Pengaruh Penggambaran Ruang dalam Film

advertisement
Pengaruh Penggambaran Ruang dalam Film
Terhadap Pengalaman Ruang Penonton
Studi Kasus: Film Hugo
Arunee Sarasetsiri, Embun Kenyowati E.
1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
2. Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam menyampaikan narasi, sebuah film membutuhkan ruang sebagai latar tempat terjadinya peristiwa. Skripsi
ini membahas tentang pengaruh teknik pengambilan gambar terhadap penggambaran ruang di dalam film, yang
kemudian berpengaruh terhadap pengalaman ruang yang dialami penonton. Penonton mengalami ruang melalui
sudut pandang narator atau tokoh di dalam film. Pengalaman ruang dalam film dapat menyampaikan informasi
seperti kualitas fisik, letak geografis, konteks sejarah dan sosial-budaya sebuah tempat, suasana, serta penjelasan
mengenai karakter tokoh dalam film. Pada studi kasus film Hugo, dilakukan analisis formal dari teknik
pengambilan gambar yang digunakan, gambaran ruang yang dihasilkan, hingga pengalaman ruang yang
ditimbulkan dan kaitannya dengan narasi film. Penggambaran dan pengalaman ruang dapat menekankan narasi
yang disampaikan sehingga membuat penonton lebih memahami dan terhubung dengan film tersebut.
Kata kunci: ruang, pengalaman ruang, film
Effects of The Depiction of Space in Film to Audience’s Spatial Experience
Case Study: Hugo
Abstract
1
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
In presenting a narrative, a film needs space as the background setting of events. This thesis discusses the effects
of shooting techniques to the depiction of space in the film, which then affects the audience’s experience of that
space. Audience experience space through the perspective of the narrator or character in the film. Spatial
experience in the film may convey information such as its physical qualities, geographical, historical, sosial and
cultural context of a place, mood or atmosphere, as well as description of characters. In the case study of the film
Hugo, I do a formal analysis of the shooting techniques, the resulting space imagery, to the spatial experience
and its relation to the narrative. Representations and experiences of space in film can emphasize the narrative,
hence make the audience understand it better and be more engaged to the film.
Keywords:
space, spatial experience, film
Pendahuluan
Dewasa ini, kehadiran film sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Menonton film menjadi
hiburan yang dilakukan dan dinikmati oleh banyak orang. Film dapat ditonton di bioskop, di rumah,
maupun dalam perjalanan. Film merupakan sebuah media komunikasi berupa tampilan gambar
bergerak dan seringkali disertakan dengan suara atau bunyi. Film menyampaikan informasi dan ide
kepada penonton, serta dapat menunjukkan sebuah peristiwa atau tempat yang belum pernah
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari penonton (Bordwell & Thompson, 2008). Yang menarik dari
film adalah bagaimana penonton yang berposisi sebagai „orang luar‟ dapat mengalami film tersebut.
Penonton mengalami film melalui alur cerita, karakter, maupun dari tampilan visual serta suara
(Bordwell & Thompson, 2008). Sehingga dapat kita ketahui bahwa di dalam sebuah film terdapat
karakter atau subyek, peristiwa-peristiwa yang disusun menjadi sebuah cerita, serta latar atau tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang digambarkan secara visual.
Elemen latar tempat pada film merupakan elemen yang penting dalam mendukung cerita yang
disampaikan. Ketika latar tempat tidak sesuai dengan narasi yang disampaikan, maka pemahaman
penonton terhadap film tersebut menjadi tidak utuh. Pentingnya elemen latar tempat ini menunjukkan
keterkaitan film dengan arsitektur. Film memiliki keunggulan dibanding media lainnya dalam
menggambarkan ruang arsitektural maupun urban, baik tempat bersejarah maupun tempat yang sama
sekali baru atau dibuat dari imajinasi (Boake, 2006). Arsitektur yang terdapat di dalam film tidak
hanya ditunjukkan oleh bangunan arsitektural ataupun ruang urban. Walaupun film tersebut tidak
menampilkan sebuah bangunan, namun komposisi visual sebuah ruang sudah dapat menunjuk pada
2
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
tempat tertentu (Pallasmaa, 2006). Komposisi visual inilah yang dapat diatur oleh pembuat film untuk
menciptakan pengalaman ruang tertentu bagi penonton.
Identifikasi Masalah
Bagaimana komposisi visual dalam film dapat menggambarkan dan menimbulkan pengalaman ruang,
serta mempengaruhi pemahaman penonton terhadap film tersebut?
Tujuan
Mengetahui bagaimana pengaruh penggambaran ruang dalam memberikan pengalaman tertentu bagi
penonton saat menonton film, serta faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam
penggambaran ruang dalam film untuk menciptakan sebuah pengalaman bagi penonton.
Mengalami Ruang
Di dalam buku Ruang dalam Arsitektur (1991) yang ditulis oleh Cornelis van de Ven, dijelaskan
mengenai anggapan Lao Tzu tentang konsep ruang yang berasal dari “kekosongan”. Sebagian dari
syair Lao Tzu (c. 550 S.M.) yang dikutip oleh Van de Ven (1991) berbunyi, “We make a vessel from a
lump of clay; it is the empty space that makes it useful. We make doors and windows for a room; but it
is these empty spaces that make the room habitable”. Dari kutipan tersebut ditunjukkan bahwa ruang
di antara batasan-batasan yang menjadi esensi dari sebuah bejana maupun ruangan. “Kekosongan”
membuat sebuah ruang dapat diisi atau digunakan. Menurut Lao Tzu, “ruang yang terkandung di
dalam adalah lebih hakiki ketimbang materialnya, yakni massa” (Van de Ven, 1991:7). Menurut Yi-Fu
Tuan (1977), ruang (space) adalah yang memungkinkan kita bergerak di dalamnya, sementara tempat
(place) adalah berhenti sejenak (pause) sehingga memungkinkan pemberian makna atau nilai. Ruang
sifatnya lebih abstrak, sementara sebuah tempat adalah ruang yang telah memiliki nilai atau makna.
Ruang dapat dipahami dan diberi makna setelah manusia berkegiatan di dalamnya.
Pengalaman adalah gabungan dari perasaan dan pikiran (Yi-Fu Tuan, 1977). Manusia mengalami
ruang melalui penginderaan langsung seperti indera penciuman, pendengaran, peraba, dan perasa,
serta persepsi visual dari penglihatan, maupun melalui simbolisasi yang tidak langsung. Melalui
3
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
penginderaan dan persepsi tersebut manusia mempelajari dan membentuk kenyataan yang ia ketahui.
Seperti dinyatakan juga oleh Roger Scruton, “…to describe architectural experience is to describe the
basic processes of perception.” (Scruton, 1979:71). Scruton (1979) menjelaskan bahwa dalam
persepsi, pengalaman dan interpretasi (“percept and concept”) tidak terpisahkan. Oleh karena itu
ketika beberapa orang mengalami ruang yang sama, pengalaman akan ruang tersebut dapat berbedabeda. Pengalaman ruang yang diterima dapat berbeda-beda pada setiap orang karena hasil
penginderaan yang kemudian diinterpretasikan setiap orang adalah kompleks sehingga dapat menjadi
berbeda-beda (Yi-Fu Tuan, 1977).
Film Sebagai Media Komunikasi Ruang
Film merupakan salah satu bentuk karya seni yang tergolong muda bila dibandingkan dengan karya
seni lainnya seperti lukisan, sastra, teater, dan lain-lain. Namun film mengandung unsur-unsur dari
karya seni lain (Arnheim, 1957). Dalam film terdapat unsur visual, suara, narasi atau dialog, serta
gerakan, yang merupakan perpaduan unsur yang terdapat dalam seni lukis, musik, sastra, dan tari. Art
(seni) sendiri menurut kamus Oxford memiliki arti the use of imagination to express ideas or feelings,
particularly in painting, drawing, or sculpture. Seni dapat mengekspresikan ide-ide atau perasaan.
Film sebagai salah satu bentuk seni memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan ide, informasi,
perasaan maupun pengalaman tertentu kepada penonton.
Menurut Sesonske, sebagaimana dikutip oleh Katherine Thomson-Jones dalam buku Aesthetics and
Film (2008), kategori formal dalam film adalah ruang, waktu, dan gerakan. Film selalu mengandung
arsitektur, baik berupa sebuah bangunan, maupun pengaturan (framing) sebuah gambar dapat
menunjukkan ruang yang mengacu pada tempat tertentu (Pallasmaa, 2006). Framing adalah elemen
utama komposisi yang meliputi memilih posisi dalam melihat sebuah adegan, dan mengisolasi
sebagian adegan untuk dilihat (Brown, 2002). Framing mempengaruhi informasi eksplisit maupun
implisit dan juga emosi yang diberikan kepada penonton. Sama halnya dengan arsitektur, ruang
menjadi unsur yang penting dalam film. Ruang dalam film terbentuk oleh narasi film itu sendiri
(Aroztegui, 2010). Sehingga ruang berada di dalam konteks cerita. Ruang menjadi latar tempat
terjadinya peristiwa di dalam narasi.
Unsur penting lain dalam film adalah gerakan. Gerakan adalah unsur yang menjadi keunggulan film
dalam mengkomunikasikan ruang dibandingkan dengan media dua dimensi lainnya. Gerakan
memberikan efek tiga dimensi ruang meskipun film berada pada medium dua dimensi. Gerakan
kamera dapat menunjukkan perspektif, skala, kedalaman, dan detail-detail akan sebuah ruang (Grigor
4
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
dalam Toy, 1994). Ruang juga selalu terkait dengan waktu. Dengan menunjukkan adanya gerakan di
dalam ruang dalam film tentu juga menunjukkan berlalunya waktu (Sturich, 2005).
Teknik pengambilan gambar dalam film sangat mempengaruhi bagaimana sebuah ruang
terkomunikasikan dan kemudian bagaimana film dipahami oleh penonton. Shot sequence adalah
teknik pengambilan gambar dalam film yang memiliki kontinuitas atau tidak terdapat jeda, sementara
montage adalah rangkaian beberapa shot pendek yang berbeda (Dear dalam Toy, 1994). Misalnya
dengan teknik shot sequence dapat menunjukkan alur dan keterhubungan antara satu ruang dan ruang
lainnya, sementara teknik montage dapat menunjukkan kejadian di ruang yang satu dan di ruang lain
yang terpisah dalam waktu yang singkat.
Gambar 1 Ukuran Pengambilan Gambar
(http://www.aber.ac.uk/media/Documents/short/gramtv.html)
Dear (1994) juga menyatakan bahwa pembentukan ruang dalam film juga terkait dengan skala yang
dapat ditunjukkan dengan teknik pengambilan gambar berdasarkan jarak kamera dan objek yaitu long
shot (LS), medium shot (MS), dan close up (CU). Ketiga bagian tersebut kemudian terbagi lagi
menjadi extreme long shot (XLS), medium long shot (MLS), medium close up (MCU), big close up
(BCU), dan extreme close up (XCU).
Teknik long shot atau wide shot digunakan untuk mengkomunikasikan keseluruhan tempat (Brown,
2002). Teknik long shot biasa digunakan sebagai establishing shot, yaitu pengambilan gambar pada
awal adegan untuk menginformasikan latar tempat secara umum pada penonton (Brown, 2002).
Medium shot adalah gambar yang diambil dari jarak yang lebih dekat dibandingkan long shot.
Penonton dapat melihat lebih banyak detail, seperti raut wajah tokoh dalam film, detail pakaian yang
digunakan tokoh, namun masih dapat melihat konteks atau ruang di sekitarnya (Brown, 2002).
Sementara dengan teknik close-up semakin banyak detail yang dapat ditunjukkan seperti karakteristik
wajah tokoh serta ekspresinya. Close-up juga dapat diterapkan untuk detail ruang dengan hanya
menampilkan objek-objek yang dipilih, misalnya jam atau cincin di atas meja, dan sebagainya
(Brown, 2002).
5
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Gambar 2 Sudut Pengambilan Gambar (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/short/gramtv.html)
Selain berdasarkan jarak, ada pula teknik pengambilan gambar berdasarkan arah atau sudut kamera
terhadap objek yang disebut angle. Teknik ini dibagi menjadi tiga yang utama yaitu eye-level, high
angle, dan low angle. Eye-level merupakan sudut pandang yang menyesuaikan dengan tinggi mata
tokoh-tokoh dalam film (Brown, 2002) sehingga menyerupai bagaimana penonton melihat dalam
kehidupan sehari-hari. Brown (2002) menyatakan bahwa sudut pandang tinggi membuat tubuh tokoh
terlihat lebih kecil sehingga menimbulkan kurangnya dominasi tokoh. Sudut pandang tinggi juga dapat
memberikan gambaran umum seperti tata ruang dari sebuah tempat. Jika pada sudut pandang tinggi
seperti sudut pandang mata burung penonton dapat melihat gambaran keseluruhan dan tata ruang
sebuah tempat, sudut pandang rendah sebaliknya memperlihatkan sedikit, bahkan lebih sedikit dari
yang dilihat tokoh dalam film mengenai tempat tersebut. Hal tersebut dapat memberikan kesan misteri
dan kejutan (Brown, 2002). Dengan sudut pandang rendah, penonton dapat merasakan dominasi dan
kekuatan dari subjek. Kesan dominasi juga dapat dirasakan dari sebuah tempat, karena sudut pandang
rendah dapat memberikan efek dominasi dari skala ketinggian ruang.
Komposisi menyeleksi dan menegaskan elemen-elemen seperti skala, bentuk, keteraturan, dominasi,
hirarki, pola (Brown, 2002). Brown (2002) menyatakan bahwa prinsip-prinsip desain visual yang
diterapkan dalam film untuk memunculkan „ilusi‟ tiga dimensi seperti kedalaman (depth), gerakan,
dan kekuatan visual adalah:
 Unity, atau kesatuan elemen-elemen visual dalam frame untuk menyampaikan cerita.
 Balance, atau keseimbangan komposisi visual. Seimbang atau tidaknya komposisi ini dapat
menimbulkan tekanan visual sehingga dapat mengarahkan fokus penonton.
 Ritme dari pengulangan elemen yang sama dapat membentuk pola.
6
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
 Proporsi dapat mengekspresikan kekuatan visual.
Kontras yang terbentuk dari pencahayaan, warna, dan tekstur berperan dalam menunjukkan
kedalaman, hubungan antar ruang, serta emosi dalam cerita.
 Tekstur dapat menunjukkan jauh atau dekatnya sebuah objek.
 Directionality, atau adanya sifat yang menunjukkan arah dalam komposisi visual.
Brown (2002) menyatakan bahwa dengan memunculkan persepsi akan kedalaman (depth) dalam film
penting untuk menciptakan kesan ruang tiga dimensi pada gambar dua dimensi. Ada berbagai cara
untuk menghasilkan „ilusi‟ kedalaman pada medium dua dimensi, yaitu:
 Overlap, atau adanya objek yang tumpang tindih menunjukkan hubungan depan-belakang antar
keduanya. Objek yang berada di depan objek lain akan terlihat lebih dekat terhadap penonton.
 Relative size, atau ukuran relatif dari objek yang sama. Misalnya pada pengambilan gambar
orang berbaris, orang yang posisinya lebih jauh akan terlihat lebih kecil walaupun sebenarnya
tinggi badannya sama.
 Perspektif linear, menunjukkan garis-garis yang menuju titik hilang. Perspektif linear juga
terkait dengan ukuran relatif objek. Objek-objek yang posisinya semakin jauh dari penonton
(semakin dekat ke titik hilang) akan terlihat semakin rapat satu sama lain dan berukuran
semakin kecil.
 Perspektif atmosfer menunjukkan pengaruh atmosfer pada objek yang dilihat. Objek yang
posisinya lebih jauh tidak menunjukkan banyak detail, warnanya terlihat lebih jenuh, dan tidak
tergambarkan dengan tajam.
 Chiaroscuro, berasal dari bahasa Italia yang berarti cahaya dan bayangan. Misalnya objek yang
posisinya di belakang objek lain terkena bayangan objek di depannya sehingga menunjukkan
kedalaman.
Pengalaman Ruang Dalam Film
Sturich (2005) menyatakan bahwa melalui gabungan gambar-gambar film dapat menciptakan dunia di
mana narasi film tersebut terjadi. Maka dapat dipahami bahwa „dunia‟ dalam film diciptakan dari ide
pembuat film. Berbeda dengan ruang arsitektur yang sifatnya nyata, ruang yang ditampilkan dalam
media dua dimensi sifatnya tidak nyata. Ketika kita mengalami ruang arsitektur yang nyata, diri kita
7
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
berada dan dapat bergerak di dalam ruang tersebut untuk mengalaminya. Hal tersebut tidak dapat
dilakukan ketika mengalami ruang dalam film karena mediumnya yang dua dimensi. Sehingga
penonton mengalami ruang dalam film melalui sudut pandang narator maupun tokoh dalam film serta
narasi yang disampaikan penonton dapat mengalami ruang di dalam film (Aroztegui, 2010). Pallasmaa
(2006) menyatakan bahwa pengalaman ruang arsitektur dan film bersifat kinestetik, namun untuk
mengalami ruang dalam film melalui gerakan yang diimajinasikan dengan pikiran. Rangsangan indera
yang sebenarnya dengan rangsangan indera yang terkonsepkan dalam pikiran melalui imajinasi dari
segi pengalaman memiliki nilai yang sama. Menurut Yi Fu Tuan (1977), pengalaman manusia
terhadap ruang dan organisasinya sangat bergantung terhadap penginderaan mata, sementara indera
lainnya mendukung dan memperkaya penginderaan visual. Oleh karena itu komposisi visual ruang
dalam film sangat mempengaruhi pengalaman penonton.
Ruang dalam film selalu terkait dengan narasi film itu sendiri. Oleh karena itu, penonton juga
mengalami ruang di dalam konteks narasi film. Menurut Bergfelder, Haris, dan Street (2007) latar
tempat selain mengkomunikasikan kondisi fisik ruangnya, juga dapat mengkomunikasikan letak
geografis, sejarah, hingga kondisi sosial-budaya tempat tersebut. Selain itu latar tempat juga dapat
memberikan penjelasan mengenai tokoh dalam film serta ide-ide lainnya. Penggambaran ruang juga
dapat menciptakan suasana tertentu yang kemudian bisa menimbulkan emosi penonton terhadap narasi
film.
Pembuat film memilih hal-hal, termasuk ruang, sesuai dengan narasi yang ingin disampaikan kepada
penonton sehingga film sifatnya selektif dan parsial. Sifat parsial film dapat mengakibatkan setiap
gambaran dalam film dapat dilihat atau diartikan secara berbeda oleh penonton yang berbeda, pada
tempat dan waktu yang berbeda (AlSayyad, 2000). Sama halnya dengan pengalaman ruang
arsitektural, pengalaman ruang dalam film juga melalui proses kognisi sehingga dapat diterima dan
diinterpretasi secara berbeda oleh orang dengan latar belakang dan pengetahuan yang berbeda.
Studi Kasus Film Hugo
Film Hugo bercerita tentang seorang anak yatim piatu bernama Hugo yang tinggal sendirian dan
bekerja merawat jam di dalam dinding-dinding stasiun secara diam-diam. Hal tersebut menunjukkan
kontradiksi antara kesendirian Hugo walaupun dia berada di dalam lingkungan stasiun yang sibuk dan
selalu ramai dengan orang. Oleh karena itu terdapat kontradiksi pula pada ruang yang digambarkan di
dalam film ini. Ruang tempat tinggal dan bekerja Hugo di dalam dinding-dinding stasiun digambarkan
secara bertolak belakang dengan lingkungan stasiun lainnya untuk mendukung narasi kesendirian atau
keterasingan Hugo.
8
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Gambar 3 Penggambaran Ruang Kota Paris („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
Pada adegan awal film ditampilkan letak geografis tempat yang diambil dengan teknik extreme long
shot dan sudut pandang mata burung. Pengambilan gambar ini termasuk sebagai establishing shot
yang memberikan informasi mengenai latar tempat di dalam film ini yaitu kota Paris. Penonton dapat
mengidentifikasi kota Paris melalui tanda-tanda berupa landmark dari kota Paris, yaitu Arc de
Triomphe dan Menara Eiffel. Luasnya kota ditunjukkan dengan perspektif armosfer yang
menggambarkan bagian kota yang semakin jauh dengan semakin kabur. Perbedaan ukuran, serta
kontras warna dan cahaya antara Arc de Trimphe dan Menara Eiffel dengan bangunan sekitarnya
membuat kedua landmark tersebut terlihat mencolok untuk mengarahkan fokus perhatian penonton.
Pada jalan di sekitarnya terdapat gerakan cepat cahaya dari lampu mobil yang menunjukkan kesibukan
jalan-jalan di kota Paris. Pengambilan gambar yang berkelanjutan ini menunjukkan letak dan
hubungan geografis antara kedua landmark kota Paris tersebut dengan stasiun kereta tempat Hugo
tinggal.
Gambar 4 Interior Stasiun („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
9
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Adegan selanjutnya adalah establishing shot stasiun sebagai latar tempat utama dalam film yang juga
digunakan dengan pengambilan gambar berkelanjutan untuk menunjukkan suasana dan organisasi
ruang. Penonton dapat mengalami urutan dan transisi dari satu ruang ke ruang lain. Dengan
pengambilan gambar dengan teknik long shot dan sudut pandang mata manusia, penonton mengalami
ruang ini menyerupai ketika mengalami ruang yang sebenarnya. Posisi kamera menciptakan perspektif
satu titik hilang. Melalui perspektif linear ini penonton dapat mengalami kedalaman ruang yang
menunjukkan panjang stasiun. Garis-garis vertikal dari ritme kolom dengan sudut pandang mata
manusia menunjukkan ketinggian dan kemegahan bangunan. Perbandingan skala ruangan dengan
manusia menunjukkan sempitnya ruang peron dan luasnya ruang aula setelahnya. Aktivitas banyak
manusia di dalamnya menunjukkan ramai dan sibuknya stasiun. Warna-warna natural yang dominan
serta efek cahaya yang masuk ke dalam ruang memberikan kesan hangat.
Gambar 5 Ruang Dalam Dinding („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
Sementara pada adegan berikutnya ditunjukkan suasana ruang yang bertolak belakang dengan
sebelumnya di dalam dinding-dinding stasiun tempat Hugo tinggal dan bekerja. Sudut pandang mata
manusia serta medium dan long shot menimbulkan perspektif linear yang menunjukkan sempitnya
ruangan jika dibandingkan dengan skala tubuh Hugo. Warna yang dominan adalah warna-warna gelap
seperti biru, abu-abu, dan hitam dan ditunjukkan sedikitnya cahaya menimbulkan pengalaman ruang
yang suram, sempit, dan dingin. Adegan ini dan adegan sebelumnya menunjukkan perbedaan antara
kesendirian Hugo dengan lingkungan sekitarnya yang ramai dan hangat.
Dengan tokoh utama Hugo, penonton mengalami ruang dalam film dengan menempatkan diri sebagai
anak kecil. Dengan menggunakan sudut pandang Hugo sebagai anak kecil yang hidup sendiri, ketika
mengalami ruang-ruang dalam film ini seringkali muncul perasaan „kecil‟ tokoh Hugo terhadap
10
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
lingkungan sekitarnya. Perbandingan skala manusia digunakan untuk menggambarkan ruang-ruang
yang besar dan menimbulkan perasaan „kecil‟ tokoh.
Gambar 6 Perasaan Kecil Hugo („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
Contohnya pada gambar 6 yang menunjukkan perbandingan skala tubuh Hugo terhadap ruang-ruang
tempatnya berada. Pada gambar 6 yang pertama, Hugo berada di puncak menara jam untuk merawat
mesin jam. Gambar diambil dengan teknik extreme long shot sehingga Hugo ditunjukkan menjadi
bagian kecil di dalam ruang. Sudut pandang mata burung memperkecil tubuh Hugo sehingga dominasi
karakternya berkurang, dan juga memperlihatkan mesin jam yang memenuhi bagian kanan frame.
Mesin jam yang terlihat besar di sebelah kanan frame menimbulkan ketidakseimbangan frame
sehingga memberikan tekanan visual pada dominasi mesin jam. Warna gelap pada ruang memberi
kesan suram pada keseharian Hugo bekerja merawat jam.
Sementara pada gambar kedua, menunjukkan ketika Isabelle dan Hugo baru memasuki perpustakaan.
Gambar diambil dengan teknik extreme long shot dan sudut pandang mata burung sehingga
menunjukkan keseluruhan ruangan perpustakaan dengan Hugo dan Isabelle di dalamnya. Dengan
teknik tersebut ditunjukkan perbandingan secara jelas antara ukuran ruangan dengan ukuran tubuh
Hugo dan Isabelle. Selain menunjukkan perbandingan, teknik extreme long shot dan sudut pandang
mata burung tersebut juga menggambarkan perspektif ruangan yang menunjukkan kedalaman.
Perspektif terbentuk oleh garis pertemuan dinding dengan langit-langit, garis-garis rak buku, serta
garis yang muncul dari ritme kolom, meja, hingga posisi lampu. Ritme serta besarnya ruangan
memberi kesan megah. Cahaya dan material kayu berwarna coklat yang dominan pada gambar ini
memberikan kesan yang hangat dan terang, sehingga dirasa nyaman sebagai ruang baca dalam
perpustakaan.
11
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Gambar 7 Terpisahnya Hugo dan Lingkungannya („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
Narasi film juga menceritakan bahwa Hugo memiliki kehidupan yang terpisah dari orang-orang
sekitarnya di stasiun. Oleh karena itu, ruang tempat Hugo berada juga digambarkan terpisah dari
lingkungan sekitarnya dengan menggunakan kontras warna, cahaya, maupun ketajaman gambar
seperti pada gambar 7.
Gambar yang pertama diambil dengan teknik extreme long shot dan sudut pandang mata burung yang
menunjukkan Hugo sedang menuruni tangga menuju ke dalam jam gantung, serta suasana area peron
di latar belakangnya. Perspektif linear menggambarkan kedalaman ruang peron yang menjadi latar
belakang pada gambar ini. peron nampak kabur dan dengan warna yang jenuh. Sementara jam gantung
digambarkan dengan tajam dan dengan warna coklat keemasan yang lebih menyala, menunjukkan
posisinya yang lebih dekat dengan kamera. Kontras ketajaman gambar dan warna tersebut
menciptakan tekanan visual pada jam gantung meskipun secara komposisi latar belakang suasana
peron lebih besar dibandingkan jam gantung. Kontras tersebut memberikan kesan „terpisah‟ antara jam
gantung tempat Hugo berada dengan orang-orang di sekitarnya di stasiun. Pada latar belakang
digambarkan keramaian penumpang kereta yang berlalu-lalang di sekitar peron, sementara Hugo
„terasingkan‟ dari keramaian tersebut dan bekerja sendirian.
Gambar kedua digambarkan ketika Hugo berada di menara jam dan melihat keluar melalui kaca pada
jam. Gambar ini diambil dengan teknik medium shot untuk menunjukkan Hugo yang berada di dalam
jam dan tetap dapat menggambarkan suasana kota Paris di luarnya dengan cukup jelas. Terdapat
kontras pada penggambaran ruang di dalam dan di luar menara jam. Tubuh Hugo di dalam jam
digambarkan dengan lebih kabur dan menggunakan warna gelap sehingga membentuk siluet,
sementara ruang kota Paris digambarkan dengan lebih tajam dan menggunakan warna dominan coklat
yang memberikan kehangatan. Tubuh Hugo yang posisinya dekat dengan kamera tergambarkan dalam
ukuran yang besar, sementara kota Paris digambarkan dalam ukuran kecil sehingga menunjukkan
jarak yang jauh antara Hugo dengan pemandangan yang sedang dia lihat. Kontras ini memberikan
kesan „terpisah‟ antara Hugo dengan „dunia luar‟. Ruang dalam jam yang terlihat gelap dari siluet
12
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Hugo memberikan kesan yang sedih dan dingin jika dibandingkan dengan pemandangan kota Paris
yang terang dan berkesan hangat.
Gambar 8 Penjelasan Tokoh („Hugo‟, Paramount Pictures, 2011)
Selain itu, ruang juga dapat memberikan penjelasan mengenai karakter tokoh. Seperti pada gambar 8
yang menggambarkan tokoh berada di tengah frame dan dikelilingi berbagai objek. Pada gambar
pertama, tokoh Georges berada di dalam kios yang padat dan dikelilingi berbagai mainan, sehingga
menjelaskan pekerjaannya sebagai pemilik dan penjaga sebuah kios mainan kecil. Sementara pada
gambar kedua, tokoh ayah Hugo sedang memperbaiki jam dan dikelilingi bagian-bagian mesin jam
yang juga menekankan pekerjaannya sebagai tukang jam.
Kesimpulan
Film memiliki narasi yang ingin disampaikan pada penonton. Dalam menyampaikan narasi, film
memerlukan latar tempat terjadinya peristiwa-peristiwa. Ruang tempat terjadinya peristiwa dalam
narasi digambarkan melalui teknik pengambilan gambar tertentu yang kemudian diterima dan dialami
dalam bentuk visual dua dimensi oleh penonton. Indera visual sangat berperan dalam mengalami
ruang, oleh karena itu teknik pengambilan gambar sangat mempengaruhi bagaimana ruang dalam film
dialami penonton. Pengalaman ruang dalam film dapat menyampaikan informasi-informasi pada
penonton seperti kualitas fisik ruang, letak geografis, sejarah, dan kondisi sosial-budaya tempat,
penjelasan karakter tokoh dalam film, serta suasana tempat itu sendiri (Bergfelder, Harris & Street,
2007). Ruang dan pengalaman yang ditimbulkannya selalu berada dalam konteks narasi. Berikut
adalah diagram dari penjelasan di atas:
13
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Gambar 9 Diagram Kesimpulan (Olahan Pribadi)
Ruang dalam film dialami oleh penonton dengan menempatkan diri pada sudut pandang narator atau
tokoh dalam film (Aroztegui, 2010). Di dalam film Hugo, penonton dapat menggunakan sudut
pandang Hugo sebagai tokoh utama ketika mengalami ruang. Melalui sudut pandang Hugo yang
seorang anak kecil, ruang-ruang stasiun terasa begitu besar dan megah. Perasaan „kecil‟ Hugo di
lingkungan sekitarnya seringkali ditimbulkan dengan menunjukkan perbandingan skala antara Hugo
dan ruangan di sekitarnya. Teknik long shot atau extreme long shot sering digunakan untuk
menunjukkan perbandingan skala karena dapat memperlihatkan hubungan manusia dengan ruangan
atau lingkungan sekitarnya. Sudut pandang kamera yang tinggi dapat memperlihatkan besarnya ruang
secara keseluruhan dan membuat tokoh terlihat lebih kecil, sementara dengan sudut pandang kamera
yang rendah dapat menambahkan kesan dominasi dan kemegahan ruang terhadap tokoh Hugo.
Selain itu perasaan yang sering ditimbulkan dalam film ini adalah terpisahnya Hugo dengan
lingkungan sekitar. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan yang bertolak belakang antara suasana di
dalam dinding-dinding stasiun tempat Hugo berada dengan „dunia luar‟. Kontras warna, cahaya, dan
ketajaman gambar digunakan untuk menciptakan kesan terpisah antara dua ruang. Warna dan
pencahayaan juga dapat memberikan suasana tertentu pada ruang. Suasana ruang dapat menekankan
mood dari narasi yang sedang disampaikan. Misalnya ruang digambarkan dengan suasana yang dingin
ketika narasi film sedang bercerita tentang kehidupan Hugo di dalam dinding stasiun.
Kualitas ruang dapat ditimbulkan dengan memperlihatkan aktivitas manusia di dalamnya. Begitu juga
sebaliknya, ruang dapat mengkomunikasikan informasi mengenai tokoh dalam narasi. Kondisi
14
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
psikologis seperti sifat, kebiasaan, hingga pekerjaan, dan keterangan lain mengenai tokoh dalam film
yang ingin disampaikan dapat ditekankan melalui elemen-elemen ruang yang dihuninya.
Letak geografis latar tempat dapat digambarkan dengan menghadirkan tanda seperti landmark sebuah
kota, sehingga memudahkan pemahaman penonton akan kota yang dimaksud. Teknik pengambilan
gambar shot sequence digunakan untuk memperlihat keterhubungan antar tempat atau ruangan.
Penonton dapat memahami alur dan urutan ruang dengan teknik pengambilan gambar yang
berkelanjutan tersebut. Namun sebuah ruang yang sama juga dapat digambarkan dengan teknik
montage, atau shot pendek yang terpisah. Dua shot atau lebih tersebut bisa jadi terpisah sangat jauh di
dalam film dan menggunakan teknik pengambilan gambar yang berbeda, namun dengan menampilkan
kembali elemen-elemen ruang yang sama penonton dapat melihat keterkaitan ruang yang
digambarkan. Pergantian teknik seperti sudut pandang maupun jarak dan arah kamera dapat
memberikan pemahaman yang lebih utuh akan sebuah ruang.
Seringkali sebuah penggambaran ruang dalam film menyampaikan berbagai hal secara bersamaan.
Gerak kamera serta jarak dan sudut pandang kamera dapat menunjukkan perspektif, skala, cahaya, dan
warna yang saling mendukung penggambaran ruang dalam mengkomunikasikan kualitas dan suasana
ruang, sekaligus penjelasan tokoh atau letak geografis dan kondisi sosial budayanya. Berdasarkan teori
dan analisis studi kasus yang telah dilakukan, pengalaman ruang yang ditampilkan seperti kualitas
fisik ruang, letak geografis, maupun penjelasan tokoh dan suasana di dalam film menunjuk kembali
pada narasi yang sedang disampaikan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penggambaran ruang dapat mempengaruhi pemahaman dan
pengalaman seseorang terhadap sebuah film. Dengan penggambaran ruang yang sesuai dengan narasi
atau menekankan kembali narasi yang disampaikan, penonton dapat lebih terhubung dengan film.
Sehingga menurut saya penggambaran ruang dalam film turut berperan dalam pengaruh pengalaman
sebuah film bagi seseorang. Gambaran dalam film dapat dialami secara berbeda-beda oleh setiap
orang sehingga dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda pula terhadap narasi film.
Daftar Referensi
AlSayyad, N. (2000). The cinematic city: Between modernist utopia and postmodernist dystopia. Built
Environment vol.26, Number 4. Oxford: Alexandrine Press.
Arnheim, A. (1957). Film as art. Los Angeles: University of California Press.
15
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Aroztegui, C. (2010). Architectural representation and experiencing space in film. Montevideo:
Universidad ORT Uruguay.
Bergfelder, T., dkk. (2007). Film architecture and transnational imagination: Set design in 1930s
european cinema. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Brown, B. (2002). Cinematography: Theory and practice - image making for cinematographers,
directors and videographers. London: Focal Press.
Bordwell, D., dan Thomposon, K. (2008). Film art: An introduction (8th ed.). New York: McGrawHill.
Oxford University Press. (2000). Oxford advanced learner’s dictionary (Sixth Edition). Oxford:
Author.
Thomson-Jones, K. (2008). Aesthetics and film. London: Continuum International Publishing Group.
Toy, M. (1994). Architecture and film. London: Academy Group Ltd.
Van de Ven, C. (1991). Ruang dalam arsitektur (edisi ketiga, revisi) (Imam Djokomono & Mc.
Prihminto Widodo, penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Yi-Fu Tuan. (1977). Space and place: The perspective of experience. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Sumber dari Media Elektronik:
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/short/gramtv.html [diakses 30 April 2013]
16
Universitas Indonesia
Pengaruh penggambaran..., Arunee Sarasetsiri, FT UI, 2013
Download