Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian - BPPBAP

advertisement
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA KERANG ABALON,
Haliotis Asinina sp. DITELUK MALLASORO, KABUPATEN JENEPONTO,
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Rezki A. Suhaimi*, Makmur, dan Ruzkiah Asaf
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jalan Makmur Daeng Sitakka 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
*Penulis untuk korespondensi, E-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam kegiatan perikanan budi daya yang berkelanjutan, sangatlah penting menentukan kualitas
lingkungan yang memiliki resiko penurunan yang kecil. Pemilihan lokasi yang tepat merupakan
langkah penting untuk memastikan keberlangsungan kegiatan budi daya yang
berkelangsungan.Penentuan lokasi yang kurang akurat dapat membuat kegiatan budidaya menjadi
tidak berkelanjutan. Pengambilan data parameter fisika, kimia dan biologi dilakukan bulan Maret
tahun 2011, pada saat wilayah Jeneponto berada dalam musim timur.Hasil identifikasi perameter
perairan Teluk Mallasoro, didapatkan nilai:kedalaman 1,0 sampai 20,1m, dengan rata-rata sebesar
10,67 m dan standar deviasi ±5.574; kecepatan arus< 0,1 sampai 0,3 m/dt dengan rata-rata
sebesar 0,132 m/dtk dan standar deviasi ±0,072; kecerahan 0,5 m sampai9,5 mdengan rata-rata
sebesar 4,264 m dan standar deviasi ±1,116; suhu 27,750 sampai 29,820ºC dengan rata-rata
sebesar 29,138 ºC dan standar deviasi ±0,527; salinitas 24,910 sampai 33,360 ppt dengan ratarata sebesar 31,086 ppt dan standar deviasi ±2,074; pH 7,250 sampai 8,45 dengan rata-rata
sebesar 7,622 dan standar deviasi ±0,324; oksigen terlarut 4,740 sampai 7,020 dengan rata-rata
sebesar 5,686 mg/L dan standar deviasi ±0,791; NO30,040 sampai 8,030 mg/L dengan rata-rata
sebesar1,438 mg/L dan standar deviasi ± 2,187; NH3 0,116 sampai 0,836 mg/L dengan rata–rata
sebesar 0,276 mg/L dan standar deviasi ±0,202; PO40,018 sampai 0,167 mg/L dengan rata-rata
0,067 mg/L dan standar deviasi ±0,037; mutan padatan tersuspensi 0,004sampai 0,025 mg/L
dengan rata-rata sebesar 0,014mg/L dan standar deviasi ±0,008. Sedimen dasar didominasi oleh
pasir berlumpur.Hasil analisis kesesuaian lahan untuk budidaya Abalon pada Teluk Mallasoro,
Jeneponto adalah mempunyai tingkat kesesuaian sedang. Total luasan daerah kajian berdasarkan
analisa SIG adalah 3882,7 ha; dengan luasan untuk daerah yang memiliki tingkat kesesuaian
tinggi (S1) untuk budidaya abalon sebesar 214,8 ha; daerah yang memiliki tingkat kesesuaian
sedang (S2) 3093,1 ha dan daerah yang memiliki tingkat kesesuaian rendah (S3) 574,8 ha.
Kata kunci: abalon, kabupaten jeneponto, tingkat kesesuaian
Pengantar
Secara geografis, Kawasan Timur Indonesia merupakan kawasan yang sebagian besar
terdiri dari laut, yang perkembangan kelautannya pada abad XXI diproyeksikan akan menjadi
penting (Agoes, 2001).Kabupaten Jeneponto terletak di ujung bagian Barat wilayah Provinsi
2
Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 74.979 ha atau 749,79 km dan jarak tempuh dari ibukota
Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) sepanjang 90 km. Panjang wilayah/zona pantai yang dimiliki
Kabupaten Jeneponto adalah 114 km. Dengan adanya Undang-Undang Otonomi No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun1999, tentang
Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat danDaerah, makakegiatan pengelolaan wilayah
pesisir menjadi tanggung jawab daerah (Dahuri et al., 2004).
Perikanan budi daya, seperti kegiatan produksi lainnya memanfaatkan ketersediaan
sumber daya alam, yang tergantung dari beberapa masukan diantaranya air, benih, dan makanan
serta proses yang ada yang meliputi kemampuan lingkungan untuk menurunkan efek limbah untuk
menghasilkan produksi akhir berupa ikan, kerang, udang, mutiara bagi konsumen. Interaksi
kegiatan ini dengan lingkungan akan menimbulkan keuntungan dari aspek sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang meliputi: penyediaan bahan makanan (sea food), penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan, peningkatan kesehatan, dan menurunkan tekanan terhadap sumber
daya ikan akibat intensitas penangkapan yang tinggi (Beveridge, 1996; Ramelan, 1998). Di pihak
lain, interaksi dengan lingkungan juga dapat menimbulkan efek negatif. Dengan makin banyaknya
kegiatan budi daya laut yang tidak diatur dengan baik, maka limbah yang akan masuk dalam
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 1
RB-11
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
lingkungan menjadi tidak terkontrol dan kegiatan budi daya tidak dapat berkelanjutan. Sehubungan
dengan hal ini, untuk memastikan keberlanjutan kegiatan budi daya laut, maka data dan informasi
tentang kelayakan lahan (site selection) sangatlah diperlukan untuk memecahkan kompetisi dalam
pemanfaatan pesisir, menghindari penurunan kondisi lingkungan, dan memastikan keberlanjutan
usaha budi daya laut tersebut.
Pemanfaatan sumber daya laut tidak hanya dilakukan melalui penangkapan, tetapi juga
perlu dikembangkan usaha budidaya, salah satunya adalah budidaya laut.Saat ini pengembangan
budidaya laut lebih banyak mengarah kepada ikan-ikan ekonomis tinggi dan tiram mutiara,
sementara di perairan Indonesia masih banyak biota-biota laut yang masih bisa dikembangkan dan
mempunyai nilai ekonomis tinggi, salah satunya adalah kerang abalone (Haliotis asinina).
Pengembangan usaha budidaya kerang abalon di masa datang mempunyai prospek cukup cerah,
mengingat beberapa keunggulan yang dimilikinya baik dari teknik budidaya sampai dengan
pemasaran (Tahang et al., 2006).
Abalon merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia yang dikenal “kerang mata tujuh”
atau “siput lapar kenyang” dimana beberapa jenis merupakan komoditi ekonomis. Permintaan
dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber
protein serta perkembangan industry perhiasan dan akuarium. Selama ini mayoritas industri abalon
masih didominasi oleh produk alam, hanya sebagian kecil dari produksi berasal dari industri
budidaya. Namun demikian peningkatan kebutuhan dunia akan komoditi ini dalam dua dasawarsa
terakhir telah memicu perkembangan budidaya abalon di mana-mana. Jepang, Taiwan, Amerika
Serikat dan Australia adalah negara-negara yang telah mengembangkan budidaya abalon skala
besar untuk tujuan konsumsi dalam negerinya, ataupun untuk diekspor. Pada saat ini, usaha
budidaya abalon ditujukan untuk memenuhi kebutuhan restoran dengan rata-rata ukuran coctail.
Abalon Haliotis spp. atau siput laut disebut juga awabi, muttonfish, seaear dan dalam
bahasa daerah sasak (Lombok) disebut medau atau kerang mata tujuh.Haliotisasinina Linnaeus
1758 merupakan spesies abalon tropis yang dapat ditemui di Indonesia Bagian Timur (Bali,
Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua).Kegiatan budidaya untuk menghasilkan benih
abalon merupakan komponen produksi yang sangat penting karena ketersediaan benih di alam
yang sangat terbatas tidak dapat diandalkan untuk pengembangan budidaya maupun konsumsi.
Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton
permintaan dunia akan abalon (Susanto et al., 2009).
Abalon merupakan hewan bersifat lowtropic level (larvanya memanfaatkan bentik
diatom/mikroalga dan dewasanya memakan rumput laut/makroalga), sehingga dari sisi ekonomis
biaya produksinya relatif murah. Hal inilah yang menarik dari komoditas abalon (Susanto, 2009).
Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%,
lemak 3,20%, serat 5,60%, dan abu 11,11%. Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat
digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan
lainnya.Produksi abalon saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam. Hal tersebut akan
nienim
Pemilihan lokasi yang tepatmerupakan faktor yang penting dalammenentukan kelayakan
usaha budidaya(Milne, 1979), demi keberhasilan budidaya, ada beberapa pertimbangan yang yang
perludiperhatikan dalam penentuan lokasi adalahkondisi teknis yang terdiri dari parameterfisik,
kimia dan biologi dan non-teknis yangberupa pangsa pasar, keamanan dan sumberdaya manusia
(Pillay,1990).Salah satu kesalahan dalampengembangan budidaya adalah lingkunganperairan
yang tidak cocok.Kenyataan bahwa, penentuan lokasipengembangan budidaya, lebihberdasarkan
feeling atau trial and error (Hartoko & Helmi, 2004). Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat,
mengharapkan kesesuaianyang cocok untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya
tersebut.karena itu, pengemasan dan pengaturan perlu dilakukan (Zonneveld et al., 1991).
Data atau informasi tentang kelayakan lahan sangatlah diperlukan untukmemecahkan
dalam kompetisi pemanfaatan pesisir (Radiarta et al., 2005). Persoalan ini, dapat menyebabkan
kegiatan pemanfaatan ruang, pada zona tersebut menjadi tidak tepat.Berkembangan teknologi
pemetaan merupakan salah satu pilihan dalam penentuan lokasibudidaya (Budiyanto, 2005).
Aplikasi teknologi ini, dipergunakan untukmenggambarkan lokasi bagi pengembangan budidaya
laut yang dipadukan dengan parameter ekosistem perairan.
Permasalahan yang dihadapi oleh aquafarmers adalah, belum adanya nilai ataupun
spasial yang menggambarkan tingkat kesesuaian atau lokasi yang tepat dari perairan tersebut,
bagi pengembangan budidaya. Kondisi permasalahan diatas, menimbulkan pertanyaan:
Bagaimana daya dukung lingkungan perairan tersebut dari parameter fisika, kimia dan biologi,
sehingga dapat mempertegas teknologi yang akanditerapkan. Berdasarkan pernyataan diatas,
2 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
maka diperlukan suatu analisis penentuan lokasi pengembangan budidaya berdasarkan parameter
fisika, kimia dan biologi pada zona pemanfaatan umum di Teluk Mallasoro Jeneponto, sehingga
adanya kejelasan mengenai peruntukan lahan perairan yang nantinya dipakai sebagai tempat
budidaya.
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat mengetahui parameter físika, kimia dan
biologi perairan pada zona perairan Teluk Jeneponto, untuk kemudian menganalisis nilai
kesesuaian perairan dari parameter fisika, kimia dan biologi bagi pengembangan budidaya laut
terutama bagi daerah rekomendasi untuk budidayaKerang Abalondi Teluk Mallasoro, Kabupaten
Jeneponto, Provinsi Sulawes Selatan.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di Teluk Malassaro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto.
Peta Rupabumi Indonesia dengan nomor Indeks 2010-33 (Jeneponto) yang digunakan dalam
penelitian ini, lebih dahulu dipindai dan didijitasi. Selanjutnya dilakukan anlisis spasial dengan
teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Peta awal berupa Peta Penutupan/Penggunaan Lahan
diperoleh dari hasil klasifikasi tidak terbimbing Citra ALOS (Advance Land Observing Satellite)
ANVIR-2 (The Advance Visible and Near Infrared Radio Meter Type 2) akuisisi 28 Juli 2009
dengan Program ER Mapper 7.1 yang diintegrasikan dengan peta dasar dari peta Rupabumi
Indonesia. Data dan referensi yang diperoleh dari cek lapangan digunakan untuk melakukan
reinterpretasi citra hasil klarifikasi dan peta awal.
Pengambilan sampel parameter fisika, kimia dan biologi perairan yangdilakukan pada
pukul 08.00 Wita sampai pukul 17.00 Wita.Sampel yang dapatdiukur secara in situ dilakukan
pengukuran secara in situ dan sampel yang perludianalisis lebih lanjut, dibawa ke laboratorium
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros.
Metode penelitian merupakanpendekatan spasial dengan melakukanpengukuran langsung
parameter fisika,kimia dan biologi di lapangan.Pengukuran parameter secara in situ sepertisuhu,
oksigen terlarut, salinitas dan pHdengan menggunakan DO meter YSI 650. Untuk kedalaman
perairan dilakukan dengan menggunakan GPS Map 178C Sounder, data yang didapat kemudian
dikoreksi dengan data pasang surut ada saat pengukuran untuk mendapatkan nilai kedalaman
perairan.Kecerahanditentukan dengan menggunakan secchi disk dan kecepatanarus
menggunakan alat ukur arus (Flow meter). Selanjutnya beberapa parameterlain dianalisis di
laboratorium, seperti, material dasar perairan diambil dengan menggunakan grab sampler dan
dianalisis dengan metode pengayakan sederhana. Untukmuatan padatan tersuspensi
menggunakan penyaring milipora sedangkan fosfat, nitrat, klorofil-a menggunakan metode
spektrofotometer.
Untuk mendapatkan gambaran lokasi pengembangan budidaya dilakukan proses griding
terhadap nilai skor dari keseluruhan variabel parameter fisika, kimia dan biologi pada setiap
koordinat. Proses ini disusun berdasarkan gabungan kelas kesesuaian yang setingkat.
Tabel 1. Kesesuain lahan untuk budidaya kerang abalon.
Parameter
Satuan
Bobot
Nilai
(%)
30
20
Morfologi
10
Terlindung
Cukup terlindung
Kedalaman
m
15
10--20
21--30
Arus
cm/dt
10
5--15
16--30
Substrat dasar
10
Batu
Pecahan karang dan
kerikil
pasir
Kecerahan
m
10
1--4
≥5
Salinitas
ppt
10
24--38
15--24
Kesuburan perairan*
10
Banyak
Sedang
Pencemar
10
Tidak ada
Sedang
Keamanan
5
Aman
Agak aman
Keterjangkauan
5
Mudah
Agak sulit
Tenaga Kerja
5
Mudah
Agak sulit
* berdasarkan jenis dan kelimpahan plankton
10
Terbuka
< 10 dan > 30
< 5 dan > 30
lumpur
<1
< 15 dan > 38
Sedikit
Tinggi
Tidak aman
Sulit
Sulit
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 3
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Analisis data dilakukan dengan caraoverlay dari beberapa peta tematik yang diperlukan.
Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan lahan dilakukan melalui skoring dengan
faktor pembobot.Parameter yang mempunyai pengaruh dominan dan relatif tidak dapat diubah
memiliki faktor pembobot yang paling besar, sebaliknya parameter yang kurang dominan memiliki
faktor pembobot yang lebih kecil. Lahan yang masuk kategori sangat layak (S1) memiliki nilai total
30, kategori cukup layak (S2) memiliki nilai total 20 dan kategori tidak layak (N) memiliki nilai total
10. Analisis secara kuantitatif menggunakan pendekatan:
=
.
Keterangan
Y
: nilai akhir
ai
: faktor pembobot
: nilai tingkat kesesuaian lahan
Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai prosentase dari
hasil perhitungan diatas.Dengan demikian akan diperoleh kisaran prosentase setiap kategori
sebagai berikut:
Kategori sangat layak (S1)
: Y ≥ 85 %
Kategori layak (S2)
: Y= 50--84 %
Kategori tidak layak (N)
: Y≤ 50 %
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Umum Wilayah
Secara administratif, Teluk Malassoro terletak di Kecamatan Bangkala, Kabupaten
Jeneponto. Wilayah pesisir Teluk Malassoro agak tertutup dan terlindung dari ombak besar karena
terhalang oleh Pulau Libukang. Kondisi umum masyarakat, sebagian besar adalah nelayan dan
pembudidaya tambak. Kehidupan penduduk sangat tergantung oleh hasil perikanan dan kelautan
yang berasal dari Teluk Malassoro dan sekitarnya.
Dari pusat Kabupaten Jeneponto menuju Teluk Malassoro harus menempuh perjalanan
sekitar 20 km. Pendukung aksesibilitas berupa jalan penghubung, tersedia dengan kondisi yang
cukup memadai. Jalan tersebut menghubungkan Ibukota Kabupaten Jeneponto (Bonto Sunggu)
dan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar).
Saat ini di perairan teluk terdapat kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh
masyarakat pesisir. Menurut Utojo et al. (2007), Teluk Mallasoro merupakan bentuk pantai yang
memiliki cekungan agak dalam, dan terdapat Pulau Libukang yang terletak disebelah barat sekitar
mulut teluk serta di depannya terbentang terumbu karang yang luas, yang sangat berguna dalam
manghalang gelombang, sehingga Teluk Mallasoro relatif tenang dan terlindung dari ombak.
Pola pergerakan arus permukaan di perairan Teluk Malassoro dipengaruhi oleh angin dan
pola arus yang terjadi dari pecahan ombak dari Laut Flores yang menuju teluk. Pasang surut
dianggap cukup mempengaruhi kondisi arus di perairan teluk.Kondisi pasang surut di sekitar Teluk
Malassoro mempunyai tipe diurnal yaitu terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari,
dengan tunggang pasang 144 cm (Utojo et al., 2007).
Kondisi Oseanografi Teluk Malassoro
Pengambilan data parameter fisika, kimia dan biologi dilakukan bulan Maret tahun 2011,
pada saat wilayah Jeneponto berada dalam musim timur. Lokasi pengambilan sampel sebanyak
18 titik.
4 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Tabel 2. Titik pengukuran insitu Teluk Malassoro.
No.
Kode Lokasi
Lattitude
Longitude
1
ML1
5.64742
119.60728
2
ML2
5.64594
119.60631
3
ML3
5.64858
119.60872
4
ML4
5.65975
119.58986
5
ML5
5.65747
119.58781
6
ML6
5.64339
119.59483
7
ML7
5.63828
119.59183
8
ML8
5.64731
119.60872
9
ML9
5.62053
119.59214
10
ML10
5.62828
119.60764
11
ML11
5.63964
119.62814
12
ML12
5.64558
119.64450
13
ML13
5.65314
119.63750
14
ML14
5.64133
119.61044
15
ML15
5.63775
119.60419
16
ML16
5.65722
119.61994
17
ML17
5.66014
119.62528
18
ML18
5.66331
119.60536
Tabel 3. Rata-rata hasil pengamatan dan pengukuran kondisi perairan Teluk Malassoro.
Parameter
Perairan
I
II
III
IV
Stasiun
V
VI
VII
VIII
IX
Kedalaman
14,4
14
16,2
18,8
16,6
11,6
10
15,7
1,1
Arus
0,3
0,3
0,3
0,1
0,1
0,1
0,1
0,3
0,1
Kecerahan
9,5
9
9
9
8
8
6
9
0,5
Suhu
29,6
29,46
29,57
29,49
29,52
29,61
29,59
29,49
28,54
Salinitas
30,01
30,2
30,15
29,97
30,05
30,16
30,12
30,05
26,95
pH
8,05
8,14
7,98
7,87
8,02
8,12
8,45
7,96
7,3
DO
6,87
6,82
7,02
6,94
6,84
6,91
6,16
6,21
4,91
NO3
0,090
0,040
0,056
0,042
0,049
0,044
0,049
0,124
1,132
NH3
0,153
0,152
0,145
0,147
0,129
0,133
0,128
0,136
0,385
NO2
0,006
0,004
0,005
0,004
0,022
0,009
0,006
0,009
0,033
PO4
0,059
0,057
0,064
0,051
0,059
0,058
0,062
0,057
0,058
BOT
9,94
9,23
10
9,49
9,76
9,49
10,3
9,76
4,4
Berdasarkan hasil survei kondisi perairan Teluk Mallasoro pada 18 titik pengamatan, terlihat
bahwa secara umum daerah Teluk Mallasoro memiliki kelayakan dalam hal budidaya Kerang
Abalon. Menurut Ahmad et al. (1996) pengembangan usaha budidaya perikanan pesisir berbasis
budidaya laut dapat dilakukan pada kawasan pesisir seperti selat, teluk, laguna, dan muara sungai
yang terlindung dari, pengaruh arus yang kuat, gelombang yang besar angin yang kencang serta
bebas cemaran.
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 5
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Tabel 4. Rata-rata hasil pengamatan dan pengukuran kondisi perairan teluk malassoro.
Peubah
Terkecil
Tertinggi
Rata-rata
Standar deviasi
Kedalaman
1,100
20,100
10,679
5,574
Arus
0,100
0,300
0,132
0,072
Kecerahan
0,500
9,500
4,264
3,347
Suhu
27,750
29,820
29,138
0,527
Salinitas
24,910
33,360
31,086
2,074
pH
7,250
8,450
7,622
0,324
DO
4,740
7,020
5,686
0,791
NO3
0,040
8,030
1,438
2,187
NH3
0,116
0,836
0,276
0,202
NO2
0,004
0,102
0,027
0,027
PO4
0,018
0,167
0,067
0,037
BOT
2,300
10,300
6,698
3,273
TSS
0,004
0,025
0,014
0,008
Kedalaman perairan pada titik pengamatan di zona perairan Teluk Mallasoro berkisaran
antara 1,1 m sampai 20,1m, dengan nilai rata-rata sebesar 10,67 ± 5,574 m. Kedalaman perairan
diatas memperlihatkan kisaran nilai yang cukup mendukung bagi kegiatan budidaya Kerang
Abalon.
Gambar 1. Peta bathimetri Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Kecepatan arus di zona Perairan Teluk Mallasoro bervariasi antara< 0,1 m/dt sampai 0,3
m/dt dengan nilairata-rata sebesar 0,132 ±0,072 m/dt. Dikarenakan ketelitian alat, untuk hasil data
pengukuran arus didapat nilai 0,3 m/dtk untuk titik pengamatan 1, 2, 3, 8 dan nilai kecepatan arus
< 0,1 untuk titik pengamatan 4, 5, 6, 7…sd..18. Perbedaan kecepatan arus diduga disebabkan oleh
letak lokasi titik pengamatan dan kondisi pasang surut saat dilakukan pengukuran. Pada saat yang
lain adanya turbulensi dan perairan yang cukup terbuka merupakan pendugaan lain terjadi
perbedaan kuat arus. Hasil pengukuran rara-rata kecepatan arus di perairan zona perairan Teluk
Mallasoro masih berada pada nilai yang dianjurkan, walaupun bukan pada kisaran yang ideal.
Arus air sangat mempengaruhi pertukaran air dalam lokasi budidaya, dan dapat juga
berfungsi dalam pembersihan sisa metabolisme organisme budidaya. Namun, arus yang terlalu
besar dapat membuat kerusakan pada infrastruktur keramba budidaya Abalon.
6 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Gambar 2. Peta arah dan kecepatan arus Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Kecerahan perairan di zona Perairan Teluk Mallasoro berkisar antara 0,5 m hingga 9,5
mdengan rata-rata 4,26 ± 3,347 m.Hutabarat (2000) mengatakan bahwa, cahaya akan semakin
berkurang intensitasnya seiring dengan makin besar kedalaman. Pendugaan lain dari peneliti
adalah adanya perbedaan waktu pengamatan yang dilakukan. Effendi (2003) yang mengatakan
bahwa, pemantulan cahaya mempunyai intensitas yang bervariasi menurut sudut datang cahaya.
Suhu perairan di zona Perairan Teluk Mallasoro mempunyai kisaranantara 27,75 sampai
29,82ºC dengan nilairata-rata sebesar 29,14±0,0527ºC. Perbedaan tersebut diduga karena,
adanya selisih waktu pengukuran in situ terhadap variabel ini. Effendi (2003) mengatakan bahwa,
suhu perairan berhubungan dengan kemampuan pemanasan oleh sinar matahari, waktu dalam
hari dan lokasi. Hal ini didukung oleh Basmi (1999) dan Hutabarat (2000) yang mengatakan
bahwa, air lebih lambat menyerap panas tetapi akan menyimpan panas lebih lama dibandingkan
dengan daratan. Pada daerah yang semi atau tertutup, umumnya akan terjadi peningkatan suhu
perairan karena tidak terjadi pergerakan massa air. Suhu akan memperlihatkan fluktuasi yang lebih
bervariasi, di daerah pesisir yang mempunyai kedalaman relatif dangkal karena terjadi kontak
dengan substrat yang terekspos (Kinne,1964 cit Supriharyono, 2001).
Secara umum, rata-rata suhu di perairan zona pemanfaatan umum Teluk Malassoro,
memperlihatkan nilai yang mendukung kegiatan budidaya Kerang Abalon.
Gambar 3. Peta suhu Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Salinitas perairan di zona pemanfaatan umum Teluk Mallasoro mempunyai kisaran 24,91ppt
sampai 33,36 ppt dengan nilai rata-rata sebesar 31,08±2,08 ppt.Nilai salinitas yang didapat pada
saat pengukuran in situ di lokasi dianggap optimal untuk budidaya kerang Abalon yang berkisar
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 7
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
antara 30 – 35 ppt (Radiarta et al., 2003).
Gambar 4. Peta salinitas Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Gambar 5. Peta suhu Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Pengukuran in situ terhadap parameter pH perairan zona Perairan Teluk Mallasoro
memperlihatkan kisaran nilai sebesar 7,25 sampai 8,45, dengannilai rata-rata 7,62±0,324.
Perbedaan nilai pH dalam perairan diduga, disebabkan oleh adanya perbedaan waktu pengukuran.
Perubahan nilai pH dalam perairan mempunyai siklus harian.Siklus ini merupakan fungsi dari
karbondioksida. Effendi (2003) mengatakan bahwa, jika perairan mengandung karbondioksida
bebas dan ion karbonat maka pH cenderungasam, dan pH akan kembali meningkat jika CO2 dan
HCO3 mulai berkurang. pH perairan dapat mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik.
Parameter kualitas air lainnya pada perairan Teluk Mallasoro Jeneponto, didapat nilai
oksigen terlarut tertinggi 7.02 mg/L dan terendah sebesar 4,74 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar
5,68 ± 0,791 mg/L. Besarnya nilai oksigen terlarut diduga karena adanya siklus harian perairan
serta pergerakan masa perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan rasio konversi pakan. Konsentrasi oksigen terlarut berpengaruh
terhadap jumlah dan menjadi batasan terhadap organisme yang dibudidayakan.
Daerah yang relatif terbuka mempunyai pergerakan masa air yang lebih baik sehingga
memungkinkan terjadinya pencampuran masa air. Disamping itu, daerah yang terbuka lebih
memudahkan terdifusinya oksigen kedalam perairan, walupun kontribusinya diperairan lebih kecil
dibandingkan dengan mikroalga. Secara normatif, oksigen terlarut di perairan ditopang oleh
aktifitasi fotosintesa mikroalga dan difusi oksigen. Akan tetapi oksigen terlarut merupakan variabel
8 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
yang dinamis dalam perairan, sehingga sangat berkaitan dengan siklus hariannya. Kondisi tersebut
yang menyebabkan perbedaan kandungan oksigen terlarut, jika waktu pengukuran in situ tidak
sama. Brotowidjoyo et al (1995) mengatakan bahwa, pada kondisi perairan terbuka oksigen berada
pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen.
Hasil pengukuran terhadap parameterl nitrat (NO3) memperlihatkan nilai yangbervariasi
antara 0,039 sampai 8,030 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 1,438±2,187 mg/L. Hutabarat
(2000) menyatakan bahwa konsentrasi nitrat akansemakin besar dengan bertambahnya
kedalaman. Secara normatif keberadaannitrat dalam perairan ditunjang pada transpor nitrat ke
daerah tersebut, oksidasi amoniak oleh mikroorganisme dan kebutuhan produktivitas primer.
Di samping itu, adanya pemukiman penduduk di sekitar Teluk Malassoro, memungkinkan
masuknya nitrat ke dalam perairan. Effendi (2003) berpendapat bahwa, kadar nitrat dalam perairan
banyak dipengaruhi oleh pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia maupun
tinja hewan.
Sedangkan untuk nitrit (NO2) menunjukkan variasi nilai yaitu antara 0,004 mg/L sampai
0,102 mg/L dengan rata-rata nitrit untuk keseluruhan titik pengamatan sebesar 0,027±0,027 mg/L.
Secara umum nilai nitrit yang ada di perairan berbanding lurus dengan nilai nitrat.
Sementara itu untuk konsentrasi amoniak (NH3) pada titik pengukuran berkisar antara 0,116
sampai 0,836, denga rata –rata sebesar 0,276 ±0,202 mg/L. Konsentrasi amoniak
Nitrat merupakan bentuk nitrogen yang berperan sebagai nutrien bagi pertumbuhan alga
dan fitoplankton dan sifatnya cenderung stabil. Walaupun sangat berperan terhadap kadar nitrogen
dalam suatu perairan, beberapa fitoplankton cenderung lebih menyukai amoniak untuk digunakan
dalam proses pertumbuhan. Sedangkan Nitrit adalah benruk peralihan antara amoniak dan nitrat
(Odum, 1971). Besarnya kadar amoniak, nitrat dan nitrit dapat dipengaruhi oleh alam (batu dan
tanah) atau bisa juga berasal dari limbah organik (tinja dan urin).
Konsentras fosfat dalam perairan zona Perairan Teluk Mallasoro mempunyai nilai yang
bervariasi antara 0,018 sampai 0,167 mg/L, dengannilai rata-rata 0,067±0,037 mg/L
Menurut Effendi (2003) dan Supriharyono (2001), sebagian besar fosfat berasal
darimasukan bahan organik melalui darat berupa limbah industri maupun domestik (detergen).
Ditambahkan oleh Brotowidjoyo et al. (1995) dan Hutabarat (2000) bahwa, sumber fosfat di
perairan juga berasal dari proses pengikisan batuan dipantai.Konsentrasi fosfat di perairan zona
rencana pengembangan budidaya keramba jaring apung di Teluk Mallasoro memperlihatkan
kisaran yang masih mendukung kegiatan budidaya, walaupun tidak berada dalam nilai yang ideal.
Amoniak, nitrat, nitrit, dan fosfat sendiridalam perairan berperan sebagai sebagai nutrien.
Akan tetapi tingginya konsentrasi zat kimia tersebut di perairan dapat berdampak pada peledakan
plankton.
Konsentrasidan komposisi muatan padatan tersuspensi (MPT) bervariasi secara temporal
dan spasial tergantung pada factor-faktorfisik yang mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah
pola sirkulasi air, pengendapan gravitional, deposisi dan resuspensi sedimen. Faktor yang
palingdominan dalah sirkulasi air (Chester, 1990 cit Satriadi & Widada, 2004). Pergerakan air
berupaarus pasang akan mampu mengaduk sedimen yang ada (Satriadi & Widada, 2004).
Pemilihan Lokasi bagi Pengembangan Kerang Abalon
Dalam budidaya Kerang Abalon parameter yang perlu diperhatikan adalah muatan padatan
tersuspensi, kecepatan arus dan kedalaman.Ke tiga variabel tersebut, merupakan varaiabel dalam
parameter primer kegiatan budidaya yang teridentifikasi.Distribusi oksigen, makanan alami,
penempelan biofouling dan kerusakan pada instalasi budidaya Kerang Abalon dapat diperankan
oleh kecepatan arus. Hasil pengukuran in situ memperlihatkan kecepatan arus relatif lemah.Akan
tetapi distribusi oksigen terlarut merata, sehingga memungkinkan tidak banyak masukan yang
berarti dalam mengatasi kondisi ini.Persoalan yang perlu mendapat perhatian adalah penempelan
biofouling pada keranjang pemeliharaan. Masukan yang diberikan adalah pembersihan instalasi
berupa keranjang pemeliharaan dan penyesuaian terhadap ukuran mata jaring. Syarat ke dua
adalah muatan padatan tersuspensi. Variabel ini secara umum berdampak pada respirasi dari
tiram mutiara.Variabel primer yang terakhir dari ke tiga variabel diatas adalah kedalaman.Variabel
ini penting karena dianggap berkaitan dengan penetrasi cahaya dan persebaran plankton.Dengan
kedalaman yang ideal, diharapkan dapatmemberikan kondisi perairan yang cukup gelap akibat dari
kemampuan penetrasicahaya yang mulai berkurang.
Kecerahan dan material dasar perairan, merupakan variabel sekunder yang teridentifikasi.
Pembukaan dan penutupan cangkang mutiara tergantung pada lama penyinaran. Agar organisme
ini merasa lebih nyaman maka suasana pemeliharaan harus lebih gelap, dengan tujuan agar
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 9
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
cangkang lebih terbuka dan proses filtrasi pakan dapat berjalan secara maksimal dan alami
(Winanto,2002).Kecerahan di perairan Teluk Mallasoro Kabupaten Jeneponto masih berada pada
nilai yang dianjurkan bagi kegiatan budidaya Kerang Abalon.
Pentingnya material dasar perairan bagi tiram mutiara adalah berkenaan dengan kebiasaan
hidup dan sifat fisiologinnya. Daerah yang mempunyai dasar perairan terdiri dari pasir, karang dan
campuran keduanya merupakan habitatyang cocok bagi kehidupan tiram. Suatu organisme akan
bertumbuh dengan baik,jika berada pada habitatnya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 1992).
Hal senada juga dikatakan oleh Winanto (2005) bahwa, Jenis Tiram/Kerang hidup pada daerah
yang mempunyai substrat batu karang, rataan terumbu karang dan substrat keras lainnya.
Sedangkan nitrat, fosfat dan klorofil-a merupakan variabel tersier, yang tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan budidaya tiram. Peranan nitrat dan fosfat dan keberadaan klorofil-a di
perairan telah dijelaskan pada sub bab diatas.
Gambar 6. Peta kesesuaian budidaya abalon Teluk Malassoro, Kabupaten Jeneponto.
Kesimpulan dan Saran
Teluk Malassoro terletak di Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto. Wilayah pesisir
Teluk Malassoro agak tertutup dan terlindung dari ombak besar karena terhalang oleh Pulau
Libukang. Kondisi umum masyarakat, sebagian besar adalah nelayan dan pembudidaya tambak.
Kehidupan penduduk sangat tergantung oleh hasil perikanan dan kelautan yang berasal dari Teluk
Malassoro dan sekitarnya.
Hasil identifikasi perameter perairan Teluk Mallasoro, didapatkan nilai:kedalaman 1,0
sampai 20,1m, dengan rata-rata sebesar 10,67 m dan standar deviasi ±5.574;kecepatan arus<
0,1sampai 0,3 m/dt dengan rata-rata sebesar 0,132 m/dtk dan standar deviasi ±0,072; kecerahan
0,5 m sampai9,5 m dengan rata-rata sebesar 4,264 m dan standar deviasi ±1,116; suhu 27,750
sampai 29,820ºC dengan rata-rata sebesar 29,138 ºC dan standar deviasi ± 0,527; salinitas 24,910
sampai 33,360 ppt dengan rata-rata sebesar 31,086 ppt dan standar deviasi ±2,074; pH 7,250
sampai 8,45 dengan rata-rata sebesar 7,622 dan standar deviasi ± 0,324; oksigen terlarut 4,740
sampai 7,020 dengan rata-rata sebesar 5,686 mg/L dan standar deviasi ±0,791; NO30,040 sampai
8,030 mg/L dengan rata-rata sebesar1,438 mg/L dan standar deviasi ± 2,187; NH3 0,116 sampai
0,836 mg/L dengan rata–rata sebesar 0,276 mg/L dan standar deviasi ±0,202; PO40,018 sampai
0,167 mg/L dengan rata-rata 0,067 mg/L dan standar deviasi ± 0,037; mutan padatan tersuspensi
0,004 sampai 0,025 mg/L dengan rata-rata sebesar 0,014mg/L dan standar deviasi ±0,008.
Sedimen dasar didominasi oleh pasir berlumpur.
Hasil analiss kesesuaian lahan untuk budidaya Abalon pada Teluk Mallasoro, Jeneponto
adalah mempunyai tingkat kesesuaian sedang. Total luasan daerah kajian berdasarkan analisa
SIG adalah 3882,7 ha; dengan luasan untuk daerah yang memiliki tingkat kesesuaian tinggi (S1)
untuk budidaya abalon sebesar 214,8 ha; daerah yang memiliki tingkat kesesuaian sedang (S2)
sebesar 3093,1 ha; daerah yang memiliki tingkat kesesuaian rendah (S3) sebesar 574,8 ha.
Penelitian ini dilaksanakan saat daerah penelitian sedang mengalami musim timur. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal mengenai kesesuai lahan untuk budidaya Kerang Abalon, maka
10 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
perlu diadakan kegiatan lanjutan dengan kondisi musim yang berbeda, sehingga didapat data yang
bias mewakili kondisi perairan sepanjang musim.
Daftar Pustaka
Ahmad, T., A. Mustafa & A. Hanafi.1996. Konsep Pengembangan Desa Pantai Mendukung
Keberlanjutan Produksi Perikanan Pesisir. Dalam Poernomo, A., H.E. Irianto, S.
Nurhakim, Murniyati, dan E. Pratiwi (Eds.). Prosiding Rapat Kerja Teknis Peningkatan
Visi Sumberdaya Manusia Peneliti Perikanan Menyongsong Globalisasi IPTEK, Serpong,
19-20 November 1996. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, Jakarta.
Agoes. E.R. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut Perspektif Hukum Laut. Departemen
Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Akbar, S & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penerbit Penebar
Swadaya, Jakarta.
Bakosurtanal.1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang-Nusa Tenggara
Timur.Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.
Basmi, J. 2000. Planktonologi :Plankton Sebagai Bioindikator KualitasPerairan. Makalah, Fakultas
Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor.
Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono. & E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan
Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Budiyanto. E. 2005. Pemetaan Kontur dan Pemodelan Spatial 3 Dimensi Surfer. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting. & M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu.Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan.2002.Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Laut,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata
Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ghufron. M & H. Kordi. 2005.Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
Hartoko, A. & M. Helmi. 2004. Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang
Coastal Water (West Sumatera). Journal of Coastal Development.Vol 7.No 3 hal 129136.
Heemstra, P.C & J.E. Randll. 1993. FAO Species Catalog Vol. 16 : Groupers of The Word (Famli
Serranidae, Subfamily Epinephelus). Rome,Food and AgricultureOrganization of The
United Nation.
Haumau, S. 2005. Distribusi Spatial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah.
Ilmu Kelautan Indonesian Journal of Marine Science, UNDIP. Vol 10. No 3. hal 126 –
136.
Hutabarat, S. 2000. Peranan Kondisi Oceanografi terhadap Perubahan Iklim, Produktivitas dan
Distribusi Biota Laut. UNDIP, Semarang.
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11) - 11
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Kangkan, L. Alexander, A. Hartoko & Suminto. 2007. Studi Penentuan Lokasi Ntuk Pengembangan
Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia Dan Biologi Di Teluk Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut, Vol.3. Jakarta.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51
tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta.
Milne, P.H. 1979. Fish and Shellfish Farming in Coastal Waters. Fishing News Book Ltd, Farnham
Surrey.
Odum, E.P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press.Oreginal
English Edition.Fundamental of Ecology Thurd Edition, Yokyakarta.
Pillay, T.V.R. 1990. Quality Criteria for Water.US Enviromental Protection Agency, Washington DC.
Radiarta, N. Adang Saputra & O. Johan, 2005. Penentuan Kelayakan Lahan untuk
Mengembangkan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi
Geografis di Perairan Lemito Provinsi Gorontalo.
Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut.www.fao.org/docrep/field/003.
Satriadi, A. & S. Widada.2004. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi di Muara Sungai Bodri,
Kabupaten Kendal. Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP. Vol 9 (2) hal 101 – 107.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Utojo, A. Mansyur, Tarunamulia, B. Pantjara & Hasnawai. 2005. Identifikasi Kelayakan Lokasi
Budidaya Laut di Perairan Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur.Journal Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol II. No 5, hal 9 – 29.
Zonneveld.N., E.A. Huisma & J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Tanya Jawab
-
12 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-11)
Download