BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Agama Islam di Persekolahan 1. Realita Pendidikan Agama Islam di sekolah umum Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keharusan, yang ditempuh melalui pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam lingkungan sekolah, mata pelajaran agama atau Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap siswa di sekolah baik tingkat, SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi. Hal ini terbukti dengan diwajibkannya Pendidikan Agama Islam dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar no 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1 yaitu “mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi.” (Sisdiknas, 2010:170) Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlāq mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan 15 manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Namun, realita yang dihadapi sekarang bersenjangan dengan visi misi serta tujuan Pendidikan Agama Islam. Dalam beberapa survei tentang proses pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, masih banyak kendala yang dihadapi. Bahkan tidak sedikit para tokoh menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam masih banyak kekurangan dan kelemahan. Muhaimin (2009: 23) menyatakan bahwa : Kenyataan tersebut ditegaskan oleh menteri agama RI, Muhammad Maftuh Basyuni (Tempo, 24 November 2004), bahwa Pendidikan Agama Islam yang berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku). Menurut istilah Komaruddin Hidayat (Fuaduddin Hasan Bisri, 1999), Pendidikan Agama Islam lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. Menurut istilah Amin Abdullah (Muhaimin, 2009: 23) menyatakan bahwa : Pendidikan Agama Islam lebih banyak terkonsentrasi pada persoalanpersoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum. Mochtar Buchori (Muhaimin, 2009: 24) menyatakan bahwa : Kegiatan agama yang berlangsung selama ini banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru/pendidik agama bekerja sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. 16 Pernyataan senada telah dinyatakan oleh Soedjatmoko (Muhaimin, 2009:24), bahwa : Pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama kalau ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat’. Rasdianah (Muhaimin, 2009:24) mengemukakan beberapa kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi Pendidikan Agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu : a. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; b. Bidang akhlāq berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; c. Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian; d. Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum islam; e. Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; f. Orientasi mempelajari alQurān masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna. Di lain pihak, Towaf (Muhaimin, 2009:25) telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain: a. Pendekatan masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; b. Kurikulum Pendidikan Agama Islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru PAI sering kali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh; c. Sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut di atas, maka guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; d. Keterbatasan 17 sarana/prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting sering kali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas. Atho’ Mudzhar (Muhaimin, 2009:25) mengemukakan hasil studi Litbang Agama dan Diklat keagamaan tahun 2000, bahwa Merosotnya moral dan akhlāq peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman yang utuh, selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlāq mulia pada peserta didik. Dalam konteks metodologi hasil penelitian Furchan (1993) juga menunjukkan bahwa penggunaan metode pembelajaran PAI di sekolah kebanyakan masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional, yaitu ceramah monoton dan statis akontekstual, cenderung normatif, monolitik, lepas dari sejarah, dan semakin akademis. Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran seperti : a. Kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. b. Kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama. c. Kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya, dan/atau bersifat statis akontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati 18 nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Selain aspek metodologi, aspek lain yang menjadi sorotan ialah menyangkut aspek muatan kurikulum atau materi Pendidikan Agama Islam, sarana Pendidikan Agama Islam, termasuk di dalamnya buku-buku dan bahan-bahan ajar Pendidikan Agama Islam. 2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Muhaimin (2009: 31-43) menyebutkan ada tiga macam paradigma pengembangan Pendidikan Agama Islam, yaitu Paradigma Dikotomis, Paradigma Mechanism, dan Paradigma Organism atau Sistemik. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Paradigma Dikotomis Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan keagamaan dan non-keagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan keislaman dengan non-keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya. 19 Pendidikan agama seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma dikotomis tersebut. Paradigma dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan Pendidikan Agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al‘ulūm al-dīniyyaħ (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut. b. Paradigma Mekanisme Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Muhaimin, 2009: 35), secara etimologis mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau 20 hal saling bekerja seperti mesin, yang masing-masing bergerak sesuai dengan fungsinya. Paradigma mechanism memandang kehidupan sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya (Muhaimin, 2009: 35-36). Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum. Nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan seolah-olah hanya merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang lain mengajarkan bidang ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketaqwaan. c. Paradigma Organism Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan (Depdikbud, 1996). Dalam konteks pendidikan islam, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa 21 aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponenkomponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilainilai agama. Pandangan semacam ini menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental dictrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qurān dan al-Sunnaħ şahīhaħ sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilainilai insani yang mempunyai hubungan vertikal linear dengan nilai Ilahi/agama (Muhaimin, 2009: 35-36). Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengitegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama. Paradigma organisme atau sistematik ini dapat dilakukan apabila para guru memahami keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dengan mata pelajaran/bidang studi yang dibinanya. Dalam konteks ini ada dua permasalahan yang dihadapi para guru, yaitu; 1) para guru/dosen harus melek (menguasai) bidang keilmuannya dan 2) para guru/dosen harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang terkandung dalam 22 ajaran agama islam. Paradigma tersebut seyogianya berjalan secara alamiah, tidak melalui proses yang mengada-ada. Sebab, dalam kenyataannya ada beberapa konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai tersebut. Melalui paradigma tersebut bukan berarti setiap pokok bahasan harus dilegalkan dengan ayat-ayat al-Qurān atau al-hadīŝ, melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik bagi kehidupan (nilai spiritual)-Nya (Muhaimin, 2009: 36-37). B. Urgensi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Pendidikan Agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Sebagaimana menurut pendapat Zakiyah Daradjat (1991: 48) bahwa: “pada umumnya agama, seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan yang dilaluinya sejak kecil”. Jadi, perkembangan agama pada seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman hidup sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat terutama pada masa pertumbuhan perkembangannya. Oleh sebab itu, seyogianyalah Pendidikan Agama Islam ditanamkan dalam pribadi anak sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian hendaklah dilanjutkan pembinaan pendidikan ini di sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. 1. Ditinjau dari Pengertian Pendidikan Agama Islam 23 Dalam situs (http://suhatman-ate.blogspot.com /2009/01/ pentingnya- pendidikan-agama-islam. html) yang ditulis oleh Suhatman pada hari Rabu tanggal tujuh Januari 2009. Menjelaskan bahwa urgensi Pendidikan Agama Islam, dapat dilihat dari segi pengertian dan tujuan Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Di dalam GBPP PAI di Sekolah umum, dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai berikut: a. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang ingin dicapai. b. Peserta didik yang ingin disiapkan untuk mencapai tujuan dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Agama Islam. c. Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap para peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. 24 d. Kegiatan (pembelajaran) Pendidikan Agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam situs (http://suhatman-ate.blogspot.com /2009/01/ pentingnya- pendidikan-agama-islam. html) dijelaskan bahwa Usaha pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah diharapkan agar mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga Pendidikan Agama Islam diharapkan jangan sampai: 1). Menumbuhkan semangat fanatisme; 2). Menumbuhkan sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; dan 3). Memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional (Menteri Agama RI, 1996). Hasilnya Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah islāmiyyaħ dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-‘ubūdiyyaħ, ukhuwah fi alinsāniyyaħ, ukhuwah fi al-waţāniyyaħ wa al-nasab, dan ukhuwah fi din alIslām. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik, dalam arti masyarakat yang serba plural, baik dalam agama, ras, etnis, budaya dan sebagainya, pembelajaran Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu mewujudkan Ukhuwah Islāmiyyaħ dalam arti luas tersebut. Sungguh pun masyarakat berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia. Akan tetapi keadaan di atas, bukanlah menjadi jaminan bahwa realitas pendidikan islam di Indonesia berjalan dengan baik. Bahkan, pendidikan agama dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Hal ini terlihat ketika minat masyarakat 25 untuk menyekolahkan putra/putri mereka ke lembaga-lembaga pendidikan agama semisal madrasah maupun pesantren. Lembaga pendidikan agama menjadi prioritas kedua setelah sekolah. Salah satu alasannya adalah kualitas lembaga pendidikan agama lebih rendah dibandingkan sekolah. Adapun faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan islam, sebagai berikut: a. Internal : Kualitas SDM yang rendah SDM di sini lebih terfokus pada kualitas guru (ustaż/aħ) yang rendah. Contohnya, banyak guru yang tidak ber-background dari lulusan sarjana Pendidikan Agama Islam (S1/akta empat mengajar), guru yang mengajar bukan pada spesialisasinya (sarjana hukum Islam mengajar bahasa Arab), atau pun tugas guru yang belum sepenuhnya terlaksana. Mengenai tugas guru, Suhatman (http://suhatman-ate. blogspot.com /2009/01/pentingnya-pendidikan - agama-islam.html) menyatakan bahwa tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar dan/atau melatih siswa agar dapat : a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. b. Menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkanya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri daan dapat pula bermanfaat bagi orang lain. 26 c. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahankelemahanya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan islam dalam kehidupan sehari-hari. d. Menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan, paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan siswa. e. Menyesuaikan diri dengan lingkunganya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. f. Menjadikan ajaran islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. g. Mampu memahami, mengilmui pengetahuan Agama Islam secara menyeluruh sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia. Selain kualitas SDM yang rendah, Mohammad Ali (http://www. ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/) menambahkan faktor penyebab rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam. Bahwa pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dan evaluasi juga menjadi penyebab rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. 27 Adapun dalam proses evaluasi, Mohammad Ali pun dalam situs (http://www. ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/) menyatakan bahwa : Mengenai evaluasi Pendidikan Agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi Pendidikan Agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan (psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru melakukan pengamatan terhadap perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu şalāħ? Kalau dilaksanakan apakah şalāħnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu adalah supaya peserta didik bisa menjalankan Agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal. b. Eksternal : Globalisasi, Demokratisasi, dan Liberalisasi Islam. Pendidikan Islam mempunyai tantangan berat untuk menghadapi era globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi Islam. Lembaga pendidikan agama harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan di atas. Misalnya dengan memperbaiki kualitas SDM dan SDA. SDM menyangkut kualitas guru maupun input peserta didik, sedangkan SDA menyangkut infrastruktur atau sarana prasarana, media pendidikan maupun kurikulum yang up to date. 2. Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Agama Islam Selain dilihat dari segi pengertian Pendidikan Agama Islam, Urgensi Pendidikan Agama Islam juga tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. 28 Dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan Agama Islam di sekolah memegang peranan sangat penting. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam di Indonesia dimasukan ke dalam kurikulum nasional yang wajib diikuti oleh semua siswa mulai SD sampai dengan Perguruan tinggi. Dalam situs (http://suhatman-ate.blogspot.com /2009/01/ pentingnya- pendidikan-agama-islam. html) dijelaskan bahwa Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang Agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlāq mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (GBPP PAI, 1994). Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang ingin ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu : a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran Agama Islam. b. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran islam. d. Dimensi pengamalanya, dalam arti bagaimana ajaran islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakan, mengamalkan, dan mentaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 29 dalam kehidupan Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1999, tujuan PAI tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: ”agar siswa memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlāq mulia”. Rumusan tujuan PAI ini mengandung pengertian bahwa proses Pendidikan Agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam, untuk selanjutnya menuju ketahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait erat dengan kognisi, dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamanya terhadap ajaran dan nilai Agama Islam (tahapan psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa, dan berakhlāq mulia. Mengingat betapa pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam mewujudkan harapan setiap orang tua, masyarakat dan membantu terwujudnya tujuan pendidikan nasional, maka Pendidikan Agama Islam harus diberikan dan dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya. C. Konsep Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam 30 Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Agama Islam yang tepat, alangkah baiknya kita mengutip beberapa pengertian yang telah diungkapkan oleh para ahli. Dalam situs (http://starawaji.wordpress.com /2009/05/02/ pengertian- pendidikan-agama-islam-menurut-berbagai-pakar/) yang ditulis oleh Starawaji pada tanggal dua mei 2009, dan situs (http:// islamblogku. blogspot. com/2009/07/ pengertian-dan-tujuan-pendidikan-agama 1274.html) yang ditulis oleh Abdul Azis pada tanggal 31 Juli 2009 mengungkapkan berbagai pengertian Pendidikan Agama Islam dari beberapa tokoh sebagai berikut : Menurut Abdurrahman An-Nahlawi menyatakan bahwa : ِ ِ اﻹﺳﻼَم ﻲ اﻟﻤﻨْـ َﻔ ِﺴ ْ دي إﻟﻰ ا ْﻋﺘﻨَﺎق ْ ُاَﻟﺘﺮﺑﻴّﺔ ْ ﺬي ﻳُـ ْﺆ ْ واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ اﻟ ُ ﻈﻴﻢ ُ ْـﻨﺔُ ﻫ َﻲ ا ﻟﺘاﻹﺳﻼَ ﻣﻴ ِ وﺗَﻄْﺒﻴـ َﻘﺔ ﻛﻠّﻴﺎ ﻓﻰ ﺣﻴﺎة اﻟ ﺎﻋ ِﺔ َ ْﺠﻤ ّ ْ َ ْ َ ْﻔﺮد َواﻟ Artinya; “Pendidikan islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah memeluk islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan kolektif”. Mustofa Al-Ghulayani menyatakan bahwa : Pendidikan Agama Islam ialah menanamkan akhlāq yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga akhlāq itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.’ Menurut M. Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa: 31 Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlāq dan keterampilannya. Karena itu, Pendidikan Agama Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Menurut Zakiah Daradjat menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan melalui ajaran-ajaran Agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir (http://blog.uin-malang.ac.id/muttaqin /2011/03/13/pengertian-dan-tujuan-pendidikan-agama-islam/) menyatakan bahwa, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran islam (knowing), terampil melakukan atau mempraktekkan ajaran islam (doing), dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (being). Adapun definisi Pendidikan Agama Islam yang disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI menyebutkan bahwa : Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlāq mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qurān dan hadīŝ, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli didik islam berbeda pendapat mengenai rumusan Pendidikan Agama Islam. Ada yang 32 menitikberatkan pada segi pembentukan akhlāq anak, ada pula yang menuntut pendidikan teori pada praktek, sebagian lagi menginginkan terwujudnya kepribadian muslim dan lain-lain. Namun dari perbedaan pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan, bahwa adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat di kemukakan sebagai berikut: Pendidikan Agama Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim yang sejati. 2. Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional Dalam situs (http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikan- islam-di-indonesia.html) dinyatakan bahwa secara yuridis, posisi pendidikan Agama (Islam) berada pada posisi yang sangat strategis, baik pada UUSPN No. 2 Tahun 1989 maupun dalam UUSPN No. 2 Tahun 2003. Pada UUSPN 1989 dinyatakan, bahwa pendidikan nasional bertujuan Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang kebangsaan. Begitu pula situs (http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikanislam-di-indonesia.html) menjelaskan bahwa dalam UUSPN 2003 dinyatakan pada pasal 1 ayat 5 UUSPN 2003, Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan Perubahannya yang bersumber pada ajaran agama, keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap perubahan zaman. 33 Dalam Pasal 4 UUSPN 2003 dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlāq mulia, berbudi mulia, sehat, berilmu, kompeten, terampil, kreatif, mandiri, estetis, demokratis, dan memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Mencermati Pasal 1 ayat 5 dan pasal 4 UUSPN 2003 tersebut, terlihat bagaimana Pendidikan Agama (Islam) berada pada posisi strategis, di banding materi pendidikan lainnya. Orientasi pelaksanaannya bukan hanya pada pengembangan IQ akan tetapi EQ dan SQ secara harmonis. Hal ini terlihat dari amanat Pasal 13 Ayat 1 huruf a UUSPN 2003, yaitu setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan mengacu pada pasal ini, pesan edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu melahirkan output yang beriman dan bertaqwa (sesuai dengan ajaran agama yang diyakini), berakhlāq mulia, serta memiliki kualitas intelektual yang tinggi. Dalam situs (http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/sejarah-pendidikan- islam-di-indonesia.html) dijelaskan bahwa dalam struktur sosial kebudayaan, pendidikan Islam paling tidak mengandung empat unsur yang kemudian dijadikan sebagai dustur kebudayaan suatu bangsa, yaitu: a. Unsur etika (moral) untuk membentuk ikatan-ikatan sosial. b. Unsur estetika untuk membentuk cita rasa umum. c. Logika terapan untuk menentukan bentuk-bentuk aktivitas umum. 34 d. Teknologi terapan yang sesuai dengan semua jenis yang ada dalam ragam masyarakat atau “industri”. Merujuk pada batasan di atas, maka praktek pendidikan islam merupakan penjabaran keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogianya menjadi sarana pembentukan situasi “berpengetahuan” dan berakhla mulia. Prosesnya bukan berupa rangkaian indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur pendidikan di atas dalam bingkai yang terpisah-pisah. Proses pendidikan yang dilakukan seyogianya merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai pengalaman untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialami seorang pendidik. 3. Visi Misi Pendidikan Agama Islam a. Visi Pendidikan Islam Menurut Abuddin Nata (2010: 41-42) secara terminologi, “visi yaitu tujuan jangka panjang, cita-cita masa depan, keinginan besar yang ingin diwujudkan, angan-angan, khayalan, dan impian ideal tentang sesuatu yang ingin diwujudkan”. Dan jika dihubungkan pengertian visi tersebut dengan pendidikan islam, maka visi pendidikan islam dapat diartikan sebagai tujuan jangka panjang, cita-cita masa depan, dan impian ideal yang ingin diwujudkan oleh pendidikan Islam. Visi pendidikan islam ini selanjutnya dapat menjadi sumber motivasi, inspirasi, pencerahan, pegangan dan arah bagi 35 perumusan misi, tujuan, kurikulum, proses belajar, guru, staf murid, manajemen, lingkungan, dan lain sebagainya (Nata, 2010:44). Visi pendidikan islam sesungguhnya melekat pada cita-cita dan tujuan jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman Allah SWT : ִ ִ $%&'( ☺ ִ!"# “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(QS.al-Anbiy ā’:107) Ayat tersebut oleh Imam al-Maraghiy (Nata, 2010: 44) ditafsirkan sebagai berikut : Bahwa maksud dari ayat yang artinya tidaklah Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam, adalah bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qurān ini, serta berbagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar rujukan untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat, melainkan agar menjadi rahmat dan petunjuk bagi mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhiratnya. Dengan demikian, visi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “Menjadikan pendidikan islam sebagai pranata yang kuat, berwibawa, efektif, dan kredibel dalam mewujudkan cita-cita ajaran Islam” (Nata, 2010:44). b. Misi Pendidikan Islam Menurut Abuddin Nata (2010: 45) misi (mission) dapat diartikan sebagai tugas-tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai visi yang ditetapkan. Dengan demikian, antara visi dan misi harus memiliki hubungan fungsional-simbiotik, yakni saling mengisi dan timbal balik. Dari 36 satu sisi visi mendasari rumusan misi, sedangkan dari sisi lain, keberadaan misi akan menyebabkan tercapainya visi. Misi merupakan jawaban atas pertanyaan what are you will doing (apa yang akan dikerjakan). Karena pekerjaan merupakan kegiatan, maka misi harus berisi berbagai kegiatan yang mengarah kepada tercapainya visi. Berdasarkan uraian di atas, maka misi pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Mendorong timbulnya kesadaran umat manusia agar ingin melakukan kegiatan belajar dan mengajar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-‘Alaq (96) ayat 1-5, yaitu : ִ0 / 3 ִ4 $>( &-./ $%( 3 ִ4 <3 = =?)*@A4, )*֠, 1֠2, 6 56789:;, ִ0/ )*֠, &- E*#/ 5-CD 1֠2, $B( .-E# 56789:;, 5-CD $( $( HEI!J “(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (3) bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, (4) yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. al-‘Alaq:1-5) 2) Melaksanakan kegiatan belajar mengajar sepanjang hayat. Sebagaimana dalam hadīŝ Nabi Muhammad SAW : 37 “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat”. (HR. BukhariMuslim) 3) Melaksanakan program wajib belajar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim, dan sesungguhnya bagi yang menunutut ilmu itu akan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai binatang yang ada di laut”. (HR. Ibn Abd alBarr dari Anas) 4) Melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain berdasarkan pada hadīŝ, sebagaimana terdapat pada hadīŝ tentang wajib belajar, program pendidikan anak usia dini juga berdasarkan pada isyarat Rasulullah yang terkait dengan membangun rumah tangga, serta berbagai kewajiban orang tua terhadap anaknya. Rasulullah SAW misalnya menganjurkan agar seorang pria memilih wanita calon istri yang taat beragama, şalīhaħ, dan berakhlāq mulia. 5) Mengeluarkan manusia dari kehidupan żulumāt (kegelapan) kepada kehidupan yang terang benderang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ahzāb ayat 43 : OPQ*R D LB"M7N=J /PQִXB)Y=R# L ] `֠ab 1֠2, !K SUVEQWC :ִ☺![\#, _ 56Z #, $B( e☺fU cE☺*#/ “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari 38 kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (QS. al-Ahzāb:43) 6) Memberantas sikap jahīliyyaħ. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Fatĥ ayat 26 : i,=)k@ h֠2, a<ִ!ִX *g Emf☺*n, p1qrE =Ol/!!֠ mflִo*#, _L M= SUVtRuvִ Lc Emf s, E☺*#, L M= w Eִ☺ab .-l1*# m3ִU i,yq֠@ Q1*xV#, s, |֠@ _ ִl K z{ $>( e☺R= IP.~ (}<PQ/ “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahīliyyaħ lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-taqwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat taqwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Fatĥ:26) 7) Menyelamatkan manusia dari tepi jurang kehancuran yang disebabkan karena pertikaian. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Āli-‘Imrān ayat 103 : , _ i,☺uNV=, (<0b i,!֠)kEM , a 7:ִ☺!q !R☺ִX i,=)P@*g, ☯P,ִ= HPP@ *g OPQ*R D OPQ/!!֠ c/ kwUA!/ 39 ִ,2#rE HP.E0rE k2 _L M= HPP@ q5 m#, 56Z )*k=U ִ0#R@ Q zZ OP@REqrE wUVJ,P OPQE# s, cZv=J $%&B( `VzE /PQsִ!E# “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Āli-‘Imrān:103). 8) Melakukan pencerahan batin kepada manusia agar sehat rohani dan jasmaninya. Allah SWT berfirman : (`,P)\*#, JB1J 56 Pk2 a =pZq !K cE☺"# $>( ,78ִ5 c☺2\#, “Dan kami turunkan dari al-Qurān suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qurān itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. AlIsrā’:82). 9) Menyadarkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana di muka bumi, seperti permusuhan dan peperangan. Allah SWT berfirman : $A4, c ==f, i,u8*k!M ִluE 40 a ִ!/ 7: m` _ !ִ☺E ִ5 Z JB)E֠ , $( cu8.E☺*#, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-a’rāf: 56). 10) Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi. Allah SWT berfirman : ?ִf,P c~X/ *)@ EE# ִ#*#, Lc Ol Z Ol *ִ֠[ B).E0*#, .-lE * ִ5 6☺Z :0f2#, #)eab _L M= $'&( fu*kEM “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan” (QS. Al-Isrā’:70). Berdasarkan uraian di atas, yang diungkapkan Abuddin Nata (2010: 45) dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut : Pertama, visi dan misi pendidikan Islam bersumber pada visi dan misi ajaran islam, karena pendidikan islam adalah memasyarakatkan ajaran islam 41 agar dipahami, dihayati dan diamalkan oleh umat manusia sehingga tercapai kebahagiaan hidup secara seimbang, dunia dan akhirat. Kedua, visi dan misi pendidikan lebih lengkap dibandingkan dengan visi dan misi pendidikan Barat. Visi dan misi pendidikan Barat hanya menekankan salah satu aspek dari kehidupan manusia, yakni aspek rasio dan fisik. Adapun visi dan misi pendidikan islam selain menekankan rasio dan fisik, juga spiritual, moral, dan sosial, sehingga tercapai kehidupan manusia yang seutuhnya. Ketiga, visi dan misi pendidikan islam tidak hanya sejalan dengan visi dan misi pendidikan modern saat ini, bahkan melampauinya. Program wajib belajar, pendidikan seumur hidup, pendidikan berwawasan global, pendidikan untuk semua, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan pendidikan yang unggul sebagaimana yang diprogramkan pada dua tahun terakhir ini, ternyata sudah merupakan bagian dari visi dan misi pendidikan islam. Keempat, saat ini terdapat lembaga pendidikan islam yang tergolong unggul, maju dan diakui oleh dunia internasional, dan terdapat pula lembaga pendidikan islam yang tergolong kurang maju, bahkan nyaris bubar. Hal yang demikian terjadi, antara lain karena lembaga pendidikan islam tersebut tidak memiliki visi dan misi pendidikan yang ingin dicapainya. Atau memiliki visi dan misi pendidikan, namun tidak ada keinginan untuk melaksanakannya. 4. Sumber Pendidikan Agama Islam 42 Sumber pendidikan islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung (Nata, 2010: 75), bahwa sumber pendidikan Islam yaitu al-Qurān, al-Sunnaħ, ucapan para sahabat (mażhab al-ŞahābÎ), kemaslahatan umat (maşālih al-mursalāħ), tradisi atau adat yang sudah dipraktikan dalam kehidupan masyarakat (al-‘urf), dan hasil ijtihād para ahli’. Selain itu ada pula yang meringkaskan sumber pendidikan islam menjadi tiga macam, yaitu al-Qurān, al-Sunnaħ, ijtihād. Adapun sumber-sumber pendidikan islam selengkapnya, ialah sebagai berikut: a. Al-Qurān Kata al-Qurān berasal dari kata qara’a artinya membaca. Oleh karena itu, Qurān dapat diartikan “bacaan”. Disebut al-Qurān karena ia harus menjadi bacaan umat islam sepanjang hayat. Al-Qurān adalah kitab suci ummat islam yang merupakan kumpulan firman Allah yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Secara lafaż dan makna dengan perantaraan malaikat Jibrīl dalam bahasa arab. Lafażnya yang berbahasa Arab itu dimasukkan oleh Allah melalui perantaraan malaikat Jibrīl ke dalam dada nabi Muhammad, kemudian beliau membacanya dan terus menyampaikannya kepada umatnya, Mukhtar Yahya (Tim Dosen PAI UPI, 2008: 33). 43 Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihād, yaitu; 1) ‘aqīdaħ, 2) ibadah, 3) mu’āmalaħ, 4) akhlāq, 5) hukum, 6) kisah umat terdahulu, 7) dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Adapun ajaran yang terkandung dalam al-Qurān itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut ‘aqīdaħ, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syarī’aħ. Al-Qurān diturunkan oleh Allah SWT dengan fungsi antara lain agar menjadi petunjuk (al-hidāyaħ), sebagai sumber pokok ajaran islam, sebagai peringatan dan bahan pelajaran, menjelaskan perbedaan antara yang hak dan batil (al-furqān), wasit atau hakim yang memutuskan berbagai perkara dalam kehidupan (al-hakīm), keterangan atas semua perkara (al-bayyinaħ), obat penenang dan penyembuh jiwa (al-syifā’), serta rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘ālamīn). b. Al-Sunnaħ Al-Sunnaħ secara lughawi (bahasa) artinya kebiasaan atau tradisi. Sedangkan menurut istilah ilmu hadīŝ adalah segala apa yang dilakukan oleh Nabi SAW. Baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly) atau berupa pembiaran (taqriry) atas perbuatan sahabat. Adapun yang disebut taqriry adalah apa yang dilakukan salah seorang sahabat di hadapan Nabi SAW. Kemudian Nabi membiarkannya dan tidak melarang perbuatan tersebut. 44 Sunnaħ merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qurān. Seperti alQurān, sunnaħ juga berisi ‘aqīdaħ dan syarī’aħ. Sunnaħ berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat manusia menjadi manusia seutuhnya atau muslim bertaqwa. c. Hasil pemikiran para ahli dalam Islam (Ijtihād) Ijtihād (selanjutnya ditulis ijtihād) berasal dari kata ijtahada artinya berusaha, bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan. Secara istilah didefinisikan para ahli Uşūl Fiqh, sebagai usaha mujtahīd (orang yang berijtihād) dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum sesuatu masalah dengan menggunakan metodologi yang benar, dari kedua sumber hukum al-Qurān dan al-sunnaħ (Asjmuni Abdurrahman, 2002:193). Dari definisi ahli uşūl fiqh di atas, ijtihād bukanlah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihād, yaitu “mujtahīd”. Selain itu, para mujtahid pun harus melakukan ijtihādnya dengan penuh “kesungguhan” dan dalam bidang yang sangat dikuasainya (bidang kesanggupannya), disertai “metodologi” yang benar. Sumber hukumnya adalah pertama, ayat-ayat al-Qurān yang berjumlah lebih dari 6000 ayat, baik sebagai kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat per surat maupun secara parsial ayat perayat kedua, hadīŝ-hadīŝ nabi yang juga berjumlah ribuan dan melalui seleksi yang ketat tentang keşahihannya dan ketiga, ijma’ para sahabat Nabi. Bagaimanakah metodologinya, para imam 45 mujtahīd mutlak merumuskannya dengan langkah-langkah yang gamblang, tapi ketat. Adapun metode yang dimaksud ialah qiyās (empat mażhab), istihsān (imam Hanafi), maşālih mursalāh (Imam Malik), dan istidlāl (Imam Syafi’i). Ijtihād dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qurān dan alsunnaħ. Namun demikian, ijtihād harus mengetahui kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahīd tidak boleh bertentang dengan isi al-Qurān dan al-sunnaħ tersebut. Karena itu ijtihād dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasulullah wafat dan sasaran ijtihād ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang. 5. Tujuan Pendidikan Agama Islam Tujuan pendidikan merupakan gambaran kondisi akhir atau nilai-nilai yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan. Setiap tujuan pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu a. menggambarkan tentang kondisi akhir yang ingin dicapai, dan b. memberikan arah dan cara bagi semua usaha atau proses yang dilakukan (Mikarsa, 2008:1.11). Zakiyah Daradjat (2006:29), menyatakan bahwa : Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu 46 benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Menurut Abdul Majid (2008:72) bahwa : Perumusan tujuan pendidikan islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: a. Tujuan dan tugas hidup manusia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (QS. Āli-‘Imrān:191). Tujuan diciptakannya manusia hanya untuk mengabdi pada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abd Allāh) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalīfaħ Allāh). b. Memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia. Yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk yang unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan seperti; fitrah, bakat, minat, sifat dan kecenderungan pada al-ĥanīf (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam. c. Tuntutan masyarakat, tuntunan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern. d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, dimensi kehidupan dunia ideal Islam mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Sedangkan menurut Fadhil al-Jamali (Majid, 2008:83) Merumuskan tujuan pendidikan islam dengan empat macam, yaitu a. Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama titah makhluk dan tanggung jawabnya di dalam hidup ini. b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. c. Mengenalkan manusia akan alam dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat darinya. d. Mengenalkan manusia akan pencipta alam (Allah) dan menyuruhnya berbadah kepada-Nya. Muhtar Yahya (Majid, 2008:83) Merumuskan tujuan pendidikan islam dengan sederhana sekali, yaitu memberikan pemahaman ajaran-ajaran islam pada peserta didik dan 47 membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah SAW. Sebagai pengemban perintah menyempurnakan Akhlāq manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. Al-Naĥl: 97, al-An’ām:132) dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. Al-Qaşaş:77)’. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran islam, keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi seorang muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari oleh keimanan yang kuat. 6. Fungsi Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, serta sebagai wahana pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan apa yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Zakiyah Daradjat berpendapat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam bahwa : Sebagai sebuah bidang studi di sekolah, Pengajaran Agama Islam mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama, menanamtumbuhkan rasa keimanan yang kuat, kedua, menanamkembangkan kebiasaan (habit vorming) dalam melakukan amal ibadah, amal saleh dan akhlāq yang mulia, dan ketiga, menumbuh kembangkan semangat untuk mengolah alam sekitar sebagai anugerah Allah SWT kepada manusia. 48 Dari pendapat di atas dapat diambil beberapa hal tentang fungsi dari Pendidikan Agama Islam yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah SWT yang ditanamkan dalam lingkup pendidikan keluarga. b. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional. c. Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam. d. Pembiasaan, yaitu melatih siswa untuk selalu mengamalkan ajaran islam, menjalankan ibadah dan berbuat baik. Sedangkan menurut Kurshid Ahmad (Mujib, 2008:69), fungsi pendidikan islam adalah sebagai berikut: a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa, b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan pertimbangan perubahan sosial dan ekonomi. Di samping fungsi-fungsi yang tersebut di atas, hal yang sangat perlu di ingatkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup bagi peserta didik untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat. D. Sekolah Dasar Negeri 49 1. Pengertian Sekolah Dasar Dalam situs (http:// id.wikipedia.org /wiki/Sekolah_dasar) dijelaskan bahwa Sekolah Dasar (SD) Elementary School adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu enam tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar disebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Sekolah dasar (SD), menurut Waini Rasyidi (Mikarsa, 2008:17) menyatakan bahwa pada hakikatnya merupakan satuan atau unit lembaga sosial (sosial institution) yang diberi amanah atau tugas khusus (specific task) oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara sistematis. Dengan demikian, sebutan sekolah dasar merujuk pada satuan lembaga sosial yang diberi amānaħ spesifik oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar penggalan pertama selama enam tahun untuk dilanjutkan pada penggalan pendidikan dasar kedua selama tiga tahun di SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat. Atas dasar pemahaman tentang beberapa definisi pendidikan maka dapat mendefinisikan pendidikan sekolah dasar bukan hanya memberi bekal kemampuan intelektual dasar dalam membaca, menulis dan berhitung saja 50 melainkan juga sebagai proses mengembangkan kemampuan dasar peserta didik secara optimal dalam aspek intelektual, sosial, dan personal, untuk dapat melanjutkan pendidikan di SLTP atau yang sederajat. Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota. 2. Landasan Yuridis Sekolah Dasar Ibrahim Bafadal (2009:5) menyatakan bahwa di Indonesia penyelenggaraan sekolah dasar berpijak pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridis. Ada tiga peraturan perundang-undangan yang dijadikan landasan yuridis penyelenggaraan sekolah dasar, baik sebagai satuan pendidikan maupun dalam kerangka sistem pendidikan nasional, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), dan peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (PP Nomor 28 Tahun 1990) 51 a. Di dalam pembukaan UUD 1945 diisyaratkan bahwa upaya mencerdaskan bangsa (tentu melalui pendidikan) merupakan amanat bangsa. Sedangkan pada BAB XII Pasal 31 ayat (2) ditegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang (Bafadal, 2009: 5). b. Di dalam UUSPN ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar (Bab III Pasal 6). Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk kehidupan dalam masyarakat serta menyiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah (Bab III Pasal 13) c. Di dalam PP Nomor 28 Tahun 1990 ditegaskan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar (Bafadal, 2009: 5). 3. Tujuan dan Fungsi Sekolah Dasar a. Tujuan 52 Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran, dan atau latihan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan merupakan suatu komponen sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral. Itu sebabnya, setiap tenaga kependidikan perlu memahami dengan baik tujuan pendidikan, supaya berupaya melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan (Hamalik, 2010: 4). Menurut Oemar Hamalik (2010: 4) tujuan pendidikan disusun secara bertingkat, mulai dari tujuan pendidikan yang sangat luas dan umum sampai ke tujuan pendidikan yang spesifik dan operasional. Tingkat-tingkat tujuan pendidikan itu meliputi; 1) tujuan pendidikan nasional, 2) tujuan institusional, 3) tujuan kurikuler, 4) tujuan pembelajaran (instruksional), yang mencakup tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. 1) Tujuan pendidikan nasional Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang ingin dicapai dalam sistem pendidikan nasional. Selama 25 tahun terakhir ini, tujuan pendidikan nasional di negara kita telah mengalami perubahan, sesuai dengan perkembangan pembangunan di tanah air (Hamalik, 2010: 4). (a) Sejak tahun 1966 berlaku tujuan pendidikan nasional yang menyatakan bahwa “tujuan pendidikan nasional adalah membentuk 53 manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945” (TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966). (b) Sejak tahun 1973 berlaku tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: Tujuan Umum Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi, dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPR No. IV/MPR/1973). (c) Sejak tahun 1978 berlaku tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: Pendidikan Nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa (TAP MPR No. IX/MPR/1978). 54 (d) Sejak tahun 1989, dengan diberlakukannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan Pendidikan Nasional dirumuskan kembali sebagai berikut: Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (e) Dalam GBHN 1993 ditetapkan tujuan pendidikan nasional yang lebih rinci sebagai berikut: Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, professional, bertanggungjawab, dan pruduktif serta sehat jasmani dan rohani…menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, depan…(TAP MPR No. II/MPR/1993). 2) Tujuan institusional 55 serta berorientasi masa Di dalam Buku I Kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994 dijelaskan bahwa pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Oleh karena sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan dasar sebagaimana telah ditegaskan di muka, tujuan institusional sekolah dasar adalah bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 13 Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup di dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah (Bafadal, 2009: 6). 3) Tujuan kurikulum Tujuan kurikulum adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu program studi, bidang studi dan suatu mata ajaran, yang disusun berdasarkan tujuan institusional. 56 Perumusan tujuan kurikulum berpedoman pada kategorisasi tujuan pendidikan/taksonomi tujuan, yang dikaitkan dengan bidang-bidang studi bersangkutan. 4) Tujuan pembelajaran (instruksional) Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang ingin dicapai setelah selesai diselenggarakannya suatu proses pembelajaran, misalnya satuan acara pertemuan, yang bertitik tolak pada perubahan tingkah laku siswa. Tujuan ini disusun berdasarkan tujuan kurikulum (Hamalik, 2010: 6). Berkenaan dengan tujuan operasional pendidikan SD, dinyatakan di dalam kurikulum Pendidikan Dasar yaitu memberi bekal kemampuan dasar, membaca, menulis dan berhitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di SLTP. b. Fungsi Sejak dilaksanakannya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, fungsi pendidikan SD telah mengalami perubahan yang mendasar. Pendidikan SD tidak lagi menjalankan fungsi terminal melainkan menjalankan fungsi transisional. Artinya, bagi setiap anak usia sekolah (6-13 tahun), menamatkan pendidikan di SD bukan lagi sebagai kondisi akhir dari pendidikan formal yang diharapkan melainkan sebagai tujuan antara karena setelah itu semua pihak harus membantu individu tamatan SD untuk melanjutkan pendidikan di SLTP atau sederajat (Mikarsa, 2008:1.16). 57 Fungsi yang sangat mendasar dan menonjol dari pendidikan SD adalah fungsi edukatif, daripada fungsi pengajaran, di mana upaya bimbingan dan pembelajaran diorientasikan pada pembentukan landasan kepribadian yang kuat. Dari sudut perkembangan individu, fungsi tersebut sangat sesuai dengan tingkat dan karakteristik perkembangan siswa SD. Fungsi ini diwujudkan dengan modeling, yaitu memberikan contoh konkret dan keteladanan perilaku yang etis, normatif dan bertanggung jawab dalam setiap berinteraksi dengan siswa (Mikarsa, 2008:1.17). Fungsi pengembangan dan peningkatan merupakan penjabaran dari fungsi edukatif yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan melalui kegiatan bimbingan dan konseling. 4. Aktivitas Pendidikan Sumayyah (http:// cahayalaili. blogspot.com /2011/05/ konsep- dasarmanajemen-sekolah-dasar.html) menyatakan bahwa secara garis besar, aktivitas pendidikan di sekolah dasar, baik negeri maupun swasta, dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, aktivitas pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pembelajaran Pendidikan Agama (PA), pembelajaran Bahasa Indonesia (BI), pembelajaran Matematika (Mat), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian 58 (Kertakes), pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan pembelajaran Muatan Lokal (Mulok). Kedua, aktivitas pembelajaran ekstrakurikuler, seperti kegiatan Pramuka, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), olahraga, kesenian, dan Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Ketiga, aktivitas pembelajaran lainnya adalah upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap hari senin dan senam pagi. Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut memiliki tujuan kurikuler. Namun, semua aktivitas pembelajaran harus dipadukan sedemikian rupa dan diarahkan kepada pencapaian satu tujuan, tepatnya tujuan institusional sekolah dasar. Demikian pula, agar antara aktivitas pembelajaran yang satu dan yang lainnya tidak tumpang tindih, dan fasilitas sekolah dapat didayagunakan secara optimal, sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang baik. Di sinilah letak pentingnya manajemen yang baik di sekolah, sebagaimana divisualisasikan dengan Gambar 2.1 Tampaknya tidak ada kesuksesan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar tanpa adanya manajemen yang baik di dalamnya. Struktur Aktivitas Sekolah Dasar Aktivitas Tujuan Pembelajaran Tujuan Kurikuler Kurikuler Pembelajaran Tujuan Ekstra kurikuler Ekstrakurikul er Pembelajaran 59 Tujuan Lainnya Lainnya Bagan 2.1 Tujuan Institusional (Bafadal, 2009:54) 5. Kurikulum Sekolah Dasar a. Pengertian Kurikulum Kurikulum adalah suatu rangkaian mata pelajaran berikut metode penyampaiannya yang menjadi patokan penyampaian ilmu pengetahuan. Secara ringkas kurikulum merupakan dasar dari pendidikan. (sistem Pendidikan di masa Kholifah). Menurut Saylor (1981), kurikulum yaitu; 1) perangkat bahan ajar, 2) rumusan hasil belajar yang dikehendaki, 3) penyediaan kesempatan belajar, 4) kewajiban peserta didik (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010:4). Ahmad Tafsir (2008: 99) menyatakan bahwa esensi kurikulum ialah program. Kata ini memang terkenal dalam ilmu pendidikan. Kurikulum ialah program dalam mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan menurut Muhaimin (2008: 166) menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini adalah tujuan pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam 60 tujuan-tujuan atau standar-standar yang lebih operasional, serta kesesuaiannya dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, sosial budaya masyarakat, kebutuhan dan potensi SD/MI dan peserta didik. Pengertian kurikulum yang lebih luas diberikan oleh para pendidik yaitu segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luarnya, atau segala kegiatan di bawah tanggung jawab sekolah yang mempengaruhi anak dalam belajarnya. Isi kurikulum merupakan perangkat bidang studi, mata pelajaran, atau pokok-pokok sajian yang mengandung unsur-unsur rumusan mata pelajaran, garis besar pokok bahasan, penilaian dan petunjuk pelaksanaannya. Semua hal tersebut ditata berdasarkan waktu, tempat, sarana, dan tenaga yang dibutuhkan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010:4). b. Struktur Kurikulum Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum (Muhaimin, 2008: 228) Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa struktur dan muatan Kurikulum 61 Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut: 1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq mulia. 2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. 3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4) Kelompok mata pelajaran estetika. 5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Adapun cakupan Kelompok Mata Pelajaran tersebut sebagai berikut : 5) Agama dan akhlāq mulia Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlāq mulia. Akhlāq mulia mencakup estetika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama (Muhaimin, 2008: 229). 6) Kewarganegaraan dan Kepribadian Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta penngkatan dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, perhargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, 62 demokrasi, tanggungjawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (Muhaimin, 2008: 228). 7) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB/Paket A dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mennanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri (Muhaimin, 2008: 228). 8) Estetika Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis (Muhaimin, 2008: 228). 9) Jasmani, olahraga dan kesehatan Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/Paket A dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat. Budaya hidup 63 sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat individual ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbatasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber, dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah (Muhaimin, 2008: 228). Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama 6 (enam) tahun, yakni mulai kelas satu sampai dengan kelas enam. Struktur kurikulum disusun berdasarkan SKL dan SK dan KD mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut. 1) Kurikulum SD memuat delapan mata pelajaran, sedangkan kurikulum MI memuat sembilan atau 12 mata pelajaran karena ditambah Bahasa Arab atau 12 (PAI meliputi al-Qurān, hadīŝ, ’akīdah akhlāq, fiqh, dan Sejarah Kebudayaan Islam), muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera pada tabel struktur kurikulum. 2) Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal telah ditentukan diatur tersendiri oleh SD/MI dalam Bab IV tentang muatan lokal. 3) Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan 64 kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi SD/MI. 4) Pendekatan pembelajaran pada kelas I sampai kelas III dilaksanakan dengan ”pendekatan tematik”, sedangkan pada kelas IV sampai VI dilaksanakan dengan ”pendekatan mata pelajaran” (Muhaimin, 2008: 230). 5) Substansi mata pelajaran IPA dan IPS merupakan ”IPA Terpadu” dan ”IPS Terpadu”. Struktur Kurikulum SD/MI Kelas dan Alokasi Waktu Komponen I II III IV, V dan VI A. Mata pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam (3) 6 2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 3. Bahasa Indonesia 5 TEMATIK 4. Bahasa Arab 2*) 5. Matematika (5) 6 6. Ilmu Pengetahuan Alam (4) 5 7. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 65 8. Seni Budaya dan Keterampilan 4 9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 4 B. Muatan Lokal 2 C. Pengembangan diri 2**) Jumlah 1. 2. 3. 4. 29 30 31 39 Tabel 2.1 PAI di MI terdiri atas: al-Qurān dan hadīŝ, ‘akīdaħ dan akhlāq, fikih SKI *) Bahasa Arab merupakan ciri khas madrasah **) = Ekuivalen dua jam pembelajaran ( ) = angka di dalam kurung merupakan beban belajar yang tercantum dalam Permendiknas, sedangkan angka di luar kurung merupakan beban belajar tambahan karena ingin mencapai keunggulan-keunggulan tertentu sebagaimana terkandung dalam visi, misi dan tujuan sekolah/madraah sebagai berikut. a. Unggul dalam pembinaan keagamaan Islam b. Unggul dalam peningkatan prestasi UNAS 6) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. SD/MI dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. 7) Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit. 8) Proses pembelajaran menekankan keterlibatan siswa dengan menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menarik/menyenangkan, kontekstual, mengembangkan budaya baca, keteladanan, integratif dan situasional. 66 9) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah kelas I sampai II = 29 s.d. 31 jam, kelas III = 31 s.d. 33 jam, dan kelas IV sampai kelas VI = 39 jam per minggu (Muhaimin, 2008: 230-231). Selanjutnya dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan pula bahwa: 1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A Dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5). 2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlāq mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5). 3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5). 4) Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni, dan budaya, 67 keterampilan, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5). 5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan (Kurikulum SD PIT Bhaskara, 2010: 5). c. Fungsi Kurikulum Pendidikan Agama Islam Ramayulis (2008:152) menyatakan bahwa “kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap”. Menurut Arifuddin Arif (2008:89-90) dan Abdul Majid (2008:134) menyatakan bahwa : Fungsi kurikulum dalam pendidikan adalah sebagai: 1) alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan; 2) pedoman dan program harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan; 3) fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan; dan 4) standar dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester, maupun pada tingkat pendidikan tertentu. Sedangkan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam yang diterjemahkan Hasan Langgulung (Nata, 2010:130) menyatakan bahwa : Kurikulum dalam pendidikan islam memiliki fungsi yang berbeda atau yang lebih khusus, yaitu sebagai alat untuk mendidik generasi muda 68 dengan baik dan mendorong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalīfaħ di muka bumi. Adapun fungsi kurikulum, jika diuraikan adalah sebagai berikut : 1) Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan: a) Sebagai alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam yang diinginkan atau dalam istilah KBK disebut standar kompetensi PAI, meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi bahan kajian PAI, kompetensi mata pelajaran PAI (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), kompetensi mata pelajaran kelas (kelas I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII). b) Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah. 2) Bagi sekolah/madrasah di atasnya: a) Melakukan penyesuaian. b) Menghindari keterulangan sehingga boros waktu. c) Menjaga kesinambungan. 3) Bagi masyarakat: a) Masyarakat sebagai pengguna lulusan (users), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI. 69 b) Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI. Kurikulum yang digunakan di Sekolah Dasar ialah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun yang dimaksud dengan istilah (KTSP) ialah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan (Mulyasa, 2006: 21). Secara umum, tujuan diterapkannya KTSP ialah untuk memandirikan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipasif dalam pengembangan kurikulum (Mulyasa, 2006: 21). Adapun secara khusus tujuan diterapkannya KTSP sebagaimana menurut Mulyasa (2006: 22) adalah untuk: 1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. 2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. 70 3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai. d. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Dasar DEPDIKNAS (2008: 45) menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlāq mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri : 1) Lebih menitikberatkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi. 2) Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia. 3) Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan (DEPDIKNAS, 2008:45). Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlāq, serta aktif membangun 71 peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global (DEPDIKNAS, 2008: 44-45). Pendidikan Agama Islam di SD/MI bertujuan untuk : 1) Menumbuhkembangkan ‘akīdaħ melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. 2) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlāq mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasāmuħ), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah (DEPDIKNAS, 2008:45). Adapun ruang lingkup Pendidikan Agama Islam sebagaimana menurut (DEPDIKNAS, 2008:45) meliputi aspek-aspek sebagai berikut; a) al-Qurān dan hadīŝ, b) ‘aqīdaħ, c) akhlāq, d) fiqh, e) tarīkh dan Kebudayaan Islam. Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia 72 dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dikembangkan pada SD/MI sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:4657) ialah sebagai berikut : 1) Standar kompetensi pada aspek al-Qurān Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek al-Qurān sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu: a) menghafal al-Qurān surat pendek pilihan, b) menghafal al-Qurān, c) membaca al-Qurān surat pendek pilihan, d) mengenal kalimat dalam alQurān, e) mengenal ayat-ayat al-Qurān, f) membaca surat-surat al-Qurān, g) mengartikan al-Qurān surat pendek pilihan. Sedangkan kompetensi dasar dari aspek al-Qurān yaitu: a) melafalkan QS al-Fātihaħ dengan lancar, b) menghafal surat QS alFātihaħ dengan lancar, c) menghafal QS al-Kauŝar dengan lancar, d) menghafal QS al-Naşr dengan lancar, e) menghafal QS al-‘Aşr dengan lancar, f) mengenal huruf hijāiyyaħ, g) mengenal tanda baca (harakaħ), h) membaca huruf hijāiyyaħ bersambung, i) menulis huruf hijāiyyaħ bersambung, j) membaca kalimat dalam al-Qurān, k) menulis kalimat dalam al-Qurān, l) membaca huruf al-Qurān, m) menulis huruf al-Qurān, n) membaca QS alFātihaħ dengan lancar, o) membaca QS al-Ikhlāş dengan lancar, p) membaca QS al-Kauŝar dengan lancar, q) membaca QS an-Naşr dengan lancar, r) 73 membaca QS al-‘Aşr dengan lancar, s) membaca QS al-Lahab dan al-Kāfirûn, t) mengartikan QS al-Lahab dan al-Kāfirûn, u) membaca QS al-Mā’ûn dan al-Fīl, v) mengartikan QS al-Mā’ûn dan al-Fīl, w) Membaca QS al-Qadr dan al-‘Alaq ayat 1-5, x) Mengartikan QS al-Qadr dan al-‘Alaq ayat 1-5, y) Membaca QS al-Mā’idah ayat 3 dan al-Hujurāt ayat 13, z) Mengartikan QS al-Mā’idah ayat 3 dan al-Hujurāt ayat 13. 2) Standar kompetensi pada aspek ‘aqīdaħ Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek ‘aqīdaħ sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu: a) mengenal rukun iman, b) mengenal dua kalimat syahadaħ, c) mengenal asmāul husnā, d) mengenal sifat wajib Allah, e) mengenal sifat mustahīl Allah, f) mengenal sifat jaiz Allah, g) mengenal malaikat dan tugasnya, h) mengenal kitab-kitab Allah, i) mengenal Rasul-Rasul Allah, j) meyakini adanya hari akhir, k) meyakini adanya Qadha dan Qadar. Sedangkan kompetensi dasar aspek ‘aqīdaħ yaitu: a) menunjukkan ciptaan Allah SWT melalui ciptaan-Nya, b) menyebutkan enam rukun iman, c) menghafal enam rukun iman, d) melafalkan syahadat tauhid dan syahadat rasul, e) menghafal dua kalimat syahadaħ, f) mengartikan dua kalimat syahadaħ g) menyebutkan lima dari asmāul husnā , h) mengartikan lima dari asmāul husnā , i) menyebutkan lima sifat wajib Allah, j) mengartikan lima sifat wajib Allah, k) menyebutkan sifat mustahil Allah, l) mengartikan sifat mustahīl Allah, m) menyebutkan sifat jaiz 74 Allah, n) mengartikan sifat jaiz Allah, o) menjelaskan pengertian malaikat, p) menyebutkan tugas-tugas malaikat, p) menyebutkan nama-nama kitab Allah SWT, r) menyebutkan nama-nama Rasul yang menerima kitab-kitab Allah SWT, s) menjelaskan al-Qurān sebagai kitab suci terakhir, t) menyebutkan nama-nama Rasul Allah SWT, u) menyebutkan nama-nama Rasul Ulul ‘Azmi dari para Rasul, v) membedakan nabi dan rasul, w) menyebutkan nama-nama hari akhir, x) menjelaskan tanda-tanda hari akhir, y) menunjukkan contohcontoh Qadha dan Qadar, z) menunjukkan keyakinan terhadap Qadha dan Qadar. 3) Standar kompetensi pada aspek akhlāq Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek akhlāq sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu: a) membiasakan perilaku terpuji, b) mencontohkan perilaku terpuji, c) menghindari perilaku tercela. Sedangkan standar kompetensi dari aspek akhlāq yaitu : a) membiasakan perilaku jujur, b) membiasakan perilaku bertanggungjawab, c) membiasakan perilaku hidup bersih, d) membiasakan perilaku disiplin, e) menampilkan perilaku rajin, f) menampilkan perilaku tolong-menolong, g) menampilkan perilaku hormat terhadap orang tua, h) menampilkan adab makan dan minum, i) menampilkan adab belajar, j) menampilkan perilaku rendah hati, k) menampilkan perilaku hidup sederhana, l) menampilkan adab buang air besar dan kecil, m) mencontohkan perilaku 75 hormat dan santun kepada guru, n) menampilakan perilaku sopan dan santun kepada tetangga, o) menampilkan perilaku percaya diri, p) menampilkan perilaku tekun, q) menampilkan perilaku hemat, r) menampilkan perilaku setia kawan, t) menampilkan perilaku kerja keras, u) menampilkan perilaku penyayang terhadap hewan v) menampilkan perilaku penyayang terhadap lingkungan, w) meneladani taubatnya nabi Adam as, x) meneladani perilaku masa kanak-kanak nabi Muhammad SAW, y) meneladani perilaku nabi Ayyūb as, z) meneladani perilaku na'bi Mūsā as, aa) meneladani perilaku Nabi ‘Īsā as, bb) meneladani perilaku khalīfaħ Abū Bakr ra, cc) meneladani perilaku ‘Umar bin Khaţāb ra, dd) menghindari perilaku dengki seperti Abū Lahab dan Abū Jahl, ee) menghindari perilaku bohong seperti Musailamaħ al-Każāb, ff) meneladani perilaku kegigihan perjuangan kaum Muhajirīn dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan peserta didik, gg) meneladani perilaku tolongmenolong kaum Anşār dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan peserta didik. 4) Standar kompetensi pada aspek Fiqh Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek fiqih sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008: 46-57) yaitu: a) mengenal tata cara bersuci (țaharaħ), b) mengenal rukun islam, c) membiasakan bersuci (țaharaħ), d) mengenal tata cara wudu’, e) menghafal bacaan şalāħ, f) membiasakan şalāħ secara tertib, g) melakukan şalāħ fardhu, 76 h) mengenal ketentuan-ketentuan şalāħ, i) melaksanakan dzikir dan do’a, j) mengumandangkan ażan dan ‘iqāmaħ, k) mengenal puasa wajib, l) mengenal ibadah pada bulan Ramadhan, m) mengetahui kewajiban zakat. Sedangkan kompetensi dasar dari aspek fiqh yaitu: a) menyebutkan pengertian bersuci, b) mencontoh tata cara bersuci, c) menirukan ucapan rukun islam, d) menghafal rukun islam, e) menyebutkan tata cara berwudu’, f) mempraktekkan tata cara berwudu’, g) membiasakan wudu’ dengan tertib, h) melafalkan bacaan şalāħ, i) menghafal bacaan şalāħ, j) mencontohkan gerakan şalāħ, k) mempraktekkan şalāħ secara tertib, l) menghafal bacaan şalāħ, m) menampilkan keserasian gerakan dan bacaan şalāħ, n) menyebutkan şalāħ fardhu, o) mempraktikkan şalāħ fardhu, p) menyebutkan rukun şalāħ, q) menyebutkan sunnnah şalāħ, r) menyebutkan syarat sah dan syarat wajib şalāħ, s) menyebutkan hal-hal yang membatalkan şalāħ, t) melakukan dzikir setelah şalāħ, u) membaca do’a setelah şalāħ, v) melafalkan lafal ażan dan ‘iqāmaħ, w) mengumandangkan ażan dan ‘iqāmaħ, x) menyebutkan ketentuan-ketentuan puasa Ramadhan, y) menyebutkan hikmah puasa, z) melaksanakan tarāwih di bulan Ramadhan, aa) melaksanakan tadarrus al-Qurān, bb) menyebutkan macam-macam zakat, cc) menyebutkan ketentuan zakat fitrah. 5) Standar kompetensi pada aspek tarīkh Adapun standar kompetensi yang harus dikembangkan pada aspek tarīkh sebagaimana menurut DEPDIKNAS (2008:46-57) yaitu: 77 a) menceritakan kisah nabi, b) menceritakan kisah sahabat nabi, c) menceritakan kisah Abū Lahab, Abū Jahl, dan Musailamaħ al-Każāb, d) menceritakan kisah kaum Muhajirīn dan kaum Anşār. Sedangkan kompetensi dasar dari aspek tarīkh yaitu: a) menceritakan kisah nabi Adam as, b) menceritakan kisah kelahiran nabi Muhammad SAW, c) menceritakan perilaku masa kanak-kanak nabi Muhammad SAW, d) menceritakan kisah nabi Ibrāhīm as, e) menceritakan kisah nabi Ismā’īl as, f) menceritakan kisah nabi Ayyūb as, g) menceritakan kisah nabi Mūsā as, h) menceritakan kisah nabi ‘Īsā as, i) menceritakan kisah khalīfaħ Abū Bakr ra, j) menceritakan kisah ‘Umar bin Khaţāb ra, k) menceritakan perilaku Abū Lahad dan Abū Jahl, l) menceritakan perilaku Musailamaħ al-Każāb, m) menceritakan perjuangan kaum Muhajirīn, n) menceritakan perjuangan kaum Anşār. 1) Tujuan Pendidikan Agama Islam di SD Dalam buku DEPDIKNAS (2008:45) menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di SD/MI bertujuan untuk : a) Menumbuhkembangkan ‘akīdaħ melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah; 78 b) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlāq mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasāmuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. Sedangkan dalam Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP) (Mulyasa, 2010:97) menjelaskan bahwa : Kelompok mata pelajaran agama dan akhlāq Mulia bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlāq mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan. 2) Indikator-indikator Keberhasilan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Dasar Dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada kurikulum yang telah disempurnakan tahun 1999 dijelaskan bahwa; untuk jenjang pendidikan dasar, indikator-indikator keberhasilan lulusannya ialah dengan landasan iman yang benar siswa; a) Mampu membaca, menulis dan memahami ayat-ayat pilihan dengan indikator-indikator; (1) siswa mampu membaca ayat-ayat pilihan; (2) siswa mampu menulis ayat-ayat pilihan; (3) siswa mampu memahami terjemahan ayat-ayat pilihan. b) Siswa mengetahui, memahami dan meyakini unsur-unsur keimanan dengan indikator-indikator; (1) siswa mengetahui, memahami dan 79 meyakini Allah dan sifat-sifat-Nya; (2) siswa mengetahui, memahami dan meyakini malaikat-malaikat dan rasul-rasul-Nya; (3) siswa mengetahui, memahami dan meyakini kitab-kitab Allah, hari akhir dan qadha dan qadar. c) Siswa mengetahui sejarah nabi Muhammad SAW dan perkembangan Agama Islam, dengan indikator-indikator sebagai berikut; (1) siswa mengetahui sejarah nabi SAW periode Mekkah; (2) siswa mengetahui sejarah periode nabi SAW periode Madinah; (3) siswa mengetahui perkembangan Agama Islam sejak nabi SAW periode Madinah; (4) siswa mengetahui perkembangan Agama Islam sejak nabi SAW, zaman khulafāur rāsyidīn, islam di negara-negara lain dan islam di Indonesia. d) Siswa mengetahui fiqh ibadah, mu’āmalaħ dan jināyaħ dengan indikatorindikator; (1) siswa mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan şalāħ, puasa, zakat dan haji; (2) siswa mengetahui dan memahami mu’āmalaħ, munakahāt dan jināyaħ. e) Siswa berbudi luhur/berakhlāq mulia, dengan indikator-indikator; (1) siswa melaksanakan tuntutan akhlāq terhadap dirinya sendiri; (2) siswa melaksanakan tuntutan akhlāq terhadap sesama; (3) siswa melaksanakan tuntutan akhlāq terhadap makhluk lain. 6. Pendidikan Agama Islam di Sekolah dasar negeri Pendidikan Agama Islam sangat diperlukan dalam pembelajaran Sekolah terutama Sekolah Dasar (SD), oleh karena itu pembelajaran PAI ini harus selalu 80 ditingkatkan. Kondisi Pendidikan Agama Islam di sekolah dasar, tidak jauh berbeda dengan kondisi Pendidikan Agama Islam di sekolah umum. Sebagaimana penelitian terdahulu menyebutkan bahwa proses pendidikan Agama Islam masih banyak kekurangan dan kelemahan. Adapun kekurangan dan kelemahannya (Muhaimin, 2009: 23) mengungkapkan sebagai berikut : a. Pendidikan Agama Islam yang berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku) (Tempo, 24 November 2004). b. Pendidikan Agama Islam lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya Komaruddin Hidayat (Bisri, 1999). c. Pendidikan Agama Islam lebih banyak terkonsentrasi pada persoalanpersoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum (Abdullah,1998). Masalah di atas merupakan sebagian dari beberapa masalah yang dihadapi Pendidikan Agama Islam di persekolahan. Dan jika permasalahan ini tidak segera dicari jalan keluarnya, maka Pendidikan Agama Islam akan semakin menurun dan terpuruk. 7. Optimalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being) Agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan Agama Islam di sekolah (bukan di madrasah) ialah murid memahami, terampil melaksanakan, dan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi orang 81 yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT berakhlāq mulia dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ahmad Tafsir (http:// sdislamalhuda. wordpress.com /2009/11/05/ meningkatkan-mutu-pendidikan-agama-islam-di-sdi-al-huda/) menjelaskan bahwa “optimalisasi Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak berarti penambahan jumlah jam pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya Pendidikan Agama Islam. Itu berupa optimalisasi mutu guru Agama Islam dan optimalisasi sarana. Karakteristik utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping sedikit komponen knowing dan doing. Hal ini menuntut perlakuan pendidikan yang banyak berbeda dari pendidikan bidang studi umum. Pembelajaran untuk mencapai being yang tinggi lebih mengarahkan pada usaha pendidikan agar murid melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam kehidupan sehari-hari. Bagian paling penting dalam PAI ialah mendidik murid agar beragama, memahami agama (knowing) dan terampil melaksanakan ajaran agama (doing) hanya mengambil porsi sedikit saja. Dua yang terakhir ini memang mudah. Berdasarkan pengertian itulah Pendidikan Agama Islam memerlukan pendekatan pendekatan naql, akal dan qalb. Selain itu juga diperlukan sarana yang memadai sehingga mendukung terwujudnya situasi pembelajaran yang sesuai dengan karakter Pendidikan Agama Islam. Sarana ibadah, seperti masjid/muşallā, mushaf alQurān, tempat bersuci/tempat wudu’ merupakan salah satu contoh sarana Pendidikan Agama Islam yang dapat dipergunakan secara langsung oleh siswa untuk belajar Agama Islam. Peningkatan mutu guru Agama Islam diarahkan agar 82 ia mampu mendidik muridnya untuk menguasai tiga tujuan tadi. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuannya dalam penguasaan materi pelajaran agama, penguasaan metodologi pengajaran, dan peningkatan keberagamaannya sehingga ia pantas menjadi teladan muridnya”. Ahmad Tafsir juga dalam situs (http:// sdislamalhuda. wordpress.com /2009/11/05/ meningkatkan-mutu-pendidikan-agama-islam-di-sdi-al-huda/) menyatakan bahwa banyak orang memberikan penilaian terhadap keberhasilan guru Agama Islam (GAI). Pada umumnya, mereka menyatakan bahwa GAI banyak gagal dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Penelitian menunjukkan bahwa pada aspek knowing dan doing guru agama tidak gagal; mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan (being). Muridmuridnya memahami ajaran Agama Islam, terampil melaksanakan ajaran itu, tetapi mereka sebagiannya tidak melaksanakan ajaran Islam tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka memahami hukum dan cara şalāħ lima, terampil melaksanakan şalāħ lima, tetapi sebagian dari murid itu tidak melaksanakan şalāħ lima. Mereka tahu konsep jujur, mereka tahu cara melaksanakan jujur, tetapi sebagian dari mereka tetap sering tidak jujur dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, aspek keberagamaan itulah yang sangat penting untuk ditingkatkan. E. Sekolah Dasar Islam Terpadu 1. Pengertian Sekolah Dasar Islam Terpadu 83 Sekolah dasar terpadu ialah sekolah yang diproyeksikan untuk dapat menampung semua anak Sekolah Dasar (SD), termasuk di dalamnya anak berkelainan dan anak berbakat. Penyelenggaraannya tidak berbeda dengan sekolah dasar lainnya. Meskipun ada kegiatan-kegiatan yang khusus untuk anak berkelainan atau berbakat, kegiatannya tidak mengganggu atau mengurangi pelayanan pendidikan bagi anak biasa. Ada juga yang mengartikan bahwa SD Terpadu adalah sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak normal dan penyandang cacat maupun normal secara bersama-sama dengan menggunakan kurikulum sekolah dasar konvensional (Bafadal, 2009: 5). Adapun yang menjadi perbedaan kegiatan itu, antara lain : a. Adanya usaha pengintegrasian atau pembauran beberapa anak berkelainan pada kelas sekolah dasar biasa. b. Adanya guru pembimbing khusus yang mendampingi atau membantu guru kelas demi kelancaran proses belajar mengajar. c. Adanya anak-anak penyandang ketunaan yang diharuskan mengikuti kurikulum sekolah dasar biasa. d. Siswanya terdiri dari anak-anak berusia 7-13 tahun. Dalam situs (http:// www.citra-azzahra.co.cc/ index.php? option =com_content &view= article&id= 6&Itemid =28) dijelaskan bahwa SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) ialah sebuah lembaga pendidikan swasta yang bercirikan islam setaraf sekolah dasar umum biasa, yang memadukan kurikulum standar sekolah negeri dengan Pendidikan Agama Islam. Adapun ciri spesifik 84 SDIT adalah waktu belajar yang di mulai dari pukul 07.00-15.00 (Fullday) (Yanto 2005). Pada umumnya sekolah dasar islam terpadu ini menggunakan metode penggabungan dua pendidikan, yakni pendidikan reguler dan pendidikan ‘aqīdaħ (Agama Islam). Sehingga jam belajar yang di perlukan di sekolah ini akan lebih banyak dibandingkan dengan jam belajar di sekolah reguler. Kegiatan siswa di dalam menuntut ilmu akan lebih banyak di sekolah dibandingkan porsi siswa belajar di rumah. Sekolah merupakan rumah kedua untuk siswa menuntut ilmu dan mengembangkan pengetahuan. Waktu yang lama untuk belajar di sekolah akan membuat para siswa menjadi bosan dan merasa lelah, sehingga sekolah terpadu harus memiliki fasilitas yang baik agar siswa merasa nyaman dan rekreatif di dalam belajar (http:// www.citra-azzahra.co.cc/ index.php? option =com_content &view= article&id= 6&Itemid =28). Siswa yang belajar di sekolah dasar islam terpadu ini akan berbeda dengan siswa yang belajar di sekolah reguler atau formal pada umumnya, yakni mereka akan lebih banyak berinteraksi antar sesama maupun berinteraksi dengan alam sekitar sewaktu di sekolah. Jam belajar yang ada di sekolah membuat siswa tidak perlu lagi mengikuti kursus atau les di luar sekolah, karena biasanya sekolah dasar terpadu sudah memiliki mata pelajaran yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah formal biasa, misalnya Bahasa Inggris, komputer, baca tulis al-Qurān, musik, dsb. Dengan adanya sekolah dasar islam terpadu semoga akan membuat sistem pendidikan untuk anak-anak akan lebih maksimal dibandingkan 85 pendidikan reguler lainnya dan menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki keahlian di dalam berbagai bidang (Kliping Media Indonesia 15 Juni 2002). 2. Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu Kurikulum yang digunakan dalam sekolah dasar islam terpadu, sama seperti kurikulum yang digunakan oleh Sekolah Dasar Negeri yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun, di sekolah dasar islam terpadu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini dipadukan dengan muatan-muatan pendidikan islam yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut. Untuk pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar islam terpadu sama seperti pelajaran di sekolah dasar negeri yaitu Agama, Kewarganegaraan, Jasmani dan Kesehatan, Teknologi Informatika dan Komunikasi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Daerah, Bahasa Asing, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Sejarah, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Keterampilan. Namun, selain pelajaran wajib dari pemerintah yang harus diajarkan kepada para siswa. Sekolah dasar islam terpadu juga menambahkan pelajaran dan kegiatan yang mengacu pada visi dan misi sekolah tersebut. Seperti ; Ibadahibadah Praktis, Pesantren Ramadhan, Ajang lomba/Olympiade /Musabaqaħ, Super Camp (Student Camp), Outbound, Pameran & hasil karya, Computer Skill, Bakti Sosial, Life Skill, Library Visit, Peringatan hari besar islam & nasional, Apresiasi Seni & Keterampilan (PPKA), Marketing Day, Writing Skill, Kerja 86 bakti, Renang / Sport Day, Mabit (Malam Bina Iman & Taqwa), Mentoring dan lain-lain. 3. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu Menurut Abdul Khoir (Media Indonesia, 2002: 16), sekolah dasar islam terpadu lahir dari keinginannya untuk memadukan pendidikan agama dan pengetahuan umum. Tentu waktunya harus panjang dari sekolah dasar biasa yang banyak mengajarkan pelajaran umum atau madrasah yang banyak mengajarkan pendidikan agamanya. Keberadaan sekolah terpadu dengan karakteristiknya itu diperoleh dari adopsi dan meramu pada kasus madrasah dan riset dari sekolahsekolah di luar negeri. Salah satu kendala yang dihadapi Pendidikan Agama Islam di sekolah selama ini, ialah terbatasnya waktu belajar. Karena pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah biasa hanya dua jam pelajaran selama satu minggu. Sebagaimana menurut Prof. Dr. Mohammad Ali (http:// www.ispi.or.id /2010/09/19/ pengembangan- pendidikan-agama-islam-di-sekolah/), bahwa “kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran Agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya dua jam pelajaran per minggu. Dan jika pembelajaran PAI ini ingin optimal, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum Agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran Pendidikan Agama 87 Islam melalui pembelajaran ekstrakurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di muşallā. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua. Selain itu pula beliau menjelaskan (http://www.ispi.or.id /2010/09/19/ pengembangan- pendidikan- agama- islam- di-sekolah/) bahwa “penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal penyelenggaraan pendidikan islam di sekolah hanya dua jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya dua jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kotakota pada umumnya mengandalkan pendidikan islam di sekolah saja, karena orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar Agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik Pendidikan Agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan 88 ekstrakurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar Agama Islam lebih banyak lagi.” Dan masih dalam situs yang sama (http://www.ispi.or.id/2010/09/19/ pengembangan- pendidikan-agama-islam-di-sekolah/) beliau menjelaskan bahwa “Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah bagi peserta didik mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah dīniyyaħ atau pesantren mengikuti Pendidikan Agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar Agama Islam di dīniyyaħ atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar Agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar Agama Islam dengan mengundang ustāż ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan Pendidikan Agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain. Dalam Pendidikan Agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman ‘aqīdaħ, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlāq mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran Agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya dua jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan 89 model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum Agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui pembelajaran ekstrakurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di muşallā. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua.” Dari kondisi tersebut, permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, SD Islam terpadu mencoba menjawabnya. Dalam sistem pembelajaran, SD islam terpadu menambahkan jam pelajaran pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Sehingga pembelajaran pada segi praktik lebih bisa dipelajari secara mendalam. Sebagaimana Menurut Abdul Khoir (Kliping Media Indonesia, 15 Juni 2002) bahwa yang membedakan antara sekolah dasar negeri dan sekolah dasar terpadu yaitu metode dan lamanya waktu belajar. Sekolah dasar islam terpadu meredusir kurikulum internasional dengan metode (active learning). Namun metode ini harus disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Pada sekolah dasar negeri pembelajaran Kegiatan Belajar Mengajar 90 (KBM) dimulai dari pukul 07.00 s/d 12.00. Sedangkan sekolah dasar islam terpadu pembelajaran Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai dari pukul 07.30 s/d 14.00 untuk kelas I dan II. Sedangkan untuk kelas III sampai VI dari pukul 07.30 s/d 16.00. Selain perbedaan jam pelajaran, sekolah dasar islam terpadu juga mengutamakan pembelajaran pada segi praktik daripada teoritik. Karena kalau kita mempraktikan sesuatu sudah pasti kita tahu teorinya. Sedangkan belum tentu kalau kita tahu teori tapi bisa mempraktikannya. Hal ini terbukti pada beberapa kegiatannya. Seperti a. Kegiatan şalāħ berjamaah, b. Mengerjakan shaum Sunnaħ, c. Mengerjakan şalāħ Sunnaħ dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa sekolah dasar islam terpadu, bukan hanya mengajarkan materi tetapi juga berusaha menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan menurut Abdul Khoir, ‘walaupun usia sekolah jenis ini relatif masih muda, jumlah sekolah islam terpadu yang ada saat ini relatif tidak mencukupi dibandingkan minat orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya’. Itu membuktikan bahwa sekolah islam terpadu yang mempunyai sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah dasar biasa, sangat diminati oleh orang tua/masyarakat. 91