BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah Hak Asasi Manusia1 (HAM) belakangan ini kembali menjadi isu penting bagi masyarakat dunia. Kasus pelanggaran HAM terus menjadi sorotan di dunia internasional, terutama pasca terjadi gelombang perubahan di kawasan Eropa Timur pada tahun 1980-an. Perubahan ini berawal dari Uni Soviet ketika kebijakan Glasnost dan Perestroika digulirkan oleh Mikhael Gorbachev.2 Gerakan perubahan tersebut adalah gelombang proses demokratisasi yang meruntuhkan rezim otoritarian-komunis di Uni Soviet dan merambah ke negaranegara Eropa Timur lainnya.3 Dinamika global ini menyebabkan isu perang dingin (Cold War)4 memasuki garis finish dalam menerapkan sphere of influence di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Praktis menghapuskan struktur bipolar yang mendominasi politik global lebih dari setengah abad.5 Usainya gema Cold War pada 1980-an, menyebabkan isu HAM menjadi perdebatan hangat dalam politik global6, di samping demokrasi dan masalah Istilah HAM merujuk pada Black’s Law Dictionary, diartikan sebagai kebebasan, kekebalan, serta keuntungan-keuntungan yang mana menurut nilai-nilai modern memungkinkan semua umat manusia untuk mengakuinya sebagai hak dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Lihat pula, penafsiran Lembaga PBB bahwa Human Right could generaly be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being. 2 Chusnul Mar’iyah. Indonesia-Australia Tantangan dan Kesempatan Dalam Hubungan Politik Bilateral. Pengantar: Rahmatika Creative Desaign. 2005. pg. vii. 3 Ahmad Zubaidi. Disertasi, Filsafat Politk John Locke dan Relevansinya dengan HAM di Indonesia. Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2015. pg. 1. 4 Istilah Cold War diperkenalkan oleh jurnalis asal AS H. B. Swape dan dipopulerkan Walter Lippman untuk menyebut situasi ‘tidak ada peperangan maupun perdamaian’ antara AS dan Uni Soviet. Cold War menyebabkan polarisasi politik internasional ke dalam kutub demkorasi a la AS dan sosialis gaya Uni Soviet. Perseteruan keduanya melahirkan; (a) Pakta Warsawa mewakili Uni Soviet dan AS di back-up oleh NATO, (b) persaingan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, (c) memanfaat negara-negara yang mewakili kedua kubu untuk berperang (Proxy War) seperti perang Korea, Afganistan menjadi contoh rivalitas kedua super power. Lihat Ashari, Khasan. Kamus Hubungan Internasional, Penerbit Nuansa Cendekia. 2015. pg. 104. 5 Bandoro, Bantarto. Masalah-Masalah Keamanan Internasional. Kertas Kerja. Disampaikan Pada Seminar Nasional dan Lokakarya Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM. 2003. Pdf. Diakses pada, 12 November 2015. 6 Jemadu, Aleksius. Politik Global Dalam Teori dan Praktik. Edisi kedua. Penerbit, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2014. pg. 211. 1 1 lingkungan hidup.7 Maraknya pelanggaran HAM di dunia dan dalam jumlah kasus yang semakin meningkat, mendorong aktor-aktor internasional memberikan perhatian ekstra serius terhadap faktor-faktor yang penyebab pelanggaran HAM serta menawarkan cara untuk mengatasinya.8 Dalam konteks yang lebih luas, HAM yang dikategorikan sebagai isu lunak (soft issue/low politics) bila dikomparasikan dengan isu politik dan militer yang digolongkan isu-isu keras (hard issue/high politics) di antara nations-states. Ini bersingguhan dengan dunia yang tidak hanya didominasi perspektif realisme, tetapi terpola dalam perspektif saling membutuhkan (interdependence a la liberalism perspective) yang menjadi interconnected di antara nations-state dan dicirikan bersifat lintas-batas, saling mempengaruhi dan salingketerkaitan. Pada kurun waktu itu pula, isu ideologi lebih menonjol dibandingkan isu negara-negara jajahan, yang ingin menentukan haknya sendiri (the right to selfdetermination9). Sebagaimana berkaitan dengan principle menentukan nasib sendiri merupakan salah satu dari empat tujuan dibentuknya Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Hak menentukan nasib sendiri, dinyatakan sebagai hak-hak asasi dalam kedua konvenan internasional yakni Hak-hak sipil dan Politik (Covenant on Civil an Political Rights/CCPR) dan; hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/CSCR).10 Mengambil momentun spesial keberhasilan Referendum kemerdekaan11 PBB, 30 Agustus 199912, di mana República Democrática de Timor-Leste, nama dalam Bahasa Portugal yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi Republik Demokratik Timor-Leste, ini adalah nama resmi dari negara Timor7 Lihat<http://dokumen.tips/documents/tugas-ham-1doc.html> diakses pada, 20 Januari 2016. Jemadu, Aleksius. pg. 211. 9 Dalam Piagam PBB mencantumkan dua arti self determination. (a) diartikan sebagai hak suatu negara untuk memilih secara bebas, sistem politik, ekonomi, dan budaya yang dianutnya. (b) berarti sekelompok orang untuk menyatakan sebagai bagian dari suatu negara atau menentukan secara bebas, bentuk hubungan dengan negara lain. K. Ashari, pp.394. Lihat ICCPR Pasal 1 menyatakan, “All people have the right of Self-determination. By virtue of that right they determine their political status and freely pursue their economic, sosial and cultural right.”. 10 Lihat Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. pg. 127. 11 Lihat <https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum_kemerdekaan_Timor_Leste_1999, Diakses pada 10 Desember 2015. Lihat pula https://id-id.facebook.com/notes/unofficial-kopassus/> Diakses pada 10 Desember 2015. 12 Pat Walsh. Di Tempat Kejadian Perkara. PT Gramedia Jakarta. 2012. pg. 18. 8 2 Leste (TL).13 RDTL meraih kembali kodratnya sebagai negara merdeka, pasca 24 tahun di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia, dan empat setengah abad dijajah bangsa Português. Kewajiban untuk memenuhi syarat sebagai negara demokrasi adalah dengan memberi penghargaan dan perlindungan terhadap HAM. 14 Hal itu memungkinkan Timor-Leste bersandar pada sistem demokrasi. Jika tanpa dikawal lembaga HAM, al hasil negara hanya bersifat prosedural dan formalitas. Jadi, untuk merumusnya, maka pasca restorasi kemerdekaan pada, 20 Mei 200215, di bawah transisi PBB/UNAMET (United Nations Assistance Mission for East Timor)16 dan untuk melengkapi (complementary) sistem ketata-negaraan dan penghormatan HAM secara yuridis formal, Parlamen Nasional (PN) mengesahkan pasal 27 dalam Konstitusi RDTL. Kemudian deskripsinya dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7/200417, (UU No. 7/2004), cikal bakal lahirnya Institusi Provedoria dos Direitos Humanos e Justiça/Ombusdman untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan (PDHJ). Lebih jauh, berpredikat sebagai organ independen, PDHJ memiliki formulasi penting untuk penegakkan HAM berdasarkan prinsip negara hukum (the of law principle). Kehadiran PDHJ sebagai institusi law enforcement yang diberi label untuk menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam wujud penghormatan (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fullfil), individu, di sisi lain diterjemahkan oleh kewajiban untuk tidak menggangu HAM individu yang lain.18 Kerangka acuan independen kelembagaan diuberkan dalam UU No. 7/2004, PDHJ berlandaskan pada Pasal 27 Konstitusi RDTL menekankan bahwa: 13 http://internasional.kompas.com/read/2016/12/17/16534521/14.tahun.merdeka.dari.indonesia.bag aimana.kondisi.timor.leste.kini Diakses pada, 17 Desember 2016. 14 Setiardja, A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 1993. pg. 94. 15 Lihat <https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Konstitusional_Pertama> Diakses; pada tanggal, 12 Desember 2015>. 16 Lihat <http://www.organisasi.org/1970/01/arti-unamet> Diakses pada, 14 Desember 2015>. 17 Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste. 2002. pg. 30. 18 Soetjipto W, Ani (ed). HAM dan Politik Internasional: Sebuah Pengantar. Penerbut Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2015. pg. 182. Lihat pula <http://webcache.googleusercontent.com/s> diakses pada 14 Januari 2016. 3 PDHJ adalah lembaga independen yang berfungsi sebagai penerima dan menyelesaikan atas pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh warga negara mengenai badan umum yang terbukti telah melakukan perbuatan melanggar undang-undang. Dimulai dari proses pencegahan guna memperbaiki ketidakadilan dengan kewenangannya untuk penyelesaian kasus-kasus konkrit tanpa kekuasaan untuk memutuskan, tetapi menyampaikan rekomendasi kepada lembaga-lembaga yang berkompetensi.19 Sementara itu, secara operasional, untuk memproteksi hak-hak individu (human rights) dan hak-hak masyarakat (communal rights) terserap dalam pasal 1 huruf (g), UU No 7/2004, PDHJ menjamin bahwa: Hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar berarti hak, kebebasan dan jaminan yang disebutkan dalam Bagian II Konstitusi RDTL dan hak-hak yang disebutkan dalam instrumeninstrumen PBB mengenai HAM, yang semuanya ditafsirkan sesuai dengan Deklarasi Universal HAM.20 Dalam konteks memayongi kepentingan publik (public interest), dari tindakan di luar hukum oleh negara, baik melalui perorangan atau kelompok aparat dapat dirumuskan sebagai tindak pelanggaran HAM. Kiranya diartikulasi sebagai suatu perbuatan penyalahan kekuasaan (abuse of power), tidak bias hukum, tanpa proses yang adil dan kewajaran atau diabaikan maka, seperti dijabarkan pada pasal 5 (2) UU No. 7/2004, yang memberi kompetensi tugas dan kewenangan PDHJ mencakup; Untuk menerima pengaduan-pengaduan masyarakat, melakukan investigasi dan menyampaikan rekomendasi kepada badan-badan umum yang berkompeten, dengan masukan yang tepat bagi pencegahan atau memperbaiki hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum atau ketidakadilan.21 Dengan mengusung bendera legalitas, PDHJ sebagai lembaga yang bersifat Independen22 dapat konsisten bertindak netral dan imparsial untuk 19 Lihat UU No. 7/2004, Pasal 27, Lihat pula http://pdhj.tl/mengesahkan-statuta-kantor-provedoruntuk-hak-asasi-manusia-dan-keadilan/Diakses pada, 17 Nopember 20165. 20 Lihat UU No. 7/2004 pasal 1 (g).Lihat pula, Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong Good Governance di Timor-Leste. 2014. Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung. 2014. 21 Lihat UU No. 7/2004 pasal 5 (2). Lihat, Dos Santos. pp. 3. 22 Lihat juga Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM. 4 menampung dan merespon laporan warga masyarakat, kemudian menyelidiki dan merekomendasi seperti terurai dalam pasal 28. Sedangkan hakekat pelaksanaan fungsinya bersumber pada pasal 23 hingga 27, UU No. 7/2004, Lembaga PDHJ yang memiliki kewenangan untuk; (a) Menerima pengaduan; (b) Menyelidiki dan meneliti masalah-masalah yang berada dalam wewenangnya; (c) Memutuskan untuk tidak melakukan tindakan lebih lanjut atau menolak, pengaduan-pengaduan yang diberikan padanya, sesuai dengan Pasal 37 (3) di bawah; (d) Memerintahkan kepada seseorang untuk menghadap padanya atau di tempat lain yang dianggap lebih tepat jika orang tersebut punya keterangan yang relevan untuk penyelidikan yang dilaksanakan atau akan dilaksanakan; (e) Memiliki akses pada fasilitas-fasilitas, gedung-gedung, dokumendokumen, peralatan, barang-barang atau informasi untuk inspeksi dan interogasi orang yang berkaitan dengan pengaduan; (f) Mengunjungi setiap tempat tahanan, perawatan atau pelayanan untuk memeriksa keadaannya dan melakukan wawancara konfidensial dengan orang- orang dalam tahanan; (g) Meneruskan pengaduan kepada yurisdiksi yang berwenang atau mekanisme bantuan lainnya; (h) Meminta izin dari PN untuk menghadap pengadilan, mahkamah arbitrasi atau komisi penyelidikan administratif; (i) Bertindak sebagai mediator atau konsiliator antara pengadu dengan badan atau instansi yang diadukan, jika pihak-pihak sepakat untuk mengikuti proses demikian; (j) Membuat rekomendasi untuk penyelesaian pengaduan yang disampaikan padanya, terutama dengan mengusulkan penyelesaian dan reparasi; 5 (k) Memberikan nasehat termasuk pendapat, usulan dan rekomendasi untuk keperluan perbaikan penghormatan pada HAM dan pemerintahan yang baik oleh instansi-instansi yang berada di dalam yurisdiksinya; (l) Melapor kepada PN mengenai temuan-temuan suatu penyelidikan atau mengenai rekomendasi-rekomendasinya.23 Tidak ketinggalan, secara praktis sifat kolektivisme terpatri pada PDHJ, adalah memainkan peran the rule of law principle sebagai prereferensi penegakan HAM—melalui kegiatan seperti; penyelidikan (investigations)24, pemantauan dan advokasi (monitoring and advocacy)25, promosi dan edukasi26 terhadap aparataparat dan instansi-instansi Pemerintah/negara, yang ditentang praktek pelanggaran HAM terhadap individu manusia sebagai warga masyarakat. Permulaan proses, sebagai ujung tombak (the frontline)penegakkan HAM, PDHJ berkewajiban memperbaiki rasa ketidakadilan masyarakat dari tindakan represif negara. Bertolak dari pengertian ini, negara harus responsif terhadap tekanan aktor-aktor lain di luar dirinya terutama, civil society untuk aktif mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. Secara prinsipilkegiatan promosi HAMsebagai salah satu public goal yang merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat untuk diintegrasikan dalam kehidupan bernegara.27 Dalam perspektif penegakan HAM, selain didukung oleh Konstitusi RDTL dan UU No. 7/2004, peran PDHJ juga berorientasi pada instrumeninstrumen hukum internasional. Oleh karenanya, TL telah meratifikasi tujuh konvenan28 sebagai pemenuhan hak asasi bagi warga negaranya.29 Lihat UU No. 7/2004, Pasal 28 (a-l) Lihat pula, Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong Good Governance di Timor-Leste. 2014. Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung. 24 Lihat UU No. 7/2004, pasal 23 tentang penyelidikan yang dilakukan oleh PDHJ. 25 Lihat UU No. 7/2004, pasal 24 (a-e) tentang Pemantauan dan Nasehat. 26 Lihat UU No. 7/2004, Pasal 25 (1-2) Pemajuan HAM dan Good Governance. 27 Aleksius Jemadu. pg. 217. 28 Lihat <http://mj.gov.tl/?q=node/786> Diakses pada, 04 Juli 2015. 29 Lihat pasal 1 (g) menjelaskan bahwa; (g) “Hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar” berarti hak, kebebasan, dan jaminan yang disebutkan dalam Bagian II Konstitusi RDTL dan hakhak yang disebutkan dalam instrumen-instrumen PBB mengenai HAM, yang semuanya ditafsirkan sesuai dengan DUHAM; 23 6 Sejak dimulainya program penegakan satu dekade lebih, PDHJ, namun berbagai aral melintang masih menghadang. Kemajuan penegakan dan menciptakan kesadaran akan nilai-nilai HAM bagi aparatur negara sebagai suatu tradisi belum sepenuhnya melekat pada diri dan tugas. Referensi tentang kekerasan langsung maupun strutural masih akrab dipraktekkan aparat-aparat Kepolisian, Kemiliteran, Dinas Penjara, dan institusi lainnya. Sungguhpun grafik pola-pola kekerasan masih menghiasi wajah negara, namun upaya preventif dirumuskan melalui sosialisasi, promosi, dan edukasi HAM terus digalang oleh PDHJ. Tujuannya, agen negara dapat menyelami norma-norma HAM bagi kehidupan dandapat diaktualisasikan dalam dinas. Karenanya secara pluralis, peran PDHJ dalam memajukan dan menegakan HAM, dapat tersebar lebih luas di tengah masyarakat—untuk memudahkan warga menyampaikan pengaduan, manakala hak-hak asasinya ditentang aparat publik. PDHJ pun, mendirikan kantor regional di empat distrik, selain kantor pusat di Dili.30 Grand Design dari tata-cara penyampaian pengaduan, PDHJ mengadopsi dua mekanisme yakni, (1) Laporan Pengaduan yang datang dari masyarakat. (2) Berdasarkan Inisiatif Provedor31. Inisiatif Provedor ditempuh apabila adanya dugaan pelanggaran HAM, dan tidak adanya pengaduan dari warga, maka PDHJ langsung menangani melalui proses penyelidikan dan rekomendasi. Narasi tentang metode menyampaikan pengaduan masyarakat bisa datang langsung ke kantor PDHJ, atau bisa melalui telepon, mengirim surat elektorik (email) dan surat, baik yang dikirim langsung atau melalui kotak pelayanan pengaduan masyarakat yang disediakan di 64 subdistrik di seluruh wilayah TL. Kiranya, masyarakat yang berdomisili jauh dari kantor pusat maupun empat kantor wilayah, bisa menjangkau dengan memasukkan surat melalui kotak pelayanan pengaduan tersebut. Lalu, staf PDHJ akan melakukan pengecekan, 30 Empat kantor regional diantaranya distrik Baucau, untuk melayani distrik Manatuto, Vigueque dan Lospalos. Distrik Bobonaro, untuk menjangkau distrik Ermera, dan Covalima. Distrik Manufahi untuk menampung laporan dari distrik Ainaro dan Aileu. Sedangkan distrik Liquiça masuk dalam scope kantor pusat di Dili. Tujuannya kantor wilayah adalah sebagai penghubung/koordinator yang bertugas melaksanakan pemantauan secara reguler, desiminasi pendidikan HAM dan peran PDHJ, dan menerima laporan pengaduan dari masyarakat. 31 Provedor adalah sebuah untuk pemimpin PDHJ. 7 apabila ada surat di dalam kotak pengaduan maka, akan diambil, guna diproses sesuai syarat yang telah ditetapkan. Sungguhpun PDHJ telah memiliki empat kantor wilayah, tetapi kewenangan penyelesaian kasus-kasus pengaduan masih diproses di kantor pusat di Dili. Berikut ilustrasi metode penyampaian pengaduan: Illustration of method of making complaint32 Secara spesifik, setiap pengaduan yang masuk PDHJ, awalnya akan diterima oleh Departemen Penerimaan Pengaduan, kemudian diteliti status kasusnya, apakahmasuk dalam pelanggaran HAM atau Good Governance. Setelah dipastikan masuk dalam kategori pelanggaran HAM akan dirujukan kepada Divisi HAM dan dilimpahkan kepada Departemen Penyelidikan HAM, untuk dianalisis secara preliminar (preliminary analysis) terutama tentang statetmen pengaduan (file case record) oleh para penyidik, lantas diajukan kepada Komite Manajemen Pengaduan Kasus, untuk diputuskan oleh Provedor, apakah memenuhi jurisprudensi PDHJ, maka akan dibuka untuk suatu penyelidikan hingga rekomendasi. Apabila kasus tersebut tidak masuk dalam mandatori PDHJ, secara alami, akan disalurkan ke institusi berkompeten. Akan tetapi, apabila kasus tersebut belum terpenuhinya kriteri yang ditetapkan maka akan dipending, hingga adanya kelengkapan syarat pengaduan dari pengadu/pelapor.33 Bahkan bukan hanya itu, secara kriteria, kasus-kasus yang buktinya tidak cukup, akan tutup. Sebaliknya kasus pengaduan yang masuk dalam yuidiksi dan 32 Lihat http://pdhj.net/case-handling/make-a-complaint-online/ diakses pada 17 Nopember 2015. Lihat pula: JSMP Report: StrengtheningDecentralisation in the Office of the Ombudsman for Human Rights and Justice. 2014. pg. 16. 33 Dos Santos, Abel. Tesis Peran Ombusman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Dalam Mendorong Good Governance di TL. 2014. Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung. pg. 10. 8 bukti-bukti yang mumpuni, akan dibuka untuk penyelidikan. Hasil temuan penyelidikan yang disebut, akan dituliskan dalam bentuk Laporan Investigasi Akhir, kemudian direkomendasikan kepada instansi publik (Terlapor), Kejaksaan Agung (KA), untuk diproses hingga putusan final pengadilan, atau dijadikan laporan tahunan, lantas dikirim kepada PN, atau mengumumkan kepada publik berkaitan laporan-laporan atau rekomendasi-rekomendasi yang tidak diindahkan atau mengenai aktivitasnya.34 Berikut adalah roadmap penyaringan kasus pengaduan di PDHJ, Receive Complaint Preliminary Appraisal Inquiry Stage Follow Up stage Close Complaint Send Archive Postpone Decision Refer to Rel instiitution Receive Complaint Preliminary Evaluation Open Case Send Notice of Crime to DPP/ Public Ministry Make a short report if no violation Investigation Report Mediation and Conciliation Concensus Violation have Follow up on recommendat ion Follow up on agreement Struktur I: Metode penyampaian pengaduan kasus hingga proses penyelesaian yang diterapkan PDHJ. 35 Bila menelisik dari sejak lahirnya, PDHJ telah menerima pengaduanpengaduan kekerasan yang mencederai nilai-nilai HAM, yang melibatkan aparat publik atau merepresentasi institusi-instusi negara. Berikut daftar pengaduan dari tahun 2006-2013 yang tercatat oleh PDHJ: 34 Lihat pasal 34 Kewajiban Melaporan menurut UU No. 7/2004 menjelaskan bahwa; PDHJ harus melapor setiap tahun kepada PN mengenai pelaksanaan fungsi-fungsinya; Jika keadaan mengharuskan, PDHJ bisa memutuskan untuk secara langsung mengungkapkan kepada publik atau mengeluarkan komunike atau menerbitkan informasi mengenai pendapat-pendapat, rekomendasi-rekomendasi, dan laporan-laporannya mengenai kasus-kasus tertentu atau mengenai kegiatannya; Setiap publisitas yang dikeluarkan oleh PDHJ harus berimbang, adil, dan benar. 35 Final Report: Strengthening Decentralisation in the Office of the Ombudsman for Human Rights and Justice. 2015. pg. 16. 9 441 70 42 89 46 44 55 38 57 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total Total: Pengaduan Pelanggaran HAM dari tahun 2006-201336 Dari grafik di atas menunjukan kasus pelanggaran HAM tertinggi, terjadi pada tahun 2008, dengan 89 kasus, berikutnya adalah 2006 dengan 70 kasus dan 57 kasus pada tahun 2013. Sebaliknya 34 kasus untuk 2005, dan terakhir 64 kasustahun 2014. Jadi aktualisasi data, 2005 hingga 2014 total kasus pelanggaran yang diterima dan diproses oleh PDHJ mencapai 543 kasus, sudah termasuk 3 kasus berdasarkan inisiatif Provedor. Keselarasan kasus-kasus tersebut, selain direkomendasikan ke institusi terkait, PDHJ pun telah melimpah 152 kasus kepada institusi KA. Di satu pihak 53 kasus ditutup atau diarsipkan. Di sisi yang lain, ditelisik dari statistik berdasarkan institusi-institusi, sebagai besar kasus pelanggaran HAM melibatkan Kepolisian, disusul oleh Aparat F-FDTL, Kementerian Pendidikan dan institusi-institusi lainnya. Untuk memahai lebih detail dapat dilihat pada ditabel di bawah ini:37 36 JSMP. Timor-Leste: Law and Practice Nedd Further Strengthening. 2014. pg. 7. Lihat pula website PDHJ; http://pdhj.net/about/meet-the-ombudsman-and-deputies/. Diakses pada tanggal, 10 April 2016. 37 Total kasus yang disadur dari laporan PDHJ dari tahun 2009-2014, berdasarkan keterlibatan Institusi dalam pelanggaran HAM. 10 Tabel 1: Institusi-Institusi terkait pelanggaran HAM antara 2009-2014 No. Nama Institusi-institusi Total Kasus Pelanggaran HAM 1. PNTL 202 2. F-FDTL 29 3. Kementerian Pendidikan 24 4. Aparat Lokal 13 5. Pegawai Negeri 10 6. Dinas Penjara 9 7. Kementerian Pertanian dan Kelautan 6 8. Kementerian Kesehatan 6 9. Aparat Lokal dan F-FDTL 2 10 PNTL dan F-FDTL 2 11 Sekretari Negara Urusan Tenaga Kerja 1 12 Kementerian Pekerjaan Umum 1 13 SAS 1 Total kasus 306 Pada latar belakang kasus-kasus pengaduan pasca pemilahan berdasarkan pola-pola tindakan kekerasan terhadap korban. Pemilahan ini penting, untuk mengukur bobot dan kategori atas prilaku pelanggaran HAM, yang melibatkan aparat. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2: Tipe-tipe pelanggaran 38 No. 38 Tipe-tipe pelanggaran Total Kasus pelanggaran 1. Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi 176 2. Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang 36 3. Pelanggaran Hak Hidup &Ancaman Pembunuhan 19 4. Pelecehan dan Kekerasan Seksual 18 5. Kelalaian dan Penangkapan Ilegal 16 6. Pelanggaran Hak Privasi 12 7. Menghambat Akses ke Pengadilan 12 8. Penembakan Sewenang-wenang 9 9. Diskriminasi dan Ancaman Pembunuhan 4 10. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Tipe-tipe pelanggaran HAM yang disuting dari Laporan PDHJ dari tahun 2009-2014. 11 Sebagaimana telah diutarakan, dari 543 kasus pelanggaran HAM, yang di putuskan Komite Pengaturan Pengaduan lembaga PDHJ, melalui Devisi HAM dan Departemen Investigasi, berhasil merampungkan penyelidikan 212 kasus. Dari hasil penyelidikan kemudian dituliskan dalam bentuk Laporan Penyelidikan Akhir kemudian direkomendasikan kepada institusi-institusi terlapor diantaranya Institusi PNTL, F-FDTL, Sekretaris Negara Pertahanan, Sekretaris Keamanan Dalam Negeri, Dinas Penjara, Kementerian Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Kementerian Solidaritas Soisal (MSS) dan Sekretari Negara Ketenagakerjaan. Selain itu, laporan rekomendasi juga dilimpahkan kepada KA untuk menindaklanjuti hingga proses pengadilan. Kecuali pihak KA, sesuai dengan mandat UU No. 7/2004, pasal 47 (3) PDHJ akan meminta tanggapan dari institusi-institusi terlapor, apakah sudah mengimplementasi rekomendasi yang disampaikan.39 Perbedaan hakiki dari pelanggaran HAMoleh aparat, disebabkan beberapa indikator. Misalnya, pendidikannya yang rendah, minimnya pemahaman akan Standard Operasional Procedure (SOP) di lapangan, rendahnya kesadaran HAM, sikap yang tidak toleran dan masih melekatnya prilaku kekerasan dalam pemikiran aparat publik. Kondisi lain, disebabkan oleh sangsi dan tindakan displiner yang ringan, yang tidak menimbulkan efek jerah, untuk mereduksi pelanggaran HAM. Bahkan, mungkin disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan pelatihan dari PDHJ sendiri, belum menyentuh semua elemen-elemen institusi publik, sehingga angka pelanggaran HAM masih tinggi. Dalam paradigma HAM, negara dinilai gagal bersandarkan pada state responsability. Negara merosot untuk aktif, memenuhi hak-hak dasar warganya sendiri. Kesesuaian kewenangan, mestinya dibarengi langkah-langkah legislatif, administratif hukum, dan tindakan-tindakan lainnya yang dipandang memegang andil dalam pemenuhan HAM.40 Artinya, negara kiranya menjalankan fungsifungsi pemulihan berkaitan dengan pelanggaran terhadap kewajiban hukum 39 Lihat UU No. 7/2004 Pasal 47 (3) menjelaskan bahwa; Organ yang padanya disampaikan rekomendasi harus, dalam waktu enam puluh (60) hari, memberi tahu Provedor untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan sejauh mana rekomendasi itu ditindaklanjuti atau dilaksanakan. 40 Ani W. Soetjipto. pg.183. 12 internasional untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, termasuk kewajiban untuk mencegah pelanggaran, menyelidiki pelanggaran, mengambil tindakan yang layak terhadap para pelanggar, dan memberikan penanganan hukum kepada para korban. Negara harus memastikan bahwa tidak ada orang yang mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran HAM akan mempunyai kekebalan dari tanggung jawab atas tindakan mereka.41 Pemulihan hak-hak korban memiliki makna untuk meringankan penderitaan dan merawat rasa keadilan dengan memperbaiki akibat-akibat dari tindakan penangkalan HAM. Penegasan ini, untuk lebih memahami kenyataan-kenyataan yang lebih komprehensif sejak kelahirnya PDHJ merancang aplikasi preventif, yang didefinisikan melalui sosialisasi, edukasi, seminar, workshop, mempromosikan melalui media massa dan elektronik, bahkan memproduksi kaos-kaos, stiker, paner, buku-buku panduan, poster, sebagai aktivitas penyadaran publik kepada institusi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah yang ada di TL. Bahkan, setiap tahunnya, dalam perayaan hari HAM sedunia pada, 10 Desember, PDHJ memberikan penghargaan Human Rights Award kepada Kepolisian dari distrik yang diidentifikasi angka pelanggarannya paling rendah. Award ini, sebagai esensi penyadaran HAM, yang harus diaktualisasikan aparat selama masa berdinas. Untuk itu, keabsahan promosi HAM sebagai salah satu public goal yang ingin digapai. Promosi pendidikan HAM tidak hanya ditujukan pada institusi berkaitan dengan mandatori, tetapi mesti merambah hingga kelompok agama, keluarga, kekerabatan dan entitas kultural lainnya. 42 Topik berikutnya, secara jurisprudensi, PDHJ aktif menjalankan fungsinya pemantauan terhadap kinerja dan operasi militer F-FDTL dan PNTL, Dinas penjara, pusat-pusat kesehatan, sekolah-sekolah, hingga pemilu. Meninjau di tempat kejadian perkara dan tempat lainnya yang dianggap perlu, melakukan wawancara dan mendengar keterangan yang disampaikan oleh korban. Bersamaan dengan itu, PDHJ memantau setiap kegiatan aparat/negara, sebagai bagian dari fiskalisasi, untuk memastikan tidak terjadinya pengaburkan HAM. 41 42 Lihat http://referensi.elsam.or.id. Diakses pada, 16 Juli 2016. Lihat https://tyokronisilicus.wordpress.com diakses pada, 16 Juli 2016 13 Dalam kerangka pemantauan, PDHJ secara berkala, mengunjungi sel-sel tahanan PNTL dan penjara, untuk memantau situasi HAM para tahanan, baik yang ada di sel-sel PNTL maupun di penjara-penjara. Hal ini sebagai garansi untuk menjamin rehabilitasi hak-hak para tahanan dan narapidana dari kelakukan semena-mena aparat PNTL maupun dinas penjara. Ada segi lain yang penting adalah mendesain jejaring di seluruh negeri, untuk secara aktif memantau situasi HAM masyarakat—dengan adanya kepastian yang tidak membatasi, menghalangi, mengurangi, atau mencabut HAM warga negara yang dilindungi oleh Konstitusi dan Undang-undang yang berlaku. Melengkapi topik penyelidikan dan pemantauan, melalui promosi dan pelatihan pendidikan HAM, merampat hingga institusi-institusi pemerintah, melakukan penyelidikan dan penelitian yang diselenggarakan secara eksplisit dan berkesinambungan, diharapkan sebagai momentum riil untuk pemberdayaan, penyadaran, bagi penegakan the rule of law principle. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada penjelasan di latar belakang penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan; bagaimana peran PDHJ membantu negara dalam pemenuhan, perlindungan, penegakandan menciptakan kesadaran masyarakat dan aparat publik akan pentingnya menghormati serta mempraktek nilai-nilai HAM bagi kehidupan bernegara. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, difokuskan pada aktivitas pelayanan publik seperti; sosialisasi, pelatihan, seminar, workshop, menyampaikan petisi, pemantauan, advokasi, penelitian dan penyelidikan kepada aparat dari semua lembaga-lembaga pemerintah dan negara demi mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi di TL selama periode 2009-2014. C. Tinjaun Literatur Tujuan literatur berarti menemukan berbagai rangkuman buku, jurnal, dan publikasi terindeks tentang topik Peran PDHJ untuk mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi di TL. Kemudian memilih secara selektif bagaimana mengakses sejumlah rujukan jurnal, laporan tahunan, penelitian yang dilakukan oleh PDHJ 14 sendiri, riset LSM nasional dan internasional maupun yang hasil karya yang berkaitan dengan kinerja PDHJ dalam penegakan HAM. Dari sudut pandang buku Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri karangan Peter R. Bahr, mencerimati beragam implikasi yang menentukan politik luar negeri dalam ranah HAM. Baehr menguraikan bahwa kebijakan yang aktif, fokus pada penghormatan HAM. Penghormatan HAM bukan hanya soal kemauan politik tapi, harus disadari bahwa peran pemerintahan, menjadi pusat penghormatan HAM. Bahr pun mengusulkan kebijakan HAM di suatu negara mesti dikembangkan dalam lingkup organisasi antar pemerintah. Bagi Bahr, kerjasama organisasi antar-pemerintah menelorkan peluang kepada suatu pemerintah, juga menuntut pertanggungjawaban negara yang pelanggaran HAM. Literatur selanjutnya Madja El-Muhtaj, melalui bukunya HAM dalam Konstitusi Indonesia, menguraikan; HAM sebagai bagian dari hukum internasional pada saat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan masalah politik, sosial dan budaya. Untuk itu, tantangan mewujudkan jaminan HAM dalam konstitusi tidak hanya dilabeli sisi normatif yang bertolak belakang dengan praktik emperiknya. Jika ini terjadi, berarti citacita The Living Constitutions hanya menjadi simbol tetapi, keseimbangan muatan normatif konstitusi searah dengan praktek empiriknya merupakan ciri bahwa telah terbangun melalui The Living Constitution. Sebab masalah HAM merupakan hal yang dianggap penting dan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dari sistem negara konstitusional. Begitupun Aleksius Jemadu, melalui bukunya Politik Global Dalam Teori dan Praktek, menjelaskan, sejalan dengan kemenangan ideologi liberalisme perhatian terhadap hak individu dan kelompok meningkat dan kedaulatan negara tidak lagi dilihat sebagai hambatan untuk mempromosikan HAM. Sejak tahun 1948 dunia sudah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM. Dalam periode selanjutnya komunitas global menghasilkan berbagai konvensi dan perjanjian internasional sebagai bentuk komitmen terhadap pentingnya HAM. 15 Apa yang diketengahkan buku HAM Kejahatan Negara dan Imperalisme Modal, karya Eko Prasetyo ini merefleksikan, selaras dengan globalisasi, berimplikasi pada kelompok masyarakat yang termarjinalisasikan akibat pembangunan ekonomi yang berorientasi pasar mengalami proses alienasi dan tidak memberi ruang yang terhadap sumberdaya pembangunan. Menurut Prasetyo, responsabiliti negara dalam mengaransi memproteksi hak-hak dasar warganya. Tinjauan mengenai HAM juga bermuara pada karya Jack Donnelly, yang mempublikasikan bukunya yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and Collective Rights” dikatakan bahwa “human rights are rights that human beings posses because they are human beings.” Donnelly seterusnya mendefiniskan hakhak yang dimiliki manusia semata-mata karena dia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau hukum positif melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.43 Sebagai sebuah ciri yang membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah sepantasnya HAM diakui secara universal tanpa peduli warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang kultural, agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Namun, di sisi lain, Donnelly yang hampir menulis semua isu mengenai ruang lingkup HAM, tidak menguraikan secara spesifik seluk beluk keterlibatan institusi nasional HAM dalam hiasan kisah penegakan HAM disuatu negara. Intinya Donnelly mengatakan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya erat dengan penegakan HAM. Dalam buku HAM dan Politik Internasional: sebuah Pengantar, yang dirangkum oleh Ani W. Soetjipto (ed) menjelaskan potret perkembangan politik internasional harus dibarengi oleh majunya perlindungan terhadap HAM. Karakter yang sangat kuat dari referensi ini adalah penekanan pada hak sipil dan politik dari HAM dalam relasinya dengan aktor internasional, baik negara maupun non-negara (institusi dan rezim HAM internasional, juga LSM dan aktivis HAM). Tali-temali antara asumsi-asumsi bahwa hubungan antarnegara tidak kaku namun menciptakan ruang terbuka kerja sama yang bermanfaat untuk tujuan Jack Donnelly. “Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press. 2003. pg.7-21. 43 16 memanusiakan manusia, pemihakan dan berkomitmen menciptakan prinsipprinsip kesetaraan, keadilan dan kebebasan warga negara. Ketika membahas koneksi dan interkoneksi antara HAM dan politik internasional, maka penulis seperti David F. Forsythe atau Jack Donnelly lewat berbagai karyanya menelusuri jejak munculnya norma internasional sampai pada pembentuk institusi HAM internasional. Telaahan tentang HAM dalam relasi kepentingan negara dalam memaksimalkan kekuatan politik dan ekonomi; atau dalam perspektif normatif harus diakselesari dengan kebijakan negara dalam membangun tatanan dunia yang stabil secara politik dan ekonomi. Cara dengan pembentukan institusi internasional yang diikat dengan norma-norma hukum internasional sebagai basis dari aturan main yang diberlakukan secara universal. Hal senada dapat dijumpai dalam buku Agenda Politik Internasional karya Miller, Lynn H, yang menyelisik hak terselip aneka makna seperti kehormatan, kekebalan, klaim, kekuasaan harus menjadi suatu harapan yang diwujudkan oleh negara-negara di dunia. Kombinasi antara komunitas dunia, regional dan negara memiliki kewajiban secara kolektif terlibat mewujudkan responsiblity to protect guna melindungi hak-hak dasar individu, kelompok komunitas yang tersebar di belahan dunia ini. Lensa HAM juga dapat diadopsi melalui buku Dasar-Dasar Politik karya Meriam Budiardjo mengatakan, pendefenisian HAM merupakan hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat tanpa perbedaan atas dasar bangsa ras, agama atau kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal. Pandangan lain datang dari Rhona K. M. Smith dalam bukunya dengan judul Hukum Hak Asasi Manusia, melukiskan narasi-narasi tentang pemahaman HAM semakin luas dalam masyarakat adalah teramat penting. Dalam konteks HAM, negara menjadi subyek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Dari segi hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) jika negara tidak mampu melindungi dan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui 17 aparat-aparatnya tindak kejahatan kemanusiaan atau negara gagal dan tidak mau untuk menuntut pertanggungjawaban dari aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut. Lebih lanjut Smith menyimpulkan bahwa paham HAM tidak dapat ditawar-tawar lagi bahwa hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat manusia. Keharusan itu dijamin dengan pengakuan konstitusional terhadap HAM. Begitupun dalam buku HAM, hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam perspektif Hukum dan Masyarakat, Muladi (editor) menjelaskan bahwa penguatan lembaga HAM, LSM, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosi dan melindungi HAM terhadap kehidupan bangsa. Dengan penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Instrumen HAM internasional harus dikembangkan sebagai yang menyeluruh dan hukum nasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi, konsep HAM bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, seperti menghormati HAM orang lain, moral, etika dan patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima secara universal. Sebaliknya kewajiban pemerintah adalah mempromosi, menghormati, melindungi, dan menegakan HAM warga negara sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Dari suatu tatanan sosial, realisasi HAM sebagai sebuah konsep bertujuan untuk memahami tanggung jawab negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga negara, untuk bebas dari tindakan pelanggaran HAM oleh aparat, baik secara individu maupun kolektif yang mengatasnamakan negara. Secara keseluruhan referensi yang diuraikan di atas, memiliki muatan HAM, yang dalam asumsi penulis berkaitan dengan penelitian dan penulisan tesis ini. D. Kerangka Teori Sesuai dengan judul, thesis ini berfokus pada perspektif HAM dan penegakannya di TL. Oleh karenanya, konsep HAM, dipahami dari salah satu tokoh pentolan filsafat yakni Plato. Bagi Plato, HAM tidaklah sama antara satu individu dengan 18 individu yang lain. Karenanya, tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja tidak perlu usaha untuk menciptakan kondisi-kondisi materiil yang sama.44 Maka, disadari bahwa, setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, tetapi tetap memiliki sifat universal dari hak-hak tersebut. Sebab bersifat universal, hak-hak tidak dapat tersebut, juga tidak dapat dicabut (inalienable).45Sementara itu, definisi yang dikemukan oleh Jack Donnelly sangat relevan untuk prinsip universalisme HAM. Dikatakan Donnelly bahwa “human rights are the rights one hass simply by virtue of being a human being.46Artinya seburuk apapun perlakukan yang telah dialami seseorang, ia tidak akan berhenti untuk menjadi manusia dan karena itu hak-hak tersebut di manapun dia berada. Bertitik tolak dari sinilah, negara, pemerintah dan organisasi apapun mengembang kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali. Perkembangan individu merupakan latar belakang yang penting bagi gagasan tentang HAM.47 HAM selalu menjadi titik pijak dalam penegakan dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam tata cara bernegara, sebagaimana ditulis James Nikel, HAM adalah norma-norma yang bersifat politis yang pada umumnya terkait dengan bagaimana orang seharusnya diperlakukan oleh negara. Sebagai konsekuensinya, maka pada tataran domestik, pemerintah diberikan kuasa untuk melakukan variasi-variasi yang sesuai konteks di mana HAM diterapkan.48 Pada tataran ini, pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk melindungi HAM. Sifat HAM sebagai highpriority norms yang diartikan “sekelompok norma yang sangat pokok” dan “pelanggaran terhadapnya merupakan serangan serius atas keadilan”.49 44 Budiardjo, Meriam. Dasar-dasar Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2006. pg.54. John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964. 46 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003. pg 7-21. 47 Peter R. Baehr. pg.5. 48 Pranoto Iskandar. “Hukum HAM Internasional: sebuah Pengantar Konseptual”, Cianjur: Institute for Migrant Rigths Press. 2012. pg. 51. 49 James Nickel. Human Rights, at http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/ dikuif dari Tesis Pelanggaran HAM di ASEAN (studi kasus Etnis Rohingya). Novie Lucky Andriyani.2015. Universitas Gadjah Mada. 2014. pg. 10. 45 19 Sungguh pun dari perspektif konstruktivis, negara memenuhi tujuan HAM untuk alasan yang berhubungan dengan identitas dan statusnya. Hal ini terkait hubungan di antara norma dan kepentingan.50 Konstruktivis berpendapat bahwa tidak ada tensi di antara kepentingan dari negara berdaulat dengan prinsip-prinsip moral terkait promosi dan perlindungan HAM. Perspektif konstruktivis juga menyoroti norma dan aturan selalu dapat dikonstruksikan dan bersifat dinamis sehingga mendukung kemajuan HAM. 51 Bagi Konstruktivis, norma sebagai standar perilaku yang dianggap sesuai untuk aktor dengan identitas yang melekat. Melalui konstruktivis, kita dapat memahami norma mana yang dapat menjadi hukum dan bagaimana hukum tersebut dapat dipatuhi.52 Menarik kiranya untuk tak melewatkan pemikiran Thomas Hobbes yang menekankan pada cara bagaimana manusia bisa hidup bersama dan berdampingan secara damai. Pemerintahan yang telah ditunjuk oleh rakyatnya memiliki kekuasaan tanpa batas dalam mengatur HAM yang mengacu pada kesejahteraan bersama. Tetapi, kehadiran negara harus diberi rambu-rambu agar tidak memangsa rakyatnya sendiri.53 HAM menurut Hobbes adalah hak alamiah yang melekat dan dimiliki oleh setiap individu manusia dalam hidupnya. Dapat dikatakan HAM merupakan Hukum Alam (natural law) yang dianggap sebagai hukum yang tertinggi dan abadi pada alam, yang kemudian dijadikan acuan dalam pembentukan norma moral dan aturan tingkah laku manusia.54 Hak alamiah dalam pemikiran tradisional adalah hak-hak dasar yang berasal dari tindakan dan interaksi setiap individu.55 Untuk memperjelas, menurut Hobbes, manusia tidak bisa dipercaya untuk memegang perjanjiannya tanpa adanya kekuatan eksternal. Satu-satunya cara pemecahannya dengan menciptakan otoritas publik yang 50 Finnemore dan Sikkink membagi norma ke tiga tipe; norma regulatif yang memerintah dan membatasi perilaku; norma konstitutif yang menciptakan aktor, kepentingan, atau kategori tindakan baru; serta norma evaluatif atau prekriptif yang memberi preskripsi tindakan atau tidak adanya tindakan dalam menghadapi situasi tertentu. Ani W. Soetjipto. pg.114. 51 Ani W. Soetjipto (ed). pg.109-110. 52 Ani W. Soetjipto. pg. 109-117. 53 Majda El-Muhtaj. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UDD 1945 sampai Amandamen UUD. 1945. Pengantar Jimly Asshiddiqie SH. Fajar Inter Offset. 2002. pg. vi. 54 Schmandt, Henry J. A History of Political Philsophy, The Bruce Publishing Company, NeW York. 1960. pg. 313. 55 Schmandt. pg. 315. 20 memiliki kekuatan dan kewenangan koersif untuk memaksa orang tunduk pada perjanjian sosial itu.56 Begitupun asal-usul gagasan tentang HAM seperti disorot di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Senada dengan ungkapan Jeremy Bentham yang menjelaskan it was absurd to base human rights on natural rights, because natural rights is simple nonsense ...nonsense upon still.57 Sedangkan menurut John Locke kekuasaan pemerintah berasal dai persetujuan pihak yang diperintah. Kekuasaan berpangkal pada adanya negara alamiah yang berpijak pada “kontrak sosial”.58 Bagi Locke, unsur terkecil masyarakat adalah manusia individual yang hak-hak kodratnya harus dijamin. Struktur politik harus didasarkan pada asas persamaan penuh. Karena itu, hak kebebasan perlu dibatasi terkait dengan keharusan untuk menghormati satu sama lain dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan bersama yang penuh kedamaian.59 Dalam bukunya fundamentals of Ethics, Emerlita S. Quito memaparkan hak merupakan kekuatan bagi pemiliknya, hal yang lebih menekan pada aspek moral. Menurut Emerlita: A right is indeed a power, but it is only moral. This means that one cannot use phiysical force to enjoy a right. Nor can one exact from another those things appropiate to on’es state in life by means of force or violence. Right is reciprocal by nature. One has rights that others are bound to recognize and respect. When these rights are violeted, moral guilty necessarity aries.60 Wacana konsep tentang koneksi dan interkoneksi antara natural law dan legal rights, Majda El-Muhtaj dalam bukunya HAM dan Konstitusi Indonesia mengutif pernyataan Emerlita diantaranya: Legal rights are advantegous positions under the law of society. Other species of institutional rights are conferred by the rules of privete organizations, of the moral code of a society, or even of some game. These who identity natural rights with moral right, but some 56 Schmandt. pg .316. David P. Forsythe (ed) Human Ringhts In International Relations. Published in the United States of America by Cambrige University Press. New York. 2006. pg. 29. 58 Suyanto. (ed) Menjelajahi Demokrasi, Humaniora. 2008. pg.17. 59 Suyanto. (ed). pg 19 60 Emerlita S Quito, disuting dari E Majda El-Muhtaj. pg. 49. 57 21 limit natural rights to our most fundamental rights and contrast them with ordinary moral rights.61 Dalam rentang sejarah, sejak tahun 1984 dunia sudah memiliki, Declarations of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM.62 Sejak deklarasi HAM tersebut, isu HAM menjadi makin menglobal. Bersamaan dengan itu, banyak negara mendapatkan catatan buruk pelanggaran HAM yang dilakukan.63 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dari Deklarasi Universal HAM bahwa, “semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam martabat dan hak-hak asasi. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat bersaudaraan”. Deklarasi ini menjadi sangat terkenal dan menjadi panduan bagi banyak negara-negara, aktoraktor dan institusi global dalam melindungi dan memperjuangkan HAM. 64 Bila dirunut menurut sejarahnya, karakter Perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia telah terjadi sejak abad-13.65Mulai dari Magna Carta di Inggris menjadi salah satu tonggak penting sejarah perjuangan dan perlindungan HAM. Piagam ini memuat prinsip-prinsip human rights, termasuk di dalamnya kesetaraan di depan hukum, kebebasan beragama, dan juga hak-hak kekayaan (proterty rights). Tinjaun histrosis perjuangan perlindungan HAM ini, terus berlanjut seiring pergolakan intelektual di negara Barat, di antaranya adalah United State Declaration of Independence (1776) dan Bill of Right,kemudian The French Declaration of Right of Man (1789). Menurut Smith, ada dua prinsip dasar asal usul teori HAM, yakni Liberty-based theory yang lazimnya berada dalam juridiksi hukum (common law) dan the rights-based theory dari sistem hukum sipil. Kedua asal teori ini mengatur hubungan antara negara dan individu, berusaha mengatur campur tangan negara dalam kehidupan pribadi (Private life). Pada hakekatnya, the liberty theories menuntut individu bebas dari kewenangan61 E Majda El-Muhtaj. (a.b) pg. 49. Aleksius Jemadu. pg. 213 63 Aleksius Jemadu.pg. 220. 64 Aleksius Jemadu.pg. 221. 65 Rhona K. M Smith. Textbook on International Human Rights. Second Edition, New York: Oxford University Press. 2005. pg. 5 62 22 kewenangan negara, sedangkan the rights theories didasarkan pada hak-hak dasar manusia yang melekat dan negara harus menghormati hak-hak tersebut.66 Masa-masa perkembangannya, konsepsi HAM mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan situasi sosial-ekonomi politik dunia. Di sini dikenal ada empat generasi HAM. Generasi pertama, lebih menfokuskan pada hukum dan politik. Menurut Muntaj, ini disebabkan oleh realitas yang terjadi pasca Perang Dunia II dan keingingan negara-negara maju untuk membangun tertib politik dan hukum. Pada HAM generasi Pertama ini, titik tekan pada usaha-usaha untuk menciptakan atau memperjuangkan kebebasan berbicara dan berkumpul (Freedom of speech an assembly), dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahaan dari negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara langsung (Universal Declaration, pasal 21). Sebagaimana dipahami deklarasi HAM generasi pertama, lebih menfokuskan pada hak-hak sipil dan politik yang berasal dari teori-teori reformis, abad 17 dan 18 yang sangat tajam menyoroti revolusi di Inggris, Perancis dan AS. Dalam konsepsi HAM generasi pertama ini, ideologi politik individualisme liberal dan doktrin ekonomi dan sosial laissez-faire amat menonjol. Selain itu, seperti dikemukakan oleh Waston, HAM lebih dipahami sebagai abstensi negara dalam pencarian martabat manusia. Kemudian, oleh karena tuntutan yang semakin besar akan perluasan konsepsi HAM, maka penghormatan atas dasar HAM dalam kerangka kebebasan sipil dan politik tidak lagi dianggap memadai. Oleh karenanya, muncullah konsepsi HAM generasi kedua. Generasi HAM kedua ini mengakui hak-hak ekonomi, sosial dan kultutal yang sangat penting bagi martabatnya dan pengembangan secara bebas dari kepribadiannya (pasal 22).67 Lebih lanjut, pada 1966, muncul dua konvenan penting dalam perluasan HAM di dunia, yakni International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Convenant onf Economic, Social, and Cultural Deveploment (ICESCR). ICCPR terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal. Pasal 1 menyatakan, “All people have the right of Self-determination. By virtue of that 66 67 Winarno, Budi. pg. 221. Winarno, Budi.pg. 221 23 right they determine their political status and freely pursue their economic, sosial and cultural right.” ICESCR terdiri dari 5 bagian 51 pasal.68 Diserapkannya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dalam konvenan HAM merupakan terobasan penting, mana kala dunia dihadapkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era millinium ini. Bagaimanapun hak-hak sipil dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berkumpul tidak banyak berarti jika masyarakat hidup dalam kelaparan. Secara esensial Gavison, mengemukan bahwa pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai satu kesatuan HAM sehingga keberadaannya akan sangat penting bagi usaha nyata untuk mencapai martabat manusia.69 Selanjutnya, kuatnya pengaruh wacana pembanguan dalam HAM bisa dilihat dengan jelas pada Deklarasi tentang Hak dan Pembangunan (Declaration on the Rights to Development) pada 1986. Deklarasi ini diterima PBB melalui resolusi 41/128 tanggal 4 Desember 1986 yang kemudian kenal sebagai konsepsi HAM generasi ketiga. HAM generasi ketiga menurut the Banjul Charter bangsa/penduduk yang mempunyai hak untuk menentukan ‘secara bebas kekayaan dan sumber alamnya’ (Pasal 21 (1)). Dalam hal ini individu mempunyai tugas melayani masyarakat alaminya dengan menempatkan kemampuan fisik dan intelektualnya pada pelayanannya, mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai budaya secara positif dalam kaitannya dengan anggota masyarakat (Pasal 29 (2) & (7).70 HAM generasi ke empat dipengaruhi beberapa faktor. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimlie Asshiddigie, ada empat faktor yang mempengaruhi lahirnya HAM generasi keempat. Pertama, konglomerasi raksasa dalam bentuk multinasional atau disebut transnasional corporations. Kedua, fenomena nation without states. Ketiga, global citizen yang berimplikasi lahirnya kelas sosial tersendiri. Lesly Sklair menyebutnya sebagai elit-elit transnasional. Keempat, pengaturan entitas baru yang bersifat otonom dalam bentuk corporate federalism. Singkatnya, generasi HAM keempat ini merupakan respons atas perubahan- 68 Winarno. pg. 222. Winarno. pg. 222. 70 Winarno. pg.223. 69 24 perubahan dunia yang sangat cepat sebagai akibat globalisasi.71 TL sebagai negara demokratis adalah terikat secara hukum untuk melindungi dan menjunjung tinggi HAM, karena secara tidak tersirat masyarakat telah menyerahkan sebagian hakhaknya kepada negara untuk dijadian hukum. Negara memiliki hak membuat hukum dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Dalam hal ini, negara mempunyai kekuasaan/power.72 Kekuasaan negara tertinggi berarti kekuasaan yang tertinggi dalam menentukan kehendak di dalam negara tersebut.73 Dalam mengafirmasikan kategori pelanggaran HAM, menurut Aleksius Jemadu adat ada dua macam cara yakni pertama, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya sebagai bagian dari kejahatan biasa (ordinary crime) yang disebabkan oleh hakekat manusia yang tidak sempurna. Kedua, pelanggaran HAM yang terjadi karena penyangkalan terhadap HAM secara sistemik atau sistimatis yang mengarah pada apa yang disebut gross violations of human rights.74 Lebih lanjut mengenai kategori pelanggaran menurut Cecilia Media Quiroga yang dikutip Prof. Aleksius mengartikan sebagai: Gross violations of human rights quantity and in such a manner as to create a situation in which the right of life, to personal integrity or to personal liberty of the population as a whole or of one more sectorsof the population of a country are continously infringed or threatened.75 Bertolak dari, sejak adanya Deklarasi Universal HAM, umat manusia terus menerus termotivasi mencari upaya perlindungan dan pencegahan terhadap pelanggaran HAM, sehingga tidak satupun golongan umat manusia seperti kaum difabel, penderita Aids, orang miskin, anak-anak yang tidak lindungi haknya sebagai manusia. Maka perlunya suatu perjanjian lebih khusus lagi, seperti Konvenan hak-hak sipil dan politik, Konvenan hak-hak sosial sosial dan budaya. 76 71 Winarno. Budi,pg. 223 Power diartikan sebagai kemampuan suatu negara mempengaruhi aktor lain, dalam upaya mencapai tujuan dan mengamankan kepentingan dalam politik lokal maupun internasional. Lihat Ashari Khasan. pg.356. 73 Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 1990. p. 11. 74 Aleksius Jemadu. pg. 213. 75 Aleksius Jemadu sebagaimana mengutif dari Cecilia Medina Quiroga. pp. 214. 76 Eko. Prasetyo, HAM, Kejahatan Negara dan Imperalisme Modal. Penerbit Insist Press. 2001. pg. vi. 72 25 Pendekatan dari sisi Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi tertulis. Ada pun batasan-batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai berikut: (1) suatu kumpulan kaidah yang memberi pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa; (2) suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik; (3) suatu deskripsi dari lembagalembaga negara; dan (4) suatu deskripsi yang menyangkut masalah HAM.77 Pendapat yang memperkuat UUD dapat menyimak pandangan E. G. S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, diantaranya: a document having a special legal sanctity which sets out the framework and the principal functions of the organs of government of a state and declares the principles governing the operation of those organs.78 Begitu pentingnya kehadiran konstitusi bagi sebuah negara, maka muncullah istilah pemerintahan konstitusional (constitutional government), yakni pemerintah yang berdasarkan konstitusi. Intinya, menekankan adanya supermasi konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Hitcner dan Levine memaparkan bahwa: Today, the ideal of constitutional government is universally accepted among democracies.Each newly independent nation considers the promulgation of a constitution a significant step in attaining equal status with established states. The practice of constitutionalism, however, is much less frequent, for the claim that a constitution exist is not a guarantee that it really does. In fact, one of the most important, and difficult, evaluations to make about a government is whether or not it has working constitution.79 Sesungguhnya supermasi konstitusi (supermacy of the constitution) mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara. Untuk menguat pandangan bahwa konstitusi adalah bagian penting bagi sebuah negara, ada baiknya dilihat pendapat Bryce seputar motif politik dalam penyusunan sebuah konstitusi, sebagaimana dikutif Joeniarto, sebagai berikut: 1. Keinginan untuk menjamin hak-hak dan untuk mengendalikan tingkat laku penguasa; 77 El-Muhtaj. Majda, pg.15-16. EL-Muhtaj, pg.34. 79 EL-Muhtaj, pg. 35. 78 26 2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenangwenang dari penguasa di masa depan; 3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara; 4. Hasrat dan keinginan untuk menjamin adanya kerja sama yang efektif dari beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri.80 Menarik diskursus tentang HAM, membawa pengaruh signifikan dalam konteks TL, secara umum, tersirat dari pasal 1 hingga 60, dan secara spesifik terurai dalam pasal 27, 92, 150, dan 151 dari Konstitusi RDTL81 di mana PN melalui UU No. 7/2004, semuanya mencerminkan upaya negara dalam mewujudan pemenuhan, perlindungan dan penegakkan dan promosi HAM. E. Argumen Utama Dari penelitian ini, menguraikan lembaga PDHJ berperan penting membantu negara dalam hal pemenuhan, perlindungan dan penegakkan, serta menciptakan kesadaran bagi aparat-aparat publik untukmenyadari pentingnyanilai universalitas HAM bagi kehidupan bernegara. Untuk mewujudkannya, PDHJ secara reguler mensosialisasikan, mempromosi pendidikan dan menyelenggarakan pelatihan HAM kepada institusi-institusi terkait, melakukan pemantauan secara reguler dan penelitian terhadap situasi umum HAM di TL. Selanjutnya, PDHJ secara berkesinambungan mengunjungi sekolah-sekolah, pusat kesehatan, penjarapenjara dan sel tahanan kepolisian yang tersebar di wilayah hukum TL, untuk memastikan terpenuhi HAM, sekaligus sebagai upaya preventif penyalahgunaan kekuasaan dari aparat terhadap para tahanan, dan menyampaikan petisi kepada pemerintah. PDHJ juga melakukan penyelidikan terhadap laporan masyarakat dan merekomendasikan kepada institusi terkait, KA untuk menindaklanjuti hingga keputusan final dari pengadilan. 80 EL-Muhtaj, pg. 37. Lebih lengkap penjelasan mengenai Pasal-pasal yang dirangkai di atas, dapat dilihat pada Konstitusi RDTL. pg. 10, 42 dan 66. 81 27 Untuk faktor internal mendorong PDHJ membangun jejaring kerjasama dengan institusi-institusi pemerintah berkaitan dengan implementasi rekomendasi, sedangkan dengan LSM nasional untuk bahu membahu mensosialisasikan dan pelatihan HAM kepada komunitas. Sedangkandari aspek eksternal PDHJ menjalin kerja sama dengan institusi nasional HAMmaupundengan organisasi regional dan dunia, selain memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi PDHJ untuk sharing pengalaman, studi komparatif, pemantauan bersama, dukungan finansial demi pemberdayaan staf, pengembangan organisasi hingga terlaksananya norma-norma dan nilai-nilai HAM secara universal. F. Metode Penelitian Metode Hubungan Internasional sebagai suatu displin ilmu terikat oleh prosedur ilmiah yang lazim disebut metode penelitian. Ilmu yang mempelajari metode penelitian adalah metodologi.82 Artikulasi dari Penelitian adalah suatu penyelidikan sistimatis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, pengorganisasian masalah tertentu yang memerlukan jawaban.83 Untuk itu, dalam menulis thesis ini, penulis menggunakan metode kualitatif,84 dengan jenis diskriptif analitis, dengan cara pengumpulan data-data, menganalisa fakta-fakta melalui studi kepustakaan seperti data Primer, sekunder dan tersier. Sungguh pun pengembaran fakta-fakta melalui wawancara, mengumpulkan bahan-bahan khas yang berkaitan erat dengan peran aktif lembaga PDHJ dalam penegakan, proteksi dan mempromosikan HAM di TL dari tindakan represif negara. Metodologi menurut Mahtor Mas’oed merupakan prosedur yang dipakai dalam mendiskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena . Lihat Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi (Edisi Revisi). Yogyakarta: LP3ES. pg. 2 83 Umar Suryadi Bakry. Metode Penelitian Hubungan Internasional.Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar. 2015. pg.7. 84 Metode kuatitatif dapat dimaknai sebagai perspektif intensif mikro yang berdasar studi kasus atau fakta yang diperoleh dari situasi-situasi tertentu, tetapi sebetulnya dapat menjadi berskala besar. Lihat Roger Bullok dkk, dalam Julia Brannen, a.b. Nuktah Arfawie Kurde. Memantau Metode Penelitian:Kualitatif & kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas IAIN Antasari Samarinda. 1997. pg. 116. 82 28 G. Sumber dan Teknik Pengambilan Data Sumber data yang dapat digunakan dalam Ilmu Hubungan Internasional menurut Trygve Mathisen meliputi dokumen, interview, quisioner, gambaran geografis dan obervasi.85 Pandangan Trygve tentang sumber data dalam penulisan ilmu HI selaras dengan argumen Charles A. McClelland, bahwa data-data dalam HI adalah bersifat sejarah. Hal ini dimaknai bahwa sumber data tersebut merupakan laporan tentang peristiwa dari berbagai kejadian, baik yang berifat terbuka untuk umum, maupun yang bersifat tertutup.86 Penelitian ini dilakukan melalui penelitian lapangan, dengan mengajukan pertanyaan (interview)87 kepada narasumber, sesuai dengan permasalahan yang dicari jawabannya. 88Adapun buku-buku yang digunakan sebagai sumber utama dan pendukung terikat denganPeran PDHJdalam mengatasi pelanggaran HAM di TL tahun 2009-2014, merupakan subjek penalaran penelitian ini. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan meliputi buku, jurnal, majalah dan sumber internet yang memiliki level validity dan kehandalan (realibility). H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini akan dijelaskan dalam lima bab, sebagai berikut: BAB I memaparkan latar belakang penulisan yang berisi pembentukan UU No. 7/2004 yang melejitimasi berdirinya PDHJ dan perannya dalam mempromosi, memproteksi dan melindungi HAM di TL. Dalam bab ini juga diketengahkan topik perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, argumen utama, metode penelitian dan sistimatika penulisan. 85 Trygye Mathisen. Methodology in the Study of International Relation. Oslo University Press. 1959. p.2002-210. 86 Data tertutup adalah kategori data rahasia negara, isi surat-surat tokoh, berbagai kantor pemerintah, hasil tulisan dan interview dari orang-orang yang terlibat atau menjadi saksi dari kejadian tertentu. Lihat Charles A. MeClelland. Theory and the International System. a.b. Min Joebhar dan Ishak Zahir. Ilmu Hubungan Internasional: Teori dan Sistem. Jakarta: Rajawali. 1981. pg.156. 87 John Creswell. 2015.Riset Pendidikan, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi, Edisi Kelima. Diterjemahkan dari Educational Research, Planning, Conductiong, and Evaluating Quantitative and Qualitative. Diterbitkan oleh Perason Education, Inc. pg.5. 88 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Press, Jakarta. 1986. pg.24-25. 29 BAB II akan mengetengahkan isu HAM sebelum dan paska restorasi kemerdekaan TL, yang berimplikasi pada pembentukkan PDHJ oleh Pemerintah Republik Demokratik TL. BAB III akan meneropong upaya-upaya yang dilakukan oleh PDHJ dalam mengatasi pelanggaran HAM di TL. Bab IV Prospek PDHJ ke depan, koordinasi, program jangka pendek dan panjang kerja sama dan telaah peran PDHJ dalam penegakan HAM di TL. Bab V berisi kesimpulan penulisan dalam peran PDHJ dalam mengatasi pelanggaran HAM di TL. 30