representasi nilai kepahlawanan dalam film

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM
(Studi analisis semiotik nilai-nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam
film Harap Tenang Ada Ujian)
SUSI DEVIYANA
D1207555
SKRIPSI
Digunakan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi
PROGRAM ILMU KOMUNIKASI NON REGULER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
to user
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
i
Halaman Pengesahan
ii
Halaman Motto
iii
Halaman Persembahan
iv
Kata Pengantar
v
Daftar Isi
vii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
2. Rumusan Masalah
9
3. Tujuan Penelitian
10
4. Manfaat Penelitian
10
5. Telaah Pustaka
11
5.1 Definisi Komunikasi
12
5.2 Pesan Komunikasi
17
5.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
20
5.4 Film Sebagai Representasi
25
5.5 Film Pendek
27
commit to user
5.6 Semiologi Dalam Film
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan
44
5.8 Aspek Sinematografi
53
6. Definisi Konseptual
57
6.1 Film Pendek
57
6.2 Kepahlawanan
58
7. Kerangka Pikir
60
8. Metode Penelitian
62
8.1 Teknik Pengumpulan Data
65
8.2 Analisis Data
66
BAB II SEKILAS TENTANG FILM “HARAP TENANG, ADA UJIAN!”
DAN FOURCOLOURS FILMS
1. Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”
68
2. Festival dan Awards
69
3. Profil Sutradara
70
4. Profil Fourcolours Films
71
BAB III ANALISIS DATA
1. Aplikasi Sistem Pertandaan Dalam semiologi Roland Barthes 73
2. Simbol Sosial Nilai-Nilai Kepahlawanan Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”
76
2.1 Keberanian
76
2.2 Pantang Menyerah
90
2.3 Rela Berkorban
95
2.4 Kesetiakawanan Sosial
101
BAB IV PENUTUP
1. KESIMPULAN
108
2. SARAN
109
DAFTAR PUSTAKA
111
LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Susi Deviyana, D1207555, Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film “Harap
Tenang, Ada Ujian!” (Studi Deskriptif Kualitatif menggunakan Analisis
Semiologi Terhadap Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”)
Nilai-nilai kepahlawanan merupakan salah satu hal yang harus di teladani,
karena seiring perkembangan jaman tidak jarang orang semakin menjadi
individualistis. Untuk menyampaikan pesan mengenai nilai kepahlawanan dapat
disampaikan melalui film karena film merupakan salah satu bentuk dari media
massa, dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang
terjadi disekitar kita. Seperti film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mengambil
tema tentang kepahlawanan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda
yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada
dalam film “Harap Tenang, Ada Ujian!” tersebut. Dengan mengetahui dan
memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan
kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut.
Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan
analisa semiotika. Data dalam penelitian ini didapat melalui scene-scene pada film
“Harap Tenang, Ada Ujian!” yang didalamnnya terdapat unsure-unsur yang
berkaitan dengan penelitian ini, yakni nilai-nilai kepahlwanan yang tediri dari
Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban,
Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Serta mencari
data dari berbagai tulisan artikel, buku-buku, internet dan lian sebagainya. Melalui
gabungan antara scene-scene terpilih dan data-data tertulis, penulis melakukan
analisis dengan menggunakan tanda-tanda yang terdapat dalam film “Harap
Tenang, Ada Ujian!” dengan teori semiotika Roland Barthes. Analisis dilakukan
melalui dua tahap, yaitu signifikasi tingkat pertama, yaitu makna denotasi yang
terkandung dalam scene-scene tersebut dan dilanjutkan dengan signifikasi tingkat
kedua yang menguraikan makna konotasinya. Dalam tahap inilah terkandung
mitos.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlwanan ditunjukkan
melalui symbol-simbol sosial ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh.
Nilai-nilai tersebut antara lain Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri,
Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan
Kesetiakawanan Sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau
tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Susi Deviyana, D1207555, The Representation heroism values in the movie “Be
Quiet, Exam is in Progress!” (Qualitative Descriptive Research Semiology
analysis on the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!”
The value of heroism is one thing we hold as a role model, in this era of
globalization, when individualism became a common thing. Movie as a media,
can be used for sending message about current issues to the public. It is usually
inspired by the actual phenomena and “Be Quiet, Exam is in Progress!” is one of
them.
This research studied the symbols of heroism in “Be Quiet, Exam is in
Progress!”. By knowing and understanding the symbols of heroism value in the
movie, it would be easier to make it as a role model.
The research is a qualitative semiotics analysis research. The data used in
this research was taken from the scenes of “Be Quiet, Exam is in Progress!”
which have correlations with heroism topic. They are Bravery, Believe in our own
strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity.
The data used in this research is from literatures which were taken from
sources such as books, journals, articles and any other information that is related
to the subject matter. The researcher analyzed the film symbols in selected scenes
using Roland Barthes‟ semiotics theory combined with the literatures. There were
two steps in the analyzing process. Firstly, the researcher figured out the
significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis
discovered the connotation. Myth appeared on this step.
The researcher concluded that the value of heroism in this movie was
shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in
our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This
film could send various messages or symbols that show heroism value.
Keywords: symbols, values, semiotics,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara
kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik
atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa
di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film
(sinema) adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos
(cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita
harus menggunakan alat khusus yang biasa kita sebut dengan kamera.
Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai penemuan komunal dari
penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman
suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya.
Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan
media komunikasi massa”.1
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah
suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin
dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi
massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung
unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada
commit to user
1
Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.
Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan,
dengan makna yang lebih luas. 2
Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan
seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong – bondong
ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan
kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka
ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian
bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali
dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film
mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara
sinematografis dalam batas – batas tertentu, namun film tidak pernah sahih
sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung
hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 3
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi
dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi
dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra,
arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung
pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film
-yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan
2
David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press,
commit to user
1985. hal xi
3
Seno Gumira Ajidarma, Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan
teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal
dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat
dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni
lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak
mendapatkannya dalam film.
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail
menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film
nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh
seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya
industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh
kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan
dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masingmasing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan
tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan
terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional
setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah
satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi
perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi
untuk berkembang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri
sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang
menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya
film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” pada tahun
2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut
menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan
menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena
penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita
bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film.
Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam
menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak
menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari
sekedar hiburan. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang kritikus film, Eric
Sasono, dalam tulisannya “Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik
Sosial?” yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu (17 Juli 2005). Eric
menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik
sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena
film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan
Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film:
“…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan
penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat,
sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang
kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai
masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila".4
commit to user
4
Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie
dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui
film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi5, seperti ketika
zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan
Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 S/PKI. Dengan segala potensi
yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh
dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi
kekuasaan atau kepentingan komersil belaka.
James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa
dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan
sinematografi), Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan
politik), dan Movies (sebagai barang dagangan). Film sebagai “Film” adalah
fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema (art
film) dengan Movies (film komersil).6
Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat,
terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan
generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur
sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang
pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah
ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film
Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita
dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita
5
6
to user
Tabloid Berita Mingguan Adil, No. 12 commit
Tahun ke-67,
23-29 Desember 1998
Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat
dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk. 7
Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan
meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi
Indonesia, apakah gaya Rusia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi)
ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan
propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu mengatakan yakni,
ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme
Italia.8
Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh
kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan
memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang
langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat
kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal
lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam
penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan
sebagainya.9 Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya
adalah sebuah film sarat makna, tapi juga “sehat” dalam hal akidah dan nilai-nilai
keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal
dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional.
Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian pesanpesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film
7
Ibid.
commit to user
Ibid.
9
Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau
kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui
budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori
menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya.
Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan,
“film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin
lewat media artistic lainnya”10
Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film
sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu
utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek
sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui
film-film “Gelora Pembangunan” pada era Soekarno. Film-film tersebut
diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun
ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program
pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan filmfilm (yang kebanyakan film pendek) propaganda pemerintah dengan ideology
pembangunannya.
Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah
Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film
dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa
Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang
cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan.
commit
to user
Sigfried Kracauer, From Caligari to Hitler
: A Psychological
History of the German Film, New
Jersey, Princeton University Press, 1974, hal. 6
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada
jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR
yang
menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian
akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala
dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta,
yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan
Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan
Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam
buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk
menghalau para sukarelawan Jepang.
Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene
diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya
pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa
lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap
„shot‟ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh
penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang
sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung nilainilai kepahlawanan. “Harap Tenang Ada Ujian”, produksi Fourolours juga
berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai
film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk
diteliti.
Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah
satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses
pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung
dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu
dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan
simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang
berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran
makna” dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna
yang terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin
melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia
menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat.
2. Rumusan Masalah
Setelah melihat pemaparan di atas,maka peneliti akan menganalisis
bagaimana simbol-simbol kepahlawanan yang terkandung dalam film Harap
Tenang Ada Ujian disampaikan ditinjau dari pendekatan semiotik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Secara umum:

Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan
direpresentasikan dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?
Secara Khusus :

Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan
dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan
Sosial dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?
3. Tujuan Penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian ini bertujuan untuk :

Mengetahui simbol-simbol sosial dan pemaknaan yang merepresentasikan
nilai-nilai kepahlawanan dalam film ”Harap Tenang, Ada Ujian”

Mengetahui pemaknaan simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai
kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban,
Kesetiakawanan Sosial.
4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Akademis :
Memberikan sumbangan terhadap kajian tentang simbol-simbol sosial
nilai-nilai kepahlawanan. Sekaligus mendorong munculnya kajian penelitian
serupa dan dapat memperkaya permasalahan ini.
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini diharapkan akan memberikan wacana kepada khalayak
akademisi dan masyarakat pada umumnya tentang nilai-nilai kepahlawanan
melalui simbol yang dikonstruksikan dalam film.
3. Manfaat Sosial :
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat
berupa analisis bagaimana nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dipelihara dan
diteladani. Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan
wacana baru bahwa nilai-nilai kepahlawanan harus diteladani dan dipelihara oleh
setiap orang terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak
akan sia-sia, dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga.
5. Telaah Pustaka
Manusia merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi
terbaik diantara mahluk lainnya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliknya, baik
terhadap alam maupun sesama telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang
selalu mampu bertahan dalam menghadapi seleksi alam. Kemampuan ini
ditunjang oleh berbagai macam
faktor, dimana salah satunya adalah
kemampuannya berkomunikasi. Sebagai mahluk sosial, komunikasi menjadi
sedemikian penting dalam kehidupan manusia. Selain untuk menjalin hubungan
antara satu dan lainnya, yang lebih penting adalah untuk mengantisipasi
perpecahan dengan jalan saling mengerti dan memahami. Komunikasi merupakan
sarana utama manusia dalam segala hal, sehingga tanpa adanya komunikasi yang
baik, dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan dalam berbagai macam sendi
kehidupan sosial.
Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang
struktur layaknya sebuah piramida. Menjabarkan hal yang bersifat umum terlebih
dahulu dan kemudian menariknya menjadi lebih khusus. Dimulai dari pengertian
komunikasi, bagian-bagian, dan sarana yang bisa digunakan untuk berkomunikasi.
Film sendiri adalah salah satu media komunikasi massa yang dirasa cukup efektif
untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setelah menetapkan film sebagai
salah satu sarana komunikasi massa, maka tahap selanjutnya adalah representasi
terhadap film itu sendiri yang kemudian disusul oleh pengelompokan film
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurut tema, durasi, dan sebagainya. Seperti kebanyakan sarana komunikasi
massa lainnya, film pendek juga membutuhkan kemampuan semiologi untuk
menangkap pesan yang terkandung didalamnya sehingga tujuan utama untuk
menjadikan film sebagai sarana komunikasi dapat tercapai.
5.1 Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang diakui oleh setiap orang,
namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan.
Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga
penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; ataupun kritik sastra, daftar
ini tak habis-habisnya. Inilah salah satu masalah yang dihadapi para akademisi:
bisakah kita menerapkan secara tepat istilah “subjek studi” terhadap sesuatu yang
sungguh berbeda dan banyak segi seperti komunikasi insani (human
communication)? 11
Untuk menjawab masalah-masalah diatas, John Fiske, dalam bukunya
yang berjudul Cultural Communication: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,
membagi studi Komunikasi dalam dua Mazhab Utama. Mazhab pertama melihat
komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim
dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menejemahkannya (decode),
dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia
tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai
suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of
mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil dari yang
commit
to Sebuah
user Pengantar Paling Komperehensif
John Fiske, Cultural And Communication
Studies,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 7
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi,
dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana
kegagalan tersebut terjadi. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya mazhab ini
sebagai “Mazhab Proses”.12
Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan
orang-orang
dalam
kebudayaan
kita.
Ia
berkenaan
dengan
bagaimana
menghasilkan makna; yakni, ia bekenaan dengan peran teks dalam kebudayaan
kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak
memandang kesalahpahaman sebagai bukti yag penting dari kegagalan
komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan
penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan
kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda
dan makna), dan itu adalah label yang akan di gunakan untuk mengidentifikasikan
pendekatanini.
Demi
memudahkan,
kita
akan
menyebutnya
“Mazhab
Semiotika”.13
“Mazhab Proses” cenderung mempergunakan imu-ilmu sosial, terutama
psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan
komunikasi. Sedangkan “Mazhab Semiotika” cenderung mempergunakan
linguistik dan subjek seni, cenderung memusatkan dirinya pada karya
komunikasi.14
12
Ibid. hal. 8
Ibid. hal 9
14
ibid
13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi
sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama
mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi
berhubungan dengan pribadi yang lain, atau memperngaruhi perilaku, state of
mind atau respon emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih
dekat denga akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase
tersebut. Sementara “Mazhab Semiotika” mendefinisikan interaksi sosial sebagai
yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat
tertentu. 15
Pada penelitian ini peneliti menggunakan Mazhab yang kedua yakni
mazhab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna dimana
peneliti menggunakan film, yang sarat akan pertukaran makna, menjadi pusat
objek penelitian. Penelitian ini erat kaitannya dengan teks dan kebudayaan.
Kedua mazhab tersebut juga berbeda dalam pemahaman mereka atas apa
yang membentuk sebuah pesan. Pada satu sisi, “Mazhab Proses” melihat pesan
sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan
pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang
krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pengirim
mungkin tidak dinyatakan atau dinyatakan, disadari atau tidak disadari, namun
harus dapat diperoleh kembali dengan analisis. Pesan adalah apa yang pengirim
sampaikan dengan sarana apa pun.16
15
16
ibid
Ibid. hal 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagi “Mazhab Semiotika”, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu
konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengna penerima, menghasilkan
makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurut arti
pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Dan,
membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca
berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca
membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode
dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama
tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana korankoran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk
merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiaptiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman
sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna
yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan,
bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.17
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu
elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk
realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks
dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka
menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa
menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah
commit to user
17
ibid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,
melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat skema 1)18
Skema 1. Pesan dan Makna
Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi yaitu komunikasi
interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi
organisasi, dan komunikasi massa. Film adalah salah satu bentuk media
komunikasi massa. Pada penelitian ini, peneliti memandang pesan sebagai sebuah
teks yang dibaca. Peneliti mencoba menemukan makna pada sebuah film yang
berhubungan dengan pengalaman budaya serta kode dan tanda yang menyusun
film tersebut.
5.2 Pesan Komunikasi
Menurut Stephen W.Littlejohn, pesan atau message merupakan inti dari
studi ilmu komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi memiliki cabang yang
bertingkat dimana yang memiliki titik sentral adalah pesan atau message.19
Secara rinci Riyono Praktikto mengatakan bahwa pesan merupakan semua
bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Yang dimaksud dengan
18
Ibid. hal 11
commit to userWadsworth Publishing Company,
Little John, S.W, Theories of Human Communication,
Belmont california, 2002 hal. 61.
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan komunikasi non-verbal
adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman.20
Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pesan merupakan bentuk
gagasan verbal maupun non-verbal yang disampaikan kepada orang lain, yang
bertujuan menyatakan maksud tertentu sesuai dengan keperluan orang lain
berkenaan dengan manfat dan kebutuhannya.
Dalam menyampaikan pesan kita seringkali menggunakan lambanglambang. Salah satu lambang yang paling banyak digunakan adalah bahasa.
Karena dalam komunikasi bahasa sebagai lambang mampu mentrasnmisikan
pikiran, ide, pendapat dan sebagainya baik mengenai hal yang abstrak maupun
yang kongkret; tidak saja tentang hal ataupun peristiwa yang terjadi saat sekarang
tetapi juga pada waktu yang lalu atau masa mendatang.
Selain bahasa, isyarat adalah basis dari seluruh komunikasi. Suatu isyarat
menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan suatu
obyek atau ide dan suatu isyarat. Konsep dasar ini mengikat bersama seperengkat
teori yang sungguh luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana dan bentukbentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana isyarat berhubungan
dengan artinya dan bagaimana isyarat disusun.21
Komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna
mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam
percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Tetapi komunikasi
berpusat pada pesan bersandar pada informasi dan beberapa teori telah
20
Pratikno, Riyono, berbagai Aspek Ilmu Komunikasi, CV. Remaja Karya, Bandung, 1987
commit to user
hal.42.
21
Little John, S.W, Op. Cit, hal 64.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memaparkan tentang pemrosesan pesan. Teori ini melihat pembuatan dan
penerimaan pesan sebagai persoalan psikologis, memfokuskan pada sifat-sifat,
keadaan-keadaan dan proses-proses individual.
Teori pembuatan dan penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan
psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses. Penjelasan
sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara
karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat dan variable lain, hubungan antara
tipe personalitas tertentu dan jenis-jenis pesan tertentu.22
Selain teori diatas dalam konteks pesan, terdapat teori-teori penerimaan
dan pemrosesan pesan teori ini mencakup bagaimana pesan itu diterima,
dipahami, dan manusia dapat mengorganisasikan serta menggunakan informasi
yang terkandung didalam pesan. Teori penerimaan dan pemrosesan pesan
sebagian besar masih terdapat dalam level kognisi, yaitu studi tentang pemikiran
dan pemrosesan informasi.
Menurut Dean Hewes kognisi menuntut dua elemen sentral, yaitu strukturstruktur pengetahuan dan proses-proses kognitif. Struktur pengetahuan terdiri dari
organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang. Bahkan pesan yang
paling sederhanapun membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami.
Di dalam kognitif potongan-potongan informasi saling dihubungkan satu sama
lain kedalam sebuah pola yang teratur. Tujuh proses kognitif yang paling utama
menurut Hewes yang saling berinterelasi adalah, pertama pemfokusan, yaitu
sebuah proses menghadapi detil-detil tertentu dari informasi. Proses kedua adalah
commit to user
22
Ibid. hal. 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
integrasi atau pembuatan hubungan antara potongan-potongan informasi. Ini
merupakan proses penggabungan apa yang dilihat dan didengar kedalam
informasi pengetahuan yang menyeluruh. Ketiga adalah pengambilan kesimpulan,
sebuah proses pengisian, ketika seseorang membuat asumsi-asumsi tentang halhal yang tidak teramati berdasarkan hal-hal yang teramati.23
Proses yang keempat dan kelima melibatkan ingatan, penyimpanan dan
pengungkapan. Struktur pengetahuan harus disimpan dan digunakan di lain waktu
dan ia harus diingat secara tepat. Proses keenam dan ketujuh adalah seleksi dan
implementasi juga berjalan bersamaan. Seleksi adalah pemilihan perilaku dan
simpanan seseorang dan implementasi bertindak sesuai dengan perilaku yang
sudah dipilih dengan melakukannya.24
5.3 Film sebagai Media Komunikasi Massa
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan
komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi,
gagasan, ide dan pengalaman. Adanya komunikasi akan membentuk suatu
jaringan interaksi yang kompleks bagi manusia. Di abad ini komunikasi telah
mencapai suatu titik dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia
secara serentak dan serempak. Hal ini berarti tidak ada lagi batasan – batasan yang
menghambat berlangsungnya komunikasi antar personal.
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan Bitner
sebagai berikut :
23
24
Ibid. hal. 129
Ibid. hal. 130
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“ Mass communication is massage communicated through a mass medium to a large
member of people “ ( komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah besar orang )
25
Film adalah salah satu media massa yang berfungsi untuk menyampaikan
pesan dari komunikator (produser) kepada komunikan (penonton). Dalam
menyampaikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagi media yang benarbenar netral. Film mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi pesan lewat bahasa
audio visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul
sebagai representasi peristiwa yang objektif, jujur, adil, transparan. Penonton
hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai
media massa dibandingkan dengan jenis media massa lain adalah layar lebar,
pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 26
Setiap kegiatan yang di komunikasi – massakan dapat dipecah dalam dua
elemen : komunikator yang mengirimkan pesan tertentu melalui sebuah saluran
kepada audiens dengan sejenis efek. Dalam komunikasi massa, media yang
digunakan adalah media massa. Perbedaan media massa dengan media yang
terbatas bukanlah pada alat itu sendiri, tetapi justru pada cara penggunaan alat itu.
Untuk dapat digolongkan sebagai media massa, sebuah alat tidak hanya
memberikan kemungkinan komunikasi melalui suatu alat mekanik, menciptakan
suatu hubungan yang dekat antara komunikator dengan audience-nya tetapi juga
harus benar-benar digunakan untuk berkomunikasi dari sebuah sumber tunggal
kepada sejumlah besar orang ( massa ). Jadi, film yang diputar di rumah tangga
bukanlah suatu media massa, tetapi kalau sebuah film diputar di bioskop dan
25
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal.188
to Karyanti
user S. Komunikasi Massa : Suatu
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala,commit
ed : Rema
Pengantar. PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2007 hal. 137
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditonton oleh banyak orang secara serempak, maka film bisa disebut sebagai
media komunikasi massa.
Film sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai peran penting di
dalam sosial kultural, artistik, politik, dan dunia ilmiah. Pemanfaatan film dalam
usaha pembelajaran masyarakat ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa
film mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi
didasari oleh alasan bahwa film mempunyai kemampuan mengantar pesan secara
unik.27 Film tidak lagi dimaknai sekedar karya seni (film as art), tetapi lebih
sebagai praktik sosial (Turner, 1991) serta komunikasi massa (Jowett dan Linton,
1981). Terjadinya pergeseran perspektif ini,paling tidak telah mengurangi bias
normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu
mulai meletakkan film secara objektif.28
Selain itu film juga merupakan sebuah media hiburan yang sederhana dan
murah. Tidak ada media lain yang memiliki kemampuan yang sama untuk
memikat kepentingan penonton, untuk melibatkan penonton, dan membuat
pengalaman emosional. Tidak ada media lain yang efektif dalam menciptakan
pengalaman yang benar-benar berkesan.29
Sejak diketemukannya sampai dengan saat ini, film telah menjadi bagian
dari kehidupan manusia sebagai cara dominan untuk mengungkapkan ekspresi.
Hal ini terjadi karena film adalah media komunikasi yang didalamnya memuat
27
McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage Publications,
London.
28
Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Media
Pressindo, Yogyakarta,1999.
29
to user
Kirsch, Christina, Film and Collective commit
Storytelling
in Corporate Identity : a Case Study,
www.emeraldinsight.com
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pesan dari kreator. Film sebagai media komunikasi dapat dinyatakan sebagai
proses sosial, media yang mentransmisikan signal, dan signal-signal itu
diperlakukan sebagai pesan.30
Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan
seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong-bondong ke
gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali
sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika
film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang
tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah
film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja
merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam
batas-batas tertentu, namun film tidak pernah sahih sebagai representasi kenyataan
apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu
dengan subjek. 31
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah
suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin
dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi
massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung
unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada
akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.
30
Jowett, Garth and Linton JM. 1971. Movies as Mass Communications, Sage Publication,
commit to user
London.
31
Seno Gumira Ajidarma. Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan,
dengan makna yang lebih luas. 32
Kepekaan artistik dalam memaknai pesan dalam film dibutuhkan karena
film memiliki bahasa tersendiri yang terdapat pada teknik-teknik penyajian
gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up ), pemotretan dua sisi ( two shot),
pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran atau pengecilan gambar (zoom
out/zoom in), pelarutan dua gambar secara halus (disolve), sampai kepada yang
melibatkan efek khusus (special effect) sperti gerakan lambat (slow motion),
gerakan dipercepat (speeded up), dan special effect digital yang lebih canggih
lainnya, yang melibatkan animasi atau permainan program komputer. 33 Karena
memiliki kekayaan dalam bentuk-bentuk tanda untuk mengkodekan pesan, maka
film juga menjadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan media
komunikasi massa lainnya.
Dalam teori komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang
disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan
melainkan pada penerima pesan. Bagaimana kreator mengurangi bisa makna yang
terjadi sehingga pesan itu bisa dipersepsi secara seragam itulah yang penting
kecuali jika film diangap barang seni yang cenderung susah dipahami dan lebih
banyak menjadi familiar bagi kreatornya daripada audiencenya. Efektifitas
komunikasi bisa diukur secara berbeda-beda tergantung seperti apa tujuan dari
32
David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press,
1985. hal xi
33
commitPT
to Remaja
user Rosdakarya, Bandung, cetakan ke.3
Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi,
Hal. 131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proses komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau
interpreter sehingga terjadi komunikasi yang efektif.
Cara bertutur adalah bagian dari teknik komunikasi, yakni bagaimana
sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton dengan cara yang
mengesankan. Pengertian mengesankan dalam hal ini adalah penonton dapat
memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan
berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film.
Media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain
dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Jurnalisme mungkin
mendasarkan kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh prinsip
kelayakan berita yang memotong realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita
tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik
semacam itu. Ketika pembuat film memilih sebuah tema, maka yang
membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan
yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan
yang tak terbatas.34
5.4Film Sebagai Representasi
Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin
menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film.
Representai menunjuk baik pada proses maupun dari produk pemaknaan suatu
34
Eric Sasono, Film sebagai Kritik Sosial, dalam http://ericsasono.blogspot.com/, diakses pada
tanggal 8 Juni 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanda. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi
yang abstrak dalam bentuk yang konkrit. Representasi juga mempunyai beberapa
pengertian diantaranya adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video,
fotografi, film, dan sebagainya.35
Terkait dengan film yang akan diteliti, representasi merupakan konvensikonvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dipahami
dengan mudah secara luas oleh audiencenya. Konvensi dalam bahasa representasi
film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakannya.
Penulis mengkategorikan film yang akan diteliti menjadi dua aspek. Kedua
aspek tersebut meliputi:
1. Aspek Sosial
Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang
terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film,
hubungan antar tokoh, dalam film dan situasi yang digambarkan dalam
film merupakan bagian dari aspek sosial.
2. Aspek Sinematografi
Aspek sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara
dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap
obyek, besar kecilnya obyek yang tertangkap pada kamera (shot distance),
pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis
user Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL
Budi K Zaman, Bahasa Film: Teks dancommit
Ideologi,toLaporan
UGM. 1993, hal:83
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta
seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut.
5.5 Film Pendek
Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden.
Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang,
film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski
tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu
loncatan menuju film cerita panjang.
Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna
besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai
eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas.
Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage
atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV
dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film mainstream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses
menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak
mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan
mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan
dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat
stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya
sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas
lingkungan atau dunia secara umum.36
Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita
panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki
karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih
sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia
sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan
baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami
cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Alur cerita adalah cara yang bagus
untuk
menciptakan
pemahaman
bersama
tentang
mengkomunikasikan
pengalaman.
Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi
dibawah 50 menit.37 Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai
pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara
konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi
para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi.
Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan
pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi
menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara
pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil
memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.
36
Gotot Prakosa, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih, 2001hal 25-26
user Film Pendek, Film Eksperimental,
Derek Hill, dalam Gotot Prakosa, Filmcommit
Pinggiranto: Antologi
dan Film Dokumenter, FFTV IKJ & YLP, 1997
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Istilah „independent film‟ dan „independent filmmaker‟ memang muncul
pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai
menyutradarai film. Definisi „independent film‟ pun masih terus menjadi polemik
besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat
bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:
“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the
subsequent production and/or distribution financing comes from.” 38
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan
tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu „sempit‟
untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara
universal. Untuk konteks Amerika Serikat khususnya Hollywood mungkin
definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana.
Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio
milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner
Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan tentu saja praktis.
Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini
tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti
Moran & Willis yang menyatakan bahwa:
“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi
media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia
amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor
industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan
produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika,
independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan
konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi
kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik,
to user: A Complete Guide from Concept
Gregory Goodell, Independent Featurecommit
Film Production
Through Distribution, St. Martin‟s Griffin; Rev Upd Su edition, 1998
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan
pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (Moran & Willis,….)39
Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut
mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan
gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya.
Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di
Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:
“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang
tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.” 40
Dalam sejarah film dunia, istilah „film pendek‟ mulai populer sejak dekade
50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan
Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean
Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen
Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia;
sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand
yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek
telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek
menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian
didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat
menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.41
39
http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php, diakses pada tanggal 8Juni
2010
40
commit to user
Ibid
41
Ibid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para
filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk
pertama kalinya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984.
Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang
berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai
kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan
pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja
Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal,
dari sudut pandang pemirsa karena tidak mendapatkan media distribusi dan
eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Film pendek
memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara
praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya
pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an
dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi
perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta
mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film
yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat
disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena
kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori
Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan
sebagai media ekspresi kesenian.42
Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat
dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke
pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri.
Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup
mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot
Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan
Nanang Istiabudi.43
5.6 Semiologi dalam film
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan
semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika berasal dari kata
Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu
informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat
komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima
tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Disamping itu,
semiotika ( semiotics ) adalah salah satu dari ilmu yang beberapa ahli atau pemikir
dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi,
42
43
Ibid
Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang
dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika yang
kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco
yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika "...pada
prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk berdusta (lie)."44
Semiologi
adalah
istilah
untuk
ilmu
tentang
tanda-tanda
yang
dikemukakan ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Perbedaan ilmu
tentang tanda, semiotik, pertama kali dikembangkan oleh filosof Amerika yang
bernama Charles sanders Pierce. Sifat alami tanda yaitu menunjuk suatu karakter
yang mengandung makna tersembunyi yang akan diterjemahkan sebagi tanda.
Sebuah tanda akan disebut demikian dalam kenyataannya, berdasarkan
penerimaan sebuah penafsiran dimana berdasarkan pula ketentuan tanda lain
dalam suatu obyek yang sama. Struktur tanda tidak hanya terbatas pada
representasi yang digunakan untuk menjabarkan hubungan antara tanda dan
obyek, tapi juga membangkitkan suatu keyakinan.45
Semiotika adalah istilah yang saat ini secara umum digunakan untuk
menunjukkan kedua sistem tersebut di atas. Keduanya menaruh perhatian
mengenai bagaimana makna dibangkitkan didalam sebuah teks (film, program
acara televisi, lagu, dan bentuk kebudayaan lainnya) yang melibatkan komunikasi
dan transfer informasi.
44
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta :
Jalasutra, 2003, hal. 43-44
45
commit
tothe
user
Pretelli, Susan, Abaout a Master of Sign,
Starting
Sign and it‟s Masters.
www.augustoponzio.com
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal –hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. 46 Tanda
sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama
(sebutan), peran, fungsi, tujuan, dan keinginan.
Obyek semiotika adalah teks. Teks dipahami bukan sebagai sesuatu yang
dibaca saja tetapi juga semua hal yang memiliki kode-kode yang bisa dimaknai.
Proses memaknai (signifikasi) teks, tidak hanya terbatas dalam bahasa saja, tetapi
juga hal-hal lain. Barthes sendiri didalam bukunya yang berjudul mytologies,
memperlakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi sampul
majalah, film charlie chaplin, dan novel) seperti memperlakukan bahasa.47
Pada dasarnya film harus dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi
sehingga pemahaman makna dalam film dapat dilihat dalam konteks yang jauh
lebih luas. Makna yang diperoleh dari film akan lebih lengkap jika dikaji dengan
melibatkan keseluruhan unsur-unsur komunikator dan komunikan, komunikasi
juga melibatkan kebudayaan yang ada disekitarnya.
46
Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ketiga
2006, Hal.15
47
commit
to user
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes,
Yayasan
INDONESIATERA, Magelang, cetakan
pertama, Februari 2001. Hal 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terlebih dari perkembangannya film telah mampu menjadi alat untuk
refleksi dari masyarakat, dan tampaknya menjadi perspektif yang secara umum
sebagaimana dikemukakan Garth Jowett:48
“(Its is more generally agree that mass media are capable of reflecting society because
they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will
guarantee the widst possible audiens.“
Yaitu lebih mudah disepakati bahwa media massa yang diwakili oleh film,
telah mampu merefleksikan masyarakat karena ia didesak oleh hakikat
komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan
audiens yang luas. Tetapi tidak hanya itu saja film ternyata juga memiliki banyak
pesan didalamnya. Untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam film tersebut,
maka dapat dilihat melalui kacamata semiotika. Dalam semiotika ada beberapa
tahapan, tahap pertama adalah denotasi, makna denotasi merupakan makna
harfiah dari suatu objek atau citra, yaitu apa yang tergambarkan pada objek atau
citra tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama, makna
denotasi tidak akan berbeda secara signifikan. Sedangkan konotasi kadangkala
dinamakan sebagi signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang
terjadi ketika tanda pertama dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya, konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan
satu atau lebih fungsi tanda, makna konotasi dapat bervariasi diantara satu orang
dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan diantara mereka,
entah perbedaan usia, gender, kelas rasial dan sebagainya49.
48
Irawanto, Budi, Film,Ideologi, dan Militer, Hegemoni militer dalam sinema Ind, Media
Pressindo, 1999, hal.13
49
Kris Budiman, Jejaring Tanda – Tanda Strukturalisme Dan Semiotik Dalam Kritik Kebudayaan,
Indonesiatera, Magelang, hal 108-109 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja
melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan / memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas
sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Di dalam mitos terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya.
Semiologi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari kajian
elemen-elemen film yang luas dan beragam, sehingga dapat diperoleh makna yang
meliputi berbagai dimensi. Semiologi memberikan pemahaman bahwa sebuah
makna tidak dipahami secara pasif, tetapi secara aktif dalam proses interpretasi.
Dan semiologi akan mengkaji simbol-simbol yang ada dalam film untuk
direpresentasikandalam kehidupan nyata, sehingga dapat diperoleh makna tertentu
Berikut adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh mereka, yakni,
Charles Alexander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Bhartes.
a.
Charles Alexander Peirce
Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran
Charles Sander Peirce menekankan “produksi tanda” secara secara sosial
dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti
mengabaikan sistem tanda. Peirce, yang merupakan ahli filsafat dan logika,
mengungkapkan
bahwa
tanda-tanda
memungkinkan
kita
berpikir,
berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang
ditampilkan oleh alam semesta. Pada teori semiotik yang dikembangkannya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peirce memusatkan perhatian pada tanda pada umumnya. Sedangkan
semiotik signifikasi berakar pada pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure.
Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan
teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai
sistem tanda.50
Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh
(influence), atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object)
dan interpretan (interpretant). Yang dimaksud dengan subjek pada
semiotika Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga entitas semiotika yang
sifatnya abstrak sebagaimana disebutkan di atas yang tidak dipengaruhi oleh
kebiasaan berkomunikasi secara kongkret. Menurut Peirce, tanda adalah
segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain
dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi
seseorang jika hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh interpretan.51
Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya unsur perantara
adalah contoh dari Keketigaan. Peirce berusaha untuk menemukan struktur
terner dimanapun mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks
pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas,
selama suatu penafsir (gagasan yang membaca tanda sebagai bagi yang lain
(yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa dikatakan oleh
50
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, SerbaSerbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal. 2
51
commit
user
Umberto Eco, Sebuah Pengantar Menuju
LogikatoKebudayaan
dalam Panuti Sudjiman dan Aart
Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan
tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, dan penangkapan (hipotesis)
membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu
tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memilik
penafsir).
Peirce mengungkapkan “Sign is something which stands to somebody
for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar
tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda
(sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni
ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce
mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisgn, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas
yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu.
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda;
misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh
yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisgn adalah norma
yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu-lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.52
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang yang hubungan
antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau
dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan
commit to user
52
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) hal. 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang
menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang
bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung
mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda
adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi.
Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi,
simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda
dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat).
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas
rheme, dicent sign, atau dicisign, dan argument. Rheme adalah tanda yang
memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang
yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru
menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki serangga, atau
baru bangun, atau mengantuk. Dicentsign atau disign adalah tanda sesuai
kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka
di tepi jalan di pasang rambu lalu-lintas yang menyatakan bahwa disitu
sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung
memberikan alasan tentang sesuatu.53
b. Ferdinand de Saussure
Sumbangan
utama
Saussure
pada
dunia
semiologi
adalah
diperkenalkannya dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai
commit to user
53
Ibid, hal 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata
oleh individu-individu dalam berkomunikasi (parole). Dalam pengertian
umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat
individu.54 Saussure membandingkan langue dengan sebuah kamus yang
dibagikan pada setiap pemakai bahasa tertentu. Dalam berkomunikasi,
seorang penutur seakan-akan mencari dalam kamus itu citra akustis yang
sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Lawan bicara memiliki
kamus yang sama (kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi komunikasi).
Setelah menangkap rangkaian bunyi yang diucapkan penutur, ia mencari
konsep dan citra akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kodekode tersebut. Saussure membayangkan ”kamus” ini sebagai suatu
kumpulan guratan ingatan dalam otak setiap pemakai bahasa tersebut.
Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Penutur
seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari “kamus” tersebut. Secara
implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi juga
sekaligus bergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu
pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan
parole, di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya
mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem.55 Jika langue
mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah
living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat
dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya
54
Ibid, hal 50
commit
to user
Martin krampen, Ferdinand de Saussure
Dan Perkembangan
Semiologi dalam Panuti Sudjiman
dan Aart Van Zoest, Serba serbi komunikas (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.55
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole
lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar
langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Kalau langue
bersifat synchronic dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga
mudah disusun sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat
diachronic dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi
pembicaraan.
Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan “tanda” sebagai
kesatuan yang tak dapat dipisahkan yakni signifier (penanda) dan signified
(petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistam tanda
(sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu penanda (signifier) dengan sebuah
ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang
bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek
material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis
atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi
petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah
bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa
dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari
sehelai kertas”, kata Saussure.56 Dalam melihat relasi petandaan ini,
Saussure
menekankan
perlunya
semacam
konvensi
sosial
convention), yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
commit to user
56
Alex Sobur, Op. Cit, hal. 46
(social
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang
disebut signifikasi (signification). Semiotika signifikasi, dengan demikian,
adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda dalam
sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Meskipun
demikian, signifikasi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan
petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tertentu, mulai dari yang
paling sederhana sampai yang paling kompleks. Kompleksitas relasi ini
yang digambarkan oleh Roland Barthes lewat “tingkatan signifikasi”
(staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang
juga bertingkat-tingkat.
c.
Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir yang getol
mempraktikan model linguistik dan semiologi saussurean. Minat utama
Saussure adalah sistem linguistik, minat keduanya adalah cara sistem
berealisasi dengan realitas yang diacunya, dan yang paling sulit dari semua
itu adalah cara sistem berelasi dengan pembaca dan sosio-kulturnya.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentukbentuk kalimat menentukan makna; dia kurang tertarik terhadap kenyataan
bahwa kalimat bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang
yang berbeda situasinya.57
Dengan kata lain, dia tak sungguh-sungguh memperhitungkan makna
sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dan teks. Dia menekankan
commit to user
57
John Fiske, Op. Cit, hal. 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada teks, bukan cara tanda-tanda didalam teks berinteraksi dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, tidak juga tertarik pada
cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya.58 Disinilah Bhartes mengambil peran untuk
menyempurnakannya. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan,
yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Dalam pegertian
umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang
“sesungguhnya”. Pada proses signifikasi yang secara tradisional disebut
sebagai denotasi ini biasanya meagacu kepada penggunaan bahasa dengan
arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi
Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem
signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun
oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata
lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 59
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes
karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu
denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos,
58
59
Ibid. hal. 118
Alex Sobur, Op. Cit. hal.70
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan semiotika Roland Barthes dianggap sebagai menyempurna semiotika Peirce
dan Saussure.
5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan
Kemerdekaan membawa seribu satu makna untuk setiap insan manusia.
Ada yang mengartikan hal tersebut sebagai berakhirnya episode penjajahan dan
penghinaan suatu bangsa atas bangsa lain, ada juga yang mengartikannya sebagai
saat pembebasan dari belengggu kebebasan. Bagi mereka yang rendah dalam
semangat dan pengetahuan, kemerdekaan hanyalah bagian dari sejarah suatu
bangsa., yang karenanya tidak ada yang istimewa. Itulah gambaran umum yang
kebanyakan dari orang yang belum bisa memahami lebih dalam akan arti
kemerdekaan. Namun bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam
perjuangan mewujudkannya, maka kemerdekaan menyiratkan makna yang lebih
besar. Bagi mereka kemerdekaan adalah suatu hasil pengorbanan dan sekaligus
anugerah untuk bangsa. Demi meraih kemerdekaan, nyawa dipertaruhkan,
keluarga dan harta benda pun ditinggalkan.
Segenap daya upaya dilakukan guna menuju sebuah gerbang kebebasan
bernegara “merdeka”. Ikhtiar tersebut telah terlihat sejak zaman kerajaan hingga
pergerakan nasional modern yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada
tanggal 20 Mei 1908.60 Setelah melewati perjuangan yang pantang menyerah
akhirnya Indonesia saat ini dapat merasakan alam dan menghirup udara
kemerdekaan. Indonesia secara resmi memplokamirkan diri sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di rumah Soekarno di Jalan
commit
to userNasional Sampai Linggarjati,
G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 dari
Kebangkitan
Yogyakarta, Kanisius, 1989, hal 27
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pegangsaan Timur 56.61 Setelah melewati kurun waktu yang panjang dan penuh
kesengsaraan selama hampir tiga ratus lima puluh tahun dalam penindasan
penjajah Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang, akhirnya bangsa Indonesia
memplokamirkan kemerdekaan melalui dua tokoh yakni Ir. Soekarno dan M.
Hatta. Kemerdekaan yang tidak diperoleh sebagai hadiah akan tetapi melalui
proses perjuangan yang panjang. Semangat rela berkorban dan cinta tanah air baik
harta benda bahkan nyawa berkobar dengan kuatnya demi tercapainya sebuah
kemerdekaan.
Selama
berabad-abad
masyarakat
telah
memuja
individu-individu
istimewa yang mereka sebut “pahlawan”. Sering tunduk kepada kesalahan
menafsir dan klise, banyak dari ini “pahlawan” adalah apa yang kita sebut sebagai
archetypal pahlawan, legenda yang dengan berani mengambil resiko hidup
mereka dengan menaklukkan beberapa rintangan yang seringkali mustahil untuk
dilakukan.
Menurut Andrew Bernstein62 sosok pahlawan adalah “an individual of
elevated moral stature and superior ability who pursues his goal indefatigably in
the face of powerful antagonist(s)” (individu yang diangkat atau didukung oleh
nilai-nilai moral yang tinggi dan kemampuan superior, dalam mencapai tujuannya
berhadapan dengan musuh yang sangat kuat). Tingkatan moral mulia yang
dimiliki oleh seorang pahlawan menjadi hal yang sangat penting untuk dasar dari
konsep kepahlawanan. Menurut Bernstein, sosok pahlawan dihargai karena dia
berdiri melakukan perlawanan terhadapa apapun yang bertentangan dengan nila61
Ibid, hal 89
commit toInc.
user
Andrew Bernstein Mentzer-Sharkey Enterprises,
2002, site by FX Media, Inc,
www.fxmedia.com, diakses pada tanggal 20 Juni 2010
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai yang diyakininya. Hal ini juga menunjukkan bahwa konsep kepahlawanan
atau heroism memerlukan nilai-nilai konflik untuk keberadaannya.
Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang figure pahlawan,
bebrapa fakta yang mungkin dapat dijadikan kesimpulan tentang bermacam
gambaran tersebut adlah seorang pahlawan yang didefinisikan sebagai orangorang besar yang dalam pencapaiaanya menjadi inspirasi bagi banyak orang,
orang-orang besar tersebut memiliki berbagai karakter khusus yang spesifik.
Sebagaian besar dari karakteristik yang dimilki seorang pahlawan
mungkin berupa kekuatan fisik yang menonjol, atau kekuatan moral dalam sebuah
tujuan yang sedang diperjuangkannya untuk kepentingan banyak orang.
Karakteristik fisikal dari seorang pahlawan yang lebih diakui oleh
kebanyakan orang dapat dilihat dari teori dualism metafisik. Jika manusia melihat
dirinya sebagai bentuk pemisahan tubuh dan pikiran, maka mereka akan bertahan
pada kesimpulan bahwa roh berada dalam bentuk hiper sensitive, yang terlalu
lemah untuk berada pada tataran fisik. Jika kemudian yang diperlukan dan
digunakan untuk bertahan hidup pada tataran praktis adalah kekuatan-kekuatan
fisik, maka tubuh manusialah yang akan mendapat penghargaan yang lebih. Dari
pandangan inilah sebagian besar figure pahlawan berada dalam kualifikasi
seorang pahlawan karena keunggulan fisik yang dimilikinya untuk menghadapi
realitas pada tataran praktis.
Walaupun kepahlawanan adalah konsep
yang mimiliki
berbagai
penafsiran, beberapa pendapat dan definisi menunjukkan bahwa makna
kepahlawanan yang “sebenarnya” bukan hanya sekedar tentang perbuatan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menantang berbagai resiko kematian, tetapi adalah tentang membuat perbedaan
posirif dan meningkatkan kehidupan; kepahlawanan adalah suatu ketaatan kepada
suatu dorongan hati terdalam dari karakter seseorang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan tentang definisi
kepahlawanan yaitu: “perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan,
kerelaan berkorban, kesatriaan.”
Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang turunkan ke bumi untuk
menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian
kembali ke langit. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukanlah
malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh
kemampuannya
untuk
memberikan
yang
terbaik
bagi
orang-orang
di
sekelilingnya. Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka
makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam
kesadaran kita.63
Tidak ada definisi tunggal mengenai pahlawan, tetapi secara umum ia
diartikan sebagai orang yang dianggap berjasa bagi kepentingan orang banyak.
Pahlawan adalah sosok yang berkorban untuk menyelamatkan nasib orang
banyak. Sang pahlawan sendiri tidak peduli lagi nasibnya, apakah ia jadi martir
atau masih hidup. Yang jelas ia telah diakui sebagai faktor perubah nasib bagi
yang lain.
Dari pemaparan diatas dapat kita tarik beberapa poin nilai-nilai
kepahlawanan yakni:
commit to user
63
M. Alfian Alfian, Kepahlawanan, Harian Kontan, 10 November 2007
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Keberanian
Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati.
Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan jika ia tidak pernah
membuktikan
keberaniannya.
Pekerjaan-pekerjaan
besar
atau
tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar
keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu.
sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan resiko.
Dan, tak ada keberanian tanpa resiko.64
Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa,
yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik
tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk
mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua
kemungkinan resiko yang akan diterimanya.
b. Percaya pada kekuatan sendiri
Para pahlawan sejati selalu mengetahui kadar kepahlawanan dari
setiap perbuatan dan karyanya. Mereka tidak biasa membesar-besarkan
nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam
perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau
sedikit. Demikian pula sebaliknya.65
Mereka juga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab,
tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka,
mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi
64
65
commit
to user
Anis matta, Mencari Pahlawan Indonesia
(Jakarta:
Tarbawi Center, 2004) hal.7
Ibid. hal. 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pahlawan. Mereka tidak akan pernah memaksakan kehendak dan juga
tidak akan pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang hanya bisa
menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan memaksakan diri menjadi
pahlawan dalam medan ilmu pengetahuan.
c. Pantang Menyerah Dalam Menghadapi Tantangan Dan Ancaman
Seorang Pahlawan boleh salah, boleh gagal, boleh tertimpa
musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak boleh menyerah
kepada
tantangannya,
dia
tidak
boleh
menyerah
kepada
keterbatasannya. Dia harus tetap melawan, menembus gelap, supaya
dia bisa menjemput fajar. Sebab, kepahlawanan adalah piala yang
direbut, bukan kado yang dihadiahkan.66
Dibawah godaan keterbatasan dan kelemahan, dibawah tekanan
realitas tantangan yang sering terlihat tidak memungkinkan untuk
dihadapi, semangat perlawanan pahlawan teruji.67
Pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang
yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan
akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang
menyerah adalah orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas
yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha
memberi jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya.
d. Rela Berkorban
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada
66
67
Ibid hal. 61
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari
keseluruhan
performance
kepribadian
kita.
Demikianlah,
kita
menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal
yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang
pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam
lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan
psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah
hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya
dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna
inilah
pengorbanan
menemukan
dirinya
sebagai
kata
kunci
kepahlawanan seseorang.68
e. Memiliki Rasa Persatuan dan Kesatuan
Anggapan seorang pahlawan adalah orang yang relatif berbeda
dari orang-orang yang biasa tidaklah salah. Anggapan tersebut menjadi
salah jika kita kemudian menganggap lebih jauh bahwa yang berjasa
dalam meraih sebuah cita-cita besar, kemerdekaan suatu bangsa
misalnya, hanyalah pahlawan seorang.69
Sebuah cita-cita besar, pada akhirnya memang tidak dapat
diselesaikan oleh seorang pahlawan saja. Akan tetapi seorang
pahlawan melegenda karena dalam proses itu ia memberikan
kontribusi yang paling besar dari lainnya. Salah satunya adalah sebagai
pemersatu orang-orang yang sama-sama memperjuangkan cita-cita
68
69
Ibid hal.13
ibid hal.109
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena seorang pahlawan memiliki
rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Persatuan dan kesatuan
adalah kekuatan tersendiri bagi orang-orang yang ingin mencapai
sebuah cita-cita besar untuk kepentingan bersama.70
f. Mempunyai Toleransi yang tinggi
Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare artinya
menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan
berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat
berbeda.71
Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan
berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia.
Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan. Bahwa toleransi adalah
kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan
orang lain dan membiarkan mereka melakukannya.72
g. Mempunyai Kesetiakawanan Sosial
Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia
ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya
sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang
pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang
70
Ibid.
Ahmad Masykur, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
commit to user
elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
72
Ibid.
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rasa, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang
lain, atau egois.73
Nilai kesetiakawanan sosial tercermin dari sikap mental yang
dimiliki seseorang atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan
sosialnya sehingga mendorong untuk peduli melakukan perbuatan bagi
kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi kesetiakawanan
sosial adalah memberikan yang terbaik bagi orang lain.74
5.8 Aspek Sinematografi
Tabel 1
Makna Teknik Pengambilan Gambar, Pergerakan Kamera,dan
Pencahayaan
Penanda
Petanda
1. Ukuran Pengambilan Gambar
(ShotSize)
Big Close-up.
Emosi, peristiwa penting, drama.
Close-up.
Keintiman.
Medium shot.
Hubungan personal dengan objek.
Long shot.
Konteks, jarak publik.
Full shot.
Hubungan sosial.
Dominasi, kekuatan, kewenangan.
Kesetaraan.
Sudut Pengambilan Gambar
(CameraAngle)
High.
Dominasi, kekuatan, kewenangan.
Eye Level.
Kesetaraan.
Low.
Kelemahan,tidak punya kekuatan.
73
Ibid.
commithttp://www.suaramerdeka.com
to user
Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan,
edisi 20 Desember
2004
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jenis Lensa
Wide angle.
Dramatis.
Normal.
Keseharian, normalitas.
Tele.
Dramatis, keintiman, kerahasian.
Komposisi
Simetris.
Tenang, stabil, religiusitas.
Asimetris.
Keseharian, alamiah.
Statis.
Ketiadaan konflik.
Dinamis.
Disorientasi, gangguan.
Fokus
Selective focus.
Menarik perhatian penonton-‟lihatlah ke
sini‟.
Soft Focus.
Romantika, nostalgia.
Deep Focus.
Semua elemen adalah penting-‟lihatlah
semua‟.
Pencahayaan
High key.
Kebahagian.
Low key.
Kesedihan.
High contrast.
Teatrikal, dramatis.
Low contrast.
Realistis, dokumenter.
Penanda
Petanda
Kode Sinematik
Zoom in.
Observasi.
Zoom out.
Konteks.
Pan (ke kiri-kanan).
Mengikuti, mengamati.
Tilt (ke atas-bawah).
Mengikuti,mengamati.
Fade in.
Mulai/awal.
Fade Out.
Selesai/akhir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dissolve.
Jarak waktu, hubungan antar adegan.
Wipe.
Kesimpulam yang menghentak.
Iris out.
Film tua.
Cut.
Kesamaan waktu, perhatian.
Slow motion.
Evaluasi, apresiasi keindahan.
Teknik-teknik pembuatan film dan maknanya.
Sumber: Keith selby dan Cowdery, How to study Television, London: Macmillan
Press Ltd, 1995:57-58
Keterangan:
LS
: Long Shot (setting dan karakter).
FS
: Full Shot (selutuh tubuh).
MS
: Medium Shot (hampir seluruh tubuh).
MCU
: Medium Close Up (sabatas dahi sampai wajah).
CU
: Close Up (hanya wajah).
Cut to
:Transisi (pindah dari satu gambar ke gambar lain).
Tilt Down
:Kamera mengarah ke bawah.
Tilt Up
:Kamera mengarah ke dalam.
Zoom In
:Kamera mengarah ke dalam.
Zoom Out
:Kamera mengarah ke luar.
Sephia
:Warna agak kecoklatan.
Slow motion
:Gerakan agak lambat

Elemen simbolik lainnya:
a. Kostum dan Objek
Kostum dan objek digunakan tidak hanya untuk menunjukkan
tempat dan waktu, tetapi mendukung alur dari sebuah cerita. Tanda-tanda
commit to user
yang terkandung di dalam kostum yang dipakai oleh seorang karakter
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat menjelaskan kepribadian atau maksud dari tujuan sebuah karakter.
Objek juga berfungsi sebagai kunci simbolik dari informasi gambar
tersebut.
b. Bintang dan penampilan
Bintang adalah ikon khusus yang memberi arti simbol kekuatan
dan teridentifikasi dengan aliran tertentu disamping membentuk suatu
personalitas tersendiri. Dalam mencari seorang aktor, diperhatikan tandatanda dalam komunikasi non verbal yang berupa gesture, kinestik (gerak),
body language (bahasa tubuh), facial signal (raut wajah), gaze (tatapan
wajah), Tactile (sentuhan fisik), dan proxemic (kedekatan).
c. Suara
Dapat berupa suara latar atau atmosfer dari suatu adegan, suara
narator, sound effect, dan musik. Suara dapat memberikan kontribusi bagi
fungsi naratif dan menambah efek emosional yang kuat.
d. Setting
Fungsinya adalah untuk menyatakan tempat dan waktu di mana
cerita terjadi. Selain itu befungsi untuk mengkontruksi makna-makna
tertentu yang dapat memberi kontribusi bagi struktur naratif cerita dan
karakter dalam suatu film.
Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat dua tingkatan makna
yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat
unsur mitos. Dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah
film kita dapat mengetahui ekspresi emosi dan kognisi pembuat film atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembuat pesan baik secara denotatif, konotatif, sampai pada tataran
mitologis. Model semiotika tidak dipusatkan pada transmisi pesan,
melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan disini
difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara
nilai-nilai dan bagaimana proses tersebut memungkinkan komunikasi
memiliki makna.
6. Definisi Konseptual
6.1 Film Pendek
Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan
kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa lebih selektif
mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap „shot‟ akan
memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Yang
menjadi pembedaan dengan sinema lainnya bukan berkutat di masalah durasi,
masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide, ataupun alur
cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre.
Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah
yang kemudian
memberikan arti berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat
dirasakan oleh penontonnya.
6.2 Kepahlawanan
Kepahlawanan merupakan nilai-nilai luhur yang menunjukkan kualitas
seseorang sebagai manusia yang perlu diteladani. Nilai-nilai tersebut berupa
keberanian, dan kerelaan berkorban tanpa pamrih demi kecintaannya kepada tanah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
air dan bangsanya, percaya kepada kekuatan sendiri, pantang menyerah
menghadapi setiap tantangan dan ancaman, rasa persatuan dan kesatuan yang
dijiwai kekeluargaan, kesetiakawanan sosial dan toleransi yang tinggi, serta
kepedulian terhadap sesama bangsa.
Simbol sosial adalah suatu objek yang meliputi segala sesuatu hal yang
dapat dirasakan atau dialami, yang menunjukkan nila-nilai yang berlaku dalam
relasi sosial, dimana dalam realsi sosial dapat berperan sebagai pembentuk
individu dalam masyarakat. Pada penelitian ini peneliti menggunakan simbolsimbol sosial yang merepresantasikan nilai-nilai kepahlawanan, antara lain:
a. Keberanian
Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa,
yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik
tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk
mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua
kemungkinan resiko yang akan diterimanya.75
b. Pantang Menyerah
Pantang Menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang
yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan
akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang
menyerah adalah orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas
commit to user
75
Anis Matta, Op. Cit,hal.7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha
memberi jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya.76
c. Rela Berkorban
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada
masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari
keseluruhan
performance
kepribadian
kita.
Demikianlah,
kita
menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal
yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang
pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam
lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan
psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah
hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya
dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna
inilah
pengorbanan
menemukan
dirinya
sebagai
kata
kunci
kepahlawanan seseorang.77
d. Kesetiakawanan Sosial
Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia
ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya
sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang
pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang
76
77
Anis Matta, Op.Cit. hal. 61
Anis Matta,Op.Cit. hal. 13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rasa, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang
lain, atau egois.78
7. Kerangka Pikir
Untuk mengetahui simbol – simbol sosial tentang nilai-nilai kepahlawanan
dalam film Harap Tenang Ada Ujian, peneliti akan memaknai simbol – simbol
dalam film dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes. Pemaknaan
film dengan menggunakan metode ini memungkinkan terjadinya penafsiran
makna yang sifatnya subyektif, sesuai dengan pengalaman dan latar belakang
pendidikan yang berbeda.
Prosesnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada sinifikasi tahap pertama
yang menghasilkan makna denotasi, dan signifikasi tahap kedua yang
menghasilakan makna konotasi. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi
ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari komunikan serta nilai-nilai
kebudayaan (mitos). Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak
intersubyektif.79 Selain itu dalam makna konotasi akan dibagi lagi menjadi dua
aspek pembangunnya, yaitu aspek sosial, dan juga aspek sinematografi.
1.
Aspek Sosial
Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang
terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film,
hubungan antar tokoh dalam film dan situasi yang digambarkan dalam
film merupakan bagian dari aspek sosial tersebut.
78
Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com edisi 20 Desember
commit to user
2004 diakses tanggal 23 Juli 2010
79
Budiman, Kris. Semiotika Visual, Yogyakarta: Penerbit Buku baik, Yogyakarta : 2003. hal.63
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Aspek Sinematografi
Aspek Sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara
dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam
menangkap objek, besar kecilnya objek yang tertangkap pada kamera
(shot distance), pencahayaan, setting, dan efek-efek yang dihasilkan
dari teknis-teknis tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting
pengambilan gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan
tersebut.
Peneliti akan berusaha mengungkapkan pesan sesungguhnya dari tandatanda yang merepresentasi nilai-nilai kepahlawanan tersebut berdasarkan rujukan/
refrensi dari berbagai sumber dan data. Pada penelitian ini kerangka pikirnya
adalah sebagai berikut :
Simbol sosial
visual, verbal, teknis
Film Harap Tenang
Ada Ujian
Nilai-nilai Kepahlawanan:
a. Keberanian
b. Percaya Pada Kekuatan
sendiri
c. Pantang Menyerah
d. Rela Berkorban
e. Persatuan dan Kesatuan
f. Toleransi
g. Kesetiakawanan Sosial
8. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Denotasi
Semiologi
Roland Barthes
Konotasi
Mitos
commit to user
MAKNA
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Fenonomenologi
diartikan sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenogikal atau bisa
juga diartikan sebagai suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari
seseorang.80 Namun pada penelitian deskriptif kualitatif ini tidak sepenuhnya
mengakar pada penilitian kualitatif, hanya kebiasaan dan pengaruh antara
pandangan kuantitatif-kualitatif sajalah akhirnya melahirkan tipe penelitian
kualitatif deskriptif tersebut, sehingga tipe penelitian kualitatif deskriptif lebih
tepat disebut sebagi quasi-kualitatif.81 Gambaran kedudukan sederhana dari
penggunaan teori pada researc deskriptif kualitatif adalah model induksi. Model
Skema Kedudukan induksi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Skema 1. Ket: Model Induksi 2: Blank Theory and Data Focus
Pada model induksi ini dijelaskan bahwa pemahaman terhadap teori bukan
sesuatu yang haram, namun data tetap menjadi fokus peneliti di lapangan. Teori
menjadi tak penting, namun pemahaman objek penelitian secara teoritis juga
membantu peneliti di lapangan saat mengumpulkan data. Peneliti tidak perlu buta
80
Moleong,Lexy J Prof, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya,
Cetakan ke-23 Bandung, 2007. Hal.14
81
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif :Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
to user Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta,
Sosial Linnya, Kencana Prenada Mediacommit
Group Pengajar
2008 Hal. 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sama sekali terhadap data namun pemahamannya terhadap data sebelumnya cukup
membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori sedikit banyak
membantu peneliti untuk membuka misteri data yang sebenarnya tidak diketahui
peneliti, namun fokus peneliti hanya tertuju pada data karena pemahaman
terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian.82
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa kata – kata,
kalimat, atau gambar, yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi.
Peneliti juga menekankan catatan yang menggambarkan situasi yang sebenarnya
guna mendukung penyajian data, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat
individu, keadaan, gejala, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu
gejala dengan gejala lain di masyarakat..
Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodelogi kualitatif“ sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis
atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapat diamati.83 Jenis penelitian
kualitatif tidak mendasarkan bangunan - bangunan teori dan konsep sebagai hal
utama pada tahap awal.
Penelitian dalam kultur ini memulai dari data yang ada di lapangan. Kerangka
teori dan pemikiran tidak untuk diuji dan dijadikan sebagai batasan, melainkan
lebih sebagai refrensi bagi peneliti untuk berjalan. Teori dan kerangka pikir dalam
peneliti ini akan terus - -menerus dibangun selama proses penelitian berlangsung.
2.
82
83
Metode Penelitian
commit to user
Ibid, Hal. 23
Lexy J. Moleong, 1991, Metodologi Penelitian Kuaitatif, PT Remaja Rodakarya,Bandung, Hal.3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk mencapai tataran pemaknaan pesan yang menunjukkan maka
penelitian ini megunakan analisis semiologi. Dengan metode ini dititikberatkan
tidak pada pemusatan transmisi pesan, melainkan pada peran komunikasi dalam
memantapkan dan memelihara nilai – nilai dan bagaimana nilai – nilai tersebut
memungkinkan komunikasi memiliki makna.
3. Objek Penelitian
Film Harap Tenang Ada Ujian. Peneliti akan melakukan capturing gambar
dalam sebuah adegan yang menunjukkan representasi melalui tanda –
tanda berikut :
a. Tanda-tanda verbal yang meliputi dialog, monolok dan musik latar.
b. Tanda-tanda non verbal yang meliputi :
-
Komposisi visual berupa perpaduan unsur pembentuk gambar,
antara lain terdiri dari perpaduan warna, bahsa tubuh, tokoh,
kostum dan make up.
-
Pergerakan kamera ( camera movement ) yang berupa teknik
pengambilan gambar dengan menggunakan kemera video pada
tiap scene – nya.
-
Latar belakang lokasi ( setting ) yang berupa penggunaan lokasi
dalam situasi dan alur cerita.
-
Pencahayaan ( lighting ) yang berupa teknik pemberian cahaya
pada tokoh atau lokasi dalam situasi dan alur cerita.
8.1 Teknik Pengumpulan Data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Observasi dengan mengamati objek penelitian yaitu Film Harap Tenang
Ada Ujian
b. Studi Dokumen dan Literatur yaitu dengan mencari acuan teoretis atau
data yang mendukung.
8.2 Analisis Penelitian
Analisis dilakukan dalam 3 tahap. Tanda pada tahap pertama yang terdiri
dari penanda dan petanda akan memunculkan makna denotatif. Makna denotatif
ini kemudian menjadi penanda bagi makna mitologis tingkat kedua. Makna
denotatif adalah makna dari apa yang terindera, harfiah dan eksplisit. Sedangkan
makna konotatif adalah makna kiasan, tersembunyi dan implisit. Penanda
konotasi (konotator) dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi, dengan
mengaitkan teks-teks yang ada didalam tanda. Biasanya beberapa tanda denotasi
dapat dikelompokan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal ; sedang
petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat
pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat
dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah dan melaluinya dunia lingkungan
menyerbu sistem itu.84 Kemudian dari makna konotasi dapat diambil sebuah mitos
yang ada di dalam setiap elemennya. Mitos, menurut Barthes adalah sebuah
sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos
kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sbeuah konsep, atau sebuah
ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. 85 Didalam
mitos terdapat juga pola tiga dimesi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai
84
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan INDONESIATERA, Magelang, cetakan
commit to user
pertama, Februari 2001. Hal 68
85
Ibid, Hal 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu sistem yang unik, mitos justru dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang
telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua. Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, setelah
terbentuk sistem tanda – penanda – petanda: tanda tersebut akan menjadi penanda
baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Langkah
yang
dilakukan
adalah
mengelompokkan
adegan
yang
merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film. Selain itu juga aspek
yang kedua yaitu berupa aspek sinematografi, dimana dalam setiap korpus
dijelaskan melalui cara pengambilan gambarnya, seperti jarak, ketinggin, sudut,
lama pengambilan, dan sebagainya. Unsur sinematografi secara umum dapat
dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar.
Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera
dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan
sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan obyek yang akan diambil,
seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera,
dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah oyek
diambil gambarnya oleh kamera.86
BAB II
SEKILAS TENTANG FILM HARAP TENANG ADA UJIAN
DAN FOURCOLOURS FILMS
86
Pratista, Himawan. Memahami Film,Homerian Pustaka. 2008. Cetakan kedua. Hal.89
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Film Harap Tenang Ada Ujian
HARAP TENANG, ADA UJIAN!
English Title
: Be Quiet, Exam Is in Progress!
Format
: DV / Color / 16 : 9
Durasi
: 15 minutes
Sutradara
: Ifa Isfansyah
Penulis Naskah
: Ifa Isfansyah
Produser
: Damiana Widowati, Chandra Endroputro, Ary Juwono
Pemain
: Fendy Riyadi, Takahiro Saito, Hiroaki Kato
Co-production
: Freemovie Media
Tahun Produksi
: 2006
Sinopsis :
Pada tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 WIB, kota Jogjakarta diguncang
commit
to user
gempa berkekuatan 5.9 skala richter
yang
menewaskan lebih dari 6.000 orang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hari itu tepat sepuluh hari sebelum siswa sekolah dasar menghadapi ujian akhir
dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006.
Film berdurasi 15 menit yang diproduksi tahun 2006 bercerita tentang
anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta, yang akan menjalani ujian sejarah.
Pada saat bersamaan, datang sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk memberi
bantuan. Anak itu mengira jika sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah
Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara
anak ingusan itu mencoba untuk menghalau para sukarelawan Jepang.
2. Festival dan Awards
HARAP TENANG, ADA UJIAN! (BE QUIET, EXAM IS IN PROGRESS!)
1. Best Short Film / Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006.
2. Best Short Fiction Film / KONFIDEN Short Film Festival 2006.
3. Slingshort Film Festival 2006.
4. Best Short Film / Indonesian Film Festival 2006.
5. Singapore International Film Festival.
6. In Competition / Short Shorts film FESTIVAL & ASIA 2007.
7. International Signes de Nuit Festival Paris 2007.
8. Bergamo Internazionale d'art Festivale 2007.
9. In Competition / Almaty International Film Festival 2007.
10. In Competition / Cinemanila Film Festival 2007.
11. In Competition / Third Eye Film Festival Mumbai 2007
12. Berlin Asian Hot Shot Festivalcommit
2008 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Profil Sutradara
Ifa Isfansyah lahir di Jogjakarta 1979, dan telah menyelesaikan studinya di
ISI Jogjakarta jurusan Televisi. Pada tahun 2001, bersama beberapa temannya
mendirikan komunitas film indie yang diberi nama Fourcolours Films dan kini
telah aktif memproduksi film pendek. Dia membuat film pendek pertamanya Air
Mata Surga pada tahun 2002 bersama Eddie Cahyono, film pertamanya ini
diundang pada Festival Film-Video Independen Indonesia 2002 sebagai film
pembuka, dan juga ikut dalam Hamburg and Clermont-Ferrant Film Festival. Film
pendeknya yang berjudul Mayar berhasil mendapatkan penghargaan untuk Best
Cinematography dan Best Art Directing di Festival Film-Video Independen
Indonesia 2002, dan ikut serta dalam Rotterdam Film Festival. Selain film Ifa juga
menyutradarai beberapa iklan dan serial TV. Dia menulis scenario untuk film
pendek Bedjo Van Derlaak dan memenangkan penghargaan 1st prize student
competition award di Bali Int‟l Film Festival 2003. Pada tahun 2006 dia kembali
membuat film pendek , “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mendapatkan
penghargaan di beberapa festival film, seperti Audience Award di Jogja-NETPAC
Asian Film Festival, Film Pendek Terbaik di Festival Film Pendek Konfiden, Film
Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2006, serta beberapa nominasi di
Short Shorts Film Festival & ASIA 2007, Tokyo Japan, Almaty International Film
Festival, Kazakhstan 2007 and Third Eye Film Festival 2007, Mumbai India. Film
pendeknya yang berjudul Setengah Sendok Teh juga telah ikut dalam
International Film Festival Rotterdam dan Hongkong Independent FIlm Video
Award 2008. Ifa juga mengikuti Asian Film Academy Pusan Int‟l Film festival
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2006, dari Pusan Film Festival dia mendapatkan beasiswa di Dongseo University
Film Faculty/Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts. Setelah
menyelesaikan studinya di Korea dia kembali ke Indonesia dan menyutradarai
film panjang pertamanya Garuda di Dadaku pada tahun 2009.
4. Profil Fourcolour Films
Fourcolours Films adalah sebuah rumah produksi di Jogjakarta. Pada
awalnya adalah sebuah komunitas film independen yang dibuat oleh beberapa
anak muda pada tahun 2001. Mulai tahun tersebut aktif membuat film-film
pendek dan beberapa diantaranya berhasil memenangkan penghargaan di festivalfestival film. Film pendek pertama Diantara Masa Lalu dan Masa Sekarang yang
dibuat pada tahun 2001 berhasil memenangkan Film terbaik dan Film Favorit
pilah penonton di Festival Film-Video Independen Indonesia 2001 dan aktor
terbaik dalam Festival Film Independen Indonesia 2001. Setelah itu pada tahun
2002 membuat film dengan judul Air Mata Surga dan Mayar. Film “Air Mata
Surga” menjadi film pembuka di Festival Film-Video Independen Indonesia 2002,
sedangkan “Mayar” berhasil memenangkan SET award untuk penata kamera dan
penata artistik terbaik di festival yang sama. Film ke empat adalah Bedjo Van
Derlaak yang dibuat pada tahun 2003. Film itu berhasil menjadi best picture pada
student film competition di Bali International Film Festival 2003. Mulai tahun
2003 Fourcolours mengembangkan usahanya dan mulai membuat produk-produk
video yang bersifat komersial, seperti Iklan televisi, Video profile dan Video klip.
Beberapa produk itu bahkan berhasil memenangkan penghargaan di beberapa
commit
to user berhasil meraih iklan terbaik di
festival, Iklan komersial untuk kopi
blandongan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pinasthika Ad Festival dan Citra Pariwara 2005. Tahun 2006 kembali membuat
beberapa film pendek, yaitu Untuk Perempuan (2006), Nyanyian dari Surga
(2006), Harap tenang, ada ujian! (2006) dan Setengah Sendok Teh (2007). Bahkan
Film Harap tenang, ada ujian! berhasil menjadi film pendek terbaik di JogjaNETPAC Asian Film Festival, Festival Film pendek Konfiden dan Festival Film
Indonesia 2006. Beberapa film-film pendek tersebut juga berhasil diputar di
beberapa festival film di dunia, seperti festival film internasional di Tamperre,
Roterdam, Hamburg, Singapura, Australia, Clemant-Ferrand, Tokyo.
BAB III
ANALISIS DATA
1. Aplikasi Sistem Pertandaan dalam Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi
dan gagasan makna interaktif tadi. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua
tatanan pertandaan (order of signification). Tatanan tanda yang pertama disebut
commit
to user
denotasi. Tatanan ini menggambarkan
relasi
antara penanda dan petanda di dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Tatanan
denotasi mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda.87
Tatanan tanda yang kedua disebut sebagai konotasi. Konotasi dipakai
untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan
kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tandaq
bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Hal
ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif :
hal ini terjadi ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan
objek atau tanda.
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan
pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Barthes
menegaskan bahwa setidaknya dalam foto, perbedaan antara konotasi dan
denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film
tentang objek yang ditangkap kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari
proses ini;ini mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai(frame), fokus,
rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang
difoto,sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.88
Studi media massa pada dasarnya mencakup pencarian pesan dan maknamakna dalam materinya, karena sesungguhnya basis studi komunikasi adalah
proses komunikasi, dan intinya adalah makna. Dengan kata lain, mempelajari
87
John Fiske,Cultural and Communication Studies:sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
Diterjemahkan dari Introduction to Communication studies,2 nd edition, Rotledge,1990.
Penerjemah Drs. Yosal Iriantara,MS. dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta & Bandung :
commit to user
Jalasutra,2004. hal. 118
88
ibid. hal.119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apanya, seberapa
jauh tujuannya, bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.
Karena itu metodologi dalam komunikasi ditandai (signalled) oleh kita.
Hal ini bisa dianggap sebagai dasar dari studi komunikasi dimana penandaaan
dapat terjadi dengan pelbagai cara. Kerana itu pemahaman dan analisis dari tandatanda yang spesifik amatlah krusial untuk mengerti pesan dan maknanya.
Sejumlah tanda akan selalu menambahkan makana yang utuh dalam pesan.
Sementara itu, sekumpulan tanda dan bentuk yang khusus seperti wicara,
tulisan dan gambar disebut dengan kode. Kode-kode itu ditentukan melalui
konvensi atau aturan yang tidak tertulis tentang bagaimana digunakan dan
bagaimana memahaminya. Misalnya, dalam aturan kode visual, bagian yang
terpenting senantiasa berada di tengah dan bukan dipinggir. Akan tetapi, mungkin
juga terdapat kode-kode di dalam kode yang juga kita pelajari disebut dengan
kode sekunder (secondary code). Kode sekunder ini juga beroperasi dalam
konvensi.
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural
atau semiotik. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest,film dibangun dengan tanda
semata-mata.89 Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama
dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan, yang paling penting ialah
gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang
serentak mengiringi gambar) dan masuk film. Berbeda dengan fotografi statis,
rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.
89
Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein)
commit
to user Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991,
dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest
(Ed.), Serba-serbi
hal.1.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena itu menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda
arsitektur,terutama
indeksikal,pada
film
terutama
digunakan
tanda-tanda
ikonis,yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.90Memang,ciri gambargambar film adalah persamaan dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang
dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.
Pada akhirnya seluruh elemen dari makna (yang terdiri dari tanda-tanda,
simbol,indeks,ikon) senantiasa akan dikonstruksikan ke dalam konvensi yang
khusus. Pembentukan konvensi sebuah barang tentu merupakan kerja ideologis.
Karena, konvensi tidak pernah dirumuskan di dalam ruang hampa. Proes
konstruksi inilah yang akan dijadikan basis deskripsi terhadap objek kajian.
Dalam hal ini adalah representasi nilai kepahlawanan.
Dalam teks film ideologi sudah tentu bekerja bukan hanya pada aspek isi,
tetapi juga pada bentuk. Mengingat bahwa kajian ini bersifat semiotik, maka
bahasa gambar sangat diperhitungkan. Karena ideologi beroperasi tidak melalui
ekspresi-ekspresi langsung, maka ia tidak pernah sebagaimana pernyataan
langsung. Dengan kata lain, ideologi bersembunyi di dalam struktur naratif,kodekode,konvensi serta cita-cita (images) yang dibangun melalui bahasa filmis.
Karena itu, penting dilakukan kajian hanya pada ungkapan-ungkapan sinematik
yang dipilih dan diolah. Sistem penandaan dalam seluruh teks film akan dianalisis
pertautannya dalam konteks ideologi ini.
Produksi film selalu melibatkan tanda-tanda verbal dan non-verbal. Secara
sederhana,tanda verbal merupakan unsur-unsur bahasa. Sementara tanda non
commit to user
90
ibid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
verbal menunjukkan ungkapan-ungkapan komunikasi lainnya yang secara tidak
langsung berkaitan dengan bahasa dan film itu sendiri.
2. Simbol Sosial Nilai-Nilai Kepahlawanan Dalam Film Harap Tenang Ada
Ujian
2.1 Keberanian
a. Denotatif
Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa,
yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan
maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah
suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan
resiko yang akan diterimanya.91 Secara denotatif simbol sosial Keberanian
diperlihatkan melalui gambar/visual dan dialog.
1. Visual
Gambar yang menunjukkan simbol sosial Keberanian diambil dari
scene 4, scene 5, dan scene 6. Pada malam sebelum gempa terjadi si anak
kecil tengah belajar untuk persiapan ujian sejarah, dan ayahnya tengah
memasang televisi baru dan jadwal pertandingan piala dunia. Gempa yang
melanda Jogja pada keesokan paginya telah menghancurkan rumah dan
menewaskan ayah si anak kecil tersebut. Si anak kecil masih menemukan
buku sejarah yang semalam dipelajarinya, diapun melanjutkan belajarnya
hingga tertidur didalam kardus. Ketika anak kecil terbangun dia melihat
orang asing yang tengah mendirikan tenda dan memasang bendera Jepang.
commit to user
91
Anis matta, Mencari Pahlawan Indonesia (Jakarta: Tarbawi Center, 2004) hal.7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pelajaran tentang perjalanan sejarah Indonesia ternyata membekas sangat
kuat dalam ingatan anak kecil ini sehingga ketika melihat seorang relawan
Jepang yang sekiranya hendak membantu Jogja pasca bencana gempa
dikiranya hendak menjajah kembali. Dari situlah si anak kecil berpikir
bahwa orang Jepang yang sedianya adalah relawan yang akan membantu
evakuasi gempa dikiranya adalah penjajah Jepang yang kembali menjajah
Indonesia. Rasa penasaran tentang tujuan kedatangan orang Jepang ini,
ternyata mengalahkan rasa takut didirinya. Ia-pun memutuskan untuk
menyelinap masuk ke tenda relawan tersebut agar bisa tahu apa tujuan
relawan tersebut mengunjungi tanah kelahirannya hanya dengan berbekal
ketapel.
1.1.1 Scene 4
1. a
2.a
1. b
2.b
2.c
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dilihat dari gambar pada penggalan scene 4, simbol sosial
Keberanian ditunjukkan oleh anak kecil tersebut, setelah pada siang hari
dia melihat kedatangan relawan Jepang yang mendirikan tenda kemudian
pada malam hari dia memutuskan untuk mengendap-endap mendatangi
tenda relawan Jepang tersebut sendirian (gambar 1a dan 1b). Bukan tanpa
resiko, setelah gempa melanda Jogyakarta keadaan menjadi gelap gulita,
dan dibutuhkan keberanian yang sangat tinggi.
Kemudian ketika relawan Jepang tersebut pergi, anak kecil itu
memasuki tenda dan menggeledah barang-barang yang ada di dalam tenda.
Disana dia menemunkan kotak yang ternyata hanya berisi senter dan
makanan (gambar 2a dan 2b), kemudian ada mini tv dan sebuah peta yang
telah ditandai (gambar 2c). dengan menggunakan senter yang dia temukan,
dia mempelajari peta yang telah ditandai itu dan menurutnya itu adalah
daera-daerah yang akan “dijajah” oleh relawan Jepang tersebut.
1.1.2
3.a
Scene 5
3.b
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.c
digilib.uns.ac.id
3.d
3.e
3.f
1.1.3 Scene 6
3.g
3.h
Simbol sosial keberanian yang lain ditunjukkan melalui gambar
dalam scene 5 dan scene 6. Setelah melakukan penyelidikan di tenda
commit
to user untuk melakukan penyerangan
relawan Jepang, anak kecil
memutuskan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap relawan Jepang pada keesokan harinya. Bersenjatakan ketapel, ia
mendatangi relawan tersebut untuk berusaha mengusirnya. Sebagai anak
yang masih polos tentulah ia tidak tahu maksud sebenarnya kedatangan
orang Jepang itu. Ingatannya hanya terpaku pada kesimpulan bahwa
bangsa Jepang adalah penjajah sehingga harus diusir dari bumi pertiwi.
Keberanian yang berawal dari kebencian terhadap penjajahan telah
mendorongnya untuk melawan tanpa rasa takut walaupun secara fisik ia
masih anak-anak. Karena tidak sengaja menginjak kaleng bekas sehingga
menimbulkan suara, maka keberadaanyapun diketahui relawan Jepang,
dan terjadilah kejar-kejaran antara anak kecil dan relawan Jepang hingga
akhirnya relawan Jepang jatuh ke sungai. Hanya dengan bersenjatakan
ketapel, anak kecil itu mengancam relawan Jepang dan menyuruhnya pergi
dari Negara Indonesia (gambar 3f). Relawan Jepang berusaha menjelaskan
kedatangan mereka ke Jogjakarta adalah untuk menolong korban gempa.
Namun keterbatasan bahasa diantara relawan Jepang dan anak kecil itu
membuat kesalah pahaman terjadi. Relawan Jepang memutuskan untuk
mengalah pada anak kecil dan mengemasi barang-barang mereka dibawah
ancaman ketapel anak kecil. Disini (gambar 3b dan 3c) diperlihatkan
keberanian seorang anak kecil yang demi rasa cintanya pada tanah air
berani mengusir Jepang yang menurutnya akan kembali menjajah
Indonesia. Karena menurut dia keadaan yang kacau porak poranda serta
kematian ayahnya disebabkan oleh kedatangan orang Jepang tersebut yang
akan kembali menjajah Indonesia. Maka dengan keberaniannya dia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berusaha untuk mengusir orang-orang Jepang tersebut agar segera
meninggalkan Indonesia.
2. Verbal
Dialog adalah proses komunikasi antara dua atau lebih agen.
Struktur dialog manusia kadang dipengaruhi oleh emosi, situasi serta
berbagai faktor lain.92 Dalam dialog scene ini ditunjukkan juga simbol
sosial keberanian, diambil dari scene 5.
Table 1. dialog antara anak kecil dan relawan Jepang Scene 5
Anak kecil
:
Minggat, minggat koe seko negoroku!
Relawan jepang
:
Boy.. (boku) please don‟t misunderstand
Anak kecil
:
Buku opo? Minggat!
Relawan jepang
:
We‟re just going to (nanda) help you!
Anak kecil
:
Nandang opo? Alasan! Koe penjajah!
Relawan jepang
:
You‟re safe now!
Anak kecil
:
Koe wis mateni bapakku!
Table 2. dialog antara anak kecil dan relawan Jepang scene 6
Relawan jepang
:
Ok, we‟re go home, take care of yourself, boy
If I met Indonesian volunteer
I‟ll tell them
about you
They‟ll help you
Anak kecil
:
Rasah cerewet! Minggat!
Dalam dialog yang terjadi antara anak kecil dan relawan Jepang
mengalami kendala keterbatasan bahasa diantara mereka berdua. Relawan
commit to user
www.aqwamrosadi.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/12721/pertemuan%2B9.doc,
diakses
pada tanggal 2 Juli 2010
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jepang yang menggunakan bahsa Jepang tidak mengerti bahasa Jawa yang
digunakan anak kecil tersebut. Begitu juga sebaliknya, si anak kecil juyga
tidak mengerti apa yang dikatakan oleh relawan Jepang itu. Relawan
Jepang bermaksud menjelaskan bahwa mereka datang ke Indonesia untuk
membantu korban gempa yang ada di Jogjakarta, tetapi anak kecil tetap
menganggap bahwa mereka hanya beralasan saja, karena mereka adalah
penjajah dan menyuruh mereka agar segera meninggalkan Indonesia.
3. Teknis
Simbol Teknis pada Scene 4
Setting
: Tenda relawan Jepang.
Properti
: Mini tv, peta, box yang berisi makanan (dalam
tenda).
Pemeran
: anak kecil
Kostum
: Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana
pendek.
Pencahayaan
: Low key dan low contrast.
Sound
: natural sound.
Teknik Kamera
: Pada awal scene ini gambar dambil melalui teknik
Long Shot. Pada scene selanjutnya menggunakan
Medium Shot. Kamera bergerak mengikuti anak
kecil yang menggeledah tenda relawan Jepang.
Simbol Teknis pada Scene 5
Setting
: Di pinggir sungai
Properti
: Ketapel
Pemeran
: Anak Kecil, Relawan Jepang
Kostum
: Anak kecil masih mengenakan kaos bola dan
celana pendek dan Relawan Jepang mengenakan
kaos dan celana jeans.
Pencahayaan
: High Level
Sound
: natural sound.
Teknik Kamera
: Ukuran Medium Shot dan High Angle. Kamera
bergerak statis dengan perpindahan gambar cut to
cut.
Simbol Teknis pada Scene 6
Setting
: Tenda Relawan Jepang
Properti
: Ketapel, tas dan perlatan milik Relawan Jepang,
kaos bola, ayunan.
commit
to Relawan
user
Pemeran
: Anak
Kecil,
Jepang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kostum
: Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana
pendek dan Relawan Jepang mengenakan kaos,
jaket dan celana jeans.
: High Level
: natural sound.
: Long Shot. Kamera bergerak ( panning ke kanan )
mengikuti Relawan Jepang.
Pencahayaan
Sound
Teknik Kamera
b. Konotatif
Menurut penulis suatu usaha atau perjuangan untuk mencapai suatu
tujuan cita-cita ataupun kemenangan pastilah akan disertai dengan resiko.
Untuk mengahadapi resiko tersebut dibutuhkan keberanian untuk
mengahadapinya agar tujuan atau cita-cita dapat tercapai.
Seperti adegan yang diperlihatkan dalam scene 4, 5, 6, keberanian
yang dimiliki anak kecil membuatnya tidak takut untuk mengusir relawan
Jepang yang dianggapnya sebagai sebuah ancaman bagi rakyat Indonesia.
Pada adegan penyelidikan di tenda relawan Jepang yang dilakukan pada
malam hari menggunakan pencahayaan low key dan low contrast, hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan kesan mencekam, didukung dengan
natural sound yang menunjukkan suasana malam hari. Pada awal scene ini
gambar dambil melalui teknik long shot, dimana relawan Jepang dan anak
kecil
nampak
jelas
dan
latar
belakang
disekelilingnya
sengaja
diperlihatkan. Pada scene selanjutnya menggunakan medium shot,
pengambilan gambar dengan teknik ini bertujuan agar ekspresi wajah si
anak kecil dapat disajikan kepada penonton dan menunjukkan aktivitas
pengintaian yang dilakukan si anak kecil. Kamera bergerak mengikuti
commit
to user
anak kecil yang menggeledah
tenda
relawan Jepang. Pergerakan kamera
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini juga bertujuan untuk menunjukkan apa yang ditemukan oleh si anak
kecil.
Dalam adegan pengusiran yang dilakukan pada siang hari si anak
kecil masih mengenakan kaos bola dan celana pendek dan Relawan Jepang
mengenakan kaos dan celana jeans. Menurut penulis hal ini menegaskan
bahwa semua harta benda telah hilang terkena gempa sehingga tidak ada
baju ganti. Pencahayaan high level digunakan untuk menunjukkan suasana
di luar ruangan pada waktu siang hari dan natural sound untuk mendukung
suasana. Teknik pengambilan gambar dengan ukuran medium shot dan
high angle digunakan untuk menampilkan ekspresi anak kecil yang sangat
marah kepada relawan Jepang dan menekankan dominasi anak kecil atas
relawan Jepang. Kamera bergerak statis dengan perpindahan gambar cut to
cut. Mulai dari medium shot wajah anak kecil berpindah ke medium shot
wajah relawan Jepang. Hal ini menunjukkan sedang terjadi pengusiran
yang dilakukan anak kecil terhadap relawan Jepang. Teknik pengambilan
gambar long shot digunakan pada adegan pengusiran relawan Jepang,
teknik ini digunakan dengan tujuan menampilkan suasana dan aktivitas
pengusiran anak kecil terhadap relawan Jepang. Kamera bergerak (panning
ke kanan) mengikuti relawan Jepang. Teknik ini untuk mendekatkan
hubungan pemirsa dengan objek, dipertegas dengan ekspresi sedih wajah
relawan Jepang yang menatap ke depan dan ekspresi kemarahan dari
wajah anak kecil. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa penjelasan
beberapa unsur diatas seperti pencahayaan low key dan low contrast untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adegan penyelidikan pada malam hari dan beberapa teknis pengambilan
gambar semakin menjelaskan tentang keberanian anak kecil.
c. Mitos
"Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa.." - Julius A
Cartage
"Berani bukanlah siap menghunus pedang.. tetapi siap memasukkan
pedang ke sarungnya" - Dawson Peter Amstrong93
Tercatat dalam perjalanan bangsa Indonesia, Jepang pernah
menjajah negeri ini selama tiga setengah tahun. Penderitaan yang
diakibatkan oleh kekejaman bangsa Jepang ini bahkan disejajarkan dengan
penjajahan Belanda selama hampir tiga setengah abad. Sehingga meskipun
kedatangan relawan Jepang ke Jogjakarta adalah untuk membantu
evakuasi korban gempa, mereka tetap dianggap sebagai penjajah yang
akan kembali menjajah bangsa Indonesia.
Salah satu syarat untuk menjadi pemenang adalah mempunyai
keberanian. Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawan adalah
keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati.
Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan jika ia tidak pemah
membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangantantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang
sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Karena pekerjaan dan
commit to user
93
http://id.wikiquote.org/wiki/Keberanian, diakses pada tanggal 20 Juni2010
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian
tanpa risiko.
Keberanian merupakan aset yang sangat berharga bagi pribadi kita.
Keberanian bisa menjadikan sesuatu yang tadinya tidak mungkin menjadi
mungkin. Keberanian bisa menjadikan sikap negative menjadi positif, loyo
menjadi semangat, takut menjadi berani, pesimis menjadi optimis, miskin
menjadi kaya, gagl menjadi sukses.
Keberanian juga dapat dirumuskan sebagai suatu kualitas, yakni
sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan dialami, bukan kata-kata, bukan
rumusan pikiran, seperti yang ditulis oleh Jakob Somarjo dalam artikelnya
yang berjudul Renungan Keberanian. Keberanian adalah sebuah sikap,
sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski
mendapat berbagai tekanan yang membuatnya tidak populer dan
kehilangan.94
Keberanian itu sebuah kemuliaan, seperti kata Hemingway.
Pengarang ini menggambarkan kualitas keberanian lewat matador-matador
yang siap mati di lapangan melawan banteng. Lewat para sukarelawan
yang berperang di lain bangsa. Lewat kisah-kisah pemburu singa di afrika.
Mereka sendirian menghadapi marabahaya dan maut yang setiap saat
dapat merenggut jiwanya.95
Catatan sejarah telah membuktikan, begitu banyak prestasi
spektakuler di segala bidang tercipta di dunia ini karena faktor Keberanian.
94
95
Jakob Somarjo, Renungan Keberanian,commit
Kompas,to26user
Januari 2008
Ibid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Baik prestasi yang diciptakan oleh para ilmuwan, olahragawan, tokoh
politik, wiraswastawan, professional dll. Sebaliknya begitu banyak orang
mengalami kegagalan karena kurangnya keberanian, mungkin mereka
mempunyai ide cemerlang, namun karena takut gagal dan takut mencoba,
akhirnya semua ide menjadi layu dan mati. Di lain pihak, orang lain bisa
sukses karena mereka lebih berani dengan bergerak lebih cepat. Maka bila
ingin lebih berkembang dan sukses, sudah pasti harus mempunyai
Keberanian,
Keberanian
untuk
mencoba,
keberanian
untuk
memperjuangkan apa yang di cita-citakan.96
Namun, kadang keberanian diartikan secara dangkal,
yaitu
kenekatan. Karena memang, letak keberanian dengan kenekatan itu
sangatlah dekat. Keberanian adalah sifat pertengahan antara penakut,
pengecut dan berani tanpa perhitungan atau kenekatan seperti apa yang
dikatakan oleh Aristoteles tentang keberanian pada salah satu analisisnya
yang berjudul Nichomacean Ethics: “Courage is a mean between
cowardice and thoughtless rashness” (Arti keberanian berada diantara
kepengecutan dan tindakan tanpa berpikir (kenekatan)).97
Pada strategi perang Jenderal Sun Tzu ada prinsip mendasar yang
berbunyi “kemenangan besar hanya bisa dilakukan oleh orang yang berani
ambil resiko besar”. Prinsip ini menegaskan bahwa tanpa keberanian
mengambil taktik berisiko besar, maka kemenangan besar sulit diraih. Inti
96
http://andriewongso.com/artikel/aw_artikel/75/Kekuatan_Keberanian/, diakses pada 20 Juni
2010
97
commit to
user2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Brumbaugh, Robert S. "Aristotle." Microsoft®
Student
Corporation, 2007
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari strategi perang Sun Tzu adalah mensinergikan antara strategi perang
yang cerdik dan matang dengan keberanian mengambil risiko besar demi
kemenangan yang besar pula98. Maka keberanian untuk mengatasi
tantangan-tantangan dengan resiko besar untuk mencapi cita-cita haruslah
disertai dengan perencanaan yang matang, agar tindakan yang diambil
tidak menjadi sia-sia bukan tindakan-tindakan yang nekat tanpa
perencanaan.
Pada akhirnya keberanian inilah yang membuat kita tetap melangkah,
tak gampang menyerah, tak mudah gelisah, karena mampu melihat segala
sesuatu secara positif dengan cara pandang yang berbeda.
2.2 Pantang Menyerah
a. Denotatif
Pantang Menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang
tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya
sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah adalah
orang yang memliliki daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi karena
dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi jawaban atas
tantangan yang akan dihadapinya.99 Secara denotatif simbol sosial Pantang
Menyerah diperlihatkan melalui gambar dalam scene ini.
1. Visual
98
Andrie Wongso, Kekuatan Keberanian Mengambil Resiko,
commit to user
http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=480
diakses pada tanggal 19 Juni 2010
99
Anis Matta, Op.Cit. hal. 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar yang memperlihatkan simbol sosial Pantang Menyerah
diambil dari scene 3. Disini diperlihatkan pada pagi hari setelah Jogja
dilanda gempa yang menghancurkan rumah serta menewaskan ayahnya, si
anak
kecil
menemukan
buku
pelajaran
sejarah
yang
semalam
dipelajarinya. Walaupun keadaan setelah gempa menjadi porak-poranda
namun si anak kecil tetap belajar pelajaran sejarah untuk persiapan ujian.
Diantara puing-puing rumahya yang hancur dia mendapati kardus bekas tv
yang baru saja dibeli oleh ayahnya untuk menoton pertandingan piala
dunia. Kardus itu tergeletak disamping mayat ayahnya yang menjadi
korban gempa dan sangkar musang peliharaannya. Karena tidak lagi
mempunyai rumah dan hanya ada kardus bekas tersebut akhirnya dia
berteduh di dalamnya untuk melanjutkan belajar hingga dia tertidur.
2.1.1
1.a
Scene 3
1.b
Simbol sosial pantang menyerah ditunjukkan pada scene ini. Si anak
kecil menunjukkan semangat dan kegigihannya untuk menjalani ujian
akhir yang akan dihadapinya sebentar lagi. Diantara reruntuhan rumahnya,
dia menemukan buku pelajaran sejarah yang ia pelajari semalam sebelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gempa. Dia memungut buku itu dan sambil berjalan ia kembali menghafal
pelajaran sejarah (gambar 1a).
Dia berjalan terus sampai dia menemukan sebuah kardus tv yang
baru dibeli oleh ayahnya untuk persiapan menonton piala dunia pada saat
itu. Dia masuk kedalam kardus itu untuk berteduh dan beristirahat karena
rumahnya sudah hancur terkena gempa. Didalam kardus itu dia tetap
belajar sampai ia tertidur (gambar 1b).
c. Teknis
Simbol Teknis pada Scene 3
Setting
: Halaman rumah yang terkena gempa
Properti
: Buku pelajaran sejarah, musang, sangkar burung,
kardus bekas, puing-puing reruntuhan gempa
Pemeran
: Anak kecil
Kostum
: Anak kecil mengenakan kaos bola dan celana
pendek,
Pencahayaan
: High level
Sound
: Suara kicauan burung dan music latar yang sedih
Teknik Kamera
: Medium shot dan angle shot
b. Konotatif
Menurut penulis suatu kegigihan tidak hanya berlaku di medan
pertempuran saja, sikap pantang menyerah juga diperlukan dalam seluruh
aspek kehidupan. Berbagai rintangan harus bisa dilewati tanpa mengenal
putus asa. Dalam setiap usaha mengejar mimpi dan harapan, ada saja
cobaan yang akan dialami, semua itu untuk menguji keteguhan hati serta
kesiapan untuk naik ketingkat yang kebih tinggi. Seperti anak kecil itu,
walaupun gempa telah menghacurkan rumahnya dan menewaskan ayahnya
tetapi dia pantang menyerah. Dia tetap semangat belajar untuk ujian akhir
yang akan dihadapinya beberapa hari lagi. Dalam adegan ini menggunakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pencahayaan high level untuk menunjukkan suasana di luar ruangan pada
siang hari. Sound suara kicauan burung digunakan untuk menunjukkan
suasana pagi hari, sedangkan music latar yang sedih menggambarkan
suasana setelah gempa. Pengambilan gambar menggunakan medium shot
si anak kecil dengan latar belakang puing-puing rumahnya yang terkena
gempa digunakan untuk menunjukkan ekspresi kesedihan anak kecil,
sedangkan penggunaan high angle selain untuk menunjukkan keadaan
sekitar yang tersisa dari gempa juga membuat obyek seolah tampak lebih
kecil, lemah, serta terintimidasi. Kesedihan tidak membuatnya menyerah,
baginya ujian akhir itu seperti suatu pertempuran yang akan menentukan
masa depannya, dan untuk memenangkan suatu pertempuran diperlukan
kegigihan dan juga semangat juang yang tinggi. Berdasarkan beberapa
unsur diatas dapat dimaknai tentang nilai pantang menyerah si anak kecil,
teknik medium shot memperlihatkan ekspresi kesedihan si anak kecil yang
meskipun rumahnya telah hancur akibat gempa namun dia tetap
melanjutkan belajar untuk persiapan ujian sekolahnya.
c. Mitos
Sifat gigih dan pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian
seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari satu kegagalan ke kegagalan
lain dan akhirnya mencapai sukses dan keberhasilan. Pantang menyerah
adalah sifat dasar yang harus dimiliki seseorang untuk sukses dan berhasil
mencapai apa yang dicita-citakan serta mencapai sesuatu yang
diperjuangkan. Seseorang yang gigih, rajin, dan pantang menyerah adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seseorang yang memiliki daya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi karena
dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha memberi berbagi jawaban
atas keragaman tantangan yang dihadapinya.
Untuk mencapai kesuksesan ada resikonya. Semakin besar resiko
maka semakin besar pula tingkat kesuksesannya. Resiko terbesar adalah
kegagalan. Kegagalan adalah suatu kata yang tidak enak didengar, dan
tidak seorang pun di dunia ini yang menginginkan atau mau mengalami
kegagalan itu. Orang-orang sukses tidak akan menjadi sukses tanpa
kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Orang-orang sukses beranggapan
kegagalan adalah bersifat sementara bukan permanen. Hal inilah yang
diungkapkan Final Prajnanta, Penulis motivasi, marketing, SDM dan
pertanian, dalam artikelnya yang berjudul Bangkit Dari Kegagalan. 100
Dalam artikelnya ini dia menunjuk salah tokoh dengan mental yang
kuat dan kepribadian yang gigih dan pantang menyerah adalah Abraham
Lincoln salah seorang mantan presiden Amerika Serikat. Lahir dari
kemelaratan, Lincoln dihadang kekalahan demi kekalahan sepanjang
hayatnya. Ia kalah dalam delapan pemilu, dua kali gagal dalam bisnis dan
mengidap gangguan urat saraf. Lincoln sudah ditinggalkan ayahnya pada
usia 8 tahun dan ditinggal ibunya pada saat usianya 10 tahun. Tahun 1849
Lincoln maju menjadi walikota namun ditolak. Tahun 1854 maju menjadi
anggota senat namun gagal. Tapi ia terus maju dan kembali gagal saat
mencalonkan diri jadi Wakil Presiden pada tahun 1856 tetapi gagal karena
commit
to user
Final Prajnanta, Bangkit Dari kegagalan,
www.andriewongso.com
diakses pada tanggal 12 Juli
2010
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suaranya di bawah 100 pemilih. Saat mencoba masuk senat pada 1858 ia
kalah lagi. Kegagalan demi kegagalan di waktu mudanya tidak membuat
dirinya patah semangat. Abraham Lincoln mampu membuat kegagalan
menjadi batu loncatan antara satu kesuksesan ke kesuksesan lain. Dengan
kegigihan dan keyakinan kuat, Abraham Lincoln akhirnya terpilih menjadi
Presiden AS ke-16 pada tahun 1860. Ia sebetulnya memiliki banyak alasan
untuk menyerah berkali-kali, namun ia pantang menyerah, dan karena ia
pantang menyerah, ia menjadi salah satu presiden terbesar dalam sejarah
Amerika Serikat. Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata
dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya
sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat. Seseorang
menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi
lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia
memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat
gagal.101
2.3 Rela Berkorban
a. Denotatif
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada
masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari
keseluruhan performance kepribadian kita. Demikianlah, kita menobatkan
seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia
berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa
commit to user
101
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah
melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas
kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan
kolektif masyarakatnya
dimana segenap pikiran dan jiwa yang
tercurahkan. Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya
sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang.102 Secara debotatif simbol
social Rela Berkorban diperlihatkan dalam scene ini.
1. Visual
Gambar yang menunjukkan simbol sosial Rela Berkorban diambil dari
scene 3 dan scene 5. Simbol sosial rela berkorban dalam scene ini
ditunjukkan oleh relawan Jepang yang rela berkorban membantu
mengevakuasi korban gempa di Jogjakarta. Setelah selesai mendirikan
tenda, relawan Jepang dengan cepat langsung mengevakuasi mayat korban
gempa yang ada disekitar tenda dan memasukannya ke kantong mayat
yang telah mereka bawa dari Jepang.
3.1.1 Scene 3
1.a
commit to user
102
Anis Matta,Op.Cit. hal. 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.1.2 Scene 5
1.b
Simbol sosial Rela Berkorban diperlihatkan melalui gambar dalam
scene ini. Relawan Jepang rela datang jauh-jauh ke Indonesia untuk
membantu mengevakuai korban gempa di Jogjakarta. Setelah selesai
mendirikan tenda, relawan Jepang kemudian langsung melakukan evakuasi
korban yang ada disekitarnya (gambar 1a). Keesokkan harinya relawan
Jepang kembali melakukan evakuasi korban yang belum sempat mendapat
pertolongan kemarin (gambar 1b).
Simbol Teknis pada Scene 3
Setting
: Halaman
commitrumah
to useryang terkena gempa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Properti
: Tenda relawan Jepang, bendera Jepang, kantung
mayat
Pemeran
: Relawan Jepang
Kostum
: Relawan Jepang mengenakan kaos, jaket dan
celana jeans.
Pencahayaan
: High level
Sound
: Natural sound dan music latar yang tegang dan
sedih
Teknik Kamera
: Medium Long Shot.
Simbol Teknis pada Scene 5
Setting
: Halaman rumah yang terkena gempa
Properti
: Korban gempa
Pemeran
: Relawan Jepang
Kostum
: Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana
jeans.
Pencahayaan
: Normal
Sound
: Suara kicauan burung
Teknik Kamera
: Medium Long Shot.
b. Konotatif
Menurut penulis untuk memberikan pertolongan kepada orang lain
yang sedang kesusahan kita tidak perlu membeda-bedakan apakah dia
berasal dari suku, ras atau agama yang sama seperti kita. Seperti halnya
yang dilakukan oleh relawan Jepang diatas. Sebagai warga negara asing,
relawan Jepang tersebut rela datang ke Indonesia untuk membantu
mengevakuasi korban gempa yang melanda Jogjakarta. Dalam secne ini
menggunakan pencahayaan high level yang menunjukkan suasana di luar
ruangan pada siang hari, dan natural sound digunakan untuk menunjukkan
suasana disekitar pada pagi hari, sedangkan musik latar yang tegang dan
misterius digunakan untuk menunjukkan kesedihan yang dirasakan akibat
gempa. Pengambilan gambar medium long shot digunakan untuk
menunjukkan kegiatan evakuasi yang sedang dilakukan oleh relawan
commit keadaan
to user sekitar. Sepertinya jiwa raganya
Jepang dan juga memgambarkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tercurah untuk memberikan yang terbaik untuk menolong korban gempa di
Jogjakarta. Oleh karena itu ketika mereka diusir dari sana oleh si anak
kecil yang menganggap mereka akan menjajah Indonesia, mereka tetap
kembali ke Jogjakarta. Bagi mereka yang ada hanyalah bagaimana
melakukan yang terbaik untuk membantu masyarakat Jogjakarta yang
terkena gempa. Sedangakan dalam secne 5 menggunakan pencahayaan
normal yang menunjukan suasana yang tenang dan dingin setelah gempa
dan sound suara kicauan burung digunakan untuk menunjukkan suasana
pagi hari. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa penjelasan beberapa
unsur
diatas
seperti
musik
latar
yang
tegang
dan
misterius
menggambarkan kesedihan yang dirasakan akibat gempa. Pengambilan
gambar medium long shot yang menunjukkan kegiatan evakuasi yang
sedang dilakukan oleh relawan memperlihatkan bahwa mereka rela
berkorban membantu sesamanya.
c. Mitos
Seseorang disebut pahlawan karena kebaikannya mengalahkan
keburukannya dan kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan
tetapi kebaikan dan kekuatan tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri
melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi
kehidupan masyarakat. Itulah hakikat dari rela berkorban. Pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang rela bekorban untuk kemajuan negara dan
rakyatnya bahkan untuk generasi selanjutnya, sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, nabi yang menjadi moyang tiga agama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
besar di dunia yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Nabi Ibrahim selalu
berkorban bahkan sampai ke tingkat nyawa hanya untuk kepentingan
rakyat dan agamanya.
Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini memiliki nilai
yang sangat luar biasa, karena sanggup menghadapi hukuman yang berat
seperti dibakar masyarakatnya karena telah menghancurkan patung-patung
berhala milik mereka, dan juga permusuhan dari ayahnya yang penyembah
berhala, yang merupakan pengorbanan perasaan yang sangat dalam
baginya.103
Achyar Zein, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN SU dalam artikelnya
yang berjudul Nabi Ibrahim: Sosok Pemimipin Yang Rela Berkorban
mengungkapkan bahwa prinsip kepemimpinan Nabi Ibrahim yang rela
berkorban ini bukan datang dengan sendirinya. Akan tetapi munculnya
sifat ini adalah sebagai dampak dari keberhasilannya dalam menghadapi
ujian-ujian yang sudah diberikan oleh Tuhan. Pemimpin yang rela
berkorban ini pastilah seorang negarawan sejati yang lebih mementingkan
rakyat daripada dirinya sendiri, dan karenanya filosofi yang selalu dipakai
adalah "apa yang bermanfaat untuk rakyat".104
2.4 Kesetiakawanan Sosial
a. Denotatif
103
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-quran: Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Paramadina: jakarta1996) hal 46
104
Achyar Zein, Nabi Ibrahim: Sosok Pemimipin Yang Rela Berkorban,
commit to user
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=12162
diakses pada
tanggal 20 Juli 2010
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia
ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya
sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan
haruslah mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kesetiakawanan
sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang rasa, empati dan
bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain, atau egois.105
Nilai kesetiakawanan sosial tercermin dari sikap mental yang
dimiliki seseorang atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan
sosialnya sehingga mendorong untuk peduli melakukan perbuatan bagi
kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi kesetiakawanan sosial
adalah memberikan yang terbaik bagi orang lain.106 Secara denotatif
simbol-simbol Kesetiakawanan Sosial ditunjukan pada penggalanpenggalan scene dibawah ini.
1. Visual
Gambar yang menunjukkan simbol sosial Kesetiakawanan Sosial
diambil dari scene 7. Dalam scene ini relawan Jepang datang bersama
dengan relawan lainnya setelah diusir olah anak kecil dengan membawa
alat-alat berat untuk memudahkan evakuasi korban gempa.
4.1.1 Scene 7
105
Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com edisi 20 Desember
commit to user
2004 diakses tanggal 23 Juli 2010
106
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.a
Setelah diusir oleh anak kecil dari Jogjakarta, relawan Jepang
datang kembali bersama dengan relawan-relawan lainnya dengan
membawa alat-alat berat untuk memudahkan evakuasi, karena untuk
mengevakuasi korban gempa dibutuhkan tenaga relawan yang banyak agar
korban dapat segera ditangani.
Simbol Teknis pada Scene 7
Setting
: Halaman sekolah darurat
Properti
: peta, peralatan evakuasi
Pemeran
: relawan jepang
Kostum
: Relawan Jepang mengenakan kaos dan celana
jeans
Pencahayaan
: Normal
Sound
: Natural sound, suara peralatan evakuasi
Teknik Kamera
: Long Shot
b. Konotatif
Menurut penulis salah satu nilai yang patutu diteladani dari
pahlawan adalah Kesetiakawanan Sosial. Nilai Kesetiakawanan Sosial
tercermin dari sikapmental yang dimiliki seseorang atau suatu komunitas,
peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong untuk peduli
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan perbuatan kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Esensi
Kesetiakawanan Sosial adalah memberikan ynag terbaik bagi orang lain.
Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia
ditemani rekan-rekan seperjuangannya serta orang-orang yang nasibnya
sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan
haruslah mempunyai kesetiakawanan social yang tinggi.107
Esensi kesetiakawanan social adalah memberikan yang tebaik bagi
orang lain. Itulah yang dilakukan relawan Jepang untuk menolong korban
gempa. Dalam adegan ini menggunakan natural sound, suara peralatan
evakuasi menurut penulis hal ini untuk menggambarkan ancaman
psikologis kepada anak kecil. Teknik pengambilan gambar yang
menggunakan long shot menampilkan suasana pada saat itu serta
menunjukkan bahwa relawan Jepang datang kembali bersama dengan
relawan lain dalam jumlah yang lebih banyak.
Relawan memiliki rasa peka terhadap lingkungan sosialnya tersebut.
Dengan mengajak relawan yang lebih banyak maka akan mempermudah
evakuasi korban gempa disana, karena jumlah korban yang sangat banyak
tentu membutuhkan tenaga relawan lebih banyak juga. Para relawan
melakukan semua ini karena mempunyai solidaritas yang tinggi juga
empati ynag besar kepada orang-orang sekitar. Dengan demikian
berdasarkan beberapa unsur diatas semakin memperlihatkan nilai
kesetiakawanan social, dengan teknis long shot yang menampilkan
commit to user
107
Ibid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suasana pada saat itu menunjukkan bahwa relawan Jepang datang kembali
bersama dengan relawan lain dalam jumlah yang lebih banyak.
c. Mitos
Kesetiakawanan sosial
atau rasa solidaritas sosial
adalah
merupakan potensi spiritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa
oleh karena itu Kesetiakwanan Sosial merupakan nurani bangsa Indonesia
yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian,
kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi social sesuai dengan
kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat
kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan
dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan
Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial (social
capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan
didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk
bernegara yaitu masyarakat sejahtera.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial
harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi actual bangsa dan
diimplementasikan
dalam
wujud
nyata
dalam
kehidupan
kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan social dalam kehidupan bangsa dan
masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek
moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang
merdeka yang kemudia dikenal sebagai bangsa Indonesia. Jiwa dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semangat kesetiakawanan social tersebut dalam perjalanan kehidupan
bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak
manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa
kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi
ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah
telah
membuktikan
bahwa
bangsa
Indonesia
mencapai
kemerdekaan berkat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu,
semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan
dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan.108
Salah satu faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya
tujuan kehidupan bersama ialah sikap setia terhadap apa yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, diperlukan suatu kesetiaan terhadap bangsa dan negara
untuk mempertahankan dan melestarikan kelangsungan hidup bangsa dan
usaha untuk mencapai tujuan didirikannya negara. Menurut W.J.S
Poerwodarminta dalam kamus Bahasa Indonesia, „kesetiaan‟ bersala dari
kata dasar „setia‟ yang berarti “tetap dan teguh hati (dalam keluarga,
persahabatan)”. Misalnya, bagaimanapun berat tugas
yang harus
dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melaksanakannya.
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa
yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang
kental, tidak tega melihat sesamannya menderita. Kalau toh menderita,
commit to -dan-makna
user
http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/arti
-kesetiakawanan-sosial.html,
diakses pada tanggal 23 Juli 2010
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus,
bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib
sepenanggungan dalam naungan “payung kebesaran” religi, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi, dan keadilan. Itulah yang membuat bangsa lain
menaruh hormat dan respek. Peristiwa 49 tahun ynag lalu, benar-benar
menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan
ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa
setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita,
sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum
penjajah.
Ketika baru saja berhasil menumpas pemberontakan PKI Madiun,
secara mendadak Belanda melancarkan aksi militernya yang kedua, 19
Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan
serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo
Yogyakarta menjdi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki
ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya.
Jendral Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya
memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan
prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan
prajurit kita terus berjuang, bahu-mambahu, saling rangkul dan saling
berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaaan.109
commit to
user
http://saawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan
-sosial-versus-masyarakat-konsumtif/,
diakses
pada tanggal 23 Juli 2010
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sasaran akhir dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan penelitian
dan membuktikan tujuan penelitian. Untuk itu, berdasarkan hasil interpretasi dan
analisis data menggunakan semiotika model Roland Barthes maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada film Harap Tenang Ada Ujian terdapat nilai-nilai kepahlawanan.
Nilai-nilai tersebut ditunjukan melalui
ditampilkan
melalui
peran
para
tokoh
simbol-simbol sosial yang
dalam
film.
Nilai-nilai
kepahlawanan tersebut antara lain:
a) Keberanian, ditunjukan oleh peran seorang anak kecil sebagai tokoh
yang berani mengambil resiko untuk mencapai cita-cita atau tujuan
yang hendak diraih.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Pantang Menyerah ditunjukan oleh anak kecil sebagai seseorang yang
gigih dan juga mempunyai semangat juang yang tinggi.
c) Rela Berkorban, ditunjukan relawan Jepang sebagai tokoh yang
senantiasa
membantu
orang-orang
yang
disekitarnya
dengan
mengorbankan jiwa raganya.
d) Kesetiakawanan Sosial, ditunjukan relawan Jepang sebagai seseorang
yang memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi dicerminkan dari
sikap relawan Jepang yang peka terhadap lingkungan sosialnya
sehingga peduli untuk melakukan perbuatan bagi kepentingan
lingkungan sosialnya tersebut.
2.
Pesan tentang nilai kepahlawanan secara khusus berhubungan dengan
elemen-elemen dasar dari karakter pahlawan yaitu, Keberanian, Pantang
Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial banyak disampaikan
melalui tanda-tanda non verbal maupun verbal. Tanda non verbal dan
verbal ini disampaikan sesederhana mungkin untuk menyelami karakter
tokoh, dialog, dan situasi cerita.
3.
Dari ketujuh nilai kepahlawanan yang disebutkan penulis, hanya
beberapa nilai saja yang terlihat menonjol yaitu keberanian, pantang
menyerah, rela berkorban, serta kesetiakawanan sosial.
2. Saran
Dari hasil penelitian serta kesimpulan yang diambil, peneliti dapat
menyarankan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Bagi para pembuat film agar dapat menghasilkan film yang tidak
hanya mengejar sisi komersil belaka. Oleh karena itu, kini sudah saatnya para
sineas film untuk lebih memahami bahwa film dapat menjadi wahana bagi
pembebasan
dan
pengaktualisasikan
kondisi
nyata
untuk
mampu
menampilkan nilai-nilai ideal yang kini telah luntur atau bahkan telah hilang
dari bangsa Indonesia.
2. Bagi penikmat film agar dapat menjadi penonton yang cerdas. Sikap
yang mestinya dimiliki oleh penonton film adalah kritis menanggapi
fenomena yang disajikan dalam film. Jika sikap kritis ini dimiliki, maka
pembaca tidak akan mudah terjerumus dalam penjara simbol-simbol yang
mengekang cara berpikir yang bebas, kreatif dan humanis. Hal ini terjadi
karena pembaca tidak mempunyai sifat kritis dan cenderung menganggap apa
yang disajikan dalam film sebagai realitas yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakat. Selain sifat kritis, pembaca mestinya juga mengembangkan sifat
pro aktif. Pembaca sebagai bagian dari masyarakat yang paling dekat dengan
media massa mestinya mau dan berani untuk mengungkapkan keluhan akan
ketidakbenaran yang sekiranya dirasakan akibat konstruksi makna dalam film.
Dengan demikian maka penonton mampu menempatkan dirinya sebagai
”penonton yang aktif”, bukan sebagai silent majority dari sebuah film sebagai
industri hiburan.
3. Film hanyalah representasi realitas, bukan cermin dari realitas itu
sendiri. Dalam sebuah film, realitas yang ditampilkan sudah mengalami
konstruksi makna. Oleh sebab itu, bagi peneliti lain yang ingin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengembangkan penelitian ini hendaknya mengambil metode lain misalnya
dengan analisis wacana kritis yang level analisisnya tidak terbatas pada tataran
mikro(teks) saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, 2004, Layar Kata, Bentang, Yogyakarta.
Ardianto, Elvinaro, dan Lukiati Komala, (ed: Rema Karyanti S), 2007,
Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya Offset,
Bandung.
Bardwell, David, 1985, Narration in The Fiction Film, The University of
Wisconsin Press, Winsconsin.
Budiman, Kris, 2003, Semiotika Visual, Yogyakarta : Penerbit Buku Baik,
Yogyakarta.
Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group Pengajar
Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta.
Fiske, John, 2004, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta.
Goodell, Gregory, 1998, Independent Feature Film Production : A Complete
Guide from Concept Through Distribution, St. Martin‟s Griffin ; Rev Upd Su
edition.
G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 dari Kebangkitan Nasional Sampai
Linggarjati, Kanisius, Yogyakarta.
Irawanto, Budi, Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema
Indonesia, Media Pressindo, Yogyakarta.
Jowett, Garth and Linton JM, 1971, Movie as Mass Communications, Sage
Publication, London.
Kracauer, Sigfried, 1974, From Caligari to Hitler : A Psychological History of the
German Film, Princeton University Press, New Jersey.
Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Cetakan pertama, Yayasan
Indonesiatera, Magelang.
Little John, S. W, 2002, Theories of Human Communication, Wadsworth
Publishing Company, Belmont California.
Matta, Anis, 2004, Mencari Pahlawan Indonesia, Tarbawi Center, Jakarta.
McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage
Publications, London.
Moleong, Lexy J Prof, 2007, Metode Penelitian Kualitatif Edisi revisi, cetakan
ke-23, PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nugroho, Garin, 1995, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan bentang Hiburan,
Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Jalasutra, Yogyakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prakosa, Gotot, 1997, Film Pinggiran : Antalogi Film Pendek, Film
Eksperimental, dan Film Dokumenter, FFTV IKJ & YLP.
Prakosa, Gotot, 2001, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih.
Pratikno, Riyono, 1987, Berbagai Aspek ilmu Komunikasi, CV. Remaja Karya,
Bandung.
Pratista, himawan, 2008, Memahami Film, cetakan ke 2, Homerian Pustaka.
Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedia Al-Quran : Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta.
Rahmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Sudjiman, Panuti, 1992, Serba-Serbi Komunikasi, Gramedia, Jakarta.
Sobur, Alex, 2006, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumaryono, E, 1993, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta.
Zaaman, Budi K, 1993, Bahasa Film : Teks dan Ideologi, Laporan Penelitian,
FISIPOL UGM, Yogyakarta.
 Artikel Surat Kabar
Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17
Juli 2005
Tabloid Berita Mingguan Adil, 23-29 Desember 1998
Totot indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November 2001
Kepahlawanan, Harian Kontan, 10 November 2007
Renungan keberanian, Kompas, 26 Januari 2008
 Website
Film Sebagai Kritik Sosial, http://ericsasono.blogspot.com/
Film Indie, http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php
Susan Pretelli, Abaout a Master of Sign, Starting the Sign and it’s Masters
www.augustoponzio.com
Andrew Bernstein Mentzer-Sharkey Enterprises, Inc. 2002, site by FX Media, Inc,
www.fxmedia.com
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
www.elcom.umy.ac.id/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLE
RANSI.pdf
Kesetiakawanan tetap Diperlukan, http://www.suaramerdeka.com
Pengertian Dialog,
www.aqwamrosadi.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/12721/pertemuan%2B9
.doc
Keberanian, http://pk-sejahtera.nl/anis-matta-keberanian/
Keberanian, http://id.wikiquote.org/wiki/Keberanian
Kekuatan keberanian,
http://andriewongso.com/artikel/aw_artikel/75/Kekuatan_Keberanian/
Kekuatan keberanian Mengambil commit
Resiko, to user
http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=480
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beda Tipis Antara Kekurangan Dan Kelebihan,
www.dadangkadarusman.com/2007/05/02/beda-tipis-antara-kekurangan-dankelebihan/
Mengenal Diri Sendiri, www.pikiran-rakyat.com
Bangkit Dari Kegagalan, www.andriewongso.com
Nabi Ibrahim: Sosok Pemimpin Yang Rela Berkorban,
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1216
2
Makna Kesetiakawanan Sosial, http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/artidan-makna-kesetiakawanan-sosial.html
Arti Kesetiakawanan Sosial, http://saawali.info/2007/07/15/kesetiakawanansosial-versus-masyarakat-konsumtif/
commit to user
Download