BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena koperasi merupakan bagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. Koperasi dikenal di Indonesia pada tahun 1896 dari seorang Patih Pamong Praja bernama R. Aria Wiria Atmadja di Purwekerto yang merintis mendirikan suatu Bank Simpanan (Hulp Spaarbank) untuk menolong para pegawai negeri (kaum Priyayi) yang terjerat tindakan dalam soal riba dari kaum lintah darat. Tahun 1908 sampai dengan tahun 1913, bersamaan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional, Boedi Oetomo mencoba memajukan koperasi-koperasi rumah tangga, koperasi toko, yang kemudian menjadi koperasi konsumsi yang didalam perkembangannya menjadi koperasi batik. Pada tahun 1908, Gerakan Boedi Oetomo tersebut dibantu oleh Serikat Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia, bersamaan dengan lahirnya Gerakan Kebangkitan Nasional.1 Kegiatan perekonomian yang didasarkan hubungan kerjasama semakin gencar disuarakan oleh pemerintah di era kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Berdasarkan Pasal 1 R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal.14 1 Universitas Sumatera Utara 2 33 ayat 1 tersebut, maka peran koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat dan mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Pada tanggal 18 Desember 1967, pemerintah pada masa Orde Baru dengan persetujuan DPRGR berhasil mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok Koperasi.2 Pasal 3 Undang-Undang ini menyatakan bahwa koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Undang-Undang ini bertahan selama 25 (dua puluh lima) tahun sebagai payung hukum perkoperasian di Indonesia. Pada Tahun 1992, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini menjadikan koperasi sebagai sarana untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta koperasi tidak boleh lepas dari landasan-landasan hukum sebagai landasan berpijaknya koperasi di Indonesia. Landasan Koperasi Indonesia adalah Pancasila, seperti tertuang di dalam ketentuan Bab II, bagian pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 1 Undang-Undang ini menyatakan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.3 2 R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.26 3 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355. Universitas Sumatera Utara 3 Pada tanggal 30 Oktober 2012 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini memberikan perubahan koperasi kearah yang lebih modern, yakni koperasi tidak berfokus kepada anggota, tetapi berfokus kepada modal yang tidak lain dan tidak bukan merupakan konsep perseroan terbatas.4 Struktur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tidak jauh berbeda dengan struktur pengaturan perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Perubahan koperasi kearah modern yang diharapkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian mendapat banyak kritik dari khalayak umum. Kritik-kritik tersebut berlanjut dengan diajukannya judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang 4 Apriliazala.blogspot.com/2014/06/kenapa-undang-undang-koperasi.html?m=1, Aprilia Eka Putri, Alasan Undang-Undang Koperasi Dibatalkan, diakses pada tanggal 02 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 4 Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”5 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”6 Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Tinggi Negara diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berkewajiban mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.7 5 Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316. 6 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076. 7 Cetak Biru, Membangun Konstitusi, sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya, seretariat jenderal MKRI, 2004, hal.IV. Universitas Sumatera Utara 5 Perselisihan yang dibawah ke Mahkmah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun permohonan diajukan oleh beberapa orang atau individu tertentu. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi akan berakibat hukum, tidak hanya bagi beberapa orang atau individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.8 Adapun pemohon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono, kesemuanya diwakili oleh Aan Eko Widiarto, Iwan Permadi, Haru Permadi, Konsultan Hukum Universitas Brawijaya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 8 Februari 2013.9 8 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2012), hal.42 9 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id Universitas Sumatera Utara 6 Alasan-alasan pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah:10 a. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah koperasi. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian yang menentukan bahwa koperasi didirikan oleh perseorang berakibat pada pengutamaan kemakmuran orang-seorang, bukan kemamkmuran anggota. Selain itu, dengan definisi koperasi yang didirikan oleh perseorangan, maka prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan tidak dapat terwujud. Seharusnya maksud asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian adalah adanya ide tanggung jawab bersama untuk menjamin kemajuan bagi semua orang. Tujuan memajukan usaha bersama bukannya keuntungan pribadi, tetapi kemajuan bagi seluruh anggota koperasi. Istilah berdasarkan atas asas kekeluargaan menunjukkan adanya landasan bagi tanggung jawab bersama yang ditujukan untuk mencapai usah bersama yang akan menjamin bagi setiap anggota. Sifat kolektifitas inilah perbedaan antara sistem ekonomi yang dicita-citakan yaitu asas kekeluargaan dengan sistem ekonomi yang mendasar pada asas individualisme. Kegiatan ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan seharusnya tidak lagi mengandalkan motif keuntungan pribadi, tetapi motif untuk mensejahterakan kehidupan semua anggota koperasi demi kebaikan bersama. b. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah koperasi. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) pada intinya menetapkan bahwa pengurus dan pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan. Menurut M. Fathorrazi bahwa ada dua tipe koperasi, yakni ala Herman SD yang pengurusnya digaji dan koperasi ala Raiffeisen yang pengurusnya tidak digaji. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka membelenggu hak para pemohon untuk menjalankan koperasi ala kedua (koperasi Raiffeisen) yakni koperasi yang pengurusnya tidak digaji. Pembentuk Undang-Undang memaksakan satu bentuk koperasi saja yaitu koperasi yang pengurus koperasi digaji. Apabila dikaji lebih lanjut koperasi tipe kedua merupakan ide tipe yang sangat ideal karena pengurus yang tidak digaji pantas terjadi sebab pengurus tidak harus 10 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id Universitas Sumatera Utara 7 full time/mengurus koperasi karena pengurus dapat mengangkat pengelola koperasi. Hal ini dengan pendapat Bung Hatta menyatakan bahwa pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya pejabat dan pekerja penuh sehari-hari yang digaji. c. Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang pengawas sangat besar yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang pengawas yang lebih tersebut meliputi: 1) Mengusulkan calon pengurus (Pasal 50 ayat (1) huruf a); 2) Menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar (Pasal 50 ayat (2) huruf a) 3) Dapat memberhentikan pengurus untuk sementara waktu dengan menyebutkan alasannya (Pasal 50 ayat (2) huruf a); dan 4) Mengusulkan gaji dan tunjangan setiap pengurus (Pasal 57 ayat (2)). Ketentuan yang demikian tersebut akan mengakibatkan kerugian para pemohon untuk menjalankan organisasi koperasi tanpa ada check and balances system. Demokrasi dalam koperasi menjadi hilang, padahal demokrasi merupakan salah satu prinsip koperasi. Hal ini disebabkan wewenang pengawas sangat dominan bahkan melebihi rapat anggota sebagai wujud kedaulatan anggota. Selama ini pencalonan pengurus, pemberhentian anggota dan pemberhentian pengurus menjadi wewenang rapat anggota. Adapun pengusulan gaji dan tunjangan tidak pernah dilakukan karena pengurus tidak digaji. Akibatya, hubungan antara pengawas dengan perangkat koperasi yang lain (pengurus) menjadi tidak setara, bahkan melebihi wewenang rapat anggota. Dengan demikian koperasi lama kelamaan akan mati karena konflik internal akibatnya besarnya wewenag pengawas dan ini mengakibatkan hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. d. Bab VII Undang-Undang Perkoperasian meniadakan hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan ketentuan permodalan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Bab VII Undang-Undang Perkoperasian, para Pemohon tersebut dirugikan karena dalam menjalankan koperasinya tidak lagi dapat mendasarkan pada asas kekeluargaanya. Koperasi nantinya dijalankan dengan prinsip sebatas modal Universitas Sumatera Utara 8 yang dikeluarkan. Unsur-unsur persaudaraan dalam asas kekeluargaan tidak mungkin terwujud. Perlakuan yang tidak adil pun nantinya akan terjadi dengan munculnya anggota pemegang “mayoritas” Sertifikat Modal Koperasi” dengan “minoritas” layaknya Perseroan Terbatas. Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut juga telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap para Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjagan sosial, yang berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Pengaturan modal koperasi juga merugikan karena membuka peluang intervensi pihak luar/non-anggota, termasuk Pemerintah dan pihak asing, melalui permodalan. Modal koperasi ditetapkan berasal dari setoran pokok dan setoran modal koperasi, hibah, termasuk dari pihak asing, modal penyertaan, modal pinjaman, dan sumber lain. Tidak ada pembatasan proposisi dana dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi koperasi. Skema seperti ini jelas akan mematikan koperasi. e. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian mengurangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan Pasal 78 ayat (2) memberikan larangan bagi koperasi untuk membagikan surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dari non anggota koperasi kepada anggota. Ketentuan tersebut jelas merugikan anggota. Pembagian surplus sisa hasil usaha sesungguhnya merupakan hak anggota dan juga merupakan salah satu konsekuensi dianutnya prinsip usaha bersama dengan asas kekeluargaan agar koperasi tetap hidup dan berkembang. Koperasi pada dasarnya memang diselenggarakan untuk mewujudkan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya. Terwujudnya kesejahteraan bagi anggota koperasi salah satunya adalah dengan pembagian hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi. Usaha yang dilakukan oleh koperasi salah satunya adalah penyediaan barang atau jasa kepada masyarakat secara luas (bukan hanya anggota koperasi). Oleh karena pada dasarnya usaha dilakukan oleh koperasi yang diselenggarakan pula oleh anggota, maka pada dasarnya anggota koperasi berhak untuk menerima hasil usaha tersebut. f. Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketiga pasal tersebut membatasi usaha koperasi dengan menentukan satu koperasi satu jenis usaha. Dengan demikian memunculkan berbagai kerancuan dan kerugian bagi koperasi-koperasi yang telah berjalan. Koperasi yang ada pada saat ini akan dirombak menurut jenis koperasi dan jenis usahanya. Hal Universitas Sumatera Utara 9 ini akan mengakibatkan kepengurusan harus dipecah, AD/ART diubah, aset dipecah, usaha dipecah, dan seterusnya. Koperasi akan sibuk dengan masalah “pemecahan” tersebut bukan usahanya. Hal ini akan mengakibatkan biaya tinggi, risiko konflik internal, dan yang paling mendasar adalah bahwa selama ini koperasi hidupnya saling menopang antara jenis-jenis usaha yang dilakukan, misalnya ada koperasi yang punya usaha jasa perdagangan, pendapatannya ditopang oleh usaha simpan pinjam sehingga kalau nantinya harus dipecah maka tidak bisa terjadi mutualisme namun yang terjadi adalah matinya usaha koperasi tersebut. Anggota jelas akan dirugikan karena kebutuhan anggota tidak dapat terpenuhi akibat koperasi hanya mengoperasikan satu jenis usaha saja. Selain itu, mengingat untuk menyusun usaha dengan segala investasi yang telah dikeluarkan dan tata kelola yang telah disistemkan bukanlah pekerjaan main-main dan memiliki dampak yang sangat besar bagi anggota dengan semua kebutuhannya yang coba difasilitasi oleh koperai. Dampaknya, koperasi yang memiliki berbagai jenis usaha (KUD, KPRI, KOPWAN, KOPKAR) dengan seluruh unit yang dimiliki untuk memenuhi semua kepentingan ekonomi anggota harus dibekukan dan diganti dengan jenis koperasi yang dipaksakan ketentuan ini. Heterogenitas kepentingan ekonomi anggota yang coba difasilitasi koperasi tersebut (termasuk unit simpan pinjam) akan hilang. Pertimbagan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sebagai berikut:11 1. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 khusunya frase “orang-perseorangan” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena definisi koperasi yang menekankan bahwa koperasi didirikan oleh orang perseorangan bertentangan dengan asas kekeluargaan dan koperasi akan bersifat individualisme (mendahulukan kepentingan sendiri) bukan “individualitas” yang bermakna insaf akan harga dirinya serta mengingkari prinsip koperasi yang sejati yaitu usaha bersama (on cooperative basis); 2. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan pasal 57 ayat (2) Undang-Undang 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 karena dengan menetapkan bahwa pengurus dan pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan maka ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang bentuk perusahaannya adalah koperasi; 11 Ibid, hal.212 Universitas Sumatera Utara 10 3. Pasal 50 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena tidak memberi kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih sebagai pengurus secara langsung dalam rapat anggota, namun harus melalui satu pintu pengusulan yaitu oleh pengawas; 4. Bahwa Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena asas kekeluargaan sebagai landasan usaha bersama yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang. Hal itu jelas bertentangan dengan jiwa koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong, senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan berdiri di kaki sediri. 5. Bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal 57 ayat (2) Udnag-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang Pengawas sangat besar yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang pengurus untuk memberhentikan pengurus sementara adalah sama dengan wewenang Dewan Komisaris untuk memberhentikan sementara anggota direksi sebagaimana ditentukan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 6. Bahwa Bab VII yang mengatur Modal Koperasi dalam Undang-Undang 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena skema modal koperasi yang terdiri dari setoran pokok dan sertifikat modal koperasi sebagai modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama. Selain itu, setoran pokok yang dibayarkan oleh anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota tidak dapat dikembalikan dan Sertifikat Modal Koperasi tidak dapat ditarik dan hanya dapat dijual pada sesama anggota atau calon anggota atau ditalangi maksimal 20% dari surplus hasil usaha koperasi tahun buku berjalan adalah bentuk perampasan secara sewenang-wenang terhadap hak milik pribadi yang bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Modal koperasi sebagaimana diatur dalam Bab VII telah membuka peluang intervensi pihak luar, termasuk pemerintah dan pihak asing, melalui permodalan karena tidak tidak ada pembatasan proporsi dana dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi koperasi. Revitalisasi Universitas Sumatera Utara 11 semacam ini tidak sesuai dengan prinsip koperasi sebagai perkumpulan orangorang yang menolong diri sendiri dengan usaha bersama yang dikendalikan angotanya. Terlebih lagi ketentuan tentang modal penyertaan tersebut juga membuka peluang itikat tidak baik berbagai pihak berupa “money laundring” bisa dilakukan dengan leluasa dilembaga koperasi karena tidak adanya pembatasan yang jelas. 7. Bahwa Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pelarangan koperasi membagikan kepada anggota surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dengan non anggota sungguh tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang bangunan perusahaannya adalah koperasi. 8. Bahwa Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ketentuan tersebut telah menyimpang dari hakikat/ciri badan hukum sebab apabila ada kerugian maka ganti ruginya tidak sebatas pada kekayaan perusahaan. Padahal, menurut prinsip Schulze, tanggung jawab anggota koperasi adalah terbatas. 9. Bahwa Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 karena penentuan jenis koperasi sebatas pada koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, koperasi simpan pinjam merupakan bentuk pembatasan usaha koperasi. Undang-Undang yang mengatur Perseroan Terbatas saja tidak membatasi jenis usaha Perseroan Terbatas dan setiap satu Perseroan Terbatas harus satu jenis usaha. Ketentuan juga a quo mengikis dan mengubah haikat usaha koperasi tidak lagi bertumpu atau berdasarkan kebutuhan anggota koperasi. Selain itu, ketentuan Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena menghilangkan hak koperasi sebagai wadah usaha bersama berdasarkan kekeluargaan otonom dan mandiri untuk mengembangkan usahanya. Dalam Amar Putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan:12 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 12 Op Cit, hal 254. Universitas Sumatera Utara 12 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang baru.13 Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut secara keseluruhan telah mengembalikan koperasi sesuai entitas awalnya yakni kumpulan orang-orang yang mempunyai kesadaran dan kehendak bebas, tanpa ada paksaan dari siapapun, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan suatu asas persamaan derajat diantara sesama anggota, serta jalinan hubungan yang harmonis tanpa memandang suku, ras, budaya dan berlandaskan asas kekeluargaan yang saling topang-menopang antara anggota satu dengan anggota lain14 dengan tujuan mempertahankan diri terhadap tindakan pihak luar, dengan menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari suatu suasana hidup berkumpul. Meskipun koperasi merupakan badan hukum tetapi dalam menggerakkan roda tersebut yang paling utama bukanlah sokongan dari pihak luar tetapi tenaga dan kesanggupan para anggotalah yang menjadi kunci dalam perbaikan taraf hidup masing-masing anggota.15 Timbul dan berkembangnya kegiatan perkoperasian, disebabkan perbedaan penghasilan yang tidak memungkinkan seseorang dapat memenuhi kehidupannya secara berkelanjutan. Faktor tersebutlah yang menjadikan orang-orang yang keadaan 13 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502. 14 Wasis, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Bandung: Alumni, 1981), hal.31-34 15 Sagimun MD, Koperasi, Soko guru Ekonomi Nasional Indonesia, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1989) , hal.46 Universitas Sumatera Utara 13 ekonominya lemah untuk bersatu dan membentuk suatu usaha demi kesejahteraan bersama.16 Suatu usaha bersama agar dapat disebut sebagai koperasi haruslah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Bukan merupakan kumpulan modal. Konsekuensi dari hal ini, koperasi harus benar-benar mengabdi kepada kemanusiaan, bukan kepada sesuatu kebendaan. 2. Merupakan kerja sama, yaitu suatu bentuk gotong royong berdasarkan asas kesamaan derajad, hak dan kewajiban antar anggota. 3. Semua kegiatan harus didasarkan atas kesadaran para anggotanya, tidak boleh ada paksaan, tidak boleh ada intimidasi, maupun campur tangan dari luar yang tidak mempunyai sangkut paut dengan koperasi. 4. Tujuan koperasi harus merupakan kepentingan bersama para anggotanya, dan tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan para anggotanya, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi harus dapat mencerminkan perimbangan secara adil dari besar kecilnya karya dan jasa para anggotanya.17 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 16 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.26 17 Nindyo Pramono, Beberapa aspek koperasi pada umumnya dan koperasi Indonesia di dalam perkembangan, (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1986), hal.9 Universitas Sumatera Utara 14 1. Bagaimanakah akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian? 2. Bagaimanakah status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian? 3. Bagaimanakah pengaturan perkoperasian di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. 2. Untuk mengetahui status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. 3. Untuk mengetahui pengaturan perkoperasian di Indonesia D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain : Universitas Sumatera Utara 15 1. Secara Teoritis Hasil penelitan diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum dalam bidang perkoperasian. 2. Secara Praktis Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi praktisi, mahasiswa yang ingin mendalami perkoperasian di Indonesia dan bagi legislator dalam menciptakan suatu produk peraturan perundangundangan yang melihat benang merah suatu kegiatan di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Magister Kenotariatan, maupun Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, dan pada umumnya diseluruh Universitas yang ada di Indonesia, bahwa belum ada judul penelitian sebelumnya MAHKAMAH yang berjudul KONSTITUSI “ANALISIS YURUDIS PUTUSAN NOMOR 28/PUU-XI/2013” TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN”. Ada beberapa judul tesis terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian ini, diantaranya: 1. Karmila (Nim : 047011037) dengan judul penelitian: Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Koperasi Menurut Kepmen No. 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 (Studi Di Dinas Koperasi Kota Medan). Permasalahan: Universitas Sumatera Utara 16 1. Bagaimanakah eksistensi Keputusan Menteri Negera Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 dalam membuat akta pendirian koperasi pada masa yang akan datang? 2. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pengurus koperasi dalam sistem hukum badan usaha di Indonesia? 3. Apakah Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 tidak bertentangan dengan tugas-tugas notaris dalam membuat akta berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris? 2. Treesna Sari Berliana Tobing (Nim: 067011102) dengan judul penelitian: Peran Notaris Dalam Membuat Akta Pendirian Dan Akta Perubahan Anggaran Dasar Badan Usaha Koperasi (penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan tentang koperasi yang berlaku di indonesia sebelum dan sesudah zaman kemerdekaan). Permasalahan: 1. Bagaimanakah peran notaris dalam membuat akta pendirian dan akta perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi menurut peraturan perundang-undangan tentang koperasi sebelum dan sesudah zaman kemerdekaan? 2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta pendirian dan akta perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi? Universitas Sumatera Utara 17 3. Apa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta pendirian dan akta perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi? 3. Nike (Nim: 087011087) dengan judul penelitian: Peranan Notaris Pada Pendirian Dan Aktivitas Koperasi Terhadap Usaha Mikro Kecil Dan Menengah, Studi Di Kota Medan. Permasalahan: 1. Bagaimanakah peranan Notaris pada pendirian koperasi? 2. Bagaimanakah peranan Notaris dalam aktivitas koperasi terhadap usaha Mikro Kecil dan Menengah? 3. Apa yang menjadi tantangan, kendala dan upaya bagi Notaris sehubungan dengan peranannya pada koperasi? 4. Desi (Nim: 097011042) dengan judul penelitian: Analisis Yuridis terhadap pemberian kredit tanpa jaminan pada koperasi karyawan Perum Gas Negara Cabang Medan. Permasalahan: 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian pinjaman tanpa jaminan pada koperasi karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan? 2. Bagaimana penyelesaian masalah dalam pemberian kredit tanpa jaminan pada koperasi karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan apabila terjadi wanprestasi? Universitas Sumatera Utara 18 F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.18 Fungsi teori dalam penelitian inadalah untuk memberikan petunjuk, mengharapkan dan menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum dan teori hukum murni. Kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.19 18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), hal.82-83. 19 Universitas Sumatera Utara 19 Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.20 Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Pertanyaan mengenai apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu tetapi beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya. Mengenai rumusan masalah pertama (1) dan kedua (2) teori hukum yang digunakan untuk menjawabnya adalah dengan menggunakan teori kepastian hukum. 20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal.158 Universitas Sumatera Utara 20 Menjawab rumusan masalah ketiga (3), teori yang digunakan adalah teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen. Teori hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum positif, dimana dalam teori ini berusaha memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang murni terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri. Teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral. Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya dikarenakan norma tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang yang dilahirkan melalui suatu prosedur hukum. Teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas. Kelsen menolak memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah, dikarenakan definisi yang demikian mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuan adalah benarbenar objektif. Perspektif Kelsen memandang hukum tidak berusaha menggambarkan Universitas Sumatera Utara 21 apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturanperaturann tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang. Teori hukum murni merupakan suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme, dimana teori hukum murni menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturanperaturan yang ada. Teori hukum murni tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa di dalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsep mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapt ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu sistem hukum. Grundnorm tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi selalu akan ada, baik dalam bentuk tertulis atau sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis. Grundnorm diibaratakan semacam solar yang menggerakan suatu mesin. Grundnorm-lah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pulu Universitas Sumatera Utara 22 yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa suatu produk hukum dilaksanakan, karenanya Grundnorm lebih merupakan dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Ketika dalil tersebut sudah tidak dipercayai orang dengan cara menggugat kebenarannya, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:21 1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity); 2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Teori hukum adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada; 3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam; 4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum; 5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik; 6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum tertentu adalah seperti hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Pada dasarnya inti ajaran Hans Kelsen terkait hukum murni ada tiga (3) konsep, yaitu: 21 Rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2014/05/menelusuri-paham-positivisme-hukumdan.html?m=1, tanggal 05 Mei 2015, Turiman Fachturahman Nur, Menelusuri Paham Positivisme Hukum dan Teori Hukum Murni, diakses pada tanggal 05 Mei 2015. Universitas Sumatera Utara 23 1. Ajaran hukum murni Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasiranasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya;’ 2. Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturanperaturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, sehingga grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm pada tata hukum B. 3. Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa suatu “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan. 2. Landasan Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Perananan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi dengan realitis.22 Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya yang mengakbatkan salah tafsir, tetapi untuk menuntun dalam menangani penelitian.23 Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu: 22 23 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.108 Universitas Sumatera Utara 24 a. Analis Yuridis adalah penilitian suatu peristiwa atau kejadian dengan menggunakan hukum untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. b. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. c. Uji Materi adalah Pengujian terhadap norma-norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga Negara. d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah Payung hukum kegiatan perkoperasian di Indonesia. G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa, melaksanakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian selanjutnya mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.24 1. Sifat dan Jenis Penelitian Meneliti pada hakekatnya adalah mencari kebenaran yang berkaitan dengan kaedah, norma, Das Sollen/ seharusnya, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta 24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkatan, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1995), hal.43 Universitas Sumatera Utara 25 atau Das Sein/ senyatanya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan, menguraikan, memaparkan sekaligus menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Penilitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.25 Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal ini adalah penelitian hukum yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 tentang pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, serta membahas doktrin-doktrin atau asas-asas yang berkembang dalam ilmu hukum yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang diawali dari premis umum dan berakhir pada kesimpulan khusus.26 2. Bahan Hukum Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka bahan hukum dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier, yaitu: 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Lo.Cit, hal.43 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI-Press, 2001), hal.30 26 Universitas Sumatera Utara 26 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa perundangundangan yang berhubungan dengan perkoperasian b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah, jurnaljurnal, pendapat para ahli, hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan internet yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.27 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan untuk menghimpun data dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 4. Alat Pengumpulan Bahan Hukum Alat pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen disertai dengan wawancara kepada Koperasi Simpan Pinjam Tama 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ibid, hal.25 Universitas Sumatera Utara 27 Mandiri yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. 5. Analisis Bahan Hukum Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu hipotesa seperti yang disarankan oleh data.28 Kegiatan analisa dilakukan secara kualitatif, dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, makalah, judul penelitian, internet, selanjutnya dengan menggunakan metode deduktif akan ditarik kesimpulan untuk mencari jawaban dari masalah penelitian. 28 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.106 Universitas Sumatera Utara