PENGARUH PEMBERIAN PARAQUAT

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN PARAQUAT, DIFENOCONAZOL, DAN BPMC
(Buthylphenylmethyl Carbamate) TERHADAP CO2 YANG DILEPASKAN
DARI BAHAN GAMBUT DENGAN INKUBASI TERTUTUP DAN
TERBUKA
YULI HERDIANI
A14080066
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
RINGKASAN
YULI HERDIANI Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC
(Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan
Gambut dengan Inkubasi Tertutup dan Terbuka. Dibawah bimbingan SUPIANDI
SABIHAM dan BUDI NUGROHO.
Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dianggap praktis dalam
membasmi hama dan penyakit tanaman. Namun kemudian muncul kehawatiran akan
dampak pencemaran lingkungan baik pada air maupun tanah. Selain itu masalah
lingkungan lain yang penting pada tanah gambut yaitu emisi karbon. Tanah gambut
memiliki kandungan C-organik yang tinggi, sehingga apabila karbon hilang melalui
proses oksidasi maka akan mempercepat pelepasan karbon yang sebagian besar
dipancarkan ke atmosfer. Akan tetapi bahan organik juga mampu menjerap bahan
aktif pestisida, dengan demikian diharapkan aplikasi pestisida di tanah gambut dapat
mengurangi proses pelepasan karbon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Paraquat,
Difenoconazol, dan BPMC terhadap CO2 yang dilepaskan dalam bentuk konsentrasi
dan fluks dari bahan gambut dengan inkubasi tertutup dan terbuka. Waktu inkubasi
terdiri dari 1 hari, 2 hari, 4 hari, 5 hari, dan 7 hari. Waktu ini dipilih sesuai dengan
masa retensi pestisida yaitu ± 2 minggu. Pengukuran konsentrasi dan fluks CO2
menggunakan alat IRGA (Infrared gas Analysis) tipe LI-802. Gas dari sungkup
tertutup (closed chamber) dialirkan ke IRGA dengan menggunakan sebuah pompa
dan konsentrasi CO2 langsung dibaca oleh IRGA setiap detik selama kurang lebih 2,5
menit. Penelitian terdiri dari inkubasi tertutup dan terbuka. Pada inkubasi tertutup
dilakukan pengukuran konsentrasi CO2, sedangkan pada inkubasi terbuka dilakukan
pengukuran fluks CO2.
Hasil penelitian menunjukan pada tujuh hari pertama inkubasi konsentrasi CO2
meningkat. Pada inkubasi tertutup perlakuan pemberian paraquat, difenoconazol, dan
BPMC konsentrasi CO2 yang terukur masing-masing sebesar 6.282,98 ppm, 5.043,72
ppm, dan 5.112,69 ppm. Sedangkan kontrol tanah konsentrasi CO2 yang terukur
adalah sebesar 4.716,70 ppm. Pada perlakuan inkubasi terbuka setelah tujuh hari
inkubasi fluks CO2 yang terukur pada perlakuan paraquat, difenoconazol, dan BPMC
adalah 0,009 mg/m2/sec, 0,005 mg/m2/sec dan 0,015 mg/m2/sec serta kontrol
memiliki fluks CO2 sebesar 0,001 mg/m2/sec. Dosis aplikasi yang rendah serta waktu
inkubasi yang singkat belum dapat menurunkan konsentrasi CO2 pada tanah gambut
secara nyata karena dosis aplikasi yang rendah dan waktu aplikasinya yang relatif
singkat.
Kata Kunci: CO2 yang dilepaskan, Gambut, Paraquat, Difenoconazol, BPMC
3
SUMARRY
YULI HERDIANI Effect of Paraquat, Difenoconazol, and BPMC
(Buthylphenylmethyl Carbamate) on CO2 Release from Peat Materials with Opened
and Closed Incubation. Under Supervision of SUPIANDI SABIHAM and BUDI
NUGROHO.
The use of pesticides in agriculture is considered practically to eradicate the
pests and plant diseases. However there are woried about the impact of environmental
pollution on soil and water. In addition, other important environmental issues from
the peat soil is carbon emissions. Peat soils have high organic carbon, so that when
the carbon is lost through oxidation process, it will be speed up the release of the
carbon emitted into the atmosphere. However, the organic material from peat soil is
able to absorb the active materials of pesticides. Therefore, the application of
pesticides in peat soils can be expected reduce the carbon release.
This study aimed to find out the effect of Paraquat, Difenoconazol, and
BPMC (Buthylphenylmethyl Carbamate) on CO2 release from Peat in the form of
concentrations and fluxes Materials with Opened and Closed Incubation. Incubation
time consists of 1 day, 2 days, 4 days, 5 days, and 7 days. The time was selected
according with the retention of pesticides is less than 2 weeks. CO2 concentration and
flux measurements is used by IRGA (Infrared Gas Analysis) type LI-802. Gases from
a closed chamber flowed into the IRGA by using a pump and CO2 concentration
directly read by IRGA every second for approximately 2,5 minutes. The study
consisted of closed and opened incubation. In a closed incubation measured of CO2
concentrations, while the open incubation measured of CO2 flux .
The results showed in the first seven days of closed incubation, can be
increased of the CO2 concentration. In a closed incubation treatment of paraquat,
difenoconazol, and BPMC CO2 concentration measured at 6.282,98 ppm, ppm
5.043,72, and 5.112,69 ppm. While control of soil is equal to 4.716,70 ppm. In the
opened incubation treatment of paraquat, difenoconazol, and BPMC CO2 flux
measured is 0,009 mg/m2/sec, 0,005 mg/m2/sec, and 0,015 mg/m2/sec and control of
soil has 0,001 mg/m2/sec. The low rate application of pesticide has not impacted
significantly on reducing CO2 concentrations and the relatively short time of
application.
Keyword: CO2 Release, Peatlands, Paraquat, Difenoconazol, BPMC
4
PENGARUH PEMBERIAN PARAQUAT, DIFENOCONAZOL, DAN BPMC
(Buthylphenylmethyl Carbamate) TERHADAP CO2 YANG DILEPASKAN
DARI BAHAN GAMBUT DENGAN INKUBASI TERTUTUP DAN
TERBUKA
YULI HERDIANI
A14080066
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Skripsi
: Pengaruh Pemberian Paraquat, Difenoconazol, dan BPMC
(Buthylphenylmethyl Carbamate) Terhadap CO2 yang
Dilepaskan dari Bahan Gambut dengan Inkubasi Tertutup
dan Terbuka
Nama Mahasiswa
: Yuli Herdiani
NRP
: A14080066
Departemen
: Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Menyetujui,
Dosen pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr
NIP. 19490105 197403 1 001
Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si
NIP. 19601021 198703 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc
NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 17 Juni 1990 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Alm. Aan Sulaeman (Ayah) dan Yeni
Yulia Andayani (Ibu). Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK)
Bhayangkari Talaga pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD
Talaga Kulon I sampai tahun 2002. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan
dari SMP Negeri I Talaga. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA
Negeri I Talaga kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah sebagai anggota Divisi Kewirausahaan (2009-2010). Selain itu penulis
juga aktif sebagai asisten praktikum matakuliah Fisika Tanah dan Sistem Informasi
Geografis.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Pemberian
Paraquat,
Difenoconazol,
dan
BPMC
(Buthylphenylmethyl
Carbamate) Terhadap CO2 yang Dilepaskan dari Bahan Gambut
dengan
Inkubasi Tertutup dan Terbuka”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih
gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr selaku Dosen Pembimbing I atas arahan,
motivasi, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan,
arahan, dan saran yang telah di berikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan kepada penulis dalam memperbaiki penulisan skrpisi
ini.
4.
Kak Indri Hapsari Fitriyani atas bantuan, masukan, bimbingan, dan arahan
selama kegiatan penelitian berlangsung.
5.
Pegawai Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah serta seluruh staff dan
karyawan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
6.
Teman-teman MSL 45 atas kebersamaannya selama perkuliahan.
Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dalam skripsi ini sehingga
bisa menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak.
Bogor, 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN...........................................................................................
1
1.2. Latar Belakang........................................................................................
1
1.3. Tujuan...................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 3
2.1. Gambut....................................................................................................
3
2.2. Genesis dan Proses Pembentukan Gambut.............................................
3
2.3. Sifat dan Ciri Tanah Gambut..................................................................
4
2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut.........................................................
6
2.5. Pestisida................................................................................................... 7
III. METODE PENELITIAN............................................................................ 11
3.1.Waktu, Lokasi Pengambilan Bahan Gambut, dan Tempat Penelitian...... 11
3.2. Bahan dan Alat Penelitian........................................................................ 11
3.3. Metode..................................................................................................... 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 15
4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan
Tengah....................................................................................................... 15
4.2. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Kadar Serat............................................. 15
4.3. Pengukuran Konsentrasi CO2 Pada Inkubasi Tertutup............................ 19
4.4. Pengukuran Fluks CO2 Pada Inkubasi Terbuka....................................... 23
V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 26
5.1. Kesimpulan.............................................................................................. 26
5.2. Saran........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 27
LAMPIRAN......................................................................................................... 30
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Hasil Analisis Sifat Kimia dari Bahan Gambut Kedalaman 0-20 cm...... 16
2.
Nilai Kisaran Kadar C-organik Pada Tiap Kematangan Gambut di
Kalimantan Tengah.................................................................................. 17
3.
Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi............................. 18
4.
Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat.......... 19
5.
Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida
Difenoconazol........................................................................................... 20
6.
Konsentrasi CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC............ 21
7.
Konsentrasi CO2 dari Kontrol Bahan Gambut......................................... 21
8.
Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat..................... 23
9.
Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol........... 24
10.
Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC...................... 24
11.
Fluks CO2 dari Kontrol Bahan Gambut.................................................... 25
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Gambar saat Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas
Analysis)................................................................................................. 13
2.
Kriteria Tes Laboratorium Untuk Indeks Pirofosfat Dan Presentase
Kadar Serat (Mc Kinzie, 1974)..............................................................
18
Grafik ∆ Konsentrasi CO2 selama waktu inkubasi.................................
22
3.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Grafik pH Tanah Setelah Inkubasi........................................................... 31
2
Hasil Pengukuran Fluks CO2 pada Inkubasi Terbuka.............................. 32
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penggunaan lahan gambut untuk sektor pertanian pangan saat ini banyak
dilakukan mengingat sulitnya mendapatkan lahan yang lebih berkualitas. Salah satu
kendala yang dihadapi petani di lahan gambut adalah adanya serangan hama dan
penyakit, yang tidak hanya mengganggu produksi tetapi juga mengakibatkan
kegagalan panen. Upaya petani untuk menanggulangi masalah tersebut diantaranya
dengan menggunakan pestisida.
Tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Sriyani
dan Salam (2008) bahan organik tanah merupakan komponen tanah yang
memengaruhi persistensi, mobilitas, degradasi, dan ketersediaan suatu herbisida
dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi umumnya mempunyai
daya jerap yang tinggi terhadap herbisida, sehingga mobilitas dan ketersediaan
herbisida menjadi menurun. Aplikasi herbisida di lahan gambut diharapkan dapat
efektif dijerap oleh tanah dan tidak mencemari lingkungan.
Penggunaan lahan gambut yang tidak bijak untuk kegiatan pertanian dapat
menyebabkan kerusakan ekosistem lahan gambut tersebut. Masalah lahan gambut
yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini adalah emisi karbon dari lahan gambut.
Tanah gambut memiliki kandungan C-organik yang tinggi, sehingga apabila karbon
hilang melalui proses oksidasi akan menambahkan karbon yang cukup signifikan ke
atmosfer.
Menurut Setyanto (2008), penggunaan herbisida paraquat dan glifosat mampu
menurunkan emisi metana secara nyata antara 60-70% dibandingkan yang tidak
menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida berdampak positif terhadap emisi gas
metan, akan tetapi penelitian terhadap emisi CO2 belum banyak diketahui. Pemberian
pestisida di tanah gambut diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.
2
1.2
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
paraquat, difenoconazol, dan BPMC terhadap emisi CO2 dari bahan gambut dengan
inkubasi tertutup dan terbuka.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gambut
Gambut secara harfiah didefinisikan sebagai sisa tanaman yang tertimbun
dalam masa dari ratusan sampai ribuan tahun. Menurut epistemologi, gambut adalah
material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah
berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang
mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah
bentuk hamparan daratan yang morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh
kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut konsep ekologi, gambut adalah
sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas
rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan
pemanasan global (Noor, 2001).
Menurut Radjagukguk (2000), akumulasi gambut yang membentuk lahan
gambut berlangsung pada lingkungan yang jenuh atau tergenang air, kadang-kadang
disertai oleh kondisi-kondisi lain yang menghambat aktivitas mikroba. Vegetasi yang
menghasilkan akumulasi gambut adalah yang sangat adaptif pada kondisi jenuh atau
tergenang air seperti bakau (mangrove) semak rumput rawa (reed swamp), dan hutan
air tawar
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut
banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang
berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008)
2.2 Genesis dan Proses Pembentukan Gambut
Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring
dengan kejadian lingkungan alamnya. Profil gambut juga tampak diselingi lapisan
mineral yang menunjukkan terjadinya gejala alam banjir dan sedimentasi dari waktu
ke waktu pada lingkungan rawa, khususnya pada rawa pedalaman. Pembentukan
4
gambut terjadi pada periode Holosine antara 5000-10.000 tahun, kemudian dalam
ribuan tahun lambat laun terbentuk lapisan gambut yang semakin tebal sehingga
membentuk kubah gambut (peat dome) (Noor, 2001). Hipotesis lain menyatakan
pembentukan rawa gambut diawali oleh pengendapan dan pertumbuhan vegetasi
bakau yang kemudian menjadi hutan padang, khususnya pada dataran pantai (Noor,
2009).
Menurut Radjagukguk (2000), di dataran rendah dan daerah pantai, proses
akumulasi bahan organik tersebut menghasilkan pembentukan gambut ombrogen di
atas gambut topogen, yang hamaparannya berbentuk kubah (dome). Gambut
ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun.
Gambut ini terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya bergantung pada masukan
hara dari air hujan dan bukan lagi dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air
tanah, sehingga miskin hara dan bersifat masam.
2.3 Sifat dan Ciri Tanah Gambut
Gambut merupakan salah satu pilihan dalam pengembangan dan peningkatan
lahan untuk budidaya pertanian di Indonesia dewasa ini. Pengelolaan gambut tidak
mudah karena mempunyai permasalahan yang rumit baik dari segi fisik, kimia,
biologi, dan hidrologi. Gambut mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar dari
bahan mineral, namun gambut hanya menyediakan lebih sedikit air untuk tumbuhan
dibandingkan tanah mineral (Utami et al., 2009). Permasalahan utama di lahan
gambut adalah kesuburan tanah rendah yang disebabkan oleh kandungan bahan
organik yang sangat tinggi, miskin mineral dengan kejenuhan basa yang rendah,
kadar P, K, Ca, Mg, Cu, Zn, dan Mn yang rendah (Salampak 1999), mengandung
beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tumbuhan
(Suriadikarta, 2009). Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif
dari tanah gambut yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara
(Agus dan Subiksa, 2008). Selain meracuni tanaman, asam-asam organik juga
mengakibatkan pH gambut sangat rendah (Widyati dan Rostiwati, 2010).
5
Pada umumnya tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2.8-4.5
dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol/kg. Ketersediaan unsur-unsur makro
N, P, K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya berharkat rendah (Maas et al.,
2000).
Karaktristik kimia tanah gambut bersifat spesifik, menjadikan tanah gambut
berbeda dengan tanah mineral bahkan dengan tanah organik lainnya. Gambut adalah
timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya
perombakan tanah gambut akibat rendahnya aktivitas mikroorganisme. Hal tersebut
dipengaruhi antara lain oleh potensial redoks, nisbah C/N, pH, suhu, dan kelembaban.
Karakteristik
kimia utama pada tanah gambut antara lain kemasaman tanah,
ketersediaan hara tanah, KTK, kadar abu, kadar asam organik tanah, dan kadar pirit
atau sulfur (Noor, 2001).
Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa
(KB) sangat rendah. Muatan negatif pada tanah gambut seluruhnya merupakan
muatan tergantung pH (pH dependent charge) (Widyati dan Rostiwati, 2010).
Menurut Soepardi (1983), muatan negatif tergantung pH adalah muatannya bersifat
tidak permanen tetapi langsung berhubungan dengan pH tanah. Muatan ini diduga
berasal dari berbagai sumber. Pada tanah gambut sumber utama adalah kelompok
karboksilat (COOH) dan fenol (fenil-OH) pada koloid humus. Tiap kelompok itu
mempunyai hidrogen terikat secara kovalen yang tidak didesosiasikan pada pH
rendah, akan tetapi dengan menaiknya pH, hidrogen berdesosiasi sambil
meninggalkan muatan negatif pada koloid.
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan
tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008).
6
Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan dalam
pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang
terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).
2.4. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut
2.4.1. Emisi Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, klorofluorokarbon
(CFC), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu
meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini
dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan
sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di
atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 %
radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi
(Kartikawati et al., 2011).
Gas rumah kaca dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut dalam bentuk CO2,
CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut, CO2 merupakan GRK terpenting
karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah
fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Emisi CH4 cukup besar
pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau
jenuh air. Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4
menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu
tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut
yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al., 2011).
2.4.2. Emisi Karbondioksida dari Lahan Gambut
Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada tanah gambut itu
sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan seterusnya pada tanaman
mati (necromass). Masing-masing komponen cadangan karbon (carbon stock)
7
tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur
tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang
selanjutnya dapat mempercepat emisi CO2 dari tanah gambut. Cara pengelolaan lahan
pertanian pada lahan gambut, seperti pembakaran, pembuatan drainase, dan
pemupukan mempengaruhi tingkat emisi CO2 Pembakaran/kebakaran lahan gambut
dapat menurunkan cadangan karbon di dalam jaringan tanaman dan didalam gambut
yang berarti meningkatkan emisi dari kedua sumber tersebut. Pemupukan dapat
meningkatkan emisi disebabkan meningkatnya aktivitas mikroba. Sebaliknya, pada
lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, penurunan kedalaman muka air tanah,
misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat
memperlambat emisi (Agus et al., 2011).
Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4.
Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri
metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas. Selain
herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan
(HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida
dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan
anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan
pencemaran lingkungan (Kartikawati et al., 2011).
2.5. Pestisida
Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk mengendalikan berbagai hama yaitu serangga, tungau, tumbuhan
pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan
virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis),
siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida juga
diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau
menstimulasi pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk
memberantas atau membunuh hama, namun untuk mengendalikan hama sedemikian
8
rupa hingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali (Anonim,
2010).
Menurut Kementrian Pertanian (2012), pestisida adalah semua zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:
a. memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
b. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
c. memberantas atau mencegah hama air.
d. memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik.
e. memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada
tanaman, tanah atau air.
Pestisida merupakan salah satu zat yang banyak dijumpai dan digunakan secara
luas oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta mudah didapatkan mulai dari
pedesaan sampai perkotaan. Penggunaan pestisida meliputi bidang pertanian
subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan karantina pengawetan hasil
pertanian. Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman padi menunjukkan
bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Selanjutnya tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga mampu
memberikan hasil yang lebih tinggi daripada tanaman tanpa aplikasi pestisida
(Rahayuningsih, 2009).
Menurut Sriyani dan Salam (2008), Paraquat adalah jenis herbisida yang telah
lama dan sampai saat ini paling banyak digunakan dalam budidaya tanaman di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paraquat adalah herbisida kontak pascatumbuh
yang diaplikasikan langsung pada gulma yang telah tumbuh dan bersifat tidak
selektif. Herbisida ini terdaftar untuk spektrum tanaman yang cukup luas, antara lain
pada cengkeh, kakao, kapas, karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, kopi, lada, padi
pasang surut, tebu, teh, dan ubi kayu.
9
2.5.1. Klasifikasi Kimiawi Pestisida
Pestisida dikelompokan ke dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia
berdasarkan persamaaan struktur dasar rumus kimianya. Umumnya, bahan aktif
pestisida yang tergabung dalam kelompok kimia yang sama memiliki kemiripan
sifat kimiawi. Insektisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan
(tidak peresisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Salah satu
nama insektisida golongan karbamat adalah fenobukarb, yang di Indonesia lebih
dikenal dengan BPMC (buthylphenylmethyl carbamate). BPMC merupakan
insektisisda non sistemik dengan kerja mengendalikan wereng, thrips pada tanaman
padi.
Difenoconazol termasuk dalam golongan fungisida yang bersprektum cukup
luas terutama mengendalikan berbagai jenis jamur dari kelas Ascomycetes,
Basidiomycetes, dan Deutromycetes. Difenoconazol bersifat sistemik dan diserap
lewat daun. Fungisida ini digunakan untuk pengendalian secara kompleks penyakit
pada tanaman buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian termasuk padi.
Paraquat merupakan golongan herbisida non selektif termasuk dalam golongan
garam bipiridilium. Jika ada cahaya matahari, herbisida ini bekerja dengan sangat
cepat akan memengaruhi fotosintesis dengan terbentuknya superoksida yang akan
menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto, 2008).
2.5.2. Penjerapan Pestisida oleh Tanah
Tingginya
intensitas
aplikasi
dan
jumlah
pestisida
yang
digunakan
menimbulkan kekhawatiran akan bahaya pencemaran yang berasal dari residu
herbisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam tanah dan air. Residu
herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan kesehatan
bagi manusia dan hewan serta dapat mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya
pada musim berikutnya. Perilaku pestisida selama di tanah dapat dikelompokkan
menjadi dua proses, yaitu proses perpindahan massa dan proses peruraian. Proses
perpindahan massa terdiri atas perpindahan massa antar fase (fase air dengan fase
udara, fase air dengan fase tanah, fase tanah dengan fase udara, dan fase masing-
10
masing dengan makhluk hidup). Fase tanah dapat mengakumulasi pestisida sampai
konsentrasi tinggi karena tanah mempunyai daya jerap yang tinggi, disamping itu
sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik. Peruraian pestisida di fase padatan tanah
lebih dominan daripada di fase larutan tanah karena padatan tanah mengandung
berbagai senyawa yang berfungsi sebagai katalis dan merupakan tempat
mikroorganisme tumbuh (Rahayuningsih, 2009).
2.5.3. Penjerapan pestisida oleh tanah gambut
Tanah gambut banyak mengandung asam alifatik dan aromatik. Gambut
menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap adsorbsi pestisida paraquat dan memiliki
sifat elektrostatis saat bahan organik berinteraksi dengan bahan pestisida tersebut.
Dalam kondisi asam muatan pada bahan organik tanah gambut ditentukan oleh
ionisasi gugus karboksilat yang akan mendukung terhadap adsorpsi pestisida
kationik. Paraquat, dengan kation bipirilidium merupakan pestisida yang dapat
teradsorpsi baik pada permukaan tanah, dengan mengganti kation anorganik atau
oleh mekanisme interaksi ionik dengan muatan negatif pada permukaan tanah, di
mana efek elektrostatik menjadi faktor penentu (Arce et al., 2011).
Menurut Hui et al. (2003), erapan pestisida oleh bahan organik dan mineral
liat dipengaruhi oleh jenis mineral, rasio substansi humik/mineral, ketersediaan
kation dapat ditukar serta koefisien serapan pestisida itu sendiri. Adsorpsi pestisida
kationik seperti paraquat yang bermuatan positif melalui protonisasi. Keberadaan
muatan negatif sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida tersebut. Dalam hal
ini KTK tanah sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida paraquat. Semakin
tinggi luas permukaan adsorben maka semakin tinggi kemungkinan adsorpsi,
molekul herbisida paraquat yang berada dalam larutan tanah (Muktamar et al.,
2006).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu, Lokasi Pengambilan Bahan Gambut dan Tempat Penelitian
Bahan gambut diambil dari Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah.
Contoh tanah gambut yang digunakan diambil secara komposit dari lahan padi
pasang surut pada bulan April 2012 pada kedalaman 0-20 cm. Analisis sifat kimia
dan fisik tanah serta pengukuran gas CO2 dilakukan di Laboratorium Kimia dan
Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai
Agustus 2012.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi bahan tanah gambut,
herbisida Paraquat merk dagang Gramoxone, insektisida Difenoconazol merk dagang
Score, fungisida BPMC merk dagang Bassa, aquades, serta bahan kimia untuk
analisis N-total, P-total, K-total, Ca-total, Mg-total dan kadar serat bahan gambut.
Alat-alat yang digunakan meliputi gelas ukur, gelas piala, ayakan 100 μm,
buku Munsell Soil Color Chart, cawan porselen, termometer, kertas saring, botol
film, cawan alumunium, oven, timbangan, laptop, IRGA (Infrared gas Analysis)
LICORE Li-802.
3.3 Metode
3.3.1. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut
Pengukuran analisis sifat fisik dan kimia tanah gambut dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya lahan, meliputi kadar air (metode gravimetri) , kadar serat (metode
Mc,1974) C-organik (metode lost on ignetion, LOI) N-total (metode Kjeldahl), dan
K-total, P-total, Ca-total, Mg-total (metode pengabuan basah).
12
3.3.2. Inkubasi Bahan Gambut
Sebelum dilakukan penimbangan, bahan gambut yang digunakan untuk
inkubasi dicampur,
tanpa dihomogenkan dengan cara ditumbuk, diayak untuk
memisahkan bagian kasar dan halus. Inkubasi bahan gambut dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Penetapan Kadar air tanah untuk menentukan volume tanah yang akan
ditimbang. Rumus yang digunakan untuk menghitung bobot tanah yang akan
ditimbang adalah:
( ⁄ )
( ⁄ )
( ⁄ )
2.
Bobot tanah yang akan diinkubasi sebanyak 263.7 gram (kadar air 316%)
dimasukkan kedalam tabung inkubasi yang terbuat dari PVC.
3.
Bahan gambut yang akan diinkubasi kemudian ditambahkan herbisida
(Paraquat diklorida), insektisida (difenoconazol), fungisida (BPMC) masingmasing sebanyak 10 ml dan diaduk secara merata. Konsentrasi yang
diaplikasikan
untuk
herbisida
paraquat
adalah
5,5
ppm,
insektisida
Difenoconazol 5 ppm, dan fungisida BPMC 5 ppm.
4.
Tabung inkubasi ditutup dengan plastik dan karet, untuk mencegah adanya
udara yang masuk dari luar. Contoh bahan gambut yang telah diberi pestisida
kemudian diinkubasi dengan waktu inkubasi yang terdiri dari 1 hari, 2 hari, 4
hari, 5 hari, dan 7 hari. Waktu inkubasi dipilih sesuai dengan waktu paruh
pestisida (DT 50) yaitu ± 2 minggu.
3.3.3. Pengukuran Konsentrasi dan Fluks CO2
Pengukuran konsentrasi dan fluks CO2 pada tanah gambut yang diperlakukan
herbisida, fungisida, dan insektisida dilakukan dengan menggunakan IRGA (Infrared
gas Analysis) tipe LI-802. Pada inkubasi tertutup dilakukan pengukuran konsentrasi
CO2 akumulasi selama waktu inkubasi dan pada inkubasi terbuka dilakukan untuk
mengukur fluks CO2. Gas dari sungkup tertutup (closed chamber) dialirkan ke IRGA
13
dengan menggunakan sebuah pompa dan konsentrasi CO2 langsung dibaca oleh
IRGA setiap detik selama kurang lebih 2,5 menit. Hubungan linear antara waktu
pengamatan dengan konsentrasi gas CO2 digunakan untuk menghitung fluks CO2
yang keluar ke permukaan tanah (Agus et al., 2011).
Gambar 1. Gambar Saat Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas Analysis)
Perhitungan fluks CO2 dilakukan dengan langkah:
a. Perubahan konsentrasi CO2 (dCc/dt) berdasarkan grafik linear pengukuran fluks
CO2 di lapangan (μmol/mol) atau ppm versus waktu pengukuran (det). Persamaan
grafik linear tersebut adalah sbb:
y = konsentrasi CO2 (μmol/mol) atau ppm
a = gradien konsentrasi CO2 (μmol/mol/det)
b = intercept konsentrasi CO2 (μmol/mol)
x = waktu (detik)
14
b. Menghitung fluks CO2
= fluks CO2 (μmol/m2/det)
P = tekanan atmosfer (berdasarkan rata-rata cell Press pembacaan LI-820)
h = tinggi chamber (cm)
R = konstanta gas (8,314 Pa m2/oK/ mol)
T = suhu (oK)
dCc/dt = perubahan konsentrasi CO2 (μmol/mol/det)
dt = waktu pengukuran (det)
3.3.4. Analisis Data
Konsentrasi CO2 yang terukur kemudian dianalisis dengan Microsoft excel
dan diplotkan dalam bentuk grafik. Analisis data menggunakan software microsoft
excel, dan menggunakan analisis regresi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Kabupaten Pulang Pisau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, yaitu antara
0-100 LS dan 110-1200 BT. Kabupaten Pulang Pisau termasuk daerah beriklim tropis
dan lembab, dengan suhu berkisar antara 26,5oC-27,5oC, suhu maksimum mencapai
32,5oC, dengan panjang penyinaran matahari di atas 50%. Hujan terjadi hampir
sepanjang tahun berkisar antara 2.000-3.500 mm setiap tahun dan curah hujan
terbanyak jatuh pada bulan Oktober - Desember serta Januari – Maret. Bulan kering
terjadi pada bulan Juni-September (Kabupaten Pulang Pisau, 2012).
Persebaran jenis tanah di wilayah Kabupaten Pulang Pisau mengikuti pola
kondisi topografinya. Di bagian Selatan, jenis tanah yang dominan adalah tanah
gambut pada wilayah ini terdiri dari pantai/pesisir, rawa–rawa dengan ketinggian
antara 0-5 meter. Luas lahan gambut di wilayah ini tercatat sebesar 2.789 km2
4.2. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Kadar Serat Gambut
Tanah gambut di Kalimantan Tengah memiliki sifat kimia masam, unsur hara
sangat rendah, KTK sangat tinggi, tetapi kejenuhan basa sangat rendah
(Hardjowigeno, 1996). Sifat-sifat kimia tanah gambut sangat beragam, dibedakan
menjadi gambut eutropik (subur), gambut mesotropik (sedang), dan gambut
oligotropik (miskin). Hasil analisis sifat kimia dari bahan gambut Kabupaten Pulang
Pisau disajikan pada Tabel 1.
4.2.1
Nitrogen total dan Kandungan C-organik
Sebagian besar N-total tanah dalam bentuk organik. Menurut Hardjowigeno
(1996), kandungan N-total umumnya berkisar antara 2000-4000 kg/ha pada lapisan 020 cm dan umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi, yang
tersedia bagi tumbuhan hanya kurang 3 persen dari jumlah tersebut Kandungan Ntotal bahan gambut bernilai 1.37 % atau setara dengan 27,4-54,8 kg N/ha.
16
Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Dari Bahan Gambut Pada Kedalaman 0-20 cm.
Sifat Kimia
Nilai
pH (H2O)
C organik (%)
N-total (%)
P-total (ppm)
K-total (%)
Ca-total (%)
Mg-total (%)
4.69
39.45
1.37
13
14.59
10.60
9.34
Tanah gambut dapat menyimpan cadangan karbon jauh lebih besar dari tanah
mineral, tergantung ketebalan lapisan tanah gambut tersebut. Semakin tebal lapisan
gambut, maka semakin besar cadangan karbonnya. Konsentrasi karbon di dalam
tanah gambut berkisar antara 30-70 g/dm3 atau 30-70 kg/m3 atau setara dengan 300700 t/ha/m. Dengan demikian, apabila tanah gambut mempunyai ketebalan 10 m,
maka cadangan karbon di dalamnya adalah sekitar 3.000-7.000 t/ha (Agus dan
Subiksa, 2008).
Nilai C-organik dari hasil analisis bahan gambut sebesar 39,47% pada
kedalaman 20 cm atau setara dengan 23,7 t/ha. Kadar C-organik tanah gambut
berbeda menurut kedalamannya. Semakin dalam gambut maka nilai karbon organik
semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan laju dekomposisi bahan gambut tersebut.
Pada lapisan atas laju dekomposisinya lebih cepat jika dibandingkan dengan lapisan
bawah. Gambut dengan tingkat dekomposisi fibrik memiliki nilai kadar C-organik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik
dan saprik (Tabel 2).
4.2.2
Fosfor
Fosfor pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P organik.
Hasil analisis menunjukan kandungan P-total dari bahan gambut yang dianalisis
sebesar 13 ppm. Ketersediaannya P umumnya rendah pada tanah dengan pH rendah
seperti pada tanah gambut. Kondisi lingkungan tanah gambut yang reduktif dapat
17
menghambat aktivitas mikrob untuk mengubah P organik menjadi P inorganik
melalui proses mineralisasi sehingga kandungan P-total pada tanah gambut rendah.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar C-organik pada Tiap Kematangan Gambut di
Kalimantan (Wahyunto et al., 2005):
4.2.3
Tingkat Kematangan Gambut
% C-organik
Fibrik
Hemik
Saprik
42.63
36.24
35.53
Kalium, Kalsium, dan Magnesium
Kandungan basa-basa pada tanah gambut umumnya rendah. Kalsium adalah
mineral anorganik utama pada tanah gambut yang berasal dari batuan atau dari tanah
mineral, sedimen bahan suspensi terlarut dan bio-akumulasi tumbuhan. Hasil analisis
menunjukkan nilai Ca-total adalah 10.60%.
Kalium merupakan salah satu unsur makro yang jumlahnya rendah pada tanah
gambut Hasil analisis menunjukkan nilai K-total adalah sebesar 14.59%.. Kapasitas
erap kation K+ tanah gambut rendah sehingga mudah tercuci. Magnesium adalah
salah satu unsur hara makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan
Mg-total pada tanah gambut yang dianalisis adalah sebesar 9.34%.
4.2.4 Kadar serat dan indeks pirofosfat
Sifat fisika tanah gambut yang umum digunakan untuk menilai tingkat
kematangan gambut adalah kadar serat. Kadar serat merupakan butiran gambut yang
tidak lolos saringan 100 mesh. Kadar serat adalah volume bahan organik tidak
terdekomposisi yang menyusun tanah organik/gambut. Kadar serat dinyatakan dalam
persentase serat dan secara kuantitatif dapat dihubungkan dengan sifat gambut
lainnya. Hasil analisis kadar serat gambut yang digunakan dalam penelitian disajikan
pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi
% vol serat
warna munsell
Indeks Pirofosfat
Tingkat dekomposisi
46
10 YR 3/1
2
Hemik
Pengujian dengan Na-pirofosfat digunakan untuk pengujian secara visual atau
secara kualitatif melalui warna ekstrak gambut dalam larutan Na-pirofosfat. Warna
yang timbul dicocokan dengan warna dalam buku Munsell Soil Collor Chart, dan
notasinya dicatat dengan seksama. Indeks pirofosfat merupakan selisih antara nilai
value dan chroma. Hasil analisis kadar serat dihubungkan dengan indeks pirofosfat,
berdasarkan metode McKinzie (1974), untuk mendapatkan tingkat dekomposisi
gambut.
Gambar 2.
Kriteria tes laboratorium untuk indeks pirofosfat dan presentase
kadar serat (Mc Kinzie, 1974).
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi gambut yang
digunakan adalah hemik. Tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik adalah
tanah gambut dengan tingkat dekomposisi sedang. Menurut Soil Survey Staff (1999),
pada tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik bahan asal pembentukannya
tidak langsung dapat dikenali. Bahan gambut yang tertinggal ketika diremas dengan
19
jari adalah 1/6-2/3 di antara jari-jari telapak tangan. Beberapa daerah dengan lahan
gambut tingkat dekomposisi hemik umumnya digunakan sebagai lahan pertanian,
hutan, dan habitat satwa liar. Selain itu gambut hemik berada pada daerah
khatulistiwa.
4.3. Pengukuran Konsentrasi CO2 pada Inkubasi Tertutup
Inkubasi tanah gambut dengan perlakuan herbisida Gramoxone dengan bahan
aktif Paraquat, fungisida Score dengan bahan aktif Difenoconazol, dan insektisida
Bassa dengan bahan aktif BPMC dilakukan pada tabung tertutup untuk menghidari
pengaruh dari luar pada skala laboratorium. Perubahan konsentrasi CO2 diamati pada
saat awal masa inkubasi sampai hari terakhir inkubasi. Pada pengukuran konsentrasi
CO2 pada 7 hari inkubasi tidak ada CO2 yang masuk maupun yang keluar dari tabung
inkubasi yang tertutup rapat, sehingga konsentrasi CO2 yang terukur merupakan
konsentrasi CO2 akumulasi selama 7 hari inkubasi. Hasil pengukuran kosentrasi CO2
dari bahan gambut dengan herbisida Paraquat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat
Hari inkubasi
1
2
4
5
7
Konsentrasi CO2 (ppm)
1.744,32
2.599,12
2.138,79
2.204,94
6.282,98
Perlakuan bahan gambut dengan herbisida paraquat pada hari ke-1 inkubasi
konsentrasi CO2 yang terukur adalah 1.744,32 ppm, dan pada hari ke-2 inkubasi
meningkat menjadi 2.599,12 ppm. Penurunan konsentrasi terjadi pada hari ke-4
inkubasi yaitu sebesar 2.138,79 ppm. Sedangkan pada hari ke-5 dan ke-7 inkubasi
konsentrasi CO2 meningkat kembali menjadi masing-masing sebesar 2.204,94 ppm
dan 6.282,98 ppm.
Pemberian paraquat menunjukan nilai konsentrasi CO2 yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kontrol bahan gambut. Meningkat dan menurunnya konsentrasi
20
CO2 berkorelasi dengan aktivitas mikroba dalam tanah. Dalam penelitian Sahid
(1992), penambahan paraquat pada 7 hari pertama inkubasi dapat meningkatkan
produksi CO2 yang bersumber dari aktivitas pernapasan mikroba tanah. Konsentrasi
CO2 dapat terlihat menurun pada hari inkubasi lebih lama yakni pada hari ke-60 dan
dosis yang diaplikasikan lebih tinggi yaitu sebesar 100 ppm dan 250 ppm.
Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran konsentrasi CO2 pada perlakuan
Fungisida Difenoconazol.
Tabel 5. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol
Hari inkubasi
1
2
4
5
7
Konsentrasi CO2 (ppm)
1.499,73
1.822,27
2.472,75
1.967,16
5.043,72
Fungisida Difenoconazol merupakan fungisida sistemik, fungisida ini masuk
keseluruh jaringan tanaman serta dapat membunuh hama yang terdapat di akar,
batang, dan daun. Inkubasi bahan gambut dengan penambahan fungisida
difenoconazol memiliki pola konsentrasi CO2 yang berbeda dengan inkubasi
paraquat. Pada perlakuan ini konsentrasi CO2 meningkat dari inkubasi hari ke-1, ke-2,
dan hari ke-4 yaitu sebesar 1.499,73 ppm, 1.822,27 ppm, dan 2.472,75 ppm. Namun
pada inkubasi hari ke-5 terjadi penurunan konsentrasi CO2 yaitu sebesar 1.967,16
ppm, dan konsentrasi CO2 pada hari ke-7 meningkat menjadi 5.043,72 ppm.
Pemberian insektisida BPMC terhadap konsentrasi CO2 memiliki pola yang
sama dengan perlakuan difenoconazol (Tabel 6). Konsentrasi CO2 pada hari ke-1,ke2, dan ke-4 meningkat yaitu sebesar 1.818,07 ppm, 1.860,75 ppm, dan 2.405,61 ppm.
Sedangkan pada hari ke-5 inkubasi terjadi penurunan konsentrasi sebesar 2.039,76
ppm, dan konsentrasi CO2 meningkat kembali pada masa inkubasi yaitu sebesar
5.112,69 ppm.
21
Dalam penelitian Bartha et al. (1967), penambahan bahan pestisida golongan
karbamat dapat meningkatkan produksi CO2 karena bahan aktifnya termodifikasi oleh
reaksi oksidatif. Pada 10 hari pertama inkubasi menunjukan produksi konsentrasi
CO2 yang terus meningkat dan menurun setelah 10 hari waktu aplikasi.
Tabel 6. Konsentrasi CO2 Dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC
Hari inkubasi
Konsentrasi CO2 (ppm)
1
2
4
5
7
1.818,07
1.860,75
2.405,61
2.039,76
5.112,69
Konsentrasi CO2 pada perlakuan kontrol menunjukan pola pertambahan yang
bersesuaian dengan perlakuan difenoconazol dan BPMC dan berbeda sedikit dengan
perlakuan Paraquat untuk pengamatan hari ke 4 (Tabel 7 dan Gambar 3). Pada
perlakuan kontrol hari ke-1 inkubasi, konsentrasi CO2 yang terukur adalah sebesar
1.435,42 ppm, dan meningkat pada hari ke-2 yaitu sebesar 1.965,04 ppm. Pada hari
ke-4 konsentrasi CO2 meningkat kembali yaitu sebesar 2.179,53 ppm dan menurun
pada hari ke-5 sebesar 1.881,27 ppm. Pada akhir masa inkubasi konsentrasi CO2 yang
terukur adalah 4.716,70 ppm.
Tabel 7. Konsentrasi CO2 Dari Kontrol Bahan Gambut
Hari inkubasi
1
2
4
5
7
Konsentrasi CO2 (ppm)
1.435,42
1.965,04
2.179,53
1.881,27
4.716,70
Kenaikan konsentrasi CO2 pada awal masa inkubasi berhubungan langsung
dengan konsentrasi pestisida yang diaplikasikan pada suatu sistem (Bartha et al.,
1967). Konsentrasi yang diaplikasikan dari herbisida Paraquat adalah 5.5 ppm,
22
fungisida Difenoconazol 5 ppm, dan BPMC 5 ppm sehingga pada konsentrasi
tersebut belum terlihat secara signifikan pengaruhnya terhadap penurunan konsentrasi
CO2 pada bahan gambut. Selain itu waktu hari inkubasi yang relatif singkat yakni 7
hari juga dapat berpengaruh terhadap belum terlihatnya penurunan konsentrasi CO2.
Perubahan konsentrasi CO2 selama inkubasi dapat terlihat pada Gambar 3.
5000
konsentrasi CO2 (ppm)
4500
4000
3500
3000
kontrol
2500
paraquat
2000
1500
difenoconazol
1000
BPMC
500
0
1
2
4
5
7
Hari Inkubasi
Gambar 3. Grafik ∆ Konsentrasi CO2 selama waktu inkubasi
Pada pengamatan hari kedua perlakuan herbisida Paraquat paling tidak efektif
dalam menekan emisi CO2 dibandingkan dengan perlakuan Difenoconazol dan
BPMC. Hal ini terlihat dari emisi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pada
pengamatan hari ke empat terjai perubahan yang mana Difenoconazol mempunyai
emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sedangkan Paraquat mempunyai emisi
dibawah kontrol. Pada pengamatan hari ke 5 semua perlakuan pestisida mempunyai
emisi lebih tinggi dibandingkan kontrol, demikian juga hasil pengamatan emisi CO2
hari ke 7.
Sumber CO2 dalam inkubasi tertutup tersebut dapat berasal dari 2 hal : (1)
dekomposisi bahan gambut; dan (2) respirasi mikroba. Emisi CO2 yang lebih tinggi
dari kontrol pada semua perlakuan perstisida pada pengamatan hari ke 5 dan ke 7
diduga berasal dan meningkatnya respirasi mikroba akibat pemberian pestisida.
23
Pola umum emisi CO2 pada semua perlakuan termasuk perlakuan kontrol
adalah hari ke 1 sampai ke 5 perubahan emisi CO2 relatif rendah. Peningkatan emisi
CO2 yang cukup nyata terjadi pada hari ke 5 dan ke 7. Kondisi tertutup diduga
menyebabkan kekurangan oksigen sehingga meningkatkan aktivitas respirasi
mikroorganisme, sehingga tidak ada perbedaan pola antar perlakuan kontrol dengan
perlakuan pestisida.
4.4. Pengukuran Fluks CO2 pada Inkubasi Terbuka
Fluks CO2 adalah besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan
lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Fluks
yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan
ke atmosfer. Pada inkubasi terbuka dilakukan pengukuran fluks CO2 karena pada
perlakuan ini tabung inkubasi dibiarkan terbuka sehingga terdapat gas CO2 yang
masuk dan keluar, oleh karena itu pada perlakuan ini dapat diukur fluks CO2.
Hasil penelitian pada perlakuan paraquat yang diinkubasi terbuka (Tabel 8)
memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan paraquat dengan inkubasi tertutup.
Pada inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,012 mg/m2/sec, kemudian
menurun pada hari ke-2 inkubasi sebesar 0,005 mg/m2/sec. Inkubasi hari ke-4 dan
ke-5 mengalami peningkatan fluks CO2 yaitu dari 0,008 mg/m2/sec menjadi 0,013
mg/m2/sec. Sedangkan pada hari ke-7 setelah masa inkubasi fluks CO2 menurun
menjadi sebesar 0,009 mg/m2/sec.
Tabel 8. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat
Hari inkubasi
Fluks CO2 (mg/m2/sec)
1
0,012
2
0,005
4
0,008
5
0,013
7
0,009
24
Pengaruh perlakuan fungisida Difenoconazol terhadap fluks CO2 dengan
inkubasi tertutup (Tabel 9) juga menunjukan pola yang berbeda dibandingkan dengan
nilai fluks CO2 pada pemberian paraquat. Hari ke-1 inkubasi nilai fluks CO2 sebesar
0,070 mg/m2/sec, kemudian menurun pada hari ke-2 sebesar 0,003 mg/m2/sec. Fluks
CO2 kembali meningkat pada hari ke-4 sebesar 0,005 mg/m2/sec, dan menurun pada
hari ke-5 yaitu sebesar 0,003 mg/m2/sec. Hari inkubasi ke-7 fluks CO2 meningkat
sebesar 0,005 mg/m2/sec.
Tabel 9. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol
Hari Inkubasi
Fluks CO2 (mg/m2/sec)
1
2
4
5
7
0,007
0,003
0,005
0,003
0,005
Fluks CO2 pada perlakuan bahan gambut dengan insektisida BPMC (Tabel 10)
menunjukan pola yang hampir sama dengan perlakuan difenoconazol. Pada hari ke-1
inkubasi fluks CO2 sebesar 0,020 mg/m2/sec, kemudian menurun pada hari ke-2
inkubasi yaitu sebesar 0,002 mg/m2/sec. Fluks CO2 meningkat pada hari ke-4 sebesar
0,007 mg/m2/sec, dan menurun pada inkubasi hari ke-5 sebesar 0,002 mg/m2/sec.
Peningkatan fluks CO2 kembali terjadi pada
inkubasi ke-7 yaitu sebesar 0,015
mg/m2/sec.
Tabel 10. Fluks CO2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC
Hari inkubasi
1
2
4
5
7
Fluks CO2 (mg/m2/sec)
0,020
0,002
0,007
0,002
0,015
25
Pada pengukuran fluks CO2 perlakuan kontrol (Tabel 11) terlihat bahwa
mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan
pestisida.
Tabel 11. Fluks CO2 dari Kontrol Bahan Gambut
Hari inkubasi
Fluks CO2 (mg/m2/sec)
1
2
4
5
7
0,52
4,07
8,41
0,82
0,40
Hal ini menunjukkan bahwa emisi CO2 pada perlakuan kontrol lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan pestisida atau proses dekomposisi pada perlakuan
kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pestisida. Hal ini menunjukkan
bahwa pesisida mampu menekan aktivitas mikroba dekomposer, sehingga emisi CO2
dari proses dekomposisi menurun drastis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pestisida mampu menekan proses dekomposisi pada tanah gambut.
Fluks CO2 dipengaruhi oleh produksi dan transpor CO2, gas CO2 dilepaskan ke
atmosfer dengan cara difusi dan aliran masa (Moren and Lindorth, 2000). Produksi
CO2 akan menurun dengan adanya pengasaman karena difusi gas terhambat (Sitaula
et al., 1995). Hasil pengukuran pH pada berbagai perlakuan yang dicobakan disajikan
pada Lampiran 1. Secara umum nilai pH pada perlakuan BPMC lebih rendah jika
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan perlakuan Paraquat dan Difenoconazol
memiliki nilai pH yang lebih tinggi.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Perlakuan pestisida efektif menurunkan fluks emisi CO2 pada inkubasi
terbuka.
2. Fluks CO2 pada inkubasi terbuka umumnya memiliki pola yang tidak berbeda
pada perlakuan dengan pestisida serta nilainya lebih rendah jika dibandingkan
dengan kontrol.
3. Perubahan konsentrasi CO2 pada inkubasi tertutup relatif rendah pada hari ke
1 sampai ke 5 dan terjadi peningkatan konsentrasi sangat tinggi pada hari ke 5
dan ke 7.
4. Perlakuan dengan herbisida paraquat konsentrasi CO2 yang terukur pada
inkubasi hari ke-7 sebesar 6282.98 sedangkan pada perlakuan fungisida
difenoconazol konsentrasi CO2 yang terukur sebesar 5043.72 ppm dan
perlakuan dengan insektisida BPMC konsentrasi CO2 yang terukur 5112.69
ppm.
5. Pada perlakuan inkubasi terbuka fluks CO2 yang dihasilkan pada inkubasi hari
ke-7 dengan pemberian herbisida paraquat adalah 0.009 mg/m2/sec Sedangkan
dengan pemberian insektisida difenoconazol 0.005 mg/m2/sec pemberian
BPMC 0.015 mg/m2/sec.
6. Dosis aplikasi yang rendah serta waktu inkubasi yang singkat belum dapat
menurunkan konsentrasi CO2 pada tanah gambut secara nyata.
5.1. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap total mikroorganisme tanah
setelah dilakukan pemberian pestisida, serta waktu inkubasi yang lebih lama dan
dosis aplikasi yang lebih tinggi untuk dapat melihat secara signifikan pengaruh
pemberian pestisida terhadap konsentrasi dan fluks CO2.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon Pada Lahan Gambut ;
Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Indonesian Soil and
Water Conservation Society.
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Bogor, Indonesia: Balai Penelitian Tanah dan World
Agroforestry Centre (ICRAF).
Agus, F., K Hairiah, dan A Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah
Gambut. Petunjuk Praktis. Bogor, Indonesia: World Agroforestry CentreICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 58 hlm.
Anonim. 2010. Apa Itu Pestisida?. http://epetani.deptan.go.id/node/apa-itu-pestisida1528. [4 Juli 2012]
Arce, F., A.C Iglesias, R Lopez, D Gondar, Antelo, and J. S. Fiol. 2011. Interactions
Between Ionic Pesticides and Model Systems For Soil Fractions. Dalam:
Stoytcheva, M (Editor). Pesticides in The Modern World - Risks and
Benefits. Croatia: InTech. hlm 472-488.
Bartha, R., R.P Lanzilotta, D Pramer. 1967. Stability and effects of some pesticide in
soil. Applied Microbiology 15(1): 67-75.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. Suatu
Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian.
IPB.
Kartikawati, R., H.L Susilawati, M. Ariani, P. Setyanto. 2011. 21-27 September
2011. Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah;
Pencegahan Gas Rumah Kaca. Sinar Tani: 7.
Kabupaten Pulang Pisau. 2012. http://www.pulangpisaukab.go.id /index. php/
gambaran-wilayah-menulink-35. [11 September 2012].
Kementrian Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan
Beredar. Direktorat Jenderal Sarana Dan Prasarana Pertanian, Direktorat
Pupuk Dan Pestisida. hlm: 6-8.
28
Li, H., J Brian, T Cliffand, and A Stephen. 2003. Sorption and desorption of
pesticides by clay minerals and humic acid-clay complexes. Soil Sci. Am.J
67(1):122-131.
Maas, A., S Kabirun. dan S Nuryani. 2000. Laju dekomposisi gambut dan dampaknya
pada status hara pada berbagai tingkat pelindian. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan 2(1): 23-22.
Moren, A.S and A Lindorth. 2000. Carbon dioxide exchange at the floor of boreal
forest. Agricultural and Forest Meteorology 101:1-14.
Muktamar, Z., T Rahma, dan N Setyowati. 2006. Adsorbsi herbisida paraquat oleh
tanah Dystrandep, Paleudult, dan Psamment pada berbagai konsentrasi NaCl
dan MgCl2. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 8.
Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Yogyakarta:
Kanisius.
________. 2009. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat
reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan
2: 1-15.
Rahayuningsih, E. 2009. Analisis Kuantitatif Perilaku Pestisida di Tanah. Jurusan
Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada
University Press.
Sahid, I., A Hamzah, and P.M. Aris. 1992. Effects of paraquat and alachlor on soil
microorganisms in peat soil. Universiti Kebangsaan Malaysia. Pertanika
15(2):121-125.
Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut Yang disawahkan dengan
pemberian ameliorant tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi, Program
Pascasarjana, IPB. Bogor.
Setyanto, P. 2008. Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari
LahanPertanian.http://old.litbang.deptan.go.id/artikel/one/207/pdf/Perlu%20
Inovasi%20Teknologi.pdf. [29 Mei 2012]
Sitaula, B.K., L.R. Bakken, G Abrahamsen, 1995. N-fertilization and soil
acidification effects on N2O and CO2 emisssion from temperate pine forest
soil. Soil Biol Biochem 27(11): 401-1408.
29
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penenlitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.
Sriyani, N., dan A.K Salam. 2008. Penggunaan metode bioassay untuk mendeteksi
pergerakan herbisida pascatumbuh paraquat dan 2,4-D dalam tanah. Jurnal
Tanah Tropika 13(3): 199-208.
Widyati, E., dan T Rostiwati. 2010. Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut Untuk
Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut. Buku Mitra Hutan Tanaman Vol 5
No. 2, 57-68. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan
Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor
LAMPIRAN
31
Lampiran 1. Grafik nilai pH setelah Inkubasi
a.
Inkubasi Tertutup
6.00
5.00
pH Tanah
4.00
paraquat
difenoconazol
3.00
BPMC
2.00
tanah
1.00
0.00
1
2
4
5
7
Hari Inkubasi
Inkubasi Terbuka
paraquat
4.80
difenoconazol
4.70
BPMC
4.60
tanah
4.50
nilai pH
b.
4.40
4.30
4.20
4.10
4.00
3.90
1
2
4
hari inkubasi
5
7
32
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Fluks CO2 pada Inkubasi Terbuka
perlakuan
T
chamber
(0C)
h chamber
(cm)
Linear Equo
Regression
(R2)
Air
Pressure(kPa)
dCc/dt
Lin
CO2 fluxes
Lin
(μmol/m2/sec)
CO2
fluxes Lin
(g/m2/sec)
CO2 fluxes
Lin
(mg/m2/sec)
CO2
fluxes Lin
(t/ha/th)
P1H
27
22,2
y = 0.030x + 458.6
R² = 0.669
100,96
0.030
0,27
0,000012
0,012
3,75
P2H
28
22,3
y = 0.012x + 440.0
R² = 0.306
100,96
0.012
0,11
0,000005
0,005
1,50
P4H
27
22,4
y = 0.020x + 421.9
R² = 0.038
100,93
0.020
0,18
0,000008
0,008
2,52
P5H
27
21,7
y = 0.034x + 454.6
R² = 0.434
100,91
0.034
0,30
0,000013
0,013
4,14
P7H
27
22,7
y = 0.022x + 445.0
R² = 0.531
100,92
0.022
0,20
0,000009
0,009
2,80
D1H
26
21,7
y = 0.018x + 433.4
R² = 0.724
100,96
0.018
0,16
0,000007
0,007
2,20
D2H
27
23,2
y = 0.008x + 438.1
R² = 0.256
100,89
0.008
0,07
0,000003
0,003
1,04
D4H
27
22,5
y = 0.013x + 461.5
R² = 0.435
100,86
0.013
0,12
0,000005
0,005
1,64
D5H
27
22,6
y = 0.008x + 467.2
R² = 0.486
100,87
0.008
0,07
0,000003
0,003
1,02
D7H
28
23,4
y = 0.013x + 486.0
R² = 0.136
100,88
0.013
0,12
0,000005
0,005
1,70
B1H
28
22,7
y = 0.050x + 481.3
R² = 0.837
100,84
0.050
0,46
0,000020
0,020
6,36
B2H
28
22,9
y = 0.004x + 546.1
R² = 0.104
100,83
0.004
0,04
0,000002
0,002
0,51
B4H
28
24,7
y = 0.017x + 446.8
R² = 0.266
100,81
0.017
0,17
0,000007
0,007
2,35
B5H
28
24,1
y = 0.004x + 512.1
R² = 0.150
100,78
0.004
0,04
0,000002
0,002
0,54
B7H
28
23,1
y = 0.037x + 477.9
R² = 0.616
100,78
0.037
0,34
0,000015
0,015
4,78
T1H
29
23,5
y = 0.004x + 424.9
R² = 0.106
100,75
0.004
0,04
0,000002
0,002
0,52
T2H
28
23,5
y = 0.031x + 494.4
R² = 0.498
100,74
0.031
0,29
0,000013
0,013
4,07
T4H
28
24,3
y = 0.062x + 419.7
R² = 0.799
100,73
0.062
0,61
0,000027
0,027
8,41
T5H
28
24,3
y = 0.006x + 457.1
R² = 0.055
100,71
0.006
0,06
0,000003
0,003
0,82
T7H
28
23,6
y = 0.003x + 469.0
R² = 0.070
100,75
0.003
0,03
0,000001
0,001
0,40
Keterangan : P= Paraquat, D= Difenoconazol, B= BPMC, T=kontrol Tanah, 1H= inkubasi 1 hari, 2H= inkubasi 2 hari, 4H=inkubasi 4 hari, 5H= inkubasi
5hari, 7H= inkubasi 7 hari
32
Download