KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, DEBU DAN CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta) SAPUTRO SATRIYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRACT Saputro Satriyo. 2012. AIR POLLUTION MANAGEMENT POLICY DUST AND CO. LAND TRANSPORTATION SECTOR (Case studies of pollution, dust and CO on the highway Cawang-Semanggi Jakarta). Guided Surjono H. Sutjahjo, Wonny Ahmad Ridwan and Muhammad Yani Supervising Commission. Pb, Pb By as Along with the fast of development in the city, then the frequency of vehicles on the highway is also higher, which causes the level of exhaust emissions from vehicles is also increasing. Increased levels of vehicle exhaust emissions will spread into the surrounding area and as a result can disrupt public health. Development of transportation policies that are less well and did not pay attention to aspects of public health will certainly exacerbate the negative impacts. This study aims to (1) identify the spread of Pb and dust conditions that exist today, (2) analyze the distribution of Pb, dust and CO levels to develop environmental management on the impact of air pollution risk in relation to local public health, and formulate management policy directives regional environmental impact of air pollution. Methods of analysis used is descriptive method, laboratory analysis by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) and gravimetric, and analysis of hierarchy process (AHP). Results showed that air pollution from motor vehicles such as carbon monoxide (CO), nitrogen dioxide (NO2), sulfur oxides (SO2), lead (Pb), dust, generally above the threshold exceeds the ambient air quality standards, especially noise = 75 dBA, carbon monoxide gas = 3292,5 µg/Nm³ and dust = 218,10 g/m³ on environmental quality standards. Pollutants is very dangerous to human life because it can cause disease. Pb in plants at 4,3 ppm, efforts to reduce levels of Pb and dust can be a limitation of the vehicle, entry restrictions, parking restrictions, regulating traffic zone, day without driving, cycling, application of new technologies, and planting vegetation. Pb in hair traffic police officers on duty during: 0,3 ppm five years, ten years of 0,6 ppm and 0,8 ppm fifteen years. Alternative policies that can be selected in the field of environmental management of the impact of air pollution in Jakarta is an age restriction of motor vehicles. The most influential factor is not feasible to use the vehicle first, second and third the existence of incentives or vegetation maintained disintive Green Open Space (RTH). Activities must be supervised by the government, in this case the Ministry of Health, Board of Transportation and the Environment Agency and the Police are the most important actor role in maintaining air quality in Jakarta. Keywords: policy, air pollution, motor vehicles, lead, dust and CO, human health. ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, debu dan CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta)” adalah karya saya sendiri serta atas arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Saputro Satriyo P99523608/PSL iii RINGKASAN Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota besar di dunia. Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia disamping kota-kota besar lainnya dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi. Seiring dengan pesatnya laju pembangunan di kota Jakarta, maka frekuensi kendaraan di jalan raya juga semakin tinggi, yang menyebabkan laju pencemaran udara dari sumber emisi gas buang dari kendaraan juga semakin meningkat. Ini disebabkan terutama oleh tingginya pemanfaatan energi fosil di dalam transportasi dan industri, meski konstribusi alam juga menyokong melalui kejadian seperti letusan gunung berapi dan kebakaran hutan. Di banyak negara berkembang, konsentrasi CO (karbon monoksida), SO2 (sulfur dioksida), timbal (Pb), debu dan bahan pencemar lainnya meningkat sebagai suatu konsekuensi terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil. Meningkatnya laju emisi gas buang kendaraan akan menyebar ke wilayah di sekitarnya dan sebagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat tentu akan memperburuk dampak negatif yang ditimbulkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka beberapa kajian yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus antara lain : 1. Mengidentifikasi kondisi kimiawi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang ada pada saat ini. 2. Menganalisis tingkat penyebaran Pb, debu dan CO untuk menyusun manajemen lingkungan pada dampak resiko pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat setempat. 3. Merumuskan arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara. Penelitian dilaksanakan di Propinsi DKI Jakarta khususnya di jalan Cawang sampai Semanggi yang dimulai bulan Januari 2004 sampai Agustus 2008, tanggal 2 dan 4 November 2011 dan 5 Desember 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pencemar udara yang berasal dari hasil aktivitas kendaraan bermotor seperti, nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida (SO2), rata-rata masih berada di bawah batas ambang baku mutu udara ambient, kecuali gas karbon monoksida yang telah mencapai 3592,5 μg/Nm3 di lokasi pengamatan jembatan Semanggi, debu yang telah mencapai 218,10 g/m3 di lokasi pengamatan gedung Kor Lalulintas, Pb mencapai 4,3 ppm pada tanaman percobaan dan kebisingan sebesar 75 dBA. Sedangkan pada petugas polisi lalulintas jumlah Pb yang terjerab pada rambutnya sesuai dengan kurun waktu: lima tahun = 0,3 ppm, sepuluh tahun = 0,6 ppm dan limabelas tahun = 0,8 ppm. Keadaan ini menunjukkan tingkat kesehatan anggota polisi lalulintas itu perlu segera ditangani mengingat kandungan Pb pada udara ambient tahun 2011 sebesar 0,28 ppm. iv Akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan menunjukan kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu lingkungan. Demikian pula dalam rambut manusia rata-rata berada di atas batas baku mutu lingkungan, namun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman. Kebanyakan menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb yang berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti pembatasan usia pakai kendaraan, larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa mengemudi, bersepeda, penerapan teknologi baru, dan penanaman vegetasi. Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta adalah pembatasan usia pakai kendaraan sebagai penyebab polutan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah keberadaan vegetasi sebagai penyerab Pb, debu dan CO sehingga perlu dipertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dimana pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Kepolisian R.I merupakan aktor yang paling berperan penting dalam menjaga kualitas udara di Kota Jakarta. v @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vi KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, DEBU DAN CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta) SAPUTRO SATRIYO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vii Penguji luar Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS 2. Dr. Ir. Sobri Effendi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. M. Nurdin : Sekretaris Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) 2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto : Dosen pada Departement Teknik Spil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian IPB viii PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah disertasi dengan judul KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, debu dan CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO) di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta) dapat terselesaikan. Disertasi ini bertujuan menghasilkan model kebijakan pengelolaan pencemaran Udara dan debu yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan disertasi ini banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan. Oleh karena itu dengan rasa tulus dan segala kerendahan hati dihaturkan penghargaan dan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE. MM dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng selaku anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Nuraedi selaku Asisten komisi pembimbing yang telah bersedia memberikan perhatian, jasa dan budi baiknya yang sangat besar melalui bimbingan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 2. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi PSL yang banyak memotivasi penulis dan memberikan dukungan moril, nasehat serta pelayanan akademik selama masa studi. 3. Jenderal Pol.(Purn). Tan Sri Prof. Drs. Da’i Bachtiar. S.H. AO beserta staf yang telah memberi izin bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian di Jakarta. 4. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pasca sarjana IPB yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendididkan di IPB. Demikian pula Dosen dan Staf Akademik yang telah memberikan bantuan akademik dan non akademik bagi penulis dalam menempuh program strata tiga ini. x 5. Irjen Pol. Dr. H.Untung Sugianto Radjab.Drs.SH., Kapolda Metro Jaya berkenan ijin memberikan penelitian di Asrama Polri Polantas Jakarta. 6. Ketua Yayasan Brata Bhakti Polri lebih khusus Bapak Rektor Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan Warek dua yang telah memberi ijin bagi penulis untuk mengikuti program Strata 3 di IPB. 7. Para Narasumber dari Akademisi, LSM dan Tokohmasyarakat yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk berdiskusi dengan penulis dan ikut serta dalam pelaksanaan Forum Groub Discusion (FGD) serta sebagai pakar dalam analisis data kebijakan. 8. Rekan rekan mahasiswa Psl yang telah ikut serta memberikan saran atas kesempuranan metodologi penelitian dan penulisan disertasi. 9. Mertuaku, istri, anak-anak, menantu dan cucu-cucuku, serta keluarga yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu do’a, memberi dukungan dan semangat sampai hari ini. Tidak lupa pula kepada sahabat dan kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak berkorban dalam suka dan duka, selalu memberikan dorongan dan selalu mendampingi penulis dengan sabar dan tawakal, sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan disertasi yang belum sempurna ini sehingga masih diperlukan kritik saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan buku ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik semuanya, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Bogor, Januari 2012 Penulis Saputro Satriyo xi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang 15 Nopember 1947, bernama Drs. Saputro Satriyo, SH.MSi beragama Islam, merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara Almarhum Bapak RM. Satriyo Reksoatmodjo dan Almarhumah Ibu Rr. Siti Khodijah. Beristri Hj. Hariyati Saputro binti H. Mursjid berputra tiga, dua putra, satu putri dan telah memiliki cucu lima orang. Adapun nama-putra-putrinya adalah : 1. Johny Harius Putranto, SE., ST., MT. 2. Mayor Infantri Didit Hari Prasetio Putro 3. Fika Wiguna Saridewi, SE., S.Ak. Pendidikan/sekolah yang pernah ditempuh adalah: SMA Paspal lulus tahun 1968, AKABRI Kepolisian (1972), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK-1982), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (1987), Sekolah Sospol ABRI - II (1989 dan 1994), Sarjana Hukum di Denpasar Bali (1989), S2 di UNPAD tahun 1996. Beralamat di Perumahan Polri Pengadegan Blok Q/4E Pancoran, Jakarta Selatan. Selama menempuh studi Doktor, penulis pernah berdinas di Lembaga Kepolisian sampai memasuki purna bhakti pada tahun 2003. Aktivitas saat ini adalah mengabdi pada Lembaga Swadaya Masyarakat LCKI (Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia), Kepala Biro Hukum Polda Metrojaya dan Kepala Biro Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) bertugas selaku dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Bhayangkara Jakarta dan Bekasi serta dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta. xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang .................................................................................... 1 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4 Perumusan Masalah ............................................................................. 6 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10 Manfaat Penelitian .............................................................................. 10 Hipotesis .............................................................................................. 10 Pembatasan Studi ................................................................................. 11 Novelty (Kebaruan) ............................................................................. 12 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13 Komposisi Atmosfer ............................................................................ 13 Pencemaran Udara ............................................................................... 14 Sumber Pencemaran Udara ................................................................. 16 Partikel ................................................................................................ 27 Logam Berat Timbal (Pb) ................................................................... 27 Sumber Timbal (Pb) dan Pencemaran di Udara .................................. 29 Dampak Pencemaran Udara ................................................................ 31 Pengaruh Pb terhadap Kesehatan Manusia .......................................... 36 Komposisi Gas Buang Kendaraan Bermotor....................................... 41 Kondisi Udara ...................................................................................... 49 METODE PENELITIAN .............................................................................. 50 Lokasi Penelitian ................................................................................ 50 Rancangan Penelitian ......................................................................... 51 xiii Jenis dan Sumber Data ............................................................ 52 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 52 Metode Analisis Data .............................................................. 53 Metode Penelitian AHP .......................................................... 56 Model Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara ............................. 62 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................................... 63 Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan................................................ 63 Sarana dan Prasarana .......................................................................... 65 Sarana Transportasi ............................................................................ 66 Kualitas Udara di DKI Jakarta............................................................. 69 Suhu udara rata – rata .......................................................................... 70 Kualitas Udara di Bern (Swiss) dan Den Hagg (Belanda) .................. 71 Penyakit Yang Disebabkan Oleh Pencemaran Udara.......................... 72 STUDI PENYEBARAN Pb, DEBU DAN KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA .................................................................................................. 74 Pendahuluan ........................................................................................ 74 Metode Penelitian ............................................................................... 75 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 76 Sumber dan Jenis Bahan Pencemar Udara .............................. 76 Gas Pencemar Udara di Kota Jakarta ...................................... 78 Pencemar Udara Pb, Debu dan Kebisingan di Kota Jakarta ... 81 Terjadinya Kebisingan Akibat Kemacetan di Ras Jalan MT. Haryono /BNN ............................................................................ 83 Kesimpulan ......................................................................................... 86 STUDI KETERKAITAN PENYEBARAN DAN DEBU DENGAN KESEHATAN MASYARAKAT ....................................................................................... 87 Pendahuluan ........................................................................................ 87 Metode Penelitian ................................................................................ 88 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 90 xiv Kandungan Pb pada Tanaman ............................................... 91 Kandungan Pb pada Rambut Polisi Yang bertugas Di Lokasi Penelitian ................................................................ 94 Kesimpulan .......................................................................................... 102 KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN WILAYAH DAMPAK PENCEMARAN UDARA............................................................................... 103 Pendahuluan ...................................................................................... 103 Metode Penelitian 105 ............................................................................. Analisis Herarki Proses Dapat Menyusun Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara................................................................................ 119 Patokan Dengan Kota Kembar (Sister City)........................................ 120 Pencapaian Target Agar Sesuai Dengan Kadar Udara Di Sister City Yaitu Kota Beern dan Den Haag Adalah Cukup Panjang ........... 124 Kesimpulan .......................................................................................... 129 Simpulan dan Saran....................................................................................... 131 Simpulan ............................................................................................. 131 Saran .................................................................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 133 xv DAFTAR TABEL Halaman 14 1. Susunan Gas di Atmosfer pada Suhu dan Tekanan Udara Baku .................. 2. Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak ..................................... 18 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan ....................... 19 4. Komposisi gas buang kendaraan bermotor berdasarkan % volume (a) dan rata-rata emisi gas dalam g/km (b) menurut jenis bahan bakar yang digunakan .............................................................. .. 5. Konsumsi bahan bakar (premium) dan emisi gas buang kendaraan Dinas di kota Yogyakarta............................................................... 6. 23 Kandungan gas SO 2 dan NO 2 di empat lokasi pengukuran di Kota Padang ..................................................................................... 7. 21 25 Hasil pemantuan kualitas udara harian di Senayan dan Pondok Indah DKl Jakarta pada bulan Januari Februari, Juli dan Agustus 2010 ........................................................................ 8. 26 Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia Jenis Pencemaran udara ...................................................................... 33 9. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia .. 48 10. Metoda sampling dan analisis pencemar udara .................................... 52 11. Intensitas radiasi matahari .................................................................... 53 12. Jenis dan sumber data .......................................................................... 56 13. Skala komparasi berdasarkan skala Saaty ............................................ 59 14. Luas Wilayah Kotamadya DKI Jakarta Tahun 2009 ........................... 63 15. Pemanfaatan Lahan di Wilayah DKI Jakarta tahun 2010 .................... 64 16, Luas hijau jalan, hijau kota dan taman di wilayah Propinsi DKI Jakarta tahun 2010 ............................................................................... 65 17. Fungsi Jalan, Panjang Jalan, Luas dan Status jalan tahun 2010........... 65 18. Jumlah Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil Beban, dan Bus Tahun 2005–2010 ................................................................................ xvi 66 19. Jumlah Kendaraan Angkutan Jenis IV ................................................. 20. Rata – rata jumlah penumpang, jumlah bis yang ada dan 67 yang Beroperasi Tahun 2005 – 2010 .................................................. 67 21. Panjang Jalan DKI Jakarta tahun 2010 ................................................ 68 22. Luas Jalan DKI Jakarta tahun 2010 ..................................................... 68 23. Komponen Pb (ppm) di dalam asap mobil........................................... 70 24. Suhu maksimum dan minimum tahun 2005 – 2010 ............................ 70 25. Tingkat polusi di DKI Jakarta Berrn, Den Haag, Singapura dan Kuala Lumpur ...................................................................................... 72 26. Metode analisis kualitas udara dan kebisingan ................................... 76 27. Data hasil pemantauan kuantitatif kendaraan bermotor di Jakarta tahun 2008/2009 ................................................................. 77 28. Hasil pengukuran SO2 ......................................................................... 79 29. Hasil pengukuran NO2 ......................................................................... 80 30. Hasil pengukuran CO .......................................................................... 81 31. Hasil pengukuran kandungan Pb pada lima lokasi penelitian.............. 82 32. Hasil pengukuran kandungan Debu pada lima lokasi penelitian ......... 83 33. Hasil pengukuran kandungan kebisingan pada lima lokasi penelitian .............................................................................................. 34. 84 Jumlah kendaran yang melintas di Kuningan dan Pancoran tanggal 13 Februari 2008 dan tanggal 11 November 2011 ............................... 85 35. Data Kesehatan Anggota Kor Lalulintas Metro Jaya........................... 90 36. Korban CO dan Tempat Kejadian Perkara ......................................... 91 37. Hasil pengukuran kandungan Pb di setiap jenis tanaman penghijauan tepi jalan tol Cawang – Semanggi (Februari 2008) ............................. 38. Penjerapan kandungan Pb pada sampel tanaman contoh di lokasi penelitian selama musim kemarau dan musim hujan tahun 2008......................... 39. 92 93 Hasil analisis kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan Cawang-Semanggi ............................................................................... xvii 94 40. Kasus penyakit ISPA akibat peningkatan jumlah kendaraan di beberapa lokasi pengamatan di DKI Jakarta ........................................ 41. 99 Hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan gangguan pendengaran masyarakat pada beberapa lokasi penelitian ................... xviii 101 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan kegiatan manusia (rumah tangga dan perusahaan) dengan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan .................................................. 2. 2 Kerangka berpikir analisis tingkat penyebaran konsentrasi Pb, debu dan kebisingan untuk manajemen lingkungan pada dampak resiko pencemaran udara menuju Ecocity ...................................................... 3. 6 Hubungan antara kecepatan kendaran dan emisi N0 2 dan CO tanpa peralatan anti pencemaran pada kendaraan .............................. 22 4. Akumulasi peredaran Pb pada manusia .............................................. 37 5. Jalur masuk Pb pada manusia ............................................................ 38 6. Peta lokasi penelitian ......................................................................... 50 7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian .......................................................... 51 8. Rising Supply and Demands ............................................................... 54 9. Kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat..................................................................................... 55 10. Konsentrasi Pb, debu dan NOx di Jakarta tahun 2008 ......................... 69 11. Perbandingan tingkat polusi DKI Jakarta dengan Sister Citynya ........ 72 12. Kendaraan yang melintas di Bundaran Semanggi Juli 2010 ................ 84 13. Kendaraan yang Melintas di Kuningan dan Pancoran Juli 2010 ......... 85 14. Kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan Cawang-Semanggi .............................................................................. 15. 95 Perbandingan tingkat konsentrasi Pb pada rambut di lima lokasi pengamatan .......................................................................................... 96 16. Hasil pengamatan Pb, pada tanggal 13 Februari 2008, 11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ........................................... 17. 97 Hasil pengamatan debu, pada tanggal 13 Februari 2008, 11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ........................................... 98 18. Hasil pengamatan CO , pada tanggal 13 Februari 2008, 11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ........................................... xix 98 19. Hasil pengamatan bising (dBA), pada tanggal 13 Februari 2008, 11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ........................................... 99 20. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI Jakarta 100 21. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI Jakarta 22. 101 Hirarkhi AHP kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat ……………………………………. 105 23. Hirarkhi AHP Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu dan CO Dari Sektor Transportasi Darat di Jakart ............................... 106 Model pengelolaan pencemaran udara ................................................ 124 25. Model Powersim .................................................................................. 125 24. 26. Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 5 tahun kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur ............................................... 27. Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO pada 5 tahun kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur .................................... 28. 127 Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO pada 10 tahun kedepan seperti di Kota Singapura ...................................................... 31. 127 Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 10 tahun kedepan seperti di Kota Singapura ...................................................... 30. 126 Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu pada 5 tahun kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur .............................................. 29. 126 128 Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu pada 10 tahun kedepan seperti di Kota Singapura ...................................................... xx 128 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan suatu proses pengolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia generasi saat ini dan generasi mendatang agar hidupnya sejahtera. Menurut Monash Singh (1993) Pembangunan berkelanjutan berorentasi pada tiga aspek sekaligus, yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologi). Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan pada masyarakatnya secara terus menerus Zen (1979). Masyarakat yang dinamis dalam kehidupan sehari hari sangat memerlukan transportasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Majunya pembangunan disektor transportasi menjadikan kota besar di Indonesia acap kali terjebak dalam kemacetan berlalulintas. Jakarta sebagai salah satu kota megapolitan sudah lebih dari satu dekade ini mengalami kemacetan. Kemacetan hampir setiap hari ini terdapat di jalan-jalan arteri maupun jalan tol dalam kota. Suasana kemacetan yang cukup parah sering kali terjadi pada waktu masuk dan pulang kerja karyawan di Ibukota. Berdasarkan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara pasal 15 perihal penanggulangan pencemaran udara menyatakan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan, wajib melakukan upaya penanggulangan pecemaran udara. Sanksi akibat melanggar Perda Propinsi DKI Jakarta adalah pencabutan ijin usaha, dikenakan biaya penanggulangan dan pemulihan, ganti rugi dan retribusi sebagai bentuk sanksi administratif. Tercantum pada pasal 41 pidana yaitu dengan dimulainya penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dan diputus oleh Pengadilan Negeri setempat. Isi Perda tersebut sangat mengikat pada semua obyek dan Badan Hukum di wilayah DKI Jakarta. Dampak pertumbuhan populasi penduduk dan perkembangannya yang terus meningkat dan kepentingan ekonomi yang lebih dominan dari pada kepentingan ekologi, mendorong kondisi sumberdaya alam dan 1 2 lingkungan menjadi menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Demikian pula kondisi sumberdaya manusia yang belum memadai, instansi belum berperan secara tepat, teknologi belum ramah lingkungan dan law enforcement yang masih rendah serta etika ekologi yang masih dangkal telah menyebabkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan semakin terpuruk. Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi dalam upaya menyangga keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya, aktivitas manusia atau kegiatan pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk, khususnya di wilayah perkotaan erat kaitannya dengan meningkatnya kebutuhan perumahan, transportasi dan kegiatan industri. Di lain pihak daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan adalah sangat terbatas, sehingga dampak dari aktivitas dan kegiatan pembangunan sering menimbulkan pencemaran baik pada tanah, air maupun udara yang pada akhirnya bermuara pada manusia sendiri sebagai penerima akibatnya. Hubungan kegiatan rumah tangga atau perusahaan dengan sumberdaya alam dan lingkungan terdapat pada Gambar 1. Perusahaan : Input Lingkungan Lingkungan Tenaga Kerja Manajemen Mesin Sumber daya alam dan Lingkungan : Udara, Satwa, Air, Tumbuhan, Tanah, Manusia, Sosial Produk Perusahaan Output Lingkungan Limbah dan Sampah Gambar 1. Hubungan kegiatan manusia (rumah tangga dan perusahaan) dengan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Modifikasi Djajadingrat 1997). Pencemaran udara yang diakibatkan oleh sarana transportasi, bersumber dari bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Bahan bakar minyak dan gas sebagai sumber energi yang menggerakkan mesin atau peralatan mekanis menghasilkan 3 sisa buangan berupa gas, debu dan asap yang pada tingkat konsentrasi tertentu berperan sebagai zat pencemar udara (Saeni 1989). Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota besar di dunia. Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia disamping kota-kota besar lainnya dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi. Ini disebabkan terutama oleh tingginya pemanfaatan energi fosil di dalam transportasi dan industri. Di banyak negara berkembang, konsentrasi CO (karbon monoksida), SO2 (sulfur dioksida), timbal (Pb), debu dan bahan pencemar lainnya meningkat sebagai suatu konsekuensi terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil. Pencemaran udara kota-kota di seluruh Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan beberapa parameter sudah melampaui ambang batas baku mutu lingkungan. Kualitas udara perkotaan telah berubah kondisinya akibat perubahan komposisinya dari komposisi udara alamiahnya menjadi kondisi udara yang sudah tercemar sehingga tidak dapat menyangga kehidupan. Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air Quality Monitoring Station (AQMS), dari sepuluh kota besar di Indonesia, enam di antaranya yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekanbaru hanya memiliki udara berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun atau tidak lebih dari 17 persen. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus menghirup udara dengan kategori berbahaya masing-masing selama 88 dan 22 hari (Cahyono 2008). Zat pencemar udara, dapat berupa karbon monoksida (CO), oksida-oksida nitrogen (NOx) dan belerang dioksida (SO2) termasuk timbal (Pb) dan debu (suspended particulate matter) (Manahan 1994). Pencemaran Pb dan debu pada konsentrasi tertentu, berpengaruh terhadap tingkat kesehatan manusia dan aktivitas manusia (ekonomi) serta menurunnya kondisi lingkungan. Kondisi perubahan konsentrasi Pb, debu dan CO, semakin meningkatnya jumlah penduduk dan sarana transportasi dikhawatirkan akan menggangu kondisi sosial (kesehatan), ekonomi (aktivitas atau mata pencaharian) dan lingkungan (sistem yang semakin penuh) dalam jangka panjang. Kondisi ini dikhawatirkan akan menggangu lingkungan, kesehatan dan keamanan aktivitas penduduk dan pada saatnya akan menganggu aktivitas sosial, alam dan lingkungan (Riyadi 1982). 4 Dampak negatif akibat penurunan kualitas udara terhadap kesehatan manusia yaitu peningkatan penyakit pernapasan (ISPA) dan beberapa penyakit lainya. Selain itu, pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Untuk hal ini perlu diadakan analisis terhadap tingkat pencemaran Pb, debu dan CO pada jalan–jalan tertentu yang padat dengan transportasi untuk menyusun kebijakan pengelolaan pencemarn udara di kota-kota besar di Indonesia. Kerangka Pemikiran Menurut Gold (1980) dan Djajaningrat (1997) bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memiliki tiga peranan pokok yaitu sebagai penyedia materi (lahan, air, udara), penerimaan limbah dan sampah (termasuk dalam bentuk asap dan debu), dan penyedia estetika (keindahan khususnya kenyamanan). Di satu pihak sebagai pemasok limbah dan sampah, lingkungan memiliki keterbatasan yang ditentukan oleh daya dukungnya (Soemarwoto 1988) serta di lain pihak manusia sebagai pemakai untuk memenuhi kebutuhannya harus berkorban. Dalam hal ini dikhawatirkan, pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation) akan merusak dan menurunkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan setempat. Manusia akan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, untuk pemukiman dan perumahan, industri, perhubungan dan layanan kota dan jasa transportasi. Aktivitas dari manusia ini (baik perumahan atau rumahtangga maupun perusahaan dan industri) akan menghasilkan residu berupa sampah dan limbah (termasuk hasil pembakaran) dan sarana transportasi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat atau lebih langsung mengeluarkan asap dan debu yang pada konsentrasi tertentu dapat mencemari udara. Pencemaran udara dalam penelitian ini difokuskan pada analisis tingkat penyebaran konsentrasi Pb, debu dan CO dengan perhitungan, bahan dalam penelitian tingkat penyebaran pencemar tersebut dikaitkan dengan eksistensi petugas lalu lintas, pengguna jalan dan pemakai gedung di sekitarnya, 5 pengetahuan tentang pencemaran Pb masih belum memadai dan belum disusun manajemen lingkungan pada dampak risiko pencemaran udara yang berperan untuk mengendalikan tingkat kesehatan dan pengaturan penggunaan bahan bakar. Berdasarkan manajemen lingkungan wilayah dapat disusun strategi pengendalian (kebijakan, teknologi dan insentif) untuk menyusun strategi pengendalian pencemaran udara secara terpadu dengan melibatkan pemerintah berikut dapat menelusuri dampak risiko pencemaran udara serta badan usaha milik negara dan swasta, dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat seperti halnya pengguna jalan, pengemudi, penghuni, pemakai gedung juga pihak–pihak lain. Dengan tetap mengedepankan kepentingan masing – masing dan adaptif (Michel 2000) untuk menuju kondisi lingkungan udara kota DKI Jakarta yang bersih, sehat dan nyaman secara berkelanjutan menjadi kondisi lingkungan yang berwawasan lingkungan telah sesuai dengan program pencanangan Ecocity (Setiawan 2003). Uraian secara rinci kerangka berpikir analisis manajemen wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat seperti terlihat pada Gambar 2. 6 Eco City Jakarta Kondisi kualitas LH di Cawang - Semanggi Kualitas Udara Pb, debu, SO2 NO2,CO, Kebisingan Kesehatan Lingkungan Masyarakat (Keslingmas) - Pemerintah - Masyarakat [DINAMIS] Sumber Pencemaran (Indusri, transportasi, rumah tangga) Manajemen Lingkungan Wilayah. Dampak pencemaran udara dalam kaitan kesehatan masyasarakat (pengendalian dan penanggulangan) Gambar 2. Kerangka berpikir analisis tingkat penyebaran konsentrasi Pb, debu, CO, dan kebisingan untuk manajemen lingkungan pada dampak resiko pencemaran udara menuju Ecocity. Perumusan Masalah Masalah pencemaran di kota – kota besar di seluruh dunia sudah menunjukkan perihal yang sangat serius (KTT Johannesburg 2000). Terlebih lagi pencemaran udara yang disebabkan asap industri maupun asap dan gas buangan knalpot kendaran bermotor. Jakarta sebagai kota metropolitan, udaranya tercemar nomor 3 di dunia setelah Bangkok dan Dakka (Salim, 1999). Keadaan pencemaran udara itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus berkembang tanpa ada upaya dari pemerintah atau swasta yang peduli terhadap emisi gas buang. Akibat emisi gas buangan ini banyak penduduk Jakarta Pusat menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). 7 Kebijakan transportasi di Daerah Khusus Ibukota 40 % didominasi bus umum, 16% kendaraan pribadi, disusul angkutan jenis pedati, gerobak, kereta angin, delman sebesar 24 %, lain – lain 14 %, kereta api 2,5 % dan sepeda motor 2%. Kendaraan umum sebagai alat transportasi yang bebas zat pencemar udara dalam persentase cukup kecil yaitu 2,5 % berupa kereta api rel diesel dan listrik. (Dirlantas POLRI 2008). Kondisi serta komposisi jenis kendaraan bermotor yang tidak seimbang ini menunjukkan signifikansi adanya zat pencemar udara di seluruh ruas jalan arteri dan jalan tol di DKI Jakarta. Lapisan udara yang menebal di atas permukaan tanah sering kali disebut asap kabut atau smog. Asap kabut seringkali tampak pada setiap hari jam – jam padat lalu lintas, terutama di jalan protokol yaitu jalan Panglima Sudirman, jalan M. Husni Thamrin dan jalan Grogol – Cawang sampai dengan Cikampek. Seperti diketahui asap kabut itu berasal dari kendaraan bermotor yang melintas di jalan – jalan tersebut. Asap kabut yang berasal dari emisi gas buang atau knalpot itu cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, satwa dan tumbuhan. Asap knalpot berupa emisi gas buang terdiri berbagai partikel kecil berupa antara lain: debu yang tersuspensi (total suspendied particulate), debu jatuh (dust fall), partikel PM10 (partikel < 10 µm) dan partikel 2,5 (partikel < 2,5 µm), unsur logam berat (timbal). Jenis–jenis gas antara lain : sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) ozon (O3), hidrokarbon (HK), seperti diketahui lingkungan udara ambien jalan Sudirman dan jalan Jembatan Semanggi sampai Cikampek telah membentuk asap kabut atau smog. Kabut terbentuk oleh emisi gas buang dari knalpot kendaraan bermotor yang berlalu-lintas sepanjang hari. Namun secara alami asap kabut itu dipengaruhi oleh arah angin, cuaca, kerimbunan pohon di sepanjang jalan dan jumlah kendaraan itu sendiri. Faktor– faktor angin, cuaca, kerapatan tanaman, jumlah kendaraan bermotor dan kegiatan bermasyarakat setempat sangat berhubungan dengan dinamika dan pola penyebaran Pb, debu dan CO dan kebisingan suara di udara. 8 Sumber pencemaran udara utamanya ternyata bukan hanya dari sektor industri, namun justru sektor transportasi. Konstribusi nyata terhadap pencemaran NOx mencapai 73,3%; partikel-partikel (total suspendied solid) = 35,4% dan debu halus dibawah 10 micron. Untuk lebih jelasnya bahwa pencemaran udara dari transportasi di Jakarta (World Bank 2006) adalah sebagai berikut : 1. Debu (total suspended particulate) sebesar = 34,205 ton / tahun 2. Debu halus < 10 micron (PM 10) sebesar = 13,331 ton / tahun 3. Nitrogen Oksida (NOx) sebesar = 31,543 ton / tahun Tingkat penyebaran Pb di udara ditinjau dari sosial ekonomi sangatlah strategis. Arti strategis adalah penyebaran Pb secara nyata tidak pernah disadari karena efek kesehatannya cukup lama dan terabsorpsi di bawah lipatan lemak (Saeni 1989). Pb (timbal) dapat melayang di udara selama 4-40 hari dan penyebarannya sejauh 100-1000 km dari sumbernya (Harahap 2003). Indonesia seperti halnya di Negara-negara berkembang dan miskin lainnya seperti halnya Indonesia belum tampak serius mencegah maupun berupaya mengatasi penyebaran racun timbal Pb dan debu ini. Menurut Saeni (1989) bahan logam berat Pb yang berupa partikel sangat halus dan sangat berbahaya. Partikel Pb dapat mempengaruhi syaraf, tersimpan dalam lipatan lemak dan tidak bisa dikeluarkan melalui air seni, feses, maupun keringat. Jenis penyakit yang ditimbulkan oleh akibat keracunan Pb antara lain adalah penyakit jantung, penyakit yang berakibat daya pikirnya dibawah normal rata-rata orang dewasa. Upaya mengurangi atau mencegah peningkatan buangan pencemar udara yang mengandung Pb, debu dan CO di permukaan tanah pada jalan arteri Jl. Sudirman-Jl. M.H.Thamrin, jalan antara Semanggi–Cawang kendati dapat diatasi dengan berbagai multi disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang perlu diterapkan pada materi ini terlebih dahulu tentang permodelan pola dinamika penyebaran dan debu akan memudahkan untuk menyusun sistem manejemen dan pengendalian pencemaran udara oleh unsur Pb, debu dan CO, guna menyusun strategi yang lebih tepat. 9 Perundang-undangan lingkungan hidup pada Undang-undang nomor 23 tahun 1997 telah menentukan sangsi yang berkaitan dengan penyebab terjadinya pencemaran udara, hal ini merupakan kebijakan Pemerintah dalam mengatur pola pengendalian dan masalah-masalah tersebut yang pada dasarnya merupakan akibat dari kegiatan manusia. Adapun penyebab permasalahannya, antara lain meliputi : 1. Kebijakan pengendalian pencemaran (udara) yang di dalamnya mengandung aturan, norma, etika, mekanisme dan prosedur, belum mampu mengendalikan, mengawasi dan menindaklanjuti pengurangan pencemaran udara Pb, debu dan CO. 2. Kualitas sumber daya manusia baik sebagai aparat birokrat, pemilik mobil, industriawan, maupun masyarakat yang berada di sekitar lokasi, belum memahami akibat pencemaran Pb, debu dan CO yang dapat mengganggu terhadap kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan kesehatan. 3. Kondisi lingkungan di kota mengalami penurunan kualitas baik secara fisika maupun kimia. Hal ini akibat kegiatan manusia dalam mengelola penghidupannya serta membuang sampah dan limbah sampai merusak dan mencemari udara khususnya oleh Pb, debu dan CO. Berdasarkan identifikasi masalah pencemaran udara tersebut, maka perumusan masalahnya dapat disusun sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi kimiawi tingkat pencemaran udara di Tol CawangSemanggi Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor ? 2. Bagaimana tingkat penyebaran Pb, debu dan CO di Tol Cawang-Semanggi Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat setempat ? 3. Bagaimana arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor khususnya Pb, debu dan CO ? 10 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan mendesain kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka beberapa kajian yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus antara lain : 1. Mengidentifikasi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang ada pada saat ini. 2. Mengidentifikasi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat setempat. 3. Merumuskan kebijakan pengelolaan transportasi darat untuk mengurangi pencemaran udara. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi kebijakan pencegahan, penanggulangan pencemaran dan pengendalian penyebaran Pb, debu dan CO sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. 2. Bagi Dunia Usaha dan Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya dalam pengelolaan kualitas udara. Memberikan informasi dan peluang bagi dunia usaha untuk berperan serta dalam pengendalian penyebaran Pb dan debu atas dasar saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan sumbangan bagi ilmu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya dalam menyusun system manajemen lingkungan wilayah dampak percemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakati secara terintegrasi untuk mewujudkan langit biru, konservasi Sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. 11 Hipotesis Dalam penelitian ini hipotesisnya disusun sebagai berikut : 1. Di duga terdapat Pb dalam tubuh manusia yang berbeda jumlahnya sejalan dengan lama paparan 2. Jumlah Pb, debu dan CO sejalan dengan meningkatnya jumah kendaran. 3. Kelayakan pembatasan untuk kendaraan dan peralihan perubahan konsumsi jenis BBG dapat menurunkan tingkat Pb dan CO. Pembatasan Studi Dalam uji rambah serta uji laboratorium (in situ, ex situ) melalui media tertentu yaitu eceng gondok (Eichornia crassppes), kangkung (Ipomoca reptans Poir) dan genjer (Limmochoris flava Buchanau). Informasi pengendalian pencemaran sebagai masukan dalam menyusun strategi pengendaliannya, pembatasan masalah dalam penelitian ini dikaitkan dengan kriteria aspek sosial, ekonomi dan tingkat penyebaran Pb, debu dan CO meliputi : (a) kebijakan (b) sumberdaya manusia (c) kondisi lingkungan udara. Untuk kebijakan akan dibahas tentang kebijakan (aturan, norma); (1) tingkatan (2) jenis (3) masa berlaku (4) instansi yang terkait (5) aktor pembuat (6) aktor penerima (7) masalah yang diatasi (8) dampak yang timbul (9) sangsi (10) insentif (11) intensitas sosialisasinya. Untuk Sumberdaya Manusia (SDM) meliputi pemilik industri atau kendaraan, sopir, masyarakat pengguna dan petugas lapangan (a) resiko yang pernah dialami (b) untuk SDM pemilik industri atau kendaraan akan diteliti indikator-indikator, meliputi : (1) tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat kemampuan (4) kreativitas dan inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat istiadat dan budaya (7) upaya pengurangan emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9) resiko yang pernah dialami. (c) untuk SDM masyarakat pengguna, indikatornya meliputi : (1) tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat kemampuan (4) kreativitas dan inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat isitiadat dan budaya (7) upaya pengurangan emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9) resiko yang pernah dialami. (d) SDM masyarakat untuk kondisi udara akan dibahas dengan 12 indicator-indikator, meliputi: (1) konsentrasi zat pencemar Pb dan debu (2) jumlah dan jenis kendaraan (3) bahan bakar yang dipakai (4) laju emisi (5) konsentrasi zat pencemar (6) penentuan stabilitas adapter dan (7) koefisiensi distorsi (8) data stabilitas atmosfer arah dan kecepatan angin (9) pemakaian bahan bakar. Pengukuran kondisi udara akan dilakukan di bawah dan di atas lokasi penelitian, sedangkan pada periode waktu tertentu akan dihitung koefisien tingkat korelasi dan tingkat determinannya. Analisis terhadap orang yang bermukim dan bertugas di sekitar jalan yang dilalui kendaraan bermotor, indikatornya meliputi : (1) tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat kemampuan (4) kreativitas dan inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat istiadat dan budaya (7) upaya pengurangan emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9) resiko yang pernah dialami (10) bau (11) kebisingan. Novelty (Kebaruan) Kebaruan dari penelitian ini adalah terumuskannya kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemaran udara khususnya Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan bermotor di tol Cawang-Semanggi dan model kebijakan yang berkelanjutan. TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Atmosfer Atmosfer merupakan lingkungan fisik dimana manusia dan organisme lain hidup di permukaan bumi. Tanpa kehadiran atmosfer di atas permukaan bumi ini, tidak mungkin ada kehidupan di bumi. Fungsi utama atmosfer dalam menopang kehidupan di permukaan bumi adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer dengan susunan atau komposisi gas-gas yang ada di dalamnya secara alamiah mampu melakukan kedua fungsi tersebut. Perubahan kandungan gas-gas tertentu di atmosfer menyebabkan terganggunya kedua fungsi atmosfer tersebut yang menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Pencemaran udara terutama dari industri dan kendaraan bermotor apabila tidak dikendalikan dapat menurunkan fungsi atmosfer tersebut. Untuk menilai apakah udara sudah mengalami pencemaran udara dan tingkat pencemarannya, maka perlu pengetahuan mengenai komposisi atmosfer. Udara adalah suatu campuran beberapa jenis gas, bukan merupakan senyawa kimia. Seperti terdapat pada Tabel 1, empat macam gas terbanyak di udara adalah: nitrogen (78,08%), oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Keempat gas tersebut meliputi 99,99% dari volume udara kering, dan karbondioksida bervariasi volumenya. Disamping keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil, diantaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan H2S. Selain mengandung gas, di atmosfer juga terdapat aerosol, salah satu diantaranya adalah debu, yang sangat bervariasi menurut waktu dan tempat. 13 14 Tabel 1. Susunan Gas di Atmosfer pada Suhu dan Tekanan Udara Baku Jenis Gas 3 Simbol Volume (%) Kandungan dalam µg/ Nm A B C Nitrogen N2 78,80 9,75 x 10 8 Oksigen 02 20,94 2,99 x 10 8 Argon Ar 0,93 1,60 x 107 CO2 0,03 5,90 x 105 Karbondioksida 1,60 x 107 Neon Ne Helium He 920 Kripton Kr 4.100 Hidrogen H 26 -90 Ozon O3 10-15 Metana CH4 1.080 Oksida nitrogen NOx 0-6 Sulfur dioksida SO2 2-50 Amonia NH3 0-15 Karbon monoksida CO 130 Hidrogen sulfida H2S 3 – 30 Sumber : A : Barry and Chorley (1968). B : Gordon et al. (1998), sampai ketinggian 25 km. C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m, suhu baku 25 ° C , tekanan udara baku 1 atmosfer. Pencemaran Udara Pencemaran dan kerusakan ekosistem udara dewasa ini merupakan masalah yang bersifat internasional, karena pengaruhnya sangat merugikan bagi kepentingan masyarakat secara umum, dan terhadap kelangsungan hidup manusia, hewan maupun tumbuh–tumbuhan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.Kep.02/Men-KLH/1988, yang 15 dimaksudkan dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke udara atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Harahap (2003), udara bersih yang dihirup manusia dan hewan merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna atau berasa. Meskipun demikian udara yang benar–benar bersih sulit didapatkan terutama di kota besar yang berlalulintas yang padat. Udara yang mengandung zat pencemar dalam hal ini disebut udara tercemar. Udara yang tercemar tersebut dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan berarti berkurangnya daya dukung alam terhadap kehidupan yang pada gilirannya akan mengurangi kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Keadaan ini sejalan dengan domain triaspek pembangunan berkelanjutan yaitu rusaknya suatu ekologi akan membebani sosial ekonomi masyarakat setempat. Sedangkan Camp dan Dougherty (1991), memberikan definisi bahwa sumberdaya alam merupakan obyek-obyek, bahan, kreativitas atau energi yang terdapat di alam dan dapat digunakan untuk manusia. Kehadiran suatu bahan kimia di suatu tempat yang tidak tepat atau pada konsentrasi yang tidak tepat, maka bahan kimia tersebut disebut "pencemar" (Welburn 1990). Jadi ada dimensi ruang atau tempat dan dimensi konsentrasi yang harus diperhatikan untuk menyatakan adanya pencemaran. Dimensi tempat berhubungan dengan keberadaan organisme khususnya manusia. Suatu bahan kimia bukan merupakan bahan pencemar apabila terdapat di udara dalam hutan yang jauh dari pemukiman, namun apabila bahan kimia ini hadir di permukiman, maka bahan kimia tersebut disebut pencemar udara. Dimensi kedua untuk menyatakan suatu bahan kimia yang hadir di udara merupakan pencemar atau bukan adalah konsentrasinya. HaI ini didasarkan pada kenyataan bahwa : 16 1. Bahan kimia tertentu khususnya gas secara alami sudah terdapat di atmosfer. 2. Kegiatan pembangunan khususnya bidang industri dan transportasi mau tidak mau menghasilkan bahan atau gas pencemar udara. Usaha yang dilakukan adalah menekan atau mengendalikan bahan atau gas pencemar yang dihasilkan. 3. Kehadiran gas-gas tertentu di atmosfer pada konsentrasi tertentu justru menguntungkan, sebaliknya melebihi konsentrasi tertentu gas-gas tersebut dapat menjadi pencemar udara karena membahayakan kesehatan. Sebagai contoh, Hartogensis (1977), mengemukakan bahwa ozon (O3) yang terdapat di alam sampai konsentrasi 0,4 mg/m3 bukan dianggap sebagai pencemar, tidak berbahaya untuk kesehatan. Di Los Angeles, konsentrasi O3 sebesar 0,2 sampai 2 mg/m3 merupakan pencemar yang penting karena menghasilkan senyawa kombinasi dengan gas pencemar lainnya menyebabkan penurunan jarak pandang (visibility), iritasi dan kerusakan tanaman. Perubahan konsentrasi gas-gas tertentu di atmosfer dapat membahayakan kehidupan manusia, vegetasi atau hewan, dalam keadaan demikian terjadi pencemaran udara menyatakan bahwa pencemar udara terjadi apabila atmosfer memiliki komposisi gas-gas yang mengganggu atau merusak kesehatan atau merusak vegetasi, binatang atau material. Pencemaran selain berwujud kimiawi juga mempunyai kepentingan ekonomi dan sosial. Informasi yang tepat perihal tingkat gas fitotoksik dalam atmosfir yang tercemar masih relatif kurang (Fitter 1990 dalam Hay 1994). Pada tempat tertentu, kosentrasi akan tergantung atas sejumlah faktor lingkungan termasuk jarak dari sumber pencemar, topografi, ketinggian dari permukaan laut, jenis pencemar udara, hujan, radiasi matahari, serta arah dan kecepatan angin. Para peneliti yang telah menekuni Pb sebagai media pencemar udara cukup banyak, antara lain adalah: Saeni (1982), Harahap (2003), Siregar (2005), Santosa (2006) yang membahas fungsi dan peran Pb sebagai zat paling berbahaya terhadap hewan – ternak dan manusia. Sedangkan yang mencoba secara manajemen guna 17 mecegah dan berupa kebijakan mengelola pencemaran zat beracun ini belum diketemukan. Sumber Pencemaran Udara Ketidak seimbangan antara laju pertambahan jalan dan jumlah kendaraan di wilayah DKI Jakarta meningkatkan kepadatan lalulintas yang selanjutnya menyebabkan kemacetan dan pencemaran udara oleh emisi kendaraan bermotor. Gas buang tersebut antara lain mengandung CO, SO2, NOx, partikulat, Pb dan berbagai jenis debu. Selain menganggu kesehatan manusia, zat pencemar ini juga merusak klorofil tanaman (Adiputro 1995). Sumber-sumber pencemar lainnya adalah pembakaran sampah, proses industri, pembangunan limbah yang kesemuanya itu mengandung zat pencemar sebesar 60 % dari pencemar yang dihasilkan terdiri atas karbon monoksida dan sekitar 15 % terdiri dari hidrokarbon (Fardiaz 1992). Pada beberapa daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan 85% dari seluruh pencemaran udara yang terjadi. Kendaraan bermotor merupakan pencemar bergerak yang menghasilkan pencemar CO, hidrokarbon yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx, Pb dan partikel. Senyawa pencemar udara berdasarkan sifatnya dibagi menjadi empat kelompok seperti yang dikemukakan oleh Meetham (1981) yaitu : 1. Senyawa yang bersifat reaktif. 2. Partikel-partikel halus yang tersangga di stratosfer dalam jangka waktu yang lama. 3. Partikel-partikel kasar yang segera jatuh ke tanah dan yang berbentuk senyawa organik dan senyawa SO2 akan berfungsi selaku prototipe senyawa pencemar udara yang lain. 4. Partikel-partikel halus terutama berbentuk kabut yang berasal dari proses pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna. Pencemar udara dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made pollution). Kejadian atau gejala alam yang dapat menghasilkan pencemar udara diantaranya: letusan gunung berapi, badai pasir, dan penyebaran serbuk sari dari tanaman tertentu, yang dapat menyebabkan penyakit asma. 18 Pencemaran udara yang disebabkan oleh manusia tertutama merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industrialisasi dan urbanisasi. Sumber-sumber pencemar udara adalah: 1. Proses Pemanasan Proses pemanasan meliputi loncatan listrik, pembakaran gas alam dan bahan bakar minyak. Pemanasan berupa loncatan listrik dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan gas NO2. Gas alam sebagian besar adalah metana (CH4) dan sebagian kecil berupa etana (C2H6) dan propana (C3H8). Pembakaran gas alam dapat menghasilkan gas CO2 dan CO dan pada suhu tinggi dapat menghasilkan NO2. Pembakaran bahan bakar minyak (BBM) terutama menghasilkan gas SO2 dan hanya sedikit sebagai SO3. Abu juga dihasilkan, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, kurang dari 0,1%. Gas SO2 yang dihasilkan dari pembakaran BBM, tergantung pada kandungan sulfur dalam tiap jenis BBM. Kandungan sulfur yang umum dalam tiap jenis BBM disajikan pada Tabel 2. Bahan bakar padat terutama batubara memiliki kandungan abu yang tinggi, sulfur sekitar 1% dan kadang-kadang mengandung fluor sekitar 0,01%. Pembakaran bahan bakar padat khususnya batubara menghasilkan abu yang sebagian berbentuk abu terbang dan gas SO2. Sebagian sulfur tidak keluar sebagai SO2, tetapi masih terikat dalam abu. Tabel 2. Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak. No Jenis Bahan Bakar 1. Avtur 0,11 2. Premium 0,01 3. Minyak tanah 0,03 4. Solar 0,14 5. Industrial Diesel Fuel (IDF) 0,07 6. Industrial Fuel Oil (IFO) 1,65 Sumber : Pertamina U.P. IV Cilacap (2003). Kandungan Sulfur (%) 19 2. Industri Jenis pencemar udara yang dihasilkan oleh industri berbeda-beda, tergantung pada jenis industrinya. Biasanya pencemar udara dari industri dibuang melalui cerobong (stack) yang tinggi, sehingga pencemar udara dapat terdispersi secara sempurna di udara. Industri minyak dan gas bumi (migas) menggunakan cerobong setinggi 75 meter atau Iebih. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Surabaya menggunakan cerobong setinggi 200 meter agar abu dan gas SO2 yang terbang ke udara dapat terdispersi secara baik sehingga tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya. PLTU ini memanfaatkan bahan bakar batubara sekitar 5.000 ton/hari. Chi-Wen (1999), meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi penduduk terhadap bau yang ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO2, H2S, CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatil (benzena, toluena, p-Xylene, aseton, dan kloroform). Pengukuran di udara ambien dilakukan di empat lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di ke empat lokasi pengukuran, H2S dengan rata-rata hasil pengukuran 7,6 ppm telah melewati ambang batas bau (odorant threshold) sekitar 0,47 ppm, di satu lokasi CS2 pada malam hari dapat mencapai 256 ppm melewati ambang batas bau sebesar 210 ppm. Pada Tabel 3 disajikan beberapa jenis industri dengan pencemar udara yang diemisikan. 20 Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan. Jenis Industri Pencemaran yang dihasilkan Industri Baja Debu, Senyawa Fluoride dan SOâ‚‚ Kilang Minyak Bumi Hidrokarbon, Senyawa Sulfur, SOâ‚‚, Hâ‚‚S, NO, NOâ‚‚, debu, Merkaptan Industri Kayu Lapis Padatan Tersuspensi, Fenol dan Asam Resin Industri Rayon dan Pulp Senyawa Sulfur (bahan basah) misalnya CSâ‚‚ , Hâ‚‚S dan Metil Merkaptan Industri Semen Debu Industri Kimia Tergantung jenis industri kimia, misalnya HCL, Clâ‚‚, NOâ‚‚, NH₃ dan pestisida Industri Pengolahan Karet NH₃ dan Hâ‚‚S dan senyawa bau lainnya Industri Logam dan Pengecoran Logam SOâ‚‚, Sulide, Klor, HCl dan debu Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994) Vinitnantharat dan Khummorigkol (2003) telah melakukan penelitian deposisi sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemaran udara industri dan kendaraan di enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah dan deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung air hujan menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering dikumpulkan menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur pH (di tempat), dianalisis S0 4 2- dan N0 3 -, terhadap sampel kering dilakukan analisis S0 4 2- dan N0 3 . Hasil analisis menunjukkan bahwa pH air hujan berkisar dari 5,5 sampai 6,3 bahkan ada satu wilayah dengan pH lebih rendah dari 5,6 yang merupakan pH batas hujan asam. Hal ini herarti bahwa telah terjadi hujan asam akibat sulfur dan nitrogen. Total deposisi sulfur pertahun berkisar dari 0,6 g/m³ sampai 1,5 g/m³, sedangkan total deposisi nitrogen pertahun 0,5 g/m³ sampai 1,2 g/m³. Dari enam lokasi pengkajian, di lima lokasi deposisi sulfur lebih tinggi daripada deposisi nitrogen, hanya satu lokasi dengan deposisi nitrogen lebih tinggi daripada deposisi sulfur. 21 3. Kendaraan Bermotor Kendaraan bermotor baik yang menggunakan bahan bakar bensin maupun dengan bahan bakar solar (diesel) mengeluarkan gas buang yang terdiri dari C0 2 , CO, N0 2 , H 2 , hidrokarbon, dan S0 2 . Komposisi gas buang tersebut dari pembakaran bensin dan solar dalam volume dalam persen volume disajikan pada Tabel 4. Hill (1984) menyatakan bahwa 75% gas CO di atmosfer bersumber dari emisi kendaraan bermotor. Oleh karena itu gas pencemar udara ini merupakan suatu masalah di daerah yang padat lalu-lintas. Gas ini dapat bertahan di udara selama tiga tahun. Jumlah gas buang yang diemisikan oleh kendaraan menurut Kor Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Direktorat LLAJR Ditjen Hubdar, 1998) ditentukan oleh kecepatan kendaraan, umur kendaraan dan perawatan kendaraan. Pemasangan anti pencemaran pada kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi gas buang. Hasil penelitian Cicro-Fernandez et al. (1997) di Los Angles menunjukkan bahwa tingkat kelerengan jalan dan beban penumpang kendaran mempengaruhi emisi hidrokarbon dan CO. Emisi hidrokarbon meningkat sekitar 0,04 g/ mil untuk setiap kenaikan tingkat kelerengan 1%, untuk CO meningkat lebih tinggi yaitu 3,0 g/mil untuk kenaikan tingkat kelerengan yang sama. Untuk kendaraan yang dipenuhi oleh empat penumpang, pada tingkat kelerengan 4,5%, emisi hidrokarbon dan CO naik masing-masing 0,07 g/mil dan 10,2 g/mil dibandingkan dengan kendaraan tanpa penumpang. Menurut Adel (1995) jumlah pencemar udara yang diemisikan di Jakarta dari sektor transportasi per tahun sebanyak 373.662 ton CO, 15. 388 ton NO 2 dan 7.476 ton SO2. Dalam kondisi demikian ini, pencemaran udara akibat emisi NO 2 telah melebihi baku mutu udara ambien. Hasil pemantauan kualitas udara pada tahun 1994/1995 menurut Rax (1995/1996) kandungan SO 2 di tepi jalan raya berkisar dari 0,002 sampai 0,0013 ppm, sementara NO 2 berkisar dari 0,046 sampai 0,083 ppm. Baku Mutu Udara Ambien menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 586/1990, untuk SO 2 adalah 0,01 ppm dan NO 2 0,050 ppm. Hal ini 22 berarti bahwa SO 2 masih berada di bawah Baku Mutu Udara Ambien, sedangkan NO 2 sudah berada di atas Baku Mutu Udara Ambien. Tabel 4. Komposisi gas buang kendaraan bermotor berdasarkan % volume (a) dan rata-rata emisi gas dalam g/km (b) menurut jenis bahan bakar yang digunakan. a. Komposisi gas buang (% volume) b. Rata-rata emisi gas dalam g/km Jenis gas buang Bensin Solar CO 60,00 0,69-2,57 Hidrokarbon 5,90 0,14-2,07 N0 2 2,20 0,68-1,02 S0 2 0,17 0,47 Debu 0,22 1,28 Timbal 0,49 - Sumber: Hartogensis (1977) Sumber: Strauss dan Mainwaring, 1984. Ketera ngan: Solar tidak mengandung timbal Jenis gas buang Bensin Solar CO 2 9,0 9,0 CO N0 2 4,0 4,0 0,1 9,0 H2 2,0 0,03 Hidrokarbon 0,5 0,02 Nitrogen Oksida 0,06 0,04 S0 2 0,006 0,02 Makin tinggi kecepatan kendaraan, emisi N0 2 makin meningkat, sementara emisi CO makin rendah. Sebaliknya, makin rendah kecepatan kendaraan, emisi N0 2 makin rendah sedangkan emisi CO makin tinggi. Hubungan antara kecepatan kendaraan dan emisi gas CO dan nitrogen oksida dapat dilihat pada Gambar 3. Banyaknya kendaraan di perkotaan menyebabkan gas S0 2 , NO 2 dan CO merupakan gas diantara pencemar udara yang sering dijumpai pada daerah perkotaan. Pencemar udara tersebut merupakan pencemar primer yang berasal dari kendaraan bermotor (Budirahardjo, 1991). 0,1 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 Gambar 3. 0,0025 CO Emisi (kg/kendaraan km) Emisi (kg/kendaraan km) 23 0,002 0,0015 NO2 0,001 0,0005 0 10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 60 70 Kecepatan (km/jam) kecepatan (km/jam) Hubungan antara kecepatan kendaran dan emisi NO2 dan CO tanpa peralatan anti pencemaran pada kendaraan (Sumber: Dit LLAJR Ditjen. Hubdar 1998). Hasil studi terhadap kendaraan dinas di kota Yogyakarta (Zudianto dan Norojono 2002), menunjukkan bahwa dari 406 kendaraan dinas yang terdiri dari mobil penumpang, kendaraan operasional dan sepeda motor setiap tahun mengkonsumsi premium sebanyak 457.815 lt. Dari jumlah kendaraan dan konsumsi premium sebanyak itu, setiap tahun diemisikan NO 2 sebanyak 9.037.268 g, SO 2 sebanyak 672.374 g, dan CO sebanyak 120.496.908 g. Emisi dari tiap jenis kendaraan disajikan pada Tabel 5. De Souza (1999) telah melakukan analisis komparatif pencemaran udara perkotaan yang disebabkan oleh kegiatan transportasi di Bangkok, Meksiko dan Amerika Serikat (USA). Di Bangkok kadar debu atau Total Suspended Particulate (TSP) dan Timbal (Pb) telah melampaui tingkat yang aman bagi kesehatan yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO), sedangkan kadar CO masih tergolong rendah. Di Meksiko, TSP, CO dan Pb telah melampaui panduan keamanan kesehatan yang ditetapkan oleh WHO. Di Amerika Serikat (USA) kriteria pencemaran udara menggunakan batas atas yang ditetapkan oleh Environrmental Protection Agency (EPA). Di Washington DC pada tahun 1985 ada 17 hari yang melewati batas atas, dan pada tahun 1994 ada tujuh hari yang melewati batas atas. 24 Tabel 5. Konsumsi bahan bakar (premium) dan emisi gas buang kendaraan dinas di kota Yogyakarta. No Jenis Kendaraan Jumlah Konsumsi Premium / (liter) tahun Emisi gas buang / (gram) tahun NO 2 SO 2 CO 1. Mobil penumpang 80 138.000 2.724.120 202.675 36.321.60 2. Kendaraan Operasional 79 234.600 4.631.004 344.547 61.746.72 3. Sepeda Motor 247 85.215 1.682.144 125.152 22.428.59 Jumlah 406 457.815 9.307.268 672.374 120.496.91 Su mb er : Zudian to dan Noro jon o (2002). Pencemaran udara dari kendaraan bermotor di kota-kota besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu diantaranva adalah strategi manaje men pencemaran udara. Studi dampak strategi manajemen kualitas udara yang berbeda telah dilakukan di Bangkok, yaitu terhadap beberapa pencemar udara (Kim Oanh dan Zhang 2003). Pengkajian dilakukan menggunakan model system asbut fotokimia (photochemical smog model system) yang disebut UAM-V/SAIMM, untuk mengetahui pencemaran di derah metropolitan Bangkok melalui beberapa skenario strategi manajemen, diantaranya adalah pengendalian uap BBM dari stasiun pengisian BBM dan penggunaan gas alam untuk bahan bakar pembangkit listrik (power plant) menggantikan minyak diesel. Pengendalian uap BBM di stasiun pengisian BBM dapat menurunkan pencemaran uap BBM (bensin) dari 2.900 mg/t menjadi 346 mg/t. Penggantian bahan bakar minyak diesel (heavy oil) dengan gas alam di pembangkit listrik dapat menurunkan pencemar udara NO, CO dan Volatile Organic Compound (VOC). Dengan bahan bakar minyak diesel emisi NO x adalah 0,85%, dengan bahan bakar gas emisi NO x hanya 0,0313 sampai 0,237 %. Emisi CO sebesar 0,06% dengan penggunaan bahan bakar minyak diesel dan 0,01 % dengan menggunakan bahan bakar 25 gas. Untuk VOC, emisi sebesar 0,0132 % dengan bahan bakar minyak diesel dan 0,0006 57 % dengan bahan bakar gas. Menurut Hadi (1998), pencemar udara di kota sebagian besar bersumber dari emisi kendaraan bermotor yaitu 60 % sampai 70 %. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar yang penggunaan kendaraan pribadinya sangat dominan dibandingkan penggunaan kendaraan umum. Perilaku berkendaraan akan menentukan tingkat pencemaran udara di perkotaan. Hasil penelitian di Kota Semarang menunjukkan bahwa dari seluruh mobil pribadi yang lewat di lima gerbang kota pada pukul 6:30 sampai pukul 8:30, sekitar 50 % sampai 60 % hanya berpenumpang satu orang, dan sekitar 30% sampai 35 % berpenumpang hanya dua orang menandakan bahwa dari perspektif lingkungan penggunaan. Hal ini kendaraan pribadi tidak efisien, yaitu berpotensi meningkatkan pencemaran udara. Untuk mengatasi pencemaran udara dari kendaraan, dapat dilakukan dengan penggunaan tempat pengumpulan kendaraan (car pool), kampanye menyukai sepeda, sepeda motor dan kendaraan umum, pemberlakuan tiga penumpang dalam satu mobil (three in one), pajak jalan (road pricing) untuk jalan tertentu dan zone multiguna lahan (mixed used zoning). Kandungan pencemar udara dari emisi kendaraan bermotor khususnya SO 2 dan N0 2 dipengaruhi oleh kelembaban nisbi udara dan radiasi surya. Hasil penelitian di Kota Padang (Dewata, 2001), menunjukkan bahwa S0 2 rendah pada pagi hari, dan naik pada siang dan sore hari. Hal ini disebabkan karena pada pagi hari kelembaban nisbi udara tinggi, sehingga S0 2 banyak yang bereaksi dengan uap menjadi H 2 SO 3 . Demikian juga dengan N0 2 , pada pagi hari konsentrasinya rendah karena sebagian bereaksi dengan uap air menjadi HN0 3 , namun pada sore hari dapat turun kembali karena terjadi reaksi fotolistrik yaitu pencerahan gas NO2 oleh radiasi ultraviolet membentuk NO dan oksigen (Tabel 6). 26 Tabel 6. Kandungan gas SO 2 dan NO 2 di empat lokasi pengukuran di Kota Padang. a. Kadar SO 2 (ppm) Waktu Pengambilan sampel No. 1 Lokasi Muaro Kasang Pagi (07.00-08.00 WIB) 0,636.10-3 -3 Siang (13.00-14.00 Sore (16.00-17.00 WIB) WIB) 1,42b.10-3 2.550.10-3 -3 3 -3 2 Lubuk Paraku 0,788.10 1,065.10 0.785.10 3 Bukit Lampu 1.023.10-3 0,351.10-3 1.027.10-3 4 Terminal Bus Lintas Andalas 0,643.10-3 1,350.10-3 0,566.10-3 b. Kadar NO 2 (ppm) Waktu Pengambilan sampel No. Lokasi Pagi (07.00-08.00 WIB) Siang (13.00-14.00 Sore (16.00-17.00 WIB) WIB) 1 Muaro Kasang 7, 736. 10-5 7, 430. 10-5 2. 750. 10-5 2 Lubuk Paraku 5, 340. 10-3 5, 140. 10-3 0. 664. 10-3 3 Bukit Lampu 3. 630. 10-4 3, 820. 10-4 4. 026. 10-4 4 Terminal Bus Lintas Andalas 3, 530. 10-3 3, 210. 10-3 4, 210. 10-3 Sumber : Dewata (2001) Pencemar udara di kota Jakarta yang terbesar juga bersumber dari emisi kendaraan bermotor, terutama SO 2 , NO 2 dan CO dan telah dipantau oleh Bapedalda DKI Jakarta (2002) di dua lokasi, yaitu di Senayan dan di Pondok Indah. Hasil pemantauan di Senayan pada bulan Januari, Februari, Juli dan Agustus 2004 menunjukkan bahwa S0 2 tertinggi 41, 07 µg/Nm3 pada bulan Februari, NO 2 tertinggi 84, 56 µg/Nm3 pada bulan Agustus dan CO tertinggi 2, 88 27 mg/Nm3 pada bulan Februari. Hasil pemantauan di Pondok Indah pada periode yang sama menunjukkan bahwa SO 2 tertinggi 38, 95 µg/Nm3 pada bulan Agustus, NO 2 tertinggi 73, 10 g/Nm3 pada bulan Agustus dan CO tertinggi 3, 54 mg/ Nm3 pada bulan Januari. Dari hasil pemantauan ini nampak bahwa ada kecenderungan SO 2 dan NO 2 lebih tinggi pada periode musim kemarau (Agustus) daripada di musim hujan (Januari atau Februari). Hal ini terjadi karena kelembaban udara pada musim hujan lebih tinggi dari pada musim kemarau sehingga SO 2 banyak yang berubah menjadi H 2 S0 3 dan N0 2 berubah menjadi HNO 3 . Tabel 7. Hasil pemantuan kualitas udara harian (µg/m3) di Senayan dan Pondok Indah DKl Jakarta pada bulan Januari Februari, Juli dan Agustus 2010. Lokasi Senayan Januari Februari A B A B SO 2 7,31 20,18 9,21 41,07 NO 2 - - - - 1,03 2,87 1,15 SO 2 5,71 17,18 3,92 NO 2 29,32 54,31 25,12 59,95 Parameter CO Pondok Indah CO 1,03 3,54 1,33 Juli Agustus A B A B 16,91 36,55 20,75 34,20 49,33 75,34 51,5 84,56 2,88 1,24 2,67 0,92 2,23 26,29 7,77 28,17 17,81 41,52 91,32 3,41 1,11 3,22 38,96 35,33 73,10 0,82 1,94 Sumber : BAPEDALDA DKI Jakarta (2010) Keterangan: A n ilai te rendah, B nilai tertinggi Dalam kaitannya dengan pencemaran udara oleh CO (µg/Nm³), Dolislager (1997) menyatakan bahwa di California dan 10 kota metropolitan yang tidak dapat mencapai baku mutu kualitas udara ambien nasional pada musim dingin. Kesepuluh kota tersebut adalah Los Angles, San Diego, San Francisco, Chico, Sacramento, Bachero-field, Fresno, Modesto, Stockton, dan South Lake Tahoe. Oleh karena itu untuk menurunkan kadar CO di udara ambien digunakan bahan bakar kendaraan yang ditambah oksigen (oxygenated fuel). Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan bahan 28 bakar yang telah ditambah oksigen tersebut dapat menurunkan CO di udara ambien 5 % sampai 10%. Partikel Partikel adalah benda padat atau cair yang dari suatu massa melalui proses dispersal dalam media gas dan udara dengan hampir tidak memiliki kecepatan jauh. Partikel atau debu berdasarkan susunan kimianya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partikel atau debu mineral dan zat-zat organik (Ryadi, 1982). Partikel-partikel dapat berasal dari asap (terutama hasil pembakaran kayu, sampah, batu bara, kokas dan bahan bakar minyak yang membentuk jelaga) dan dapat pula partikel-partikel debu halus dan agak kasar yang berasal dari berbagai kegiatan alami dan manusia. Sifat terpenting partikel adalah ukurannya, yang berkisar antara 0,0002 – 500 µm. Pada kisaran ukuran tersebut partikel-partikel dapat berbentuk partikel tersuspensi (suspended particulate) yang keberadaannya di udara berkisar antara beberapa detik hingga beberapa bulan, tergantung pula pada keadaan dinamika stratosfer. Sumber pencemaran partikel berasal dari beberapa aktivitas industri, pembakaran bahan bakar fosil kendaraan bermotor, badai pasir, pembakaran hutan serta gunung berapi (alami). Ukuran partikel yang ada di udara berkisar antara 0,0005 – 500 µm dan partikel terkecil akan hilang, karena perpaduan gerak Boven (1979) dan partikel yang besar akan jatuh akibat gaya gravitasi (Smith 1981). Pencemaran partikel dapat menimbulkan beberapa permasalahan antara lain adalah sebagai berikut : a. Mengganggu kesehatan manusia dan lingkungan, b. Mempunyai daya pencemaran udara yang luas penyebarannya dan tinggi seperti Fe, Pb, Cr, Hg, Ni, dan Mn; c. Partikel dapat menyerap gas, sehingga dapat mempertinggi efek bahaya dari komponen tersebut. 29 Logam Berat Timbal / Pb (ppm) Bahan tambahan bertimbal pada premium dan premix terdiri atas cairan anti letupan (anti knocking agent) yang mengandung scavenger kimiawi, yang dimaksudkan untuk dapat mengurangi letupan selama proses pemampatan dan pembakaran di dalam mesin. Bahan yang lazim dipakai adalah tetraetil Pb atau Pb(C2H5)4, tetrametil Pb atau Pb(CH3)4 atau kombinasi dan campurannya. Umumnya etilen dibromide (C2H4Br2) dan etilen diklorida (C2H4,CI2) ditambahkan agar dapat bereaksi dengan sisa senyawa Pb yang tertinggal di dalam mesin sebagai akibat pembakaran bahan anti letupan tersebut. Campuran dan kombinasi yang lazim ditambahkan terdiri atas 62% tetraetil Pb (ppm), 18% etilen bromide, 18% etilen dikhlorida, dan 2% bahan-bahan lainnya. Dari berbagai senyawa buangan bertimbal yang mengandung gugus halogen tersebut, emisi senyawa-senyawa PbBrCI dan PbBrCI2 dan PbO adalah yang terbanyak ( masingmasing 32,0% dan 31,4% dari total Pb yang diemisikan sesaat setelah mesin kendaraan bermotor dihidupkan, dan 12% dan 1,6% dari total Pb pada 18 jam setelah mesin dihidupkan). Penelitian pencemaran udara oleh Kozak (1993) mendapat dugaan emisi timbal pada tahun 1991 sebesar 73.154,42 ton, dengan sebaran menurut sumbernya sebagai berikut: Transportasi 98,61% dan industri 1,39%, sedangkan bagi rumahtangga dan pemusnahan sampah dianggap tidak menghasilkan emisi timbal. Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat terasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya yang dibutuhkan sebagai unsur mikro (Fe, Mn dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui fungsinya dalam metabolisme tumbuhan (Pb,Cd,Ti). Semua logam berat tersebut dapat berpotensi mencemari tumbuhan. Smith (1981) juga menerangkan gejala akibat pencemaran logam berat, yakni klorosis, nekrosis, pada ujung dan sisi daun serta busuk daun lebih awal. Jumlah timbal di udara dipengaruhi oleh volume dan kepadatan lalulintas, jarak dari jalan raya serta daerah industri, kecepatan mesin dan arah angin. Tingginya kandungan timbal pada tumbuhan juga dipengaruhi oleh proses sedimentasi. 30 Tumbuhan tingkat tinggi relatif lebih tahan terhadap partikel timbal dibanding algae, tetapi dapat rusak dengan konsentrasi yang rendah dan membentuk nekrosis (kerusakan jaringan). Dalam hal ini sebagai contoh adalah tumbuhan Limmocharis flava yang sangat sensitif terhadap pencemaran udara selama 24 jam, seperti gas SO2, NO2 dan O3. Lilin daun merupakan bagian daun yang penting yang dapat dipercepat rusaknya oleh angin, abrasi, gesekan dan interaksi kimia dengan zat pencemar. Morfologi maupun distribusi lilin pada daun berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap pencemaran udara. Kerusakan pada permukaan daun (khususnya pada daun lebar) dapat terjadi oleh hujan asam dengan pH 3 – 3,5 dan konsentrasi sulfat 500 mmol/liter (Cape 1993). Sumber Timbal (Pb) dan Pencemaran di Udara Timbal (Pb) secara alami terdapat sebagai sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat, dan timbal flourida, (Ford 1999) Kandungan timbal dalam beberapa batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki kandungan timbal kurang lebih 200 ppm. Kandungan timbal batuan intermediet misalnya andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yaitu 20 ppm. Batuan metamorfosa seperti batuan sedimen tertentu misalnya liat melalui kadar timbal berkisar antara 15 – 20 ppm, sedangkan kandungan rata-rata dalam batuan pasir (sandstone) dan batu kapur (limesione) berkisar 7 – 10 ppm (Amadio 1989). Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-sifatnya yaitu : a). Timbal mempunyai titik cair yang rendah, sehingga jika digunakan dalan bentuk cair dibutuhkan dalam bentuk sederhana dan tidak mahal, b). Timbal merupakan logam lunak, sehingga dapat diubah menjadi berbagai bentuk, c). Sifat kimia timbal menyebabkan logam tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak udara lembab (Fardiaz 1992). Menurut Saeni (1989) timbal merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah merkuri. Sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70% dari total zat pencemar. Tsalev dan Zaprianof (1985) menyebutkan, 50% pencemaran timbal berasal dari bahan aditif, sedangkan 48% penyebaran timbal terhadap lingkungan ditemukan pada bahan pembungkus kabel, zat pewarna pada cat, campuran 31 beberapa logam (alpaka), bahan pelindung terhadap pengaruh pengasaman, kristal, keramik dan sebagai bahan stabilisator pada plastik dan karet. Bahan aditif adalah bahan-bahan kimia yang ditambah pada bahan bakar untuk memperbaiki mutu bakarnya. Bahan-bahan kimia yang ditambahkan tersebut dimaksudkan sebagai anti letup pada mesin, pencegah korosi, antioksidan deactivator logam, anti pengembunan dan zat pewarna. Logam timbal merupakan salah satu bahan aditif yang sering ditambahkan untuk memperbaiki mutu mesin. Logam timbal terdapat di alam dalam bentuk mineral, sehingga harganya relatif lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibanding bahan aditif yang lain (Sumartono 1996). Jumlah timbal yang ditambahkan ke dalam bensin berbedabeda untuk tiap negara. Di Indonesia setiap bensin premium yang dijual dengan nilai oktana 87 dan bensin super dengan nilai oktana 98 mengandung 0,70-0,84 g/l senyawa tetraetil dan tetrametil. Hal ini berarti sebanyak 0,56-0,63 g senyawa timbal akan dilepaskan ke udara untuk setiap liter bensin yang dimanfaatkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi timbal di udara yaitu a). Waktu, suhu, kecepatan dari emisi, ukuran, bentuk, dan kepadatan timbal, b). Parameter metereologi seperti kecepatan angin, derajat turbulensi dan kelembaban, dan c). Jarak dari pengambilan contoh dari sumber pencemar topografi setempat seperti lembah, bukit yang akan mempengaruhi penyebarannya. Saeni (1989) menyebutkan bahwa partikel timbal yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor berukuran antara 0,08-1,0 µg/Nm3 dengan masa tinggal di udara selama 4-40 hari. Masa tinggal yang lama ini menyebabkan partikel timbal dapat disebarkan angin hingga mencapai jarak 100-1000 km dari sumbernya. Di alam bebas diketahui 200 jenis mineral timbal, tetapi hanya beberapa saja yang penting, misalnya galena (PbS), rusit (PbCO3) dan aglesit (PbSO4). Galena yang paling sering digunakan sebagai sumber ekstraksi timbal. Biji karbonat dan sulfat terbentuk bersama dengan seng (Zn) dalam batuan spalerit, dan dengan tembaga sebagai kalkopirit, juga sebagai isomorf dari ion-ion K,Sr,Ba,Cu, dan Na dalam berbagai batuan. Badan dunia WHO telah menetapkan 32 batas maksimal serapan timbal oleh manusia dewasa sebesar 400-450 µg/hari. Penyebaran bahan pencemar di udara sangat dipengaruhi oleh udara. Walaupun demikian, sifat tersebut akan mengakibatkan semakin meluasnya daerah yang terkena pencemaran jika dibandingkan seandainya tidak ada tiupan angin (Odum 1971). Menurut Fardiaz (1992), terdapat 2 jenis sirkulasi udara yang dapat memperburuk bahaya zat pencemar yaitu : 1. Pergerakan udara yang disebabkan oleh arus pembalikan udara bagian yang lebih tinggi ke bagian yang lebih rendah. Pergerakan udara terjadi secara vertikal, sehingga mengakibatkan bahan pencemar terdapat pada lokasi yang sama pada jangka waku yang cukup lama. 2. Pergerakan udara yang disebabkan oleh angin. Angin dapat menyebabkan udara tercemar secara horizontal, sehingga zat pencemaran dapat mencapai daerah-daerah yang cukup jauh sumbernya. Dampak Pencemaran Udara Pencemaran udara dapat berpengaruh terhadap iklim, vegetasi atau tanaman, hewan dan manusia. Pengaruh terhadap iklim adalah: 1. Meningkatkan suhu rata-rata bumi. 2. Hal ini disebabkan meningkatnya CO2 di atmosfer, dengan istilah yang lebih popular meningkatnya efek rurnah kaca (green house effect). Belakangan ini muncui pendapat bahwa peningkatan gas metana CH4 di udara juga menimbulkan efek rumah kaca, dan salah satu sumber CH4 adalah sawah. 3. Penurunan suhu rata-rata bumi. Peningkatan partikel padat di udara (debu), jelaga dan lain-lain menghalangi radiasi surya yang mencapai permukaan bumi dengan cara membaurkannya. Hal ini menyebabkan penurunan suhu di permukaan bumi. 4. Merangsang terjadinya hujan. Partikel padat berupa debu dan jelaga di atmosfer dapat bertindak sebagai inti kondensasi yang dapat merangsang turunnya hujan. Pengaruh pencemaran udara terhadap tanaman dan hewan relatif kurang diperhatikan. 33 Perhatian yang paling besar adalah adanya pengaruh pencemaran udara terhadap manusia. Pengaruh pencemaran udara terhadap vegetasi atau tanaman telah diamati oleh beberapa negara maju. Sebagai contoh, di Amerika Serikat dilaporkan bahwa gas buangan kendaraan bermotor telah menurunkan produksi tanaman komersial di ladang-ladang dekat jalan, beberapa senyawa diketahui telah merusak tanaman diantaranya: N0 2 ; S0 2 , etilena fluorida, herbisida, oksida dan hidrokarbon. Selain mengganggu kesehatan manusia, bahan pencemar udara dari emisi gas buang kendaraan bemotor juga berdampak negatif terhadap tumbuhan yaitu merusak klorofil. Hal ini telah diamati oleh Adisaputro et al. (1995) yang ditandai dengan adanya gejala klorosis dan nekrosis pada daun tanaman penghijauan di tepi jalan raya di DKl Jakarta. Gejala klorosis dan nekrosis tersebut diakibatkan oleh reaksi asam yang terbentuk dari emisi gas buang kendaraan dan uap air di udara dengan Fe dan Mg pada matriks klorofil. Karliansyah (1999) mengemukakan bahwa pada angsana dan mahoni terdapat korelasi negatif antara N0 2 dengan kadar klorofii a dan b. Makin. tinggi kadar N0 2 di udara makin rendah kadar klorofil. Kandungan SO 2 di udara berkolerasi negatif dengan kandungan klorofil a pada angsana, yang berarti bahwa SO 2 di udara mempengaruhi kadar klorofil a pada angsana. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa klorofil tumbuhan atau tanaman khususnya angsana dan mahoni dapat dijadikan bioindikator pencemaran udara. Hill (1984) menyebutkan gas CO sebagai gas mematikan, dampaknya tidak dapat berbalik (irreversible). Dengan demikian kemampuan di arah untuk membawa oksigen sangat terhambat. NO 2 terbentak pada ruang bakar kendaraan karena suhunya sangat tinggi. Sementara itu SO 2 berbau tajam, sangat korosif, terbentuk karena ketidakmurnian bahan bakar kendaraan yang mengandung belerang. Menurut Forsdyke (1970), baik batu bara maupun minyak yang merupakan bahan bakar mengandung 1 % sampai Iebih 3 % 34 sulfur. Pembakaran 1.000 kg bahan bakar tersebut dapat menghasilkan SO 2 sebanyak 60 kg yang dibuang ke atmosfer. Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar yang ada di udara. Pada Tabel 8 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O 2 terhadap hemoglobin. Dengan demikian apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Tabel 8. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Jenis Pencemaran udara. Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berfikir, penyakit jantung, pusing, sakit kepala dan kematian Sulfur dioksida (SO 2 ) Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dar iritasi mata Nitrogen oksida (NOX) Memperberat penyakit jantung, pernafasan, dan iritasi paru-paru. Hidrokarbon Mempengaruhi sistem menyebabkan kanker Oksigen fotokimia (O 3 ) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan. Debu (g/m³) Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak. Ammonia (NH 3 ) Iritasi saluran pernafasan Hidrogen sulfide (H 2 S) Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi pernafasan, beberapa jenis dapat Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian 35 Staf dari Research and Education Association (1980) mengemukakan bahwa SO 2 merupakan gas yang tidak dapat terbakar, tidak eksplosif dan tidak berwarna, yang dapat mulai dirasakan apabila konsentrasi 0,3 ppm sampai 1 ppm (0,9 - 3 mg/m3). Pada konsentrasi 3 ppm (8,6 mg/m3) sudah menimbulkan bau tajam dan menimbulkan iritasi yang kuat pada sistem pernafasan, akibatnya dapat bersifat sementara dan dapat juga bersifat permanen. SO 2 segera terserap dalam sistem pernafasan, gejala iritasi yang sangat kuat yang diakibatkannya menimbulkan rasa sangat sakit pada orang yang menderita asma, bronchitis, emfysemia dan penyakit paru-paru. Jain et al. (1993) mengemukakan bahwa pengaruh SO 2 terhadap manusia dapat berupa gangguan kesehatan yaitu bronchitis, infeksi saluran pernafasan dan emfysemia, dari tingkatan yang ringan sampai tingkatan yang sangat parah yang dapat menyebabkan kematian. Pengaruh SO 2 terhadap kesehatan manusia dapat bersinergi dengan pencemar udara lain, pada kadar 0,04 ppm SO 2 secara tunggal tidak menimbulkan gangguan kesehatan berupa bronhitis dan infeksi saluran pernafasan, namun apabila pada saat yang sama terdapat padatan tersuspensi total (Total Suspended Particulate) 160 µg/m3 dapat menyebabkan kematian. Dalam kaitannya dengan pencemaran udara akibat kebakaran hutan, Nukman (1998) mengemukakan adanya beberapa penyakit yang mungkin timbul, sesuai dengan jenis pencemar udara. Gas, SO 2 dan NOx menyebabkan iritasi saluran pernafasan seperti pharyngais, tracheitis dan bronhitis dan juga pseumonionis dan ashmatis. Partikel silika akibat pembakaran batubara dan kayu dapat menyebabkan bronhitis kronis, emfysemia dan pneumocosis. Gas CO menyebabkan asphyxia dan hypoxia, sedangkan hidrokarbon aromatik sebagai hasil pembakaran batubara dan kayu dapat menyebabkan gejala karsinogen. Partikulat yang dapat masuk ke saluran pernafasan adalah yang berukuran kurang dari 10 pm (PM 10 ). Dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan, iritasi mata dan iritasi kulit. 36 Landis dan Ming-Ho (1995), menyatakan bahwa toksisitas pencemar udara terhadap manusia dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor perkembangan, penyakit, gaya hidup dan nutrisi. Biaya yang timbul akibat pencemaran udara dapat dihitung melalui biaya pengobatan dan biaya perawatan kesehatan serta kehilangan pendapatan karena sakit. IBRD (1994) telah melakukan penelitian biaya kesehatan pencemar udara akibat kendaraan di Jakarta. Parameter kualitas udara yang diteliti adalah Total Suspended Solid (TSP), timbal (Pb), nitrogen oksida (NO x ). TSP menyebabkan infeksi saluran pernafasan atas dan penyakit saluran pernafasan kronis yang berperan signifikan terhadap mortalitas dan gangguan kesehatan. Pb menyebabkan hipertensi, penyakit jantung koroner dan penurunan IQ pada anak-anak, sedangkan NO x menyebabkan gangguan pernafasan. Biaya ekonomi total per tahun akibat pergaruh TSP, Pb dan NO x yang dihitung menggunakan nilai perawatan kesehatan dan kehilangan upah, berkisar dari yang terendah US $ 97.000.000 sampai yang tertinggi US$ 425.000.000, dengan nilai tengah US$ 220.000.000. Sedangkan menurut Walhi (2011) kerugian akibat kemacetan di Jakarta selama 3 tahun terakhir ini sebesar Rp. 35.000.000.000.000. Dampak gas buang kendaraan bermotor terhadap kesehatan jaringan gusi telah diteliti oleh Endaryanto et al. (1995) di dua lokasi di Kotamadya Yogyakarta dan satu lokasi di satu desa Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat endapan timbal (Pb) pada gusi orangorang di Pingit, di terminal bis Umbulharjo (Yogyakarta) dan di desa Bumirejo (Kabupaten Sleman), masing-masing 0,386 ug/g, 0,140 ug/g dan 0,09 ug/g. Kandungan timah hitam pada gusi tersebut telah melebihi batas toksisitas kritis endapan timbal di gusi yaitu 0,047 ug/g, terlihat adanya gejala pigmentasi gusi pada 37,63% sampel yang diperiksa. Pencemaran udara oleh SO 2 dan NO 2 sebagai pencemar primer, selanjutnya menyebabkan dampak lanjutan berupa adanya deposisi asam baik deposisi kering maupun deposisi basah. Hal ini terjadi karena SO 2 dan NO 2 melalui reaksi kimia masing-masing menjadi asam sulit dan asam nitrit. Deposisi 37 basah turun sebagai asam yang terlarut dalam air hujan yang ditunjukkan oleh nilai pH air hujan. Hujan asam terjadi apabila pH air hujan < 5,6. Deposisi kering berupa butiran-butiran asam yang turun ke permukaan pepohonan, bangunan dan dapat juga masuk ke pernafasan pada keadaan cuaca cerah atau berawan. Dampak selanjutnya dari deposisi asam adalah meningkatnya keasaman tanah, air danau yang akan mempengaruhi makhluk hidup seperti tumbuhan dan ikan. Di beberapa daerah di Indonesia yaitu Tanjung Karang, Citeko, Bandung, Surabaya, Palangkaraya dan Winangun, pH air hujan sudah di bawah 5 (KLH 2001). Untuk kota Bandung, hasil pemantauan sampai tahun 1992 pH air hujan > 5,6 dan hasil pemantauan tahun 1996 sampai tahun 1998 pH air hujan antara 5,0 sampai 6,5 dan pada tahun 1999 pH air hujan < 5,6. Hujan asam dilaporkan telah merusak biota beberapa danau di Amerika Serikat (Hill 1984). Pengaruh Pb Terhadap Kesehatan Manusia Timah hitam atau lebih sering disebut timbal (Pb) adalah salah satu jenis logam berat. Warnanya putih ke abu-abuan dan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Bangsa Romawi menggunakannya sebagai bahan konstruksi untuk pipa dan saluran air. Pb dapat berupa dalam 2 bentuk: inorganic dan organic. Dalam bentuk inorganik Pb bisa dipakai untuk industri baterei, cat, percetakan, gelas, polivinyl, plastik, pelapis kabel dan mainan anak-anak. Dan dalam bentuk organik Pb dipakai untuk industri perminyakan. Dalam persenyawaannya Pb dapat berupa lead alkyl compound: TML (tetra methil lead), TEL (tetra ethyl lead). TEL dipakai untuk anti knocking agent yang berfungsi menaikkan angka oktan setelah melalui proses blending. Setiap penambahan 0,1 gr/l pada bahan bakar angka oktan naik 1,5 – 2 satuan angka oktan (KPBB 1999). Di antara Pb yang masuk ke udara ada yang langsung masuk ke permukaan tanah atau ke vegetasi. Ada juga yang dalam beberapa waktu melayang-layang di udara, namun akan jatuh juga ke permukaan bumi akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia. Partikel-partikel Pb dapat mengganggu kesehatan manusia di antaranya pengurangan sel-sel darah merah, penurunan dan penghambatan sintesis heme yang menyebabkan anemia (Rustiawan 1994). 38 Pb yang ada di udara memiliki peluang yang besar untuk terserap masuk ke dalam tubuh manusia yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Menurut Gornarso (2004) Jalur masuk Pb masuk ke dalam tubuh manusia dapat melalui saluran pencernaan, kulit, dan alat pernapasan melalui proses absorpsi (absorpsion). Setelah masuk di dalam tubuh, selanjutnya didistribusikan ke seluruh bagian tubuh dan diikuti oleh proses metabolisme yang pada akhirnya menghasilkan zat-zat metabolik di dalam tubuh. Hasil proses metabolisme tersebut sebagian terakumulasi di dalam tubuh dan sebagian tereliminasi keluar dari tubuh. Pb yang absorpsi masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan ada yang langsung tereliminasi ke luar tubuh melalui feses dan ada yang terdistribusikan ke dalam tubuh melalui hati, selanjutnya ke empedu atau dari hati masuk ke dalam peredaran daran dan limpa. Di dalam peredaran darah kemudian tersimpan di dalam jaringan tulang, lemak, dan bagian organ tubuh lainnya. Selain itu, di melalui peredaran darah dan limfah, Pb didistribusikan ke dalam ginjal dan selanjutnya keluar dari tubuh melalui urin atau masuk ke dalam paru-paru dan dikeluarkan kembali melalui saluran pernapasan. Pb yang masuk ke dalam tubuh juga sebagian tersimpan di dalam cairan di luar sel. Adapun jalur masuk dan mekanisme peredaran Pb pada manusia seperti terlihat pada Gambar 4 dan 5. 39 Gambar 4. Akumulasi peredaran Pb pada manusia (www.numbeo.com/pollution 2005). Saluran Pencernaan Hati Kulit dan Alat Pernapasan Peredaran Darah dan Limfah Ginjal Paru-Paru Jaringan tulang, Lemak, dan Berbagai Organ Cairan diluar Sel DISTRIBUSI/ METABOLISME URIN FECES Metabolisme Metabolik Empedu Tersimpan ABSORPTION UDARA DIHEMBUS ELIMINASI Gambar 5. Jalur masuk Pb pada manusia (http://geo.ugm.ac.id/archives/69 Mei 2008). 40 Kerugian yang ditimbulkan dari kasus pencemaran udara, lebih terasa jika ditinjau dari aspek kesehatan. Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin. Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang dan gangguan penglihatan. Dari setiap unsur dalam komponen polutan udara berpeluang merugikan bagi kesehatan setiap organisme. Pb sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dan hewan dengan mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan, dan sistem saraf pada remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa abnormal dan aborsi spontan. Selain juga menurunkan Intellegent Quotient (IQ) pada anak – anak, menurunkan kemampuan berkonsentrasi, gangguan pernapasan, kanker paru–paru dan alergi. Dalam laporan Bank Dunia 1992, diketahui bahwa pencemaran udara akibat Pb, menimbulkan 350 kasus penyakit jantung koroner, 62.000 kasus hipertensi dan menurunkankan IQ hingga 300.000 point. Juga Pb menurunkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen (KPBB 1999). Konsentrasi Pb dalam darah (PbB) pada taraf 40 – 50 ug/dL mampu menghambat sintesis hemoglobin yang pada akhirnya merusak hemoglobin darah. Debu Pb yang terhirup secara akumulatif dapat mengganggu fungsi ginjal, alat reproduksi serta menyebabkan tekanan darah tinggi bahkan stress. Standar WHO ambang batas kandungan Pb dalam darah 20 mikrogr/100 cc darah untuk dewasa dan 10 – 30 mikrogr/100 cc anak-anak. Tingkat keracunan Pb dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan musim. Makin muda seseorang semakin rentan terhadap keracunan Pb, perempuan lebih rentan daripada laki-laki, dan musim panas semakin meningkatkan daya racun pada anak-anak. Dengan mempertimbangkan tingkat bahaya/keracunan dari Pb, dalam permasalahan pencemaran udara, perlu dipertimbangkan kembali untuk mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan bahan bakar dengan tambahan Pb. Di negara maju 41 seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang fenomena ini telah diantisipasi dengan dilarangnya penggunaan bensin berPb sekitar 15-20 tahun yang lalu, sedang di negara ASEAN: Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina mulai melarang penggunaan bahan bakar ber Pb sejak 5 tahun lalu. Dampak yang ditimbulkan oleh timbal, menurut Umar dalam PKBB (1999) adalah dapat meracuni sistem pembentukan darah merah, karena dapat menimbulkan gangguan pembentukan sel darah merah. Pada anak kecil, timbal dapat menimbulkan penurunan kemampuan otak. Sedangkan pada orang dewasa diduga timbal dapat menimbulkan gangguan tekanan darah tinggi, serta keracunan jaringan lainnya. Beliau menegaskan bahwa setiap kenaikan 1 mikrogr/m3 darah, Pb dapat menurunkan 0,975 skor IQ seorang anak. Sedang menurut Saeni dalam PKBB (1999), menyatakan bahwa keracunan timbal selain mempengaruhi sistem saraf, intelegensia dan pertumbuhan anak-anak, juga dapat menyebabkan kelumpuhan. Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, anemia, dan sakit di perut. Menurut Saeni, berdasarkan penelitian partikel timbal yang dikeluarkan kendaraan bermotor bermasa tinggal di udara 4-40 hari. Masa tinggal yang cukup lama ini menyebabkan partikel timbal dapat disebarkan oleh angin hingga 1001000 km dari sumbernya. Selain itu dikatakan pula bahwa zat bersifat racun yang sering mencemari lingkungan adalah: merkury (Hg), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb). Dan rata – rata akan terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak dan rambut. Selanjutnya menurut Saeni (2000) Pb dapat menimbulkan efek keracunan di dalam tubuh manusia. Keracunan yang disebabkan oleh keberadaan logam Pb dalam tubuh mempengaruhi banyak jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh banyak menjadi sasaran dari peristiwa keracunan logam Pb adalah sistem syaraf, sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem endoktrin dan jantung. Setiap bagian yang diserang oleh racun Pb akan memperlihatkan efek yang berbeda-beda. 42 a. Efek Pb pada Sistem Syaraf Di antara semua sistem pada organ tubuh, sistem syaraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun yang dibawa oleh logam Pb. Pengamatan yang dilakukan pada pekerja tambang dan pengolahan logam Pb menunjukkan bahwa pengaruh dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat keracunan Pb adalah epilepsi, kerusakan pada otak besar dan delirium yaitu sejenis penyakit gula. b. Efek Pb terhadap sistem Urinaria Senyawa – senyawa Pb yang larut dalam darah akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Pada peredarannya darah akan terus masuk ke glomerulus yang merupakan bagian dari ginjal. c. Efek Pb pada Hewan dan Tumbuhan Lebih intensif sedangkan dampak Pb dan debu terhadap manusia diamati pada hewan dan tanaman relatif kurang diperhatikan. Perhatian yang paling besar adalah terjadinya pengaruh pencemaran udara terhadap manusia. Pengaruh pencemaran udara terhadap vegetasi atau tanaman telah dialami beberapa negara maju. Menurut Harahap (2003) telah terjadi kerusakan daun – daun teh oleh Pb di pergunungan Gunung Mas, Bogor. d. Kerugian Secara Ekonomi Landsi Don Ming-Ho (1995), menyatakan bahwa Toksistan pencemaran udara terhadap manusia dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor perkembangan, penyakit, gaya hidup dan mutasi. Biaya yang timbul akibat pencemaran udara termasuk Pb dapat dihitung melalui biaya pengobatan dan biaya kesehatan serta kehilangan pendapatan karena sakit. IBRD (1994) telah melakukan penelitian biaya kesehatan pencemar udara akibat kendaraan di Jakarta. Parameter kualitas udara yang diteliti adalah total suspended solid (TSP), timbal (Pb) Nitrogen Oksida (NOx). TSP menyebabkan infeksi pernafasan atas (ISPA) dan penyakit saluran pernapasan kronis yang berperan signifikan terhadap mortalitas dan 43 gangguan kesehatan. Pb menyebabkan hipertensi, penyakit jantung koroner dan penurunan IQ pada anak-anak, sedangkan NOx menyebabkan gangguan pernapasan. Biaya ekonomi total akibat pengaruh TSP, Pb dan NOx yang dihitung menggunakan nilai kesehatan dan kehilangan upah, berkisar dari yang terendah US $ 97.000.000 sampai yang tertinggi US $ 925.000.000, dengan nilai tengah US $ 220.000.000. Komposisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Menurut Tugaswaty (1997), emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan bahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin. Walaupun gas buang kendaraan bermotor terutama terdiri dari senyawa yang tidak berbahaya seperti nitrogen, karbon dioksida dan uap air, tetapi didalamnya terkandung juga senyawa lain dengan jumlah yang cukup besar yang dapat membahayakan gas buang membahayakan kesehatan maupun lingkungan. Bahan pencemar yang terutama terdapat di dalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbal (Pb). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbal organik, dilepaskan keudara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar. Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikular debu yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem. Setelah berada di udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan uap air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. Proses reaksi 44 tersebut ada yang berlangsung cepat dan terjadi saat itu juga di lingkungan jalan raya, dan adapula yang berlangsung dengan lambat. Reaksi kimia di atmosfer kadangkala berlangsung dalam suatu rantai reaksi yang panjang dan rumit, dan menghasilkan produk akhir yang dapat lebih aktif atau lebih lemah dibandingkan senyawa aslinya. Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor menjadi nitrogen dioksida (NO 2 ) yang lebih reaktif, dan reaksi kimia antara berbagai oksida nitrogen dengan senyawa hidrokarbon yang menghasilkan ozon dan oksida lain, yang dapat menyebabkan asap awan fotokimi (photochemical smog). Pembentukan smog ini kadang tidak terjadi di tempat asal sumber (kota), tetapi dapat terbentuk di pinggiran kota. Jarak pembentukan smog ini tergantung pada kondisi reaksi dan kecepatan angin (Tugaswaty 1997). Untuk bahan pencemar yang sifatnya lebih stabil sperti limbah (Pb), beberapa hidrokarbon-halogen dan hidrokarbon poliaromatik, dapat jatuh ke tanah bersama air hujan atau mengendap bersama debu, dan mengkontaminasi tanah dan air. Senyawa tersebut selanjutnya juga dapat masuk ke dalam rantai makanan yang pada akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia melalui sayuran, susu ternak, dan produk lainnya dari ternak hewan. Karena banyak industri makanan saat ini akan dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan pada masyarakat kota maupun desa. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga cenderung membuat kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara maju membuktikan bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau sedimen dengan beberapa mineral/logam, sehingga logam tersebut dapat mencemari lingkungan (Tugaswaty 1997). Pengaruh Pencemaran Udara terhadap Kesehatan Manusia Kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal laut, kendaraan bermotor saat ini maupun dikemudian hari akan terus menjadi sumber yang dominan dari pencemaran udara di perkotaan. Di DKI Jakarta, 45 kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70 % (Tugaswaty 1997). Selanjutnya Tugaswaty (1997) menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi ruang udara yang aman untuk penduduk Jakarta yang disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor. Penyebab utamanya tak lain adalah ± 2,5 juta knalpot kendaraan bermotor yang setiap harinya memacetkan jalanan di Jakarta. Dari 63 % kendaraan yang beroperasi di Jakarta merupakan jenis kendaraan yang menghasilkan gas buang tinggi. Dari knalpotnya terhitung setiap tahunnya membuang 600 ton polutan timbal. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan tentu saja para pekerja informal yang setiap harinya mengais penghidupan di jalanan. Sebut saja tukang asong, pengamen, pengemudi bajaj, bus kota, mikrolet dan metro mini. Kelompok masyarakat inilah yang setiap harinya berhadapan dengan zat-zat maut yang disemprotkan kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Adapun bahan-bahan pencemar udara yang mengganggu kesehatan manusia adalah: 1. Bahan-Bahan Pencemar yang Terutama Mengganggu Saluran Pernafasan Organ pernafasan merupakan bagian yang diperkirakan paling banyak mendapatkan pengaruh karena yang pertama berhubungan dengan bahan pencemar udara. Sejumlah senyawa spesifik yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor seperti oksida-oksida sulfur dan nitrogen, partikulat dan senyawa-senyawa oksidan, dapat menyebabkan iritasi dan radang pada saluran pernafasan. Walaupun kadar oksida sulfur di dalam gas buang kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin relatif kecil, tetapi tetap berperan karena jumlah kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar makin meningkat. Selain itu menurut studi epidemiologi, oksida sulfur bersama dengan partikulat bersifat sinergetik sehingga dapat lebih meningkatkan bahaya terhadap kesehatan (Saeni 2000). 46 a. Oksida sulfur dan partikulat Sulfur dioksida (SO 2 ) merupakan gas buang yang larut dalam air yang langsung dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian besar saluran ke paru-paru. Karena partikulat di dalam gas buang kendaraan bermotor berukuran kecil, partikulat tersebut dapat masuk sampai ke dalam alveoli paru-paru dan bagian lain yang sempit. Partikulat gas buang kendaraan bermotor terutama terdiri jelaga (hidrokarbon yang tidak terbakar) dan senyawa anorganik (senyawa-senyawa logam, nitrat dan sulfat). Sulfur dioksida di atmosfer dapat berubah menjadi kabut asam sulfat (H 2 SO 4 ) dan partikulat sulfat. Sifat iritasi terhadap saluran pernafasan, menyebabkan SO 2 dan partikulat dapat membengkaknya membran mukosa dan pembentukan mukosa dapat meningkatnya hambatan aliran udara pada saluran pernafasan. Kondisi ini akan menjadi lebih parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung atau paru-paru dan para lanjut usia. b. Oksida Nitrogen Diantara berbagai jenis oksida nitrogen yang ada di udara, nitrogen dioksida (NO 2 ) merupakan gas yang paling beracun. Karena larutan NO 2 dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO 2 , maka NO 2 akan dapat menembus ke dalam saluran pernafasan lebih dalam. Bagian dari saluran yang pertama kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan jaringan paru. Organ lain yang dapat dicapai oleh NO 2 dari paru adalah melalui aliran darah. Karena data epidemilogi tentang resiko pengaruh NO 2 terhadap kesehatan manusia sampai saat ini belum lengkap, maka evaluasinya banyak didasarkan pada hasil studi eksprimental. Berdasarkan studi menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang membahayakan seperti misalnya meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran pernafasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 μg/ m 3 . Percobaan pada manusia menyatakan bahwa kadar NO 2 sebsar 250 μg/ 47 m 3 dan 500 μg/ m 3 dapat mengganggu fungsi saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat. c. Ozon dan oksida lainnya Karena ozon lebih rendah lagi larutannya dibandingkan SO 2 maupun NO 2 , maka hampir semua ozon dapat menembus sampai alveoli. Ozon merupakan senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO 2 dan bereaksi kuat dengan jaringan tubuh. Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500 μg/m³ dalam waktu singkat dapat merusak fungsi paru-paru anak, meningkat frekwensi serangan asma dan iritasi mata, serta menurunkan kinerja para olahragawan. 2. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik Banyak senyawa kimia dalam gas buang kendaraan bermotor yang dapat menimbulkan pengaruh sistemik karena setelah diabsorbsi oleh paru, bahan pencemar tersebut dibawa oleh aliran darah atau cairan getah bening ke bagian tubuh lainnya, sehingga dapat membahayakan setiap organ di dalam tubuh. Senyawa-senyawa yang masuk ke dalam hidung dan ada dalam mukosa bronkial juga dapat terbawa oleh darah atau tertelan masuk tenggorokan dan diabsorbsi masuk ke saluran pencernaan. Selain itu ada pula penambahan yang tidak langsung (additive), misalnya melalui makanan, seperti timah hitam. Diantara senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gas kendaraan bermotor yang dapat menimbulkan pengaruh sistemik, yang paling penting adalah karbon monoksida dan timbal. a. Karbon Monoksida Karbon monoksida dapat terikat dengan haemoglobin darah lebih kuat dibandingkan dari oksigen membentuk karboksihaemoglobin (COHb), sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh. Pajanan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ 48 tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen. Pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler cukup nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan penyakit paru merupakan kelompok yang paling peka terhadap pajanan CO. Studi eksperimen terhadap pasien jantung dan penyakit pasien paru, menemukan adanya hambatan pasokan oksigen ke jantung selama melakukan latihan gerak badan pada kadar COHb yang cukup rendah 2,7 %. Pengaruh pajanan CO kadar rendah pada sistem syaraf dipelajari dengan suatu uji psikologi. Walaupun diakui interpretasi dari hasil uji seperti ini sulit ditemukan bahwa kadar COHb 16 % dianggap membahayakan kesehatan. Pengaruh bahaya ini tidak ditemukan pada kadar COHb sebesar 5%. Pengaruh terhadap janin pada prinsipnya adalah karena pajanan CO pada kadar tinggi dapat menyebabkan kurangnya pasokan oksigen pada ibu hamil yang konsekuennya akan menurunkan tekanan oksigen di dalam plasenta dan juga pada janin dan darah. Hal ini dapat menyebabkan kelahiran prematur atau bayi lahir dengan berat badan rendah dibandingkan normal. Menurut evaluasi WHO, kelompok penduduk yang peka (penderita penyakit jantung atau paru-paru) tidak boleh terpajan oleh CO dengan ka dar yang dapat membentuk COHb di atas 2,5%. Kondisi ini ekivalen dengan pajanan oleh CO dengan kadar sebesar 35 mg/m 3 selama 1 jam, dan 20 mg/ m 3 selama 8 jam. Oleh karena itu, untuk menghindari tercapainya kadar COHb 2,5-3,0 % WHO menyarankan pajanan CO tidak boleh melampaui 25 ppm (29 mg/m 3 ) untuk waktu 1 jam dan 10 ppm (11,5 mg/m 3 ) untuk waktu 8 jam. b. Timbal Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal organik (tetraetil-Pb atau tetrametil-Pb). Pada pembakaran bensin, timbal organik ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang dikeluarkan sebagai gas buang kendaraan bermotor merupakan partikelpartikel yang berukuran sekitar 0,01 μm. Partikel-partikel timbal ini akan 49 bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar, dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot. Pengaruh Pb pada kesehatan yang terutama adalah pada sintesa haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Pengaruh pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat menyebabkan anemia, ditemukan pada kadar Pb-darah kelompok dewasa 60-80 μg/ 100 ml dan kelompok anak > 40 μg/ 100 ml. Pada kadar Pb-darah kelompok dewasa sekitar 40 μg/ 100 ml diamati telah ada gangguan terhadap sintesa Hb, seperti meningkatnya ekskresi asam aminolevulinat (ALA). Pengaruh pada enzim §-ALAD dapat diamati pada kadar Pb-darah sekitar 10 μg/ 100 ml. Akumulasi protoporfirin dalam eritrosit (FEP) yang merupakan akibat dari terhambatnya aktivitas enzim ferrochelatase, dapat terlihat pada wanita edngan kadar Pb-darah 20- 30 μg/ 100 ml, pada pria dengan kadar 25-35 μg/ 100 ml, dan pada anak dengan kadar > 15 μg/ 100 ml. Pengaruh Pb terhadap hambatan aktivitas enzim ALAD tidak menyatakan adanya keracunan yang membahayakan, tetapi dapat menunjukkan adanya pajanan Pb terhadap tubuh. Meningkatnya ekskresi ALA dan akumulasi FEP adalam urin mencerminkan adanya kerusakan fungsi fisiologi yang pada akhirnya dapat merusak fungsi metokhondrial. Pengaruh pada syaraf otak anak diamati pada kadar 60 μg/ 100 ml, yang dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan mental anak. Penelitian pada pengaruh Pb yang dikaitkan IQ anak telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum konsisten. Sistem syaraf pusat anak lebih peka dibandingkan dengan orang dewasa. Gangguan terhadap fungsi syaraf orang dewasa berdasarkan uji psikologi diamati pada kadar Pb darah 50 μg/100 ml. Sedangkan gangguan sistem syaraf tepi diamati pada kadar Pb darah 30 μg/100 ml. Timbal dapat menembus plasenta, dan karena perkembangan otak yang khususnya peka terhadap logam ini, maka janinlah yang terutama mendapat resiko. 50 3. Bahan-Bahan Pencemar yang Dicurigai Menimbulkan Kanker Pembakaran didalam mesin menghasilkan berbagai bahan pencemar dalam bentuk gas dan partikulat yang umumnya berukuran lebih kecil dari 2μm. Beberapa dari bahan-bahan pencemar ini merupakan senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, seperti etilen, formaldehid, benzena, metil nitrit dan hidrokarbon poliaromatik (PAH). Mesin solar akan menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang dapat terikat dalam partikulat seperti PAH, 10 kali lebih besar dibandingkan dengan mesin bensin yang mengandung timbal. Untuk beberapa senyawa lain seperti benzena, etilen, formaldehid, benzo(a)pyrene dan metil nitrit, kadar di dalam emisi mesin bensin akan sama besarnya dengan mesin solar. Emisi kendaraan bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik diperkirakan dapat menimbulkan tumor pada organ lain selain paru. Mengingat polusi udara yang berasal dari buangan kendaraan bermotor sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, maka sebagai resiko kesehatan yang diderita manusia (Fardiaz 1992) telah menyusun beberapa jenis pencemaran udara seperti pada Tabel 9. Kondisi Udara Menurut Riyadi (1982), bahwa pencemaran udara umumnya diberi batasan sebagai udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan harta benda. Ada 2 jenis zat pencemar yaitu : 1. Zat Pencemar Primer Zat pencemar primer yaitu zat kimia yang langsung mengkontaminasi udara dalam konsentrasi yang membahayakan. Zat tersebut dapat berasal dari komponen udara alamiah seperti karbon dioksida, yang kadarnya meningkat diatas konsentrasi normal atau karena sesuatu yang tidak biasanya ditemukan dalam udara, misalnya timbal. 51 Tabel 9. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Jenis Pencemaran Udara Pengaruh Terhadap Manusia Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing dan kematian, kelelahan dan sakit kepala Sulfur dioksida (SO2) Memperberat penyakit saluran pernapasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata Nitrogen oksida (NOx) Memperberat penyakit jantung pernafasan, dan iritasi paru-paru Hidrokarbon Mempengaruhi sistem pernapasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker Oksigen fortokimia (O3) Memperbesar penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan Debu Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak Amonia (NH3) Iritasi saluran pernapasan Hidrogen Sulfida (H2S) Mabuk (pusing) iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi Logam dan Senyawa Logam Menyebabkan penyakit pernapasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian dan Sumber : Hartogensis (1997), Fardiaz (1992), Nukman (1998), Holper dan Noonan (2000). 2. Zat Pencemar Sekunder Zat pencemar sekunder yaitu zat kimia berbahaya yang berbentuk di atmosfir melalui reaksi kimia diantara komponen – komponen udara. Ada pun jenis-jenis bahan pencemar udara dan sumbernya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. SO2, berasal dari pembakaran rumahtangga, pembangkit tenaga listrik, kilang minyak, pabrik baja, pabrik batu bata, pabrik pengecoran logam. 52 b. Total Suspended Particulate (TSP), berasal dari pembakaran domestik, emisi kendaraan bermotor, pabrik gas, pembangkit tenaga listrik, kilang minyak, tempat pembakaran sampah. c. Hidrokarbon, berasal dari emisi kendaraan bermotor dan kilang minyak. d. NOx, berasal dari emisi kendaraan bermotor, pabrik pengolahan asam nitrat pabrik baja dan logam, pabrik pupuk. e. CO, berasal dari emisi kendaraan bermotor. f. NH3, berasal dari pabrik pengubahan ammonia. g. CO2, berasal dari sisa-sisa pembakaran domestik dan industri, emisi kendaraan bermotor. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian tentang manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat terkait, tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang disebabkan oleh kendaraan bermotor di jalan Cawang sampai Semanggi (Propinsi DKI Jakarta). Lokasi penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Dasar pertimbangan penentuan lokasi antara lain : 1. Titik pengamatan merupakan jalan protokol dengan tingkat arus lalu lintas yang cukup tinggi. 2. Lokasi pengamatan juga merupakan pusat kegiatan manusia seperti perkantoran dan jasa dengan aktivitas kegiatan yang cukup tinggi. Gambar 6. Peta lokasi penelitian 53 54 Rancangan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada : 1) Identifikasi kondisi (kimiawi) tingkat penyebaran konsentrasi Pb dan debu pada sekitar lima titik pengamatan pada periode waktu tertentu terhadap kendaraan roda dua atau lebih yang menggunakan bahan bakar minyak bensin (premium) dan solar yang melewati Cawang – Semanggi. 2) Mengidentifikasi pola pemantauan tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang dilakukan pada saat ini (pola ambient sesaat dan non sesaat peralatan elektronik) yang melalui jalan Cawang – Semanggi dan jalan lain sebagai pembanding tingkat penyebaran. 3) Berdasarkan data lapangan selanjutnya diolah melalui bantuan komputer dengan bantuan mesin pengelola komputer dengan software sistem program statistik semantik. Tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar7. Tingkat Pencemaran Udara di DKI Jakarta Analisis Deskriptif Dibandingkan dengan Baku Mutu Lingkungan Tingkat Penyebaran Pb, debu dan CO Analisis Deskriptif Dibandingkan dengan Baku Mutu Lingkungan Manajemen Dampak resiko Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Masyarakat Analysis Hierarchy Process (AHP) Arahan Kebijakan Manajemen Lingkungan Wilayah Dampak Pencemaran Udara Gambar 7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian 55 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu data sekunder dan data primer. Untuk data sekunder, dicatat dan dikumpulkan dari buku-buku ilmiah, jurnal, laporan hasil penelitian, dokumen dan perundingan serta dokumen pendukung lainnya. Sedangkan data primer diperoleh langsung dari lapangan baik melalui wawancara (interview), daftar pertanyaan (questioner) maupun pengamatan (observation). Untuk pengamatan lapangan terhadap obyek baik aspek fisika, kimia dan biologi dilakukan secara in-situ (uji langsung di lapangan) dan ex-situ (uji laboratorium). Dalam penelitian ini dibatasi pada 3 kelompok yaitu: 1) Kebijakan 2) Sumber daya manusia dan 3) Kondisi lingkungan (udara) di lokasi penelitian. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke lapangan untuk memperoleh partikulat di udara dengan cara ditangkap dengan menggunakan pipa hisap dan media penyaring. Partikulat yang tersuspensi pada kertas saring dilakukan analisis dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) yang digunakan untuk menganalisis unsur–unsur logam. Tabel 10. Metoda sampling dan analisis pencemar udara 1 Pencemaran Udara Debu (g/m³) 2 Pb (ppm) 3 CO (µg/Nm³) No. Metoda Analisis Hasil Metoda SNI Gravimetri High Volume Sampler 1,4 μg /Nm3 SNI 16-7058-2004 0,06 mg / m3 SNI 13-6974-2003 3593 μg / Nm3 SNI 09-7118.3-2005 NDIR Sumber: http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/5946 56 Stabilitas atmosfer ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap intensitas radiasi matahari dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Intensitas radiasi matahari Siang (Radiasi Matahari) Kuat Sedang Lemah 2 A A-B B 2-3 A–B B C 3-5 B B-C C 5–6 C C-D D 6 C D D Keterangan : A = kuat B = sedang C = lemah U 10 m/dtk Malam (Awan Tipis) Mendung Terang E F E F D E D D D D D = sangat terang E = mendung F = terang Data Pb, debu dan CO dikumpulkan dengan cara studi pustaka atau studi literatur dari berbagai instansi seperti Dinas Pengelolaan Lingkungan Daerah, Rumah sakit atau Puskesmas, Kepolisian dan Dinas Perhubungan Kota Jakarta selama 3 tahun terakhir (2008 - 2010). Dalam merumuskan arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dari dampak pencemaran udara, metode pengumpulan data yang digunakan adalah melalui pembagian angket kuesioner pada masing-masing pakar yang terkait dengan penelitian (pakar dari Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, Perguruan Tinggi, Kepolisian dan Masyarakat). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan variabel-variabel kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemaran udara Pb, debu dan CO. Metode Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis parameter fisika dan kimia dilakukan untuk analisis laboratorium Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya di interpretasikan dengan merujuk pada prosedur sebagaimana yang tertera dalam baku mutu lingkungan dan membandingkan dengan pustaka terkait dengan strategi atau pola pemantauan dan penanganan penyebaran Pb, debu dan CO di lingkungan Kota DKI Jakarta. Permodelan dimulai dari bentuk model keseimbangan bahan, secara garis besar oleh Umaly dalam Ridwan diutamakan 57 terjadi alur antara penyediaan (supply) dan kebutuhan (demands) sebagaimana tertera pada Suparlan (PTIK 2001) Gambar 8. Setelah dimengerti model makro materi uji pencemaran udara ini disusun permodelan yang sesuai dengan model penelitian yaitu alternatif kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat (Gambar 9). Environmental Rising Supply Demands Ecological – Economy Impact Suparlan (PTIK 2001) Gambar 8 : Rising Supply and Demands 58 Mulai Data polusi udara Analisis tumbuhan tertentu yang menjerab Pb dan TSP Laboratorium IPB Data fisik Analisis hierarki proses YA Potensi > 0 TIDAK Tidak dilakukan disain kebijakan Data CH Kondisi jalan tol dalam Analisis jenis kendaraan yang melintas Jumlah kendaraan bermotor Waktu macet Analisis polusi udara Beban udara tercemar diatas ambang baku mutu TIDAK Tidak dilakukan disain kebijakan YA Kebijakan lingkungan RTH yang dapat mereduksi pencemaran Selesai Gambar 9. Diagram alir kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat. 59 Tabel 13. Jenis dan sumber data No Tujuan Penelitian Jenis Data 1. Mengidentifikasi kondisi kimiawi tingkat Penyebaran Pb dan debu yang ada pada saat ini. Primer Sekunder 2. Menganalisis tingkat Primer penyebaran Pb dan debu untuk menyusun manajemen lingkungan pada dampak risiko pencemaran udara dalam kaitan dengan Sekunder kesehatan masyarakat setempat. 3. Merumuskan arahan Primer kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara. Bentuk Data Sumber Data Analisis Data Hasil Pengukuran Langsung di Lokasi Penelitian Tingkat Penyebaran Pb dan Debu Laporan, Hasil Penelitian Hasil Pengukuran Langsung di Lokasi Penelitian Tingkat Penyebaran Pb dan Debu Laporan, Hasil Penelitian • Dinas Lingkungan Hidup • Kepolisian • Dinas Kesehatan • Masyarakat • Analisis Parameter Fisika dan Kimia • Analisis Deskriptif • Analisis Regresi • Dinas Lingkungan Hidup • Kepolisian • Dinas Kesehatan • Masyarakat • Analisis Parameter Fisika dan Kimia • Analisis Deskriptif Hasil wawancara dengan pakar • Dinas Lingkungan Hidup • Kepolisian • Dinas Kesehatan • Perguruan Tinggi • Masyarakat Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Penelitian AHP Untuk merumuskan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara digunakan pendekatan Analisis Hierarki Proses (AHP). AHP digunakan dalam pengambilan keputusan atas permasalahan yang dilakukan secara kelompok dan permasalahan yang belum dilakukan. AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur ke dalam bagian komponen yang tersusun secara hierarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP 60 memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari komponen dalam hierarki yang telah disusun. Keharusan nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penyusunan secara hierarki dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilahkan elemen sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing–masing dapat memiliki beberapa elemen. Dikarenakan elemen dalam suatu tingkat akan dibandingkan satu dengan yang lainnya terhadap suatu kriteria yang berada di tingkat atas, maka elemen dalam setiap tingkat harus dari derajat besaran yang sama. Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tak struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke dalam suatu hierarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan ada setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi hasil. a. Prinsip dasar AHP Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah decomposition, comparative judgment, synthesis of priority, dan logical consistency. • Decomposition Decomposition adalah proses pemecahan persoalan menjadi unsurunsurnya. Pemecahan dilanjutkan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak dapat dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut untuk mendapatkan hasil yang akurat. 61 • Comparative judgment Comparative judgment adalah membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian dapat disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. • Synthesis of Priority Synthesis of priority adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya. Penentuan peringkat dilakukan dengan cara mencari eigenvector pada setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan local priority. Karena matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis di antara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. • Logical Consistency Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyekobyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. • Komparasi berpasangan Penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan judgment melalui pembandingan. Nilai tingkat kepentingan ini dinyatakan dalam bentuk kualitatif dengan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Untuk menguantifikasikan digunakan skala penilaian. Menurut Saaty (1993), skala penilaian 1 sampai 9 merupakan yang terbaik berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute 62 Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Skala komparasi berdasarkan skala Saaty (1993) Tingkat Kepentingan Definisi 1 Sama pentingnya 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Mutlak lebih penting 2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan 1/ (1- 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 – 9. Sumber : Saaty (1993) b. Langkah-langkah Penyelesaian • Matriks pendapat individu Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan disetiap tingkat hierarki keputusan dilakukan dengan judgment melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat. Jika C1, C1, …….. Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan dalam hierarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk matrik A yang berukuran n x n. Apabila Ci dibandingkan dengan Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Nilai matriks aij = 1/ a1j, yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks aij. Untuk i = j , maka nilai matriks aij = aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C1, …….. Cn untuk ij = 1, 2, 3, ……n dan ij adalah sebagai berikut : 63 Hasil Transformasi Matriks Pendapat C1 C2 C3 .. C1 1 a12 a13 .. C2 1 / a12 1 a23 .. C3 1 / a13 1 / a23 1 .. .. .. .. .. .. Cn 1 / a1n 1 / a2n 1 / a3n .. • Cn a1n a2n a3n .. 1 Matriks pendapat gabungan Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata geometrik pada elemen matriks pendapat individu (aij) yang risiko konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Formulasi nilai rata-rata geometrik adalah sbb. : m g ij = m ∏ a k =1 ij ( k ) .................................................................................. (2) Keterangan : gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i dan kolom ke-j untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k. ij = 1, 2, …..…………. n k = 1, 2, …………….. m m = jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan • Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemenelemen keputusan pada tingkat hierarki keputusan. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan pada persamaanpersamaan berikut : Perkalian baris (Zi) dengan rumus : Zi = m m ∏a k =1 ij ( k ) ................................................................................. (3) 64 Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen (VPi) dengan rumus: m ∏ a ij(k ) n VP i k =1 m n ∑ n ∏ a ij(k) i=1 k =1 = ................................................................ (4) Perhitungan nilai eigen maksimum (λmak) dengan rumus : ( ) ( ) VA = a ij × VP , dengan VA = va i .................................... (5) VB = VA , dengan VB = (vb ) ......................................... i VP i λ max = 1 n (6) n ∑ i=1 vb i , untuk i = 1, 2, 3, …. N........................... (7) Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus : λ max − n .......................................................................... n− 1 CI = (8) Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus : CR = CI RI ................................................................................ (9) Dengan RI : Indeks Acak (Random Index) Nilai Indeks Acak (RI) bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat di bawah. Orde (n) RI 1 2 3 4 5 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 6 7 8 9 10 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0.1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolok ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan dalam suatu matrik pendapat. 65 • Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (ultimate goal). Jika didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka: s CVij = ∑ CHijt (i −1) × VWt (i −1) ................................................................ (10) t =1 Untuk : i = 1, 2, 3, ……………. p j = 1, 2, 3, ……………. r t = 1, 2, 3, ……………. s Keterangan : s ∑ CH ijt ( i − 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i t =1 terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i –1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal. = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal. p = jumlah tingkat hierarki keputusan r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i - 1). Jika di dalam hierarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak VWt (i − 1) berhubungan, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai berikut : ( ) CV i = CV ij , untuk j = 1, 2, 3, ………. s ................................... (11) Model Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Model yang diuraikan pada hal 127 adalah input proses output yang akan dikembangkan dalam bentuk Powersim atau Model Loop (Ford 1999). GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan Propinsi DKI Jakarta yang memiliki luas daratan 662,33 km2 (6.623.300 ha) dan luas lautan 6.977,5 km2, memiliki 27 sungai dan kanal. Secara administrasi Propinsi DKI Jakarta dibagi dalam 6 wilayah dengan luas daratan seperti tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Luas Wilayah Kotamadya DKI Jakarta tahun 2009 Luas (km2) Persen (%) Jakarta Selatan 141,27 21,33 2. Jakarta Timur 188,03 28,39 3. Jakarta Pusat 48,13 7,27 4. Jakarta Barat 129,54 19,56 5. Jakarta Utara 146,66 22,14 6. Kepulauan Seribu 8,70 1,31 662,33 100 No Wilayah 1. Jumlah Sumber : Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (2009) Tabel 14, menunjukkan bahwa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan luas daratan masing-masing 28,39 % dan 21,33 %, sedangkan Jakarta Utara mencapai 22,14%, termasuk gugusan Kepulauan Seribu. Secara umum topografi kota Jakarta memiliki kelerengan datar dengan jenis tanah aluvial, beberapa lokasi lahannya berawa, tergolong iklim panas dengan suhu rata-rata 28,7 oC (siang hari) dan 26,0 oC (malam hari), curah hujan rata-rata 2.288,9 mm per tahun dengan tingkat kelembaban udara mencapai 76,4 % dengan kecepatan angin rata-rata 3,5 m per detik (BPS DKI Jakarta, 2005). Pemanfaatan lahan kota Jakarta, sebagian besar difungsikan untuk kawasan permukiman seluas 65,72 % dengan fasilitas perkantoran dan pergudangan seluas 11,94 %. Tabel 15 menunjukkan bahwa lahan untuk lain-lain seperti sarana dan prasarana waduk, situ dan rawa mencapai 15,54 %, lahan untuk perumahan mencapai 43.475,09 ha dan untuk penghijauan 66 67 kota (pertamanan) hanya 1,82%, Karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan konsekuensinya, lahan yang diperoleh untuk perumahan juga meningkat. Tabel 15. Pemanfaatan Lahan di Wilayah DKI Jakarta tahun 2009 No Peruntukan Luas (ha) Persen 43.475,09 65,72 1. Perumahan 2. Industri 3.228,21 4,88 3. Perkantoran & Pergudangan 7.898,54 11,94 4. Pertamanan 1.270,14 1,92 5. Lain-lainnya 10.280,02 15,54 Jumlah 66.152,00 100 Sumber : BPS DKI Jakarta (2010), Ditjen Bangda (2010) Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta yang mencapai 66.152,00 ha lahan untuk taman penghijauan 2.052,41 ha, untuk jalur hijau jalan seluas 557,83 ha dan jalur hijau kota seluas 1.295,55 ha (Tabel 16), sehingga hanya tersedia 0,6% saja luas wilayah DKI yang diperuntukkan sarana penghijauan. Tabel 16 menunjukkan sebagian besar lahan 2.052,41 ha (52,55%) untuk taman dan 33,17% untuk hijauan kota. Hal ini dengan tujuan untuk menunjang Ruang Terbuka Hijau (RTH), keindahan, pengurangan, pencemaran udara sekaligus mengantisipasi panas pada siang hari yang suhunya panas mencapai 28,70C. Dengan semakin meningkatnya kegiatan di perkotaan yang sejalan dengan meningkatnya volume sampah dan timbal yang menyebabkan terjadinya pencemaran (termasuk SOx, CO, dan NOx), dengan adanya hijauan dari pohon atau pertamanan dapat diserap, sehingga kondisi lingkungan terjaga dari kerusakan dan pencemaran. 68 Tabel 16. Luas hijau jalan, hijau kota dan taman di wilayah Propinsi DKI Jakarta tahun 2009 No 1. Peruntukan Lahan Jalur hijau jalan Luas (ha) 557.83 Persen 14,28 2. Jalur hijau kota 1.295,55 33,17 3. Pertamanan 2.052,41 52,55 Jumlah 3.905,79 100,00 Sumber : BPS DKI Jakarta (2010) Hutan kota pada dasarnya sebagai hijauan untuk mengendalikan menurunnya kondisi Sumber Daya Alam dan lingkungan. Eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan tergantung dari tingkat kegiatan atau perilaku manusia itu sendiri yang berpengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Sarana dan Prasarana Menurut BPS DKI Jakarta (2009), bahwa panjang jalan DKI Jakarta dalam 4 klasifikasi, jalan tol sepanjang 94.180 m, jalan Negara 162.036 m, jalan Provinsi 1.495.850,99 m dan jalan kotamadya 5.884.691,78 m. Mengenai fungsi jalan (tol, arteri, primer, kolektor primer, kolektor sekunder dan kotamadya), panjang jalan (m), luas (m2) dan status jalan (Nasional, Propinsi, Kotamadya). Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa panjang di DKI Jakarta mencapai 7.361.378,77 m atau seluas 47.776.463,46 m2. Tabel 17. Fungsi Jalan, Panjang Jalan, Luas dan Status jalan tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 Fungsi Jalan Panjang (m) Luas (m2) Tol Arteri primer Kolektor Primer Arteri Sekunder Kolektor Sekunder Kotamadya 94.180,00 102.139,25 55.130,75 514.013,97 963.816,02 5.920.098,78 2.078.300,00 2.102.530,10 860.669,00 8.553.786,09 8.120.635,31 26.060.560,96 Jumlah 7.361.378,77 47.776.463,46 Status Jalan Tol Nasional Nasional Propinsi Propinsi Kotamadya Sumber : Sub Dinas Bina Program DPU DKI Jakarta, BPS DKI Jakarta (2010). 69 Sarana Transportasi Meningkatnya kegiatan masyarakat berarti meningkat pula sarana transportasi yang tersedia juga di Jakarta. Karena tidak ada pembatasan pemakaian usia dari kendaraan bermotor, maka tampak semakin tahun semakin macet, padat merayap di setiap jalanan di Propinsi DKI Jakarta. Demikian pula dengan meningkatnya kegiatan manusia di Ibukota, salah satu kebutuhan vital adalah sarana transportasi berupa sepeda motor, mobil penumpang, mobil beban dan bus, dari tahun 2005 – 2010 cenderung meningkat (Tabel 18). Tabel 18. Jumlah Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil Beban, dan Bus Tahun 2005–2010 (Diluar Kendaraan TNI, POLRI, Corp diplomatik) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sepeda Motor (unit) 2.055.332 1.527.906 1.543.603 1.619.516 1.813.136 2.257.194 Mobil Penumpang (unit) 1.095.170 1.520.264 965.058 1.052.802 1.130.496 1.195.871 Mobil Beban (unit) 380.788 319.301 320.438 334.013 347.443 366.221 Bus Jumlah (unit) 311.371 253.718 253.574 253.593 253.593 254.849 (unit) 3.842.661 3.053.189 3.082.673 3.259.924 3.544.668 4.074.135 Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dan BPS DKI Jakarta (2010) Tabel 18 terlihat, bahwa jumlah sarana transportasi selama 6 tahun dari tahun 2005 – 2010 cenderung meningkat. Tahun 2005 jumlahnya 3.842.661 unit dan tahun 2010 menjadi 4.074.135 unit (2,31%). Konsekuensinya pemakaian bahan bakar (bensin dan solar) juga meningkat dan residu berupa asap dan debu juga meningkat. Mungkin juga untuk kendaraan angkutan jenis IV seperti bemo, bajaj, dan toyoko ( jenis bemo ) sejak tahun 2005 – 2010 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Secara rinci terdapat pada Tabel 19. 70 Table 19. Jumlah Kendaraan Angkutan Jenis IV : Bemo, Bajaj dan Truk Tahun 2005 – 2010 Tahun Bemo (unit) Bajaj (unit) Truk (unit) Total (unit) 2005 967 14.831 500 16.298 2006 813 14.612 500 15.925 2007 - 14.612 100 14.712 2008 - 14.612 100 14.712 2009 970 14.612 500 16.082 2010 989 14.612 500 16.101 Sumber : Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Keterangan : - = data tidak tersedia Tabel 19 menunjukkan kendaraan jenis bajaj mengalami peningkatan. Untuk bemo sebanyak 967 unit (2005) meningkat menjadi 989 unit (2010) ada peningkatan 5,94 %. Jumlah bajaj dan truk relatif tetap. Kendaraan jenis IV ini sama dengan kendaraan lain yang berbahan bakar bensin dan aksesnya mengeluarkan gas (CO2, SO2, NO2) dan asap serta debu yang mencemari udara. Demikian halnya bis kota (bis besar) yang ada yang beroperasi serta jumlah rata – rata penumpang tahun 2005 – 2010 seperti terlihat pada Tabel 20. Tabel 20. Rata – rata jumlah penumpang, jumlah bis yang ada dan yang beroperasi tahun 2005 - 2010 Tahun Jumlah Rata-rata Penumpang Jumlah Bus (unit) Jumlah Bus yang Beroperasi (unit) 2005 1.697.942 4.530 2.278 2006 1.686.762 4.522 2.263 2007 3.907.950 6.454 5.243 2008 3.822.362 5.411 4.822 2009 3.382.621 5.402 4.239 2010 2.962.570 4.914 4.398 Sumber: DKI Jakarta dalam angka (2010) 71 Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan yang beroperasi dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan peningkatan dari 2.278 unit (2005) menjadi 4.398 unit (2010) ada peningkatan sebesar 2.120 unit (2,1%). Peningkatan jumlah armada ini implikasinya, pemakai bahan bakar (BB) juga meningkat dan residu (asap, debu dan debunya juga meningkat). Ada pun jumlah kendaraan yang lewat jalan tol Cawang – Semanggi tahun 2002 mencapai 102.061. 143 unit (15,58 %) dari total kendaran yang lewat mencapai 654.816.970 unit. Jumlah kendaraan ini ada pengaruhnya terhadap emisi gas (asap), sedangkan panjang dan luas jalan (menurut premi jalan) secara rinci tertera pada Tabel 21 dan Tabel 22. Tabel 21. Panjang Jalan DKI Jakarta tahun 2010 Jenis Jalan (m2) Kotamadya Tol Negara Propinsi Kotamadya Total Jakarta Selatan 9.648 53.740,00 347.020,70 1.570.445,85 1.980.890,55 Jakarta Timur 30.642 30.458,00 375.410,47 1.603.578,12 2.066.088,59 Jakarta Pusat 6.380 13.286,75 236.419,60 645.288,96 901.375,31 Jakarta Barat 12.882 29.075,25 269.248,97 970.086,55 1.281.292,77 Jakarta Utara 34.592 29.476,00 247.751,25 1.095.292,30 1.407.111,55 Total 94.180 162.036,00 1.495.850,99 5.884.691,78 7.636.758,77 Tabel 22. Luas Jalan DKI Jakarta tahun 2010 Jenis Jalan (m2) Kotamadya Tol Negara Propinsi Kotamadya Total Jakarta Selatan 174.312 965.164,80 3.681.675,80 6.559.465,25 11.420.617,85 Jakarta Timur 859.556 766.160,56 4.443.003,14 6.585.678,00 16.654.397,77 Jakarta Pusat 114.840 360.989,80 3.613.863,50 2.664.220,74 6.753.914,04 Jakarta Barat 231.876 464.404,00 2.526.442,91 4.147.433,86 3.370.156,77 Jakarta Utara 697.716 492.368,00 2.469.836,65 5.909.356,43 9.569.277,08 Total 2.078.300 3.049.087,16 16.734.822,00 25.906.154,28 47.768.363,44 Sumber : Sub Dinas Bina Program DPU DKI Jakarta 72 Panjang dan luas jalan dilewati kendaraan (sarana transportasi) dengan tingkat kepadatan yang berbeda–beda. Konsekuensinya kualitas udaranya akan tercemar oleh asap, gas dan debu yang juga berbeda–beda. Kualitas Udara di DKI Jakarta Kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dan Jakarta khususnya sudah sangat buruk. Penyebab utamanya ternyata bukan hanya sektor industri, namun justru sektor transportasi yang mencemari udara paling parah. Kontribusinya terhadap pencemaran NOx mencapai 73,3 %. Secara rinci seperti tertera pada Gambar 10. Pb (ppm) debu (g/m³) NOx (ppm) Gambar 10. Konsentrasi debu (g/Nm³), Pb (ppm) dan NOx di Jakarta tahun 2008. Dari Gambar 10, terlihat bahwa NOx sebagai zat pencemar yang dihasilkan oleh transportasi cukup besar yaitu 73,3 %, sedangkan Pb yang dihasilkan oleh 10 industri sebagai penghasil zat pencemar mencapai 55,5 % dan pada Pb rumah tangga penghasil zat pencemar mencapai 20,8% (UI 2005). Komponen Pb dan debu dalam kondisi yang terdapat dalam jumlah yang tinggi oleh asap mobil dalam bentuk susunan kimianya seperti PbBrCl, PbBr2, terdapat pada Tabel 23. 73 Tabel 23. Komponen Pb (ppm) di dalam asap mobil Komponen Pb PbBrCl PbBrCl.2PbO PbCl2 Pb(OH)CI PbBr2 PbBrCl2.2PbO Pb (OH) Br PbOx PbCO3 PbBr2.2PbO PbCO3.2PbO Persen dari partikel Pb di dalam asap Segera setelah 18 jam setelah starter starter 32.0 31.4 10.7 7.7 5.5 5.2 2.2 2.2 1.2 1.1 1.0 12.0 1.6 8.3 7.2 0.5 5.6 0.1 21.2 13.8 0.1 29.6 Sumber: Stoker dan Seager (1972), DKI Jakarta dalam angka (2009). Suhu udara rata – rata Sejak tahun 2005 suhu udara maksimum 31,7 0C, minimum 25,3 0C dan tahun 2010, suhu rata-rata maksimum 32,4 0C, untuk suhu maksimum ada peningkatan 0,70 0C dan minimum sebesar 22,2 0C uraian secara rinci, terdapat pada Tabel 24. Tabel 24. Suhu maksimum dan minimum tahun 2005 – 2010. Tahun Suhu Rata-Rata Maksimum (0C) Suhu Rata-Rata Minimum (0C) 2005 31.7 25.3 2006 31.4 25.4 2007 33.9 22.2 2008 33.9 22.2 2009 30.8 26.1 2010 32.4 26.1 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (2011). 74 Keadaan iklim terakhir di DKI Jakarta (2010) curah hujan per tahun 2010, sebagai berikut, curah hujan : 2.288,9 mm, tekanan 1.010,1 mbs, kelembaban 76,40 dan arah angin 45 (points), kecepatan angin 4,5 M/SE, awan (okta) dan untuk suhu maksimum 28,7 oC dan minimum 26,0 oC atau rata-rata suhunya 27,5 o C (BPS DKI Jakarta 2010). Dengan demikian DKI Jakarta tergolong iklim panas dan untuk mengantisipasi kenaikan suhu tersebut, sesuai dengan peraturan tataruang dibangun pertamanan seluas 1.270.11 ha (1,91 %) dan hijauan kota, sekaligus menata landscape untuk keindahan dan ekstetika. Mengingat lahan yang disosilasisasi relatif kecil (1,91%), maka dengan meningkatnya kendaraan, residu yang dibuang berupa asap dan debu akan semakin besar dan pada tingkat konsentrasi akan menganggu kesehatan manusia termasuk satwa dan tumbuhan serta pembangunan. Dalam hal ini hutan kota sebagai ecocity perlu ditunjang dengan pertamanan atau landscape kebersihan, kesehatan dan kenyamanan. Kualitas Udara di Bern (Swiss) dan Den Haag (Belanda) Untuk menuju kota Jakarta yang berpolusi rendah dilakukan patok duga dengan berbagai kota di Luar Negeri (Kuala Lumpur, Singapura, Bernn, dan Den Haag), Kota kota tersebut dijadikan tolak ukur keberhasilan pengelolaan kualitas udara DKI Jakarta. Agar tolak ukur keberhasilan tersebut dapat tercapat Pemerintah Kotamadya DKI Jakarta telah berupaya melaksanakan Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2003 dan Nomor 1138/Menkes/PB/VII/2003 antara lain upaya mencapai udara bersih pada suatu kota sehat wajib memenuhi indikator sebagai berikut : 1. Memenuhi standar Indikator Standar Pencemaran Udara (ISPU). 2. Kendaraan bermotor memenuhi syarat emisi gas buang. 3. Peningkatan penggunaan bahan bakar yang memenuhi syarat. 4. Penurunan kasus gangguan pernapasan atas (ISPA / pneumonia). 5. Penurunan kasus Tuber culose baru (Setda Provinsi DKI Jakarta.2007-hal 569). 75 Tingkat pencemaran udara di Kota Kuala Lumpur, Singapura, Bernn dan Den Hagg, sebagai indikator keberhasilan pengelolaan pencemaran udara DKI Jakarta adalah seperti terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Tingkat polusi di DKI Jakarta, Bern, Den Haag, Singapura dan Kuala Lumpur. Polusi Bern Den Haag Singapore 1 Polusi Udara 37,50 62,50 2 Debu 12,50 0,00 Kuala Lumpur 70,00 25,00 25,00 65,00 75,00 3 Kebisingan 31,25 12,50 87,50 70,00 62,50 4 Kualitas Udara 87,50 62,50 37,50 30,00 12,50 5 Sampah 93,75 62,50 50,00 40,00 25,00 100,00 75,00 75,00 35,00 37,50 No. 6 Tingkat kebersihan Jakarta 87,50 Sumber : www.numbeo.com/pollution, 2011 Gambar 11. Perbandingan tingkat polusi DKI Jakarta dengan Sister City-nya. Penyakit yang Disebabkan oleh Pencemaran Udara. Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di sepanjang jalan Cawang – Semanggi, Jakarta adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sesuai data yang terhimpun sebagai berikut: 76 1. Pusat Kesehatan Masyarakat Senayan tahun 2009 menyatakan bahwa penduduk terkena penyakit ISPA sebanyak 587 orang dan tahun 2010 sampai Juli 2006 sebanyak 323 orang. 2. Pusat Kesehatan Masyarakat Setia Budi tahun 2009 menyatakan bahwa penduduk yang terkena penyakit ISPA sebanyak 2139 orang dan tahun 2010 sampai Juli 2006 sebanyak 523 orang. 3. Pusat Kesehatan Masyarakat Tebet tahun 2009 menyatakan bahwa penduduk yang terkena panyakit ISPA sebesar 1352 orang dan tahun 2010 sampai Juli 2010 sebesar 639 orang. 4. Pusat Kesehatan Masyarakat Pangadegan tahun 2009 penduduk yang terkena penyakit ISPA sebesar 1473 Tahun 2010 sampai 2009 sampai Juli 2010 sebesar 725 orang. 5. Pusat Kesehatan Masyarakat Bendungan Hilir penduduk yang terkena penyakit ISPA tahun 1134 orang dan tahun 2010, sampai Juli 2010 sebesar 725 orang. 6. Pusat Kesehatan Masyarakat Mampang Prapatan tahun 2009 penduduk yang terkena penyakit ISPA sebesar 1674 orang dan sampai Juli 2010 sebesar 837 orang. Sebanyak 8.359 orang menderita batuk-batuk, demam, panas tinggi dan menderita penyakit influensa. Penyakit ISPA ini beresiko beristirahat berarti tidak bekerja selama tiga hari. Kondisi kepala keluarga yang tidak bekerja sangat mempengaruhi pendapatan ekonomi keluarga. Keluarga yang menderita ISPA sebesar 39,7% ialah anak-anak dan 38,6% adalah orang dewasa. STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang batas. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia, menimbulkan bau, kerusakan materi, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kimia pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor. Metode analisis menggunakan metode pengukuran kualitas udara dan kebisingan di ruas tol dalam kota kemudian hasilnya dibandingkan dengan baku mutu kualitas udara ambient (Kep. Gub. DKI Jakarta No. 551 / Tahun 2001). Bahan pencemar udara yang berasal dari hasil aktivitas kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida (SO2), timbal (Pb), debu, dan kebisingan. Bahan pencemar udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor pada beberapa lokasi pengamatan di Jakarta secara umum rata-rata masih berada di bawah ambang batas baku mutu udara ambient, kecuali gas karbon monoksida yang telah mencapai 3592,5 μg/Nm3 di lokasi pengamatan jembatan semanggi dan debu mencapai 218,10 μg/ Nm3 di lokasi pengamatan gedung Kor Lalulintas. Keyword: Kualitas udara, penyebaran Pb, debu dan bising. Pendahuluan Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota besar di dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya bahan bakar minyak yang digunakan di dalam transportasi dan industri meski konstribusi alam juga menyokong melalui kejadian seperti letusan gunung berapi dan kebakaran hutan. Di banyak negara berkembang seperti Indonesia, konsentrasi bahan pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor meningkat sebagai suatu konsekuensi terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil. Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang batas. Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air Quality Monitoring Station (AQMS), dari sepuluh kota besar di Indonesia, enam di antaranya yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekanbaru hanya memiliki udara berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun 77 78 atau tidak lebih dari 17 persen. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus menghirup udara dengan kategori berbahaya masing-masing selama 88 dan 22 hari. Menurunnya kualitas udara tersebut di atas terutama disebabkan penggunaan bahan bakar fosil untuk sarana transportasi dan industri yang umumnya terpusat di kota-kota besar, di samping kegiatan rumah tangga dan kebakaran hutan/lahan. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu menurunnya fungsi paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen, dan beberapa penyakit lainya. Selain itu, pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan bahan pencemar udara terhadap kesehatan manusia, maka perlu dilakukan penelitian mengenai bahanbahan pencemaran udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor khususnya di Kota Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kimia pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor. Metode Penelitian Pengukuran kualitas udara dilakukan di lokasi penelitian yang mewakili lokasi sumber dampak dan di sekitar areal kegiatan yang mempunyai peluang untuk menerima dampak dari kegiatan transportasi. Parameter kualitas udara yang diukur adalah Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Karbonmonoksida (CO), Timbal (Pb) dan debu (g/m³). Pengambilan contoh di lapangan digunakan dengan menggunakan gas sampler untuk gas dan dust sampler untuk debu (g/m³). Metode analisis paramater kualitas udara dapat dilihat pada Tabel 26. 79 Tabel 26. Metode analisis kualitas udara dan kebisingan No Parameter 1 2 Karbon Monoksida (CO) Nitrogen Oksida (NO 2 ) COx meter, Sibata SNI 19-4841-1996 Waktu Pengukuran 1 jam 1 jam 3 Sulfur Dioksida (SO 2 ) SNI 19-4174-1996 1 jam 4 Ozon (O 3 ) Timah Hitam (Pb) Debu Kebisingan SNI 19-4842-1998 1 jam SNI 19-2966-1992 SNI 19-4840-1998 SNI 19-165-1989 24 jam 24 jam Siang dan malam hari 5 6 7 Metode analisis Sumber : SK Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001 Hasil analisis dibandingkan dengan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 tahun 2001. Jumlah titik pengambilan sample kualitas udara ada 5 titik di lokasi penelitian. Pengukuran kebisisngan menggunakan alat sound level meter. Pengukuran kebisingan dilakukan siang dan malam hari. Lokasi pengamatan ada 5 titik di lokasi penelitian. Cara pengukuran dan interpretasinya dilakukan menurut prosedur yang tertera dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Kualitas Udara Ambient, Baku Mutu Tingkatan Kebisingan dalam Wilayah DKI Jakarta. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan “Leq” (level equivalent) pada pusat-pusat aktivitas yang ada untuk memperkirakan tingkat kebisingan yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan yang diamati. Hasil dan Pembahasan Sumber dan Jenis Bahan Pencemar Udara Kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal laut, kendaraan bermotor saat ini maupun di kemudian hari akan terus menjadi sumber yang dominan dari pencemaran udara di perkotaan. Di DKI Jakarta, 80 kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70% (Tugaswaty 1997). Hasil pemantauan terhadap jumlah (kuantitas) kendaraan bermotor berdasarkan jenisnya dengan waktu pengambilan sampel di musim kemarau antara bulan April sampai bulan Oktober dan musim hujan antara bulan November sampai Maret tahun 2009 seperti pada Tabel 27. Untuk mengetahui korelasi tingkat pencemaran udara pada musim kemarau yaitu April sampai dengan Oktober dan musim hujan pada bulan November sampai dengan Maret. Tabel 27. Data hasil pemantauan kuantitatif kendaraan bermotor di Jakarta tahun 2008/2009. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jenis Kendaraan Bermotor Truk Bus Sedan Minibus Sepeda Motor Tronton Lain-lain Bulan April – Oktober November – Maret 268.800 556.800 647.625 595.350 764.000 98.167 156.300 176.303 284.220 572.674 432.976 761.491 72.143 132.480 Sumber : Kor Polisi Lalu - Lintas Metro Jaya (2009) Pada musim hujan partikel Pb, debu dan CO sangat terpengaruh oleh adanya H2O dan pada musim kemarau sangat terpengaruh oleh arah angin. Arah angin pada wilayah penelitian bertiup dari arah Timur ke Barat (BMG 2009). Penyebaran bahan pencemar udara dari sumber pencemar ke lingkungan sekitarnya dapat melalui proses difusi, proses konveksi atau kombinasi kedua proses tersebut. Proses difusi terjadi pada waktu tidak ada angin, sehingga penyebaran pencemar udara hanya tergantung dari perbedaan konsentrasi pencemar antara lokasi dan gradien konsentrasi dan difusivitas zat pencemar udara. Proses penyebaran zat pencemar secara konveksi ditentukan oleh arah dan kecepatan angin. 81 Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti (Canter 1979). Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi udara. Sifat alami udara mengakibatkan dampak pencemaran udara dapat bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global. Pencemar udara dibedakan menjadi pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara. Karbon monoksida adalah sebuah contoh dari pencemar udara primer karena ia merupakan hasil dari pembakaran. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer. Pembentukan ozon dalam smog fotokimia adalah sebuah contoh dari pencemaran udara sekunder (Hill 1978). Gas Pencemar Udara di Kota Jakarta a. Sulfur Dioksida (SO2) Sumber pencemaran gas SO2 di Jakarta terutama disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh para pemilik kendaraan bermotor yang banyak mengandung belerang (S). Dalam pembakaran di mesin mobil S bersenyawa dengan O2 membentuk gas SO2. Konsentrasi gas SO2 yang besar di lokasi Jembatan Semanggi disebabkan oleh padatnya lalu-lintas yang juga merupakan persimpangan jalan raya dari arah Blok M ke Harmoni dan dari Grogol ke Cawang sedangkan di lokasi Gedung Kor lalulintas Jl. MT Haryono juga merupakan daerah di sekitar simpang jalan dari Cawang ke Grogol dan dari Pasar Minggu ke Manggarai yang selalu padat lalu-lintas. Daerah-daerah lain Depan Gedung LIPI, Gedung Graha Mustika, dan Kor Lalulintas kandungan SO2 terkecil, karena pelataran yang luas sekitar gedung Kor Lalulintas MABES POLRI mengakibatkan gas SO2 terencerkan dengan baik. 82 Kisaran konsentrasi rataan SO2 udara dari 18,94 μg/Nm3 (di Kor Lantas Mabes Polri) sampai 72,83 μg/Nm3 (di Jembatan Semanggi). Kadar gas SO2 di lokasi penelitian telah melampaui baku mutu udara (>10 μg/Nm3). Kondisi kandungan SO2 di lokasi penelitiaan secara detail dapat dilihat pada Table 28. Tabel 28. Hasil pengukuran SO2 di lokasi Penelitian SO2 (μg/Nm3) No Lokasi Rataan A B 1 BNN 21.3 16.6 18.94 2 Kor Lalulintas 74.1 67.6 70.81 3 LIPI 54.6 56.2 55.41 4 Mustika Ratu 42.9 41.7 42.29 5 Jembatan Semanggi Baku Mutu Lingkungan (BML) (PP 41/99) 71.6 74.1 72.83 900 Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008 b. Gas Nitrogen Dioksida (NO2) Kandungan gas NO2 tertinggi adalah di lokasi Jembatan Semanggi dan berikutnya adalah lokasi di depan Gedung LIPI. Di kedua lokasi ini kendaraan melaju cukup cepat, sehingga reaksi oksidasi. N2 + O2 -> 2NO 2NO + O2 -> 2NO2 Reaksi tersebut mengakibatkan konsentrasi NO2 di kedua lokasi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Sesuai dengan konsentrasi gas NO2. Kisaran rataan kandungan gas NO2 di lokasi penelitian dari 44,59 μg/Nm3 (Kor Lantas Mabes Polri) sampai 80,37 μg/Nm3 (Jembatan Semanggi). Dari kisaran rataan kandungan gas NO2 di udara, daerah lokasi penelitian masih di bawah baku mutu udara (>3 μg/Nm3), dengan demikian di lokasi penelitian tidak mengalami pencemaran NO2 secara serius. 83 Kondisi kandungan NO2 di lokasi penelitiaan secara detail dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil pengukuran NO2 di lokasi Penelitian NO2 (μg/Nm3) No Lokasi Rataan A B 1 BNN 41.6 47.6 44.59 2 Kor Lalulintas 52.1 55.5 53.8 3 LIPI 73.8 72.2 72.99 4 Mustika Ratu 45.2 48.5 46.84 Jembatan 5 82.6 78.2 80.37 Semanggi Baku Mutu Lingkungn 400 (BML) (PP 41/99) Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008 c. Gas Karbon Monoksida / CO Lokasi yang memiliki konsentrasi CO tertinggi adalah Jembatan Semanggi menyusul lokasi depan Gedung LIPI. Dengan kepadatan dan kemacetan lalulintas, oksidasi bahan bakar dilakukan secara tidak sempurna, sehingga terbentuk gas CO. Reaksi bahan bakar + O2 -> CO2 + CO + H2O Konsentrasi gas CO yang terendah terdapat di lokasi Kor Lantas POLRI, yang disebabkan karena kelancaran lalu lintas, maka oksidasi bahan bakar relatif lebih sempurna, sehingga pembentukan gas CO rendah. Di samping itu di lokasi ini daerah kosong cukup luas, sehingga zat pencemar CO mengalami pengenceran yang cukup baik. Konsentrasi gas CO berkisar dari 1778 μg/Nm3 (di lokasi BADAN NARKOTIKA NASIONAL) dan tertinggi sebesar 3592,5 μg/Nm3 (di lokasi Jembatan Semanggi). Konsentrasi gas CO di ruas jalan pada lokasi penelitian masih di bawah ambang baku mutu udara DKI (lebih kecil dari 30000 μg/Nm3). Adapun hasil pengukuran gas CO disajikan pada Tabel 30. 84 Tabel 30. Hasil pengukuran CO (µg/Nm³) di lokasi Penelitian No Lokasi Pengukuran CO (μg /Nm3) A B Rataan 1 BNN 1716 1840 1778 2 Kor Lalulintas 2567 2750 2659 3 LIPI 3150 2450 2800 4 Mustika Ratu 2250 2250 2250 5 Jembatan Semanggi 3416 3769 3593 Baku Mutu Lingkungan (BML) (PP 41/99) 30000 Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008 Pencemar Udara Pb, debu dan Kebisingan di Kota Jakarta a. Pb Lima lokasi penelitian berdasarkan wilayah, untuk parameter Pb yang memiliki tingkat penyebaran Pb tinggi dan mendekati baku mutu adalah Jembatan Semanggi sebesar 1,34 μg/Nm3 dan Halaman Gedung LIPI sebesar 1,30 μg/Nm3 (BMU tahun 1999 sebesar 2 μg/Nm3) dan tiga lokasi masih jauh dibawah ambang batas (Mustika Ratu 1,08 μg/Nm3, MT Haryono 0,99 μg /Nm3 dan BNN sebesar 0,87 μg/Nm3). Perbedaan konsentrasi kandungan Pb lebih disebabkan oleh perbedaan jumlah kendaraan yang melintas di kawasan tersebut dan keadaan green area (RTH) sebagai penjerap polusi. Kawasan Jembatan Semanggi dan LIPI kendaraan yang melintas lebih banyak dibanding dengan kawasan lain, hal ini diperparah lagi dengan keadaan green area/RTH khususnya jumlah pohon sebagai penyerap polusi tidak memadai (apabila dibandingkan dengan syarat minimal 30% ruang terbuka hijau). Konsentrasi rataan uap Pb udara di lokasi penelitian berkisar dari 0,72 μg/Nm3 (di lokasi Jembatan Semanggi). Walaupun demikian kisaran konsentrasi uap Pb ini masih di bawah baku mutu (lebih besar dari 0,02 μg/Nm3). 85 Rincian hasil pengukuran Pb di lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Table 31. Tabel 31. Hasil pengukuran Pb di lokasi penelitian. No Lokasi 1 BNN 2 Kor Lalulintas 3 LIPI 4 Mustika Ratu 5 Jembatan Semanggi Baku Mutu Pb (BML) (PP 41/99) Pb (μg/Nm3) A 0.87 0.99 1.3 1.08 1.34 B 0.56 1.07 1.33 0.98 1.46 Rataan 0.72 1.03 1.32 1.03 1.4 2 Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Februari 2008. b. Debu Kandungan debu di lokasi penelitian berasal dari knalpot mobil, terutama yang berbahan bakar solar. Di samping itu debu juga berasal dari jalan-jalan raya yang terbang ke atas tertiup angin. Kandungan debu terbesar di lokasi gedung Wisma Milenia disebabkan oleh padatnya lalu-lintas dan kemacetan di daerah ini. Kadar debu yang terendah terletak di lokasi MABES POLRI/BNN. Keadaan ini disebabkan oleh daerah kosong yang luas, sehingga debu akan disebarkan angin ke seluruh ruang kosong tersebut. Kisaran rataan kadar debu di lokasi penelitian dari 173,15 μg/Nm3 (di lokasi BNN) dan tertinggi 218,10 μg/Nm3 (di lokasi gedung Kor Lantas). Walaupun demikian konsentrasi debu (μg/Nm³) ini masih di bawah ambang baku mutu udara DKI (lebih kecil dari 260 μg/Nm3). Parameter debu lokasi yang memiliki tingkat pencemaran tinggi dan mendekati nilai ambang batas adalah kawasan MT Haryono yaitu sebesar 224,5 μg/Nm3, kawasan gedung Mustika Ratu sebesar 214,8 μg/Nm3 dan kawasan Semanggi sebesar 212,4 μg/Nm3, Sedangkan wilayah kawasan gedung LIPI dan BNN masih relatif jauh dibawah ambang batas. Rincian hasil pengukuran debu di lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Table 32. 86 Tabel 32. Hasil pengukuran debu di lokasi penelitian. No Lokasi 1 BNN 2 Kor Lalulintas 3 LIPI 4 Mustika Ratu 5 Jembatan Semanggi Baku Mutu (PP 41/99) Debu (µg/Nm3) A B 169,8 176,5 224,5 211,7 209,7 198,5 214,8 197,4 212,4 204,7 230 Rataan 173,2 218,1 204,1 206,1 208,6 Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Februari 2008. c. Kebisingan Urutan tingkat kebisingan di lokasi penelitian (dari paling rendah ke yang tertinggi) adalah: Jembatan Semanggi (68,7 – 69,5 dBA), LIPI (69,8 – 70,4 dBA), Mustika Ratu (71,8 – 72,6 dBA), BNN (74,5 – 76,3 dBA) dan Kor Lalulintas (74,6 – 76,3 dBA). Hampir semua lokasi penelitian telah melebihi ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh MENLH tahun 1996 yaitu sebesar 70 dBA. Rincian hasil pengukuran kebisingan di lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil pengukuran kebisingan di lokasi penelitian. No 1 2 3 4 5 Lokasi BNN Kor Lalulintas LIPI Mustika Ratu Jembatan Semanggi Baku Mutu Lingkungan (PP 41/99) Kebisingan (dBA) 75.4 75.45 70.1 72.2 69.1 70 Keterangan: diukur pada tanggal 13 Februari 2008. Sumber kebisingan di lokasi penelitian relatif seragam. Hampir semua lokasi memiliki kebisingan yang sudah melewati ambang batas baku mutu kebisingan. Kebisingan yang melampaui ambang batas di lokasi BNN, Kor Lalulintas, LIPI, Mustika Ratu, dan Jembatan Semanggi. Tingkat kebisingan yang terjadi di lima lokasi umumnya disebabkan oleh kepadatan lalu lintas. Tingkat 87 kepadatan lalulintas di Bundaran Semanggi pada bulan Juli 2010 adalah, seperti terlihat pada Gambar 12. Unit Gambar 12. Hasil pengamatan 23 Juli 2010, data kendaraan yang melintas di Bundaran Semanggi Juli 2010. Sedangkan parameter kebisingan (dBA), wilayah yang memiliki tingkat pencemaran tinggi dan telah melewati nilai ambang batas seluruh lokasi pengambilan sampel seperti yang tersaji pada Gambar 13. Unit Gambar 13. Hasil pengamatan 30 Juli 2010, kendaraan yang Melintas di Kuningan dan Pancoran. 88 Jumlah kendaran yang melintas di tempat yang sama pada tanggal 13 Februari 2008 dan tanggal 11 November 2011 dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Jumlah kendaran yang melintas di Kuningan dan Pancoran tanggal 13 Februari 2008 dan tanggal 11 November 2011. 13 Februari 2008 Sedan Minibus Waktu Bus 0–5 >5 0–5 Truk >5 Sepeda Motor Tron ton Jumlah Kendaraan 0–5 >5 TOTAL 08.00-10.00 413 258 1.815 207 261 283 2.964 142 2.228 4.115 6.343 12.00-14.00 502 213 2.175 298 214 539 3.686 328 2.675 5.278 7.953 17.00-20.00 512 341 2.371 283 380 334 3.473 163 2.883 4.974 7.857 TOTAL 1.427 812 6.359 788 855 1.156 10.123 633 7.786 14.367 22.153 Bus Truk 11 November 2011 Sedan Minibus Waktu 0–5 >5 0–5 >5 Sepeda Motor Tron ton Jumlah Kendaraan 0–5 TOTAL >5 08.00-10.00 1.542 659 2.360 821 174 203 11.753 7 3.902 13.697 17.599 12.00-14.00 1.118 906 4.203 914 113 357 8.755 11 5.321 11.238 16.559 17.00-20.00 2.060 2.130 4.6.23 1.831 122 219 10.764 14 6.683 15.181 21.864 TOTAL 4.720 3.695 11.186 3.566 409 1.092 31.272 32 15.906 40.116 56.022 Sumber : Hasil pengamatan Jumlah kendaran yang melintas di Kuningan dan Pancoran tanggal 13 Februari 2008 dan 11 November 2011. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahan pencemar udara yang berasal dari hasil aktivitas kendaraan bermotor seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida (SO2), timbal (Pb), debu, dan kebisingan. 2. Bahan pencemar udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor pada beberapa lokasi pengamatan di DKI Jakarta secara umum rata-rata masih berada di bawah batas ambang baku mutu udara ambient, kecuali gas 89 karbon monoksida yang telah mencapai 3592,5 (µg/Nm³) di lokasi pengamatan Jembatan Semanggi dan debu yang telah mencapai 218,10 (g/m³) di lokasi pengamatan gedung Kor Lalulintas. 3. Perkembangan jumlah kendaraan yang melintas di Kuningan dan Pancoran meningkat 200% (dalam kurun waktu 3 tahun lebih). STUDI KETERKAITAN PENYEBARAN Pb, DEBU dan CO DENGAN KESEHATAN MASYARAKAT Abstrak Jumlah kendaraan yang beroperasi di Kota Jakarta dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini menyebabkan emisi gas buang dari kendaraan bermotor juga meningkat, khususnya Pb, debu dan CO, yang akan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh adanya kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik, yaitu manajemen transportasi yang kurang tepat serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dalam menyusun sistem pengelolaan lingkungan terhadap dampak risiko pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat setempat. Metode analisis yang digunakan adalah melalui pengukuran tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dibeberapa titik pengamatan. Hasil penelitian menujukkan akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan dan dalam tubuh manusia, kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu lingkungan. Namun kandungan Pb pada manusia kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman. Untuk menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb yang berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa mengemudi, bersepeda, penerapan teknologi baru, dan penanaman vegetasi. Keyword: Penyebaran Pb, debu dan CO Pendahuluan Komponen udara terdiri dari campuran dari berbagai macam gas dengan oksigen merupakan salah satu komponennya,yaitu sekitar 20% berdasarkan volume. Gas-gas lainnya baik vang terdapat dalam jumlah besar (N 2 , COx, Ar) maupun yang terdapat dalam jumlah kecil (He, Kr, H 2 , O 3 , CH 4 dan lain-lain) bersamasama oksigen terserap melalui proses pernafasan dan mencapai paru-paru. Ketika udara yang terhirup mencapai paru-paru, oksigen diserap yang kemudian terikat dengan hemoglobin, sedangkan gas-gas lain dibuang kembali melalui hidung. Secara alamiah, udara di atmosfer bukan saja mengandung gas-gas yang bermanfaat dan gas-gas yang tidak bermanfaat, namun juga mengandung beberapa gas yang 90 91 berbahaya bagi manusia misalnya SO 2 , N0 2 , CO dan H 2 S. Meskipun demikian keberadaan gas-gas tersebut dalam keadaan alamiah kadarnya sangat kecil, sehingga tidak membahayakan bagi manusia. Kota Jakarta yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia memiliki tingkat aktivitas yang sangat tinggi yang membawa implikasi meningkatnya mobilitas penduduk, barang dan jasa, maka jumlah kendaraan bermotor juga makin meningkat. Frekuensi kendaraan di jalan raya makin meningkat, bahkan di titik-titik tertentu sangat tinggi dan menimbulkan kemacetan DKI Jakarta harus mampu melayani 20,7 juta penjelasan setiap harinya (Pemprov DKI Jakarta 2010). Dengan makin banyaknya kendaraan yang beroperasi di Kota Jakarta, maka emisi gas buang dari kendaraan bermotor juga meningkat, khususnya gas Pb dan debu. Keberadaan kadar gas-gas tersebut yang semakin meningkat di udara jalan raya juga akan menyebar akan menyebar ke daerah sekitarnya dan sehagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik, yaitu manajemen transportasi yang kurang tepat serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat setempat tentu akan makin memperburuk dampak negatif tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dalam menyusun sistem pengelolaan lingkungan terhadap dampak resiko pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Metode Penelitan a. Lokasi Penelitian Pengamatan Pb, debu dan CO dilakukan pada jalan Cawang-Semanggi dengan 5 titik pengamatan (Gambar 6) Dipilihnya 5 lokasi gedung tempat pengamatan dan pengukuran, karena 5 lokasi gedung tersebut berada di jalan Cawang – Semanggi, ramai dilalui kendaraan beroda dua dan empat, serta tujuh meter di atas permukaan laut. Pengamatan dilakukan pada siang dan sore hari dari pukul 09.00 – 10.00 WIB dan pukul 13.00-16.00 WIB. 92 b. Pengukuran Debu, Pb dan CO Pengukuran Debu, Pb dan CO dilakukan sesuai dengan prosedur standar SNI (Tabel 10). Sampling dan analisis tersebut dilakukan atas kerjasama dengan Laboratorium Terpadu, IPB, Bogor. Hasil dan Pembahasan Studi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dilaksanakan di Jalan Cawang sampai Jalan Semanggi Provinsi DKI Jakarta. Panjang jalan lokasi penelitian sekitar 12 km mulai dari arah timur menuju ke barat laut. Secara geografis jalan tersebut terletak pada 42o32’40” Lintang Selatan dan 106o57’10” Bujur Timur, terletak pada ketinggian antara 7 m sampai dengan 10 m di atas permukaan laut. Kesehatan petugas Polantas Metro Jaya yang menderita penyakit ringan batuk-batuk dan flu sebagai akibat ISPA dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Data Kesehatan Anggota Kor Lalulintas Metro Jaya Bunuh Ingin Pindah Tahun ISPA Diri Stress Tempat Tugas 2005 116 2 27 15 2006 98 30 16 2007 65 18 9 2008 43 1 11 6 2009 36 7 3 2010 27 2 2 Sumber : Direktorat Kesehatan Polda Metro Jaya Data masyarakat yang meninggal akibat CO selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Korban CO dan Tempat Kejadian Perkara Tahun Korban CO 2005 3 2006 1 2007 1 2008 1 2009 2 2010 1 Sumber : Didserseum Tempat Ancol (Jakarta), Bandung dan Medan Parangtritis (Jogjakarta) Losari (Makasar) Ancol (Jakarta) Ancol (Jakarta) dan Surabaya Depok 93 Luas obyek penelitian adalah = 9.000 m x 280 m = 2520.000 m2 atau 252 ha. Daerah seluas itu diurus oleh dua walikota kepala pemerintah wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Wilayah itu terbagi menjadi 6 kecamatan yaitu Kecamatan Tebet, Kecamatan Pancoran, Kecamatan Mampang, Kecamatan Setia Budi, Kecamatan Kebayoran Baru dan Kecamatan Tanah Abang. Jumlah gedung dan perkantoran yang telah dibangun oleh pemerintah sebanyak 870 gedung dan swasta 516 gedung. Untuk mengetahui besarnya penyebaran Pb, debu dan CO terkait dengan kesehatan di lokasi studi, maka sebagai parameter adalah besarnya Pb, debu dan CO yang menempel dan terjerap pada tanaman dan manusia. Kandungan Pb pada Tanaman. Berdasarkan hasil survey diperoleh data mengenai jumlah pohon peneduh jalan raya Cawang – Semanggi dapat diuraikan sebagai berikut : - Pada ukuran pohon (diameter > 40 cm) = 617 - Pada jenis ukuran tiang (diameter < 42 cm) = 910 - Pada jenis ukuran pancang (diameter < 10 cm) = 1340 Jumlah = 2867 Pohon Hasil penelitian kondisi kimiawi terhadap parameter Pb yang menempel pada daun tanaman di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kandungan Pb pada daun dari masing-masing jenis tanaman menunjukkan nilai yang beragam, kandungan Pb tertinggi (Pb tanaman pada jarak kurang 10 m dari tepi jalan) terdapat pada tanaman Sweitenia mahagoni sebesar 6,053 μg/Nm3 dan terendah pada tanaman Acacia mangium sebesar 4,155 μg/Nm3. Sedangkan pada jarak 1020 m dari tepi jalan, kandungan Pb tertingi terdapat pada tanaman Sweitenia mahagoni μg/Nm3 dan Kandungan Pb terkecil terdapat pada jenis tanaman Minusops elengi sebesar 3,470 μg/Nm3, secara rinci kandungan Pb masing-masing jarak tanam dan jenis tanaman tersaji pada Tabel 37. 94 Tabel 37. Hasil pengukuran kandungan Pb di setiap jenis tanaman penghijauan tepi jalan tol Cawang – Semanggi (Februari 2008) Acacia mangium Rerata kandungan Pb tanaman pada jarak kurang 10 m (ppm) 4,155 Minusops elengi 5,735 3,470 Sweitenia mahagoni 6,053 4,798 Jenis Tanaman Rerata kandungan Pb tanaman pada jarak 10 – 20 m (ppm) 3,933 Sumber : Hasil pengukuran. Kandungan Pb pada daun dari jenis tanaman yang sama menunjukkan jenis tanaman yang ditanam pada jarak tanam kurang 10 m lebih besar dari kandungan Pb tanaman pada jarak tanam 10 sampai dengan 20 m dari tepi jalan. Kandungan Pb yang berbeda pada tanaman yang sama, tetapi jarak dari tepi jalan tol berbeda sesuai dengan Fardiaz (1992), dan manyatakan bahwa, semakin jauh dari jalan raya, kandungan Pb di daerah pertanian akan makin rendah. Hal ini disebabkan oleh ukuran partikel Pb di udara yang semakin jauh jaraknya dari sumber pencemar, maka ukurannya akan semakin kecil. Pada jarak yang jauh dari sumber pencemar, Pb yang diakumulasikan oleh daun semakin sedikit. Hal ini disebabkan jarak yang ditempuh perjalanan Pb dalam perjalannya menuju daun tanaman cukup jauh sehingga Pb jatuh terlebih dahulu ke tanah sebelum sampai ke tanaman yang dituju. Pb yang terjerap pada tanaman berdasarkan hasil pengamatan dengan jenis tanaman yang digunakan adalah eceng gondok (Eichornia crassppes), kangkung (Ipomoca reptans) dan genjer (Limmochoris flava). Ketiga jenis tanaman ini diduga memiliki kemampuan dapat menjerap Pb yang lebih besar dari lingkungan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Sampel ketiga jenis tanaman ini di tempatkan di Gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), Kor Lalulintas, di Gedung Mustika Ratu,Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jembatan Semanggi Jakarta dan kontrol pengamatan di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranang Siang Bogor selama 3 bulan musim kemarau dan musim hujan. Kandungan Pb dari tiga jenis tanaman tersebut tersaji pada Tabel 38. 95 Tabel 38. Penjerapan kandungan Pb pada sampel tanaman contoh di lokasi penelitian selama musim kemarau dan musim hujan tahun 2008. K H K H K H K H Jembatan Semanggi K H 4 5.5 3.8 5.1 4 4.3 3.3 5.4 4.1 Kangkung 3.8 4.8 4 4.5 3.7 4 3 4.3 Genjer 3.3 4.3 3.2 3.8 3.5 3.9 2.5 3.4 Jenis Tanaman Eceng Gondok BNN Lalulintas Mustika Ratu LIPI IPB (Bogor) (Kontrol) K H 6 2.3 3.5 4 5.9 2 3.1 3.8 4.9 1.8 2.1 Keterangan: K= Musim Kemarau, H = Musim Hujan Tabel 38, terlihat ada perbedaan penyerapan Pb antara musim kemarau dan musim hujan masing-masing tanaman percobaan tahun 2008. Pada musim hujan konsentrasi Pb pada ketiga jenis tanaman lebih besar dibanding musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pada musim hujan kandungan air dalam tanah lebih tinggi dibandingkan di musim kemarau, sehingga ion Pb yang masuk ke jaringan tanaman lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau. Di sekitar Kampus IPB Baranang Siang, kandungan Pb baik pada tanaman eceng gondok, kangkung, dan genjer semakin meningkat dari musim kemarai ke musim penghujan walaupun kandungan Pb terlihat lebih rendah dibandingkan dengan lokasi pengukuran lainya. Untuk lokasi pengukuran di sekitar Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mustika Ratu, Kor Lalulintas, dan BNN memperlihatkan fluktuasi kandungan yang hampir sama pada tiga lokasi baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Jika dibandingkan dengan nilai ambang baku mutu udara ambien yang diperkenankan khususnya Pb sebesar 0,06 mg/m3 hasil analisis diatas, terlihat kandungan Pb dalam tanaman telah melewati batas ambang baku mutu udara ambien yang diperkenankan. Ini menunjukkan bahwa tanaman mempunyai kemampuan untuk menyerap ion Pb dalam jumlah yang besar dan selanjutnya akan diakumulasikan dalam tubuh tanaman melalui proses-proses fisiologi yang berlangsung dalam tanaman itu sendiri. Apabila Pb ini terjerap pada tanaman yang dapat dikonsumsi oleh manusia, maka keberadaan Pb dalam tanaman tersebut menjadi ancaman bagi kesehatan manusia. 96 Kandungan Pb pada Rambut Polisi yang bertugas di Lokasi Penelitian Kandungan Pb pada rambut manusia (petugas kepolisian) dibedakan atas lama bekerja di lokasi (lama bekerja 0 sampai dengan 1 tahun, 5 sampai dengan 10 tahun, dan 10 sampai dengan 15 tahun) dengan konsentrasi di lima lokasi masing-masing di BNN, Kor Lalulintas POLRI, Mustika Ratu/Pancoran, LIPI dan Semanggi. Hasil penelitian kandungan Pb pada rambut pekerja tersaji pada Tabel 39 dan Gambar 14. Tabel 39. Hasil analisis kandungan Pb pada rambut polisi yang bertugas di sepanjang jalan Cawang-Semanggi. Lama Bekerja 0–5 Tahun 5 – 10 Tahun 10 – 15 Tahun BNN Kor Lalu Lintas POLRI Lokasi Mustika Ratu/ Pancoran 0.25 0.3 0.51 0.05 0.15 0.73 0.81 0.92 0.08 0.33 1.01 0.98 1.02 0.1 0.85 LIPI Semanggi RATARATA 0,252 0,574 0,792 Sumber: Hasil analisis 2007 Gambar 14. Kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan Cawang-Semanggi. Tabel 39 dan Gambar 14 menunjukkan bahwa kandungan Pb pada rambut pekerja di sepanjang jalan Cawang sampai Semanggi meningkat dengan semakin lamanya orang yang bekerja di lokasi pengamatan yaitu di BNN, Kor Lalulintas, 97 Mustika Ratu, LIPI dan Semanggi. Ini menunjukkan bahwa lamanya waktu tinggal di suatu lokasi pencemaran Pb, orang yang bersangkutan akan makin banyak menyerap partikel Pb ke dalam tubuh yang kemudian diakumulasi pada rambut. Kenaikan konsentrasi Pb terjadi lebih cepat pada lokasi Semanggi, Kor Lalu lintas POLRI, dan Mustika Ratu, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah adalah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tingginya konsentrasi Pb di dalam rambut di empat lokasi tersebut di atas disebabkan oleh tingginya tingkat kemacetan kendaraan terutama pada jam-jam sibuk. Konsentrasi Pb pada rambut di lokasi-lokasi penelitian masih relatif kecil (lebih kecil dari 2,8-4,8 ppm) yang menunjukkan tingkat pencemaran Pb terhadap orang-orang yang bekerja di lokasi tersebut masih aman. Namun demikian, konsentrasi ini akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu dan tingkat kemacetan di setiap lokasi pengamatan sehingga pada suatu saat keberadaan Pb akan menjadi tidak aman bagi orang-orang yang berada di sekitar lokasi studi karena dapat mengganggu kesehatan mereka. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut di atas, terdapat kecenderungan terjadinya kenaikan konsentrasi Pb pada rambut dengan semakin lamanya orang bekerja di suatu lokasi yang tercemar dengan logam berat Pb. Hal ini disebabkan karena lama pemaparan zat pencemar terhadap tubuh seseorang dipengaruhi oleh waktu pemaparan. Kandungan logam berat Pb pada rambut tidak mutlak berasal dari makanan, minuman ataupun udara yang terhirup masuk ke dalam tubuh, tetapi bisa juga menempel langsung di rambut, bila udara di lingkungan mengandung Pb. Hubungan antara lokasi dengan konsentrasi Pb dalam rambut disajikan seperti dalam Gambar 14. Dari Tabel 35 telah menunjukan signifikan antara kesehatan anggota Polantas dengan penemuan Pb pada rambut. Kesehatan warga masyarakat Pal Merion pada tahun 2005 yang menjerab Pb, menurut Satriyo (2004) telah membuat warga menjadi pemarah dan pada anggota kepolisian Trigger Happy. Gambar 15, menunjukkan bahwa hubungan antara lokasi dengan konsentrasi Pb pada rambut dapat dijelaskan semakin lama tercemar logam Pb, maka konsentrasi Pb dalam rambut semakin tinggi. 98 Gambar 15. Grafik hubungan antara lokasi dengan konsentrasi Pb pada rambut. Unsur Timbal / Pb masuk ke dalam tubuh terutama melalui saluran pencernaan dari makanan dan minuman, tetapi juga melalui pernafasan atau melalui kulit dari udara yang tercemar Pb. Semua bahan pangan alami mengandung Pb dalam konsentrasi yang kecil dan dalam proses mempersiapkan makanan konsentrasi Pb mungkin akan bertambah. Pb di dalam rambut, selain berasal dari makanan, udara, dan air, Pb dalam rambut dapat berasal dari cat rambut yang mengandung asetat dan dapat juga berasal dari debu (Cohen dan Roy 1991). Sumber utama pencemar Pb di udara adalah kendaraan bermotor, industri dan sumber yang ada secara alamiah. Rustiawan (1994) menyatakan 60 sampai 70% pencemar udara di perkotaan berasal dari kendaraan bermotor, dan salah satunya adalah Pb. Emisi alami juga melepaskan Pb terutama akibat erosi tanah dan aktivitas gunung berapi. Hasil Penelitian Pb di tahun 2011 Gambar 16, 17, 18. Perbandingan hasil penelitian Pb (ppm), debu (g/m³) dan bising (dBA) pada tahun 2008, 2011 dan Desember 2011. 99 Pengukuran udara tanggal 13 Februari 2008. Debu (ug/Nm3) Kebisingan (db A) Pb (ug/Nm3) Gambar 16. Hasil pengamatan,pengukuran udara tanggal 13 Februari 2008. Pengukuran udara tanggal 11 November 2011 Gambar 17. Pengukuran udara tanggal 11 November 2011 100 Pengukuran udara tanggal 5 Desember 2011 Gambar 18. Hasil pengamatan pengukuran udara tanggal 5 Desember 2011. Adapun hubungan antara peningkatan pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor terhadap kesehatan manusia khususnya penyakit ISPA seperti pada Tabel 40 dan Gambar 19. Tabel 40. Kasus penyakit ISPA akibat peningkatan jumlah kendaraan di beberapa lokasi pengamatan di Jakarta tahun 2008. No. Lokasi Rata-rata Jumlah kendaraan per bulan Kasus Penyakit ISPA 1. BNN 885,6 1,346 2. Kor Lalulintas 871,2 489 3. LIPI 883,44 1,489 4. Mustika Ratu 873,36 950 5. Jembatan Semanggi 892,08 1,907 101 relasi antara jumlandaraan erbulan pada lokasi berbeda (x) dengan Kasus Penyakit ISPA (y) Gambar 19. Regresi dan Korelasi antara jumlah peningkatan penyakit ISPA di Jakarta. kendaraan terhadap Berdasarkan hasil analisis regresi linier seperti pada Gambar 19 menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier antara jumlah kendaraan bermotor di Kota DKI Jakarta dengan gangguan kesehatan masyarakat dimana parameter gangguan kesehatan masyarakat yang digunakan adalah penyakit Inpeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Dengan kata lain semakin banyak kendaraan yang beroperasi maka gangguan kesehatan manusia akan semakin meningkat dengan persamaan regresi Y = 0,059X – 51.086 dan koefisien korelasi R2 = 91,98 %. Lokasi pengamatan yang memiliki kasus gangguan kesehatan ISPA tertinggi lebih banyak terjadi di Semanggi dengan jumlah kasus mencapai 1.907 kasus, sedangkan jumlah kasus tersendah terjadi di lokasi pengamatan Kor Lalulintas MT. Haryono dengan jumkah kasus yang hanya mencapai 489 kasus. Sedangkan hubungan antara jumlah kendaraan bermotor terhadap peningkatan gangguan pendengaran seperti pada Tabel 41 dan Gambar 20. 102 Tabel 41. Hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan gangguan pendengaran masyarakat pada beberapa lokasi penelitian. No. Lokasi Bising (dBA) Rata-rata Jumlah kendaraan per Jam Kasus Gangguan pendengaran 1. BNN 74,5-76,3 885,6 67 2. Kor Lalulintas 74,6-76,3 871,2 9 3. LIPI 69,8-70,4 883,44 65 4. Mustika Ratu 71,8-72,6 873,36 26 5. Jembatan Semanggi 68,7-69,5 892,08 80 ubungan antara JumlahKenraan pada setiap Loaksi Berbeda (x) dengan Gangguan Pendengaran (y) Gambar 20. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisis regresi linier seperti pada Gambar 20 juga menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier antara jumlah kendaraan bermotor di Kota Jakarta dengan gangguan pendengaran masyarakat di Kota Jakarta. Dengan kata lain semakin banyak kendaraan yang beroperasi maka gangguan pendengaran akan semakin meningkat dengan persamaan regresi Y = 0,0034X – 2.942,1 dan koefisien korelasi R2 = 95,56 %. 103 Untuk kasus gangguan pendengaran, kasus terbanyak terjadi di lokasi pengamatan sekitar Semanggi dengan jumlah kasus sekitar 80 kasus gangguan pendengaran dan terendah di lokasi pengamatan Kor Lalulintas MT. Haryono. Pb sebagai salah satu unsur polutan udara sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Mengingat bahayanya yang sangat besar bagi kesahatan, maka mutlak dikurangi penggunaannya. Beberapa produk bensin tanpa Pb sudah diperkenalkan mulai tahun 1985, yaitu Super TT. Super TT adalah bahan bakar dengan bilangan oktan (RON) sebesar 98. Jenis lain yaitu Petro 2T yang dirancang khusus untuk sepeda motor, adalah bensin tanpa Pb yang dikeluarkan oleh PT Sigma Rancang Perdana. Di awal tahun 1998, produk bensin tanpa Pb yang lain adalah BB2L (Bensin Biru 2 Langkah) dengan harga yang lebih murah daripada premium. Jika membandingkan terhadap bilangan oktan, Super TT mempunyai RON 98, premium 88 dan premix 94. Artinya produk tanpa Pb pun mampu memperpanjang oktan melebihi bensin yang masih mengandalkan unsur Pb. Bensin premium sendiri masih mengandung TEL 0,3 l dan premix 0,45 l (KPBB 1999). Kesimpulan 1. Masih dapat dibuktikan adanya jerapan Pb pada tanaman eceng gondok 5.05, kangkung 4,05 dan 4,35 genjer pada penelitian tahun 2008. 2. Pb yang terjerap pada rambut petugas ditandai dengan waktu lamanya mereka bertugas. Lama bertugas 10 sampai 15 tahun di jalan tol terdapat 0,792 dibandingkan dengan 0,252 yang baru bertugas selama kurang dari lima tahun. 3. Regresi dan korelasi antara jumlah kendaraan berlalulintas dengan gangguan pendengaran yaitu menggambarkan semakin banyaknya berlalulintas maka makin besar gangguan pendengaran pada masyarakat disekitarnya. 4. Pb digambarkan menurun sebagai hasil dari regulasi larangan mobil berpolutan masuk kota (Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005). KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, debu dan CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT Abstrak Dalam rangka merencanakan kebijakan pembangunan moda transportasi yang tepat di masa akan datang, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah pengendalian lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di Jakarta. Penyusunan kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat diharapkan bisa menjadi masukan dalam membuat suatu kebijakan yang tepat di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara. Metode analisis dilakukan melalui pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process). Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah pembatasan usia kendaraan penyebab polusi. Aspek mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu mendapat prioritas kedua dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah keberadaan vegetasi untuk menyerap polutan. Aktor yang dianggap memiliki peranan paling penting dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta adalah Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan Darat. Keyword: Kebijakan pengelolaan lingkungan udara, AHP (Analytical Hierarchy Process). Pendahuluan Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan keberadaan benda-benda lainnya, sehingga udara merupakan sumber daya alam yang perlu dilindungi dan pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana. Untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan maka pengendalian pencemaran udara menjadi sangat penting dilakukan. Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Seiring dengan pesatnya laju pembangunan di Kota DKI Jakarta, maka frekuensi kendaraan di jalan raya juga semakin tinggi, yang menyebabkan laju emisi gas buang dari kendaraan juga semakin meningkat. Dengan demikian kadar 104 105 gas-gas tersebut di udara di jalan raya semakin meningkat dan akan menyebar ke wilayah di sekitarnya dan sebagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat tentu akan memperburuk dampak negatif yang ditimbulkan. Dalam rangka merencanakan kebijakan pembangunan transportasi yang tepat di masa akan datang, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah pengendalian lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di DKI Jakarta. Perencanaaan kebijakan pengendalian pencemaran udara tersebut tentunya memerlukan berbagai masukan dan informasi dari berbagai pihak yang terkait. Pengkajian dan perumusan kebijakan ini tentunya akan dikaitkan dengan kegiatan pembangunan di berbagai sektor lainnya. Penyusunan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara ini diharapkan bisa menjadi masukan dalam membuat suatu kebijakan yang tepat di masa yang akan datang. Penelitian bertujuan untuk kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor khususnya Pb, debu dan CO. Metode yang digunakan dalam menyusun kebiakan pengelolaan pencemaran udara ini adalah Analisis Hirarki Proses (AHP). Menurut Saaty (1980), teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). Struktur Hirarkhi AHP Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Wilayah Dampak Pencemar Udara di Jakarta tersaji pada Gambar 21. 106 Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pb dan debu dari sektor transportasi darat Fokus Kesehatan Masyarakat Masyarakat Kesadaran Masyarakat Dinas Perhub DLHK Pemanfaatan Kend. Layak Pakai Regulasi Kendaraan yang Rendah emisinya Untuk Masuk Kota Keberadaan RTH Pengawasan Secara Berkala Kepolisian Penertiban Sumber Pencemar Pembatasan Usia Kendaraan Penyebab Polutan Jumlah Kendaraan Bermotor Dinas Kesehatan Mempertahankan RTH Perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Faktor Aktor Memperketat Perijinan Kend Pemberian Insentif & Disinsentif Pengusaha Angkutan Umum Aspek Alternatif Kebijakan Gambar 21. Hirarkhi AHP kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor transportasi darat. Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu dan CO Dari Sektor Transportasi Darat Alternatif Keputusan Untuk Menyusun Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu dan CO Dari Sektor Transportasi Darat Di Jakarta Kendaraan bermotor sebagai salah satu sarana transportasi di daerah, merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran udara. Emisi gas buang yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara yang berasal dari sumber yang bergerak. Oleh karena itu emisi gas buang kendaraan bermotor harus dikendalikan agar tidak mencemari udara. Begitu juga dengan pencemaran udara yang diakibatkan dari sumber tidak bergerak yang berasal dari kegiatan industri atau usaha lain. Masing-masing sumber pencemaran menghasilkan bahan pencemar yang berbeda-beda baik jumlah, jenis dan pengaruhnya bagi kehidupan. Pencemaran udara yang terjadi sangat ditentukan oleh mutu bahan bakar yang digunakan, teknologi yang digunakan, serta pengawasan yang dilakukan. 107 Agar dapat melindungi mutu udara ambient diperlukan upaya-upaya pengendalian terhadap sumber-sumber pencemaran udara yang berguna untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana untuk mencapai mutu udara yang memenuhi syarat bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengendalian pencemaran udara ini dilakukan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan yang meliputi upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan mutu udara dan upaya pencegahan terhadap sumber pencemar. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa pembatasan usia kendaraan penyebab polutan memberikan nilai skoring tertinggi yaitu sebesar 0,38 dan selanjutnya perluasan areal RTH, mengatur rute kendaraan berpolutan untuk masuk kota dan pemberian insentif dan disinsentif pengusahan angkutan umum kota dengan nilai skoring masing-masing 0,228 ; 0,219 dan 0,173 seperti terlihat pada Gambar 22. Gambar 22. Hirarkhi AHP Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu dan CO Dari Sektor Transportasi Darat di Jakarta. 108 Apabila dilihat dari nilai skoring masing-masing alternatif kebijakan, maka alternative kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah pembatasan usia kendaraan penyebab polusi karena memberikan nilai skoring yang paling tinggi dibandingkan alternative kebijakan lainnya. Alternatif ini bisa menjadi alternative kebijakan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi dampak pencemaran udara di Jakarta akibat kendaraan bermotor. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kor Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Direktorat LLAJR Ditjen Hubdar 1998) yang menyebutkan bahwa jumlah gas buang yang diemisikan oleh kendaraan menurutnya ditentukan oleh kecepatan kendaraan, umur kendaraan dan perawatan kendaraan. Dari hasil analisis Hirarki Proses dapat memberikan pilihan atau pendapat kepada skenario: 1. Pengurangan mobil bertimbal dengan regulasi kendaraan bremisi rendah di ijinkan masuk kota DKI Jakarta. 2. Perluasaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 3. Pembatasan usia pakai kendaraan. 4. Regulasi pemberia insentif dan disinsetif kepada pengusaha angkutan yang menggunakan kendaraan beremisi rendah. Menurut Takashi moguchi (1999) ada beberapa pertimbangan yang mendasari bahwa alternative kebijakan pembatasan usia kendaraan ini menjadi prioritas utama, yaitu tingkat kelayakan dan umur dari kendaraan sangat mempengaruhi kualitas udara dalam hal ini asap kendaraan (knalpot) yang dihasilkan. Selain itu pembatasan umur kendaraan bermotor dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah kendaraan bermotor, sehingga kebijakan ini dapat mengurangi kemacetan di kota Jakarta, khususnya di lokasi penelitian. selain dapat menekan jumlah kendaraan bermotor, cara itu dapat menstabilkan jumlah kendaraan bermotor dalam kurun waktu tertentu. Terutama jika cara itu bisa diberlakukan untuk angkutan umum. Jika jumlah kendaraan stabil atau bahkan bisa dikurangi, dengan sendirinya asap akan berkurang. 109 Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di Jakarta adalah pemanfaatan kendaraan layak pakai, melakukan pengawasan secara berkala, melakukan penertiban pada sumber pencemaran, Mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Memperketat Perijinan Kendaraan dan industry. Berdasarkan hasil analisis AHP, memperlihatkan bahwa Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup memegang peranan sangat penting dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari nilai skoring yang tertinggi pada kedua aktor ini yaitu sebesar 0,2225. Selanjutnya diikuti oleh Masyarakat, Dinas Perhubungan dan Polisi dengan nilai skoring masing-masing 0,201; 0,141; 0,108. Pencemaran udara merupakan masalah yang dapat bersifat lokal, nasional dan bahkan internasional. Untuk mengendalikannya perlu pendekatan yang meliputi berbagai lintas sektor. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian yang pokok dalam usaha dibidang kesehatan seperti dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain perlu dilakukan di tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom pasal 2, ayat (3) bidang kesehatan dalam hal pengendalian dampak pencemaran udara merupakan salah satu upaya pengawasan epidemiologi dan pemberantasan penyakit yang berbasis lingkungan, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Tuberkulosis Paru, serta kejadian berbagai kasus pencemaran yang merupakan “New Emerging Diseases” seperti: legionellosis dan sick building sindrom. Implementasi Perda No.2 tahun 2005 Sebagai Landasan Hukum oleh Pemda DKI Jakarta dalam Pengendalian Pencemaran Udara. Terlaksananya program car freeday setiap bulan, larangan merokok di tempat umum, dan kendaran umum, regulasi kendaran bertonase lebih dari 30 ton 110 melintas dalam kota pada siang hari adalah antara lain bentuk-bentuk pengelolaan pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta. Kegiatan ini secara terus menerus dipantau oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta. Adapun tataran kewenangan pengawasan dan kebijakan pengelolaan pencemaran udara adalah sebagai berikut: 1. Pusat Pada dasarnya kewenangan Pusat tersebut lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dan sangat terbatas pada kewenangan pelaksanaan. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 Pasal 2 ayat (2), Pemerintah Pusat berwenang dalam pengaturan pengendalian dampak pencemaran udara, terutama didalam penentuan pedoman, akreditasi, dan surveilans epidemiologi. Pencemaran udara yang terjadi lintas propinsi dan internasional menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, termasuk pencemaran udara lintas Kabupaten / Kota yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah daerah setempat maupun propinsi. Selanjutnya sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1277/Menkes/SK/XI/2001 tetang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kesehatan RI didalam menyelenggarakan pengendalian dampak pencemaran udara mempunyai fungsi menyiapkan bahan kebijakan teknis, penyusunan standar teknis, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta penyiapan evaluasi di bidang dampak pencemaran udara. 2. Propinsi DKI Jakarta Sesuai dengan pembagian kewenangan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000, pasal 3 ayat (1) dalam penanggulangan dampak pencemaran udara Propinsi berwenang : 1. Melaksanakan surveillans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa, 111 2. Melaksanakan penyuluhan dan kampanye. Apabila kabupaten / kota tidak mampu melaksanakan pengendalian pencemaran udara di wilayahnya, menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda nomor 2 tahun 2005 sebagai Dasar Hukum Manajemen Pengendalian Udara. 3. Kabupaten / Kota Semua kegiatan pengendalian pencemaran udara yang bukan wewenang pemerintah pusat dan propinsi menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten / kota. Menteri Kesehatan RI melalui Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara (2002) menjelaskan bahwa Pembinaan pengendalian dampak pencemaran udara dapt dilaksanakan melalui pendekatan : 1. Daerah Binaan Menentukan beberapa daerah binaan untuk melaksanakan pengawasan pencemaran udara secara intensif. Penentuan lokasi daerah binaan diprioritaskan pada daerah binaan yang telah ada yaitu daerah yang melaksanakan program kabupaten / kota sehat. 2. Program Kemitraan Menciptakan lingkungan udara bersih dengan mengikut sertakan dalam pelaksanaan program yang mendukung pengendalian pencemaran udara, seperti program langit biru. Dalam pelaksanaan kegiatannya bermitra dengan sektor yang terkait, seperti Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan lain-lain. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan yang belum ditangani oleh Kementrian Lingkungan Hidup tetapi berdampak kepada kesehatan masyarakat. 3. Promosi Kesehatan Meningkatkan promosi tentang pemeliharaan kualitas udara dilakukan melalui penetapan strategi komunikasi yang tepat sesuai dengan sasaran, seperti: seminar, lokakarya, penulisan pada media massa, media elektronik, dan media cetak. 112 4. Pendekatan Epidemiologi Mengendalikan dan menanggulangi kasus pencemaran udara dengan cara pendekatan epidemiologi, dan dilaksanakan secara lintas program serta lintas sektor. Pendekatan ini difokuskan pada simpul III dan IV, dengan tidak melupakan simpul I dan II terutama pada indoor polution, serta mengutamakan kelompok resiko tinggi, yang tinggal dipemukiman, fasilitas / sarana transportasi, tempat-tempat umum, lingkungan kerja perkantoran & industri dan lingkungan lainnya. Penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan udara antara lain adalah Tuberkulosis Paru, Infeksi Saluran Pernafasan Atas, legionellosis, kanker, kecelakaan, kardiovaskuler, gangguan sistim syaraf dan sebagainya. Pendekatan paradigma sehat adalah upaya yang menekankan kepada upaya promotif preventif dibanding upaya kuratif - rehabilitatif. Dengan demikian penyakitpenyakit dapat dicegah melalui pengendalian pada faktor sumber penyebab kejadian. Agar pengendalian lebih efisien dan efektif perlu ditetapkan suatu strategi khusus. 5. Pemberdayaan Masyarakat dan Swasta Mendorong dan mengembangkan peran serta masyarakat / swasta dalam peningkatan kualitas udara pada lingkungannya. Dalam hal ini dilakukan dengan memberikan informasi / data dampak lingkungan terhadap kesehatan dan produktivitas ekonomi masyarakat, yang dimaksudkan masyarakat adalah termasuk tokoh masyarakat, pakar dan industriawan. Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian dampak pencemaran udara mutlak diperlukan, model pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kota sehat. Di perkotaan pencemaran udara terutama bersumber dari sektor transportasi disamping sektor industri, sedangkan di pedesaan pencemaran udara berasal dari kebakaran hutan dan bahan bakar yang digunakan untuk memasak di dapur yang menggunakan kayu bakar dimana hasil sisa pembakarannya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam rangka mendorong pelaksanaan pengendalian pencemaran udara secara terintegrasi antar sektor dan program sesuai tugas, fungsi dan kewenangan 113 masing-masing, maka perlu ada koordinasi jajaran kesehatan baik di daerah Propinsi maupun daerah kabupaten / kota dalam hal ini di DKI Jakarta. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2005) ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan pencemaran udara, yaitu: a) Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll). b) Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media. c) Penegasan model kerjasama antar stake holders. d) Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk meningkatkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah. Untuk dapat melaksanakan pencegahan, pengawasan dan penanggulangan pencemaran udara, maka pada setiap kegiatan harus ada unit yang menangani masalah pengendalian pencemaran udara. Apabila dari hasil pengamatan pencemaran udara ternyata telah jauh melewati baku mutu lingkungan yang berlaku, dan juga dijumpai adanya keluhan masyarakat berupa kejadian penyakit yang diduga berkaitan dengan sumber pencemaran, maka Dinas Kesehatan setempat dapat melakukan kegiatan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. Dipihak lain Sektor Kesehatan dapat melakukan uji petik untuk mengetahui kondisi kualitas udara dan dampak kesehatan yang terjadi pada daerah yang diduga mengalami penurunan kualitas udara. Hasil uji petik oleh tingkat Pusat ini dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan pedoman, kriteria dan standar yang berkaitan dengan pengendalian dampak pencemaran udara. Sementara Saidari dari Kementrian Lingkungan Hidup dalam Iyan (2006) menambahkan, sekitar 70-80 persen kontribusi pencemaran udara di kota besar berasal dari sektor transportasi, yakni sebanyak 81 persen energi dihabiskan di sektor tranportasi. Oleh karena itu Kementrian Lingkungan Hidup telah menetapkan kebijakan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak. Meliputi pengembangan standar emisi dan kebisingan kendaraan bermotor sesuai 114 perkembangan teknologi, pengadaan bahan bakar bersih (bensin tanpa timbal, solar berkadar sulfur rendah, bahan bakar alternatif) pengembangan kapasitas daerah dan peran masyarakat melalui pemeriksaan dan perawatan kendaraan bermotor, manajemen transportasi dan mendorong peralihan transportasi ke arah angkutan masal. Ditambahkan, untuk mendorong masing-masing kota agar menjaga wilayahnya dari pencemaran, pemerintah menyelenggarakan penilaian kota bersih dan kotor. Bagi kota terbersih mendapat Adipura. Dalam penghargaan Adipura tersebut dilakukan penetapan kriteria dan indikator manajemen transportasi berkelanjutan untuk penilaian kualitas udara kota-kota besar di Indonesia. Sebagai perwujudan kewenangan yang dimilikinya, KLH telah mengeluarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa mulai tahun 2005 setiap kendaraan dengan tipe baru wajib mematuhi standar emisi EURO II, sedangkan tipe yang sedang berjalan diberi kesempatan hingga 2007. Dengan demikian, mulai 2007 setiap kendaraan yang dijual di Indonesia harus memenuhi standar EURO II. Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa titik pengamatan di Jakarta, diperoleh hasil bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara. Berbagai sumber pencemar udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor seperti Hidrokarbon (HC), Karbonmonoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO 2 ), Nitrogen Oksida (NO 2 ), Timbal dan debu, serta kebisingan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dirumuskan kebijakan “pengelolaan lingkungan pencemar udara di DKI Jakarta melalui pembatasan usia pakai kendaraan bermotor”. Menurut Syafruddin (2005), strategi pembatasan usia kendaraan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum akan lebih efektif dalam mengurangi pencemaran udara di kota Jakarta. Pembatasan usia kendaraan untuk angkutan 115 umum 10 tahun dan kendaraan pribadi 15 tahun akan mengurangi pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor sampai 30 persen. Lebih lanjut Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Effendi (2005) mengatakan, selain untuk menekan tingkat pencemaran udara, pembatasan usia kendaraan bermotor merupakan bagian dari traffic management. Dikemukakan, di beberapa negara, pembatasan usia kendaraan bermotor bukan hanya untuk mengurangi pencemaran udara, tetapi juga menekan jumlah kendaraan yang dapat berimbas pada kemacetan. Salah satu faktor besar yang mempercepat pertumbuhan lalu lintas adalah pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi. Fenomena besarnya jumlah kendaraan pribadi ini tidak akan menguntungkan dalam upaya penyelesaian sistem mobilitas perjalanan orang dan barang. Di sisi yang lain, banyaknya kendaraan berbahan bakar vosil ini akan semakin meningkatkan produksi gas-gas yang beracun serta gas yang berefek pada pembentukan efek rumah kaca. Padahal kesemerawutan lalu lintas dan tingginya tingkat polusi di Jakarta itu bersumber pada buruknya sistem manajemen lalu lintas dan longgarnya aturan layak jalan kendaraan. Contoh: adanya pembangunan sejumlah mal yang tidak diimbangi dengan pembenahan sistem manajemen lalu lintas di sekitarnya. Akibatnya, di lokasi-lokasi keramaian baru itu muncul kesemerawutan baru juga. Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman (2007), menyebutkan bahwa dapat didorong upaya perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum melalui penyediaan park and ride (fasilitas parkir di terminal atau stasiun) dan perbaikan kualitas layanan angkutan umum. Namun hal yang tak kalah penting adalah penerapan kebijakan pembatasan operasional kendaraan pribadi yang diberlakukan pada waktu yang tepat. Dengan kondisi itu, warga Jakarta akan lebih memilih menggunakan transportasi publik untuk beraktivitas, tentu saja sarana itu harus memadai dan nyaman. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi sendiri sudah banyak diterapkan di sejumlah negara seperti Thailand dan cukup efektif dalam menekan lalu lalang jumlah kendaraan di jalan. Saat ini pemerintah dinilai lebih memilih membangun jalan tol layang dibandingkan membatasi penggunaan kendaraan. 116 Padahal, paradigma membangun jalan tol di kota besar sudah ketinggalan zaman. (Nurachman 2007). Strategi pengelolaan lingkungan wilayah pencemar udara di DKI Jakarta melalui pembatasan usia pakai kendaraan bermotor ini semestinya disusun dengan mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kondisi wilayah setempat atas pertimbangan tingginya beban bahan pencemar udara dan tingkat kemacetan lalu lintas yang sudah semakin tinggi, serta tingkat kemampuan masyarakat terutama dalam melakukan peremajaan kendaraan bermotor yang dimilikinya. Ini dimaksudkan untuk memberi kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan. Untuk mendukung kebijakan pembatasan usia pakai kendaraan bermotor di Jakarta, maka dalam penerapannya harus didukung oleh beberapa hal antara lain : 1. Dukungan kelembagaan yang kuat oleh berbagai pihak yang terkait. Permasalahan yang sering menjadi hambatan dalam pengelolaan kendaraan bermotor adalah ketidak-sinkronan dan tidak terpadunya perencanaan, penyusunan program dan kegiatan, pemantauan dan evaluasi pembangunan yang dilakukan berbagai pihak terkait seperti masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Hal tersebut semakin rumit manakala masih ada fanatisme egosektoral. 2. Dukungan dana dan finansial dalam pembatasan usia kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta. Implementasi program ini sangat tergantung dari ketersediaan dana dari berbagai sumber pendanaan terutama anggaran pemerintah melalui pemberian dana insentif kepada pengusaha angkutan yang harus meremajakan kendaraannya dengan modal yang sangat minim kendaraan. Kecilnya dana yang dimiliki pemilik kendaraan bermotor menjadi faktor penyebab kurang optimalnya upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan melalui pengurangan emisi kendaraan bermotor dengan membatasi usia kendaraan yang layak pakai. 3. Penataan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Instrumen pengawasan dan pengendalian untuk perlidungan lingkungan dari beban pencemar udara akan 117 lebih optimal baik jika landasan undang-undang dan/atau peraturan undangundangan yang ada tidak menimbulkan kesenjangan khususnya yang menyangkut tentang kewenangan dan tanggung jawab, pembedaan sanksi administrasi dan sanksi pengadilan. Hal ini pula harus didukung oleh komitmen yang kuat dari aparat yang berwenang dalam penegakan hukum penerapan kebijakan pembatasan usia kendaraan. Kebijakan Pemda DKI dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Pengendalian Pb Kendaraan Bermotor Berkaitan dengan sistem pengelolaan lingkungan terutama pada lingkungan udara tercemar akibat gas buang kendaraan bermotor, berbagai upaya yang dapat dilakukan, antara lain : a. Larangan Masuk Truk dan Bis Kebijakan larangan masuk pada kendaraan-kendaraan tertentu di Jakarta telah dilaksanakan seperti melarang semua kendaraan masuk pada jalan-jalan protokol pada hari-hari tertentu, melarang kendaraan melewati jalan-jalan tertentu kecuali pada kendaraan berpenumpang tiga atau lebih pada jam-jam tertentu. Kebijakan larangan kendaraan masuk pada jalan-jalan tertentu telah lama diterapkan pada beberapa Negara seperti di Buenos Aires. Menurut Moore (2008) pada tahun 1977 Buenos Aires melarang kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Larangan ini mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota Buenos Aires setiap hari kerja. Selanjutnya menurut Moore (2008) larangan bagi mobil secara sebagian atau total sudah pula diberlakukan di sebagian besar kota besar Italia, termasuk Roma, Florensia, Napoli, Bologna, dan Genoa dan di kota-kota kecil. Dari pukul 7.30 pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan mobil-mobil pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat Roma dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di Athena, Amsterdam, Barcelona, Budapest, Kota Mekiko, dan Munich. Dalam waktu sepuluh tahun 118 mendatang Bordeaux, Prancis, berniat menghapus kendaraan bermotor dari separo jalan-jalan di kota ini, dan memberikan jalan-jalan itu pada para pejalan kaki dan pengendara sepeda. b. Larangan Parkir Larangan parkir bertujuan untuk membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah, tetapi tidak berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang boleh lewat. Perda nomor 2 tahun 2005 Kota Jakarta mengeluarkan kebijakan untuk melarang kendaraan parkir pada tempat-tempat tertentu seperti di pusatpusat keramaian, di pingir-pinggir jalan raya atau di kawasan wisata. Cara ini bertujuan untuk mengatasi berlimpahnya kendaraan di pusat-pusat keramaian sekaligus sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara. c. Mengatur Zona Lalu Lintas Mengatur zona lalu lintas juga merupakan salah satu cara menurunkan pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Ini dilakukan dengan membatasi kendaraan-kendaraan tertentu seperti truk untuk masuk ke pusat kota tetapi hanya diperbolehkan untuk melewati pinggiran kota. Menurut Moore (2008) di Gothenburg Swedia sejak tahun 1970, pemerintah setempat membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk pastel sebagai suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan menggalakkan transportasi umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal, sepeda dan moped dapat melintas dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak dapat. Berkurangnya kepadatan di pusat kota Gothenburg telah menimbulkan layanan transit yang lebih baik dan tingkat kecelakaan yang lebih rendah. d. Hari Tanpa Mengemudi Cara ini juga merupakan cara yang efektif dalam menurunkan beban pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Pada akhir 1991, Roma, Milano, Napoli, Turino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan "perang" terhadap pencemaran dengan cara membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam peraturan ini, mobil berplat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari, sedang 119 mobil berplat nomor genap dilarang berjalan hari berikutnya. Banyak pengemudi yang merasa jengkel dengan adanya kekangan dan larangan atas hak mereka untuk mengemudi, lalu mengabaikan aturan genap-ganjil ini. Dalam satu hari saja di bulan Desember, para polisi lalu lintas mencatat 12.983 pelanggaran, menilang para pelanggar aturan yang mengemudi di hari yang salah, atau yang mengubah plat nomor kendaraan mereka. Namun demikian, dengan penggalakan peraturan secara keras, menteri lingkungan hidup Italia yakin larangan mengemudi berseling hari itu dapat mengurangi polusi sebesar 20 sampai 30 persen (Moore 2008). e. Bersepeda Membiasakan diri bersepada terutama di kota-kota besar yang padat lalu lalang kendaraan bermotor selain bertujuan sebagai sarana olaha raga juga efekteif menurunkan kadar pencemaran udara karena dapat mengurangi jumlah pemakaian kendaraan bermotor. Agar upaya ini dapat berjalan dengan baik, perlu dukungan dari pemerintah untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus seperti penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan bersepeda secara lengkap dan memadai, misalnya tersedianya persewaan sepeda dengan uang jaminan yang akan dikembalikan bagi yang belum memiliki sepeda, bahkan garasi khusus sepeda dan penyediaan jalan yang khusus untuk dilalui oleh sepeda atau dengan upaya-upaya lainnya. Semua upaya tersebut dalam rangka untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu mempunyai dampak sangat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka miliki untuk sarana transportasi. f. Penerapan Pembatasan Usia Kendaraan Masuk Kota Menurut Moore (2008), sejumlah teknologi yang lebih baru menjanjikan pengurangan emisi cukup besar bila dibandingkan dengan sistem-sistem yang ada saat ini. Dengan beroperasi menggunakan zat hidrogen, beberapa temuan mutakhir ini bahkan dapat mencapai tingkat emisi nol, atau sangat mendekati nol, sampai selisihnya tak dapat diukur dengan piranti yang ada sekarang. Bahkan bila dioperasikan dengan bahan bakar fosil pun, seperti gas alam, temuan-temuan itu 120 masih mampu mencapai tingkat emisi nol untuk polutan-polutan tertentu, dan mendekati nol untuk beberapa jenis polutan lain. g. Penanaman Vegetasi Menaman vegetasi merupakan salah upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Vegetasi mempunyai kemampuan yang besar dalam mengabsorpsi bahan-bahan pencemar. Bahan pencemar yang masuk ke dalam tanaman dapat melalui poripori seperti stomata yang ada pada tanaman atau masuk melalui serapan akar. Namun permasalahan penerapan kebijakan penanaman vegetasi di kota-kota besar adalah keterbatasan lahan dimana lahan-lahan kosong di sekitar pinggiran jalan raya sudah sangat terbatas dan kebanyakan sudah tertutup oleh trotoar sehingga menyilitkan untuk menanam vegetasi. Analisis Hirarki Proses Dapat Menyusun Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Vegetasi dan manusia dapat menjadi media yang baik bagi terakumulasinya bahan pencemar udara seperti Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan bermotor. 2. Hasil penelitian menujukkan akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan menunjukan kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu lingkungan. Demikian pula dalam tubuh manusia rata-rata berada di atas batas baku mutu lingkungan, namun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman. 3. Keberadaan Pb di udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dengan mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan, dan sistem saraf pada remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa abnormal, menurunkan Intellegent Quotient (IQ) 121 pada anak–anak, menurunkan kemampuan berkonsentrasi, gangguan pernapasan, kanker paru–paru dan alergi. 4. Untuk menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa mengemudi, bersepeda, penerapan pembatasan usia kendaraan masuk kota, penanaman dan pemeliharaan vegetasi. 5. Hasil AHP menunjukan bahwa pembatasan usia kendaraan bermotor melintas di jalan tol, penanaman vegetasi / RTH, menjadi desain dalam pengelolaan pencemaran udara terhadap Pb, debu dan CO. Patokan Dengan Kota Kembar (Sister City) Pengelolaan polusi di DKI Jakarta adalah mengadopsi pada tata kelola kota Bern di Swiss dan Kota Den Hagg di Negeri Belanda. Bern mencapai indeks polutan sebesar 13,75 dan Den Hagg 42,50 dan Jakarta indeks polutannya mencapai 133,75 (www.numbeo.com./pollution). Pencapaian yang mendekati sempurna sesuai dengan Sister City adalah suatu keniscayaan, maka dari itu disusunlah pilihan-pilihan atau option yang mendekati kota Jakarta sebagai Ecocity atau kota berwawasan lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kerangka pilihan 5 tahun kedepan yaitu tahun 2012-2017 setara dengan kota Kuala Lumpur tahun 2011 index sebesar 70 dan DKI Jakarta 87,50. 2. Untuk 10 Tahun kedepan yaitu tahun 2012-2022 kerangka pilihan jatuh pada kota Singapura yakni sebesar 62,50 dan Jakarta 70. Kebijakan-kebijakan yang di lakukan oleh kota Kuala Lumpur dan Singapura untuk mengurangi pencemaran udara. 1. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Kuala Lumpur: a. Mobil besar yang bertonase lebih dari 25 ton keatas tidak boleh masuk kota. b. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua. 122 c. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb). d. Adanya pengecekan kendaraan untuk emisi gak buang / knalpot. (Sumber : Perda nomor 5 Tahun 2005) 2. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Singapura: a. Adanya regulasi ketat oleh pemerintah. b. Tidak boleh membeli atau memiliki kendaraan, jika si pembeli tidak mempunyai tempat untuk parkir kendaraannya. c. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua. d. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb). e. Pajak kendaraan di Kota Singapura bersifat progresif dan satu keluarga hanya boleh memiliki satu kendaraan dan tidak boleh lebih dari satu. f. Kendaraan berat tidak boleh masuk kota, karena kota Singapura untuk angkutan berat menggunakan angkutan kereta api / laut. (Sumber : Perda nomor 5 Tahun 2005) Perbedaan mendasar antara kota Jakarta dengan Kuala Lumpur adalah dibedakan dari lokasi geografinya, dimana Kuala Lumpur berada didataran tinggi sedangkan kota Jakarta didataran rendah (dengan pantai), sedangkan kota Singapura walapun sama-sama berada di tepi pantai, namun Singapura berhasil melakukan dalam mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kebijakan penguranan polusi udara Untuk menghitung tingkat pencemaran CO di cawing-Semanggi dapat diuraikan sebagai berikut: a. Berdasarkan pengamatan satu mobil dapat menempuh jarak 1 (satu) km pada saat kemacetan memerlukan bahan bakar 0,075 ml premium/km. Dengan perhitungan 1 (satu) jam mobil dapat menempuh jarak 5 km. Jadi per 5 (lima) jam mobil memerlukan 0,375 ml. Jumlah mobil yang melintas di daerah Cawang-Semanggi adalah 1600 kendaraan, sehingga dalam 1 (satu) jam bahan bakar yang digunakan untuk menempuh jarak 5 km/jam adalah 600 liter/jam. 123 b. Berdasarkan pengamatan tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil) dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm perkendaraan, dengan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut adalah 1600 mobil. Maka dapat dihitung dalam setahun kendaraan yang melintas di Cawang-Semanggi mengeluarkan CO sebanyak 474.864.662,0690 µg/Nm³ pertahun. Berdasarkan dengan perhitungan maka diperkirakan CO pada tahun 2016 kota DKI Jakarta setara dengan Kuala Lumpur dengan index besar 73. Untuk memperdalam dan memprediksi polutan udara kota DKI Jakarta setara Kuala Lumpur dari tahun 2011 sampai dengan 2016 yaitu selama 5 tahun dengan setiap tahunnya jumlah kendaraan di DKI Jakarta naik 30% dapat dilihat pada Table 42. Tabel 42. Kondisi udara di DKI Jakarta dengan Kuala Lumpur untuk 5 tahun mendatang. Tahun 2016 mobil yang melintasi daerah Cawang-Semanggi Mobil Pertahun 2.788.224 Perbulan 232.352 Perhari 11.617,6 Perjam 968,13 Jumlah CO yang dikeluarkan oleh kendaraan berbahan bakar premium pada mobil Pertahun Perbulan Perhari Perjam 287.332.812,47 23.944.401,04 1.995.366,75 99.768,34 Sumber : Hasil penelitian Berdasarkan pengamatan Tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil) dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm per kendaraan, dengan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut mengalami kenaikan setiap tahunnya, adapun kenaikan jumlah kendaraan yang melintas di daerah CawangSemanggi sebesar 60% dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2016 dan mengalami penurunan untuk emisi gas buang / kenalpot. Sehingga dapat diperkirakan dalam setahun kendaraan yang melintas di daerah Cawang-Semanggi mengeluarkan CO sebanyak 287.332.812,47 µg/Nm³ pertahun. 124 Seperti halnya Kota Kuala Lumpur apabila DKI Jakarta dibandingkan dengan Singapura waktu ini pencapaian kebersihan udara akan terjadi pada tahun 2021 adapun uraiannya Table 43 sebagai berikut. Tabel 43. Kondisi udara DKI Jakarta dengan Singapura untuk 10 tahun mendatang. Pertahun 170.081.664 Perbulan 14.173.472 Perhari 708.674 Perjam 59.056 Jumlah CO (µg/Nm³) yang dikeluarkan oleh kendaraan berbahan bakar premium pada mobil Pertahun Perbulan Perhari 17.527.301.560,58 1.460.608.463,38 121.717.371,95 Perjam 6.085.868,60 Berdasarkan pengamatan Tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil) dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm per kendaraan, dengan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut mengalami kenaikan setiap tahunnya, adapun kenaikan jumlah kendaraan yang melintas di daerah CawangSemanggi sebesar 60% dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2021 dan mengalami penurunan untuk emisi gas buang/knalpot. Sehingga dapat di perkirakan dalam setahun kendaraan yang melintas di daerah Cawang-Semanggi mengeluarkan CO sebanyak 17.527.301.560,58 µg/Nm³ pertahun. Pencapaian Target Agar Sesuai Dengan Kadar Udara Di Sister City Yaitu Kota Bern dan Den Haag Adalah Cukup Panjang Terrealisasinya. Pencapaian targetnya antara lain adalah melalui permodelan kebijakan, regulasi pemerintah daerah DKI Jakarta dan pembatasan kendaraan masuk kota, hal itu digambarkan sebagai berikut : Model kebijakan yang akan diaplikasikan dalam upaya pengurangan polusi udara Cawang-Semanggi adalah sebagaimana tertera pada gambar 23. 125 INPUT OUTPUTS Kondisi aktual Aktor : Masyarakat, DLHK, Dinas Kondisi Prediksi DEKOMPOSISI Jl. M.T Haryono Kor Lantas Polri Udara Bersih : 1. BBG 2. Bensin tanpa timbal 3. Cek emisi gas buang/ kenalpot 4. Larangan kendaraan tua 5. Larangan kendaraan solar Pencemaran Udara Knalpot/emisi kendaraan Air : 1. Saluran air langsung menuju gorong-gorong Kedaraan macet : Jenis dan Jumlah Hewan : 1. Unggas : Burung-burung tidak ada Manusia : 1. Petugas : Polisi, pengemis Industri 2. Air tidak dikonsumsi Penurunan Kualitas Udara 2. Penjualan / pedagang kaki lima Tanah : 1. Tidak ditanami buah-buahan ( Landscape ) 2. Sampah tidak dipendam dalam tanah REMIDIASI Vegetasi : 1. Jumlah daun banyak CO dan debu 2. Perlasan RTH 3. Pohon besar Perhub, Kepolisian, Dinas Kesehatan Umpan Balik Cara mengurangi kadar Pb : 1. Penggunaan BBG 4. Kendaraan tua dilarang masuk kota 2. Bensin tanpa Timbal / Pertamax 5. Truk dilarang masuk kota 3. Perluasaan RTH 6. Pemberian natura berupa susu kepada - petugas Polantas Gambar 23. Model pengelolaan pencemaran udara Dari hasil analisis yang telah dilakukan di buat model kebijakan pengelolaan pencemaran udara di DKI Jakara seperti terlihat pada gambar 23. Model pengelolaan pencemaran udara disusun untuk memudahkan penalaran suatu konsep yang kontekstual. Konstektual input, proses dan output diharapkan mendapatkan solusi yang efektif da efisie. Input berupa masukan pencemaran yang bernilai tinggi setelah melalui proses Dekomposisi dan Remidiasi akan terlihat suatu keluaran atau output yang tingkat pencemaran udaranya rendah pada udara ambient. Hubungan output dengan Input di rangkai suatu umpan balik atau feed back yang berisikan parameter keberhasilan suatu proses berupa solusi kegiatan sebagai berikut: 1. Penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG), 2. Bensin tanpa timbale atau dipergunakannya pertamax, 3. Perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH), 4. Kendaraan tua dilarang masuk kota, 126 5. Truk dilarang masuk kota, 6. Pemberian insentif berupa natura susu kepada petugas polisi lalulintas. Untuk melakukan simulasi pencemaran udara dibuat model pencemaran udara dengan powersim seperti terlihat pada gambar 24, merupakan kebijakan yang akan diambil untuk menanggulangi pencemaran udara di DKI Jakarta. Kendatipun sistem manajemen dan regulasi sudah berjalan serta diperketat, tetapi hasilnya belum setara dengan kota Kuala Lumpur dan Singapura karena berbagai faktor yaitu kontur tanah, kebudayaan, ekonomi, sosial dan lingkungan alam maupun lingkungan pendidikan. Model Powersim dalam pengelolaan pencemaran udara: Gambar 24. Model pengelolaan pencemaran udara Powersim (Ford.1999) Pencapaian Pb, debu dan CO di DKI Jakarta dengan Kota Kuala Lumpur sebagaimana gambaran polusi udara DKI Jakarta pada tahun 2008 telah diulas pada tabel 6 Bab II Tinjauan Pustaka. Untuk memperdalam dan memprediksi polutan udara yang setara dengan Kota DKI Jakarta dengan Kuala Lumpur dari Tahun 2011 sampai dengan 2016 yaitu selama 5 Tahun dapat dilihat pada Gambar 24. 127 Gambar 25. Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 5 tahun kedepan setara Kota Kuala Lumpur. Pada gambar 25, 26 dan 27 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran Pb, debu dan CO dalam jangka waktu 5 tahun kedepan yang setara dengan Kota Kuala Lumpur. Adapun kebijakan yang harus dilakukan untuk setara dengan Kota Kuala Lumpur yaitu dengan Regulasi ketat telah efektif, maka kedepan Pb tetap sebesar 0,28 ppm dibawah ambang batas. Gambar 26. Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO (µg/Nm³) pada 5 tahun kedepan setara Kota Kuala Lumpur. Gambar 26, menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran CO dalam jangka waktu 5 tahun kedepan yang setara dengan Kota Kuala Lumpur, adanya mobil baru sehingga emisi gas buang / knalpot tidak ada dan knalpot tidak bocor. 128 Gambar 27. Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu (g/m³) pada 5 tahun kedepan setara Kota Kuala Lumpur. Pada gambar 27 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran debu dalam jangka waktu 5 tahun kedepan yang setara dengan kota Kuala Lumpur, tetapi mobil besar tidak boleh masuk kota. Setelah dikeluarkan regulasi Perda nomor 2 Tahun 2005 tentang pengelolaan pencemaran udara di DKI Jakarta perlu dibuat suatu kerangka kebijakan, suatu capai kondisi udara seperti pada index pencemaran udara di Kuala Lumpur dan index pencemaran udara di Singapura. Kuala Lumpur dan Singapura relatif dekat dengan Jakarta utamanya dalam kawasan Asia Tenggara. Gambar 28. Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb (ppm) pada 10 tahun kedepan setara Kota Singapura. Pada gambar 28, 29 dan 30 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran Pb, debu dan CO dalam jangka waktu 10 tahun kedepan yang setara dengan Kota Singapura. Adapun kebijakan yang harus 129 dilakukan untuk setara dengan Kota Singapura yaitu dengan Regulasi ketat efektif, maka kedepan Pb akan tetap sebesar 0,28 ppm dibawah ambang batas. Gambar 29. Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO (µg/Nm³) pada 10 tahun kedepan setara kota Singapura. Gambar 30, menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran CO dalam jangka waktu 10 tahun kedepan yang setara dengan Kota Singapura, adanya mobil baru maka emisi gas buang / knalpot tidak ada dan knalpot tidak bocor. Gambar 31. Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu (g/m³) pada 10 tahun kedepan setara Kota Singapura. Pada gambar 30 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam tingkat pencemaran debu dalam jangka waktu 10 tahun kedepan yang setara dengan kota Singapura, maka dari itu mobil besar tidak boleh masuk kota. 130 Untuk capaian seperti Sister City perlu diambil kebijakan seperti : a Pengaturan Moda Transportasi yaitu : 1). Pembangunan Mass Rapit Transportaion (MRT), yang telah dimulai beroperasi adalah Trans Jakarta Berbahan Bakar Gas (BBG). 2). Larangan kendaran bertonase lebih dari 30 Ton melintas tol CawangSemanggi pada siang hari. 3). Melanjutkan pembangunan monorel yang telah dipancangkan tiang-tiang penyangga monorel tersebut. 4). Membuat jalan tol lintas Bekasi-Bogor-Tanggerang untuk membangun outer ring road. 5). Melarang mobil yang emisi yang tinggi gas buangnya masuk dalam kota. 6). Sebagaimana telah dibangun rute bersepeda dalam Kota Jakarta maka dari itu perlu dibuatkan rambu-rambu untuk jalur bersepeda motor. b Perluasan RTH dengan cara setiap gedung disepanjang jalan tol CawangSemanggi diwajibkan menanam sulur-suluran dari lantai atas dapat menjuntai kebawah atau sejenis rumput yang dapat menempel pada dinding-dinding tepi luar bangunan. c Memperketat pengawasan pelaksanaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yaitu ketentuan 20% dari lahan yang tersedia harus ditananmi vegetasi secara berkelanjutan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta ke depan adalah pembatasan usia kendaraan penyebab polutan karena memberikan nilai scoring yang paling tinggi dibandingkan alternatif kebijakan lainnya. 2. Aspek mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan. 131 3. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah kendaraan yang masih menggunakan timbal. 4. Aktor yang dianggap memiliki peranan paling penting dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta adalah Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian kebijakan pengelolaan pencemaran udara dari sektor transportasi darat di DKI Jakarta secara umum dapat disimpulkan: 1. Kebijakan pengeloaan pencemaran udara dari sektor transportasi darat di DKI Jakarta diarahkan pada pembatasan usia kendaraan yang layak pakai. 2. Indikator keberhasilan kebijakan dengan memperhatikan pola lima tahun pertama setara kondisi udara di kota Kuala Lumpur dan sepuluh tahun kedepan setara dengan kota Singapura. 3. Kota DKI Jakarta tidak bisa setara dengan Sister City Bern dan Den Haag karena pengaruh iklim, kontur tanah, aspek lingkungan, sosial budaya dan masyarakat yang berdomisili di masing-masing kota kembarnya 4. Pencemaran udara di DKI Jakarta menyebabkan terjadinya peningkatan penyakit pada petugas polisi lalulintas yang tengah berada di jalanan. 5. Instansi atau aktor yang paling bertangung jawab atas terlaksananya kebijakan pembatasan usia kendaraan adalah Dinas Perhubungan DKI dan Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya. Sejalan dengan itu pemda DKI Jakarta perlu mengembangkan transportasi massal yang berbasis energi listrik dan Berbahan Bakar Gas (BBG). Saran 1. Dinas perhubungan DKI bertanggung jawab kegiatan pengelolaan dan pengawasan terhadap kendaraan yang tidak layak pakai melintas di Jalan TolCawang-Semanggi. 2. Kor Lalulintas Polda Metro Jaya lebih proaktif memelihara tingkat kesehatan aparatnya. Usaha penegakan terhadap imbas polutan udara ini dapat berupa asupan bergizi, olah raga, cek kesehatan secara berkala dan rolling pada beatbeat petugas patroli di jalan Tol. 132 133 3. Pemda DKI dalam aplikasi Perda No. 5 tahun 2005 agar mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan kendaraan yang berada di DKI Jakarta sebagian besar memakai Bahan Bakar Gas (BBG). 4. Pada kolong jembatan Pancoran dan Semanggi pemda DKI Jakarta dapat merekayasa filter udara guna menyedot polutan udara baik secara mekanik maupun vegetatif. DAFTAR PUSTAKA Adel, U. A. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor di Jakarta. 23 Agustus 1995. 19-32. Jakarta. Adiputro et al. 1995. Lingkungan dan Pembangunan 15(2): 233-248 pp. Agung, G. 2001. Statistik. Rajawali Pers. Jakarta. Ahyari, A. 1986. Analisis Pulang Pokok, Badan Penelitian Fakultas Ekonomi. (BPFE). Yogyakarta. Alikodra, H.S. 1999. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Amadio, W. 1989. System Development. Mc Graw – Hill Internasional Educations. Arikunto, S. 1983. Prosedur Penelitian. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. -----------,---. 1993. Manajemen Penelitian. PT Rineka Cipta. Jakarta. Azwar, S. 1999. Dasar – dasar Psikometri. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan. 1999. Peraturan Pemerintah RI. No. 41 tahun 1999, Tentang Pencemaran Udara. Bapedal. Jakarta. --------. 1994. Pengelolaan Wilayah Pesisir. No. 3, tahun IV Nopember 1994. KPPL – DKI – Jakarta. Jakarta. Barry, R.G. and J.R.. Chorley. 1968. Atmosphere, Weather and Climate.. Methuen. London. BMG, 2009. Laporan Rekaman Cuaca 2009. Sekretariat Humas KDKI Jakarta. Bowen, HJM. 1979. Enviromental Chemistry of The Elements. Academic Press. London BPS DKI Jakarta. 2005. DKI Dalam Angka. Sekretariat Humas KDKI Jakarta. [BPLHD] Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Daerah. 1999. Peraturan Pemerintah RI. No. 41 tahun 1999, Tentang Pencemaran Udara. Bapedal. Jakarta Brolsma, H. 1981. Pengertian, Satuan dan Simbol. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Brunfiel, C.(ed:). 1965. Fundamental Concepts of Elementary Matematics, Addison – Wesley. Publishing Company, Inc. London. 134 135 Canter.Larry W, P.E.1979. Handbook of Variable For Environmental Inpoet Assessment, Ann Arboz Science. Publishers Me. Ann Arbor Mich 48106 Camp dan Dougherty. 1991. Sumary Exposure Assement for Zinc. London Chasck, P.S.2000. The Global Environment in The Twenty – First Century. United Press. Nations University Tokyo. Chi-Wen, Lin. 1999. Hazardous Pollutant Source Emissions for A Chemical Fiber Manufacturing Facility in Taiwan. Dept. of Env. Engineering da-Yeh University. Changhua. 321-337 pp. Taiwan. Cicro-Fernandez, P. et al. 1997. Effects of Grades and Others Loads on On-Road Emission of Hydrocarbon and Carbon Monoxide. Journal of The Air & Waste Management Assossiation Vol. 47 August 1997. 896-904 pp. Cipto, H.H. 1998. Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Cohen dan Roy. 1991. Environmenta Chemistry.3th Edition. New York. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Djajadiningrat. 1997. Limbah rumah tangga. Radjawali Pers. Jakarta. De Souza, RM. 1999. Household transportation Use and Urban Air Pollution, A Comparative Analysis of Tahiland, mexico and The United States. Population Reference Bureau. Washington DC. Dewata, I. 2001. Analisis SO 2 , NO 2 dan logam Pb di Udara dengan Metode Spektrofotometri di Kotamadya Padang, Sumatera Barat. Lingkungan dan Pembangunan 21 (4): 246-255 pp. Direktrorat. Lalulintas Polri, 2005. Lalulintas dua ribu lima. Ditlantas Jakarta. Djajadiningrat, 1997. Analisis Lingkungan Alam. Universitas Pasundan Bandung. Djuaningsih., N. 1997. Pemantauan Kualitas Udara di Kota Madya Bandung. Alumni.Bandung. (DLLAJR), Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. 1998. Emisi Kendaraan Bermotor. Widyapura No. 6 Tahun V Oktober 1998. Jakarta. 136 Dolislager, L. J. 1997. The Effects of California’s Wintertime Oxigenated Fuels Program on Ambient Carbon Monoxide Concentrations. Journal of The Air & Waste Management Assossiation Vol 47, July 1997. 775-783 pp Dremary. 1983. Matematika Teladan Untuk Bisnis dan Ekonomi. BFFE. Yogyakarta. Edton, Sr.(ed.).1991. Manajemen Riset Antar Disiplin. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Eungene, X. S.P. 1998. Probability Theory and Random Process. Company Ltd. & New Delhi. Schand. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. 89-130 pp Jakarta. ................., 1992. Polusi Air dan Udara.. Penerbit Kanisius. Jakarta. Fitter, 1990 dalam Hay, 1994. Join Programme onPrior Informed Consent (PIC), Import Decions from Participating Countries (Circular IV). Geneva. Ford, A. 1999. Modeling The Environment. Island Press. Washington DC. Gatchel, R.B. dan D.S Krontz. 1989. Health Psycology. Mc Graw – Hill, Publishing Company. New York. German Federal, Ministry (ECD – BMZ). 1995. Environmental Hanbook. Lengerichm. Friedrich Vieweg & Sohn. Ghai, D. dan Jessica M. V. 1995. Grassroots – Environmental Action. Rontledge. London. Griffiths, D.N. 1996. Management in a Quality Environment. Toppan Company (S) PTE LTD, ASQC Quality Press. Singapore. Grindle, M.J.W.T. 1998. Public Advices and Policy Chance. The Johns Hopkins University Press. Baltimore. Goenarso. 2004. Dampak Timbal Terhadap Fungsi Organ/Jaringan pada Tubuh Manusia. Presentasi Seminar KPBB di Hotel Borobudur pada Desember 2004. Departemen Biologi Fakultas Mipa ITB. Bandung. Gordon et al. (1998). Enviromental Chemistry of The Elements. Academic Press. London. Guba, E.G. 1990. The Paradigm Dialog. Sage Publications Inc. California. Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning. Washington. Taylor & Francis. 137 Hadi, SP. 1998. Perilaku Berkendaraan dan Pencemaran Udara di Perkotaan (Studi Kasus di Kodya Semarang). Lingkungan dan Pembangunan 18 (3), 167-175 pp. Ham, S.H. 1992. Environmental Interpretation. Colorado – Press. North American. Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Perlombaan, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Harahap, H. 2003. Pengaruh pencemaran timbal yang berasal dari emisi kendaraan bermotor terhadap tanaman teh (Desertasi), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hardjasasmita, P. 1999. Ikhtisar Biokimia Dasar B. FK – U.I. Jakarta. Harihanto. 1998. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungai (Desertasi). IPB. Bogor. Harlow, W.M.(ed.). 1991. Textbook of Dendrology. Mc Grow – Hill, International Editions. New York. Hartogensis, P. 1997. Atmospheric Pollution. Delft: Int. Ins. For Hydrolics and Civil Engineering. 1-47 pp. Heddy, S. dan M. Kurniati. 1996. Ekologi. Rajawali Pers dan Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hill, JW. 1984. Chemistry for Changing Time 4 th ed. Minnesota: Burgess Publishing Company. 558 p Husssen, A.M. 2000. Principles of Environmental Economics. Routledge. London. http://geo.ugm.ac.id/archives/69 Mei 2008. Inoqucki, T.E.N.M. dan G. Pouletto. 1999. Cities and Environment. United Nations University Press. Paris. Karten, D. 1990. Getting to the 21 st Century. Kumary and Press. Inc. Connecticut. Karliansyah. 1999. Tumbuhan dan Logam Berat di Jalan Tol. Pustaka LP3S Jakarta. Kim Oanh, NT and BN Zhang. 2003. Impacts Different Air Quality Management Strategis on Photochemical Pollution in Bangkok. Asian Society for Enviromental Protection (ASEP) Newsletter Vol. 19 No. 2 June 2003, 1-3 pp. Kumar, R. 1981. Statistics for Solved Problem and Unsolved Problems. SS. Mubaruk and Brothers Pte, Ltd. Singapore. 138 Koentjoroningrat. 1977. Metode – metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta. [KPBB] Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Dampak Pemakaian Bensin Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta. ............ 1999. Dampak Pemakaian Bensin Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta. http://www.yahoo.com diakses pada tanggal 03 juni 2008 KTT Johannesburg. 2000. Resault of Inviromental Anual Meeting. UoN Publiser NewYork. Labovits, S. dan R. Hagedorn. 1981. Social Research. Mc Graw – Hill Book Company. Toronto. Landis dan Ming-Ho. 1995. Approaches to Life Beyond The Earth. New York. Law, A.M.W dan D.Kelton. 1991. Simulation Modeling & Analysis. Mc Graw – Hill International Editions. New York. Lioy, P.J. dan J.M.Daisey. 1990. Toxic Air Poluttion. Lewis Publishers, Inc. Michigan. Manahan, S.E. 1994. Environmental Chemistry. Lewis Publisher. Washington DC. Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 2000. Gerakan Penyelamatan Kehidupan. PPSML – U.I. Jakarta. Meetham. 1981. A Function of Land Use. Columbia University Press. New York. Michel. 2000. Journal Eco City Jakarta. Wahli Jakarta. Mikkelsen, B. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya – upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Miles, M.B.(ed.). 1992. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya – upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor. Jakarta. Moleong, L. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remja Rosdakarya. Bandung. Moore, N. 1987. Cara Meneliti. ITB. Bandung. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development The International Bank for Recontruction and Development. World Bank Washington. USA. 139 Muslich, M. 1993. Metode Kuantitatif. LPFE. U.I. Jakarta. Nasir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. Nasution, S. 1987. Metode Research. Jemmars. Bandung. Nasution, A.H. 1989. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Jakarta. Nawawi, H. dan M. Martini. 1996. Penelitian Terapan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Nishimera, h. 1989. How to Conquer Air Poluttion A Japanese Experience. Elsevier. Tokyo. Odum, E.P. 1971. Dasar – dasar Ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Quinn, P.M. 1990. Qualitative Evalution and Research Methods. Sage Publications. New Delhi. Rakhmat, J. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Karya CV. Bandung Rax, R. 1995/ 1996. Kualitas Udara di Wilayah DKI Jakarta 1994/ 1995. Himpunan Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan Vol II/ 1995/ 1996. Jakarta Reid, R.L.(ed.). 1990. Sifat Gas dan Zat Cair. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Riyadi, A.S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya. Rustiawan.1994. Manusia Kesehatan dan Lingkungan. Bandung. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. IPB Press. Bogor. ......., 2000. Jurnal IPB tahun 2001. IPB Press. Bogor. Salim. 1999. Jurnal Inviromental of Bangkok. Unesco Publish. Bangkok. Sanders, D.H.(ed.). 1987. Statistics Fress Approach. Mc Graw – Hill. International Editions. Singapore. Saaty. 1993. The Analisis Hirarcky Proses. Longman. New York. Satriyo. 2004. Perkelahian Antar Warga Pal Meriam Dengan Kampung Berland. Jurnal K.I.K UI. PTIK. Jakarta. Seitz, W.D. 1994. Economics of Resources, Agriculture and Food. Mc Graw – Hill, Inc. Toronto. 140 Setiawan, 2003. Konsep Jakarta menuju Eco City.Dinas Humas DKI Jakarta. Sharbe, G. 1982. Interpreting The Environment. John Willey & Sons. Singapura. [SK] Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Kulaitas Udara Ambient, Baku Mutu Tingkatan Kebisingan dalam Wilayah DKI Jakrta Smith. 1981. Priority Toxic Pollutants. Health Impacts and Allowable Limits. New Jersey. Soemartono, R.M dan Gatot P. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Soemarwoto, O. 1988. Dampak Lingkungan Terhadap Kesehatan. Alumni. Bandung. Strauss, W and SJ Mainwaring. 1984. Air Pollution. London: Edward Arnold. 152 p Sudjana, N. 1999. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Sinar Baru Algensindo. Bandung. Suhardono, E. 1997. Panorama Survey. PT Garamedia. Jakarta. Suharto. 1991. Matematika Terapan. Rhineka Cipta. Jakarta. Suparlan Parsudi. 2001. Pidato: Dies Natalis PTIK ke 30. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ,Jakarta. Sumartono. 1996. Sifat Gas danZat Cair. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sumaryo, G. 1999. Sistem Fraktal Daerah Aliran Sungai Kali Gitung. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sumarwan, I. 1998. Epidemiologi dan Mekanisme Penyakit Saluran Pernafasan Akibat Induksi Polusi Udara di berbagai Negara Industri. Alumni. Bandung. Sumantri, P.S. 1997. Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sunandi. 1995. ABC Termodinamika Kimia. LP. FEVI. Jakarta. Suratmo, F.G. 1998. Analysis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. -----------, F.G.2002. Panduan Penelitian Multi Disiplin. IPB Press. Bogor. Sutarsa, T. 1994. Kimia (3A) dan Kimia (3B). Yudhistira. Jakarta. 141 Swastha D.H.B. 1998. Metode Kuantitatif untuk Manajemen. Liberty. Yogyakarta. Tugaswaty. 1997. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. http://www.yahoo.com diakses pada tanggal 03 juni 2008 Vinitnantharat, S and P, Khummongkol. 2003. Sulfur and Nitrogen Deposition in Six Regions of Tahiland. Asian Society for Enviromental Protection. Vol. 19 No. 2 June 2003, 11-13 pp Walhi. 2011. www.walhi.or.id Welburn, A. 1990. Air Pollutan and Accid Rain, The Biological Impact. Longman Scientific and Technical. 1-99 pp. New York Winarso, PA. 1991. Sumber dan Pengelolaan Pencemar Udara. Himpunan Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan PKPL DKI Vol. 2: 42-48 pp World Bank, 2006. Annual Report. V-N-Publisher. NewYork. www.numbeo.com/pollution, 2005 www.numbeo.com/pollution, 2011 Zen M.T. 1979. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia dan ITB Bandung. Jakarta. Zudianto, H and O, Norojono. 2002. Enganging Local Universities for Technical Assistance: A Case Study of Yogyakarta, Indonesia. Paper Presented in Workshop on “Enginering Cities”: City Executives Regional Exchange on Local Energy Management as A Feature of Good Governance. Iloilo City