BAB V ANALISIS KONSISTENSI PROTOKOL PENANGANAN RADIASI KANKER PROSTAT DENGAN EBRT PADA RS.X 5.1 Perbandingan Protokol RS.X dengan Protokol Standar sebagai Acuan Terdapat perbedaan protokol yang diberlakukan di RS.X dengan standar yang ada. Tiap institusi kesehatan mempunyai keterbatasan dalam pelaksanaan protokol dilapangan, baik dari segi biaya, sumber ahli, maupun teknologi. Kesemua faktor tersebut berpengaruh pada pengajuan registrasi protokol pada institusi kesehatan yang terkait. Pada RS. X, protokol yang ada bila dibandingkan dengan standar berbeda untuk tahap: 1. Tahap Pendaftaran Pasien Pada RS. X kategori etnis dan ras tidak terlalu dipermasalahkan, hal ini dikarenakan pasien yang menjalani penanganan tidak terlalu beragam dalam hal latar belakangnya, sehingga dapat dinyatakan keseragamannya. Faktor etnis dan ras pada dasarnya mempengaruhi faktor respon sel terhadap penyinaran. Hasil penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai ras Afrika lebih rentan terhadap radiasi. Tetapi alasan spesifik belum dapat diketahui kenapa ras ikut mempengaruhi respon sel terhadap penyinaran. 30 Tidak seperti tahapan pada protokol standar, sewaktu pasien mendaftarkan diri tidak dilakukan pemeriksaan apakah pasien mempunyai status bebas terapi hormonal atau tidak. Pasien seharusnya bebas terapi hormonal >120 hari agar tidak mengganggu jalannya penyinaran, karena perencanaan dosis awal dirancang dengan mempertimbangkan segala kemungkinan efek dan reaksi pada tubuh pasien. Apabila terapi hormonal dikombinasikan dengan penanganan radiasi, respon sel akan berbeda. Oleh karena itu perlu diketahui status pasien saat awal. 2. Kelengkapan Data Pendukung Kelengkapan data pendukung, baik berupa pemeriksaan klinis (USG, PA) dan image (CT, X-Ray ataupun MRI) dalam diagnosa awal dan perencanaan awal penanganan kanker idealnya bersifat mutlak, artinya kesimpulan diagnosa dan perencanaan awal tidak akan terjadi sebelum semua data pendukung terlengkapi, tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidak berlaku. Pada RS. X data pendukung ini tidak bersifat mutlak, hal ini dikarenakan berbagai faktor antara lain teknologi. Pada RS. X teknologi yang dipakai antara lain berupa program ISIS dalam Treatment Planning System (TPS) yang memakai input berupa foto X-Ray. Hal ini mengartikan bahwa beberapa data pendukung memang tidak perlu diadakan dikarenakan faktor teknologi yang ada. Image berupa CT scan bukan merupakan input untuk pengolahan lebih lanjut, sehingga tanpa hasil CT scan, diagnosa dan perencanaan awal dapat dioptimalkan dengan penyesuaian teknologi yang ada. Pertimbangan lain adalah faktor resiko terhadap pasien, dengan tidak adanya 31 kelengkapan data yang terpenuhi, resiko terhadap pasien tidak berpengaruh. Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa kelengkapan data yang mutlak membantu dalam pengambilan keputusan tanpa mempengaruhi resiko terhadap pasien secara signifikan. 3. Verifikasi Dosis Verifikasi dosis merupakan tahapan yang sangat berarti pada pelaksanaan penanganan dilapangan. Keterbatasan yang ada memaksa pihak RS. X tidak melakukan verifikasi dosis kepada pasien kanker yang ada. Keterbatasan yang ada disebabkan karena faktor waktu, biaya, banyaknya pasien, sumber material (bahan) yang kurang, serta faktor teknologi yang dipakai saat ini. Proses verifikasi dosis ini bertujuan mengefisienkan penanganan dan sebagai kontrol berkala terhadap perkembangan sel yang ada. Dengan adanya verifikasi dosis dapat diketahui apakah perencanaan dosis yang dirancang di awal benar diberikan dengan jumlah yang sama atau tidak. Apabila pada penanganan sebelumnya hasil verifikasi dosis memperlihatkan penyimpangan, maka penanganan belum dapat dilanjutkan sampai koreksi dilakukan dengan perhitungan ulang. Pihak RS. X juga sangat menyadari pentingnya proses verifikasi ini, tetapi dengan segala keterbatasan yang ada penerapannya masih mendapat kendala. 32 4. Pemantauan Akhir Kontrol rutin setelah penanganan selesai di lakukan minimal 6 bulan sekali, sedangkan pada protokol standar kontol rutin ini dilakukan secara bertahap dan kontinyu dengan periode tidak hanya untuk 6 bulan pertama, tetapi untuk beberapa tahun berikutnya dengan kurun waktu minimal 6 bulan pertama, kemudian 9 dan 12 bulan. Serta kontrol rutin 6 bulan sekali tiap 3 tahun sebelum kontrol setiap tahunnya untuk tahun-tahun berikutnya. Kontrol ini sangat mempunyai pengaruh dalam proses penyembuhan kanker secara total karena pada kontrol rutin ini perkembangan sel tumor dapat dideteksi secara berkala dan berkesinambungan. 5.2 Konsistensi Protokol dalam Penanganan Kanker Prostat dengan Eksternal Radiation Therapy pada RS.X Konsistensi protokol/urutan yang berlaku pada RS.X tidak berlaku secara kaku/rigid. Hal ini berarti penanganan kanker prostat untuk setiap orang dapat berbeda. Pada protokol yang ada, kelengkapan suatu persyaratan protokol seharusnya bersifat mutlak, tetapi kenyataan yang ada di lapangan membuktikan bahwa persyaratan tersebut dapat ditolerir sejauh pertimbangan dokter yang ada. Rencana awal penanganan yang diberikan dokter dapat berubah sewaktu-waktu (di-revisi). Hal ini dikarenakan dokter mempertimbangkan faktor/efek biologi pasien, baik perkembangan tumor maupun faktor resiko kesehatan pasien itu sendiri. 33 Secara umum konsistensi protokol tidak dapat diterapkan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain: 1. Data pendukung berupa USG, PA, dan CT Scan tidak harus terpenuhi semua agar diagnosa stadium/perilaku tumor dapat ditinjau dokter. Berdasarkan protokol yang ada, kesemua data pendukung tersebut haruslah dipenuhi agar dokter dapat secara tepat menyimpulkan stadium dan perkembangan tumor yang ada. Artinya, dengan salah satu data pendukung yang ada dan dengan keyakinan dokter (bersifat subyektif), maka diagnosa awal (stadium tumor dan maksimum dosis) dapat diambil serta tanpa harus menunggu kelengkapan data pendukung, penanganan dapat dijalankan. 2. Dalam proses penanganan, perencanaan awal (pemberian fraksi dosis serta dosis maksimum) dapat berubah dengan peninjauan dokter. Oleh karena itulah, pasien diharusnya berkonsultasi dengan dokter setiap 5 kali penanganan diberikan. Hal ini dimaksudkan agar dokter dapat mengecek kesesuaian penanganan yang sedang berjalan dengan perkembangan tumor yang ada, sehingga pengecekan ini bersifat situasional. Luas lapangan penyinaran-pun dapat berubah sesuai dengan pertimbangan dokter yang bekerjasama dengan fisika medis yang ada. 3. Tindak lanjut dari penanganan pada pasien yang telah menjalani proses penanganan keseluruhan sulit di-deteksi. Kondisi pasien yang telah selesai menjalani proses penanganan tidak dapat dipastikan, apakah 34 perkembangan tumornya membaik atau memburuk setelah 6 bulan (setelah penanganan). Walaupun pada protokol yang ada, pasien harus kontrol rutin minimal 6 bulan (setelah penanganan), tetapi kesadaran pasien sangat kurang dalam hal ini. Akibat kesadaran pasien yang kurang terhadap pentingnya kontrol rutin setelah penanganan, maka tindak lanjut terhadap pasien tidak dapat dilakukan sama sekali. 4. Berlanjut dari poin pembahasan no.3 diatas, tidak dapat ditentukan pula apakah pasien sudah meninggal atau belum setelah proses penanganan, dan apakah proses penanganan yang telah dijalani pasien tersebut mempengaruhi kematiannya atau tidak masih tidak dapat dideteksi. Idealnya revisi-revisi tidak harus dilakukan apabila konsistensi protokol terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan konsistensi protokol memberikan ketepatan input data secara keseluruhan dan menyeluruh. Dengan adanya ketepatan input data tersebut, proses penanganan dapat direncanakan secara tepat pula dengan sudah mencangkupi semua kemungkinan-kemungkinan yang ada saat pemberian penanganan berlangsung. Karena itulah secara ideal proses penanganan dapat dimonitoring secara baik dan kontinyu. 35 5.3 Analisis Fisis Terhadap Waktu Tunda Fraksinasi Pada contoh data 5 pasien dapat diketahui bahwa hanya 2 dari 5 pasien yang menjalani penanganan tanpa adanya waktu tunda. Tiga pasien mengalami waktu tunda, dengan jumlah waktu tunda yang berbeda untuk masing-masing. Waktu tunda ini terjadi akibat suatu alasan tertentu, baik dikarenakan sakit sehingga tidak dapat menjalani therapy maupun alasan yang lain. Perhitungan waktu untuk penanganan lanjutan sangat diperlukan dalam penanganan pasien kanker yang mengalami penundaan waktu (delay time) yang disebabkan karena alasan kesehatan, maupun kesengajaan tertentu. Proses perhitungan bertujuan untuk mengejar ketertinggalan dosis penanganan akibat waktu tunda yang terjadi, hal ini dikarenakan respon sel atau efek biologi akan mengalami perubahan akibat tunda yang ada, sehingga diperlukan perhitungan untuk menyesuaikan fraksi dosis sehingga total dosis pada penanganan tidak menyimpang dari perencanaan awal walaupun waktu tunda terjadi. perhitungan waktu ini meninjau aspek dosis dan proses recovery sel sehat dan sel kanker. Proses perhitungan pada RS. X diserahkan pada fisika medis dengan rujukan dokter terlebih dahulu. Secara urutan, dapat dijelaskan proses perhitungan merupakan kelanjutan dari konsultasi pasien ke dokter onkologi dan dilakukan di akhir masa penanganan. Dokter onkologi akan memeriksa kondisi pasien secara fisiologi, antara lain massa tumor yang masih dapat diperkirakan bertambah besar atau sudah berkurang dari awal sebelum penanganan berlangsung. Secara langsung, dokter tidak dapat 36 melakukan perhitungan dari hasil pengamatan fisiologi yang dilakukan karena tidak terlihat efek perubahan akibat waktu tunda yang terjadi, oleh karena itulah proses perhitungan diserahkan pada fisika medis. Pada RS.X metode perhitunganyang dipakai adalah metode TDF (Time Dose Factor). Perhitungan dengan metode ini tidak akurat dikarenakan perumusan pada TDF tidak terlalu peka terhadap waktu tunda yang terjadi. Konsep TDF ini berdasar pada Relative Biological Effect (RBE) pada respon sel kanker yang mengalami waktu tunda penanganan. Perumusan TDF ini adalah9: ⎛ T ⎞ Decay Time ( DT ) = ⎜ ⎟ ⎝T + R ⎠ 0.11 (2) Formula ini memperlihatkan algoritma yang meninjau rasio perbedaan pemberian fraksinasi (faktor dosis, tanpa memperhatikan efek waktu) antara komplikasi sel normal dengan sel kanker. Selanjutnya didapat: Tambahan Fraksi (TR) = TDF − ( DT x T1 ) (3) Dimana: T= Banyaknya fraksi yang telah diberikan sebelum terjadi tunda (hari) 9 Denekamp J, et al. Changes in the rate of repopulation during multifraction. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1973;46:381. 37 R= Lamanya waktu pasien tidak disinari / waktu tunda (hari) T1= Nilai ekivalen dari T (didapat dari tabel TDF) (hari) DT= Decay time (hari), menggambarkan nilai biologi akibat waktu tunda TDF (Total Dose Factor)= Ekivalen total jumlah fraksi perencanaan awal Keterangan: (didapat dari tabel TDF) Tabel TDF berupa tabel ekivalen antara besarnya dosis perfraksi dengan jumlah fraksinasi: Dose/Fractination Number of Fractination (cGy) 4 5 6 8 10 12 14 15 16 18 20 22 25 30 200 13 17 20 26 33 40 46 49 53 59 66 73 82 99 250 19 23 28 37 46 56 65 70 74 84 93 102 116 139 300 25 31 37 49 62 74 86 92 98 111 123 135 154 - 10 Tabel II. Tabel Ekivalen Dosis perfraksi dengan jumlah fraksinasi Artinya, apabila T (banyaknya yang diberikan sebelum tunda)=10, maka nilai ekivalen dari T pada perencanaan awal 20x200 cGy adalah 33, dengan nilai ekivalen TDF=66 (karena total fraksi 20 untuk 200 cGy tiap fraksinya). 10 Denekamp J, et al. Changes in the rate of repopulation during multifraction. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1973;46:381. 38 Metode ini memiliki keunggulan penerapannya yang mudah di lapangan, dikarenakan proses perhitungan ini hanya menambah jumlah fraksi pemberian dosis di akhir penanganan dan langsung melanjutkan proses penanganan tanpa merubah penanganan secara teknis. Sehingga, perumusan ini masih digunakan. Kelemahan metode ini sangatlah signifikan, hal ini dikarenakan tingkat akurasi yang rendah serta sifatnya yang terlalu umum walaupun kita telah ketahui bahwa pada masing-masing kanker mempunyai stadium, bentuk, serta karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga generalisasi rumus ini tidak berlaku. Metode TDF ini juga tidak secara spesifik memperhatikan aspek laju pertumbuhan (growth rate) sel normal dan sel kanker. Kelemahan lain dari metode ini karena metode ini tidak sensitif terhadap perubahan faktor waktu akibat tunda pasien, hal ini dapat dilihat dengan kasus pasien yang mengalami waktu tunda 2 minggu, dengan perumusan ini hanya didapat tambahan fraksi sebesar 1 kali. Hal tersebut sangatlah ganjil, karena dalam waktu yang cukup lama tersebut, sel kanker dan sel normal sudah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, sehingga akan mempengaruhi aspek penanganan keseluruhan, serta ketertingglan dosis tidak dapat terkejar dengan tambahan 1 kali fraksi karena respon sel normal dan sel kanker sudah sangat berbeda dengan perencanaan awal yang telah dibuat. Kesemua alasan diatas menyimpulkan bahwa metode ini, walaupun cukup praktis, tidak cocok untuk diterapkan pada proses penanganan pasien kanker. 39 Penyempunaan Metode ’’adjustment’’ Waktu Metode BED (Biological Effective Dose) Metode ini merupakan koreksi terhadap metode TDF secara teoritis. Dilapangannya, metode ini kerap mendapat kendala, hal inilah yang menyebabkan metode BED murni tidak dapat diterapkan dilapangan. Kendala yang utama adalah kemungkinan akan akselerasi penanganan penanganan untuk mengejar dosis yang tertunda saat pasien istirahat penanganan. Metode BED didapat berdasarkan tingkat surviving factor sel pada linear quadratic model. Pada model ini terdapat kemungkinan bahwa kerusakan yang terjadi bersifat linear dan kuadratik. Kerusakan ini terjadi pada skala rantai DNA. Kerusakan yang mungkin terjadi dapat bertipe A dan B, yaitu diilustrasikan dengan gambar dibawah ini. 11 Gambar5. Jenis kerusakan yang mungkin ditimbulkan akibat radiasi pada DNA 11 Edward L. Alpen. 1998. Radiation Biophysics. Academic Press. California, USA 40 Jika yang terjadi adalah tipe A, maka jumlah sel yang rusak setelah diberi dosis D adalah = α*D, dengan α adalah faktor linear perusakan sel. α bergantung pada beberapa faktor, antara lain jenis organ, kondisi sel, dll. Dari perumusan tersebut, maka peluang yang tetap hidup (Menggunakan Distribusi Poisson): P(0;m) = e −αD (4) Jika yang terjadi adalah tipe B, maka jumlah sel yang rusak setelah diberi dosis D adalah = β*D2, dengan β adalah faktor kuadratik perusakan sel. β juga bergantung pada beberapa faktor, antara lain jenis organ, kondisi sel, dll. Dari perumusan tersebut, maka peluang yang tetap hidup (Distribusi Poisson) adalah: P(0;m) = e − βD 2 (5) Dari kedua peluang tersebut, maka total peluang dari sel untuk tetap hidup adalah: Psurvival = e −αD - e − βD 2 (6) 12 Gambar6. Kurva Perbandingan Perusakan Sel Terhadap Dosis Linear Quadratic Model 12 Edward L. Alpen. 1998. Radiation Biophysics. Academic Press. California, USA 41 Pemodelan diatas memakai distribusi poisson yang didapat dari pendekatan perumusan dari hasil penelitian yang didapat sebelumnya. Pemodelan ini sudah cukup optimal dikarenakan sudah menggabungkan efek waktu dan dosis pada sel dalam menjelaskan teori fraksinasi. Kerusakan tipe A merupakan kerusakan yang dapat diperbaiki, sedangkan kerusakan tipe B merupakan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (kerusakan pada kedua rantai DNA). Perumusan Linear Quadratic Model ini merupakan pendekatan untuk memperkirakan tingkat kematian sel dengan meninjau aspek waktu selama penanganan berlangsung. Perumusan yang dipakai adalah: ⎛ ⎜ d BED = − nd ⎜1 + α ⎜ αβ ⎝ E ⎞ ⎟ log 2 ⎛⎜ T − Tk ⎟− α ⎜ T ⎟ ⎝ eff ⎠ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ (7) Dengan E adalah energi yang tidak bergantung pada respon sel, sehingga energi bersifat konstan untuk setiap keadaan selama penanganan berlangsung. Nilai Teff dan Tk merupakan parameter waktu sel spesifik yang sulit didapat, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan Tpot (Waktu penggandaan potensial pada rantai DNA) sebagai pengganti Teff karena nilai Teff selalu berubah pada setiap penanganan dijalankan dan nilai Tk diabaikan untuk kasus kanker yang 42 tidak spesifik. Sehingga perumusan BED untuk kasus penanganan dengan teknik EBRT dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut13: ⎡ BED = ⎢nd ⎢ ⎢⎣ ⎛ ⎜ d ⎜1 + α ⎜ β ⎝ ⎞⎤ ⎡ ⎟⎥ log 2 ⎛⎜ T ⎟⎥ − ⎢ ⎟⎥ ⎢⎣ α ⎜⎝ T p ⎠⎦ ⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦ (8) Dengan: n = Banyaknya jumlah fraksi d = Dosis per fraksi (Gy) α/β = Respon sel (untuk prostat didapat faktor sekitar 3 Gy) α = Faktor linear perusakan sel (prostat sekitar 0.3 Gy-1) T = Waktu total penanganan yang telah dijalankan akibat tunda (hari) Tp = Waktu penggandaan potensial (Potential doubling time), Pada kanker prostat, dari penelitian didapat Tp = 34 hari Perbandingan perhitunganwaktu fraksinasi berdasarkan metode TDF dan BED Dengan memakai kedua perumusan diatas, dan berdasarkan data yang didapat dari tiga pasien yang mengalami waktu tunda, maka perbandingan hasil perhitungan 13 Ashesh B Jani, Christopher M Hand, Charles A Pelizzari, John C Roeske, Lani Krauz, and Srinivasan Vijayakumar. Biological-effective versus conventional dose volume histograms correlated with late genitourinary and gastrointestinal toxicity after external beam radiotherapy for prostate cancer: a matched pair analysis. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2003 May 13. doi: 10.1186/1471-24073-16 43 waktu menghasilkan output berupa tambahan fraksi. Hasil penambahan fraksi pada perbandingan kedua metode berbeda, hal ini dapat dilihat dari adanya faktor waktu yang ditinjau dalam metode BED selain faktor dosis, sedangkan pada metode TDF faktor waktu tidak diperhatikan. Perbedaan hasil metode ini adalah14: Tambahan Pasien C Pasien D (Waktu tunda 2 hari) (Waktu tunda 3 hari) (Waktu tunda 3 hari) Fraksinasi metode TDF Tambahan Pasien A 0 0 0 0.0177 0.0266 0.0266 Fraksinasi metode BED Tabel III. Perbedaan Tambahan Fraksi hasil Adjusment dengan metode TDF dan BED Keterangan: Perhitungan dengan BED pada perhitungan diatas merupakan perhitungan umum (peninjaun tidak dilakukan secara spesifik). Nilai hasil BED diatas cukup menggambarkan sensitivitas yang signifikan. Tambahan fraksinasi untuk ketiga pasien didapat dengan menggunakan metode BED pada proses perhitungan waktu karena penundaan waktu penanganan. Pasien A memiliki tambahan fraksinasi yang lebih kecil dibandingkan dengan Pasien C dan D dikarenakan waktu tunda Pasien A lebih cepat. Perbandingan metode ini membuktikan bahwa BED lebih sensitif dibanding TDF. 14 Lihat Appendix 44