BAB II LANDASAN KONSEP A. Komunikasi Komunikasi merupakan kegiatan yang penting dalam kehidupan manusia, bahkan mungkin sejak awal manusia keberadaan manusia itu sendiri. Kita berkomunikasi karena kita ingin pesan yang kita sampaikan dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.1 Komunikasi dapat berlangsung jika ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu dapat mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Sebuah proses komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, mengerti bahasa yang digunakan, mengerti pula makna dari bahan pembicaraan. Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi memiliki 5 unsur yang menjawab Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?, yaitu, komunikator (communicator, source, sender), 1 pesan (message), media Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990, hal 9. 5 (media,channel), komunikan (communicant, receiver, recipient), efek (effect, impact, influence ).2 Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Fungsi-fungsi komunikasi dan komunikasi massa dapat disederhanakan menjadi: menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence).3 Onong membagi proses komunikasi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan sekunder.4 Proses Komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambing (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Komunikasi merupakan paket isyarat, masing-masing memperkuat yang lain. Bila isyarat komunikasi saling bertentangan, kita menerima pesan yang kontradiktif. Komunikasi merupakan proses penyesuaiandan terjadi hanya jika komunikator menggunakan sistem isyarat yang sama.5 Komunikasi bersifat transaksional. 2 ibid, hal 10. Ibid, hal 26-31. 4 Ibid, hal 11. 5 Joseph A Devito, Komunikasi Antar Manusia, Jakarta: Profesional Books, 1997, hal 40-41. 3 6 Komunikasi merupakan proses, komponen-komponennya saling terkait dan komunikator beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan yang utuh. 6 Kita mempersepsi manusia tidak hanya melalui bahasa verbal, melainkan juga melalui bahasa nonverbal. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter: “Komunikasi nonverbal menyangkut semua rangsangan (kecuali rangangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; baik perilaku yang disengaja atau tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.”7 Kita tidak menyadari bahwa pesan-pesan nonverbal yang kita lakukan bermakna bagi orang lain. Studi yang dilakukan oleh Albert Mahrabian (1971) menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7 persen dari bahasa verbal, 38 persen dari vocal suara dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan jika terjadi pertentangan antara apa yang di ucapkan seseorang dengan perbuatannya, maka orang lain cenderung percaya pada hal-hal bersifat nonverbal.8 6 Ibid, hal 47. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001, hal 308. 8 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 hal 108. 7 7 Proses Komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Menurut Littlejohn, definisi komunikasi massa merupakan: “…the process whereby media organizations produce and transmit message to large publiks and process by which those message are sought, used, understood and influence by audience.” (proses dimana media memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan proses dimana pesanpesan dicari, digunakan, dipahami dan dipengaruhi oleh khalayak).9 Pesan dapat disampaikan melalui bahasa. Bahasa merupakan bagian dari proses komunikasi. Komunikasi adalah human communications atau komunikasi manusia. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna mampu menggunakan kombinasi berbagai suara (bahasa) yang begitu rumit untuk berkomunikasi. Penggunaan bahasa, yakni seperangkat symbol yang mewakili peristiwa atau gagasan yang membedakan manusia dengan mahkluk lainnya dan bahasa sebagai suatu sistem lambang mempunyai peranan penting dalam pembentukan, pemeliharaan, atau pengembangan budaya masyarakat. 10 9 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal 16. Deddy Mulyana, Op. Cit, hal 42. 10 8 B. FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI Definisi ringkas dari komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan yang diajukan Harold Lasswell yaitu Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?.11 Berdasarkan definisi Laswell ini dapat diturunkan menjadi lima unsur penting komunikasi, yaitu: a) Sumber (source) sering disebut pengirim (sender) atau penyandi (encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), yaitu pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. b) Pesan (message), yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima c) Saluran atau media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. d) Penerima (receiver) atau sarana (destination), komunikate (communicatee), penyandi-balik (decoder), khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yaitu orang yang menerima pesan dari sumber. e) Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut. 11 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung, Remadja Rosdakarya, 2005), hal. 62-65. 9 Komunikator, dalam proses penyampaian pesan menggunakan media agar bisa tersampaikan kepada komunikan. Media dari proses tersebut bisa bermacam – macam jenisnya. Salah satunya dalam film dokumenter , layaknya laporan jurnalisme, film dokumenter mampu merekonstruksikan realitas sosial atau fakta - fakta ke dalam simbol audio visual. Dalam hal ini pada film dokumenter memenuhi komponen komunikasi itu sendiri yaitu, pembuat film merupakan sumber atau source yang mengirimkan sebuah pesan. Pesan atau message yang dimaksud adalah sebuah ide mengangkat sebuah realitas, atau suatu fakta – fakta ke dalam sebuah karya film dokumenter yang mempunyai film statement. Film dokumenter berupa produk audio visual yang dibuat tersebut adalah sebuah saluran atau media dari seorang pembuat film untuk menyampaikan pesan kepada penonton filmnya. Beberapa komponen tersebut, sebenarnya sudah dapat menunjang film dokumenter yang berupa produk audio visual untuk bisa dikategorikan sebagai salah satu media komunikasi. C. SEKILAS TENTANG FILM DOKUMENTER Sebagai salah satu media komunikasi yang berupa produk audio visual, film dokumenter mempunyai sejarah dalam perkembangannya hingga saat ini. Selain itu definisi dari film dokumenter itu sendiri berubah – ubah dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan film dokumenter. 10 Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata ‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk Film Moana (1962) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas.12 Film dokumenter berbeda dengan film fiksi, menurut Ira Konigsberg dokumenter ialah sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan nonfiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film – film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.13 Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.14 Seorang pembuat film dokumenter lain yaitu DA. Peransi mengatakan bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas, 12 Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan, Yogyakarta, 2002, hal. 11 Ira Konigsberg, The Complete Film Dictionary, Penguin (Non-Classics), 1998, Edisi Ke-2, halaman 103 14 Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 13 13 11 menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu.15 Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu. Film dokumenter dengan menggunakan fakta sebagai bahan utamanya, berkembang menjadi sebuah bentuk menyampaian pesan yang tidak hanya secara faktual dan naratif, tapi juga argumentatif. Kelebihan dari video atau media rekam audio visual lainnya adalah kemampuannya yang bukan hanya sekedar menceritakan (to tell), tetapi juga menunjukkan (to show). Sama dengan film fiksi, film dokumenter sebisa mungkin dibuat dengan tujuan untuk membawa audiensnya ke dalam pengalaman sebagaimana terlihat jikalau mereka berada di posisi yang sama. Unsur dramatik juga menjadi bagian penting dalam film dokumenter. Dalam film dokumenter, gaya atau bentuk pendekatan dapat dibagi ke dalam beberapa bagian. Beberapa bagian ini merupakan sebuah ringkasan dari perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Bagian tersebut adalah Expository Documentary, Cinema Verite/ Direct Cinema Documentary, Reflexive Documentary dan Performative Documentary. Gaya Expository menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung, baik melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya 15 Ibid , hal 15 12 akan berbicara sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran bahwa mereka sedang menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung terpisah dari cerita dalam film. Mereka cenderung memberikan komentar terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan, ketimbang menjadi bagian darinya. Itu sebabnya, pesan atau point of view dari expository dielaborasi lebih pada sound track ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun berdasarkan kontinuitas waktu dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada dokumenter yang berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun berdasarkan narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.16 Produksi film dokumenter gaya Cinema Verite atau Direct Cinema , jelas, menuntut persiapan yang sangat sungguh – sungguh dan mantap. Analisis dan perhitungan manajemen untuk lama waktu produksi dan biaya tidak boleh meleset. Prinsipnya gaya ini, penyusunan skenario formal dianggap tidak penting, mengingat yang diutamakan adalah peristiwa yang terjadi, bukannya kenapa atau bagaimana jalannya cerita dari suatu peristiwa. Sepintas antara Cinema Verite dan Direct Cinema terlihat adanya persamaan dan gaya. Yang membedakan di antara keduanya adalah: dalam membangun dramatika atau konflik, Cinema Varite terlihat lebih agresif, sementara Direct Cinema memilih pasif.17 16 Ilisa Barbash, Cross-Cultural Filmaking , Berkeley, University of California Press, 1997, Hal 17 17 Gerzon Ron Ayawaila, M.Sn, S.Sn, Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi, FFTV-IKJ PRESS, Jakarta, 2008, hal 17 13 Dalam Reflexive Documentary, Pada 1922, Vertov menampilkan manifestasinya dengan sebutan Kino-Pravda. Dalam terjemahan harafiah Bahasa Inggris sama dengan film truth. Film kebenaran. Vertov menyatakan, “kamera merupakan mata film, dan film dokumenter bukan menceritakan sesuatu realitas objektif, mekainkan suatu realitas berdasark an apa yang terlihat dan terekam dalam film. “Mata film disebutnya Kim-Eye, Kino Glaz.18 Yang terakhir adalah Performative Documentary, menekankan aspek subjektif atau ekspresif dari keterlibatan pembuat film sendiri dengan subjek; berusaha untuk menaikkan respon penonton untuk terlibat. Menolak gagasan tentang objektivitas dalam mendukung kebangkitan dan mempengaruhi.19 “If you read popular reviews or watch television coverage of entertainment, you will notice that reporters make frequent reference to film’s genres, because they know that most members of the public will easily grasps what they are referring to.”20 (Jika anda membaca majalah populer atau menonton televisi mengenai ulasan dunia hiburan, Anda akan menyadari bahwa wartawan berkali-kali membuat genre film, karena mereka menyadari bahwa anggota masyarakat akan lebih mudah menangkap film yang mereka inginkan). 18 Ibid, hal 14 Bill Nichols, Introduction to Documentary, Indiana University Press, USA, 2010, hal 32 20 David Bordwell & Kristin Thompson, Film Art an Introduction, New York, McGraw – Hill Companies. Inc, 2004, hal 110 19 14 Dalam film dokumenter juga dibagi lagi menjadi beberapa genre sama halnya dengan film fiksi . Genre berasal dari bahasa Perancis, yang memiliki arti jenis atau ragam. Mencuplik dari buku yang berjudul Dokumenter : Dari Ide Sampai Produksi, Gerzon R. Ayawaila membagi genre film dokumenter menjadi dua belas jenis, yaitu a. Laporan perjalanan Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remehtemeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue, travel film, travel documentary dan adventures film. b. Sejarah Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental aspek referential meaning-nya (makna yang sangat bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. c. Potret/biografi Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas – di dunia atau masyarakat tertentu – 15 atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. d. Nostalgia Film–film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun biasanya banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari kejadian–kejadian dari seseorang atau satu kelompok. e. Rekonstruksi Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus dibantu rekonstruksi peristiwanya f. Investigasi Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi jurnalistik. Biasanya aspek visualnya yang tetap ditonjolkan. Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang ingin diketahui lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak. g. Perbandingan dan kontradiksi Dokumenter ini mengetengahkan sebuah perbandingan, bisa dari seseorang atau sesuatu. h. Ilmu pengetahuan Film dokumenter genre ini sesungguhnya yang paling dekat dengan masyarakat Indonesia, jenis ini bisa terbagi menjadi sub-genre, yaitu 16 Film Dokumenter Sains, Film Instruksional. Dan genre ini yang dipilih penulis untuk menyajikan film dokumenter tentang performance art. i. Buku harian Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber–genre ini juga mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang diceritakan kepada orang lain. Tentu saja sudut pandang dari tema– temanya menjadi sangat subjektif sebab sangat berkaitan dengan apa yang dirasakan subjek pada lingkungan tempat dia tinggal, peristiwa yang dialami atau bahkan perlakuan kawan–kawannya terhadap dirinya. Dari segi pendekatan film jenis memiliki beberapa ciri, yang pada akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional. Struktur ceritanya cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi unsur suara lebih banyak digunakan serta seringkali mencantumkan ruang dan waktu kejadian yang cukup detil. j. Musik Sesuai namanya genre ini meceritakan tentang sesuatu yang berhubungan dengan musik. Genre musik memang tidak setua genre yang lain, namun pada masa 1980 hingga sekarang, dokumenter jenis ini sangat banyak diproduksi. Film dokumenter sendiri memiliki fungsi secara umum sebagai media menyampaikan suatu kebenaran. Selain itu secara spesifik film dokumenter dapat 17 menyampaikan suatu sudut pandang, suatu propaganda yang kuat, dan suatu konflik kepentingan. D. TAHAPAN PEMBUATAN DOKUMENTER Dalam pembuatan film dokumenter, kejelian adalah hal yang pokok. Sehingga diperlukan suatu pemikiran dan proses teknis yang matang. Suatu produksi program film memerlukan tahapan proses perencanaan, proses produksi, hingga hasil akhir produksi. Tahapan tersebut sering dikenal dengan Standard Operation Procedure (SOP), yang terdiri dari: 1. Pra Produksi (ide, perencanaan, persiapan) 2. Produksi (pelaksanaan) 3. Pasca Produksi (Penyelesaian dan Penayangan) I. Pra Produksi Merupakan tahap awal dari proses produksi, termasuk didalamnya adalah penemuan ide, pengumpulan bahan berupa data-data untuk mendukung fakta atau subyek yang dipilih. Tahap pra produksi ini sangat penting karena merupakan landasan untuk melaksanakan produksi dan harus dilakukan dengan dengan rinci dan telliti sehingga akan membantu kelancaran proses produksi. Jika tahap ini telah dilaksanakan secara rinci dan baik, sebagian dari produksi yang direncanakan sudah beres.21 Kegiatan ini meliputi : 21 Fred Wibowo, Dasar-dasar Produksi Program Televisi, Grasindo, Jakarta, 1997, hal. 20 18 1. Memilih Subyek Film Dokumenter (choosing a subject) Ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk memilih subyek. Subyek film dokumenter bisa berhubungan dengan sejarah, mitos atau legenda, sosial budaya, sosial ekonomi, atau yang lainnya. Pertimbangan dipilihnya suatu subyek bukan hanya karena kebetulan semata tetapi melalui proses panjang, melalui penelitian dan memiliki dasar pemikiran yang kuat. Dalam sebuah film dokumenter, apa yang disajikan mengandung subyektivitas pembuatnya, dalam arti sikap atau opini pembuat film terhadap realita yang didokumentasikannya. 2. Riset (Research) Riset (penelitian) adalah salah satu bagian terpenting sebelum pembuatan film dokumenter. Riset digunakan untuk mendukung faktafakta tentang subyek yang telah dipilih. Riset dilakukan untuk mendapatkan data-data yang bisa diperoleh melalui wawancara dengan tokoh ahli, kepustakaan, media massa, internet, dokumen maupun sumber lain. Menurut Garin Nugroho, riset juga berhubungan dengan tema film. Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana yang menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus dilakukan. 19 3. Mempersiapkan Detail Produksi Mempersiapkan detail berarti menyiapkan segala hal yang diperlukan agar proses produksi dapat berjalan lancar. Persiapan-persiapan tersebut antara lain: a. Data Teknis b. Sinopsis atau tulisan ringkas mengenai garis besar cerita, meliputi adegan adegan pokok dan garis besar pengembangan cerita.22 c. Treatment, dapat dijabarkan sebagai perlakuan tentang hal-hal yang dijabarkan dalam sinopsis. Sebuah uraian mengenai segala urutan kejadian yang akan tampak di layar TV atau Video. Uraian itu bersifat naratif, tanpa menggunakan istilah teknis.23 d. Naskah atau skenario, yaitu cerita dalam bentuk rangkaian sekuen dan adegan-adegan yang siap digunakan untuk titik tolak produksi film, tetapi belum terperinci. e. Shooting Script adalah naskah versi siap produksi yang berisi sudut pengambilan gambar atau angle dan bagian-bagian kegiatan secara rinci dan spesifik. 22 Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 117. PCS. Sutisno, Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video, Grasindo, Jakarta, 1993. hal. 46. 23 20 f. Timetable Shooting atau penjadwalan Shooting yang berbentuk Shooting Breakdown dan Shooting Schedule. II. Produksi Tahap ini merupakan kegiatan pengambilan gambar atau shooting. Pengambilan gambar dilakukan berdasarkan shooting script dan shooting breakdown dengan pengaturan jadwal seperti yang tercantum dalam shooting schedule. Beberapa istilah yang digunakan dalam pengambilan gambar atau shooting antara lain : Shot, adalah sebuah unit visual terkecil berupa potongan film yang merupakan hasil satu perekaman.24 Camera Angle, atau biasa disebut sudut pengambilan gambar, adalah posisi kamera secara relatif terhadap subyek dan obyek. Sequence, atau serangkaian shot-shot yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Scene, atau adegan adalah salah satu shot atau lebih dari suatu lokasi atau action yang sama. 24 Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 116. 21 Close Up (CU), atau pengambilan terdekat. Tembakan kamera pada jarak yang sangat dekat dan memeperlihatkan hanya bagian kecil subyek, misalnya wajah seseorang.25 Long Shot (LS), shot jarak jauh yang kepentingannya untuk memeperlihatkan hubungan antara subyek-subyek dan lingkungan maupun latar belakangnya. Medium Shot (MS), shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya dibandingkan long shot. Bila obyeknya manusia, medium shot menampilkan bagian tubuh dari pinggang ke atas.26 Medium Long Shot (MLS), atau disebut juga knee shot. Bila obyeknya manusia, maka yang tampak adalah dari kepala sampai lutut, bagian latar belakang tampak rinci. 27 Composition, merupakan teknik menempatkan gambar pada layar dengan proporsional. Pan, menggerakkan kamera ke kanan dan ke kiri pada poros (as) horisontalnya.28 Tilt, gerakan kamera menunduk dan mendongak pada poros vertikalnya.29 25 Ibid., hal. 112. Ibid., hal. 115. 27 Ibid., 28 Ibid., 29 Ibid., hal. 117. 26 22 Tracking Shot, shot yang diambil dengan memindahkan kamera mendekat ke subyek (track in) maupun menjauh dari subyek (track out). Kamera bisa diletakkan diatas peralatan beroda karet yang disebut dolly.30 Follow, adalah gerakan kamera yang mengikuti kemana obyek bergerak. III. Pasca Produksi Pasca produksi bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari keseluruhan proses produksi. Tahap ini dilaksanakan setelah semua pengambilan gambar selesai. Tahap pasca produksi ini meliputi logging, editing, dan mixing. Logging merupakan kegiatan pencatatan timecode hasil shooting, setelah logging, dilakukan penyusunan gambar sesuai skenario atau shooting script melalui editing. Setelah editing selesai dilakukan mixing gambar dengan suara. Suara dapat berupa atmosfir, suara asli, background musik, atau narasi. Akhirnya setelah melalui semua tahapan tersebut, film dapat dilepas ke publik. Media agar film itu dapat sampai kepada ke publik pun bisa di pilih, mulai dari forum diskusi kampus, festival, televisi, sampai bioskop sesuai keinginan Sang film maker maupun tujuan dari pembuatan film dokumenter tersebut. 30 Ibid., 23 E. SENI Salah satu hal di dunia yang paling sulit untuk di definisikan adalah seni. Bahkan dalam Special Committee on the Study of Art berpendapat bahwa seni merupakan mata pelajaran yang lebih sukar dari matematika.31 Setiap manusia memiliki jiwa seni dalam hidupnya, bahkan beberapa filsafat seni menyebutkan manusia dalam menjalani hidupnya itu adalah seni. Manusia tanpa seni bisa di ibaratkan sebagai sebatang pohon kering yang tak mati, tanpa arah dan tanpa tujuan. Seni adalah aktivitas manusia untuk mengungkapkan pengalaman estetis ke dalam wujud lahiriah dengan tata susunan unsur yang indah, sehingga dapat menimbulkan pengalaman baru bagi orang lain. Pengalaman estetik tersebut dapat disalurkan ke dalam berbagai media. Seni dapat dibagi menjadi beberapa bentuk cabang yakni, seni gerak, seni suara, dan seni rupa. Seni gerak yang biasanya kita temukan seperti seni tari, teater, drama, dsb. Seni musik bahkan sudasetiap hari kita temui dalam kehidupan seharihari. Seni rupa dapat di pecah menjadi beberapa cabang seperti, seni murni, seni desain, seni kriya, dan seni kontemporer. F. SENI RUPA Seperti yang sudah penulis jelaskan diatas bahwa seni dalam kehidupan itu di bagi menjadi beberapa cabang, salah satu nya adalah seni rupa. Secara sederhana seni 31 Richard Basset, Editor, The Open Eye in Learning : The Role of Art in General Education, 1974 24 rupa sendiri merupakan seni yang dapat di lihat oleh mata atau tampak kasat mata. Dilihat dari konsep sederhana, semua hal yang yang bisa dilihat oleh mata dan bernilai estetis bisa disebut dengan seni rupa. Humar Sahman dalam bukunya “Mengenali Dunia Seni Rupa” sebagai berikut: …peranan mata sangat menentukan apakah dalam proses mencipta sejak dari pengamatan sampai pada visualisasi, gagasan ataupun dalam proses apresiasi produk visualisasi itu. Orang yang buta warna walaupun sepintas-lintas matanya nampak beres-beres saja, tidak akan mampu menjadi perupa atau apresiator karya seni rupa yang kompeten.32 Peranan visual menjadi hal yang vital dalam seni rupa, karena apabila tanpa visualisai yang baik entah itu dari objek atau subjeknya sebuah karya seni rupa tidak akan bisa dihasilkan dan diapresiasi secara sempurna. Fungsi Seni Rupa Karya seni secara teoritis mempunyai tiga macam fungsi yaitu: fungsi personal, fungsi sosial dan fungsi fisik. Seni memang tidak lepas dari fungsi, di mana kehidupan manusia tidak bisa lepas dari seni, ini menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang sekaligus sebagai makhluk individu. Selain sebagai keindahan, religius atau benda pakai seni mempunyai fungsi yang sangat mendalam.33 32 33 Humar Sahman, Mengenali Dunia Seni Rupa. 1993 Semarang : IKIP Semarang Press. Hal: 200 Dharsono Sony Kartika. Seni Rupa Modern. 2004. Bandung: Rekayasa Sains hal. 23 25 Sebagai media ekspresi personal, seni semata-mata tidak dibatasi untuk dirinya sendiri. Maksudnya seni tidak secara eksklusif dikerjakan berdasarkan emosi pribadi namun bertolak pada pandangan personal menuju persoalan-persoalan umum di mana seniman itu hidup, kemudian diterjemahkannya lewat lambang dan simbol. Ciri-ciri kemanusiaan seperti kelahiran, cinta dan kematian yang punya dasar instrumen secara umum diangkat sebagai tema seni, tetapi pengolahan terhadap wujud karya tidak bisa lepas dari adanya keunikan seniman dalam menangkap atau membentuk idenya. G. PERFORMANCE ART Sejarah Dari berbagai data dan informasi yang penulis dapatkan, sejarah performance art dimulai pada akhir abad 20 saat terjadi perang dunia I. Pada masa itu para seniman lukis perancis membentuk sebuah perkumpulan yang mana membuat sebuah gerakan “non-art” yang merevisi konsep estetika. Dari sinilah sikap pendobrakan terhadap pemahaman konvensional atas seni ini dimulai. Sebelum istilah performance art digunakan, para seniman di barat lebih sering menggunakan istilah “conceptual art”. Baru pada awal tahun 70an istilah performance art mulai sering digunakan oleh para seniman dunia. Tahun 1960 dianggap sebagai tahun yang mengawali produktivitas performance secara resmi sebagai sebuah seni ulah. Muncul foto “Leap Into The Void” (1960) karya Harry 26 Shunk berupa aksi Yves Klein di Paris saat ia akan ‘terjun bebas’ dari sebuah atap rumah sebelum terjerembab di atas jalanan.34 Setelah itu, pada tahun yang sama Yves mulai mengembangkan performance art dengan menggunakan tubuh wanita-wanita yang molek menjadi kuas unttk menggambar di sebuah kanvas besar yang terbentan dilantai, Karya ini dianggap sebagai aksi awalnya bagi publik dalam koridor performance art. Performance art di Indonesia Di Indonesia, muasal perkembangan performance art terbetik pada tahun 1970-an lewat Gerakan Seni Rupa baru (GSRB), ketika istilah performance art mulai mapan di barat. Di Indonesia, saat itu istilahnya belum ada namun kecenderungannya sudah dimulai. Ada kondisi yang kurang lebih sama, yaitu rasa frustasi umum. Tahun 1970-an, sebagian kalangan terdidik Indonesia mulai menyadari bahwa fondasi pembangunan razim Soeharto ternyata rapuh. Dinamika pembangunan terlalu sentralistik. Pola pergerakannya picik. Ketertataan ternyata mengandung pendogmaan. Dalam dunia seni mulai muncul konflik antar generasi. Generasi tua hendak mempertahankan ketertataan yang diyakini benar, sementara generasi muda menghendaki pembaharuan. Pembaharuan selalu bermula dari eksperimen, suatu semangat bermain, mengurai diri dari ikatan, meluaskan penglihatan.35 34 35 http://koran.tempo.co/konten/2006/06/13/73566/Menelusuri-Sejarah-Performance-Art Satriana Didiek Isnanta, Kajian Metamorfosis Performance Art Serta Aspek Sosialnya. 2011 27 Faktor lain adalah kecenderungan mempertemukan berbagai disiplin dalam seni. Para seniman dan penyelenggara kegiatan seni menghasilkan karya dan kegiatan seni yang mempertemukan seni rupa, teater, tari, musik, juga sastra. Pertemuan antar seniman ini cenderung berisi perbincangan kritis tentang realitas, tentang ketidakadilan, dan tentang seni itu sendiri. Dalam performance art, sesungguhnya kekritisan tidak saja terarah pada realitas, tetapi juga kritis pada seni. Munculnya Gerakan Seni Rupa Baru yang dimotori oleh beberapa seniman muda di Yogyakarta dan Bandung –berawal dari Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung) dan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, sekarang menjadi ISI/Institut Seni Indonesia) Yogyakarta--, antara lain FX Harsono dan Bachtiar Zainoel mendobrak tatanan apik romantisme seni rupa konvensional yang diajarkan di ASRI pada waktu itu. Gerakan ini menentang seluruh tradisi modernisme yang mendasari perkembangan seni rupa Indonesia sejak 1940 hingga 1960 dan tidak ingin lagi berdasar pada tradisi fine art semata. Mereka memberikan penekanan pada kritik sosial sebagai tema utama karya mereka dan mengembangkan ‘message art’ yang berpihak pada masalah kemiskinan perkotaan, pencemaran hidup, ketidakbebasan berpikir dan sebagainya.36 36 Satriana Didiek Isnanta, Kajian Metamorfosis Performance Art Serta Aspek Sosialnya. 2011 28 Medium Performance art Berbagai atraksi yang ditunjukkan dalam performance art merupakan realitas maya. Aksi yang terjadi bukanlah an sich seperti yang terlihat atau yang terpersepsi, namun jauh di balik (beyond) itu terdapat makna atau pesan yang ingin disampaikan. Siratan gagasan ini adalah bentuk deskriptif sebuah ide yang secara konseptual dibangun melalui tubuh sebagai mediumisasi, tak lagi melalui alat-alat seni rupa (seperti kanvas, cat, patung, dsb.). Konsep yang dibangun para performance artist adalah berada dalam ruang struktur konsep sebelumnya, atau konsep dalam konsep, katakanlah konsep berbingkai. Konsep ini lahir dari gagasan yang terkonsep. Performance art adalah conceptual art atau idea art. Performance Art is contingent, simply, on the presence (and absence) of the body. The body, site, audience and time are its four pillars, with corporeal action the central axis. Artists turned to the physical body and brought an ‘aliveness’, a temporality and instability to artworks. Typical understanding of Performance Art is as a solo practice with the artist’s body-as-medium at its practice. But core; an embodied the practice may also incorporate other bodies: performers and audience members.37 Performance Art adalah kesatuan, kesederhanaan, pada kehadiran (dan ketiadaan) dari sebuah tubuh. Tubuh, situs, penonton, dan waktu adalah empat pilar Performance Art, dengan aksi jasmaniah sebagai sumbu porosnya. Seniman 37 RoseLee Goldberg, Performance Art From Futurism to the Present, 2011 hal. 15 29 mengubah dirinya menjadi tubuh jasmaniah yang membawa “kehidupan”, sebuah ketidakstabilan dan bersifat sementara pada karya seni. Pengertian khusus dari Performance Art adalah sebagai praktik solo dengan tubuh sang seniman sebagai media pokoknya; sebuah praktik yang terlihat. Namun, praktik tersebut juga dapat melibatkan hal lain, seperti: para penampil dan penonton. It is the action of the body, the authenticity of an activity, that frames it as Performance Art. RoseLee Goldberg describes the context thus: ‘... the live presence of the artist, and the focus on the artist’s body, became central to notions of “the real”, and a yardstick for installation and video art.38 Ini adalah sebuah aksi dari tubuh, keaslian sebuah akvitas, yang terbingkai sebagai Performance Art. Rose Lee Goldberg mendeskripsikan konteks tersebut sebagai: “...kehadiran yang hidup seorang seniman, dan fokus dari tubuh seniman, menjadi pusat gagasan “yang sesungguhnya”, dan sebuah ukuran untuk seni instalasi dan seni video. Tubuh di sini menjadi medium konseptual, yang memiliki aneka rupa fungsi konseptual sebagaimana sebuah sistem dengan struktur organ-organnya. Sistem ini yang dipercaya dapat memproduksi aneka macam gagasan mengenai konsep-konsep baru. Gagasan-gagasan ini pun lahir dari konsep-konsep yang telah terstruktur dan terbangun apa adanya sejak awal hingga proses perkembangannya terdahulu sebelum menjadi gagasan. Kelahirannya tetaplah berupa konsep. 38 Ibid hal. 9 30 Body art is radical performance art that explicity uses the artist’s own body. To common visually, sensually and often viscerally on identity and to enact the body’s social meanings and expressive possibilities.39 Seni menggunakan medium tubuh merupakan pertunjukan yang radikal, karena menggunakan tubuh dari seniman langsung untuk bisa menunjukan identitas dan pesan secara visual dan sensual. Dan dengan menggunakan tubuh sendiri memungkinkan seniman untuk langsung bisa berekspresi memainkan arti sosial. Body art was led by feminist artist who put themselves in their work, collapsing the distance between artist and artwork, subject and object, and process and product, and insisting that their embodied gendered experiences affected their work, its reception and its meanings.40 Menggunakan tubuh untuk medium dalam performance art di prakarsai oleh para seniman feminin yang langsung menempatkan dirinya langsung pada karyakaryanya, ini bisa memisahkan jarak antara seniman dengan karyanya, subjek dengan objek, proses dengan produk, dan memaksa mereka bahwa menggunakan tubuh untuk medium mempengaruhi karya yang mereka hasilkan, penerimaannya, serta maknanya. 39 40 Paul allain and Jen Harvie, The Routledge Companion to Theatre and Performance, 2006 hal. 134 Paul allain and Jen Harvie, The Routledge Companion to Theatre and Performance, 2006 hal. 134 31 H. PERFORMANCE ART SEBAGAI FUNGSI KOMUNIKASI EKSPRESIF Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan untuk mempengaruhi orang lain atau khalayak, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan atau emosi kita.41 Dalam performance art yang banyak melakukan gerakan-gerakan aneh dan absurd sebenarnya mempunyai banyak arti dan makna. Bentuk komunikasi yang unik ini menjadi salah satu jembatan para performer untuk menyalurkan atau mengekspresikan perasaan dan emosi mereka. Setiap gerakan tubuh yang dilakukan performer dalam performance art tersembunyi makna-makna yang mendalam, pemahaman yang lebih diperlukan untuk memahami tanda seperti ini. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.42 Semua gerakan dan ekspresi yang ada dalam performance art mengandung komponen komunikasi non verbal. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan 41 42 Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.d, ILMU KOMUNIKASI Suatu Pengantar, 2008, hal, 24. John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2011, hal. 61 32 lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.43 43 Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.d, ILMU KOMUNIKASI Suatu Pengantar, 2008, hal, 343 33