BAB II IDENTIFIKASI DATA A. Wayang Kulit 1. Pengertian Wayang Kulit Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu disebut “bayang-bayang”, dalam bahasa Aceh “bayeng”, dalam bahasa Bugis “wayang atau bayang” (Sri Mulyono, 1978:9). Awalan “Wa” di dalam bahasa Jawa modern tidak mempunyai fungsi lagi, tetapi dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa. Jadi dalam bahasa Jawa “Wayang”, mengandung pengertian “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang) telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika awalan Wa masih mempunyai fungsi tata bahasa. Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertuntukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan Wayang. Awayang atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang. (Sri Mulyono: 1978:10) Wayang kulit merupakan dongeng, khayal dan mitos yang dapat membangkitkan daya mistik dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang Barat bahwa wayang kulit hanya “Shadow Play” belaka adalah kurang tepat, karena wayang kulit bukanlah obyek visual belaka (S. Haryanto, 1988:4) Wayang kulit dalam budaya Jawa biasa disebut dengan wayang kulit purwa atau ringgit. Maksud dari wayang kulit purwa adalah wayang yang dibuat 4 5 dari bahan kulit binatang, biasanya kulit kerbau. Kata “wayang” menurut Hazeu berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti bayangan, yang bisa mempunyai pengertian berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup, sebagai substansi dari bayang-bayang sehingga bisa disebut wayang. (Sri Mulyono, 1995:9) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wayang kulit adalah boneka yang dibuat dari kulit, ditata sedemikian rupa sehingga menggambarkan bentukbentuk yang proporsinya tidak sama dengan manusia, tetapi dipergunakan sebagai alat untuk menggambarkan kehidupan manusia. 2. Sejarah Wayang Kulit Pada mulanya nenek moyang percaya bahwa roh yang sudah mati, merupakan pelindung dalam kehidupan. Mereka beranggapan bahwa roh-roh itu masih tinggal di gunung, pohon besar, dan sebagainya. Lebih kurang 1500 SM nenek moyang melakukan upacara yang ada hubungannya dengan kepercayaan penyembahan roh nenek moyang yang telah mati, kemudian lebih dikenal sebagai pertunjukan bayangan roh nenek moyang (Sunarto, 1989:16). Dari titik total ini orang kemudian sampai pada usaha untuk mendatangkan roh-roh leluhur yang dianggap keramat itu ke rumah atau pekarangan. Pikiran dan anggapan inilah yang mendorong nenek moyang untuk menghasilkan bayangan roh leluhur. Di Indonesia orang mengabadikan perwujudan orang yang telah mati dengan berbagai bentuk patung-patung (Sunarto, 1989:16). Kepercayaan ini pula yang mempengaruhi cara-cara pembuatan bayangbayang, yaitu gambar bayang-bayang leluhur yang sudah mati. Oleh karena itu 6 orang meniru bayang-bayang yang dilihat setiap hari. Penggambaran roh semacam ini, pada mulanya secara kebetulan. Tetapi dengan anggapan bahwa roh mempunyai kekuatan dan sebagai pelindungnya, maka bentuk gambar bayangbayang itu harus tidak berbentuk manusia (Sri Mulyono, 1978:45) Gambar bayang-bayang itu yang kemudian disebut wayang, tetapi wujud daripada wayang pada waktu itu belum jelas. Berselang beberapa waktu berikutnya gambar bayang-bayang (wayang), berkembang sesuai dengan peradaban manusia (Sunarto, 1989:16) Setelah datangnya kebudayaan Hindu di Jawa, wayang semakin dikenal dalam masyarakat. Penduduk asli mengalami perubahan yang sedikit demi sedikit menerima pengaruh Hindu. Kitab Mahabharata dan Kitab Ramayana mulai dikenal dan meluas di Indonesia. Pertunjukan bayangan atau upacara agama tidak luput dari pengaruh Hindu. Perwujudan wayang kulit pada jaman Hindu ini diawali dari kerajaan Mataram Kuno. (Sri Mulyono, 1978:59). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `ringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kirakira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987. 7 B. Augmened Reality Realitas tertambah, atau dikenal dengan Augmented Reality, adalah teknologi yang menggabungkan benda maya atau dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata tiga dimensi lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam waktu nyata. Tidak seperti realitas maya yang sepenuhnya menggantikan kenyataan, realitas tertambah sekedar menambahkan atau melengkapi kenyataan (wikipedia.org/wiki/Realitas_tertambah, diakses pada tanggal 24 April 2016). C. Target Market Target market adalah seseorang atau suatu kelompok yang mempunyai kekuatan untuk membeli (dalam segi ekonomi) dalam hal ini merupakan kelompok yang mempunyai minat yang lebih untuk menonton pementasan wayang kulit. Target market “Kesenian wayang kulit” ini dapat dilihat dari segi berikut: 1. Demografis a. Jenis Kelamin : Laki-laki dan Perempun b. Usia : 30 tahun ke atas c. Pendidikan : Semua Pendidikan d. Agama : Semua Kepercayaan e. Sosial dan Ekonomi : Semua Kalangan 8 2. Geografis Target market geografis “Kesenian wayang kulit” ini merupakan semua masyarakat Indonesia yang dapat saling bersinergi untuk melestarikan kesenian yang telah mengakar pada negara Indonesia. D. Kegiatan Promosi Yang Sudah Dilakukan Dalam pelestariannya, pemerintah telah berulang kali mengadakan pagelaran wayang kulit. Hal tersebut menandakan keseriusan pemerintah dalam melestarikan dan mempromosikan kesenian ini dan juga sebagai penanda bahwa solidnya penggemar kesenian wayang kulit ini. Selain itu tak jarang pemerinta mengadakan pameran wayang kulit tingkat Nasional tiap tahunnya, namun pada saat diadaknnya pegelaran wayang dan pamerang kesenian wayang kulit ini, ratarata usia penikmat kesenian wayang kulit ini merupakan bapak-bapak yang telah berusia sekitar 30 tahun keatas.