BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seteru tak hanya ada di dalam perang dunia militer. Pertarungan abadi antara pendukung klub sepak bola West Ham United dengan pendukung Milwall selalu merepotkan pihak kepolisian kota London setiap pertandingan berlangsung. Tindakan anarki yang mengatasnamakan harga diri klub memang sudah menjadi tradisi suporter, terutama di Inggris Raya. Ribuan poundsterling dihabiskan sia-sia untuk memperbaiki dampak kerusuhan suporter sepak bola. Walaupun tak sedikit pula dana yang digelontorkan untuk mengamankan pertandingan sepak bola yang berlangsung setiap pekan. Sekelompok penonton yang berdiri dalam satu visi dan misi untuk mendukung pelaku olah raga mungkin dapat dikatakan sebagai definisi sempit dari kata supporter itu sendiri. Banyak cara yang dilakukan seorang suporter untuk mengekspresikan dukungannya pada idola yang dibelanya. Mulai dari membuat banner, bernyanyi, menyalakan kembang api, hingga berkelahi pun dilakukan untuk sebuah kebanggaan berdiri sebagai suporter. Dalam perhelatan dunia itu sendiri suporter, sepak bola memang masih mendapatkan predikat terbaik dalam penampakannya. Aksi-aksi yang memukau hingga anarkis pun dilakukan dengan mengatasnamakan kebersamaan, kebanggaan, serta rasa persatuan atas klub yang dibela. Dalam geliat suporter sepak bola Inggris, dikenal istilah hooligan yang melegenda dan eksis hingga sekarang. Hooligan sendiri mengandung artian fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan dengan sangat matang untuk sebuah perkelahian. Mereka sangat jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim idolanya atau menggunakan atribut tim kesayangan, dan 1 justru memilih berpakaian bermerek mahal agar tidak terdeksi oleh pihak keamanan dan pendukung musuh. Di sinilah muncul kultur baru yang bernama casuals (Thornton, 2015: 1). Mereka adalah hooligan dengan pakain bermerek mahal yang pada awalnya digunakan agar bisa menyusup ke dalam bar ketika sedang melakukan pertandingan di kandang lawan. Film-film pun banyak dibuat untuk menggambarkan aksi-aksi hingga kehidupan para hooligan yang begitu kompleks. Semacam Green Street (Lexi Alexander, 2005), The Firm (Nick Love, 2009), Cass (Jon S. Baird, 2008), dan lain sebagainya, dibuat sebagai representasi kemakmuran budaya hooligan di tanah suporter sepak bola Inggris Raya. Film-film inipun tak hanya sekadar hiburan, mulai dari cara bernyanyi, atribut, chant (yel-yel), hingga budaya minum-minuman keras, diperlihatkan sebagai paket budaya yang siap disebarkan ke seluruh penjuru jangkauan. Selain itu, media sosial seperti Youtube juga berperan dalam memberikan informasi tentang budaya casuals. Video-video yang diambil dan diunggah dalam kaitannya dengan hooliganisme atau budaya casuals banyak juga dilihat untuk memberikan gambaran realitas suporter di Britania Raya. Ditopang pula dengan media-media lain yang semakin memperbesar arus informasi tentang budaya casuals. Di Indonesia sendiri, media digunakan oleh para suporter lokal yang mengaku ingin menguubah gaya dukung mereka kepada klub kesayangan untuk mencari referensi. Gaya lama yang sudah dianggap kuno dan terkesan kampungan ala suporter lokal pun ingin disaingi dengan teriakan bahasa Inggris yang terkesan modern. Atribut mode yang berkelas dengan merek-merek casuals khas Eropa seperti Fila, Adidas, Lacoste, hingga Stone Island semakin menambah gairah untuk menjalani kehidupan seperti yang diperlihatkan dalam realitas media. Pada awal tahun 2014 yang lalu, budaya casuals mulai merambah wilayah Kota Solo. Klub sepak bola mereka yaitu PERSIS (Persatuan Sepak Bola Indonesia Kota Surakarta) SOLO, merupakan legenda dengan menjuarai 7 kali piala perserikatan di era 1950an hingga 1960an. Awal berdiri dengan nama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), klub ini bisa dibilang sebagai pelopor dunia sepak bola di Indonesia. Didirikan pada tahun 1923 oleh Sastrosaksono dari 2 Klub Mars dan R. Ng. Reksodiprojo dan Sutarman dari Klub Romeo, VVB bahkan berdiri sebelum adanya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Bermarkas di stadion Manahan Solo yang mempunyai kapasitas penonton 35.000, PERSIS SOLO disokong oleh dukungan loyalis mereka, Pasoepati (Pasukan Suporter Paling Sejati). Basis suporter ini cukup besar, 18.572 anggota sudah terdaftar dalam laman facebook mereka dan jumlahnya masih terus bertambah. Jenis-jenis dukungan yang beragam juga meliputi perjalanan PERSIS SOLO dalam bertanding. Mulai dari Ultras ala Italia, hinchas ala Amerika Selatan, hingga yang terbaru yaitu Casuals ala Britania Raya. Budaya casuals yang mengakar dari Inggris baru-baru ini memang coba dicontoh dan diserap dalam tradisi mendukung klub lokal Indonesia, termasuk di kota Surakarta. Para suporter berusaha meramu gaya mendukung mereka menjadi british style ala casuals. Pakaian dengan merek-merek khas seperti Fila, Adidas, Ellesse, yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah mulai digemari dan banyak dicari oleh kalangan suporter. Walaupun tak sedikit juga yang memilih membeli barang bekas, karena uang mereka yang terbatas. Terlebih letak geografis yang kurang menguntungkan, membuat para suporter menggantungkan harapan kepada media massa maupun online untuk dapat menggali informasi mengenai budaya casuals tersebut. Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, peneliti hendak mendalami bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO untuk memahami dan membentuk kultur casuals. Peneliti juga ingin menggali apa sajakah media yang digunakan para suporter untuk dapat meraih informasi mengenai kultur baru mereka itu. B. Rumusan Masalah Bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO dalam membentuk kultur casuals? 3 C. Tujuan Penelitian Mengetahui perkembangan suporter sepak bola lokal Indonesia, khususnya mengenai bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO dalam membentuk kultur casuals. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam kajian ilmu komunikasi khususnya dalam kultivasi media dan media baru. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sebuah informasi dan acuan khalayak serta referensi tambahan terhadap penelitian lanjutan tentang media sebagai referensi informasi dengan tema casuals dalam dunia suporter di Indonesia. E. Kerangka Pemikiran 1. Media dan Konstruksi Identitas Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia (Berger dan Luckmann, 2012:11-19). Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semisekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. 4 Melalui Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas dalam Masyarakat Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjectivasi, dan internalisasi. Dengan demikian sifat-sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas. Berger menjelaskan bahwa realitas itu bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk secara ilmah. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Berger dan Luckmann, 2012:28). Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam hal ini komunikasi dilihat sebagai faktor konstruksi itu sendiri. Konstruksi sosial merupakan sesuatu hal yang di bentuk atau di konstruksikan dalam masyarakat yang berupa suatu kebiasaan dan berlangsung secara terus menerus dan sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam masyarakat 5 tersebut. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas. Dalam hal ini proses konstruksi sosial juga terjadi dalam beberapa tahap, tahap eksternalisasi adalah ketika seseorang tidak tahu apa itu casuals dan tidak bergabung ke dalam sebuah komunitas casuals. Tahap objektivikasi adalah tahap dimana seseorang sudah mulai paham apa itu casuals, namun belum melibatkan dirinya sebagai seorang casuals. Tahap yang terakhir adalah internalisasi, tahap dimana seseorang telah paham apa itu casuals dan menganggap bahwa dirinya adalah seorang casuals. Konsep diri seseorang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan. Hal tersebut merujuk pada pembentukan identitas sosial yang berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga dari keanggotaan dalam kelompok tertentu. Hogg (dalam Jacobson, 2003: 3) menjelaskan bahwa teori identitas sosial merupakan sebuah teori psikologi sosial hubungan antara kelompok, proses kelompok, dan diri sosial. Teori identitas sosial (social identity) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial, dan konflik antar kelompok (Sarwono, 1999: 90). Menurut Tajfel, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan individu menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan-hubungan sosial yang rumit. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa identitas dibentuk berdasarkan keanggotaan kelompok. Menurut teori identitas sosial, individu dimotivasi untuk 6 berperilaku dalam mempertahankan dan mendorong harga dirinya (self-esteem). Memiliki harga diri yang tinggi merupakan suatu persepsi tentang dirinya sendiri, seperti seseorang yang menarik, kompeten, menyenangkan, dan memiliki moral yang baik. Atribut tersebut membuat individu lebih tertarik terhadap dunia sosial di luar dirinya yang membuat dia memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang positif dengan individu lainnya. Ketika seseorang tidak memiliki harga diri maka menyebabkan seseorang menjadi terisolasi. Teori identitas sosial memiliki tiga komponen utama, yakni kategorisasi (categorization), identifikasi (identification), dan perbandingan sosial (social comparison) (Tajfel dikutip McLeod, 2008: 9). a. Kategorisasi Pada tahap pertama ini, obyek dikategorisasi untuk memahami dan mengidentifikasi mereka. Dengan cara yang hampir sama, kita mengategorikan orang (termasuk diri kita) untuk memahami lingkungan sosial. Kategori sosial merupakan pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Jika kita dapat menetapkan seseorang dalam kategori pekerjaan supir bus maka tidak akan berjalan normal tanpa menggunakan kategori dalam konteks bus. Kategorisasi dilihat sebagai sistem orientasi yang membantu untuk membuat dan menentukan tempat individu dalam masyarakat. Dengan kata lain, individu dikategorikan untuk lebih memahami saat berhubungan dengan mereka. Mengingat seseorang dapat menjadi anggota dari berbagai kelompok, maka individu memiliki identitas sosial untuk setiap kelompok. b. Identifikasi Dalam identifikasi, individu mengadopsi identitas kelompok yang sudah dikategorikan oleh diri kita sendiri. Misalnya, seseorang telah dikategorikan oleh dirinya sendiri sebagai mahasiswa maka kemungkinan orang itu akan mengadopsi identitas mahasiswa dan 7 mulai bertindak dengan cara-cara yang diyakininya sebagai tindakan seorang mahasiswa. Ada makna emosional untuk identifikasi dengan kelompok dan harga diri seseorang akan menjadi terikat dengan keanggotaan kelompok. c. Perbandingan sosial Tahap akhir adalah perbandingan sosial. Setelah seseorang dikategorikan sebagai bagian dari kelompok dan diidentifikasi dengan kelompok, selanjutnya akan ada kecenderungan untuk membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Jika harga diri mereka adalah untuk mempertahankan kelompoknya lebih baik dari kelompok lain, maka hal ini penting untuk memahami prasangka. Pasalnya, setelah dua kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai saingan, maka para anggota kelompok juga akan menjaga harga diri mereka. Teori identitas sosial juga memperlihatkan bahwa individu menggunakan kelompok sosial untuk mempertahankan dan mendukung identitas mereka secara pribadi (Tajfel dalam Sarwono, 1999: 97). Setelah bergabung dengan kelompok, individu akan berpikir bahwa kelompok lebih unggul dari kelompok lain. Dengan demikian meningkatkan citra mereka sendiri. Dalam teori identitas sosial, identitas pribadi berasal dari frame klasifikasi diri yang didasarkan pada kesamaan dan perbedaan antar pribadi dengan anggota kelompok lainnya. Jika teori identitas hanya fokus mengenai struktur dan fungsi identitas seseorang di lingkungan masyarakat, identitas sosial berfokus pada struktur dan fungsi identitas yang berkaitan keanggotaan kelompok. Dalam penelitian di bidang olahraga terutama yang membahas fans biasanya lebih fokus pada teori identitas sosial. Namun, Jacobson (2003) berpendapat bahwa teori identitas diri juga harus digunakan. Pasalnya, proses pembentukan identitas memerlukan individu untuk menentukan dirinya sendiri dalam hubungan sosial. Saat menciptakan identitas sebagai fan, individu akan mengembangkan identitas pribadi, mengidentifikasi sosial, atau keduanya. Teori identitas menunjukkan bahwa individu memiliki pilihan dan mengkaji mengapa 8 mereka membuat pilihan yang mereka lakukan. Pertanyaan-pertanyaan akan muncul mengapa mereka memilih tim tertentu. Selanjutnya, jika identitas sudah tercipta melalui interaksi, interaksi seperti apa yang membuat individu menentukan pilihannya. Hogg membagi dua tipe identitas: identitas diri (personal identity) dan identitas sosial (social identity). Kedua identitas itu nantinya membentuk self image. Identitas sosial yang dimiliki oleh seseorang akan selalu dipengaruhi oleh identitas pribadi yang melekat dan pengaruh lingkungan sosial dimana dia mengaitkan diri sebagai bagian dari kelompok. Ketika kita mulai sadar sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu, maka mulai dari situlah identitas sosial kita mulai terbentuk. Identitas sosial diasumsikan sebagai keseluruhan bagian dari konsep diri masing-masing individu yang berasal dari pengetahuan mereka terhadap sebuah kelompok, atau kelompokkelompok sosial bersama dengan nilai dan signifikansi emosional terhadap keanggotaan tersebut (Sarwono, 1999:102). Normalnya, suatu identitas sosial biasanya menghasilkan perasaan yang positif. Seseorang akan menggambarkan kelompok sendiri yang diidentifikasikan memiliki norma yang baik. Misalnya, ketika seseorang berada di sebuah universitas favorit sehingga menjadi bagian dari kelompok tersebut merupakan bagian dari keinginannya. Maka, hal itu membuat diri seseorang nyaman karena senang menjadi bagian dari mereka. Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas positif yang ingin dipertahankan olehnya. Maka itu, individu yang memiliki identitas sosial positif, baik dalam wacana maupun tindakannya, akan sejalan dengan norma kelompoknya. Jika individu tersebut diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya. 2. Perilaku Pencarian Informasi Perilaku pencarian informasi adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku pencarian informasi merupakan tindakan 9 yang dilakukan oleh pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasi. Tindakan setiap orang pasti berbeda. Beberapa faktor akan mempengaruhi cara pengguna mencari informasi. Baik dari segi tingkat kebutuhan yang berbeda maupun dari kemampuan pengguna. Perilaku pencarian informasi berhubungan erat dengan kebutuhan informasi. Ada beberapa informasi yang ditemukan tanpa melakukan pencarian, tetapi ketika seseorang membutuhkan informasi dengan sendirinya akan tercipta sebuah perilaku untuk mencari informasi yang dibutuhkan (Wilson, 2000:28). Wilson (2000) menjelaskan bahwa perilaku pencarian informasi adalah Perilaku pencarian informasi (information seeking behavior) merupakan perilaku di tingkat mikro, berupa perilaku mencari yang ditunjukkan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi. Perilaku ini terdiri dari berbagai bentuk interaksi dengan sistem, baik di tingkat interaksi dengan komputer, misalnya penggunaan mouse atau tindakan meng-klik sebuah link, maupun di tingkat intelektual dan mental, misalnya penggunaan strategi Boolean atau keputusan memilih buku yang paling relevan di antara sederetan buku di rak perpustakaan. Perilaku pencarian informasi bertujuan untuk mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhan individu. Perilaku pencarian ini dapat menggunakan sumber informasi manual seperti buku atau dengan menggunakan media atau internet. Dalam artikelnya, Wilson berpendapat bahwa penelitian di kalangan perancang dan pembuat sistem informasi selama ini selalu menyamakan “kebutuhan informasi” dengan bagaimana seorang pemakai sistem berperilaku ketika ia berhadapan dengan sebuah sistem informasi. Proses pencarian informasi adalah kegiatan pengumpulan informasi sebagai sesuatu yang kemudian diasimilasikan ke dalam struktur pengetahuan seseorang. Dari sini terlihat bagaimana teori-teori tentang kognisi menjadi bagian dari proses interaksi pemakai dengan sistem informasi, dan bagaimana struktur kognitif berubah oleh informasi yang ditemukan (Pendit, 2003:33). Pencarian dan penggunaan informasi terdiri dari suatu rangkaian aktifitas dan perilaku yang kompleks. Penggunaan suatu layanan atau informasi dari media hanyalah sebuah fragmen dari keseluruhan proses kegiatan seseorang dalam suatu lingkungan 10 pekerjaan tertentu. Pola perilaku penggunaan informasi seseorang hanyalah merupakan sebagian kecil dari pola pencarian dan peningkatan pengetahuan seseorang. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perilaku pencarian dan penggunaan informasi tidak dapat dilihat hanya dari pengamatan terhadap permintaan informasi ketika seseorang memasuki sebuah perpustakaan, menggunakan internet, menonton film atau sistem pelayanan informasi lainnya. Pengertian ‘tradisional’ mengasumsikan bahwa setiap orang yang masuk kesebuah sumber informasi sudah mempunyai gambaran yang sangat jelas dan tepat tentang kebutuhan informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat tentang kebutuhan informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat pula dapat mewujudkan kebutuhan itu menjadi permintaan (Wilson, 2000:30). Selanjutnya untuk menyimpulkan perilakunya, kita tinggal mendata saja jenis-jenis permintaan itu. Padahal seseorang walau bagaimana, adalah bagian dari suatu sistem tertentu. Tempat dimana seseorang hidup dan bekerja akan menentukan perilaku pencarian dan penggunaan informasinya. Jadi, konteks lingkungan responden ini harus pula diamati, dan hal ini tidak dapat dilakukan hanya dengan mendata permintaan informasinya. Wilson (2000) menyatakan bahwa perilaku pencarian informasi tidak hanya ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat kognitif atau berhubungan dengan pemecahan persoalan (pengambilan keputusan), tetapi kebutuhan seseorang untuk menjaga status yang dapat dipuaskan dengan perasaan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang suatu topik dari bawahannya, juga akan menimbulkan perilaku pencarian informasi. Namun pendapat Buckland (dalam Wilson, 2000: 33) menyatakan bahwa perilaku informasi baru timbul, pada saat kebutuhan informasi seseorang telah diekspresikan dalam bentuk permintaan. Perilaku pencarian informasi terjadi karena adanya kebutuhan informasi yang dirasakan seseorang. Kebutuhan tersebut bisa disebabkan oleh desakan dari luar seperti tugas-tugas yang harus diselesaikan, ataupun karena faktor dari dalam 11 yaitu untuk mewujudkan kepuasan dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian informasi adalah pencari informasi, keadaan/masalah informasi, bidang pengetahuan, sistem penelusuran dan hasil yang didapat (Wilson, 2000: 37). Perilaku pencarian informasi yang akan diteliti lebih ditekankan pada persepsi responden terhadap tingkat pentingnya sumber-sumber informasi yang dibutuhkan, cara responden memenuhi kebutuhan informasinya serta alasan pemilihan sumber-sumber informasi yang dipergunakan. a. Sumber informasi Sumber informasi dapat diperoleh dalam dokumen dan non-dokumen. Sumber informasi yang berupa dokumen dapat berbentuk buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian. Sedangkan sumber informasi non-dokumen adalah manusia, yakni teman, pustakawan, pakar, atau spesialis informasi. Seperti yang dinyatakan oleh Setiarso (1997) bahwa sumber informasi juga terdapat pada: i. Manusia : Manusia sebagai sumber informasi dapat kita hubungi baik secara lisan maupun tertulis. Yang lazim digunakan untuk kontak langsung dengan sumber ini ialah pertemuan dalam bentuk ceramah, panel diskusi, konferensi, lokakarya, seminar dan lain-lain. ii. Organisasi : Badan atau lembaga penelitian baik milik pemerintah maupun swasta yang bergerak dalam bidang sejenis merupakan sumber informasi penting termasuk industry dan himpunan profesi. Mereka memiliki kemampuan karena mempunyai fasilitas berupa tenaga peneliti, peralatan atau laboratorium, perpustakaan, dan jasa informasi yang tersedia. iii. Literatur : Literatur atau publikasi dalam bentuk terbaca maupun mikro merupakan sumber informasi yang cukup majemuk. Literatur dapat dikelompokkan menjadi: i. literatur primer : bentuk dokumen yang memuat karangan yang lengkap dan asli. Jenisnya berupa makalah, koleksi karya ilmiah, buku pedoman, buku teks, publikasi resmi, berkala, dan lain-lain. 12 ii. Literatur sekunder : disebut juga sebagai sarana dalam penemuan informasi pada literatur primer. Jenisnya berupa indeks, bibliografi, abstrak, tinjauan literatur, katalog induk, dan lain-lain Sumber informasi merupakan sarana penyimpanan informasi. Sumber informasi yang beraneka ragam bentuk atau wadahnya, perlu diatur dan ditata dengan baik agar mudah dan cepat ditemukan sewaktu-waktu dibutuhkan. Informasi yang kita temukan sehari-hari bersumber dari mana saja dan sumber informasi tersebut adakalanya tidak memiliki tingkat relevansi yang tinggi. b. Kebutuhan Informasi Manusia membutuhkan informasi karena setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh informasi dari manapun dan mereka boleh saja menggunakan dan menuntut hak itu sesuai dengan status dan kedudukannya. Informasi juga memungkinkan orang lebih efektif dan efisien dalam usaha dan pengembangan diri. Vickery (1973:33) mengatakan bahwa kebutuhan informasi dapat dipelajari atau diketahui karena muncul dari kegiatan sehari-hari dari masyarakat. Kebutuhan informasi dari suatu kelompok praktisi dapat diketahui apakah digunakan untuk penelitian atau digunakan untuk kepentingan sendiri. Wilson (2000) juga mengatakan akar permasalahan dari perilaku pencarian informasi adalah konsep kebutuhan informasi. Sebenarnya kebutuhan tersebut merupakan pengalaman subjektif yang hanya ada di benak orang yang memerlukannya, yang karenanya tidak dapat diketahui secara langsung oleh seorang peneliti. Pengalaman akan kebutuhan ini hanya dapat ditemukan melalui proses deduksi dari perilaku atau melalui laporan dari orang yang melakukannya. Lebih lanjut Wilson mengatakan bahwa kebutuhan informasi bukan merupakan kebutuhan primer, tetapi merupakan kebutuhan sekunder yang muncul karena kebutuhan yang sifatnya lebih mendasar dan dikategorikan sebagai kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan- kebutuhan dasar tersebut merupakan kebutuhan afeksi, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan kognitif. 13 Khulthau (1991) menguraikan bahwa, kebutuhan informasi dalam ilmu informasi diartikan sebagai sesuatu yang lambat laun muncul dari kesadaran yang samar-samar mengenai sesuatu yang hilang dan pada tahap berikutnya menjadi keinginan untuk mengetahui tempat informasi yang akan memberikan konstribusi pada pemahaman akan makna. Kesadaran seseorang terhadap sesuatu yang hilang atau yang kurang dalam dirinya akan mendorong keinginan untuk mengetahui sumber informasi. Kesadaran tersebut didukung oleh motivasi. Motivasi merupakan dorongan yang dari diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan merupakan perilaku untuk mencari informasi yang dianggap kurang atau dibutuhkan. Kebutuhan informasi didorong oleh apa yang dinamakan sebagai “a problematic situation” (Wersig dan Windel, 1985: 13). Ini merupakan situasi yang terjadi dalam diri manusia yang dirasakan tidak memadai oleh manusia yang bersangkutan untuk mencapai tujuan tertentu dalam hidupnya. Ketidakmemadaian ini menyebabkan dia merasa harus memperoleh masukan (input) dari sumbersumber di luar dirinya maupun yang telah dimilikinya. Empat jenis kebutuhan terhadap informasi menurut Saepudin (2009) adalah : i. Current need approach yaitu pendekatan kepada kebutuhan pengguna informasi yang sifatnya mutakhir. Pengguna berinteraksi dengan sistem informasi dengan cara yang sangat umum untuk meningkatkan pengetahuannya. Jenis pendekatan ini perlu ada interaksi yang sifatnya konstan antara pengguna dan sistem informasi. ii. Everyday need approach yaitu pendekatan terhadap kebutuhan pengguna yang sifatnya spesifik dan cepat. Informasi yang dibutuhkan pengguna merupakan informasi yang rutin dihadapi oleh pengguna. iii. Exhaustic need approach yaitu pendekatan terhadap kebutuhan pengguna akan informasi yang mendalam, pengguna informasi mempunyai ketergantungan yang tinggi pada informasi yang dibutuhkan dan relevan, spesifik, dan lengkap. 14 iv. Catching-up need approach yaitu pendekatan terhadap pengguna akan informasi yang ringkas, tetapi juga lengkap khususnya mengenai perkembangan terakhir suatu subyek yang diperlukan dan hal-hal yang sifatnya relevan. Pengguna membutuhkan informasi yang akurat, relevan, ekonomis cepat, tepat, serta mudah mendapatkannya. Pada saat ini pengguna dihadapkan kepada beberapa permasalahan, seperti banjir informasi, informasi yang disajikan tidak sesuai, kandungan informasi yang diberikan kurang tepat, jenis informasi kurang relevan, bahkan ada juga informasi yang tersedia namun tidak dapat dipercaya. Permasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan bagi penyedia informasi. Informasi menjadi kebutuhan pokok bagi pengguna tertentu, sehingga jika kebutuhan informasinya tidak terpenuhi akan menjadi masalah bagi pengguna. Informasi dibutuhkan pengguna bertujuan untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan keterampilan yang pada akhirnya dapat merubah sikap dan perilakunya. Kebutuhan informasi bagi setiap pengguna berbeda-beda antara pengguna yang satu dengan lainnya. Kebutuhan informasi bagi pengguna dapat diketahui dengan cara melakukan identifikasi kebutuhan pengguna. Sedangkan menurut Krikelas (1983) konsep tentang kebutuhan informasi dapat dipahami secara umum sebagai suatu kesenjangan antara struktur pengetahuan yang dimiliki dengan yang seharusnya dimiliki. Konsep ini juga dapat dibedakan antara an information needs dan an information wants. An information want adalah keinginan terhadap informasi untuk menghilangkan keragu-raguan, sementara an information needs adalah suatu kondisi, baik diterima/diakui atau tidak oleh seseorang terhadap informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya penelitian terhadap perilaku pencarian informasi memperhatikan keadaan psikologis yang mampu menimbulkan kebutuhan (needs) saja, tetapi juga harus mengamati terhadap apa yang disebut Belkin (1985) sebagai Anomalous state of knowledge (ASK). 15 Kondisi seperti ini yang muncul manakala seseorang merasa pengetahuannya akan sesuatu baik dari kegiatan atau kondisi kehidupannya kurang dari semestinya. Ada kesenjangan atau ketidakpastian dalam keseluruhan struktur pengetahuan seseorang yang mendasari kegiatannya. Hal ini dapat menjadi kunci bagi pemahaman tentang kebutuhan informasi seseorang, bagaimana caranya memenuhi kebutuhan itu dan bagaimana akhirnya informasi itu dimanfaatkan (Belkin dan Vickery, 1985). Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, maka dalam penelitian ini tidak diamati secara langsung tentang penyebab sehingga seseorang memerlukan informasi, namun lebih ditekankan pada kegiatan (action) mahasiswa dalam mencari informasi tersebut yang dikaitkan dengan kebutuhannya dalam mengerjakan tugas kuliah. c. Perilaku Pencarian Informasi Wilson (2000) mengartikan perilaku (behavior) sebagai: tingkah laku yang ditimbulkan dari diri seseorang, segala sesuatu yang dilakukan oleh benda hidup yang meliputi tindakan dan respons terhadap stimulant, dan respon seseorang, sekelompok orang atau spesies dari lingkungannya. Perilaku pencarian informasi adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku pencarian informasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasi. Tindakan setiap orang pasti berbeda. Beberapa faktor akan mempengaruhi cara pengguna mencari informasi. Baik dari segi tingkat kebutuhan yang berbeda maupun dari kemampuan pengguna. Perilaku pencarian informasi berhubungan erat dengan kebutuhan informasi. ada beberapa informasi yang ditemukan tanpa melakukan pencarian, tetapi ketika seseorang membutuhkan informasi dengan sendirinya akan tercipta sebuah perilaku untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Wilson juga menjelaskan bahwa perilaku pencarian informasi adalah Perilaku pencarian informasi (information searching behavior) merupakan perilaku di tingkat mikro, berupa perilaku mencari yang ditunjukkan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi. Perilaku ini terdiri dari berbagai bentuk interaksi dengan sistem, 16 baik di tingkat interaksi dengan komputer, maupun di tingkat intelektual dan mental. Perilaku pencarian informasi bertujuan untuk mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhan individu. Dalam hal ini dapat menggunakan sumber informasi manual seperti buku atau dengan menggunakan internet. Dalam artikelnya, Wilson berpendapat bahwa penelitian di kalangan perancang dan pembuat sistem informasi selama ini selalu menyamakan “kebutuhan informasi” dengan bagaimana seorang pemakai sistem berperilaku ketika ia berhadapan dengan sebuah sistem informasi. Pertanyaan utama yang menjadi masalah pokok dalam penelitian tentang pengguna sebuah sistem selama ini adalah “bagaimana seseorang menggunakan sebuah sistem informasi?”, dan bukan apa kebutuhan informasinya serta bagaimana perilaku pencarian informasinya dapat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan lain dengan hidup seseorang. Proses pencarian informasi adalah kegiatan pengumpulan informasisebagai-sesuatu yang kemudian diasimilasikan ke dalam struktur pengetahuan seseorang. Dari sini terlihat bagaimana teori-teori tentang kognisi menjadi bagian dari proses interaksi pemakai dengan sistem informasi, dan bagaiman struktur kognitif pemakai berubah oleh informasi yang ditemukan (Pendit, 2003: 33). Pencarian dan penggunaan informasi terdiri dari suatu rangkaian aktifitas dan perilaku yang kompleks. Penggunaan suatu layanan atau informasi dari perpustakaan hanyalah sebuah fragmen dari keseluruhan proses kegiatan seseorang dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu. Perilaku pencarian informasi tidak hanya ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat kognitif atau berhubungan dengan pemecahan persoalan (pengambilan keputusan), tetapi kebutuhan seseorang untuk menjaga status yang dapat dipuaskan dengan perasaan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang suatu topik dari bawahannya, juga akan menimbulkan perilak pencarian informasi (Wilson, 2000:49). Namun pendapat Buckland (1988) menyatakan bahwa perilaku informasi baru timbul, pada saat kebutuhan informasi seseorang telah 17 diekspresikan dalam bentuk permintaan. Perilaku pencarian informasi terjadi karena adanya kebutuhan informasi yang dirasakan seseorang. Kebutuhan tersebut bisa disebabkan oleh desakan dari luar seperti tugas-tugas yang harus diselesaikan, ataupun karena faktor dari dalam yaitu untuk mewujudkan kepuasan dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian informasi adalah pencari informasi, keadaan/masalah informasi, bidang pengetahuan, sistem penelusuran dan hasil yang didapat. Perilaku pencarian informasi yang akan diteliti lebih ditekankan pada persepsi responden terhadap tingkat pentingnya sumber-sumber informasi yang dibutuhkan, cara responden memenuhi kebutuhan informasinya serta alasan pemilihan sumber-sumber informasi yang dipergunakan. d. Model Perilaku Pencarian Informasi Ada beberapa model perilaku pencarian informasi, diantaranya adalah model yang diperkenalkan oleh Wilson berdasarkan pada dua propisisi, yaitu yang pertama, bahwa kebutuhan informasi bukan kebutuhan utama atau primer, namun merupakan kebutuhan sekunder yang timbul karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selanjutnya dalam usahanya menemukan informasi menghadapi kendala (barries) sebagai variabel perantara (intervening variable), kendala tersebut kemungkinan akan mempengaruhi perilakunya. Model diatas merupakan revisi dari model sebelumnya (1981) yang dikemukakan oleh Wilson. Kerangka dari kedua model tersebut tetap memiliki fokus yang sama yaitu kebutuhan informasi, faktor-faktor penghalang, dan mengenali perilaku penemuan informasi. Perbedaan model diatas dengan model sebelumnya adalah di dalam hal-hal berikut (Saepudin , 2009): i. Penggunaan istilah intervening variable untuk menjelaskan kendalakendala yang dihadapi dalam proses pecarian informasi. ii. Menunjukkan lebih banyak tipe perilaku penemuan informasi daripada sebelumnya (pencari aktif tetap menjadi fokus perhatian). iii. Pengolahan dan pemanfaatan informasi. 18 iv. Didukung oleh tiga teori yaitu: Teori tentang stres dan cara mengatasi masalah (stress and coping theory), Teori tentang resiko dan imbalan, dan Teori belajar sosial. Wilson dalam modelnya ingin menunjukkan bahwa keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya mendorongnya melakukan pencarian informasi. Hal yang harus pula diperhatikan adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut timbul karena peran seseorang pada kehidupan sosialnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini peran yang diambil adalah peran suporter casuals PERSIS FANS dalam misinya membentuk identitas kultur dalam mendukung klub PERSIS SOLO. Selanjutnya pendekatan berdasarkan “proses kognitif’ seseorang yang sedang mencari informasi menjadi telaah sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah information search process (ISP) yang dilihat dari perspektif si pencari informasi. Model behavioral model of information seeking strategies yang diperkenalkan David Ellis pada tahun 1987 dari hasil analisis pola-pola pencarian informasi dikalangan peneliti bidang ilmu-ilmu sosial. Hasil penelitian ini merupakan pola pencarian informasi yang terdiri dari enam tahap yaitu: starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring, dan extracting. Kemudian pada tahun 1993 model ini dikembangkan Ellis bersama dengan Cox dan Hall dengan membandingkan pola pencarian informasi peneliti bidang ilmu sosial dengan peneliti bidang fisika dan kimia sehingga menghasilkan depalan tahapan pencarian informasi yang terdiri dari starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring, extracting, verifiying dan ending. Berikut ini kedelapan tahapan pencarian informasi (Ellis, Cox dan Hall, 1993:359-365): a. Starting Starting merupakan titik awal pencarian informasi atau pengenalan awal terhadap rujukan. Seringkali informasi ditemukan pada saat starting merupakan topik penelitian yang dapat dikembangkan untuk 19 melakukan penelitian lebih lanjut. Pada saat starting digunakan penelusuran sebagai berikut: i. Rujukan awal (starter references) merupakan titik awal untuk mendapatkan bahan rujukan selanjutnya. Biasanya didapatkan dari atasan, teman sejawat atau dari kumpulan catatan yang dibuat sendiri mengenai rujukan yang berhubungan dengan topik yang diminati. ii. Tinjauan atau synopsis artikel (preview or synoptic articles) digunakan tidak hanya sebagai sumber rujukan menuju bahan primer tetapi juga sebagai kerangka untuk dapat memahami isi dari bahan rujukan. iii. Sumber Sekunder (secondary resources) digunakan untuk mencari informasi dalam rangka memilih topik penelitian yang diminati oleh peneliti. b. Chaining Chaining diidentifikasikan sebagai hal yang penting pada pola pencarian informasi. Kegiatan ini ditandai dengan mengikuti mata rantai atau mengaitkan daftar literature yang pada rujukan inti. Chaining dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: i. Backward chaining merupakan cara tradisional yakni mengikuti daftar pustaka yang ada pada rujukan inti, sehingga rujukan selanjutnya merupakan rujukan-rujukan yang pernah disitir pada rujukan inti. Dengan melakukan cara mengaitkan ke belakang, akan dihasilkan efek bola salju, sehingga hanya dengan menggunakan satu rujukan inti saja akan didapatkan beberapa rujukan lain yang tidak akan berbeda jauh dengan masalah yang dibahas pada rujukan inti. ii. Forward chaining mencari rujukan lain berdasarkan subjek atau nama pengarang dari rujukan inti yang telah ada dengan mengaitkan ke depan. Cara ini dilakukan dengan menggunakan sarana bibliografi. 20 c. Browsing Merupakan tahap kegiatan yang ditandai dengan kegiatan pencarian informasi dengan cara penelusuran semi terstruktur karena telah mengarah pada bidang yang diamati. Kegiatan pada tahap ini efektif untuk mengetahui tempat- tempat yang menjadi sasaran potensial untuk ditelusuri. Browsing dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui abstrak hasil penelitian, daftar isi jurnal, jajaran buku di perpustakaan atau toko buku, bahkan juga buku-buku yang dipajang pada pameran atau seminar. d. Differentiating Merupakan kegiatan membedakan sumber informasi untuk menyaring informasi berdasarkan sifat kualitas rujukan. Kriteria untuk memilih rujukan yang akan digunakan adalah: topik kajian, pendekatan yang digunakan, serta kualitas atau jenis perlakuan. Identifikasi sumber-sumber informasi terutama ditekankan pada subjek- subjek yang dipilih dan selanjutnya akan mengambil bahan-bahan dan topik yang diminati. e. Monitoring Merupakan kegiatan yang ditandai dengan kegiatan memantau perkembangan yang terjadi terutama dalam bidang yang diminati dengan cara mengikuti sumber secara teratur. Monitoring dapat dilakukan dengan cara yaitu: i. Melalui hubungan formal (informal contact) digunakan sebagai pra seleksi sumber dan bahan yang akan digunakan. Cara ini merupakan ajang untuk bertukar informasi, baik dengan sejawat maupun pakar bidang tertentu. ii. Membaca jurnal (monitoring journal) biasanya monitoring dilakukan terhadap sumber inti dalam jumlah kecil tetapi telah terseleksi dan diikuti secara seksama. Misalnya beberapa judul majalah yang dipilih sesuai dengan bidang yang diminati, diikuti perkembangannya setiap terbit, 21 minimal dari judul-judulnya saja seperti pada current content. iii. Monitoring katalog (monitoring material published in book form) Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melihat daftar terbitan secara berkala, preview atau bibliografi berkelanjutan dan melakukan akses secara berkala ke perpustakaan. f. Extracting Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terutama diperlukan pada saat harus membuat tinjauan literatur. Sumber informasi yang digunakan pada extracting ini adalah jurnal terutama jurnal-jurnal yang sudah standar, katalog penerbit, bibliografi subjek, abstrak dan indeks. g. Verifying Ditandai dengan kegiatan pengecekan atau penilaian apakah informasi yang didapat telah sesuai atau tepat dengan yang diinginkan. Sebagai perbandingan peneliti bidang ilmu sosial tidak melakukan tahapan ini, berbeda dengan peneliti bidang fisika dan kimia yang melalui tahapan ini dengan melakukan pengujian untuk memastikan seandainya ada kesalahan-kesalahan pada informasi yang diperoleh. h. Ending Tahap ending juga merupakan kategori perilaku yang tidak dijumpai pada kajian Ellis (1987). Merupakan tahap akhir dari pola pencarian informasi biasanya dilakukan bersamaan dengan berakhirnya suatu kegiatan penelitian. Dalam penelitian ini, model perilaku pencarian informasi yang digunakan adalah model yang diuraikan oleh Ellis (1987) yang terdiri dari starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring, dan extracting yang merupakan pola pencarian informasi peneliti ilmu-ilmu sosial. Keenam tahapan yang akan dimanfaatkan ini dianggap cukup untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini. 22 3. Fans Sepak Bola dalam Budaya Casuals Identitas fan bermanfaat bagi individu dalam memberikan rasa kepemilikan komunitas. Zillmann, Bryant, dan Sapolsky (1989) melihat manfaat lain dari kefanatikan (fandom), termasuk pengembangan beragam kepentingan dan meningkatkan rasa partisipasi tanpa harus membayar harga mahal. Mereka juga mencatat bahwa kefanatikan tidak mengenal usia, baik yang masih muda, tua, ataupun sakit-sakitan, fans akan berusaha untuk berpartisipasi. Kefanatikan memungkinkan individu untuk menjadi bagian dari permainan tanpa memerlukan keahlian khusus. Selain itu, kefanatikan menawarkan manfaat sosial seperti perasaan persahabatan, solidaritas, dan kebanggaan yang bisa meningkatkan harga diri (Jacobson, 2003:61-63). Kefanatikan di dunia olahraga turut memengaruhi pengembangan individu dengan membantu orang belajar untuk mengatasi emosi dan perasaan kecewa. Fans klub olahraga dapat bersatu dan memberikan perasaan memiliki yang bermanfaat bagi individu sehingga bisa terbawa ke tempat di mana mereka tinggal (Jacobson, 2003:89). Literatur terbaru tentang penggemar olahraga telah menjawab kemungkinan alasan tentang mengapa individu menemukan olahraga menjadi menyenangkan. Alasan-alasan ini terkait dengan harga diri, pelarian dari kehidupan sehari-hari, hiburan, kebutuhan keluarga, faktor ekonomi, dan kualitas estetik atau seni. Namun, seorang fan biasanya memilih satu tim tertentu untuk digemari. Giulianotti (Munro, 2006: 5) menyatakan bahwa ada empat tipe spectators (penonton), yaitu supporters (pendukung), followers (pengikut), fans (penggemar), dan flaneurs. Giulianotti mengategori spectator dengan menggunakan dua konsep. Pertama adalah konsep hot-cool yang menetapkan sejauh mana identitas individu ditentukan dan dipengaruhi oleh daya tarik sebuah tim. Istilah “hot” dipakai untuk mereka yang memiliki loyalitas dan solidaritas. Sedangkan “cool” merupakan kebalikan dari “hot”. Konsep kedua adalah traditional-consumer yang menentukan tingkatan di mana letak jati diri individu yang didorong oleh kekuatan pasar. 23 Giulianotti menganggap penonton tradisional lebih memiliki identitas budaya, identitas lokal, dan populer jika dibandingkan penonton konsumen yang hanya memiliki hubungan atas dasar pasar kepada klub. Lain halnya dengan Jacobson . Dia menyimpulkan banyak pandangan bahwa fan berbeda dengan spectator dalam olahraga. Jones (1997) menyatakan bahwa spectator hanya menonton dan mengamati olahraga lalu melupakannya. Sementara fan akan memiliki intensitas lebih dan akan mencurahkan sebagian harinya untuk tim olahraga yang digemarinya. Fanship juga telah didefinisikan sebagai afiliasi di mana banyak makna emosional dan nilai yang berasal dari keanggotaan kelompok. Spinrad (1981) mendefinisikan fan sebagai orang yang berpikir, berbicara tentang olahraga, dan berorientasi terhadap olahraga. Sedangkan Pooley (1978) menunjukkan kebutuhan untuk membedakan antara fan dan spectator. Dia mengklaim bahwa letak perbedaaannya terletak pada tingkat kegairahan. Madrigal (1995) menunjukkan bahwa fan mewakili sebuah asosiasi yang melibatkan individu dengan banyak makna emosional dan nilai. Terakhir, Anderson (1979) mencatat bahwa fan berasal dari kata “fanatik” sehingga dapat didefiniskan sebagai penggemar fanatik olahraga atau sebagai individu yang memiliki rasa antusiasme berlebihan pada olahraga (Munro, 2006: 30-37). Dalam fanatisme suporter, dikenal istilah hooligan yang melegenda. Hooligan merupakan stereotip supporter dari Negara Inggris, tetapi saat ini telah menjadi sebuah fenomena global. Mereka sering menonton pertandingan yang sangat beresiko besar. Banyak dari mereka sering keluar masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik dengan supporter musuh maupun dengan pihak keamanan sebuah wilayah. Dan satu yang pasti tujuan utama para hooligan ini hadir dalam sebuah pertandingan yaitu ingin membuat sebuah keributan, dan menonton sebuah pertandingan menjadi tujuan mereka selanjutnya. Casuals menjadi salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooliganism dan pakaian-pakaian bermerek mahal. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 1970an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para 24 hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal dengan harga ribuan poundsterling untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub (Thornton, 2015: 2). Jenis-jenis musik yang disukai oleh para casuals pada akhir dekade 1970 adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada dekade lanjut, selera musik casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Di akhir dekade, mereka cenderung menyukai scene Madchester, dan Rave. Dan di era selanjutnya saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadangkadang banyak band-band yang bergaya casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR, kadang disebut juga indie rock, telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh casuals. Sejak pertengahan dekade 1950, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal dekade 1960. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikutpengikut sub kultur lain seperti skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir masa 1970an, casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani 25 laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaianpakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko (Thornton, 2015: 34-35). Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur casuals memudar hingga batas tertentu. Pada pertengahan 1990-an, sub kultur casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth. Namun pada akhir 1990an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tahu bahwa produk-produk mereka di pakai oleh casuals. Meskipun beberapa casuals terus memakai pakaian Stone Island di awal milenia, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas 26 Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian casuals lainnya. Beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara casuals (Thornton, 2015: 52). Seperti halnya produk-produk pakaian dari merekmerek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas. Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans hingga sekuelnya (Thornton, 2015: 67). Pada tahun ini pula, label pakaian yang terkait dengan pakaian casuals masih termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade banyak casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Akan tetapi, merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan casuals. Di Indonesia sendiri, mulai banyak suporter dari klub-klub sepak bola lokal yang menganut budaya casuals. Diantaranya yaitu Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, PERSIS SOLO, dan masih banyak lagi. Budaya ini memang baru dipakai beberapa tahun belakangan oleh para suporter. Menyadur budaya casuals yang mengakar dari Inggris, mereka tampil beda di stadion dengan menggunakan merek-merek yang terkenal dipakai kalangan suporter sepak bola Britania. Media dalam hal ini sangat berguna untuk 27 menjembatani perjalanan budaya casuals ke Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi geografis Indonesia yang sangat jauh dari daratan Inggris, sehingga informasi langsung sulit untuk dijangkau para suporter lokal Indonesia. 4. Fans Sebagai Komunitas Sejak akhir abad ke-19, penggunaan istilah “komunitas” dalam masyarakat berkaitan dengan harapan dan keinginan untuk menghidupkan suasana lebih dekat, akrab, hangat, dan harmonis antar sesama umat manusia. Sejumlah definisi komunitas muncul, beberapa difokuskan kepada masyarakat yang tinggal dalam wilayah geografis yang sama atau di tempat tertentu. Komunitas sendiri berasal dari kata community yang merujuk pada level ikatan tertentu dari hasil interaksi sosial di masyarakat. Komunitas dapat dieksplorasi dalam tiga cara berbeda, seperti: tempat, ketertarikan, dan keterikatan. Komunitas yang berada pada teritorial atau tempat yang dipahami dalam unsur geografis yang sama. Cara lain untuk penamaan ini adalah wilayah. Pendekatan kepada masyarakat telah melahirkan banyak istilah baik dalam studi masyarakat maupun studi geografis. Karakteristik lain yakni komunitas dihubungkan oleh faktor-faktor atau ketertarikan yang sama. Seperti keyakinan agama, orientasi seksual, pekerjaan, etnis, dan hobi. Komunitas memiliki rasa keterikatan pada suatu kelompok, tempat, atau ide. Karena memiliki keterikatan maka mereka memerlukan sebuah pertemuan tatap muka. Dengan kata lain, komunitas dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adatistiadat. Serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat, 1990: 148). Dari penjelasan di atas, maka bisa dilihat bahwa individu-individu yang terdapat dalam komunitas saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang disatukan dengan adanya kesamaan dari nilai-nilai dan ketertarikan tertentu. Dalam ilmu sosiologi, komunitas dapat diartikan sebagai kelompok orang yang saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun, defnisi ini terus 28 berkembang dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan karakteristik tanpa melihat lokasi atau tipe interaksinya. Sebuah komunitas memiliki empat ciri utama, yaitu (Jasmadi, 2008: 15): a. Adanya keanggotaan di dalamnya. Sangat tidak mungkin ada komunitas tanpa anggota di dalamnya. b. Saling memengaruhi. Antar anggota komunitas bisa saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. c. Adanya integrasi dan pemenuhan kebutuhan antar anggota. d. Adanya ikatan emosional antar anggota. Bisa dikatakan bahwa inti komunitas terletak pada kelompok orang yang memiliki identitas yang hampir sama di mana faktor lokasi tidak terlalu relevan lagi. Yang penting, anggota komunitas harus berinteraksi secara reguler (Jasmadi, 2008: 16). Komunitas memiliki dua atribut yang selalu menyertainya. Pertama, setiap anggota komunitas merasa memiliki keterikatan dalam sebuah skema jejaring timbal balik yang saling memengaruhi satu sama lain dalam suasana keakraban layaknya sebuah hubungan pertemanan. Rasa saling memiliki tersebut akan menentukan eksistensi sebuah komunitas. Kedua, komunitas memiliki fungsi saling berbagi (sharing) budaya moral, sistem nilai, dan norma (Etzioni, 2005: 129). Jim Ife dan Frank Toseriero (2002) menjelaskan komunitas sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang dicirikan dalam lima hal berikut: a. Skala Manusia Sebuah komunitas melibatkan interaksi-interaksi pada suatu skala yang mudah dikendalikan dan digunakan oleh setiap individu. Jadi, skalanya terbatas pada orang yang akan saling mengenal atau akan saling berinteraksi dalam komunitas itu sendiri. b. Identitas dan Kepemilikan Bagi kebanyakan orang, kata komunitas akan memasukkan sebuah perasaan memiliki, atau perasaan diterima dan dihargai 29 dalam lingkup kelompok tersebut. Hal ini disebabkan adanya penamaan anggota komunitas. Konsep keanggotaan artinya memiliki, diterima oleh yang lain, dan kesetiaan pada tujuantujuan kelompok. Maka itu, komunitas lebih dari sekadar suatu kelompok yang dibentuk untuk kemudahan administratif, tetapi memiliki beberapa ciri dari sebuah perkumpulan atau perhimpunan terhadap orang yang termasuk sebagai anggota dan di mana perasaan memiliki ini penting dan dengan jelas diakui. Jadi, suatu komunitas akan memberikan rasa identitas kepada seseorang. Komunitas tersebut dapat menjadi bagian dari konsep diri seseorang, dan merupakan sebuah aspek penting dari bagaimana seseorang memandang tempatnya di dunia. Tidak adanya identitas pribadi seperti itu biasanya dianggap sebagai salah satu masalah dari masyakarat modern. c. Kewajiban-kewajiban Keanggotaan dalam sebuah organisasi mengemban tanggung jawab dan memiliki hak. Pasalnya, sebuah komunitas juga menuntut kewajiban tertentu dari para anggotanya sehingga timbul hubungan timbal-balik. Ada harapan bahwa seseorang akan berkontribusi kepada komunitas dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatam. Mereka juga akan berkontribusi pada pemeliharahaan struktur komunitas. Semua kelompok tentu membutuhkan pemeliharaan jika ingin tetap hidup dan bertanggungjawab atas semua fungsi pemeliharaan suatu komunitas, maka hal itu terletak pada pundak anggotanya. Oleh karena itu, menjadi seorang anggota dari sebuah komunitas seharusnya tidak menjadi pengalaman yang murni pasif, tetapi seharusnya juga melibatkan suatu partisipasi aktif. d. Gemeinschaft 30 Struktur-struktur dan hubungan gemeinschaft terkandung dalam konsep komunitas, sebagai lawan dari struktur dan hubungan gesellschaft dari masyarakat massa (mass society). Sebuah komunitas akan memungkinkan orang berinteraksi sesama anggota dalam keragaman peran yang lebih besar. Adapun peran-peran tersebut tidak dibedakan dan bukan berdasarkan kontrak. Hal ini tidak hanya penting dalam pengertian pengembangan diri, tetapi juga kontak antarmanusia dan pertumbuhan pribadi. Individu-individu juga memungkinkan untuk menyumbang berbagai bakat dan kemampuan untuk keuntungan yang lain dan komunitas tersebut sebagai suatu keseluruhan. e. Kebudayaan Kebudayaan dikonsumsi pada masyarakat tingkat modern massal diproduksi yang terlalu dan sering mengakibatkan keseragaman dan pemindahan kultur dari pengalaman lokal orang biasa. Suatu komunitas memungkinkan pemberian nilai, produksi, dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal atau berbasis masyarakat, mempunyai ciri-ciri unik yang berkaitan dengan komunitas yang bersangkutan, dan memungkinkan orang untuk menjadi produser aktif dari kultur tersebut ketimbang konsumen yang pasif. Sosiolog Perancis, Emile Durkheim juga mengemukakan konsep-konsep komunitas. Durkheim (1973) menjelaskan bahwa dalam membahas komunitas, diperkenalkan dua konsep penting yakni kesadaran kolektif dan solidaritas sosial. Kesadaran kolektif dijabarkan berdasarkan katanya. Kesadaran atau conscience adalah suara hati yang mengingatkan bahwa seseorang terlibat secara kolektif dan menentukan apa yang baik dan yang buruk, sedangkan koletif menunjuk kepada pengertian kelompok yang luas seperti keluarga, kelompok studi, kerukuran, 31 kelompok musik dan sebagainya. Sehingga, kesadaran kolektif adalah adanya perasaan dalam suatu komunitas tertentu yangn juga membuat individu-individu didalamnya merasakan adanya kewajiban moral untuk melaksanakan tuntutan yang diberikan oleh komunitas tersebut. F. Metodologi Penelitian 1. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Tylor, 1990:32). Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti, kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat penelitian yang utama, peneliti memiliki lebih banyak kelebihan daripada daftar pertanyaan yang lazim dilakukan di penelitian kuantitatif (kuesioner) (Sulistyo-Basuki, 2000:14). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi dimana peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimana proses pencarian informasi suporter sepak bola kota Solo dalam membentuk kultur casuals. Secara sederhana etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai praktik-praktik komunikasi sebuah komunitas berbudaya. Secara makro, kajian ini adalah bagian dari etnografi. Pengkajian etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Konsep komunikasi dalam etnografi komunikasi merupakan arus informasi yang berkesinambungan, bukan sekedar pertukaran pesan antar komponen 32 semata. Peneliti mengumpulkan data dan mendeskripsikan proses pencarian informasi suporter sepak bola kota Solo dalam membentuk kultur casuals sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi di lokasi penelitian tersebut. 2. Informan penelitian Dalam penelitian ini, suporter PERSIS SOLO dijadikan sebagai informan. Suporter PERSIS SOLO dipilih atas berbagai pertimbangan yang mengacu kepada keunikan objek. Dimana PERSIS SOLO adalah hanya sebuah kota kecil dan merupakan tim sepak bola kelas dua, namun memiliki basis suporter yang sangat besar. 18.572 anggota terdaftar di grup facebook Pasukan Suporter Solo Paling Sejati. Suporter Solo merupakan yang terbanyak dibandingkan klub papan tengah lainnya, yaitu PSS Sleman (17.345) dan PSIS Semarang (6.134). Selanjutnya objek penelitian mempunyai kompetensi. Artinya subjek riset adalah seorang yang kredibel. Oleh karena itu, dalam pemilihan informan, yang dicari adalah suporter PERSIS SOLO (individu-individu) yang menganut budaya casuals dalam mendukung tim sepak bola mereka. Dalam proses mendapatkan data, peneliti melakukan wawancara pada beberapa anggota PERSIS FANS. Peneliti lalu mendapatkan empat informan yang dinilai dapat memberikan banyak informasi maupun data yang mendalam terkait penelitian ini. Adapun kriteria informan yang dipilih adalah sudah sejak lama menjadi pendukung PERSIS SOLO, anggota PERSIS FANS, dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan atau acara-acara yang dilaksanakan komunitas. Semua informan berjenis kelamin laki-laki dan kesemuanya berdomisili di Surakarta. Dalam proses mendapatkan informan, peneliti pada awalnya mengenal salah satu dari empat informan di Tribun B6 pada saat pertandingan PERSIS SOLO. Kemudian melakukan proses snowball 33 sampling di mana peneliti meminta seorang informan tersebut untuk merekomendasikan informan yang dianggap memenuhi kriteria informan yang disebutkan di atas. 3. Profil Informan Dalam proses mendapatkan data, peneliti melakukan wawancara pada beberapa anggota PERSIS FANS. Peneliti lalu mendapatkan empat informan yang dinilai dapat memberikan banyak informasi maupun data yang mendalam terkait penelitian ini. Adapun kriteria informan yang dipilih adalah sudah sejak lama menjadi pendukung PERSIS SOLO, anggota PERSIS FANS, dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan atau acara-acara yang dilaksanakan komunitas. Semua informan berjenis kelamin laki-laki dan kesemuanya berdomisili di Surakarta. Dalam proses mendapatkan informan, peneliti pada awalnya mengenal salah satu dari empat informan di Tribun B6 pada saat pertandingan PERSIS SOLO. Kemudian melakukan proses snowball sampling di mana peneliti meminta seorang informan tersebut untuk merekomendasikan informan yang dianggap memenuhi kriteria informan yang disebutkan di atas. Berikut adalah deskripsi singkat mengenai para informan. a. Informan 1 Informan 1 berusia sekitar 28 tahun, saat ini bekerja freelance di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Kota Solo. Peneliti mengenal Informan 1 melalui informan lain yang merekomendasikannya, karena dianggap sebagai salah satu pendiri dan pemrakarsa kultur casuals datang ke Solo. Informan 1 sudah menyukai sepak bola semenjak masuk sekolah dasar. Dia juga sudah sering melihat pertandingan sepak bola di stadion 34 dari umur 8 tahun. Bertempat tinggal di daerah Gandekan yang merupakan salah satu basis suporter Kota Solo yang militan, Informan 1 sudah sejak lama berkutat dengan dunia suporter lokal. b. Informan 2 Informan yang kedua lahir dan besar di Magetan, namun sudah tinggal di Solo sejak tahun 1995. Menyukai sepak bola sejak kecil, dia pun mengidolakan klub Liverpool yaitu salah satu klub raksasa Liga Inggris. Informan 2 pun mulai menyukai sepak bola lokal Kota Solo sejak awal 2000an. Bertempat tinggal di daerah Kampung Sewu, Informan 2 mengaku pernah menjadi bagian dari suporter PERSIS SOLO resmi yaitu Pasoepati, sebelum pada akhirnya pada 2014 beralih ke Tribun B6 dan ikut mengembangkan kultur casuals dalam raga PERSIS FANS atau River City Casuals pada saat itu. c. Informan 3 Informan 3 merupakan satu-satunya mahasiswa dari empat informan yang dipilih peneliti. Lahir di Surakarta, 28 agustus 1992, Informan 3 sudah menyukai sepak bola sejak berumur 7 tahun. Bertempat tinggal di daerah Nusukan, Informan 3 mengaku baru saja (2014) menjadi penggemar PERSIS SOLO dan memutuskan untuk bergabung ke dalam PERSIS FANS. Sebelumnya dia lebih menyukai klub-klub luar negeri seperti Real Madrid dan sering pula mendatangi acara nonton bareng. d. Informan 4 Informan 4 adalah yang termuda dari semua informan yang dipilih peneliti. Dia masih mengeyam pendidikan menengah atas di salah satu SMA negeri di Kota Solo. Lahir dan besar di Solo sejak 16 tahun yang lalu, Informan 4 paling bersemangat dalam membicarakan hal sepak bola. Dia sudah sering menonton pertandingan PERSIS SOLO di stadion sejak SMP. Bahkan dia tak jarang juga ikut dalam lawatan away klub kesayangannya itu ke kota lain. Mengetahui kultur casuals sudah mendarat di Kota Solo, pada pertengahan musim kompetisi 2014-2015, dia merapat 35 ke Tribun B6 dalam tujuan mendukung PERSIS SOLO dengan gaya casuals hooligan. Walaupun masih muda, dia mengaku tidak takut dengan ancaman kekerasan yang ada dan memang mengakar pada kultur casuals hooligan. 4. Teknik pengumpulan data a. Wawancara Model wawancara yang digunakan peneliti adalah depth interview yaitu panduan wawancara secara mendalam dengan menggunakan suatu daftar pertanyaan yang menjadi pedoman peneliti (interview guide). Selain itu juga digunakan open-ended question, dimana pertanyaan dapat berkembang dan berubah-ubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan peneliti. Wawancara dilakukan pada sejumlah anggota suporter PERSIS SOLO yang menganut gaya Casuals dalam mengekspresikan dukungannya terhadap klub. b. Observasi Penelitian ini menggunakan pengamatan partisipan dengan mengikuti beberapa kegiatan yang dilaksanakan suporter PERSIS SOLO. Terutama memerhatikan aktivitas yang dilakukan oleh anggota dalam kegiatan komunitas. Adapun kegiatan-kegiatan itu seperti gathering dan juga pada saat menonton pertandingan PERSIS SOLO. Dari kegiatan tersebut diharapkan mendapat tambahan data untuk menunjang data wawancara. c. Studi kepustakaan Hasil dari telaah data yang didapatkan dari studi kepustakaan, baik berupa buku, majalah, dokumen, laporan, catatan, dan sumber lainnya. 36 5. Teknik analisis data Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya kepada orang lain (Zuriah, 2006:43). Pada tahapan analisis data dilakukan proses penyederhanaan data-data yang terkumpul ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Tahapan analisis data yang dilakukan peneliti yaitu: a. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui cara observasi dan wawancara. Pada tahapan ini data-data yang sudah terkumpul dibuatkan transkripnya, yakni dengan cara menyederhanakan informasi yang terkumpul kedalam bentuk tulisan yang mudah dipahami. Setelah itu data-data yang terkumpul dipilih sesuai dengan fokus penelitian ini dan diberi kode untuk memudahkan peneliti dalam mengkategorikan data-data yang terkumpul. b. Reduksi Data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang hal-hal yang tidak diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2006:68). Pada tahapan ini, data-data yang sudah diberi kode dan sudah dikelompokkan dirangkum untuk memberikan gambaran yang lebih jelas. c. Penyajian Data Data yang sudah terangkum ditafsirkan dan dijelaskan untuk menggambarkan proses transfer arsip dinamis inaktif di Pusat 37 Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Bogor. Penyajian data yang sudah ditafsirkan dan dijelaskan berbentuk uraian dengan teks atau bersifat naratif. d. Penarikan Kesimpulan Pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan dari hasil analisis data yang sudah dilakukan. Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2006:74). 38