tanda tangan dokumen elektronik dalam perspektif

advertisement
TANDA TANGAN DOKUMEN
ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF PEMBUKTIAN
HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ELECTRONIC DOCUMENT SIGNATURE VERIFICATION IN
PERSPECTIFE CIVIL PROCEDURE IN INDONESIA
Yuris Wibowo Susanto, Sukarno Aburaera, Hasbir Paserangi
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
Alamat Korespondensi
Alamat Jl. Sultan Alauddin lorong 6 Nomor 19
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unhas
Nomor HP: 0852340400777
Kode Pos: 92654
Email: [email protected]
1
Abstrak
Tanda tangan elektronik (digital signature) dalam pembuktian hukum acara perdata belum diakui sebagai
bahagian dari nilai pembukitan suatu akta. Oleh karena itu perlu dianalisis dari hakikat tanda tangan digital
dalam rangka menemukan argumentasi hukum sehingga tanda tangan elektronik yang melekat dalam sertifikat
elektronik sejajar dengan bukti surat dalam hukum acara perdata. Dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif dari penelaahan peraturan perundang-undangan dan artikel di bidang transaksi elektronik serta
wawancara pada pihak yang kompeten.hasil penelitian menunjukan bahwa hakikat digital signature memilki
kesamaan dengan beberapa hakikat yang terdapat dalam tanda tangan konvensional. Kekuatan beban
pembuktian yang melekat dalam digital signature seingkat dengan Akta Bawah Tangan (ABT). Mekanisme
penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak jika terjadi wanprestasi dalam transaksi
elektronik yaitu menggunakan jalur nonlitigasi, jalur litigasi dan Online Dispute Resolution (ODR). Oleh
karena itu, kedepannya perlu harmonisaisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara perdata, Undang-undang Jabatan Notaris, dan Undang-undang Arbitrase/
alternative penyelesaian sengketa
Kata kunci: digital signature-pembuktian-sengketa
Abstract
Electronic signatures (digital signatures) in the proof of the law of civil procedure have not been recognized as a
portion of the value pembukitan a deed. Therefore needs to be analyzed from the nature of digital signatures in
order to find a legal argument that electronic signatures are electronic certificates attached in parallel with
documentary evidence in civil proceedings. By using qualitative research methods of the review of legislation
and articles in the field of electronic transactions as well as interviews with those who kompeten.hasil research
shows that digital signatures have the common nature with some nature contained in the signature
konvensional.Kekuatan burden of proof inherent in digital Deed in short signature with Hands Down (ABT).
dispute resolution mechanism that can be used by the parties in the event of default in the electronic transactions
using point-litigation, litigation path and Online dispute Resolution (ODR). Therefore, the future need
harmonisaisi Information and Electronic Transaction Law to the Draft Code of Civil Procedure, Notary Law,
and the Law Arbitration / alternative dispute resolution
Keywords: digital signature-verification-dispute
2
PENDAHULUAN
Globalisasi ditandai oleh perkembangan tekhnologi elektronik yang sangat pesat, telah
mempengaruhi hampir seluruh kehidupan dan kegiatan masyarakat. Menurut Toffler
(Barkatullah,2010) mengemukakan canggihnya tekhnologi modern dan terbukanya jaringan
informasi global yang transparan adalah gejala masyarakat gelombang ketiga, yang telah
ditandai dengan munculnya internet. Tekhnoogi internet mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap pengaruh dunia. Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru
yang lebih populer dengan istilah digitaleconomics. Keberadaannya ditandai dengan semakin
maraknya kegiatan perekonomian yang memanfaatkan internet sebagai media komunikasi,
kolaborasi dan kooperasi.
Bersamaan dengan itu transaksi yang terjadi, seperti jual beli barang yang dulunya
dapat diatur dalam sebuah kontrak jual beli, kemudian dikuatkan dengan sertifikat atau akta
otentik dalam perjanjian jual beli, seharusnya dilakukan dihadapan pejabat berwenang, dalam
hal ini Notaris. Namun peran Notaris sebagai pejabat yang berwenang dapat memberikan
kekuatan bukti yang sempurna dan mengikat terhadap peristiwa hukum jual beli.
Kini dalam transaksi yang terjadi melalui perdagangan elektronik semakin sulit
dihindari dalam kondisi negara yang sudah dapat saling menjalin hubungan antara masyarakat
yang berbeda kewarganegaraan.Permasalahan utama dengan lahirnya sertifikat digital dari
CA. adalah sertifikat tersebut seolah-olah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
sebagaimana layaknya dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Padahal
jika diperhatikan model atau bentuk dari perjanian tersebut yang dilakukan diantara pihak, isi
perjanjiannya tetap sama dengan isi perjanjian konvensional sebagaimana layaknya kontrak
yang biasa dibuat di hadapan Notaris. Namun tanda tangan yang dijadikan sebagai identitas
persetujuan dari para pihak tidak berbentuk tulisan manual atau goresan tangan. Melainkan
dalam bentuk nomor barcorde yang dijadikan sebagai kunci rahasia jika para pihak ini hendak
melakukan perjanjian dengan pelanggannya.
Meskipun kelihatan dalam UU ITE tidak lagi dilibatkan Notaris sebagai pejabat yang
berwenang untuk terlibat dalam pembuatan kontrak antara pihak yang melakukan transaksi
elektronik.
Namun jika diperhatikan dengan seksama, nyatanya pembuatan sertifikat
elektronik diberikan kewenangan pembuatannya kepada lembaga sertifikat keandalan (Pasal 1
angka 11). Atau lebih dikenal sebagai CertificationAuthority (CA).SertificationAuthority
adalah lembaga yang memfasilitasi para pihak dalam transaksi elektronik yang berfungsi
sebagai pihak ketiga yang terpercaya (Trusted Third party) yang membuat dan menerbitkan
sertifikat digital.
3
Dalam buku pedoman penyelenggaraan CA di Indonesia
(2007: 5) secara jelas
ditegaskan bahwa CA memiliki fungsi sebagai diantaranya: (1) Memfasilitasi transaksi
elektronik antara pihak pertama dan kedua melalui penerbitan sertifikat digital (SD) yang
berisi kunci publik dan konfirmasi terhadap identitas pemegang kunci publik atau pelanggan;
(2) Memberikan otentifikasi terhadap kunci publik para pihak yang melakukan transaksi
elektronik; (3) Memastikan identitas dan status subjek hukum penandatangan selama masa
berlakunya tanda tangan digital; (4) Melakukan verifikasi, pemeriksaan dan pembuktian
identitas pengguna dan pelanggan serta mensahkan pasangan kunci publik dengan identitas
pemiliknya. (5) Administratif mencakup registrasi, otentifikasi fisik, pembuatan dan
pengeloaan kunci, pengelolaan dan pembukaan SD; (6) Menyediakan directory tentang status
SD yang diterbitkannya; (7) Dapat dilengkapi dengan lembaga pelaksanaan registrasi yang
menjalankan fungsi administratif (8) Dapat mendelegasikan fungsi registrasi dan publikasi
kepada sebuah otoritas registrasi dan penyedia jasa repository (tempat untuk menyimpan dan
mengumumkan SD yang diakses oleh publik), tetapi tanggung jawab tetap berada pada CA.
(Sjahputra, 2010)
Tujuan utama dari pada tanda tangan adalah meletakkan kekuatan hukum pembuktian
yang sempurna sebagai akta. Dalam Pasal 1 Ordonansi 1867 No 29 juga mengatur bahwa
surat yang dibuat di bawah tanganpun mestinya ditandatangani sehingga dapat memenuhi
syarat sebagai surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti kelak di pengadilan.
Menurut (Harahap,2005), bahwa dengan bertitik tolak dalam praktik maupun HR,
terdapat berbagai bentuk hukum yang dibenarkan oleh hukum antara lain; (1) Menuliskan
nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil; (2) Tanda tangan dengan cara
menuliskan nama kecil saja dianggap cukup; (3) Ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak
dibenarkan dengan stempel huruf cetak; (4 Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si
penanda tangan dengan syarat orang yang mencantumkan kopi itu, berwenang untuk itu
dalam hal ini orang itu sendiri, atauorang yang mendapat kuasa atau mandat dari pemilik
tanda tangan; (5)Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Dari semua bentuk tanda tangan yang disebutkan oleh Yahya Harahap di atas satupun
tidak ditegaskan tentang tanda tangan digital sebagai tanda tangan yang dibenarkan oleh
hukum. Padahal jika dicermati sifat dari pada tanda tangan digital yang menggunakan nomor
Barkode sehingga antara kunci privat hanya cocok dengan kunci privat pihak lain, yang telah
diverifikasi lebih awal oleh lembaga CA sudah terjamin kerahasiannya. Dalam hal ini Sebuah
tanda tangan elektronik akan menjadi alat bukti yang sempurna jika ia memenuhi beberapa
syarat, yaitu: (1) Reliable atau dapat dipertanggung jawabkan oleh si pembuat tanda tangan.;
4
(2) Autenticity atau otentik. Hal ini terkait dengan identitas si pembuat, kewenangan,
kedudukan hukum dan data usernya. (3) Integrity yaitu terkait dengan keutuhan data yang
dikirimkan; (4) Tidak dapat disangkal. Untuk itu si pembuat tanda tangan harus memastikan
bahwa tanda tangan tersebut miliknya;(4) Bersifat rahasia (confidencial).
Menurut Ramli A dkk. (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya, tanda tangan
digital menggunakan teknik kriptografi kunci publik, kunci simetrik dan sebuah fungsi hash
satu arah. Patut dicatat bahwa tanda tangan digital bukanlah tanda tangan dari seseorang yang
di-scan atau dimasukkan ke komputer menggunakan stylus atau mouse, tapi merupakan
kumpulan dari kalkulasi-kalkulasi matematis untuk menyandikan data, yakni dengan
kriptografi. Terminologi lain untuk digital signature adalah ‘digitally ensured document’.
Agar maknanya tidak rancu. Digital signature dapat diibaratkan sebagai dokumen yang sudah
‘dikunci’ dan tidak bisa dimanipulasi isinya.“
Tanda tangan digital menggunakan kunci yang sama dalam melakukan enkripsi dan
dekripsi terhadap suatu pesan (message), di sini pengirim dan penerima menggunakan kunci
yang sama sehingga mereka harus menjaga kerahasian (secret) terhadap kunci tersebut. Salah
satu algoritma yang terkenal dalam kriptografi simetris ini adalah Data Encryption standard
(DES).Public key crypthography, atau dikenal juga sebagai kriptografi simetris, menggunakan
dua kunci (key): satu kunci digunakan untuk melakukan enkripsi terhadap suatu pesan
(messages) dan kunci yang lain digunakan untuk melakukan dekripsi terhadap pesan tersebut.
Kedua kunci tersebut mempunyai hubungan secara matematis sehingga suatu pesan yang
dienkripsi dengan suatu kunci hanya dapat didekripsi dengan kunci pasangannya. (M.
Ramli,dkk,2007)
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dari penelitian ini: Pertama untuk mengetahui
hakikat digital signature sehingga dapat disamakan tujuan hukumnya dengan tanda tangan
konvensional. Kedua untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat
digunakan oleh para pihak jika terjadi wanprestasi dalam transaksi elektronik.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian dan Desaian Penelitian
Penelitian ini diadakan di Kota Makassar di kantor Notaris, Pengadilan Negeri
Makassar dan beberapa Perguruan Tinggi di Makassar. Lokasi tersebut sengaja dipilih untuk
mencari bahan yang terkait dengan masalah yang terjadi dalam transaksi elektronik. Desain
penellitian menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan normatif dan pendekatan empirik
5
Populasi dan Sampel
Diantara semua populasi yang ada diambil sampel masing-masing dua orang hakim
pengadilan negeri Makassar, tiga orang notaris, dan tiga orang dosen dari perguruan tinggi
Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library
Research), di mana peneliti melakukan penelusuran peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hukum acara perdata khususnya tanda tangan elektronik, beberapa
literature yang membahas tanda tangan elektronik, karya-karya ilmiah, dan sebagainya yang
ada kaitannya langsung dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Juga dilakukan
melalui wawancara (Interview), yaitu dengan bertanya langsung kepada responden, dalam hal
ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian ini.
Analisis Data
Data yang diperoleh melalui penelahan bahan pustaka dan data dari hasil wawancara
dilapangan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kalimat yang cermat,
runtun dan teratur.
HASIL PENELITIAN
Hakikat Digital Signature
Syarat penandatanganan ditegaskan dalam Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
yang menegaskan “ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah
tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka.” Pentingnya tanda
tangan adalah sebagai syarat yang mutlak, agar tulisan yang hendak dijadikan surat itu
ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya.
Suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan
terang, tetapi tidak ditandatangani ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna
sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.
Tanda tangan sebagai identitas diri juga menjadi simbol sekaligus semiotik “hukum”
bahwa diantara para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada norma-noma
imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu jika diringkaskan dalam teori hukum, hakikat
tada tangan dalam kaitannya dengan tujuan hukum adalah sarana membangun kepastian untuk
menjadi pedoman dalam melahirkan peristiwa-peristiwa hukum seperti jual beli,
sewamenyewa, tukar menukar, dan perjanjian utang piutang lainnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan hakikat dari pada tanda tangan digital
6
diantaranya: Pertama, sebagai alat bukti identifikasi para pihak: dari mekanisme atau tata
kerja lahirnya tanda tangan digital melalui proses enkripsi dengan tekhnik kriptografi. Maka
lahirlah kunci privat dari salah satu pihak sehingga dapat membuka kunci publik milik
pelanggan dari salah satu pihak yang hendak melakukan perjanjian tersebut.
Kedua, memenuhi syarat formalitas: dilibatkannya lembaga Certification Authority
sebagai lembaga yang dipercaya untuk menjamin kerahasiaan digital signature, meskipun
negara kita belum memilki lembaga yang berada di bawah naungan pemerintah untuk
menerbitkan sertifikat digital.
Ketiga, sebagaitanda persetujuan: sifat yang ada dalam tanda tangan digital sebagai
kunci untuk membuka kontrak yang telah dienkripsi pula maka pada saat pihak yang memilki
kunci privat mencocokan kunci publik milik pelaku usaha misalnya, maka pada saat pihak
yang memiliki kunci publik itu mengetahui penawaran pelanggannya, maka saat itu juga
merupakan tanda persetujuan atas peristiwa hukum yang akan terjadi dari kedua pihak.
Keempat, sebagai syaratefisiensi:setelah pelanggan menyatakan persetujuannya
dengan membuka atau melakukan dekripsi atas kontrak yang telah dienkripsi, dan membaca
segala ketentuan yang harus diikuti terhadap pelaku usaha, maka kedua pihak secara tegas
menyepakati tunduk pada ketentuan yang ada dalam kontrak yang telah dienkripsi itu.
Sertifikat digital yang kemudian melahirkan dokumen/ surat elektronik hanyalah dapat
digolongkan dalam Akta Bawah Tangan (ABT). Meskipun hal itu sertifikat digital dengan
prinsip kerjanya yang terjamin rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan
transaksi elektronik. Tapi salah satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam
sertifikat digital. Sifat yang melekat dalam AO adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang.
Sementara pada sertifikat digital meskipun pembuatan sertifikat digital dibawah
lembaga CA, namun lembaga tersebut tidak melakukan cross-cek sebagaimana lazimnya
Notaris yang dapat mengidentifikasi peristiwa hukum yang lahir diantara para pihak tersebut.
Lembaga CA hanya bertugas sebagai badan hukum yang menyediakan layanan keamanan
yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara
elektronik yang memenuhi empat aspek kemanan yaitu: privacy, authentication, integrity dan
non repudation.
Oleh karena dokumen elektronik memiliki daya kekuatan pembuktian setingkat dengan
ABT. Maka digital signature dalam surat elektronik juga memilki kekuatan pembuktian.
Dianggap benar apa yang tercantum dalam surat elektronik tersebut, daya kekuatan
pembuktiannya adalah berdasarkan kebenaran identitas penanda tangan dan kebenaran
7
identitas orang yeng memberi tanda tangan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan
dekripsi kembali terhadap kunci publik dan kunci privat dari digital signature maka akan
terbaca siapa saja yang bertanda tangan. Namun sifatnya tanda tangan tersebut tidak memilki
daya pembuktian keluar (mutlak benar) jika salah satu pihak mengingkari tanda tangannnya.
Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Elektronik
Alternatife Dispute Resolution
Penyelesaian melalui nonlitigasi atau diluar pengadilan dapat ditempuh dengan
melalui beberapa jalur diantaranya: Pertama, Konsultasi; Konsultasi merupakan suatu
tindakan yang bersifat antara satu pihak tertentu yang disebut klien dengan pihak lain yang
disebut konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klein tersebut untuk memenuhi
keperluannya. Klien tidak terikat atau berkewajiban untuk memenuhi pendapat pihak
konsultan. Dengan jalur ini maka dimungkinkan antara pelaku usaha dan pelanggan/
konsumen yang sedang berkonflik dalam perkara elektronik. Satu pihak memilih konsultan
untuk melakukan perundingan kepada pihak lawan agar masalah tersebut dapat diselesaikan
setelah dirundingkan di meja perundingan.
Kedua, negosiasi: Negosiasi pada umumnya digunakan untuk suatu pembicaraan
dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan antara para peserta tentang hal yang dirundingkan.
Ketiga, mediasiadalah proses pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak
(impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter,
mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutus sengketa antara para pihak. Namun
dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka
menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka.
Keempat, konsiliasi: Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai
pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara para pihak sehingga dapat ditemukan
solusi oleh para pihak itu sendiri. Dengan demikin konsiliator hanya melakukan tindakantindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek
pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak
mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu secara langsung.
Kelima, arbitrase: Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999 dikenal dua bentuk cara
menyelesaian perkara melalui arbitrase. Yaitu dengan melalui pactum de compromitendo
danakta kompromis.Dalam pactum compromitendo para pihak mengikat kesepakatan akan
menyelesaiakan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata.
Bentuk clausula pactum compromitendo diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999
8
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut menegaskan bahwa
para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam Pasal II ayat 1 Konvensi New York juga diatur mengenai klausula pactum
compromettindo yakni “each contracting state shall recognize an agrement in writing under
which the parties undertake to submit to arbitration all or any diffrence which have arisen or
which may arise between them in respect of a defined legal relationship whether contractual
or not, concerning asubject matter capable of settlement by arbitration.
Melalui Jalur Pengadilan
Berdasarkan praktik penyelesaian perkara-perkara perdata yang diselesaikan melalui
pengadilan umum. Maka sengketa dalam transaksi elektronik tentunya tidak terlepas dari
segala asas yang berlaku dalam hukum acara perdata dijadikan pedoman oleh hakim yang
mengadili sengketa terkait dengan masalah gugatan karena wanprestasi.
Secera sistematis penyelesaian sengeketa transaksi elektronik dapat mengikuti
ketentuan hukum acara di pengadilan melalui: pengajuan gugatan; pengajuan jawaban; replik;
duplik; konklusi; pembuktian; pembacan putusan oleh hakim pengadilan; pelaksanaan
eksekusi putusan.
Terlepas dari mekanisme hukum acara perdata, walaupun para pihak telah melalui
jalur mediasi atau ADR lainnya sebelum memasukkan gugatannya di pengadilan. Tetap bagi
hakim harus mengajukan upaya perdamaian para pihak sebelum pihak yang digugat
mengajukan jawaban. Oleh karena dalam hukum acara perdata juga telah menjadi sebuah
kewajiban untuk diajukan perdamaian bagi pihak yang berperkara, hal ini berdasarkan pada
PERMA No 2 Tahun 2003.
Online Dispute Resolution
Sebagaimana halnya yang berlaku dalam penyelesaian melalui jalur nonlitigasi yang
tradisional dalam penyelesaian sengketa secara online juga dikenal beberapa metode
penyelesaian diantaranya: Pertama: negosiasi online. Negosiasi online menawarkan
keuntungan berupa kesederhanaan. Tidak ada yang diwajibkan antara para pihak kecuali
itikad baik dan koneksi internet. Tidak adanya suatu kebutuhan untuk melakukan perjalanan
untuk beratatap muka, dan tidak perlu menentukan tempat untuk melakukan pertemuan secara
khusus. Hal ini disebabkan negosiaisi online tidak membutuhkan pertemuan secara langsung.
Ia hanya menggunakan dalam membuat permintaan atau penawaran. Proses yang sederhana
juga membuat penghematan biaya yang tidak sedikit. Hal ini terjadi karena dalam negosiasi
online para pihak tidak harus terkoneksi ada internet pada saat yang bersamaan.
9
Kedua. mediasi online. Perbedaan mediasi online dengan mediasi tatap muka (face to
face) dilakukan melalui internet dengan menggunkan sarana komunikasi elektronik. Mediasi
online secara global menggambarkan dunia offline dalam susunan strategi, gaya dan layanan
yang diberikan, meskipun hanya satu provider online yang secara jelas menggambarkan
standar yang diakui yang dirancang untuk mediasi offline. Institusi ini adalah online
resolution dengan menggunkan standar yang ditetapkan praktik mediasi oleh American Bar
Associatin (ABA) Society Of Professionals In Dispute Resolution (SPIDR). Sebagian besar
dari provider mediasi online merupakan medasi fasilitaif dibandingkan dengan mediasi online
evaluatif.
Ketiga, arbitrase online. Sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik terutama
untuk perkara yang terjadi dalam negeri. Dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Karena sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik merupakan sengketa di bidang
perniagaan dan bisnis yang memang ditegaskan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999. Pasal 1
UU Nomor 30 Tahun 1999 menegaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Adanya kesepkatan tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa
yang akan ataupun yang sudah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di
luar pengadilan umum untuk mendapatkan putusan. Dengan adanya kesepakatan tertulis
tersebut, berarti para pihak melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan.
Dengan demikian unsur yang termaktub dalam penyelesaian melalui forum arbitrase meliputi:
(1) Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak
pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya; (2) Putusan yang dihasilkan oleh arbitrase
merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding) para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999 dikenal dua bentuk cara menyelesaian perkara
melalui arbitrase. Yaitu dengan melalui pactum de compromitendo dan akta kompromis.
Dalam pactum compromitendo para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaiakan
perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata. Bentuk clausula
pactum compromitendo diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut menegaskan bahwa “para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan
10
melalui arbitrase.”
Dalam Pasal II ayat 1 Konvensi New York juga diatur mengenai klausula pactum
compromettindo yakni “each contracting state shall recognize an agrement in writing under
which the parties undertake to submit to arbitration all or any diffrence which have arisen or
which may arise between them in respect of a defined legal relationship whether contractual
or not, concerning asubject matter capable of settlement by arbitration. Maksud pasal
tersebut menunjukan bahwa klausula pactum compromittendo dapat diselesaikan melalui dua
cara yaitu; (1) dengan mencantumkan klusula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian
pokok; (2) klausula pactum compromettindo dibuat terpisah dalam akta tersendiri
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukan bahwa dalam hukum acara perdata di Indonesia, kekuatan
pembuktian yang melekat pada dokumen elektronik adalah disamakan dengan surat bawah
tangan, sehingga jika terdapat sengketa dikemudian hari atau dalam hal ini wanprestasi, maka
dapat diselesaikan dengan dua jalur, yaitu litigasi (penelesaian sengketa melalui pengadilan)
dan non litigasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan).
Imam Sjahputra pada tahun 2010 telah melakukan penelitian yang berfokus pada
perspektif ilmu hukum konsep-konsep regulasi yang dapat diterapkan di Indonesia untuk
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi perniagaan elektronik dan
menemukan dari perspektif tekhnologi informasi guna memberikan perlindungan yang efektif
kepada konsumen dalam transaksi perniagaan elektronik. Sedangkan yang dibahas oleh
penulis dalam penelitian ini adalah mengintegrasikan dokumen elektronik dalam pembuktian
hukum acara perdata. Namun sebelum itu, substansi yang perlu dikaji dari dokumen
elektronik yakni kekuatan tanda tangan yang melekat dalam dokumen elektronik yang disebut
sebagai digital signature.
Dengan menyandingkan kekuatan tanda tangan yang melekat dalam akta di bawah
tangan berdasarkan Pasal 1875 KUH Perdata dengan tanda tangan dalam akta/ surat
elektronik Tampaknya jika dalil ini hendak digunakan dalam tanda tangan digital, tanda
tangan digital sulit untuk diingkari oleh para pihak, karena ada kunci privat yang bisa
mengenksripsi kunci publik dari tanda tangan yang mengalami proses “pengkodean”. Dalam
pembuktiannya di pengadilan menggunakan Ahli IT maka tanda tangan digital untuk
mengidentifikasinya tidak sesulit mengidentifikasi tanda tangan manual yang memerlukan
ahli sidik jari (dactylascopy) ataukah ahli forensik tanda tangan.
(Nurita, 2012) juga mengkaji dalam disetasinya CyberNotaris mengkaji bahwa tanda
11
tangan digital memiliki keotentikan, karena tidak bisa/ sulit ditulis atau ditiru oleh orang lain.
Pesan dan tanda tangan pesan tersebut juga dapat menjadi barang bukti, sehingga
penandatangan tak bisa menyangkal bahwa dulu ia tidak pernah menandatanganinya.
Otentisitas sangat diperlukan dalam berkomunikasi di internet, harus dipastikan bahwa
memang benar si A yang telah mengirimkan suatu informasi elektronik, bukan si B yang
mengaku menjadi si A. Hal ini menjadi penting, sebab pertanggungjawaban suatu subjek
hukum tergantung pada kejelasan identitasnya.
Kebutuhan akan otentisitas ini dapat tercapai dengan menggunakan sertifikat digital.
Hanya sah untuk dokumen atau pesan itu saja atau salinannya yang sama persis. Tanda tangan
itu tidak bisa dipidahkan ke dokumen lainya, meskipun dokumen lain itu hanya berbeda
sedikit. Ini juga berarti bahwa jika dokumen itu diubah, maka tanda tangan digital dari pesan
tersebut tidak lagi sah. Dapat diperiksa dengan mudah, termasuk oleh pihak-pihak yang belum
pernah bertatap muka langsung dengan penadatangan.
Hanya saja, bagaimanapun tanda tangan digital tidak dapat disetarakan sifat atau
kekuatan hukumnya sebagaimana tanda tangan yang terdapat dalam akta otentik, oleh karena
tanda tangan digital bukan dibubuhkan atau dienkripsi dengan disaksikan oleh pihak yang
ditunjuk, sejak awal sebagai pejabat yang akan melahirkan bukti otentik. Berbeda halnya
dengan akta otentik dimaksudkan sebagai alat bukti ketika terjadi konflik kepentingan di
kemudian hari. Sedangkan tanda tangan digital yang dijadikan sebagai pengunci untuk
membuka sertifikat digital, tidaklah pernah dimaksudkan untuk menjadi bukti otentik sejak
awal.
Argumentasi hukum sebagai dasar sehingga surat elektronik dapat dijadikan sebagai
alat bukti dalam persidangan adalah berdasarkan Pasal 5 UU ITE. Terutama pada Pasal 5
ayat 2 yang menegaskan “informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/ atau hasil
cetaknya sebagaimana mana dimaksud pada ayat 1 adalah alat bukti hukum yang sah sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.”Artinya, dengan ketentuan pasal tersebut
tidak ada alasan untuk mengingkari surat elektronik, termasuk digital signature yang melekat
di dalam surat elektronik adalah bukti yang sah dan dapat dipergunakan dalam hukum acara
di pengadilan.
Hal ini akan lebih jelas, jika berpedoman pada pendapat yang dikemukana oleh Paton
(Sasangka, 2005) yang secara tegas membagi alat bukti dalam tiga bagian. Pendapat tersebut
direduksi dari Surat Ketua Mahkamh Agung RI Kepada Menteri Kehakiman Ri Nomor 37/
TU/88/102? Pid/ 1988, maka alat bukti dapat berupa: (a) Oral merupakan kata-kata yang
diucapkan dalam persidangan yang meliputi keterangan saksi; (b) Documentary meliputi
12
surat; (c) Demonstrative Evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang fisik
lainnya misalnya film, foto dan lain-lain.
Dibalik itu semua, tidaklah berdasar untuk menjadikan sertifikat digital ke depannya
agar dapat berfungsi sebagai alat bukti kelak di persidangan. Khususnya dalam kasus Hukum
Acara Perdata. Oleh karena UU ITE sudah mengatur juga keberadaan institusi CA yang
membuat sertifikat digital, sehingga data atau dokumen elektronik ataupun hasil cetaknya
menurut ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU ITE dapat menjadi alat bukti hukum yang sah.
Seirama dengan undang-undang yang terlebih dahulu berlaku yaitu Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyisipkan dalam Pasal 36
ayat 1 mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan
Mahkamah Konstitusi adalah surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak,
petunjuk, alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik yang serupa dengan itu. Dengan demikian secara
hukum sudah diakui adanya bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara
di Indonesia.
Selain itu kekurangan yang terdapat dalam dokumen elektronik yang kekuatan beban
buktinya hanya berada dalam nilai pembuktian formil dan materil ke depannya masih
menyulitkan bagi lembaga peradilan untuk menjadikan dokumen elektronik sebagai alat bukti
yang sah. Padahal jika hukum hendak menyesuaikan dengan kondisi dan perubahan social
sudah selayaknya pula Notaris dilibatkan dalam penerbitan surat yang terjadi karena transaksi
melalui proses elektronik.
Jika hal itu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan pembuktian, terutama dalam
rancangan kitab undang-undang Hukum Acara perdata ke depannya maka penyelesaian
melalui jalur nonlitigasi maupun litigasi/ pengadilan sudah dapat terjamin kepastian hukum
bagi para pihak yang telah melakukan perjanjian dengan menggunakan sarana elektronik.
Untuk perkara yang nilai objek perkaranya rendah dalam transaksi elektronik dengan
menggunakan Online Dispute Resolution (ODR) lebih efesien, karena tidak menuntut seorang
yang ingin menuntut haknya harus ketemua jika melintasi batas Negara. Oleh sebab itu
penggunaan ODS semakin menuntut negara ini melakukan pambaharauan hukum di bidang
transaksi elektronik. Terutama penyesuaian UU ITE dengan Undang-undang lainnya seperti
Undang-undang Jabatan Notaris, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Agar
kehendak para pihak atau pelaku bisnis untuk menyelesaian sengketa secara onlinekelak
tidak mengalami kekosongan hukum.
13
KESIMPULAN DAN SARAN
Hakikat digital signatureadalah sebagai alat bukti identifikasi para pihak, sebagai
syarat formalitas, sebagai tanda persetujuan, mengefisiensikan maksud dari para pihak dalam
sebuah perikatan yang terjadi melalui transaksi elektronik.Kekuatan beban pembuktian yang
melekat dalam digital signature ditinjau dari pembuktian hukum acara perdata memilki
kekuatan beban bukti setingkat dengan Akta Bawah Tangan (ABT), oleh karena itu kekuatan
beban bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat elektronik hanya kekuatan
pembuktian formil dan pembuktian materil.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak jika terjadi
wanprestasi dalam transaksi elektronik yaitu dapat diselesaikan dengan menggunakan jalur
nonlitigasi dan jalur litigasi. Namun perkembangan media online terutama transaksi
elektronik, khusus untuk perkara kecil yang tidak banyak jumlah nilai objek perkaranya lebih
efesien kiranya jika diselesaikan melalui Online Dispute Resolution (ODR).
Dalam rangka meningkatkan kekuatan pembuktian surat elektronik menjadi akta
otentik, maka seyogiayanya dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penerbitan akta otentik. Ke depannya sudah dilibatkan Notaris bersama dengan lembaga
Certification Authority (CA) dalam setiap penerbitan akta elektronik. Agar hak-hak setiap
orang yang melakukan transaksi elektronik terjamin kepastian hukumnyaRancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara yang saat ini sudah berada dalam Prolegnas, selayaknya surat
elektronik dimasukkan sebagai salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam setiap
pembuktian hukum acara perdata.Selain perlu pembenahan terhadap undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase sebagai harmonisasi UU ITE terkait dengan
penyelesaian sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik, mestinya juga negara berperan
dalam Online Dispute Resolution (ODR) adalah dengan mendidik dan mendorong
perkembangan swasta. Negara tidak perlu terlibat dalam pedoman pembuatan ODR, namun
harus mendidik konsumen dan pelaku usaha tentang keuntungan ODR dan penggabungannya
dalam transaksi online.
14
DAFTAR PUSTAKA:
Anshoruddin. (2004). Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barkatullah, Abdul Halim.(2005).Bisnis E-commerce Studi Sistem Keamanan Dan Hukum Di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Fuady,Munir. (2012). Teori Hukum Pembuktian. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, Andi. (1986). Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, Yahya. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
M. Ramli,Ahmad,Dkk.(2007). Menuju Kepastian Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Nurita,Emma. (2012). Cyber Notary. Bandung. Refika Aditama.
Sasangka,Hari. (2005). Hukum pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung: Mandar maju.
Sitompul, Asri. (2004). Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di
Cyberspace). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sjahputra,Imam.(2010).Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, Bandung:
Alumni.
Sudikno, Mertokusumo.(1999), Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta: Liberty,
Sunaso,Siswanto. (2009). Hukum Informasi dan Transaksi Ealktronik. Jakarta: Rineka Cipta.
15
Download