Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA BALOK GARIS BILANGAN DALAM TATANAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TERHADAP HASIL BALAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN 164 PEKANBARU (The Effect of Balok Garis Bilangan in Cooperative Learning Towards Mathematic Achievement of Fourth Grade of SDN 164 Pekanbaru) Oleh: Jalinus*) & Jesi Alexander Alim*) *) Dosen FKIP Pendidikan Matematika Universitas Riau ABSTRACT The goal of the research is to know in deep the difference of learning Mathematic achievement between the one who learn by using Balok Garis Bilangan in cooperative learning and the one who not learn with it. This is an experimental research by comparing the achievement of experiment class and control class. The result shows that there were significant difference score between experiment class and control class. The average score for experiment class after treatment was 71.58. Meanwhile the average score for control class was 46.06. T-test was higher than T- table (5.47> 2.66). Thus, in the end of the research the score between the two was not same. Therefore, teachinglearning Math for Bilangan bulat need to apply and use Balok Garis Bilangan, so was cooperative learning is used to activate students such what constructivism paradigm wanted. PENDAHULUAN Hakikat pembelajaran matematika menurut Soedjadi dalam Heruman (2008:1), yaitu memiliki objek dan tujuan yang abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Dari usia perkembangan kognitif, siswa Sekolah Dasar masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera, karena menurut Piaget dalam Heruman (2008:1) siswa Sekolah Dasar masih berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Menurut Heruman (2008:2) tujuan akhir pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai 121 konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Untuk itu, maka diperlukan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak hanya hafalan atau mengingat fakta saja, karena hal ini akan mudah dilupakan siswa. Seperti pepatah Cina yang mengatakan, “Saya mendengar maka saya lupa, saya melihat maka saya tahu, dan saya berbuat maka saya mengerti”. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas pengajaran yang dilaksanakan. Guru harus memikirkan dan membuat perencanaan yang dapat memberikan rangsangan kepada siswa untuk terlibat Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 langsung dalam proses pembelajaran karena siswa adalah subjek utama dalam belajar. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaitannya dengan sifat-sifat murid, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif seperti motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya. Wiliam James dalam Usman (2007:27) melihat bahwa minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keaktifan belajar siswa. Jadi, minat merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Hasil wawancara dengan beberapa guru yang mengajar di guru SDN 164 Pekanbaru mereka mengajar jarang menggunakan media. Pada kegiatan awal guru membuka pelajaran menjelaskan materi lalu memberi contoh setelah itu memberi latihan sesuai dengan contoh tanpa ada menggunakan media. Dalam proses pembelajaran siswa jarang dikelompokan, siswa hanya bekerja secara individu. Dengan belajar secara kelompok banyak hal yang didapat oleh siswa. Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Eggen dan Kauchak dalam Trianto,2007:42). Selanjutnya Sanjaya (2008: 242) menyatakan kooperatif adalah suatu model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan / tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik , jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Menurut Ibrahim, dkk (2000: 6) ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: 1). Siswa bekerjasama dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya, 2) Kelompok terbentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, 3) Bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, dan jenis kelamin berbeda-beda Dari prinsip prosedur pelaksaan pembelajaran kooperatif di atas, maka proses pembelajaran kooperatif dapat dilaksanakan dalam beberapa langkah utama yaitu sesuai pada tabel berikut: Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase Aktifitas Guru Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang Fase- 1 Menyampaikan tujuan dan ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi memotivasi siswa siswa belajar Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan Fase- 2 Menyajikan informasi jalan demonstrasi atau lewat bacaan Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya Fase- 3 Mengorganisasikan siswa ke membuat kelompok belajar dan membantu setiap dalam kelompok kooperatif kelompok agar melakukan transisi secara efesien Guru membimbing kelompok belajar pada saat Fase- 4 Membimbing kelompok bekerja mereka mengerjakan tugas mereka dan belajar Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang Fase- 5 Evaluasi telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil belajarnya Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik Fase- 6 Memberikan penghargaan upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok Sumber : Ibrahim, dkk dalam Trianto (2007: 48) 122 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk menerapkan pembelajaran melalui media balok garis bilangan dalam tatanan pembelajaran kooperatif hasil balajar matematika siswa kelas IV SDN 164 Pekanbaru. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini berbentuk eksperimen dengan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Menurut Ruseffendi (2005: 35) penelitian eksperimen atau percobaan adalah penelitian yang benarbenar untuk melihat hubungan sebabA A O X O Ruseffendi (2005:53). Keterangan : O: Pretest dan Postest (tes hasil belajar), X: Perlakuan pembelajaran dengan media balok garis bilangan dalam tatanan pembelajran kooperatif. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN 164 Pekanbaru yang terdiri dari 2 kelas, kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dilakukan pengambilan sampel secara acak dengan teknik random sampling . Penelitian dilakukan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu tahap penyiapan komponen-komponen pembelajaran, tahap implementasi pembelajaran (eksperimen), dan tahap pengolahan dan penulisan hasil penelitian. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan empat macam instrumen, yaitu soal tes hasil belajar, format observasi selama proses pembelajaran, dan skala sikap siswa terhadap pembelajaran dengan penerapan media balok garis bilangan dalam tatanan pembelajaran kooperatif 123 akibat. Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran dengan media balok garis bilangan dalam tatanan pembelajran kooperatif. Sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran biasa dengan metode ekspositori. Pengelompokan subjek dilakukan secara acak. Disain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain kelompok kontrol pretes-postes. Disain penelitian tersebut berbentuk: O O Soal tes hasil belajar digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman matematik siswa. Dalam penyusunan soal ini, terlebih dahulu disusun kisi-kisi soal, yang dilanjutkan dengan menyusun soal-soal, membuat kunci jawabannya dan pedoman penskoran tiap butir soal. Format observasi digunakan untuk mengukur aktifitas siswa selama proses pembelajaran dan pada waktu tes individu diberikan. Terdapat dua jenis data yang dianalisis, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemahaman matematik siswa dan data kualitatif berupa hasil observasi dan skala sikap siswa. Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya peningkatan hasil belajar matematik siswa berdasarkan data primer hasil tes siswa sebelum dan setelah perlakuan penerapan pembelajaran dengan dengan media balok garis bilangan dalam tatanan pembelajaran kooperatif. Data dianalisa Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 dengan cara membandingkan skor pretes dan postes. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji perbedaan rata-rata, dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus k x x i 1 i , Ruseffendi (1998: 76) n 2. Menghitung standar deviasi pretes dan postes menggunakan rumus: s 1. 2. 3. t ( xi x ) 2 , Ruseffendi (1998: 123) n i 1 Menguji normalitas data skor pretes dan postes, dengan uji Chi Kuadrat f f o 2 Ruseffendi (1998; 283) 2 e fe f0 = frekwensi observasi fe = frekwensi estimasi Menguji homogenitas varians menggunakan rumus s2 , Ruseffendi (1998: 295) Fmaks besar 2 s kecil Jika sebaran data normal dan homogen, uji signifikansi dengan statistik uji t berikut: xe x k dengan df = nx + ny –2, dan 1 1 2 s x y ( ) nx n y k varians s 2 x y s x2 (n x 1) s y2 (n y 1) , (Ruseffendi, 1998:315) nx n y 2 Apabila data yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan tidak Aktivitas Guru Dan Siswa homogen, maka pengujiannya Peningkatan aktivitas guru setiap menggunakan uji non parametrik pertemuan meningkat pada tiap pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney pertemuan pada pertemuan pertama atau uji Wilcoxon (Ruseffendi, 1998). nilainya adalah 77,5%, meningkat ke pertemuan kedua sebanyak 5% menjadi 82,5%, pada pertemuan yang ketiga HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pembelajaran meningkat lagi sebanyak 3,2% menjadi dengan media balok garis bilangan 85,7%. Penjelesan tersebut dapat dalam tatanan pembelajaran kooperatif diambil kesimpulah bahwa, aktivitas siswa kelas IV SDN 164 Tahun guru terrjadi peningkatan di setiap Pelajaran 2013/2014 Pada materi pokok pertemuannya. operasi hitung penjumlahan dan Peningkatan aktivitas siswa setiap pengurangan pecahan pada setiap pertemuan meningkat pertemuan siklus. pertama 71,8%, meningkat ke pertemuan kedua sebanyak 3,2% menjadi 75%, pertemuan ketiga juga 124 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 mengalami peningkatan 6,3% menjadi 81,3,%. Dari penjelasan tersebut artinya aktivitas siswa mengalami peningkatan di setiap pertemuannya. Tanggapan siswa terhadap penggunaan media balok garis bilangan dalam pembelajaran materi Bilangan Bulat setelah dianalisis 90% siswa menanggapi pembelajaran menggunakan Balok Garis Bilangan dapat melatih mereka belajar lebih mengerti dan kreatif sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dari hasil analis data, hasil penelitian menunjukan bahwa hasil belajar siswa pada materi Bilangan Bulat meningkat, hal ini ditandai dari skor dan nilai yang diperoleh siswa setelah diberi perlakuan dengan menggunakan Balok Garis bilangan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai rata rata yang diperoleh oleh kelas eksperimen dan kontrol yaitu 71,58 dan kelas kontrol hanya 46,03 dan lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dan II diagram histogram batang untuk lebih meyakinkan dapat dilihat dari hasil uji t yaitu nilai t hitung lebih dari t tabel. Tabel 2. Hasil Belajar Pretes Kelas eksperimen dan kelas kontrol Rata-Rata Dan Deviasi Baku Nilai Pretest Kelas IV.A Dan IV.C Pada Materi Bilangan Bulat Di SDN 164 Pekanbaru Kelas N Rata-Rata Deviasi Baku Minimum Maksimum EKSPERIMEN 39 38,8 20,05 0 80 KONTROL 41 41,12 21,51 0 87 Tabel 3. Hasil Belajar Postes Kelas eksperimen dan kelas kontrol Rata-Rata Dan Deviasi Baku Nilai Pretest Kelas IV.A Dan IV.C Pada Materi Bilangan Bulat Di SDN 164 Pekanbaru Kelas N Rata-Rata EKSPERIMEN 39 KONTROL 125 41 Deviasi Baku Minimum Maksimum 38 71,58 23,18 20 42 46,03 19,3 13,33 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 Dari daftar distribusi t dengan peluang 0,99 dan dk=78, didapat t0,99=2,66. Dari penelitian didapat t=5,47 dan ini lebih besar dari t=2,66. Jadi H0: µ1= µ2 ditolak, dengan kata lain, kedua rata-rata skor/nilai postes adalah tidak sama (ada perbedaan yang signifikasn). Jadi pada akhir penelitian ini skor/nilai siswa dalam pembelajaran bilangan bulat antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah tidak sama KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan Madia Balok Garis Bilangan di dalam pembelajar Bilangan Bulat efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa kelas 4 SDN 164 Pekanbaru Riau. Efektifitas yang dicapai dalam penelitian ini adalah dapat meningkatkan aktivitas Pengajar dan siswa dalam pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada materi Bilangan Bulat. Dilihat dari kesimpulan maka saran dari penelitian ini adalah diharapkan. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan Balok Garis Bilangan dalam penelitian ini berdampak positif terhadap pemahaman/penguasaan siswa pada materi Bilangan Bulat . Untuk itu disarankan kepada peneliti/guru yang tertarik dengan menggunakan Media Balok Garis Bilangan agar dapat merancang atau memodifikasi pembelajaran untuk topik yang sama atau topik yang lain. DAFTAR PUSTAKA Heruman.2008.Model Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press. Trianto, 2007. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif : Konsep, Landasan, Dan Implementasi Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta : Prenada Media Group. Usman, U. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya. 126 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 PERANAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH (The Role of Teaching Problem Based Learning to Develop Students Mathematic Communication Skill) Oleh: Zetriuslita*) *) Dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UIR ABSTRACT Mathematic Communication skill is an important skill for Mathematic learners, in fact todays teaching learning math rarely focus on it. Thus, this competence is still categorised into low. Therefore, the research purpose is to expose theoretically about mathematic communication skill into teaching problem based learning approach, which is assumed having strong contribution on it. The analysis shows that mathematic communication skill can be develop through teaching problem based learning approach. It trains mathematic communication skill to its higher thinking level. Through mathematic communication, students can organizer their math thinker verbal and nonverbal. Here, teaching problem based learning can develop mathematic communication skill indicators. In conclusion, Problem based learning can develop mathematic communication to be a higher thinker. Keywords: Mathematic,communication, problem based learning PENDAHULUAN Pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan agar manusia dapat memiliki keterampilan dan mengembangkan dirinya dalam menjalani hidup bermasyarakat. Salah satu penguasaan yang diperlukan adalah penguasaan di bidang matematika. Menyikapi hal ini, penguasaan matematika tidak cukup hanya dimiliki oleh sebagian orang saja. Setiap individu perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu untuk dapat berkiprah di masyarakat, sebagai warga negara, Penguasaan yang dimaksud bukanlah penguasaan matematika sebagai ilmu, melainkan penguasaan akan kecakapan matematika. Penguasaan matematika seperti ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kecakapan hidup dan diperlukan untuk dapat memahami 127 dunia di sekitarnya, mampu bersaing, dan berhasil dalam karir (Herman, 2007:1). Salah satu penguasaan dalam kecakapan matematika adalah kecakapan dalam mengkomunikasikan matematika itu sendiri dalam istilahnya dinamakan kemampuan komunikasi matematis. Menurut Suriasumantri (1980) dalam PPPG Matematika tahun 2004 bahwa matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan (Depdiknas 2004) . Dapat dipahami bahwa matematika tidak dapat dipisahkan dari komunikasi itu sendiri Komunikasi matematis adalah cara untuk menyampaikan ide-ide pemecahan masalah, strategi mapun solusi matematika secara lisan maupun tulisan. (Herdian,2013). Kemampuan komunikasi dalam matematika adalah kemampuan siswa membaca wacana Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 matematika dengan pemahaman, mampu mengembangkan bahasa dan simbol matematika sehingga dapat mengkomunikasikan secara lisan dan tulisan, mampu menggambarkan secara visual dan merefleksikan gambar atau diagram ke dalam ide matematika, mampu merumuskan dan mampu memecahkan masalah melalui penemuan (Tanti,2007). Melalui komunikasi, siswa dapat mengeksplorasi dan mengkonsolidasikan pemikiran matematisnya, pengetahuan dan pengembangan dalam memecahkan masalah dengan menggunakan bahasa matematis dapat dikembangkan sehingga komunikasi matematis siswa dapat dibentuk. Menurut Hirschfeld (2008) dalam Pratiwi,dkk (2013) bahwa komunikasi adalah bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika. Untuk mencapainya, perlu mengembangkan pembelajaran matematika yang membangun komunikasi dan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Ini sejalan dengan tujuan umum pembelajaran matematika yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); (2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); (3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); (5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics) (NCTM ,2000 dalam Somakin ,2007) Tujuan umum di atas juga sejalan BSNP (2006:346) bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Namun kenyataan di sekolah menengah, pengembangan kemampuan komunikasi matematis ini tidak begitu mendapat perhatian, baik dari guru maupun dari pihak sekolah, sehingga berdampak pada kompetensi siswa yang rendah. Dari hasil penelitian sebelumnya dan analisis di lapangan, ada beberapa masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran yang berhubungan dengan rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa. Masalahnya diantaranya yaitu seperti hasil penelitian berikut ini : 1) Siswa sulit menuliskan atau memodelkan apa yang diketahui, yang ditanya dari soal yang diberikan. 2) Siswa mengalami kesulitan dalam mengomunikasikan secara lisan alasan dari apa yang mereka lakukan (Izzati, 2010) 128 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 3) Siswa sulit mengomunikasikan informasi visual terutama dalam mengomunikasikan sebuah lingkungan tiga dimensi (misalnya, sebuah bangunan terbuat dari balok kecil) melalui alat dua dimensi (misalnya, kertas dan pensil) atau sebaliknya (Herdian, 2013) 4) Siswa tampaknya kesulitan dalam mengartikulasikan alasan dan memahami bacaan (Osterholm,2006 dalam Pratiwi dkk,2012) 5) Kemampuan berkomunikasi secara matematis masih menjadi titik lemah siswa dalam pembelajaran matematika (Armiati (2011), Ibrahim (2011), Sabirin (2011) 6) Jika kepada siswa diajukan suatu pertanyaan, pada umumnya reaksi mereka adalah menunduk, atau melihat kepada teman yang duduk di sebelahnya. Mereka kurang memiliki kepercayaan diri untuk mengomunikasikan ide yang dimiliki karena takut salah dan ditertawakan teman (Fauzan, 2008 dalam Izzati,2010). Lebih jauh Fauzan (2008 dalam Izzati,2010) mengemukakan rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa disebabkan oleh praktik pembelajaran di sekolah yang menunjukkan adanya “pergeseran” tujuan pembelajaran matematika. Guru-guru matematika cenderung “melupakan” tujuan yang tercantum dalam kurikulum sewaktu merancang pembelajaran. Akibatnya, indikatorindikator pencapaian yang dirumuskan dalam rencana pembelajaran lebih banyak berbentuk pemahaman faktafakta dan konsep-konsep matematik. Di samping itu, guru juga lebih terfokus untuk menyajikan materi dan soal-soal yang kiranya nanti akan muncul dalam ujian (dalam ujian blok, ujian semester, dan UAN), yang 129 biasanya miskin dengan soal- soal komunikasi. Dari masalah-masalah yang dikemukakan dan tujuan yang diharapkan ada titik temunya, artinya masalah dapat diselesaikan sehingga gap antara harapan dan masalah yang ada dapat diselesaikan. Salah satu alternatif yaitu melaksanakan suatu pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis, yaitu pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dan pembelajaran berpusat pada siswa, salah satunya adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) PBM adalah pembelajaran konstruktivis yang berpusat pada siswa berdasarkan analisis, pemecahan dan diskusi dari masalah yang diberikan (Cazzola, 2008:1). Juga PBM adalah salah satu pendekatan yang berpusat pada siswa yang mengajak siswa dalam penyelidikan masalah kompleks otentik. Dalam PBM, siswa mempelajari isi pokok bahasan dengan mengidentifikasi dan memecahkan masalah otentik disiplin (Levin, 2001; Hallinger, 2005;Peggy A Ertmer 2005-2006). Pendekatan yang paling sesuai berkaitan dengan mencapai tujuan ini dalam proses belajar mengajar adalah pembelajaran berbasis masalah (PBM). Dasar PBM berakar pada prinsip Dewey "learning by doing and experiencing” (Dewey, 1938; Orhan Akınoğlu and Ruhan Özkardeş Tandoğan, 2006). Model PBM ini juga bertolak dari teori belajar kognitif Piaget yaitu belajar didasarkan kepada tahap perkembangan siswa dan teori belajar Bruner yang menyatakan bahwa belajar didasarkan pada tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik serta Teori CTL John Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 Dewey yaitu 1) mengkaitkan bahan pelajaran dengan situasi dunia nyata, 2) mendorong siswa menghubungkan yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari, pengalaman sesungguhnya dan penerapannya/manfaatnya, 3) strategi: authentic, inkuiri, praktek kerja, pemecahan masalah. Dalam kurikulum 2013, PBM merupakan salah satu model pembelajaran yang diharapkan digunakan guru dalam pembelajaran di samping model pembelajaran berbasis proyek (PjBL) dan Discovery Learning (DL). PBM merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan PBM, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). 1) Dengan PBM akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. Dalam situasi PBM, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Langkah-langkah PBM yang disampaikan oleh Dewey dalam Komalasari (2013) yang memaparkan 6 langkah yaitu: 1. Merumuskan masalah. Guru membimbing siswa untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan dalam proses pembelajaran, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan masalah tersebut. 2. Menganalisis masalah. Langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. 3. Merumuskan hipotesis. Langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. 4. Mengumpulkan data. Langkah siswa mencari dan menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah. 5. Pengujian hipotesis. Langkah siswa dalam merumuskan dan mengambil kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan 6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah. Langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan. Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta mencatat masalah-masalah yang muncul.Setelah itu tugas guru adalah meransang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan pendapat yang berbeda dari mereka. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar diluar kelas. Siswa 130 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran. Kemampuan Komunikasi Matematis 1. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis a. Komunikasi matematika adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan (ILOs-The Intended Learning Outcomes, dikutip Armiati 2011) b. Komunikasi matematika adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksikan dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafis, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. (Soemarmo, 2013) c. Komunikasi matematis adalah cara untuk menyampaikan ide-ide pemecahan masalah, strategi, baik secara tertulis mapun secara lisan. d. Komunikasi matematis adalah kemampuan mengkonstruksi kemudian menyajikan ide-ide matematika secara grafis, katakata/tulisan, persamaan, tabel, dan atau gambar-gambar geometrik sehingga dapat dihasilkan pemecahan masalah yang dapat dipahami. 131 e. NCTM (2000) Komunikasi matematika adalah cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan menyampaikan dan mengkonstruksi ide-ide pemecahan masalah dengan menyajikan ide-ide tersebut secara grafis, model matematika, tabel dan persamaan baik secara tertulis maupun lisan. Ketika siswa tertantang untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka untuk lain secara lisan atau tertulis, mereka belajar untuk meyakinkan dengan jelas dan tepat dalam penggunaan bahasa matematika. Penjelasan harus mencakup argumen matematika dan alasan-alasan, bukan hanya deskripsi prosedural atau ringkasan. Mendengarkan penjelasan lain memberi peluang siswa untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Menurut Hirald dalam Pratiwi dkk (2011:526) bahwa melalui komunikasi, siswa dapat mengeksplorasi dan mengkonsolidasikan kemampuan pemikiran matematisnya. Komunikasi merupakan bagian dari matematika dan pendidikan matematika. Juga pernyataan ini didukung oleh Wahyudin (2008: 42-43) bahwa komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Melalui komunikasi, gagasan-gagasan menjadi objek-objek refleksi, penghalusan, diskusi dan perombakan. Para siswa mendapat kesempatan berbicara, menyimak, menulis dan membaca di dalam kelas-kelas matematika mendapat keuntungan ganda, mereka berkomunikasi untuk belajar matematika dan belajar berkomunikasi secara matematis. Pentingnya komunikasi Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 matematis, juga dikemukakan oleh Peressini dan Bassett (NCTM,1989). Mereka berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Ini berarti, komunikasi dalam matematika menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Memperkuat pendapat Guerreiro, Lindquist (NCTM,1989) mengemukakan, jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Ada dua alasan penting mengapa komunikasi menjadi salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Pertama, matematika pada dasarnya adalah sebuah bahasa bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya merupakan alat berpikir yang membantu kita untuk menemukan pola, memecahkan masalah dan menarik kesimpulan, tetapi juga sebuah alat untuk mengomunikasikan pikiran kita tentang berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas. Bahkan, matematika dianggap sebagai "bahasa universal" dengan simbol- simbol dan struktur yang unik. Semua orang di dunia dapat menggunakannya untuk mengomunikasikan informasi matematika meskipun bahasa asli mereka berbeda. Kedua, belajar dan mengajar matematika merupakan aktivitas sosial yang melibatkan paling sedikit dua pihak, yaitu guru dan murid. Dalam proses belajar dan mengajar, sangat penting mengemukakan pemikiran dan gagasan itu kepada orang lain melalui bahasa. Pada dasarnya pertukaran pengalaman dan ide ini merupakan proses mengajar dan belajar. Tentu saja, berkomunikasi dengan teman sebaya sangat penting untuk pengembangan keterampilan berkomunikasi sehingga dapat belajar berfikir seperti seorang matematikawan dan berhasil menyelesaikan masalah yang benarbenar baru. 2. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Indikator komunikasi matematis menurut Sumarmo (2013: 5): a. menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika. b. menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar c. menyatakan situasi ke dalam bahasa matematika d. mendengarkan, berdiskusi, dan menulis matematika e. membaca presentasi matematika tertulis f. membuat konjektur, argumen, mendefinikan dan generalisasi g. menjelaskan/bertanya tentang matematika. Sedangkan indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989: 214) adalah: a. Kemampuan mengekspresikan ideide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual; b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya. c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi 132 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubunganhubungan dan model-model situasi. PEMBAHASAN Dari latar belakang dan teori yang dikemukakan tentang kemampuan komunikasi matematis dan PBM, dapat dibahas beberapa hal bahwa 1) kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu komponen yang ada pada langkah kelima PBM yaitu bagaimana siswa menyajikan hasil karya mereka dengan mengomunikasikan secara lisan maupun tulisan. 2) Dalam langkah pertama PBM yaitu orientasi pada masalah, pada tahap ini dituntut kemampuan siswa memahami masalah yang diberikan. Paham tidaknya siswa dapat dilihat dari apa yang mereka tuliskan dan masalah yang diberikan, apakah dengan menggunakan simbol, model matematika atau grafik/diagram yang menggambarkan indikator kemampuan komunikasi matematis. 3) Dalam PBM juga siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasinya dengan menuliskan apa yang mereka pahami dari masalah matematika yang diberikan yaitu pada tahap orientasi pada masalah. Dari langkah-langkah PBM tersebut dapat dilihat bahwa jika PBM diterapkan dengan baik dan benar akan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis tersebut. Pernyatan ini didukung dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan PBM, komunikasi matematis, baik dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen atau pengajar di Perguruan Tinggi. diantaranya adalah: Armiati (2011), Ibrahim (2011), dan Sabirin (2011). Armiati (2011) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran, komunikasi 133 matematis dan kecerdasan emosional melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran Konvensional. Ibrahim. (2011) hasil penenlitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran dan pemecahan masalah matematis melalui PBM pada siswa sekolah menengah atas daripada pembelajaran konvensinal , juga Sabirin, (2011) menyimpulkan terdapat pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan representasi matematis siswa SMP. Dari ketiga peneliti ini mereka menyatakan bahwa kemampuan komunikasi, pemecahan masalah dapat dikembangkan dan ditingkatkan melalui PBM. Hasil penelitian Pratiwi, dkk (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah matematika sesuai dengan gaya kognitif pada siswa kelas IX SMP. Dari pembahasan dan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi dapat dikembangkan melalui PBM, karena memang tahap-tahap yang ada di PBM memungkinkan berkembangnya kemampuan komunikasi matematis siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penjelasan yang cukup terurai, baik latar belakang masalah, teori-teori tentang komunikasi matematis dan pembelajaran berbasis masalah (PBM), maka PBM merupakan salah satu pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi matematis ini merupakan salah satu kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (high order mathematical thinking). Untuk itu guru Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 diharapkan mempunyai keinginan dan motivasi yang kuat dan menambah pengetahuannya dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis untuk siswa dengan menerapkan salah satu pembelajaran yang konstruktivis dan berpusat pada siswa yaitu Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Siswa disarankan tidak malu-malu dalam menyampaikan ide-ide yang dimiliki, baik secara lisan dan tulisan. DAFTAR PUSTAKA Armiati. 2011. Meningkatkan Kemampuan Penalaran, Komunikasi Matematis Dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi: Doktor pada SPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan. Cazzola. 2008. Problem-Based Learning and Mathematics: Possible Synergical Actions. In L. G´omez Chova, D. Mart´ı Belenguer, and I. Candel Torres (Editors), ICERI2008 Proceeding (ISBN: 978-84-612-5091-2) Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Depdiknas. 2004 . Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. PPPG Matematika Yogyakarta Fakhrudin. 2012. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended. Tesis: Magister pada SPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan. Herdian. 2013 Kemampuan Komunikasi Matematika, [online], Tersedia http://herdy07.wordpress.com . Diakses 5 Desember 2014 Herman, T. 2007 Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Dipublikasikan pada Jurnal Educationist, 2009 Ibrahim. 2011. Peningkatan Retensi, Penalaran, Komunikasi Matematis Dan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi: Doktor pada SPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan Izzati, N. 2010. Komunikasi Matematik Dan Pendidikan Matematika Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, UNY, 27 Nov 2010, ISBN : 978-979-16353-5-6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013. Buku Guru Tematik Terpadu Kurikulum 2013. Depdikbud. Jakarta Komalasari, D. 2013 Pembelajaran Berbasis Masalah https://dinikomalasari. wordpress.com/2013/12/27/ pembelajaran-berbasis-masalahproblem-based - learningpbl/ NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: The National Councils of Teachers of Mathematics. Peggy A Ertmer, Krista D. Simons 2000-2005. Scaffolding Teachers’ Efforts to 134 Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570 Implement Problem-Based Learning. Purdue University. Permana, Y. 2010. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui model-eliciting activities: Disertasi. SPS Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak ditebitkan. Pratiwi. 2013. Kemampuan Komunikasi Matematis Dalam Pemecahan Masalah Matematika Sesuai Dengan Gaya Kognitif Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013 [Online]. Tersedia http://eprints.uns.ac.id/13055/1/32 5891811201302251.pdf diakses 20 Nopember 2014 Ramdhani, Sendi. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa. Tesis: SPS Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan. Sabirin. 2011. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi Dan Representasi Matematis siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi: Doktor pada SPS Universitas Pendidikan 135 Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan Santoso, F.I. 2012. Ketrampilan Berpikir Kreatif Matematis dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada Siswa SMP. Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.Shadiq, Fajar. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta: PPPG Matematika Yogyakarta. Sumarmo, U 2013. Kumpulan Makalah: Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Bandung: FPMIPA UPI. Syaban, M .2008. Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Investigasi. Disertasi pada SPs UPI Bandung. Dipublikasikan pada Jurnal Educationist, 2009 Tanti. Komunikasi Matematika, [online], Tersedia http://catatantanti.blogspot.com diakses 20 Nopember 2014 Wahyudin. (2008). Pembelajaran & Model-Model Pembelajaran (Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional). UPI Bandung