalam kegiatan ekonomi menjadi lebih kuat dibandingkan dengan badan usaha lainnya. Alasannya, karena di Indonesia hanya ada beberapa jenis Infokop No. 26 Tahun XX 2005 Sebagai badan hukum, Koperasi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya). Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/ kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari pengurus Koperasi dianggap sebagai kehendak Koperasi. Akan tetapi perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama Koperasi, pertanggungjawabannya terletak pada Koperasi dengan semua harta bendanya. 3 Mengingat besarnya tanggung jawab badan hukum Koperasi terhadap segala transaksi dan tindakan hukum yang akan dilakukan oleh pengurusnya, maka dalam proses pendirian badan hukum tersebut harus benar-benar memperhatikan masalah kepastian hukum. Unsur kepastian hukum ini tampaknya terabaikan oleh penyusun Undang-Undang Perkoperasian dan para penentu kebijakan Koperasi dalam proses pendirian Koperasi. Sebagaimana diketahui bahwa Badan Hukum Koperasi didirikan oleh minimal 20 (dua puluh) orang atau lebih untuk Koperasi Primer dan minimal oleh 3 (tiga) Koperasi yang telah berbadan hukum untuk pendirian Koperasi Sekunder, yang dituangkan dalam suatu akta pendirian. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian tidak disebutkan bahwa akta pendirian Koperasi harus dengan akta otentik yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Keadaan ini kiranya akan menimbulkan berkurangnya kepastian hukum dalam pendirian Koperasi. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, akta pendirian Koperasi tersebut dibuat oleh para pendiri Koperasi dengan akta dibawah tangan. Artinya, akta pendirian itu tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat atau pejabat umum semacam notaris, sehingga tidak ada yang menjamin kebenaran isi akta pendirian tersebut. Keadaan ini dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan pihak ketiga dan para investor/kreditor yang akan berhu bungan dengan Koperasi. Secara yuridis, sepantasnya Koperasi harus diperlakukan sama dengan badan hukum yang lain, sehingga Koperasipun harus tunduk kepada ketentuan Pasal 1867 dan 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Alasannya, karena Undang-Undang Koperasi yang bersifat khusus (Lex Specialis) tidak mengatur mengenai hal tersebut. 4 Hal lain yang mengganjal dalam proses pendirian Koperasi adalah yang berkaitan dengan pengumuman Akta Pendirian dan pengesahan Badan Hukum Koperasi dalam Berita Negara. Secara yuridis formal, badan hukum Koperasi hanya dapat bertanggung jawab kepada pihak ketiga setelah akta pendirian dan keputusan pengesahannya sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara. Sebelum tanggal pengu muman dalam Berita Negara tersebut, maka segala tindakan hukum pengurus Koperasi menjadi tanggung jawab pengurus secara pribadi. Tanggung jawab pengurus itu berakhir jika Rapat Anggota Koperasi yang diadakan setelah tanggal pengumuman tersebut memutuskan mengambil alih tanggung jawab atas tindakan hukum pengurus dimaksud. Selain itu, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian menyatakan bahwa biaya pengumuman dalam berita negara itu ditanggung oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya pemerintah selalu tidak mempunyai anggaran yang memadai untuk membiayai pengumuman badan hukum Koperasi, sehingga yang diumumkan dalam berita negara hanya mengenai nama, alamat dan nomor badan hukum Koperasi yang baru berdiri. Dikaitkan dengan asas fairness dan kepentingan transparansi atau keterbukaan Koperasi sebagai suatu badan hukum, maka pengumuman itu seharusnya meliputi seluruh isi anggaran dasar Koperasi. Maksudnya, agar semua anggota Koperasi dan terutama pihak ketiga yang berhubungan dengan Koperasi dapat mengetahui dengan benar tentang keberadaan Koperasi tersebut secara lengkap. Misalnya, mengenai siapa anggotanya, pengurusnya, tujuannya, kegiatan usaha, kapan ia mulai bekerja dan berhenti beserta aturan main yang berlaku dalam Koperasi tersebut. Keadaan ini tampaknya perlu dibenahi dengan segera, jika kita ingin membangun Koperasi dengan benar. Pendirian Koperasi seharusnya didirikan dengan akta otentik oleh notaris atau dibuat oleh pejabat lain yang ditunjuk pemerintah. Akte pendirian itu bukanlah sekedar untuk menjadi alat pembuktian seperti halnya pada suatu Perseroan Firma. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka Koperasi yang sudah didirikan tidak akan mendapat pengesahan oleh Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perkoperasian. Akte pendirian itu berisi persetujuan-persetujuan pendirian Koperasi yang didalamnya memuat anggaran dasar (statuten) Koperasi dan keterangan keterangan lain, yang harus diumumkan dalam berita negara Republik Indonesia. Pembiayaan untuk pengumuman itu ditang gulangi dengan cara menambah anggaran yang diperlukan untuk pengu-muman badan hukum Koperasi atau dengan cara membebankan biaya pengumuman tersebut kepada para pendiri Koperasi. Syarat pengesahan badan hukum koperasi oleh pemerintah tampaknya harus dibuat menjadi mudah, cepat dan murah tanpa harus mengabaikan asas kepastian hukum. Penegakan asas kepastian hukum itu diperlukan untuk melindungi Koperasi, anggotanya, dan masyarakat luas dari tindakan penyalahgunaan badan hukum Koperasi oleh oknum-oknum tertentu. Persyaratan itu dipandang perlu pula untuk menjaga supaya pendirian Koperasi tidak bertentang dengan kepentingan umum ataupun dengan kesopanan, ketertiban umum atau undang-undang. Oleh karena itu pemerintah memberikan pengesahan berdasarkan ketentuan-ketentuan minimal sebagai berikut. a. Harus nyata bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Untuk ini harus diselidiki dasar dan tujuan Koperasi yang tercantum dalam anggaran dasarnya yang termuat dalam akte pendirian. b. Akte pendirian tak boleh memuat peraturan-peraturan atau ketentuanketentuan yang melanggar sesuatu yang telah diatur di dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, misalnya tidak disebutkan berapa simpanan pokok koperasi. c. Dari sumber-sumber resmi yang dapat dipercayai diperoleh cukup alasan untuk menduga bahwa para pendiri tidak bertindak sebagai kedok belaka untuk kepentingan yang tidak baik atau untuk kepentingan orang-orang asing. d. Koperasi yang bersangkutan berkediaman di Indonesia. Bilamana semua syarat-syarat ini ternyata dipenuhi, barulah Menteri berwenang mengesahkan akta pendirian termaksud. Jika pengesahan itu ditolak, haruslah ada alasanalasan yang harus diberitahukan kepada pemohon. Apabila Koperasi belum memperoleh pengesahan Menteri, tetapi telah melakukan usahanya, maka dalam hal ini menurut pendapat umum, para pendiri bertanggung jawab secara tanggungmenanggung. Masalah pengaturan kewenangan pengesahan Badan Hukum Koperasi tampaknya memerlukan penyempurnaan pula sehubungan dengan berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan pengesahan badan hukum Koperasi yang saat ini telah didelegasikan kepada Instansi yang membidangi Koperasi di Kabupaten, Kota dan 5 Propinsi, kiranya perlu dipertegas statusnya, sehingga tidak membingungkan aparat dan masyarakat di daerah. Apakah kewenangan itu akan diserahkan kepada daerah sehubungan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, atau tetap menjadi wewenang pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan asas pebantuan. Apabila kewenangan tersebut akan didelegaikan kepada pemerintah daerah, maka sebaiknya adalah dalam rangka pelaksanaan asas pebantuan. Alasannya, karena Badan Hukum Koperasi yang telah disahkan itu berlaku secara nasional dan Koperasi yang bersangkutan dapat melaksanakan kegiatan usaha diseluruh wilayah Republik Indonesia. Lagi pula, pemberian status Badan Hukum tersebut sebenarnya termasuk dalam urusan hukum yang tidak diserahkan kepada daerah, dalam rangka menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemantapan Perlengkapan Organisasi Koperasi Dalam arti luas, kepengurusan Koperasi dilaksanakan oleh perangkat organisasi Koperasi, yang terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus, dan Pengawas. Namun, secara sempit dapat dikatakan bahwa pengurusan Koperasi dilaksanakan oleh pengurus yang dipilih dan ditetapkan oleh Rapat Anggota (dalam arti eksekutif). Kepengurusan Koperasi tersebut dapat dilakukan sendiri oleh pengurus Koperasi, namun dapat pula dilakukan oleh para pengelola yang diangkat oleh pengurus dengan suatu surat perjanjian. Disamping itu, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada anggota dan efektifitas pengurusan Koperasi maka Koperasi dapat 6 pula membentuk unit usaha otonom, kelompok kelompok anggota dan membentuk tempat pelayanan Koperasi. Apabila pengurus Koperasi mengangkat pengelola untuk mengurus perusahaan Koperasi, maka Undang Undang No 25 Tahun 1992 memberikan kemungkinan bahwa Koperasi yang bersangkutan untuk tidak membentuk lembaga pengawas Koperasi, yang dulu dikenal dengan nama Badan Pemeriksa. Dalam keadaan seperti itu, maka tugas pengawasan Koperasi dianggap lebih efisien untuk dilaksanakan oleh Pengurus. Masalahnya kemudian adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan agar semua alat perlengkapan organisasi Koperasi itu dapat dioptimalisasikan, sehingga dapat secara efektif menunjang tujuan Koperasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 yang mengatur mengenai kepengurusan Koperasi ini tampak adanya beberapa kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahan itu terutama tampak dalam pengaturan mengenai pelaksanaan Rapat Anggota dan mengenai tugas, tanggung jawab dan kewenangan pengurus Koperasi. Ketentuan mengenai pelaksanaan rapat anggota Koperasi tampak mempunyai kelemahan karena kurang lengkap mengatur mengenai quorum dan voting yang diperlukan dalam pelaksanaan rapat anggota tersebut. Hasil pelaksanaan rapat anggota Koperasi selama ini dituangkan dalam Berita Acara yang dibuat dibawah tangan. Pelaksanaan Rapat anggota itu tidak dihadiri pejabat pemerintah atau pejabat umum (Notaris), karena UndangUndang tidak menentukannya. Akibatnya, maka tidak ada pihak independen yang dapat menjamin kebenaran bahwa suatu rapat anggota telah benar benar dilaksanakan oleh Koperasi dengan keputusan tertentu. Oleh karena itu keputusan keputusan yang diambil dalam rapat anggota Koperasi kurang dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Misalnya, apabila rapat anggota memutuskan untuk menjaminkan tanahnya kepada Bank, maka pihak Bank tidak otomatis yakin terhadap kebenaran keputusan tersebut. Keadaan ini, kiranya akan membawa kesulitan kepada Koperasi untuk melakukan kegiatan usahanya. Selain itu, dalam ketentuan yang mengatur tentang kepengurusan Koperasi, UndangUndang Nomor 25 tidak mengatur secara tegas tentang batas-batas tindakan pemilikan dan tindakan pengurusan yang dapat dilakukan oleh Pengurus secara tersendiri, atau tindakan pemilikan dan tindakan pengurusan yang dapat dilakukan oleh Pengurus berdasarkan persetujuan Rapat Anggota dan atau Pengawas Koperasi. Lebih celaka lagi, jika pengaturan semacam itu tidak pula diatur dalam Anggaran Dasar Koperasi yang bersangkutan. Kurangnya kepastian hukum dalam pengaturan pelaksanaan tanggung jawab pengurus sebagai personifikasi perusahaan Koperasi ini, ternyata dirasakan pula oleh pihak perbankan. Ada kasus dimana pengurus suatu Koperasi tidak bersedia memenuhi kewajiban kepada pihak Bank atas transaksi yang dilakukan oleh Pengurus lama yang digantikannya. Pihak Bank menuntut agar pengurus Koperasi yang bersangkutan memenuhi kewajibannya, karena Koperasi sebagai badan hukum yang melakukan transaksi dengan Bank. Sementara pihak pengurus Koperasi bertahan bahwa transaksi itu merupakan tanggung jawab pengurus yang lama, karena terjadinya manipulasi dan sebagainya. Kekurangan pengaturan dalam hal hal semacam itu akan mengakibatkan timbulnya kericuhan dalam tubuh Koperasi, sehingga perlu segera dicarikan cara pemecahannya. Salah satu cara untuk mengatasinya pada saat ini adalah dengan mengaturnya dalam anggaran dasar Koperasi yang bersangkutan. Peranan Pemerintah. Peranan pemerintah dalam pembinaan Koperasi selama ini pada umumnya adalah sangat menonjol. Bermacam-macam upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong dan membantu gerakan Koperasi agar bangun kembali serta mampu mengem bangkan dirinya dalam rangka mempercepat pembangunan Koperasi. Keseluruhan upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya untuk memberikan dorongan, perlindungan dan fasilitas terhadap Koperasi serta memam pukannya untuk melaksanakan prinsip prinsip Koperasi secara konsisten. Upaya-upaya tersebut telah menumbuhkan hasil-hasil yang positif bagi pembangunan Koperasi, baik ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua program pembangunan Koperasi yang dilaksanakan oleh pemerintah membawa hasil sebagaimana diharapkan. Berbagai kritik telah dilancarkan oleh banyak pihak sehubungan dengan peran pemerintah. Salah satu di antaranya adalah menyangkut kerterlibatan pemerintah yang mengarah kepada campur tangan ke dalam urusan internal manajemen Koperasi. Hal ini dinilai dapat menghambat pertumbuhan Koperasi sebagai badan usaha yang kuat dan mandiri serta organisasi swadaya masyarakat yang demokratis, partisipatif dan otonom. Keadaan tersebut dapat dinilai sebagai suatu yang ironis dan sangat bersifat apriori, karena sebagaimana 7 kita ketahui, bahwa di dalam UndangUndang No. 25 Tahun 1992 ternyata tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat mendorong adanya campur tangan pemerintah yang terlalu dalam terhadap Koperasi. Dalam hubungan ini kiranya kita semua perlu melihat secara objektive bahwa kondisi umum yang ada saat ini adalah sangat menyedihkan dan tidak sedikit dari koperasikoperasi yang menyimpang dari hakikat dan jati dirinya. Karena itu, dianggap perlu adanya ketentuan-ketentuan yang memungkinkan pemerintah untuk menga-dakan pembinaan secara langsung dan melindungi Koperasi dari hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain politisasi terhadap Koperasi sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Menyadari akan kekurangan-kekurangan di masa lalu serta menyingkap hikmah atas kritik-kritik yang dialamatkan, maka pemerintah perlu berusaha menyempurnakan berbagai kebijaksanaan yang pada intinya diarahkan untuk mendorong dan melindungi Koperasi untuk memampukan dirinya sendiri atas dasar swadaya menuju kemandirian. Banyak pelajaran yang dapat kita tarik dan hikmah yang dapat kita petik dari pengalaman-pengalaman yang lalu. Selanjutnya, timbul pertanyaan, yaitu: "Pola pembinaan dan peran yang bagaimanakah yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah terhadap koperasi di masa depan"? Atas dasar realitas yang ada pada gerakan Koperasi dewasa ini dan kerangka pemikiran yang bersifat normatif, maka dapat dirumuskan pokok-pokok kebijakan pembinaan yang perlu dilakukan pemerintah sebagai berikut: 8 Pertama, komitmen dan pemihakan pemerintah kepada Koperasi harus tetap kuat, karena hal ini merupakan manifestasi dari pelaksanaan amanah konstitusi. Sikap tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa Koperasi adalah organisasi ekonomi yang melibatkan rakyat banyak bagi peningkatan kesejahteraannya. Apabila Koperasi Indonesia maju dan berkembang, maka akan tumbuh kekuatan ekonomi rakyat yang merupakan faktor pendukung yang sangat penting bagi terwujudnya demokrasi ekonomi. Hal tersebut dilakukan dengan sejauh mungkin dihin darkan adanya campur tangan pemerintah dalam urusan internal manajemen Koperasi, karena tindakan semacam itu akan memperlemah keswadayaan, kemandirian, dan otonomi Koperasi; Kedua, pemerintah berkewajiban mencip takan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan Koperasi, yang antara lain ditempuh dengan menetapkan kebijaksanaan yang tepat. Dengan itu Koperasi mempunyai kesempatan untuk menumbuhkan kemampuannya sehingga dapat berkembang menjadi badan usaha yang tangguh dan mandiri; Ketiga, pemerintah memberikan bimbingan dan perlindungan kepada Koperasi. Pemberian bimbingan antara lain dapat dilakukan dengan cara memberikan pertimbangan dan bantuan; baik yang bersifat finansial maupun yang bersifat non finansial, sehingga Koperasi dapat lebih tumbuh dan berkembang. Dalam aspek pemberian bimbingan ini, Pemerintah membimbing pemilihan bidang usaha Koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggota dan kemampuan pengelolaannya, serta mengu payakan agar badan-badan usaha lainnya melakukan kerjasama usaha yang saling menguntungkan dengan Koperasi. Sedangkan dalam aspek pemberian perlindungan, maka pemerintah dapat menetapkan pencadangan bidang-bidang kegiatan ekonomi yang hanya dapat diusahakan oleh Koperasi, yaitu bidangbidang kegiatan ekonomi tertentu yang erat hubungannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, pemerintah dapat juga menetapkan bidang kegiatan di sesuatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya. Namun perlu diperhatikan bahwa pencadangan bidang-bidang kegiatan ekonomi dilaksanakan dengan memperhatikan aspek keseimbangannya terhadap keadilan dan kepentingan ekonomi Nasional serta aspek pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya. Dengan pemberian bimbingan dan perlindungan tersebut Koperasi dapat mengembangkan kegiatankegiatan usaha yang tepat sesuai dengan kepentingan para anggotanya serta terhindar dari berbagai persaingan yang merugikan dan hal-hal yang dapat menghambat perkem bangan Koperasi; Keempat, pemerintah mendorong, mendukung, dan mengembangkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian perkoperasian. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam rangka membantu Koperasi dalam menumbuhkan dirinya sebagai badan usaha yang kuat dan mandiri serta membantu gerakan Koperasi dalam membangun dirinya sebagai gerakan ekonomi rakyat yang maju dan tangguh; Kelima, pengawasan berkala terhadap Koperasi yang dapat mendorong timbulnya campur tangan oleh pemerintah dianggap tidak sesuai lagi dan perlu diakhiri. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih menim bulkan fungsi pengawasan dari tubuh Koperasi sendiri. Dalam hal pengauditan Koperasi, kegiatan itu dapat diserahkan kepada lembaga-lembaga audit yang independen seperti misalnya Koperasi Jasa Audit. Namun perlu diperhatikan bahwa pengawasan yang bersifat khusus masih diperlukan, misalnya terhadap Koperasi yang belum mampu melakukan pengawasan intern atau Koperasi yang belum mampu membayar akuntan publik dan pengawasan terhadap usaha simpan pinjam Koperasi. Khusus pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah terhadap usaha simpan pinjam Koperasi ini tujuannya adalah agar kegiatannya tidak merugikan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta tidak menyimpang dari ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang ada; Keenam, dalam rangka pembinaan, pemerintah dapat memberikan bantuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi. Hal ini tidak berarti dibenarkan dibukanya kesempatan bagi pemerintah untuk mencampuri urusan yang sesungguhnya dapat diselesaikan sendiri oleh Koperasi. Karenanya, bantuan serupa itu tetap diberikan dalam rangka pembinaan. Dengan cara ini, pemerintah menunjukkan jalan dan mendorong pengurus serta para anggota Koperasi untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Bantuan tersebut diberikan atas permintaan Koperasi maupun berdasarkan bahan-bahan yang dimiliki oleh pemerintah yang menunjukkan keadaan yang membahayakan kepentingan anggota atau kehidupan Koperasi, dengan tetap memperhatikan anggaran dasar Koperasi yang bersangkutan dan prinsip-prinsip Koperasi. 9 Penutup Atas dasar uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian masih mempunyai kekurangan disana sini dalam mengatur dan membangun Koperasi sebagai perusahaan yang efisien, yang dapat memikul tanggung jawab sebagai soko guru perekonomian nasional. Gambaran atas pokok bahasan dalam tulisan ini menunjukan bahwa pelaksanaan penegakan hukum di bidang perkoperasian saat ini masih tampak kocar kacir. Keadaan ini antara lain disebabkan karena Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang seharusnya bersifat umum dan mengatur, ternyata tidak mempunyai sanksi hukum terhadap pelanggarannya. Keadaannya menjadi bertambah parah, karena saat ini belum ada semacam pola kebijakan pembangunan Koperasi yang disepakati oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta sistem pengawasan dan evaluasi yang standar terhadap perkembangan koperasi. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu media yang dapat melakukan pengawasan dan evaluasi yang mampu memberikan informasi yang akurat dan objektif tentang : a. Keberhasilan pembinaan Koperasi oleh pemerintah; b. Konsistensi Koperasi dalam penerapan prinsip prinsip Koperasi; c. Efisiensi Koperasi sebagai suatu badan usaha/ perusahaan; d. Mutu pelayanan Koperasi kepada anggotanya. 10 Pelaksanaannya dapat saja diserahkan kepada pihak yang independen, yang terdiri dari unsur gerakan Koperasi, tokoh masyarakat, cendekiawan dan pemerintah. Hasil pengawasan dan evaluasi itu, sebenarnya amat diperlukan oleh peme rintah, Koperasi, anggota Koperasi dan pihak ketiga (misalnya kreditur), serta masyarakat dalam rangka pengembangan Koperasi di Indonesia. Melihat kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam praktek berkoperasi tersebut, maka tampak bahwa diperlukan adanya reformasi Hukum dan peraturan perundang undangan di bidang perkoperasian. Merupakan tugas pemerintah, gerakan Koperasi dan masyarakat, untuk mulai menghimpun pemikiran dan mengadakan penyempurnaan kebijakan pembangunan perkoperasian melalui perubahan terhadap peraturan perundang undangan perko perasian yang ada saat ini, mulai dari tingkat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. (UTB).