PENTINGNYA MEMPERHATIKAN GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK Oleh; M. Nur Ghufron Tersebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang lebat. Di sana akan diselenggarakan pertandingan lomba multilintasan untuk mencari yang tercepat menyentuh garis finish. Adapun lintasan yang akan dilalui adalah lapangan, memanjat pepohon, menyebarang sungai dan menyebrang antar tebing. Dengan demikian semua peserta diharapkan akan mampu menahlukkan keempat lintasan pokok yang akan dilalui. Namun bagaimana kenyataannya di lapangan? Marilah kita lihat para peserta yang akan mengikuti lomba ini. Setelah persyaratan terpenuhi dan babak kualifikasi dilalui, ternyata ada dua finalis untuk ke babak final. Mereka adalah si kucing Hutan dan si Bebek. Si Kucing Hutan ternyata amat pandai dalam hal berlari dan memanjat. Dengan cepat ia dapat mengejar mangsanya, bahkan sampai ke atas pohon yang cukup tinggi. Namun sayangnya, ia cukup mengalami kesulitan dalam hal melewati sungai karena ia harus berenang, padahal ia memang sangat takut dengan air. Apalagi untuk melewati lintasan menyebrang antar tebing yang membutuhkan keahlian terbang, berkali-kali ia mencoba untuk terbang dengan cara memanjat pohon tebing yang tinggi tersebut, kemudian ia mencoba untuk melompat ke bawah bagaikan seekor burung yang hendak terbang. Namun apa yang terjadi? Si kucing Hutan itu jatuh terguling-guling di tanah dengan kesakitan karena kakinya patah. Akibatnya ia malah tidak mampu berlari dan memanjat pohon sama sekali, suatu kemampuan yang semula amat dikuasainya dengan baik. Begitu pula halnya dengan si Bebek. Ia cukup mahir dalam hal melewati lintasan menyebarang sungai dengan berenang. Ia juga lolos menyebrang antar tebing walau kemampuan terbangnya untuk jarak yang tidak terlampau jauh namun ia telah mampu menakhlukkan rintangan ini. Adapun untuk berlari dengan cepat ia cukup mengalami kesulitan. Apalagi untuk memanjat pohon, sampai akhirnya kakinya lecet-lecet berdarah akibatnya ia malah terhambat untuk dapat 1 berenang dan terbang dengan lancar, yang semula amat dikuasai dengan baik. Sayang sekali bukan? Cerita di atas merupakan cerita dengan sedikit saya gubah yang didapatkan oleh Seto Mulyadi (1994) atau sering disebut Kak Seto ketika menghadiri seminar Internasional di Jepang. Nah apa yang dapat kita petik dari cerita di atas? Belajar atau learning merupakan fokus utama dalam psikologi pendidikan. Suryabrata (1984) dan Masrun dan Martianah (1972) mengemukakan bahwa pada dasarnya belajar merupakan sebuah proses untuk melakukan perubahan perilaku seseorang, baik lahiriah maupun batiniah. Perubahan menuju kebaikan, dari yang jelek menjadi baik. Proses perubahan tersebut sifatnya relatif permanen dalam artian bahwa kebaikan yang diperoleh berlangsung lama dan proses perubahan tersebut dilakukan secara adaptif, tidak mengabaikan kondisi lingkungannya. Perubahan tersebut terjadi karena adanya akumulasi pengalaman seseorang ketika melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Belajar menjadi suatu proses yang memungkinkan individu untuk lebih adaptif (Kolb, 1984). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagian bukan suatu proses belajar, seperti mengedipkan mata ketika ada debu berterbangan, atau mengunyah dan menelan makanan. Namun kegiatan-kegiatan yang perlu proses tertentu seperti ketika anak-anak menggunakan komputer dengan software baru, seseorang yang bekerja keras menemukan penyelesaian, seseorang yang bertanya mengenai hal-hal yang baru, kemudian menjelaskan sesuatu dengan logika yang lebih tepat, atau mendengarkan secara lebih seksama, pengalaman-pengalaman inilah yang dapat disebut dengan belajar (Santrock, 2006). Yang dapat kita petik adalah bahwa ternyata setiap individu itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apabila kekurangannya dapat diketahui dan diterima sebagaimana adanya, sementara kelebihannya diperhatikan dan dikembangkan dengan baik, maka individu itupun akan berprestasi dengan optimal atau paling tidak, optimal sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangan inilah yang sering 2 disebut sebagai keunikan individu, yang membedakan individu yang satu dengan individu yang lainnya. Bila keunikan ini dihargai, dalam arti setiap individu itu diterima kekurangannya, namun juga dikembangkan kelebihannya, maka individu itupun akan dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, termasuk dalam belajar yang disesuaikan dengan gaya belajarnya. Bahwa, tidak semua orang mempunyai gaya belajar yang sama, sekalipun bila mereka bersekolah di sekolah atau bahkan duduk di kelas yang sama. Bahwa kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat. Karenanya, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Sebagian siswa lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menuliskan segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian mencoba memahaminya. Tapi, sebagian siswa lain lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya. Sementara itu, ada siswa yang lebih suka membentuk kelompok kecil untuk mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran tersebut. Cara lain yang juga kerap disukai banyak siswa adalah model belajar yang menempatkan guru tak ubahnya seorang penceramah. Guru diharapkan bercerita panjang lebar tentang beragam teori dengan segudang ilustrasinya, sementara para siswa mendengarkan sambil menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang hanya mereka pahami sendiri. Apa pun cara yang dipilih, perbedaaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. Karenanya, jika kita bisa memahami bagaimana perbedaan gaya belajar setiap orang itu, mungkin akan lebih mudah bagi kita jika suatu ketika, misalnya, kita harus memandu seseorang untuk mendapatkan gaya belajar yang tepat dan memberikan hasil yang maksimal bagi dirinya. 3 Berdasarkan contoh di atas, si kucing hutan mempunyai kelebihan kemampuan dalam hal berlari dan memanjat pohon yang didukung dengan kondisi tubuhnya, seperti mempunyai cakar yang kuat guna memanjat. Bila kemampuan ini dihargai dan kepadanya diberikan kesempatan untuk mengembangkan apa yang mereka miliki secara sungguh-sungguh, maka apa yang mereka miliki itupun akan muncul dan dapat berkembang dengan baik. Ia akan tampil sebagai juara sejati dalam hal berlari dan memanjat pohon. Namun apabila ia dipaksa untuk melakukan hal-hal yang memang bukan style kemampuannya yaitu berenang atau terbang misalnya, maka selain waktu dan tenaganya akan terbuang secara sia-sia ia tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mengembangkan kemampuannya. Begitu pula dengan si Bebek. Ia juga tidak akan tampil sebagai juara sejati dalam hal ini berenang di sungai, apabila ia dipaksa juga harus menguasai kemampuannya untuk memajat pohon yang memang bukan stylenya dan tidak didukung dengan kondisi tubuhnya. Berpijak dari perbedaan dan faktor penyebabnya, maka kiranya dapat menepis asumsi bahwa dengan mengajarkan bahan yang sama, metode yang sama, serta cara penilaian yang sama kepada semua siswa dianggap akan menghasilkan hasil yang sama pula adalah hal yang kurang tepat, sebab meski semua diperlakukan sama namun mesti diingat bahwa yang melakukan belajar adalah individu-individu itu sendiri, sedang kepribadian, abilitas, emosional, dan minat siswa tetap berbeda. Dengan demikian pembelajaran yang lebih menghargai perbedaan individu akan lebih mengembangkan siswa sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya tanpa harus dibandingkan dengan yang lainnya. Akhirnya, keunikan pada individu perlu diperhatikan bukan sebagai gangguan tetapi sebagai perbedaan, dengan perspektif ini maka individu yang unik dapat dipandang sebagai pribadi yang utuh (Kolb, 1984; Hannel, 2005; Santrock, 2006). Pribadi yang utuh dengan keunikan akan melakukan proses belajar dengan gaya-gaya belajar yang unik pula. Gaya-gaya belajar yang unik ini dapat dipandang sebagai kekayaan yang harus disadari oleh individu itu sendiri 4 dan khususnya bagi mereka yang menjadi orang-orang yang terampil membantu (guru, atau pun orang tua) pada proses pembelajaran khusus. 5