Tugas Akhir - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Biomekanika Kerja
Pada subbab ini berisi mengenai definisi biomekanika kerja menurut beberapa
ahli, biomekanika kerja dan disiplin ilmu lainnya, manfaat disiplin ilmu
biomekanika kerja dan alat ukur dalam biomekanika kerja.
2.1.1 Definisi Biomekanika Kerja Menurut Beberapa Ahli
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai pekerjaan-pekerjaan yang
menggunakan kemampuan fisik seseorang. Jenis-jenis pekerjaan tersebut
diantaranya berupa aktivitas-aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan
sebagainya. Pada aktivitas-aktivitas tersebut banyak memerlukan gerak mekanik
tubuh. Oleh sebab itu, aktivitas-aktivitas tersebut erat kaitannya dengan ilmu
biomekanika kerja.
Banyak para ahli telah mendefinisikan pemahaman mengenai biomekanika kerja.
Berikut ini merupakan definisi biomekanika kerja menurut beberapa ahli.
8
9
1. Menurut Kroemer dkk (2001, hal 51)
“Biomekanik merupakan disiplin ilmu yang terkait dengan karakteristik
mekanika tubuh”.
2. Menurut Chaffin & Andersson (1991, hal 2)
“Biomekanik kerja merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang
interaksi fisik pekerja dengan peralatan, mesin maupun material dimana
disiplin ilmu ini bertujuan untuk meningkatkan performasi pekerja dengan
cara meminimalkan resiko keluhan kerangka otot (musculoskeletal disorder)”.
3. Menurut Wickens dkk (2004, hal 270)
“Biomekanika kerja fokus mempelajari dan menganalisis performasi pekerja
dan permasalahan-permasalahan terkait dengan keluhan kerangka otot
(musculoskeletal disorder) dalam jenis-jenis pekerjaan berupa
penanganan
manual material (manual material handling) dan melengkapi analisis
ergonomi terkait pekerjaan fisik”.
2.1.2 Biomekanika Kerja dan Disiplin Ilmu Lainnya
Menurut Wicken dkk. (2004), Biomekanika Kerja mengintegrasikan disiplin ilmu
fisika, biologi dan keteknikan. Sedangkan Chaffin & Andersson (1991)
mendeskripsikan enam area metodologi Biomekanika kerja yaitu metode
kinesiologi (kinesiological methods), metode model biomekanik (biomechanical
modelling methods), metode anthropometri (anthropometric methods), metode
evaluasi kapasitas kerja mekanik (mechanical work capacity evaluation methods),
metode bioinstrumen (bioinstrumentation methods) dan metode klasifikasi dan
prediksi waktu (classification and time prediction methods).
10
Metode
Kinesiologi
(Kinesiological
Methods)
Klasifikasi dan
Prediksi Waktu
(Classification
and Time
Prediction)
Metode Model
Biomekanik
(Biomechanica
l Modelling
Methods)
Biomekanika
Kerja
Metode
Bioinstrumen
(Bioinstrument
ation Methods)
Metode
Anthropometri
(Anthropometri
c Methods)
Evaluasi
Kapasitas
Kerja Mekanik
(Mechanical
Work Capacity)
Evaluation)
Gambar 2.1 Enam Area Metodologi Biomekanika Kerja
(Sumber : Chaffin & Andersson, 1991, hal 5)
2.1.3 Manfaat Disiplin Ilmu Biomekanika Kerja
Menurut Chaffin & Andersson (1991), disiplin ilmu biomekanika kerja digunakan
untuk hal-hal berikut, diantaranya yaitu :
1) Mengevaluasi tingkatan kemampuan pekerja terhadap kebutuhan fisik
pekerjaan.
2) Simulasi alternatif metode kerja dan menentukan penurunan kebutuhan fisik
pekerjaan terhadap jenis pekerjaan baru yang sedang di analisis.
11
3) Sebagai acuan dalam proses seleksi pekerja dan prosedur penempatan.
Selain itu, secara teknis disiplin ilmu biomekanika kerja juga dapat digunakan
sebagai pedoman perancangan untuk beberapa hal yaitu (Chaffin & Andersson,
1991) :
1. Perancangan peralatan (seperti jenis-jenis peralatan yang dioperasikan dengan
menggunakan tangan).
2. Perancangan layout kendali mesin dan stasiun kerja.
3. Perancangan tempat duduk kerja.
4. Acuan batas kemampuan pada aktivitas penanganan material (material
handling).
5. Kriteria seleksi pekerja dan pelatihan.
2.1.4 Alat Ukur Dalam Biomekanika Kerja
Beberapa alat ukur pada pengumpulan data dengan cara pengukuran secara
objektif yaitu pengukuran secara langsung kepada partisipan. Contoh pengukuran
jenis ini diantaranya yaitu pengukuran tingkat kekuatan seseorang, pengukuran
dengan menggunakan alat Electromyography (EMG) dan sebagainya. Namun,
ada pula alat ukur dimana pengumpulan data dilakukan berdasarkan penilaian
subjektif peneliti. Pada kondisi tersebut, peneliti akan melakukan observasi dan
pengamatan mendalam terhadap permasalahan yang ada kemudian memberikan
penilaiannya. Pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data berdasarkan
penilaian subjektif ini, biasanya dilakukan dengan cara menggunakan alat ukur
yang berupa kuesioner. Terdapat banyak alat ukur dengan bentuk demikian. Alat
ukur tersebut diantaranya yaitu Rapid Upper Limb Assessment (RULA), Quick
12
Exposure Checklist (QEC), Rapid Entire Body Assessment (REBA), Job Strain
Index (JSI) dan sebagainya.
2.2 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode penelitian untuk
menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang
oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett (1993) yang menyediakan sebuah
perhitungan tingkatan beban musculoskeletal di dalam sebuah pekerjaan yang
memiliki resiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau anggota badan
bagian atas.
Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan penilaian
postur leher, punggung dan lengan atas. Setiap pergerakan diberi skor yang telah
ditetapkan. RULA dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur
kerja yang merupakan faktor resiko. Metode didesain untuk menilai para pekerja
dan mengetahui beban musculoskeletal yang kemungkinan menimbulkan
gangguan pada anggota badan atas.
Metode ini menggunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam
menetapkan evaluasi faktor resiko. Faktor resiko yang telah diinvestigasi
dijelaskan oleh McPhee sebagai faktor beban eksternal yaitu :
1.
Jumlah pergerakan.
2.
Kerja otot statik.
3.
Tenaga/kekuatan.
4.
Penentuan postur kerja oleh peralatan.
5.
Waktu kerja tanpa istirahat.
13
Dalam usaha untuk penilaian 4 faktor beban eksternal (jumlah gerakan, kerja otot
statis, tenaga/kekuatan dan postur), RULA dikembangkan untuk (McAtamney dan
Corlett, 1993) :
1. Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja dengan cepat,
yang berhubungan dengan kerja yang beresiko yang menyebabkan gangguan
pada anggota badan bagian atas.
2. Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja,
penggunaan tenaga dan kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan
kelelahan otot.
3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian
ergonomi yaitu epidomiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.
Pengembangan dari RULA terdiri atas tiga tahapan, yaitu :
1. Mengidentifikasi postur kerja.
2. Sistem pemberian skor.
3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat resiko
yang ada dan dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang melebihi detail
berkaitan dengan analisis yang didapat.
Ada empat hal yang menjadi aplikasi utama dari RULA, yaitu untuk :
1. Mengukur resiko musculoskeletal, biasanya sebagai bagian dari perbaikan
yang lebih luas dari ergonomi.
2. Membandingkan beban musculoskeletal antara rancangan stasiun kerja yang
sekarang dengan yang telah dimodifikasi.
14
3. Mengevaluasi keluaran misalnya produktivitas atau kesesuaian penggunaan
peralatan.
4. Melatih pekerja tentang beban musculoskeletal yang diakibatkan perbedaan
postur kerja.
Dalam mempermudah penilaian postur tubuh, maka tubuh dibagi atas 2 segmen
grup yaitu grup A dan grup B.
A. Penilaian Postur Tubuh Grup A
Postur tubuh grup A terdiri atas lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower
arm), pergelangan tangan (wrist) dan putaran pergelangan tangan (wrist twist).
a. Lengan Atas (Upper Arm)
Penilaian terhadap lengan atas (upper arm) adalah penilaian yang dilakukan
terhadap sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja.
Sudut yang dibentuk oleh lengan atas diukur menurut posisi batang tubuh.
Adapun postur lengan atas (upper arm) dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm)
(sumber : www.rula.co.uk)
15
Skor penilaian untuk postur tubuh bagian lengan atas (upper arm) dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Skor Bagian Lengan Atas (Upper Arm)
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
20° (ke depan maupun ke belakang dari tubuh)
+1
+ 1 jika bahu naik
> 20° (ke belakang) atau 20° - 45°
+2
+ 1 jika lengan berputar/bengkok
45° - 90°
+3
> 90°
+4
- 1 jika lengan didukung/tumpuan
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
b. Lengan Bawah (Lower Arm)
Penilaian terhadap lengan bawah (lower arm) adalah penilaian yang dilakukan
terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan aktivitas kerja.
Sudut yang dibentuk oleh lengan bawah diukur menurut posisi batang tubuh.
Adapun postur lengan bawah (lower arm) dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah (Lower Arm)
(Sumber : www.rula.co.uk)
16
Skor penilaian untuk postur tubuh bagian lengan bawah (lower arm) dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Skor Bagian Lengan Bawah (Lower Arm)
Pergerakan
Skor
60° - 100°
+1
< 60° atau 100°
+2
Skor Perubahan
+ 1 Jika lengan bawah bekerja melewati garis
tengah atau keluar dari sisi tubuh
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
c. Pergelangan Tangan (Wrist)
Penilaian terhadap pergelangan tangan (wrist) adalah penilaian yang dilakukan
terhadap sudut yang dibentuk pergelangan tangan pada saat melakukan aktivitas
kerja. Sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan diukur menurut posisi lengan
bawah. Adapun postur pergelangan tangan (wrist) dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Postur Tubuh Bagian Pergelangan Tangan (Wrist)
(Sumber : www.rula.co.uk)
Skor penilaian untuk postur tubuh pergelangan tangan (wrist) dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
17
Tabel 2.3 Skor Bagian Pergelangan Tangan (Wrist)
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
Posisi netral
+1
+ 1 jika pergelangan tangan putaran
0° - 15° (ke atas maupun ke bawah)
+2
> 15° (ke atas maupun ke bawah)
+3
menjauhi sisi tengah
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
d. Putaran Pergelangan Tangan (Wrist Twist)
Adapun postur putaran pergelangan tangan (wrist twist) dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Postur Tubuh Putaran Pergelangan Tangan (Wrist Twist)
(Sumber : www.rula.co.uk)
Untuk putaran pergelangan tangan (wrist twist) postur netral diberi skor :
1 = Posisi tengah dari putaran
2 = Pada atau dekat dari putaran
Nilai dari postur tubuh lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan
putaran pergelangan tangan dimasukkan ke dalam tabel postur tubuh grup A
untuk memperoleh skor seperti terlihat pada Tabel 2.4.
18
Tabel 2.4 Skor Grup A (Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
Wrist
1
2
3
4
Wrist Twist
Wrist Twist
Upper Arm Lower Arm
Wrist Twist Wrist Twist
1
2
3
4
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1
2
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
4
4
1
2
3
3
3
3
4
4
4
2
3
3
3
3
3
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
5
5
1
3
3
4
4
4
4
5
5
2
3
4
4
4
4
4
5
5
3
4
4
4
4
4
5
5
5
1
4
4
4
4
4
5
5
5
2
4
4
4
4
4
5
5
5
3
4
4
4
5
5
5
6
6
1
5
5
5
5
5
6
6
7
2
5
6
6
6
6
7
7
7
3
6
6
6
7
7
7
7
8
1
7
7
7
7
7
8
8
9
2
8
8
8
8
8
9
9
9
3
9
9
9
9
9
9
9
9
5
6
19
e. Penambahan Skor Aktivitas
Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh grup A pada Tabel 2.4., maka
hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor aktivitas
tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Skor Aktivitas
Aktivitas
Skor
Keterangan
Postur Statik
+ 1 Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam
Pengulangan
+ 1 Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali per menit
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
f. Penambahan Skor Beban
Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh grup
A pada Tabel 2.5, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor beban.
Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada
Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Skor Beban
Beban
Skor
Keterangan
< 2 Kg
+0
Jika berselang
2 Kg – 10 Kg
+1
Jika berselang
2 Kg – 10 Kg
+2
Jika statis / berulang
> 10 Kg
+3
Jika berulang
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
20
B. Penilaian Postur Tubuh Grup B
Postur tubuh grup B terdiri atas leher (neck), batang tubuh (trunk) dan kaki (legs).
a. Leher (Neck)
Penilaian terhadap leher (neck) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi
leher pada saat melakukan aktivitas kerja apakah operator harus melakukan
kegiatan ekstensi atau fleksi dengan sudut tertentu. Adapun postur leher dapat
dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Postur Tubuh Bagian Leher (Neck)
(Sumber : www.rula.co.uk)
Skor penilaian untuk leher (neck) dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Skor Bagian Leher (Neck)
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
0° - 10°
+1
+ 1 jika leher berputar/bengkok
10° - 20°
+2
+ 1 batang tubuh bengkok
> 20°
+3
Ekstensi
+4
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
21
b. Batang Tubuh (Trunk)
Penilaian terhadap batang tubuh (trunk) merupakan penilaian terhadap sudut yang
dibentuk tulang belakang tubuh saat melakukan aktivitas kerja dengan kemiringan
yang sudah diklasifikasikan. Adapun klasifikasi kemiringan batang tubuh saat
melakukan aktivitas kerja dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh (Trunk)
(Sumber : www.rula.co.uk)
Skor penilaian bagian batang tubuh (trunk) dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Skor Bagian Batang Tubuh (Trunk)
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
0° - 10°
+ 1 + 1 jika leher berputar/bengkok
0° - 20°
+ 2 + 1 batang tubuh bengkok
20° - 60°
+3
> 60°
+4
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
22
c. Kaki (Legs)
Penilaian terhadap kaki (legs) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi
kaki pada saat melakukan aktivitas kerja apakah operator bekerja dengan posisi
normal/seimbang atau bertumpu pada satu kaki lurus. Adapun posisi kaki dapat
dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Postur Tubuh Bagian Kaki (Legs)
(Sumber : www.rula.co.uk)
Skor penilaian untuk kaki (legs) dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Skor Bagian Kaki (Legs)
Pergerakan
Skor
Posisi normal/seimbang
+1
Tidak seimbang
+2
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
Nilai dari skor postur tubuh leher, batang tubuh dan kaki dimasukkan ke Tabel
2.10 untuk mengetahui skornya.
23
Tabel 2.10 Skor Grup B
Trunk Postur Score
1
2
3
4
5
6
Legs
Legs
Legs
Legs
Legs
Legs
Neck
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1
3
2
3
3
4
5
5
6
6
7
7
2
2
3
2
3
4
5
5
5
6
7
7
7
3
3
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
7
4
5
5
5
6
6
7
7
7
7
7
8
8
5
7
7
7
7
7
8
8
8
8
8
8
8
6
8
8
8
8
8
8
8
9
9
9
9
9
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
d. Penambahan Skor Aktivitas
Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh grup B pada Tabel 2.10., maka
hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor aktivitas
tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Skor Aktivitas
Aktivitas
Skor
Keterangan
Postur Statik
+1
Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam
Pengulangan
+ 1 Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali per menit
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
24
e. Penambahan Skor Beban
Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh
grup B pada Tabel 2.11., maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor
beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat
pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12. Skor Beban
Beban
Skor
Keterangan
< 2 Kg
+0
Jika berselang
2 Kg – 10 Kg
+1
Jika berselang
2 Kg – 10 Kg
+2
Jika statis / berulang
> 10 Kg
+3
Jika berulang
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
Untuk memperoleh skor akhir (grand score), skor yang diperoleh untuk postur
tubuh grup A dan grup B dikombinasikan ke Tabel 2.13.
25
Tabel 2.13 Grand Total Score Table
Score
Score Grup B
Grup A
1
2
3
4
5
6
7+
1
1
2
3
3
4
5
5
2
2
2
3
4
4
5
5
3
3
3
3
4
4
5
6
4
3
3
3
4
5
6
6
5
4
4
4
5
6
7
7
6
4
4
5
6
6
7
7
7
5
5
6
6
7
7
7
+8
5
5
6
7
7
7
7
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
Hasil skor dari Tabel 2.13. tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori
level resiko pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Kategori Tindakan RULA
Kategori Tindakan
Level Resiko
Tindakan
1-2
Minimum
3-4
Kecil
5-6
Sedang
Tindakan dalam waktu dekat
7
Tinggi
Tindakan sekarang juga
Aman
Diperlukan beberapa waktu ke depan
(Sumber : McAtamney, L & Corlett, E.N., 1993, RULA)
26
2.3 Postur Kerja
Pada subbab ini berisi mengenai keterkaitan ergonomi dengan postur kerja, kerja
otot statis dan dinamis, efek kerja otot statis dan dinamis, musculoskeletal dan
program pengendalian kelelahan pada pekerja dengan sumber referensi berasal
dari
http://chalisbrother-engineering.blogspot.com/2009/12/postur-kerja.html
yang diakses tanggal 22 April 2013.
2.3.1 Keterkaitan Ergonomi dengan Postur Kerja
Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan
informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk
merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem
itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu
dengan efektif, aman, dan nyaman. Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu
diperhatikan performansi pekerjanya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya
adalah postur dan sikap tubuh pada saat melakukan aktivitas tersebut. Hal
tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena hasil produksi sangat
dipengaruhi oleh apa yang dilakukan pekerja. Bila postur kerja yang digunakan
pekerja salah atau tidak ergonomis, pekerja akan cepat lelah sehingga konsentrasi
dan tingkat ketelitiannya menurun. Pekerja menjadi lambat, akibatnya kualitas
dan kuantitas hasil produksi menurun yang pada akhirnya menyebabkan turunnya
produktivitas.
Dengan demikian, terlihatlah bahwa postur kerja sangatlah erat kaitannya dengan
keilmuan ergonomi dimana pada keilmuan ergonomi dipelajari bagaimana untuk
meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera
27
akibat postur kerja yang salah dan penyakit akibat kerja serta menurunkan beban
kerja fisik dan mental, oleh karena itu perlu dipelajari tentang bagaimana suatu
postur kerja dikatakan efektif dan efisien, tentu saja untuk mendapatkan postur
kerja yang baik kita harus melakukan penelitian-penelitian serta memiliki
pengetahuan dibidang keilmuan ergonomi itu sendiri dengan tujuan agar kita
dapat menganalisis dan mengevaluasi postur kerja yang salah dan kemudian
mampu memberikan postur kerja usulan yang lebih baik sebab masalah postur
kerja sangatlah penting untuk diperhatikan karena langsung berhubungan ke
proses operasi itu sendiri, dengan postur kerja yang salah serta dilakukan dalam
jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan operator akan mengalami beberapa
gangguan-gangguan otot (musculoskeletal) dan gangguan-gangguan lainnya
sehingga dapat mengakibatkan jalannya proses produksi tidak optimal.
Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisa keefektifan dari suatu
pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh operator sudah baik dan
ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang diperoleh oleh operator tersebut akan
baik. Akan tetapi, bila postur kerja operator tersebut salah atau tidak ergonomis
maka operator tersebut akan mudah kelelahan dan terjadinya kelainan pada
bentuk tulang operator tersebut. Apabila operator mudah mengalami kelelahan
maka hasil pekerjaan yang dilakukan operator terebut juga akan mengalami
penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2.3.2 Kerja Otot Statis dan Dinamis
Kerja otot statis adalah kerja otot yang tidak bergerak atau dengan kata lain otot
hanya diam. Biasanya kerja otot statis akan lebih cepat mengalami kelelahan
28
dibandingkan dengan kerja otot dinamis. Walaupun demikian kerja otot stasis
tidak bisa dihilangkan dalam melakukan suatu pekerjaan. Sesuatu hal yang tidak
mungkin dalam melakukan pekerjaan semua bagian tubuh operator mengalami
kerja otot statis. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian
tentang perbandingan berapa lama waktu kerja otot statis dilakukan dibandingkan
dengan kerja otot dinamis. Sebagai contoh seorang satpam yang harus menjaga
pintu selama beberapa jam tanpa bisa duduk. Tentu otot kakinya akan merasa
kelelahan dengan kerja otot statis seperti itu. Untuk mengatasinya perlu dibuat
jadwal dimana satpam tersebut bisa berkeliling sehingga otot kakinya yang
tadinya statis bisa kembali rileks. Dan untuk kerja otot dinamis, perlu dilakukan
juga penelitian terhadap otot yang terus bergerak tanpa henti.
2.3.3 Efek Kerja Otot Statis dan Dinamis
Efek kerja otot statis adalah otot yang digunakan dalam keadaan diam sehingga
akan terjadi penumpukan asam laktat lebih cepat dibandingkan dengan kerja otot
dinamis, sehingga pekerja akan lebih cepat mengalami kelelahan. Ketika pekerja
cepat merasa lelah, maka pekerjaan atau produktivitasnya akan mengalami
penurunan. Sebagai contoh seorang tukang cat yang sedang melakukan
pekerjaanya pada saat berdiri, akan mengalami kelelahan pada kedua otot
kakinya.
Efek kerja otot dinamis sebenarnya sangat baik karena tidak menyebabkan
kelelahan pada saat bekerja. Tidak seperti kerja otot statis yang menyebabkan
kelelahan pada pekerja saat bekerja, kerja otot dinamis sangat dianjurkan dalam
melakukan setiap gerakan dan postur kerja. Karena pada saat bekerja, otot si
29
pekerja akan mengalami relaksasi, sehingga menyebabkan si pekerja tidak cepat
merasakan kelelahan pada saat bekerja dan produktivitasnya tidak akan
mengalami penurunan.
2.3.4 Musculoskeletal
Musculoskeletal adalah resiko kerja mengenai gangguan otot yang disebabkan
oleh kesalahan postur kerja dalam melakukan suatu aktivitas kerja. Keluhan
musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.
Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat
otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera
hilang apabila pembebanan dihentikan.
2.
Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil
studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka
(skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang
dan otot-otot bagian bawah. Diantara keluhan otot skeletal tersebut, yang banyak
30
dialami oleh pekerja adalah otot bagian pinggang (Low Back Pain = LBP).
Laporan dari The Bureau of Labour Statistics (LBS) Departemen Tenaga Kerja
Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 1982 menunjukkan bahwa
hampir 20% biaya kompensasi yang dikeluarkan sehubungan dengan adanya
keluhan/sakit pinggang. Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang
dipublikasikan oleh NIOSH menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan
otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dolar setiap tahun. Biaya tersebut
merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk
keluhan/sakit akibat kerja lainnya. Sementara itu National Safety Council
melaporkan bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi
adalah sakit punggung, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang
panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi
otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila
kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut
tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai
oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai
akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa
nyeri otot.
31
Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, diantaranya yaitu:
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion).
Pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya
menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat,
mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang
berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat
mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan
terjadinya cidera otot skeletal.
2. Aktivitas berulang.
Yaitu pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan
mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut dan sebagainya. Keluhan
otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus
menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap kerja tidak alamiah.
Yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak
menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung
terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi
bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko
terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya
karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai
dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
32
4. Faktor penyebab sekunder, yaitu:
a) Tekanan, terjadi langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh,
pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang
lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila
hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.
b) Getaran, dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak
lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri
otot.
c) Mikroklimat, paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak
yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah
kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri otot.
5. Penyebab kombinasi, yaitu:
a. Umur, keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65
tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan
tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan
otot mulai menurun sehingga resiko terjadinya keluhan otot meningkat.
33
b. Jenis kelamin, secara fisiologis kemampuan otot wanita memang lebih
rendah dari pada pria. Kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari
kekuatan otot pria. Khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki.
c. Kebiasaan merokok yang lama dan tingginya frekuensi merokok
menyebabkan tingginya keluhan otot yang dirasakan. Hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang,
khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot.
d. Kesegaran jasmani, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan
yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan
akan terjadinya keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan
mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot.
e. Kekuatan fisik, adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada
pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas
kekuatan otot pekerja. Namun untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak
memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang
relevan terhadap resiko keluhan otot skeletal.
f. Ukuran tubuh (antropometri), Vessy et al menyatakan bahwa wanita yang
gemuk mempunyai resiko terjadinya keluhan (pada bagian otot kaki) dua
kali lipat dibandingkan wanita kurus. Apabila dicermati, keluhan otot
skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi
keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban.
34
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration
(OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah
melalui dua cara, yaitu:
1. Rekayasa Teknik
a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.
b. Substitusi, yaitu mengganti alat lama dengan alat baru yang aman,
menyempurnakan
proses
produksi
dan
menyempurnakan
prosedur
penggunaan peralatan.
c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja.
d. Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi resiko sakit.
2. Rekayasa Manajemen
a. Pendidikan dan pelatihan.
b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang.
c. Pengawasan yang intensif.
2.3.5 Program Pengendalian Kelelahan pada Pekerja
Program pengendalian kelelahan pada pekerja adalah suatu program yang dibuat
berdasarkan analisa terhadap kelelahan pada pekerja yang mana bertujuan untuk
membuat suatu program kerja yang baru yang lebih baik agar tingkat kelelahan
yang dialami pekerja lebih kecil.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kelelahan pada pekerja antara lain
adalah :
1.
Melakukan perbaikan terhadap postur kerja operator yang salah atau kurang
ergonomis.
35
2.
Melakukan perbaikan pada stasiun kerja si operator, seperti jarak, dan letak
bahan-bahan yang akan di pergunakan operator.
2.4 Seminar dan Jurnal yang Berkaitan dengan RULA dan NBM
Pada subbab ini berisi mengenai seminar ataupun jurnal yang berkaitan dengan
metode RULA dan kuesioner NBM, diantaranya yaitu : analisis postur kerja
dalam sistem manusia mesin untuk mengurangi fatigue akibat kerja pada bagian
Air Traffic Control (ATC) di PT. Angkasa Pura II Polonia Medan, identifikasi
resiko ergonomi pada pekerja di PT. Asaba Industry, analisis postur kerja dengan
tinjauan ergonomi di industri batik Madura dan aplikasi sistem informasi K3
dengan metode RULA dan NIOSH.
2.4.1 Analisis Postur Kerja Dalam Sistem Manusia Mesin Untuk
Mengurangi Fatigue Akibat Kerja Pada Bagian Air Traffic Control
(ATC) di PT. Angkasa Pura II Polonia Medan
(Sumber : Jurnal Dinamis Vol. II, No. 6, Januari 2010, ISSN 0216-7492, Farida
Ariani, Staff Pengajar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU)
Jasa penerbangan merupakan subbidang pariwisata yang memegang peranan
penting bagi laju berkembangnya pariwisata internasional. Dengan kemudahan,
kenyamanan dan keamanan penerbangan yang terjamin, dapat lebih menarik
wisatawan mancanegara untuk mengunjungi objek-objek pariwisata di dunia,
termasuk diantaranya objek pariwisata di Indonesia. Apabila kondisi penerbangan
tidak nyaman dan bahkan tidak aman, maka wisatawan condong menunda
keinginannya untuk mengunjungi objek-objek pariwisata. Kecelakaan pesawat
banyak terjadi sebagian besar karena ada kesalahan komunikasi antara kapten
36
pesawat dengan bagian pengendalian lalu lintas udara (Air Traffic Control). PT.
Angkasa Pura II Polonia Medan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang dipercayakan oleh pemerintah untuk menjalankan roda bisnis dalam bidang
jasa pelayanan kebandar udaraan dan jasa pelayanan lalu lintas udara. Bidang
usaha yang diembankan oleh PT. Angkasa Pura II Polonia Medan memiliki
karakteristik tersendiri yaitu dalam hal penyediaan prasarana transportasi udara
yang menggunakan teknologi tinggi di samping harus berstandar internasional
serta dihadapkan pada perkembangan teknologi yang semakin pesat dan dinamis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara mengamati postur kerja secara
langsung dengan menggunakan worksheet RULA. Selanjutnya data sekunder
diperoleh dari pengutipan data yang bersumber dari PT. Angkasa Pura II Polonia
Medan yang meliputi referensi yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
Jenis metode yang digunakan adalah metode deskriptif yang meneliti postur kerja
para operator selama bekerja di bagian Air Traffic Control di bandar udara
Polonia Medan. Dengan kondisi yang demikian disarankan kepada pihak
manajemen perlu mengembangkan ’open management’ dengan didasari pada
political will, sedangkan setiap operator harus dilibatkan pada setiap langkah
perbaikan, karena merekalah yang paling tahu masalah-masalah yang sedang
dihadapi. Partisipasi dalam ergonomi merupakan partisipasi aktif dari karyawan
dengan supervisor dan managernya untuk menerapkan pengetahuan ergonomi di
tempat kerjanya untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja.
37
Dari hasil pengisian kuesioner Nordic Body Map sebagian controller mengalami
gangguan sistem musculosketel (ketegangan otot). Kenyerian atau keluhan pada
otot skeletal yang dominan adalah pada bagian bokong dan pantat (67%),
pinggang, leher bagian atas dan leher bagian bawah (60%), punggung (57%),
bahu kanan (50%), dan anggota tubuh lainnya kurang dari 50%. Terjadi interaksi
yang kurang serasi antara manusia-mesin pada controller ATC. Terbukti masih
banyak sikap paksa pada controller waktu kerja seperti gerakan menjangkau
telepon, melihat monitor dengan sudut pandang yang terlalu kecil dan tulang
belakang tidak dapat bersandar dengan baik waktu duduk. Dari tabel rekapitulasi
skor untuk penilaian postur kerja dengan menggunakan RULA, dapat disimpulkan
dari 30 controller yang diamati, nilai grand skor terkecil dan terbanyak adalah 3
dan 4. Nilai level untuk grand skor ini adalah level 2, artinya postur kerja
controller tersebut membutuhkan perubahan postur kerja dalam waktu yang tidak
terlalu cepat dan evaluasi (pengamatan) postur kerja pada controller ATC harus
terus dilakukan. Skor tertinggi yang terjadi pada controller yang masa kerjanya
cukup lama adalah pada controller 8, 9, 10, 14, 28, 29 dengan skor 5. Nilai level
untuk grand skor ini adalah level 3, artinya perubahan dan evaluasi (pengamatan)
postur kerja pada controller diperlukan segera. Tata letak sarana pendukung,
seperti kabel dan alat kontrol kurang tepat yang menyebabkan rasa tidak aman dan
tidak nyaman dalam bekerja. Tingkat kecepatan, ketelitian dan konstansi kerja
antara sebelum kerja dan setelah kerja tidak ada perubahan. Tingkat kecepatan
yang tinggi menyebabkan tingkat ketelitian dan konstansi kerja menjadi rendah.
Controller di ATC termasuk manusia Multi-Tasking yaitu merupakan kinerja oleh
38
seorang individu yang muncul untuk menangani lebih dari satu tugas pada waktu
yang sama. Sejak tahun 1990-an, psikolog eksperimental sudah mulai percobaan
pada batas alam dan manusia multitasking. Secara umum, kajian ini telah
diungkapkan orang yang menunjukkan gangguan parah ketika bahkan sangat
sederhana tugas-tugas yang dilakukan pada saat yang sama, jika keduanya
memilih tugas dan produksi memerlukan tindakan (Gladstones, Regan & Lee,
2989; Pashler, 1994). Banyak peneliti percaya bahwa tindakan perencanaan
merupakan ”kemacetan”, otak manusia yang hanya dapat melakukan satu tugas
pada satu waktu.
2.4.2 Identifikasi Resiko Ergonomi Pada Pekerja di PT. Asaba Industry
(Sumber : S. Dewayana, Triwulandari and Azmi, Nora and ., Riviana (2008).
J@TI UNDIP, III (2). pp. 89-95. ISSN 1907 - 1434)
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi resiko ergonomi pada
pekerja di PT. Asaba Industry yang bergerak di bidang pembuatan sendok dimana
sebagian besar proses produksi dilakukan secara manual. Penelitian dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut : 1) mengidentifikasi stasiun kerja yang paling
bermasalah
menggunakan
survei
QEC;
2)
mencari
faktor
penyebab
ketidaknyamanan kerja; 3) mengidentifikasi area tubuh yang dikeluhkan sakit
oleh pekerja menggunakan kuesioner Nordic Body Map; 4) melakukan
pengukuran denyut jantung pekerja untuk menghitung konsumsi energi dan
konsumsi oksigen; dan 5) mengidentifikasi aktivitas pada stasiun kerja yang
paling bermasalah menggunakan tool pada ERGOWEB JET dan RULA. Hasil
perhitungan berdasarkan survei QEC menunjukkan bahwa stasiun kerja yang
39
terdapat pada PT. Asaba Industry rata – rata mempunyai nilai Percent Exposure
Level yang tinggi (96,09%). Selanjutnya, dengan menggunakan diagram
Ishikawa, dapat diketahui bahwa pada bagian gerinda operator bekerja dengan
kurang nyaman. Adapun penyebab utama timbulnya ketidaknyamanan bersumber
pada posisi kerja operator yang kurang nyaman, peralatan/fasilitas kerja yang
kurang memadai dan tidak ergonomis, sehingga menimbulkan metode kerja yang
kurang baik. Berdasarkan kuesioner Nordic Body Map diketahui bahwa keluhan
yang banyak diderita para pekerja adalah pada leher bagian atas, pinggang, dan
bokong, dan lutut sebelah kiri. Hasil pengukuran denyut jantung menunjukkan
bahwa ketiga operator memiliki tren denyut jantung yang hampir sama.
Pengukuran konsumsi energi menunjukkan rata-rata operator berada pada level
heavy work. Stasiun kerja gerinda dengan aktivitas mengangkat pallet
berdasarkan rekomendasi dari NIOSH, diharuskan untuk dilakukan pengawasan
secara teknikal.
2.4.3 Analisis Postur Kerja Dengan Tinjauan Ergonomi di Industri Batik
Madura
(Sumber : Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan, Volume 1, No. 3 September 2012
Halaman 167-171, Fitri Agustina, Arief Maulana, Universitas Trunojoyo)
Dari pengamatan awal di lokasi pembuatan batik Madura Desa Macajah ini,
sebagian besar keluhan musculoskeletal paling banyak ditemui pada operator
pembatikan pada kain, hal ini dikarenakan pekerjaan yang dilakukan secara
berulang oleh operator pada posisi tubuh tertentu dengan waktu yang cukup lama
pula. Di samping itu juga dapat terlihat fasilitas kerja yang kurang mendukung
40
seperti tidak adanya kursi yang dipakai oleh operator pembatikan dalam bekerja
sehingga menyebabkan punggung operator cepat mengalami sakit. Adapun tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk menilai postur kerja dengan
menggunakan metode RULA, mengevaluasi postur kerja yang ada sekarang dan
mempelajari kemungkinan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan pekerja
dalam melakukan pekerjaannya dengan waktu yang cukup lama, dan memberi
suatu usulan perbaikan postur kerja dan fasilitas kerja kepada pekerja batik agar
tidak merasa cepat lelah dan sakit.
Dari penelitian yang dilakukan didapat kesimpulan bahwa posisi kerja yang
mengalami penyakit kesalahan postur kerja yaitu pada : posisi leher tunduk, posisi
duduk, posisi membatik, posisi mencuci, serta posisi menjemur. Dengan usulan
rancangan produk fasilitas kerja yang baru seperti : gawangan batik, bak
pewarnaan kain batik, jemuran kain batik, kursi membatik, meja batik, panci
peluruhan dan tungku, bak pencucian serta gantungan pembersihan sisa lilin
kemudian dilakukan simulasi rancangan perbaikan postur kerja maka telah
merubah tingkat level resiko lebih rendah dari sebelumnya. Pada kegiatan
pembuatan batik yang tidak mengalami perubahan tingkat level resiko atau sama
setelah dilakukan simulasi rancangan perbaikan postur kerja yaitu elemen
kegiatan pencucian kain dengan larutan kanji pada proses peluruhan kain.
41
2.4.4 Aplikasi Sistem Informasi K3 Dengan Metode RULA Dan NIOSH
(Sumber : Tri Pujadi, dkk, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009,
SNATI, Yogyakarta)
Pekerja meletakan beban (galon) dengan cara membungkukkan tubuh. Hal ini
dapat meningkatkan resiko cidera, ditambah dengan kebiasaan yang selalu
membungkukkan tubuh, terakumulasi untuk menimbulkan cidera pinggang.
Pekerja sebaiknya meletakkan galon dengan cara menekuk lutut, bukan
membungkuk, dengan posisi punggung tetap tegak. Untuk bendanya, yaitu galon,
tidak dapat dilakukan perubahan, karena semua galon air sudah dirancang dengan
bentuk yang standart.
Sistem yang akan dikembangkan meliputi 2 metode, pertama, untuk
pengangkatan beban berdasarkan persamaan pengangkatan NIOSH (National
Institute for Occupational Safety and Health) dan yang kedua adalah RULA
(Rapid Upper Limb Assessment) yang membahas masalah postur tubuh bagian
atas. Dari sistem ini dapat digunakan untuk 2 kondisi, yaitu perhitungan cepat
menggunakan RULA untuk mengetahui posisi/postur tubuh saat bekerja, menilai
hasilnya di sistem dan memberikan saran perbaikan untuk posisi yang berbahaya.
Kondisi yang kedua adalah untuk menganalisis pengangkatan beban, di mana
variabel yang diukur lebih rumit. Setelah beberapa variabel dalam persamaan
pengangkatan beban NIOSH diukur, maka hasil akan dihitung di sistem, lalu hasil
(tingkat resiko cidera) akan segera diketahui beserta saran perbaikan.
Pada kegiatan pengangkatan galon, lifting index pada tempat awal dan tempat
tujuan menunjukkan nilai 1.21 dan 1.27. Nilai menunjukkan kegiatan tersebut
42
tergolong cukup bahaya. Resiko cidera pinggang (low back pain) juga menjadi
lebih besar karena pekerja tersebut mengangkat dengan cara membungkukkan
tubuh.
Sistem informasi yang dikembangkan untuk kepentingan laboratorium PSK&E
merupakan sistem yang tidak hanya dapat menilai tingkat resiko cidera pekerjaan
pengangkatan beban, tetapi juga menilai tingkat resiko cidera pada postur tubuh
saat bekerja.
Download