perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM (Studi analisis semiotik nilai-nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian) SUSI DEVIYANA D1207555 SKRIPSI Digunakan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi PROGRAM ILMU KOMUNIKASI NON REGULER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan i Halaman Pengesahan ii Halaman Motto iii Halaman Persembahan iv Kata Pengantar v Daftar Isi vii BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1 2. Rumusan Masalah 9 3. Tujuan Penelitian 10 4. Manfaat Penelitian 10 5. Telaah Pustaka 11 5.1 Definisi Komunikasi 12 5.2 Pesan Komunikasi 17 5.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa 20 5.4 Film Sebagai Representasi 25 5.5 Film Pendek 27 commit to user 5.6 Semiologi Dalam Film 32 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan 44 5.8 Aspek Sinematografi 53 6. Definisi Konseptual 57 6.1 Film Pendek 57 6.2 Kepahlawanan 58 7. Kerangka Pikir 60 8. Metode Penelitian 62 8.1 Teknik Pengumpulan Data 65 8.2 Analisis Data 66 BAB II SEKILAS TENTANG FILM “HARAP TENANG, ADA UJIAN!” DAN FOURCOLOURS FILMS 1. Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 68 2. Festival dan Awards 69 3. Profil Sutradara 70 4. Profil Fourcolours Films 71 BAB III ANALISIS DATA 1. Aplikasi Sistem Pertandaan Dalam semiologi Roland Barthes 73 2. Simbol Sosial Nilai-Nilai Kepahlawanan Dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 76 2.1 Keberanian 76 2.2 Pantang Menyerah 90 2.3 Rela Berkorban 95 2.4 Kesetiakawanan Sosial 101 BAB IV PENUTUP 1. KESIMPULAN 108 2. SARAN 109 DAFTAR PUSTAKA 111 LAMPIRAN commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Susi Deviyana, D1207555, Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” (Studi Deskriptif Kualitatif menggunakan Analisis Semiologi Terhadap Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”) Nilai-nilai kepahlawanan merupakan salah satu hal yang harus di teladani, karena seiring perkembangan jaman tidak jarang orang semakin menjadi individualistis. Untuk menyampaikan pesan mengenai nilai kepahlawanan dapat disampaikan melalui film karena film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi disekitar kita. Seperti film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mengambil tema tentang kepahlawanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam film “Harap Tenang, Ada Ujian!” tersebut. Dengan mengetahui dan memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut. Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiotika. Data dalam penelitian ini didapat melalui scene-scene pada film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang didalamnnya terdapat unsure-unsur yang berkaitan dengan penelitian ini, yakni nilai-nilai kepahlwanan yang tediri dari Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Serta mencari data dari berbagai tulisan artikel, buku-buku, internet dan lian sebagainya. Melalui gabungan antara scene-scene terpilih dan data-data tertulis, penulis melakukan analisis dengan menggunakan tanda-tanda yang terdapat dalam film “Harap Tenang, Ada Ujian!” dengan teori semiotika Roland Barthes. Analisis dilakukan melalui dua tahap, yaitu signifikasi tingkat pertama, yaitu makna denotasi yang terkandung dalam scene-scene tersebut dan dilanjutkan dengan signifikasi tingkat kedua yang menguraikan makna konotasinya. Dalam tahap inilah terkandung mitos. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlwanan ditunjukkan melalui symbol-simbol sosial ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Susi Deviyana, D1207555, The Representation heroism values in the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!” (Qualitative Descriptive Research Semiology analysis on the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!” The value of heroism is one thing we hold as a role model, in this era of globalization, when individualism became a common thing. Movie as a media, can be used for sending message about current issues to the public. It is usually inspired by the actual phenomena and “Be Quiet, Exam is in Progress!” is one of them. This research studied the symbols of heroism in “Be Quiet, Exam is in Progress!”. By knowing and understanding the symbols of heroism value in the movie, it would be easier to make it as a role model. The research is a qualitative semiotics analysis research. The data used in this research was taken from the scenes of “Be Quiet, Exam is in Progress!” which have correlations with heroism topic. They are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. The data used in this research is from literatures which were taken from sources such as books, journals, articles and any other information that is related to the subject matter. The researcher analyzed the film symbols in selected scenes using Roland Barthes‟ semiotics theory combined with the literatures. There were two steps in the analyzing process. Firstly, the researcher figured out the significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis discovered the connotation. Myth appeared on this step. The researcher concluded that the value of heroism in this movie was shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This film could send various messages or symbols that show heroism value. Keywords: symbols, values, semiotics, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang biasa kita sebut dengan kamera. Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya. Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa”.1 Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada commit to user 1 Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit. Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas. 2 Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong – bondong ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas – batas tertentu, namun film tidak pernah sahih sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 3 Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan 2 David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, commit to user 1985. hal xi 3 Seno Gumira Ajidarma, Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya. Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film. Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masingmasing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” pada tahun 2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film. Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari sekedar hiburan. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang kritikus film, Eric Sasono, dalam tulisannya “Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial?” yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu (17 Juli 2005). Eric menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film: “…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila".4 commit to user 4 Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi5, seperti ketika zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 S/PKI. Dengan segala potensi yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi kekuasaan atau kepentingan komersil belaka. James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan sinematografi), Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik), dan Movies (sebagai barang dagangan). Film sebagai “Film” adalah fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema (art film) dengan Movies (film komersil).6 Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita 5 6 to user Tabloid Berita Mingguan Adil, No. 12 commit Tahun ke-67, 23-29 Desember 1998 Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk. 7 Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi Indonesia, apakah gaya Rusia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi) ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu mengatakan yakni, ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme Italia.8 Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan sebagainya.9 Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya adalah sebuah film sarat makna, tapi juga “sehat” dalam hal akidah dan nilai-nilai keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional. Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian pesanpesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film 7 Ibid. commit to user Ibid. 9 Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan, “film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistic lainnya”10 Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui film-film “Gelora Pembangunan” pada era Soekarno. Film-film tersebut diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan filmfilm (yang kebanyakan film pendek) propaganda pemerintah dengan ideology pembangunannya. Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan. commit to user Sigfried Kracauer, From Caligari to Hitler : A Psychological History of the German Film, New Jersey, Princeton University Press, 1974, hal. 6 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta, yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk menghalau para sukarelawan Jepang. Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap „shot‟ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung nilainilai kepahlawanan. “Harap Tenang Ada Ujian”, produksi Fourolours juga berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk diteliti. Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran makna” dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna yang terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat. 2. Rumusan Masalah Setelah melihat pemaparan di atas,maka peneliti akan menganalisis bagaimana simbol-simbol kepahlawanan yang terkandung dalam film Harap Tenang Ada Ujian disampaikan ditinjau dari pendekatan semiotik. Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Secara umum: Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan direpresentasikan dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ? Secara Khusus : Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ? 3. Tujuan Penelitian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui simbol-simbol sosial dan pemaknaan yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film ”Harap Tenang, Ada Ujian” Mengetahui pemaknaan simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial. 4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Akademis : Memberikan sumbangan terhadap kajian tentang simbol-simbol sosial nilai-nilai kepahlawanan. Sekaligus mendorong munculnya kajian penelitian serupa dan dapat memperkaya permasalahan ini. 2. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan akan memberikan wacana kepada khalayak akademisi dan masyarakat pada umumnya tentang nilai-nilai kepahlawanan melalui simbol yang dikonstruksikan dalam film. 3. Manfaat Sosial : Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat berupa analisis bagaimana nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dipelihara dan diteladani. Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru bahwa nilai-nilai kepahlawanan harus diteladani dan dipelihara oleh setiap orang terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Sehingga commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak akan sia-sia, dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. 5. Telaah Pustaka Manusia merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi terbaik diantara mahluk lainnya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliknya, baik terhadap alam maupun sesama telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang selalu mampu bertahan dalam menghadapi seleksi alam. Kemampuan ini ditunjang oleh berbagai macam faktor, dimana salah satunya adalah kemampuannya berkomunikasi. Sebagai mahluk sosial, komunikasi menjadi sedemikian penting dalam kehidupan manusia. Selain untuk menjalin hubungan antara satu dan lainnya, yang lebih penting adalah untuk mengantisipasi perpecahan dengan jalan saling mengerti dan memahami. Komunikasi merupakan sarana utama manusia dalam segala hal, sehingga tanpa adanya komunikasi yang baik, dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan dalam berbagai macam sendi kehidupan sosial. Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang struktur layaknya sebuah piramida. Menjabarkan hal yang bersifat umum terlebih dahulu dan kemudian menariknya menjadi lebih khusus. Dimulai dari pengertian komunikasi, bagian-bagian, dan sarana yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Film sendiri adalah salah satu media komunikasi massa yang dirasa cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setelah menetapkan film sebagai salah satu sarana komunikasi massa, maka tahap selanjutnya adalah representasi terhadap film itu sendiri yang kemudian disusul oleh pengelompokan film commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menurut tema, durasi, dan sebagainya. Seperti kebanyakan sarana komunikasi massa lainnya, film pendek juga membutuhkan kemampuan semiologi untuk menangkap pesan yang terkandung didalamnya sehingga tujuan utama untuk menjadikan film sebagai sarana komunikasi dapat tercapai. 5.1 Definisi Komunikasi Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang diakui oleh setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; ataupun kritik sastra, daftar ini tak habis-habisnya. Inilah salah satu masalah yang dihadapi para akademisi: bisakah kita menerapkan secara tepat istilah “subjek studi” terhadap sesuatu yang sungguh berbeda dan banyak segi seperti komunikasi insani (human communication)? 11 Untuk menjawab masalah-masalah diatas, John Fiske, dalam bukunya yang berjudul Cultural Communication: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, membagi studi Komunikasi dalam dua Mazhab Utama. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menejemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil dari yang commit to Sebuah user Pengantar Paling Komperehensif John Fiske, Cultural And Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 7 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya mazhab ini sebagai “Mazhab Proses”.12 Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Ia berkenaan dengan bagaimana menghasilkan makna; yakni, ia bekenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yag penting dari kegagalan komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), dan itu adalah label yang akan di gunakan untuk mengidentifikasikan pendekatanini. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya “Mazhab Semiotika”.13 “Mazhab Proses” cenderung mempergunakan imu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi. Sedangkan “Mazhab Semiotika” cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.14 12 Ibid. hal. 8 Ibid. hal 9 14 ibid 13 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan dengan pribadi yang lain, atau memperngaruhi perilaku, state of mind atau respon emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih dekat denga akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut. Sementara “Mazhab Semiotika” mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. 15 Pada penelitian ini peneliti menggunakan Mazhab yang kedua yakni mazhab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna dimana peneliti menggunakan film, yang sarat akan pertukaran makna, menjadi pusat objek penelitian. Penelitian ini erat kaitannya dengan teks dan kebudayaan. Kedua mazhab tersebut juga berbeda dalam pemahaman mereka atas apa yang membentuk sebuah pesan. Pada satu sisi, “Mazhab Proses” melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pengirim mungkin tidak dinyatakan atau dinyatakan, disadari atau tidak disadari, namun harus dapat diperoleh kembali dengan analisis. Pesan adalah apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apa pun.16 15 16 ibid Ibid. hal 10 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bagi “Mazhab Semiotika”, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengna penerima, menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurut arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Dan, membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana korankoran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiaptiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.17 Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah commit to user 17 ibid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat skema 1)18 Skema 1. Pesan dan Makna Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Film adalah salah satu bentuk media komunikasi massa. Pada penelitian ini, peneliti memandang pesan sebagai sebuah teks yang dibaca. Peneliti mencoba menemukan makna pada sebuah film yang berhubungan dengan pengalaman budaya serta kode dan tanda yang menyusun film tersebut. 5.2 Pesan Komunikasi Menurut Stephen W.Littlejohn, pesan atau message merupakan inti dari studi ilmu komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi memiliki cabang yang bertingkat dimana yang memiliki titik sentral adalah pesan atau message.19 Secara rinci Riyono Praktikto mengatakan bahwa pesan merupakan semua bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Yang dimaksud dengan 18 Ibid. hal 11 commit to userWadsworth Publishing Company, Little John, S.W, Theories of Human Communication, Belmont california, 2002 hal. 61. 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman.20 Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pesan merupakan bentuk gagasan verbal maupun non-verbal yang disampaikan kepada orang lain, yang bertujuan menyatakan maksud tertentu sesuai dengan keperluan orang lain berkenaan dengan manfat dan kebutuhannya. Dalam menyampaikan pesan kita seringkali menggunakan lambanglambang. Salah satu lambang yang paling banyak digunakan adalah bahasa. Karena dalam komunikasi bahasa sebagai lambang mampu mentrasnmisikan pikiran, ide, pendapat dan sebagainya baik mengenai hal yang abstrak maupun yang kongkret; tidak saja tentang hal ataupun peristiwa yang terjadi saat sekarang tetapi juga pada waktu yang lalu atau masa mendatang. Selain bahasa, isyarat adalah basis dari seluruh komunikasi. Suatu isyarat menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan suatu obyek atau ide dan suatu isyarat. Konsep dasar ini mengikat bersama seperengkat teori yang sungguh luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana dan bentukbentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana isyarat berhubungan dengan artinya dan bagaimana isyarat disusun.21 Komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Tetapi komunikasi berpusat pada pesan bersandar pada informasi dan beberapa teori telah 20 Pratikno, Riyono, berbagai Aspek Ilmu Komunikasi, CV. Remaja Karya, Bandung, 1987 commit to user hal.42. 21 Little John, S.W, Op. Cit, hal 64. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memaparkan tentang pemrosesan pesan. Teori ini melihat pembuatan dan penerimaan pesan sebagai persoalan psikologis, memfokuskan pada sifat-sifat, keadaan-keadaan dan proses-proses individual. Teori pembuatan dan penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat dan variable lain, hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis-jenis pesan tertentu.22 Selain teori diatas dalam konteks pesan, terdapat teori-teori penerimaan dan pemrosesan pesan teori ini mencakup bagaimana pesan itu diterima, dipahami, dan manusia dapat mengorganisasikan serta menggunakan informasi yang terkandung didalam pesan. Teori penerimaan dan pemrosesan pesan sebagian besar masih terdapat dalam level kognisi, yaitu studi tentang pemikiran dan pemrosesan informasi. Menurut Dean Hewes kognisi menuntut dua elemen sentral, yaitu strukturstruktur pengetahuan dan proses-proses kognitif. Struktur pengetahuan terdiri dari organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang. Bahkan pesan yang paling sederhanapun membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami. Di dalam kognitif potongan-potongan informasi saling dihubungkan satu sama lain kedalam sebuah pola yang teratur. Tujuh proses kognitif yang paling utama menurut Hewes yang saling berinterelasi adalah, pertama pemfokusan, yaitu sebuah proses menghadapi detil-detil tertentu dari informasi. Proses kedua adalah commit to user 22 Ibid. hal. 105 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id integrasi atau pembuatan hubungan antara potongan-potongan informasi. Ini merupakan proses penggabungan apa yang dilihat dan didengar kedalam informasi pengetahuan yang menyeluruh. Ketiga adalah pengambilan kesimpulan, sebuah proses pengisian, ketika seseorang membuat asumsi-asumsi tentang halhal yang tidak teramati berdasarkan hal-hal yang teramati.23 Proses yang keempat dan kelima melibatkan ingatan, penyimpanan dan pengungkapan. Struktur pengetahuan harus disimpan dan digunakan di lain waktu dan ia harus diingat secara tepat. Proses keenam dan ketujuh adalah seleksi dan implementasi juga berjalan bersamaan. Seleksi adalah pemilihan perilaku dan simpanan seseorang dan implementasi bertindak sesuai dengan perilaku yang sudah dipilih dengan melakukannya.24 5.3 Film sebagai Media Komunikasi Massa Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi, gagasan, ide dan pengalaman. Adanya komunikasi akan membentuk suatu jaringan interaksi yang kompleks bagi manusia. Di abad ini komunikasi telah mencapai suatu titik dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Hal ini berarti tidak ada lagi batasan – batasan yang menghambat berlangsungnya komunikasi antar personal. Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan Bitner sebagai berikut : 23 24 Ibid. hal. 129 Ibid. hal. 130 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id “ Mass communication is massage communicated through a mass medium to a large member of people “ ( komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang ) 25 Film adalah salah satu media massa yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dari komunikator (produser) kepada komunikan (penonton). Dalam menyampaikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagi media yang benarbenar netral. Film mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi pesan lewat bahasa audio visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul sebagai representasi peristiwa yang objektif, jujur, adil, transparan. Penonton hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai media massa dibandingkan dengan jenis media massa lain adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 26 Setiap kegiatan yang di komunikasi – massakan dapat dipecah dalam dua elemen : komunikator yang mengirimkan pesan tertentu melalui sebuah saluran kepada audiens dengan sejenis efek. Dalam komunikasi massa, media yang digunakan adalah media massa. Perbedaan media massa dengan media yang terbatas bukanlah pada alat itu sendiri, tetapi justru pada cara penggunaan alat itu. Untuk dapat digolongkan sebagai media massa, sebuah alat tidak hanya memberikan kemungkinan komunikasi melalui suatu alat mekanik, menciptakan suatu hubungan yang dekat antara komunikator dengan audience-nya tetapi juga harus benar-benar digunakan untuk berkomunikasi dari sebuah sumber tunggal kepada sejumlah besar orang ( massa ). Jadi, film yang diputar di rumah tangga bukanlah suatu media massa, tetapi kalau sebuah film diputar di bioskop dan 25 Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal.188 to Karyanti user S. Komunikasi Massa : Suatu Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala,commit ed : Rema Pengantar. PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2007 hal. 137 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ditonton oleh banyak orang secara serempak, maka film bisa disebut sebagai media komunikasi massa. Film sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai peran penting di dalam sosial kultural, artistik, politik, dan dunia ilmiah. Pemanfaatan film dalam usaha pembelajaran masyarakat ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film mempunyai kemampuan mengantar pesan secara unik.27 Film tidak lagi dimaknai sekedar karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai praktik sosial (Turner, 1991) serta komunikasi massa (Jowett dan Linton, 1981). Terjadinya pergeseran perspektif ini,paling tidak telah mengurangi bias normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara objektif.28 Selain itu film juga merupakan sebuah media hiburan yang sederhana dan murah. Tidak ada media lain yang memiliki kemampuan yang sama untuk memikat kepentingan penonton, untuk melibatkan penonton, dan membuat pengalaman emosional. Tidak ada media lain yang efektif dalam menciptakan pengalaman yang benar-benar berkesan.29 Sejak diketemukannya sampai dengan saat ini, film telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sebagai cara dominan untuk mengungkapkan ekspresi. Hal ini terjadi karena film adalah media komunikasi yang didalamnya memuat 27 McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage Publications, London. 28 Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Media Pressindo, Yogyakarta,1999. 29 to user Kirsch, Christina, Film and Collective commit Storytelling in Corporate Identity : a Case Study, www.emeraldinsight.com perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pesan dari kreator. Film sebagai media komunikasi dapat dinyatakan sebagai proses sosial, media yang mentransmisikan signal, dan signal-signal itu diperlakukan sebagai pesan.30 Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong-bondong ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas-batas tertentu, namun film tidak pernah sahih sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 31 Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit. 30 Jowett, Garth and Linton JM. 1971. Movies as Mass Communications, Sage Publication, commit to user London. 31 Seno Gumira Ajidarma. Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas. 32 Kepekaan artistik dalam memaknai pesan dalam film dibutuhkan karena film memiliki bahasa tersendiri yang terdapat pada teknik-teknik penyajian gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up ), pemotretan dua sisi ( two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran atau pengecilan gambar (zoom out/zoom in), pelarutan dua gambar secara halus (disolve), sampai kepada yang melibatkan efek khusus (special effect) sperti gerakan lambat (slow motion), gerakan dipercepat (speeded up), dan special effect digital yang lebih canggih lainnya, yang melibatkan animasi atau permainan program komputer. 33 Karena memiliki kekayaan dalam bentuk-bentuk tanda untuk mengkodekan pesan, maka film juga menjadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. Dalam teori komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan melainkan pada penerima pesan. Bagaimana kreator mengurangi bisa makna yang terjadi sehingga pesan itu bisa dipersepsi secara seragam itulah yang penting kecuali jika film diangap barang seni yang cenderung susah dipahami dan lebih banyak menjadi familiar bagi kreatornya daripada audiencenya. Efektifitas komunikasi bisa diukur secara berbeda-beda tergantung seperti apa tujuan dari 32 David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi 33 commitPT to Remaja user Rosdakarya, Bandung, cetakan ke.3 Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, Hal. 131 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id proses komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau interpreter sehingga terjadi komunikasi yang efektif. Cara bertutur adalah bagian dari teknik komunikasi, yakni bagaimana sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton dengan cara yang mengesankan. Pengertian mengesankan dalam hal ini adalah penonton dapat memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film. Media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Jurnalisme mungkin mendasarkan kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh prinsip kelayakan berita yang memotong realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik semacam itu. Ketika pembuat film memilih sebuah tema, maka yang membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan yang tak terbatas.34 5.4Film Sebagai Representasi Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film. Representai menunjuk baik pada proses maupun dari produk pemaknaan suatu 34 Eric Sasono, Film sebagai Kritik Sosial, dalam http://ericsasono.blogspot.com/, diakses pada tanggal 8 Juni 2010 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tanda. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk yang konkrit. Representasi juga mempunyai beberapa pengertian diantaranya adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, fotografi, film, dan sebagainya.35 Terkait dengan film yang akan diteliti, representasi merupakan konvensikonvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dipahami dengan mudah secara luas oleh audiencenya. Konvensi dalam bahasa representasi film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakannya. Penulis mengkategorikan film yang akan diteliti menjadi dua aspek. Kedua aspek tersebut meliputi: 1. Aspek Sosial Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film, hubungan antar tokoh, dalam film dan situasi yang digambarkan dalam film merupakan bagian dari aspek sosial. 2. Aspek Sinematografi Aspek sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap obyek, besar kecilnya obyek yang tertangkap pada kamera (shot distance), pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis user Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL Budi K Zaman, Bahasa Film: Teks dancommit Ideologi,toLaporan UGM. 1993, hal:83 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut. 5.5 Film Pendek Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang. Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film mainstream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum.36 Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Alur cerita adalah cara yang bagus untuk menciptakan pemahaman bersama tentang mengkomunikasikan pengalaman. Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit.37 Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema. 36 Gotot Prakosa, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih, 2001hal 25-26 user Film Pendek, Film Eksperimental, Derek Hill, dalam Gotot Prakosa, Filmcommit Pinggiranto: Antologi dan Film Dokumenter, FFTV IKJ & YLP, 1997 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Istilah „independent film‟ dan „independent filmmaker‟ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film. Definisi „independent film‟ pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan: “ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.” 38 Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu „sempit‟ untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat khususnya Hollywood mungkin definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang menyatakan bahwa: “Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, to user: A Complete Guide from Concept Gregory Goodell, Independent Featurecommit Film Production Through Distribution, St. Martin‟s Griffin; Rev Upd Su edition, 1998 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (Moran & Willis,….)39 Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka: “Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.” 40 Dalam sejarah film dunia, istilah „film pendek‟ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.41 39 http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php, diakses pada tanggal 8Juni 2010 40 commit to user Ibid 41 Ibid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kalinya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal, dari sudut pandang pemirsa karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian.42 Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.43 5.6 Semiologi dalam film Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Disamping itu, semiotika ( semiotics ) adalah salah satu dari ilmu yang beberapa ahli atau pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, 42 43 Ibid Ibid commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika "...pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)."44 Semiologi adalah istilah untuk ilmu tentang tanda-tanda yang dikemukakan ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Perbedaan ilmu tentang tanda, semiotik, pertama kali dikembangkan oleh filosof Amerika yang bernama Charles sanders Pierce. Sifat alami tanda yaitu menunjuk suatu karakter yang mengandung makna tersembunyi yang akan diterjemahkan sebagi tanda. Sebuah tanda akan disebut demikian dalam kenyataannya, berdasarkan penerimaan sebuah penafsiran dimana berdasarkan pula ketentuan tanda lain dalam suatu obyek yang sama. Struktur tanda tidak hanya terbatas pada representasi yang digunakan untuk menjabarkan hubungan antara tanda dan obyek, tapi juga membangkitkan suatu keyakinan.45 Semiotika adalah istilah yang saat ini secara umum digunakan untuk menunjukkan kedua sistem tersebut di atas. Keduanya menaruh perhatian mengenai bagaimana makna dibangkitkan didalam sebuah teks (film, program acara televisi, lagu, dan bentuk kebudayaan lainnya) yang melibatkan komunikasi dan transfer informasi. 44 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hal. 43-44 45 commit tothe user Pretelli, Susan, Abaout a Master of Sign, Starting Sign and it‟s Masters. www.augustoponzio.com perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal –hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 46 Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, dan keinginan. Obyek semiotika adalah teks. Teks dipahami bukan sebagai sesuatu yang dibaca saja tetapi juga semua hal yang memiliki kode-kode yang bisa dimaknai. Proses memaknai (signifikasi) teks, tidak hanya terbatas dalam bahasa saja, tetapi juga hal-hal lain. Barthes sendiri didalam bukunya yang berjudul mytologies, memperlakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi sampul majalah, film charlie chaplin, dan novel) seperti memperlakukan bahasa.47 Pada dasarnya film harus dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi sehingga pemahaman makna dalam film dapat dilihat dalam konteks yang jauh lebih luas. Makna yang diperoleh dari film akan lebih lengkap jika dikaji dengan melibatkan keseluruhan unsur-unsur komunikator dan komunikan, komunikasi juga melibatkan kebudayaan yang ada disekitarnya. 46 Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ketiga 2006, Hal.15 47 commit to user Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan INDONESIATERA, Magelang, cetakan pertama, Februari 2001. Hal 54 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Terlebih dari perkembangannya film telah mampu menjadi alat untuk refleksi dari masyarakat, dan tampaknya menjadi perspektif yang secara umum sebagaimana dikemukakan Garth Jowett:48 “(Its is more generally agree that mass media are capable of reflecting society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widst possible audiens.“ Yaitu lebih mudah disepakati bahwa media massa yang diwakili oleh film, telah mampu merefleksikan masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan audiens yang luas. Tetapi tidak hanya itu saja film ternyata juga memiliki banyak pesan didalamnya. Untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam film tersebut, maka dapat dilihat melalui kacamata semiotika. Dalam semiotika ada beberapa tahapan, tahap pertama adalah denotasi, makna denotasi merupakan makna harfiah dari suatu objek atau citra, yaitu apa yang tergambarkan pada objek atau citra tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama, makna denotasi tidak akan berbeda secara signifikan. Sedangkan konotasi kadangkala dinamakan sebagi signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda pertama dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya, konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan satu atau lebih fungsi tanda, makna konotasi dapat bervariasi diantara satu orang dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan diantara mereka, entah perbedaan usia, gender, kelas rasial dan sebagainya49. 48 Irawanto, Budi, Film,Ideologi, dan Militer, Hegemoni militer dalam sinema Ind, Media Pressindo, 1999, hal.13 49 Kris Budiman, Jejaring Tanda – Tanda Strukturalisme Dan Semiotik Dalam Kritik Kebudayaan, Indonesiatera, Magelang, hal 108-109 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan / memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Semiologi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari kajian elemen-elemen film yang luas dan beragam, sehingga dapat diperoleh makna yang meliputi berbagai dimensi. Semiologi memberikan pemahaman bahwa sebuah makna tidak dipahami secara pasif, tetapi secara aktif dalam proses interpretasi. Dan semiologi akan mengkaji simbol-simbol yang ada dalam film untuk direpresentasikandalam kehidupan nyata, sehingga dapat diperoleh makna tertentu Berikut adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh mereka, yakni, Charles Alexander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Bhartes. a. Charles Alexander Peirce Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran Charles Sander Peirce menekankan “produksi tanda” secara secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Peirce, yang merupakan ahli filsafat dan logika, mengungkapkan bahwa tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Pada teori semiotik yang dikembangkannya, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Peirce memusatkan perhatian pada tanda pada umumnya. Sedangkan semiotik signifikasi berakar pada pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.50 Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence), atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant). Yang dimaksud dengan subjek pada semiotika Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga entitas semiotika yang sifatnya abstrak sebagaimana disebutkan di atas yang tidak dipengaruhi oleh kebiasaan berkomunikasi secara kongkret. Menurut Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh interpretan.51 Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya unsur perantara adalah contoh dari Keketigaan. Peirce berusaha untuk menemukan struktur terner dimanapun mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan yang membaca tanda sebagai bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa dikatakan oleh 50 Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, SerbaSerbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal. 2 51 commit user Umberto Eco, Sebuah Pengantar Menuju LogikatoKebudayaan dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memilik penafsir). Peirce mengungkapkan “Sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisgn, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisgn adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu-lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.52 Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan commit to user 52 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) hal. 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat). Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign, atau dicisign, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki serangga, atau baru bangun, atau mengantuk. Dicentsign atau disign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan di pasang rambu lalu-lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.53 b. Ferdinand de Saussure Sumbangan utama Saussure pada dunia semiologi adalah diperkenalkannya dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai commit to user 53 Ibid, hal 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi (parole). Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat individu.54 Saussure membandingkan langue dengan sebuah kamus yang dibagikan pada setiap pemakai bahasa tertentu. Dalam berkomunikasi, seorang penutur seakan-akan mencari dalam kamus itu citra akustis yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Lawan bicara memiliki kamus yang sama (kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi komunikasi). Setelah menangkap rangkaian bunyi yang diucapkan penutur, ia mencari konsep dan citra akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kodekode tersebut. Saussure membayangkan ”kamus” ini sebagai suatu kumpulan guratan ingatan dalam otak setiap pemakai bahasa tersebut. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari “kamus” tersebut. Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi juga sekaligus bergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem.55 Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya 54 Ibid, hal 50 commit to user Martin krampen, Ferdinand de Saussure Dan Perkembangan Semiologi dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba serbi komunikas (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.55 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Kalau langue bersifat synchronic dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat diachronic dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi pembicaraan. Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistam tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas”, kata Saussure.56 Dalam melihat relasi petandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial convention), yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. commit to user 56 Alex Sobur, Op. Cit, hal. 46 (social perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi (signification). Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Meskipun demikian, signifikasi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tertentu, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Kompleksitas relasi ini yang digambarkan oleh Roland Barthes lewat “tingkatan signifikasi” (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. c. Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi saussurean. Minat utama Saussure adalah sistem linguistik, minat keduanya adalah cara sistem berealisasi dengan realitas yang diacunya, dan yang paling sulit dari semua itu adalah cara sistem berelasi dengan pembaca dan sosio-kulturnya. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentukbentuk kalimat menentukan makna; dia kurang tertarik terhadap kenyataan bahwa kalimat bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.57 Dengan kata lain, dia tak sungguh-sungguh memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dan teks. Dia menekankan commit to user 57 John Fiske, Op. Cit, hal. 117 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pada teks, bukan cara tanda-tanda didalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, tidak juga tertarik pada cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.58 Disinilah Bhartes mengambil peran untuk menyempurnakannya. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Dalam pegertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”. Pada proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya meagacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 59 Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos, 58 59 Ibid. hal. 118 Alex Sobur, Op. Cit. hal.70 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan semiotika Roland Barthes dianggap sebagai menyempurna semiotika Peirce dan Saussure. 5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan Kemerdekaan membawa seribu satu makna untuk setiap insan manusia. Ada yang mengartikan hal tersebut sebagai berakhirnya episode penjajahan dan penghinaan suatu bangsa atas bangsa lain, ada juga yang mengartikannya sebagai saat pembebasan dari belengggu kebebasan. Bagi mereka yang rendah dalam semangat dan pengetahuan, kemerdekaan hanyalah bagian dari sejarah suatu bangsa., yang karenanya tidak ada yang istimewa. Itulah gambaran umum yang kebanyakan dari orang yang belum bisa memahami lebih dalam akan arti kemerdekaan. Namun bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam perjuangan mewujudkannya, maka kemerdekaan menyiratkan makna yang lebih besar. Bagi mereka kemerdekaan adalah suatu hasil pengorbanan dan sekaligus anugerah untuk bangsa. Demi meraih kemerdekaan, nyawa dipertaruhkan, keluarga dan harta benda pun ditinggalkan. Segenap daya upaya dilakukan guna menuju sebuah gerbang kebebasan bernegara “merdeka”. Ikhtiar tersebut telah terlihat sejak zaman kerajaan hingga pergerakan nasional modern yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.60 Setelah melewati perjuangan yang pantang menyerah akhirnya Indonesia saat ini dapat merasakan alam dan menghirup udara kemerdekaan. Indonesia secara resmi memplokamirkan diri sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di rumah Soekarno di Jalan commit to userNasional Sampai Linggarjati, G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 dari Kebangkitan Yogyakarta, Kanisius, 1989, hal 27 60 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pegangsaan Timur 56.61 Setelah melewati kurun waktu yang panjang dan penuh kesengsaraan selama hampir tiga ratus lima puluh tahun dalam penindasan penjajah Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang, akhirnya bangsa Indonesia memplokamirkan kemerdekaan melalui dua tokoh yakni Ir. Soekarno dan M. Hatta. Kemerdekaan yang tidak diperoleh sebagai hadiah akan tetapi melalui proses perjuangan yang panjang. Semangat rela berkorban dan cinta tanah air baik harta benda bahkan nyawa berkobar dengan kuatnya demi tercapainya sebuah kemerdekaan. Selama berabad-abad masyarakat telah memuja individu-individu istimewa yang mereka sebut “pahlawan”. Sering tunduk kepada kesalahan menafsir dan klise, banyak dari ini “pahlawan” adalah apa yang kita sebut sebagai archetypal pahlawan, legenda yang dengan berani mengambil resiko hidup mereka dengan menaklukkan beberapa rintangan yang seringkali mustahil untuk dilakukan. Menurut Andrew Bernstein62 sosok pahlawan adalah “an individual of elevated moral stature and superior ability who pursues his goal indefatigably in the face of powerful antagonist(s)” (individu yang diangkat atau didukung oleh nilai-nilai moral yang tinggi dan kemampuan superior, dalam mencapai tujuannya berhadapan dengan musuh yang sangat kuat). Tingkatan moral mulia yang dimiliki oleh seorang pahlawan menjadi hal yang sangat penting untuk dasar dari konsep kepahlawanan. Menurut Bernstein, sosok pahlawan dihargai karena dia berdiri melakukan perlawanan terhadapa apapun yang bertentangan dengan nila61 Ibid, hal 89 commit toInc. user Andrew Bernstein Mentzer-Sharkey Enterprises, 2002, site by FX Media, Inc, www.fxmedia.com, diakses pada tanggal 20 Juni 2010 62 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id nilai yang diyakininya. Hal ini juga menunjukkan bahwa konsep kepahlawanan atau heroism memerlukan nilai-nilai konflik untuk keberadaannya. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang figure pahlawan, bebrapa fakta yang mungkin dapat dijadikan kesimpulan tentang bermacam gambaran tersebut adlah seorang pahlawan yang didefinisikan sebagai orangorang besar yang dalam pencapaiaanya menjadi inspirasi bagi banyak orang, orang-orang besar tersebut memiliki berbagai karakter khusus yang spesifik. Sebagaian besar dari karakteristik yang dimilki seorang pahlawan mungkin berupa kekuatan fisik yang menonjol, atau kekuatan moral dalam sebuah tujuan yang sedang diperjuangkannya untuk kepentingan banyak orang. Karakteristik fisikal dari seorang pahlawan yang lebih diakui oleh kebanyakan orang dapat dilihat dari teori dualism metafisik. Jika manusia melihat dirinya sebagai bentuk pemisahan tubuh dan pikiran, maka mereka akan bertahan pada kesimpulan bahwa roh berada dalam bentuk hiper sensitive, yang terlalu lemah untuk berada pada tataran fisik. Jika kemudian yang diperlukan dan digunakan untuk bertahan hidup pada tataran praktis adalah kekuatan-kekuatan fisik, maka tubuh manusialah yang akan mendapat penghargaan yang lebih. Dari pandangan inilah sebagian besar figure pahlawan berada dalam kualifikasi seorang pahlawan karena keunggulan fisik yang dimilikinya untuk menghadapi realitas pada tataran praktis. Walaupun kepahlawanan adalah konsep yang mimiliki berbagai penafsiran, beberapa pendapat dan definisi menunjukkan bahwa makna kepahlawanan yang “sebenarnya” bukan hanya sekedar tentang perbuatan yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menantang berbagai resiko kematian, tetapi adalah tentang membuat perbedaan posirif dan meningkatkan kehidupan; kepahlawanan adalah suatu ketaatan kepada suatu dorongan hati terdalam dari karakter seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan tentang definisi kepahlawanan yaitu: “perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, kesatriaan.” Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang turunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukanlah malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita.63 Tidak ada definisi tunggal mengenai pahlawan, tetapi secara umum ia diartikan sebagai orang yang dianggap berjasa bagi kepentingan orang banyak. Pahlawan adalah sosok yang berkorban untuk menyelamatkan nasib orang banyak. Sang pahlawan sendiri tidak peduli lagi nasibnya, apakah ia jadi martir atau masih hidup. Yang jelas ia telah diakui sebagai faktor perubah nasib bagi yang lain. Dari pemaparan diatas dapat kita tarik beberapa poin nilai-nilai kepahlawanan yakni: commit to user 63 M. Alfian Alfian, Kepahlawanan, Harian Kontan, 10 November 2007 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Keberanian Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan resiko. Dan, tak ada keberanian tanpa resiko.64 Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya. b. Percaya pada kekuatan sendiri Para pahlawan sejati selalu mengetahui kadar kepahlawanan dari setiap perbuatan dan karyanya. Mereka tidak biasa membesar-besarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya.65 Mereka juga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi 64 65 commit to user Anis matta, Mencari Pahlawan Indonesia (Jakarta: Tarbawi Center, 2004) hal.7 Ibid. hal. 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pahlawan. Mereka tidak akan pernah memaksakan kehendak dan juga tidak akan pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan memaksakan diri menjadi pahlawan dalam medan ilmu pengetahuan. c. Pantang Menyerah Dalam Menghadapi Tantangan Dan Ancaman Seorang Pahlawan boleh salah, boleh gagal, boleh tertimpa musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak boleh menyerah kepada tantangannya, dia tidak boleh menyerah kepada keterbatasannya. Dia harus tetap melawan, menembus gelap, supaya dia bisa menjemput fajar. Sebab, kepahlawanan adalah piala yang direbut, bukan kado yang dihadiahkan.66 Dibawah godaan keterbatasan dan kelemahan, dibawah tekanan realitas tantangan yang sering terlihat tidak memungkinkan untuk dihadapi, semangat perlawanan pahlawan teruji.67 Pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah adalah orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya. d. Rela Berkorban Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada 66 67 Ibid hal. 61 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang.68 e. Memiliki Rasa Persatuan dan Kesatuan Anggapan seorang pahlawan adalah orang yang relatif berbeda dari orang-orang yang biasa tidaklah salah. Anggapan tersebut menjadi salah jika kita kemudian menganggap lebih jauh bahwa yang berjasa dalam meraih sebuah cita-cita besar, kemerdekaan suatu bangsa misalnya, hanyalah pahlawan seorang.69 Sebuah cita-cita besar, pada akhirnya memang tidak dapat diselesaikan oleh seorang pahlawan saja. Akan tetapi seorang pahlawan melegenda karena dalam proses itu ia memberikan kontribusi yang paling besar dari lainnya. Salah satunya adalah sebagai pemersatu orang-orang yang sama-sama memperjuangkan cita-cita 68 69 Ibid hal.13 ibid hal.109 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena seorang pahlawan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Persatuan dan kesatuan adalah kekuatan tersendiri bagi orang-orang yang ingin mencapai sebuah cita-cita besar untuk kepentingan bersama.70 f. Mempunyai Toleransi yang tinggi Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.71 Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan. Bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya.72 g. Mempunyai Kesetiakawanan Sosial Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang 70 Ibid. Ahmad Masykur, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, commit to user elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf 72 Ibid. 71 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id rasa, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain, atau egois.73 Nilai kesetiakawanan sosial tercermin dari sikap mental yang dimiliki seseorang atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong untuk peduli melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi kesetiakawanan sosial adalah memberikan yang terbaik bagi orang lain.74 5.8 Aspek Sinematografi Tabel 1 Makna Teknik Pengambilan Gambar, Pergerakan Kamera,dan Pencahayaan Penanda Petanda 1. Ukuran Pengambilan Gambar (ShotSize) Big Close-up. Emosi, peristiwa penting, drama. Close-up. Keintiman. Medium shot. Hubungan personal dengan objek. Long shot. Konteks, jarak publik. Full shot. Hubungan sosial. Dominasi, kekuatan, kewenangan. Kesetaraan. Sudut Pengambilan Gambar (CameraAngle) High. Dominasi, kekuatan, kewenangan. Eye Level. Kesetaraan. Low. Kelemahan,tidak punya kekuatan. 73 Ibid. commithttp://www.suaramerdeka.com to user Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan, edisi 20 Desember 2004 74 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Jenis Lensa Wide angle. Dramatis. Normal. Keseharian, normalitas. Tele. Dramatis, keintiman, kerahasian. Komposisi Simetris. Tenang, stabil, religiusitas. Asimetris. Keseharian, alamiah. Statis. Ketiadaan konflik. Dinamis. Disorientasi, gangguan. Fokus Selective focus. Menarik perhatian penonton-‟lihatlah ke sini‟. Soft Focus. Romantika, nostalgia. Deep Focus. Semua elemen adalah penting-‟lihatlah semua‟. Pencahayaan High key. Kebahagian. Low key. Kesedihan. High contrast. Teatrikal, dramatis. Low contrast. Realistis, dokumenter. Penanda Petanda Kode Sinematik Zoom in. Observasi. Zoom out. Konteks. Pan (ke kiri-kanan). Mengikuti, mengamati. Tilt (ke atas-bawah). Mengikuti,mengamati. Fade in. Mulai/awal. Fade Out. Selesai/akhir. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dissolve. Jarak waktu, hubungan antar adegan. Wipe. Kesimpulam yang menghentak. Iris out. Film tua. Cut. Kesamaan waktu, perhatian. Slow motion. Evaluasi, apresiasi keindahan. Teknik-teknik pembuatan film dan maknanya. Sumber: Keith selby dan Cowdery, How to study Television, London: Macmillan Press Ltd, 1995:57-58 Keterangan: LS : Long Shot (setting dan karakter). FS : Full Shot (selutuh tubuh). MS : Medium Shot (hampir seluruh tubuh). MCU : Medium Close Up (sabatas dahi sampai wajah). CU : Close Up (hanya wajah). Cut to :Transisi (pindah dari satu gambar ke gambar lain). Tilt Down :Kamera mengarah ke bawah. Tilt Up :Kamera mengarah ke dalam. Zoom In :Kamera mengarah ke dalam. Zoom Out :Kamera mengarah ke luar. Sephia :Warna agak kecoklatan. Slow motion :Gerakan agak lambat Elemen simbolik lainnya: a. Kostum dan Objek Kostum dan objek digunakan tidak hanya untuk menunjukkan tempat dan waktu, tetapi mendukung alur dari sebuah cerita. Tanda-tanda commit to user yang terkandung di dalam kostum yang dipakai oleh seorang karakter perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dapat menjelaskan kepribadian atau maksud dari tujuan sebuah karakter. Objek juga berfungsi sebagai kunci simbolik dari informasi gambar tersebut. b. Bintang dan penampilan Bintang adalah ikon khusus yang memberi arti simbol kekuatan dan teridentifikasi dengan aliran tertentu disamping membentuk suatu personalitas tersendiri. Dalam mencari seorang aktor, diperhatikan tandatanda dalam komunikasi non verbal yang berupa gesture, kinestik (gerak), body language (bahasa tubuh), facial signal (raut wajah), gaze (tatapan wajah), Tactile (sentuhan fisik), dan proxemic (kedekatan). c. Suara Dapat berupa suara latar atau atmosfer dari suatu adegan, suara narator, sound effect, dan musik. Suara dapat memberikan kontribusi bagi fungsi naratif dan menambah efek emosional yang kuat. d. Setting Fungsinya adalah untuk menyatakan tempat dan waktu di mana cerita terjadi. Selain itu befungsi untuk mengkontruksi makna-makna tertentu yang dapat memberi kontribusi bagi struktur naratif cerita dan karakter dalam suatu film. Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat dua tingkatan makna yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos. Dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah film kita dapat mengetahui ekspresi emosi dan kognisi pembuat film atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembuat pesan baik secara denotatif, konotatif, sampai pada tataran mitologis. Model semiotika tidak dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan disini difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana proses tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna. 6. Definisi Konseptual 6.1 Film Pendek Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap „shot‟ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Yang menjadi pembedaan dengan sinema lainnya bukan berkutat di masalah durasi, masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide, ataupun alur cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre. Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah yang kemudian memberikan arti berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat dirasakan oleh penontonnya. 6.2 Kepahlawanan Kepahlawanan merupakan nilai-nilai luhur yang menunjukkan kualitas seseorang sebagai manusia yang perlu diteladani. Nilai-nilai tersebut berupa keberanian, dan kerelaan berkorban tanpa pamrih demi kecintaannya kepada tanah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id air dan bangsanya, percaya kepada kekuatan sendiri, pantang menyerah menghadapi setiap tantangan dan ancaman, rasa persatuan dan kesatuan yang dijiwai kekeluargaan, kesetiakawanan sosial dan toleransi yang tinggi, serta kepedulian terhadap sesama bangsa. Simbol sosial adalah suatu objek yang meliputi segala sesuatu hal yang dapat dirasakan atau dialami, yang menunjukkan nila-nilai yang berlaku dalam relasi sosial, dimana dalam realsi sosial dapat berperan sebagai pembentuk individu dalam masyarakat. Pada penelitian ini peneliti menggunakan simbolsimbol sosial yang merepresantasikan nilai-nilai kepahlawanan, antara lain: a. Keberanian Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.75 b. Pantang Menyerah Pantang Menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah adalah orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas commit to user 75 Anis Matta, Op. Cit,hal.7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya.76 c. Rela Berkorban Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang.77 d. Kesetiakawanan Sosial Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang 76 77 Anis Matta, Op.Cit. hal. 61 Anis Matta,Op.Cit. hal. 13 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id rasa, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain, atau egois.78 7. Kerangka Pikir Untuk mengetahui simbol – simbol sosial tentang nilai-nilai kepahlawanan dalam film Harap Tenang Ada Ujian, peneliti akan memaknai simbol – simbol dalam film dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes. Pemaknaan film dengan menggunakan metode ini memungkinkan terjadinya penafsiran makna yang sifatnya subyektif, sesuai dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Prosesnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada sinifikasi tahap pertama yang menghasilkan makna denotasi, dan signifikasi tahap kedua yang menghasilakan makna konotasi. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari komunikan serta nilai-nilai kebudayaan (mitos). Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif.79 Selain itu dalam makna konotasi akan dibagi lagi menjadi dua aspek pembangunnya, yaitu aspek sosial, dan juga aspek sinematografi. 1. Aspek Sosial Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film, hubungan antar tokoh dalam film dan situasi yang digambarkan dalam film merupakan bagian dari aspek sosial tersebut. 78 Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com edisi 20 Desember commit to user 2004 diakses tanggal 23 Juli 2010 79 Budiman, Kris. Semiotika Visual, Yogyakarta: Penerbit Buku baik, Yogyakarta : 2003. hal.63 perpustakaan.uns.ac.id 2. digilib.uns.ac.id Aspek Sinematografi Aspek Sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap objek, besar kecilnya objek yang tertangkap pada kamera (shot distance), pencahayaan, setting, dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut. Peneliti akan berusaha mengungkapkan pesan sesungguhnya dari tandatanda yang merepresentasi nilai-nilai kepahlawanan tersebut berdasarkan rujukan/ refrensi dari berbagai sumber dan data. Pada penelitian ini kerangka pikirnya adalah sebagai berikut : Simbol sosial visual, verbal, teknis Film Harap Tenang Ada Ujian Nilai-nilai Kepahlawanan: a. Keberanian b. Percaya Pada Kekuatan sendiri c. Pantang Menyerah d. Rela Berkorban e. Persatuan dan Kesatuan f. Toleransi g. Kesetiakawanan Sosial 8. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Denotasi Semiologi Roland Barthes Konotasi Mitos commit to user MAKNA perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Fenonomenologi diartikan sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenogikal atau bisa juga diartikan sebagai suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang.80 Namun pada penelitian deskriptif kualitatif ini tidak sepenuhnya mengakar pada penilitian kualitatif, hanya kebiasaan dan pengaruh antara pandangan kuantitatif-kualitatif sajalah akhirnya melahirkan tipe penelitian kualitatif deskriptif tersebut, sehingga tipe penelitian kualitatif deskriptif lebih tepat disebut sebagi quasi-kualitatif.81 Gambaran kedudukan sederhana dari penggunaan teori pada researc deskriptif kualitatif adalah model induksi. Model Skema Kedudukan induksi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Skema 1. Ket: Model Induksi 2: Blank Theory and Data Focus Pada model induksi ini dijelaskan bahwa pemahaman terhadap teori bukan sesuatu yang haram, namun data tetap menjadi fokus peneliti di lapangan. Teori menjadi tak penting, namun pemahaman objek penelitian secara teoritis juga membantu peneliti di lapangan saat mengumpulkan data. Peneliti tidak perlu buta 80 Moleong,Lexy J Prof, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan ke-23 Bandung, 2007. Hal.14 81 Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif :Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu to user Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta, Sosial Linnya, Kencana Prenada Mediacommit Group Pengajar 2008 Hal. 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sama sekali terhadap data namun pemahamannya terhadap data sebelumnya cukup membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori sedikit banyak membantu peneliti untuk membuka misteri data yang sebenarnya tidak diketahui peneliti, namun fokus peneliti hanya tertuju pada data karena pemahaman terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian.82 Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa kata – kata, kalimat, atau gambar, yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Peneliti juga menekankan catatan yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya. Penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat individu, keadaan, gejala, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat.. Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodelogi kualitatif“ sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapat diamati.83 Jenis penelitian kualitatif tidak mendasarkan bangunan - bangunan teori dan konsep sebagai hal utama pada tahap awal. Penelitian dalam kultur ini memulai dari data yang ada di lapangan. Kerangka teori dan pemikiran tidak untuk diuji dan dijadikan sebagai batasan, melainkan lebih sebagai refrensi bagi peneliti untuk berjalan. Teori dan kerangka pikir dalam peneliti ini akan terus - -menerus dibangun selama proses penelitian berlangsung. 2. 82 83 Metode Penelitian commit to user Ibid, Hal. 23 Lexy J. Moleong, 1991, Metodologi Penelitian Kuaitatif, PT Remaja Rodakarya,Bandung, Hal.3 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Untuk mencapai tataran pemaknaan pesan yang menunjukkan maka penelitian ini megunakan analisis semiologi. Dengan metode ini dititikberatkan tidak pada pemusatan transmisi pesan, melainkan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai – nilai dan bagaimana nilai – nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna. 3. Objek Penelitian Film Harap Tenang Ada Ujian. Peneliti akan melakukan capturing gambar dalam sebuah adegan yang menunjukkan representasi melalui tanda – tanda berikut : a. Tanda-tanda verbal yang meliputi dialog, monolok dan musik latar. b. Tanda-tanda non verbal yang meliputi : - Komposisi visual berupa perpaduan unsur pembentuk gambar, antara lain terdiri dari perpaduan warna, bahsa tubuh, tokoh, kostum dan make up. - Pergerakan kamera ( camera movement ) yang berupa teknik pengambilan gambar dengan menggunakan kemera video pada tiap scene – nya. - Latar belakang lokasi ( setting ) yang berupa penggunaan lokasi dalam situasi dan alur cerita. - Pencahayaan ( lighting ) yang berupa teknik pemberian cahaya pada tokoh atau lokasi dalam situasi dan alur cerita. 8.1 Teknik Pengumpulan Data commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Observasi dengan mengamati objek penelitian yaitu Film Harap Tenang Ada Ujian b. Studi Dokumen dan Literatur yaitu dengan mencari acuan teoretis atau data yang mendukung. 8.2 Analisis Penelitian Analisis dilakukan dalam 3 tahap. Tanda pada tahap pertama yang terdiri dari penanda dan petanda akan memunculkan makna denotatif. Makna denotatif ini kemudian menjadi penanda bagi makna mitologis tingkat kedua. Makna denotatif adalah makna dari apa yang terindera, harfiah dan eksplisit. Sedangkan makna konotatif adalah makna kiasan, tersembunyi dan implisit. Penanda konotasi (konotator) dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi, dengan mengaitkan teks-teks yang ada didalam tanda. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal ; sedang petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah dan melaluinya dunia lingkungan menyerbu sistem itu.84 Kemudian dari makna konotasi dapat diambil sebuah mitos yang ada di dalam setiap elemennya. Mitos, menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sbeuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. 85 Didalam mitos terdapat juga pola tiga dimesi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai 84 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan INDONESIATERA, Magelang, cetakan commit to user pertama, Februari 2001. Hal 68 85 Ibid, Hal 84 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id suatu sistem yang unik, mitos justru dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, setelah terbentuk sistem tanda – penanda – petanda: tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Langkah yang dilakukan adalah mengelompokkan adegan yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film. Selain itu juga aspek yang kedua yaitu berupa aspek sinematografi, dimana dalam setiap korpus dijelaskan melalui cara pengambilan gambarnya, seperti jarak, ketinggin, sudut, lama pengambilan, dan sebagainya. Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan obyek yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah oyek diambil gambarnya oleh kamera.86 BAB II SEKILAS TENTANG FILM HARAP TENANG ADA UJIAN DAN FOURCOLOURS FILMS 86 Pratista, Himawan. Memahami Film,Homerian Pustaka. 2008. Cetakan kedua. Hal.89 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1. Film Harap Tenang Ada Ujian HARAP TENANG, ADA UJIAN! English Title : Be Quiet, Exam Is in Progress! Format : DV / Color / 16 : 9 Durasi : 15 minutes Sutradara : Ifa Isfansyah Penulis Naskah : Ifa Isfansyah Produser : Damiana Widowati, Chandra Endroputro, Ary Juwono Pemain : Fendy Riyadi, Takahiro Saito, Hiroaki Kato Co-production : Freemovie Media Tahun Produksi : 2006 Sinopsis : Pada tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 WIB, kota Jogjakarta diguncang commit to user gempa berkekuatan 5.9 skala richter yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Hari itu tepat sepuluh hari sebelum siswa sekolah dasar menghadapi ujian akhir dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006. Film berdurasi 15 menit yang diproduksi tahun 2006 bercerita tentang anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta, yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, datang sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk memberi bantuan. Anak itu mengira jika sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk menghalau para sukarelawan Jepang. 2. Festival dan Awards HARAP TENANG, ADA UJIAN! (BE QUIET, EXAM IS IN PROGRESS!) 1. Best Short Film / Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006. 2. Best Short Fiction Film / KONFIDEN Short Film Festival 2006. 3. Slingshort Film Festival 2006. 4. Best Short Film / Indonesian Film Festival 2006. 5. Singapore International Film Festival. 6. In Competition / Short Shorts film FESTIVAL & ASIA 2007. 7. International Signes de Nuit Festival Paris 2007. 8. Bergamo Internazionale d'art Festivale 2007. 9. In Competition / Almaty International Film Festival 2007. 10. In Competition / Cinemanila Film Festival 2007. 11. In Competition / Third Eye Film Festival Mumbai 2007 12. Berlin Asian Hot Shot Festivalcommit 2008 to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3. Profil Sutradara Ifa Isfansyah lahir di Jogjakarta 1979, dan telah menyelesaikan studinya di ISI Jogjakarta jurusan Televisi. Pada tahun 2001, bersama beberapa temannya mendirikan komunitas film indie yang diberi nama Fourcolours Films dan kini telah aktif memproduksi film pendek. Dia membuat film pendek pertamanya Air Mata Surga pada tahun 2002 bersama Eddie Cahyono, film pertamanya ini diundang pada Festival Film-Video Independen Indonesia 2002 sebagai film pembuka, dan juga ikut dalam Hamburg and Clermont-Ferrant Film Festival. Film pendeknya yang berjudul Mayar berhasil mendapatkan penghargaan untuk Best Cinematography dan Best Art Directing di Festival Film-Video Independen Indonesia 2002, dan ikut serta dalam Rotterdam Film Festival. Selain film Ifa juga menyutradarai beberapa iklan dan serial TV. Dia menulis scenario untuk film pendek Bedjo Van Derlaak dan memenangkan penghargaan 1st prize student competition award di Bali Int‟l Film Festival 2003. Pada tahun 2006 dia kembali membuat film pendek , “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mendapatkan penghargaan di beberapa festival film, seperti Audience Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Film Pendek Terbaik di Festival Film Pendek Konfiden, Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2006, serta beberapa nominasi di Short Shorts Film Festival & ASIA 2007, Tokyo Japan, Almaty International Film Festival, Kazakhstan 2007 and Third Eye Film Festival 2007, Mumbai India. Film pendeknya yang berjudul Setengah Sendok Teh juga telah ikut dalam International Film Festival Rotterdam dan Hongkong Independent FIlm Video Award 2008. Ifa juga mengikuti Asian Film Academy Pusan Int‟l Film festival commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2006, dari Pusan Film Festival dia mendapatkan beasiswa di Dongseo University Film Faculty/Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts. Setelah menyelesaikan studinya di Korea dia kembali ke Indonesia dan menyutradarai film panjang pertamanya Garuda di Dadaku pada tahun 2009. 4. Profil Fourcolour Films Fourcolours Films adalah sebuah rumah produksi di Jogjakarta. Pada awalnya adalah sebuah komunitas film independen yang dibuat oleh beberapa anak muda pada tahun 2001. Mulai tahun tersebut aktif membuat film-film pendek dan beberapa diantaranya berhasil memenangkan penghargaan di festivalfestival film. Film pendek pertama Diantara Masa Lalu dan Masa Sekarang yang dibuat pada tahun 2001 berhasil memenangkan Film terbaik dan Film Favorit pilah penonton di Festival Film-Video Independen Indonesia 2001 dan aktor terbaik dalam Festival Film Independen Indonesia 2001. Setelah itu pada tahun 2002 membuat film dengan judul Air Mata Surga dan Mayar. Film “Air Mata Surga” menjadi film pembuka di Festival Film-Video Independen Indonesia 2002, sedangkan “Mayar” berhasil memenangkan SET award untuk penata kamera dan penata artistik terbaik di festival yang sama. Film ke empat adalah Bedjo Van Derlaak yang dibuat pada tahun 2003. Film itu berhasil menjadi best picture pada student film competition di Bali International Film Festival 2003. Mulai tahun 2003 Fourcolours mengembangkan usahanya dan mulai membuat produk-produk video yang bersifat komersial, seperti Iklan televisi, Video profile dan Video klip. Beberapa produk itu bahkan berhasil memenangkan penghargaan di beberapa commit to user berhasil meraih iklan terbaik di festival, Iklan komersial untuk kopi blandongan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pinasthika Ad Festival dan Citra Pariwara 2005. Tahun 2006 kembali membuat beberapa film pendek, yaitu Untuk Perempuan (2006), Nyanyian dari Surga (2006), Harap tenang, ada ujian! (2006) dan Setengah Sendok Teh (2007). Bahkan Film Harap tenang, ada ujian! berhasil menjadi film pendek terbaik di JogjaNETPAC Asian Film Festival, Festival Film pendek Konfiden dan Festival Film Indonesia 2006. Beberapa film-film pendek tersebut juga berhasil diputar di beberapa festival film di dunia, seperti festival film internasional di Tamperre, Roterdam, Hamburg, Singapura, Australia, Clemant-Ferrand, Tokyo. BAB III ANALISIS DATA 1. Aplikasi Sistem Pertandaan dalam Semiologi Roland Barthes Roland Barthes menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan gagasan makna interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of signification). Tatanan tanda yang pertama disebut commit to user denotasi. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Tatanan denotasi mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda.87 Tatanan tanda yang kedua disebut sebagai konotasi. Konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tandaq bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Hal ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif : hal ini terjadi ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Barthes menegaskan bahwa setidaknya dalam foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini;ini mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai(frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto,sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.88 Studi media massa pada dasarnya mencakup pencarian pesan dan maknamakna dalam materinya, karena sesungguhnya basis studi komunikasi adalah proses komunikasi, dan intinya adalah makna. Dengan kata lain, mempelajari 87 John Fiske,Cultural and Communication Studies:sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Diterjemahkan dari Introduction to Communication studies,2 nd edition, Rotledge,1990. Penerjemah Drs. Yosal Iriantara,MS. dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta & Bandung : commit to user Jalasutra,2004. hal. 118 88 ibid. hal.119 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apanya, seberapa jauh tujuannya, bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri. Karena itu metodologi dalam komunikasi ditandai (signalled) oleh kita. Hal ini bisa dianggap sebagai dasar dari studi komunikasi dimana penandaaan dapat terjadi dengan pelbagai cara. Kerana itu pemahaman dan analisis dari tandatanda yang spesifik amatlah krusial untuk mengerti pesan dan maknanya. Sejumlah tanda akan selalu menambahkan makana yang utuh dalam pesan. Sementara itu, sekumpulan tanda dan bentuk yang khusus seperti wicara, tulisan dan gambar disebut dengan kode. Kode-kode itu ditentukan melalui konvensi atau aturan yang tidak tertulis tentang bagaimana digunakan dan bagaimana memahaminya. Misalnya, dalam aturan kode visual, bagian yang terpenting senantiasa berada di tengah dan bukan dipinggir. Akan tetapi, mungkin juga terdapat kode-kode di dalam kode yang juga kita pelajari disebut dengan kode sekunder (secondary code). Kode sekunder ini juga beroperasi dalam konvensi. Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotik. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest,film dibangun dengan tanda semata-mata.89 Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan, yang paling penting ialah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar) dan masuk film. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. 89 Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) commit to user Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi hal.1. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Karena itu menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur,terutama indeksikal,pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis,yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.90Memang,ciri gambargambar film adalah persamaan dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Pada akhirnya seluruh elemen dari makna (yang terdiri dari tanda-tanda, simbol,indeks,ikon) senantiasa akan dikonstruksikan ke dalam konvensi yang khusus. Pembentukan konvensi sebuah barang tentu merupakan kerja ideologis. Karena, konvensi tidak pernah dirumuskan di dalam ruang hampa. Proes konstruksi inilah yang akan dijadikan basis deskripsi terhadap objek kajian. Dalam hal ini adalah representasi nilai kepahlawanan. Dalam teks film ideologi sudah tentu bekerja bukan hanya pada aspek isi, tetapi juga pada bentuk. Mengingat bahwa kajian ini bersifat semiotik, maka bahasa gambar sangat diperhitungkan. Karena ideologi beroperasi tidak melalui ekspresi-ekspresi langsung, maka ia tidak pernah sebagaimana pernyataan langsung. Dengan kata lain, ideologi bersembunyi di dalam struktur naratif,kodekode,konvensi serta cita-cita (images) yang dibangun melalui bahasa filmis. Karena itu, penting dilakukan kajian hanya pada ungkapan-ungkapan sinematik yang dipilih dan diolah. Sistem penandaan dalam seluruh teks film akan dianalisis pertautannya dalam konteks ideologi ini. Produksi film selalu melibatkan tanda-tanda verbal dan non-verbal. Secara sederhana,tanda verbal merupakan unsur-unsur bahasa. Sementara tanda non commit to user 90 ibid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id verbal menunjukkan ungkapan-ungkapan komunikasi lainnya yang secara tidak langsung berkaitan dengan bahasa dan film itu sendiri. 2. Simbol Sosial Nilai-Nilai Kepahlawanan Dalam Film Harap Tenang Ada Ujian 2.1 Keberanian a. Denotatif Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.91 Secara denotatif simbol sosial Keberanian diperlihatkan melalui gambar/visual dan dialog. 1. Visual Gambar yang menunjukkan simbol sosial Keberanian diambil dari scene 4, scene 5, dan scene 6. Pada malam sebelum gempa terjadi si anak kecil tengah belajar untuk persiapan ujian sejarah, dan ayahnya tengah memasang televisi baru dan jadwal pertandingan piala dunia. Gempa yang melanda Jogja pada keesokan paginya telah menghancurkan rumah dan menewaskan ayah si anak kecil tersebut. Si anak kecil masih menemukan buku sejarah yang semalam dipelajarinya, diapun melanjutkan belajarnya hingga tertidur didalam kardus. Ketika anak kecil terbangun dia melihat orang asing yang tengah mendirikan tenda dan memasang bendera Jepang. commit to user 91 Anis matta, Mencari Pahlawan Indonesia (Jakarta: Tarbawi Center, 2004) hal.7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pelajaran tentang perjalanan sejarah Indonesia ternyata membekas sangat kuat dalam ingatan anak kecil ini sehingga ketika melihat seorang relawan Jepang yang sekiranya hendak membantu Jogja pasca bencana gempa dikiranya hendak menjajah kembali. Dari situlah si anak kecil berpikir bahwa orang Jepang yang sedianya adalah relawan yang akan membantu evakuasi gempa dikiranya adalah penjajah Jepang yang kembali menjajah Indonesia. Rasa penasaran tentang tujuan kedatangan orang Jepang ini, ternyata mengalahkan rasa takut didirinya. Ia-pun memutuskan untuk menyelinap masuk ke tenda relawan tersebut agar bisa tahu apa tujuan relawan tersebut mengunjungi tanah kelahirannya hanya dengan berbekal ketapel. 1.1.1 Scene 4 1. a 2.a 1. b 2.b 2.c commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dilihat dari gambar pada penggalan scene 4, simbol sosial Keberanian ditunjukkan oleh anak kecil tersebut, setelah pada siang hari dia melihat kedatangan relawan Jepang yang mendirikan tenda kemudian pada malam hari dia memutuskan untuk mengendap-endap mendatangi tenda relawan Jepang tersebut sendirian (gambar 1a dan 1b). Bukan tanpa resiko, setelah gempa melanda Jogyakarta keadaan menjadi gelap gulita, dan dibutuhkan keberanian yang sangat tinggi. Kemudian ketika relawan Jepang tersebut pergi, anak kecil itu memasuki tenda dan menggeledah barang-barang yang ada di dalam tenda. Disana dia menemunkan kotak yang ternyata hanya berisi senter dan makanan (gambar 2a dan 2b), kemudian ada mini tv dan sebuah peta yang telah ditandai (gambar 2c). dengan menggunakan senter yang dia temukan, dia mempelajari peta yang telah ditandai itu dan menurutnya itu adalah daera-daerah yang akan “dijajah” oleh relawan Jepang tersebut. 1.1.2 3.a Scene 5 3.b commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3.c digilib.uns.ac.id 3.d 3.e 3.f 1.1.3 Scene 6 3.g 3.h Simbol sosial keberanian yang lain ditunjukkan melalui gambar dalam scene 5 dan scene 6. Setelah melakukan penyelidikan di tenda commit to user untuk melakukan penyerangan relawan Jepang, anak kecil memutuskan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terhadap relawan Jepang pada keesokan harinya. Bersenjatakan ketapel, ia mendatangi relawan tersebut untuk berusaha mengusirnya. Sebagai anak yang masih polos tentulah ia tidak tahu maksud sebenarnya kedatangan orang Jepang itu. Ingatannya hanya terpaku pada kesimpulan bahwa bangsa Jepang adalah penjajah sehingga harus diusir dari bumi pertiwi. Keberanian yang berawal dari kebencian terhadap penjajahan telah mendorongnya untuk melawan tanpa rasa takut walaupun secara fisik ia masih anak-anak. Karena tidak sengaja menginjak kaleng bekas sehingga menimbulkan suara, maka keberadaanyapun diketahui relawan Jepang, dan terjadilah kejar-kejaran antara anak kecil dan relawan Jepang hingga akhirnya relawan Jepang jatuh ke sungai. Hanya dengan bersenjatakan ketapel, anak kecil itu mengancam relawan Jepang dan menyuruhnya pergi dari Negara Indonesia (gambar 3f). Relawan Jepang berusaha menjelaskan kedatangan mereka ke Jogjakarta adalah untuk menolong korban gempa. Namun keterbatasan bahasa diantara relawan Jepang dan anak kecil itu membuat kesalah pahaman terjadi. Relawan Jepang memutuskan untuk mengalah pada anak kecil dan mengemasi barang-barang mereka dibawah ancaman ketapel anak kecil. Disini (gambar 3b dan 3c) diperlihatkan keberanian seorang anak kecil yang demi rasa cintanya pada tanah air berani mengusir Jepang yang menurutnya akan kembali menjajah Indonesia. Karena menurut dia keadaan yang kacau porak poranda serta kematian ayahnya disebabkan oleh kedatangan orang Jepang tersebut yang akan kembali menjajah Indonesia. Maka dengan keberaniannya dia commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berusaha untuk mengusir orang-orang Jepang tersebut agar segera meninggalkan Indonesia. 2. Verbal Dialog adalah proses komunikasi antara dua atau lebih agen. Struktur dialog manusia kadang dipengaruhi oleh emosi, situasi serta berbagai faktor lain.92 Dalam dialog scene ini ditunjukkan juga simbol sosial keberanian, diambil dari scene 5. Table 1. dialog antara anak kecil dan relawan Jepang Scene 5 Anak kecil : Minggat, minggat koe seko negoroku! Relawan jepang : Boy.. (boku) please don‟t misunderstand Anak kecil : Buku opo? Minggat! Relawan jepang : We‟re just going to (nanda) help you! Anak kecil : Nandang opo? Alasan! Koe penjajah! Relawan jepang : You‟re safe now! Anak kecil : Koe wis mateni bapakku! Table 2. dialog antara anak kecil dan relawan Jepang scene 6 Relawan jepang : Ok, we‟re go home, take care of yourself, boy If I met Indonesian volunteer I‟ll tell them about you They‟ll help you Anak kecil : Rasah cerewet! Minggat! Dalam dialog yang terjadi antara anak kecil dan relawan Jepang mengalami kendala keterbatasan bahasa diantara mereka berdua. Relawan commit to user www.aqwamrosadi.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/12721/pertemuan%2B9.doc, diakses pada tanggal 2 Juli 2010 92 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Jepang yang menggunakan bahsa Jepang tidak mengerti bahasa Jawa yang digunakan anak kecil tersebut. Begitu juga sebaliknya, si anak kecil juyga tidak mengerti apa yang dikatakan oleh relawan Jepang itu. Relawan Jepang bermaksud menjelaskan bahwa mereka datang ke Indonesia untuk membantu korban gempa yang ada di Jogjakarta, tetapi anak kecil tetap menganggap bahwa mereka hanya beralasan saja, karena mereka adalah penjajah dan menyuruh mereka agar segera meninggalkan Indonesia. 3. Teknis Simbol Teknis pada Scene 4 Setting : Tenda relawan Jepang. Properti : Mini tv, peta, box yang berisi makanan (dalam tenda). Pemeran : anak kecil Kostum : Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana pendek. Pencahayaan : Low key dan low contrast. Sound : natural sound. Teknik Kamera : Pada awal scene ini gambar dambil melalui teknik Long Shot. Pada scene selanjutnya menggunakan Medium Shot. Kamera bergerak mengikuti anak kecil yang menggeledah tenda relawan Jepang. Simbol Teknis pada Scene 5 Setting : Di pinggir sungai Properti : Ketapel Pemeran : Anak Kecil, Relawan Jepang Kostum : Anak kecil masih mengenakan kaos bola dan celana pendek dan Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana jeans. Pencahayaan : High Level Sound : natural sound. Teknik Kamera : Ukuran Medium Shot dan High Angle. Kamera bergerak statis dengan perpindahan gambar cut to cut. Simbol Teknis pada Scene 6 Setting : Tenda Relawan Jepang Properti : Ketapel, tas dan perlatan milik Relawan Jepang, kaos bola, ayunan. commit to Relawan user Pemeran : Anak Kecil, Jepang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kostum : Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana pendek dan Relawan Jepang mengenakan kaos, jaket dan celana jeans. : High Level : natural sound. : Long Shot. Kamera bergerak ( panning ke kanan ) mengikuti Relawan Jepang. Pencahayaan Sound Teknik Kamera b. Konotatif Menurut penulis suatu usaha atau perjuangan untuk mencapai suatu tujuan cita-cita ataupun kemenangan pastilah akan disertai dengan resiko. Untuk mengahadapi resiko tersebut dibutuhkan keberanian untuk mengahadapinya agar tujuan atau cita-cita dapat tercapai. Seperti adegan yang diperlihatkan dalam scene 4, 5, 6, keberanian yang dimiliki anak kecil membuatnya tidak takut untuk mengusir relawan Jepang yang dianggapnya sebagai sebuah ancaman bagi rakyat Indonesia. Pada adegan penyelidikan di tenda relawan Jepang yang dilakukan pada malam hari menggunakan pencahayaan low key dan low contrast, hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kesan mencekam, didukung dengan natural sound yang menunjukkan suasana malam hari. Pada awal scene ini gambar dambil melalui teknik long shot, dimana relawan Jepang dan anak kecil nampak jelas dan latar belakang disekelilingnya sengaja diperlihatkan. Pada scene selanjutnya menggunakan medium shot, pengambilan gambar dengan teknik ini bertujuan agar ekspresi wajah si anak kecil dapat disajikan kepada penonton dan menunjukkan aktivitas pengintaian yang dilakukan si anak kecil. Kamera bergerak mengikuti commit to user anak kecil yang menggeledah tenda relawan Jepang. Pergerakan kamera perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ini juga bertujuan untuk menunjukkan apa yang ditemukan oleh si anak kecil. Dalam adegan pengusiran yang dilakukan pada siang hari si anak kecil masih mengenakan kaos bola dan celana pendek dan Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana jeans. Menurut penulis hal ini menegaskan bahwa semua harta benda telah hilang terkena gempa sehingga tidak ada baju ganti. Pencahayaan high level digunakan untuk menunjukkan suasana di luar ruangan pada waktu siang hari dan natural sound untuk mendukung suasana. Teknik pengambilan gambar dengan ukuran medium shot dan high angle digunakan untuk menampilkan ekspresi anak kecil yang sangat marah kepada relawan Jepang dan menekankan dominasi anak kecil atas relawan Jepang. Kamera bergerak statis dengan perpindahan gambar cut to cut. Mulai dari medium shot wajah anak kecil berpindah ke medium shot wajah relawan Jepang. Hal ini menunjukkan sedang terjadi pengusiran yang dilakukan anak kecil terhadap relawan Jepang. Teknik pengambilan gambar long shot digunakan pada adegan pengusiran relawan Jepang, teknik ini digunakan dengan tujuan menampilkan suasana dan aktivitas pengusiran anak kecil terhadap relawan Jepang. Kamera bergerak (panning ke kanan) mengikuti relawan Jepang. Teknik ini untuk mendekatkan hubungan pemirsa dengan objek, dipertegas dengan ekspresi sedih wajah relawan Jepang yang menatap ke depan dan ekspresi kemarahan dari wajah anak kecil. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa penjelasan beberapa unsur diatas seperti pencahayaan low key dan low contrast untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id adegan penyelidikan pada malam hari dan beberapa teknis pengambilan gambar semakin menjelaskan tentang keberanian anak kecil. c. Mitos "Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa.." - Julius A Cartage "Berani bukanlah siap menghunus pedang.. tetapi siap memasukkan pedang ke sarungnya" - Dawson Peter Amstrong93 Tercatat dalam perjalanan bangsa Indonesia, Jepang pernah menjajah negeri ini selama tiga setengah tahun. Penderitaan yang diakibatkan oleh kekejaman bangsa Jepang ini bahkan disejajarkan dengan penjajahan Belanda selama hampir tiga setengah abad. Sehingga meskipun kedatangan relawan Jepang ke Jogjakarta adalah untuk membantu evakuasi korban gempa, mereka tetap dianggap sebagai penjajah yang akan kembali menjajah bangsa Indonesia. Salah satu syarat untuk menjadi pemenang adalah mempunyai keberanian. Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan jika ia tidak pemah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangantantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Karena pekerjaan dan commit to user 93 http://id.wikiquote.org/wiki/Keberanian, diakses pada tanggal 20 Juni2010 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian tanpa risiko. Keberanian merupakan aset yang sangat berharga bagi pribadi kita. Keberanian bisa menjadikan sesuatu yang tadinya tidak mungkin menjadi mungkin. Keberanian bisa menjadikan sikap negative menjadi positif, loyo menjadi semangat, takut menjadi berani, pesimis menjadi optimis, miskin menjadi kaya, gagl menjadi sukses. Keberanian juga dapat dirumuskan sebagai suatu kualitas, yakni sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan dialami, bukan kata-kata, bukan rumusan pikiran, seperti yang ditulis oleh Jakob Somarjo dalam artikelnya yang berjudul Renungan Keberanian. Keberanian adalah sebuah sikap, sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan yang membuatnya tidak populer dan kehilangan.94 Keberanian itu sebuah kemuliaan, seperti kata Hemingway. Pengarang ini menggambarkan kualitas keberanian lewat matador-matador yang siap mati di lapangan melawan banteng. Lewat para sukarelawan yang berperang di lain bangsa. Lewat kisah-kisah pemburu singa di afrika. Mereka sendirian menghadapi marabahaya dan maut yang setiap saat dapat merenggut jiwanya.95 Catatan sejarah telah membuktikan, begitu banyak prestasi spektakuler di segala bidang tercipta di dunia ini karena faktor Keberanian. 94 95 Jakob Somarjo, Renungan Keberanian,commit Kompas,to26user Januari 2008 Ibid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Baik prestasi yang diciptakan oleh para ilmuwan, olahragawan, tokoh politik, wiraswastawan, professional dll. Sebaliknya begitu banyak orang mengalami kegagalan karena kurangnya keberanian, mungkin mereka mempunyai ide cemerlang, namun karena takut gagal dan takut mencoba, akhirnya semua ide menjadi layu dan mati. Di lain pihak, orang lain bisa sukses karena mereka lebih berani dengan bergerak lebih cepat. Maka bila ingin lebih berkembang dan sukses, sudah pasti harus mempunyai Keberanian, Keberanian untuk mencoba, keberanian untuk memperjuangkan apa yang di cita-citakan.96 Namun, kadang keberanian diartikan secara dangkal, yaitu kenekatan. Karena memang, letak keberanian dengan kenekatan itu sangatlah dekat. Keberanian adalah sifat pertengahan antara penakut, pengecut dan berani tanpa perhitungan atau kenekatan seperti apa yang dikatakan oleh Aristoteles tentang keberanian pada salah satu analisisnya yang berjudul Nichomacean Ethics: “Courage is a mean between cowardice and thoughtless rashness” (Arti keberanian berada diantara kepengecutan dan tindakan tanpa berpikir (kenekatan)).97 Pada strategi perang Jenderal Sun Tzu ada prinsip mendasar yang berbunyi “kemenangan besar hanya bisa dilakukan oleh orang yang berani ambil resiko besar”. Prinsip ini menegaskan bahwa tanpa keberanian mengambil taktik berisiko besar, maka kemenangan besar sulit diraih. Inti 96 http://andriewongso.com/artikel/aw_artikel/75/Kekuatan_Keberanian/, diakses pada 20 Juni 2010 97 commit to user2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Brumbaugh, Robert S. "Aristotle." Microsoft® Student Corporation, 2007 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dari strategi perang Sun Tzu adalah mensinergikan antara strategi perang yang cerdik dan matang dengan keberanian mengambil risiko besar demi kemenangan yang besar pula98. Maka keberanian untuk mengatasi tantangan-tantangan dengan resiko besar untuk mencapi cita-cita haruslah disertai dengan perencanaan yang matang, agar tindakan yang diambil tidak menjadi sia-sia bukan tindakan-tindakan yang nekat tanpa perencanaan. Pada akhirnya keberanian inilah yang membuat kita tetap melangkah, tak gampang menyerah, tak mudah gelisah, karena mampu melihat segala sesuatu secara positif dengan cara pandang yang berbeda. 2.2 Pantang Menyerah a. Denotatif Pantang Menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah adalah orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya.99 Secara denotatif simbol sosial Pantang Menyerah diperlihatkan melalui gambar dalam scene ini. 1. Visual 98 Andrie Wongso, Kekuatan Keberanian Mengambil Resiko, commit to user http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=480 diakses pada tanggal 19 Juni 2010 99 Anis Matta, Op.Cit. hal. 61 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar yang memperlihatkan simbol sosial Pantang Menyerah diambil dari scene 3. Disini diperlihatkan pada pagi hari setelah Jogja dilanda gempa yang menghancurkan rumah serta menewaskan ayahnya, si anak kecil menemukan buku pelajaran sejarah yang semalam dipelajarinya. Walaupun keadaan setelah gempa menjadi porak-poranda namun si anak kecil tetap belajar pelajaran sejarah untuk persiapan ujian. Diantara puing-puing rumahya yang hancur dia mendapati kardus bekas tv yang baru saja dibeli oleh ayahnya untuk menoton pertandingan piala dunia. Kardus itu tergeletak disamping mayat ayahnya yang menjadi korban gempa dan sangkar musang peliharaannya. Karena tidak lagi mempunyai rumah dan hanya ada kardus bekas tersebut akhirnya dia berteduh di dalamnya untuk melanjutkan belajar hingga dia tertidur. 2.1.1 1.a Scene 3 1.b Simbol sosial pantang menyerah ditunjukkan pada scene ini. Si anak kecil menunjukkan semangat dan kegigihannya untuk menjalani ujian akhir yang akan dihadapinya sebentar lagi. Diantara reruntuhan rumahnya, dia menemukan buku pelajaran sejarah yang ia pelajari semalam sebelum commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id gempa. Dia memungut buku itu dan sambil berjalan ia kembali menghafal pelajaran sejarah (gambar 1a). Dia berjalan terus sampai dia menemukan sebuah kardus tv yang baru dibeli oleh ayahnya untuk persiapan menonton piala dunia pada saat itu. Dia masuk kedalam kardus itu untuk berteduh dan beristirahat karena rumahnya sudah hancur terkena gempa. Didalam kardus itu dia tetap belajar sampai ia tertidur (gambar 1b). c. Teknis Simbol Teknis pada Scene 3 Setting : Halaman rumah yang terkena gempa Properti : Buku pelajaran sejarah, musang, sangkar burung, kardus bekas, puing-puing reruntuhan gempa Pemeran : Anak kecil Kostum : Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana pendek, Pencahayaan : High level Sound : Suara kicauan burung dan music latar yang sedih Teknik Kamera : Medium shot dan angle shot b. Konotatif Menurut penulis suatu kegigihan tidak hanya berlaku di medan pertempuran saja, sikap pantang menyerah juga diperlukan dalam seluruh aspek kehidupan. Berbagai rintangan harus bisa dilewati tanpa mengenal putus asa. Dalam setiap usaha mengejar mimpi dan harapan, ada saja cobaan yang akan dialami, semua itu untuk menguji keteguhan hati serta kesiapan untuk naik ketingkat yang kebih tinggi. Seperti anak kecil itu, walaupun gempa telah menghacurkan rumahnya dan menewaskan ayahnya tetapi dia pantang menyerah. Dia tetap semangat belajar untuk ujian akhir yang akan dihadapinya beberapa hari lagi. Dalam adegan ini menggunakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pencahayaan high level untuk menunjukkan suasana di luar ruangan pada siang hari. Sound suara kicauan burung digunakan untuk menunjukkan suasana pagi hari, sedangkan music latar yang sedih menggambarkan suasana setelah gempa. Pengambilan gambar menggunakan medium shot si anak kecil dengan latar belakang puing-puing rumahnya yang terkena gempa digunakan untuk menunjukkan ekspresi kesedihan anak kecil, sedangkan penggunaan high angle selain untuk menunjukkan keadaan sekitar yang tersisa dari gempa juga membuat obyek seolah tampak lebih kecil, lemah, serta terintimidasi. Kesedihan tidak membuatnya menyerah, baginya ujian akhir itu seperti suatu pertempuran yang akan menentukan masa depannya, dan untuk memenangkan suatu pertempuran diperlukan kegigihan dan juga semangat juang yang tinggi. Berdasarkan beberapa unsur diatas dapat dimaknai tentang nilai pantang menyerah si anak kecil, teknik medium shot memperlihatkan ekspresi kesedihan si anak kecil yang meskipun rumahnya telah hancur akibat gempa namun dia tetap melanjutkan belajar untuk persiapan ujian sekolahnya. c. Mitos Sifat gigih dan pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari satu kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya mencapai sukses dan keberhasilan. Pantang menyerah adalah sifat dasar yang harus dimiliki seseorang untuk sukses dan berhasil mencapai apa yang dicita-citakan serta mencapai sesuatu yang diperjuangkan. Seseorang yang gigih, rajin, dan pantang menyerah adalah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id seseorang yang memiliki daya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi berbagi jawaban atas keragaman tantangan yang dihadapinya. Untuk mencapai kesuksesan ada resikonya. Semakin besar resiko maka semakin besar pula tingkat kesuksesannya. Resiko terbesar adalah kegagalan. Kegagalan adalah suatu kata yang tidak enak didengar, dan tidak seorang pun di dunia ini yang menginginkan atau mau mengalami kegagalan itu. Orang-orang sukses tidak akan menjadi sukses tanpa kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Orang-orang sukses beranggapan kegagalan adalah bersifat sementara bukan permanen. Hal inilah yang diungkapkan Final Prajnanta, Penulis motivasi, marketing, SDM dan pertanian, dalam artikelnya yang berjudul Bangkit Dari Kegagalan. 100 Dalam artikelnya ini dia menunjuk salah tokoh dengan mental yang kuat dan kepribadian yang gigih dan pantang menyerah adalah Abraham Lincoln salah seorang mantan presiden Amerika Serikat. Lahir dari kemelaratan, Lincoln dihadang kekalahan demi kekalahan sepanjang hayatnya. Ia kalah dalam delapan pemilu, dua kali gagal dalam bisnis dan mengidap gangguan urat saraf. Lincoln sudah ditinggalkan ayahnya pada usia 8 tahun dan ditinggal ibunya pada saat usianya 10 tahun. Tahun 1849 Lincoln maju menjadi walikota namun ditolak. Tahun 1854 maju menjadi anggota senat namun gagal. Tapi ia terus maju dan kembali gagal saat mencalonkan diri jadi Wakil Presiden pada tahun 1856 tetapi gagal karena commit to user Final Prajnanta, Bangkit Dari kegagalan, www.andriewongso.com diakses pada tanggal 12 Juli 2010 100 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id suaranya di bawah 100 pemilih. Saat mencoba masuk senat pada 1858 ia kalah lagi. Kegagalan demi kegagalan di waktu mudanya tidak membuat dirinya patah semangat. Abraham Lincoln mampu membuat kegagalan menjadi batu loncatan antara satu kesuksesan ke kesuksesan lain. Dengan kegigihan dan keyakinan kuat, Abraham Lincoln akhirnya terpilih menjadi Presiden AS ke-16 pada tahun 1860. Ia sebetulnya memiliki banyak alasan untuk menyerah berkali-kali, namun ia pantang menyerah, dan karena ia pantang menyerah, ia menjadi salah satu presiden terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat. Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal.101 2.3 Rela Berkorban a. Denotatif Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa commit to user 101 Ibid. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang.102 Secara debotatif simbol social Rela Berkorban diperlihatkan dalam scene ini. 1. Visual Gambar yang menunjukkan simbol sosial Rela Berkorban diambil dari scene 3 dan scene 5. Simbol sosial rela berkorban dalam scene ini ditunjukkan oleh relawan Jepang yang rela berkorban membantu mengevakuasi korban gempa di Jogjakarta. Setelah selesai mendirikan tenda, relawan Jepang dengan cepat langsung mengevakuasi mayat korban gempa yang ada disekitar tenda dan memasukannya ke kantong mayat yang telah mereka bawa dari Jepang. 3.1.1 Scene 3 1.a commit to user 102 Anis Matta,Op.Cit. hal. 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3.1.2 Scene 5 1.b Simbol sosial Rela Berkorban diperlihatkan melalui gambar dalam scene ini. Relawan Jepang rela datang jauh-jauh ke Indonesia untuk membantu mengevakuai korban gempa di Jogjakarta. Setelah selesai mendirikan tenda, relawan Jepang kemudian langsung melakukan evakuasi korban yang ada disekitarnya (gambar 1a). Keesokkan harinya relawan Jepang kembali melakukan evakuasi korban yang belum sempat mendapat pertolongan kemarin (gambar 1b). Simbol Teknis pada Scene 3 Setting : Halaman commitrumah to useryang terkena gempa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Properti : Tenda relawan Jepang, bendera Jepang, kantung mayat Pemeran : Relawan Jepang Kostum : Relawan Jepang mengenakan kaos, jaket dan celana jeans. Pencahayaan : High level Sound : Natural sound dan music latar yang tegang dan sedih Teknik Kamera : Medium Long Shot. Simbol Teknis pada Scene 5 Setting : Halaman rumah yang terkena gempa Properti : Korban gempa Pemeran : Relawan Jepang Kostum : Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana jeans. Pencahayaan : Normal Sound : Suara kicauan burung Teknik Kamera : Medium Long Shot. b. Konotatif Menurut penulis untuk memberikan pertolongan kepada orang lain yang sedang kesusahan kita tidak perlu membeda-bedakan apakah dia berasal dari suku, ras atau agama yang sama seperti kita. Seperti halnya yang dilakukan oleh relawan Jepang diatas. Sebagai warga negara asing, relawan Jepang tersebut rela datang ke Indonesia untuk membantu mengevakuasi korban gempa yang melanda Jogjakarta. Dalam secne ini menggunakan pencahayaan high level yang menunjukkan suasana di luar ruangan pada siang hari, dan natural sound digunakan untuk menunjukkan suasana disekitar pada pagi hari, sedangkan musik latar yang tegang dan misterius digunakan untuk menunjukkan kesedihan yang dirasakan akibat gempa. Pengambilan gambar medium long shot digunakan untuk menunjukkan kegiatan evakuasi yang sedang dilakukan oleh relawan commit keadaan to user sekitar. Sepertinya jiwa raganya Jepang dan juga memgambarkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tercurah untuk memberikan yang terbaik untuk menolong korban gempa di Jogjakarta. Oleh karena itu ketika mereka diusir dari sana oleh si anak kecil yang menganggap mereka akan menjajah Indonesia, mereka tetap kembali ke Jogjakarta. Bagi mereka yang ada hanyalah bagaimana melakukan yang terbaik untuk membantu masyarakat Jogjakarta yang terkena gempa. Sedangakan dalam secne 5 menggunakan pencahayaan normal yang menunjukan suasana yang tenang dan dingin setelah gempa dan sound suara kicauan burung digunakan untuk menunjukkan suasana pagi hari. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa penjelasan beberapa unsur diatas seperti musik latar yang tegang dan misterius menggambarkan kesedihan yang dirasakan akibat gempa. Pengambilan gambar medium long shot yang menunjukkan kegiatan evakuasi yang sedang dilakukan oleh relawan memperlihatkan bahwa mereka rela berkorban membantu sesamanya. c. Mitos Seseorang disebut pahlawan karena kebaikannya mengalahkan keburukannya dan kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan tetapi kebaikan dan kekuatan tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat. Itulah hakikat dari rela berkorban. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang rela bekorban untuk kemajuan negara dan rakyatnya bahkan untuk generasi selanjutnya, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, nabi yang menjadi moyang tiga agama commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id besar di dunia yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Nabi Ibrahim selalu berkorban bahkan sampai ke tingkat nyawa hanya untuk kepentingan rakyat dan agamanya. Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini memiliki nilai yang sangat luar biasa, karena sanggup menghadapi hukuman yang berat seperti dibakar masyarakatnya karena telah menghancurkan patung-patung berhala milik mereka, dan juga permusuhan dari ayahnya yang penyembah berhala, yang merupakan pengorbanan perasaan yang sangat dalam baginya.103 Achyar Zein, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN SU dalam artikelnya yang berjudul Nabi Ibrahim: Sosok Pemimipin Yang Rela Berkorban mengungkapkan bahwa prinsip kepemimpinan Nabi Ibrahim yang rela berkorban ini bukan datang dengan sendirinya. Akan tetapi munculnya sifat ini adalah sebagai dampak dari keberhasilannya dalam menghadapi ujian-ujian yang sudah diberikan oleh Tuhan. Pemimpin yang rela berkorban ini pastilah seorang negarawan sejati yang lebih mementingkan rakyat daripada dirinya sendiri, dan karenanya filosofi yang selalu dipakai adalah "apa yang bermanfaat untuk rakyat".104 2.4 Kesetiakawanan Sosial a. Denotatif 103 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-quran: Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Paramadina: jakarta1996) hal 46 104 Achyar Zein, Nabi Ibrahim: Sosok Pemimipin Yang Rela Berkorban, commit to user http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=12162 diakses pada tanggal 20 Juli 2010 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang rasa, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain, atau egois.105 Nilai kesetiakawanan sosial tercermin dari sikap mental yang dimiliki seseorang atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong untuk peduli melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi kesetiakawanan sosial adalah memberikan yang terbaik bagi orang lain.106 Secara denotatif simbol-simbol Kesetiakawanan Sosial ditunjukan pada penggalanpenggalan scene dibawah ini. 1. Visual Gambar yang menunjukkan simbol sosial Kesetiakawanan Sosial diambil dari scene 7. Dalam scene ini relawan Jepang datang bersama dengan relawan lainnya setelah diusir olah anak kecil dengan membawa alat-alat berat untuk memudahkan evakuasi korban gempa. 4.1.1 Scene 7 105 Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com edisi 20 Desember commit to user 2004 diakses tanggal 23 Juli 2010 106 Ibid. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1.a Setelah diusir oleh anak kecil dari Jogjakarta, relawan Jepang datang kembali bersama dengan relawan-relawan lainnya dengan membawa alat-alat berat untuk memudahkan evakuasi, karena untuk mengevakuasi korban gempa dibutuhkan tenaga relawan yang banyak agar korban dapat segera ditangani. Simbol Teknis pada Scene 7 Setting : Halaman sekolah darurat Properti : peta, peralatan evakuasi Pemeran : relawan jepang Kostum : Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana jeans Pencahayaan : Normal Sound : Natural sound, suara peralatan evakuasi Teknik Kamera : Long Shot b. Konotatif Menurut penulis salah satu nilai yang patutu diteladani dari pahlawan adalah Kesetiakawanan Sosial. Nilai Kesetiakawanan Sosial tercermin dari sikapmental yang dimiliki seseorang atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong untuk peduli commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id melakukan perbuatan kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi Kesetiakawanan Sosial adalah memberikan ynag terbaik bagi orang lain. Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia ditemani rekan-rekan seperjuangannya serta orang-orang yang nasibnya sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan social yang tinggi.107 Esensi kesetiakawanan social adalah memberikan yang tebaik bagi orang lain. Itulah yang dilakukan relawan Jepang untuk menolong korban gempa. Dalam adegan ini menggunakan natural sound, suara peralatan evakuasi menurut penulis hal ini untuk menggambarkan ancaman psikologis kepada anak kecil. Teknik pengambilan gambar yang menggunakan long shot menampilkan suasana pada saat itu serta menunjukkan bahwa relawan Jepang datang kembali bersama dengan relawan lain dalam jumlah yang lebih banyak. Relawan memiliki rasa peka terhadap lingkungan sosialnya tersebut. Dengan mengajak relawan yang lebih banyak maka akan mempermudah evakuasi korban gempa disana, karena jumlah korban yang sangat banyak tentu membutuhkan tenaga relawan lebih banyak juga. Para relawan melakukan semua ini karena mempunyai solidaritas yang tinggi juga empati ynag besar kepada orang-orang sekitar. Dengan demikian berdasarkan beberapa unsur diatas semakin memperlihatkan nilai kesetiakawanan social, dengan teknis long shot yang menampilkan commit to user 107 Ibid perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id suasana pada saat itu menunjukkan bahwa relawan Jepang datang kembali bersama dengan relawan lain dalam jumlah yang lebih banyak. c. Mitos Kesetiakawanan sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spiritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakwanan Sosial merupakan nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi social sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu masyarakat sejahtera. Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi actual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita. Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan social dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudia dikenal sebagai bangsa Indonesia. Jiwa dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id semangat kesetiakawanan social tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan.108 Salah satu faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya tujuan kehidupan bersama ialah sikap setia terhadap apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan suatu kesetiaan terhadap bangsa dan negara untuk mempertahankan dan melestarikan kelangsungan hidup bangsa dan usaha untuk mencapai tujuan didirikannya negara. Menurut W.J.S Poerwodarminta dalam kamus Bahasa Indonesia, „kesetiaan‟ bersala dari kata dasar „setia‟ yang berarti “tetap dan teguh hati (dalam keluarga, persahabatan)”. Misalnya, bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melaksanakannya. Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamannya menderita. Kalau toh menderita, commit to -dan-makna user http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/arti -kesetiakawanan-sosial.html, diakses pada tanggal 23 Juli 2010 108 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Itulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek. Peristiwa 49 tahun ynag lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah. Ketika baru saja berhasil menumpas pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda melancarkan aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjdi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jendral Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus berjuang, bahu-mambahu, saling rangkul dan saling berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaaan.109 commit to user http://saawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan -sosial-versus-masyarakat-konsumtif/, diakses pada tanggal 23 Juli 2010 109 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Sasaran akhir dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan penelitian dan membuktikan tujuan penelitian. Untuk itu, berdasarkan hasil interpretasi dan analisis data menggunakan semiotika model Roland Barthes maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada film Harap Tenang Ada Ujian terdapat nilai-nilai kepahlawanan. Nilai-nilai tersebut ditunjukan melalui ditampilkan melalui peran para tokoh simbol-simbol sosial yang dalam film. Nilai-nilai kepahlawanan tersebut antara lain: a) Keberanian, ditunjukan oleh peran seorang anak kecil sebagai tokoh yang berani mengambil resiko untuk mencapai cita-cita atau tujuan yang hendak diraih. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b) Pantang Menyerah ditunjukan oleh anak kecil sebagai seseorang yang gigih dan juga mempunyai semangat juang yang tinggi. c) Rela Berkorban, ditunjukan relawan Jepang sebagai tokoh yang senantiasa membantu orang-orang yang disekitarnya dengan mengorbankan jiwa raganya. d) Kesetiakawanan Sosial, ditunjukan relawan Jepang sebagai seseorang yang memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi dicerminkan dari sikap relawan Jepang yang peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga peduli untuk melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. 2. Pesan tentang nilai kepahlawanan secara khusus berhubungan dengan elemen-elemen dasar dari karakter pahlawan yaitu, Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial banyak disampaikan melalui tanda-tanda non verbal maupun verbal. Tanda non verbal dan verbal ini disampaikan sesederhana mungkin untuk menyelami karakter tokoh, dialog, dan situasi cerita. 3. Dari ketujuh nilai kepahlawanan yang disebutkan penulis, hanya beberapa nilai saja yang terlihat menonjol yaitu keberanian, pantang menyerah, rela berkorban, serta kesetiakawanan sosial. 2. Saran Dari hasil penelitian serta kesimpulan yang diambil, peneliti dapat menyarankan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1. Bagi para pembuat film agar dapat menghasilkan film yang tidak hanya mengejar sisi komersil belaka. Oleh karena itu, kini sudah saatnya para sineas film untuk lebih memahami bahwa film dapat menjadi wahana bagi pembebasan dan pengaktualisasikan kondisi nyata untuk mampu menampilkan nilai-nilai ideal yang kini telah luntur atau bahkan telah hilang dari bangsa Indonesia. 2. Bagi penikmat film agar dapat menjadi penonton yang cerdas. Sikap yang mestinya dimiliki oleh penonton film adalah kritis menanggapi fenomena yang disajikan dalam film. Jika sikap kritis ini dimiliki, maka pembaca tidak akan mudah terjerumus dalam penjara simbol-simbol yang mengekang cara berpikir yang bebas, kreatif dan humanis. Hal ini terjadi karena pembaca tidak mempunyai sifat kritis dan cenderung menganggap apa yang disajikan dalam film sebagai realitas yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Selain sifat kritis, pembaca mestinya juga mengembangkan sifat pro aktif. Pembaca sebagai bagian dari masyarakat yang paling dekat dengan media massa mestinya mau dan berani untuk mengungkapkan keluhan akan ketidakbenaran yang sekiranya dirasakan akibat konstruksi makna dalam film. Dengan demikian maka penonton mampu menempatkan dirinya sebagai ”penonton yang aktif”, bukan sebagai silent majority dari sebuah film sebagai industri hiburan. 3. Film hanyalah representasi realitas, bukan cermin dari realitas itu sendiri. Dalam sebuah film, realitas yang ditampilkan sudah mengalami konstruksi makna. Oleh sebab itu, bagi peneliti lain yang ingin commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengembangkan penelitian ini hendaknya mengambil metode lain misalnya dengan analisis wacana kritis yang level analisisnya tidak terbatas pada tataran mikro(teks) saja. DAFTAR PUSTAKA Ajidarma, Seno Gumira, 2004, Layar Kata, Bentang, Yogyakarta. Ardianto, Elvinaro, dan Lukiati Komala, (ed: Rema Karyanti S), 2007, Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung. Bardwell, David, 1985, Narration in The Fiction Film, The University of Wisconsin Press, Winsconsin. Budiman, Kris, 2003, Semiotika Visual, Yogyakarta : Penerbit Buku Baik, Yogyakarta. Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group Pengajar Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta. Fiske, John, 2004, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta. Goodell, Gregory, 1998, Independent Feature Film Production : A Complete Guide from Concept Through Distribution, St. Martin‟s Griffin ; Rev Upd Su edition. G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, Kanisius, Yogyakarta. Irawanto, Budi, Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Media Pressindo, Yogyakarta. Jowett, Garth and Linton JM, 1971, Movie as Mass Communications, Sage Publication, London. Kracauer, Sigfried, 1974, From Caligari to Hitler : A Psychological History of the German Film, Princeton University Press, New Jersey. Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Cetakan pertama, Yayasan Indonesiatera, Magelang. Little John, S. W, 2002, Theories of Human Communication, Wadsworth Publishing Company, Belmont California. Matta, Anis, 2004, Mencari Pahlawan Indonesia, Tarbawi Center, Jakarta. McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage Publications, London. Moleong, Lexy J Prof, 2007, Metode Penelitian Kualitatif Edisi revisi, cetakan ke-23, PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Nugroho, Garin, 1995, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan bentang Hiburan, Yogyakarta. Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Prakosa, Gotot, 1997, Film Pinggiran : Antalogi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter, FFTV IKJ & YLP. Prakosa, Gotot, 2001, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih. Pratikno, Riyono, 1987, Berbagai Aspek ilmu Komunikasi, CV. Remaja Karya, Bandung. Pratista, himawan, 2008, Memahami Film, cetakan ke 2, Homerian Pustaka. Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedia Al-Quran : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta. Rahmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sudjiman, Panuti, 1992, Serba-Serbi Komunikasi, Gramedia, Jakarta. Sobur, Alex, 2006, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Sumaryono, E, 1993, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta. Zaaman, Budi K, 1993, Bahasa Film : Teks dan Ideologi, Laporan Penelitian, FISIPOL UGM, Yogyakarta. Artikel Surat Kabar Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 Tabloid Berita Mingguan Adil, 23-29 Desember 1998 Totot indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November 2001 Kepahlawanan, Harian Kontan, 10 November 2007 Renungan keberanian, Kompas, 26 Januari 2008 Website Film Sebagai Kritik Sosial, http://ericsasono.blogspot.com/ Film Indie, http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php Susan Pretelli, Abaout a Master of Sign, Starting the Sign and it’s Masters www.augustoponzio.com Andrew Bernstein Mentzer-Sharkey Enterprises, Inc. 2002, site by FX Media, Inc, www.fxmedia.com Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, www.elcom.umy.ac.id/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLE RANSI.pdf Kesetiakawanan tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com Pengertian Dialog, www.aqwamrosadi.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/12721/pertemuan%2B9 .doc Keberanian, http://pk-sejahtera.nl/anis-matta-keberanian/ Keberanian, http://id.wikiquote.org/wiki/Keberanian Kekuatan keberanian, http://andriewongso.com/artikel/aw_artikel/75/Kekuatan_Keberanian/ Kekuatan keberanian Mengambil commit Resiko, to user http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=480 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Beda Tipis Antara Kekurangan Dan Kelebihan, www.dadangkadarusman.com/2007/05/02/beda-tipis-antara-kekurangan-dankelebihan/ Mengenal Diri Sendiri, www.pikiran-rakyat.com Bangkit Dari Kegagalan, www.andriewongso.com Nabi Ibrahim: Sosok Pemimpin Yang Rela Berkorban, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1216 2 Makna Kesetiakawanan Sosial, http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/artidan-makna-kesetiakawanan-sosial.html Arti Kesetiakawanan Sosial, http://saawali.info/2007/07/15/kesetiakawanansosial-versus-masyarakat-konsumtif/ commit to user