pelarangan ahmadiyah oleh pemerintah provinsi Terjadinya

advertisement
pelarangan ahmadiyah oleh pemerintah provinsi
Terjadinya berbagai tindakan anarkhisme terhadap penganut Ahmadiyah oleh sebagian
kalangan pemeluk agama Islam menyebabkan beberapa Pemerintah Propinsi mengeluarkan
regulasi pelarangan terhadap ahmadiyah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengeluarkan
regulasi dalam bentuk Surat Keputusan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah
Provinsi Banten dalam bentuk Peraturan Gubernur.
Segala tindakan Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi) haruslah didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda),
beserta perubahannya, sebagai pelaksanaan dari Sistem Pemerintahan Daerah yang
diamanatkan oleh Pasal 18 18B UUD NRI 1945.
Sistem otonomi daerah dalam UU Pemda menerapkan sistem otonomi formil, bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah di luar urusan
pemerintahan yang terlebih dahulu telah ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat
(Winarno Surya Adisubrata, 1999 : 1-2).
Beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemda, yaitu Urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah meliputi a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan;
d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama . Berdasarkan UU Pemda ini berarti
urusan agama merupakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat.
Hal ini menujukkan bahwa pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap kehidupan dan
kebebasan beragama merupakan wewenang Pemerintah Pusat yang tidak didesentrasikan atau
didekonsentrasikan kepada Pemerintah Provinsi.
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahguanaan dan/atau
Penodaan Agama dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam
Negeri dan Kejaksaan Agung dapat dinyatakan sesuai dengan prinsip hukum apabila
mendasarkan pada sistem otonomi daerah yang diterapkan dalam UU Pemda, bahwa urusan
agama merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Keterlibatan negara dalam urusan agama ini
dianggap sah sepanjang tidak ikut campur dalam masalah keyakinan keagamaan. Keterlibatan
negara dalam urusan agama ini hanya sebatas pada fungsi menciptakan ketertiban dan
ketentraman kehidupan beragama dan kerukunan antar ummat agama. Fungsi Negara dalam
urusan agama ini dibatasi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2)
UUD NRI 1945.
Berdasarkan sistem otonomi daerah yang dianut dalam UU Pemda inilah, maka sebenarnya
Pemerintah Provinsi tidak berwenang untuk mengatur, membina dan mengawasi urusan
agama. Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Banar
serta Peraturan Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam UU Pemda. Urusan agama yang merupakan urusan Pemerintah
Pusat secara jelas dalam UU Pemda tidak didesentrasikan ataupun didekonsentrasikan kepada
Pemerintah Provinsi.
Adanya kontradiksi yuridis Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan
Gubernur Jawa Barat serta Peraturan Gubernur Banten dengan UU Pemda berimplikasi
yuridis bahwa Surat Keputusan Gubernur maupun Peraturan Gubernur ini tidak bisa
mendasarkan berlakunya pada UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri
sebagaimana dinyatakan dalam masing-masing konsideran hukumnya. Pencantuman
konsideran hukum terhadap UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri dapat
dikatakan salah alamat atau tidak benar.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pemda dinyatakan bahwa "Pemerintah Provinsi
mempunyai wewenang dalam hal penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat .
Ketentuan ini sebenarnya dapat dijadikan dasar yuridis oleh Pemerintah Pronvinsi untuk
mengatur ketertiban masyarakat di daerah provinsi akibat adanya potensi atau tindakan
anarkisme terhadap jamaat Ahmadiyah tanpa memasuki ranah urusan keagamaaan yang
merupakan urusan Pemerintah Pusat.
Apabila pelarangan Ahmadiyah di Daerah Provinsi memang bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, maka sebenarnya Pemerintah Provinsi masih
mempunyai ruang yuridis untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan ketertiban dan
ketentraman masyarakat terkait dengan adanya tindakan atau potensi tindakan anarkhisme
terhadap jamaat Ahmadiyah di Daerah Provinsi ini berdasarkan Pasal 13 ayat (1) hurur C UU
Pemda.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat ini merupakan
pelaksanaan dari asas desentralisasi sehingga tidak bisa apabila diatur melalui Surat
Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur, akan tetapi harus diatur melalui Peraturan
Daerah yang dibahas bersama dengan DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dari
masyarakat Daerah Provinsi secara keseluruhan. Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan
Gubernur ini hanyalah sebagai aturan pelaksanaan dan kedudukannya akan diakui serta
mempunyai kekuatan hukum mengikat jika diperintahkan melalui Peraturan Daerah atau
Peraturan di atasnya (Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan).
Berdasarkan analisis yuridis mengenai pelarangan Ahmadiyah inilah, maka dapat dikatakan
bahwa Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang untuk mengatur masalah ketertiban dan
ketentraman masyarakat untuk mencegah tindakan anarkhisme terhadap jamaat ahmadiyah
tanpa menyentuh urusan keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat.
Lahirnya Surat Keputusan Gubernur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat dan Peraturan
Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah sebagaimana
diatur dalam UU Pemda, apalagi dalam Konsideran hukumnya pemberlakukan Surat
Keputusan dan Peraturan Gubernur tersebut didasarkan pada UU No. 1 Pnps tahun 1965 dan
SKB tiga Menteri, tambah salah alamat.
Untuk mencegah terjadinya anarkhisme terhadap jamaat Ahmadiyah, Pemerintah Provinsi
dapat mengaturnya melalui Peraturan Daerah Provinsi dengan mendasarkan
pemberlakuannya terhadap UU Pemerintahan Daerah, tanpa memasuki ranah urusan
keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat. Bahkan menurut UU
Pemda, Pemerintah Kabupaten dan Kota juga dapat mengaturnya juga untuk menciptakan
ketertiban dan ketentraman masyarakat di daerah kabupaten atau kota melalui Peraturan
Kebupaten atau kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c UU Pemda.
Oleh : Moh. Saleh, SH., MH.
Kaprodi Ilmu Hukum FH dan
Sekretaris PKK Universitas Narotama Surabaya
Download