tinjauan hukum tentang keabsahan perkawinan yang dilakukan

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
HAK ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT SEBAGAI AHLI
WARIS TUNGGAL SECARA SEPIHAK YANG DILANDASI
ITIKAD BURUK BERDASARKAN KEPUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO. 1000K/PDT/1991
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Sidang Skripsi
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu ( S1 )
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Oleh :
Nur Octaria
10040004150
Di bawah bimbingan
H. Andang Furqon, S.H., M.H.
Dibawah Bimbingan
Husni Syawali,SH.,M
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1429H / 2008M
Bandung, 5 Juli 2008
Disetujui Untuk Diajukan Ke Muka Sidang
Panitia Ujian Sarjana Hukum Fakultas Hukum
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Pembimbing
H. ANDANG FURQON, S.H., M.H.
Diketahui oleh :
Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
DR. H. ASYHAR HIDAYAT, S.H., M.H.
‘ Jadikanlah Sabar dan Sholat sebagai
penolongmu dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat. Kecuali bagi orang-orang
yang khusyu “ ( Q.S. Al-Baqarah : 45 )”
Sesungguhnya setelah ada kesulitan itu
ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai ( dari suatu urusan ) kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh ( urusan ) yang lain,
dan hanya kepada tuhannlah Hendaknya kamu berharap
( Q.S. Alam Nasrah : 6-8 )
Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT
Kupersembahkan Karya ini sebagai
Dharma Baktiku
kepada Ayahanda & Ibunda Tercinta, Abang
dan Adik-adikku yang ku Sayang
beserta Keluarga Besarku
dan seseorang terdekat dihatiku
yang
selalu
mendoakan
keberhasilannku
&
senantiasa
menantikan
HAK ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT SEBAGAI AHLI
WARIS TUNGGAL SECARA SEPIHAK YANG DILANDASI ITIKAD
BURUK BERDASARKAN KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO
1000/K/PDT/1991.
ABSTRAK
Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang
melahirkan hubungan hukum antara yang mengangkat dan yang diangkat. Anak
angkat adalah seorang yang bukan turunan dari suami isteri yang diambil,
dipelihara dan diperlakukan sebagai anaknya sendiri karena suami isteri tersebut
tidak mempunyai keturunan. Pengangkatan anak berakibat hukum status anak
tersebut berubah menjadi anak yang sah yang mengangkatnya, hubungan
keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus, akan tetapi dalam
ketentuan hukum adat, pengangkatan anak mempunyai perbedaan dalam
pengaturannya. Perbedaan pengaturan ini dalam hukum adat di dalam
kenyataannya terdapat permasalahan terutama apabila dihubungkan dengan sistem
kewarisan yang berbeda-beda disetiap daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak angkat secara
hukum adat dapat menjadi ahli waris dan bagaimana pandangan hukum adat
terhadap putusan Mahkamah Agung RI No 1000/K/PDT/1991 tentang hak waris
anak angkat sebagai ahli waris tunggal secara sepihak yang dilandasi itikad buruk.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara Deskriptif Analistis
dengan tahap penelitian Kepustakaan sedangkan Analisis datanya menggunakan
bahan-bahan hukum seperti bahan hukum primer, sekunder dan tertier antara lain
bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku ilmiah hasil karya dari para ahli
hukum yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa di
dalam Hukum Adat bahwa anak angkat itu tidak berhak untuk mendapatkan
warisan dari orang tua angkatnya, apalagi terhadap anak angkat yang mempunyai
itikad buruk terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum.Wr.Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya yang tak terhingga. Sholawat
dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad s.a.w, keluarga, sahabat dan
umatnya hingga akhir jaman. Kasih sayang, perhatian, pertolongan, cinta dan
kebaikan yang telah diberikan-Nya, serta memberikan kemudahan dan
kelancaran kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “ Hak Waris Anak Angkat Dalam Hukum Adat Sebagi
Ahli Waris Tunggal Yang Dilandasi Itikad Buruk Berdasarkan Keputusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1000 K.PDT/1991 “, adapun
penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam
menempuh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan , karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki, sehingga penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan serta
dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ii
ini tepat waktu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis
yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materill, motivasi, kasih
sayang, perhatian, kesabarannya serta do’a yang tiada hentinya sehingga
proses penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa
terimakasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat Bapak H. Andang Furqon, S.H.,M.H yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran serta telah memberikan petunjuk, pengarahan dan
membimbing penulis dalam meyelesaikan skripsi ini.
Pada
kesempatan
juga
penulis
ingin
menyampaikan
ucapan
terimakasih kepada :
1. Bapak Prof.DR.H.E.Saefullah,S.H.,L.L.M, selaku Rektor Universitas Islam
Bandung.
2. Bapak Prof.DR.H.Edi Setiadi,S.H.,M.H, selaku Pembantu Rektor 1
sekaligus sebagai dosen wali penulis.
3. Bapak Ashar Hidayat,S.H.,M.H , selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung.
4. Bapak Efik Yusdiansyah,S.H.,M.H, selaku Wali Dekan Bidang Keuangan
dan Administrasi Umum.
5. Ibu Lina Jamillah, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
iii
6. Ibu Liya Sukma, S.H, M.H, selaku Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
7. Seluruh staf dosen, serta staf akademik dan staf administrasi pada
fakultas hukum yang telah membantu penulis sampai akhir masa studi di
Fakultas Hukum Universitas Islam Bndung.
8. Seluruh Staf Perpustakaan Pusat Universitas Islam Bandung.
9. Abang ku tersayang bang yudis dan istri tercinta nya teh sari, juga adikadikku tercinta Nadiya Azhari dan Amri Hidayat yang selalu mengingatkan
dan memberikan dorongan dalam penulisan skripsi ini dan menantikan
kelulusan ku.
10. My Special One ” Pran ” makasi atas perhatian, do’a, kasih sayang, cinta,
pengertian dan kesabarannya selama ini kepada penulis.
11. Teman-teman
Terbaikku
Feby,
Yuni,
Gya,
Novi,
makasi
atas
persahabatan nya yang indah.
12. Teman-teman main ku Unie, Rina, Dini, Ayin, Yiyin, Sulas, makasi atas
dukungannya kepada penulis, sehingga penulis sampai juga.
13. Teman-teman kuliah ku Eva, Ayu, Anggia, Intan, Teh widya, Teh Ica,
makasi atas menemani penulis selama di kampus.
14. Seluruh teman-teman Hukum Angkatan 2004 yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
15. Kepada teman-teman satu Daerah Bangka Belitung yang di kampus,
terima kasih Coy,,,,
iv
16. Teman-teman kosan ku, Hilan, Anggi, Veni, Aisyah makasih Friends.
17. Teman-teman ku yang jauh disana R.Yuliani.,S.pd, Mustika Sari, S.E,
Namih ,S.pd. makasih yah atas telfon-telfon nya di malam hari yang suka
gangguin penulis tidur.
Semoga Allah SWT memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta
membalas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada
penulis, dan mudah-mudahan ilmu yang telah diperoleh penulis dapat
berguna bagi Nusa, Bangsa dan Agama. Amien.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Bandung, Juni 2008
Nur Octaria
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………. iI
DAFTAR ISI……..……………………………………………………………….. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian……………...………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………………….. 6
C. Tujuan Penelitian……………………..………………………………… 6
D. Kegunaan Penelitian………………………………………………….... 7
E. Kerangka Pemikiran……………………...…………………………….. 7
F. Metodelogi Penelitian…………………………………………………... 9
G. Sistematika Penulisan………………………………………………...... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM
ADAT
A. Pengertian anak angkat……………………………………….……….. 13
B. Tatacara dan syarat-syarat mengangkat anak…………………….... 21
C. Alasan mengangkat anak…………………………………………........ 23
D. Maksud dan tujuan mengangkat anak……………………………...... 25
E. Kedudukan dan hak-hak anak angkat……………………………...…. 29
vi
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT
A. Pengertian waris menurut hukum adat……………………………...... 33
B. Sistem pewarisan hukum waris adat …………………………………. 34
C. Harta warisan ………………………………………………………….... 44
D. Cara pembagian harta warisan………………………………………... 48
BAB
IV
ANALISIS
DAN
PEMBAHASAN
TERHADAP
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO 1000/K/PDT/1991 MENGENAI HAK WARIS
ANAK ANGKAT YANG DILANDASI ITIKAD BURUK
A. Kasus posisi…………………………………………………………....... 51
B. Pertimbangan hukum ……………………………………………..….... 54
C. Pembahasan …………………………………………………………..... 58
1. Analisis mengenai hak waris tunggal anak angkat menurut hukum
adat. ………………………………………………………………..... 68
2. Analisis mengenai pandangan hukum adat terhadap putusan
Mahkamah Agung RI NO.1000.K/PDT/1991 tentang hak anak
angkat
sebagai
ahli
waris
tunggal
yang
dilandasi
itikad
buruk………………………………………………………………..... 72
BAB V PENUTUP
A. Simpulan……………………………………………………………….... 77
B. Saran……………………………………………………………..………. 79
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dalam kehidupan berumah tangga mempunyai tujuan untuk melanjutkan
keturunan dari generasi ke generasi berikutnya, oleh karena itu kehadiran anak
merupakan sesuatu yang sangat diharapkan oleh setiap pasangan suami isteri.
Keinginan untuk mempunyai anak tersebut adalah naluri manusiawi dan
alamiah. Akan tetapi kadang-kadang untuk mempunyai keturunan tersebut
dilakukannya dengan berbagai cara, misalnya salah satu usaha manusia untuk
memenuhi keinginannya dengan cara mengangkat anak atau dengan istilah lain
disebut “Adopsi”
Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
tujuan nasional Indonesia adalah :
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…dst.
Dalam kehidupan manusia, penulis akan melihat kenyataan yang sudah
merupakan kodrat alam, yaitu adanya dua orang yang berlainan jenis (seorang lakilaki dan seorang perempuan) pada suatu ketika akan menjalankan kehidupan bersama
sebagai suami isteri, hubungan demikian dinamakan Perkawinan.
1
Kemudian untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat
perlu adanya suatu landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, dalam hal ini pemerintah telah
mengeluarkan suatu Undang-Undang mengenai perkawinan yakni Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang tersebut adalah ”suatu
ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian setiap orang yang melangsungkan perkawinan atau
membentuk sebuah keluarga yang menjadi tujuannya bukan hanya sekedar menguasai
harta, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah mendapatkan keturunan.
Dengan kata lain kebahagiaan baru akan tercapai dalam suatu keluarga,
manakala ditengah-tengah keluarga tersebut ada anak. Keturunan itu sangat perlu
untuk mempertahankan keluarga yang dimaksud,karena dengan adanya keturunan
sebagai generasi penerus, maka tidak akan punah keluarga itu.
Terlepas dari pada itu, maka dikenal lah istilah pengangkatan anak nampak
pada mulanya pengangkatan anak ini dilakukan oleh suatu keluarga yang dalam
perkawinannya tidak mempunyai anak, sehingga untuk dapat memenuhi kebahagiaan
dalam keluarga tersebut, maka dilakukan pengangkatan anak. Akan tetapi pada saat
sekarang kalau diperhatikan dalam kehidupan masyarakat , pengangkatan anak bukan
hanya terjadi dalam rumah tangga yang tidak mempunyai keturunan saja, melainkan
2
juga pada keluarga yang telah mempunyai keturunan, misalnya baru mempunyai anak
perempuan atau anak laki-laki saja. Di dalam masyarakat kita, anak laki-laki adalah
merupakan generasi penerus yang sangat penting peranannya dalam suatu keluarga.
Pengangkatan anak yang dilakukan tidak disertai dengan suatu upacara
tertentu (adat) dan anak yang diangkat tidak putus hubungannya dengan orang tua
asalnya, sehingga ia tetap merupakan ahli waris dari orang tua kandung nya, biasanya
terjadi pada keluarga Parental. Kedudukan anak angkat yang diangkat tidak secara
kontan dan tidak secara konkrit, maka terhadap harta warisan orang tua angkatnya,
dia hanya berhak atas harta bersama dan tidak berhak terhadap harta asal orang tua
angkatnya. Jika tidak terdapat orang tua kandung, harta asal orang tua angkat akan
kembali kepada keluarga peninggal warisan tersebut.
Setiap manusia merupakan pembawa hak dan kewajiban. Sebagai pembawa
hak dan kewajiban manusia pasti meninggal dunia. Dengan meninggalnya manusia,
maka harta peninggalannya akan beralih kepada orang lain. Dalam pembagian harta
peninggalan dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur perhubungan hukum tentang
meninggalnya seseorang, tetapi tidak semua perhubungan hukum dapat dialihkan, ada
kalanya lenyap seketika meninggalnya orang itu. Jadi tak beralih pada yang masih
hidup.
Di Indonesia lapangan hukum kewarisan sampai sekarang masih merupakan
persoalan. Hal ini dikarenakan Indonesia masih merupakan Negara yang terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa, budaya, agama yang dianutnya, sehingga setiap
masalah yang terjadi beranekaragam bentuknya seperti halnya masalah kewarisan.
3
Oleh sebab itu hukum waris di Indonesia dikenal dalam tiga sistem hukum yaitu
Hukum adat, Hukum islam, dan Hukum barat selama tidak ada Unifikasi Hukum,
selama itu pula Pluralisme Hukum itu terus berlangsung. 1
Adanya keanekaragaman dalam hukum waris ini mengingat terdapat
beranekaragam Corak budaya, Agama, Sosial, dan adat istiadat serta sistem
kekeluargaan.
Dilingkungan masyarakat adat yang asas pewaris individual, apabila pewaris
wafat maka semua anggota keluarga baik pria atau wanita, baik tua atau muda, baik
dewasa maupun anak-anak pada dasarnya setiap waris berhak atas bagian warisannya.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya “ legitieme portie “ atau bagian mutlak
sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para pewaris telah ditentukan hak-hak
waris atau bagian tertentu dari harta warisan. 2
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie)
kepada keturunannya. 3
Hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada
1
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
1989,hlm.225.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Adityia Bakti, Bandung,1999,hlm.58.
3
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Universitas, Jakarta, 1967, hal.72.
4
para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Pada prinsipnya orang bebas menentukan kehendaknya terhadap harta
kekayaannya, yang menjadi masalah adalah ketika sipewaris meninggal dan
meniggalkan harta kekayaannya dan sipewaris tidak mempunyai anak kandung maka
siapakah yang berhak atas harta kekayaan peninggalannya tersebut. Apakah seorang
anak angkat yang telah diangkat oleh sipewaris berhak mendapatkan harta
warisannya tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk menelitinya
dan menuangkan dalam skripsi yang diberi judul :
“HAK ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT SEBAGAI AHLI WARIS
TUNGGAL
YANG
DILANDASI
ITIKAD
BURUK
BERDASARKAN
KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.1000.K/PDT/1991.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berkaitan dengan latar belakang masalah diatas, penulis berpendapat perlu adanya
pembatasan identifikasi masalah terhadap materi yang akan di bahas dalam uraian
skripsi ini, adapun identifikasi masalah tersebut adalah sebagai tersebut :
1. Apakah seorang anak angkat menurut hukum adat dapat menjadi ahli waris ?
2. Bagaimana pandangan hukum adat terhadap putusan Mahkamah Agung RI
NO 1000.K/PDT/1991?
5
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan masalah yang ditemukan dalam identifikasi masalah, tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seorang anak angkat menurut hukum adat dapat menjadi
ahli waris.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum adat terhadap putusan Mahkamah
Agung RI NO 1000.K/PDT/1991
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan ( referensi )
dalam bidang hukum keperdataan umum nya dan ilmu hukum waris
khususnya.
2. Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
bahan referensi bagi kepentingan yang sifatnya akademis dan juga bagi para
praktisi dan pencari keadilan
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Masalah anak angkat bukanlah masalah yang baru, termasuk di Indonesia.
Sejak zaman dahulu masalah mengangkat anak sering dilakukan. Anak angkat zaman
6
dahulu dilakukan dengan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem dan
perasaan hukum yang hidup dan berkembang di daerah yang bersangkutan.
Tujuan dari mengangkat anak adalah untuk meneruskan keturunan, manakala
dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan sebagaimana yang diharapkan.
Anak angkat merupakan salah satu perbuatan hukum, eksistensi lembaga anak angkat
ini sering melahirkan hubungan hukum antara yang mengangkat dengan yang
diangkat.
Adapun hubungan hukum antara orang yang mengangkat dengan anak yang
diangkat ini adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.4 Tahun 1974
tentang kesejahteraan anak, Pasal 46 sampai dengan Pasal 49, yaitu tentang hak dan
kewajiban orang tua dan anak. Selain itu akibat hukum yang terpenting dari anak
angkat adalah yang berhubungan dengan kekuasaan orang tua, hak waris, hak
alimentasi, dan juga masalah nama.
Di Indonesia, ketika masih dijajah Belanda bernama Hindia Belanda,
KUHPerdata berlaku bagi golongan Timur Asing Tiongho, karena pemerintah Hindia
Belanda menyadari pada masyarakat Tionghoa ada tradisi yang amat kuat dalam
mengangkat anak (meneruskan keturunan), apabilasepasang suami isteri tidak
memiliki anak laki-laki, maka dibuatlah peraturan khusus untuk orang tionghoa ini
dalam hal pengangkatan anak, peraturan khusus ini tertuang dalam Staatblad Tahun
1917 No.129.
Menurut Pasal 14 Stb 1917 No. 129, anak angkat memberikan akibat hukum
bahwa status anak yang bersangkutan berubah menjadi seorang anak yang sah.
7
Hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali.
Mengenai hal ini dalam hukum adat tidak terdapat keseragaman.
R.Wirjono Projodiloro, menjelaskan bahwa dalam lingkungan hukum adat
sudah pernah diputuskan oleh pengadilan Negeri Purworejo,tanggal 6 oktober 1937,
bahwa seorang anak angkat menurut hukum adat tetap berhak atas warisan yang
ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri. Anak angkat menerima “air dari dua sumber”
.4
Hukum
waris adat memuat seluruh peraturan hukum yang mengatur
pemindahan hak milik, barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur mati
( yang mewariskan ) kepada generasi muda ( para ahli waris ). 5
Pangkal pikir hukum adat ialah bahwa anak angkat berhak mewaris selaku
anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak, sepanjang adopsi itu
melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak, maka anak angkat yang
bersangkutan berhak mewaris sebagai anak.6
F. METODOLOGI PENELITIAN
Untuk menunjang pembahasan, maka penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut :
1. Metode pendekatan
4
R.Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia,….,Jawa Tengah 1953,hlm.305.
A.Soehardi, Pengantar Hukum Adat di Indonesia,Penerbit Sumur Bandung,Bandung1982,hlm.48.
6
Iman Sudiyat, Sketsa Asas Hukum Adat,Liberty, Yogyakarta,1981,hlm.167.
5
8
Metode yang digunakan adalah yuridis normatif yang mengutamakan pencarian
data sekunder dengan bahan hUkum primer, sekunder dan tersier atau dengan
pendekatan yuridis normatif yang dititikberatkan pada penggunaan data-data,
yang diperoleh baik melalui kepustakaan maupun melalui studi lapangan.
2. Spesifikasi lapangan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis,
yaitu memberikan gambaran fakta dan memperoleh gambaran menyeluruh serta
menganalisa bagaimana pengaruh pelaksanaan anak angkat di Indonesia yang
dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan terhadap peraturan-peraturan hukum
mengenai anak angkat yang berlaku saat ini.
Tahap penelitian dan bahan penelitian ; Tahap penelitian ini dilakukan dengan
Penelitian kepustakaan ( library research ), penelitian ini dimaksudkan untuk
mencari data sekunder. Tekhnik pengumpulan data.
3. Tekhnik pengumpulan data dilakukan penulis melalui cara :
Mengumpulkan data sekunder dengan melakukan studi dokumen atau studi
kepustakaan yang dilakukan penulis terhadap data sekunder.
4. Analisis data
Metode yang digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan yuridis
normatif kualitatif yaitu dengan cara mengiventarisir, menyusunnya secara
sistematis, menghubungkannya satu sama lain terkait dengan permasalahan yang
diteliti dengan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang diteliti
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain artinya peraturan
9
perundang-undangan yang berlaku yang diteliti dilaksanakan oleh para penegak
hukum.
G. JADWAL PENELITIAN
Tahap Kegiatan Penelitian
1.
Waktu ( minggu )
Tahap Persiapan
A. Pembuatan rencana penelitian
1 Minggu
B. Pengumpulan bahan-bahan penelitian
2 Minggu
C. Penulisan ijin penelitian
1 Minggu
2.
Penelitian Kepustakaan
3.
Analisis data
1 Minggu
4.
Penyusunan laporan dan penggandaan
1 Minggu
Jumlah
1 minggu
8 Minggu
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini disusun dalam lima bab dan tiap bab dibagi dalam beberapa sub
bab. Adapun gambaran umum untuk setiap bab adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, dalam hal ini merupakan bagian yang bersifat umum dan
menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang penelitian, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, sistematika penulisan.
10
BAB II Berisi Tentang Tinjauan umum tentang anak angkat menurut hukum adat
yang terdiri dari pengertian anak angkat, tatacara mengangkat anak dan syarat-syarat
mengangkat anak, alasan mengangkat anak, maksud dan tujuan mengangkat anak,
dan kedudukan dan hak-hak anak angkat.
BAB III Tentang Tinjauan Umum hukum waris adat yang terdiri dari pengertian
hukum waris, sistem pewarisan hukum waris adat yaitu sistem keturunan dan sistem
pewarisan, harta warisan dan cara pembagian harta warisan.
BAB IV Berisi Tentang Analisis dan Pembahasan terhadap putusan Mahkamah
Agung RI NO.1000/K/PDT/1991 yang terdiri dari kasus posisi yaitu Identitas para
pihak, Latar belakang masalah, Posita, Petitum, Jawaban, Pertimbangan Hukum yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan
Pembahasan
mengenai hak anak angkat dalam hukum adat sebagai ahli waris tunggal yang
dilandasi itikad buruk dan pandangan hukum adat terhadap putusan Mahkamah
Agung RI No 1000.K/PDT/1991
BAB V Penutup , pada bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap permasalahan
yang diteliti dalam skripsi ini.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK ANGKAT
MENURUT HUKUM ADAT
A. PENGERTIAN ANAK ANGKAT
Macam-macam Anak yaitu :
a. Anak Kandung.
Semua anak yang lahir dari perkawinan yah dan ibunya adalah anak
kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya
adalah anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya
tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah.
b. Anak Tiri.
Anak tiri yang dimaksud disini adalah anak kandung yang dibawa oleh
suami atau isteri kedalam perkawinan, sehingga salah seorang dari
mereka menyebut anak itu sebagai “anak tiri”. Jadi anak tiri adalah
anak bawaan dalam perkawinan.
c. Anak Angkat.
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat dengan resmi
menurut
hukum
adat
setempat,
dikarenakan
tujuan
untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan
rumah tangga.
12
d. Anak Akuan.
Anak akuan atau dapat juga disebut “anak semang” (minangkabau),
“anak pupon” atau “anak pungut” (jawa), ialah anak orang lain yang
diakui oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan atau juga
dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga penbantu tanpa membayar
upah.
e. Anak Piara.
Anak piara yang juga disebut “anak titip”, ialah anak yang diserahkan
orang lain untuk dipelihara sehingga orang yang tertitip merasa
berkewajiban untuk memelihara anak itu.
Mengenai pengertian anak angkat ada beberapa ahli hukum terkemuka yang
memberikan definisi tentang anak angkat diantaranya yaitu :
Menurut Abidin Farid
Anak angkat itu adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari
seseorang mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa
melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik
yang masih kanak-kanak (belum dewasa) maupun sudah dewasa,
13
mempunyai kewajiban yang sama dengan anak kandung dengan
melalui upacara adat. 7
Menurut pendapat Wirjono Projodikoro :
Anak angkat adalah seorang yang bukan turunan dua orang suami
isteri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai
anaknya sendiri. 8
Menurut pendapat Ter Harr :
Perbuatan yang memasukan dalam keluarganya seorang anak yang
tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa sehingga menimbulkan
hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan kemasyarakatan
yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia, perbuatan
itu disebut pengangkatan anak atau adopsi. 9
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa anak
angkat itu adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi
menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. 10
Untuk lebih jelasnya, maka pengertian daripada anak angkat dibedakan dalam :
•
Pengertian Anak
•
Pemeliharaan Anak
7
B.Bastian Tafal, Kemudian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di
Hari,Rajawali,Jakarta,1983,hlm.46.
8
R.Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung,1981,Hlm.96.
9
Ibid,Hlm.47.
10
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,Hlm.33.
14
•
Pengangkatan Anak oleh Pegawai Negeri
Selain ini terdapat pula pengangkatan anak, terdapat pula istilah Adopsi. Akan
tetapi menurut ilmu Antropologi Budaya, istilah adopsi mempunyai arti yang sangat
luas, yaitu memasukan sepenuhnya dalam lingkungan penduduk inti dilakukan
dengan adopsi atau upacara yang sedemikian rupa sehingga kita dapat menganggap
dan menerimanya dalam masyarakat keluarga.
Demikin pula dalam ENSIE (Erste Nederland Sistematisch Ingerichte
Enciclopedia), yang telah diterjemahkan dan berbunyi “tidak sedikit bangsa-bangsa
memperoleh darah asing dalam perjalanan masa dengan mengadopsi tawanantawanan perang sebagai pengganti para anggota bangsanya yang hilang karena
peperangan yang banyak”. 11
Gejala demikian ditemukan di Indonesia pada masyarakat Minagkabau, yakni
menerima orang luar menjadi kemenakan dalam kaum. Pengangkatan anak dibedakan
atas pemeliharaan anak dan pengangkatan anak oleh pegawai negeri, karena dengan
pengangkatan anak menimbulkan akibat hukum tersendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh R.Soepomo, bahwa diseluruh wilayah hukum (jawa
barat) bilamana dikatakan “mupu”, “mulung”, dan “ngukut” atau “mungut anak”
yang dimaksudkan adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.12
Jika seorang mengurus anak orang lain dirumahnya semata-mata untuk dipelihara,
maka istilah seperti “mupu” dan sebagainya tidak dipergunakan akan tetapi hanya
11
12
Soepomo,Hukum Perdata Adat Jawa Barat,Djambatan,1967,Hlm.38.
Ibid,Hlm.39.
15
mengatakan “ngan miara bae” yaitu semata-mata untuk dipelihara. Jadi dalam hal ini
terdapat istilah pemeliharaan anak dan pengangkatan anak, pemeliharaan anak
bersifat lebih menyeluruh sekalipun pengangkatan anak terdapat bertebaran diseluruh
Nusantara.
Lain lagi halnya dengan pengangkatan anak yang dilakukan oleh pegawai negeri,
dimana maksudnya untuk mendapatkan tunjangan keluarga, sesuai dengan Pasal 15
Peraturan Pemerintah No.23/1955 : bahwa anak yang diangkat menurut hukum
(adopsi) dan anak angkat lain yang berumur kurang dari dua puluh lima tahun
(25tahun) yang menjadi tanggungan sepenuhnya dan tidak mempunyai penghasilan
sendiri, dapat diberi tunjangan (anak). Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
(TLN) No. 849 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan anak angkat menurut
hukum (adopsi) ialah anak keturunan Tionghoa yang harus dinyatakan dengan sah.
Sedangkan anak angkat lainnya ialah anak yatim piatu atau anak yatim yang menjadi
tanggungan sepenuhnya dari dan menurut keterangan pegawai yang bersangkutan
yang diberikan dibawah sumpah atau janji, diangkat dan diperlakukan dalam segalagalanya sebagai anak pegawai negeri sendiri, yang biasanya dibuktikan dengan suatu
bukti dari putusan pengadilan.
Jadi terdapatnya anak angkat adalah karena seseorang diambil anak atau dijadikan
anak orang lain sebagai anaknya. Anak angkat ini mungkin seorang laki-laki mungkin
pula perempuan. Jumlah anak ankat seseorang adalah tidak terbatas sesuai dengan
kemampuannya untuk mengangkat anak. Dapat saja ia mengangkat dua atau tiga
orang bahkan lebih. Sedangkan mengenai usiannya tidaklah menjadi permasalahan,
16
walaupun banyak daerah yang menentukan anak yang masih kecil yang akan diangkat
anak. Mungkin pula yang masih bayi dan yang masih dalam kandungan.
Mengenai usia ini bermacam-macam, tergantung pada daerah masing-masing
yang penting asalkan belum dewasa akan tetapi tidak tertutupi kemungkinan untuk
mengangkat anak yang telah deawasa, hal ini adalah sesuai dengan kegunaannya.
C.E.Brown, memberikan kesimpulan dari hasil penyelidikannya, bahwa anak diatas
usia enam tahun adalah lebih susah untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan
lingkungannya yang baru walaupun tentunya hal ini adalah tidak berarti bahwa adopsi
pada anak-anak lebuh tua akan membawa hal-hal yang kurang baik. 13
Sebaliknya A.Kadushin, berkesimpulan bahwa walaupun adopsi tersebut
dilakukan terhadap anak yang tidak muda lagi, akan tetapi membawa hasil yang
cukup baik karena kemampuan penyesuaian diri adalah cukup besar terhadap anakanak yang pada masa mudanya berada pada kekurangan, asalkan saja mereka diberi
kesempatan untuk hidup dalam miliiem yang normal. 14
Masalah pengangkatan anak tidak terbatas pada orang yang telah kawin atau
bekeluarga saja, tetapi orang yang
belum kawin
atau
berkeluarga
pun
berkemungkinan untuk mengangkat anak, apalagi bagi suami isteri yang telah
memperoleh kepastian bahwa mereka tidak akan mempunyai anak, maka seorang
isteri tentunya akan membawa hasil yang lebih baik lagi dalam hal pengangkatan
anak.
13
Ibid.Hlm.45.
14
Ibid,hlm.47.
17
Dalam kenyataannya, kadang kala terdapat orangtua angkat yang tidak
mempunyai anak sama sekali dan hendak melakukan pengangkatan anak dengan
maksud agar dipandang sebagai orang tua yang asli.
H.David Kirk, dalam hasil penyelidikannya menyatakan “adanya orang tua angkat
yang tidak mempunyai kehendak menutup-nutupi pengangkatan anak (rejection of
diference) dan ia ingin dipandang sebagai orang tua asli. Orang mempunyai naluri
untuk menutupi hal-hal yang dianggap kurang baik karena dalam kehidupan
masyarakat pada keluarga normal terdapat keluarga karena hubungan darah, maka
keluarga yang terjadi karena bukan hubungan darah dianggap tidak atau kurang
normal. 15
Hampir diseluruh Indonesia pada umumnya dikenal pengangkatan anak atau
adopsi. Karena di Indonesia terdapat 19 (sembilan belas) lingkungan hukum adat,
maka adopsi dalam hukum adat pada pelaksanaanya berbeda-beda antar daerah yang
satu dengan daerah yang lainnya sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing
daerah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dilihat dari posisi
anak yang diadopsi, dapat dilakukan terhadap seorang anak dari kalangan keluarga
sendiri atau bukan dari warga keluarga sendiri dan mengadopsi anak dari keluarga
keponakan.
Selain dari adopsi diatas, dalam hukum adat masih dikenal juga adopsi yang
mempunyai tujuan bukan untuk memperoleh keturunan, melainkan untuk
15
Ibid,Hlm.50.
18
memberikan kedudukan hukum yang lebih baik kepada anak yang diadopsi dan yang
lebih menguntungkan dari kedudukan semula,yaitu :
•
Mengadopsi anak laki-laki dari isteri kedua (selir) menjadi anak laki-laki
isteri pertamanya. Perbuatan hukum ini sangat menentukan anak itu
karena setelah diadopsi ini, anak yang bersangkutan memperoleh hak
untuk menggantikan kedudukan ayah nya.
•
Mengadosi anak tiri (anak isterinya) menjadi anak sendiri karena tidak
mempunyai anak kandung (direnjang). 16
Kedudukan anak angkat pada hakekatnya sama dengan anak kandung, tetapi ini
tidak di semua daerah demikian, terutama dalam kedudukan hukum pada hak waris.
B. TATACARA DAN SYARAT-SYARAT MENGANGKAT ANAK
Prosedur pengangkatan anak pada umumnya harus mengikuti prosedur yang telah
digariskan dalam SEMA No 6 Tahun 1983 tanggal 30 september 1983 tentang
petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak, yaitu sebagai berikut :
1. Calon Orangtua Angkat.
a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun / maksimal 45
tahun.
b. Selisih umur antara orangtua angkat dengan calon anak angkat
minimal 20tahun.
16
Surojo Wingnjodipoero, Pengantar dan Asasa-asas Hukum Adat,Haji
Masagung,Jakarta,1994,Hlm.119.
19
c. Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurangkurangnya sudah kawin 5tahun, dengan mengutamakan yang
keadaanya sebagai berikut :
•
Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan
dokter kebidanan/dokter ahli) ;atau
•
Belum mempunyai anak;atau
•
Mempunyai anak kandung seorang;atau
•
Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai
anak kandung.
d. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari
pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah/kepala desa
setempat.
e. Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI.
f. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat
keterangan dokter pemerintah.
g. Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak sematamata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
2. Calon Anak Angkat harus berada dalam asuhan organisasi sosial.
3. Lapisan sosial
Sedangkan syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
20
1. Syarat bagi calon orang tua angkat :
ƒ
Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua kandung
dengan orang tua angkat diperbolehkan.
ƒ
Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terkait
dalam perkawinan sah atau belum , diperbolehkan.
2. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial yang
dimaksud diatas harus pula mempunyai izin tertulis dari menteri sosial
atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut di izinkan untuk
diserahkan sebgai anak angkat.
C. ALASAN MENGANGKAT ANAK.
Pada umumnya yang menjadi alasan / motivasi dari pasangan suami isteri untuk
melakukan pengangkatan anak adalah untuk melanjutkan keturunan tetapi dengan
adanya perkembangan jaman, tujuan pengangkatan anak berubah sebagai lembaga
sosial untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul karena disatu pihak ada
orang-orang yang mempunyai banyak anak dan mereka tidak menghendaki anak itu
sedangkan dilain pihak ada orang yang terdorong untuk membantu dengan
memelihara anak terlantar.
Dengan demikian tujuan pengangkatan anak lebih jauh lagi yaitu demi
kemanusiaan. Tetapi kita mengetahui juga bahwa setiap perbuatan mempunyai tujuan
yang berbeda-beda, oleh karena itu tidak mengherankan jika alasan pengangkatan
anak itu bermacam-macam.
21
Di Indonesia alasan pengangkatan anak menurut hukum adat pada umumnya
takut tidak mempunyai keturunan, dengan mengangkat anak diharapkan akan
mempercepat kemungkinan mendapatkan keturunan. Alasan lain, orangtua angkat
ingin mendapatkan bantuan jika sudah lanjut usianya, atau juga karena alasan kasihan
kepada anak itu.
Tetapi yang sangat penulis tekankan bahwa alasan dari pengangkatan anak itu
adalah semata-mata untuk kepentingan anak yang diangkat dari pada kepentingan
orangtuanya, walaupun masih banyak pada kenyataannya masih banyak orang yang
melakukan pengangkatan anak dengan alasan untuk mendapatkan kebahagiaan atau
kepentingannya sendiri tanpa menghiraukan kepentingan anak tersebut.
D. MAKSUD DAN TUJUAN MENGANGKAT ANAK.
Dari apa yang telah dikemukakan, jelas bahwa adanya lembaga eksistensi itu
adalah suatu keperluan masyarakat yang mengandung unsur-unsur positif yang dapat
dilihat dari motif-motif yang mendasari adanya suatu lembaga adopsi atau
pengangkatan anak di Indonesia. Inti dari motivasi pengangkatan anak/adopsi di
Indonesia sebagai berikut :
1. Karena tidak mempunyai anak
2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orangtua tersebut tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya.
3. Karena belas kasihan disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai
orang tua.
22
4. karena mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan
atau sebaliknya.
5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai
anak kandung.
6. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak.
7. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
Dari uraian diatas memang pada mulanya maksud dan tujuan pengangkatan anak ,
akan tetapi dalam perkembangannya kemudian tujuan pengangkatan anak berubah
menjadi untuk kesejahteraan anak.
E. AKIBAT HUKUM DALAM PENGANGKATAN ANAK.
1. Kedudukan Orangtua Angkat.
Dengan adanya pengangkatan anak, maka suami isteri berkedudukan sebagai
orang tua, sebagai ayah dan ibu dalamsuatu rumah tangga/keluarga baik terhadap
anak kandung maupun bukan anak kandung.
Sebagai akibat dari pengangkatan anak,maka hubungan antara si anak angkat
dengan orang tua angkat seperti hubungan anak angkat dengan orangtua kandung
secara hukum terputus. Hubungan sehari-hari berjalan seperrti biasa, dimana anak
angkat berhak mewarisi harta dari orang tua kandungnya karena hubungan
pengangkatan anak secara adat tidak mungkin putus lagi. Putusnya hubungan antara
sianak angkat dengan orang tua kandungnya biasanya ditandai dengan pemberian
sejumlah uang atau barang-barang tertentu.
23
Menurut Hilman Hadikusuma, didaerah lampung seorang anak angkat Tegak Tegik jika ia diangkat secara resmi dalam upacara adat, maka ia berkedudukan
sebagai penerus keturunan bapak angkatnya, ia berhak atas kedudukan harta
kekayaan bapak angkatnya itu.
Demikian pula di minahasa seorang anak angkat juga mewarisi harta dari
orangtua angkatnya, kecuali terhadap harta kelakeran karena hal ini memerlukan
persetujuan dari para anggota kerabat yang bersangkutan. Jadi anak angkat dalam hal
ini berhak atas harta pencaharian orangtua angkatnya dan berhak pula atas harta
bawaan. 17
Berkaitan dengan kedudukan anak angkat sebagai ahli waris dari orangtua
angkatnya, maka Bastian Tafal mengemukakan bahwa di daerah Jawa Tengah
seorang anak angkat mewarisi harta dari ayah angkatnya dan juga mewarisi harta dari
orang tua kandungnya. 18
Bisa dilihat dari sudut hukum kekerabatan adat, maka istilah orang tua sebenarnya
dapat dibedakan antara orang tua sebenarnya dapat dibedakan antara orang tua suamiisteri, yaitu ibu dan ayah dari anak-anak, dan orang tua dalam arti luas adalah
saudara-saudara sekandung ayah menurut garis laki-laki atau saudara sekandung ibu
menurut garis wanita yang ikut bertanggung jawab terhadap anak kemenakan. Jadi
sejauh mana kedudukan orang tua harus dilihat dalam patrilineal maupun matrilineal
tidak hanya semata-mata berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak
17
18
Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Alumni,Bandung,1983,hlm.149.
Bastian Tafal,op.cit.Hlm.49.
24
kandungnya saja, tetapi juga harus bertanggungjawab terhadap anak angkatnya
tersebut. Misalnya kedudukan”anak penyeimbang” didalam satu ”Nuwo Batak” di
lampung, kedudukan “paying jurai” dan “tunggu Tubang” di kalangan masyarakat
adat semendo (sumatera selatan) dan atau kedudukan “mamak” diminagkabau
terhadap anak sendiri maupun terhadap anak angkat. 19
Sesungguhnya orang tua memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat ( Pasal 30 UU No.1
tahun 1974 ), tidak saja dari susunan masyarakat yang bersendi kehidupan kecil tetapi
juga yang bersendi kehidupan besar.
Kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anak tidak terbatas
sampai si anak kawin dan hidup mandiri, tetapi juga kalau diperlukan walaupun
mereka telah kawin dan hidup mandiri masih tetap diberikan bimbingan dan
pengawasan orang tua dan anggota kerabat mereka. Hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak mereka adalah seimbang menurut kedudukan dan tanggung jawabnya
masing-masing dalam keluarga yaitu rasa cinta, saling hormat menghormati,
kesetiaaan dan saling membantu dalam kehidupan harus terjalin sedemikian rupa
tidak saja terhadap keluarga tersebut tetapi juga terhadap kerabat yang lain.
2. Kedudukan Orang tua Kandung
Pada hakekatnya tindakan pengangkatan anak menurut hukum adat adalah suatu
usaha untuk mengambilanak yang bukan keturunan sendiri dengan maksud untuk
memelihara dan memperlakukannya sebagai anak sendiri, untuk itu harus ada syarat19
Hilman Hadikusuma,Op.Cit,Hlm.141.
25
syarat tertentu yang harus dipenuhi terhadap orangtua kandung dari si anak demikian
pula tentang hubungan-hubungan anak dengan orang tua kandung, kalau diperhatikan
dari beberapa daerah hukum adat yang ada di Indonesia ini antara satu dengan yang
lain tidak ada keseragaman sebagaimana sebenarnya, hubungan orang tua kandung
dengan anak angkat. Jadi jelasnya tergantung pada daerah setempat.
Menurut pendapat para Sarjana, adopsi di Indonesia mengenal / menimbulkan hak
waris bagi anak angkat, sedangkan menurut hukum islam tidak mengenalnya.
3. Kedudukan Anak Angkat.
Anak angkat adalah seorang bukan keturunan dari pasangan suami isteri yang
dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak turunannya sendiri. Dengan
demikian khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi masyarakat Indonesia juga
pastilah mempunyai sifat-sifat kebersamaan antar berbagai daerah hukum, kendatipun
tentunya karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai kehidupan kultural
suku bangsa indonesia. Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang
siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya, kecuali minimal berbeda
minimal 15 tahun. Hal ini berdasrkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri
Banjarmasin.
Disamping adanya pengangkatan anak karena tidak punya anak, dapat pula
berlaku sebagaimana di daerah Lampung atau juga di tanah Batak, yaitu
pengangkatan “anak adat” dalam hubungan dengan adat memasukkan menjadi warga
adat. Kedudukan anak adat ini hanya merupakan suatu pengakuan dan pengesahan
26
sebagai warga adat persekutuan, jadi yang bersangkutan bukan sebagai waris dari
orangtua yang mengangkatnya, melainkan dikarenakan pengangktan itu si anak
mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga adat persekutuan lainnya.
Menurut Hukum adat di Indonesia anak angkat ini ada yang mewarisi yaitu yang
berhak mendapatkan warisan dan ada pula yang tidak menuntut warisan dari orang
tua angkatnya.
Menurut laporan hasil-hasil penelitian atau pencatatan hukum adat warisan dalam
enem wilayah hukum Pengadilan Negeri dalam lingkungan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, secara umum dikemukakan bahwa : “ anak
angkat dalam masyarakat banjar tidak mendapat harta warisan. Oleh karena itu
kedudukan anak angkat dalam peninggalan warisan bukanlah sebagai ahli waris.
Dalam hal ini kalau pewaris masih mempunyai anak kandung, anak tidak berhak atas
suatu barang yang sepantasnya dari harta peninggalan, kecuali dengan kerelaan ahliahli waris ia dapat diberi sebagian barang sepantasnya. Di samping itu pada umunya
anak angkat tetap berhak mendapat hak waris dari orang tua kandungnya”. 20
Namun sebenarnya ada beberapa keputusan Pengadilan Negeri yang mengatakan
bahwa anak angkatnya, yaitu antra lain seperti yang diterapkan oleh Pengadilan Negri
Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan tanggal 30 september 1975.
Dengan gambaran contoh diatas, jelaslah sering timbul masalah adopsi dalam
hubungannya dengan soal warisan dan upacara pengangkatan anak itu sendiri.
20
Muderis Zaeni,Op.cit.hlm.24.
27
Selanjutnya dilihat dari faktor sosial juga tidak sedikit menimbulkan masalah.
Perpindahan anak dari uatu kelompok keluarga kedalam keluarga yang lain sering
disebabkan oleh masalah-masalah emosional. Dalam hal ini pengangkat anak dari
keluarga lain untuk dijadikan anaknya sendiri menimbulkan suatu hubungan yang
baru dan memutuskan hubungannya dengan keluarga yang lama. Hal ini sering
menimbulkan masalah bila dihubungkan dengan masalah perkawinan antara anak
angkat dalam keluarga dalam garis katurunan lurus dari orang tua angkat, dimana
masyarakat menganggap hal ini kurang pantas .
Dalam Hukum Adat Jawa, anak angkat bukanlah ahli waris, akan tetapi mereka
berhak atas barang-barang tertentu dari harta warisan sebagai hibah asal memenuhi
syarat-syarat :
1. bahwa anak itu mengikuti suka duka dalam hidup keluarga.
2. sesudah besar/dewasa tidak akan memutuskan hubungan keluarga.
Kedudukan anak angkat pada hakekatnya sama dengan anak kandung, tetapi
ini semua tidak berlaku disemua daerah di Indonesia, terutama dalam kedudukan
hukum pada hak warisnya. 21
21
Tanakarin.S, Asas-asas Hukum Waris,Pionir Jaya,Bandung,1992,Hlm.22.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT
A. Pengertian Hukum Waris Adat
Istilah waris dalam Hukum Waris Adat diambil alih dari bahasa arab yang berarti
peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia. Ada
beberapa penafsiran hukum waris adat yang dinyatakan oleh beberapa ahli hukum
adat diantaranya :
Menurut soepomo bahwa hukum waris adat adalah :
“Memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda (Immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. 22
Sedangkan Teer Haar menyatakan bahwa hukum waris adat adalah :
“Aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi kepada generasi”. 23
Dengan demikian dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hukum
waris adat itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para
warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak
22
23
Hilman Hadikusuma, op.cit.,hlm.17.
Ibid.,hlm.17.
29
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini sangat tergantung
pada sistem keturunannya.
Sedangkan pengertian warisan menurut Wirjono adalah :
“Bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup “. 24
Jadi pengertian warisan menurut Wirjono lebih diartikan sebagai cara
penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat sebagai akibat dari wafatnya
seseorang, bukan diartikan sebaga bendanya, sedangkan kedua pendapat sebelumnya
mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta benda seseorang
kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.
Dalam Hukum Waris Adat ada tiga unsur yang sangat penting yang masingmasing merupakan unsur mutlak dalam Hukum Waris Adat, yaitu:
1. Seseorang yang meninggal dunia yang pada wafatnya meninggalkan
harta kekayaan yang disebut pewaris.
2. Seorang atau beberapa orang yang berhak menerima kekayaan yang
ditnggalkan pewaris atau disebut Ahli Waris.
3. Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris atau dsebut harta
warisan. 25
B. Sistem Pewarisan Hukum Waris Adat.
24
25
Idem, hlm.18.
Soerojo Wingjodipoero, op.cit.,hlm.162.
30
B.1. Sistem Keturunan
Hukum waris adat di Indonesia mempunyai sifat pluralistik, yaitu Hukum Waris
Adat yang berlaku beraneka ragam menurut suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal
ini di latarbelakangi oleh sistem keturunan yang ada di Indonesia, adanya sistem
keturunan yang bermacam-macam dapat mempengaruhi hukum waris adat terutama
terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta warisan yang diwariskan.
Sistem keturunan yang ada di Indonesia sangat mempengaruh Hukum Waris Adat
diantaranya, yaitu :
B.1.1 Sistem Keturunan Kebapakan (Patrillineal)
Sistem Patrilineal yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan ( Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian
). 26
Di dalam sistem Patrilineal pada dasarnya yang berhak menerima harta warisan
adalah anak laki-laki terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga,
sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi dapat sebagai penerima
bagian harta bawaan untuk dibawa dalam perkawinannya mengikuti pihak suami, jadi
anak-anak perempuan bukuan sebagai ahli waris dari bapaknya.
B.1.2. Sistem Keturunan Keibuan ( Matrilineal )
26
Hilman Hadikusuma, op.cit.,hlm.23.
31
Sistem Matrilineal yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam
pewarisan ( Minangkabau, Enggano, Timor ). 27
Didalam sistem Matrilineal semua anak laki-laki hanya dapat menjadi ahli waris
dari ibunya sendiri, baik oleh harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari
beberapa generasi maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu
generasi. Jadi dalam sistem Matrilineal pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk
anak-anaknya. Karena anak-anak hanya menjadi ahli waris dari generasi perempuan /
garis ibu. Sehingga anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya.
Sedangkan ayahnya masih merupakan keluarganya sendiri.
B.1.3 Sistem Keturunan Parental / Bilateral.
Sistem parental atau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan didalam pewarisan ( Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimnatna,
Sulawesi dan lain-lain ). 28
Didalam sistem Parental semua anak laki-laki maupun perempuan mempunyai
hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya, anak laiki-laki dan anak
perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya, anak
laki-laki dan anak perempuan adalah sama haknya atas harta warisan, tidak berarti
27
28
Ibid
Ibid
32
bahwa jenis atau jumlah harta dibagi merata diantara semua ahli waris. Hal ini
dikarenakan harta warisan tidak merupakan kesatuan yang dapat dengan begitu saja
dinilai harganya dengan uang , begitu pula pembagiannya akan dilaksanakan
tergantung pada keadaan harta dan ahli warisnya.
Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain dikarenakan hubungan
perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti diantara sistem
patrilineal dan sistem matrilineal. Dengan catatan bahwa di dalam perkembangannya
di Indonesia sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan kerabat
dalam hal yang menyangkut kebendaan dan pewarisan.
Namun demikian disana-sini terutama dikalangan masyarakat di pedesaan masih
banyak juga yang bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan adatnya yang
lama, sehingga apa yang dikemukakan oleh Hazairin masih nampak kebenarannya, Ia
menyatakan :
“ Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat
yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya Patrilineal,
Matrilineal, Parental atau Bilateral “. 29
B.2. Sistem Pewarisan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa garis keturunan yang terdapat di
Indonesia berpengaruh baik terhadap penetapan ahli waris maupun terhadap bagian
harta peninggalan yang diwariskan. Selain garis keturunan yang ada di Indonesia
29
Idem, hlm.24.
33
sangat mempengaruhi terhadap penetapan ahli waris maupun baiannya, hukum waris
adat pun tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan itu dibagikan kepada ahli warisnya.
Untuk itu diadakanlah pembagian atau sistem pewarisan dalam hukum waris adat.
Hukum waris adat mengenal adanya tiga sistem pewarisan, yaitu sebagai berikut :
B.2.1. Sistem Pewarisan Individual.
Sistem pewarisan individual merupakan sistem pewarisan dengan ahli waris
mewarisi secara perorangan. Menurut Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa
pewarisan dengan sistem individual atau perorangan adalah sistem pewarisan dimana
setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki
harta warisan menurut bagiannya masing-masing. 30 Setelah diadakan pembagian
harta warisan, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian
harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati, atau dialihkan (dijual) kepada semua
ahli waris anggota kerabat, tetangga atau orang lain.
Pembagian harta warisan secara individual banyak berlaku dikalangan masyarakat
yang sistem keturunannya parental sebagaiman dikalangan masyarakat jawa atau juga
dikalangan masyarakat adat lainya seperti masyarakat adat Batak di mana berlaku
adat Manjae atau juga dikalangan masyarakat adat yang kuat dipengaruhi hukum
30
34
islam seperti dikalangan masyarakat Adat Lampung beradat Peminggir dipantaipantai Selatan Lampung.
Sistem ini ada kebaikannya yaitu dengan kepemilikan secara pribadi maka ahli
waris dapat bebas menguasai dan memiliki bagian warisannya untuk dipergunakan
sebagi modal kehidupannya lebih lanjut tanpa dipengaruh oleh anggota-anggota
keluarga yang lain.
Ia dapat mentransaksikan bagian warisannya itu kepada orang lain, untuk
dipergunakan menurut kebutuhannya sendiri atau menurut kebutuhan keluarga
tanggungannya. Bagi keluarga yang sudah maju dimana rasa kekerabatannya sudah
mengecil, tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh dan tidak
begitu terikat lagi untuk bertempat tinggal didaerah asal apalagi telah melakukan
perkawinan campuran maka sistem pewarisan individual ini nampak besar
pengaruhnya.
Kelemahan dari sisem pewarisan individual ialah pecahnya harta warisan dan
mereganggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin
memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri, sistem ini dalam
pewarisan dapat menjurus kearah individualisme dan materialisme.
B.2.2. Sistem Pewarisan Kolektif.
Pada sistem ini para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris. Sistem
pewarisan kolektif adalah “dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan
35
pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi
penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.31
Mengenai cara pemakaian harta warisan itu, untuk kepentingan dan kebutuhan
masing-masing ahli waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh
semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan
kepala kerabat.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto menyatakan bahwa sistem pewarisan
kolektif adalah sistem pewarisan dimana harta peninggalan diwarisi oleh sekumpulan
ahli waris yang merupakan semacam hukum dimana harta tersebut tidak boleh dibagibagikan pemilikannya diantara para ahli waris yang boleh dibagikan hanyalah
pemakaiannya. 32
Sistem pewarisan ini banyak terdapat didaerah minangkabau, kadang-kadang juga
ditanah batak, minahasa, ambon dan diaerah lampung. Di minangkabau sistem
kolektif berlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama dibawah pimpinan mamak
kepala ahli waris dimana para anggota waris hanya mempunyai hak pakai. Serupa
dengan daerah minang yang pengurusannya oleh kepala dati. Di minahasa sistem
kolejtif ini berlaku atas tanah kalakeran dan diatur serta diawasi oleh tua-tua kerabat
yang disebut Tua Untaranak.
31
Hilman Hadikusuma.,op.cit,hlm.26.
32
36
Kebaikan dari sitem ini masih nampak apabila fungsi harta warisan itu
diperuntukan buat kelangsungan hidup keluarga besar untuk sekarang dan masa
seterusnya masih tetap berperanan, tolong menolong antara yang satu dan yang lain
dibawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih tetap dapat
dipelihara, dibna dan dikembangkan.
Sedangkan kelemahan dari sistem pewarisan kolektif ini diantaranya dikarenakan
banyak diantara kelompok keluarga/ kerabat ahli waris yang pergi atau merantau
meninggalkan kampung halamana. Kelamahan ini dapat diambil contohnya pada
daerah lampung, disana nampak tanah-tanah milik bersama menjadi terbengkalai
dikarenakan para kepala kerabat yang bersangkutan tidak dapat bertahan mengurus
kepentingan bersama dengan baik.
B.2.3. Sistem Pewarisan Mayorat.
Pewarisan sistem mayorat merupakan sistem pewarisan kolektif pula hanya
penerusannya dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau
kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem pewarisan Mayorat adalah dimana anak tertua (laki-laki atau wanita) pada saat
meninggalnya si pewaris berhak / tinggal untuk mewarisi seluruh harta
peninggalan. 33
33
37
Sistem pewarisan mayorat ini sangat tergantung kepada kepemimpinan anak
tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat dalam
mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota
keluarga yang ditinggalkan, anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus
tanggung jawab orang tua yang sudah wafat berkewajiban mengurus dan memelihara
saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas penggunaan harta
warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah
tangga dan berdiri sendiri dalam suau wadah kekerabatan mereka yang turun
temurun. Setiap anggota waris hanya mempunyai hak memakai dan menikmati saja
atas harta bersama itu, tanpa hak untuk menguasai dan memilikinya secara
perorangan.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan adanya perbedaan sistem
keturunan yang dianut, yaitu :
1. mayorat laki-laki yang terdapat didaerah lampung yang memimpin,
mengurus dan mengatur penguasaan harta peninggalan adalah anak laki-laki
tertua dari isteri tertua. Mayorat laki-laki ini terdapat pula dilingkungan
masyarakat adat lampung terutama yang beradat pepadun dan juga berlaku
di teluk yos sudarso, kabupaten jayapura, irian barat.
2. mayorat perempuan dimana yang mengurus dan menguasai harta
peninggalan adalah anak tertua perempuan sebagai penunggu harat orang
tua. Mayorat ini terdapat dilingkungan masyarakat adat Semendo Sumatera
Selatan.
38
Kebaikan dalam pewarisan mayorat ini adalah anak tertua yang penuh tanggung
jawab akan dapat memperahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua
ahli waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri., sedangkan kelemahan dari
sistem ini adalah anak tertua yang tidak bertanggung jawab, yang tidak dapat
mengendalikan diri yang pemboros, jangankan dapat mengurus harta warisan dan
saudara-saudaranya malahan sebaliknya ia yang diurus oleh anggota keluarga yang
lain.
Hazairin menerangkan sistem pewarisan yang ada di Indonesia sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bila dihubungkan dengan sistem keturunan, yaitu :
‘sistem individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum pewarisan tidak
perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat dimana hukum pewarisan itu
berlaku, sebab sistem pewarisan yang individual bukan saja dapat ditemuai dalam
masyarakat patrilineal seperti ditanah batak, malahn ditanah batak itu dijumpai pula
system mayorat dan system kolektif yang terbatas demikian juga system mayorat
selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Tanah Semendo dijumpai
pula pada masyarakat bilateral orang dayak dikalimantan barat, sedangkan system
kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat
yang bilateral seperti di minahasa sulawesi Utara”. 34
Dengan memperhatikan pendapat Hazairin diatas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa untuk menentukan sistem pewarisan dengan pasti dan tegas sangat sukar
dalam suatu masyarakat dengan sistem keturunan tertentu, yang mana tidak selalu
dalam sistem keturunan masyarakat tersebut dapat memiliki satu sistem pewarisan
yang berlaku pula pada masyarakat itu, akan tetapi dapat terjadi dalam sistem
pewarisan yang sama. Contohnya pada sistem pewarisan mayorat tidak selalu ada
34
Soejono Soekanto,op.cit,hlm.286.
39
pada masyarakat keturunan patrilineal saja tetapi juga pada masyarakat dengan garis
keturunan matrilineal. Juga pada sistem pewarisan individual tidak selalu ada pada
masyarakat bilateral saja akan tetapi dapat juga berlaku pada masyarakat patrilineal
seperti di tanah batak.
C. HARTA WARISAN.
Menurut pengertian yang umum warisan adalah semua harta benda yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu
sudah dibagi atau belum terbagi atau memang tidak dibagi. 35
Sedangkan menurut hukum yang dimaksud dengan harta peninggalan atau
harta warisan adalah kekayaan “ in concreto” yang ditinggalkan dan beralih kepada
ahli waris itu. 36
Menurut Hukum Waris Adat yang dimaksud dengan Harta Warisan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma adalah “ Harta kekayaan
yang akan diteruskan pewaris ketika pewaris masih hidup atau setelah wafat untuk
dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan
yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 37
Adapun penerusan harta warisan ada tergantung pada struktur masyarakat
adapt yang bersangkutan terutama bergantung pada sistem keturunan pewarisnya
35
Hilman Hadikusuma,op.cit.,hlm.35.
Wirjono Projodikoro,op.cit.hlm.162.
37
Hilman Hadikusuma.,op.cit,hlm.10.
36
40
yang akan mewariskan harta warisannya itu. Dalam hukum waris adat dapat
dibedakan jenis-jenis harta warisan sebagimana yang akan diuraikan dibawah ini :
C.1. Kedudukan / Jabatan Adat.
Warisan ini merupakan harta warisan yang bukan semata-mata bernilai
ekonomis tetapi termasuk yang non- ekonomis, yaitu yang mengandung nilai-nilai
kehormatan adat dan yang bersifat magis religius. Sehingga apabila ada pewaris
wafat maka bukan saja harta warisan yang berwujud benda yang akan diteruskan dan
doalihkan kepada para waris, tetapi juga yang tidak berwujud benda, seperti halnya
kedudukan / jabatan adat serta tanggung jawab kekeluargaan / kekerabatan.
Kedudukan atau jabatan adat yang bersifat turun – temurun merupakan warisan
yang tidak berwujud benda. Misalnya kedudukan atau jabatan kepala adapt dan
petugas-petugas adat, seperti Raja-Raja Adat di Batak, Penghuku Suku, Penghulu
Andiko atau Mamak Kepala Waris di Minangkabau, Tunggu Tubang dan Payung
Jurai di masyarakat Semendo Sumatera Selatan: saibatin di lampung dan petugaspetugas adat yang lain. 38
Pada masyarakat patrilineal pada umumnya warisan kedudukan atau jabat adat
dipegang oleh keturunan pria tertua kecuali apabila pewaris kepala adat itu tidak
mempunyai anak pria maka kedudukan kepala adat diwarisi oleh penggantinya dari
keturunan yang kedua, pewarisan kedudukan adat tersebut di Batak tidak boleh
diteruskan oleh waris anak wanita. Di Lampung dan Bali diperbolehkan dengan
38
Idem.,hlm.36.
41
melaksanakan bentuk perkawinan “ambil pria” untuk kemudian apabila mendapat
keturunan laki-laki, maka cucu itu adalah ahli waris dari pewaris kedudukan adat
tersebut. 39
Sedangkan pada masyarakat matrilineal pada umumnya warisan kedudukan atau
jabatan adat dipegang oleh saudara lelaki dari seketurunan wanita dari pewaris.
Seperti halnya jabatan penghulu atau mamak kepala waris di Minangkabau atau juga
dikalangan masyarakat Semendo Sumatera Selatan. 40
Pada masyarakat parental atau bilateral warisan kedudukan atau jabatan adat
dipegang oleh saudara tertua pria atau wanita atau tidak ada warisan kedudukan adat,
karena masyarakat lebih kuat pada ikatan ketetanggaan sehingga warisan kedudukan
adat dipegang oleh siapa yang menjadi lurah atau kepala desa. 41
C.2. Harta Pusaka.
Pengertian dari Harta Pusaka sebagai harta warisan dapat dibedakan menjadi 2
(dua) jenis yaitu
1) Harta Pusaka Tinggi
Yang dimaksud dengan harta pusaka tinggi adalah harta peninggalan dari zaman
leluhur, yang dikarenakan keadaannya, kedudukannya dan sifatnya tidak dapat atau
tidak patut dan tidak pantas dibagi-bagi. Harta pusaka tinggi ini berasal dari beberapa
39
Idem,.hlm.37.
Ibid
41
Ibid
40
42
generasi menurut garis keturunan keatas, dari zaman nenek moyang dan paling
rendah dari zaman buyut / canggah.
2) Harta Pusaka Rendah
Yang dimaksud harta pusaka rendah adalah harta peninggalan dari beberapa
generasi diatas ayah, misalnya harta peninggalan kakek atau nenek yang keadaanya,
kedudukannya dan sifatnya tidak mutlak yang tidak dapat dibagi-bagi baik
penguasaan atau pemakaiannya atau mungkin juga pemilikannya. 42
C.3. Harta Bersama
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah semua harta yang berasal dari jerih
payah suami dan isteri bersama selama dalam ikatan perkawinan. Yang dimaksud
dengan jerih payah suami dan isteri bersama, bukan saja dalam arti hasil bekerja sama
dalam pertanian, hasil kerja sama berdagang atau karene suami menjadu karyawan
dan isteri juga karyawan, tetapi juga termasuk pekerjaan isteri yang sehari-hari di
rumah yang mengurus makan, minum dan mengasuh anak-anaknya.
3) Harta Bawaan
Yang dimaksud harta bawaan adalah semua harta yang berasal dari suami dan
atau bawaan isteri ketika melangsungkan pekawinan.
D. CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN
42
Ibid
43
Menurut Soepomo sebagaimana telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Hukum Waris Adat adalah memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta menoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda (immateriele goederen ) dari suatu angkatan manusi ( generatie
) kepada turunannya. Dengan demikian suatu cara bagaimana pewaris berbuat untuk
meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para
waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan
penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagaian
warisan kepada para waris setelah pewaris wafat disebut proses pewarisan. 43
Proses pewarisan ini yang dilaksanakan ketika pewaris masih hidup dapat
berjalan dengan cara penerusan dan pengalihan, penunjukan dan atau dengan cara
berpesan, berwasiat dan beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku cara
penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala
kerabat atau dengan cara pembagian. 44
E.1. Sebelum Pewaris Wafat.
Cara penerusan atau pengalihan harta warisan dari pewaris yang masih hidup
kepada ahli warisnya terutama terhadap kedudukan , hak, dan kewajiban dan harta
warisan yang tidak terbagi-bagi seperti kepada anak laki-laki tertua atau termuda di
tanah batak, kepada anak tertua perempuan di Minangkabau, kepada anak tertua laki-
43
44
Idem,hlm.95.
Idem,hlm.96.
44
laki di Jawa, yang pelaksanaannya menurut tata cara musyawarah adat dan mufakat
kekerabatan atau kekeluargaan setempat. 45
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara penunjukan oleh pewaris sebelum
ia meninggal dan dapat juga dengan cara berpesan atau wasiat. Yang dimaksud
dengan penunjukan adalah apabila bagian-bagian harta warisan tertentu telah
ditunjukan bagi para ahli waris yang akan mewarisi oleh pewaris ketika hidupnya,
tetapi peralihan hak miliknya baru terjadi apabila pewaris telah wafat. 46
Sedangkan berpesan atau wasiat dari pewaris kepada para waris ketika hidupnya
itu biasanya diucapkan dengan terang dan disaksikan oleh para waris, anggota
keluarga, tetangga dan tua-tua desa (pamong desa).
E.2. Setelah Pewaris Wafat.
Apabila salah seorang ayah atau ibu yang masih hidup tetapi sudah tua atau
pikun, tidak dapat lagi menjalankan perbuatan hukum dengan baik, dan atau kedua
orang tua sudah wafat semua, dan diantara anak sudah ada yang dewasa, maka
dengan upacara adat atau tanpa upacara adat, menurut keadaan setempat, kesemua
harta peninggalan pewaris dikuasai oleh anak, menurut susunan kekerabatan masingmasing. 47
E.3. Pembagian Warisan.
45
Idem,hlm.97.
Idem,hlm.210.
47
Idem,hlm.99.
46
45
Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu
dapat dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang
menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian
setelah pewaris wafat dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan
yang disebut waktu tujuh hari, waktu empat puluh hari atau seratus hari setelah
pewaris wafat oleh karena pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul
apabila harta warisan akan dibagi. 48
48
TeerHaar,op.cit,hlm.231.
46
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO 1000/K/PDT/1991 MENGENAI
HAK WARIS ANAK ANGKAT YANG DILANDASI ITIKAD
BURUK
A. KASUS POSISI
Identitas para pihak :
1.SUWARNO, bertempat tinggal di desa bagelan, kecamatan bagelan, kabupaten
purwokerto.
2.RACHMAD, bertempat tinggal di jl. Jatisari II No.26 kelurahan jatipadang,
kecamatan pasar minggu, jakarta selatan.
3.NOTOSUPARMO, bertempat tinngal di jl. Menara Air, RT 05 RW 011, kelurahan
manggarai, kecamatan tebet, jakarta selatan.
4.TJOKROMIHARDJO, bertempat tinggal di Desa Bongkot, Kecamatan
Purwodadi, kabupaten Purworejo:
5.MARGOSUMITRO, bertempat tinngal di Desa Bangkot, Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Purwodadi.
Untuk selanjutnya disebut Penggugat
47
MELAWAN
Nama
: Siti Kurnianigrum
Alamat
: Jln. Yosodipuro No. 115 Surakarta
Nama kuasa
: Sajono Hardjomidjojo,SH.
Pekerjaan
: Penasehat Hukum
Alamat
: Jln. Jeruk V No.23 Semarang
Untuk selanjutnya disebut Tergugat
2. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Ny. Purdiah, seorang janda yang tidak mempunyai anak kandung. Dalam
kehidupannya ia hidup bersama dengan anak keponakannya perempuan bernama Siti
Kurnianingrum.
Ny. Purdiah mempunyai beberapa saudara kandung yaitu :
1.Ny. Kusdiah, yang telah wafat dan mempunyai anak : 1.Suwarno, 2. Rachmat, 3.
Notosuparno
2.Ny. Murdiah,beranak Siti Kurnianingrum
3.TjokromoharjoMargosumitro.
Ny. Purdiah meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta
peninggalan berupa beberapa bidang tanah dan rumah.
Para saudara kandung Ny. Purdiah berusaha untuk memperoleh hartanya Ny.
Purdiah almarhum, karena mereka merasa dirinya adalah ahli waris. Keinginan ini
48
ditentang oleh Siti Kurnianingrum yang dirinya merasa ahli waris. Keinginan ini
ditentang oleh Siti Kurnianingrum yang dirinya merasa ahli waris juga karena adalah
anak angkat dari Ny. Purdiah almarhum.
Karena jalan musyawarah tidak berhasil dicapai dalam menyelesaikan harta
warisan Ny. Purdiah tersebut, akhirnya masalah harta warisan Ny. Purdiah tersebut,
akhirnya masalah harta warisan ini diajukan di Pengadilan Negeri Purworejo.
Sementara gugatan Perdata di Pengadilan Negeri Purworejo masih diperiksa,
maka secara diam-diam Siti Kurnianingrum, anak keponakan yang merasa dirinya
anak angkat dan merupakan ahli waris Ny. Purdiah almarhum, mengajukan
permohonan Penetapan ahli waris Ny. Purdiah secara sepihak di Pengadilan Negeri
Surakarta.
Pengadilan Negeri Surakarta secara declaratoir menerbitkan surat penetapan
yang berisi peryataan hukum bahwa Siti Kurnianingrum adalah satu-satunya ahli
waris dari almarhum Ny. Purdiah dan berhak atas harta peninggalannya.
Penetapan ahli waris dari Pengadilan Negeri Surakarta No. 15/pdtr/p/1988
tersebut didengar oleh saudara kandung Ny. Purdiah almarhuma yang saat itu sedang
bergelut di Pengadilan Negeri Purworejo memperebutkan harta warisan Ny. Purdiah
almarhum.
Saudara kandung almarhum Ny. Purdiah bersepakat mengajukan gugatan
perlawanan di Pengadilan Negeri Surakarta terhadap Siti Kurnianingrum dan juga
ibunya Ny. Murdiah sebagai Terlawan.
Para pelawan menuntut ke pengadilan Negeri Surakarta yang mohon Putusan supaya :
49
1.Para Pelawan adalah ahli waris dari Ny. Purdiah almarhum dan berhak atas harta
peninggalan almarhum.
2.Membatalkan nPenetapan Pengadilan Negeri Surakarta No. 15/pdt.p/1987, dengan
segala akibat hukumnya.
Pihak terlawan disamping mengajukan eksepsi dan jawaban yang bersifat
menyangkal gugat perlawanan, maka terlawan juga mengajukan gugat balasan
(rekonpensi) yang mengajukan tuntutan sebagai berikut :
1.Terlawan Rekonpensi melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
pelawan Rekonpensi baik moril maupun materil.
2.Menyatakan kerugian moril dan materil yang diderita pelawan Rekopensi uang
sebesar Rp. 100 juta Rupiah.
3.Menghukum Terlawan Rekonpensi membayar kepada pelawan Rekonpensi uang
sebesar Rp. 100 juta Rupiah.
Atau mohon putusan yang adil.
B. PERTIMBANGAN HUKUM
1. Pengadilan Negeri :
Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan
pertimbangan hukum yang pada pkoknya sebagai berikut :
•
Dalam Eksepsi :
50
Tidak ada Undang-undang yang melarang Pencantuman Pihak yang berlebihan,
sehingga tidak mengakibatkan gugt perlawanan mengandung cacat hukum. Dengan
alasan ini, maka eksepsi terlawan dinyatakan ditolak.
•
Dalam Gugat Konpensi ;
™
Hakim pertama berpendapat demikian :
™
Penetapan ahli waris, Terlawan I, Siti Kurnianingrum, telah diajukan di
Pengadilan Negeri Surakarta pada saat terjadi sengketa gugatan tentang ahli
waris dan pembagian harta peninggalan almarhum Purdiah, dimana Terlawan I
dan Pelawan menjadi para pihaknya di Pengadilan Negeri Purworejo.
™
Tujuan permohonan penetapan ahli waris di pengadilan negeri surakarta
tersebut adalah agar Terlawan I, Siti Kurnianigrum, menajdi satu-satunya ahli
waris dari harta peninggalan Ny. Purdiah yang masih disengketakan di
pengadilan negeri purworejo. Hal ini tidak pernah dikemukakan oleh Terlawan
I, Siti pada saat pemeriksaan permohonannya penetapan ahli waris No.
15/1987/pdt/p/PN.Ska.
™
Terlawan I Siti Kurnianingrum, dinilai telah mempunyai Itikad buruk pada saat
mohon
penetapan
ahli
secra
declaratoir
tersebut,
dengan
sengaja
No.15/1987pdt/P/PN.Ska,
ternyata
menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
™
Oleh
karena
penetapan
ahli
waris
bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, maka penetapan tersebut
dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan perlawanan pihak lain.
51
™
Tuntutan pelawan dan terlawan ditetapkan sebagai ahli waris dari almarhum
Ny. Purdiah, harus ditolak karena telah diajukan gugatan tentang kewarisan ini
di Pengadilan Negeri Purworejo yang saat ini sedang berlangsung.
Dalam Rekonpensi :
™
Berdasar atas pertimbangan dalam gugat Konpensi diatas, maka gugat Terlawan
Rekonpensi, dinyatakan ditolak.
™
Akhirnya Hakim pertama memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :
MENGADILI :
Dalam eksepsi :
™
Menolak Eksepsi Terlawan.
Dalam Konpensi
™ Mengabulkan gugat perlawan untuk sebagian.
™
Menyatakan perlawanan adalah pelawan yang benar.
™
Membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Surakarta No.15/1987/pdt/PN.Ska
™
Dst,.......................dst,............................
Dalam Rekonpensi
™
Menolak gugat perlawanan rekonpensi seluruhnya.
2. Putusan Pengadilan Tinggi
™
Para terlawan menolak putusan hakim pertama tersebut diatas
52
™
Setelah memeriksa perkara ini, maka Hakim banding Pertama yang mengadili
perkara ini dinilainya sudah benar, sehingga dapat disetujui dan diambil alih
sebagai pertimbangan hakim banding dalam mengadili perkara ini.
™
Akhirnya hakim banding memberi putusan : Menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Purworejo
3. Putusan Mahkamah Agung
Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan
sebagai berikut dalam perkara :
SITI KURNIANINGRUM, bertempat tinggal di jln. Yosodipuro No. 115 Surakarta,
dalam hal ini memberi kuasa pada sajono hardjomidjodjo,SH. Sebagai penasehat
hukum, alamat jl. Jeruk V No.23 Semarang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3
oktober 1990 ;
Permohonan kasasi, ( dahulu Terlawan I / Pembanding I )
1.SUWARNO, bertempat tinggal di desa bagelan, kecamatan bagelan, kabupaten
purwokerto.
2.RACHMAD, bertempat tinggal di jl. Jatisari II No.26 kelurahan jatipadang,
kecamatan pasar minggu, jakarta selatan.
3.NOTOSUPARMO, bertempat tinngal di jl. Menara Air, RT 05 RW 011, kelurahan
manggarai, kecamatan tebet, jakarta selatan.
4.TJOKROMIHARDJO, bertempat tinggal di Desa Bongkot, Kecamatan
Purwodadi, kabupaten Purworejo:
53
5.MARGOSUMITRO, bertempat tinngal di Desa Bangkot, Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Purwodadi.
Termohon-termohon kasasi, (dahulu Pelawan-pelawan Terbanding)
DAN :
NY. MURDIAH, bertempat tinggal di Desa Bangkot, Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Purworejo.
Turut termohon kasasi, (dahulu terlawan II / Pembanding II )
Mahkamah Agung tersebut :
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang termohontermohon kasasi sebagai Pelawan-pelawan telah menggugtat sekarang pemohon
kasasi turut termohon kasasi sebagai terlawan I dan Terlawan II dan dimuka
persidangan Pengadilan Negeri Surakarta pada pokoknya atas dalil-dalil :
Bahwa Terlawan ke I telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri Surakarta dan telah memperoleh keputusan tersebut antara lain ditetapkan :
bahwa Terlawan ke-I ( Ny.Siti Kurnianingrum) adalah ahli waris satu-satunya dari
alm. Ny.Purdiah, yang meninggal dunia di surakarta pada tanggal 12 Oktober 1981 ;
Bahwa meskipun dalam diktum Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal
4 maret 1987 disebut bahwa penetapan Terlawan ke-1 ( Ny. Siti Kurnianingrum )
sebagai satu-satu nya ahli waris dari Ny. Purdiah, hanya khusus untuk balik
namatanah-tanah, namun karena putusan itu akibatnya fatal, karena tanah-tanah
54
tersebut merupakan harta peninggalan yang belum terbagi dan menjadi hak seluruh
ahli waris almarhumah;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dengan ini para Terlawan
mohon dengan Hormat kepada Pengadilan Negeri Surakarta untuk memeriksa dan
mengadili perkara ini dan mohon putusan supaya :
1.Mengabulkan gugatan perlawanan dari Pelawan
2.Menyatakan, bahwa para Pelawan adalah Pelawan yang benar;
3.Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 4 maret 1987 No.
15/pdt.P/1987, dengan segala akibat hukumnya;
4.Menetapkan bahwa para Pelawan Tjokromihardjo, Margosumitro, Rachmad,
Notosuparmo dan turut Terlawan / Terlawan ke-2, Ny.Murdiyah
adalah ahli waris yang tidak ada lainnya dari almarhum Ny. Purdiah, yang
meninggal dunia di Surakarta pada tanggal 12 Oktober 1981 yang bersama-sama
berhak atas harta peninggalan almarhumah
5.Menghukum Terlawan ke-1 umtuk membayar semua biaya perkara 4 ini;
6.Menghukum pula turut Terlawan / Terlawan ke-2 untuk tunduk dan taat pada
putusan ini ;
adalah ahli waris yang tidak ada lainnya dari almarhum Ny. Purdiah, yang
meninggal dunia di Surakarta pada tanggal 12 Oktober 1981 yang bersama-sama
berhak atas harta peninggalan almarhumah;
Bahwa atas gugatan perlawanan para Pelawan tersebut diatas, para terlawan
telah mengajukan eksepsi sebagai berikut :
55
Bahwa dalam Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 4 maret 1987
No.15/1987/Pdt.P/PN.Ska, yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu
pihak
pemohonnya
adalah
hanya
Terlawan
ke-1
tanpa
turut
sertanya
Terlawan/Terlawan ke-2;
Bahwa dengan dimintanya oleh para Pelawan terhadap dibatalkannya
penetapan
Pengadilan
Negeri
Surakarta
tanggal
4
maret
1987
No.15/1987/Pdt.P/PN.Ska adalah tidak tepat sama sekali kalau dirinya turut Terlawan
/ Terlawan ke-2 diikutkan sebagai para pihak yang berpekara ini , karena Turut
Terlawan / Terlawan ke-2 tidak tahu menahu akan adanya Penetapan Pengadilan
Negeri Surakarta tersebut diatas;
Bahwa oleh karenanya berarti gugatan perlawanan para Pelawan adalah tidak
sempurna dan harus ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima serta biaya
perkara ini dibebankan kepada para Pelawan;
Bahwa terhadap gugatan tersebut para Terlawan telah pula mengajukan
gugatan balik ( gugatan Rekonpensi) yaitu sebagai berikut ;
Bahwa Terlawan mohon agar jawaban atau tanggapan para Terlawan dalam
konpensi terbaca kembali dalam rekonpensi;
Bahwa akibat gagatan perlawanan para Pelawan merupakan pukulan psychis
yang sangat berat dan kerugian materil bagi seluruh keluarga para terlawan. Sehingga
dapat dinilai dengan uang sebesar rp. 100.000.000,00 ( seratus juta Rupiah );
Bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh tindakan para Pelawan, sehingga
sudah sewajarnya kalau para Pelawan yang wajib membayarnya;
56
Bahwa oleh karenanya, guna menjamin tuntutan para Terlawan, maka para Terlawan
dengan segala kerendahan hati mohon agar diadakan sita konservatoir terhadap
seluruh harta kekayaan para pelawan yang berupa harta tidak bergerak dan harta
bergerak;
Bahwa agar ditentukan uang paksa (dwangsom) terhadap terlambat
melaksanakan putusan sebesar Rp. 50.000,- ( lima puluh ribu Rupiah sehari ;
Bahwa karena para terlawan dalam konpensi mempunyai bukti-bukti yang
autentik, maka para terlawan dalam konpensi atau para pelawan dalam
rekonpensimohon agar hakim memberi putusan dengan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu, meskipun ada perlawanan ( verzet ), banding, kasasi atau upaya hukum
lainnya ;
Bahwa berdasarkan atas hal-hal dan alasan-alasan tersebut diatas, para
Terlawan mohon kehadapan Pengadilan Negeri Surakarta agar memberi keputusan
sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
1.Menerima dan mengabulkan eksepsi Terlawan;
2.Menolak gugatan perlawanan para Pelawan untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan gugatan perlawanan para Pelawan tidak dapat diterima;
DALAM KONPENSI :
1.menolak gugatan perlawanan para pelawan untuk seluruhnya ;
2.menghukum para pelawan membayar biaya perkara ini ;
DALAM REKONPENSI :
57
1.Menerima dan mengabulkan seluruh gugatan para pelawan dalam rekonpensi;
2.menyatakan sah dan berharga sitaan terlebih dahulu terhadap seluruh harta
kekayaan dari para terlawan dalam rekonpensi;
3.menyatakan bahwa para terlawan dalam rekonpensi atau para pelawan dalam
konpensi melakukan aperbuatan yang melawan hukum, sehingga mengakibatkan
kerugian moril dan materill pada para pelawan dalam rekonpensi;
4.menyatakan bahwa kerugian moril dan materil para pelawan dalam rekonpensi
adalah sebesar Rp.100.000.000,- ( seratus juta rupiah )
5.menghukum para terlawan dalam rekonpensi untuk membayar kepada para pelawan
dalam rekonpensi uang sebesar Rp. 100.000.000,- dengan mendapat tanda
pembayaran yang sah;
6.menyatakan bahwa putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada
perlawanan ( verzet ), banding, kasasi atau upaya hukum lain ny;
7.menghukum para terlawan dalam rekonpensi membayar perkara ini.
ATAU :
•
memberikan putusan yang seail-adilnya sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
rakyat yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD”45;
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Surakarta, telah mengambil
putusannya tanggal 23 Nopember 1988 No. 43/pdt.G/1988/PN.Ska., yang
amarnya berbunyi sebagai berikut :
58
DALAM EKSEPSI :
• menolak eksepsi terlawan;
DALAM KONPENSI
• mengabulkan gugat pelawan untuk sebagian ;
• menyatakan Pelawan adalah Pelawa yang benar ;
• membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 4 maret 1987
No.15/1987/Pdt.P/PN.Ska;
• menghukum terlawan ke-I untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini
ditetapkan sebesar Rp.28.225,- ( dua puluh delapan ribudua ratus dua puluh lima
rupiah ) ;
• menolak gugat perlawanan untuk selebihnya;
DALAM REKONPENSI
• menolak gugat pelawan rekonpensi untuk seluruhnya;
• menghukum pelawan rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang hingga saat
ini ditetapkan sebesar nihil ;
Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan terlawan I, II telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusannya tanggal 2 juli
1990 No.226/Pdt/1990/PT.Smg ;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada pembanding
I/terlawan I pada tanggal 21 september 1990 kemudian terhadapnya oleh pembanding
59
/ terlawan I dengan perantaraan khusus, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3
oktober 1990 diajukan permohonan kasasi secara tertulis pada tanggal 4 oktober 1990
sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No.43/Pdt.G/1988/PN.Ska. yang
dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, permohonan mana kemudian
disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 16 Oktober 1980 ;
Bahwa setelah itu oleh Terbanding-terbanding / Pelawan-pelawan yang pada
tanggal 2 Nopember 1990 telah diberikan tentang memori kasasi dari Pembanding I/
Terlawan I diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Surakarta pada tanggal 12 Nopember 1990 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam Undang-undang,
maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut tersebut formil dapat diterima ;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon
kasasi dalam memori kasasinya, tersebut dalam pokoknya ialah:
1.Bahwa telah diakuinya sendiri oleh Pengadilan Tinggi Semarang dalam
pertimbangan hukumnya, Pengadilan Tinggi Setelah mempelajari dengan teliti
dan seksama berkas perkara, selain Putusan Pengadilan Negeri, berita acara
sidang dan semua surat buktinya maka berpendapat bahwa putusan Pengadilan
Negeri dengan semua alasan dan pertimbangan hukumnya sudah tepat dan benar,
sehingga dapat disetujui dan dijadikan bahan pertimbangan Pengadilan Tinggi
sendiri dalam memeriksa dan mengadili perkaranya, kerenanya putusan
60
Pengadilan Negeri tersebut dapat dikuatkan, tetapi Pengadilan Tinggi Semarang
dalam putusannya tersebut lupa bahwa telah diakuinya sendiri oleh Pengadilan
Negeri
Surakarta
dalam pertimbangan
hukumnya
tersebut
kalau
pada
kenyataannya dalam penetapan No 15/Pdt.P/PN/1987. Ska secara formal turut
terlawan / terlawan ke-2 itu turut beracara dan tidak diakuinya sendiri oleh
Pengadilan Negeri surakarta diikut sertakannya turut terlawan/terlawan ke-2
dalam gugat perlawanan ini merupakan kelebihan pihak saja, yang mana
semestinya tidak perlu, sehingga menurut pendapat pemohon kasasi, ini
bertentangan dengan Hukum Acara Perdata Yang masih berlaku di Indonesia,
oleh karenanya dengan pencantumannya Turut Terlawan/ Terlawan ke-2
mengakibatkan gugat perlawanan pelawan/termohon kasasi mengandung cacat
hukum ;
2.Bahwa Pengadilan Tinggi Semarang dalam pertimbangan hukum nya setelah
mempelajari dengan teliti dan seksama, salinan putusan Pengadilan Negeri, berita
acara sidang dan semua alat buktinya, maka berpendapat bahwa Pengadilan
Tinggi Semarang dengan semua alasan dan pertimbangan hukumnya sudah tepat
dan benar, sehingga dapat disetujui dan dapat dijadikan bahan pertimbangan
Pengadilan Tinggi sendiri dalam memeriksa dan mengadili perkaranya, karena
nya putusan Pengadilan Negeri tersebut
dapat dikuatkan, tetapi Pengadilan
Tinggi Semarang dalam Putusannya tersebut lupa bahwa telah diakuinya sendiri
oleh Pengadilan Negeri Surakarta dalam pertimbangan hukumnya, berdasar
Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 11 mei 1987 No.1210 K/Pdt/1985
61
bahwa menurut hukum acara terhadap suatu Penetapan Pengadilan tidak dapat
diajukan perlawanan, tetapi seharusnya dengan gugatan, sedang perkara perdata
No. 433/1988/Pdt/G/PN.Ska, ini adalah suatu perkara perlawanan, terbukti
dengan sebutan Pelawan dan Terlawan serta turut melawan ;
Menimbang :
mengenai keberatan-keberatan ad.1 dan ad.2 :
bahwa keberatan-keberatan ini, tidak dapat dibenarkan karena Putusan Pengadilan
Tinggi sudah tepat yaitu dalam arti tidak salah menerapkan hukum ;
Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan diatas, lagi pula dari
sebab tidak ternyata bahwa putusan Pengadilan Tinggi Semarang dalam perkara
ini bertentangan dengan hukum dan/ atau Undang-undang, maka permohonan
kasasi SITI KURNIANINGRUM tersebut harus ditolak ;
Memperhatikan Pasal-pasal dari Undang-undang No 14 Tahun 1970 dan Undangundang No.14 tahun 1985 yang bersangkutan;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi :
SITI KURNIANIGRUM tersebut ;
Menghukum Pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Kasasi ini
ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- ( dua puluh ribu Rupiah );
C. PEMBAHASAN.
62
Dalam pembahasan ini penulis akan menganalisis permasalahan kasus yang
terjadi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1000.K/ PDT/1991, yang mana dalam
kasus ini persengketaan yang terjadi adalah mengenai hak anak angkat sebagai ahli
waris tunggal secara sepihak yang dilandasi itikad buruk. Di dalam judul skripsi ini,
penulis meninjau kasus tersebut dilihat dari segi hukum adat nya, dan di dalam
Identifikasi masalah yang termuat pada Bab I Sub B penulis mengambil dua
permasalahan yang timbul dari penulisan skripsi ini, yaitu apakah anak angkat dalam
hukum adat dapat menjadi ahli waris dan bagaimana pandangan hukum adat terhadap
putusan Mahkamah Agung No.1000/K/PDT/1991 tersebut. Untuk itulah penulis akan
berusaha agar dapat menjabarkannya.
C.1. Analisis tentang hak anak angkat sebagai ahli waris menurut hukum adat.
Pada hakekatnya seseorang baru dapat dianggap sebagai anak angkat apabila
orang yang mengangkatnya itu memandang lahir dan bathin anak itu benar-benar
sebagai anak keturunannya sendiri dan diperlakukan sebagai anak kandungnya
sendiri.
Dalam hal adopsi ini, kepentingan orangtua yang mengangkat anak harus
memenuhi kebutuhan anak yang diangkat atas masa depannya yang lebih baik harus
lebih terjamin kepastiannya. Di samping itu pula kehormatan orang tua kandungnya
sendiri dengan tujuan-tujuan tertentu dari penyerahan anaknya itu harus dipenuhi.
Dari pengertian hukum waris dalam hubungannya dengan ahli waris terdapat
tiga unsur, yaitu seorang peninggal warisan yang pada waktu meninggalnya
meninggalkan kekayaan. Dari unsur yang pertama ini menimbulkan suatu persoalan
63
bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan
kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan tempat peninggal
warisan berada.
Unsur yang kedua adalah seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak
menerima kekayaan yang ditinggalkannya. Hal ini menimbulkan persoalan
bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warian
dan ahli waris agar kekayaan peninggal warisan dapat beralih kepada ahli warisnya.
Unsur yang terakhir adalah adanya harta warisan yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan sekaligus beralih kepada ahli waris yang menimbulkan persoalan
bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh
sifat lingkungan kekeluargaan tempat peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama
berada.
Di beberapa daerah di jawa terdapat anggapan bahwa anak angkat tidak
dipandang sebagai ahli waris yang mempunyai hak penuh atas warisan orang tua
angkatnya. Anak angkat akan menerima bagian harta peninggalan orang tua
angkatnya sapamere atau saasihna. Seorang anak angkat tetap merupakan ahli waris
dari orang tua kandungnya. Dengan demikian pengangkatan anak sama sekali tidak
memutuskan kedudukannya sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya.
Di jawa anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber
warisan, karena ia mendapat warisan dari orang tua angkat akan tetapi ia juga berhak
mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya. Seperti yang telah diputuskan oleh
Pengadilan Purworejo tanggal 6 januari tahun 1937. hanya dalam pewarisan jika anak
64
kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak sebanyak anak
kandung, dan jika orang tua angkat takut anak angkat tidak mendapat bagian yang
wajar atau mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung, maka sudah menjdai
kebiasaan orang tua angkat itu memberi bagian harta warisan kepada anak angkat
sebelum ia wafat dengan cara penunjukan, atau hibah/ wasiat.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga di Jawa ( jawa barat ) berbeda
daripada kedudukan anak angkat di daerah- daerah yang sistem keluarganya
berdasarkan turunan dari pihak laki-laki seperti misalnya di daerah Bali yang
menganggap perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan
anak itu dari pertalian keluarganya dari orang tua nya sendiri dan memasukkan anak
itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai
anak kandung untuk meneruskan
turunan bapak angkatnya. Oleh karena nya
pengangkatan anak di Bali mengakibatkan putus hubungan dengan keluarga kandung.
Dikalangan masyarakat adat daya kendayaan atau daya benawas di kalimantan
barat apabila seorang anak telah diangkat menjadi anak angkat maka kedudukannya
sebagai waris tidak berbeda dari anak kandung bapak angkatnya, kecuali ia tidak
memenuhi kewajiban sebagai anak terhadap orang tua, misalnya tidak menjaga nama
baik orang tua angkatnya.
Berdasarkan adanya alasan-alasan tersebut diatas, maka penulis dapat
memperoleh analisis yaitu bahwa dalam hukum adat kedudukan anak angkat di
semua daerah di Indonesia berbeda kedudukan hukum pada hak warisnya, atau
dengan kata lain dalam hukum adat anak angkat ada yang dapat menjadi ahli waris
65
dan ada yang dapat menjadi ahli waris dan ada pula yang tidak dapat mewarisi dari
kekayaan orang tua angkatnya, hal ini tergantung pada karakteristik daerah masingmasing. Misalnya di daerah Jawa barat pengangkatan anak tidak memutuskan tali
kekeluargaan antara anak dengan orang tua kandungnya, disini anak angkat hanya
menjadi anggota rumah tangga dari bapak angkatnya. Maka di Jawa anak angkat
hanya mewarisi barang gono gini yaitu barang yang di dapat suami isteri bersamasama yang mana dibedakan dengan barang asal, yang berhak mendapat barang asal
adalah keturunan sendiri.
Hal demikian dapat disimpulkan dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa anak angkat adalah bukan ahli waris terhadap barang-barang asal
orang tua angkat, melainkan mendapat keuntungan sebagai anggota rumah tangga,
juga setelah orang tua angkat meninggal dunia. Juga terdapat yurisprudensi yang
menyatakan bahwa apabila peninggal warisan tidak mempunyai anak kandung, maka
anak angkat berhak mewarisi sama dengan anak kandung. Anak yang diangkat
berhak mewarisi barang-barang dari orang tua kandungnya ( Keputusan Mahkamah
Agung Nomor 37 K/Sip/1959 )
Dengan disamakannya atau hampir disamakan anak angkat dengan nak kandung ini,
maka
para
hakim
yang
memutuskan
perkara-perkara
tersebut
harus
mempertimbangkan apakah telah benar-benar terjadi pengangkatan anak atau
pemeliharaan saja dari seorang anak lain, yang jelas ialah bahwa anak angkat berlaku
selam hidup orang yang mengangkatnya diperlakukan seperti anak kandung.
66
C.2. Analisis Tentang Pandangan Hukum Adat Terhadap Putusan Mahkamah Agung
No. 1000.K/Pdt/1991
Pada pembahasan ini sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia No.1000/ K/ PDT/1991 yang menjadi permasalahannya yaitu
mengenai kedudukan seorang anak angkat sebagai ahli waris tunggal secara sepihak
yang dilandasi itikad buruk.
Dalam Hukum Adat anak angkat mempunyai kedudukan yang sama sengan
ahli waris lainnya ( bagi daerah-daerah yang dalam hukum adatnya, seorang anak
angkat mempunyai hak waris terhadap kekayaan orang tua angkatnya ).
Akan tetapi anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris tunggal sepanjang
masih ada ahli waris yang lainnya kecuali memang benar-benar tidak ada ahli waris
yang lain dari keluarga yang mengangkat atau saudara-saudara kandungnya. Seperti
diketahui dalam hukum adat seorang diangkat untuk menjadi anak angkat oleh orang
tua yang mengangkat dikarenakan alasa-alasan tertentu, misalkan untuk membantu
orang tua kandung si anak tersebut dengan cara memeliharanya, disebabkan karena
orang tua nya tidak mampu ( di jabar ), ataupun karena alasan tidak mempunyai
anaklaki-laki sehingga mengangkat anak merupakan suatu kewajiban untuk
menyambung keturunan keluarga tersebut ( di bali ).
Selain itu pengangkatan anak dalam hukum adat harus dilakukan secara
terang-terangan ( konkrit ) dan secara tunai, serta memenuhi syarat-syarat tertentu
yaitu tidak dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris bila pengangkatan anak
tersebut dilakukan secara sepihak.
67
Bila dilihat dari putusan Mahkamah Agung RI. No 1000. K/PDT/1991
sebenarnya si anak angkat ( Siti Kurnianingrum) merupakan keponakan dari Ny.
Purdiah ( almarhum ) atau anak dari saudara kandung Ny. Purdiah. Dalam hal ini Siti
Kurnianingrum yang mengurus Ny. Purdiah semasa hidupnya, karena Ny. Purdiah
tidak mempunyai anak kandung. Karena alasan inilah Siti Kurnianingrum secara
sepihak menganggap sebagai ahli warisnya dari Ny. Purdiah almarhum dan ingin
menguasai harta warisannya sendiri dan tanpa sepengetahuan ahli waris tunggal
padahal mengenai kasus ini masih disengketakan di pengadilan lain. Hal ini
merupakan itikad buruk Siti Kurnianingrum demi untuk mendapatkan harta warisan
tersebut.
Jadi berdasarkan hal-hal tersebut diatas seorang anak angkat tidak dapat
menjadi ahli waris dari seorang pewaris bila si anak tersebut melakukan nya secara
sepihak dan dilandasi itikad buruk.
Dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
Purworejo
No.
43/Pdt.G/1988,
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.15.Pdt/P/1987, yang secara
sepihak (declaratoir ) menerbitkan surat penetapan yang berisi pernyataan hukum
bahwa Siti Kurnianingrum adalah satu-satunya ahli waris dari almarhm Ny.Purdiah
dan berhak atas hartanya.
Karena Siti Kurnianingrum dinilai mempunyai itikad buruk dimana pada saat
pemohon penetapan ahli waris secara declaratoir tersebut dia dengan sengaja
menyembunyikan fakta yang sebenarnya, sebab masalah penetapan ahli waris atas
harta peninggalan Ny. Purdiah Masih disengketakan. Hal inilah yang tidak pernah
68
dikemukakan oleh Siti Kurnianingrum pada saat pemeriksaan permohonan penetapan
ahli waris. Oleh karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya maka
penetapan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan berdasarkan perlawanan pihak
lain ( saudara-saudara kandung N.y Purdiah almarhum).
Tuntutan pelawan dan terlawan ditetapkan sebagai ahli waris dari almarhum
Ny. Purdiah harus ditolak karena telah diajukan gugatan tentang kewarisan ini di
pengadilan Negeri Purworejo yang saat ini sedang berlangsung.
Dalam Pengadilan Tinggi para terlawan menyatakan menolak putusan hakim
pertama tersebut diatas, maka hakim banding dalam putusannya berpendirian bahwa
pertimbangan hukum dan putusan hakim pertama yang mengadili perkara ini di
nilainya sudah benar, sehingga dapat disetujui dan diambil alih sebagai pertimbangan
hukum banding dalam mengadili perkara ini. Akhirnya hakim Banding memberi
putusan
”
menguatkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Purworejo
No.43/Pdt/1988/PN.Pwj.
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1000.K/Pdt/1991
menyatakan bahwa terlawan I ( Siti Kurnianingrum ) menolak putusan Pengadilan
Tinggi tersebut diatas dan mohon kasasi pemeriksaan kasasi dengan mengemukakan
alasan kasasi sebagai berikut :
1. Gugat perlawanan yang mengandung cacat hukum, karena diikutsertakannya
terlawan II, ibunya terlawan I, merupakan suatu kelebihan pihak, sehingga
bertentangan dengan Hukum Acara Perdata;
69
2. Menurut Hukum Acara Perdata suatu gugat perlawanan tidak dapat diajukan
terhadap suatu penetapan pengadilan seharusnya diajukan gugatan.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No. 1000.K.Pdt/1991 tersebut,
setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya berpendirian bahwa keberatan kasasi
yang diajukan pemohon kasasi ( terlawan I ) tidak dapat dibenarkan, karena Putusan
Judex Facti ( pengadilan yang memeriksa duduk perkara nya ), Pengadilan Tinggi
yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri adalah sudah benar, dalam arti tidak
salah menerapkan hukum dan tidak ternyata putusan Judex Facti beretentangan
dengan hukum dan atau Undang-undang.
Atas alasan yuridis tersebut, akhirnya Mahkamah Agung RI memberikan putusan
sebagai berikut :
Menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Siti Kurnianingrum,
dengan menghukum atau memberi sanksi kepada pemohon kasasi untuk membayar
dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp.20.000,- ( Dua Puluh Ribu Rupiah ).
Jadi penulis memberikan kesimpulan bahwa seorang anak angkat tidak dapat
menjadi ahli waris tunggal yang dinyatakan secara sepihak, apalagi didasari dengan
itikad buruk yang semata-mata hanya untuk meguasai warisan orang tua angkatnya
dengan secara sengaja menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
Jadi dalam hal ini menurut pendapat penulis pandangan Hukum adat terhadap
Putusan Mahkamah Agung tersebut sudah mengacu kepada hukum yang berlaku, dan
didalam hukum adat pun mengatur bahwa seorang anak angkat itu tidak berhak
70
terhadap harta warisan orang tua angkatnya apalagi terhadap anak angkat yang
diangkat tidak secara resmi dalam upacara adat.
71
BAB V
PENUTUP
Sebagai penutup dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab
terdahulu, maka penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai jawaban
terhadap identifkasi masalah dalam penulisan skripsi ini, yang mana hal ini
merupakan hasil dari pengjkajian atau analisa penulis atas masalah-masalah yang
telah penulis uraikan dan sebagai kontribusi pemikiran penulis terhadap keseluruhan
kesimpulan, maka penulis akan memberikan saran-saran. Untuk lebih jelasnya maka
kesimpulan dan saran penulis adalah sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Dari rangkaian masalah yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka
penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban atas identifikasi masalah dari
penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1. Tujuan dari pengangkatan anak adalah untuk meneruskan keturunan
manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan sebagaimana
yang diharapkan, pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum,
eksistensi lembaga anak angkat in sering melahirkan hubungan hukum antara
yang mengangkat dengan yang diangkat.
72
2. Pengangkatan anak dihubungkan dengan hak waris anak angkat dalam
hukum adat terdapat beragam ketentuan di berbagai daerah. Kedudukan
hukum hak waris anak angkat dalam hukum waris adat terutama didasarkan
pada yurisprudensi-yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum dapat
ketentuan mengenai pengangkatan anak dan hak waris yang didapat nya
3. hak dan kewajiban orang tua terhadap anak nya begitupun sebaliknya secara
umum telah terdapat kaedah-kaedahnya dalam masyarakat, dengan adanya
pengangkatan anak, hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak
angkatnya begitupun hak dan kewajiban anak angkat terhadap orang tua
angkatnya adalah sama. Namun apabila dihubungkan dengan sistem
kewarisan akan terdapat beberapa akibat hukum, dimana pengaturannya
masih belum terdapat unifikasi. Dengan berpedoman padas yurisprudensi dan
ketentuan mengenai kesejahteraan anak , maka berdasarkan hubungan
keperdataan anak angkat putus hubungan dengan orang tua kandungnya,
begitupun dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara perdata, namun
hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak
pernah terputus, dengan demikian hak dan kewajiban anak angkat baik
terhadap orang tua angkatnya maupun terhadap orang tua kandungnya masih
berlaku, namun apabila dihubungkan engan masalah kewarisan hal demikian
terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya.
73
4. Pandangan
hukum
adat
terhadap
putusan
Mahkamah
Agung
No
1000/K/Pdt/1991 tersebut adalah bahwa didalam hukum adat pun anak
angkat sebenarnya tidak berhak mendapat kan waris terhadap harta orang tua
angkatnya apalagi terhadap anak angkat yang diangkat tidak secara resmi
sesuai dengan upacara adat dan anak angkat itu mempunyai itikad buruk
terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya tersebut.
B. Saran
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka terdapat beberapa saran , yaitu sebagai
berikut :
1. Mengingat ketentuan yang mengatur masalah pengangkatan anak atau adopsi
yang berlaku sekarang adalah ketentuan atau peraturan peninggalan kolonial
Belanda yang ketentuannya dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang ada dalam masyarakat dewasa ini, maka terhadap
lembaga pengangkatan anak/ adopsi hendaklah dibuat suatu ketentuan atau
peraturan yang khusus mengatur masalah pengangkatan anak atau adopsi.
2. hendaknya masalah pengangkatan anak atau adopsi itu melalui prosedur
hukum yang berlaku di Indonesia yaitu melau proses hukum di Pengadilan
Negeri setempat atau tempat tinggal pemohon, sehingga nantinya terhadap
anak yang diangkat itu mempunyai status hukum yang kuat dan pasti.
74
3. Di dalam menagajukan permohonan untuk mengangkat anak atau adopsi ke
Pengadilan hendaklah para hakim yang memberikan keputusan harus bersifat
hati-hati, artinya para hakim di dalam memeriksa dan memutuskan perkara
tersebut hendaknya lebih melihat kepentingan si anak dari pada kepentingan
yang mengangkat.
4. Permasalahan hukum waris di Indonesia pada umumnya tidak mungkin
dihindari dari beragamnya hukum waris yang berlaku di Indonesia seperti
Hukum waris barat, Hukum waris islam dan Hukum waris adat, yang mana
dalam hukum waris adat pun tidak ada keseragaman antar daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya. Sehingga karena hukum waris di Indonesia
belum merupakan suatu unifikasi hkum, maka sudah sewajarnyalah apabila
pemerintah segera membentuk hukum waris Nasional yang sesuai dengan
nilai-nilai hukum adat yang ada di Indonesia. Dalam hal ini peranan hakim
sangat besar karena melaui Yurisprudensi hakim dapat mengarahkan
perkembangan hukum yang berlaku disamping membentuk hukum baru yang
sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
75
DAFTAR PUSTAKA
A.Soehardi, Pengantar Hukum Adat di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1982.
B.Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat Hukumnya di
kemudian hari, Rajawali, Jakarta, 1983.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
1989.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Adityia Bakti, Bandung,1999.
Iman Sudiyat, Sketsa Asas Hukum Adat,Liberty, Yogyakarta,1981.
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,
1990.
R.Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia,Jawa Tengah 1953.
---------------------------, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, 1981.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Universitas, Jakarta, 1967.
-----------, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Djambatan, 1967.
Surojo Wingnjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1994.
Tamakarin.S., Asas-asas Hukum Waris, pionir Jaya, Bandung, 1992.
Download