BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah koperasi

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji
secara ilmiah karena koperasi merupakan bagian dari tata perekonomian masyarakat
Indonesia. Koperasi dikenal di Indonesia pada tahun 1896 dari seorang Patih Pamong
Praja bernama R. Aria Wiria Atmadja di Purwekerto yang merintis mendirikan suatu
Bank Simpanan (Hulp Spaarbank) untuk menolong para pegawai negeri (kaum
Priyayi) yang terjerat tindakan dalam soal riba dari kaum lintah darat. Tahun 1908
sampai dengan tahun 1913, bersamaan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional, Boedi
Oetomo mencoba memajukan koperasi-koperasi rumah tangga, koperasi toko, yang
kemudian menjadi koperasi konsumsi yang didalam perkembangannya menjadi
koperasi batik. Pada tahun 1908, Gerakan Boedi Oetomo tersebut dibantu oleh
Serikat Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia, bersamaan dengan
lahirnya Gerakan Kebangkitan Nasional.1
Kegiatan perekonomian yang didasarkan hubungan kerjasama semakin gencar
disuarakan oleh pemerintah di era kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal
33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Berdasarkan Pasal
1
R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), hal.14
1
Universitas Sumatera Utara
2
33 ayat 1 tersebut, maka peran koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat dan mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi
yang memiliki ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan.
Pada tanggal 18 Desember 1967, pemerintah pada masa Orde Baru dengan
persetujuan DPRGR berhasil mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1967 Tentang Pokok Pokok Koperasi.2 Pasal 3 Undang-Undang ini menyatakan
bahwa koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan
ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Undang-Undang ini
bertahan selama 25 (dua puluh lima) tahun sebagai payung hukum perkoperasian di
Indonesia. Pada Tahun 1992, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini menjadikan koperasi sebagai
sarana untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta koperasi tidak boleh
lepas dari landasan-landasan hukum sebagai landasan berpijaknya koperasi di
Indonesia. Landasan Koperasi Indonesia adalah Pancasila, seperti tertuang di dalam
ketentuan Bab II, bagian pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian. Pasal 1 Undang-Undang ini menyatakan koperasi adalah
badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.3
2
R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hal.26
3
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5355.
Universitas Sumatera Utara
3
Pada tanggal 30 Oktober 2012 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 Tentang Perkoperasian sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini memberikan perubahan
koperasi kearah yang lebih modern, yakni koperasi tidak berfokus kepada anggota,
tetapi berfokus kepada modal yang tidak lain dan tidak bukan merupakan konsep
perseroan terbatas.4 Struktur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 tidak jauh berbeda dengan struktur pengaturan perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
(“UU PT”).
Perubahan koperasi kearah modern yang diharapkan oleh pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian mendapat banyak
kritik dari khalayak umum. Kritik-kritik tersebut berlanjut dengan diajukannya
judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 terhadap
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara memiliki kewenangan
untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
4
Apriliazala.blogspot.com/2014/06/kenapa-undang-undang-koperasi.html?m=1, Aprilia Eka
Putri, Alasan Undang-Undang Koperasi Dibatalkan, diakses pada tanggal 02 Maret 2015
Universitas Sumatera Utara
4
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a.
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”5
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”6
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Tinggi Negara diberi kewenangan
oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah
Konstitusi berkewajiban mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab.
Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan
sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan
bernegara dan bermasyarakat.7
5
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316.
6
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076.
7
Cetak Biru, Membangun Konstitusi, sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan
terpercaya, seretariat jenderal MKRI, 2004, hal.IV.
Universitas Sumatera Utara
5
Perselisihan yang dibawah ke Mahkmah Konstitusi sesungguhnya memiliki
karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh
peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kepentingan umum yang
tersangkut di dalamnya, meskipun permohonan diajukan oleh beberapa orang atau
individu tertentu. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi akan
berakibat hukum, tidak hanya bagi beberapa orang atau individu yang mengajukan
permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan aparatur pemerintah atau
masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.8
Adapun pemohon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945
adalah Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa
Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa
Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka
Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan
Mulyono, kesemuanya diwakili oleh Aan Eko Widiarto, Iwan Permadi, Haru
Permadi, Konsultan Hukum Universitas Brawijaya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 8 Februari 2013.9
8
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, Edisi Kedua, 2012), hal.42
9
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diunduh dari laman:
www.mahkamahkonstitusi.go.id
Universitas Sumatera Utara
6
Alasan-alasan pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah:10
a. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak
konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah koperasi. Dengan
adanya ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian yang
menentukan bahwa koperasi didirikan oleh perseorang berakibat pada
pengutamaan kemakmuran orang-seorang, bukan kemamkmuran anggota.
Selain itu, dengan definisi koperasi yang didirikan oleh perseorangan, maka
prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan tidak dapat terwujud.
Seharusnya maksud asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan kegiatan
perekonomian adalah adanya ide tanggung jawab bersama untuk menjamin
kemajuan bagi semua orang. Tujuan memajukan usaha bersama bukannya
keuntungan pribadi, tetapi kemajuan bagi seluruh anggota koperasi. Istilah
berdasarkan atas asas kekeluargaan menunjukkan adanya landasan bagi
tanggung jawab bersama yang ditujukan untuk mencapai usah bersama yang
akan menjamin bagi setiap anggota. Sifat kolektifitas inilah perbedaan antara
sistem ekonomi yang dicita-citakan yaitu asas kekeluargaan dengan sistem
ekonomi yang mendasar pada asas individualisme. Kegiatan ekonomi
berdasarkan asas kekeluargaan seharusnya tidak lagi mengandalkan motif
keuntungan pribadi, tetapi motif untuk mensejahterakan kehidupan semua
anggota koperasi demi kebaikan bersama.
b. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian
menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk
melakukan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah
koperasi.
Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) pada intinya menetapkan bahwa
pengurus dan pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan. Menurut M.
Fathorrazi bahwa ada dua tipe koperasi, yakni ala Herman SD yang
pengurusnya digaji dan koperasi ala Raiffeisen yang pengurusnya tidak digaji.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka membelenggu hak para pemohon
untuk menjalankan koperasi ala kedua (koperasi Raiffeisen) yakni koperasi
yang pengurusnya tidak digaji. Pembentuk Undang-Undang memaksakan satu
bentuk koperasi saja yaitu koperasi yang pengurus koperasi digaji. Apabila
dikaji lebih lanjut koperasi tipe kedua merupakan ide tipe yang sangat ideal
karena pengurus yang tidak digaji pantas terjadi sebab pengurus tidak harus
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diunduh dari laman:
www.mahkamahkonstitusi.go.id
Universitas Sumatera Utara
7
full time/mengurus koperasi karena pengurus dapat mengangkat pengelola
koperasi. Hal ini dengan pendapat Bung Hatta menyatakan bahwa pada
umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya pejabat dan pekerja penuh
sehari-hari yang digaji.
c. Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e dan Pasal 57
ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional
Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang pengawas sangat besar
yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi koperasi
yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang pengawas
yang lebih tersebut meliputi:
1) Mengusulkan calon pengurus (Pasal 50 ayat (1) huruf a);
2) Menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian
anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar (Pasal 50 ayat (2)
huruf a)
3) Dapat memberhentikan pengurus untuk sementara waktu dengan
menyebutkan alasannya (Pasal 50 ayat (2) huruf a); dan
4) Mengusulkan gaji dan tunjangan setiap pengurus (Pasal 57 ayat (2)).
Ketentuan yang demikian tersebut akan mengakibatkan kerugian para
pemohon untuk menjalankan organisasi koperasi tanpa ada check and
balances system. Demokrasi dalam koperasi menjadi hilang, padahal
demokrasi merupakan salah satu prinsip koperasi. Hal ini disebabkan
wewenang pengawas sangat dominan bahkan melebihi rapat anggota sebagai
wujud kedaulatan anggota. Selama ini pencalonan pengurus, pemberhentian
anggota dan pemberhentian pengurus menjadi wewenang rapat anggota.
Adapun pengusulan gaji dan tunjangan tidak pernah dilakukan karena
pengurus tidak digaji. Akibatya, hubungan antara pengawas dengan perangkat
koperasi yang lain (pengurus) menjadi tidak setara, bahkan melebihi
wewenang rapat anggota. Dengan demikian koperasi lama kelamaan akan
mati karena konflik internal akibatnya besarnya wewenag pengawas dan ini
mengakibatkan hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI
untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana
dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
d. Bab VII Undang-Undang Perkoperasian meniadakan hak konstitusional
Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dengan ketentuan permodalan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Bab
VII Undang-Undang Perkoperasian, para Pemohon tersebut dirugikan karena
dalam menjalankan koperasinya tidak lagi dapat mendasarkan pada asas
kekeluargaanya. Koperasi nantinya dijalankan dengan prinsip sebatas modal
Universitas Sumatera Utara
8
yang dikeluarkan. Unsur-unsur persaudaraan dalam asas kekeluargaan tidak
mungkin terwujud. Perlakuan yang tidak adil pun nantinya akan terjadi
dengan munculnya anggota pemegang “mayoritas” Sertifikat Modal
Koperasi” dengan “minoritas” layaknya Perseroan Terbatas. Ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji tersebut juga telah menimbulkan kekhawatiran,
kecemasan terhadap para Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjagan
sosial, yang berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan
atas asas kekeluargaan.
Pengaturan modal koperasi juga merugikan karena membuka peluang
intervensi pihak luar/non-anggota, termasuk Pemerintah dan pihak asing,
melalui permodalan. Modal koperasi ditetapkan berasal dari setoran pokok
dan setoran modal koperasi, hibah, termasuk dari pihak asing, modal
penyertaan, modal pinjaman, dan sumber lain. Tidak ada pembatasan
proposisi dana dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi
koperasi. Skema seperti ini jelas akan mematikan koperasi.
e. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian mengurangi hak
konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 78 ayat (2) memberikan larangan bagi koperasi untuk
membagikan surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dari non anggota
koperasi kepada anggota. Ketentuan tersebut jelas merugikan anggota.
Pembagian surplus sisa hasil usaha sesungguhnya merupakan hak anggota dan
juga merupakan salah satu konsekuensi dianutnya prinsip usaha bersama
dengan asas kekeluargaan agar koperasi tetap hidup dan berkembang.
Koperasi pada dasarnya memang diselenggarakan untuk mewujudkan
kesejahteraan sebesar-besarnya untuk anggota pada khusunya dan masyarakat
pada umumnya. Terwujudnya kesejahteraan bagi anggota koperasi salah
satunya adalah dengan pembagian hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan
oleh koperasi. Usaha yang dilakukan oleh koperasi salah satunya adalah
penyediaan barang atau jasa kepada masyarakat secara luas (bukan hanya
anggota koperasi). Oleh karena pada dasarnya usaha dilakukan oleh koperasi
yang diselenggarakan pula oleh anggota, maka pada dasarnya anggota
koperasi berhak untuk menerima hasil usaha tersebut.
f. Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Perkoperasian menghalangi
hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Ketiga pasal tersebut membatasi usaha koperasi dengan menentukan satu
koperasi satu jenis usaha. Dengan demikian memunculkan berbagai kerancuan
dan kerugian bagi koperasi-koperasi yang telah berjalan. Koperasi yang ada
pada saat ini akan dirombak menurut jenis koperasi dan jenis usahanya. Hal
Universitas Sumatera Utara
9
ini akan mengakibatkan kepengurusan harus dipecah, AD/ART diubah, aset
dipecah, usaha dipecah, dan seterusnya. Koperasi akan sibuk dengan masalah
“pemecahan” tersebut bukan usahanya. Hal ini akan mengakibatkan biaya
tinggi, risiko konflik internal, dan yang paling mendasar adalah bahwa selama
ini koperasi hidupnya saling menopang antara jenis-jenis usaha yang
dilakukan, misalnya ada koperasi yang punya usaha jasa perdagangan,
pendapatannya ditopang oleh usaha simpan pinjam sehingga kalau nantinya
harus dipecah maka tidak bisa terjadi mutualisme namun yang terjadi adalah
matinya usaha koperasi tersebut. Anggota jelas akan dirugikan karena
kebutuhan anggota tidak dapat terpenuhi akibat koperasi hanya
mengoperasikan satu jenis usaha saja. Selain itu, mengingat untuk menyusun
usaha dengan segala investasi yang telah dikeluarkan dan tata kelola yang
telah disistemkan bukanlah pekerjaan main-main dan memiliki dampak yang
sangat besar bagi anggota dengan semua kebutuhannya yang coba difasilitasi
oleh koperai. Dampaknya, koperasi yang memiliki berbagai jenis usaha
(KUD, KPRI, KOPWAN, KOPKAR) dengan seluruh unit yang dimiliki untuk
memenuhi semua kepentingan ekonomi anggota harus dibekukan dan diganti
dengan jenis koperasi yang dipaksakan ketentuan ini. Heterogenitas
kepentingan ekonomi anggota yang coba difasilitasi koperasi tersebut
(termasuk unit simpan pinjam) akan hilang.
Pertimbagan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Memutus perkara uji
materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sebagai berikut:11
1. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 khusunya frase
“orang-perseorangan” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 karena definisi koperasi yang menekankan bahwa koperasi
didirikan oleh orang perseorangan bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
koperasi akan bersifat individualisme (mendahulukan kepentingan sendiri)
bukan “individualitas” yang bermakna insaf akan harga dirinya serta
mengingkari prinsip koperasi yang sejati yaitu usaha bersama (on cooperative
basis);
2. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan pasal 57 ayat (2) Undang-Undang 17 Tahun
2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 karena dengan menetapkan bahwa pengurus dan
pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan maka ketentuan tersebut
bertentangan dengan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
yang bentuk perusahaannya adalah koperasi;
11
Ibid, hal.212
Universitas Sumatera Utara
10
3. Pasal 50 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2)
dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena tidak
memberi kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih
sebagai pengurus secara langsung dalam rapat anggota, namun harus melalui
satu pintu pengusulan yaitu oleh pengawas;
4. Bahwa Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 karena asas kekeluargaan sebagai landasan usaha bersama yang
diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah
menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus
mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Dengan
dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas
dalam koperasi menjadi hilang. Hal itu jelas bertentangan dengan jiwa
koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan, saling tolong menolong,
gotong royong, senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan
berdiri di kaki sediri.
5. Bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal
57 ayat (2) Udnag-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
karena kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang Pengawas sangat
besar yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi
koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang
pengurus untuk memberhentikan pengurus sementara adalah sama dengan
wewenang Dewan Komisaris untuk memberhentikan sementara anggota
direksi sebagaimana ditentukan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
6. Bahwa Bab VII yang mengatur Modal Koperasi dalam Undang-Undang 17
Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4)
dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena skema modal
koperasi yang terdiri dari setoran pokok dan sertifikat modal koperasi sebagai
modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi
landasan usaha bersama. Selain itu, setoran pokok yang dibayarkan oleh
anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai
anggota tidak dapat dikembalikan dan Sertifikat Modal Koperasi tidak dapat
ditarik dan hanya dapat dijual pada sesama anggota atau calon anggota atau
ditalangi maksimal 20% dari surplus hasil usaha koperasi tahun buku berjalan
adalah bentuk perampasan secara sewenang-wenang terhadap hak milik
pribadi yang bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Modal koperasi sebagaimana diatur dalam Bab VII telah
membuka peluang intervensi pihak luar, termasuk pemerintah dan pihak
asing, melalui permodalan karena tidak tidak ada pembatasan proporsi dana
dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi koperasi. Revitalisasi
Universitas Sumatera Utara
11
semacam ini tidak sesuai dengan prinsip koperasi sebagai perkumpulan orangorang yang menolong diri sendiri dengan usaha bersama yang dikendalikan
angotanya. Terlebih lagi ketentuan tentang modal penyertaan tersebut juga
membuka peluang itikat tidak baik berbagai pihak berupa “money laundring”
bisa dilakukan dengan leluasa dilembaga koperasi karena tidak adanya
pembatasan yang jelas.
7. Bahwa Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang
Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pelarangan koperasi membagikan
kepada anggota surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dengan non
anggota sungguh tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi
landasan usaha bersama dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang bangunan perusahaannya adalah koperasi.
8. Bahwa Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 karena ketentuan tersebut telah menyimpang dari hakikat/ciri
badan hukum sebab apabila ada kerugian maka ganti ruginya tidak sebatas
pada kekayaan perusahaan. Padahal, menurut prinsip Schulze, tanggung jawab
anggota koperasi adalah terbatas.
9. Bahwa Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 karena penentuan jenis koperasi sebatas pada
koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, koperasi simpan pinjam
merupakan bentuk pembatasan usaha koperasi. Undang-Undang yang
mengatur Perseroan Terbatas saja tidak membatasi jenis usaha Perseroan
Terbatas dan setiap satu Perseroan Terbatas harus satu jenis usaha. Ketentuan
juga a quo mengikis dan mengubah haikat usaha koperasi tidak lagi bertumpu
atau berdasarkan kebutuhan anggota koperasi. Selain itu, ketentuan Pasal 82,
Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 karena menghilangkan hak koperasi sebagai wadah usaha
bersama berdasarkan kekeluargaan otonom dan mandiri untuk
mengembangkan usahanya.
Dalam Amar Putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan:12
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
12
Op Cit, hal 254.
Universitas Sumatera Utara
12
3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku
untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang
yang baru.13
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut secara keseluruhan telah mengembalikan
koperasi sesuai entitas awalnya yakni kumpulan orang-orang yang mempunyai
kesadaran dan kehendak bebas, tanpa ada paksaan dari siapapun, yang duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi dengan suatu asas persamaan derajat diantara sesama
anggota, serta jalinan hubungan yang harmonis tanpa memandang suku, ras, budaya
dan berlandaskan asas kekeluargaan yang saling topang-menopang antara anggota
satu dengan anggota lain14 dengan tujuan mempertahankan diri terhadap tindakan
pihak luar, dengan menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari suatu suasana hidup
berkumpul.
Meskipun koperasi merupakan badan hukum tetapi dalam menggerakkan roda
tersebut yang paling utama bukanlah sokongan dari pihak luar tetapi tenaga dan
kesanggupan para anggotalah yang menjadi kunci dalam perbaikan taraf hidup
masing-masing anggota.15
Timbul dan berkembangnya kegiatan perkoperasian, disebabkan perbedaan
penghasilan yang tidak memungkinkan seseorang dapat memenuhi kehidupannya
secara berkelanjutan. Faktor tersebutlah yang menjadikan orang-orang yang keadaan
13
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502.
14
Wasis, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Bandung: Alumni, 1981), hal.31-34
15
Sagimun MD, Koperasi, Soko guru Ekonomi Nasional Indonesia, (Jakarta: Inti Idayu Press,
1989) , hal.46
Universitas Sumatera Utara
13
ekonominya lemah untuk bersatu dan membentuk suatu usaha demi kesejahteraan
bersama.16 Suatu usaha bersama agar dapat disebut sebagai koperasi haruslah
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan kumpulan modal. Konsekuensi dari hal ini, koperasi harus
benar-benar mengabdi kepada kemanusiaan, bukan kepada sesuatu kebendaan.
2. Merupakan kerja sama, yaitu suatu bentuk gotong royong berdasarkan asas
kesamaan derajad, hak dan kewajiban antar anggota.
3. Semua kegiatan harus didasarkan atas kesadaran para anggotanya, tidak boleh
ada paksaan, tidak boleh ada intimidasi, maupun campur tangan dari luar yang
tidak mempunyai sangkut paut dengan koperasi.
4. Tujuan koperasi harus merupakan kepentingan bersama para anggotanya, dan
tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan
para anggotanya, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi harus dapat
mencerminkan perimbangan secara adil dari besar kecilnya karya dan jasa
para anggotanya.17
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:
16
Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.26
17
Nindyo Pramono, Beberapa aspek koperasi pada umumnya dan koperasi Indonesia di
dalam perkembangan, (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1986), hal.9
Universitas Sumatera Utara
14
1. Bagaimanakah akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
Tentang Perkoperasian?
2. Bagaimanakah status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota
koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013
Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian?
3. Bagaimanakah pengaturan perkoperasian di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap
kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
Tentang Perkoperasian.
2.
Untuk mengetahui status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota
koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang
Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
3.
Untuk mengetahui pengaturan perkoperasian di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah
maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain :
Universitas Sumatera Utara
15
1. Secara Teoritis
Hasil penelitan diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam
perkembangan ilmu hukum dalam bidang perkoperasian.
2. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi praktisi, mahasiswa yang ingin mendalami perkoperasian di Indonesia
dan bagi legislator dalam menciptakan suatu produk peraturan perundangundangan yang melihat benang merah suatu kegiatan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran
kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan
Magister Kenotariatan, maupun Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, dan pada
umumnya diseluruh Universitas yang ada di Indonesia, bahwa belum ada judul
penelitian
sebelumnya
MAHKAMAH
yang berjudul
KONSTITUSI
“ANALISIS YURUDIS PUTUSAN
NOMOR
28/PUU-XI/2013”
TENTANG
PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG
PERKOPERASIAN”. Ada beberapa judul tesis terdahulu yang berkaitan dengan
judul penelitian ini, diantaranya:
1.
Karmila (Nim : 047011037) dengan judul penelitian: Peran Notaris Dalam
Pembuatan Akta Koperasi Menurut Kepmen No. 98/Kep/M.KUKM/IX/2004
(Studi Di Dinas Koperasi Kota Medan).
Permasalahan:
Universitas Sumatera Utara
16
1. Bagaimanakah eksistensi Keputusan Menteri Negera Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Republik Indonesia, No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004
dalam membuat akta pendirian koperasi pada masa yang akan datang?
2. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pengurus koperasi dalam sistem
hukum badan usaha di Indonesia?
3. Apakah Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 tidak bertentangan
dengan tugas-tugas notaris dalam membuat akta berdasarkan Undang-Undang
Jabatan Notaris?
2.
Treesna Sari Berliana Tobing (Nim: 067011102) dengan judul penelitian: Peran
Notaris Dalam Membuat Akta Pendirian Dan Akta Perubahan Anggaran Dasar
Badan Usaha Koperasi (penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan
tentang koperasi yang berlaku di indonesia sebelum dan sesudah zaman
kemerdekaan).
Permasalahan:
1. Bagaimanakah peran notaris dalam membuat akta pendirian dan akta
perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi menurut peraturan
perundang-undangan
tentang
koperasi
sebelum
dan
sesudah
zaman
kemerdekaan?
2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta
pendirian dan akta perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi?
Universitas Sumatera Utara
17
3. Apa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang
dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta pendirian dan akta perubahan
Anggaran Dasar badan usaha koperasi?
3.
Nike (Nim: 087011087) dengan judul penelitian: Peranan Notaris Pada Pendirian
Dan Aktivitas Koperasi Terhadap Usaha Mikro Kecil Dan Menengah, Studi Di
Kota Medan.
Permasalahan:
1. Bagaimanakah peranan Notaris pada pendirian koperasi?
2. Bagaimanakah peranan Notaris dalam aktivitas koperasi terhadap usaha
Mikro Kecil dan Menengah?
3. Apa yang menjadi tantangan, kendala dan upaya bagi Notaris sehubungan
dengan peranannya pada koperasi?
4.
Desi (Nim: 097011042) dengan judul penelitian: Analisis Yuridis terhadap
pemberian kredit tanpa jaminan pada koperasi karyawan Perum Gas Negara
Cabang Medan.
Permasalahan:
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian pinjaman tanpa jaminan pada koperasi
karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan?
2. Bagaimana penyelesaian masalah dalam pemberian kredit tanpa jaminan pada
koperasi karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan apabila terjadi
wanprestasi?
Universitas Sumatera Utara
18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.18 Fungsi teori dalam penelitian inadalah untuk memberikan
petunjuk, mengharapkan dan menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
28/PUU-XI/2013 Tentang Pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
Tentang Perkoperasian. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka
teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian
hukum dan teori hukum murni.
Kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada
aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak
lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari
sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat
umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak
bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata
untuk kepastian.19
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), hal.82-83.
19
Universitas Sumatera Utara
19
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah di putuskan.20
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun
dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Pertanyaan mengenai apakah hukum
itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu tetapi
beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan
hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim,
kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan
mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan
sebagainya.
Mengenai rumusan masalah pertama (1) dan kedua (2) teori hukum yang
digunakan untuk menjawabnya adalah dengan menggunakan teori kepastian hukum.
20
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008), hal.158
Universitas Sumatera Utara
20
Menjawab rumusan masalah ketiga (3), teori yang digunakan adalah teori hukum
murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen. Teori hukum murni adalah teori yang
berasal dari aliran hukum positif, dimana dalam teori ini berusaha memberikan
pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang murni terlepas dari segala unsur lain
yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
Teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu
hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu
sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum
moral. Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya
dikarenakan norma tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang
yang dilahirkan melalui suatu prosedur hukum.
Teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen dapat dirumuskan
sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak
mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai
suatu nilai. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum
murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan
jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis
denga tegas.
Kelsen menolak memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah,
dikarenakan definisi yang demikian mempergunakan pertimbangan-pertimbangan
subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuan adalah benarbenar objektif. Perspektif Kelsen memandang hukum tidak berusaha menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
21
apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturanperaturann tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori hukum murni merupakan suatu pengembangan yang amat saksama dari
aliran positivisme, dimana teori hukum murni menolak ajaran yang bersifat ideologis
dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturanperaturan yang ada. Teori hukum murni tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik,
sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu
paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa.
Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku
manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak
berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa di dalam suatu masyarakat hanya
satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsep
mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapt ditiadakan yang
menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.
Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam
suatu sistem hukum. Grundnorm tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi
selalu akan ada, baik dalam bentuk tertulis atau sebagai suatu pernyataan yang tidak
tertulis.
Grundnorm diibaratakan semacam solar yang menggerakan suatu mesin.
Grundnorm-lah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pulu
Universitas Sumatera Utara
22
yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa suatu produk hukum dilaksanakan,
karenanya Grundnorm lebih merupakan dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan
tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan
mematuhinya. Ketika dalil tersebut sudah tidak dipercayai orang dengan cara
menggugat kebenarannya, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.
Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:21
1.
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
2.
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Teori hukum adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya
ada;
3.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
4.
Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan
persoalan efektifitas norma-norma hukum;
5.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari
isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;
6.
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum tertentu adalah seperti
hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pada dasarnya inti ajaran Hans Kelsen terkait hukum murni ada tiga (3)
konsep, yaitu:
21
Rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2014/05/menelusuri-paham-positivisme-hukumdan.html?m=1, tanggal 05 Mei 2015, Turiman Fachturahman Nur, Menelusuri Paham Positivisme
Hukum dan Teori Hukum Murni, diakses pada tanggal 05 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
23
1.
Ajaran hukum murni Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasiranasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya;’
2.
Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturanperaturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, sehingga
grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm
pada tata hukum B.
3.
Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan
dari norma dasar yang berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah
semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin
ke bawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa suatu
“seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
2.
Landasan Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Perananan konsep
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara
abstraksi dengan realitis.22
Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya yang mengakbatkan
salah tafsir, tetapi untuk menuntun dalam menangani penelitian.23 Agar tidak terjadi
perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini,
maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu:
22
23
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hal.108
Universitas Sumatera Utara
24
a. Analis Yuridis adalah penilitian suatu peristiwa atau kejadian dengan
menggunakan hukum untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga
tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
c. Uji Materi adalah Pengujian terhadap norma-norma hukum yang berlaku yang
dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga Negara.
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah
Payung hukum kegiatan perkoperasian di Indonesia.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa, melaksanakan
pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut,
kemudian selanjutnya
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang
bersangkutan.24
1.
Sifat dan Jenis Penelitian
Meneliti pada hakekatnya adalah mencari kebenaran yang berkaitan dengan
kaedah, norma, Das Sollen/ seharusnya, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkatan, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1995), hal.43
Universitas Sumatera Utara
25
atau Das Sein/ senyatanya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian
yang menggambarkan, menguraikan, memaparkan sekaligus menganalisis putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang pembatalan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Penilitian ini merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
cara menganalisanya.25
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang disebut juga
sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal ini
adalah penelitian hukum yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 tentang
pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, serta
membahas doktrin-doktrin atau asas-asas yang berkembang dalam ilmu hukum yang
berlaku sebagai pijakan normatif, yang diawali dari premis umum dan berakhir pada
kesimpulan khusus.26
2.
Bahan Hukum
Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka
bahan hukum dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, bahan hukum tertier, yaitu:
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Lo.Cit, hal.43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI-Press,
2001), hal.30
26
Universitas Sumatera Utara
26
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa perundangundangan yang berhubungan dengan perkoperasian
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
tentang bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah, jurnaljurnal, pendapat para ahli, hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga
penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder yang berupa kamus
hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan internet yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan.27
3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan untuk menghimpun data dalam penelitian ini adalah
dengan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara
menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur,
jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
4.
Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Alat pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen disertai dengan wawancara kepada Koperasi Simpan Pinjam Tama
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ibid, hal.25
Universitas Sumatera Utara
27
Mandiri yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang
Perkoperasian yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
5.
Analisis Bahan Hukum
Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu
hipotesa seperti yang disarankan oleh data.28
Kegiatan analisa dilakukan secara kualitatif, dimulai dengan melakukan
pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari peraturan perundang-undangan,
karya ilmiah, makalah, judul penelitian, internet, selanjutnya dengan menggunakan
metode deduktif akan ditarik kesimpulan untuk mencari jawaban dari masalah
penelitian.
28
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hal.106
Universitas Sumatera Utara
Download