Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN SKRIPSI Oleh Estu Nur Hare Latul Suhenda 111810401002 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2015 i Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember Oleh Estu Nur Hare Latul Suhenda 111810401002 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2015 ii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk 1. Ibunda Endang Sulastri dan Ayahanda Suharto, yang telah mendoakan, memberikan semangat, dan mencurahkan kasih sayang yang tidak pernah putus; 2. Adikku Fiki Dwi Harsyah Suhenda yang selalu memberikan semangat; 3. para kerabat dan saudara yang selalu memberi semangat dan doa; 4. guru-guru dan dosen yang telah memberi ilmu dan bimbingan; 5. Almamater Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. iii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember MOTO “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Al Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 13) 1 “Ordinary people believe only in the possible. Extraordinary people visualize not what is possible or probable, but rather what is impossible. And by visualizing the impossible, they begin to see it as possible” 2 1 Agama Republik Indonesia. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Klaten: Sahabat 2 Cherie Carter-scott dalam Wijaya, D. 2004. Running to Riches. Bandung: Escaeva.com 1 Departemen iv Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: nama : Estu Nur Hare Latul Suhenda NIM : 111810401002 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar. Jember, 30 November 2015 Yang menyatakan Estu Nur Hare Latul Suhenda NIM 111810401002 v Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DI ZONA INTERTIDAL PANTAI BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh Estu Nur Hare Latul Suhenda 111810401002 Pembimbing Dosen Pembimbing Utama : Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc. Dosen Pembimbing Anggota : Dra. Dwi Setyati, M.Si. vi Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember PENGESAHAN Skripsi berjudul “Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran” telah diuji dan disahkan pada: hari, tanggal : tempat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Tim penguji: Ketua, Sekretaris, Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc. Dra. Dwi Setyati, M.Si. NIP 196205051988021001 NIP 196404171991032001 Anggota I, Anggota II, Prof. Drs. Sudarmadji, M.A., Ph.D. Fuad Bahrul Ulum, S.Si., M.Sc. NIP 19505071982121001 NIP 198409262008121002 Mengesahkan Dekan, Prof. Drs. Kusno, DEA., Ph.D. NIP 196101081986021001 vii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember RINGKASAN Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran; Estu Nur Hare Latul Suhenda, 111810401002; 46 halaman; Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Angiosperm) yang telah beradaptasi hidup tenggelam di dalam air laut. Fungsi ekologis lamun antara lain adalah sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan baik dalam bentuk hidup ataupun detritus, tempat berlindung, dan tempat berkembangbiak bagi beberapa jenis invertebrata. Salah satu ekosistem pantai yang memiliki komunitas lamun adalah Pantai Bama yang terletak di Taman Nasional Baluran. Struktur komunitas lamun di Pantai Bama pernah diteliti pada tahun 2004, dari penelitian tersebut diketahui ada 5 jenis lamun. Seperti halnya pada komunitas umumnya, komunitas lamun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, dalam jangka waktu yang cukup lama faktorfaktor biofisik ini dapat menyebabkan perubahan pada komunitas lamun tersebut. Oleh sebab itu penelitian tentang struktur komunitas lamun di Pantai Bama perlu dilakukan lagi karena struktur komunitas merupakan konsep dasar untuk mempelajari suatu komunitas dan perubahan-perubahannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang meliputi frekuensi mutlak jenis dan frekuensi relatif jenis, persen penutupan mutlak jenis dan persen penutupan relatif jenis, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks Morisita. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama dan dapat menjadi sumber data ilmiah untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem lamun di masa depan. viii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember Penelitian dilakukan di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dengan titik kordinat awal 7°50’40,71”s dan 114° 27’45,07”e sampai titik koordinat akhir 7°50’33,13”s dan 114°27’45,72”e pada tanggal 31 Mei – 3 Juni 2015. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek ploting. Jumlah transek yang dibuat sebanyak 15 transek. Pada tiap transek kemudian diletakan plot dengan ukuran 1x1 m secara sistematis. Dari tiap-tiap plot kemudian diukur frekuensi dan persen penutupan setiap jenis lamun. Selain itu juga dilakukan pengukuran faktor abiotik pada plot 1, 5, dan kelipatannya. Data dan spesimen lamun yang ditemukan saat sampling dianalisis dan diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember dan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta. Di Pantai Bama ditemukan 7 jenis lamun yaitu Halodule pinifolia Hartog, Syringodium isoetifolium (Asch.) Dandy, Halodule uninervis (Forssk.) Asch., Enhalus acoroides (L.f.) Royle, Halophila ovalis (R.Br.) Hook. f., Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Asch., dan Cymodocea rotundata Asch. & Schweinf. Jenis lamun yang memiliki peranan paling penting adalah C. rotundata dengan nilai INP 55,65%, diikuti T. hemprichii dengan nilai INP 54,99%. Keanekaragaman jenis lamun di Pantai Bama berdasarkan Indeks Shannon-Wiener tergolong sedang dengan nilai 1,52. Di Pantai Bama nilai Indeks Evennes adalah 0,78, nilai tersebut menunjukan kesamarataannya tergolong tinggi dan keadaan komunitas lamunnya dalam kondisi yang stabil. Pola sebaran setiap jenis lamun cenderung mengelompok, hal ini didasarkan pada perhitungan Indeks Morisita yang menunjukan nilai > 1 untuk masing-masing jenis lamun. Pengelompokan lamun ini terjadi di sekitar 10 - 150 m dari garis pantai dengan kedalaman 0,5 – 1 m. ix Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas Lamun (Seagrass) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Moh Imron Rosyidi, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Utama dan Dra. Dwi Setyati, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, nasehat, bimbingan serta, pikiran dan tenaganya demi terselesaikannya penulisan skripsi ini; 2. Prof. Drs. Sudarmadji, M.A., Ph.D., selaku dosen penguji I dan Fuad Bahrul Ulum, S.Si., M.Sc., selaku dosen penguji II atas segala masukan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini; 3. Almarhumah Dra. Umiyah, M.Sc. Agr. dan Dr. Purwatiningsih M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi arahan dan solusi selama menjadi mahasiswa; 4. dosen-dosen saya yang saya hormati atas bekal ilmu dan nasehat yang diberikan selama menjadi mahasiswa; 5. Ibunda Endang Sulastri dan Ayahanda Suharto yang telah memberikan kasih sayang dan segala sesuatunya selama menjadi mahasiswa; 6. Departemen Kehutanan Derektoral Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam Taman Nasional Baluran, yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian di Pantai Bama; x Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 7. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Drs. Wawan Kiswara yang telah membantu dalam proses identifikasi spesimen lamun; 8. teman-teman tim riset Pantai Bama (Meifri Fafurit, Zaenal Mahmudi, Yuvi Yuanditra, Ika Novita, dan Anggi Erlita) atas kerja sama, bantuan, dan hiburanhiburannya; 9. teman-teman seangkatan dan seperjuangan “AMPIBI”, kalian semua teman, sahabat, dan saudaraku, terima kasih atas semangat dan dorongannya; 10. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberi dorongan agar supaya skripsi ini cepat terselesaikan. Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Jember, November 2015 Penulis xi Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iii HALAMAN MOTO .................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... v HALAMAN PEMBIMBINGAN ................................................................ vi HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... vii RINGKASAN .............................................................................................. viii PRAKATA ................................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2 1.3 Tujuan ................................................................................................ 2 1.4 Manfaat ............................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3 2.1 Struktur Komunitas .......................................................................... 3 2.2 Karateristik Tumbuhan Lamun ...................................................... 4 2.1.1 Taksonomi Lamun ........................................................................ 4 2.1.2 Morfologi Lamun .......................................................................... 5 2.1.3 Perkembangbiakan Lamun ........................................................... 7 2.3 Habitat Lamun................................................................................... 7 2.4 Struktur Vegetasi dan Distribusi Lamun ........................................ 8 xii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 2.4 Faktor Pembatas Lamun .................................................................. 9 2.4.1 Kekeruhan dan kedalaman ............................................................ 9 2.4.2 Arus ............................................................................................... 10 2.4.3 Salinitas........................................................................................ 10 2.4.4 Suhu ............................................................................................. 11 2.4.5 Substrat ........................................................................................ 11 2.4.6 Derajat Keasaman (pH) ............................................................... 11 2.5 Fungsi Ekosistem Lamun................................................................. 12 2.6 Pantai Bama Taman Nasional Baluran .......................................... 13 BAB 3. METODE PENELITIAN ............................................................. 14 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 14 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 15 3.3 Teknik Pencuplikan Data ................................................................ 15 3.4 Pencatatan Data ................................................................................ 16 3.5 Analisis Data ..................................................................................... 18 3.5.1 Identifikasi Spesies Lamun .......................................................... 18 3.5.2 Perhitungan Data Lamun ............................................................. 18 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 23 4.1 Karakteristik Habitat ....................................................................... 23 4.2 Kekayaan dan Komposisi Jenis Lamun ......................................... 24 4.3 Dominansi Jenis-Jenis Lamun......................................................... 33 4.4 Indeks Keanekaragaman Jenis ....................................................... 37 4.5 Indeks Kesamarataan ...................................................................... 38 4.6 Indeks Dispersi Morisita .................................................................. 39 xiii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember BAB 5. PENUTUP ...................................................................................... 43 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 43 5.1 Saran .................................................................................................. 43 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 44 LAMPIRAN ................................................................................................ 47 xiv Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Jenis-jenis lamun yang ada di Indonesia ............................................... 4 2.2 Status ekosistem padang lamun ............................................................ 8 4.1 Kekayaan dan Komposisi jenis lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ....................................................................... 24 4.2 Indeks Nilai Penting jenis lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ....................................................................... 34 4.3 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener jenis lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ...................... 37 4.4 Pola distribusi lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ....................................................................... xv 39 Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Morfologi lamun ................................................................................... 6 3.1 Lokasi Pantai Bama Taman Nasional Baluran...................................... 14 3.2 Model peletakan transek dan plot ......................................................... 16 3.3 Segitiga Millar....................................................................................... 17 4.1 Enhalus acoroides ................................................................................. 25 4.2 Halophila ovalis .................................................................................... 26 4.3 Thalassia hemprichii ............................................................................. 27 4.4 Cymodocea rotundata ........................................................................... 28 4.5 Halodule pinifolia ................................................................................. 29 4.6 Halodule uninervis ................................................................................ 30 4.7 Syringodium isoetifolium ...................................................................... 31 4.8 Distribusi lamun secara vertikal di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran ....................................................................... xvi 40 Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember DAFTAR LAMPIRAN Halaman A. Grafik penutupan lamun tiap transek ..................................................... 47 B. Hasil perhitungan data biotik ................................................................. 48 C. Peletakan transek dan plot ...................................................................... 49 D. Pengamatan substrat tiap transek dan analisis substrat .......................... 50 E. Perbedaan kekayaan dan komposisi jenis lamun dengan penelitian Sebelumnya ............................................................................................. 51 F. F.1 Tabel pengamatan ............................................................................. 52 F.2 Data sekunder.................................................................................... 62 G. Surat validasi identifikasi ......................................................................... 63 xvii Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Angiosperm) yang telah beradaptasi hidup tenggelam di dalam air laut. Lamun mampu membentuk suatu hamparan yang luas yang disebut padang lamun (Hutomo dan Azkab, 1987). Seperti halnya tumbuhan pada umumnya, lamun mampu membuat makanannya sendiri (autotrof) dengan melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu lamun hanya ditemukan di daerah pasang surut atau zona intertidal (zona yang terletak antara pasang tertinggi dan surut terendah) yang sinar matahari dapat sampai pada bagian dasar zona. Kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis menyebabkan lamun memiliki fungsi ekologis yang penting bagi keseimbangan ekosistem perairan. Fungsi ekologis lamun antara lain adalah sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan baik dalam bentuk hidup ataupun detritus, tempat berlindung, dan tempat berkembangbiak bagi beberapa jenis invertebrata yang berasosiasi dengannya (Nontji, 1993). Selain itu lamun juga berfungsi sebagai penyeimbang dasar perairan dengan sistem perakarannya yang mampu menangkap sedimen dan sebagai pelindung pantai karena mampu meredam arus, sehingga keberadaannya juga penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem perairan tersebut (Dahuri et al., 1996). Spesies lamun telah ditemukan tersebar diseluruh dunia dan mampu hidup di daerah tropis maupun di daerah dingin. Sebanyak 60 jenis lamun di dunia telah teridentifikasi, 20 jenis diantaranya ditemukan di Asia Tenggara. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun dari 7 genus yang telah berhasil diidentifikasi (Den Hartog, 1970). Menurut Kuriandewa (2009) di Indonesia luas padang lamun sekitar 30.000 km2. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 2 Salah satu ekosistem pantai yang memiliki komunitas lamun adalah Pantai Bama yang terletak di Taman Nasional Baluran. Pantai Bama merupakan salah satu pantai yang memiliki potensi keanekaragaman biota yang cukup tinggi (Balai Taman Nasional Baluran, 2015). Penelitian tentang struktur vegetasi lamun di Pantai Bama sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Suryaningrum (2004). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa di Pantai Bama terdapat 5 jenis lamun. Seperti halnya pada komunitas umumnya, komunitas lamun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, dalam jangka waktu yang cukup lama faktor-faktor biofisik ini dapat menyebabkan perubahan pada komunitas lamun tersebut (Fortes dan Kiswara, 1994). Oleh sebab itu penelitian tentang struktur komunitas lamun di Pantai Bama perlu dilakukan lagi karena struktur komunitas merupakan konsep dasar untuk mempelajari suatu komunitas dan perubahan-perubahannya (Odum, 1998). 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang meliputi frekuensi, persen penutupan, Indeks Nilai Penting, indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks Morisita. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang meliputi frekuensi mutlak jenis dan frekuensi relatif jenis, persen penutupan mutlak jenis dan persen penutupan relatif jenis, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks kesamarataan, dan indeks Morisita. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur komunitas lamun di zona intertidal Pantai Bama dan menjadi sumber data ilmiah untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem lamun di masa depan. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Komunitas merupakan kumpulan dari populasi yang menempati suatu kawasan dan waktu tertentu. Populasi-populasi tersebut akan saling berinteraksi dan berasosiasi baik dengan populasi yang lain ataupun dengan lingkungannya sehingga terbentuk suatu aliran energi dan siklus materi. Kualitas suatu komunitas dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap struktur dari komunitas itu sendiri (Dahuri, 2001). Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau komposisi suatu spesies dalam suatu komunitas (Smith, 1990). Ada banyak aspek yang dapat digunakan untuk mempelajari struktur komunitas, antara lain dominansi jenis, keanekaragaman jenis, kesamarataan, dan pola persebaran jenis. Dominansi menunjukan jenis yang mempunyai jumlah paling banyak, menduduki permukaan terluas, dan memberikan kontribusi terbesar dalam aliran energi dan siklus materi. Suatu spesies dikatakan dominan karena spesies tersebut mampu beradaptasi dengan batasan toleransi ekologis yang lebih luas dan memanfaatkan kondisi lingkungan dengan lebih efisien. Dominansi suatu jenis dapat ditentukan dengan menghitung nilai indeks pentingnya (INP). INP merupakan nilai yang menunjukan peranan suatu spesies dalam suatu komunitas. Nilai INP dapat ditentukan dengan menjumlah nilai dari frekuensi relatif dan persen penutupan relatif suatu spesies. Semakin tinggi nilai INP maka semakin tinggi peranan dan sifat mendominasi dari spesies tersebut (Smith, 1990). Keanekaragaman jenis menunjukan perbedaan jenis yang ada pada suatu komunitas. Keanekaragaman jenis umumnya ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman jenis yang dinyatakan oleh nisbah antara persen penutupan jenis dengan total persen penutupan seluruh jenis (Odum, 1998). Kesamarataan atau Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 4 keseragaman merupakan persamaan penyebaran jumlah individu antar spesies pada suatu komunitas. Pola persebaran jenis merupakan posisi relatif individu satu terhadap individu yang lain menurut ruang. Ada tiga pola persebaran populasi yaitu seragam, acak, dan mengelompok (Odum, 1998). 2.2 Karateristik Tumbuhan Lamun 2.1.1 Taksonomi Lamun Lamun merupakan tanaman tingkat tinggi yang termasuk ke dalam divisi Magnoliophyta dan kelas Liliopsida. Lamun termasuk ke dalam kelas Liliopsida karena lamun merupakan tumbuhan monokotil atau berkeping satu. Di Indonesia telah teridentifikasi terdapat 12 jenis lamun yang termasuk ke dalam 2 bangsa, 2 suku, dan 7 marga (Tabel 2.1). Berikut adalah klasifikasi lamun sampai tingkat subkelas menurut Cronquist (1981). Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Alismatidae Tabel 2.1 Jenis-jenis lamun yang ada di Indonesia Bangsa Suku Marga Hydrocharitales Hydrocharitaceae Enhalus Halophila Jenis Enhalus acoroides (L.f.) Royle Halophila decipiens Ostenf. Halophila ovalis (R.Br.) Hook. f. Halophila minor (Zoll.) Hartog Halophila spinulosa (R.Br.) Asch. Thalassia Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Asch. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember Bangsa Najadales Suku Cymodoceaceae Marga Cymodocea 5 Jenis Cymodocea rotundata Asch. & Schweinf Cymodocea serrulata (R.Br.) Asch. & Magnus Thalassodendron Thalassodendron ciliatum (Forssk.) Hartog Syringodium Syringodium isoetifolium (Asch.) Dandy Halodule Halodule pinifolia Hartog Halodule uninervis (Forssk.) Asch. Sumber: Azkab (1999). 2.1.2 Morfologi Lamun Lamun merupakan tumbuhan monokotil yang berhabitus herba. Struktur morfologi umum tumbuhan lamun sama dengan tumbuhan lainnya yaitu terdiri dari akar, rimpang, dan daun (Gambar 2.1). Rimpang pada lamun merupakan batang yang berbuku-buku dan tumbuh horizontal merayap dalam substrat yang tenggelam di air. Sering kali rimpang terbenam di dalam substrat sehingga yang terlihat hanyalah batang pendek. Batang ini merupakan bagian yang tumbuh dari nodus rimpang. Dari nodus rimpang juga muncul akar yang akan membantu lamun untuk menempel pada substrat sehingga dia tidak mudah tersapu oleh ombak dan arus (Azkab, 2006). Beberapa spesies lamun memiliki akar bercabang seperti pada beberapa jenis Halophila dan Halodule, sedangkan pada jenis Thalassodendron memiliki akar tunggal yang kuat dan berkayu. Akar pada tumbuhan lamun sedikit berbeda dengan tumbuhan yang ada di darat. Akar pada umumnya berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi namun pada tumbuhan lamun akar lebih berfungsi sebagai alat untuk melekat pada substrat (Azkab, 2006). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 6 Gambar 2.1 Morfologi lamun (Azkab, 2006) Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan sejati, dapat dibedakan antara daun, batang, dan akar. Daun lamun umumya memanjang kecuali pada kelompok Halophila yang memiliki daun oval. Bentuk dan ujung dari daun lamun umumnya dijadikan sebagai acuan untuk identifikasi dan klasifikasi. Selain itu keberadaan ligula juga menjadi acuan untuk identifikasi dan klasifikasi. Daun tumbuhan lamun tidak terlalu berbeda dari daun tumbuhan lainnya yang juga memiliki klorofil untuk proses fotosintesis. Ciri yang khas pada daun lamun adalah tidak adanya stomata untuk proses respirasi, oleh sebab itu daun lamun memiliki lapisan kutikula yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan nutrisi secara langsung dari air laut (Nybakken, 1992). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 7 2.1.3 Perkembangbiakan Lamun Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang bersifat dioecious atau berumah dua yang artinya satu tumbuhan hanya memiliki organ reproduksi jantan saja atau betina saja. Perkembangbiakan lamun dilakukan dengan dua cara yaitu generatif dan vegetatif. Secara generatif perkembangbiakan diawali melalui proses polinasi antara polen bunga jantan dan kepala putik bunga betina yang kemudian menghasilkan biji. Secara vegetatif dilakukan dengan cara pembentukan cabang rimpang yang terusmenerus menghasilkan tunas baru yang kemudian akan membentuk padang lamun (CRC Reef Research Center, 2004). 2.3 Habitat Lamun Lamun umumya ditemukan di daerah perairan dangkal dan jernih yang masih memungkinkan adanya penetrasi cahaya matahari untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya (Djais et al., 2002). Lamun juga hidup dengan baik pada daerah yang dekat dengan sumber air tawar. Umumnya lamun hidup dengan kedalaman antara 2–12 meter tergantung pada tingkat kekeruhan air lautnya. Lamun biasanya ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan membentuk suatu ekosistem lamun yang disebut padang lamun (Romimohtarto, 1991). Lamun dapat hidup pada berbagai macam tipe substrat mulai dari pasir, lumpur, dan karang. Namun tipe substrat pasir berlumpur merupakan substrat yang paling baik untuk pertumbuhan lamun karena berdasarkan data yang ada padang lamun yang luas hanya ditemukan pada daerah dengan substrat tersebut (Dahuri, 2001). Kiswara (1992) juga menyatakan bahwa lamun dapat ditemukan di berbagai macam tipe substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokan menjadi enam jenis berdasarkan karateristik substratnya, yaitu padang lamun yang tumbuh pada substrat lumpur, lumpur pasir, pasir, pasir berlumpur, puing-puing karang, dan batu karang. Perbedaan komposisi substrat akan menyebabkan perbedaan jenis-jenis lamun yang tumbuh serta akan berpengaruh terhadap perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun (Kiswara, 1992). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 8 Setiap jenis lamun memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk bertahan hidup misalnya beberapa jenis Halophila yang telah ditemukan mampu hidup dalam kedalaman sampai 90 meter (Den Hartog, 1970). Batas kedalaman sebagian besar spesies lamun adalah 10‒12 meter namun pada perairan yang sangat jernih lamun bisa ditemukan pada tempat yang lebih dalam. Dahuri (2001) menyatakan bahwa hal yang paling penting dalam pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang sesuai. Ada dua peranan penting yang terkait dengan tingkat kedalaman sedimen ini yaitu melindungi lamun dari arus laut dan merupakan sumber nutrisi bagi lamun. Komunitas lamun merupakan komunitas yang dinamis, keseimbangan komunitas ini akan terganggu jika mengalami gangguan baik secara fisik maupun biologis. Untuk mengetahui kondisi komunitas lamun dapat diketahui dengan melihat persentase penutupan lamun (Tabel 2.2) Tabel 2.2 Status ekosistem padang lamun Kondisi Penutupan (%) Sehat ≥ 60 Kurang Sehat 30‒59,9 Miskin ≤ 29,9 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 2.4 Struktur Vegetasi dan Distribusi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup berkelompok dan dalam jumlah yang besar akan membentuk padang lamun. Pada padang lamun tersebut terjadi suatu interaksi antara lamun dengan organisme-organisme lain seperti spesies timun laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan hamparan vegetasi lamun yang tumbuh menutupi suatu area laut dangkal. Struktur vegetasi lamun dapat dibedakan berdasarkan komposisi jenis dan penutupan dari suatu padang lamun. Secara umum tipe vegetasi lamun dibedakan menjadi dua, (Tomascik et al., 1997) yaitu: Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 9 1. Padang lamun vegetasi tunggal (monospesific seagrass beds) yang merupakan vegetasi padang lamun yang disusun oleh satu jenis lamun saja. 2. Padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang merupakan vegetasi padang lamun yang disusun oleh dua jenis lamun atau lebih. Lamun dapat hidup di perairan tropis maupun temperate atau dingin. Pada daerah tropis seperti Indonesia padang lamun hampir menyebar di seluruh kawasan perairan pantai. Di Indonesia tipe-tipe vegetasi lamun yang paling umum dijumpai adalah tipe vegetasi campuran, berbeda dengan vegetasi pada daerah temperate yang umumnya bertipe vegetasi tunggal (Azkab, 2006). Berdasarkan kedalamannya, secara vertikal sebaran lamun dikelompokan menjadi tiga kategori, (Kiswara, 1997) yaitu: 1. Spesies lamun yang tumbuh pada derah terbuka dan dangkal dengan kedalaman kurang dari 1 m. Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor, dan Halophila ovalis. 2. Spesies lamun yang tumbuh pada daerah dengan kedalaman sedang, yaitu 1‒5 m. Contoh: Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides. 3. Spesies lamun yang tumbuh pada perairan yang lebih dalam, yaitu 5‒35 m Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, dan Syringodium isoetifolium. 2.4 Faktor Pembatas Lamun Faktor pembatas merupakan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada keberadaan ekosistem lamun. Faktor-faktor pembatas tersebut antara lain kekeruhan dan kedalamam, arus, salinitas, suhu, substrat, dan pH. 2.4.1 Kekeruhan dan kedalaman Kekeruhan adalah ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan adanya partikel-partikel yang tersuspensi di dalamnya. Kandungan zat-zat organik dan anorganik juga merupakan salah satu penyebab kekeruhan (Effendi, 2003). Sedangkan kedalaman adalah jarak antara permukaan air sampai mencapai substrat dasar. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 10 Kekeruhan dan kedalaman sangat berpengaruh pada intensitas cahaya matahari yang masuk ke dasar laut. Semakin besar tingkat kekeruhan dan kedalaman suatu perairan maka semakin kecil pula intensitas cahaya yang dapat mencapai dasar. Lamun merupakan organisme autotrof yang membutuhkan cahaya untuk membentuk energi melalui proses fotosintesis. Dengan demikian semakin tinggi tingkat kekeruhan dan kedalaman suatu perairan maka semakin sedikit spesies lamun yang ditemukan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kenapa lamun hanya ditemukan di daerah laut yang dangkal (Dahuri, 2001). 2.4.2 Arus Arus merupakan gerakan mengalir dari suatu massa air. Arus pada lautan disebabkan oleh tiupan angin ataupun oleh gerakan gelombang yang panjang (Hutabarat dan Evans, 1985). Kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap produktivitas padang lamun. Terlalu cepat dan terlalu lambat akan berdampak kurang baik pada produktivitas lamun. Umumnya arus berfungsi sebagai media sirkulasi yang membantu membawa zat hara masuk ke dalam ekosistem lamun dan membawa hasil metabolisme keluar dari ekosistem lamun. Menurut Dahuri (2001) kecepatan arus optimum untuk pertumbuhan lamun adalah 0,5 m/detik. 2.4.3 Salinitas Salinitas merupakan total konsentrasi ion-ion terlarut (NaCl) yang terdapat di perairan. Salinitas dinyatakan dalam satuan ppm (‰). Ada tiga jenis perairan berdasarkan salinitasnya yaitu tawar dengan salinitas kurang dari 0,5 ‰, payau dengan salinitas antara 0,5‰‒30‰, dan asin dengan salinitas lebih dari 30‰. Pada daerah pesisir salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar yang berasal dari sungai, akibatnya salinitas pada daerah ini sering mengalami perubahan (Effendi, 2003). Dahuri (2001) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang mampu ditoleransi oleh lamun adalah 10‰‒40‰ namun lamun umumnya hidup optimum pada salinitas 35‰. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 11 Penurunan salinitas berpengaruh pada kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. 2.4.4 Suhu air Suhu merupakan faktor penting dalam proses kehidupan dan penyebaran suatu organisme. Setiap organisme memiliki batas toleransi yang berbeda-beda untuk menanggapi perbedaan suhu ini, termasuk juga lamun. Menurut Nontji (1993), meskipun padang lamun bisa ditemukan di daerah tropis maupun dingin namun lamun memiliki batas suhu air optimal yang sempit. Pada daerah tropis kisaran suhu air optimal bagi spesies lamun adalah 28‒30°C. Suhu air berpengaruh terhadap proses fotosintesis lamun. Selain itu menurut Hutomo (1999), dampak dari perubahan suhu air terhadap kehidupan lamun antara lain mempengaruhi proses metabolisme, penyerapan unsur hara, dan produktivitasnya. 2.4.5 Substrat Substrat merupakan hal yang penting dalam kelangsungan hidup lamun. Hampir semua jenis substrat dapat ditumbuhi oleh lamun, mulai dari yang berlumpur sampai berbatu dan bahkan karang. Suatu padang lamun yang luas umumnya dijumpai pada substrat yang berupa pasir berlumpur (Dahuri, 2001). Setiap spesies lamun memiliki karakteristik yang berbeda dalam menempati substrat sebagai tempat hidupnya. Misalnya Enhalus acoroides yang banyak ditemukan hidup pada substrat yang berlumpur ataupun berpasir. Halophila minor yang ditemukan melimpah pada substrat yang berpasir (Den Hartog, 1970). 2.4.6 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH menunjukan tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila nilai pH = 7, dikatakan asam apabila nilai pH < 7, dan dikatakan basa apabila nilai pH > 7. Nilai pH ditentukan oleh banyaknya ion H+ yang terlarut. Jika suatu larutan Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 12 memiliki konsentrasi ion H+ yang tinggi maka larutan tersebut bersifat asam dan sebaliknya, jika suatu larutan memiliki konsentrasi ion H+ yang rendah maka larutan tersebut bersifat basa. Pada tumbuhan pH berpengaruh terhadap proses penyerapan unsur hara. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap oleh tumbuhan pada pH 6 – 7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara akan mudah larut dalam air (Effendi, 2003). 2.5 Fungsi Ekosistem Lamun Lamun memiliki beberapa fungsi ekologis yang sangat potensial yaitu tempat berlindung dan mencari makan bagi beberapa jenis invertebrata dan ikan-ikan kecil. Daun-daun lamun sering ditemukan berasosiasi dengan alga-alga kecil yang bersifat epifit. Alga-alga ini tumbuh dan melekat pada permukaan daun lamun yang kemudian menjadi makanan untuk beberapa jenis ikan kecil yang hidup di padang lamun. Selain itu padang lamun juga merupakan tempat mengasuh anak dan makanan bagi sapi laut atau dugong (Supriharyono, 2000). Menurut Bengen (2001) diketahui bahwa fungsi lamun di ekosistem perairan dangkal adalah sebagai berikut: 1. Produsen primer Dengan kemampuannya untuk melakukan fotosintesis, komunitas lamun merupakan komunitas yang mempunyai tingkat produktivitas tertinggi bila dibandingkan dengan komunitas perairan lainnya seperti terumbu karang. 2. Habitat biota Lamun memberikan tempat berlindung bagi beberapa jenis hewan. Disamping itu padang lamun juga merupakan tempat untuk pemijahan, pengembalaan, dan mencari makan. 3. Meredam arus dan menangkap sedimen Daun padang lamun yang lebat akan memperlambat arus dan ombak sehingga perairan menjadi lebih tenang. Rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen sehingga substrat menjadi lebih stabil. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 13 Selain fungsi-fungsi ekologis, lamun juga berfungsi secara ekonomis, seperti dijadikan sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku kertas, pupuk, dan obat-obatan (Supriharyono, 2000). 2.6 Pantai Bama Taman Nasional Baluran Pantai Bama merupakan salah satu pantai yang berada di kawasan Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Kawasan Taman Nasional Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Pantai Bama merupakan salah satu jenis pantai dengan ombak yang relatif kecil dan tenang. Pantai ini memiliki berbagai jenis ekosistem, mulai dari ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Pantai Bama merupakan pantai yang memiliki potensi keanekaragaman yang tinggi dibandingkan dengan pantai-pantai lain yang ada di Taman Nasional Baluran. Selain sebagai kawasan lindung pantai ini juga merupakan kawasan wisata. Tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi cukup menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Pantai ini juga sering digunakan sebagai media pembelajaran bagi siswa dan mahasiswa yang ingin mengenal lebih dalam mengenai ekosistem perairan (Balai Taman Nasional Baluran, 2015). Pantai Bama merupakan salah satu pantai yang memiliki hamparan padang lamun yang cukup luas. Berdasarkan penelitian Suryaningrum (2004) ditemukan 5 jenis lamun sedangkan oleh pihak Taman Nasional Baluran (2015) ditemukan 7 jenis lamun yang hidup di pantai tersebut. Keanekaragaman jenis lamun di pantai tersebut dikategorikan sedang berdasarkan perhitungan indeks Shannon-Wiener. Suryaningrum (2004) juga menyatakan bahwa jenis lamun yang mendominasi Pantai Bama adalah Enhalus acoroides. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 14 BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di zona intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dengan titik kordinat awal 7°50’40,71”s dan 114° 27’45,07”e sampai titik koordinat akhir 7°50’33,13”s dan 114°27’45,72”e (Gambar 3.1). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Mei – 3 Juni tahun 2015 pada saat bulan purnama ketika pantai dalam kondisi surut maksimal. Dilanjutkan dengan identifikasi dan analisis spesimen lamun yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta dan Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember. Koordinat akhir Panti Bama Koordinat awal Gambar 3.1 Lokasi Pantai Bama Taman Nasional Baluran (Wikimapia, 2015). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 15 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : plot paralon yang berukuran 1x1 m2, tali (tampar dan rafia), kantong plastik, kertas koran, kardus bekas, pancang kayu, GPS Garmin etrex, kamera digital, pH meter, Termometer, Refraktometer, lup, kertas label, metelin, alat tulis, pres tumbuhan, dan buku-buku identifikasi yang mendukung (Lanyon, 1986; Waycott et al., 2004; Ronald dan Ernani, 1998; Azkab, 1999). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, dan spesimen lamun. 3.3 Teknik Pencuplikan Data Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek ploting. Sumbu utama dibuat dengan jarak 10 m dari garis pantai. Dari sumbu utama ditarik garis transek yang tegak lurus menuju ke arah surut maksimal. Jumlah transek yang dibuat adalah 15 transek dengan jarak antar transek 20 m. Pada masing-masing transek tersebut kemudian diletakan plot dengan ukuran 1x1 m2 secara sistematis (berselangseling) dengan jarak antar plot 10 m (Gambar 3.2) Jumlah plot pada masing-masing transek tidak sama tergantung pada jarak surut maksimal (McKenzle et al., 2001). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 16 Gambar 3.2 Model peletakan transek dan plot Keterangan: : Garis pantai : Sumbu utama : Transek : Plot : Batas surut maksimal 3.4 Pencatatan Data Pencatatan data lamun dilakukan di setiap plot dengan langkah-langkah sebagai berikut: lamun yang sudah diketahui jenisnya dicatat nama jenis dari lamun tersebut, apabila jenisnya belum diketahui maka dilakukan pencatatan karakteristik Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 17 morfologinya. Selanjutnya mencatat persen penutupan tiap jenis lamun dengan menggunakan plot yang sudah disekat-sekat menjadi 25 kotak kecil (sub plot). Ukuran sub plot tersebut 20x20 cm2 yang masing-masing akan mewakili 4% penutupan dari lamun jika tertutupi sempurna. Selain itu dilakukan pencatatan frekuensi dari masingmasing jenis lamun yang ditemukan pada setiap plot. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel lamun untuk dilakukan identifikasi lanjutan di laboratorium. Sampel yang diambil adalah bagian utuh dari spesies lamun yang meliputi bagian akar, batang, rimpang, dan daun. Sampel kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel substrat lamun pada plot 1, 5, dan kelipatannya pada tiap transek. Sampel substrat ditentukan jenisnya menggunakan segitiga tekstur tanah (Gambar 3.3). Selain itu juga dilakukan pengukuran faktor-faktor abiotik yang meliputi suhu, salinitas, dan pH. Pengukuran faktor-faktor abiotik tersebut juga dilakukan pada plot 1, 5, dan kelipatannya pada tiap transek dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Gambar 3.3 Segitiga Millar (Hillel, 1982). Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 18 3.5 Analisis Data Analisis data dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta dan Laboratorium Ekologi FMIPA Universitas Jember. Analisis data yang dilakukan meliputi 2 tahap yaitu identifikasi spesies lamun dan perhitungan data lamun. 3.5.1 Identifikasi Spesies Lamun Identifikasi sementara dilakukan di lokasi penelitian (Pantai Bama) dengan cara mencocokan ciri-ciri morfologi spesimen dengan gambar, foto, dan pustakapustaka yang mendukung (Lanyon, 1986; Waycott et al., 2004; Ronald dan Ernani, 1998; Azkab, 1999). Selanjutnya divalidasi dengan mengidentifikasinya kembali di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta, dengan cara melihat ciri-ciri morfologinya terutama pada bentuk daun dan bagian ujung daun. 3.5.2 Perhitungan Data Lamun Data lamun yang telah didapatkan kemudian digunakan untuk menganalisis struktur komunitas lamun yang meliputi: a. Frekuensi Mutlak jenis dan Frekuensi Relatif jenis Frekuensi (F) adalah peluang ditemukannya suatu jenis pada plot yang diamati. Untuk menghitung frekuensi mutlak dan frekuensi relatif digunakan rumus sebagai berikut (Dombois dan Ellenberg, 1974). 𝐹𝑀 𝑖 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝐹𝑅 𝑖 = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖 𝑥 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 19 Keterangan: FM i = Frekuensi Mutlak jenis i FR i = Frekuensi Relatif jenis i b. Persen Penutupan Mutlak jenis dan Persen Penutupan Relatif jenis Penutupan (C) adalah luas suatu jenis yang menutupi suatu kawasan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Persen penutupan mutlak dan persen penutupan relatif dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Dombois dan Ellenberg, 1974). 𝐶𝑀 𝑖 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝐶𝑅 𝑖 = 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑖 𝑥 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 Keterangan: CM i = Persen Penutupan Mutlak jenis i CR i = Persen Penutupan Relatif jenis i c. Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting atau INP merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui peranan suatu spesies di dalam suatu komunitas. Semakin tinggi nilai INP menunjukan semakin tinggi peranan spesies tersebut di dalam suatu komunitas. Untuk menentukan INP digunakan rumus sebagai berikut (Dombois dan Ellenberg, 1974). 𝐼𝑁𝑃 𝑖 = 𝐹𝑅 𝑖 + 𝐶𝑅 𝑖 Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 20 Keterangan: INP i = Indeks Nilai Penting FR i = Frekuensi relatif jenis i CR i = Persen penutupan relatif jenis i d. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan suatu komunitas berdasarkan jumlah spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi tertentu. Semakin banyak jumlah spesies yang ada maka semakin beragam komunitasnya. Untuk mengetahui indeks keanekaragaman suatu komunitas dapat digunakan rumus Shannon-Wiener yaitu (Kent dan Coker, 1992). 𝐻 ′ = −∑𝑃𝑖 ln 𝑃𝑖 𝑃𝑖 = 𝑛𝑖 𝑁 Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Pi = Peluang kepentingan untuk tiap jenis ni = Nilai penutupan jenis i N = Jumlah total penutupan seluruh jenis Kisaran nilai dari indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dikategorikan sebagai berikut: Jika H’ > 3 maka keanekaragaman spesies tinggi. Jika 1 ≤ H’ ≤ 3 maka keanekaragaman spesies sedang. Jika H’ < 1 maka keanekaragaman spesies rendah. e. Indeks Kesamarataan Evennes Indeks kesamarataan digunakan untuk mengetahui besar kesamaan penyebaran jumlah individu tiap spesies. Untuk menentukan nilai indeks kesamarataan adalah dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 21 dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Untuk mengetahui indeks kesamarataan digunakan rumus sebagai berikut (Kent dan Coker, 1992). 𝐽= 𝐻′ 𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = ln 𝑆 Keterangan: J = Indeks kesamarataan H’ = Indeks keanekaragaman H’ maksimum = Indeks keanekaragaman maksimum S = Jumlah jenis Kisaran nilai dari indeks kesamarataan dikategorikan sebagai berikut (Kent dan Coker, 1992). Jika J < 0,4 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang rendah dan dalam kondisi tertekan. Jika 0,4 ≤ J ≤ 0,6 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang sedang dan dalam kondisi kurang stabil. Jika J > 0,6 maka ekosistem tersebut memiliki kesamarataan yang tinggi dan dalam kondisi stabil. Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember 22 f. Indeks Dispersi Morisita Indeks Dispersi Morisita digunakan untuk mengetahui pola distribusi atau pola sebaran suatu spesies. Pola distribusi didefinisikan sebagai posisi relatif individu satu terhadap individu yang lain menurut ruang. Ada tiga pola distribusi populasi yaitu seragam, acak, dan mengelompok. Untuk mengetahui pola distribusi suatu spesies digunakan rusmus sebagai berikut (Michael, 1995). ∑𝑋𝑖 2 − 𝑋 𝐼𝑑 = 𝑁 ( ) (∑𝑋𝑖)2 − 𝑋 Keterangan: Id = Indeks Dispersi Morisita N = Jumlah total plot X = Jumlah total seluruh jenis i Pola distribusi ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut (Michael, 1995). Jika Id < 1 maka pola distribusinya seragam Jika Id = 1 maka pola distribusinya acak Jika Id > 1 maka pola distribusinya mengelompok