HAM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masalah Hak Asasi Manusia1 (HAM) belakangan ini kembali menjadi isu penting
bagi masyarakat dunia. Kasus pelanggaran HAM terus menjadi sorotan di dunia
internasional, terutama pasca terjadi gelombang perubahan di kawasan Eropa
Timur pada tahun 1980-an. Perubahan ini berawal dari Uni Soviet ketika
kebijakan Glasnost dan Perestroika digulirkan oleh Mikhael Gorbachev.2
Gerakan perubahan tersebut adalah gelombang proses demokratisasi yang
meruntuhkan rezim otoritarian-komunis di Uni Soviet dan merambah ke negaranegara Eropa Timur lainnya.3 Dinamika global ini menyebabkan isu perang
dingin (Cold War)4 memasuki garis finish dalam menerapkan sphere of influence
di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Praktis menghapuskan struktur bipolar
yang mendominasi politik global lebih dari setengah abad.5
Usainya gema Cold War pada 1980-an, menyebabkan isu HAM menjadi
perdebatan hangat dalam politik global6, di samping demokrasi dan masalah
Istilah HAM merujuk pada Black’s Law Dictionary, diartikan sebagai kebebasan, kekebalan,
serta keuntungan-keuntungan yang mana menurut nilai-nilai modern memungkinkan semua umat
manusia untuk mengakuinya sebagai hak dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Lihat pula,
penafsiran Lembaga PBB bahwa Human Right could generaly be defined as those rights which are
inherent in our nature and without which we cannot live as human being.
2
Chusnul Mar’iyah. Indonesia-Australia Tantangan dan Kesempatan Dalam Hubungan Politik
Bilateral. Pengantar: Rahmatika Creative Desaign. 2005. pg. vii.
3
Ahmad Zubaidi. Disertasi, Filsafat Politk John Locke dan Relevansinya dengan HAM di
Indonesia. Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2015. pg. 1.
4
Istilah Cold War diperkenalkan oleh jurnalis asal AS H. B. Swape dan dipopulerkan Walter
Lippman untuk menyebut situasi ‘tidak ada peperangan maupun perdamaian’ antara AS dan Uni
Soviet. Cold War menyebabkan polarisasi politik internasional ke dalam kutub demkorasi a la AS
dan sosialis gaya Uni Soviet. Perseteruan keduanya melahirkan; (a) Pakta Warsawa mewakili Uni
Soviet dan AS di back-up oleh NATO, (b) persaingan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, (c)
memanfaat negara-negara yang mewakili kedua kubu untuk berperang (Proxy War) seperti perang
Korea, Afganistan menjadi contoh rivalitas kedua super power. Lihat Ashari, Khasan. Kamus
Hubungan Internasional, Penerbit Nuansa Cendekia. 2015. pg. 104.
5
Bandoro, Bantarto. Masalah-Masalah Keamanan Internasional. Kertas Kerja. Disampaikan Pada
Seminar Nasional dan Lokakarya Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM. 2003. Pdf. Diakses pada, 12 November 2015.
6
Jemadu, Aleksius. Politik Global Dalam Teori dan Praktik. Edisi kedua. Penerbit, Graha Ilmu,
Yogyakarta. 2014. pg. 211.
1
1
lingkungan hidup.7 Maraknya pelanggaran HAM di dunia dan dalam jumlah kasus
yang semakin meningkat, mendorong aktor-aktor internasional memberikan
perhatian ekstra serius terhadap faktor-faktor yang penyebab pelanggaran HAM
serta menawarkan cara untuk mengatasinya.8
Dalam konteks yang lebih luas, HAM yang dikategorikan sebagai isu
lunak (soft issue/low politics) bila dikomparasikan dengan isu politik dan militer
yang digolongkan isu-isu keras (hard issue/high politics) di antara nations-states.
Ini bersingguhan dengan dunia yang tidak hanya didominasi perspektif realisme,
tetapi terpola dalam perspektif saling membutuhkan (interdependence a la
liberalism perspective) yang menjadi interconnected di antara nations-state dan
dicirikan bersifat lintas-batas, saling mempengaruhi dan salingketerkaitan.
Pada kurun waktu itu pula, isu ideologi lebih menonjol dibandingkan isu
negara-negara jajahan, yang ingin menentukan haknya sendiri (the right to selfdetermination9). Sebagaimana berkaitan dengan principle menentukan nasib
sendiri merupakan salah satu dari empat tujuan dibentuknya Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Hak menentukan nasib sendiri, dinyatakan sebagai hak-hak asasi
dalam kedua konvenan internasional yakni Hak-hak sipil dan Politik (Covenant on
Civil an Political Rights/CCPR) dan; hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
(Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/CSCR).10
Mengambil momentun spesial keberhasilan Referendum kemerdekaan11
PBB, 30 Agustus 199912, di mana República Democrática de Timor-Leste, nama
dalam Bahasa Portugal yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi
Republik Demokratik Timor-Leste, ini adalah nama resmi dari negara Timor7
Lihat<http://dokumen.tips/documents/tugas-ham-1doc.html> diakses pada, 20 Januari 2016.
Jemadu, Aleksius. pg. 211.
9
Dalam Piagam PBB mencantumkan dua arti self determination. (a) diartikan sebagai hak suatu
negara untuk memilih secara bebas, sistem politik, ekonomi, dan budaya yang dianutnya. (b)
berarti sekelompok orang untuk menyatakan sebagai bagian dari suatu negara atau menentukan
secara bebas, bentuk hubungan dengan negara lain. K. Ashari, pp.394. Lihat ICCPR Pasal 1
menyatakan, “All people have the right of Self-determination. By virtue of that right they
determine their political status and freely pursue their economic, sosial and cultural right.”.
10
Lihat Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. pg. 127.
11
Lihat <https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum_kemerdekaan_Timor_Leste_1999, Diakses
pada 10 Desember 2015. Lihat pula https://id-id.facebook.com/notes/unofficial-kopassus/>
Diakses pada 10 Desember 2015.
12
Pat Walsh. Di Tempat Kejadian Perkara. PT Gramedia Jakarta. 2012. pg. 18.
8
2
Leste (TL).13 RDTL meraih kembali kodratnya sebagai negara merdeka, pasca 24
tahun di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia, dan empat setengah abad dijajah
bangsa Português. Kewajiban untuk memenuhi syarat sebagai negara demokrasi
adalah dengan memberi penghargaan dan perlindungan terhadap HAM. 14 Hal itu
memungkinkan Timor-Leste bersandar pada sistem demokrasi. Jika tanpa dikawal
lembaga HAM, al hasil negara hanya bersifat prosedural dan formalitas.
Jadi, untuk merumusnya, maka pasca restorasi kemerdekaan pada, 20 Mei
200215, di bawah transisi PBB/UNAMET (United Nations Assistance Mission for
East Timor)16 dan untuk melengkapi (complementary) sistem ketata-negaraan dan
penghormatan HAM secara yuridis formal, Parlamen Nasional (PN) mengesahkan
pasal 27 dalam Konstitusi RDTL. Kemudian deskripsinya dipertegas dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 7/200417, (UU No. 7/2004), cikal bakal lahirnya
Institusi Provedoria dos Direitos Humanos e Justiça/Ombusdman untuk Hak
Asasi Manusia dan Keadilan (PDHJ).
Lebih jauh, berpredikat sebagai organ independen, PDHJ memiliki
formulasi penting untuk penegakkan HAM berdasarkan prinsip negara hukum
(the of law principle). Kehadiran PDHJ sebagai institusi law enforcement yang
diberi label untuk menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam wujud
penghormatan (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan
memenuhi (obligation to fullfil), individu, di sisi lain diterjemahkan oleh
kewajiban untuk tidak menggangu HAM individu yang lain.18
Kerangka acuan independen kelembagaan diuberkan dalam UU No.
7/2004, PDHJ berlandaskan pada Pasal 27 Konstitusi RDTL menekankan bahwa:
13
http://internasional.kompas.com/read/2016/12/17/16534521/14.tahun.merdeka.dari.indonesia.bag
aimana.kondisi.timor.leste.kini Diakses pada, 17 Desember 2016.
14
Setiardja, A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. 1993. pg. 94.
15
Lihat <https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Konstitusional_Pertama> Diakses; pada
tanggal, 12 Desember 2015>.
16
Lihat <http://www.organisasi.org/1970/01/arti-unamet> Diakses pada, 14 Desember 2015>.
17
Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste. 2002. pg. 30.
18
Soetjipto W, Ani (ed). HAM dan Politik Internasional: Sebuah Pengantar. Penerbut Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 2015. pg. 182. Lihat pula <http://webcache.googleusercontent.com/s>
diakses pada 14 Januari 2016.
3
PDHJ adalah lembaga independen yang berfungsi sebagai
penerima dan menyelesaikan atas pengaduan-pengaduan yang
disampaikan oleh warga negara mengenai badan umum yang
terbukti telah melakukan perbuatan melanggar undang-undang.
Dimulai dari proses pencegahan guna memperbaiki ketidakadilan
dengan kewenangannya untuk penyelesaian kasus-kasus konkrit
tanpa kekuasaan untuk memutuskan, tetapi menyampaikan
rekomendasi kepada lembaga-lembaga yang berkompetensi.19
Sementara itu, secara operasional, untuk memproteksi hak-hak individu
(human rights) dan hak-hak masyarakat (communal rights) terserap dalam pasal 1
huruf (g), UU No 7/2004, PDHJ menjamin bahwa:
Hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar berarti hak,
kebebasan dan jaminan yang disebutkan dalam Bagian II
Konstitusi RDTL dan hak-hak yang disebutkan dalam instrumeninstrumen PBB mengenai HAM, yang semuanya ditafsirkan
sesuai dengan Deklarasi Universal HAM.20
Dalam konteks memayongi kepentingan publik (public interest), dari
tindakan di luar hukum oleh negara, baik melalui perorangan atau kelompok
aparat dapat dirumuskan sebagai tindak pelanggaran HAM. Kiranya diartikulasi
sebagai suatu perbuatan penyalahan kekuasaan (abuse of power), tidak bias
hukum, tanpa proses yang adil dan kewajaran atau diabaikan maka, seperti
dijabarkan pada pasal 5 (2) UU No. 7/2004, yang memberi kompetensi tugas dan
kewenangan PDHJ mencakup;
Untuk menerima pengaduan-pengaduan masyarakat, melakukan
investigasi dan menyampaikan rekomendasi kepada badan-badan
umum yang berkompeten, dengan masukan yang tepat bagi
pencegahan atau memperbaiki hal-hal yang tidak sesuai dengan
hukum atau ketidakadilan.21
Dengan mengusung bendera legalitas, PDHJ sebagai lembaga yang
bersifat Independen22 dapat konsisten bertindak netral dan imparsial untuk
19
Lihat UU No. 7/2004, Pasal 27, Lihat pula http://pdhj.tl/mengesahkan-statuta-kantor-provedoruntuk-hak-asasi-manusia-dan-keadilan/Diakses pada, 17 Nopember 20165.
20
Lihat UU No. 7/2004 pasal 1 (g).Lihat pula, Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman Hak
Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong Good Governance di Timor-Leste. 2014. Penerbit
Universitas Padjajaran, Bandung. 2014.
21
Lihat UU No. 7/2004 pasal 5 (2). Lihat, Dos Santos. pp. 3.
22
Lihat juga Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM.
4
menampung dan merespon laporan warga masyarakat, kemudian menyelidiki dan
merekomendasi seperti terurai dalam pasal 28. Sedangkan hakekat pelaksanaan
fungsinya bersumber pada pasal 23 hingga 27, UU No. 7/2004, Lembaga PDHJ
yang memiliki kewenangan untuk;
(a) Menerima pengaduan;
(b) Menyelidiki dan meneliti masalah-masalah yang berada dalam
wewenangnya;
(c) Memutuskan untuk tidak melakukan tindakan lebih lanjut atau
menolak, pengaduan-pengaduan yang diberikan padanya, sesuai
dengan Pasal 37 (3) di bawah;
(d) Memerintahkan kepada seseorang untuk menghadap padanya atau di
tempat lain yang dianggap lebih tepat jika orang tersebut punya
keterangan yang relevan untuk penyelidikan yang dilaksanakan atau
akan dilaksanakan;
(e) Memiliki akses pada fasilitas-fasilitas, gedung-gedung, dokumendokumen, peralatan, barang-barang atau informasi untuk inspeksi dan
interogasi orang yang berkaitan dengan pengaduan;
(f) Mengunjungi setiap tempat tahanan, perawatan atau pelayanan untuk
memeriksa keadaannya dan melakukan wawancara konfidensial
dengan orang- orang dalam tahanan;
(g) Meneruskan pengaduan kepada yurisdiksi yang berwenang atau
mekanisme bantuan lainnya;
(h) Meminta izin dari PN untuk menghadap pengadilan, mahkamah
arbitrasi atau komisi penyelidikan administratif;
(i) Bertindak sebagai mediator atau konsiliator antara pengadu dengan
badan atau instansi yang diadukan, jika pihak-pihak sepakat untuk
mengikuti proses demikian;
(j) Membuat
rekomendasi
untuk
penyelesaian
pengaduan
yang
disampaikan padanya, terutama dengan mengusulkan penyelesaian
dan reparasi;
5
(k) Memberikan nasehat termasuk pendapat, usulan dan rekomendasi
untuk
keperluan
perbaikan
penghormatan
pada
HAM
dan
pemerintahan yang baik oleh instansi-instansi yang berada di dalam
yurisdiksinya;
(l) Melapor kepada PN mengenai temuan-temuan suatu penyelidikan atau
mengenai rekomendasi-rekomendasinya.23
Tidak ketinggalan, secara praktis sifat kolektivisme terpatri pada PDHJ,
adalah memainkan peran the rule of law principle sebagai prereferensi penegakan
HAM—melalui kegiatan seperti; penyelidikan (investigations)24, pemantauan dan
advokasi (monitoring and advocacy)25, promosi dan edukasi26 terhadap aparataparat
dan
instansi-instansi
Pemerintah/negara,
yang
ditentang
praktek
pelanggaran HAM terhadap individu manusia sebagai warga masyarakat.
Permulaan proses, sebagai ujung tombak (the frontline)penegakkan HAM,
PDHJ berkewajiban memperbaiki rasa ketidakadilan masyarakat dari tindakan
represif negara. Bertolak dari pengertian ini, negara harus responsif terhadap
tekanan aktor-aktor lain di luar dirinya terutama, civil society untuk aktif
mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. Secara prinsipilkegiatan promosi
HAMsebagai salah satu public goal yang merupakan tanggung jawab seluruh
komponen masyarakat untuk diintegrasikan dalam kehidupan bernegara.27
Dalam perspektif penegakan HAM, selain didukung oleh Konstitusi
RDTL dan UU No. 7/2004, peran PDHJ juga berorientasi pada instrumeninstrumen hukum internasional. Oleh karenanya, TL telah meratifikasi tujuh
konvenan28 sebagai pemenuhan hak asasi bagi warga negaranya.29
Lihat UU No. 7/2004, Pasal 28 (a-l) Lihat pula, Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman
Hak Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong Good Governance di Timor-Leste. 2014.
Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung.
24
Lihat UU No. 7/2004, pasal 23 tentang penyelidikan yang dilakukan oleh PDHJ.
25
Lihat UU No. 7/2004, pasal 24 (a-e) tentang Pemantauan dan Nasehat.
26
Lihat UU No. 7/2004, Pasal 25 (1-2) Pemajuan HAM dan Good Governance.
27
Aleksius Jemadu. pg. 217.
28
Lihat <http://mj.gov.tl/?q=node/786> Diakses pada, 04 Juli 2015.
29
Lihat pasal 1 (g) menjelaskan bahwa; (g) “Hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar”
berarti hak, kebebasan, dan jaminan yang disebutkan dalam Bagian II Konstitusi RDTL dan hakhak yang disebutkan dalam instrumen-instrumen PBB mengenai HAM, yang semuanya ditafsirkan
sesuai dengan DUHAM;
23
6
Sejak dimulainya program penegakan satu dekade lebih, PDHJ, namun
berbagai aral melintang masih menghadang. Kemajuan penegakan dan
menciptakan kesadaran akan nilai-nilai HAM bagi aparatur negara sebagai suatu
tradisi belum sepenuhnya melekat pada diri dan tugas. Referensi tentang
kekerasan langsung maupun strutural masih akrab dipraktekkan aparat-aparat
Kepolisian, Kemiliteran, Dinas Penjara, dan institusi lainnya. Sungguhpun grafik
pola-pola kekerasan masih menghiasi wajah negara, namun upaya preventif
dirumuskan melalui sosialisasi, promosi, dan edukasi HAM terus digalang oleh
PDHJ. Tujuannya, agen negara dapat menyelami norma-norma HAM bagi
kehidupan dandapat diaktualisasikan dalam dinas.
Karenanya secara pluralis, peran PDHJ dalam memajukan dan menegakan
HAM, dapat tersebar lebih luas di tengah masyarakat—untuk memudahkan warga
menyampaikan pengaduan, manakala hak-hak asasinya ditentang aparat publik.
PDHJ pun, mendirikan kantor regional di empat distrik, selain kantor pusat di
Dili.30 Grand Design dari tata-cara penyampaian pengaduan, PDHJ mengadopsi
dua mekanisme yakni, (1) Laporan Pengaduan yang datang dari masyarakat. (2)
Berdasarkan Inisiatif Provedor31. Inisiatif Provedor ditempuh apabila adanya
dugaan pelanggaran HAM, dan tidak adanya pengaduan dari warga, maka PDHJ
langsung menangani melalui proses penyelidikan dan rekomendasi.
Narasi tentang metode menyampaikan pengaduan masyarakat bisa datang
langsung ke kantor PDHJ, atau bisa melalui telepon, mengirim surat elektorik (email) dan surat, baik yang dikirim langsung atau melalui kotak pelayanan
pengaduan masyarakat yang disediakan di 64 subdistrik di seluruh wilayah TL.
Kiranya, masyarakat yang berdomisili jauh dari kantor pusat maupun empat
kantor wilayah, bisa menjangkau dengan memasukkan surat melalui kotak
pelayanan pengaduan tersebut. Lalu, staf PDHJ akan melakukan pengecekan,
30
Empat kantor regional diantaranya distrik Baucau, untuk melayani distrik Manatuto, Vigueque
dan Lospalos. Distrik Bobonaro, untuk menjangkau distrik Ermera, dan Covalima. Distrik
Manufahi untuk menampung laporan dari distrik Ainaro dan Aileu. Sedangkan distrik Liquiça
masuk dalam scope kantor pusat di Dili. Tujuannya kantor wilayah adalah sebagai
penghubung/koordinator yang bertugas melaksanakan pemantauan secara reguler, desiminasi
pendidikan HAM dan peran PDHJ, dan menerima laporan pengaduan dari masyarakat.
31
Provedor adalah sebuah untuk pemimpin PDHJ.
7
apabila ada surat di dalam kotak pengaduan maka, akan diambil, guna diproses
sesuai syarat yang telah ditetapkan. Sungguhpun PDHJ telah memiliki empat
kantor wilayah, tetapi kewenangan penyelesaian kasus-kasus pengaduan masih
diproses di kantor pusat di Dili. Berikut ilustrasi metode penyampaian pengaduan:
Illustration of method of making complaint32
Secara spesifik, setiap pengaduan yang masuk PDHJ, awalnya akan
diterima oleh Departemen Penerimaan Pengaduan, kemudian diteliti status
kasusnya, apakahmasuk dalam pelanggaran HAM atau Good Governance. Setelah
dipastikan masuk dalam kategori pelanggaran HAM akan dirujukan kepada Divisi
HAM dan dilimpahkan kepada Departemen Penyelidikan HAM, untuk dianalisis
secara preliminar (preliminary analysis) terutama tentang statetmen pengaduan
(file case record) oleh para penyidik, lantas diajukan kepada Komite Manajemen
Pengaduan Kasus, untuk diputuskan oleh Provedor, apakah memenuhi
jurisprudensi PDHJ, maka akan dibuka untuk suatu penyelidikan hingga
rekomendasi. Apabila kasus tersebut tidak masuk dalam mandatori PDHJ, secara
alami, akan disalurkan ke institusi berkompeten. Akan tetapi, apabila kasus
tersebut belum terpenuhinya kriteri yang ditetapkan maka akan dipending, hingga
adanya kelengkapan syarat pengaduan dari pengadu/pelapor.33
Bahkan bukan hanya itu, secara kriteria, kasus-kasus yang buktinya tidak
cukup, akan tutup. Sebaliknya kasus pengaduan yang masuk dalam yuidiksi dan
32
Lihat http://pdhj.net/case-handling/make-a-complaint-online/ diakses pada 17 Nopember 2015.
Lihat pula: JSMP Report: StrengtheningDecentralisation in the Office of the Ombudsman for
Human Rights and Justice. 2014. pg. 16.
33
Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong
Good Governance di TL. 2014. Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung. pg. 10.
8
bukti-bukti yang mumpuni, akan dibuka untuk penyelidikan. Hasil temuan
penyelidikan yang disebut, akan dituliskan dalam bentuk Laporan Investigasi
Akhir, kemudian direkomendasikan kepada instansi publik (Terlapor), Kejaksaan
Agung (KA), untuk diproses hingga putusan final pengadilan, atau dijadikan
laporan tahunan, lantas dikirim kepada PN, atau mengumumkan kepada publik
berkaitan laporan-laporan atau rekomendasi-rekomendasi yang tidak diindahkan
atau mengenai aktivitasnya.34 Berikut adalah roadmap penyaringan kasus
pengaduan di PDHJ,
Receive
Complaint
Preliminary Appraisal
Inquiry Stage
Follow Up
stage
Close
Complaint
Send
Archive
Postpone
Decision
Refer to Rel
instiitution
Receive Complaint
Preliminary
Evaluation
Open Case
Send Notice of Crime
to DPP/ Public
Ministry
Make a short
report if no
violation
Investigation
Report
Mediation
and
Conciliation
Concensus
Violation have
Follow up on
recommendat
ion
Follow up on
agreement
Struktur I: Metode penyampaian pengaduan kasus hingga proses penyelesaian yang
diterapkan PDHJ. 35
Bila menelisik dari sejak lahirnya, PDHJ telah menerima pengaduanpengaduan kekerasan yang mencederai nilai-nilai HAM, yang melibatkan aparat
publik atau merepresentasi institusi-instusi negara. Berikut daftar pengaduan dari
tahun 2006-2013 yang tercatat oleh PDHJ:
34
Lihat pasal 34 Kewajiban Melaporan menurut UU No. 7/2004 menjelaskan bahwa; PDHJ harus
melapor setiap tahun kepada PN mengenai pelaksanaan fungsi-fungsinya; Jika keadaan
mengharuskan, PDHJ bisa memutuskan untuk secara langsung mengungkapkan kepada publik
atau mengeluarkan komunike atau menerbitkan informasi mengenai pendapat-pendapat,
rekomendasi-rekomendasi, dan laporan-laporannya mengenai kasus-kasus tertentu atau mengenai
kegiatannya; Setiap publisitas yang dikeluarkan oleh PDHJ harus berimbang, adil, dan benar.
35
Final Report: Strengthening Decentralisation in the Office of the Ombudsman for Human Rights
and Justice. 2015. pg. 16.
9
441
70
42
89
46
44
55
38
57
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Total
Total: Pengaduan Pelanggaran HAM dari tahun 2006-201336
Dari grafik di atas menunjukan kasus pelanggaran HAM tertinggi, terjadi
pada tahun 2008, dengan 89 kasus, berikutnya adalah 2006 dengan 70 kasus dan
57 kasus pada tahun 2013. Sebaliknya 34 kasus untuk 2005, dan terakhir 64
kasustahun 2014. Jadi aktualisasi data, 2005 hingga 2014 total kasus pelanggaran
yang diterima dan diproses oleh PDHJ mencapai 543 kasus, sudah termasuk 3
kasus berdasarkan inisiatif Provedor. Keselarasan kasus-kasus tersebut, selain
direkomendasikan ke institusi terkait, PDHJ pun telah melimpah 152 kasus
kepada institusi KA. Di satu pihak 53 kasus ditutup atau diarsipkan. Di sisi yang
lain, ditelisik dari statistik berdasarkan institusi-institusi, sebagai besar kasus
pelanggaran HAM melibatkan Kepolisian, disusul oleh Aparat F-FDTL,
Kementerian Pendidikan dan institusi-institusi lainnya. Untuk memahai lebih
detail dapat dilihat pada ditabel di bawah ini:37
36
JSMP. Timor-Leste: Law and Practice Nedd Further Strengthening. 2014. pg. 7. Lihat pula
website PDHJ; http://pdhj.net/about/meet-the-ombudsman-and-deputies/. Diakses pada tanggal,
10 April 2016.
37
Total kasus yang disadur dari laporan PDHJ dari tahun 2009-2014, berdasarkan keterlibatan
Institusi dalam pelanggaran HAM.
10
Tabel 1: Institusi-Institusi terkait pelanggaran HAM antara 2009-2014
No.
Nama Institusi-institusi
Total
Kasus
Pelanggaran
HAM
1.
PNTL
202
2.
F-FDTL
29
3.
Kementerian Pendidikan
24
4.
Aparat Lokal
13
5.
Pegawai Negeri
10
6.
Dinas Penjara
9
7.
Kementerian Pertanian dan Kelautan
6
8.
Kementerian Kesehatan
6
9.
Aparat Lokal dan F-FDTL
2
10
PNTL dan F-FDTL
2
11
Sekretari Negara Urusan Tenaga Kerja
1
12
Kementerian Pekerjaan Umum
1
13
SAS
1
Total kasus
306
Pada latar belakang kasus-kasus pengaduan pasca pemilahan berdasarkan
pola-pola tindakan kekerasan terhadap korban. Pemilahan ini penting, untuk
mengukur bobot dan kategori atas prilaku pelanggaran HAM, yang melibatkan
aparat. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Tipe-tipe pelanggaran 38
No.
38
Tipe-tipe pelanggaran
Total Kasus pelanggaran
1.
Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi
176
2.
Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang
36
3.
Pelanggaran Hak Hidup &Ancaman Pembunuhan
19
4.
Pelecehan dan Kekerasan Seksual
18
5.
Kelalaian dan Penangkapan Ilegal
16
6.
Pelanggaran Hak Privasi
12
7.
Menghambat Akses ke Pengadilan
12
8.
Penembakan Sewenang-wenang
9
9.
Diskriminasi dan Ancaman Pembunuhan
4
10.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4
Tipe-tipe pelanggaran HAM yang disuting dari Laporan PDHJ dari tahun 2009-2014.
11
Sebagaimana telah diutarakan, dari 543 kasus pelanggaran HAM, yang di
putuskan Komite Pengaturan Pengaduan lembaga PDHJ, melalui Devisi HAM
dan Departemen Investigasi, berhasil merampungkan penyelidikan 212 kasus.
Dari hasil penyelidikan kemudian dituliskan dalam bentuk Laporan Penyelidikan
Akhir kemudian direkomendasikan kepada institusi-institusi terlapor diantaranya
Institusi PNTL, F-FDTL, Sekretaris Negara Pertahanan, Sekretaris Keamanan
Dalam Negeri, Dinas Penjara, Kementerian Pendidikan, Pertanian, Kesehatan,
Pekerjaan Umum, Kementerian Solidaritas Soisal (MSS) dan Sekretari Negara
Ketenagakerjaan. Selain itu, laporan rekomendasi juga dilimpahkan kepada KA
untuk menindaklanjuti hingga proses pengadilan. Kecuali pihak KA, sesuai
dengan mandat UU No. 7/2004, pasal 47 (3) PDHJ akan meminta tanggapan dari
institusi-institusi terlapor, apakah sudah mengimplementasi rekomendasi yang
disampaikan.39
Perbedaan hakiki dari pelanggaran HAMoleh aparat, disebabkan beberapa
indikator. Misalnya, pendidikannya yang rendah, minimnya pemahaman
akan Standard Operasional Procedure (SOP) di lapangan, rendahnya kesadaran
HAM, sikap yang tidak toleran dan masih melekatnya prilaku kekerasan dalam
pemikiran aparat publik. Kondisi lain, disebabkan oleh sangsi dan tindakan
displiner yang ringan, yang tidak menimbulkan efek jerah, untuk mereduksi
pelanggaran HAM. Bahkan, mungkin disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan
pelatihan dari PDHJ sendiri, belum menyentuh semua elemen-elemen institusi
publik, sehingga angka pelanggaran HAM masih tinggi.
Dalam paradigma HAM, negara dinilai gagal bersandarkan pada state
responsability. Negara merosot untuk aktif, memenuhi hak-hak dasar warganya
sendiri. Kesesuaian kewenangan, mestinya dibarengi langkah-langkah legislatif,
administratif hukum, dan tindakan-tindakan lainnya yang dipandang memegang
andil dalam pemenuhan HAM.40 Artinya, negara kiranya menjalankan fungsifungsi pemulihan berkaitan dengan pelanggaran terhadap kewajiban hukum
39
Lihat UU No. 7/2004 Pasal 47 (3) menjelaskan bahwa; Organ yang padanya disampaikan
rekomendasi harus, dalam waktu enam puluh (60) hari, memberi tahu Provedor untuk Hak Asasi
Manusia dan Keadilan sejauh mana rekomendasi itu ditindaklanjuti atau dilaksanakan.
40
Ani W. Soetjipto. pg.183.
12
internasional untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, termasuk
kewajiban untuk mencegah pelanggaran, menyelidiki pelanggaran, mengambil
tindakan yang layak terhadap para pelanggar, dan memberikan penanganan
hukum kepada para korban. Negara harus memastikan bahwa tidak ada orang
yang mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran HAM akan mempunyai
kekebalan dari tanggung jawab atas tindakan mereka.41 Pemulihan hak-hak
korban memiliki makna untuk meringankan penderitaan dan merawat rasa
keadilan dengan memperbaiki akibat-akibat dari tindakan penangkalan HAM.
Penegasan ini, untuk lebih memahami kenyataan-kenyataan yang lebih
komprehensif sejak kelahirnya PDHJ merancang aplikasi preventif, yang
didefinisikan melalui sosialisasi, edukasi, seminar, workshop, mempromosikan
melalui media massa dan elektronik, bahkan memproduksi kaos-kaos, stiker,
paner, buku-buku panduan, poster, sebagai aktivitas penyadaran publik kepada
institusi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah yang ada di TL.
Bahkan, setiap tahunnya, dalam perayaan hari HAM sedunia pada, 10
Desember, PDHJ memberikan penghargaan Human Rights Award kepada
Kepolisian dari distrik yang diidentifikasi angka pelanggarannya paling rendah.
Award ini, sebagai esensi penyadaran HAM, yang harus diaktualisasikan aparat
selama masa berdinas. Untuk itu, keabsahan promosi HAM sebagai salah satu
public goal yang ingin digapai. Promosi pendidikan HAM tidak hanya ditujukan
pada institusi berkaitan dengan mandatori, tetapi mesti merambah hingga
kelompok agama, keluarga, kekerabatan dan entitas kultural lainnya. 42
Topik berikutnya, secara jurisprudensi, PDHJ aktif menjalankan fungsinya
pemantauan terhadap kinerja dan operasi militer F-FDTL dan PNTL, Dinas
penjara, pusat-pusat kesehatan, sekolah-sekolah, hingga pemilu. Meninjau di
tempat kejadian perkara dan tempat lainnya yang dianggap perlu, melakukan
wawancara dan mendengar keterangan yang disampaikan oleh korban. Bersamaan
dengan itu, PDHJ memantau setiap kegiatan aparat/negara, sebagai bagian dari
fiskalisasi, untuk memastikan tidak terjadinya pengaburkan HAM.
41
42
Lihat http://referensi.elsam.or.id. Diakses pada, 16 Juli 2016.
Lihat https://tyokronisilicus.wordpress.com diakses pada, 16 Juli 2016
13
Dalam kerangka pemantauan, PDHJ secara berkala, mengunjungi sel-sel
tahanan PNTL dan penjara, untuk memantau situasi HAM para tahanan, baik
yang ada di sel-sel PNTL maupun di penjara-penjara. Hal ini sebagai garansi
untuk menjamin rehabilitasi hak-hak para tahanan dan narapidana dari kelakukan
semena-mena aparat PNTL maupun dinas penjara. Ada segi lain yang penting
adalah mendesain jejaring di seluruh negeri, untuk secara aktif memantau situasi
HAM
masyarakat—dengan
adanya
kepastian
yang
tidak
membatasi,
menghalangi, mengurangi, atau mencabut HAM warga negara yang dilindungi
oleh Konstitusi dan Undang-undang yang berlaku.
Melengkapi topik penyelidikan dan pemantauan, melalui promosi dan
pelatihan pendidikan HAM, merampat hingga institusi-institusi pemerintah,
melakukan penyelidikan dan penelitian yang diselenggarakan secara eksplisit dan
berkesinambungan, diharapkan sebagai momentum riil untuk pemberdayaan,
penyadaran, bagi penegakan the rule of law principle.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada penjelasan di latar belakang penelitian ini berupaya menjawab
pertanyaan; bagaimana peran PDHJ membantu negara dalam pemenuhan,
perlindungan, penegakandan menciptakan kesadaran masyarakat dan aparat
publik akan pentingnya menghormati serta mempraktek nilai-nilai HAM bagi
kehidupan bernegara. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, difokuskan pada
aktivitas pelayanan publik seperti; sosialisasi, pelatihan, seminar, workshop,
menyampaikan petisi, pemantauan, advokasi, penelitian dan penyelidikan kepada
aparat dari semua lembaga-lembaga pemerintah dan negara demi mengatasi
pelanggaran HAM yang terjadi di TL selama periode 2009-2014.
C. Tinjaun Literatur
Tujuan literatur berarti menemukan berbagai rangkuman buku, jurnal, dan
publikasi terindeks tentang topik Peran PDHJ untuk mengatasi pelanggaran HAM
yang terjadi di TL. Kemudian memilih secara selektif bagaimana mengakses
sejumlah rujukan jurnal, laporan tahunan, penelitian yang dilakukan oleh PDHJ
14
sendiri, riset LSM nasional dan internasional maupun yang hasil karya yang
berkaitan dengan kinerja PDHJ dalam penegakan HAM.
Dari sudut pandang buku Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar
Negeri karangan Peter R. Bahr, mencerimati beragam implikasi yang menentukan
politik luar negeri dalam ranah HAM. Baehr menguraikan bahwa kebijakan yang
aktif, fokus pada penghormatan HAM. Penghormatan HAM bukan hanya soal
kemauan politik tapi, harus disadari bahwa peran pemerintahan, menjadi pusat
penghormatan HAM. Bahr pun mengusulkan kebijakan HAM di suatu negara
mesti dikembangkan dalam lingkup organisasi antar pemerintah. Bagi Bahr,
kerjasama organisasi antar-pemerintah menelorkan peluang kepada suatu
pemerintah, juga menuntut pertanggungjawaban negara yang pelanggaran HAM.
Literatur selanjutnya Madja El-Muhtaj, melalui bukunya HAM dalam
Konstitusi
Indonesia,
menguraikan; HAM sebagai
bagian dari
hukum
internasional pada saat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara terkait dengan masalah politik, sosial dan budaya. Untuk itu, tantangan
mewujudkan jaminan HAM dalam konstitusi tidak hanya dilabeli sisi normatif
yang bertolak belakang dengan praktik emperiknya. Jika ini terjadi, berarti citacita The Living Constitutions hanya menjadi simbol tetapi, keseimbangan muatan
normatif konstitusi searah dengan praktek empiriknya merupakan ciri bahwa telah
terbangun melalui The Living Constitution. Sebab masalah HAM merupakan hal
yang dianggap penting dan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dari
sistem negara konstitusional.
Begitupun Aleksius Jemadu, melalui bukunya Politik Global Dalam Teori
dan Praktek, menjelaskan, sejalan dengan kemenangan ideologi liberalisme
perhatian terhadap hak individu dan kelompok meningkat dan kedaulatan negara
tidak lagi dilihat sebagai hambatan untuk mempromosikan HAM. Sejak tahun
1948 dunia sudah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai
pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM. Dalam periode
selanjutnya komunitas global menghasilkan berbagai konvensi dan perjanjian
internasional sebagai bentuk komitmen terhadap pentingnya HAM.
15
Apa yang diketengahkan buku HAM Kejahatan Negara dan Imperalisme
Modal, karya Eko Prasetyo ini merefleksikan, selaras dengan globalisasi,
berimplikasi pada kelompok masyarakat yang termarjinalisasikan akibat
pembangunan ekonomi yang berorientasi pasar mengalami proses alienasi dan
tidak memberi ruang yang terhadap sumberdaya pembangunan. Menurut Prasetyo,
responsabiliti negara dalam mengaransi memproteksi hak-hak dasar warganya.
Tinjauan mengenai HAM juga bermuara pada karya Jack Donnelly, yang
mempublikasikan bukunya yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and
Collective Rights” dikatakan bahwa “human rights are rights that human beings
posses because they are human beings.” Donnelly seterusnya mendefiniskan hakhak yang dimiliki manusia semata-mata karena dia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau hukum
positif melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.43 Sebagai sebuah ciri
yang membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah sepantasnya HAM
diakui secara universal tanpa peduli warna kulit, jenis kelamin, usia, latar
belakang kultural, agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Namun, di sisi lain,
Donnelly yang hampir menulis semua isu mengenai ruang lingkup HAM, tidak
menguraikan secara spesifik seluk beluk keterlibatan institusi nasional HAM
dalam hiasan kisah penegakan HAM disuatu negara. Intinya Donnelly
mengatakan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya erat dengan penegakan HAM.
Dalam buku HAM dan Politik Internasional: sebuah Pengantar, yang
dirangkum oleh Ani W. Soetjipto (ed) menjelaskan potret perkembangan politik
internasional harus dibarengi oleh majunya perlindungan terhadap HAM.
Karakter yang sangat kuat dari referensi ini adalah penekanan pada hak sipil dan
politik dari HAM dalam relasinya dengan aktor internasional, baik negara maupun
non-negara (institusi dan rezim HAM internasional, juga LSM dan aktivis HAM).
Tali-temali antara asumsi-asumsi bahwa hubungan antarnegara tidak kaku namun
menciptakan ruang terbuka kerja sama yang bermanfaat untuk tujuan
Jack Donnelly. “Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell
University Press. 2003. pg.7-21.
43
16
memanusiakan manusia, pemihakan dan berkomitmen menciptakan prinsipprinsip kesetaraan, keadilan dan kebebasan warga negara.
Ketika membahas koneksi dan interkoneksi antara HAM dan politik
internasional, maka penulis seperti David F. Forsythe atau Jack Donnelly lewat
berbagai karyanya menelusuri jejak munculnya norma internasional sampai pada
pembentuk institusi HAM internasional. Telaahan tentang HAM dalam relasi
kepentingan negara dalam memaksimalkan kekuatan politik dan ekonomi; atau
dalam perspektif normatif harus diakselesari dengan kebijakan negara dalam
membangun tatanan dunia yang stabil secara politik dan ekonomi. Cara dengan
pembentukan institusi internasional yang diikat dengan norma-norma hukum
internasional sebagai basis dari aturan main yang diberlakukan secara universal.
Hal senada dapat dijumpai dalam buku Agenda Politik Internasional karya
Miller, Lynn H, yang menyelisik hak terselip aneka makna seperti kehormatan,
kekebalan, klaim, kekuasaan harus menjadi suatu harapan yang diwujudkan oleh
negara-negara di dunia. Kombinasi antara komunitas dunia, regional dan negara
memiliki kewajiban secara kolektif terlibat mewujudkan responsiblity to protect
guna melindungi hak-hak dasar individu, kelompok komunitas yang tersebar di
belahan dunia ini.
Lensa HAM juga dapat diadopsi melalui buku Dasar-Dasar Politik karya
Meriam Budiardjo mengatakan, pendefenisian HAM merupakan hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat tanpa perbedaan atas
dasar bangsa ras, agama atau kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal.
Pandangan lain datang dari Rhona K. M. Smith dalam bukunya dengan
judul Hukum Hak Asasi Manusia, melukiskan narasi-narasi tentang pemahaman
HAM semakin luas dalam masyarakat adalah teramat penting. Dalam konteks
HAM, negara menjadi subyek hukum utama, karena negara merupakan entitas
utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.
Dari segi hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan
pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) jika negara tidak
mampu melindungi dan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui
17
aparat-aparatnya tindak kejahatan kemanusiaan atau negara gagal dan tidak mau
untuk menuntut pertanggungjawaban dari aparat negara pelaku tindak kejahatan
tersebut. Lebih lanjut Smith menyimpulkan bahwa paham HAM tidak dapat
ditawar-tawar lagi bahwa hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat
manusia. Keharusan itu dijamin dengan pengakuan konstitusional terhadap HAM.
Begitupun dalam buku HAM, hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
perspektif Hukum dan Masyarakat, Muladi (editor) menjelaskan bahwa penguatan
lembaga HAM, LSM, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan
peran dalam mempromosi dan melindungi HAM terhadap kehidupan bangsa.
Dengan penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional,
maka akan membatasi kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Instrumen HAM internasional harus dikembangkan sebagai yang
menyeluruh dan hukum nasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi, konsep
HAM bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar
manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan,
hukum tak tertulis, seperti menghormati HAM orang lain, moral, etika dan patuh
pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima secara universal.
Sebaliknya
kewajiban
pemerintah
adalah
mempromosi,
menghormati,
melindungi, dan menegakan HAM warga negara sesuai dengan undang-undang
yang telah ditetapkan.
Dari suatu tatanan sosial, realisasi HAM sebagai sebuah konsep bertujuan
untuk memahami tanggung jawab negara terhadap pemenuhan dan perlindungan
hak-hak warga negara, untuk bebas dari tindakan pelanggaran HAM oleh aparat,
baik secara individu maupun kolektif yang mengatasnamakan negara. Secara
keseluruhan referensi yang diuraikan di atas, memiliki muatan HAM, yang dalam
asumsi penulis berkaitan dengan penelitian dan penulisan tesis ini.
D. Kerangka Teori
Sesuai dengan judul, thesis ini berfokus pada perspektif HAM dan penegakannya
di TL. Oleh karenanya, konsep HAM, dipahami dari salah satu tokoh pentolan
filsafat yakni Plato. Bagi Plato, HAM tidaklah sama antara satu individu dengan
18
individu yang lain. Karenanya, tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja
tidak perlu usaha untuk menciptakan kondisi-kondisi materiil yang sama.44
Maka, disadari bahwa, setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, tetapi tetap
memiliki sifat universal dari hak-hak tersebut. Sebab bersifat universal, hak-hak
tidak dapat tersebut, juga tidak dapat dicabut (inalienable).45Sementara itu,
definisi yang dikemukan oleh Jack Donnelly sangat relevan untuk prinsip
universalisme HAM. Dikatakan Donnelly bahwa “human rights are the rights one
hass simply by virtue of being a human being.46Artinya seburuk apapun
perlakukan yang telah dialami seseorang, ia tidak akan berhenti untuk menjadi
manusia dan karena itu hak-hak tersebut di manapun dia berada. Bertitik tolak
dari sinilah, negara, pemerintah dan organisasi apapun mengembang kewajiban
untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali.
Perkembangan individu merupakan latar belakang yang penting bagi gagasan
tentang HAM.47 HAM selalu menjadi titik pijak dalam penegakan dan
penyelenggaraan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam tata cara bernegara, sebagaimana ditulis James Nikel, HAM adalah
norma-norma yang bersifat politis yang pada umumnya terkait dengan bagaimana
orang seharusnya diperlakukan oleh negara. Sebagai konsekuensinya, maka pada
tataran domestik, pemerintah diberikan kuasa untuk melakukan variasi-variasi
yang sesuai konteks di mana HAM diterapkan.48 Pada tataran ini, pemerintah
memiliki kewajiban mengikat untuk melindungi HAM. Sifat HAM sebagai highpriority norms yang diartikan “sekelompok norma yang sangat pokok” dan
“pelanggaran terhadapnya merupakan serangan serius atas keadilan”.49
44
Budiardjo, Meriam. Dasar-dasar Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2006. pg.54.
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,
disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964.
46
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca
and London, 2003. pg 7-21.
47
Peter R. Baehr. pg.5.
48
Pranoto Iskandar. “Hukum HAM Internasional: sebuah Pengantar Konseptual”, Cianjur:
Institute for Migrant Rigths Press. 2012. pg. 51.
49
James Nickel. Human Rights, at http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/ dikuif dari Tesis
Pelanggaran HAM di ASEAN (studi kasus Etnis Rohingya). Novie Lucky Andriyani.2015.
Universitas Gadjah Mada. 2014. pg. 10.
45
19
Sungguh pun dari perspektif konstruktivis, negara memenuhi tujuan HAM
untuk alasan yang berhubungan dengan identitas dan statusnya. Hal ini terkait
hubungan di antara norma dan kepentingan.50 Konstruktivis berpendapat bahwa
tidak ada tensi di antara kepentingan dari negara berdaulat dengan prinsip-prinsip
moral terkait promosi dan perlindungan HAM. Perspektif konstruktivis juga
menyoroti norma dan aturan selalu dapat dikonstruksikan dan bersifat dinamis
sehingga mendukung kemajuan HAM. 51 Bagi Konstruktivis, norma sebagai
standar perilaku yang dianggap sesuai untuk aktor dengan identitas yang melekat.
Melalui konstruktivis, kita dapat memahami norma mana yang dapat menjadi
hukum dan bagaimana hukum tersebut dapat dipatuhi.52
Menarik kiranya untuk tak melewatkan pemikiran Thomas Hobbes yang
menekankan pada cara bagaimana manusia bisa hidup bersama dan berdampingan
secara damai. Pemerintahan yang telah ditunjuk oleh rakyatnya memiliki
kekuasaan tanpa batas dalam mengatur HAM yang mengacu pada kesejahteraan
bersama. Tetapi, kehadiran negara harus diberi rambu-rambu agar tidak
memangsa rakyatnya sendiri.53 HAM menurut Hobbes adalah hak alamiah yang
melekat dan dimiliki oleh setiap individu manusia dalam hidupnya. Dapat
dikatakan HAM merupakan Hukum Alam (natural law) yang dianggap sebagai
hukum yang tertinggi dan abadi pada alam, yang kemudian dijadikan acuan dalam
pembentukan norma moral dan aturan tingkah laku manusia.54 Hak alamiah dalam
pemikiran tradisional adalah hak-hak dasar yang berasal dari tindakan dan
interaksi setiap individu.55 Untuk memperjelas, menurut Hobbes, manusia tidak
bisa dipercaya untuk memegang perjanjiannya tanpa adanya kekuatan eksternal.
Satu-satunya cara pemecahannya dengan menciptakan otoritas publik yang
50
Finnemore dan Sikkink membagi norma ke tiga tipe; norma regulatif yang memerintah dan
membatasi perilaku; norma konstitutif yang menciptakan aktor, kepentingan, atau kategori
tindakan baru; serta norma evaluatif atau prekriptif yang memberi preskripsi tindakan atau tidak
adanya tindakan dalam menghadapi situasi tertentu. Ani W. Soetjipto. pg.114.
51
Ani W. Soetjipto (ed). pg.109-110.
52
Ani W. Soetjipto. pg. 109-117.
53
Majda El-Muhtaj. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UDD 1945 sampai
Amandamen UUD. 1945. Pengantar Jimly Asshiddiqie SH. Fajar Inter Offset. 2002. pg. vi.
54
Schmandt, Henry J. A History of Political Philsophy, The Bruce Publishing Company, NeW
York. 1960. pg. 313.
55
Schmandt. pg. 315.
20
memiliki kekuatan dan kewenangan koersif untuk memaksa orang tunduk pada
perjanjian sosial itu.56
Begitupun asal-usul gagasan tentang HAM seperti disorot di atas
bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Senada dengan ungkapan
Jeremy Bentham yang menjelaskan it was absurd to base human rights on natural
rights, because natural rights is simple nonsense ...nonsense upon still.57
Sedangkan menurut John Locke kekuasaan pemerintah berasal dai persetujuan
pihak yang diperintah. Kekuasaan berpangkal pada adanya negara alamiah yang
berpijak pada “kontrak sosial”.58 Bagi Locke, unsur terkecil masyarakat adalah
manusia individual yang hak-hak kodratnya harus dijamin. Struktur politik harus
didasarkan pada asas persamaan penuh. Karena itu, hak kebebasan perlu dibatasi
terkait dengan keharusan untuk menghormati satu sama lain dalam rangka untuk
mewujudkan kehidupan bersama yang penuh kedamaian.59 Dalam bukunya
fundamentals of Ethics, Emerlita S. Quito memaparkan hak merupakan kekuatan
bagi pemiliknya, hal yang lebih menekan pada aspek moral. Menurut Emerlita:
A right is indeed a power, but it is only moral. This means that one
cannot use phiysical force to enjoy a right. Nor can one exact from
another those things appropiate to on’es state in life by means of
force or violence. Right is reciprocal by nature. One has rights that
others are bound to recognize and respect. When these rights are
violeted, moral guilty necessarity aries.60
Wacana konsep tentang koneksi dan interkoneksi antara natural law dan
legal rights, Majda El-Muhtaj dalam bukunya HAM dan Konstitusi Indonesia
mengutif pernyataan Emerlita diantaranya:
Legal rights are advantegous positions under the law of society.
Other species of institutional rights are conferred by the rules of
privete organizations, of the moral code of a society, or even of some
game. These who identity natural rights with moral right, but some
56
Schmandt. pg .316.
David P. Forsythe (ed) Human Ringhts In International Relations. Published in the United
States of America by Cambrige University Press. New York. 2006. pg. 29.
58
Suyanto. (ed) Menjelajahi Demokrasi, Humaniora. 2008. pg.17.
59
Suyanto. (ed). pg 19
60
Emerlita S Quito, disuting dari E Majda El-Muhtaj. pg. 49.
57
21
limit natural rights to our most fundamental rights and contrast them
with ordinary moral rights.61
Dalam rentang sejarah, sejak tahun 1984 dunia sudah memiliki,
Declarations of
Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk
menghormati HAM.62 Sejak deklarasi HAM tersebut, isu HAM menjadi makin
menglobal. Bersamaan dengan itu, banyak negara mendapatkan catatan buruk
pelanggaran HAM yang dilakukan.63
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dari Deklarasi Universal HAM
bahwa, “semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam martabat
dan hak-hak asasi. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta
semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat bersaudaraan”. Deklarasi ini
menjadi sangat terkenal dan menjadi panduan bagi banyak negara-negara, aktoraktor dan institusi global dalam melindungi dan memperjuangkan HAM. 64
Bila dirunut menurut sejarahnya, karakter Perlindungan terhadap hak-hak
dasar manusia telah terjadi sejak abad-13.65Mulai dari Magna Carta di Inggris
menjadi salah satu tonggak penting sejarah perjuangan dan perlindungan HAM.
Piagam ini memuat prinsip-prinsip human rights, termasuk di dalamnya
kesetaraan di depan hukum, kebebasan beragama, dan juga hak-hak kekayaan
(proterty rights). Tinjaun histrosis perjuangan perlindungan HAM ini, terus
berlanjut seiring pergolakan intelektual di negara Barat, di antaranya adalah
United State Declaration of Independence (1776) dan Bill of Right,kemudian The
French Declaration of Right of Man (1789). Menurut Smith, ada dua prinsip dasar
asal usul teori HAM, yakni Liberty-based theory yang lazimnya berada dalam
juridiksi hukum (common law) dan the rights-based theory dari sistem hukum
sipil. Kedua asal teori ini mengatur hubungan antara negara dan individu,
berusaha mengatur campur tangan negara dalam kehidupan pribadi (Private life).
Pada hakekatnya, the liberty theories menuntut individu bebas dari kewenangan61
E Majda El-Muhtaj. (a.b) pg. 49.
Aleksius Jemadu. pg. 213
63
Aleksius Jemadu.pg. 220.
64
Aleksius Jemadu.pg. 221.
65
Rhona K. M Smith. Textbook on International Human Rights. Second Edition, New York:
Oxford University Press. 2005. pg. 5
62
22
kewenangan negara, sedangkan the rights theories didasarkan pada hak-hak dasar
manusia yang melekat dan negara harus menghormati hak-hak tersebut.66
Masa-masa perkembangannya, konsepsi HAM mengalami perkembangan
yang disesuaikan dengan situasi sosial-ekonomi politik dunia. Di sini dikenal ada
empat generasi HAM. Generasi pertama, lebih menfokuskan pada hukum dan
politik. Menurut Muntaj, ini disebabkan oleh realitas yang terjadi pasca Perang
Dunia II dan keingingan negara-negara maju untuk membangun tertib politik dan
hukum. Pada HAM generasi Pertama ini, titik tekan pada usaha-usaha untuk
menciptakan atau memperjuangkan kebebasan berbicara dan berkumpul
(Freedom of speech an assembly), dan hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahaan dari negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih secara langsung (Universal Declaration, pasal 21).
Sebagaimana
dipahami
deklarasi
HAM
generasi
pertama,
lebih
menfokuskan pada hak-hak sipil dan politik yang berasal dari teori-teori reformis,
abad 17 dan 18 yang sangat tajam menyoroti revolusi di Inggris, Perancis dan AS.
Dalam konsepsi HAM generasi pertama ini, ideologi politik individualisme liberal
dan doktrin ekonomi dan sosial laissez-faire amat menonjol. Selain itu, seperti
dikemukakan oleh Waston, HAM lebih dipahami sebagai abstensi negara dalam
pencarian martabat manusia. Kemudian, oleh karena tuntutan yang semakin besar
akan perluasan konsepsi HAM, maka penghormatan atas dasar HAM dalam
kerangka kebebasan sipil dan politik tidak lagi dianggap memadai. Oleh
karenanya, muncullah konsepsi HAM generasi kedua. Generasi HAM kedua ini
mengakui hak-hak ekonomi, sosial dan kultutal yang sangat penting bagi
martabatnya dan pengembangan secara bebas dari kepribadiannya (pasal 22).67
Lebih lanjut, pada 1966, muncul dua konvenan penting dalam perluasan
HAM di dunia, yakni International Convenant on Civil and Political Right
(ICCPR) dan International Convenant onf Economic, Social, and Cultural
Deveploment (ICESCR). ICCPR terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal. Pasal 1
menyatakan, “All people have the right of Self-determination. By virtue of that
66
67
Winarno, Budi. pg. 221.
Winarno, Budi.pg. 221
23
right they determine their political status and freely pursue their economic, sosial
and cultural right.” ICESCR terdiri dari 5 bagian 51 pasal.68
Diserapkannya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dalam konvenan
HAM merupakan terobasan penting, mana kala dunia dihadapkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era millinium ini. Bagaimanapun hak-hak sipil
dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berkumpul tidak banyak berarti jika
masyarakat hidup dalam kelaparan. Secara esensial Gavison, mengemukan bahwa
pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai
satu kesatuan HAM sehingga keberadaannya akan sangat penting bagi usaha
nyata untuk mencapai martabat manusia.69 Selanjutnya, kuatnya pengaruh wacana
pembanguan dalam HAM bisa dilihat dengan jelas pada Deklarasi tentang Hak
dan Pembangunan (Declaration on the Rights to Development) pada 1986.
Deklarasi ini diterima PBB melalui resolusi 41/128 tanggal 4 Desember 1986
yang kemudian kenal sebagai konsepsi HAM generasi ketiga. HAM generasi
ketiga menurut the Banjul Charter bangsa/penduduk yang mempunyai hak untuk
menentukan ‘secara bebas kekayaan dan sumber alamnya’ (Pasal 21 (1)). Dalam
hal ini individu mempunyai tugas melayani masyarakat alaminya dengan
menempatkan kemampuan
fisik
dan intelektualnya
pada
pelayanannya,
mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai budaya secara positif dalam
kaitannya dengan anggota masyarakat (Pasal 29 (2) & (7).70
HAM generasi ke empat dipengaruhi beberapa faktor. Sebagaimana
dikemukakan oleh Jimlie Asshiddigie, ada empat faktor yang mempengaruhi
lahirnya HAM generasi keempat. Pertama, konglomerasi raksasa dalam bentuk
multinasional atau disebut transnasional corporations. Kedua, fenomena nation
without states. Ketiga, global citizen yang berimplikasi lahirnya kelas sosial
tersendiri. Lesly Sklair menyebutnya sebagai elit-elit transnasional. Keempat,
pengaturan entitas baru yang bersifat otonom dalam bentuk corporate federalism.
Singkatnya, generasi HAM keempat ini merupakan respons atas perubahan-
68
Winarno. pg. 222.
Winarno. pg. 222.
70
Winarno. pg.223.
69
24
perubahan dunia yang sangat cepat sebagai akibat globalisasi.71 TL sebagai negara
demokratis adalah terikat secara hukum untuk melindungi dan menjunjung tinggi
HAM, karena secara tidak tersirat masyarakat telah menyerahkan sebagian hakhaknya kepada negara untuk dijadian hukum. Negara memiliki hak membuat
hukum dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Dalam hal ini, negara
mempunyai kekuasaan/power.72 Kekuasaan negara tertinggi berarti kekuasaan
yang tertinggi dalam menentukan kehendak di dalam negara tersebut.73
Dalam mengafirmasikan kategori pelanggaran HAM, menurut Aleksius
Jemadu adat ada dua macam cara yakni pertama, pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya sebagai bagian dari kejahatan
biasa (ordinary crime) yang disebabkan oleh hakekat manusia yang tidak
sempurna. Kedua, pelanggaran HAM yang terjadi karena penyangkalan terhadap
HAM secara sistemik atau sistimatis yang mengarah pada apa yang disebut gross
violations of human rights.74 Lebih lanjut mengenai kategori pelanggaran menurut
Cecilia Media Quiroga yang dikutip Prof. Aleksius mengartikan sebagai:
Gross violations of human rights quantity and in such a manner as to
create a situation in which the right of life, to personal integrity or to
personal liberty of the population as a whole or of one more
sectorsof the population of a country are continously infringed or
threatened.75
Bertolak dari, sejak adanya Deklarasi Universal HAM, umat manusia terus
menerus termotivasi mencari upaya perlindungan dan pencegahan terhadap
pelanggaran HAM, sehingga tidak satupun golongan umat manusia seperti kaum
difabel, penderita Aids, orang miskin, anak-anak yang tidak lindungi haknya
sebagai manusia. Maka perlunya suatu perjanjian lebih khusus lagi, seperti
Konvenan hak-hak sipil dan politik, Konvenan hak-hak sosial sosial dan budaya. 76
71
Winarno. Budi,pg. 223
Power diartikan sebagai kemampuan suatu negara mempengaruhi aktor lain, dalam upaya
mencapai tujuan dan mengamankan kepentingan dalam politik lokal maupun internasional. Lihat
Ashari Khasan. pg.356.
73
Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 1990. p. 11.
74
Aleksius Jemadu. pg. 213.
75
Aleksius Jemadu sebagaimana mengutif dari Cecilia Medina Quiroga. pp. 214.
76
Eko. Prasetyo, HAM, Kejahatan Negara dan Imperalisme Modal. Penerbit Insist Press. 2001.
pg. vi.
72
25
Pendekatan dari sisi Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi tertulis.
Ada pun batasan-batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai
berikut: (1) suatu kumpulan kaidah yang memberi pembatasan-pembatasan
kekuasaan kepada para penguasa; (2) suatu dokumen tentang pembagian tugas
sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik; (3) suatu deskripsi dari lembagalembaga negara; dan (4) suatu deskripsi yang menyangkut masalah HAM.77
Pendapat yang memperkuat UUD dapat menyimak pandangan E. G. S. Wade
dalam bukunya Constitutional Law, diantaranya: a document having a special
legal sanctity which sets out the framework and the principal functions of the
organs of government of a state and declares the principles governing the
operation of those organs.78
Begitu pentingnya kehadiran konstitusi bagi sebuah negara, maka
muncullah istilah pemerintahan konstitusional (constitutional government), yakni
pemerintah yang berdasarkan konstitusi. Intinya, menekankan adanya supermasi
konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Hitcner dan
Levine memaparkan bahwa:
Today, the ideal of constitutional government is universally accepted
among democracies.Each newly independent nation considers the
promulgation of a constitution a significant step in attaining equal
status with established states. The practice of constitutionalism,
however, is much less frequent, for the claim that a constitution exist
is not a guarantee that it really does. In fact, one of the most
important, and difficult, evaluations to make about a government is
whether or not it has working constitution.79
Sesungguhnya supermasi konstitusi (supermacy of the constitution)
mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara. Untuk menguat
pandangan bahwa konstitusi adalah bagian penting bagi sebuah negara, ada
baiknya dilihat pendapat Bryce seputar motif politik dalam penyusunan sebuah
konstitusi, sebagaimana dikutif Joeniarto, sebagai berikut:
1. Keinginan untuk menjamin hak-hak dan untuk mengendalikan tingkat laku
penguasa;
77
El-Muhtaj. Majda, pg.15-16.
EL-Muhtaj, pg.34.
79
EL-Muhtaj, pg. 35.
78
26
2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada dalam
rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenangwenang dari penguasa di masa depan;
3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau
mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang
permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara;
4. Hasrat dan keinginan untuk menjamin adanya kerja sama yang efektif dari
beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri.80
Menarik diskursus tentang HAM, membawa pengaruh signifikan dalam
konteks TL, secara umum, tersirat dari pasal 1 hingga 60, dan secara spesifik
terurai dalam pasal 27, 92, 150, dan 151 dari Konstitusi RDTL81 di mana PN
melalui UU No. 7/2004, semuanya mencerminkan upaya negara dalam
mewujudan pemenuhan, perlindungan dan penegakkan dan promosi HAM.
E. Argumen Utama
Dari penelitian ini, menguraikan lembaga PDHJ berperan penting membantu
negara dalam hal pemenuhan, perlindungan dan penegakkan, serta menciptakan
kesadaran bagi aparat-aparat publik untukmenyadari pentingnyanilai universalitas
HAM bagi kehidupan bernegara. Untuk mewujudkannya, PDHJ secara reguler
mensosialisasikan, mempromosi pendidikan dan menyelenggarakan pelatihan
HAM kepada institusi-institusi terkait, melakukan pemantauan secara reguler dan
penelitian terhadap situasi umum HAM di TL. Selanjutnya, PDHJ secara
berkesinambungan mengunjungi sekolah-sekolah, pusat kesehatan, penjarapenjara dan sel tahanan kepolisian yang tersebar di wilayah hukum TL, untuk
memastikan terpenuhi HAM, sekaligus sebagai upaya preventif penyalahgunaan
kekuasaan dari aparat terhadap para tahanan, dan menyampaikan petisi kepada
pemerintah. PDHJ juga melakukan penyelidikan terhadap laporan masyarakat dan
merekomendasikan kepada institusi terkait, KA untuk menindaklanjuti hingga
keputusan final dari pengadilan.
80
EL-Muhtaj, pg. 37.
Lebih lengkap penjelasan mengenai Pasal-pasal yang dirangkai di atas, dapat dilihat pada
Konstitusi RDTL. pg. 10, 42 dan 66.
81
27
Untuk faktor internal mendorong PDHJ membangun jejaring kerjasama
dengan institusi-institusi pemerintah berkaitan dengan implementasi rekomendasi,
sedangkan dengan LSM nasional untuk bahu membahu mensosialisasikan dan
pelatihan HAM kepada komunitas. Sedangkandari aspek eksternal PDHJ menjalin
kerja sama dengan institusi nasional HAMmaupundengan organisasi regional dan
dunia, selain memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi PDHJ untuk sharing
pengalaman, studi komparatif, pemantauan bersama, dukungan finansial demi
pemberdayaan staf, pengembangan organisasi hingga terlaksananya norma-norma
dan nilai-nilai HAM secara universal.
F. Metode Penelitian
Metode Hubungan Internasional sebagai suatu displin ilmu terikat oleh prosedur
ilmiah yang lazim disebut metode penelitian. Ilmu yang mempelajari metode
penelitian adalah metodologi.82 Artikulasi dari Penelitian adalah suatu
penyelidikan
sistimatis
untuk
meningkatkan
sejumlah
pengetahuan,
pengorganisasian masalah tertentu yang memerlukan jawaban.83
Untuk itu, dalam menulis thesis ini, penulis menggunakan metode
kualitatif,84 dengan jenis diskriptif analitis, dengan cara pengumpulan data-data,
menganalisa fakta-fakta melalui studi kepustakaan seperti data Primer, sekunder
dan tersier. Sungguh pun pengembaran fakta-fakta melalui wawancara,
mengumpulkan bahan-bahan khas yang berkaitan erat dengan peran
aktif
lembaga PDHJ dalam penegakan, proteksi dan mempromosikan HAM di TL dari
tindakan represif negara.
Metodologi menurut Mahtor Mas’oed merupakan prosedur yang dipakai dalam
mendiskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena . Lihat Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu
Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi (Edisi Revisi). Yogyakarta: LP3ES. pg. 2
83
Umar Suryadi Bakry. Metode Penelitian Hubungan Internasional.Yogyakarta, Penerbit Pustaka
Pelajar. 2015. pg.7.
84
Metode kuatitatif dapat dimaknai sebagai perspektif intensif mikro yang berdasar studi kasus
atau fakta yang diperoleh dari situasi-situasi tertentu, tetapi sebetulnya dapat menjadi berskala
besar. Lihat Roger Bullok dkk, dalam Julia Brannen, a.b. Nuktah Arfawie Kurde. Memantau
Metode Penelitian:Kualitatif & kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas IAIN
Antasari Samarinda. 1997. pg. 116.
82
28
G. Sumber dan Teknik Pengambilan Data
Sumber data yang dapat digunakan dalam Ilmu Hubungan Internasional menurut
Trygve Mathisen meliputi dokumen, interview, quisioner, gambaran geografis dan
obervasi.85 Pandangan Trygve tentang sumber data dalam penulisan ilmu HI
selaras dengan argumen Charles A. McClelland, bahwa data-data dalam HI adalah
bersifat sejarah. Hal ini dimaknai bahwa sumber data tersebut merupakan laporan
tentang peristiwa dari berbagai kejadian, baik yang berifat terbuka untuk umum,
maupun yang bersifat tertutup.86
Penelitian ini dilakukan melalui penelitian lapangan, dengan mengajukan
pertanyaan (interview)87 kepada narasumber, sesuai dengan permasalahan yang
dicari jawabannya. 88Adapun buku-buku yang digunakan sebagai sumber utama
dan pendukung terikat denganPeran PDHJdalam mengatasi pelanggaran HAM di
TL tahun 2009-2014, merupakan subjek penalaran penelitian ini. Adapun data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan meliputi buku,
jurnal, majalah dan sumber internet yang memiliki level validity dan kehandalan
(realibility).
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan dijelaskan dalam lima bab, sebagai berikut:
BAB I memaparkan latar belakang penulisan yang berisi pembentukan
UU No. 7/2004 yang melejitimasi berdirinya PDHJ dan perannya dalam
mempromosi, memproteksi dan melindungi HAM di TL. Dalam bab ini juga
diketengahkan topik perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
argumen utama, metode penelitian dan sistimatika penulisan.
85
Trygye Mathisen. Methodology in the Study of International Relation. Oslo University Press.
1959. p.2002-210.
86
Data tertutup adalah kategori data rahasia negara, isi surat-surat tokoh, berbagai kantor
pemerintah, hasil tulisan dan interview dari orang-orang yang terlibat atau menjadi saksi dari
kejadian tertentu. Lihat Charles A. MeClelland. Theory and the International System. a.b. Min
Joebhar dan Ishak Zahir. Ilmu Hubungan Internasional: Teori dan Sistem. Jakarta: Rajawali. 1981.
pg.156.
87
John Creswell. 2015.Riset Pendidikan, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi, Edisi Kelima.
Diterjemahkan dari Educational Research, Planning, Conductiong, and Evaluating Quantitative
and Qualitative. Diterbitkan oleh Perason Education, Inc. pg.5.
88
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Press, Jakarta. 1986. pg.24-25.
29
BAB II akan mengetengahkan isu HAM sebelum dan paska restorasi
kemerdekaan TL, yang berimplikasi pada pembentukkan PDHJ oleh Pemerintah
Republik Demokratik TL.
BAB III akan meneropong upaya-upaya yang dilakukan oleh PDHJ dalam
mengatasi pelanggaran HAM di TL.
Bab IV Prospek PDHJ ke depan, koordinasi, program jangka pendek dan
panjang kerja sama dan telaah peran PDHJ dalam penegakan HAM di TL.
Bab V berisi kesimpulan penulisan dalam peran PDHJ dalam mengatasi
pelanggaran HAM di TL.
30
Download