TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan dan Pengendalian Hama Nilaparvata lugens Permasalahan N. lugens di Indonesia Pada tahun 1970-an ketika pemerintah memberikan subsidi harga pestisida, ledakan populasi wereng batang cokelat (WBC), N. lugens, sering terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa, Sumatera, dan Bali. Ledakan populasi WBC terus terjadi karena sistem budi daya tanaman padi yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun oleh para petani. Adanya tanaman padi yang berlimpah sepanjang tahun merupakan kondisi yang sangat menguntungkan bagi WBC karena memberikan ketersediaan pakan dan habitat yang sesuai. Pada musim hujan antara tahun 1976 dan 1977 lahan padi seluas 347.000 ha terserang WBC (Kalshoven 1981). Pada tahun 2004 dan 2005 telah terjadi serangan WBC terhadap beberapa varietas padi di beberapa propinsi seperti Jawa dan Sumatera. Serangan WBC yang sangat berarti dapat mengurangi hasil padi secara nyata dan dapat mengakibatkan kelumpuhan perekonomian di tingkat petani (BB Padi 2009). Biologi N. lugens Wereng batang cokelat merupakan serangga paurometabola yang melewati tahap perkembangan telur, nimfa, dan imago. Telur WBC berwarna putih, berkelompok, berbentuk seperti buah pisang, berukuran 1,3 mm x 0,3 mm (Tim Pengendalian Hama WBC 1986). Setiap kelompok telur terdiri atas 4-10 butir. Awalnya telur berwarna putih, kemudian berubah menjadi gelap saat mendekati penetasan (Tsatsia & Grahame 2009). Telur diletakkan berkelompok di dalam jaringan tanaman di bagian pangkal batang tanaman padi, terutama di dalam pelepah dan juga di daun bendera. Ukuran dan tempat peletakan kelompok telur bergantung pada tahapan pertumbuhan tanaman padi. Saat populasi WBC dewasa tinggi, telur dapat ditemukan di bagian atas tanaman padi. Perkembangan telur antara 7 dan 11 hari di daerah tropis. Lama stadium telur bergantung pada suhu lingkungan dan varietas tanaman (Mochida & Okada 1979). Selama hidupnya, WBC betina di laboratorium dapat menghasilkan telur sampai 1000 butir, tetapi karena adanya pengaruh lingkungan, kemampuan bertelur di lapangan hanya mencapai 100-600 butir (Tim Pengendalian Hama WBC 1986). Perkembangan fase nimfa WBC melewati lima instar. Setiap instar dapat dibedakan dari bentuk mesonotum dan metanotum serta ukuran tubuhnya. Lama perkembangan nimfa 10-15 hari (Mochida & Okada 1979). Nimfa berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi cokelat kehitaman setelah menjadi imago. Panjang tubuh nimfa instar terakhir mendekati 3 mm (Tsatsia & Grahame 2009). Nimfa instar terakhir memiliki konsumsi pakan yang lebih tinggi daripada WBC dewasa, dan konsumsi WBC betina lebih tinggi daripada WBC jantan. WBC jantan dan betina memiliki dua tipe bentuk sayap, yaitu makroptera yang memiliki kemampuan terbang, dan brakiptera yang bersayap pendek. WBC makroptera dapat terbentuk jika kepadatan populasi sudah tinggi dan kualitas pakan yang menurun. WBC dapat menghasilkan 2 sampai 8 generasi dalam satu tahun periode penanaman padi di daerah tropis dan tingkat populasinya bergantung pada keberadaan tanaman padi di lapangan (Mochida & Okada 1979). Pada suhu ruangan, rata-rata lama hidup WBC betina 17,8 hari dan WBC jantan 12,8 hari, sedangkan pada suhu 29 oC, rata-rata lama hidup WBC betina dan jantan masingmasing 10,2 dan 7,5 hari (Bae 1966). Gejala Serangan dan Kerusakan Akibat N. lugens Tanaman inang WBC termasuk dalam famili Graminae, tetapi tanaman yang termasuk dalam genus Oryza (padi-padian) merupakan tanaman yang paling cocok untuk dijadikan inang WBC. Nimfa dan imago WBC biasanya menetap di bagian pangkal tanaman padi dan mengisap cairan pelepah daun. WBC menusukkan stiletnya ke dalam ikatan pembuluh vaskuler tanaman inang dan mengisap cairan tanaman dari jaringan floem. Semakin mendekati imago, nimfa WBC mengisap cairan tanaman lebih banyak daripada nimfa instar I atau II. WBC betina mengisap cairan lebih banyak daripada yang jantan (Tim Pengendalian Hama WBC 1986). Gejala serangan WBC sering ditemukan di tempat pembibitan. Bila tanaman padi muda diserang, tanaman tersebut menguning, pertumbuhan terhambat, dan kerdil (Kalshoven 1981). Gejala kerusakan awal oleh WBC ditandai dengan perubahan warna kuning pada helaian daun paling tua dan dijumpai banyak ekskresi embun madu. Perubahan warna berlangsung terus hingga ke semua bagian tanaman, dan akhirnya seluruh tanaman berwarna cokelat. Kerusakan akibat isapan WBC pada tanaman padi menyebabkan tanaman menjadi kering dan terbakar (hopperburn). Hal ini biasanya terjadi pada fase setelah pembentukan malai dan saat pembungaan tanaman padi (Tsatsia & Grahame 2009). Pengendalian Hama Terpadu N. lugens Status WBC sebagai hama penting tanaman padi menjadikan WBC sebagai objek pengendalian utama. Teknik pengendalian WBC dilaksanakan sesuai dengan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Beberapa teknik PHT yang dapat diterapkan pada tanaman padi antara lain (1) teknik bercocok tanam meliputi penanaman serentak dan pergiliran tanaman (padi-padi-palawija, padipalawija-padi, padi-padi-bera), sanitasi, penggunaan jarak tanam tepat, pengelolaan air dan pupuk, dan penggunaan varietas resisten untuk mengatasi masalah perkembangan biotipe baru dari hama, (2) pengendalian fisik/mekanis, (3) penggunaan musuh alami seperti parasit, predator, dan patogen serangga, dan (4) penggunaan pestisida bila diperlukan (Oka 1990). Pemanfaatan musuh alami serangga predator seperti C. lividipennis, Paederus sp. (Hemiptera: Staphylinidae), dan Coccinella sp. (Coleoptera: Coccinellidae) memiliki potensi sebagai pengendali populasi telur, nimfa, dan imago WBC. Penggunaan insektisida sintetik merupakan alternatif terakhir dalam pengendalian WBC untuk meminimumkan timbulnya permasalahan baru seperti resistensi serta resurjensi hama (Kilin et al. 1993). Biologi dan Potensi Cyrtorhinus lividipennis Biologi C. lividipennis Kepik C. lividipennis merupakan salah satu predator yang sering terdapat di pertanaman padi dan kacang tanah di daerah Bogor (Kalshoven 1981). Perkembangan kepik C. lividipennis melewati fase telur, nimfa, dan imago. Telur kepik tersebut terdapat di dalam jaringan daun padi, berwarna putih, berbentuk bulat telur, dan melewati masa inkubasi selama 8 hari. Kepik biasanya lebih memilih meletakkan telur pada bagian daun tanaman padi yang berumur 20 hari dibandingkan dengan tanaman padi yang telah berumur 40, 60, atau 75 hari (Annamalai 1984). Nimfa kepik terdiri atas lima instar dengan lama stadium masing-masing instar 2-3 hari (Annamalai & Asma 1985). Imago kepik jantan memiliki panjang tubuh lebih pendek daripada kepik betina, yaitu 2,6 mm, sedangkan yang betina 3,1 mm. Baik imago jantan maupun betina memiliki ciri-ciri pada bagian kepala serta bahu terdapat bercak hitam dan sayap berwarna hijau terang. Masa hidup imago jantan 9,6 hari, dan betina 13,3 hari. Nimfa maupun imago C. lividipennis memiliki sumber pakan yang sama, yaitu telur WBC. Semasa hidupnya, kepik C. lividipennis jantan dan betina mengonsumsi telur WBC masing-masing 43,8 dan 123,6 butir. Jika jumlah telur WBC di lapangan sedikit, kepik C. lividipennis juga dapat mengonsumsi nimfa WBC instar I, II, dan III, tetapi hal ini membuat masa hidup kepik lebih pendek dan berkurangnya kemampuan kepik dalam menghasilkan telur untuk memperbanyak keturunannya (Chua & Mikil 1989). Potensi C. lividipennis sebagai Musuh Alami (Predator) Hama N. lugens Kepik C. lividipennis merupakan salah satu musuh alami yang berperan sebagai predator telur polifag. Pada ekosistem sawah, secara alami banyak terdapat serangga fitofag yang dapat dimangsa oleh C. lividipennis, khususnya hama tanaman padi seperti Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera: Jassidae) dan N. lugens (Heong et al. 1990). Nimfa dan imago kepik mengisap telur wereng dengan cara memasukkan alat mulutnya dan mengumpulkan cairan telur, menyebabkan telur tesebut menjadi kosong (Shui 1979). Imago kepik C. lividipennis jantan rata-rata dapat mengonsumsi 10,4 butir telur, 4,7 ekor nimfa, atau 2,5 ekor imago N. virescens per hari dalam periode 10 hari, sedangkan imago kepik betina rata-rata dapat mengonsumsi 10 butir telur, 4,8 ekor nimfa, atau 3 ekor imago N. virescens per hari dalam periode yang sama (Reyes & Gabriel 1975). Kemampuan pemangsaan telur WBC oleh kepik C. lividipennis lebih tinggi dibandingkan dengan pemangsaan telur N. virescens karena telur WBC lebih dapat meningkatkan kemampuan hidup, keperidian, dan fertilitas C. lividipennis. Telur WBC yang dapat dikonsumsi kepik C. lividipennis berturutturut 22; 18; dan 6 ekor per hari untuk kepik betina, jantan, dan nimfa kepik instar III (Annamalai & Asma 1985). Kemampuan kepik C. lividipennis dalam memangsa telur WBC merupakan salah satu potensi pengendalian hama secara biologi yang menjadi salah satu pilar dari sistem PHT. Introduksi C. lividipennis yang dilakukan pada lahan percobaan yang sebelumnya telah diinfestasi WBC selama 1 minggu, dengan perbandingan populasi 2:1 dapat mengurangi populasi WBC secara efektif. Pada percobaan di rumah kaca, teknik gabungan pengendalian hama antara tanaman padi resisten dan C. lividipennis juga dapat mengurangi populasi WBC. C. lividipennis memberikan efek positif dalam mengurangi populasi WBC. Tingkat pemangsaan kepik tinggi sekitar 17,8 ekor mangsa ketika populasi kepik sekitar 1,2 ekor per hektar (Manti 1989). Penekanan populasi mangsa WBC oleh C. lividipennis terjadi di lahan saat perbandingan predator dengan mangsa mulai 1:2 sampai 1:20 (Wheeler 2001). Di lapangan, C. lividipennis juga dapat dilepaskan bersama dengan dua jenis predator lainnya seperti Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.) (Araneae: Lycosidae) dan Atypena formosana (Ol.) (Araneae: Linyphiidae) untuk mengurangi populasi telur WBC (Sigsgaard 2007). Tingkat konsumsi telur WBC oleh nimfa C. lividipennis lebih sedikit dibandingkan dengan imago C. lividipennis (Annamalai & Asma 1985). C. lividipennis lebih berpotensi dalam mengendalikan telur WBC dibandingkan dengan nimfa WBC. Menurut Marheni (2004), tingkat konsumsi imago kepik terhadap nimfa WBC tidak terlalu tinggi, yaitu hanya sekitar 0,38 ekor per hari. Peluang hidup kepik menjadi imago adalah 17%. Laju pertumbuhan intrinsik sebesar 0,11 sehingga seekor serangga betina dapat menghasilkan keturunan 25 pasang selama 1 bulan dan 652 pasang selama 2 bulan (Santosa & Sulistyo 2007). Populasi kepik C. lividipennis kadang-kadang melimpah tetapi dapat menurun karena pemakaian insektisida sintetik yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya resurjensi WBC (Kalshoven 1981). Sifat Insektisida Piper retrofractum Cabai jawa (Piper retrofractum) merupakan salah satu spesies tanaman famili Piperaceae yang akar dan buahnya memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati. Ekstrak aseton buah P. retrofractum memiliki aktivitas larvisida yang tinggi terhadap larva nyamuk instar III dan instar IV Culex quinquefasciatus Say (Diptera: Culicidae) dan Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) (Chansang et al. 2005). Serbuk buah P. retrofractum yang dicampur dengan pakan serangga dapat menghambat pertumbuhan populasi beberapa jenis hama gudang seperti imago Sitophilus oryzae (L.) (Coleoptera; Curculionidae), imago S. zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae), larva Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae), dan larva Corcyra cephalonica (St.) (Lepidoptera: Pyralidae). Serbuk buah P. retrofractum pada dosis 0,5% (w/w) dapat menghambat aktivitas peneluran imago Sitophilus spp. sebesar 100% dan dapat menghambat pertumbuhan larva T. castaneum pada dosis 5% (w/w) sebesar 90% (Trakoontivakorn et al. 2005). Ekstrak heksana buah P. retrofractum bersifat racun perut yang baik (LC50 0,156%) terhadap larva instar II Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)dan bersifat racun kontak yang lebih terbatas (LC50 0,798%) (Ferdi 2008). Senyawa aktif yang bersifat insektisida yang terdapat dalam buah P. retrofractum termasuk dalam golongan piperamida, seperti piperin, piperisida, dan guininsin (Ahn et al. 1992, Kikuzaki et al. 1993, Scott et al. 2007). Senyawa tersebut bersifat sebagai racun saraf dengan mengganggu aliran impuls saraf pada akson saraf seperti cara kerja insektisida piretroid (Lees & Burt 1988 dalam Scott et al. 2007). Piperin dari fraksi etanol buah P. nigrum dengan metode kontak dapat mematikan larva instar I Ascia monuste orseis (L.) (Lepidoptera: Pieridae), imago Acanthosceliodes obtectus Say (Coleoptera: Bruchidae), imago Brevicoryne brassicae (L.) (Hemiptera: Aphididae), imago Protopolybia exigua DeSaus (Hymenoptera: Vespidae), dan imago Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) berturut-turut 45%, 30%, 90%, 33%, dan 28% pada dosis 10 µg/serangga (de Paula et al. 2000). Piperin dapat menghambat enzim polisubstrat monooksigenase dan memiliki efektivitas yang hampir sama dengan piperonil butoksida terhadap kumbang Leptinotarsa decemlineata Say (Coleoptera: Chrysomelidae) (Scott et al. 2003) yang resisten terhadap insektisida karbamat, organofosfat, organoklorin, dan piretroid. Sifat Insektisida Tephrosia vogelii Kacang babi, Tephrosia vogelii, merupakan tumbuhan perdu tahunan yang termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, bangsa Rosales, dan suku Caesalpiniaceae. T. vogelii berasal dari Afrika timur, terdapat di Assam dan India selatan (Crooker 1983 dalam Prakash & Rao 1997), serta di Indonesia (Martono 2004). Tumbuhan tersebut tumbuh tegak, bercabang banyak, tinggi antara 3 dan 5 m, berdaun lebar, daun berwarna hijau, ukuran biji kecil-keraswarna hitam, berakar tunggang, batang berkayu bulat, dapat tumbuh pada ketinggian antara 300 dan 1200 m dpl, dan tahan terhadap pemangkasan (Deptan 2006). Perlakuan dengan ekstrak heksana daun T. vogelii 10 g/kg pada benih kacang-kacangan dapat mengakibatkan kematian kumbang Acanthoscelides obtectus, Callosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera: Bruchidae), dan C. chinensis (L.) (Coleoptera: Bruchidae) sebesar 18-23%. Selain itu, perlakuan dengan ekstrak tersebut dapat menurunkan jumlah telur yang diletakkan imago dan memperpendek masa hidup imago ketiga spesies kumbang tersebut (Koona & Dorn 2005). Perlakuan ekstrak aseton daun T. vogelii 0,5% dengan menggunakan metode kontak dapat menyebabkan 89% larva Pieris rapae L. (Lepidoptera: Pieridae) gagal berpupa secara normal, sedangkan perlakuan ekstrak 0,1% dapat menyebabkan kematian telur P. rapae sebesar 98% (Chiu 1989). Perlakuan dengan ekstrak etanol daun T. vogelii 100 µl yang dicampurkan dengan benih kacang tunggak dapat mengurangi jumlah telur C. maculatus yang menetas sebesar 32% (Boeke et al. 2007). Ekstrak T. vogelii paling bersifat repellent terhadap imago S. zeamais pada konsentrasi 7,5-10% (w/w) dan dapat menghambat pertumbuhan imago sebesar 87,5%, diikuti dengan konsentrasi 2,5% (w/w) yang menghambat serangga sebesar 65% (Ogendo et al. 2003). Ekstrak heksana daun T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan nilai LC50 dan LC95 pada perlakuan metode residu pada daun masing-masing 0,14% dan 0,34% (Wulan 2008). T. vogelii mengandung senyawa rotenoid, termasuk rotenon, tefrosin, dan deguelin (Gambar 1). T. vogelii. Rotenon banyak terdapat pada bagian daun tanaman Kandungan rotenon semakin tinggi dengan bertambahnya umur tanaman (Hagemann et al. 1972). Bahan aktif ini merupakan racun berspektrum luas dan memiliki masa residu singkat (Ogendo et al. 2003). Rotenon aktif terhadap berbagai jenis hama menggigit-mengunyah serta menusuk-mengisap yang bersifat sebagai racun kontak dan racun perut (Caboni et al. 2004). Pada saat rotenon memasuki tubuh serangga, serangga dapat mengalami kesulitan bernafas, konsumsi gas oksigen berkurang, gangguan hati, dan kematian (Cremlyn 1991). Hal ini akibat cara kerja rotenon sebagai racun respirasi sel (Buss et al. 2009) yang menghambat proses oksidasi ganda NADH2 (Fuchs & Schroder 1983), serta dapat menghambat transpor elektron di dalam mitokondria (Cremlyn 1991). (a) (b) (c) Gambar 1 Struktur kandungan senyawa aktif Tephrosia vogelii : (a) rotenon (b) deguelin, dan tefrosin (c) (Sumber: Caboni et al. 2004) Potensi Campuran Insektisida Nabati Ekstrak tumbuhan dapat digunakan dalam bentuk tunggal maupun campuran. Campuran ekstrak tumbuhan dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus. Pemakaian campuran tersebut dapat menghemat bahan baku karena campuran yang sinergis digunakan pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis masing-masing ekstrak tunggal, serta dapat mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis tumbuhan mengingat tumbuhan sumber ekstrak tidak selalu terdapat melimpah di suatu daerah (Dadang & Prijono 2008). Hasil pengujian campuran dua ekstrak dari tiga ekstrak, yaitu ekstrak eter buah P. retrofractum, ekstrak eter biji Annona squamosa, dan ekstrak metanol ranting Aglaia odorata dengan metode residu daun, menunjukkan bahwa campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa dengan konsentrasi 0,1% memiliki efek sinergis terhadap larva C. pavonana untuk semua perbandingan, yaitu 1:2, 1:1, dan 2:1 (w/w), sedangkan campuran A. odorata dan P. retrofractum dengan konsentrasi 0,1% menunjukkan pengaruh sinergis hanya pada perbandingan 1:1 terhadap larva C. pavonana (Dadang et al. 2007). Campuran ekstrak etil asetat biji Aglaia harmsiana dan ekstrak daun Dysoxylum acutangulum (4:1) dengan menggunakan metode residu pada daun brokoli menunjukkan efek sinergistik terhadap larva instar III Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae). Nilai LC50 dan LC95 campuran ekstrak D. acutangulum dan A. harmsiana (4:1) masing-masing 0,019% dan 0,101%. Nilai tersebut lebih kecil daripada nilai LC 50 dan LC95 ekstrak D. acutangulum dan A. harmsiana yang digunakan secara terpisah, yaitu 0,031% dan 0,103% untuk ekstrak D. acutangulum, serta 0,054% dan 0,129% untuk ekstrak A. harmsiana (Yuswanti & Prijono 2004). Campuran ekstrak metanol P. retrofractum dengan ekstrak metanol T. vogelii (1:1) bersifat sinergistik terhadap larva instar II C. pavonana dengan nilai LC50 dan LC95 masing-masing 0,159% dan 0,379% (Saryanah 2008). Serbuk daun T. vogelii dan Nicotiana tabacum dapat lebih mengurangi tingkat parasitisme Uscana lariophaga Steffan (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dan Dinarmus basalis Rondani (Hymenoptera: Pteromalisae) yang merupakan parasitoid telur dan larva C. maculatus dibandingkan dengan penggunaan serbuk daun tanaman mimba, Azadirachta indica (Boeke et al. 2003). Campuran ekstrak ranting D. acutangulum dan buah P. retrofractum (1:10) dengan perlakuan kontak topikal bersifat antagonis terhadap larva instar II Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) baik pada LD50 maupun LD95 dengan nisbah ko-toksisitas masing-masing 0,93% dan 0,36%. Campuran tersebut bersifat selektif terhadap musuh alaminya, yaitu nimfa instar II kepik Sycanus annulicornis (Dohrn.) (Hemiptera: Reduviidae) sehingga aman untuk diaplikasikan di lapangan (Frensiska 2005). Sifat Insektisida Imidakloprid Insektisida sintetik imidakloprid (1-(6-kloro-3-piridilmetil)-N-nitroimidazolidin-2-ilideneamin) (Gambar 2) termasuk golongan senyawa kloronikotin (neonikotinoid) yang bersifat sebagai racun kontak dan racun perut, memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia, dan masa efikasi yang cukup lama terhadap hama sasaran (Buss et al. 2009). Imidakloprid digunakan untuk mengendalikan serangga menusuk-mengisap seperti WBC, kutu-kutuan, trips, dan kutu kebul. Insektisida tersebut umum digunakan pada tanaman padi, jagung, kentang, sayuran, bit gula, buah buahan, dan kapas serta bersifat sistemik saat digunakan pada perlakuan benih dan tanah (Nagel & Thielert 2006). Imidakloprid terserap melalui perakaran tanaman dan berdifusi di dalam jaringan kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman sehingga cairan tanaman tercampuri imidakloprid. Gambar 2 Struktur kimia imidakloprid (Sumber: Kagabu & Matsuno 1997) Cara kerja golongan neonikotinoid termasuk imidakloprid hampir sama dengan nikotin. Imidakloprid awalnya masuk ke reseptor saraf serangga yang berfungsi menerima asetilkolin, pembawa impuls saraf dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya. Penghambatan reseptor asetilkolin mengakibatkan akumulasi asetilkolin yang dapat menyebabkan serangga mengalami kelesuan, kesulitan bernapas, kehilangan keseimbangan, kejang-kejang, kelumpuhan, dan kematian. Efek imidakloprid ini lebih menimbulkan kerugian terhadap hewan berdarah dingin yaitu serangga dibandingkan dengan hewan berdarah panas (Buss et al. 2009).