View/Open

advertisement
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS)
DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN
SKRIPSI
Oleh
Estu Nur Hare Latul Suhenda
111810401002
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
i
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS)
DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN
SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Sarjana Sains Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember
Oleh
Estu Nur Hare Latul Suhenda
111810401002
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
ii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk
1. Ibunda Endang Sulastri dan Ayahanda Suharto, yang telah mendoakan,
memberikan semangat, dan mencurahkan kasih sayang yang tidak pernah putus;
2. Adikku Fiki Dwi Harsyah Suhenda yang selalu memberikan semangat;
3. para kerabat dan saudara yang selalu memberi semangat dan doa;
4. guru-guru dan dosen yang telah memberi ilmu dan bimbingan;
5. Almamater Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember.
iii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MOTO
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(Al Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 13) 1
“Ordinary people believe only in the possible. Extraordinary people visualize not
what is possible or probable, but rather what is impossible. And by visualizing the
impossible, they begin to see it as possible” 2
1
Agama Republik Indonesia. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Klaten: Sahabat
2 Cherie Carter-scott dalam Wijaya, D. 2004. Running to Riches. Bandung:
Escaeva.com
1 Departemen
iv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
nama : Estu Nur Hare Latul Suhenda
NIM
: 111810401002
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas
Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran” adalah
benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya,
belum pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya
bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai sikap ilmiah yang harus
dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan
paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di
kemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Jember, 30 November 2015
Yang menyatakan
Estu Nur Hare Latul Suhenda
NIM 111810401002
v
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
SKRIPSI
STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS)
DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN
Oleh
Estu Nur Hare Latul Suhenda
111810401002
Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama
: Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc.
Dosen Pembimbing Anggota : Dra. Dwi Setyati, M.Si.
vi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PENGESAHAN
Skripsi berjudul “Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai
Bama Taman Nasional Baluran” telah diuji dan disahkan pada:
hari, tanggal
:
tempat
: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tim penguji:
Ketua,
Sekretaris,
Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc.
Dra. Dwi Setyati, M.Si.
NIP 196205051988021001
NIP 196404171991032001
Anggota I,
Anggota II,
Prof. Drs. Sudarmadji, M.A., Ph.D.
Fuad Bahrul Ulum, S.Si., M.Sc.
NIP 19505071982121001
NIP 198409262008121002
Mengesahkan
Dekan,
Prof. Drs. Kusno, DEA., Ph.D.
NIP 196101081986021001
vii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
RINGKASAN
Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman
Nasional Baluran; Estu Nur Hare Latul Suhenda, 111810401002; 46 halaman; Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.
Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Angiosperm) yang telah
beradaptasi hidup tenggelam di dalam air laut. Fungsi ekologis lamun antara lain adalah
sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan baik dalam bentuk hidup
ataupun detritus, tempat berlindung, dan tempat berkembangbiak bagi beberapa jenis
invertebrata. Salah satu ekosistem pantai yang memiliki komunitas lamun adalah
Pantai Bama yang terletak di Taman Nasional Baluran. Struktur komunitas lamun di
Pantai Bama pernah diteliti pada tahun 2004, dari penelitian tersebut diketahui ada 5
jenis lamun. Seperti halnya pada komunitas umumnya, komunitas lamun juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, dalam jangka waktu yang cukup lama faktorfaktor biofisik ini dapat menyebabkan perubahan pada komunitas lamun tersebut. Oleh
sebab itu penelitian tentang struktur komunitas lamun di Pantai Bama perlu dilakukan
lagi karena struktur komunitas merupakan konsep dasar untuk mempelajari suatu
komunitas dan perubahan-perubahannya.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui struktur komunitas lamun di zona
intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang meliputi frekuensi mutlak jenis
dan frekuensi relatif jenis, persen penutupan mutlak jenis dan persen penutupan relatif
jenis, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks
Morisita. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur
komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama dan dapat menjadi sumber data ilmiah
untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem lamun di masa depan.
viii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Penelitian dilakukan di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran,
Jawa Timur dengan titik kordinat awal 7°50’40,71”s dan 114° 27’45,07”e sampai titik
koordinat akhir 7°50’33,13”s dan 114°27’45,72”e pada tanggal 31 Mei – 3 Juni 2015.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek ploting. Jumlah
transek yang dibuat sebanyak 15 transek. Pada tiap transek kemudian diletakan plot
dengan ukuran 1x1 m secara sistematis. Dari tiap-tiap plot kemudian diukur frekuensi
dan persen penutupan setiap jenis lamun. Selain itu juga dilakukan pengukuran faktor
abiotik pada plot 1, 5, dan kelipatannya. Data dan spesimen lamun yang ditemukan saat
sampling dianalisis dan diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Jember dan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta.
Di Pantai Bama ditemukan 7 jenis lamun yaitu Halodule pinifolia Hartog,
Syringodium isoetifolium (Asch.) Dandy, Halodule uninervis (Forssk.) Asch., Enhalus
acoroides (L.f.) Royle, Halophila ovalis (R.Br.) Hook. f., Thalassia hemprichii
(Ehrenb.) Asch., dan Cymodocea rotundata Asch. & Schweinf. Jenis lamun yang
memiliki peranan paling penting adalah C. rotundata dengan nilai INP 55,65%, diikuti
T. hemprichii dengan nilai INP 54,99%. Keanekaragaman jenis lamun di Pantai Bama
berdasarkan Indeks Shannon-Wiener tergolong sedang dengan nilai 1,52. Di Pantai
Bama nilai Indeks Evennes adalah 0,78, nilai tersebut menunjukan kesamarataannya
tergolong tinggi dan keadaan komunitas lamunnya dalam kondisi yang stabil. Pola
sebaran setiap jenis lamun cenderung mengelompok, hal ini didasarkan pada
perhitungan Indeks Morisita yang menunjukan nilai > 1 untuk masing-masing jenis
lamun. Pengelompokan lamun ini terjadi di sekitar 10 - 150 m dari garis pantai dengan
kedalaman 0,5 – 1 m.
ix
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas Lamun
(Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1)
pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Utama dan Dra. Dwi
Setyati, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu,
memberikan arahan, nasehat, bimbingan serta, pikiran dan tenaganya demi
terselesaikannya penulisan skripsi ini;
2. Prof. Drs. Sudarmadji, M.A., Ph.D., selaku dosen penguji I dan Fuad Bahrul Ulum,
S.Si., M.Sc., selaku dosen penguji II atas segala masukan dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini;
3. Almarhumah Dra. Umiyah, M.Sc. Agr. dan Dr. Purwatiningsih M.Si. selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang selalu memberi arahan dan solusi selama menjadi
mahasiswa;
4. dosen-dosen saya yang saya hormati atas bekal ilmu dan nasehat yang diberikan
selama menjadi mahasiswa;
5. Ibunda Endang Sulastri dan Ayahanda Suharto yang telah memberikan kasih
sayang dan segala sesuatunya selama menjadi mahasiswa;
6. Departemen Kehutanan Derektoral Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam
Taman Nasional Baluran, yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian di
Pantai Bama;
x
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
7. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Drs.
Wawan Kiswara yang telah membantu dalam proses identifikasi spesimen lamun;
8. teman-teman tim riset Pantai Bama (Meifri Fafurit, Zaenal Mahmudi, Yuvi
Yuanditra, Ika Novita, dan Anggi Erlita) atas kerja sama, bantuan, dan hiburanhiburannya;
9. teman-teman seangkatan dan seperjuangan “AMPIBI”, kalian semua teman,
sahabat, dan saudaraku, terima kasih atas semangat dan dorongannya;
10. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu
dan memberi dorongan agar supaya skripsi ini cepat terselesaikan.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Jember, November 2015
Penulis
xi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
ii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
iii
HALAMAN MOTO ....................................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN .....................................................................
v
HALAMAN PEMBIMBINGAN ................................................................
vi
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
vii
RINGKASAN ..............................................................................................
viii
PRAKATA ...................................................................................................
x
DAFTAR ISI ................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
2
1.3 Tujuan ................................................................................................
2
1.4 Manfaat ...............................................................................................
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
3
2.1 Struktur Komunitas ..........................................................................
3
2.2 Karateristik Tumbuhan Lamun ......................................................
4
2.1.1 Taksonomi Lamun ........................................................................
4
2.1.2 Morfologi Lamun ..........................................................................
5
2.1.3 Perkembangbiakan Lamun ...........................................................
7
2.3 Habitat Lamun...................................................................................
7
2.4 Struktur Vegetasi dan Distribusi Lamun ........................................
8
xii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
2.4 Faktor Pembatas Lamun ..................................................................
9
2.4.1 Kekeruhan dan kedalaman ............................................................
9
2.4.2 Arus ...............................................................................................
10
2.4.3 Salinitas........................................................................................
10
2.4.4 Suhu .............................................................................................
11
2.4.5 Substrat ........................................................................................
11
2.4.6 Derajat Keasaman (pH) ...............................................................
11
2.5 Fungsi Ekosistem Lamun.................................................................
12
2.6 Pantai Bama Taman Nasional Baluran ..........................................
13
BAB 3. METODE PENELITIAN .............................................................
14
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
14
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................
15
3.3 Teknik Pencuplikan Data ................................................................
15
3.4 Pencatatan Data ................................................................................
16
3.5 Analisis Data .....................................................................................
18
3.5.1 Identifikasi Spesies Lamun ..........................................................
18
3.5.2 Perhitungan Data Lamun .............................................................
18
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................
23
4.1 Karakteristik Habitat .......................................................................
23
4.2 Kekayaan dan Komposisi Jenis Lamun .........................................
24
4.3 Dominansi Jenis-Jenis Lamun.........................................................
33
4.4 Indeks Keanekaragaman Jenis .......................................................
37
4.5 Indeks Kesamarataan ......................................................................
38
4.6 Indeks Dispersi Morisita ..................................................................
39
xiii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
BAB 5. PENUTUP ......................................................................................
43
5.1 Kesimpulan .......................................................................................
43
5.1 Saran ..................................................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
44
LAMPIRAN ................................................................................................
47
xiv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Jenis-jenis lamun yang ada di Indonesia ...............................................
4
2.2 Status ekosistem padang lamun ............................................................
8
4.1 Kekayaan dan Komposisi jenis lamun di zona intertidal Pantai Bama
Taman Nasional Baluran .......................................................................
24
4.2 Indeks Nilai Penting jenis lamun di zona intertidal Pantai Bama
Taman Nasional Baluran .......................................................................
34
4.3 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener jenis lamun
di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ......................
37
4.4 Pola distribusi lamun di zona intertidal Pantai Bama
Taman Nasional Baluran .......................................................................
xv
39
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Morfologi lamun ...................................................................................
6
3.1 Lokasi Pantai Bama Taman Nasional Baluran......................................
14
3.2 Model peletakan transek dan plot .........................................................
16
3.3 Segitiga Millar.......................................................................................
17
4.1 Enhalus acoroides .................................................................................
25
4.2 Halophila ovalis ....................................................................................
26
4.3 Thalassia hemprichii .............................................................................
27
4.4 Cymodocea rotundata ...........................................................................
28
4.5 Halodule pinifolia .................................................................................
29
4.6 Halodule uninervis ................................................................................
30
4.7 Syringodium isoetifolium ......................................................................
31
4.8 Distribusi lamun secara vertikal di zona intertidal Pantai Bama
Taman Nasional Baluran .......................................................................
xvi
40
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. Grafik penutupan lamun tiap transek .....................................................
47
B. Hasil perhitungan data biotik .................................................................
48
C. Peletakan transek dan plot ......................................................................
49
D. Pengamatan substrat tiap transek dan analisis substrat ..........................
50
E. Perbedaan kekayaan dan komposisi jenis lamun dengan penelitian
Sebelumnya .............................................................................................
51
F. F.1 Tabel pengamatan .............................................................................
52
F.2 Data sekunder....................................................................................
62
G. Surat validasi identifikasi .........................................................................
63
xvii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Angiosperm) yang telah
beradaptasi hidup tenggelam di dalam air laut. Lamun mampu membentuk suatu
hamparan yang luas yang disebut padang lamun (Hutomo dan Azkab, 1987). Seperti
halnya tumbuhan pada umumnya, lamun mampu membuat makanannya sendiri
(autotrof) dengan melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu lamun hanya ditemukan di
daerah pasang surut atau zona intertidal (zona yang terletak antara pasang tertinggi dan
surut terendah) yang sinar matahari dapat sampai pada bagian dasar zona.
Kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis menyebabkan lamun
memiliki fungsi ekologis yang penting bagi keseimbangan ekosistem perairan. Fungsi
ekologis lamun antara lain adalah sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber
makanan baik dalam bentuk hidup ataupun detritus, tempat berlindung, dan tempat
berkembangbiak bagi beberapa jenis invertebrata yang berasosiasi dengannya (Nontji,
1993). Selain itu lamun juga berfungsi sebagai penyeimbang dasar perairan dengan
sistem perakarannya yang mampu menangkap sedimen dan sebagai pelindung pantai
karena mampu meredam arus, sehingga keberadaannya juga penting untuk menjaga
keseimbangan ekosistem perairan tersebut (Dahuri et al., 1996).
Spesies lamun telah ditemukan tersebar diseluruh dunia dan mampu hidup di
daerah tropis maupun di daerah dingin. Sebanyak 60 jenis lamun di dunia telah
teridentifikasi, 20 jenis diantaranya ditemukan di Asia Tenggara. Di Indonesia terdapat
12 jenis lamun dari 7 genus yang telah berhasil diidentifikasi (Den Hartog, 1970).
Menurut Kuriandewa (2009) di Indonesia luas padang lamun sekitar 30.000 km2.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
2
Salah satu ekosistem pantai yang memiliki komunitas lamun adalah Pantai
Bama yang terletak di Taman Nasional Baluran. Pantai Bama merupakan salah satu
pantai yang memiliki potensi keanekaragaman biota yang cukup tinggi (Balai Taman
Nasional Baluran, 2015). Penelitian tentang struktur vegetasi lamun di Pantai Bama
sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Suryaningrum (2004). Dari hasil penelitian
tersebut dapat diketahui bahwa di Pantai Bama terdapat 5 jenis lamun. Seperti halnya
pada komunitas umumnya, komunitas lamun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
biofisik, dalam jangka waktu yang cukup lama faktor-faktor biofisik ini dapat
menyebabkan perubahan pada komunitas lamun tersebut (Fortes dan Kiswara, 1994).
Oleh sebab itu penelitian tentang struktur komunitas lamun di Pantai Bama perlu
dilakukan lagi karena struktur komunitas merupakan konsep dasar untuk mempelajari
suatu komunitas dan perubahan-perubahannya (Odum, 1998).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman
Nasional Baluran yang meliputi frekuensi, persen penutupan, Indeks Nilai Penting,
indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks Morisita.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun di zona
intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang meliputi frekuensi mutlak jenis
dan frekuensi relatif jenis, persen penutupan mutlak jenis dan persen penutupan relatif
jenis, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks
Morisita.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur
komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama dan menjadi sumber data ilmiah untuk
pengelolaan dan pelestarian ekosistem lamun di masa depan.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Komunitas
Komunitas merupakan kumpulan dari populasi yang menempati suatu kawasan
dan waktu tertentu. Populasi-populasi tersebut akan saling berinteraksi dan berasosiasi
baik dengan populasi yang lain ataupun dengan lingkungannya sehingga terbentuk
suatu aliran energi dan siklus materi. Kualitas suatu komunitas dapat diketahui dengan
melakukan analisis terhadap struktur dari komunitas itu sendiri (Dahuri, 2001).
Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau
komposisi suatu spesies dalam suatu komunitas (Smith, 1990). Ada banyak aspek yang
dapat digunakan untuk mempelajari struktur komunitas, antara lain dominansi jenis,
keanekaragaman jenis, kesamarataan, dan pola persebaran jenis. Dominansi
menunjukan jenis yang mempunyai jumlah paling banyak, menduduki permukaan
terluas, dan memberikan kontribusi terbesar dalam aliran energi dan siklus materi.
Suatu spesies dikatakan dominan karena spesies tersebut mampu beradaptasi dengan
batasan toleransi ekologis yang lebih luas dan memanfaatkan kondisi lingkungan
dengan lebih efisien. Dominansi suatu jenis dapat ditentukan dengan menghitung nilai
indeks pentingnya (INP). INP merupakan nilai yang menunjukan peranan suatu spesies
dalam suatu komunitas. Nilai INP dapat ditentukan dengan menjumlah nilai dari
frekuensi relatif dan persen penutupan relatif suatu spesies. Semakin tinggi nilai INP
maka semakin tinggi peranan dan sifat mendominasi dari spesies tersebut (Smith,
1990).
Keanekaragaman jenis menunjukan perbedaan jenis yang ada pada suatu
komunitas. Keanekaragaman jenis umumnya ditentukan dengan menggunakan indeks
keanekaragaman jenis yang dinyatakan oleh nisbah antara persen penutupan jenis
dengan total persen penutupan seluruh jenis (Odum, 1998). Kesamarataan atau
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
4
keseragaman merupakan persamaan penyebaran jumlah individu antar spesies pada
suatu komunitas. Pola persebaran jenis merupakan posisi relatif individu satu terhadap
individu yang lain menurut ruang. Ada tiga pola persebaran populasi yaitu seragam,
acak, dan mengelompok (Odum, 1998).
2.2 Karateristik Tumbuhan Lamun
2.1.1 Taksonomi Lamun
Lamun merupakan tanaman tingkat tinggi yang termasuk ke dalam divisi
Magnoliophyta dan kelas Liliopsida. Lamun termasuk ke dalam kelas Liliopsida karena
lamun merupakan tumbuhan monokotil atau berkeping satu. Di Indonesia telah
teridentifikasi terdapat 12 jenis lamun yang termasuk ke dalam 2 bangsa, 2 suku, dan
7 marga (Tabel 2.1). Berikut adalah klasifikasi lamun sampai tingkat subkelas menurut
Cronquist (1981).
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Alismatidae
Tabel 2.1 Jenis-jenis lamun yang ada di Indonesia
Bangsa
Suku
Marga
Hydrocharitales Hydrocharitaceae Enhalus
Halophila
Jenis
Enhalus acoroides (L.f.) Royle
Halophila decipiens Ostenf.
Halophila ovalis (R.Br.) Hook. f.
Halophila minor (Zoll.) Hartog
Halophila spinulosa (R.Br.)
Asch.
Thalassia
Thalassia hemprichii (Ehrenb.)
Asch.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Bangsa
Najadales
Suku
Cymodoceaceae
Marga
Cymodocea
5
Jenis
Cymodocea rotundata Asch. &
Schweinf
Cymodocea serrulata (R.Br.)
Asch. & Magnus
Thalassodendron Thalassodendron ciliatum
(Forssk.) Hartog
Syringodium
Syringodium isoetifolium (Asch.)
Dandy
Halodule
Halodule pinifolia Hartog
Halodule uninervis (Forssk.)
Asch.
Sumber: Azkab (1999).
2.1.2 Morfologi Lamun
Lamun merupakan tumbuhan monokotil yang berhabitus herba. Struktur
morfologi umum tumbuhan lamun sama dengan tumbuhan lainnya yaitu terdiri dari
akar, rimpang, dan daun (Gambar 2.1). Rimpang pada lamun merupakan batang yang
berbuku-buku dan tumbuh horizontal merayap dalam substrat yang tenggelam di air.
Sering kali rimpang terbenam di dalam substrat sehingga yang terlihat hanyalah batang
pendek. Batang ini merupakan bagian yang tumbuh dari nodus rimpang. Dari nodus
rimpang juga muncul akar yang akan membantu lamun untuk menempel pada substrat
sehingga dia tidak mudah tersapu oleh ombak dan arus (Azkab, 2006).
Beberapa spesies lamun memiliki akar bercabang seperti pada beberapa jenis
Halophila dan Halodule, sedangkan pada jenis Thalassodendron memiliki akar tunggal
yang kuat dan berkayu. Akar pada tumbuhan lamun sedikit berbeda dengan tumbuhan
yang ada di darat. Akar pada umumnya berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi namun
pada tumbuhan lamun akar lebih berfungsi sebagai alat untuk melekat pada substrat
(Azkab, 2006).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
6
Gambar 2.1 Morfologi lamun (Azkab, 2006)
Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan sejati, dapat dibedakan antara daun,
batang, dan akar. Daun lamun umumya memanjang kecuali pada kelompok Halophila
yang memiliki daun oval. Bentuk dan ujung dari daun lamun umumnya dijadikan
sebagai acuan untuk identifikasi dan klasifikasi. Selain itu keberadaan ligula juga
menjadi acuan untuk identifikasi dan klasifikasi. Daun tumbuhan lamun tidak terlalu
berbeda dari daun tumbuhan lainnya yang juga memiliki klorofil untuk proses
fotosintesis. Ciri yang khas pada daun lamun adalah tidak adanya stomata untuk proses
respirasi, oleh sebab itu daun lamun memiliki lapisan kutikula yang sangat tipis
sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan nutrisi secara langsung dari air laut
(Nybakken, 1992).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
7
2.1.3 Perkembangbiakan Lamun
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang bersifat dioecious atau berumah
dua yang artinya satu tumbuhan hanya memiliki organ reproduksi jantan saja atau
betina saja. Perkembangbiakan lamun dilakukan dengan dua cara yaitu generatif dan
vegetatif. Secara generatif perkembangbiakan diawali melalui proses polinasi antara
polen bunga jantan dan kepala putik bunga betina yang kemudian menghasilkan biji.
Secara vegetatif dilakukan dengan cara pembentukan cabang rimpang yang terusmenerus menghasilkan tunas baru yang kemudian akan membentuk padang lamun
(CRC Reef Research Center, 2004).
2.3 Habitat Lamun
Lamun umumya ditemukan di daerah perairan dangkal dan jernih yang masih
memungkinkan adanya penetrasi cahaya matahari untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya (Djais et al., 2002). Lamun juga hidup dengan baik pada daerah
yang dekat dengan sumber air tawar. Umumnya lamun hidup dengan kedalaman antara
2–12 meter tergantung pada tingkat kekeruhan air lautnya. Lamun biasanya ditemukan
dalam jumlah yang melimpah dan membentuk suatu ekosistem lamun yang disebut
padang lamun (Romimohtarto, 1991).
Lamun dapat hidup pada berbagai macam tipe substrat mulai dari pasir, lumpur,
dan karang. Namun tipe substrat pasir berlumpur merupakan substrat yang paling baik
untuk pertumbuhan lamun karena berdasarkan data yang ada padang lamun yang luas
hanya ditemukan pada daerah dengan substrat tersebut (Dahuri, 2001). Kiswara (1992)
juga menyatakan bahwa lamun dapat ditemukan di berbagai macam tipe substrat. Di
Indonesia padang lamun dikelompokan menjadi enam jenis berdasarkan karateristik
substratnya, yaitu padang lamun yang tumbuh pada substrat lumpur, lumpur pasir,
pasir, pasir berlumpur, puing-puing karang, dan batu karang. Perbedaan komposisi
substrat akan menyebabkan perbedaan jenis-jenis lamun yang tumbuh serta akan
berpengaruh terhadap perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun (Kiswara, 1992).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
8
Setiap jenis lamun memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk bertahan
hidup misalnya beberapa jenis Halophila yang telah ditemukan mampu hidup dalam
kedalaman sampai 90 meter (Den Hartog, 1970). Batas kedalaman sebagian besar
spesies lamun adalah 10‒12 meter namun pada perairan yang sangat jernih lamun bisa
ditemukan pada tempat yang lebih dalam. Dahuri (2001) menyatakan bahwa hal yang
paling penting dalam pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang
sesuai. Ada dua peranan penting yang terkait dengan tingkat kedalaman sedimen ini
yaitu melindungi lamun dari arus laut dan merupakan sumber nutrisi bagi lamun.
Komunitas lamun merupakan komunitas yang dinamis, keseimbangan komunitas ini
akan terganggu jika mengalami gangguan baik secara fisik maupun biologis. Untuk
mengetahui kondisi komunitas lamun dapat diketahui dengan melihat persentase
penutupan lamun (Tabel 2.2)
Tabel 2.2 Status ekosistem padang lamun
Kondisi
Penutupan (%)
Sehat
≥ 60
Kurang Sehat
30‒59,9
Miskin
≤ 29,9
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
2.4 Struktur Vegetasi dan Distribusi Lamun
Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup berkelompok dan dalam jumlah
yang besar akan membentuk padang lamun. Pada padang lamun tersebut terjadi suatu
interaksi antara lamun dengan organisme-organisme lain seperti spesies timun laut,
bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan hamparan vegetasi lamun
yang tumbuh menutupi suatu area laut dangkal. Struktur vegetasi lamun dapat
dibedakan berdasarkan komposisi jenis dan penutupan dari suatu padang lamun. Secara
umum tipe vegetasi lamun dibedakan menjadi dua, (Tomascik et al., 1997) yaitu:
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
9
1. Padang lamun vegetasi tunggal (monospesific seagrass beds) yang merupakan
vegetasi padang lamun yang disusun oleh satu jenis lamun saja.
2. Padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang merupakan
vegetasi padang lamun yang disusun oleh dua jenis lamun atau lebih.
Lamun dapat hidup di perairan tropis maupun temperate atau dingin. Pada
daerah tropis seperti Indonesia padang lamun hampir menyebar di seluruh kawasan
perairan pantai. Di Indonesia tipe-tipe vegetasi lamun yang paling umum dijumpai
adalah tipe vegetasi campuran, berbeda dengan vegetasi pada daerah temperate yang
umumnya bertipe vegetasi tunggal (Azkab, 2006).
Berdasarkan kedalamannya, secara vertikal sebaran lamun dikelompokan
menjadi tiga kategori, (Kiswara, 1997) yaitu:
1. Spesies lamun yang tumbuh pada derah terbuka dan dangkal dengan kedalaman
kurang dari 1 m. Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila
minor, dan Halophila ovalis.
2. Spesies lamun yang tumbuh pada daerah dengan kedalaman sedang, yaitu 1‒5
m. Contoh: Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides.
3. Spesies lamun yang tumbuh pada perairan yang lebih dalam, yaitu 5‒35 m
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, dan Syringodium isoetifolium.
2.4 Faktor Pembatas Lamun
Faktor pembatas merupakan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada
keberadaan ekosistem lamun. Faktor-faktor pembatas tersebut antara lain kekeruhan
dan kedalamam, arus, salinitas, suhu, substrat, dan pH.
2.4.1 Kekeruhan dan kedalaman
Kekeruhan adalah ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan adanya
partikel-partikel yang tersuspensi di dalamnya. Kandungan zat-zat organik dan
anorganik juga merupakan salah satu penyebab kekeruhan (Effendi, 2003). Sedangkan
kedalaman adalah jarak antara permukaan air sampai mencapai substrat dasar.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
10
Kekeruhan dan kedalaman sangat berpengaruh pada intensitas cahaya matahari yang
masuk ke dasar laut. Semakin besar tingkat kekeruhan dan kedalaman suatu perairan
maka semakin kecil pula intensitas cahaya yang dapat mencapai dasar. Lamun
merupakan organisme autotrof yang membutuhkan cahaya untuk membentuk energi
melalui proses fotosintesis. Dengan demikian semakin tinggi tingkat kekeruhan dan
kedalaman suatu perairan maka semakin sedikit spesies lamun yang ditemukan. Hal ini
juga menjadi salah satu penyebab kenapa lamun hanya ditemukan di daerah laut yang
dangkal (Dahuri, 2001).
2.4.2 Arus
Arus merupakan gerakan mengalir dari suatu massa air. Arus pada lautan
disebabkan oleh tiupan angin ataupun oleh gerakan gelombang yang panjang
(Hutabarat dan Evans, 1985). Kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap
produktivitas padang lamun. Terlalu cepat dan terlalu lambat akan berdampak kurang
baik pada produktivitas lamun. Umumnya arus berfungsi sebagai media sirkulasi yang
membantu membawa zat hara masuk ke dalam ekosistem lamun dan membawa hasil
metabolisme keluar dari ekosistem lamun. Menurut Dahuri (2001) kecepatan arus
optimum untuk pertumbuhan lamun adalah 0,5 m/detik.
2.4.3 Salinitas
Salinitas merupakan total konsentrasi ion-ion terlarut (NaCl) yang terdapat di
perairan. Salinitas dinyatakan dalam satuan ppm (‰). Ada tiga jenis perairan
berdasarkan salinitasnya yaitu tawar dengan salinitas kurang dari 0,5 ‰, payau dengan
salinitas antara 0,5‰‒30‰, dan asin dengan salinitas lebih dari 30‰. Pada daerah
pesisir salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar yang berasal dari sungai,
akibatnya salinitas pada daerah ini sering mengalami perubahan (Effendi, 2003).
Dahuri (2001) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang mampu ditoleransi oleh lamun
adalah 10‰‒40‰ namun lamun umumnya hidup optimum pada salinitas 35‰.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
11
Penurunan salinitas berpengaruh pada kemampuan lamun untuk melakukan
fotosintesis.
2.4.4 Suhu air
Suhu merupakan faktor penting dalam proses kehidupan dan penyebaran suatu
organisme. Setiap organisme memiliki batas toleransi yang berbeda-beda untuk
menanggapi perbedaan suhu ini, termasuk juga lamun. Menurut Nontji (1993),
meskipun padang lamun bisa ditemukan di daerah tropis maupun dingin namun lamun
memiliki batas suhu air optimal yang sempit. Pada daerah tropis kisaran suhu air
optimal bagi spesies lamun adalah 28‒30°C. Suhu air berpengaruh terhadap proses
fotosintesis lamun. Selain itu menurut Hutomo (1999), dampak dari perubahan suhu
air terhadap kehidupan lamun antara lain mempengaruhi proses metabolisme,
penyerapan unsur hara, dan produktivitasnya.
2.4.5 Substrat
Substrat merupakan hal yang penting dalam kelangsungan hidup lamun.
Hampir semua jenis substrat dapat ditumbuhi oleh lamun, mulai dari yang berlumpur
sampai berbatu dan bahkan karang. Suatu padang lamun yang luas umumnya dijumpai
pada substrat yang berupa pasir berlumpur (Dahuri, 2001). Setiap spesies lamun
memiliki karakteristik yang berbeda dalam menempati substrat sebagai tempat
hidupnya. Misalnya Enhalus acoroides yang banyak ditemukan hidup pada substrat
yang berlumpur ataupun berpasir. Halophila minor yang ditemukan melimpah pada
substrat yang berpasir (Den Hartog, 1970).
2.4.6 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH menunjukan tingkat keasaman atau kebasaan suatu
larutan. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila
nilai pH = 7, dikatakan asam apabila nilai pH < 7, dan dikatakan basa apabila nilai pH
> 7. Nilai pH ditentukan oleh banyaknya ion H+ yang terlarut. Jika suatu larutan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
12
memiliki konsentrasi ion H+ yang tinggi maka larutan tersebut bersifat asam dan
sebaliknya, jika suatu larutan memiliki konsentrasi ion H+ yang rendah maka larutan
tersebut bersifat basa. Pada tumbuhan pH berpengaruh terhadap proses penyerapan
unsur hara. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap oleh tumbuhan pada pH 6
– 7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara akan mudah larut dalam air
(Effendi, 2003).
2.5 Fungsi Ekosistem Lamun
Lamun memiliki beberapa fungsi ekologis yang sangat potensial yaitu tempat
berlindung dan mencari makan bagi beberapa jenis invertebrata dan ikan-ikan kecil.
Daun-daun lamun sering ditemukan berasosiasi dengan alga-alga kecil yang bersifat
epifit. Alga-alga ini tumbuh dan melekat pada permukaan daun lamun yang kemudian
menjadi makanan untuk beberapa jenis ikan kecil yang hidup di padang lamun. Selain
itu padang lamun juga merupakan tempat mengasuh anak dan makanan bagi sapi laut
atau dugong (Supriharyono, 2000). Menurut Bengen (2001) diketahui bahwa fungsi
lamun di ekosistem perairan dangkal adalah sebagai berikut:
1. Produsen primer
Dengan kemampuannya untuk melakukan fotosintesis, komunitas lamun
merupakan komunitas yang mempunyai tingkat produktivitas tertinggi bila
dibandingkan dengan komunitas perairan lainnya seperti terumbu karang.
2. Habitat biota
Lamun memberikan tempat berlindung bagi beberapa jenis hewan. Disamping
itu padang lamun juga merupakan tempat untuk pemijahan, pengembalaan, dan
mencari makan.
3. Meredam arus dan menangkap sedimen
Daun padang lamun yang lebat akan memperlambat arus dan ombak sehingga
perairan menjadi lebih tenang. Rimpang dan akar lamun dapat menahan dan
mengikat sedimen sehingga substrat menjadi lebih stabil.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
13
Selain fungsi-fungsi ekologis, lamun juga berfungsi secara ekonomis, seperti dijadikan
sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku kertas, pupuk, dan obat-obatan
(Supriharyono, 2000).
2.6 Pantai Bama Taman Nasional Baluran
Pantai Bama merupakan salah satu pantai yang berada di kawasan Taman
Nasional Baluran Jawa Timur. Kawasan Taman Nasional Baluran terletak di
Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Pantai Bama
merupakan salah satu jenis pantai dengan ombak yang relatif kecil dan tenang. Pantai
ini memiliki berbagai jenis ekosistem, mulai dari ekosistem mangrove, terumbu
karang, dan lamun. Pantai Bama merupakan pantai yang memiliki potensi
keanekaragaman yang tinggi dibandingkan dengan pantai-pantai lain yang ada di
Taman Nasional Baluran. Selain sebagai kawasan lindung pantai ini juga merupakan
kawasan wisata. Tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi cukup menarik
bagi wisatawan untuk berkunjung. Pantai ini juga sering digunakan sebagai media
pembelajaran bagi siswa dan mahasiswa yang ingin mengenal lebih dalam mengenai
ekosistem perairan (Balai Taman Nasional Baluran, 2015).
Pantai Bama merupakan salah satu pantai yang memiliki hamparan padang
lamun yang cukup luas. Berdasarkan penelitian Suryaningrum (2004) ditemukan 5
jenis lamun sedangkan oleh pihak Taman Nasional Baluran (2015) ditemukan 7 jenis
lamun yang hidup di pantai tersebut. Keanekaragaman jenis lamun di pantai tersebut
dikategorikan sedang berdasarkan perhitungan indeks Shannon-Wiener. Suryaningrum
(2004) juga menyatakan bahwa jenis lamun yang mendominasi Pantai Bama adalah
Enhalus acoroides.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
14
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran,
Jawa Timur dengan titik kordinat awal 7°50’40,71”s dan 114° 27’45,07”e sampai titik
koordinat akhir 7°50’33,13”s dan 114°27’45,72”e (Gambar 3.1). Pengambilan data
dilakukan pada tanggal 31 Mei – 3 Juni tahun 2015 pada saat bulan purnama ketika
pantai dalam kondisi surut maksimal. Dilanjutkan dengan identifikasi dan analisis
spesimen lamun yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta dan
Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember.
Koordinat akhir
Panti Bama
Koordinat awal
Gambar 3.1 Lokasi Pantai Bama Taman Nasional Baluran (Wikimapia, 2015).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
15
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : plot paralon
yang berukuran 1x1 m2, tali (tampar dan rafia), kantong plastik, kertas koran, kardus
bekas, pancang kayu, GPS Garmin etrex, kamera digital, pH meter, Termometer,
Refraktometer, lup, kertas label, metelin, alat tulis, pres tumbuhan, dan buku-buku
identifikasi yang mendukung (Lanyon, 1986; Waycott et al., 2004; Ronald dan Ernani,
1998; Azkab, 1999). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%,
dan spesimen lamun.
3.3 Teknik Pencuplikan Data
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek ploting.
Sumbu utama dibuat dengan jarak 10 m dari garis pantai. Dari sumbu utama ditarik
garis transek yang tegak lurus menuju ke arah surut maksimal. Jumlah transek yang
dibuat adalah 15 transek dengan jarak antar transek 20 m. Pada masing-masing transek
tersebut kemudian diletakan plot dengan ukuran 1x1 m2 secara sistematis (berselangseling) dengan jarak antar plot 10 m (Gambar 3.2) Jumlah plot pada masing-masing
transek tidak sama tergantung pada jarak surut maksimal (McKenzle et al., 2001).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
16
Gambar 3.2 Model peletakan transek dan plot
Keterangan:
: Garis pantai
: Sumbu utama
: Transek
: Plot
: Batas surut maksimal
3.4 Pencatatan Data
Pencatatan data lamun dilakukan di setiap plot dengan langkah-langkah sebagai
berikut: lamun yang sudah diketahui jenisnya dicatat nama jenis dari lamun tersebut,
apabila jenisnya belum diketahui maka dilakukan pencatatan karakteristik
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
17
morfologinya. Selanjutnya mencatat persen penutupan tiap jenis lamun dengan
menggunakan plot yang sudah disekat-sekat menjadi 25 kotak kecil (sub plot). Ukuran
sub plot tersebut 20x20 cm2 yang masing-masing akan mewakili 4% penutupan dari
lamun jika tertutupi sempurna. Selain itu dilakukan pencatatan frekuensi dari masingmasing jenis lamun yang ditemukan pada setiap plot. Selanjutnya dilakukan
pengambilan sampel lamun untuk dilakukan identifikasi lanjutan di laboratorium.
Sampel yang diambil adalah bagian utuh dari spesies lamun yang meliputi bagian akar,
batang, rimpang, dan daun. Sampel kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik.
Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel substrat lamun pada plot 1, 5, dan
kelipatannya pada tiap transek. Sampel substrat ditentukan jenisnya menggunakan
segitiga tekstur tanah (Gambar 3.3). Selain itu juga dilakukan pengukuran faktor-faktor
abiotik yang meliputi suhu, salinitas, dan pH. Pengukuran faktor-faktor abiotik tersebut
juga dilakukan pada plot 1, 5, dan kelipatannya pada tiap transek dengan pengulangan
sebanyak tiga kali.
Gambar 3.3 Segitiga Millar (Hillel, 1982).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
18
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta dan
Laboratorium Ekologi FMIPA Universitas Jember. Analisis data yang dilakukan
meliputi 2 tahap yaitu identifikasi spesies lamun dan perhitungan data lamun.
3.5.1 Identifikasi Spesies Lamun
Identifikasi sementara dilakukan di lokasi penelitian (Pantai Bama) dengan
cara mencocokan ciri-ciri morfologi spesimen dengan gambar, foto, dan pustakapustaka yang mendukung (Lanyon, 1986; Waycott et al., 2004; Ronald dan Ernani,
1998; Azkab, 1999). Selanjutnya divalidasi dengan mengidentifikasinya kembali
di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta, dengan cara melihat ciri-ciri
morfologinya terutama pada bentuk daun dan bagian ujung daun.
3.5.2 Perhitungan Data Lamun
Data lamun yang telah didapatkan kemudian digunakan untuk menganalisis
struktur komunitas lamun yang meliputi:
a. Frekuensi Mutlak jenis dan Frekuensi Relatif jenis
Frekuensi (F) adalah peluang ditemukannya suatu jenis pada plot yang
diamati. Untuk menghitung frekuensi mutlak dan frekuensi relatif digunakan
rumus sebagai berikut (Dombois dan Ellenberg, 1974).
𝐹𝑀 𝑖 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
𝐹𝑅 𝑖 =
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖
𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
19
Keterangan:
FM i = Frekuensi Mutlak jenis i
FR i = Frekuensi Relatif jenis i
b. Persen Penutupan Mutlak jenis dan Persen Penutupan Relatif jenis
Penutupan (C) adalah luas suatu jenis yang menutupi suatu kawasan dan
biasanya dinyatakan dalam persen. Persen penutupan mutlak dan persen
penutupan relatif dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Dombois dan Ellenberg, 1974).
𝐶𝑀 𝑖 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑙𝑜𝑡
𝐶𝑅 𝑖 =
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖
𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Keterangan:
CM i = Persen Penutupan Mutlak jenis i
CR i = Persen Penutupan Relatif jenis i
c. Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting atau INP merupakan nilai yang digunakan untuk
mengetahui peranan suatu spesies di dalam suatu komunitas. Semakin tinggi
nilai INP menunjukan semakin tinggi peranan spesies tersebut di dalam suatu
komunitas. Untuk menentukan INP digunakan rumus sebagai berikut (Dombois
dan Ellenberg, 1974).
𝐼𝑁𝑃 𝑖 = 𝐹𝑅 𝑖 + 𝐶𝑅 𝑖
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
20
Keterangan:
INP i = Indeks Nilai Penting
FR i = Frekuensi relatif jenis i
CR i = Persen penutupan relatif jenis i
d. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan suatu
komunitas berdasarkan jumlah spesies dan jumlah individu dari setiap spesies
pada suatu lokasi tertentu. Semakin banyak jumlah spesies yang ada maka
semakin beragam komunitasnya. Untuk mengetahui indeks keanekaragaman
suatu komunitas dapat digunakan rumus Shannon-Wiener yaitu (Kent dan
Coker, 1992).
𝐻 ′ = −∑𝑃𝑖 ln 𝑃𝑖
𝑃𝑖 =
𝑛𝑖
𝑁
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman
Pi = Peluang kepentingan untuk tiap jenis
ni = Nilai penutupan jenis i
N = Jumlah total penutupan seluruh jenis
Kisaran nilai dari indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dikategorikan
sebagai berikut:
Jika H’ > 3 maka keanekaragaman spesies tinggi.
Jika 1 ≤ H’ ≤ 3 maka keanekaragaman spesies sedang.
Jika H’ < 1 maka keanekaragaman spesies rendah.
e. Indeks Kesamarataan Evennes
Indeks kesamarataan digunakan untuk mengetahui besar kesamaan
penyebaran jumlah individu tiap spesies. Untuk menentukan nilai indeks
kesamarataan adalah dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
21
dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antar
spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Untuk
mengetahui indeks kesamarataan digunakan rumus sebagai berikut (Kent dan
Coker, 1992).
𝐽=
𝐻′
𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = ln 𝑆
Keterangan:
J
= Indeks kesamarataan
H’
= Indeks keanekaragaman
H’ maksimum = Indeks keanekaragaman maksimum
S
= Jumlah jenis
Kisaran nilai dari indeks kesamarataan dikategorikan sebagai berikut (Kent dan
Coker, 1992).
Jika J < 0,4 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang rendah
dan dalam kondisi tertekan.
Jika 0,4 ≤ J ≤ 0,6 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang
sedang dan dalam kondisi kurang stabil.
Jika J > 0,6 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang tinggi
dan dalam kondisi stabil.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
22
f. Indeks Dispersi Morisita
Indeks Dispersi Morisita digunakan untuk mengetahui pola distribusi atau
pola sebaran suatu spesies. Pola distribusi didefinisikan sebagai posisi relatif
individu satu terhadap individu yang lain menurut ruang. Ada tiga pola
distribusi populasi yaitu seragam, acak, dan mengelompok. Untuk mengetahui
pola distribusi suatu spesies digunakan rusmus sebagai berikut (Michael, 1995).
∑𝑋𝑖 2 − 𝑋
𝐼𝑑 = 𝑁 (
)
(∑𝑋𝑖)2 − 𝑋
Keterangan:
Id = Indeks Dispersi Morisita
N = Jumlah total plot
X = Jumlah total seluruh jenis i
Pola distribusi ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut
(Michael, 1995).
Jika Id < 1 maka pola distribusinya seragam
Jika Id = 1 maka pola distribusinya acak
Jika Id > 1 maka pola distribusinya mengelompok
Download