BAB II LANDASAN KONSEP A. Komunikasi Komunikasi merupakan

advertisement
BAB II
LANDASAN KONSEP
A. Komunikasi
Komunikasi merupakan kegiatan yang penting dalam kehidupan manusia,
bahkan mungkin sejak awal manusia keberadaan manusia itu sendiri. Kita
berkomunikasi karena kita ingin pesan yang kita sampaikan dapat dimengerti dan
dipahami oleh orang lain, begitu juga sebaliknya.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama.
Sama di sini maksudnya adalah sama makna.1 Komunikasi dapat berlangsung jika
ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Kesamaan bahasa yang
digunakan dalam percakapan belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan
kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu dapat mengerti makna yang
dibawakan oleh bahasa itu. Sebuah proses komunikasi dapat dikatakan komunikatif
apabila kedua-duanya, mengerti bahasa yang digunakan, mengerti pula makna dari
bahan pembicaraan.
Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi memiliki 5 unsur yang
menjawab Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?, yaitu,
komunikator
(communicator,
source,
sender),
1
pesan
(message),
media
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990,
hal 9.
5
(media,channel), komunikan (communicant, receiver, recipient), efek (effect, impact,
influence ).2
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
menimbulkan efek tertentu. Fungsi-fungsi komunikasi dan komunikasi massa dapat
disederhanakan menjadi: menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to
educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence).3
Onong membagi proses komunikasi menjadi dua tahap, yakni secara primer
dan sekunder.4 Proses Komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambing
(symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi
adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung
mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
Komunikasi merupakan paket isyarat, masing-masing memperkuat yang lain.
Bila isyarat komunikasi saling bertentangan, kita menerima pesan yang kontradiktif.
Komunikasi merupakan proses penyesuaiandan terjadi hanya jika komunikator
menggunakan sistem isyarat yang sama.5 Komunikasi bersifat transaksional.
2
ibid, hal 10.
Ibid, hal 26-31.
4
Ibid, hal 11.
5
Joseph A Devito, Komunikasi Antar Manusia, Jakarta: Profesional Books, 1997, hal 40-41.
3
6
Komunikasi merupakan proses, komponen-komponennya saling terkait dan
komunikator beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan yang utuh. 6
Kita mempersepsi manusia tidak hanya melalui bahasa verbal, melainkan
juga melalui bahasa nonverbal. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter:
“Komunikasi
nonverbal
menyangkut
semua
rangsangan
(kecuali
rangangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu
dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan
potensial bagi pengirim atau penerima; baik perilaku yang disengaja atau tidak
disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.”7
Kita tidak menyadari bahwa pesan-pesan nonverbal yang kita lakukan
bermakna bagi orang lain. Studi yang dilakukan oleh Albert Mahrabian (1971)
menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7 persen
dari bahasa verbal, 38 persen dari vocal suara dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia
juga menambahkan jika terjadi pertentangan antara apa yang di ucapkan seseorang
dengan perbuatannya, maka orang lain cenderung percaya pada hal-hal bersifat
nonverbal.8
6
Ibid, hal 47.
Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya,
2001, hal 308.
8
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 hal 108.
7
7
Proses Komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Menurut Littlejohn, definisi komunikasi massa merupakan:
“…the process whereby media organizations produce and transmit message
to large publiks and process by which those message are sought, used,
understood and influence by audience.” (proses dimana media memproduksi
dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan proses dimana pesanpesan dicari, digunakan, dipahami dan dipengaruhi oleh khalayak).9
Pesan dapat disampaikan melalui bahasa. Bahasa merupakan bagian dari
proses komunikasi. Komunikasi adalah human communications atau komunikasi
manusia. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna mampu
menggunakan kombinasi berbagai suara (bahasa) yang begitu rumit untuk
berkomunikasi. Penggunaan bahasa, yakni seperangkat symbol yang mewakili
peristiwa atau gagasan yang membedakan manusia dengan mahkluk lainnya dan
bahasa sebagai suatu sistem lambang mempunyai peranan penting dalam
pembentukan, pemeliharaan, atau pengembangan budaya masyarakat. 10
9
Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal 16.
Deddy Mulyana, Op. Cit, hal 42.
10
8
B. FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
Definisi ringkas dari komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan Harold Lasswell yaitu Who Says What In Which Channel To Whom With
What Effect atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan
Pengaruh Bagaimana?.11 Berdasarkan definisi Laswell ini dapat diturunkan menjadi
lima unsur penting komunikasi, yaitu:
a) Sumber (source) sering disebut pengirim (sender) atau penyandi
(encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), yaitu
pihak
yang
berinisiatif
atau
mempunyai
kebutuhan
untuk
berkomunikasi.
b) Pesan (message), yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber
kepada penerima
c) Saluran atau media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
d) Penerima
(receiver)
atau
sarana
(destination),
komunikate
(communicatee), penyandi-balik (decoder), khalayak (audience),
pendengar (listener), penafsir (interpreter), yaitu orang yang
menerima pesan dari sumber.
e) Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut.
11
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung, Remadja Rosdakarya, 2005), hal.
62-65.
9
Komunikator, dalam proses penyampaian pesan menggunakan media agar
bisa tersampaikan kepada komunikan. Media dari proses tersebut bisa bermacam –
macam jenisnya.
Salah satunya dalam film dokumenter , layaknya laporan jurnalisme, film
dokumenter mampu merekonstruksikan realitas sosial atau fakta - fakta ke dalam
simbol audio visual. Dalam hal ini pada film dokumenter memenuhi komponen
komunikasi itu sendiri yaitu, pembuat film merupakan sumber atau source yang
mengirimkan sebuah pesan. Pesan atau message yang dimaksud adalah sebuah ide
mengangkat sebuah realitas, atau suatu fakta – fakta ke dalam sebuah karya film
dokumenter yang mempunyai film statement. Film dokumenter berupa produk audio
visual yang dibuat tersebut adalah sebuah saluran atau media dari seorang pembuat
film untuk menyampaikan pesan kepada penonton filmnya.
Beberapa komponen tersebut, sebenarnya sudah dapat menunjang film
dokumenter yang berupa produk audio visual untuk bisa dikategorikan sebagai salah
satu media komunikasi.
C. SEKILAS TENTANG FILM DOKUMENTER
Sebagai salah satu media komunikasi yang berupa produk audio visual, film
dokumenter mempunyai sejarah dalam perkembangannya hingga saat ini. Selain itu
definisi dari film dokumenter itu sendiri berubah – ubah dari masa ke masa sejalan
dengan perkembangan film dokumenter.
10
Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere
bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun
1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata ‘dokumenter’ kembali digunakan
oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk Film Moana
(1962) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara
kreatif merepresentasikan realitas.12
Film dokumenter berbeda dengan film fiksi, menurut Ira Konigsberg
dokumenter ialah sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan nonfiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan
yang direkayasa. Film – film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu
tempat atau suatu aktivitas.13
Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung
subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap peristiwa.
Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan akan sangat
tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.14
Seorang pembuat film dokumenter lain yaitu DA. Peransi mengatakan
bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga
kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas,
12
Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan, Yogyakarta, 2002, hal. 11
Ira Konigsberg, The Complete Film Dictionary, Penguin (Non-Classics), 1998, Edisi Ke-2, halaman
103
14
Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996,
hal. 13
13
11
menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada
masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu.15 Dokumenter harusnya
dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film dokumenter ada
untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu.
Film dokumenter dengan menggunakan fakta sebagai bahan utamanya,
berkembang menjadi sebuah bentuk menyampaian pesan yang tidak hanya secara
faktual dan naratif, tapi juga argumentatif.
Kelebihan dari video atau media rekam audio visual lainnya adalah
kemampuannya yang bukan hanya sekedar menceritakan (to tell), tetapi juga
menunjukkan (to show). Sama dengan film fiksi, film dokumenter sebisa mungkin
dibuat dengan tujuan untuk membawa audiensnya ke dalam pengalaman sebagaimana
terlihat jikalau mereka berada di posisi yang sama. Unsur dramatik juga menjadi
bagian penting dalam film dokumenter.
Dalam film dokumenter, gaya atau bentuk pendekatan dapat dibagi ke dalam
beberapa bagian. Beberapa bagian ini
merupakan sebuah
ringkasan dari
perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Bagian tersebut adalah
Expository Documentary, Cinema Verite/ Direct Cinema Documentary, Reflexive
Documentary dan Performative Documentary.
Gaya Expository menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung,
baik melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya
15
Ibid , hal 15
12
akan berbicara sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran
bahwa mereka sedang menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung
terpisah dari cerita dalam film. Mereka cenderung memberikan komentar terhadap
apa yang sedang terjadi dalam adegan, ketimbang menjadi bagian darinya. Itu
sebabnya, pesan atau point of view dari expository dielaborasi lebih pada sound track
ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun berdasarkan kontinuitas waktu
dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada dokumenter yang
berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang
disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun
berdasarkan narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.16
Produksi film dokumenter gaya Cinema Verite atau Direct Cinema , jelas,
menuntut persiapan yang sangat sungguh – sungguh dan mantap. Analisis dan
perhitungan manajemen untuk lama waktu produksi dan biaya tidak boleh meleset.
Prinsipnya gaya ini, penyusunan skenario formal dianggap tidak penting, mengingat
yang diutamakan adalah peristiwa yang terjadi, bukannya kenapa atau bagaimana
jalannya cerita dari suatu peristiwa. Sepintas antara Cinema Verite dan Direct Cinema
terlihat adanya persamaan dan gaya. Yang membedakan di antara keduanya adalah:
dalam membangun dramatika atau konflik, Cinema Varite terlihat lebih agresif,
sementara Direct Cinema memilih pasif.17
16
Ilisa Barbash, Cross-Cultural Filmaking , Berkeley, University of California Press, 1997, Hal 17
17
Gerzon Ron Ayawaila, M.Sn, S.Sn, Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi, FFTV-IKJ PRESS,
Jakarta, 2008, hal 17
13
Dalam
Reflexive
Documentary,
Pada
1922,
Vertov
menampilkan
manifestasinya dengan sebutan Kino-Pravda. Dalam terjemahan harafiah Bahasa
Inggris sama dengan film truth. Film kebenaran. Vertov menyatakan, “kamera
merupakan mata film, dan film dokumenter bukan menceritakan sesuatu realitas
objektif, mekainkan suatu realitas berdasark an apa yang terlihat dan terekam dalam
film. “Mata film disebutnya Kim-Eye, Kino Glaz.18
Yang terakhir adalah Performative Documentary, menekankan aspek
subjektif atau ekspresif dari keterlibatan pembuat film sendiri dengan subjek;
berusaha untuk menaikkan respon penonton untuk terlibat. Menolak gagasan tentang
objektivitas dalam mendukung kebangkitan dan mempengaruhi.19
“If you read popular reviews or watch television coverage of entertainment,
you will notice that reporters make frequent reference to film’s genres,
because they know that most members of the public will easily grasps what
they are referring to.”20 (Jika anda membaca majalah populer atau menonton
televisi mengenai ulasan dunia hiburan, Anda akan menyadari bahwa
wartawan berkali-kali membuat genre film, karena mereka menyadari bahwa
anggota masyarakat akan lebih mudah menangkap film yang mereka
inginkan).
18
Ibid, hal 14
Bill Nichols, Introduction to Documentary, Indiana University Press, USA, 2010, hal 32
20
David Bordwell & Kristin Thompson, Film Art an Introduction, New York, McGraw – Hill
Companies. Inc, 2004, hal 110
19
14
Dalam film dokumenter juga dibagi lagi menjadi beberapa genre sama
halnya dengan film fiksi . Genre berasal dari bahasa Perancis, yang memiliki arti
jenis atau ragam. Mencuplik dari buku yang berjudul Dokumenter : Dari Ide Sampai
Produksi, Gerzon R. Ayawaila membagi genre film dokumenter menjadi dua belas
jenis, yaitu
a.
Laporan perjalanan
Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli
etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa
membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remehtemeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang
sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue,
travel film, travel documentary dan adventures film.
b.
Sejarah
Dalam film dokumenter, genre sejarah
menjadi salah satu yang
sangat kental aspek referential meaning-nya (makna yang sangat
bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data
sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan
datanya maupun penafsirannya.
c.
Potret/biografi
Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok
seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya
seseorang yang dikenal luas – di dunia atau masyarakat tertentu –
15
atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan
ataupun aspek lain yang menarik.
d.
Nostalgia
Film–film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun
biasanya banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari
kejadian–kejadian dari seseorang atau satu kelompok.
e.
Rekonstruksi
Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap
peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri
dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus
dibantu rekonstruksi peristiwanya
f.
Investigasi
Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi
jurnalistik. Biasanya aspek visualnya yang tetap ditonjolkan.
Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang ingin diketahui
lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak.
g.
Perbandingan dan kontradiksi
Dokumenter ini mengetengahkan sebuah perbandingan, bisa dari
seseorang atau sesuatu.
h.
Ilmu pengetahuan
Film dokumenter genre ini sesungguhnya yang paling dekat dengan
masyarakat Indonesia, jenis ini bisa terbagi menjadi sub-genre, yaitu
16
Film Dokumenter Sains, Film Instruksional. Dan genre ini yang
dipilih
penulis
untuk
menyajikan
film
dokumenter
tentang
performance art.
i.
Buku harian
Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber–genre ini juga
mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang
diceritakan kepada orang lain. Tentu saja sudut pandang dari tema–
temanya menjadi sangat subjektif sebab sangat berkaitan dengan apa
yang dirasakan subjek pada lingkungan tempat dia tinggal, peristiwa
yang dialami atau bahkan perlakuan kawan–kawannya terhadap
dirinya. Dari segi pendekatan film jenis memiliki beberapa ciri, yang
pada akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional.
Struktur ceritanya cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi
unsur suara lebih banyak digunakan serta seringkali mencantumkan
ruang dan waktu kejadian yang cukup detil.
j.
Musik
Sesuai namanya genre ini meceritakan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan musik. Genre musik memang tidak setua genre
yang lain, namun pada masa 1980 hingga sekarang, dokumenter jenis
ini sangat banyak diproduksi.
Film dokumenter sendiri memiliki fungsi secara umum sebagai media
menyampaikan suatu kebenaran. Selain itu secara spesifik film dokumenter dapat
17
menyampaikan suatu sudut pandang, suatu propaganda yang kuat, dan suatu konflik
kepentingan.
D. TAHAPAN PEMBUATAN DOKUMENTER
Dalam pembuatan film dokumenter, kejelian adalah hal yang pokok.
Sehingga diperlukan suatu pemikiran dan proses teknis yang matang. Suatu
produksi program film memerlukan tahapan proses perencanaan, proses produksi,
hingga hasil akhir produksi. Tahapan tersebut sering dikenal dengan Standard
Operation Procedure (SOP), yang terdiri dari:
1. Pra Produksi (ide, perencanaan, persiapan)
2. Produksi (pelaksanaan)
3. Pasca Produksi (Penyelesaian dan Penayangan)
I. Pra Produksi
Merupakan tahap awal dari proses produksi, termasuk didalamnya
adalah penemuan ide, pengumpulan bahan berupa data-data untuk mendukung
fakta atau subyek yang dipilih. Tahap pra produksi ini sangat penting karena
merupakan landasan untuk melaksanakan produksi dan harus dilakukan dengan
dengan rinci dan telliti sehingga akan membantu kelancaran proses produksi.
Jika tahap ini telah dilaksanakan secara rinci dan baik, sebagian dari produksi
yang direncanakan sudah beres.21 Kegiatan ini meliputi :
21
Fred Wibowo, Dasar-dasar Produksi Program Televisi, Grasindo, Jakarta, 1997, hal. 20
18
1. Memilih Subyek Film Dokumenter (choosing a subject)
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk memilih
subyek. Subyek film dokumenter bisa berhubungan dengan sejarah, mitos
atau legenda, sosial budaya, sosial ekonomi, atau yang lainnya.
Pertimbangan dipilihnya suatu subyek bukan hanya karena kebetulan
semata tetapi melalui proses panjang, melalui penelitian dan memiliki
dasar pemikiran yang kuat. Dalam sebuah film dokumenter, apa yang
disajikan mengandung subyektivitas pembuatnya, dalam arti sikap atau
opini pembuat film terhadap realita yang didokumentasikannya.
2. Riset (Research)
Riset (penelitian) adalah salah satu bagian terpenting sebelum
pembuatan film dokumenter. Riset digunakan untuk mendukung faktafakta tentang subyek yang telah dipilih. Riset dilakukan untuk
mendapatkan data-data yang bisa diperoleh melalui wawancara dengan
tokoh ahli, kepustakaan, media massa, internet, dokumen maupun sumber
lain.
Menurut Garin Nugroho, riset juga berhubungan dengan tema film.
Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana yang
menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk
visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus
dilakukan.
19
3. Mempersiapkan Detail Produksi
Mempersiapkan detail berarti menyiapkan segala hal yang
diperlukan agar proses produksi dapat berjalan lancar. Persiapan-persiapan
tersebut antara lain:
a. Data Teknis
b. Sinopsis atau tulisan ringkas mengenai garis besar cerita,
meliputi adegan adegan pokok dan garis besar pengembangan
cerita.22
c. Treatment, dapat dijabarkan sebagai perlakuan tentang hal-hal
yang dijabarkan dalam sinopsis. Sebuah uraian mengenai
segala urutan kejadian yang akan tampak di layar TV atau
Video. Uraian itu bersifat naratif, tanpa menggunakan istilah
teknis.23
d. Naskah atau skenario, yaitu cerita dalam bentuk rangkaian
sekuen dan adegan-adegan yang siap digunakan untuk titik
tolak produksi film, tetapi belum terperinci.
e. Shooting Script adalah naskah versi siap produksi yang berisi
sudut pengambilan gambar atau angle dan bagian-bagian
kegiatan secara rinci dan spesifik.
22
Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 117.
PCS. Sutisno, Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video, Grasindo, Jakarta, 1993. hal.
46.
23
20
f. Timetable Shooting atau penjadwalan Shooting yang berbentuk
Shooting Breakdown dan Shooting Schedule.
II. Produksi
Tahap ini merupakan kegiatan pengambilan gambar atau shooting.
Pengambilan gambar dilakukan berdasarkan shooting script dan shooting
breakdown dengan pengaturan jadwal seperti yang tercantum dalam shooting
schedule.
Beberapa istilah yang digunakan dalam pengambilan gambar atau
shooting antara lain :

Shot, adalah sebuah unit visual terkecil berupa potongan film yang
merupakan hasil satu perekaman.24

Camera Angle, atau biasa disebut sudut pengambilan gambar, adalah
posisi kamera secara relatif terhadap subyek dan obyek.

Sequence, atau serangkaian shot-shot yang merupakan satu kesatuan
yang utuh.

Scene, atau adegan adalah salah satu shot atau lebih dari suatu lokasi
atau action yang sama.
24
Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 116.
21

Close Up (CU), atau pengambilan terdekat. Tembakan kamera pada
jarak yang sangat dekat dan memeperlihatkan hanya bagian kecil
subyek, misalnya wajah seseorang.25

Long Shot (LS), shot jarak jauh yang kepentingannya untuk
memeperlihatkan hubungan antara subyek-subyek dan lingkungan
maupun latar belakangnya.

Medium Shot (MS), shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya
dibandingkan long shot. Bila obyeknya manusia, medium shot
menampilkan bagian tubuh dari pinggang ke atas.26

Medium Long Shot (MLS), atau disebut juga knee shot. Bila
obyeknya manusia, maka yang tampak adalah dari kepala sampai
lutut, bagian latar belakang tampak rinci. 27

Composition, merupakan teknik menempatkan gambar pada layar
dengan proporsional.

Pan, menggerakkan kamera ke kanan dan ke kiri pada poros (as)
horisontalnya.28

Tilt, gerakan kamera menunduk dan mendongak pada poros
vertikalnya.29
25
Ibid., hal. 112.
Ibid., hal. 115.
27
Ibid.,
28
Ibid.,
29
Ibid., hal. 117.
26
22

Tracking Shot, shot yang diambil dengan memindahkan kamera
mendekat ke subyek (track in) maupun menjauh dari subyek (track
out). Kamera bisa diletakkan diatas peralatan beroda karet yang
disebut dolly.30

Follow, adalah gerakan kamera yang mengikuti kemana obyek
bergerak.
III. Pasca Produksi
Pasca produksi bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari keseluruhan
proses produksi. Tahap ini dilaksanakan setelah semua pengambilan gambar
selesai. Tahap pasca produksi ini meliputi logging, editing, dan mixing.
Logging merupakan kegiatan pencatatan timecode hasil shooting, setelah
logging, dilakukan penyusunan gambar sesuai skenario atau shooting script
melalui editing. Setelah editing selesai dilakukan mixing gambar dengan suara.
Suara dapat berupa atmosfir, suara asli, background musik, atau narasi.
Akhirnya setelah melalui semua tahapan tersebut, film dapat dilepas ke publik.
Media agar film itu dapat sampai kepada ke publik pun bisa di pilih, mulai dari forum
diskusi kampus, festival, televisi, sampai bioskop sesuai keinginan Sang film maker
maupun tujuan dari pembuatan film dokumenter tersebut.
30
Ibid.,
23
E. SENI
Salah satu hal di dunia yang paling sulit untuk di definisikan adalah seni.
Bahkan dalam Special Committee on the Study of Art berpendapat bahwa seni
merupakan mata pelajaran yang lebih sukar dari matematika.31
Setiap manusia memiliki jiwa seni dalam hidupnya, bahkan beberapa filsafat
seni menyebutkan manusia dalam menjalani hidupnya itu adalah seni. Manusia tanpa
seni bisa di ibaratkan sebagai sebatang pohon kering yang tak mati, tanpa arah dan
tanpa tujuan. Seni adalah aktivitas manusia untuk mengungkapkan pengalaman
estetis ke dalam wujud lahiriah dengan tata susunan unsur yang indah, sehingga dapat
menimbulkan pengalaman baru bagi orang lain. Pengalaman estetik tersebut dapat
disalurkan ke dalam berbagai media.
Seni dapat dibagi menjadi beberapa bentuk cabang yakni, seni gerak, seni
suara, dan seni rupa. Seni gerak yang biasanya kita temukan seperti seni tari, teater,
drama, dsb. Seni musik bahkan sudasetiap hari kita temui dalam kehidupan seharihari. Seni rupa dapat di pecah menjadi beberapa cabang seperti, seni murni, seni
desain, seni kriya, dan seni kontemporer.
F. SENI RUPA
Seperti yang sudah penulis jelaskan diatas bahwa seni dalam kehidupan itu di
bagi menjadi beberapa cabang, salah satu nya adalah seni rupa. Secara sederhana seni
31
Richard Basset, Editor, The Open Eye in Learning : The Role of Art in General Education, 1974
24
rupa sendiri merupakan seni yang dapat di lihat oleh mata atau tampak kasat mata.
Dilihat dari konsep sederhana, semua hal yang yang bisa dilihat oleh mata dan
bernilai estetis bisa disebut dengan seni rupa.
Humar Sahman dalam bukunya “Mengenali Dunia Seni Rupa” sebagai
berikut: …peranan mata sangat menentukan apakah dalam proses mencipta sejak dari
pengamatan sampai pada visualisasi, gagasan ataupun dalam proses apresiasi produk
visualisasi itu. Orang yang buta warna walaupun sepintas-lintas matanya nampak
beres-beres saja, tidak akan mampu menjadi perupa atau apresiator karya seni rupa
yang kompeten.32
Peranan visual menjadi hal yang vital dalam seni rupa, karena apabila tanpa
visualisai yang baik entah itu dari objek atau subjeknya sebuah karya seni rupa tidak
akan bisa dihasilkan dan diapresiasi secara sempurna.
Fungsi Seni Rupa
Karya seni secara teoritis mempunyai tiga macam fungsi yaitu: fungsi
personal, fungsi sosial dan fungsi fisik. Seni memang tidak lepas dari fungsi, di mana
kehidupan manusia tidak bisa lepas dari seni, ini menandakan bahwa kita adalah
makhluk sosial yang sekaligus sebagai makhluk individu. Selain sebagai keindahan,
religius atau benda pakai seni mempunyai fungsi yang sangat mendalam.33
32
33
Humar Sahman, Mengenali Dunia Seni Rupa. 1993 Semarang : IKIP Semarang Press. Hal: 200
Dharsono Sony Kartika. Seni Rupa Modern. 2004. Bandung: Rekayasa Sains hal. 23
25
Sebagai media ekspresi personal, seni semata-mata tidak dibatasi untuk
dirinya sendiri. Maksudnya seni tidak secara eksklusif dikerjakan berdasarkan emosi
pribadi namun bertolak pada pandangan personal menuju persoalan-persoalan umum
di mana seniman itu hidup, kemudian diterjemahkannya lewat lambang dan simbol.
Ciri-ciri kemanusiaan seperti kelahiran, cinta dan kematian yang punya dasar
instrumen secara umum diangkat sebagai tema seni, tetapi pengolahan terhadap
wujud karya tidak bisa lepas dari adanya keunikan seniman dalam menangkap atau
membentuk idenya.
G. PERFORMANCE ART
Sejarah
Dari berbagai data dan informasi yang penulis dapatkan, sejarah performance
art dimulai pada akhir abad 20 saat terjadi perang dunia I. Pada masa itu para
seniman lukis perancis membentuk sebuah perkumpulan yang mana membuat sebuah
gerakan “non-art” yang merevisi konsep estetika. Dari sinilah sikap pendobrakan
terhadap pemahaman konvensional atas seni ini dimulai.
Sebelum istilah performance art digunakan, para seniman di barat lebih sering
menggunakan istilah “conceptual art”. Baru pada awal tahun 70an istilah
performance art mulai sering digunakan oleh para seniman dunia. Tahun 1960
dianggap sebagai tahun yang mengawali produktivitas performance secara resmi
sebagai sebuah seni ulah. Muncul foto “Leap Into The Void” (1960) karya Harry
26
Shunk berupa aksi Yves Klein di Paris saat ia akan ‘terjun bebas’ dari sebuah atap
rumah sebelum terjerembab di atas jalanan.34
Setelah itu, pada tahun yang sama Yves mulai mengembangkan performance
art dengan menggunakan tubuh wanita-wanita yang molek menjadi kuas unttk
menggambar di sebuah kanvas besar yang terbentan dilantai, Karya ini dianggap
sebagai aksi awalnya bagi publik dalam koridor performance art.
Performance art di Indonesia
Di Indonesia, muasal perkembangan performance art terbetik pada tahun
1970-an lewat Gerakan Seni Rupa baru (GSRB), ketika istilah performance art mulai
mapan di barat. Di Indonesia, saat itu istilahnya belum ada namun kecenderungannya
sudah dimulai. Ada kondisi yang kurang lebih sama, yaitu rasa frustasi umum. Tahun
1970-an, sebagian kalangan terdidik Indonesia mulai menyadari bahwa fondasi
pembangunan razim Soeharto ternyata rapuh. Dinamika pembangunan terlalu
sentralistik.
Pola
pergerakannya
picik.
Ketertataan
ternyata
mengandung
pendogmaan. Dalam dunia seni mulai muncul konflik antar generasi. Generasi tua
hendak mempertahankan ketertataan yang diyakini benar, sementara generasi muda
menghendaki pembaharuan. Pembaharuan selalu bermula dari eksperimen, suatu
semangat bermain, mengurai diri dari ikatan, meluaskan penglihatan.35
34
35
http://koran.tempo.co/konten/2006/06/13/73566/Menelusuri-Sejarah-Performance-Art
Satriana Didiek Isnanta, Kajian Metamorfosis Performance Art Serta Aspek Sosialnya. 2011
27
Faktor lain adalah kecenderungan mempertemukan berbagai disiplin dalam
seni. Para seniman dan penyelenggara kegiatan seni menghasilkan karya dan kegiatan
seni yang mempertemukan seni rupa, teater, tari, musik, juga sastra. Pertemuan antar
seniman ini cenderung berisi perbincangan kritis tentang realitas, tentang ketidakadilan, dan tentang seni itu sendiri. Dalam performance art, sesungguhnya kekritisan
tidak saja terarah pada realitas, tetapi juga kritis pada seni.
Munculnya Gerakan Seni Rupa Baru yang dimotori oleh beberapa seniman
muda di Yogyakarta dan Bandung –berawal dari Seni Rupa ITB (Institut Teknologi
Bandung) dan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, sekarang menjadi ISI/Institut
Seni Indonesia) Yogyakarta--, antara lain FX Harsono dan Bachtiar Zainoel
mendobrak tatanan apik romantisme seni rupa konvensional yang diajarkan di ASRI
pada waktu itu.
Gerakan ini menentang seluruh tradisi modernisme yang mendasari
perkembangan seni rupa Indonesia sejak 1940 hingga 1960 dan tidak ingin lagi
berdasar pada tradisi fine art semata. Mereka memberikan penekanan pada kritik
sosial sebagai tema utama karya mereka dan mengembangkan ‘message art’ yang
berpihak pada masalah kemiskinan perkotaan, pencemaran hidup, ketidakbebasan
berpikir dan sebagainya.36
36
Satriana Didiek Isnanta, Kajian Metamorfosis Performance Art Serta Aspek Sosialnya. 2011
28
Medium Performance art
Berbagai atraksi yang ditunjukkan dalam performance art merupakan realitas
maya. Aksi yang terjadi bukanlah an sich seperti yang terlihat atau yang terpersepsi,
namun jauh di balik (beyond) itu terdapat makna atau pesan yang ingin disampaikan.
Siratan gagasan ini adalah bentuk deskriptif sebuah ide yang secara konseptual
dibangun melalui tubuh sebagai mediumisasi, tak lagi melalui alat-alat seni rupa
(seperti kanvas, cat, patung, dsb.). Konsep yang dibangun para performance
artist adalah berada dalam ruang struktur konsep sebelumnya, atau konsep dalam
konsep, katakanlah konsep berbingkai. Konsep ini lahir dari gagasan yang
terkonsep. Performance art adalah conceptual art atau idea art.
Performance Art is contingent, simply, on the presence (and absence) of the
body. The body, site, audience and time are its four pillars, with corporeal action the
central axis.
Artists turned to the physical body and brought an ‘aliveness’, a
temporality and instability to artworks. Typical understanding of Performance Art is
as a solo practice with the artist’s body-as-medium at its
practice. But
core; an embodied
the practice may also incorporate other bodies: performers and
audience members.37
Performance Art adalah kesatuan, kesederhanaan, pada kehadiran (dan
ketiadaan) dari sebuah tubuh. Tubuh, situs, penonton, dan waktu adalah empat pilar
Performance Art, dengan aksi jasmaniah sebagai sumbu porosnya. Seniman
37
RoseLee Goldberg, Performance Art From Futurism to the Present, 2011 hal. 15
29
mengubah dirinya menjadi tubuh jasmaniah yang membawa “kehidupan”, sebuah
ketidakstabilan dan bersifat sementara pada karya seni. Pengertian khusus dari
Performance Art adalah sebagai praktik solo dengan tubuh sang seniman sebagai
media pokoknya; sebuah praktik yang terlihat. Namun, praktik tersebut juga dapat
melibatkan hal lain, seperti: para penampil dan penonton.
It is the action of the body, the authenticity of an activity, that frames it as
Performance Art. RoseLee Goldberg describes the context thus: ‘... the live presence
of the artist, and the focus on the artist’s body, became central to notions of “the
real”, and a yardstick for installation and video art.38
Ini adalah sebuah aksi dari tubuh, keaslian sebuah akvitas, yang terbingkai
sebagai Performance Art. Rose Lee Goldberg mendeskripsikan konteks tersebut
sebagai: “...kehadiran yang hidup seorang seniman, dan fokus dari tubuh seniman,
menjadi pusat gagasan “yang sesungguhnya”, dan sebuah ukuran untuk seni instalasi
dan seni video.
Tubuh di sini menjadi medium konseptual, yang memiliki aneka rupa fungsi
konseptual sebagaimana sebuah sistem dengan struktur organ-organnya. Sistem ini
yang dipercaya dapat memproduksi aneka macam gagasan mengenai konsep-konsep
baru. Gagasan-gagasan ini pun lahir dari konsep-konsep yang telah terstruktur dan
terbangun apa adanya sejak awal hingga proses perkembangannya terdahulu sebelum
menjadi gagasan. Kelahirannya tetaplah berupa konsep.
38
Ibid hal. 9
30
Body art is radical performance art that explicity uses the artist’s own body.
To common visually, sensually and often viscerally on identity and to enact the
body’s social meanings and expressive possibilities.39
Seni menggunakan medium tubuh merupakan pertunjukan yang radikal,
karena menggunakan tubuh dari seniman langsung untuk bisa menunjukan identitas
dan pesan secara visual dan sensual. Dan dengan menggunakan tubuh sendiri
memungkinkan seniman untuk langsung bisa berekspresi memainkan arti sosial.
Body art was led by feminist artist who put themselves in their work,
collapsing the distance between artist and artwork, subject and object, and process
and product, and insisting that their embodied gendered experiences affected their
work, its reception and its meanings.40
Menggunakan tubuh untuk medium dalam performance art di prakarsai oleh
para seniman feminin yang langsung menempatkan dirinya langsung pada karyakaryanya, ini bisa memisahkan jarak antara seniman dengan karyanya, subjek dengan
objek, proses dengan produk, dan memaksa mereka bahwa menggunakan tubuh untuk
medium mempengaruhi karya yang mereka hasilkan, penerimaannya, serta
maknanya.
39
40
Paul allain and Jen Harvie, The Routledge Companion to Theatre and Performance, 2006 hal. 134
Paul allain and Jen Harvie, The Routledge Companion to Theatre and Performance, 2006 hal. 134
31
H. PERFORMANCE ART SEBAGAI FUNGSI KOMUNIKASI EKSPRESIF
Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan untuk mempengaruhi orang
lain atau khalayak, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi
instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan atau emosi kita.41
Dalam performance art yang banyak melakukan gerakan-gerakan aneh dan
absurd sebenarnya mempunyai banyak arti dan makna. Bentuk komunikasi yang unik
ini menjadi salah satu jembatan para performer untuk menyalurkan atau
mengekspresikan perasaan dan emosi mereka.
Setiap gerakan tubuh yang dilakukan performer dalam performance art
tersembunyi makna-makna yang mendalam, pemahaman yang lebih diperlukan untuk
memahami tanda seperti ini. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa
dipersepsi indra kita; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan
bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.42
Semua gerakan dan ekspresi yang ada dalam performance art mengandung
komponen komunikasi non verbal. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,
Komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal)
dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
41
42
Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.d, ILMU KOMUNIKASI Suatu Pengantar, 2008, hal, 24.
John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2011, hal. 61
32
lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau
penerima.43
43
Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.d, ILMU KOMUNIKASI Suatu Pengantar, 2008, hal, 343
33
Download