Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid alGhazali (Studi atas Kitab Kimiyā’ alSa‘ādah) Wahyu Hidayat. Lc. M.Ag Lembar Pernyataan Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 22 Maret 2017. Wahyu Hidayat i PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Pedoman transliterai Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan Buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Konsonan Huruf alif tidak di z = ز f = ف s = س q = ق lambangkan. b = ب sy = ش k = ك t = ت s~` = ص l = ل ts = ث d~` = ض m = م j = ج t~` = ط n = ى z~` = ظ h = ه h~~~~~~~~` = ح kh = خ „ = ع w = و d = د gh = غ y = ي dz = ذ = ء r = ر , Vokal Pendek :a =َ ; i = ِ; Panjang : a> = ا ; Diftong : ai =;اي au = او u= ُ i> = ; ي u> = و Marbutah ((ة Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf (h). Hal yang sama juga berlaku jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata sifat (na‟t). Namun jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf (t). ii Syaddah (Tasydi>d) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ٌ ) dalam alih-aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Kata sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf الdialihaksarakan dengan huruf (al), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rija>l bukan ar-rija>l, al-di>wa>n bukan ad-di>wa>n iii Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali (Studi atas Kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah) ABSTRAK Penulisan tesis ini di maksudkan untuk mencoba melacak dan memberikan gambaran yang komprehensif tentang karya sufisme al-Ghazali yang berjudul Kimiyā’al-Sa‘ādah yang merupakan masterpiece sekaligus intisari dan ringkasan dari kitab Ihya>’‘Ulu>m al-Di>n serta menjadi pembahasan utama yang akan diangkat sekaligus menjadi fokus dari kajian penelitian dalam tesis ini. Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini secara umum penting dilakukan untuk memberikan informasi yang lengkap dan utuh kepada insan akademis secara khusus dan masyarakat muslim pada umumnya terkait dengan karya-karya al-Ghazali yang ber-genre tasawuf akhlaqi dalam bahasa Persia yang hingga kini mungkin tidak terlalu banyak dikenal oleh masyarakat muslim di Indonesia. Karena Penelitian ini merupakan penelitian yang mengggunakan pendekatan historis dan bukan penelitian yang berdasarkan pada kajian filologi, maka dari itu sumber primernya adalah kitab-kitab atau karya-karya yang ditulis oleh al-Ghazali dan tentu saja dengan menggunakan sumber-sumber dan data historis lainnya. Melalui analisa dan pendekatan hermeneutika-sejarah serta dengan menggunakan teori verstehen Wilhelm Dilthey di dalam upayanya untuk mencoba memahami teks dan nash yang terdapat dalam karyanya tersebut dalam upayanya mengungkap serta menjelaskan yang tidak semata-mata kandungan dan isi dari kitab tersebut saja, melainkan juga melacak motif dan tujuan ditulisnya karya tersebut dengan melihat fenomena pemikiran dan sosio-kultural masyarakat muslim secara objektif pada saat itu. Kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah yang secara umum dari segi isi dan tema pembahasannya memiliki metode dan corak tasawuf akhlaqi praksis yang ditulis dalam bahasa Persia, di mana melalui kitabnya tersebut di paparkan tentang konsep tasawuf akhlaqi dengan sentuhan dan menggunakan paradigma: akhlak, fiqh dan tasawuf. Sebuah kitab yang menawarkan formula dan gagasan jalan tengah untuk menjembatani berbagai pertikaian pemikiran ke-Islaman yang terjadi dizamannya. Lewat tasawuf akhlaqi Kimiyā’al-Sa‘ādah nya tersebut diketahui bahwasanya al-Ghazali merupakan seorang ulama tasawuf akhlaqi yang komplit, hal yang demikian tercermin dari corak berfikirnya yang terlihat pada tulisan karya-karyanya dimana lebih menitik beratkan pada aspek akhlak melalui metode, tazkiyah al-nafs, tashfiyah al-qalb dan tahliyah al-ru>h. Tujuan dari penulisan tesis ini adalah mengenal secara komprehensif tentang al-Ghazali dan pemikiran tasawufnya yang memiliki corak dan kecenderungan nuansa khuluqi-‘amali ketimbang falsafi. Hal ini dikarenakan memang tujuan dari ajaran tasawufnya adalah membangun karakter dan figur yang ber-akhlak mulia sesuai dengan sumber syariat Islam yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang bertujuan untuk menjadikan hati manusia tertuju hanya kepada Tuhan semata demi tercapainya kebahagian sejati dan terungkapnya tirai kebesaran Ilahi, di mana merupakan tujuan yang terpenting dari pelajaran tasawuf akhlaqi lewat kajian kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah nya tersebut. iv KATA PENGANTAR بسن اهلل الرحوي الرحین اللهن صلی علی هحود و آله الطاهریي و اصحاب الویاهیي Segala puji hanya bagi Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya yang senantiasa mengiringi setiap hembusan nafas serta jejak langkah hambanya yang lemah ini. Sholawat dan juga salam hamba haturkan kepada sang pujaan hati, manusia sempurna dunia-akhirat Rasulullah Muhammad SAW, beserta para keluarga sucinya dan sahabat-sahabat setianya serta para pengikut nya yang dengan keikhlasan dan keberanian dalam menjalankan semua sunnahnya. Penulisan tesis yang berjudul : “Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali”, (Studi atas Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah), merupakan hasil dari berbagai masukan dan saran dari semua pihak yang dengan kerelaan dan kesediannya berbagi ilmu dan kebijaksanaan (wisdom) dengan penulis. Tentu saja banyak hambatan dan rintangan yang dilalui oleh penulis di dalam proses penyelesaian tesis ini, namun berkat do‟a dan motivasi serta kesungguhan hati alhamdulilah, segala kesulitan dan hambatan akhirnya mengalir begitu saja, hingga pada saatnya selesai pula penulisan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya atas bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis berkewajiban untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Prof. Dr. H. Zainun Kamal F. MA dan Ibu Dr. Hj. Sri Mulyati, MA yang dengan kesabaran dan keikhlasannya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk membimbing penulisan tesis ini. v 3. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Aziz Dahlan. MA beserta Ibu Dr. Wiwi Siti Sajarah, M.Ag. yang telah memberikan masukan, catatan dan kritik membangun dalam karya tesis penulis. 4. Ibu Dr. Atiyatil Ulya, MA selaku Ketua Program Studi dan Bapak Maulana, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi S2 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi S2 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Terima kasih kepada LPDP yang telah memberikan nutrisi materi ala kadarnya kepada penulis di dalam membantu proses penelitian dan penyelesaian tesis. 7. Penghargaan yang tulus dan ikhlas untuk orang tua/mertua penulis yang dengan doanya menjadi pijakan bagi penulis untuk melihat ke depan. 8. Terima kasih kepada Yang Mulia : Hujatul Islam Sayed Mufid Husaini Kouhsari, Hujatul Islam Sayed Morteza Musawi, Hujatul Islam Syaikh Hakim Ilahi. Dr. Mohsen Zangeneh, MA. Adib Behrouz Mujtaba, MA. Dr. Abdul Aziz Abbacy, MA. Dimana telah menerima dan mempercayakan penulis untuk berkarya dalam aktivitas ilmu pengetahuan. 9. Pimpinan, staf dan mahasiswa/i STFI Sadra. Jamiah al-Mustafa perwakilan Indonesia. Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta serta lembaga riset Sadra International Institute yang telah menjadi wahana intelektualitas bagi penulis. 10. Teman-teman seperjuangan Program Studi S2 angkatan 2014 yang telah berbagi pengalaman atas berbagai masukan dan saran serta kritiknya dan juga para staf akademik Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta wabil khusus Bapak Toto Tohari. vi 11. Istriku Halimatussa‟diyah SS, Lc dan buah hatiku Salman Farisi serta Annisa Nur As Syifa sebagai penyejuk hati sekaligus penawar lelah penulis. Penulis senantiasa berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak tersebut dicatat sebagai sebuah kebaikan dan amal shaleh serta diberikan ganjaran pahala dari Allah SWT. Semoga tesis ini bisa memberikan maanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan dan keagamaan. DAFTAR ISI vii Halaman LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................................i PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................ii ABSTRAK .............................................................................................................................iv KATA PENGANTAR ...........................................................................................................v DAFTAR ISI..........................................................................................................................viii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................................9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................................9 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................................10 E. Metode Penelitian ......................................................................................................13 F. Sistematika Penulisan ................................................................................................15 BAB II. BIOGRAFI AL-GHAZALI A. Latar Belakang Keilmuan ..........................................................................................17 1. Dinamika Sosio Kultural Masa al-Ghazali ..........................................................18 2. Masa Pendidikan al-Ghazali ................................................................................20 B. Karir Perjuangan dan Karyanya .................................................................................22 C. Kepribadian al-Ghazali ..............................................................................................27 1. Skeptisisme al-Ghazali dan Descartes .................................................................29 D. Pemikiran al-Ghazali .................................................................................................32 BAB III. KONSEPSI DAN METODOLOGI TASAWUF A. Makna Konsep dan Definisi Tasawuf ........................................................................38 1. Definisi Tasawuf dan Irfan ..................................................................................53 2. Hubungan Tasawuf dan Irfan...............................................................................57 3. Landasan Teologi Tasawuf dan Irfan ..................................................................68 B. Definisi dan Metode Tasawuf Akhlaqi ......................................................................69 viii 1. Kedudukan Akhlak Dalam Islam .........................................................................70 2. Prinsip Dasar Akhlak Dalam Islam......................................................................73 C. Definisi dan Metode Tasawuf Falsafi ........................................................................78 D. Metode Tasawuf Akhlaqi al-Ghazali .........................................................................83 BAB IV. KITAB KIMIYA>’ AL-SA’A>DAH A. Makna Kebahagiaan Dalam Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah..............................................91 B. Isi dan Penjelasan Umum Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .................................................94 C. Beberapa Tema dan Pembahasan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .....................................102 1. Akhlak Baik dan Akhlak Buruk ...........................................................................106 2. Amarah .................................................................................................................113 3. Jiwa.......................................................................................................................115 4. Hati .......................................................................................................................121 5. Akal ......................................................................................................................128 6. Ruh .......................................................................................................................137 D. Metode Penulisan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .............................................................142 1. Koleksi Naskah Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah ...........................................................143 2. Metodologi Penulisan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .................................................144 E. Tasawuf Akhlaqi dan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah ........................................................146 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................................................149 B. Saran-Saran ................................................................................................................150 KEPUSTAKAAN LAMPIRAN ix x BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Agama sebagai sebuah fenomena telah menorehkan kontribusi sejarah tentang eksistensi peradaban manusia. Walaupun belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama namun disadari atau tidak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sedikit-banyaknya telah mengubah orientasi dan makna agama, namun hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang amat penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat itu sendiri tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Masyarakat yang beragama butuh kepada spiritual. Di sini sangat perlu menegaskan kembali posisi dan peran spiritual Islam sebagai salah satu alternatif untuk menjawab krisis tersebut. Sementara itu dalam Islam persoalan spiritual biasa dipahami dan dipraktikan dalam koridor apa yang dinamakan sebagai ilmu tasawuf. Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai spiritual. Tasawuf pada gilirannya, diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan krisis-krisis modernisme dan memberikan landasan bagi terwujudnya tipologi manusia paripurna (alInsân al-Kâmil)1 serta dapat menata kehidupan manusia dan menunjukan jalan kepada Tuhan melalui perilaku ibadah dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 1 Konsep manusia paripurna, al-Insān al-Kāmil, mulai pertama kali diwacanakan oleh Abu Yazid alBusthami (w. 261 H/874 M) dengan menggunakan slogan al-Wali> al-Kāmil beliau mengatakan: “Wali yang sempurna adalah orang yang telah mencapai makrifat yang sempurna tentang Tuhan, ia telah terbakar oleh api Tuhannya”. Lihat. Abd. Rahman Badawi, al-Syat~āhat al-Ṣ~āfiyyah, (Kairo:al-Maktabah al-Nahd~}i>yyah alMis~}ri>yyah, 1949 ), hal.135. Tema al-Insān al-Kāmil kemudian menjadi kajian pembahasan para sufi besar di zamannya sebut saja misalnya, Ibn „Arabi (w. 638 H/1240 M) dalam kitab Fuṣūṣ al-Ḥika>m dan Futu>hat alMakiyyah selain membahas tentang faham Wah~dat al-Wujūd dan al-Ḥaqi>qat al-Muh~ammadiyyah, juga dibahas tentang konsep dan kriteria al-Insān al-Kāmil. Begitu juga Abd al-Karim al-Jilli (w. 826 H/1422 M), sufi besar yang membahas secara khusus tentang konsepsi al-Insa>n al-Ka>mil sebagaimana yang termaktub dalam karyanya; al- Insān al-Kāmil fī Ma„rifat al-Awākhir wa al-Awā„il. Menurut al-Jilli, “Peringkat kewalian 1 Berkembangnya kajian tasawuf di Indonesia yang dimotori kalangan pesantren2 dan di lingkungan organisasi keagamaan seperti (NU) Nahdlatul Ulama3 kini mulai merambah pada kalangan menengah perkotaan, meskipun disadari memang sebagian kalangan masih enggan melihat tasawuf dan bahkan meragukan keabsahannya sebagai salah satu bagian dari sumber ke-Islaman. Mereka menuduh, mungkin karena sebagian ajaran tasawuf dinilai menyimpang dari nash, di nilai bahwa tasawuf tidak mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan hadits serta banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur non Islam. Sebagian kalangan yang menolak tasawuf dan mengartikan tasawuf dalam arti negatif disebabkan oleh asumsi yang mengatakan kecenderungan dari para pelaku tasawuf yang malas dalam aktifitas sosial dan tasawuf seringkali mendapat pandangan yang cenderung anti kemajuan dan kemunduran, tidak sedikit kalangan modernis rasionalis yang menolak mentah-mentah ajaran tasawuf serta praktik tarekat yang notabene sebagai lembaga kesufian dan kewalian karena dianggap tidak sejalan dengan modernisasi.4 Pernyataan yang cenderung apriori tersebut, hanya melihat tasawuf sebagai ajaran yang hanya mementingkan kepada nilai spiritual semata dan seolah meninggalkan kehidupan profan, akan tetapi yang mesti disadari bahwasanya tasawuf tidak menolak aspek rasionalitas dan perkembangan zaman. tertinggi hanya dicapai oleh manusia paripurna dan di antara keistimewaan yang dimiliki oleh manusia yang mencapai derajat tersebut adalah dikaruniakannya pengetahuan esoterik serta terungkapnya iluminasi Illahiyah, (Kasyf al-Ilāhi).” Al-Jilli, al-Insān al-Kāmil fī Ma„rifat al-Awākhir wa al-Awā„il, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hal. 56. 2 Istilah Pesantren menurut Profesor Johns diambil dari kata dasar “santri” berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan, menurut C.C. Berg; kata Pesantren berasal dari kata dasar “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama dan ilmu pengetahuan. Tetapi menurut Robson kata Pesantren diambil dari kata “Sattiri” yang diartikan dengan orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Lihat. Badri Yatim et all, Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta: DEPAG RI, 2009), hal. 95. Pembahasan yang sangat dalam terkait dengan posisi dan kedudukan Pesantren di Indonesia terutama relasi antara kyai dan santri serta visi-misinya dalam dunia pendidikan yang tradisional ini ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982). 3 Sebuah organisasi Islam (tradisional) Sunni Ahl al-Sunnah wa al-Jama>„ah terbesar di Indonesia yang berdiri sejak 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di kota Surabaya oleh KH. Hasyim Asy„ari (1874-1947). Di antara faktor yang melatar belakangi pendirian organisasi ini adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat Islam melepaskan diri dari sistem bermazhab. Bagi para kyai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Lihat. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 242. 4 Ihsan Ilahi Zhahir, Tasawuf: Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi? (Jakarta: Darul Haq, 2001), hal. 193. 2 Memang harus diakui bahwa meskipun sebenarnya tasawuf ini bukan sebuah fenomena yang ingin menjauh dari realitas kehidupan dunia, namun dalam sejarah awal perkembangannya terdapat indikasi, sufi awal Hasan Basri (21-110 H) mencoba mencari praktik esoterik dalam beragama akibat dari kecenderungan masyarakat muslim saat itu yang sangat bergantung pada nilai-nilai keduniaan, ketika gemerlap dunia menggerogoti keimanan dan merubah pola kehidupan para generasi awal umat Islam, ditawarkanlah konsep zuhud dimana orientasinya untuk menjauhi kesenangan yang menjurus kepada hawa nafsu serta menyadarkan kembali untuk tujuan akhir dari kehidupan yang abadi adalah alam akhirat. Belakangan ini tasawuf mulai masuk kembali diperbincangkan dan bahkan lebih dari itu banyak yang mencoba mempraktikannya, salah satu ulama tasawuf yang terkenal dalam dunia Islam dan banyak menghasilkan karya-karya tasawuf serta senantiasa menjadi pijakan dan rujukan bagi orang yang mendalami ajaran tasawufnya adalah Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H) yang terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali. Setiap aliran tasawuf memiliki amalan dan ajaran khas, sesuai dengan aturan-aturan dan tata cara yang ditetapkan di dalam tasawuf tersebut. Secara sosiologis, tindakan dan perilaku suatu komunitas beragama cenderung didasarkan pada kepercayaan terhadap ajaran-ajaran yang diyakini kebenarannya, sehingga ajaran itu memiliki pengaruh yang cukup besar pada proses sosial dan jalannya kehidupan masyarakat yang bersangkutan.5 Tasawuf bukanlah sekedar ilmu untuk menggapai hakikat ke-Tuhanan semata melainkan tujuan utama dari tasawuf adalah bagaimana menekankan pada totalitas untuk senantiasa ber-akhlak mulia kepada sesama mahluk dan penciptanya serta membangun tatanan sosial yang ideal dalam hidup bermasyarakat berdasarkan panduan agama. 5 F.O‟dea, Sosiologi Agama, (Jakarta: Rajawali, 1992), hal. 21. 3 Abu Hamid al-Ghazali merupakan salah satu penggagas sekaligus tokoh tasawuf di dunia Islam. Semasa hayatnya di dalam menjalankan aktifitas sufisme selalu membangun hubungan duniawi dan ukhrawi yang seimbang dalam kehidupannya. Ajaran tasawufnya senantiasa berlandaskan kepada sumber syariat al-Qur‟an dan hadits serta menekankan aspek etika dan akhlak didalam mengamalkan tasawufnya. Sepanjang hidupnya beliau selalu menekuni karya tulis yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya serta memberikan pemahaman spritualnya melalui jalan tasawuf lewat pengolahan batin (riyāḍah), intelektualisme dan latihan-latihan spiritual yang kemudian dibukukannya dari hasil pengalaman kontemplasinya tersebut. Melalui tulisannya kita dapat mengenal sosok dan perjalanan seseorang sufi legendaris tersebut di dalam mengembangkan pemikiran tasawufnya. Ada beberapa karya tasawufnya yang sering digunakan untuk mengetahui pemikiran sufisme al-Ghazali, diantaranya: 1. Bidāyat al-Hidāyah 2. Minhāj al-„Ābidīn 3. Kimiyā‟ al-Sa„ādah 4. Ihya>‟ „Ulu>m al-Dīn 5. Mi>za>n al-„Amal Abu Hamid al-Ghazali adalah salah satu tokoh sufi besar Khurasan, pelopor ajaran tasawuf Sunni. Melalui tasawuf akhlaqinya hingga kini mampu mengantarkan sebagai sufi termasyhur dan aspek-aspek pemikiran tasawufnya telah banyak diminati dan diikuti oleh banyak kalangan. Hal ini yang kemudian di beri gelar sebagai Hujjat al-Isla>m yang tidak hanya dalam ilmu-ilmu ke-Islaman yang rasional namun juga dalam dunia sufi. Ajaran tasawuf dan pengikutnya kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia Islam, tidak hanya di wilayah Timur namun juga 4 Barat, sehingga banyak ajaran-ajarannya diantara para pengamat, selalu dikenang pemerhati dan dilestarikan. masalah-masalah Hingga agama kini khususnya tasawuf baik dari Barat maupun Timur ikut andil untuk memberikan kontribusi dan komentar-komentarnya terhadap pemikiran al-Ghazali. Paul Newyan, seorang sarjana Barat yang pernah meneliti beberapa tokoh tasawuf seperti: al-Syazili, Junaid al-Baghdadi, Ibn Arabi dan lain sebagainya, berpandangan bahwasanya perkembangan tasawuf dibagi menjadi kepada tiga periode6. Pertama, periode pertumbuhan. Periode ini ditandai oleh Hasan Basri (w.110/728M) dan berakhir pada abad ke-4H/10M. Periode kedua, dimulai pada paruh kedua abad ke-4H/10M, periode ini diwarnai dengan rapuhnya pusat politik dan budaya masyarakat Islam di Baghdad serta maraknya disintegrasi antar sukubangsa. Sementara di sisi lain tasawuf terus mengalami perkembangan dan ajarannya mulai disistematisasi dalam sebuah kitab. Sedangkan periode ketiga, abad ke-5&6H/11&12M,7 ditandai dengan berkembangnya dua tipe sebagai satu tokoh sufisme; elitis- filosofis dan populis. Munculnya al-Ghazali disebut salah yang berusaha menggabungkan dua kecenderungan ini. Al-Ghazali berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, seperti apa yang pernah dirisaukan oleh para modernis, beliau menawarkan tasawuf ideal dengan arti bahwa disamping berupaya 6 Abu Rabi‟, Ibrahim M, suatu pengantar (ed), dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of alSyaẓili (alih bahasa oleh Elmer H. Dauglas), (New York: New York State University Press, 1990), hal. 5. 7 Maksud Paul Newyan dengan tipe elitis-filosofis adalah kelompok sufi yang lebih terkenal dengan pemikiran dan ajaran yang filosofis misalnya, Ibn „Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Sedangkan tipe populis adalah kelompok sufi yang menyebarkan ajaran ke masyarakat dan berkembang luas misalnya dengan melalui jamaahjamaah sufisme atau tarekat. 5 mencapai langit juga harus berkreasi dalam realitas sosial di dunia ini. Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integrasi dari hasil kontemplasi.8 Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan di desa Thus, Khurasan dekat Kota Masyhad bagian timur laut Iran pada tahun 450 H.9 Beliau seorang teolog, filusuf dan faqih yang beraliran Sunni dan sangat menentang paham Mu„tazilah.10AlGhazali menolak sistem pemikiran Mu„tazilah yang memiliki kecenderungan besar di dalam penggunaan akal. Beliau melihat Mu„tazilah memprioritaskan akal walaupun memang tidak mendahului lebih terkesan wahyu namun tetap menggunakan wahyu hanya sebatas konfirmasi. Sedangkan kecenderungan fiqih alGhazali mengikuti Imam Syafi‟i dan konsep teologinya lebih dekat kepada Mazhab Asy„ari11 dimana sangat kuat berpengaruh di Khurasan dan dunia Islam masa itu12. Abu Rabi, Suatu Pengantar (ed), dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Syaẓili, hal. 25. Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhan Press, 1984), hal. 275. 10 Golongan Rasionalis Islam atau kaum Mu„tazilah adalah golongan yang membawa persoalanpersoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dimana dalam pembahasan mereka banyak menggunakan akal (rasio) sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”. Sebagian sejarawan muslim seperti: al-Baghdadi (w. 463 H), al-Syahrastani (w. 548 H) dan Tasy Kubra Zadah (w. 1561 M); berpendapat bahwa, kata Mu„tazilah berasal dari kata (i„tazala) yang berarti keluar, memisahkan atau menjauhkan diri dari sebuah golongan. Hal ini terkait dengan peristiwa perdebatan teologis antara Washil ibn Atha‟ (w.131 H/748 M) dan Hasan Basri (w. 110 H/728 M) di suatu majelis di Masjid Basrah. Di antara pandangan Mu„tazilah yang sangat menekankan pentingnya akal adalah: Bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya serta merta dapat dan wajib mengenal Tuhan, selain itu juga akal manusia dapat memperbedakan perbuatan-perbuatan baik dan buruk tanpa adanya bantuan dan turunnya wahyu dari Tuhan. Lihat. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 38. 11 Nama lengkapnya adalah Abu al Hasan Ali ibn Isma„il al-Asy„ari ulama kelahiran Basrah pada 873 M/270 H dan wafat di Baghdad pada 935 M/330 H. Pada masa mudanya beliau adalah murid seorang tokoh Mu„tazilah termasyhur Abu Ali Muhammad ibn Abd al-Wahab al-Jubai. Alasan keluarnya Asy„ari dari mazhab teologi Mu„tazilah ini dikarenakan ketidak-cakapan al-Jubai yang tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan al-Asy„ari setelah keduanya terlibat dalam perdebatan teologis. Mengenai isi perdebatan tersebut dapat dilihat dalam karya Ahmad Mahmud Subhi, fī „Ilmi al-Kalām, (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami„ah, 1969), hal.182. AlAsy„ari menjadi ulama yang cemerlang di masanya. Di antara karya-karya beliau adalah al-Iba>nah fī Uṣūl alDiya>nah, al-Risa>lah fī al-Ist~iḥsa>n al-Khauz fî al-Kalām, Kitab Syarḥ wa al-Tafṣil, al-Luma‟,al-Mu„jaz,alI„ādah al-Burhān dan al-Maqālah al-Isla>miyyah wa Ikhtilāf al-Muṣ~alliyin. Kitab yang disebutkan terakhir ini adalah kitab yang paling otentik mengenai pandangan-pandangan Asy„ari tentang doktrin dan dogma agama yang berbeda-beda. 8 9 12 Bosworth, CE, Dinasti-Dinasti Islam, (ahli bahasa Ilyas Hasan), (Bandung: Mizan, 1993), hal. 54. 6 Annemari Schimmel mencatat bahwa ajaran tasawuf al-Ghazali ini mempunyai pendekatan yang berbeda dengan sufi lain. Di mulai sebagai seorang sa>lik yang berupaya menuju Tuhan dan kemudian dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarikat dalam masyarakatnya di tengah-tengah aktifitasnya,13 oleh karena itu ajaran tasawuf al-Ghazali bisa menjadi bukti bahwa menjalani kehidupan sufi itu tidak harus meninggalkan dunia, mengikuti ajaran tasawuf itu tidak berarti menghalangi upaya-upaya modernisasi. Wal hasil, ajaran sufisme al-Ghazali tersebut dinilai oleh sebagian pihak sebagai sebuah model tasawuf jalan tengah (moderat).14 Menjadi sufi adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya, dapat dibilang hal ini merupakan bagian inti dari ilmu tasawuf. Mengingat alasanalasan di atas, tasawuf mulai digemari kembali namun pada sisi lainnya tasawuf juga masih dipertanyakan baik dari sisi doktrin maupun landasannya, karena itu tampaknya sangat relevan dan menarik untuk meneliti konsep dan pemikiran tasawuf al-Ghazali yang nampaknya sesuai dengan kondisi sekarang ini di mana kajian tasawuf cukup digemari tidak hanya pada lapisan bawah dan menengah bahkan juga lapisan atas.15 Tasawuf atau spiritualisme Islam sampai kini menjadi kajian yang selalu hangat diperbincangkan dan bahkan lebih dari itu, banyak pula yang mencoba mengamalkannya. Sekarang ini kecenderungan terhadap spiritual semakin meluas, mulai dari kalangan yang mewah yang pada akhirnya berakibat pada meningkatnya kaum intelektual yang fasih 13 Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (The University of North Carolina Press), hal. 51. 14 Sebuah metode sufisme yang memadukan antara formalisme fiqh dengan substansialisme tasawuf heteredoks (yaitu tasawuf yang memiliki kecenderungan bid„ah/sesat menurut pandangan sebagian ulama, dalam hal ini Ibn Taimiyah dan pengikutnya). Meski demikian tasawuf jalan tengah ini bukan tanpa kritik golongan liberal (sebagian golongan/kaum rasionalis termasuk dalam kategori ini Mu„tazilah) mengkritik karena konservatifnya, sedangkan golongan konservatif mengkritik lmam al-Ghazali terlalu liberal; Kaum filosofis mengkritik karena ortodoksnya (kegigihan al-Ghazali terhadap kebenaran pemikiran yang diyakininya) dan kaum ortodoks karena filsafatnya. Namun kritik-kritik tersebut seolah tidak menggoyahkan ketegaran Imam alGhazali sebagai penyelamat tasawuf Sunni. Lebih jauh lihat, M. Saeed Sheikh, “Influence of al-Ghazali”, dalam, M. M. Syarif (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Weesbaden: Otto Harrowits, 1963), hal. 638. 15 Martin Van Bruinessen, Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 16. 7 berbicara masalah spiritual. Sejalan dengan fakta serta fenomena tersebut pada tingkat tertentu kita akan melihat betapa meningkatnya kaum intelektual yang menguasai kajian dan wacana spiritual saat ini. Intelektual yang juga ahli dibidang spiritual akan mempunyai nilai tambah dalam masyarakat modern saat ini. Seseorang yang memasuki dunia spiritual melalui tasawuf akan begitu terkesima dengan ajaran-ajaran tasawuf yang begitu menarik hati. Apabila seseorang sudah menyelami dalamnya lautan fana maka seakan-akan dia telah bersatu dengan Tuhannya. Sungguh sebuah jasa yang luar biasa dari al-Ghazali melalui karya-karyanya yang menggagas jalan tasawuf moderat yang sampai kini tetap memberikan kontribusi terhadap pemikiran umat yang begitu berpengaruh sangat dalam terhadap dimensi kehidupan masyarakat muslim di masanya dan masa kini. Melalui ajaran dan ide-ide tasawufnya tersebut karya-karyanya senantiasa dikaji dan diamalkan oleh para pecinta tasawuf. Mengingat alasan-alasan di atas yang mana ajaran tasawuf al-Ghazali masih bertahan sampai saat ini bahkan adanya kecenderungan lebih banyak pengikutnya dari hari ke hari hingga tasawuf mulai digemari kembali oleh semua kalangan sosial ataupun strata ekonomi yang berbeda-beda. Namun pada sisi lain tasawuf masih seringkali dipertanyakan baik dari sisi doktrin maupun landasannya seakan-akan tasawuf bukan dari ajaran Islam dan merupakan saduran dari agama selain Islam. Maka dari itu tampaknya hal ini sangat relevan dan menarik untuk mengkaji dan merekonstruksi kembali konsep dan pemikiran tasawuf al-Ghazali terkait dengan bagaimana ide dan gagasan orisinal tasawuf yang dijalankan oleh para pengikutnya dari berbagai kelompok dan golongan tersebut yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan konteks sosial kehidupan masyarakat muslim masa kini. 8 Penelitian ini mencoba untuk mengkaji serta melacak dan memahami secara lebih komprehensif tentang pemikiran tasawuf al-Ghazali yang nampaknya sangat dibutuhkan dengan kondisi sekarang ini, di mana tasawuf di harapkan menjadi solusi sosial bagi kehidupan manusia modern dan bahkan lebih dari itu kajian ini cukup digemari pada lapisan bawah dan menengah serta lapisan atas strata masyarakat muslim Indonesia. Hal ini di indikasikan dengan banyaknya pusat kajian tasawuf yang mulai semarak diadakan di pemukiman elit dan adanya fenomena baru dengan semakin marak munculnya penerjemahan dan penerbitan buku dan karya tasawuf itu sendiri. B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada seputar sistem ajaran tasawuf akhlaqi dan pemikiran sufisme Imam al-Ghazali terutama mengupas lebih dalam karya beliau yang menjadi objek pembahasan penulisan tesis ini yang berjudul Kimiyā‟al-Sa„ādah Adapun rumusan masalah yang akan dicarikan jawabannya adalah sebagai berikut: 1. Apa dan bagaimana ide serta gagasan utama tasawuf akhlaqi al-Ghazali? 2. Bagaimana konsep dan metodologi tasawuf akhlaqinya? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan di atas dengan harapan akan memberikan beberapa manfaat dan kegunaan. 9 2. Manfaat Bila studi ini dapat terlaksana dengan baik serta dilakukan secara maksimal, diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka penelitian ini dapat memberikan manfaat yang antara lain: a. Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan dunia Islam, terutama di bidang ilmu tasawuf. b. Dapat lebih mengenal sosok al-Ghazali secara lebih komprehensif sebagai pemikir dalam bidang tasawuf bagi masyarakat yang ingin mengenal lebih dalam, maka penelitian ini dapat bermanfaat. c. Tasawuf al-Ghazali tampaknya memiliki ajaran yang menjembatani antara masyarakat yang sangat mendepankan esoterik semata dengan masyarakat modern yang realis-empiris. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan masukan kepada masyarakat modernis agar menghilangkan kesan bahwa tasawuf itu anti kemajuan dan kemunduran. d. Penelitian ini akan sangat berguna bagi penulis sendiri dan para pengkaji tasawuf al-Ghazali tentunya untuk lebih mengenal bidang tasawuf lebih dalam dan apabila masih banyak kekurangan di dalam penyajian tesis ini, penulis akan terus belajar dan memperbaiki agar ilmu yang didapat semakin bertambah dan bermanfaat. D. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini secara khusus mencoba mengkaji secara komprehensif mengenai latar belakang, pendidikan dan karya-karya tasawuf al-Ghazali yang sampai saat ini masih belum lengkap dan belum optimal. Kalaupun ada kebanyakan dari tulisan atau hasil penelitian tentang al-Ghazali dalam bentuk perbandingan dengan tokoh lain yang terkait dengan tema atau pembahasan tertentu. Sangat sedikit sekali tulisan atau hasil karya ilmiah yang mengkaji 10 pemikiran tasawuf al-Ghazali melalui kajian kitabnya secara utuh dan menyeluruh. Beberapa kajian terkait dengan pemikiran tasawuf tokoh ini dapat kita lacak dan telusuri melalui karya tulisan dalam bentuk buku, jurnal atau karya tulis ilmiah tingkat magister di antaranya dalam bentuk buku adalah: “Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah”16 karya Abdul Fattah Sayid Ahmad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan oleh penerbit Khalifa pada tahun 2013. Melalui karyanya tersebut penulis menyampaikan tentang sejarah dinamika ajaran tasawuf pada masa Islam klasik dengan menguraikan beberapa konsep dan teori ajaran tasawuf di masa kejayaannya kemudian diikuti dengan berbagai pandangan ulama Islam selanjutnya yang kecenderungannya puritan dalam hal ini diwakili oleh Ibnu Taimiyah. Secara eksplisit buku ini mencoba mensejajarkan pandangan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah dengan latar belakang intelektual kedua tokoh tersebut walaupun amat disayangkan bahwasanya penulis buku ini lebih cenderung memihak kepada pandangan dan pemikiran Ibnu Taimiyah. Kemudian juga karya buku terbitan Islamika Press Jogyakarta yang berjudul “Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer”17 yang ditulis oleh Sibuwaihi, di mana dalam buku ini diterangkan mengenai perbedaan konsep terkait dengan masalah eskatologi dalam pandangan kedua tokoh yang dalam kacamata epistemologi Islam dan barat tentu saja dengan mencoba melakukan analisa yang terkait pada dunia keilmuan yang berbeda di zamannya, namun sayang buku ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti tentang pandangan yang bagaimana dan seperti apa konsep eskatologi yang sesuai dengan pandangan Islam itu sendiri. 16 Abdul Fatah Sayed Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Penerbit Khalifa, 2013). 17 Sibuwaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi KlasikKontemporer, (Yogyakarta: Islamika Press, 2003). 11 Tesis yang dikaji terkait dengan tasawuf akhlaqi al-Ghazali juga ditulis oleh Yusuf Daud mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina tahun 2014 dengan judul “Ma„rifat alNafs According To al-Ghazali and Its Relevance for Today‟s World”.18 Penekanan dari kajian tesis ini adalah mencoba memahami dan mendefinisikan konsep Ma„rifat al-Nafs dalam pandangan al-Ghazali dan mencoba mengkaitkannya pada pola kehidupan manusia kontemporer, memahami lebih dalam tentang hakikat diri manusia didalam menggapai kebahagiaan sejati. Di sinilah al-Ghazali memberikan masukan dan pandangan terkait dengan masalah yang terkait dengan ketenangan diri manusia. Namun sayang penulis tidak memberikan penjelasan dari kitab atau referensi yang mana dalam tulisan al-Ghazali lebih khusus di dalam membahas konsep Ma„rifat al-Nafs itu sendiri. Karya penulisan dalam bentuk tesis lainnya terkait dengan Tasawuf al-Ghazali adalah karya dari Sofwan Iskandar mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina tahun 2013 yang mengambil tema “ Konsep Manusia Sempurna (al-Insān al-Kāmil) menurut al-Ghazali dan Murtadha Muthahhari: Sebuah Studi Perbandingan.19 Dalam tesis ini dijelaskan mengenai makna dan konsep manusia sempurna dalam pandangan kedua tokoh di atas disebutkan bahwasanya ketika manusia telah mencapai derajat keutamaan (al-Faḍilah) manusia memiliki potensi untuk dapat menuju derajat kesempurnaan (al-Insān al-Kāmil) melalui pendekatan yang berbeda dan tentu saja dari latar belakang mazhab dan ideologi agama yang tidaklah sama memunculkan suatu analisa yang berbeda pula terkait dengan konsep manusia sempurna dari pandangan kedua tokoh pemikiran Islam itu sendiri. Maka dari itu dalam pembahasan ini, peneliti ingin menganalisa dan mengungkapkan secara detail konsep-konsep tasawuf akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali yang terkenal dengan sikap moderatnya melalui pernyataan yang ditulis oleh beliau terkait dengan 18 Yusuf Daud, Ma„rifat al-Nafs According To al-Ghazali and Its Relevance for Today‟s World. Tesis Magister Agama (Jakarta: ICAS Paramadina, 2014). 19 Sofwan Iskandar, Konsep Manusia Sempurna (al-Insān al-Kāmil) menurut al-Ghazali dan Murtadha Muthahhari: Sebuah Studi Perbandingan. Tesis Magister Agama (Jakarta: ICAS-Paramadina, 2013). 12 dimensi akhlak dalam ajaran tasawuf lewat kajian dan telaah terhadap salah satu karya tasawufnya yang berjudul Kimiyā‟al-Sa„ādah. E. METODE PENELITIAN Penelitian tesis ini termasuk penelitian sejarah, (historical research)20 ditinjau dari ragam masalah yang diteliti. Penelitian sejarah melewati lima tahap, yaitu penelitian topik, pengumpulan sumber (heuristic),21 verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi, analisis dan sintesis serta penulisan. Sementara ditinjau dari segi sumber-sumber data penelitian, penelitian ini bersifat kepustakaan (library reseach).22 Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bukti-bukti sejarah tokoh al-Ghazali berupa keterangan, penjelasan, penafsiran atau analisis pakar sejarah terkait tentangnya. Selain itu dokumendokumen yang menyangkut berbagai manuskrip, ungkapan dan surat-surat yang menggambarkan ide dan pemikiran al-Ghazali dan terutama karyanya. Kedua macam jenis data itu merupakan bahan-bahan yang saling menunjang dalam mempertajam kerangka analisis. Maka jenis data yang dibutuhkan bersifat kualitatif dan dokumenter. Oleh karena itu sumber-sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berupa bahan kepustakaan yakni: buku, artikel, laporan dan sejenisnya yang berkaitan dengan masalah penelitian. Sumber primer kitab al-Ghazali yang berjudul: Kimiyā‟al-Sa„ādah, Husain 20 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1997), hal. 87-107. Sumber disini adalah sumber sejarah (historical sources) yaitu sumber-sumber yang dapat dijadikan alat bukti tentang peristiwa masa lampau baik berupa peninggalan yang berbentuk relief, monumen ataupun manuskrip atau bukti-bukti lain yang otentik. Sejumlah sumber yang tersedia adalah data verbal sehingga membuka kemungkinan bagi penulis sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Adapun klasifikasi sumber sejarah tersebut pada dasarnya dapat dibedakan menurut bahan, asal-usul atau urutan penyampaiannya dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua: Sumber tertulis dan sumber tidak tertulis; sedangkan sumber-sumber menurut urutan penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sementara menurut tujuannya dapat pula dibagi menjadi sumber formal dan informal. Lihat. Siti Maryam (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Jurusan SPI IAIN Sunan Kalijaga &LESFI, 2003), hal. 5-6. 22 Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta; Rajawali Press, 1998), hal. 16. 21 13 Hadijum (ed), Intesyarate Elme Va Farhangi, Tehran 1390 H, serta ditambah dengan buku pendukung lain di antaranya: 1. Bidāyat al-Hidāyah, ( Beirut: Dar al-Sadr, 1419 H) 2. Minhāj al-„Ābidīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H) 3. Ihyā‟ „Ulūm al-Dīn, (Tehran: Intesyarat-e Elmi va Farhangi, 1389 H) 4. Mi>za>n al-„Amal (Beirut: Dar al-Ṣadr, 1430 H) Sumber primer ini juga meliputi yaitu: pertama, karya-karya tulis al-Ghazali dan kedua berbagai tulisan dan kitab-kitab yang berisi pembahasan, analisis dan penuturan sejarah para penulis yang dekat masa hidupnya yang terkait dengan al-Ghazali. Sedangkan sumber sekunder penelitian ini adalah bahan-bahan pustaka berupa buku, artikel, dan terbitan apapun yang membahas pemikiran dan pandangan al-Ghazali yang berkenaan dengan masalah sosial, budaya, ekonomi dan politik dan tasawuf tentunya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini pada intinya adalah metode penelaahan (pemeriksaan dan bacaan) pustaka. Kemudian data-data diatas tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan hermeneutika dalam upayanya untuk mencoba membaca sekaligus menafsirkan karya-karya, ungkapan dan pernyataan al-Ghazali yang belum jelas maksudnya serta mencoba melihat latar-belakang serta motif dari ditulisnya karya al-Ghazali tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keshahihan dan kedalaman isinya dan tidak melakukan penelitian yang bersifat filologis. Melalui bantuan lain dari data sekunder ide-ide dan gagasan tasawuf akhlaqi alGhazali kemudian dipahami dan dianalisa dengan menggunakan kajian ilmu-ilmu sosial. 14 Oleh karena itu penggunaan pendekatan hermeneutika tersebut berdasarkan hermeneutika sejarah Wilhelm Dilthey23. F. SISTEMATIKA PENULISAN Mengingat luasnya permasalahan yang dikaji serta untuk memudahkan penulisan, maka konsep penulisan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Pendahuluan sebagai bab pertama yang menyangkut pembahasan mengenai latar belakang terkait munculnya ajaran tasawuf dalam Islam hingga menjadi sebuah kajian yang marak di kalangan masyarakat muslim modern dalam upayanya mencari persoalan manusia masa kini dan kemudian diikuti dengan pembahasan masalah yang mencoba mengangkat kajian tasawuf akhlaqi al-Ghazali dengan melihat pada ide dan pemikiran tasawufnya. Setelah itu dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian dari tesis ini sebagai wacana dan sumbangsih bagi kajian ilmu tasawuf di tanah air. Dengan melihat tinjauan pustaka dari beberapa karya tulis yang terkait dengan al-Ghazali dan dengan menggunakan metode penelitian hermeneutika-sejarah tesis ini ditulis. Dalam bab kedua membicarakan tentang latar belakang kehidupan dan pendidikan al-Ghazali, karir intelektual, perjuangan dan karyanya. Disamping itu juga akan dibahas mengenai kepribadian serta pandangan dan karya-karya al-Ghazali dimana denga adanya uraian tersebut diharapkan dapat menghadirkan sosok al-Ghazali lebih dalam dan menyeluruh. Sementara itu dalam bab ketiga akan dibahas mengenai konsepsi dan metodologi ajaran tasawuf secara umum, penjabaran terkait dengan definisi tasawuf dan „irfa>n dengan 23 Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dikenal sebagai intelektual-filusuf sekaligus sosiolog asal Jerman dan dianggap sebagai tokoh sejarawan hermeneutika modern pertama di dunia barat. Pendekatan Dilthey yang menjadikan hermeneutika-sejarah sebagai sumber pemahaman teks dan jika diterapkan pada karya-karya alGhazali akan dihasilkan, bahwasanya kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah adalah teks sufisme yang memiliki nilai sejarah dan dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya pada waktu itu. Teori Dilthey mengenai understanding (verstehen) mengartikan hermeneutika sebagai teori dan aturan dalam menginterpretasikan karya tulis dalam pendekatan historis dan lewat kajian human sciences bisa di dapatkan hasil yang objektif. 15 menekankan pada aspek historis dan doktrinalnya sekaligus pembagiannya. Kemudian secara khusus akan dikaji mengenai pemikiran tasawuf al-Ghazali yang menitik-beratkan pada metode tasawuf akhlaqinya. Bab ke-empat mengkaji tentang ajaran tasawuf akhlaqi al-Ghazali dengan merujuk pada kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah yang meliputi pembahasan tentang isi kitab tersebut disertai dengan penjelasannya serta membahas metode penulisan kitab tersebut dengan menampilkan beberapa bagian dari tema–tema tertentu dalam kitab tersebut dan diakhiri dengan latar belakang penulisan kitab tersebut serta kaitannya dengan kajian metode tasawuf akhlaqi alGhazali. Pada bab kelima berisi kesimpulan-kesimpulan hasil pembahasan dari persoalan yang dimunculkan pada bab pertama dan dilanjutkan dengan saran-saran yang berkaitan dengan kajian ketasawufan dan kemudian diakhiri dengan beberapa sample manuskrip Kimiyā‟al-Sa„ādah karya al-Ghazali yang sekaligus menutup pembahasan tesis ini. 16 BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI Abu Hamid Muhamad ibn Muhamad al-Thusi al-Ghazali merupakan salah satu cendekiawan muslim di zamannya yang terkenal karena pemikiran dan karyanya disatu sisi serta banyaknya pandangan dan tulisan yang terkait dengannya dari berbagai kalangan disisi lain. Beliau tidak hanya masyhur di lingkungan akademisi dan intelektual di dunia Islam selama berabad-abad, melainkan juga terkenal di dunia Barat baik kalangan kritikus dan pemikirnya. Diantara salah satu faktor yang membuat nama al-Ghazali terkenal di dunia Barat adalah proses pencariannya di dalam menggapai hakikat kebenaran tentang ilmu hingga mengakibatkan sebuah keadaan skeptisisme dalam dirinya. Hingga kemudian konsep skeptisisme ini di adopsi oleh filosof Perancis Rene Descartes (w.1650 M)1 didalam memahami hakikat ilmu pengetahuan. Faktor lain dari penyebab terkenalnya al-Ghazali di dunia Barat atau bahkan dunia Islam secara umum adalah pertentangan keras al-Ghazali terhadap ilmu filsafat. Pemikirannya tersebut secara khusus telah mematikan wacana berpikir bebas dalam beragama sekaligus sebagai bentuk pengingkaran terhadap ilmu-ilmu rasional dalam Islam. Kehadiran al-Ghazali menurut sebagian kalangan justru menjadi anugerah bagi umat Muhammad SAW dikarenakan lewat tangannya hadir karya-karya yang monumental dalam bahasa Arab dan Persia di berbagai bidang keilmuan diantaranya: mantiq, filsafat, fiqh, kalam serta tasawuf. Sebagian ulama menganggap al-Ghazali sebagai figur yang derajat keilmuan dan intelektualitasnya satu derajat di bawah Nabi Muhamad SAW hingga kemudian gelar 1 Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern merupakan seorang filsuf dan ahli matematika asal Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Terkenal-dengan ucapannya "Aku berpikir maka aku ada". I think, therefore I exist. Metode filsafatnyanya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan. Diantaranya: 1. Pengetahuan yang berasal-dari pengalaman inderawi dapat diragukan; 2. Fakta umum tentang dunia semisal: Api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan; 3.Logika dan Matematika prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Lihat. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980), hal. 18. 17 Hujjat al-Isla>m2 disematkan pada dirinya. Hadirnya al-Ghazali dianggap mampu menjembatani polemik panjang antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf sekaligus mampu melakukan terobosan baru didalam melakukan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat alQuran dan meletakan tasawuf dalam koridor ilmu syariat. A. Latar Belakang Keilmuan Dinamika Sosio Kultural Masa al-Ghazali Pertengahan abad ke V H atau bertepatan dengan abad XI M adalah masa-masa kehidupan dan dinamika sosio-kultural masyarakat al-Ghazali berlangsung. Pada saat itu era dimana kekuasaan Dinasti Abbasiah berkuasa dan telah memasuki masa kemunduran dan kelemahan politik bagi dinasti. Peristiwa kudeta di kalangan istana seringkali terjadi bahkan terjadinya pertumpahan darah dan juga revolusi oleh kalangan Ismailiyah yang di dukung oleh Dinasti Fatimiyah menjadi catatan kelam bagi stabilitas Dinasti Abbasiah tersebut. Hingga akhirnya serangan muncul dari orang-orang Turki yang kemudian menguasai wilayah Iraq hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiah berhasil di rebut. Taghrul Beik yang kemudian mendirikan Dinasti Saljuq sekaligus menobatkan dirinya sebagai pemegang kendali kekuasaan dan pemerintahan di seluruh wilayah Baghdad dan Khurasan yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah saat itu.3 2 Dimasa al-Ghazali apresiasi keilmuan terhadap para ulama muslim oleh masyarakat dan istana begitu tinggi. Banyak gelar (laqab) yang disematkan kepada para ulama seperti: Al-Kulayni (w. 329 H) yang bergelar sebagai Tsiqah al-Isla>m, kemudian juga kepada Sayid Murteza (w. 436 H) dengan gelar ‘Alla>m al-Huda> serta Allamah Hilli (w. 648 H) dengan sebutan Aya>tulla>h. Gelar al-Ghazali yang termasyhur di antara gelar yang lainnya adalah Hujja>t al- Isla>m diberikan karena lewat kemampuan artikulasi bahasa dan kecakapannya dalam berdebat dan selalu dimenangkan olehnya terhadap lawan debatnya senantiasa menjadi keistimewaan baginya di hadapan ulama pada masa itu. Di Iran sendiri gelar Hujja>t al- Isla>m sampai saat ini masih berlaku dan disematkan kepada seseorang yang telah mengenyam pendidikan Baḥts al- Kha>rij sebuah tingkatan dalam pendidikan Hauzah (keagamaan-tradisional) di Iran dimana orang tersebut telah mampu berijtihad dalam masalah-masalah keagamaan dan telah mendapatkan syahadah dari ulama sekelas Aya>tulla>h. Jalaluddin Humaiy, Ghazali Nameh, (Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal.112. 3 Para khalifah Dinasti Abbasiyah yang sezaman dengan al-Ghazali di antaranya Abdullah Qaim Bi Amrillah (422-467 H); Abdullah Muqtadi Biamrillah (467-487 H); Ahmad al-Mustazhar Billah (477-512 H). Sementara itu para sultan Dinasti Saljuqiyah yang sezaman dengan al-Ghazali diantaranya Ruk al-Din Abu Talib Tughrul Beik (429-455 H); Izz al-Din Abu Suja‟ Alep Arselan (455-465 H); Jalal al-Din Abu Fath Malik Shah ibn Alep Arselan (465-485 H); Naser al-Din Mahmud ibn Malik Shah (485-486 H); Ruk al-Din Abu 18 Pada masa Dinasti Saljuqiyah yang dipimpin oleh Sultan Izz al-Din Abu Suja„ Alep Arselan (455-465 H), inisiasi pembukaan sekolah-sekolah Nizamiah dilakukan. Alasan di dirikannya sekolah-sekolah Nizamiah tersebut adalah untuk membentengi agama sekaligus mempertahankan tradisi dan Sunnah Nabi Muhamad SAW. Pada dasarnya Dinasti Saljuqiyah ini bukanlah sebuah sistem monarki yang berlandaskan agama atas mazhab tertentu bahkan boleh dibilang para pembesar Dinasti Saljuqiyah tidak paham permasalahan yang terkait dengan pokok agama (uṣhuluddīn) apalagi masalah–masalah yang terkait dengan cabang agama itu sendiri (furu‟). Namun yang menarik adalah walaupun Dinasti Saljuqiyah di zaman Alep Ersalan ini sama sekali buta dengan masalah agama akan tetapi kecintaannya pada ilmu dan ulama (ahlu sunnah) menjadikannya beliau sebagai seorang sultan dari Dinasti Saljuqiyah yang dekat dengan rakyat dan ulamanya. Akhirnya diperintahkannya Wazir Nizam al-Mulk untuk membuka beberapa Madrasah Nizamiah di berbagai wilayah kekuasaannya seperti di Baghdad, Naisyabur dan Isfahan. Tentu saja tujuan utama dari pembukaan sekolah tersebut adalah bukan tanpa sebab dan hanya semata-mata untuk kepentingan agama, namun lebih dari itu ternyata ada motif politik yang kemudian dijadikan alat untuk meraih dominasi kekuasaan bagi sang sultan terkait dengan konfilk kawasan. Kuatnya pengaruh Syiah Ismailiyah dikawasan Baghdad dan kemudian mendapat dukungan dari Dinasti Fatimiyah di wilayah Afrika Utara (Mesir) dengan membangun Univeristas al-Azhar sebagai pusat pendidikan dan pengajaran mazhab Syiah Ismailiyah dikawasan Timur-Tengah. Atas dasar kekhawatiran tersebutlah menjadi motif di bukanya Madrasah Nizamiah di mana salah satu tujuannya untuk membentengi dan mengembangkan mazhab Ahlu Sunnah dari pengaruh dominasi mazhab Syiah Ismailiyah. Madrasah Nizamiah diharapkan menjadi pusat pendidikan keagamaan mazhab Ahlu Sunnah di wilayah dan Muzaffar Burkiyaruq (486-498 H); Ghiyats al-Din Abu Suja‟ ibn Malik Shah (498-511 H). Lihat Jalaluddin Humaiy, Ghazali Nameh, hal. 350. 19 kawasan kekuasaan dinasti Saljuqiyah. Para ulama Ahlu Sunnah terkemuka yang tersebar dari wilayah Asia Barat mulai dari Syam sampai Khurasan berkumpul dan menjadikan Madrasah Nizamiah sebagai basis keagamaan mereka.4 Maka dari itu masa awal al-Ghazali adalah masa di mana wacana ilmu dan pemikiran keagamaan semakin cepat berkembang bahkan disertai dengan munculnya ulama-ulama besar di zamannya yang senantiasa aktif dan produktif di dalam melahirkan gagasan dan pemikiran keagamaannya dalam bentuk karya tulis.5 1. Masa Pendidikan al-Ghazali Menurut sejarawan muslim6 yang mengkaji tentang biografi al-Ghazali menerangkan bahwa tokoh sufi ini dilahirkan di kota Thus sebelah Timur Khurasan (Masyhad: Sekarang), pada pertengahan abad ke V H (450 H/1058 M). Meskipun tidak ada data yang akurat terkait dengan kapan dan waktu yang tepat al-Ghazali memulai belajar secara formal, namun hampir bisa dipastikan bahwasanya beliau mengenyam pendidikan non formal pertamanya kepada teman sang ayah yang merupakan seorang sufi. Beliau adalah 4 Hanna Fakhuri, Tarikh Falsafe Dar Jahon-e Islam, (Tehran: Entesyarate Ilm va Farhang, 1383), hal. 518. 5 Masa awal al-Ghazali dalam pandangan sejarawan muslim dikenal-sebagai masa kejayaan umat Islam dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan dan juga sastra serta ilmu pengetahuan di satu sisi, namun di sisi lain masa tersebut juga dikenal sebagai masa ta’asub mazhab yang tinggi dan masa perdebatan yang sengit antar mazhab. Misalnya, perdebatan yang sering kali terjadi di kalangan Ahlu Sunnah sendiri yaitu antara mazhab teologi Asy‟ari dan Mu‟tazilah pada abad ke 4-5 H semakin tajam kemudian juga perdebatan sengit antara mazhab fiqhiyah antara mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi dan hal itu bahkan terjadi di dua kota besar yaitu Naisyabur dan Isfahan yang menjadi pusat ibukota Dinasti Saljuqiyah. Di sisi lainnya pertentangan yang tajam antara mazhab Bathiniyah yang bersekutu dengan mazhab Ismailiyah untuk mempropagandakan dan menyerang mazhab Ahl Sunnah. Akibat pertentangan mazhab ini akhirnya meruncing pada masalah politik antar dinasti dimana setiap dinasti mendukung salah satu mazhab untuk menyerang dinasti lain yang berseberangan dengan mazhabnya. Misalnya Dinasti Fatimiyah Mesir dan golongan Ismailiyah Iran bersekutu untuk menyerang Dinasti Abbasiyah yang bersekutu dengan Dinasti Saljuqiyah. Lihat Ibn Atsir, al-Ka>mil fi al-Ta<rikh, Vol.4 (Damaskus: Matbua‟ al-Tawfiq, 1347), hal.75. 6 Di antara para sejarawan yang secara khusus mengkaji dan melacak sejarah kehidupan al-Ghazali di antaranya adalah Taj al-Din as-Subki, Tabaqa>t al-Sya>fi‘iyah, (w.771 H/1370 M); Abd al-Ghafir al-Farisi, alSiya>q li Ta>rikh Naisha>bur, (w. 529 H/1133 M); al Sam„ani, al-Tahbi>r fī al-Mu‘ja>m al-Kabi>r, (w. 562 H/1166 M); Ali ibn Hasan Ibn Asakir, Târ>ikh Dimashqi wa Zikr Faḍliha> wa Tasmiyat man H~allaha>, (w. 571 H/1775 M); Abd al-Rahman Ibn Ali Ibn al-Jawzi, al-Muntazam fī Tâ>rikh al-Mulu>k wa al-Uma>m, (w. 597 H/1201 M); Ahmad Ibn Muhamad Ibn Khalikan Wafa>yat al-‘Aya>n wa Anba’ Abna al-Zama>n, (w. 681 H/1282 M); Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, Ta>rikh al-Isla>m wa Wafa>yat al-Masha>hir wa al-A‘la>m, (w.748 H/ 1347 M); Ismail ibn Umar Ibn Katsir, al-Bidâ>yah wa al-Nihâ>yah fi Tâ>rikh, (w. 774 H/ 1373 M); Abd. Rahman Badawi, Mu‘allifa>t Ghaz>ali> (w. 2002 M). 20 Imam Ahmad bin Muhamad Radzkani7 figur ulama yang sangat mumpuni dalam bidang alQur‟an, bahasa Arab dan fiqh. Lewat tangan beliau al-Ghazali memperoleh pelajaran ilmu dasar keagamaan (uṣhuluddīn). Proses pembelajaran non formal yang diterima al-Ghazali tersebut sangat berlangsung singkat dikarenakan minimnya sarana dan prasarana dan hanya mengandalkan pendanaan dari sisa warisan orang tua al-Ghazali. Sang guru kemudian menyarankan kepada al-Ghazali untuk melanjutkan pendidikannya ke kota Naisyabur, di sana terdapat Madrasah Nizhamiyah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk yang secara pendanaan dikelola secara baik oleh negara dan seluruh biaya pendidikan mahasiswanya dibebaskan. Namun sebelum memutuskan untuk berangkat ke kota Naisyabur, al-Ghazali justru melangkahkan kakinya menuju kota Jurjan (Gorgon: Sekarang) pada tahun 465 H.8 Di sana al-Ghazali dengan susah payah menjalani proses pembelajaran kepada Imam Abi Nashr alIsmaili (w. 477 H), kajian dan pelajaran yang menjadi takhasusnya saat itu adalah ilmu fiqh. Pada saat itulah beliau telah menghasilkan karya tulis yang pertama dengan judul alTa‘liqa>t fī Furu>’ al-Maẓhab.9 Akhirnya pada usia 19 Tahun (470 H/1078 M) al-Ghazali bersama para sahabatnya membulatkan tekad untuk berhijrah ke kota Naisyabur dengan niat menimba ilmu di Madrasah Nizamiyah. Di sana beliau selain berguru kepada Abu al-Ma„ali al-Juwaini Imam al-Haramain (w. 1085 M) terdapat juga Syekh Abu Ali Farmadi (w.1084 M) seorang sufi dan Hakim Umar Khayam (w. 1044 M) sastrawan dan ahli astronomi, lewat tangan mereka al-Ghazali memperoleh 7 Seorang sufi ternama bermazhab Syafi„i kelahiran kota Thus yang wafat tahun 450 H. Namanya di sebut dalam karya Tabaqa>t al-Sya>fi’iyah, Tajuddin Subki (w.771 H) sebagai ulama yang alim dan faqih. Kata Radzkani/Radkani merupakan nama dari pusat kota di wilayah Thus dimasanya. Lihat Jalaluddin Humaiy, Ghazali Nameh, (Tehran : Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal.118. 8 Alasan yang menjadi dasar perginya al-Ghazali ke kota Jurjan adalah dikarenakan pada zamannya dua kota yang memiliki madrasah dengan sistem pendidikan dan pengajar terbaik adalah kota Naisyabur dan Jurjan, dimana yang pertama dikarenakan sebagai kota pelajar sementara kota yang kedua merupakan kota dengan banyaknya ulama besar yang bermukim disana di antaranya Abdul Qahir al-Jurjani (pakar sastra dan balaghah). Lihat. Husesin Zarin Kub, Farar az Madreseh: Darboreye Zendegi va Andiseye Abu Hamid al-Ghazali, (Tehran: Entesyarate Amir Kabir1391 Hs), hal. 9. 9 Kautsar Azhari Noer (ed), Warisan Sufi Agung: Mengenal Karya Besar Para Sufi. (Jakarta: Sadra Press, 2014), hal. 356. 21 pendidikan yang amat mendalam dalam bidang: teologi, filsafat, logika, fikih dan sastra. Sementara itu diantara para sahabat nya yang berada dalam lingkaran kelasnya diantaranya adalah: Kiya al-Harasy (w. 504 H/ 1110 M), Abu al-Muzaffar Khaufi (w. 500 H/1106 M), Abu al-Muzaffar Abi Wardi, Abu al-Qasim Hakimy dan Ibrahim Syabak. Menginjak usia yang belum genap 28 Tahun al-Ghazali telah menguasai berbagai macam ilmu ke-Islaman seperti; ushul fiqh, kalam, hadist dan sastra serta yang terpenting adalah beliau sangat ahli dan pandai berdebat. Sang guru sangat mempercayakan al-Ghazali untuk menggantikannya disetiap mata pelajaran yang diampunya dikala berhalangan hadir dari sanalah muncul kepercayaan al-Ghazali untuk mengembangkan segala potensi keilmuan yang dimiliknya, sejak saat itu al-Ghazali selalu menjadi buah bibir di kalangan ulama dan cendekiawan dimasanya hingga kemudian berbagai gelar keilmuan disematkan kepadanya diantaranya: Syaraf al-‘Aimmah, Zain al-Di>n dan Hujjat al-Isla>m.10 B. Karir Perjuangan dan Karyanya. Setelah wafatnya al-Juwayni pada tahun 1085 M, al-Ghazali kemudian melanjutkan pengembaraanya menuju Camp11 (Lashkargoh/Muashkar), bukan tanpa alasan al-Ghazali menuju ke tempat tersebut, disebabkan kemasyhuran nya telah didengar oleh Wazier Khaje Nizam al-Mulk Thusi (w. 485 H) al-Ghazali pun kemudian diundang sang menteri serta mendapatkan penghormatan yang luar biasa di sana dan yang menarik ternyata tradisi keilmuan sangat terjaga ditempat tersebut dan al-Ghazali mendapatkan kedudukan yang istimewa dari 10 Gelar-gelar tersebut bukanlah tanpa sebab disematkan kepada al-Ghazali, di masa krisis intelektualdan pemikiran pada masanya al-Ghazali muncul sebagai ulama yang kepiawaiannya dalam berdebat di bidang ilmu agama membuat kagum masyarakat muslim di zamannya. Hampir di setiap perdebatan yang dilakukan oleh al-Ghazali dengan para lawannya melalui argumentasi dan dalil-dalil aqli dan naqli selalu dimenangkan olehnya. Lihat Hussein Zarin Kub, Justeju Dar Tasawuf Iran, (Tehran: Entesyararate Amir Kabir, 1386 Hs), hal. 86. 11 Pusat wilayah bagian kerajaan Saljuq yang terletak tidak jauh dari kota Naisyabur di bawah kepemimpinan seorang menteri yang bernama Khaje Nizam al-Mulk Thusi (w. 485 H) dari Dinasti Saljuqiyah, di sana terdapat Masjid Jami tempat berkumpulnya para ulama kerajaan dan lapangan indah nan luas yang diberi nama Meydan Husain. Nizam al-Mulk merupakan Wazir yang dermawan dalam bidang pendidikan Islam (fiqh) dan orang yang pertama kali menerapkan sistem beasiswa bagi para pelajar yang mengeyam pendidikan di madrasahnya yang sangat besar. Lihat Ahmad Kamaludin Hilmi, al-Sala>jiqah fī al-Tārikh wa al-Haḍara>h, (Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyyah, tt), hal. 375. 22 sang menteri. Para ulama istana senantiasa sangat antusias memberikan jawaban serta memberikan solusi atas permasalahan dan persoalan yang tidak hanya menyangkut masalahmasalah keagamaan tetapi juga problem kenegaraan. Salah satu diantara para ulama istana yang sangat dekat dengan Wazier Khaje Nizam al-Mulk Thusi adalah Abu al-Muzaffar Farghani dan Abu al-Muzaffar Sam„ani, mereka adalah ulama dan faqih yang berhaluan mazhab Hanafi. Di lasykargoh tersebut ada sebuah program dan kajian rutin yang di selenggarakan oleh Wazier Nizam al-Mulk yang diikuti dan dihadiri secara terbatas hanya dari kalangan ulama istana saja. Tema yang selalu menjadi topik utama dalam kajian tersebut adalah pembahasan yang terkait dengan akidah, kalam dan mazhab dalam Islam, biasanya dengan menggunakan metode jadali (debat) antara para ulama maka hasil akhirnya akan didapat sebuah argumen yang kuat dan meyakinkan untuk bisa di ajukan kepada sang menteri. Pada fase inilah al-Ghazali menampilkan kecerdasannya yang luar biasa di kalangan ulama ternama istana dimasanya. Keunggulannya dalam berdebat dengan tutur kata dan bahasa yang mudah di fahami namun mendalam ditambah dengan kekuatan logika dan analisanya menjadikan al-Ghazali muncul sebagai ulama yang sangat disegani, semenjak saat itulah al-Ghazali dekat dengan kalangan istana terutama Sultan Malik Shah Saljuqi (w.485 H) hingga kedudukan dan penghormatan yang tinggi dalam bidang keilmuan dari pihak istana dan masyarakat muslim di masanya senantiasa di sematkan kepada al-Ghazali. Belum genap menapaki usia 35 tahun tepatnya pada tahun 484 H di bulan Jumadil Awal al-Ghazali menempati posisi barunya yang amat prestisius yaitu sebagai Rektor di Universitas Nizhamiyah Baghdad12 selama 4 tahun. 12 Sebuah model madrasah atau “Universitas” di zamannya yang pertama dalam sistem pendidikan Islam yang dibangun oleh Wazir Nizham al-Mulk (w. 485 H) yang didirikan di dua kota yang berbeda yaitu Naisyabur (Iran) dan Baghdad (Irak). Orientasi dari pengajaran madrasah ini pada awalnya lebih banyak menitik beratkan pada kajian ilmu fiqh semata, lalu kemudian menerapkan dengan sistem baru yaitu dengan sistem klasikal dan tidak hanya mengkaji ilmu fiqh semata melainkan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya seperti: Sastra, Kalam, Filsafat dan Ushul. Lihat. Hasan Ibrahim Hasan, Tārikh al-Islām wa al-Siyāsi wa al-Dīn wa alTsaqa>fi, Juz 4, (Egypt : Dar ash Shadr, tt), hal. 425. 23 Gelora intelektual al-Ghazali semakin cemerlang di masa menjabat sebagai Rektor, alGhazali telah banyak menulis buku serta menjadi referensi berjalan dalam setiap masalah keagamaan dan kenegaraan, selain itu juga menjadi pengajar yang dikagumi dimana hampir dari 300-400 pelajar agama dalam tingkatan faqih senantiasa setia mengikuti perkuliahan yang diampu oleh al-Ghazali, di antara murid-muridnya yang termasyhur tersebut adalah; Imam Muhyidin Muhammad bin Yahya bin Abi Mansur al-Naisyaburi (w.548 H), beliau adalah ulama besar mazhab Syafi„i yang bermukim di Khurasan, guru besar dalam bidang ilmu kalam Asy„ari di Madrasah Nizamiyah Naisyabur dan Herat. Imam Abu al-Fath Muhammad bin Fadhl Marsky (w.549 H), ulama besar mazhab Syafi„i yang memilki pengaruh di kota Thus. Imam Abu Mansyur Muhammad bin As„ad Wa„iz Athori Thusi (w.573 H). Ibn Burhan Faqih Abu al-Fath Ahmad bin Ali (w.520 H). Tajul Islam bin Khamis (w. 522 H).13 Kehidupan yang penuh kemewahan dan kecenderungan pada gemerlap duniawi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup al-Ghazali. Intrik politik, penghambaan kepada kedudukan dan korupsi sangat marak terjadi di lingkungan dan kalangan ulama istana hal ini yang kemudian membuat sebuah perasaan yang bertolak belakang dari hati nurani al-Ghazali dengan apa yang dia lihat sehari-hari. Hingga akhirnya perasaannya gelisah dan tidak sanggup lagi melihat realitas yang dihadapinya selama di Baghdad dengan segala kedudukan serta kemewahan yang melekat pada dirinya. Kemudian pada tahun 488 H tepatnya di bulan Rajab terjadi guncangan yang hebat pada jiwa dan pikirannya yang kemudian membuat dirinya secara fisik dan ruhani tidak dapat lagi memberikan kuliah di almamaternya hingga terniang di benaknya untuk segera meningggalkan Baghdad dengan alasan untuk menjauhi segala aktifitas duniawi yang penuh fatamorgana di mana pada dasarnya secara tersirat al-Ghazali ingin melepaskan semua atribut 13 Jalaluddin Humaiy, Ghazali Nameh, (Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal. 282. 24 dan jabatan resmi yang melekat pada dirinya selama ini, mungkin menurutnya untuk bisa lepas dari penyakitnya tersebut maka dia juga harus menjauhi diri dari atribut duniawi dan kesenangan profan.14 Jadwal dan program mengajarnya di Madrasah Nizamiah Baghdad kemudian di amanatkan kepada saudaranya Imam Ahmad al-Ghazali, akhirnya dengan niat melaksanakan ibadah haji al-Ghazali meninggalkan kota Baghdad. Pada masa kurun waktu 488-498 H selama kurang lebih 10 tahun al-Ghazali melakukan pengembaraan spritual ke berbagai kota dan wilayah di timur tengah seperti: Syam, Baitul Muqaddas dan Hijaz. Segala upaya dan usahanya untuk mencari hakikat Ilahiyah sekaligus penyembuhan batinnya dijalaninya dengan melakukan kontemplasi diri di sudut-sudut tempat dan masjid yang disinggahinya, di sanalah lahir pula karya-karya besar pemikirannya yang merupakan buah dari olah batin dan pikirannya sekaligus sebagai penawar dari kegundahan batinnya, yang kemudian dikenal sebagai mognum opus karya etikanya yang berjudul Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn15. Namun lebih dari itu al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim yang produktif di dalam menghasilkan karya-karya ilmiah keagamaan yang hampir mencapai level ratusan buku telah beliau hasilkan,16 tetapi ada juga beberapa karya ilmiah keagamaan yang di nisbahkan kepada al-Ghazali namun pada dasarnya bukan merupakan hasil karya al-Ghazali. Diantara karya-karya yang dinisbahkan kepada al-Ghazali antara lain ; al-Ta‘liqa>t fī Furu>’ al-Maẓhab (470 H), al-Mankhu>l min Ta‘liq al-Uṣu>l (478 H) al-Basīṭ (484 H) Syifa> al- 14 Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 28. Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn tersebut ditulis antara tahun 488-494 H, sebagai karya terbesar dalam penulisan bidang tasawuf al-Ghazali. Kutipan yang diangkat dalam kitab tersebut senantiasa merujuk pada alQur‟an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Tema besar dalam kitab ini terdiri atas 4 bagian di antaranya adalah: ‘Ubu>diyat (Jalan komunikasi batiniah antara Tuhan dengan hamba-Nya), Mua>malat (Jalan komunikasi dan inter-relasi antar-sesama makhluk Tuhan), Muhlika>t (Jalan yang membawa petaka bagi makhluk Tuhan). Munjiya>t (Jalan yang membawa keselamatan bagi Makhluk Tuhan). Lihat Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Kairo: Dar al-Hadist, tt). 16 Sebenarnya penelusuran terkait dengan verifikasi dan penelusuran karya-karya al-Ghazali telah dimulai oleh para sarjana barat (orientalis ) di antaranya adalah R. Gosche, Louis Masignon dan Montgemorry Watt lihat. Abd. Rahman Badawi, Muallifa>t al-Ghaza>li>, ( Kuwait: Wika>llat al-Matbu>at, 1977 ), hal.25. 15 25 Gali>l fī al-Qiyās wa al-Ta‘li>l (486 H), Mi‘ya>r Maqāsid al-Falāsifah (487 H) Tahāfut alFalāsifah (488 H), Iḥyā’ ‘Ulu>m al-Di>n ( 488 H). Mi’ya>r al-‘Ilm (489 H). Miza>n ‘Amal (489 H). Al-Waji>z (495 H). Al-Qiṣṭa>s al-Mustaqīm (498 H). Misykāt al-Anwa>r (498 H). Kimiyā’ Sa‘ādah (499 H) Ayyuhal-Wala>d (499 H). Bidāyah al-Hidāyah (499 H). Al-Munqiẓ min al-D~halāl (501 H). Al-Mustashfa> min ‘Ilm Uṣu>l (503 H). Naṣīhah al-Mulu>k (503 H). Mi‘raj al-Sālikīn (504 H). Al-Jam al-Awa>m ‘an ‘Ilm al-Kala>m (505 H).17 Terkait dengan hasil karya penulisan al-Ghazali sebagian ulama berpendapat serta memberikan catatan antara lain: 1. Adanya pengulangan (al-tikrār): Tema-tema serta pokok bahasan yang terdapat dalam karya al-Ghazali ternyata antara satu kitab dengan kitab yang lainnya ada kecenderungan hampir mirip, begitu juga dalam pengambilan perumpamaan sebuah hadits dan penjelasannya. Seperti dapat kita temukan dalam kitab al-Arba‘i>n fī> ‘Uṣu>l al-Dīn dengan Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan bahkan dengan kitab Kimiyā’ alSa‘ādah . 2. Karya-karya al-Ghazali senantiasa mengambil lebih banyak referensi melalui dan dari dalil-dali naqli bahkan dalam karyanya yang terkait dengan pembahasan dan pengingkarannya terhadap masalah-masalah filsafat. 3. Dalil-dalil dan sumber referensi terutama hadits yang sangat lemah begitu lekat dengan karya-karya al-Ghazali terutama dalam karya tasawufnya. Namun yang menarik diantara kritikan sebagian ulama terkait dengan karya al- Ghazali diatas ternyata ada sisi keunggulan, di mana dari hampir semua karya tulis al- 17 Hussein Zarin Kub, Justeju Dar Tasawuf Iran, (Tehran: Entesyararate Amir Kabir, 1386 Hs), hal. 248. 26 Ghazali, para ulama bersepakat tentangnya yaitu, kebanyakan karya al-Ghazali disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami padat dan berisi.18 C. Kepribadian al-Ghazali Figur intelektualitas al-Ghazali dari sudut pandang dan dimensi yang berbeda-beda memiliki keunggulan yang sangat luar biasa. Ibn Asakir dalam kitabnya yang berjudul alTabyi>n Kazb al-Mufta>ri Fī Mā Naṣa>b ila> al-Ima>m Abi> Hasan al-Asya>’ri mengkategorikan al-Ghazali sebagai pembaharu dalam Islam (al-Mujadid).19 Gagasan dan pemikirannya dalam mengembangkan aliran kalam Asy‟ari secara resmi ke berbagai dunia Islam dan inovasinya dalam pembahasan tasawuf telah menjelma sebagai mainstream utama yang dianut di masyarakat muslim Asia Tenggara hingga saat ini. Diantara salah satu ke istimewaan yang ada dalam pribadi al-Ghazali adalah, beliau sosok yang haus akan ilmu pengetahuan dan pencari hakikat kebenaran sejati. Hal-ini sebagaimana yang di tuliskannya dalam kitabnya al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, dimana dalam kitab tersebut beliau berkata: “Aku selepas dari masa kanak-kanak dan mulai memasuki masa remaja (baligh) sebelum memasuki usia dua puluh tahun bahkan hingga sampai saat ini dimana umur telah melewati lima puluh tahun senantiasa tidak pernah lalai untuk menyelami lautan yang dalam. Aku menyusup dalam setiap ambiguitas dan beralih dari hadapan yang problematik dan dari setiap keragu-raguan aku mencari jalan keluar nya berdasarkan pokok permasalahan seolah-olah aku sedang berdiri didalam jurang kegelapan. Serta dari semua mazhab dan keyakinan aku cari hakikat dan rahasianya sampai aku bisa mengetahuinya mana yang hak dan mana yang batil. Aku sekali-kali tidak pernah meninggalkan yang batin sampai Dia memberikan kepada ku. Begitu juga sebaliknya yang zhahir tidak akan melekat padaku sampai aku dapatkan pengetahuan tentangnya, tidak pula filsafat kecuali yang aku fahami dan yakini tentangnya, tidak pula sebagai teolog yang dengan tujuan untuk berdebat atau tidak pula sebagai sufi yang telah melewati maqam nya, tidak pula sebagai zindiq sampai aku yakin secara jelas bahwa aku memiliki pengetahuan yang cukup tentangnya.”20 18 Sulaiman Dunia, al-H~aqi>qat fî Nazar al-Ghaza>li>, (Kairo : Dar al-Ma‟arif, tt), hal.68-72. Ibn Asakir, al-Tabyin Kazb al-Mufta>ri fī Mā Naṣab ilā al-Imām Abi> Hasan al-Asy’a>ri, (Syam: Matbuat at Taufik 1347), hal. 292. 20 Al-Ghazali, al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, (Kairo: Dar al-Fikr, 1952), hal. 9. 19 27 Al-Ghazali merupakan figur yang memiliki karakter yang kuat, rasa keingin tahuan tentang sesuatu dan kesungguhan dalam pencarian hakikat sesuatu merupakan naluri dan tabiat yang dimilikinya semenjak masa kanak-kanak. Namun sayang pada proses pencariannya tersebut al-Ghazali pernah dihinggapi suatu perasan yang membuat jiwa dan akalnya merasa terguncang yang kemudian menjadikannya ragu terhadap sesuatu haltersebut. Masih lewat karya tulisnya yang berjudul al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, al-Ghazali menuliskan kisah hidupnya pada fase keragu-raguannya (shakākiyat): ال بحکن الٌطق و الوقال: و دام قزیبا هي شهزیي اًا فیهوا علی هذهب السفسطه بحکن الحال.... “...Selama mendekati hampir dua bulan, aku berada di atas mazhab skeptisime (jalan keragu-raguan) yang menyelimuti keadaan ku dan tidak berdasarkan dari pandangan dan ucapan (seseorang).”21 Sikap skeptisime al-Ghazali tidak hanya terkait pada persoalan pribadinya tapi lebih dari itu melebar pula kepada segala ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya di mana seakan telah menjadi bahan dan sumber keraguan pada pencapaian kebenaran yang selama ini senantiasa dicarinya, bahkan dalam hal keyakinan pun al-Ghazali dilanda sebuah keadaan yang amat rumit sebagimana pengakuannya berikut ini: “Ada orang yang menderita was-was terhadap ihwal lahiriah ayat al-Qur‟an dan berdasarkan asumsi mereka mengkritiknya. Mereka menghancurkan dasar keyakinan mereka sendiri dan menderita kejumudan batin terhadap persoalan Hari Kebangkitan dan ihwal pasca kematian. Aku tidak menganggap hal tersebut jauh dari realitas lantaran aku pernah terjerumus dalam kesesatan ini selama beberapa waktu akibat bergaul dengan sahabat-sahabat yang buruk.”22 Melihat hal-itu para sejarawan muslim menilai bahwasanya akar persoalan dari munculnya rasa skeptisisme al-Ghazali tersebut diantaranya dikarenakan oleh: 21 22 Ibid, hal. 22. Al-Ghazali, Jawāhir al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Ihya‟, 1433), hal.44-46. 28 1. Hausnya al-Ghazali terhadap pencarian hakikat dan makrifat pengetahuan namun penelahaannya hanya bersandar pada kebebasan berpikirnya semata. 2. Mengkaji berbagai macam pandangan tentang ilmu pengetahuan dan kemudian membandingkannya satu sama lain hingga akhinya ditemukan kekurangan dan kelebihannya masing-masing dan pada akhirnya tidak dapat dipastikan hakikat kebenaran yang sesungguhnya hingga membuat dilema pada jiwa dan pikirannya.23 Pada dasarnya pandangan pribadi al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasionalitas sangatlah sulit untuk bisa diterima, bahkan pada awalnya memang al-Ghazali terkesan menolak berkembangnya ilmu filsafat dalam tradisi Islam tetapi bukan tanpa catatan, artinya al-Ghazali masih bisa menerima ilmu rasionalitas yang satu ini selama bisa diyakinkan dengan sebuah metodologi ilmu yang dengan istilah al-Ghazali diterima sebagai ‘Ilmu Yaqi>n sebagaimana ungkapannya: العلن الیقیٌی الذی یٌکشف فیه العلىم اًکشافا ال یبقی هعه ریب وال یقارًه اهکاى الغلط و الىهن “Ilmu yaqin adalah rangkaian pengetahuan yang tersingkap sepenuhnya di dalamnya) dan tidak tersisa keraguan serta tidak memiliki (potensi) kemungkinan salah dan keragu-raguan terhadap (pengetahuan tersebut).“24 Perlu diketahui juga bahwasanya al-Ghazali meragukan ihwal indrawinya dan berupaya mengobatinya, namun ia juga dilema sikap keraguan. Sebagai upaya untuk mengatasai hal tersebut tentunya ia membutuhkan sebuah referensi serta dalil-dalil argumentasi untuk menjelaskannya, dikarenakan segala potensi yang ada padanya dalam keadaan lemah dan untuk mendapatkan argumentasi tersebut harus berdasarkan pengetahuan primer dan aksiomatis dan itu tidak dapat dipenuhinya hingga pada akhirnya seperti yang diklaim oleh al-Ghazali sendiri bahwasanya berkat petunjuk dan cahaya Ilahi yang 23 Hasan Muallim (ed), Ta>rikh Falsafeye Isla>mi, (Qum : Chop Markaz Jahone Ulume Islami, 1385), 24 Al-Ghazali, al- Munqiẓ, hal.25. hal.184. 29 merupakan kunci pengetahuannya yang sekaligus menyinari hati dan pikirannya al-Ghazali telah selamat melewati fase tersebut. Hal inilah yang bisa kita pahami terkait dengan kepribadian al-Ghazali dari sisi pengalaman intelektualitasnya yang menarik sebagaimana pembahasan tentang epistemologi skeptisisme masa kini mendapatkan tempat yang tinggi dalam dunia filsafat modern wabil khusus dalam ranah filsafat Islam dan al-Ghazali telah lebih awal merintisnya. 1. Skeptisisme al-Ghazali dan Descartes Sejarah kehidupan al-Ghazali sempat berada di titik nadir ketika ia mengalami fase keguncangan jiwa dan spritualnya. Hal itu disebabkan karena adanya sebuah sikap dan rasa keraguan (skeptis) terhadap apa-apa yang diyakini oleh dirinya baik itu berupa keyakinan ilmu dan sikap serta pribadinya selama ini. Perasaan skeptisisme yang memuncak mulai dirasakannya ketika berada di Nizamiah Baghdad. Sebagaimana yang beliau ceritakan dalam bukunya yang berjudul Jawāhir al-Qur’ān berikut ini: “Saat itu sekelempok orang menanyakan kepada ku tentang makna lahir dan batin ayat-ayat al-Qur‟an, aku menjawabnya namun mereka mempermasalahkan jawaban ku, kemudian mereka juga menanyakan hakikat dari kematian dan masa setelahnya, namun lidah ku kelu, perasaan bodoh menghukum diriku, aku sadar bahwa bahwa aku tidak menjawab semua itu dengan baik, bahkan aku merasa selama ini aku berkumpul dengan orang-orang yang buruk.”25 Skeptisisme al-Ghazali berawal dari idealismenya yang kuat untuk mencoba memperbaiki tatanan kehidupan yang lebih baik secara moral, baik ditingkat masyarakat maupun di tingkat pejabat istana. Hal ini merupakan lumrah adanya dikarenakan memang untuk merubah tatanan dan kehidupan masyarakat yang bermoral dan beradab di perlukan upaya keras untuk mencapainya. Menjauhi kehidupan glamour dan menghindari perdebatan yang tiada henti dengan hidup menyendiri dan merenung serta mengambil jarak dengan 25 Al-Ghazali, Jawāhir al-Qur’ān, hal. 44-46. 30 kekuasaan adalah langkah yang dinilai tepat oleh al-Ghazali saat itu26. Boleh jadi kondisi alGhazali merupakan kondisi yang diklaim sebagimana kaum sufi, memandang kritis segala sesuatu dan di antara sekian banyak pencapaian intelektualitasnya yang memberikan sumbangsih pemikiran bagi umat Islam adalah sikap keterbebasan nya dari bentuk taklid (menerima pengetahuan tanpa mempertanyakan). Al-Ghazali meyakini bahwa tidak satu pun taklid yang lebih superior dari taklid lainnya: mengunggulkan satu taklid atas taklid lainnya merupakan kesesatan dan kebodohan menurutnya.27 Akhirnya setelah menjalankan prosesi uzlah ke berbagi tempat untuk mencari solusi atas problema skeptisime tersebut, akhirnya al-Ghazali dengan pertolongan ilham dari Tuhan serta cahya Ilahi yang menyinari hatinya sekaligus pembuka tirai dari gelapnya pengetahuan tentang Tuhan, maka terbebaslah al-Ghazali dari penyakit ragu yang hampir saja membuatnya putus asa. Di dalam membandingkan skeptisime al-Ghazali dengan Decartes ada baiknya kita harus mengetahui tesis awal dari skeptisisme Decartes yang mengatakan bahwasanya: “Kita harus ragu terhadap sesuatu sampai kita yakin terhadap sesuatu itu serta bisa sampai ketingkat untuk menjelaskan dan memilah sesuatu itu pada akhirnya” Sementara al-Ghazali mengatakan, terkait dengan skeptisisme nya: ""و ظهزلی اى العلن یقیٌی والذی یٌکشف فیه الوعلىم اًکشافا الیبقی هع ریب والیقارًه اهکاى الغلط “Dan nampak bagi ku bahwasanya ilmu yakin adalah ilmu yang mengungkap secara jelas di dalamnya sejelas-jelasnya dan tidak pula tersisa serta tidak pula ada keraguan ataupun kemungkinan salah yang mengikutinya”28 Skeptisisme Decartes merupakan sebuah sikap ragu-ragu yang partikular dan harus di atasi dengan sikap pencarian hingga menimbulkan sikap yakin yang hakiki walupun 26 Ghulam Husein Ibrahim Dinani, Mantiq va Ma’refat Dar Nazar Ghazali, (Tehran: Intesyarat-e Amir Kabir, 1383), hal. 52. 27 Ali Asgar Yazdi, Sakkakiyat Naqd bar Adelle, (Qum: Entesyarate Bustan Ketab, 1381), hal. 56. 28 Al-Ghazali, al-Munqiẓ, hal. 25. 31 melalui cara di luar batas kemampuan manusia untuk menggapainya. Kesangsian Descartes cenderung bersifat gramatikal dan metodologis, ia menghadapi berbagai kesulitan dalam menjelaskan relasi antara subjek dan objek lantaran meyakini dualisme subjek-objek. Ringkasnya, masalah pengetahuan seseorang terhadap alam eksternal juga mengalami problema yang akhirnya berimplikasi pada skeptisisme. Maklum saja, pengetahuan seseorang terhadap alam eksternal menciptakan relasi subjek-objek yang pada gilirannya menuntut kesatuan keduanya. Kendati Descartes menganggap beberapa konsepsi merupakan hasil pengaruh alam eksternal terhadap raga indrawi melalui pengalaman empiris tetapi berdasarkan prinsip-prinsip filsafatnya, ia tidak mampu menjelaskan secara detail dampak dan konsepsi yang bersumber darinya. Disatu sisi, kesangsian atau keraguan Descartes berbeda dengan al-Ghazali. Ini mengingat al-Ghazali benar-benar meragukan semua perkara, sementara Descartes hanya sekedar mengasumsikan keraguan. Setelah melewati tahap keraguan, ia sampai pada tahap keyakinan bahwa dirinya tidak dapat lagi meragukan realitas dirinya sendiri. Pasalnya, ia berpikir dan berpikir menjadi bukti keberadaan penyebab sesuatu, karena orang yang tiada tidak mungkin dapat berpikir. Ia mendasarkan keyakinan dan pengetahuan lainnya di atas fondasi tersebut. Sementara al-Ghazali selamat dan terbebas dari belenggu keraguan bukan dengan jalan pembuktian argumentasi melainkan, seperti yang diakuinya sendiri karena berkat petunjuk dan cahaya Ilahi yang menerangi hatinya dan terselamatkanlah jiwanya. D. Pemikiran al-Ghazali Imam al-Ghazali telah mewariskan tinta emas bagi gerak dan dinamika intelektual dalam sejarah pemikiran Islam. Gagasan dan ide-idenya tentang kajian tasawuf, teologi bahkan filsafat menjadi rujukan utama pengagumnya. Tak pelak al-Ghazali bahkan dianggap sebagai ulama pengganti dan pewaris sejati Nabi Muhammad SAW. Lewat tangannya di 32 damaikanlah dua kutub keilmuan Islam yang selalu berseteru baik dalam paradigma: teologi, filsafat dan fiqh akhirnya menjadi harmoni, doktrin dan ajarannya menampilkan karakter wajah intelektual Islam yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Karyakarya ilmiahnya yang terdiri atas berbagai bidang ilmu keagaamaan telah dia tuliskan dan tak terhitung dengan jari, di mana itu semua dihasilkannya melalui proses perjalanan intelektual dan pencarian spritual yang didapatkannya dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, seolah al-Ghazali hendak ingin menunjukan kepada kita bahwa pencarian akan hakikat kebenaran tidaklah sekali jadi dan tak langsung matang, banyak jalan yang harus ditempuh melalui proses panjang yang berliku, disaat itulah ketika didapatkannya kebenaran dan diterimanya keyakinan maka munculah sebuah ketenangan batin yang tidak bisa digambarkan betapa luasnya ilmu Tuhan. Dalam dunia filsafat, al-Ghazali melalui karya Taha>fut al-Fala>sifahnya hendak ingin menyadarkan kita bahwasannya ilmu rasio yang satu ini bukanlah konsumsi masyarakat awam, banyak yang mesti direvisi ulang terkait dengan ilmu ini agar umat tidak galau dan resah dalam beragama. Pembahasan dan segala perdebatan yang dikaji dalam ranah filsafat terkait dengan masalah Tuhan yang mencakup eksistensi dan esensi-Nya, wujud alam, kebangkiatan jasmani dan sebagainya ternyata tidak dapat menjangkau dan mendekatkan umat kepada Tuhan tetapi justru semakin menjauhkan umat dari Tuhan, al- Ghazali bukanlah tipe seorang yang begitu antipati, membenci dan memaki ilmu filsafat dan para filosoufnya. “Pengkafirannya” kepada para filosouf merupakan refleksi kegundahannya yang semakin memuncak ditambah dengan kegamangan umat yang tidak tahu harus kemana dan mau dibawa kemana umat ini dalam beragama agar tidak jatuh lebih dalam ke lubang kubangan yang gelap dan semakin sesat. Tahāfut al-Fala>sifah: Pemikiran Filsafat al-Ghazali 33 Sebagaimana diketahui bahwasanya al-Ghazali (w.1111 M) diklaim sebagai ilmuwan Islam yang sangat anti dan menentang dunia filsafat dan hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Apabila kita membaca karyanya yang berjudul Tahāfut al-Falāsifah dan beberapa kitab lainnya seperti Maqāsid al-Falāsifah jelas nampak memang ketidaksukaan al-Ghazali terhadap ilmu aqliyah yang satu ini. Namun disisi lain orang-orang Eropa29 abad pertengahan memandang figur al-Ghazali dengan mengkaji bukunya yang berjudul Maqāsid al-Falāsifah memiliki pandangan lain yang berbeda dengan para ilmuwan muslim. Dalam kitab Maqāsid al-Falāsifah karya al-Ghazali sebenarnya merupakan auto kritik pandangan filsafat Ibnu Sina, oleh sebab itu itu ada 3 pembahasan utama yang terkait dengan ilmu pengetahuan dalam filsafat Ibnu Sina (w. 1037 M) yaitu tema mengenai logika, alam dan Tuhan. Pengkafiran al-Ghazali terhadap al-Farabi (w. 950 M) dan Ibn Sina terkait pada tiga hal masalah penting dari dua puluh pokok masalah filsafat30 yang saat itu dipegang kuat pandapatnya oleh para penganut filsafat Islam. Hingga akhirnya lewat kitab Tahāfut alTahāfut Ibn Rusyd (w. 1198 M) yang merupakan jawaban tegas atas kritik dan pandangan al-Ghazali yang tertuang dalam kitabnya Tahāfut al-Falāsifah dan ternyata disisi lain bahwasanya ada kesamaan visi diantara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd terkait penentangan mereka berdua terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi. Di mana seolah Al-Ghazali hendak ingin mengatakan dan kemudian diamini selanjutnya oleh Ibnu Rusyd: “Filsafat terkadang membahayakan agama”.31 29 Di antaranya adalah Dominicus Gundisallimus di Toledo tahun 1145 M ke dalam bahasa Latin diterjemahkannya menjadi Logica et Philosophia Al-Gazelis Arabis. 30 Sebagaimana yang ditulis al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah, pengkafirannya para filosof terkait dengan pandangan-pandangan filosof seperti: Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mempunyai subtansi basit namun tidak memiliki māhiya (hakikat). Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyât (hal-yang partikuler), Tuhan tidak diberi sifat Jins (genus) dan Fasl (diferentia), Alam tidak bermula, Alam kekal, Tidak ada kebangkitan Jasmani. Lihat. al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, (Egypt: Dar Al-Ma‟arif, 1961), hal.120. 31 Pemikiran al-Ghazali sebagaimana yang termaktub dalam karyanya Tahâfut al-Falâsifah senantiasa memisahkan posisi antara akal dan wahyu dimana tidak ada hubungan yang erat antara keduanya. Menariknya, 34 Apabila kita membaca dengan seksama kitab Tahāfut al-Falāsifah disana disebutkan bahwa: para fuqaha (ahli fikih) tidak semuanya mengkirtik dan alergi terhadap filsafat. AlGhazali sendiri dengan secara jujur dan sungguh-sungguh menganalisa filsafat lewat kacamata filosuf dan tidak mencampur adukannya dengan pembahasan teologi. Walaupun sama-sama dimaklumi bahwasanya al-Ghazali memang dikenal pula sebagai teolog. Perlu disadari bahwasanya kecintaan dan keyakinannya terhadap ilmu logika sangatlah tinggi, hal itu tercermin dalam karya-karya beliau yang notabene terkait dengan dunia logika diantaranya kitabnya yang berjudul: Mi‘ya>r al-‘Ilm, al-Qiṣṭa>s al-Mustaqīm, Miha>kk alNazar Fī Al-Mantīq dan yang lainnya. Begitu juga dengan konsep ajaran naturalisme Yunani dan politik Yunani al-Ghazali sangat meyakini dan menerimanya. Akan tetapi ketika memasuki ranah yang lebih luas terkait pembahasan Ilahiyah beliau sangat keras menentang dan mengkritik habis Tuhannya kaum filosouf dan sebagian kritiknya tersebut menjadi penentangan al-Ghazali yang paling fundamental. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah seseorang yang menentang dan mengkritik satu persoalan dari sekian banyak persoalanpersoalan dalam dunia filsafat dianggap dan dicap sebagai orang yang anti filsafat. Tentu saja tidaklah demikian. Pemikiran al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam menuai bebarapa pro dan kontra para filosuf di dalam memandang sebagian masalah dan persoalan-persoalan dalam kajian filsafat, banyak yang berbeda pandangan dan hal ini adalah hal yang wajar dan bukan dianggap sebagai sesuatu yang anti filsafat. Dalam hal ini bukanlah kita berada di pihak alGhazali yang kemudian membelanya dengan mengatakan dari seseorang yang anti filsafat lalu menjadikannya tokoh yang sangat filisofis yang kemudian disematkan kepada alGhazali. Namun kita hanya berusaha mencoba menelusuri tentang kedudukan al-Ghazali hal ini tidak hanya diterima di kalangan pengikut mazhab Asy„ariyyah bahkan Ibn Rusyd juga meyakininya. Lihat. Ghulam Reza A‟vani. Majmue-ye Ghazali Vajuhi: Elm Ghazali Setizi, (Tehran: Khoneh Kitab, 1389 Hs), h. 758. 35 dalam sejarah perkembangan filsafat Islam. Peran apa saja yang telah disumbangkan alGhazali di dalam dunia filsafat Islam, apa benar al-Ghazali tokoh yang justu berada diluar lingkaran filsafat Islam hal inilah yang menjadikan sebuah pertanyaan yang tidak berakhir dengan sebuah jawaban melainkan juga sebuah kegundahan yang dialami oleh para pemikir Islam kontemporer saat ini. 36 37 38 39 40 41 42 43 BAB III KONSEPSI DAN METODOLOGI TASAWUF Tasawuf merupakan salah satu bagian dari inti spritualisme Islam dan kadang dianggap sebagai jenis mistisisme dalam Islam dimana dalam bahasa Inggris seringkali disebut sebagai sufisme. Kosa kata tasawuf mulai hangat dibicarakan karena diasosiasikan dan memiliki arti yang menerangkan kepada salah satu jenis pakaian kasar yang dalam bahasa arab disebut al-Ṣūf (wol kasar), selain itu juga hal tersebut menjelaskan bahwasanya kain wol kasar tersebut merupakan simbol kesederhanaan yang dipakai oleh para zahid serta merupakan ciri busana dari orang-orang suci sebelum datangnya agama Islam.1 Sebagai sebuah jalan dan metode mendekatkan diri serta ranah kontemplasi bagi setiap muslim, tasawuf memiliki slogan ی اهللٛ ِاعdimana ajaran ini mulai nampak pada pertengahan abad ke II H dan belum terpengaruhi konsep dan ajaran filsafat Yunani seperti paham wah~dat al-wujūd, h~ulu>l dan ittih~ad. Pada masa tersebut tasawuf lebih kental dengan nuansa praktiknya („amali) ketimbang konsep teoritisnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sementara itu pada abad ke III dan IV H tasawuf mulai memperlihatkan konsepsi dan sistematikanya yang kemudian terkompilasi sebagai sebuah ajaran dan praktik keagamaan dalam Islam. Abad ke V sampai VIII H ajaran tasawuf mulai bergelut dengan sastra dan budaya Persia, di mana kebanyakan dari para penyair dan sastrawan Persia pada saat itu memposisikan dirinya sebagai seorang sufi. Banyak istilah dan kosa kata tasawuf senantiasa menghiasi karya sastra mereka bahkan corak dan tipologi sastra dan budaya Persia sangat kental nuansa sufismenya.2 1 R.A. Nicholson, The Mystic of Islam, (London: Kegan Paul Ltd, 1966). hal. 35. Banyak karya-karya sastra dan syair Persia yang ditulis oleh para pujangga dan sastrawan Persia kental dengan nuansa sufismenya di antaranya yang termasyhur adalah: Kasyf al-Mahju>b, Esrar al-Khera>q wa alMula>winat, al-Baya>n li ahl A„ya>n, Manha>j al-Di>n, Kita>b Fana>' wa Baqa>‟, Diva>n. Abu Hasan Ali ibn Utsman al-Hujwairi (w .470H). Tadhkīrat al-Awliya>‟, Mantiq al-Ṭai>r, Ila>hi Nameh, Isra>r Na>meh, Musi>bat Na>meh, Vand Na>meh. Syeikh Shihabuddin Muhamad ibn Ibrahim Attar al-Naisaburi (w. 618H). Sharh-e Ta„aruf, 2 37 A. Makna Konsep dan Definisi Tasawuf Kata tasawuf merupakan bentuk kata masdar: al-Ṣuf, dimana kita ketahui bersama bahwasanya maṣdar dalam gramatika bahasa arab terbentuk dari kata ism dengan kata lain kata tasawuf memiliki makna memakai atau dengan kata lain memakai kain wol kasar. Sementara pendapat yang lain menyatakan bahwasanya kata tasawuf berarti sophia yang merupakan sebuah kata dari bahasa Yunani yang berarti hikmah (wisdom), namun ada pula yang beranggapan bahwasanya kata tasawuf berasal-dari kata ṣūfī yang direlasikan dengan kata ṣāfa yang berarti jernih, bersih dan suci.3 Sebagian lagi berpendapat kata tasawuf merupakan berasal-dari kata ṣuffah yaitu serambi masjid Madinah, dimana orang-orang yang disebut ahli shuffah adalah para sahabat Nabi Muhamad SAW yang senantiasa bermukim di serambi masjid Madinah. Perlu diketahui juga kata tasawuf bukan merupakan bagian dari kata atau bahasa yang digunakan dalam al-Qur‟an dan tidak pernah satu kalipun disebut oleh al-Qur‟an itu sendiri.4 Al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Risālah al-Qusyairiyyah5 mengatakan, bahwa para generasi pertama (sahabat Nabi Muhamad SAW) dan sesudahnya (tabi‟in) lebih menyukai dan lebih merasa mendapat penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Dengan demikian, istilah seperti „ābid, nāsik, zāhid dan sūfi yang digunakan untuk para ahli ibadat, orang-orang Faṣiḥah al-Mudda>in, Abu Ibrahim ibn Ismail Mustamli al-Bukhari (w.434 H). Nafḥa>t al-Uns min Had~hra>t alQuds, Haft Awrang, Shawāhid al-Nubu>wah, Aṣ‟ah al-Lum„at. Nur al-Din Abd ar-Rahman Jami„ (w. 798H). Lebih lengkapnya lihat. Muhammad Syarif, Farhang-e Adabiyat-e Farsi, (Tehran: Entesyarate Mouin, 1388), hal. 779. 3 Khalil Riziq, al-Irfa>n al-Shi„i> min al-Abha>th al-Sayid Kamal al-Heyda>ri, (Qum: Dar al-Fara>qid, 1438), hal. 58. 4 Namun yang menarik adalah kata aṣ-Ṣūf (kain wol) terdapat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik dimana redaksinya seperti ini : فٛ ٌٍثظ اٌصٚ ٌشکة اٌحّاسیٚ ٖ اٌعثذٛ ي اهلل (ص) ٌجٍة اٌذعٛکاْ سع “Bahwasanya Rasulullah SAW pada saat itu menyambut undangan seorang hamba sahaya kemudian Beliau menaiki keledai dan mengenakan pakaian yang kasar”. Lihat, Syaikh Shihab ad-Din Suhrawardi, Awa>rif alMa„ārif, ( Tehran: Entesyarate Elmi va Farhanggi, tt), hal. 23. 5 Abd al-Karim al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyat, (Egypt :Maktabat Muhammad Ali Shabib, 1386), hal. 7-8. 38 shaleh dan orang-orang yang tekun beribadat dan berjihad pada jalan Allah baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi‟in. Menurut Hamka,6 ahli kebatinan yang mula-mula digelari orang sufi ialah Abu Hasyim dari Kufah yang meninggal dunia pada tahun 150 H / 761 M. Kehidupan sehari-hari Abu Hasyim memang mencontoh kesederhanaan Nabi Muhamad SAW dan sahabat-sahabatnya serta tidak mempedulikan kemegahan dan kemewahan yang diperebutkan masyarakat pada waktu itu. Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa, istilah tasawuf dan sufi belum didengar pada masa Nabi Muhamad SAW dan masa sahabat-sahabatnya serta masa tabi‟in. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan konsep dan definisi tasawuf berikut ini. Bila diteliti tentang asal-usul kata sufi itu terdapat perbedaan pendapat dan ada yang mempertanyakannya, apakah kata tasawuf itu ism musytaq (mempunyai akar kata) atau ism jāmid (yang tidak punya akar kata). Apakah kata tasawuf itu dari bahasa Arab atau dari bahasa „ajam (bahasa non-Arab). Ada yang menyebut, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab seperti kata shafā (bening), shafwān (bening, licin tidak bisa dihinggapi debu), shaff (barisan, seperti barisan shalat), shuffat (ruangan di sisi Masjid Rasul), shuffat (nama penjaga Ka‟bah pada zaman Jahiliyyah, yaitu Shuffat ibn Murrah) dan shūf (bulu domba, kain bulu kasar). Ada yang mengatakan kata tasawuf berasal dari kata asing yaitu dari bahasa Yunani yang berasal dari kata sophia yang berarti kebijaksanaan. Menurut al-Kalabazy (w. 380 H) bahwa Bisyr bin al-Harits menyebut, kata tasawuf itu musytaq dari kata shafā, seperti ucapan: al-shūfi man shafā qalbuhu li Allah,7artinya seorang sufi 6 7 Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta :Pustaka Panjimas, 1993), hal. 79. Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at al-Fikr al-Falsafah fī al-Isla>m, (Kairo: Dar al-Ma‟a>rif, 1977), hal. 37. 39 (ahli tasawuf) adalah seorang yang bersih hatinya, semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT. Menurut pandangan lain, kata tasawuf adalah musytaq dari kata al-shaff al-awwal, artinya shaf pertama, karena kebiasaan kaum shūfi mereka selalu berada pada shaf pertama di hadapan Allah SWT (shalat dan lain sebagainya) dan menghadapkan hati dengan sepenuhnya kepada-Nya. Mereka berdiri dengan segala rahasia mereka di hadapan Allah SWT. Ada yang mengatakan, diambil dari kata ahl al-shuffah, yaitu para sahabat nabi yang hijrah bersama Nabi Muhamad ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaan mereka di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu, shuffat, yaitu pelana sebagai bantalnya. Ahl al-shuffat itu sungguhpun mereka tidak mempunyai harta namun mereka berhati baik dan mulia serta tidak mementingkan dunia. Inilah yang merupakan karakteristik dan sifat kaum sufi.8 Al-Saraj al-Tusi berketetapan, bahwa shuffat itu adalah kelompok pada masa sebelum Islam yang memusatkan perhatiannya untuk perlaksanaan haji dan berkhidmat untuk merawat Ka‟bah.9 Berbeda dengan pendapat di atas, kata tasawuf bukan kata musytaq tetapi kata jamid, sebagaimana yang ditulis oleh al-Qusyairi (w. 465 H).10 kata al-Qusyairi, kata tasawuf itu kata jamid. Pendapat yang mengatakan diambil dari kata al-shafā atau shuffat keluar dari ketentuan bahasa (bahasa Arab) yang sesuai dengan ketentuan bahasa adalah berasal dari kata al-shuf (wol 8 Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional Tasawuf, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina: Seri Kka 23/Tahun III/1988), hal. 2. 9 Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at, hal. 39. 10 Al-Qusyairi, nama lengkapnya „Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun 376-465 H. kedudukannya di dalam tasawuf Islam sangat penting, mengingat karyanya al-Risa>lah salah satu karya yang terpenting dalam penelitian tasawuf terutama sebelum abad kelima hijrah. 40 kasar).11 Senada dengan itu Ibn Khaldun (733-808 H/1332-1406 M), menyatakan menerima pendapat yang mengatakan kata tasawuf berasal dari kata al-shūf,12 karena para sufi itu biasanya ditandai dengan pakaiannya yang terbuat dari al-shūf itu, berbeda dengan pakaian-pakaian mewah yang dipakai pada masanya itu. „Ali Sāmi al-Nasyār dan Hamka lebih mempertegas lagi. Bila dilihat dari sudut lughawi (kebahasaan) memang lebih tepat asal kata tasawuf itu dari al-shūf, yang ditujukan kepada orang-orang yang memakai wol kasar itu. Kata tasawuf, suatu pengambilan bahasa yang disebut ilmu sharaf (tata bahasa Arab) bab tafa>‟ul, maka bentuk katanya tashawwafa, yatashawwafu, tashawwafan, seperti tashawwafa rajulun, artinya seorang laki-laki itu telah bertasawuf, yaitu telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Nurcholis Majid tampaknya juga ada kecenderungan kepada pendapat yang mengatakan bahwa asal kata tasawuf itu dari kata shūf itu sendiri.13 Harun Nasution menekankan, diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi.14 Sebagaimana juga pendapat Ibrahim Basyuni, bahwa penisbataan kata tasawuf kepada kata shūf lebih cocok menurut asal katanya.15 Meskipun secara etimologi para ahli berbeda pendapat tentang asal-usul kata tasawuf, yang paling tepat adalah berasal dari kata shūf (bulu domba), baik dilihat dari sudut kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun dari segi kesejarahan. Maka kata shūfi berarti orang yang memakai kain dari bulu domba yang kasar yang biasa dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah 11 Al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyah, hal. 217. Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimat Ibn Khaldun, (Beirut :Dar al-Fikr, 1401), hal. 611. 13 Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu, hal. 8. 14 Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu, hal. 3. 15 Ibrahim Basyuni, Nasy‟at al-Tasawwuf al- Islāmi, (Mesir : Dar al-Ma‟arif, 1969), hal. 10. 12 41 pada masa lalu, karena ingin hidup sederhana dan menjauhi kemewahan dan keduniaan, sehingga mereka hidup sederhana sebagai orang-orang miskin dengan memakai pakaian kasar tersebut serta memusatkan perhatian hanya untuk beribadat. Tokoh pertama yang memakai kata shūfi adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak yang wafat tahun 150 H. Pada akhirnya tasawuf makin sering didengar dan orang-orang yang hidupnya sederhana memusatkan perhatiannya kepada peribadatan dan hidup kerohanian serta mengambil jarak dengan penguasa yang bergelimang dangan kemewahan dan pelanggaran ajaran agama serta telah melalaikan dalam beribadat kepada Allah, mereka dipanggil dengan al-shūfiyat dan mutashawwifat.16 Berhubung berbeda-bedanya penekanan para shūfi (selanjutnya ditulis sufi) dalam kehidupan kerohaniannya itu seperti yang menekankan kepada hidup zuhud, ada yang menekankan kepada raja‟ khauf, wara‟, faqir, mahabbat dan lain sebagainya. Maka timbul pertanyaan terkait dengan apa yang dikatakan tashawuf. Untuk menjawab pertanyaan itu marilah kita lihat tulisan al-Qusyairi dalam karya al-Risa>lah-nya. Beliau telah menuliskan sejumlah pengertian dari tokoh-tokoh tasawuf yang hidup sebelum adab ke-4 H. Pengertian tasawuf yang disampaikan oleh tokoh tersebut dirasa lebih tepat karena mereka berada pada masa tasawuf itu tumbuh dan berkembang bahkan mereka termaksud praktisinya. Al-Qusyairi telah mencoba mengumpulkan dan menulis pendapat 83 orang tokoh tasawuf. Berdasarkan hal yang demikian al-Qusyairi berkesimpulan bahwa tasawuf adalah suatu cabang ilmu pengetahuan Islam yang berupaya untuk dapat mengetahui cara-cara membersihkan jiwa dan akhlak serta mengisi nilai-nilai spiritual pada keduanya untuk tercapainya kebahagiaan yang abadi. 17 16 Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddima>h, (Kairo : Dar al-Fikr, 1435), hal. 611. Al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyah, hal. 12. 17 42 Selain al-Qusyairi ada tokoh-tokoh lain yang menulis pengertian tasawuf seperti: Abu Bakar al-Kalabazi mengutip pendapat al-Junaid (W. 297 H/ 910 M), seorang tokoh sufi asal Baghdad pernah ditanya seseorang tentang pengertian tasawuf. Katanya, 18 tasawuf adalah bersihnya hati dari hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian, memutuskan kebiasaankebiasaan hidup materialis pada diri manusia, memadamkan sifat-sifat buruk manusia serta menjauhi tuntutan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, mengkaji ilmu-ilmu hakikat, mementingkan keutamaan yang bersifat kekal selalu memberikan nasehat kepada semua umat di mana segala perbuatannya ikhlas karena Allah serta tunduk dan mengikuti Rasulullah SAW di dalam menjalankan syari‟at Islam. Sejalan dengan itu, Ma‟ruf al-Karkhi (W. 200 H) mengatakan, tasawuf adalah mengambil hakikat dan putus asa dari apa yang ada di tangan makhluk. 19 Sedangkan Sahl bin „Abdullah Al-Tusi (W. 283 H) menyebutkan, seorang sufi adalah orang yang bersih dari kekeruhan, putus asa dengan manusia karena menuju Allah SWT.20 Sebagai suatu ilmu, kajian tasawuf telah mengalami perkembangan yang sangat besar. Tasawuf bukan sekedar praktek-praktek pribadi tokohnya, tetapi sudah tertulis dan diajarkan. Lebih maju lagi, tasawuf telah memasuki ranah falsafah dan kemudian dari sana dikenal dengan nama atau kajian tasawuf falsafi. Pada masa ini, tasawuf telah menjadi objek penelitian. Ada yang meneliti tokoh-tokohnya, karya-karyanya dan ada pula yang meneliti pengaruh dan fenomena kehidupan dari berbagai kelompok tasawuf. 18 Abu Bakar al-Kalabazi, Ajaran-ajaran Sufi (terj.), (Bandung :Pustaka, 1995), hal.18. Ibrahim Basyuni, Nasy‟at, hal. 18. 20 Ibrahim Basiuni, Nasy‟at, hal. 19. 19 43 Gerakan tasawuf pada periodesasi sejarah Islam membagi tasawuf pada tingkat albidāyat21, al-mujāhadat22, dan al-muzāqat23 telah tumbuh semenjak zaman Rasulullah SAW, dimana beliau telah meletakkan dasar hukum zuhud yaitu tidak tertarik pada sesuatu serta meninggalkannya bahkan mengosongkan hati dari kesenangan dunia untuk beribadah kepada Allah SWT. Pola hidup zuhud ini dikembangkan oleh para sufi yang datang kemudian dalam usaha mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pola zuhud ini termasuk tingkat albidāyat dalam dunia tasawuf Islam. Para sahabat Rasul sangat tertarik dengan pola kehidupan Rasul, yaitu kesungguhan (alMujāhadat) dan kesenangan (al-Mudzāqat) Rasul dalam menjalankan peribadatan serta kesehariannya. Mereka ingin mengetahui ibadah-ibadah khusus Rasul dan hendak mengamalkannya dalam kehidupan mereka. Mereka datang ke rumah Rasul dan menanyakan kepada istri-istrinya tentang tingkah laku serta peribadatan Rasulullah SAW. Setelah mereka kembali, terdengar gagasan mereka. Ada yang menyatakan akan selalu shalat malam dan tidak tidur semalamannya. Ada pula yang mengatakan tidak akan menikah selamanya. Sewaktu mengetahui yang demikian itu Rasulullah SAW bersabda: ْجُ إٌِغَاءِ فَـَّْٓ سَغَةَ عَـِٕى فَـٍٍَْـظَ ِِِٕىَُٚأَ ْٔضٚ ُأَ ْفطَاسَٚ َُُْٛأَصَٚ َُأََٔا أََٔاَٚ صٍَى َ ٌَُىِـِٕى َأَا أ Artinya: “Tetapi aku shalat (juga pada malam hari) dan aku juga tidur. Aku berpuasa, aku juga berbuka dan aku juga mengawini perempuan. Barangsiapa yang membenci sunnahku ini, dia tidak termaksud dalam golonganku”. (H.R. Mutafaqun„alaih) 21 Al-bidāyat (dasar, pemula), yaitu ada semacam fitrah yang tumbuh pada diri seseorang. Adanya keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tentunya setelah meyakini ke-Maha Agungan-Nya. 22 Al-mujāhadat (kesungguhan), yaitu adanya kesungguhan dan perjuangan keras dengan menciptakan kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 23 Al-muzāqat (merasakan), yaitu adanya kesenangan dan ketenangan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 44 Dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, para sahabat telah menciptakan kondisi untuk itu (al-Mujāhadat), dengan membentuk kelompok-kelompok dan tempat-tempat tertentu untuk beribadah seperti kelompok: al-Qurā‟, al-Shuffat, al-Tawwābin dan al-Bukhaiyin.24 1. Kelompok al-Qurā’ Kelompok al-Qurā‟ adalah kelompok yang selalu membaca al-Qur‟an dan memperdalam pemahaman terhadap kandungannya. Mereka belum merasa puas dengan pendekatan diri melalui ibadah shalat, puasa dan haji, tetapi mereka menciptakan suatu kondisi untuk menambah rasa dekatnya kepada Allah SWT, seperti dengan membaca al-Qur‟an. Anggota kelompok ini yang terbanyak dari kaum Anshar. Selain menekuni membaca alQur‟an, mereka juga di siang hari aktif mengajak masyarakat untuk mempelajari al-Qur‟an dan membacanya, dan di malam harinya mereka selalu shalat tahajjud. Mata pencarian mereka sebagian besar adalah mencari kayu api. Mereka mempunyai semboyan: ا اٌـمشأْ تاٌـفعايٌٕٛص Artinya: “ Hiasilah al-Qur‟an itu dengan tindakan yang nyata.” Untuk menghadapi kaum murtad, Rasulullah SAW mengutus para sahabatnya. Pilihan Rasulullah jatuh pada mereka karena mereka memiliki semangat Qur‟ani. Diantaranya yaitu: „Abd Allah bin Mas‟ud dan Abi al-Darda‟. Kelompok seperti ini berlanjut pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan „Ali bin Abi Thalib. kelompok al-Qurā‟ pada periode sahabat ini ditokohi oleh Mu‟az bin Jabal dan Abu Zar al-Ghiffari. 24 Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at, hal. 79. 45 Pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang terkenal dengan kemewahannya itu makin mendorong masyarakat mengikuti kelompok al-Qurā‟ dengan pola hidup zuhud. Mereka melihat pola hidup mewah Bani Umayyah telah menyimpang dari konsep kesederhanaan dan cenderung membawa kepada kehancuran bagi negara dan membuat masyarakat jauh dari ajaran Islam. Di Basrah, muncul pula kelompok al-Qurā‟ yang ditokohi oleh Abu Musa al-Asy‟ari. Dia mempunyai suara sangat merdu terutama sewaktu membaca al-Qur‟an. Sebagaimana yang dikutip „Ali Sami yang mengungkapkan bahwa Abu Musa al-Asy‟ari memiliki suara bagaikan serunai Nabi Daud.25 Sewaktu telah berdiri madrasah-madrasah di Bashrah dan di kota lainnya seperti: Kuffah, Syam, Moshul, dan Khurrasan, sebagai penggeraknya adalah dari kelompok al-Qurā‟. Tokoh-tokoh kelompok al-Qurā‟ dari Tabi‟in ini telah melahirkan konsep-konsep baru. Terutama di Bashrah, misalnya Amr bin „Abd Qis melahirkan konsep zuhud. Harm bin Hayan melahirkan konsep al-khauf (takut). Ahnaf bin Qis melahirkan konsep al-shabr (sabar). Sedangkan Hasan Basri melahirkan konsep al-khauf dan al-roja‟ (harap) dan Rabi‟ah alAdawiyah seorang tokoh sufi wanita yang melahirkan konsep al-mahabbah (cinta). Di Kuffah, tokoh zahidnya yang terkenal adalah Sufyan Tsauri (w. 161 H). di Mesir, tokoh zahidnya adalah Salim ibn Atar al-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman ibn Hujairi (w. 69 H), dan Nafi‟ (Hamba Sahaya Abdullah ibn Umar bin Khattab, w. 117 H).26 2. Kelompok Ahl al-Shuffat 25 Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at. hal. 106. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkha>l ila al-Tasawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Tsaqafat li alThaba‟at al-Nasyar, 1997), hal. 79-80. 26 46 Ahl al-Shuffat berasal dari nama kelompok sahabat yang terdiri dari kaum Muhajirin. Mereka tinggal di Masjid Nabawi di Madinah dan tidur di atas bangku dari batu dengan memakai shuffat (pelana) sebagai bantalnya. Mereka berhati baik dan mulia serta tidak terpengaruh dengan kilauan kemewahan dunia waktu itu. Mereka tidak rusuh dan tidak menghiraukan harta benda yang mereka tinggalkan di Mekkah. Mereka membagi waktunya untuk membaca al-Qur‟an dan memahaminya serta senantiasa zikir dan tafakkur. Mereka mencontoh kehidupan zuhud Rasulullah SAW dan melaksanakan apa yang diperintahkannya, seperti sabdanya: اص٘ذ فٍّا عٕذ إٌاط ٌحثه إٌاطٚ اص٘ذ فً اٌذ ٍٔا ٌحثه اهلل Artinya: “Zuhudlah terhadap kehidupan di dunia ini, maka Allah akan mencintaimu. Zuhudlah terhadap yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (H.R. Ibn Majah) Ali Sami menyebutkan, bahwa kehidupan mereka bagaikan firman Allah SWT.: ُُْ ُتشٌِذُ صٌَِٕحَ اٌْحٍََاجِ اٌذٍَُّْٔإْٙ ََال َتعْذُ عٍََْٕانَ عٚ َُٗٙج ْ َٚ ََُْٚا ٌْ َعشًِِّ ٌُشٌِذٚ ُُِْ تِا ٌْغَذَاجََْٙ سَ ّتُٛغهَ َِعَ اٌَّزٌَِٓ ٌَذْع َ َاصْ ِثشْ َٔ ْفٚ َوَاَْ َأ ِْشُُٖ ُف ُشطًاٚ َُٖاَٛ٘ ََاتَّثَعٚ َال ُتطِعْ َِْٓ أَغْفٍََْٕا َلٍْثَُٗ عَْٓ ِر ْوشَِٔاٚ Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Q.S. AlKahfi: 28). Menyaksikan perbuatan Ahl Shuffat yang memusatkan perhatiannya untuk beribadat pagi dan petang dan mereka kurang memperhatikan lingkungannya, maka pemuka-pemuka Madinah menyarankan kepada Rasulullah SAW agar mereka tidak jadi perhatian lagi, ditinggalkan saja dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan lainnya serta mereka tidak 47 lagi ditempatkan di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW enggan menerima saran itu. Kemudian Rasulullah sangat gembira dengan turunnya ayat ini, karena Allah SWT menyuruhnya agar bersabar terhadap amal perbuatan mereka itu. Cara hidup zuhud mereka dilaksanakan pula oleh para sufi yang datang kemudian. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata Ahl Shuffat itu. Tokohnya yang terkenal adalah Bara‟ah bin Malik. 3. Kelompok al-Tawwābi>n dan al-Bukhai>yyin Pada masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, terlihat adanya kesungguhan mereka untuk menjalankan aturan-aturan agama serta kemauan yang tinggi dalam membentengi diri dari terjebaknya dalam kemaksiatan dan terlihat pada mereka adanya penyesalan yang sangat dalam bila mengingat dosa dan kesalahannya. Kelompok yang selalu menyesali diri atas kemaksiatan yang pernah mereka lakukan dan menyatakan tidak akan kembali kepada kesalahan untuk masa yang akan datang seraya mengharapkan ampunan dari Allah SWT dan diterimanya kembali sebagai hamba-Nya, mereka disebut Tawwābin (orang-orang yang bertaubat). Sedangkan kelompok yang selalu menyesali atas kealpaannya, menangisi akan kesalahannya serta meneteskan air mata penyesalan adalah kelompok al-Bukha>iyin (orang-orang yang selalu menangis). Menurut catatan yang dikumpulkan oleh R.A. Nicholson dan disampaikan kembali oleh Ali Sami al-Nasyar27, sebagian sahabat pada saat itu pergi ke bukit-bukit di luar kota Madinanh dengan berpakaian yang sangat sederhana. Mereka mengikat tangannya sendiri, menangis dan berdoa agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Bahkan ada yang berjalan tanpa alas kaki 27 Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at. hal. 85. 48 sekalipun perjalanan itu sangat jauh, seperti menunaikan ibadah haji. Sebagian lagi memilih diam dan tidak banyak bicara. Semua itu sebagai realitas penyesalan mereka yang sangat dalam atas kesalahan dan dosa mereka. Menurut Ali Sami al-Nasyar Abu Bakar meninggalkan cara seperti ini setelah beliau diangkat menjadi Khalifah. Konsep taubat yang dikembangkan oleh kelompok ini, belakangan oleh para sufi dijadikan salah satu dari maqamat (tingkatan, station) dalam perjalanan kepada Allah SWT. Bahwasanya Allah SWT berkali-kali menganjurkan agar setiap mukmin memperbanyak taubat dan memohon ampun kepada-Nya. Sedangkan Rasulullah SAW sendiri sampai 70 kali dalam sehari semalam bertaubat, sekalipun dosanya sudah diampuni oleh Allah SWT. Sementara itu disisi yang lainnya terdapat banyak pengertian yang dikemukakan para ulama terkait dengan terminologi tasawuf. Ibrahim Basyuni28 telah memilih empat puluh definisi tasawuf yang diambil dari rumusan-rumusan ahli sufi yang hidup pada abad ke 3 H. Menurut Basyuni, untuk mendapatkan suatu definisi yang universal haruslah bertolak dari definisi yang banyak itu sehingga terdapat pengertian yang saling melengkapi. Untuk itu dari definisi-definisi yang ada dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Al-Bidāyah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap permulaan. Definisi yang mengungkapkan pengalaman pada kelompok bidāyah ini antara lain berasaldari: Ma„ruf al-Karkhi (w. 200 H), ia mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk, maka siapa yang tidak benar-benar fakir, dia tidak benar-benar tasawuf 28 Ibrahim Basyuni, Naṣ„ah al-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), hal. 35. 49 Abu Turab al-Nakhsabi (w. 245 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak ada sesuatu pun yang mengotori dirinya dan dapat membersihkan segala sesuatu. Zunun al-Misri (w. 245 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak suka meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan. Sahl ibn „Abdillah al-Tustari (w. 283 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan dan penuh dengan cara pikir yang terpusat pada Tuhan dan memutuskan hubungan dengan manusia. 2. Al-Muja>hadah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman yang menyangkut kesungguhan dan kegiatan. Definisi yang termasuk dalam kelompok ini antara lain dari: Abu al-Husain al-Nuri (w. 295 H), ia mengatakan bahwa tasawuf bukanlah wawasan atau ilmu tetapi akhlak karena apabila wawasan, maka ia dapat dicapai hanya dengan kesungguhan, dan apabila ilmu ia akan dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi tasawuf hanya dapat dicapai dengan berakhlak dengan akhlak Allah. Abu Muhammad Ruwaim (w. 303 H), ia mengatakan bahwa tasawuf terdiri dari tiga perangai; berpegang kepada kefakiran dan mengharap Allah, merendahkan diri, serta mendahulukan orang lain dengan tidak menonjolkan diri dan meninggalkan usaha. 3. Al-Maza>qah, yaitu definisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan. Definisi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), ia mengatakan bahwa tasawuf ialah seseorang bersama Allah tanpa ada penghubung. Abu Bakr al-Syibli (w.334 H), ia mengatakan bahwa orang-orang sufi adalah anak-anak kecil di pangkuan Tuhan. 50 Mesti diketahui bahwasanya perkataan dan pendapat para syaikh terkait dengan definisi tasawuf masih sangat banyak jumlahnya. Jika kita kumpulkan semuanya terkait dengan pandangan mereka bisa jadi akan tersusun sebuah ensiklopedia yang sangat besar dimana berisi tentang pandangan dan pendapat dari berbagai aspek dan dimensi yang berkaitan dengan definisi tasawuf itu sendiri. Hafiz Abu Naim Isfahani29 (w.430 H) dalam karyanya yang berjudul al- Ḥ~ilya>t al-Auliyā, mencoba menuliskan berbagai pandangan para syaikh terkait dengan makna dan definisi tasawuf mulai dari zamannya. Beliau berpendapat bahwasanya jika berbagai ribuan pandangan dan definisi yang di ekspresikan melalui perkataan para mursyid terkait dengan tasawuf dan terkesan ada perbedaan pandangan tetapi pada tataran makna dan hakikatnya diantara pandangan yang banyak tersebut satu sama lain memiliki kedekatan dan keterkaitan satu dengan yang lainnya. Hal ini juga di amini oleh Syeikh Abu Hafez Umar Shihab al-Din Suhrawardi (w.623 H) dalam kitabnya „Awārif al-Ma„ārif seraya mengatakan: “Perkataan-perkataan para syaikh tentang esensi tasawuf hampir ribuan jumlahnya dan berbeda satu dengan yang lainnya namun memiliki makna hakikat dan dekat antara satu dengan yang lainnya”.30 Sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam, tasawuf mempunyai sejarah yang panjang dalam perkembangannya. Meskipun doktrin Islam tidak menyebutkan secara jelas tentang terminologi tasawuf namun tidak mengherankan kemudian, jika timbul sebuah perbedaan tentang tasawuf dan hal yang terkait dengannya. Karena perkembangan doktrin 29 Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Ishaq ibn Musa ibn Mihran al-Isfahani. Seorang ulama dan sejarawan Muslim sunni persia bermazhab syafi‟i. Sohibul kitab Ḥilya>t al-Awliyā, dimana kitab tersebut merupakan ensiklopedia biografi para mursyid dan syekh sufi yang meliputi 650 Tokoh sufi. Kitab tersebut terdiri atas 10 jilid dan hampir menembus 4000 halaman secara keseluruhan. Lihat. Hafiz Abu Naim Isfahani, Ḥilya>t alAwliyā, Juz I (Egypt: Dar al-Fikr,tt), hal. 45. ٌٗ کً لذ اجاب عٓ حاٚ ُٙ اختالف عثاساتٚ فُٛ فی اٌتصٙتٗ ِشٍختٛ رکشٔا فی غٍش ٘ارا اٌکتاب کثٍشا ِٓ اجٚ اتختٍفت ِتماستٗ اٌّعٕیٚ ي فاْ االٌفاظٛف تضٌذ عٍی اٌف لٛاي اٌّشاٌح فی ِاٍ٘ٗ اٌتصٛ الٚ 30 Suhrawardi, Awarif, hal. 55. 51 tasawuf dalam Islam bisa dimulai dari gerakan-gerakan zuhud (asceticism) semenjak awal-abadabad I Hijriyah yang dipelopori oleh ulama seperti Abu Dzar al-Ghiffari (w.652 M) Hasan alBasri (w. 110 H), ataupun Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H)31 dan Ibrahim bin Adham (w.166 H) dan menjadi landasan asketisisme Islam yang berkembang dengan pesat selama abad I dan abad II Hijriyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya terutama mulai abad III H. Tasawuf yang bersifat zuhud itu semakin menemukan bentuk doktrin tasawuf yang lebih baik yang kemudian memunculkan istilah-istilah baru seperti konsep ma„rifah, fana>‟, baqa‟ itt~iha>d, h~ulu>l dan sebagainya. Munculnya istilah-istilah dan konsep-konsep baru dalam tasawuf menjadikan sufisme Islam menjadi semakin komplek dan berkembang menjadi sebuah ilmu tasawuf.32 Menurut catatan yang dikumpulkan oleh para ahli, bahwa pada permulaan abad III H terlihat adanya catatan perubahan dan peralihan konkrit pada kezuhudan. Panggilan zahid kepada orang lain, zuhud tidak lagi dikenal. Tetapi, lebih dikenal dengan sebutan sufi (orang-orang yang bertasawuf). Abad III H bisa dikatakan sebagai abad permulaan tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti luas. Menurut Abu Ala „Afifi sejak itupun tasawuf memasuki periode baru, yaitu periode intuisi, kasya>f dan dzau>q (rasa). Periode ini terjadi pada abad III dan IV Hijriah yang merupakan zaman keemasan tasawuf dalam pencapaiannya yang paling luhur33. 1. Definisi Tasawuf dan Irfān 31 Mengenai perkembangan doktrin sufi ini dan tokoh-tokohnya lihat. al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terjemahan oleh A. Rofi Usmani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1983. A. Nicholson, “Sufism”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 12 Charles Scriber‟s, tt. 32 Lihat, Milson Manahem, Menjadi Sufi, Terjemahan oleh Yuliani liputo dari A Sufi Rule for Novices. Bandung: Pustaka Pelajar, 1975), hal. 34. 33 Abu Ala „Afifi, al-Tashawwuf al-Tsaurat al-Ru>hiyat fi al-Isla>m, (Kairo: Dar al Fikr, 1962), hal. 92. 52 Sebagaimana yang telah disinggung di atas terkait dengan pembahasan definisi etimologis dari tasawuf, sekarang kita akan membahas padanan kata tasawuf yang kemudian dikenal atau disebut dengan nama „irfān. Pada dasarnya antara kata tasawuf dan „irfān memiliki makna yang sama secara terminologis namun memang berbeda secara etimologi. Kata „irfān berasal-dari kata „arafa yang memiliki arti (mengetahui, mengenal). Irfān sendiri bermakna al„Ilm (ilmu)34. Menurut Raghib al-Isfahani, al-ma„rifah dan al-„irfān berarti mempersepsi sesuatu dengan tafakur dan bertadabur akan efeknya. Irfān sendiri lebih khusus daripada „ilm dan lawan keduanya adalah inkar (ketidak-tahuan). 35 Kemudian Irfān atau tasawuf dibagi menjadi dua, yaitu „irfān nazari („irfān teoritis) dan „irfān amali („irfān praktis). Dilihat dari objek materi dari irfān teoritis maka kadang bisa disebut pula sebagai tasawuf falsafi (tasawuf filosofis)36. Menurut Amini Nezad, irfān bisa ditinjau dari lima pendekatan yaitu: pendekatan teoritis yang kemudian dikenal-sebagai „irfān nazari dan pendekatan praktis yang disebut juga sebagai „irfān amali, pendekatan agama yang membahas hubungan „irfān dan syari„at, pendekatan sastra yang disebut dengan „irfān adabi dan pendekatan pelatihan dan pendidikan yang kemudian melahirkan banyak kelompok-kelompok sufi yang terakumulasi dalam bentuk tarekat. Baik „irfān dan tasawuf dengan kedua pembagiannya teori dan praksis tidak bisa dibatasi pada agama tertentu dan budaya tertentu saja. Namun masih saja ada anggapan yang terpengaruh pada satu titik ekstrim dan juga pada titik ekstrim lainnya. Dari satu sisi orang-orang muslim sangat berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah, namun dari sisi lain mereka terpengaruh oleh budaya sebelum Islam. Dari sini munculnya arus penyimpangan politik dan akhlak yang mengajak untuk memisahkan agama dari politik pada periode pemerintahan sebelumnya seperti Ali ibn Ismail ibn Sayyidah, al-Muhka>m wa al-Muhīṭ~ al-A‟za>m, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 108. Muhammad ibn Manzhur, Lisa>n al-„Arab, Juz 9 (Beirut: Dar aṣ-Ṣadr, tt), hal. 236. 35 Husain ibn Muhammad Raghib al-Isfahani, Mufradāt Alfazh al-Qur‟a>n, (Beirut: Dar al-Qalam, tt), hal. 570. 36 Khalil Riziq, al-„Irfa>n al-Shi‟i> min Abḥa>ts al-Sayid Kamal-al-Heydari, hal. 16. 34 53 pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Penyimpangan ini juga ditemukan dalam dunia Islam pada wilayah „irfān dan tasawuf. Mereka menamakan diri mereka sendiri dengan za>hid dan a>rif. Kemudian mereka mengistilahkan diri mereka sendiri dengan a l -Mutaṣ~awwifu>n. Dalam „irfān teori mereka meyakini inkarnasi (hulūl) dan penyatuan (ittihād) serta mereka memisahkan syariat dari tarikat dalam„irfān praktis („amalī). Mereka membangun khāneqāh-khāneqāh (tempat perkumpulan para sufi) sebagai pengganti pergi ke mesjid-mesjid. Mereka memisahkan diri mereka dari barisan kaum muslim. Mereka terbagi kepada aliran dan komunitas yang berbedabeda. Sejarah Islam dan sejarah filsafat dan„irfān menjadi bukti segala perubahan-perubahan tersebut dan berbagai dilema pemikiran dan politik. Karena itu pembahasan ini tidak bertujuan untuk mempertahankan dan memaparkan segala pemikiran asing yang ada di dalam „irfān dan tasawuf. Pembahasan ini untuk mempertahankan „irfān yang murni yang berasal dari Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah. „Irfān dan tasawuf sejak dahulu telah masuk dalam bingkai ilmu humaniora sebagaimana yang telah dibuktikan pada indikator dan dalil-dalil historis. Masing-masing dari keduanya memiliki pengikut dan pendiri. Para penentangnya menyebut mereka dengan rafi>dah, baik itu dari kalangan muslim maupun dari kalangan orientalis. Pada dasarnya, terminologi tasawuf dan „irfān bukan sekedar istilah semata, tetapi sejak dahulu hingga saat ini keduanya memiliki perjalanan sejarah dan memberikan pengaruh terhadap budaya dan peradaban Islam. Di samping itu, tasawuf dan „irfān berkembang diselasela terjadinya proses gerakan pengetahuan dan teknologi, bersamaan itu pula terjadi perkembangan dan perluasan pengetahuan Islam dan „irfān dalam dunia Islam. Dalam prosesproses tersebut muncul beberapa persoalan seperti, apakah tasawuf atau „irfān merupakan budaya 54 asing yang masuk ke dalam Islam atau jika diasumsikan bahwa irfān atau tasawuf merupakan budaya luar, maka ada kemungkinan terjadi penyimpangan dari budaya Islam yang murni. Jika demikian, apakah predikat Islam itu muncul dari aspek tasawuf atau „irfān itu sendiri atau datang dari filsuf atau dari para „urafa‟ atau dari aspek cakupan konsep-konsep dan posisi masing-masing serta penerapannya terhadap konsep-konsep Islam yang murni. Demikian juga, apakah mungkin penamaan pengetahuan atau filsafat dan „irfān ada hubungannya dengan Islam atau tidak. Sehingga, muncul misalnya filsafat Islam atau mistisisme Islam („irfān). Bagaimanapun gagasan-gagasan tersebut tidak melazimkan bahwa apapun yang di dalamnya terdapat pengetahuan maka hal tersebut dikhususkan kepada kaum muslim dan begitu juga terkait dengan konsep dan maksudnya. Jika dikatakan bahwa seluruh filsafat dan „irfān dan segala sesuatu yang ada di dalamnya merupakan konsep dan pengetahuan, maka apakah secara otomatis menjadi Islam atau jika mereka adalah seorang mistikus yang sempurna, apakah kemudian mereka menjadi seorang muslim, maka dalam menjawab pertanyaan di atas sebagian pendapat mengatakan bahwa tidak akan ada yang disebut dengan filsafat Islam dan mistis Islam. Bahkan, tidak akan ada yang disebut dengan mistis Kristen dan juga mistis Turki dan lain sebagainya. Tidak tepat adanya penisbatan pengetahuan filsafat dan „irfān atau mistik pada golongan tertentu, aliran tertentu dan juga mazhab tertentu37. Namun demikian, yang dimaksud dengan „irfān atau mistis Islam adalah sebagian besar urafa itu adalah orang-orang muslim atau sebagian besar konsep-konsepnya berasal dari a l - Qur‟an dan sunnah, sehingga relasi terhadapnya adalah relasi yang benar atau perkataannya dapat diterima. Meskipun ada sebagian konsep-konsep yang tidak sejalan dengan 37 Taqi Misbah Yazdi, al-Silsilah Abha>ts al-Falsafah al-Isla>miyah, (Qum: Muassaseh Dar Roh Haq, 1348),hal. 27. 55 Islam dan tidak sejalan dengan akidah Islam dan bahkan ada sebagian mistikus dan filsuf nonMuslim, misalnya dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Tidak tepat juga jika dikatakan bahwa „irfān secara keseluruhan lahir dari al Qur‟an dan sunnah, walaupun konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang dibangun diperoleh melalui pertolongan wahyu dan sunnah. Tentunya, konsep-konsep „irfān dan tasawuf tersebut dicetuskan dan diabadikan oleh para urafa dan para pemikir besar Islam. Melalui proses panjang dan berliku, mereka berhasil menambahkan sebuah budaya ke dalam Islam baik secara metodologis dan juga secara kriteria ilmiah meskipun budaya tersebut telah ada terlebih dahulu sebelum datangnya Islam. Dalam proses itulah, makna „irfān diperoleh. Makna dari „irfān secara bahasa adalah pengetahuan dan secara istilah maknanya ma„rifātullāh yaitu mengenal Allah SWT38. Tidak diragukan bahwa pada periode pertama, p a r a urafa belum memiliki istilah khusus mengenai „irfān karena mereka belum memiliki pengetahuan atas konsep dan istilah dengan cara mendefinisikannya. Oleh karena itu peristilahan tersebut muncul pada era setelahnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Suhrawardi bahwasanya perkataan-perkataan para guru sufi dalam menjelaskan rahasia-rahasia mereka mengenai tasawuf semakin bertambah bahkan melebihi dari seribu perkataan. Mereka menyampaikan seluruh perkataannya dalam bahasa yang sangat sulit. Namun demikian, perbedaan-perbedaan yang ada pada mereka sesungguhnya hanya pada bahasa saja bukan pada maknanya39. Selain makna „irfān, istilah sufi dan „a>rif pada periode pertama juga belum muncul dan belum digunakan. Penamaan tersebut belum digunakan pada seluruh aliran yang 38 M. Moen, Farhang Lughat Dehkhuda, (Tehran: Dar Nasyr Jameeh, 1341), hal. 340. Suhrawardi, Awa>rif al-Ma‟a>rif, edisi farsi diterjemahkan oleh Yahya Yatsrabi (Qom: Chop Hauzah Ilmiyah, 1341), hal. 27. 39 56 ada pada saat itu40. Kata sufi digunakan untuk pertama kalinya pada periode kedua Hijriyah41. Sarraj al-Thusi mengisyaratkan perkataan Sufyan al-Tsauri (w. 161H) yang mengatakan bahwa kata „arif digunakan pertama kali pada abad ke dua Hijriyah. Kemudian istilah ini tersebar dan banyak digunakan pada abad ke tiga Hijriyah. Abu Yazd kemudian mengganti kata sufi lalu mengatakan, kesempurnaan seorang „a>rif adalah pengorbanan dirinya kepada Tuhan, maka seorang „a>rif adalah yang melihat Tuhan, ma„rūf dan bersama dengan orangorang yang „a>lim atas alam ini42. 2. Hubungan Tasawuf dan Irfān Secara umum, ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang adanya hubungan antara Islam, tasawuf dan „irfān. Pertama, para sufi dan„a>rif yang hidup pada periode pertama. Mereka meyakini bahwa pemikiran-pemikiran mereka sesuai dengan kemurnian Islam. „Irfān dan tasawuf berasal dari Islam tanpa ada penyimpangan sama sekali. Mereka membebaskan diri dari segala suluk yang bercampur dengan non-Islam. Dalam konteks ini, mayoritas „urafa> dan sufi meyakini bahwa„irfān dan tasawuf merupakan simbol Islam, karena sebagian besar dari hakikat-hakikat Islam dan pengetahuanpengetahuan Ilāhiyyah lebih banyak mengejawantahkan pada keduanya daripada pengetahuanpengetahuan lain. Muslim sejati adalah mereka yang meyakini keduanya. Tasawuf dan „irfān berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah serta Sirah Nabawiyah dan sahabat-sahabat yang agung baik itu dalam „irfān „amali maupun dalam „irfān nazari (teoritis) dan keduanya dapat menolong kepada kehidupan manusia. 40 Murtadha Muthahari, al-Ala>qah al-Mutaba>dillah baina al-Isla>m wa I>>ran, (Qom: Nasyr Islami, 1362), hal.27. 41 Ibn Kholdun, Muqaddimah Ibn Kholdun, edisi farsi diterjemahkan oleh Muhammad Barwin al-Kanabadi, (Qom: Dar al-Tarjamah wa Nasyr al-Kitab), hal.193. 42 Ibn Khaldun, Muqaddima>h Ibn Khaldun, hal.194. 57 Kedua, dijelaskan oleh para ahli hadis dan sebagian orientalis. Mereka meyakini bahwa „irfān dan tasawuf berasal dari budaya asing yang masuk ke dalam Islam. Budaya-budaya impor tersebut datang dari negara dan agama lain seperti: Yunani, Iran, India, Cina, Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen. Masuknya budaya asing ini terjadi dan bercampur dengan budaya Islam setelah periode penerjemahan. Teori kedua ini terdiri dari beberapa kelompok diantaranya: adalah sebagai berikut. 1. Kaum Hadist Ahli hadis meyebut para sufi dan urafa berdasarkan pada riwayat-riwayat Islam yang mereka miliki sebagai bagian dari golongan rafi>dah (kafir) dan menyatakan bahwa jalan yang mereka tempuh tidak sesuai dengan syariat. Bahkan, sebagian riwayat merendahkan mereka serta melaknatnya. Sementara itu, sebagian sufi berusaha keras untuk menghubungkan keyakinannya pada periode ke-Nabian Muhammad SAW dan awal kemunculan Islam. Menurutnya, bukti-bukti sejarah telah menunjukkan bahwa kemunculan tasawuf dan „irfān pada dua abad setelah kemunculan Islam. Pandangan tersebut didasarkan atas konsep harqah [simbolisasi pengetahuan melalui sebuah kain yang menunjukkan pemberian sebuah ilmu dari seorang mursyid secara langsung] dan menisbahkannya kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai sumbernya. Para sufi juga berpendapat bahwa Salman al-Farsi, Abu Dzar al-Ghifari adalah mursyid mereka. Bagi para ahli hadist, usaha keras mereka tentu sebuah usaha yang sia-sia karena hal tersebut hanyalah asumsi yang tidak disertai dengan bukti-bukti. Satu-satunya landasan hanya berdasarkan pada riwayat yang dinukil oleh al-„Awa>li yang berusaha untuk membuktikan ketersambungan tasawuf pada nasab golongan Alawiyyah. Riwayat tersebut menjelaskan makna huruf dari kata sauf bahwa huruf shad tanda dari sidq (kejujuran) dan shifā‟ 58 (kejernihan), huruf wāw tanda dari wafā‟ (loyalitas) dan huruf fa‟ tanda dari al-faqr (kefaqiran) dan fana‟. Hal senada juga disampaikan oleh Mulla Sadra dalam karyanya Kathr al-As}nām al-Jāhiliyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka (para sufi) pada satu aspek tertentu telah meninggalkan pengetahuan, mereka juga menciptakan syariat-syariat yang tidak benar yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan sunnah. Sesungguhnya penyaksian mereka serta karamah-karamah mereka dan tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindakan diluar kebiasaan manusia hanyalah tipu muslihat semata43. Salah seorang yang mengeritik dengan keras pendangan-pandangan sufi adalah murid dari Mulla Sadra yaitu Faidh Kasyani dalam karyanya al-Insāf. Berdasarkan dengan hal ini pandangan yang menyatakan antara kesatuan dan kesamaan„irfān dan tasawuf dengan Islam masih memiliki banyak persoalan dan terbuka untuk dikritik44. 2. Golongan Orientalis Di samping datang dari kelompok internal Islam seperti disebutkan di atas, kritik juga datang dari kaum orientalis. Mereka meyakini bahwa terdapat kemiripan antara „irfān dan tasawuf dengan budaya-budaya sebelum Islam. Bahkan, „irfān dan tasawuf dilahirkan dari budaya sebelumnya dan mempengaruhi keduanya. Di antara budaya dan agama yang mempengaruhi „irfān dan tasawuf menurut para orientalis, salah satunya adalah agama Budha. Kesamaan antara Budha dengan „irfān dan tasawuf terletak pada kedekatan regional dan historis. Sebagian besar urafa berasal dari wilayah timur Iran dan Khurasan di mana wilayah tersebut dekat dengan wilayah para pemeluk Budha45. 43 Sayyid Ishaq Husaini Kouhsari, al-Ta>rikh al-Falsafah al-Isla>miyah, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir, tt), hal. 230. 44 Sayyid Ishaq Husaini Kouhsari, al-Ta>rikh al-Falsafah al- Isla>miyah, hal. 248. 45 Abdul Husain Zarrin Kub, al-Bahts al-Tasawuf fi> I>ran, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1376), hal.6. 59 Bukti penting adanya pengaruh agama Budha terhadap „irfān yaitu terkait dengan sosok mitos Ibrahim bin Adham al-Balkhi (w. 761-762H). Dalam mitos tersebut dijelaskan, sesungguhnya Ibraham bin Adham Balkhi adalah seorang pemimpin. Suatu hari ia keluar untuk pergi berburu, kemudian Ia mendengar perkataan tertentu yang bunyinya; sesungguhnya kami tidak menciptakan dirimu untuk berburu rusa dan serigala. Mendengar suara tersebut ia sangat tercengang dan merenungi perkataannya. Lalu ia menanggalkan pakaian kemuliaannya dan memilih jalan darwis (sufi) dan berjalan menziarahi beberapa negara. Ia berkeyakinan bahwa pengetahuan hakiki adalah alam kasyf dan syuhu>d. Perlu diketahui bahwa hanya sekedar bersandar atas kesamaan tidak bisa menjadi sebuah dalil dalam membuktikan asumsi tersebut. Hal ini berdasarkan pada pertama, sesungguhnya kehadiran tasawuf berawal di Basrah dan Baghdad. Jika ada yang mengatakan kemunculannya di timur Iran, asumsi ini tidak memiliki bukti sama sekali. Menurut Zarrin Kub, jika tasawuf dan „irfān dengan seluruh kesempurnaannya, pendiriannya dan pengaruhnya dinisbahkan kepada Buddha, tetap saja asumsi ini tidak mungkin diterima karena asumsi ini tidak berdasar sama sekali46. Kedua, banyak bukti dan juga dalil sejarah yang menunjukkan bahwa Ibrahim bin Adham bukanlah mitos tetapi benar-benar ada dan nyata dalam sejarah, tidak seperti yang dijelaskan di atas yaitu keberadaan Ibrahim sebagai sosok mitos dan dimitoskan. Demikian juga, sosok Budha pun tidak memberikan pengaruh dalam „irfān dan budaya Islam47. Selain agama Budha, sebagian orientalis meyakini bahwa „irfān dan tasawuf di pengaruhi oleh agama Kristen. Alasannya karena Islam berkembang di sebagian wilayah Kristen seperti Suriah dan Irak dan kaum muslim berhubungan dengan orang-orang Kristiani dan para pastor Kufah, Damaskus 46 47 Abdul Husain Zarrin Kub, al-Bahts al-Tasawuf fi I>ran, hal. 42. Muhammad Taqi Fa‟ali, al-Di>n wa al-Irfa>n, (Tehran: Anjumane Ma‟arif Islami Iran, 1381), hal. 44. 60 dan Nejran. Agama Kristen telah tersebar sebelumnya di antara kabilah-kabilah Arab sebelum Islam. Dengan adanya kesamaan tersebut, maka menjadi nyata bahwa ada pengaruh agama Kristen terhadap keberadaan tasawuf dan „irfān dalam Islam. Seorang peneliti asal Inggris, William Jones, telah menulis satu karya yang menghubungkan „irfān atau tasawuf dengan agama Kristen, terutama Injil Matius pada Bab lima48. Demikian juga Nicholson menyebutkan bahwa kecendrungan pada zuhud dan hal-hal mistis merupakan pengaruh dari para pastor dan tokoh spiritual Kristen49. Pandangan tersebut didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa ada kaitan antara pertapaan dan khāneqāh yang mengikuti jalan para pastor. Bahkan, khāneqāh pertama dibangun di Ramallah dan di tanah Kristen dan juga oleh salah satu pemimpin tokoh Kristen. Selain bukti di atas terdapat bukti lain yang menunjukkan kesamaan diantaranya, seperti kata-kata yang tersembunyi dan kaidah-kaidah rahasia, muka>syafah al-ru>haniyah, menggugurkan taklif dan tujuh derajat maqām dalam meraih maqām ittihād dan penyatuan50. Sebagian kalangan berpendapat bahwasanya Islam tumbuh dan berkembang di wilayah agama Kristen terutama pengaruh Iskandariyah dan gereja Ortodoks terhadap budaya Islam. Namun demikian fakta tersebut tidak membuktikan adanya pengaruh langsung terhadap „irfān. Dalam ajaran Kristen terdapat sebuah konsep kerahiban yang merupakan sesuatu yang dimasukkan ke dalam agama. Konsep ini telah memberikan pengaruh yang sangat ekstrim terhadap usaha suluk. Namun demikian harus dipahami bahwa konsep kerahiban ini tidak dikhususkan pada agama tertentu. Metode ini hadir dalam seluruh agama termasuk Islam, sebagaimana „irfān tidak dikhususkan pada mazhab dan agama tertentu tetapi konsep „irfān hadir 48 Qasim Ghani, Tarikh Tasawuf Dar Islam, (Tehran: Intesyarate Zawar, 1369), hal. 54. Yahya Yatsrabi, al-Irfa>n al-Naza>ri, (Qom: Intesyarate Hauzah Islami, 1374),hal.13. 50 Hanna al Fakhuri (ed), Ta>rikh al-Falsafah fi al-„Alam al-Isla>mi, (Tehran: Intesyarat al „Alamiyah wa al Tsaqafiyah, 1373), hal.253. 49 61 dalam seluruh agama. Adapun Geiger, Kaufman, Marxy, Herzfeld dan Goldziher mengatakan bahwa „irfān dan tasawuf dipengaruhi oleh agama Yahudi dan sesungguhnya ajaran „irfān identik dengan ajaran Talmud Yahudi secara keseluruhan51. Bahkan identitas tersebut pada kata-kata dan peristilahan seperti: nasūt, rahmūt, rahbūt, jabarūt dan wahdāniyyah. Mereka berusaha untuk membuktikan keberadaan nilai-nilai mistis dalam agama Yahudi dan kemudian dibandingkan dengan Islam. Pada dasarnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adanya kesamaan pada sebagian konsep-konsep tidak bisa dijadikan alasan dan dalil dalam menunjukkan adanya pengaruh Yahudi terhadap „irfān dan tasawuf. Di samping itu, mistisisme dalam Yahudi tidak begitu berkembang sehingga dapat mempengaruhi secara langsung terhadap bangunan „irfān. Kitab Taurat tidak memiliki potensi dalam menciptakan pengaruh tersebut. Sementara itu, pengaruh negara terhadap perkembangan „irfān menurut Zarrin Kubb adalah negara Iran. Pengaruh ini berasal dari warisan Zoroaster seperti konsep perjanjian (alastu), konsep wilayah dan lain-lainnya. Tentunya, tidak mungkin mengingkari pengaruh Iran dan pusat pengetahuan lain seperti Jandi Syabur. Bahkan, sebagian besar para sufi dan „urafa> berasal dari Iran. Hal ini telah dikemukan oleh Syahid Muthahhari dalam karyanya relasi timbal balik antara Islam dan Iran yang menunjukkan adanya bukti atas asumsi tersebut. Selain Iran, Cina merupakan salah satu negara yang juga dianggap memberi pengaruh terhadap perkembangan „irfān. Toshihiko Izutsu dan Umar Faruq meyakini bahwa agama-agama yang ada di Cina telah mempengaruhi tasawuf bahkan dianggap sebagai faktor utama munculnya tasawuf misalnya: Taoisme berasal dari Lao-Tse (531-604 SM) dimana tasawuf dipengaruhi oleh kitabnya yaitu Tao Te Ching yang terdiri dari dua pasal. Kitab ini meliputi konsep dan dasardasar yang sangat mendalam mengenai rahasia-rahasia mistis. 51 Abd.Rahman Badawi, Ta>rikh al-Tasawuf, hal.53-54. 62 Pendapat terakhir berkenaan dengan pengaruh pemikiran luar terhadap tasawuf yaitu adanya keyakinan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh pemikiran Yunani khususnya pengaruh Helenistik sekitar tahun 331 SM. Setelah perluasan pengaruh Iskandariyah sampai pada wilayah timur yang berlanjut hingga abad ke 6 M, masuklah budaya baru seputar metafisika dan Platonisme khususnya pada aspek sihir dan ilmu gaib. Dari hal tersebut lahirlah budaya yang disebut dengan „kearifan dan tradisi Yunani‟ dan Louis Massignon menyebutnya dengan istilah kearifan dan tradisi Timur52. Pengaruh tersebut diantaranya adalah seperti kitab PseudoAristotelian (utūlūjiyā), teori emanasi yang dengan ucapan terkenalnya: “Tidak ada yang keluar dari yang satu kecuali satu”. Teori-teori ini dapat ditemukan dalam pemikiran Suhrawardi dan Ibn „Arabi yang mana pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh Hermes dan Neo-Platonis. Berdasarkan pada penjelasan tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran mistis Yunani khususnya filsafat Plotinus memiliki pengaruh terhadap „irfān dalam Islam. Pengaruh ini terjadi khususnya setelah periode masuknya penerjemahan teks-teks filsafat dan mistis Yunani ke dunia Islam. 3. Golongan Moderat Disebut moderat karena dalam pemikiran-pemikirannya mereka mencoba memposisikan „irfān dan tasawuf sebagaimana mestinya seperti: pemikiran Imam Khomeini, Allamah Thabataba‟i dan Syahid Muthahhari yang tidak terjebak pada salah satu titik ekstrim. Mereka meyakini bahwa „irfān yang murni adalah „irfān yang berasal dari al-Qur‟an dan sunnah serta do‟a-do‟a seperti do‟a Kumail, do‟a Imam Husain di Arafah, Shahiifah Sajjadiyah, Munajat Sya‟baniah dan do‟a Abi Hamzah al-Tsumali. Pandangan ini didasarkan pada asumsi 52 Abdul Husain Zarrin Kub, Justeju dar Tasawuf Iran, Vol.2, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1368), hal. 23. 63 bahwa „irfān dan tasawuf membangun metode berdasarkan Islam baik secara teoritis maupun praktis. Kaum moderat ini beberapa di antaranya merupakan orientalis. Secara eksplisit, mereka mengakui kesalahan pandangan yang mengatakan bahwa „irfān berasal dari pengaruh budaya sebelum Islam, terutama setelah tahun 1920-an. Salah satu di antara orientalis tersebut adalah W. E. Nicholson (1866-1945) yang mengatakan bahwa „irfān berasal dari budaya asing yang kemudian masuk ke dalam pemikiran Islam. Tetapi pada tahun 1921, Nicholson merubah pemikirannya dan mengatakan bahwa faktor yang paling inti dan mendasar dari tasawuf adalah keberadaan Islam itu sendiri baik dilihat dari esensinya maupun akidahnya. Tentu ada faktor luar dan salah satunya adalah kondisi politik, sosial dan pengetahuan yang masuk ke dalam dunia Islam53. Pernyataan Nicholson tersebut selanjutnya diikuti oleh Louis Massignon (1883-1962) yang mengatakan bahwa al-Qur‟an telah menanam benih realitas dan hakikat tasawuf. Benihbenih ini selanjutnya ditebarkan oleh Islam dengan cukup memadai sehingga tidak butuh pada budaya asing. Oleh karena itu tasawuf tidak memiliki relasi khusus dengan aliran tertentu, golongan tertentu, bahasa tertentu dan bahkan bangsa tertentu. Tasawuf memiliki ruh tersendiri yang tidak akan dibatasi pada batasan tertentu baik itu batasan materil maupun spiritual54. Bagi cendekiawan Muslim Iran seperti Murtadha Muthahhari dan Imam Khomeini meyakini bahwa unsur-unsur „irfān sejak awal munculnya berasal dari Islam baik itu dilihat dari aspek teorinya maupun dilihat dari aspek praktisnya. Berdasarkan unsur-unsur tersebut telah lahir kaidah-kaidah dan aturan-aturan tertentu dan aturan-aturan ini berdampak pada alam pemikiran lain seperti pemikiran filsafat dan teologi terutama pada pemikiran iluminasi. Namun 53 Abdurahman Badawi, Ta>rikh al-Tasawuf, hal.68. Ayatullah Khomeini, Mi‟ra>j al-Sa>liki>n wa al-Shala>t al-„A>rifi>n, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1378), hal.29. 54 64 demikian, sejauh manakah ukuran kaidah-kaidah dasar dan aturan-aturan tersebut yang telah dibangun oleh urafa berasal dari unsur-unsur Islam, apakah dalam prakteknya mereka memproduksi sendiri sebagaimana yang dihasilkan oleh para faqih dalam menjelaskan dialektika antara teks dan prinsip-prinsip dasar atau tidak. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini perlu penelitian tersendiri. Namun yang pasti adalah bahwa „irfān bersumber dari Islam bukan dari lainnya. Demikian juga Muthahhari menegaskan bahwa kaidah „irfān berasal dari al-Qur‟an, Nahj al-Balaghah dan kumpulan do‟a yang ada di dalam tradisi Islam. Salah satunya adalah do‟a-do‟a yang dikumandangkan oleh para sufi dan para urafa yang sarat dengan pengetahuanpengetahuan „irfān seperti: do‟a Kumail, do‟a Abu Hamzah al-Tsimali, Munājat Sha„bāniyyah, dan Sahifah Sajjadiyah. Do‟a-do‟a tersebut dipenuhi dengan konsep-konsep dan pemikiranpemikiran spiritual yang sangat tinggi. Bahkan meliputi kondisi-kondisi (hāl) „irfān itu sendiri. Oleh karenanya dengan adanya sumber-sumber tersebut apakah sekiranya kita masih membutuhkan sumber-sumber asing. Sementara itu berkenaan dengan ahli makrifat, Imam Khomeini mengatakan: “Dari persoalan yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang mukmin khususnya bagi para ahli ilmu bahwa jika mereka menyaksikan sesuatu atau mendengar perkataan dari ahli makrifat, janganlah kalian secara langsung menganggap mereka dengan fasad dan batil tanpa adanya dalil dari alQur‟an dan sunnah atau menutup telinga mereka terhadap kaum ahli makrifat dan tidak boleh mengecilkan mereka. Sesungguhnya saya bersumpah atas nama Allah SWT bahwa perkataan mereka merupakan komentar atas al-Qur‟an dan hadist”55. Dalam kesempatan lain Imam Khomeini juga mengatakan: “Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh „urafā‟ dengan perkataan sebagian filsuf itu satu, maka tidak selayaknya menjauhkan umat dari kebaikan-kebaikan seperti ini, jika Allah memberikan umur yang 55 Ayatullah Khomeini, al-Ta‟li>m al-„Irfa>niyah, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377), hal.29. 65 panjang kepada kita semua, semoga perkataan kita akan diingat sebagaimana perkataan mereka dan mendudukkan kita bersama dengan mereka. Karena itu jangan kalian katakan, dalam persoalan ini saya menolak perkataan kalian. Jangan sekali-kali, namun seharusnya mengulangnya dan mengulangnya kembali untuk kedua kalinya”56. Imam Khomeini mengirim surat kepada istri anaknya Sayid Ahmad dan mengatakan, “Wahai anakku, jika engkau tak mampu untuk menjadi ahli atau belum sampai menjadi ahli dalam bidang tersebut, maka jangan engkau mengingkari maqām kaum „ārif dan maqām orang-orang saleh, karena sebagian besar perkataan mereka telah ada dalam alQur‟an dan dalam do‟a-do‟a dan munajat-munajatnya”57. Tidak hanya Imam Khomeini dan Muthahhari yang mengatakan bahwa „irfān memiliki fondasi yang solid di dalam Islam tetapi juga dikatakan oleh seorang ahli tafsir, „a>rif sekaligus filosuf, Allamah Thabataba‟i. Beliau mengatakan: “Benar bahwa terdapat hakikat yang dijelaskan dalam al-Qur‟an yang tak mungkin diingkari, diantaranya adalah masuknya manusia ke singgasana Ilahiyah serta kedekatannya pada alam suci. Di mana dirinya akan menyaksikan sesuatu yang tersembunyi bagi orang lain yaitu tanda-tanda Allah yang agung dan juga cahaya jabarut yang tidak akan pernah padam”58. Diriwayatkan juga oleh Rasulullah SAW yang menyatakan: “Jika kalian tidak memperbanyak perkataan dan tidak mengisi kalbu kalian dengan sesuatu yang lain, maka niscaya kalian akan menyaksikan apa yang aku saksikan dan kalian akan mendengarkan apa yang aku dengar. Sesungguhnya jalan seperti ini adalah jalan tanpa melalui pikiran dan merupakan pemberian Ilahi yang dikhususkan kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan kesudahan yang baik adalah milik orang-orang bertaqwa (wal„āqibatu lil muttaqīn)”. Untuk sampai pada tingkatan tersebut menurut Allamah Thabataba‟i yaitu melalui teksteks lahiriyah al-Qur‟an dan sunnah serta melalui pendekatan akal dan lewat pensucian hati. Namun demikian sebagian umat Islam ada yang hanya mengambil salah satu bagian dari ketiga metode tersebut dan sebagian yang lain mengambil keseluruhan dari bagian tersebut. Mereka 56 Ayatullah Khomeini, Tafsi>r al-Fa>tihah, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377), hal.193. Ayatullah Khomeini, al-Ta‟li>m al-„Irfa>niyah,.hal.32. 58 Muhammad Husain Thabataba‟i, al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur‟a>n, Vol.5, (Qum: Muassasah al „A>lam lil Mathbu>‟at, 1394), hal.270 57 66 menggabungkan ketiga metode tersebut seperti sudut-sudut pada segitiga dimana jika bertambah salah satu dari sudut segitiga tersebut maka sudut yang lain akan mengecil dan sebaliknya59. Pernyataan Thabataba‟i di atas diperkuat oleh Allamah Hasan Zadeh Amuli yang mengatakan bahwa sebuah sistem tanpa „irfān seperti ruh tanpa jasad. Ilmu dan „irfān menurutnya dapat menjadikan manusia seutuhnya karena sesungguhnya hakikat perkembangan jiwa sejalan dengan ma‟rifatulla>h. „Irfān hakiki dapat ditelusuri di dalam wahyu dan riwayat yang datang dari Rasulullah SAW beserta keluarga sucinya60. 3. Landasan Teologi Tasawuf dan Irfān Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa „irfān bersumber dari Islam itu sendiri terutama al-Quran. Disebutkan di dalam al-Qur‟an bahwa hubungan antara Allah SWT dan selain diri-Nya tidak seperti hubungan antara bangunan dan arsiteknya dan juga tidak seperti hubungan antara jam tangan dengan pembuatnya dan juga tidak seperti hubungan antara sebab dan akibat. Allah selalu hadir pada setiap saat dan setiap waktu, kapan pun dan di mana pun. Kehadiran Allah dalam setiap ciptaan-Nya senantiasa ditegaskan dalam kitab suci-Nya alQuran. Murtadha Muthahhari mengatakan: “Kita mesti meneliti dengan teliti ayat-ayat yang berkaitan dengan liqāullah dan ridhwānullah serta ayat-ayat yang berkaitan dengan wahyu dan ilham. Mengamati bagaimana perkataan malaikat terhadap para Nabi dan manusia lainnya sebagaimana perkataan malaikat terhadap Maryam. Memperhatikan ayat berkenaan dengan Mi‟raj Rasulullah dimana Mi‟raj merupakan kisah perjalanan sair dan suluk dalam mengarungi tahapan-tahapan maqām kedekatan (al-qurb) Ilahi hingga sampai pada tahapan terakhir. 59 60 Muhammad Husain Thabataba‟i, al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur‟a>n., hal.295. Hasan Zadeh Amuli, Hezar Yek Kalimeh,Vol.2, (Qom: Intesyarate Daftar Tabligat, 1373), hal. 138. 67 Begitu juga banyak hadist-hadist yang berasal dari Nabi Muhamad SAW memiliki dimensi esoteris dan makna batin yang sangat dalam. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwasanya antara „irfān dan tasawuf sesungguhnya laksana syariat yang tidak terpisah dari tareqat bahkan keduanya merupakan perkara yang satu. Jika ada seseorang yang menginginkan untuk sampai pada ajaran-ajaran langit dan menggapainya, maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti perintah-perintah para Nabi dan menjauhi larangan-larangannya serta senantiasa mengikuti jalan mereka. Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang paling baik dalam persoalan ini dan begitu juga dengan para „a>rif dan ahli hikmah. Mereka semua adalah para pesuluk yang menuju kepada jalan Tuhan. B. Definisi dan Metode Tasawuf akhlaqi Alangkah baiknya sebelum kita membahas masalah tasawuf akhlaqi, selayaknya kita harus mendefinisikan dahulu hal yang terkait dengan definisi akhlak itu sendiri. Dimana bertujuan untuk menelusuri tentang kedudukan akhlak dalam Islam serta prinsip-prinsip akhlak dalam Islam sehingga diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh dan komprehensif tentang akhlak dalam perspektif ajaran Islam tentunya. Akhlak merupakan kajian yang selalu menjadi topik utama agama-agama dunia serta menjadi tujuan serta pesan utama dari setiap agama samawi, karena memang tujuan asli diutusnya para Nabi dan Rasul selain menyeru kepada keesaan Tuhan (tauhid) ia juga memiliki tanggung jawab untuk bagaimana menata dan membangun tatanan akhlak yang sejalan dan selaras dengan semangat dan ruh nilai-nilai agama. Mereformasi perilaku umat dan kaum yang dianggap telah jauh melenceng dari tatanan dan koridor Ilahiah. Islam memandang akhlak memiliki peranan yang sangat sentral dalam diri kehidupan manusia. 68 Lewat akhlak diangkatnya derajat manusia ke tempat yang mulia bahkan lebih dari itu keutamaan akhlak terkadang pada suatu dimensi lebih tinggi derajatnya daripada ritual agama itu sendiri. Islam sebagai sebuah agama langit terakhir sangat menekankan ajaran yang memperhatikan akhlak atau etika, bahkan lebih dari itu nilai-nilai ritual ibadah yang sangat dianjurkan dan diwajibkan oleh Islam ternyata tujuannya bagaimana menjadi makhluk dan hamba yang ber-akhlak mulia dan inilah hakikat tertinggi dari diutusnya sang Rasul terakhir bagi umat akhir zaman. 1. Kedudukan Akhlak Dalam Islam Dalam bahasa Arab : Etika, moral sering disepadankan dengan istilah ”Akhlak”. Uraian lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, „Ilm al-akhlaq, istilah ini dalam kamus "Al-Mawrid" diterjemahkan dengan etika (ethics), moral (morals), dan filsafat moral (moral philosophy)61. Sementara itu dalam kamus "al-Mu'ja>m al-Wa>sith" istilah "'Ilm al-Akhla>q" didefinisikan sebagai "'Ilmun maud~u'uhu ahka>mun qimiyyatun tata'allaqu bi ala'mal al-lati tus~afu bi al-khusni au al-qubhi". Ibnu Sina, misalnya, menulis sebuah buku dengan judul “‟Ilm al-Akhlaq “ yang berisi uraian tentang etika. Kedua, falsafat al-akhlaq, misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh Manshur Ali Rajab berjudul “Taammula>t fi Falsafat al-Akhla>q”62. Kitab yang ditulis oleh Muhammad Yusuf Musa dengan judul “Falsafat al-Akhla>q fi al-Isla>m wa Shila>tuha> bi alFalsafat al-Ighriqiyah”63. Ketiga, al-Akhlaq, misalnya dalam sebuah kitab yang ditulis oleh 61 Rohi Balbaki, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary (Beirut: Dar al-'Ilm Lil Malayi>n, 1993), 62 Manshur Ali Rajab, Taammula>t fi Falsafat al-Akhla>k (Mesir: Maktabat al-Mishri>yyah, 1961), cet. hal. 521. ke-3. 63 Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhla>k fi al-Isla>m wa Sila>tuha> bi al-Falsafat al-Ighriqiyah (Kairo: Muassasa>t al-Khanji>, 1963), cet. ke-3. 69 Muhammad „Abd al-Darraz dengan judul “Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qura>n: Dira>sat Muqa>ranat li al-Akhla>qi al-Nadza>riya>t fi al-Qura>n”64; Kitab yang ditulis oleh Zaki Mubarak dengan judul “al-Akhla>q „ind al-Ghazali”65; Kitab yang ditulis oleh Ahmad Amin dengan judul “Kita>b al-Akhla>k”66; Kitab yang ditulis oleh As‟ad al-Sahrani dengan judul “alAkhla>k fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah”67. Melihat uraian di atas, maka ada dua istilah yang sepadan dengan etika, moral, yaitu istilah “akhlak” dan “adab”. Secara detail dua istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, istilah “akhlak” merupakan kata kunci dalam membahas masalah moral ini, karena istilah “akhlak” lebih dikenal dalam pembahasan masalah etika dalam Islam dan bentuk mufradnya, “khuluq”, secara langsung tercantum di dalam teks al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Quran surat al-Qalam ayat 4 terdapat kata “khuluq” yang berarti budi pekerti. Ayat tersebut berbunyi: ٍُأک ٌعٍی خٍك عظٚ Artinya: "Sesungguhnya engkau (Muhammad) di atas budi pekerti yang baik" (QS. AlQalam, 68: 4) Kata “akhlak” merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq” atau “khilq” yang berarti perangai (al-Sajiyah), kelakuan atau watak dasar (al-T~abi>‟ah), kebiasaan (al-„A>dat), peradaban yang baik (al-Muru>‟ah), dan agama (al-Di>n). Istilah “akhlak” sudah menjadi kosa 64 Muhammad 'Abd Darraz, Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qur‟a>n: Dira>sat Muqa>ranat li alAkhla>qi alNadzariya>t fi al-Qur‟a>n (Kuwait, Dar al-Buhu>ts al-'Ilmi>yyah, 1991), cet, ke-8. 65 Zaki Mubarak, al-Akhla>q „ind al-Ghaza>li (Kairo: Dar al-Ka>tib al-'Arabi> li al-Thiba>'at wa alNasyr, t.t). 66 Ahmad Amin, Kita>b al-Akhla>q (Kairo: Mathba'at Dar al-Kutub al-Mishri>yyat, 1929), cet, ke-3. 67 As'ad al-Sahmaraniy, al-Akhla>q fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah (Bairut: Dar al-Nafa>is, 1993), cet, ke-3. 70 kata bahasa Indonesia, yaitu akhlak. Kata “akhlak” dalam bahasa Indonesia berarti budi pekerti atau kelakuan68. Muhammad Quraish Shihab membedakan antara istilah akhlak dan etika ; Beliau menyatakan sebagai berikut; “Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa”69. Pandangan Quraish Shihab di atas yang membedakan antara akhlak dalam ajaran agama dengan etika dapat dipahami sepanjang perbedaan antara akhlak dan etika itu secara umum, tetapi persoalannya ketika etika itu kemudian juga ditarik dari ajaran agama tertentu seperti agama Islam misalnya, yang kemudian menimbulkan etika dalam perspektif agama tertentu misalnya: etika dalam Islam, maka perbedaan itu tidak perlu lagi dipersoalkan. Jadi yang membedakan bukan antara kata akhlak dengan etika saja tetapi yang membedakan adalah karena akhlak yang dikemukakan oleh Quraish Shihab di atas berdasarkan pada ajaran agama. Kedua, istilah “adab” yang berarti kebiasaan atau adat, sebagaimana kata Toha Husain, bahwa kata adab berasal dari kata “al-adabu” yang berarti “al-„adab”70. Selain itu, beberapa kamus memberikan arti kata adab dengan kesopanan, pendidikan, pesta dan akhlak71. Dengan 68 Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-3, 1994), hal. 980. 69 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hal. 261. 70 Muhammad 'Abid al-Jabiri, al-Aqlu al-Akhla>qi al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum alQiyam fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah (Maroko: Markaz Dira>sat al-Wih~dah al-'Arabi>yyah, 2001), cet, ke-1, hal. 42. 71 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), hal. 13-14. 71 demikian, kata adab juga dapat berarti etika. Ensiklopedi Islam yang ditulis oleh Cyril Glasse juga memberikan arti adab dengan kesopanan, sopan-santun, tata krama, moral dan sastra72. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern memberikan arti adab yang disejajarkan dengan istilah etika. Dalam Ensiklopedi itu ditulis adab adalah refleksi tentang ideal-ideal mulia yang harus menginformasikan praktik keahlian sebagai: negarawan, dokter, usahawan dan kegiatan penting lainnya kepada masyarakat73. Dengan penjelasan ini tampaknya kata adab lebih dekat dengan arti etika khusus atau etika terapan. Hal ini dapat diperkuat dengan melihat beberapa buku yang ditulis oleh beberapa ahli misalnya, buku yang ditulis oleh al-Ruhawi yang berjudul “Ada>b al-T~abi>b”, buku yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy‟ari yang bernama “Ada>b al-Ta‟li>m wa al-Muta‟alli>m” dan sebagainya. Kata adab sudah sejak lama diadopsi kedalam bahasa Indonesia. Kata adab dalam bahasa Indonesia juga mempunyai arti: kesopanan, kehalusan, kebaikan budi pekerti dan akhlak. Dengan demikian, maka kata adab dapat diterjemahkan dengan istilah etika namun kecenderungannya lebih mengarah pada etika terapan. 2. Prinsip Dasar Akhlak Dalam Islam Hamzah Ya'qub menulis lima karakteristik akhlak (etika) Islam yang menurutnya dapat membedakannya dengan etika yang lain74. Lima karakteristik akhlak Islam yang dimaksud adalah: Pertama, akhlak (etika) Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. Kedua, akhlak (etika) Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan 72 73 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 11. John L.Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, cet. ke 2 (Bandung: Mizan, 2002), hal. 24. 74 Hamzah Ya'qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: Penerbit Diponegoro, 1983), hal. 14. 72 kepada ajaran Allah SWT, yaitu ajaran yang berasal dari al-Quran dan hadis. Ketiga, akhlak (etika) Islam bersifat universal dan komprehensif serta dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat. Keempat, ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia. Kelima, akhlak (etika) Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridlaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya manusia akan selamat dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan. Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentrasinya lebih menitik beratkan pada sikap dan perilaku serta budi pekerti ajaran tasawuf itu sendiri. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh ulama-ulama salaf melalui metode-metode tertentu yang telah digariskan. Tasawuf bentuk ini berupaya untuk lebih memfokuskan kepada sebuah aturan akhlak dan etika yang berakhlak mulia serta menjauhi dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela di dalam diri para sufi atau dengan kata lain tasawuf akhlaqi adalah sebuah konsep ajaran sufisme yang berwawasan moral praktis dengan berdasarkan pada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dijalankan dengan penuh konsisten seraya memperhatikan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengikutinya75. Sementara itu pandangan yang lain mengatakan, tasawuf akhlaqi merupakan prosesi ritual yang berkaitan dengan suluk, perbuatan dan mujahadah. Tasawuf akhlaqi berupaya untuk mendeskripsikan maqam-maqam ahli makrifat dan derajat-derajat para pesuluk dalam upayanya 75 Alwi Shihab, Islam Sufistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung : Mizan, 2001), hal.32. 73 menuju kedekatan dengan sang Kho>liq dengan menitik beratkan pada perilaku dan akhlak mulia yang dilakukan melalui muja>hadah dan ta~sfiyah (pensucian). Perkembangan tasawuf akhlaqi diawali dengan gerakan zuhud. Gerakan zuhud mulai hadir pada abad pertama dan kedua Hijrah dimana lahirnya ajaran tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor diantaranya : 1. Merupakan salah satu ajaran Islam yang pada saat itu mulai ditinggalkan umatnya. 2. Sebagai revolusi spiritual kaum muslimin didalam melawan hegemoni nafsu duniawi. 3. Adanya konsep kependetaan Nasrani yang kemudian dipraktikan oleh orang-orang terdahulu dari kalangan Arab. 4. Revolusi melawan fiqh dan kalam (teologi) karena tidak ditemukan dalam pandangan ulama fiqh dan kalam sesuatu yang memuaskan terkait dengan spiritual keagamaan. Adapun madrasah zuhud pada abad pertama dan kedua diantaranya adalah76: 1. Madrasah Madinah melahirkan banyak zuhud yang berpegang teguh dengan alQur‟an dan sunnah diantaranya Abu Ubaydah ibn al Jarrah (w.18 H), Abu Dzar alGiffari (w.22 H), Salman al Farisi (w.32 H), Abdullah Ibn Mas‟ud (w.33 H), Hudzaifah ibn al-Yaman (w.36 H). 2. Madrasah Bashrah yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Hasan Bashri (w.110 H), Malik ibn Dinar (w.131 H), Rubah ibn „Amru al-Qaysi (w.190 H). 3. Madrasah Kufah yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Rabi‟ ibn Khutsyn (w.67 H), Sa‟ad bin Jabir (w. 95 H), Sufyan al-Tsauri (w.161 H). 76 Abu al Wafa at Taftazani, Madkha>l ila> al-Tashawuf al-Isla>mi, (Kairo : Dar al-Tsaqa>fah li Nasyr wa al- Tawzi, 1987), hal.70-84. 74 Madrasah Mesir yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Salim ibn „Aqar al-Tajibi (w.75 4. H) Abdullah ibn Umar (w.117 H) Abu Abdullah ibn Wahab ibn Muslim al- Mishri (w.197 H). 5. Madrasah Khurasan yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibrahim bin Adham (w.161 H) dan al Fufayl bin Iyadh (w. 187 H). Pada dasarnya penyusunan kitab yang berkaitan tentang suluk dan maqa>m yang harus dilalui oleh pesuluk dimulai pada akhir abad ke 2 Hijriah, dimana Risa>lat Adab al-Iba>dat karya Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H) menjadi buku suluk pertama. Al-Balkhi menguraikan urutan tingkatan spiritual yang harus dilaui oleh pesuluk secara bertahap, artinya pesuluk tidak diperbolehkan melangkah pada tingkatan yang tinggi kecuali setelah dia menyempurnakan tingkatan sebelumnya. Seorang pengamat tasawuf Muhsin Bidar Far mengatakan dalam buku Risala>t Adab al-Iba>dat karya Syaqiq al-Balkhi dijelaskan terkait dengan pembagian manzi>l al-shidqi> (tingkatan kebenaran) dimana dalam tingkatan-tingkatan tersebut seorang pesuluk yang berada pada tingkatan kebenaran harus melalui empat tahapan agar dia sampai kepada hakikat kebanaran yang mutlak diantaranya adalah dimulai dari zuhud kemudian khauf (rasa takut) lalu syau>q ila> al-janna>t (kerinduan pada surga) dan yang terakhir adalah alMahabbah lilla>h (kecintaan kepada Allah)77 . Namun pada dasarnya kitab tersebut memiliki pembahasan yang sama dengan kitab Misba<h al-syari‟a>h yang dinisbahkan oleh Ja‟far Shadiq (w.148 H) yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana jalan yang harus ditempuhnya. Setelah itu penulisan buku tasawuf akhlaqi berlanjut kepada Hakim Tirmidzi (w. 318 H) yang menulis kitab dengan judul Mana>zil al- 77 Muhsin Bidar Far, “Muqaddimah” dalam Syarh Mana>zil al-Sa>‟iri>n, (Kamal al-Din Abd ar Razzaq a-l Qasani), (Qum : Mansyurat Bidar, 1427 H), hal. 9. 75 Iba>d wa al-Iba>dah dan al-Nifar>i serta kitab yang berjudul al-Mawa>qif al-Mukhattaba>t78. Kemudian dilanjutkan kembali oleh Abu Nashr Abdullah ibn Ali al-Siraj al-Thusi (w. 386 H) dalam karya tasawufnya yang berjudul al-Luma>‟ fi Tar>ikh al-Tasawuf al Isl>ami. Di dalam kitabnya tersebut terdapat pembahasan khusus tentang maqa>m-maqa>m spiritual para sufi yang membahas tentang al-ahwa>l wa al-maqa>ma>t79. Ada pula Abu Thalib al Makki (w. 385 H) yang menulis karya yang berorientasi pada tasawuf akhlaqi yang berjudul Qu>t al-Qulu>b fi Mu‟a>malat al-Mahbu>b. Dalam bukunya tersebut al-Makki menjelaskan tentang maqa>m jiwa dan tingkatan spritual80. Masih dalam pembahasan tentang Tasawuf akhlaqi seorang ahli sufi yang bernama Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi (w. 380 H) menulis kitab al-Ta‟arru>f li Mazha>b ahl al-Tasawuf81. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah ibn Muhammad al Anshori al Harawi (w.481 H) yang meneruskan tradisi penulisan karya tasawuf akhlaqi. Beliau menulis kitab Mana>zil al-Sa>‟iri>n di tahun 475 H. Selain itu juga beliau menulis kitab sufi dalam bahasa Farsi yang berjudul Sad Meydan82 (Seratus Maqa>m) pada tahun 448 H. Pada dasarnya kitab Mana>zil dan Sad Meydan membahas teentang 100 maqa>m spiritual yang kemudian dikelompokan menjadi 10 bagian. Aliran tasawuf akhlaqi atau yang kemudian dikenal dengan tasawuf Sunni yang ditandai lewat ajaran dari penganutnya yang selalu memagari tasawuf mereka dengan al-Qur‟an dan sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan ruhaninya dengan kedua dasar agama itu dan didukung oleh penganut aliran ahlu al-sunnah wa al-jama>‟ah. Tasawuf ini berbeda dengan 78 Muhsin Bidar Far, “Muqaddimah” dalam Syarh Mana>zil al-Sa>‟iri>n, hal.10-12 Abu Nashr Abdullah ibn Ali al-Siraj al-Thusi, al-Luma> fi Ta>rikh al-Tasawuf al-Isla>mi, (Kairo : al Maktabah al-Tawfiqi>yah, tt), hal.45-75. 80 Abu Thalib al-Makki, Qu>t al-Qulu>b fi Mu‟a>malat al-Mahbu>b, ( Kairo : al-Maktabah alTawfiqi>yah, tt). 81 Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta‟a>ruf li Mazhab ahl al-Tasawuf, (Kairo : al-Maktabah al Tsaqa>fah al –Dini>yah, 2004), hal.76-161. 82 A.G. Ravin Farhadi. The Hundred Ground‟s of Abdullah Ansari of Heart (dalam The Heritage of Sufism, (Oxford : Oneworld Publications, 1990), hal.381-400. 79 76 tasawuf semi filosofis di mana para pengikut dan penganut semi filosofis ini cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta mereka menolak dari konsep al-fana‟ menuju penyatuan (al-h~ulul). Pada abad kelima Hijriah aliran tasawuf akhlaqi atau tasawuf Sunni mulai berkembang sedangkan tasawuf falsafi mulai berkurang. Berkembangnya tasawuf Sunni ini berkat dukungan dari penganut aliran teologi ahlu al-sunnah wa al-jama>‟ah. Pada periode ini baru dikenal istilah maqamat atau manazil. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang dirumuskan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat yang bertujuan untuk mencapai kebahagian yang optimal, di mana manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri dan sifat Ilahiyah melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia yang kemudian dalam tasawuf akhlaqi dikenal dengan metode: takha>lli, taha>lli dan tajalli. C. Definisi dan Metode Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan dan paduan antara teori-teori tasawuf itu sendiri dan juga filsafat. Model tasawuf falsafi ini banyak di praktikan dan dikembangkan oleh para sufi yang filosof83 atau bisa dikatakan sebagai aliran yang menggabungkan tasawuf dengan aliran mistik dari lingkungan diluar Islam. Faktor-faktor yang 83 Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk menggapai kesucian batin dalam perjalanan spritualnya menuju kedekatan dengan sang Kha>liq yang kemudian menjadi daya pikat bagi pemikir dan cendekiawan muslim dizamannya yang notabene memiliki latar belakang sebagai mutakallim dan filosof. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau sebaliknya filosof yang sufis, dimana konsep-konsep tasawuf mereka dikenal dengan tasawuf falsafi. Lihat. M. Jamil, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2004), hal.30. 77 menyebabkan kecenderungan filosofis ini antara lain: Terciptanya peluang kontak dan interaksi dengan aliran-aliran mistisime kawasan lain. Akibatnya berkembanglah konsepsi-konsepsi dalam tasawuf yang mengangkat tema-tema seperti fana‟-al itt~ihad, al-h~ulul dan wah`dat al-wuju>d yang dalam tradisi tasawuf akhlaqi sumber-sumber konsepsi tasawuf falsafi tersebut agak sulit menemukannya dalam inti ajaran Islam. Meskipun tasawuf dalam perkembangannya terpengaruh oleh filsafat dan menciptakan istilah-istilah serta diwarnai dengan konsepsi-konsepsi filosofis itu sendiri yang kemudian menjadikannya sebagai ciri dan karakteristiknya, namun sebagaimana yang di yakini oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, bahwasanya tasawuf jenis ini merupakan bukan sebuah konsep tasawuf yang murni, karena disatu sisi konsep-konsep filosofis begitu terkait erat dengan model tasawuf ini di mana selalu menggunakan makna dan simbol-simbol filsafat yang memiliki kecenderungan serta berorientasi pada ajaran panteisme (kesatuan wujud Tuhan dengan alam atau anggapan bahwa semua itu adalah Tuhan, di mana Ia telah bersatu dengan alam. Namun disisi lain model tasawuf falsafi ini tidaklah sepenuhnya dikatakan terpengaruh konsepsi filosofis, disadari bahwasanya konsep tasawuf falsafi ini juga didasarkan pada rasa atau dzauq sebagaimana yang di gunakan dalam sebagian tradisi filsafat akhlaqi Islam84. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Hamka, menurutnya jenis tasawuf falsafi ini tidak sepenuhnya dikatakan sebagai tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat85. Disamping itu, tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran-kesamaran dikarenakan banyaknya istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami aliran tasawuf ini. Hal ini tentunya berbeda dengan tasawuf akhlaqi yang lebih cenderung mendasarkan ajaran-ajarannya kepada al-Qur‟an dan sunnah di mana lebih 84 85 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilā al-Tas}awwuf al-Islami, hal. 175. Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986), hal.76. 78 menekankan pada dimensi akhlak yang terkait dengan hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, kemudian makhluk dengan makhluk lainnya. Menjaga keseimbangan antara implementasi nilai-nilai syariat dalam upayanya menggapai hakikat serta lebih berkonsentrasi pada pembentukan akhlak yang mulia melalui metode: takha>lli, taha>lli dan tajalli. Jika dalam tasawuf akhlaqi bahwasanya konsep ma‟rifah merupakan maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh sang sa>lik dimana dalam fase tersebut ia dapat mengenal Tuhan melaui media kalbu sanubari, namun dalam tasawuf falsafi lebih dari itu, dalam tasawuf ini sang sa>lik bahkan bisa menaiki ke maqa>m yang lebih tinggi dari konsep ma‟rifah tasawuf akhlaqi, yaitu menyatunya antara salik dengan Kho>liq dengan konsep dan istilah yang berbeda-beda seperti: itt~ihad, hulul> dan wah~dat~ al-wuju>d.86 Masih menurut Abu al-Wafa al-Ghanimi yang kemudian menyebutkan adanya periode tasawuf falsafi dalam Islam yang mana di antara tokohnya adalah Ibn Arabi. Tasawuf falsafi adalah tasawuf Islam yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional penggagasnya. Abu al-Wafa al-Ghanimi juga menilai bahwasanya, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad VI Hijriyah. Meskipun para tokohya baru dikenal setelah seabad kemudian. Namun sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang terutama di kalangan para sufi yang juga seorang filosof. Dalam catatan para ahli, tokoh tasawuf falsafi yang terkenal dalam Islam adalah Ibn Arabi dengan pemahaman tasawufnya, wahdat alwujud. Ibn Arabi adalah salah satu figur sekaligus tokoh tasawuf falsafi yang masyhur dan berpengaruh sampai ke Nusantara. Ibn Arabi (w. 1240 M) menegakkan pahamnya berdasarkan renungan, metode falsafi dan rasa tasawuf yang dalam. Karyanya yang berjudul Futuhat alMakkiyat dan Fushush al-Hikam sukar untuk dipahami oleh orang-orang yang terbilang awam 86 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, hal.44. 79 karena dia berjalan agak rumit serta memilih kata-kata yang membuat orang terhanyut dalam keasyikan denganya. Tasawuf Ibn Arabi tentang Wahdat al-Wujud itu menghendaki pemahaman yang sungguh-sungguh. Jika tidak maka akan menimbulkan permasalahan teologi bahkan mengundang antara pro dan kontra. Tasawuf Ibn Arabi dalam konteks dinamika pemikiran tasawuf dan sufisme intelektual di Nusantara mendapat sambutan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani87. Paham kedua tokoh ini, sebagaimana disebut Nur al-Din al-Raniri, Wahdat al-Wujud Mulhi>d atau lebih dikenal dengan sebutan Wujudiyyah. Paham Wujudiyyah ini dipermasalahkan di kalangan para tokoh tasawuf akhlaqi di Timur Tengah dan bahkan Nusantara. D. Metode Tasawuf akhlaqi al-Ghazali Berbicara mengenai ulama yang paripurna ini membangkitkan kembali kepada kita sejarah kejayaan intelektual Islam masa lampau. Figur yang sangat kharismatik, unik dan moderat ini gagasan dan ide-ide intelektualnya telah menjadi rujukan ilmiah ke-Islaman yang tidak hanya digandrungi di dunia Islam semata bahkan diterima pula di dunia Barat. Ia merupakan simbol rohaniwan muslim yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran terhadap segala persoalan umat. Sementara disisi lain tidak sedikit pula yang menghardik dan mencaci-makinya, dianggapnya sebagai biang kerok kemerosotan Islam dan pemikirannya oleh sebagian kalangan muslim sendiri justru dianggap menjadi sumber dari stagnasi dan kejumudan berpikir umat akhir zaman, bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa al-Ghazali tidak lain hanyalah sebagai seorang ulama yang tidak pernah konsisten dalam pemikirannya di mana 87 Untuk lebih jelas hubungan tasawufnya dengan tasawuf Ibn Arabi, lihat. Abd Aziz Dahlan, Penelitian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wjud) Tuhan, Alam, Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang :IAIN Imam Bonjol Pres, 1999). 80 terbawa oleh arus kekuasaan dan kepentingan. Wajar memang tokoh utama tidak mesti memiliki satu kepribadian dan beliau lahir dari kondisi zaman dan umat yang sedang gila-gilanya mengkaji dan menelaah ilmu-ilmu ke-Islaman, di tangannyalah terjadi proses turbulensi pemikiran umat yang begitu cepat. Tiada yang membantah kebesaran Abu Hamid al-Ghazali. Karya magnum opusnya di bidang tasawuf, Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n mendapatkan sambutan hangat dan antusiasme dari publik Islam sejak dulu hingga sekarang. Di tengah adanya kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam al-Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur‟an dan hadist. Kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n rimbun dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Proses tahapan spiritual seperti: zuhud, ridha, tawakkal dan lain-lain diberinya pendasaran Qur‟ani dan hadist. Dari sini tidaklah keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali kecenderungannya khuluqi-„amali dan bukan falsafi. Dengan corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak menggoyahkan kedudukan al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n terlalu kuat untuk dipatahkan. Kini di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi ke-Islaman yang keras dan tandus, pikiranpikiran sufistik al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansinya untuk hadir kembali, di mana beliau menyuguhkan konsep mahabbah (cinta), tauhid (monoteisme), khauf (takut) dan ma‟rifah (pengetahuan) dalam inti ajaran agama Islam. 81 Kitab Kimiya>‟al-Sa‟a>dah al-Ghazali merupakan intisari dan ringkasan dari kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n. Maka dari itu ada baiknya penulis paparkan sekilas terkait dengan kitab Ihya>‟ tersebut. Sepintas mungkin agak aneh terniang di telinga kita bahwa kitab yang dipahami oleh umat penganutnya sebagai pegangan untuk masyarakat sufi ini diberi judul Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n yang artinya penghidup ilmu-ilmu agama. Bukankah dalam pandangan sufi yang paling diutamakan adalah amaliah nyata dalam kesucian batin yang damai dan penuh keikhlasan. Sementara ilmu adalah aktivitas akal dan budidaya logika yang seringkali justru melahirkan sikap congkak dan kecenderungan “berkilah”, jika itu menjadi tanda tanya bagi keanehan yang pertama maka keanehan berikutnya adalah buku tersebut banyak dituding sebagai yang paling bertanggung jawab atas tragedi kemunduran dunia intelektual dan pemikiran Islam dengan akibat yang sangat jauh yang hingga sampai sekarang masih banyak diratapi umat ini88. Dari berbagai kajian atas tangga-tangga kehidupan yang dititi al-Ghazali (450-505 H) nampak bahwa karya Ihya>‟ ini hampir sepenuhnya dapat dikatakan sebagai rekaman lengkap hasil pengalaman dan perantauan intelektual dalam usahanya mencari apa yang dipahaminya sebagai hakikat kebenaran. Di masa al-Ghazali prestasi dalam ilmu filsafat dianggap setara dengan prestasi ke-Nabian (nubu>wah). Bedanya, prestasi filsafat lebih merupakan konsumsi untuk kalangan elit sedang prestasi para Nabi merupakan konsumsi kalangan awam yang berpikir sederhana. Namun ternyata bagi al-Ghazali filsafat bukan saja tidak lebih istimewa dibanding dengan kajian ke-Islaman yang lainnya, justru filsafat dianggapnya telah menimbulkan guncangan yang begitu hebat atas kejiwaannya. Dalam ukuran tertentu beliau konon benar-benar telah menjadi “gila”dan hampir saja berhenti dari perantauannya89. Tetapi 88 89 Fazlurahman, Membuka Pintu Ijtihad (terj), (Bandung : Pustaka, 1984), hal.182-212. Seyed Amir Ali, Api Islam (terj), (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 691. 82 dengan bimbingan Tuhan ia dapat menemukan kembali energi spritualitas dan totalitas ruhaninya yang mengantarkannya kepada beningnya dunia sufisme90. Kitab Ihya>‟ yang tersusun atas empat jilid besar ini mengkaji secara komprehensip tentang empat bidang kehidupan manusia dalam upayanya mencari kebenaran sejati. Diantaranya adalah: Ubu>diyat (Jalan komunikasi spritual antara Tuhan dengan hamba-Nya) Mua>malat ( Jalan komunikasi dan inter-relasi antar sesama makhluk Tuhan), Muhlika>t ( Jalan yang membawa petaka bagi makhluk Tuhan.), Munjiya>t (Jalan yang membawa keselamatan bagi makhluk Tuhan). Masing-masing bidang ini dirinci dalam sepuluh sub bab disertai dengan penjelasn panjang dari masing-masing pembahasannya. Sesuai dengan namanya karya al-Ghazali yang sekilas nampak mirip dengan ensiklopedia ini diawali dengan kajian yang sangat intuitif tentang berbagai persepsi dasar yang menyangkut dunia keilmuan. Memperoleh inspirasi dari doa yang selalu diulang-ulang oleh Nabi Muhammad SAW: “Wahai Tuhan, hamba berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”. Al-Ghazali menolak anggapan bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai. Setelah menjelaskan tentang hakikat ilmu dan hal-hal yang terkait, al-Ghazali kemudian berangkat pada suatu uraian lain yang hampir tak ada celah untuk dibantah tentang ilmu yang seperti apa yang wajib, yang perlu (sunah) dan yang boleh (jaiz) disamping ilmu-ilmu yang sebaiknya ditinggalkan kecuali bagi orang-orang tertentu saja, sebagaimana ilmu ada yang baik dan buruk dan dengan analogi ini ada juga pemilik ilmu (ulama) yang baik dan buruk. Menariknya untuk mengimbangi terminologi ulama su‟ (ulama buruk) al-Ghazali tidak memakai istilah ulama khair atau ulama shahih melainkan digunakannya istilah ulama akhirat. Artinya apa, bahwa yang dipahami al-Ghazali tentang ulama buruk tidak lain adalah ulama yang pijakan keilmuannya 90 Al-Ghazali, Munqi>z al-Dha>lal, (Kairo: Dar Al Nashr, 1972), hal. 50. 83 terletak pada suatu kepentingan yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai ukhrawi atau dengan kata lain ulama yang di sebut buruk adalah ulama duniawi dan sebaliknya ulama yang baik adalah ulama akhirat91. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ilmu yang baik tersebut dan ulama yang memiliki ilmu itu dikategorikan sebagai ulama akhirat. Dalam uraiannya tentang macammacam ilmu yang terkesan agak “jlimet” tersebut al-Ghazali telah membuat pemisahan teoritis antara ilmu yang bersumber pada dalil naqli dengan ilmu yang lahir dan bersumber dari argumentasi logis dan hukum tatanan alam. Walaupun secara samar al-Ghazali telah menegaskan perihal tentang keunggulan ilmu jenis pertama atas jenis yang kedua tersebut, akan tetapi faktor penentu yang membuat suatu ilmu unggul atas yang lain justru terletak pada keputusan moral yang diambil oleh sang penuntut ilmu itu sendiri di dalam menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu dicari. Ilmu dengan nilai relatif ini adalah ilmu yang dari sudut objek kajiannya terbatas dan merasa telah cukup hanya pada ranah fenomena lahiriah (eksoteris) sedang dari sudut instrumen penyerapannya masih terikat oleh daya penalaran yang ditopang oleh bantuan inderawi dan yang termasuk dalam kategori ilmu disini adalah suatu jenis cabang ilmu yang kita kenal sekarang dengan ilmu-ilmu umum92. Maka dari itu al-Ghazali dengan jalan sufisme tersebut menawarkan sebuah pendekatan syariat yang tidak semata-mata bersifat formal. Apabila kita perhatikan bahwasanya di hampir semua bagian dalam Ihya>‟Ulu>m al-Di>n jilid pertama dan setengah bagian dari jilid yang kedua membahas tentang masalah fiqihyah mulai dari soal wudhu, sholat, puasa sampai haji. Namun tidak seperti lazimnya pendekatan fiqh yang kecenderungannya legal-formal dan 91 Al-Ghazali, Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n, (Kairo: Dar al-Hadist, 1992), hal. 72. Pada masa itu ilmu agama seperti : Fiqh, Kalam dan Filsafat serta cabang-cabangnya bisa dikatakan masih pada masa puncak perkembangannya ketimbang ilmu-ilmu umum. Lihat. G.Makdisi. “The Sunny Revival” dalam Richard (ed) “Islamic Civilization” , (Birmingham : Oxford Press,1973), hal.158. 92 84 berkutat pada hal yang: wajib, sah, batal dan terlarang tetapi lebih dari itu al-Ghazali membahas topik-topik tersebut dengan sentuhan spritualitas dan semangat ruhani sebagai esensi dan ruh dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, wudhu misalnya yaitu perbuatan untuk menunaikan ibadah ritual sholat. Menurut al-Ghazali proses berwudhu seseorang yang terdiri dari usapan dan basuhan air ke anggota tubuh tertentu, mestilah dipandang sebagai simbol hakiki atas proses pensucian diri dari noda-noda batin akibat ulah anggota tubuh yang zahir secara keseluruhan. Demikian juga sholat janganlah dianggap semata-mata sebagai ritual gerak-gerik akrobatik yang harus ditunaikan secara pas dan berurutan, melainkan lebih dari itu sholat adalah sebagai media dan jalan komunikasi spiritual antara hamba dan Tuhannya. Menurut al-Ghazali, sejauh mana seorang ulama memiliki ilmu yang dihiasi dengan kesadaran spiritual dapat dinilai dengan seberapa dekat atau pada tingkat kedekatan yang bagaimana sang ulama tersebut dengan sang Kho>liq serta tekadnya untuk mengambil jarak terhadap gemerlap keduniaaan di lain pihak. Bagi al-Ghazali semangat sufistik merupakan upaya revolusioner dalam pendalaman agama, baik dalam hal pemahaman, penghayatan dan pengamalannya. Pada dasarnya agama hadir sebagai jawaban atas panggilan manusia yang bersifat dalam atau ruhani. Dari sudut pemikiran ini maka semangat sufistik sesuatu yang bersifat deeply dari setiap sistem keagamaan. Agama tanpa adanya semangat dimensi sufistik akan menjadi absurd dan gersang dan bisa menjadi tidak menarik bagi agama itu sendiri terhadap kalangan yang masih memiliki kesadaran ruhani. Namun meskipun demikian semangat sufistik sebagai harkat pendalaman agama dan capaian-capaian keruhaniannya yang setinggi apa pun tidak boleh tumbuh dan berkembang secara liar yang kemudian merusak tatanan syariat. Seperti tingginya eksistensi spiritual seorang manusia tidak membuat dia mencabik-cabik serta memusnahkan raganya, melainkan menurut al- 85 Ghazali bahwasanya sufisme harus menitik beratkan pada kesucian jiwa-ruhani dan keluhuran budi sebagai perwujudan paling otentik dari nilai keberagamaan seseorang. Imam al-Ghazali memang bukanlah dikenal sebagai sufi pada awalnya. Ia juga bukan perintis dan peletak dasar ilmu tasawuf. Jauh sebelum al-Ghazali menulis buku-buku tasawuf, beberapa abad sebelumnya sudah muncul beberapa ulama yang concern pada ilmu tasawuf. Pada abad kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufah, Bashrah, Madinah, Khurasan dan Mesir. Di antara mereka adalah Hasan Basri (w. 110 H./729 M.), Sufyan al-Tsauri (w. 135 H./754 M), Ibrahim ibn Adham (w. 161 H./778 M.), Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185 H./801 M.) dan Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H./803 M.). Pada periode ini tak banyak buku-buku tasawuf yang ditulis mereka. Kemudian pada abad ketiga Hijriyah mulai bermunculan sejumlah tokoh sufi yang menulis buku. Di antaranya adalah Haris al-Muhasibi93 (w. 243 H./857 M.) yang menulis buku al-Ri‟a>yah li Huqu>q lillah, Abu Sa‟id al-Kharraz (w. 277 H.) dengan bukunya alTha>riq ila> Allah aw Kita>b al-Shidq. Dzun Nun al-Mishri dengan bukunya, al-Mujarraba>t, dan Junaid al-Baghdadi dengan kitab Rasa>‟il al-Junaid94. Tasawuf dalam periode ini telah berkembang menjadi mistisisme dalam Islam. Tasawuf yang disandarkan pada teks-teks alQur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Para sufi menyadari bahwa ketekunan dalam beribadah, tidak cinta pada kenikmatan dunia, pasrah hanya kepada Allah, cinta penuh kepada Allah SWT adalah jalan-jalan menuju pemerolehan ridha Allah SWT dan tersingkapnya hijab- 93 Ulama Mesir Abdul Halim Mahmud berpendapat bahwa kitab karya al Muhasibi tersebut jika dilihat dari kedalaman kandungannya laksana kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n Ghazali. Lihat Abdul Halim Mahmud, Ustadz al – Sa>‟irin al-Ha>rits ibn Asad al-Muhaisibi, (Kairo: Dar al-Kutub al Haditsah, 1973), hal.23-24. 94 Kitab Rasa‟il Junaid al-Baghdadi ini menjadi pegangan tasawuf selain Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n alGhazali di kalangan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama di Indonesia. Kitab tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ali Hasan Abdul Kader, The Life Personality and Writing of al Junaid, (London: Lzac & Company ltd, 1962) .(Penulis) sendiri memiliki kitab Rasa‟il Junaid al Baghdadi dalam bentuk bahasa Farsinya. 86 tirai yang memisahkan manusia dengan Allah SWT. Kehidupan sufi saat itu dipenuhi dengan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah wajib dan kedisiplinan dalam melaksanakan ibadah sunnah seperti shalat tahajjud, membaca al-Qur‟an, puasa senin-kamis dan sebagainya. Dengan menjalankan ritus peribadatan tersebut ditambah dengan suasana hati yang terus mengingat Allah SWT (dzikrulla>h), maka para sufi bisa menyaksikan (musya>hadah) dan mengenal Allah SWT (ma‟rifa>tulla>h). Al-Ghazali mengakui bahwa para sufi berikut adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dalam membetuk corak pemikiran dan pilihan hidup al-Ghazali. Mereka itu adalah, Abu Thalib al-Makki (w. 386 H./996 M.), Haris al-Muhaisibi (w. 243 H./857 M.), Junaid al-Baghdadi (w. 298 H./854 M.), Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.) dan alShibli (w. 334 H./945 M.). Ia juga telah mengenal pernyataan-pernyataan sufi seperti Abu Sulaiman al-Darami (w.215 H./850 M.), al-Sir al-Saqathi (w. 253 H.), Rabi‟ah al-„Adawiyah (w. 185 H./801 M.) hingga Ibrahim ibn Adham (w. 162 H). Kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n yang dianggap sebagai masterpiece ini basah dengan kutipan-kutipan dari para tokoh sufi sebelum alGhazali tersebut. Merujuk kepada para tokoh sufi itu, al-Ghazali dalam kitab Ihya>‟ ‟Ulu>m alDi>n banyak mengeksplorasi maqa>mat dan ahwal> seperti telah diletakkan fondasinya oleh para sufi sebelumnya. Selain itu juga al-Ghazali berbicara tentang konsep ma‟rifah dimana konsep tersebut bagi Imam al-Ghazali dijadikan sebagai salah satu dari maqa>mat (stasion) yang harus disinggahi oleh seorang salik (seorang yang berjalan) kepada Allah SWT. Semakin tajam ma‟rifah seseorang, maka makin dalam pula rasa ke-Tuhanan pada dirirnya dan makin banyak rahasia ke-Tuhanan yang dapat diketahuinya. Oleh karena itu ulama sufi mengadakan latihanlatihan untuk tercapainya ma‟rifah yang sempurna. Kemudian juga melakukan taubat, riya>dah, zuhud, tawakkal dan ridha. Dengan itu, tidak keliru sekiranya para pengkaji tasawuf Islam menyimpulkan bahwa tasawuf al-Ghazali bercorak khuluqi-amali. Sementara itu juga al–Ghazali 87 memberikan warning kepada para pelaku tasawuf falsafi untuk selalu berhati-hati dan tidak terlalu vulgar di dalam menceritakan pengalaman spritualnya kepada masyarakat awam agar tidak terjadi keresahan di dalam sikap keberagamaan mereka, sebagimana yang al-Ghazali katakan di dalam kitabnya Misyka>t al-Anwa>r berikut ini : ِٓ ُِٕٙ ٓ ٌک.احذ اٌحكٌٛد اال اٛجٌٛا فی اُٚ ٌُ ٌشٙٔا عٍی اٛاتفم-ٗج اٌی عّاء اٌحمٍمٚتعذ اٌعش-ْٛاٌعاسف اٛاعتغشلٚ ُ اٌکثشج تٍىٍٍحٕٙأتفت عٚ .لٍاُٚ ِٓ صاس ٌٗ رٌک حاال رِٕٙ ٚ کاْ ٌٗ ٘زٖ اٌحاي عشفأا عٍٍّا الٚ ُ ِتغع ال ٌزکشی غٍش اهللٍٙ ٌُ تٍٓ فٚ ٍٗتٍٓ فٛٙ واٌّثُٚ فصاسٌٙٛا عمٍٙفٍت فٛاعتٚ تاٌفش دأٍح اٌّحضح ٚ "فماي احذُ٘ "أا اٌحك-ٌُٙٛٔٗ عٍطاْ عمٚا عکشا دفع دٚ فٍُ ٌکٓ عٕذُ٘ اال اهلل فغکش.ُ اٌضاٌٙزکش أفغ یٛ کالَ اٌعشاق فی حاي اٌغکش ٌطٚ ." لاي آخش "ِا فی اٌجثح اال اهللٚ "!لاي اَخش "عثحاْ ِا اعظُ شأی ٌُ ا أْ رٌکٛعشف, ٗ ٍِضاْ اهلل فی اسضٛ٘ ا اٌی عٍطاْ اٌعمً اٌزیٚسدٚ ُُ٘ عکشٕٙ فٍّا خف ع.ال ٌحکیٚ "ي أٔاِٛ٘ٓ أٚ یٛ٘ي اٌعاشی فی حاي فشط عشمٗ "أٔا ِٓ أٌٛکٓ حمٍمح االتحاد تً شثٗ ِثً ل “Para arifin, setelah mereka menuju ke langit hakikat bersepakat bahwa mereka tidak melihat dalam wujud selain yang Maha Satu nan nyata (al-wa>hid al-haqq). Namun, diantara mereka ada yang mengalami kondisi ini sebagai pengetahuan sadar (irfānan „ilmiyya>n). Kemudian ada pula yang mengalaminya sebagai kondisi„rasa‟(ha>lan dzauqiyan). Pluralitas telah lenyap secara total dari kesadaran mereka. Tenggelamnya mereka bersama keesaan murni (al-farda>niyah al-mahdah). Saat itu akal mereka mati hingga mereka seperti orang-orang bingung. Mereka tak kuasa lagi untuk mengingat selain Allah atau bahkan mengingat diri mereka sendiri. Bagi mereka hanya Allah yang ada. Mereka pun jadi mabuk hingga meluluhkan kekuasaan akal mereka. Kemudian salah satu diantara mereka berkata:”Akulah Allah”, sementara yang lainnya berkata: “Maha suci Aku! Betapa Agungnya Aku!”. Ada pula yang mengatakan: “Dalam jubah ini hanya ada Allah”. Kalimat-kalimat para pecinta ini sebaiknya dirahasiakan dan tidak diceritakan. Bila “mabuk” mereka mulai reda dan mereka telah kembali ke kuasaan akal dimana yang ada hanya timbangan Allah di bumi-Nya, mereka sadar bahwa itu bukanlah persatuan (itt~iha>d) yang sebenarnya, namun semacam persatuan sebagaimana layaknya kata-kata seorang pecinta berada dalam kondisi memuncak, “Aku adalah Dia yang Aku cintai dan Dia yang aku cintai adalah Aku”95 95 Al-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r, ed.Abu al-„Ala al-Afifi, (Kairo:al-Maktabah al-A‟rabiyah, 1964), hal.57. 88 89 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pada bagian ini akan kita dapati jawaban dari pertanyaan yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan. 1. Pemikiran tasawuf akhlaqi al-Ghazali merupakan bagian dari substansi ajaran Islam yang mengedepankan dinamika spiritual dan al-akhla>q al-kari>mah dalam upayanya mencoba mencari kebahagiaan sejati dan hakikat kebenaran Ilahiyah yang berdasarkan kepada tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Tasawuf akhlaqi al-Ghazali merupakan instrumen dan piranti untuk mencari jalan keluar dari segala kegundahan intelektual dan kehampaan spiritual yang tidak hanya bermanfaat di zamannya, bahkan masih tetap relevan untuk dijadikan bimbingan dan tuntunan dalam ranah spiritual dan moral masyarakat muslim modern saat ini. Pemikiran tasawuf akhlaqi al-Ghazali merupakan simbol perjuangan dan pemberontakan pengalaman spiritual manusia. Perjuangan untuk mencari dan menggapai ketenangan spiritual yang hakiki serta permberontakan terhadap segala bentuk dan ragam kepentingan yang dipaksakan masuk, menggoda dan menguasai hati manusia yang menghalangi perhatian manusia kepada wajah sang pencipta. Gagasan utama dari tasawuf akhlaqi al-Ghazali Melaksanakan secara total syariat agama dan menjalankan nilai-nilai akhlak dan moral berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang bertujuan untuk menjadikan hati manusia tertuju hanya kepada Tuhan semata demi tercapainya kebahagiaan sejati dan terungkapnya tirai kebesaran Tuhan merupakan output dari pelajaran tasawuf akhlaqi al-Ghazali. 2. Konsep dan metodologi tasawuf akhlaqi al-Ghazali, apabila kita melihat dari beberapa karya tasawufnya, bahwasanya al-Ghazali senantiasa berpijak dan berpedoman pada ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW di dalam membahas tema149 tema sufisme. Selain itu sebagai seorang pengikut mazhab ahlu sunnah wa aljama>’ah, al-Ghazali tetap memegang teguh mazhab Asy’ari sekaligus tempat rujukannya di dalam bidang teologi dan kalam. Al-Ghazali di dalam penulisan karya tasawufnya lebih banyak menghindari konsep-konsep ajaran filsafat (tasawuf falsafi) yang menurutnya sangat tidak tepat untuk disebarkan dan dikembangkan pada masyarakat awam kebanyakan yang justru akan menimbulkan efek negatif yaitu berupa penyelewengan syariat dan kekeroposan keimanan. Corak dan gaya penulisan tasawuf al-Ghazali di dalam karya-karya tasawufnya dibuat berjenjang sesuai dengan tingkatan keilmuan pembacanya. Struktur bahasa yang mudah dipahami dan kosa-kata yang jelas namun juga memiliki nilai sastra yang tinggi, menandakan karya tasawuf al-Ghazali merupakan dan ditujukan untuk konsumsi masyarakat awam kebanyakan. Karya tasawuf akhlaqi al-Ghazali tidaklah berdiri sendiri, beliau dalam penulisan karya tasawufnya juga mengambil kutipan dan referensi dari para sufi sebelumya seperti: dari kitab Qu>t al-Qulu>b Abu Talib al-Makki, Risa>lah al-Qusyairiyah al-Qusyairi dan juga karya al-Muhaisibi al-Ri’a>yah li Huqu>q Lilla>h. Selain itu semua macam ilmu yang dikuasai al-Ghazali dijadikannya sebagai pendekatan untuk bisa memahamai sebuah topik dan tema pembahasan menjadi lebih komprehensif dan menyeluruh. A. Saran-Saran Penelitian konsep tasawuf dan pemikiran ketasawufan yang terdapat dalam sebuah karya sufisme yang ditulis oleh para ulama dan sufi masa lampau sudah selayaknya harus diaktifkan kembali terutama dikalangan mahasiswa, dosen dan insan akademisi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama karena di dalam kitab-kitab tasawuf klasik banya sekali terkandung hikmah dan pelajaran penting yang tiada ternilai harganya. Membaca ulang kembali gagasan dan pemikiran dari para sufi dunia Islam kini menjadi sebuah keharusan, di mana di saat dunia Islam dan masyarakatnya sedang mengalami krisis 150 moral dan intelektual, tidak hanya itu saja wajah Islam kembali tercoreng dikarenakan sebagian umatnya yang menampilkan Islam sebagai agama yang radikal dan anarkis. Hal ini bisa kita lihat pada wajah kelompok Islam radikal ISIS (Islamic State Iraq-Syam) yang sangat aktif mempropagandakan Islam garis keras di Timur-Tengah. Sementara dalam konteks internal negeri kita, dapat kita saksikan bagaimana sebagian organisasi masyarakat (ormas) tertentu yang berbasiskan agama Islam yang amat disayangkan dengan cara-cara kasar mengintimidasi dan berlaku anarkis terhadap golongan yang berada diluar dirinya. Maka dari itu diharapkan kajian keagamaan dengan menggunakan pendekatan tasawuf melalui dunia pendidikan dan akademisi lewat penelitian dan riset karya-karya tasawuf, bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi terciptanya masyarakat yang ber-akhlak mulia dan menjunjung tinggi perdamaian dan toleransi tidak hanya antara umat Islam namun juga antar sesama umat beragama khususnya di negeri kita yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Diharapkan dengan digiatkannya kembali kajian penelitian karya-karya klasik tasawuf di dunia Islam tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang tasawuf, namun lebih dari itu dapat berguna bagi pencerahan moral dan spiritual masyarakat muslim di Indonesia tentunya. Harus diakui memang bahwasanya mengkaji disiplin ilmu tasawuf tidaklah mudah, diperlukan sebuah kerja keras yang konsisten dan intens, hingga sampai kita bisa menyelami pemikiran tasawuf dengan rasa yang optimal serta berupaya untuk menghilangkan stigma negatif yang selama ini ada pada masyarakat modern-intelek yang ditujukan kepada ilmu tasawuf. Demikianlah buah kesimpulan dan saran yang saya bisa sampaikan, hanya berharap semoga tulisan ini bisa memberikan hikmah dan pelajaran bagi penulis serta bagi insan cendekia yang tertarik dengan dunia tasawuf. Sekali lagi hanya dengan do’a tulus kehadirat Ilahi, semoga sha>hib al-kita>b Kimiyā’al-Sa‘ādah dan penulis diberikan ampunan oleh Dzat yang Maha Kuasa. Ilahi amin. 151 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟a>n Al-Kari>m Abdul Kader, Ali Hasan, The Life Personality and Writing of al Junaid. London: Lzac & Company ltd, 1962. Abdullah, Amin, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002. Abu Hafs, Siradj al-Din, Thabaqa>t al-Auliya>’. Mesir: Makhtabah al-Khanji, tt. Abu Rabi‟, Ibrahim M. Suatu pengantar editor, dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Syaẓili, alih bahasa oleh elmer H. Dauglas. New York: State University press, 1993. Afifi, Abu al-„Ala, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr, Kairo: Dar al-Fikr, 1969. _____________, al-Tasawuf al-Tsaurat al-Ru>hiyat fi al-Isla>m. Kairo: Dar al Fikr, 1962. Al-Farabi, Ara> al-Madi>nah al-Fadhi>lah. Kairo : Dar al-Maarif, 1981. Al-Hasani, Sayid Mahmud Abu al-Faid al-Manufi, Jumhu>rat al-Auliya> wa I’la>m ahlu alTasawuf. Kairo: Dar al-Hadist, 1967. Al-Isfahani, Husayn ibn Muhamad, Mufradāt Alfazh al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Qalam, tt. Al-Isfahani, Hafiz Abu Naim, Ḥilya>t al-Auliyā, Juz I. Egypt: Dar al-Fikr,tt. Al-Ghazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al- Di>n. Kairo: Dar al-Hadist, 1992. _________, Munqi>dz al-Dhala>l. Kairo: Dar al-Nashr, 1972. _________, Taha>fut al-Fala>sifah. Kairo: Dar al-Maarif, 1961. _________, Jawāhir al-Qur’ān. Beirut: Dar al-Ihya Ulum, 1433. _________, Misyka>t al-Anwa>r, ed. Abu al-„Ala al-Afifi. Kairo: al-Maktabah al-A‟rabiyah, 1964. __________, Kimiyā’al-Sa‘ādah, (dalam bahasa Farsi), di tahqiq oleh Husain Khadijum. Tehran: Intesyarate Ilmi va Farhanggi, 1354. __________, Mi’ra>j al-Sa>liki>n, Kairo :Silsilah al-Tsaqa>fah al-Isla>miyyah, 1964. 152 __________, Ma’a>rij al-Quds fi Ma’rifat al-Nafs, Kairo: Maktabat al-Jundi, 1968. Al-Jabiri, Muhamad Abed, Nahnu wa Tura>ts ; Qira>’ah Muasirah fi Tura>tsina> alFalsafi. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wihdah al-Arabiyah, 1990. __________, al-Aqlu al-Akhla>qi al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum alQiyam fi al-Tsaqa>fah al-'Arabiyyah Maroko: Markaz Dira>sat al-Wihdah al-'Arabiyyah, 2001. Al-Jilli, al-Insān al-Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā‘il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975. Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahli al-Tasawuf. Kairo: Maktabah al-Kuliyah alAzhariyyah,1969. Al-Majlisi, Muhammad Baqir, al-Biha>r al-Anwa>r. Vol.7. Beirut: Muassasah al Wafa, 1403 Al-Naisabury, Imam al-Quayairi, Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf, terjemahan dari al-Risa>lah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-tasawuf oleh Muhammad Luqman Hakim. Surabaya: Risalah Gusti 2000. Al-Makki, Abu Thalib, Qu>t al-Qulu>b fi Mu’a>malat al-Mahbu>b. Kairo : al-Maktabah al- Taufiqiyah, tt Al-Nasyar, Ali Sami , Nasy’at al-Fikr al-Falsafah fī al-Islām. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1977. Al-Sahmaraniy, As‟ad, al-Akhla>q fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah. Beirut: Dar alNafais, 1993. Al-Suhrawardi, Awa>rif al-Ma’a>rif. Kairo: al-Muktabah al-Alamiyah, !358 . Al-Sya‟rani, Abu al-Wahhab, al-Taba>qat al-Qubra>. Kairo, tanpa penerbit,1334 . Al-Sarraj, al-Luma>’. Mesir: Dar al-Kutub al- Haditsah, 1960. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan dari Rofi Usmani. Bandung: Pustaka 1997. ____________, Madkha>l-ilā al-Tasawuf al-Islāmi. Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1987. 153 Amin, Ahmad, Kita>b al-Akhla>q. Kairo: Mathba'at Dar al-Kutub al-Mishriyyat, 1929 Amir, Ali Syed, Api Islam (terj). Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Amuli, Hasan Zadeh, Heza>r Yek Kalimeh, Vol.2. Qom: Intesyarat-e Daftar Tabligat, 1373. Annemari, Schimmel, Mystical Dimension of Islam. The University of Nort Carolina Press, 1981. Arberry, A J, Ajaran-Ajaran Sufi, Terjemahan oleh Astuti dari The Doctrine of the Sufis. Bandung : Pustaka, 1995. Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani Press, 1984 Al-Qusyairi, al-Risa>lah al-Qusyairiyah. Kairo: Dar al-Khair,tt. A‟vani, Ghulam Reza, Majmue-ye Ghaza>li Vaju>hi: Elm Ghaza>li Seti>zi. Tehran: Khoneh Kitab, 1389. Badawi, Abdul Rahman, Ta>rikh al-Tasawuf al-Isla>mi. Beirut: Dar al-Qalam, 1975. __________________, Syaṭāhat al-Ṣāfiyyah. Kairo: al-Maktabah an-Nahḍiyah al-Miṣriyyah, 1949. _________________, Muallifa>t al-Ghaza>li. Kuwait: Wikallat al-Matbu>at, tt. Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Arasy Mizan, 2005. Balbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary. Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1993. Basyuni, Ibrahim, Nasy’at al-Tasawuf al-Isla>mi. Mesir: Dar al-Ma‟a>rif, 1969. Baldick Julian, Mystical Islam, An Introduction to Sufism, Oxford University : London, 1992 Bosworth, Encyclopedia of Islam, Vol. X. Leiden, 1986. ---------------- CE, Dinasti-Dinasti Islam, alih bahasa Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993. Bruinessen, Martin Van, Tarikat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. 154 Dahlan, Abd Aziz, Penelitian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wjud) Tuhan, Alam, Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani. Padang :IAIN Imam Bonjol Pres, 1999. Darraz, Muhammad Abdullah, Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qur’a>n: Dira>sat Muqa>ranat li al- Akhla>qi al-Nadzariyat fi al-Qur’a>n. Kuwait, Dar al-Buhu>ts al-'Ilmiyyah, 1991. Dhahir, Ihsan Ilahi, Dira>sat fi al-Tasawuf. Lahore-Pakistan: al-Ida>rah Tarjuman, 1988. Dhammananda, Srie, Keyakinan Umat Buddha. Jogyakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation, 2004. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren. Jakarta : Penerbit LP3ES, Cet.IX, 2011. Dinani, Ghulam Husain, Mantiq va Ma’refat dar Nazar Ghaza>li. Tehran: Intesyarat-e Amir Kabir, 1383. Dunia, Sulaiman, al-Haqi>qat fî Nazar al-Ghaza>li. Kairo : Dar al-Maarif, tt. _______________, Taha>fut al-Fala>sifah Li al-Ima>m al-Ghaza>li. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972. Dzakavati, Ali Reza, Erfa>niyat. Tehran : Intasyrat-e Haqiqat, 1379. Esposito, Jhon. L, (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, cet. ke 2. Bandung: Mizan, 2002. Fa‟ali, Muhmad Taqi, Di>n va Irfa>n. Tehran: Anjumane Ma‟arif Islami Iran, 1381. Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam. Leiden-New York: E.J. Brill, 1991. Fakhuri, Hanna, Ta>rikh Falsafe dar Jahon-e Isla>m. Tehran: Entesyarate Ilm va Farhang, 1383. F.O‟dea, Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali, 1992. Far, Muhsin Bidar, Muqaddimah, dalam Syarh Mana>zil al-Sa>’irin, (Kamal al-Din Abd al -Razaq al-Qasani). Qum : Mansyurat Bidar, 1427. Farhadi, AG Ravin,. The Hundred Ground’s of Abdullah Ansari of Heart (dalam The Heritage of Sufism. Oxford : Oneworld Publications, 1990. 155 Ghani, Qasim, Ta>rikh Tasawuf dar Isla>m. Tehran: Intesyarate Zawar, 1369. Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980. ____________, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980. Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993. ______, Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Hasan, Ibrahim Hasan, Tārikh al-Islām wa al-Siyāsi wa al-Dīn wa al-Tsaqa>fi, Juz 4. Kairo : Dar al-Shadr, tt. Halim, Mahmud Abdul, Usta>dz al-Sa>’irin al-Harits ibn Asad al-Muhaisibi. Kairo: Dar alKutub al-Haditsah, 1973. Hatta, Muhamad, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press, 1982. Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Isla>mi baina al-Di>n wa al-Falsafah. Kairo: Dar alNahdshah al-Arabiyah, 1979. Hilmi, Ahmad Kamaludin, al-Sala>jiqah fī al-Tārikh wa al-Haḍa>rah. Kuwait: Dar alBuhuts al-Ilmiyyah, tt. Humaiy, Jalaluddin, Ghaza>li Na>meh. Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318. Ibn Asakir, Tabyi>n Kazb al-Mufta>ri fī Mā Naṣab ilā al-Imām Abi Hasan al-Asy’a>ri. Syam: Matbu‟at al-Taufik 1347. Ibn Atsir, al-Ka>mil fi al-Ta>rikh, Vol.4. Damascus: Matba‟ al-Taufiq, 1347. Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Ibn Manzhur, Muhammad, Lisa>n al-‘Arab, Juz. 9. Beirut: Dar al-Ṣadr, tt. Ibn Miskawaih, Tahdzi>b al-Akhla>q wa Tat~hi>r al-A’raq, Beirut: Mansyu>rah Dar AlMaktabah, 1389. 156 Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Syadzili, kitab asal, Durrat al-Asrar wa Tufat alAbrar,, Elmer H. Douglas-Author. Penerbit: State University of New York Press, Albany, 1993. Ibn Sayyidah, Ali Ismail, al-Muhka>m wa al-Muhīṭ al-‘Azam, Juz.2. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt. Jafar, Kamal Ibrahim, al-Tasawuf: Thari>qan wa Tajribatan wa Mazha>ban. Kairo: Dar alKutub al-Jam‟iyah, 1970. Jamil, Muhamad, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas. Jakarta : Gaung Persada Press, 2004. Johansen, Julian, Sufism and Islamic Reform: The Bettle for Islamic Tradition. New York: Oxford, 1996. J. Trimingham Spencer, The Sufi Orders in Islam. Oxford University Press : London, 1971. Khomeini, Ayatollah, Mi’raj al-Sa>likin wa Shalat al-‘A>rifin. Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1378. ________________, al-Ta’lim al-‘Irfa>niyah. Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377. ________________, Tafsir al-Fa>tihah. Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377. Kouhsari, Sayyid Ishaq Husaini, Ta>rikh al-Falsafah al-Isla>miyah. Tehran: Intesyarat Amir Kabir, tt. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1997. Lapidus, Ira M, A History of Islamic Societies. Cambrigde University Press, 1989. Lewis, Bernard. et, all Ed. The Encyclopaedia of Islam : London, 1965. Mac Donald, D.B, “Sufism”, dalam First Encyclopaedia of Islam oleh E.J. Brills London, 1987. Makdisi, G, “The Sunny Revival” dalam Richard (ed) “Islamic Civilization”. Birmingham : Oxford Press, 1973. 157 Manahem, Milson, Menjadi Sufi, Terjemahan oleh Yuliani Liputo dari A Sufi Rule for Novices. Bandung : Pustaka Pelajar, 1975. Mansyur, Laely, Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Markham, Religion and Ethics. New York : Encyclopedia of Applied Ethics, Part 3, 1998. Moen, Muhammad, Farhang Lughat Dehkhuda. Tehran: Dar Nasyr Jame‟eh, 1341. Muallim, Hassan, (ed), Ta>rikh Falsafeye Isla>mi. Qum : Chop Markaz Jahone Ulume Islami, 1385. Mubarak, Zaki, al-Akhla>q ‘ind al-Ghaza>li. Kairo: Dar al-Katib al-'Arabiy li al-Thiba'at wa al-Nasyr, tt. Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992. Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Muhammad, Nur Hidayat, Tarekat dalam Timbangan Syariat. Surabaya : Muara Progresif, 2013. Muhammad bin Husain, Sayyid Radhi, Nahjul Bala>ghah. Qom: Muassasah Amirul Mukminin, 1376. Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984. Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhla>q fi al-Isla>m wa Sila>tuha bi al-Falsafah al-I ghriqi>yah. Kairo: Muassasat al-Khanji, 1963. Muthahari, Murtadha, al-Ala>qah al-Mutaba>dillah baina al-Isla>m wa I>ran. Qom: Nasyr Islami, 1362 Nasr, Seyyed Hossein, “The Rise and Development of Persian Sufism” dalam The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi. Oxford: One World Publication, 1989. Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995. 158 _____________, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986 ____________,dkk, Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional Tasawuf. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina: Seri Kka 23/Tahun III/1988. Nicholson, R.A, The Mystic of Islam, London: Kegan Paul Ltd, 1966. ____________, “Sufism”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol.12. Charles Scriber‟s, tt Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980 Noer, Kautsar Azhari, (ed), Warisan Sufi Agung: Mengenal Karya Besar Para Sufi. Jakarta: Sadra Press, 2014. Qadir, Zuly, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta : Interfidei, 2003. Rahman Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad (Terj). Bandung : Pustaka, 1984. ____________, Islam. Chicago University Press, 1978. Rajab, Manshur Ali, Taammula>t fi Falsafah al-Akhla>q, Mesir: Maktabat al-Mishriyyah, 1961. Riziq, Khalil, al-Irfa>n al-Shi‘i> min Abha>ts al-Sayid Kama>l-al-Heyda>ri. Qum: Dar alFaraqid, 1438. Schimmel, Annemari, Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press, 1975. Sayed Ahmad, Abdul Fatah, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Penerbit Khalifa, 2013. Sibuwaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlurahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Islamika Press, 2003 Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. 159 Shihab, Alwi, Islam Sufistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. Bandung : Mizan, 2001. Siregar, A Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme. Jakarta : Raja Grafindo Persada , 2000. Smith, Margaret, Reading from the Mystics of Islam. London : Luzak dan co, 1972. Subhi, Ahmad Mahmud, fī ‘Ilmi al-Kalām. Kairo: Dar al-Kutub al-Jami„ah, 1969 Suryabrata, Suryadi, Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Press, 2003. Syarif, M, (ed.), A History of Muslim Philosophy. Weesbaden: Otto Harrowits, 1963. Syarif, Muhamad, Farha>ng-e Adabiya>t-e Fa>rsi. Tehran: Entesyarate Mouin, 1388. Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet.ke-3, 2001. Thabataba‟i, Muhammad Husain, al-Mi>za>n fi Tafsir al-Qur’a>n, Juz.5. Qum: Muassasah al „Alam lil Mathbu‟at, 1394. Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi, diterjemahkan dari Contemplative Disciplines in Sufism. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. Watt, William Montgomery, The Faith and Practice of al-Ghazali. London: Allen & Unwin, 1953. Yatsrabi, Yahya, al-Irfa>n al-Nazari. Qom: Intesyarate Hauzah Islami, 1374. Ya'qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar). Bandung: Diponegoro, 1983. Yatim, Badri, et all, Sejarah Perkembangan Madrasah. Jakarta: DEPAG RI, 2009. Yazdi, Ali Asgar, Sakka>kiyat Naqd bar Adell-e. Qum: Entesyarate Bustan Ketab, 1381. Yazdi,Taqi Misbah, al-Silsilah Abhats al-Falsafah al-Isla>miyah. Qum: Muassaseh Dar Roh Haq, 1348. Zhahir, Ihsan Ilahi, Tasawuf; Bulan Kaum Sufi ataukah sebuah konspirasi?. Jakarta: Darul Haq, 2001 160 Zarin Kub, Abdul Husein, Fara>r az Madreseh: Darbo>reye Zendegi> va Andiseh-ye Abu Ha>mid Ghaza>li. Tehran : Amir Kabir Published, 1391. _________________, Justeju> Dar Tasawuf I>ra>n. Tehran: Entesyararate Amir Kabir, 1386. ________________, al-Bahts al-Tasawuf fi Ira>n. Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1376. 161 ﻧﻣﺎﻳﺵ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻭ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﺩﻳﺠﻴﺘﺎﻝ ﻣﺮﻭﺭ ﺟﺴﺘﺠﻮ 8/9/2016 ﮐﺎﺭﺑﺮ ﺑﺎﺯﺩﯾﺪ ﮐﻨﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺩ ﺑﻪ ﺳﺎﻳﺖ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ ﺳﺎﺯﻣﺎﻥ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﻭ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻣﻠﻲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻱ ﺍﺳﻼﻣﻲ ﺍﻳﺮﺍﻥ ﺻﻔﺤﻪ ﺍﺻﻠﻲ < ﻧﻤﺎﻳﺶ ﺟﺴﺘﺠﻮ ﻧﻤﺎﻳﺶ ﻛﻴﻤﻴﺎﻱ ﺳﻌﺎﺩﺕ ﺻﻔﺤﻪ ۲۴۷ﺍﺯ ۲۵۲ ﺑﺮﻭ ﺑﻪ ﺻﻔﺤﻪ۲۴۷ : ﺑﻨﺪﺍﻧﮕﺸﺘﻲ ﺟﺴﺘﺠﻮ ﻓﻬﺮﺳﺖ ﺷﻨﺎﺳﻨﺎﻣﻪ ﻧﺸﺎﻧﻪ ﺧﺎﻧﻪ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ 1/2 http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7­e62c­4344­9f49­cf28e6f15389/LRRView.aspx 8/9/2016 ﻧﻣﺎﻳﺵ ۲۴۷ ۲۴۸ ۲۴۹ ۲۵۰ ۲۵۱ ۲۵۲ ﻗﺒﻠﻲ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ| ﺗﻤﺎﺱ ﺑﺎ ﻣﺎ| ﻣﻼﺣﻈﺎﺕ ﺣﻘﻮﻗﻲ | ﻧﻈﺮﺍﺕ ﻭ ﭘﻴﺸﻨﻬﺎﺩﺍﺕ| ﭘﺸﺘﻴﺒﺎﻧﻲ ﻓﻨﻲ| ﺳﺎﻳﺖ ﺍﺻﻠﻲ ﺗﻤﺎﻣﻲ ﺣﻘﻮﻕ ﺑﺮﺍﻱ ﺳﺎﺯﻣﺎﻥ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﻭ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻣﻠﻲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻱ ﺍﺳﻼﻣﻲ ﺍﻳﺮﺍﻥ ﻣﺤﻔﻮﻅ ﻣﻲ ﺑﺎﺷﺪ © version:۳.۱.۲ ﺧﺎﻧﻪ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ 2/2 http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7­e62c­4344­9f49­cf28e6f15389/LRRView.aspx ﻧﻣﺎﻳﺵ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻭ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﺩﻳﺠﻴﺘﺎﻝ ﻣﺮﻭﺭ ﺟﺴﺘﺠﻮ 8/9/2016 ﮐﺎﺭﺑﺮ ﺑﺎﺯﺩﯾﺪ ﮐﻨﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺩ ﺑﻪ ﺳﺎﻳﺖ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ ﺳﺎﺯﻣﺎﻥ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﻭ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻣﻠﻲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻱ ﺍﺳﻼﻣﻲ ﺍﻳﺮﺍﻥ ﺻﻔﺤﻪ ﺍﺻﻠﻲ < ﻧﻤﺎﻳﺶ ﺟﺴﺘﺠﻮ ﻧﻤﺎﻳﺶ ﻛﻴﻤﻴﺎﻱ ﺳﻌﺎﺩﺕ ﺻﻔﺤﻪ ۸ﺍﺯ ۲۵۲ ﺑﺮﻭ ﺑﻪ ﺻﻔﺤﻪ۸ : ﺑﻨﺪﺍﻧﮕﺸﺘﻲ ﺟﺴﺘﺠﻮ ﻓﻬﺮﺳﺖ ﺷﻨﺎﺳﻨﺎﻣﻪ ﻧﺸﺎﻧﻪ ﺧﺎﻧﻪ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ 1/2 http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7­e62c­4344­9f49­cf28e6f15389/LRRView.aspx 8/9/2016 ﻧﻣﺎﻳﺵ ۷ ۸ ۹ ۱۰ ۱۱ ۱۲ ﻗﺒﻠﻲ ﺑﻌﺪﻱ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ| ﺗﻤﺎﺱ ﺑﺎ ﻣﺎ| ﻣﻼﺣﻈﺎﺕ ﺣﻘﻮﻗﻲ | ﻧﻈﺮﺍﺕ ﻭ ﭘﻴﺸﻨﻬﺎﺩﺍﺕ| ﭘﺸﺘﻴﺒﺎﻧﻲ ﻓﻨﻲ| ﺳﺎﻳﺖ ﺍﺻﻠﻲ ﺗﻤﺎﻣﻲ ﺣﻘﻮﻕ ﺑﺮﺍﻱ ﺳﺎﺯﻣﺎﻥ ﺍﺳﻨﺎﺩ ﻭ ﻛﺘﺎﺑﺨﺎﻧﻪ ﻣﻠﻲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻱ ﺍﺳﻼﻣﻲ ﺍﻳﺮﺍﻥ ﻣﺤﻔﻮﻅ ﻣﻲ ﺑﺎﺷﺪ © version:۳.۱.۲ ﺧﺎﻧﻪ ﺭﺍﻫﻨﻤﺎ 2/2 http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7­e62c­4344­9f49­cf28e6f15389/LRRView.aspx CURRICULUM VITAE Personal Data Name Date and Place of Birth Religion Civil Status Language Present Home Addres Phone No. Email : Wahyu Hidayat, Lc, S.Hum.M.Ag : 20 Januari 1981, Jakarta. Indonesia : Islam : Citizen of The Republic of Indonesia : Indonesian,English, Arabic and Persian : Jl. Rawa Badak 1 No. 95 A RT/RW: 003/005 Kel Lagoa. Koja. Jakarta-Utara 14270 : 021-4355147/ 0812 1388 4727 :[email protected] Education Al Mustafa International University Qum-Iran: The Faculty of Persian Languge and Islamic Knowledge.(Diplom Degree). State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia: The Faculty of Language and Humanities.Department of History and Islamic Civilization.(Bachelor Degree). Al Mustafa International University Branch Mashhad-Iran: The Faculty of Islamic Theology. (License Degree). Ferdauwsi University Mashhad-Iran : The Faculty of Persian Language (Master Degree). State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia: The Faculty of Ushuluddin (Master Degree) Job Experiences Librarian staff at Iranian Corner library Faculty of Ushuluddin State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Persian Language Lecture at Islamic Cultural Centre at Pejaten Jakarta. Translator for International Seminar and National Forum. Head of Scientific Relationship Sadra International Institute Jakarta Persian Language Lecture at STFI Sadra Jakarta