alaya_2017_1 - 004 kustri[HUBUNGAN].indd

advertisement
HUBUNGAN TEKS DAN ILUSTRASI DALAM SERAT BRATAYUDA
NASKAH PUSAKA KERATON YOGYAKARTA *)
(Relationship of Text and Illustrations in Serat Bratayuda Manuscript
of Yogyakarta Palace Inheritance)
Oleh/By:
Kustri Sumiyardana
Balai Bahasa Jawa Tengah
Jalan Elang Raya, Mangunharjo Tembalang, Semarang
Telepon 024-76744357, 70769945; Faksimile 024-76744358, 70799945
[email protected]
Pos-el: [email protected]
*) Diterima: 4 Februari 2017, Disetujui: 25 April 2017
ABSTRAK
Di Keraton Yogyakarta terdapat beberapa naskah yang dijadikan pusaka, salah satunya adalah Serat
Bratayuda. Teks dalam naskah tersebut diketahui merupakan turunan dari Serat Bratayuda karya
Yasadipura I. Dengan demikian, naskah tersebut bersumber dari Kakawin Bhāratayuddha karya Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh. Melalui metode komparatif yang membandingkan gambar dengan teks, dapat
diketahui bahwa ada gambar yang tidak sesuai dengan teksnya. Perbedaan itu diakibatkan beberapa
faktor, antara lain, cerita pedalangan, fakta kehidupan masyarakat, dan kreativitas ilustrator.
Kata kunci: Kakawin Bhāratayuddha, Serat Bratayuda, wayang, sastra Jawa.
ABSTRACT
In the Palace of Yogyakarta there are several manuscripts that became heritage, one of them is Serat
Bratayuda. The text in the manuscript is known as derivative of Serat Bratayuda by Yasadipura I. Thus,
the text is derived from Kakawin Bhāratayuddha by Mpu Sedah and Mpu Panuluh. Through comparative
methods that compare images with text, it can be seen that there are images that different from the text.
The difference is caused by several factors, such as, the story of puppetry, the facts of life the community,
and the creativity of the illustrator.
Keywords: Kakawin Bhāratayuddha, Serat Bratayuda, wayang, Javanese literature.
PENDAHULUAN
Bhāratayuddha
merupakan
inti
dari cerita Mahabharata. Cerita itu
sangat populer bagi masyarakat Jawa.
Atas perintah Prabu Jayabhaya dari
Kediri, Mpu Sedah menggubah cerita
Bharatayuda itu dalam bentuk kakawin.
Karya tersebut terkenal dengan nama
Kakawin Bhāratayuddha. Kakawin
tersebut mulai ditulis pada tanggal
6 September 1157 (Zoetmulder,
1
1994:342). Disebabkan sesuatu hal,
Mpu Sedah tidak dapat menyelesaikan
karyanya. Untuk melanjutkannya, Prabu
Jayabaya menunjuk Mpu Panuluh. Mpu
Panuluh mulai melanjutkan Kakawin
Bhāratayuddha sejak Salya diangkat
menjadi senapati. Tepatnya mulai pupuh
33 (Wiryamartana, 1977:47).
Pada masa Surakarta, Yasadipura
I
menerjemahkan
Kakawin
Bhāratayuddha ke dalam bahasa Jawa
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
1
baru. Bentuknya pun diubah ke bentuk
puisi yang populer pada masa itu, yaitu
tembang macapat. Terjemahan karya
Yasadipura I itu disebut dengan Serat
Bratayuda.
Sebagai
interpretasi
karya
sebelumnya, Serat Bratayuda memiliki
alur cerita yang sama dengan Kakawin
Bhāratayuddha. Hanya ada beberapa
perbedaan kecil, seperti Abimanyu
yang bersenjata cakra dan kemunculan
beberapa
tokoh
baru.
Menurut
Poerbatjaraka
(1952:157—160),
perubahan itu karena Yasadipura I tidak
begitu memahami bahasa Jawa Kuno.
Pendapat tersebut pernah disanggah oleh
Kuntara Wiryamartana (1988) dengan
memberikan bukti bahwa Yasadipura
I piawai dalam bahasa Jawa Kuno dan
Sansekerta.
Perbedaan
pandangan
tersebut tidak dibahas dalam tulisan
ini. Hal tersebut hanya untuk memberi
gambaran adanya perbedaan kecil
antara Serat Bratayuda dan Kakawin
Bhāratayuddha. Meskipun demikian,
perlu ditegaskan bahwa alur cerita
Serat Bratayuda sama dengan Kakawin
Bhāratayuddha.
Serat Bratayuda karya Yasadipura
I tersebut berkali-kali disalin dan
diperbanyak. Naskah-naskah salinan
tersebut di antaranya ditemukan di
Keraton Yogyakarta. Serat Bratayuda di
Keraton Yogyakarta ditulis pada masa
Hamengku Buwana V. Teks tersebut
mulai disalin pada 24 September
1843 dan diakhiri pada 23 Januari
1844. Menurut Lindsay (1994:89),
teks tersebut berbeda dengan Serat
Bratayuda versi Yasadipura. Namun,
jika teks tersebut diamati, pendapat itu
sangat diragukan. Sebagian besar baitbait dalam Serat Bratayuda Keraton
Yogyakarta menunjukkan kesamaan
2
dengan versi Yasadipura, meskipun
masih banyak terjadi perbedaan. Namun,
mengingat tradisi penyalinan di Jawa—
yaitu seringkali penyalin menambah,
mengurangi, atau mengubah isi
naskah—maka perbedaan itu tidak bisa
dijadikan alasan bahwa teks tersebut
bukan salinan dari Serat Bratayuda
Yasadipura.
Persamaan-persamaan
yang ada dalam dua buah teks itu cukup
banyak untuk membuktikan bahwa
Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta
tersebut merupakan turunan dari Serat
Bratayuda karya Yasadipura I.
Selanjutnya, pada masa Hamengku
Buwana VII, Serat Bratayuda Keraton
Yogyakarta disalin kembali. Penyalinan
dimulai pada 7 Agustus 1902 dan
berakhir pada 14 Mei 1903 (Lindsay,
1994:89). Naskah terakhir tersebut
diangkat sebagai salah satu naskah
pusaka Keraton Yogyakarta. Naskah itu
dilengkapi dengan 242 ilustrasi wayang.
Ilustrasi tersebut dibuat dengan warnawarna yang indah dan melukiskan
rangkaian cerita dalam Baratayuda.
Wayang-wayang yang ditampilkan
merupakan wayang gaya Yogyakarta.
Akan tetapi, gambar yang terdapat
dalam naskah tersebut tidak selalu
mencerminkan cerita dalam teks. Hal itu
yang akan disoroti dalam penelitian ini.
Teks Serat Bratayuda Keraton
Yogyakarta pernah disoroti oleh
beberapa
peneliti
yaitu
Kasidi
Hadiprayitno (2004), Yuwono Sri
Suwito (2004), Haryana Harjawiyana
(2004), Marsono (2004), Hamim Ilyas
(2004), Moh Damami (2004), dan Simuh
(2004). Penelitian yang dilakukan, antara
lain, menyoroti tentang transformasi
teks Serat Bratayuda dari Kakawin
Bhāratayuddha, hubungannya dengan
masyarakat Jawa, dan sinkretismenya
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
dengan ajaran Islam. Hubungan teks
dengan ilustrasi tidak dibahas.
Hubungan teks dengan ilustrasi
dapat dimasukkan ke dalam resepsi.
Penelitian resepsi sastra pada dasarnya
merupakan penyelidikan reaksi pembaca
terhadap teks. Reaksi termaksud dapat
positif dan juga negatif (Endraswara,
2003:119). Dengan demikian, dalam
penelitian resepsi peranan pembaca
sangat penting, yaitu sebagai pemberi
makna teks sastra. Karya sastra hanya
artefak yang harus dihidupkan kembali
dan diberi makna oleh pembaca sehingga
menjadi objek estetik. Reaksi terhadap
teks sastra tersebut dapat berupa sikap
dan tindakan untuk memproduksi
kembali, menciptakan hal yang baru,
menyalin, meringkas, dan sebagainya
(Endraswara, 2003:119). Ilustrator
dalam naskah Serat Bratayuda termasuk
melakukan tanggapan atas teks yang
dibacanya sebelum menuangkannya
dalam bentuk gambar.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode komparatif.
Sumber data penelitian adalah Serat
Bratayuda yang merupakan naskah
pusaka Keraton Yogyakarta dengan
nomor W 24. Gambar dalam naskah
tersebut
diperbandingkan
dengan
teksnya. Berdasarkan perbandingan
tersebut diketahui perbedaan dari
keduanya sehingga dapat dilihat
perubahan yang dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu kelebihan naskah Serat
Bratayuda pusaka Keraton Yogyakarta
adalah dipenuhi gambar-gambar dengan
warna yang indah. Tidak dimungkiri
bahwa
gambar-gambar
tersebut
merupakan salah satu daya tarik naskah
tersebut. Dengan demikian, naskah ini
mirip dengan komik bergambar dengan
aneka warna.
Adegan dalam Ilustrasi Serat Bratayuda
Ilustrasi dalam Serat Bratayuda pada
dasarnya menggambarkan cerita dalam
teks tersebut. Terdapat 242 gambar yang
menjadi ilustrasi cerita. Pada paparan
ini, gambar-gambar itu dikelompokkan
berdasarkan episodenya. Penentuan
episode tersebut disesuaikan dengan
cerita wayang. Paparan ini juga
menggunakan istilah wayang, yaitu jejer
yang merujuk pada adegan pertemuan
untuk membahas sesuatu.
Cerita diawali dari peristiwa
sebelum perang yang sering disebut
dengan cerita Kresna Duta. Episode
tersebut menceritakan Kresna menjadi
utusan Pandawa ke Hastinapura untuk
mengupayakan
perdamaian.
Ada
enam belas gambar yang mendukung
episode ini. Dimulai dari adegan
jejer di Wirata (halaman 2—3),
keberangkatan Kresna diiringi Setyaki
(halaman 6—7), kedatangan para
dewa untuk mendampingi Kresna
(halaman 8—9), persiapan Kurawa
untuk menyambut Kresna (halaman
12—13), Patih Sangkuni menjelaskan
rencananya kepada Dursasana (halaman
16—17), kedatangan Kresna di istana
Hastina (halaman 24—25), Kresna
mengunjungi Kunti (halaman 28—
29), sesudah pertemuan Duryudana
menjumpai Banowati (halaman 32—
33), perundingan Kresna dengan
Kurawa (halaman 42—43), Kresna
terhina oleh Kurawa dan marah
sehingga berubah menjadi raksasa
(halaman 46—47), Batara Guru
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
3
membujuk Kresna sehingga berubah
menjadi bentuk semula (halaman 50—
51), Kresna mohon diri kepada Kunti
(halaman 56—57), Kedatangan Karna,
Yamawidura, Yuyutsuh, dan Senjaya
ke tempat Kunti (halaman 58—59),
Yamawidura, Yuyutsuh, Senjaya, dan
Karna mengantar Kresna ke perbatasan
Hastina (halaman 60—61), Kresna
membujuk Karna supaya membela
Pandawa, tetapi ditolak (halaman 62—
63), dan gambar terakhir adalah adegan
Karna bertemu Kunti selepas mengantar
Kresna (halaman 64—65).
Gambar-gambar
selanjutnya
menampilkan adegan persiapan perang.
Adegan-adegan tersebut terdapat pada
halaman 68—117. Terdapat dua puluh
gambar yang menceritakan episode
ini. Enam belas gambar menceritakan
persiapan dan keberangkatan pasukan
Pandawa. Sementara itu, empat gambar
lainnya menceritakan persiapan dan
keberangkatan pasukan Kurawa.
Gambar
yang
menceritakan
persiapan pihak Pandawa dimulai
dari jejer Pandawa di Wirata
(halaman
68—69).
Pertemuan
itu
membicarakan
keberangkatan
pasukan ke Kurusetra. Selanjutnya,
digambarkan keberangkatan pasukan
Pandawa dengan tokoh-tokohnya, yaitu
Werkudara (halaman 78—79), Arjuna
(halaman 80—81), Nakula dan Sadewa
(halaman 84–85), Wirasangka dan
Utara (halaman 86—87), Seta (halaman
88—89),
Dustajumena
(halaman
90—91), Drupada (halaman 92—93),
Drupadi (halaman 94—95), Sumbadra
dan Srikandi (halaman 96—97),
Yudistira (halaman 100—101), Kresna
(halaman 102—103), Setyaki (halaman
104—105), Abimanyu dengan kedua
istriya, yaitu Siti Sundari dan Dewi
4
Utari (halaman 106—107), Pancawala
(halaman 108—109), dan Gatotkaca
(halaman 110—111).
Selanjutnya adalah keberangkatan
Kurawa ke Kurusetra yang diawali
dengan adegan jejer Hastina (halaman
112—113).
Kemudian
persiapan
pasukan Kurawa di alun-alun (halaman
114—115),
keberangkatan
empat
panglima Hastina (halaman 116—117),
dan Kurawa yang dipimpin Duryudana,
Sangkuni, dan Dursasana (halaman
118—119).
Episode
selanjutnya
adalah
persiapan pertempuran di Kurusetra.
Terdapat
tujuh
gambar
yang
mengilustrasikan episode itu. Kisah ini
diawali gambar Setyaki diutus Pandawa
untuk berdiplomasi dengan Kurawa
(halaman 122—123). Selanjutnya,
Setyaki melaporkan tugasnya kepada
Pandawa (halaman 124—125). Pandawa
bersiap melakukan ritual korban manusia
(halaman 126—127). Ritual pembakaran
korban (halaman 128—129). Pandawa
mempersiapkan pasukan dengan formasi
garudha nglayang (halaman 130—131).
Sementara itu, Kurawa juga melakukan
ritual upacara korban manusia (halaman
132—133). Seperti Pandawa, Kurawa
juga mempersiapkan pasukan dengan
formasi wukir jaladri (halaman 134—
135).
Gambar selanjutnya menceritakan
pertempuran Baratayuda, yaitu episode
Seta gugur yang diceritakan dalam
sembilan gambar. Diawali dengan
permulaan pertempuran prajurit Pandawa
dan Kurawa (halaman 136—137),
Wirasangka dan Utara gugur (halaman
138—139), Seta mengamuk (halaman
140—141), Seta menghancurkan kereta
Bisma (halaman 144—145), Bisma
melarikan diri (halaman 146—147),
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
Seta gugur oleh panah Bisma (halaman
148—149), Mangsahpati dan permaisuri
menangisi kematian tiga putranya
(halaman 150—151), Pandawa datang
berbela sungkawa (halaman 152—153),
dan upacara perabuan jasad ketiga
pahlawan tersebut (halaman 154—155).
Berikutnya adalah episode Irawan
gugur. Kisah tersebut diceritakan dalam
empat gambar. Episode tersebut diawali
dengan gambar Dustajumena memimpin
pasukan Pandawa (halaman 156—157).
Bisma melepaskan panah (halaman
160—161). Kalasrenggi mengamuk
(halaman 162—163). Kalasrenggi
berhasil menangkap dan membunuh
Irawan (halaman 164—165).
Selanjutnya
adalah
episode
Bisma gugur. Episode ini dikisahkan
dalam tujuh gambar. Kisahnya masih
bersambung dengan episode Irawan
gugur. Episode ini diawali dengan
gambar Arjuna menghalangi Kresna
yang akan melepaskan senjata cakra
ke arah Bisma (halaman 166—167).
Selanjutnya, datang Srikandi memimpin
pasukan wanita sehingga para Kurawa
gembira melihatnya (halaman 168—
169). Srikandi didampingi Arjuna
menghadap Kresna (halaman 170—
171). Bisma bertempur melawan
Srikandi (halaman 172—173). Bisma
terbaring dengan tiga panah menancap
di tubuhnya dikelilingi Pandawa dan
Kurawa (halaman 174—175). Bisma
meminum air dari sebuah kendi kecil
(halaman 176—177). Episode ini ditutup
dengan gambar upacara perabuan jasad
Bisma (halaman 178—179).
Gambar selanjutnya menceritakan
episode Bogadenta gugur. Episode ini
dikisahkan dalam enam gambar. Pada
gambar pertama tampak Bogadenta
memimpin pasukan Kurawa (halaman
180—181). Selanjutnya, Werkudara
dan Arjuna melepaskan panah ke arah
musuh (halaman 182—183). Bogadenta
menyerang Arjuna (halaman 184—185).
Arjuna tidak sadarkan diri terkena panah
Bogadenta dikelilingi Kresna, Semar,
Gareng, dan Petruk (halaman 186—
187). Arjuna bersiap melepaskan panah
ke arah Bogadenta (halaman 188—189).
Bogadenta dan gajahnya tewas (halaman
190—191).
Berikutnya
adalah
episode
Abimanyu
gugur.
Episode
ini
diceritakan dalam dua puluh satu
gambar. Kisah tersebut dimulai dengan
jejer Hastina (halaman 192—193).
Selanjutnya, Gerdapati menantang
Arjuna (halaman 194—195). Wresaya
menantang Werkudara (halaman 196—
197). Gatotkaca menjemput Abimanyu
(halaman
198—199).
Abimanyu
berangkat ke medan perang (halaman
200—201). Abimanyu melepaskan
panah (halaman 202—204). Kurawa
mengeroyok
Abimanyu
(halaman
204—205). Lesmana Mandrakumara
melepaskan panah (halaman 206—207).
Lesmana Mandrakumara gugur (halaman
208—209). Jayajatra memimpin Kurawa
(halaman 210—211). Abimanyu dihujani
panah (halaman 212—213). Abimanyu
gugur (halaman 214—215). Gatotkaca,
Setyaki, dan Pancawala mengamuk
(halaman 216—217). Gerdapati tewas
di tangan Arjuna (halaman 218—219).
Keluarga Pandawa menangisi kematian
Abimanyu (halaman 220—221). Kresna,
Arjuna, dan Werkudara datang (halaman
222—223). Keluarga Kurawa menangisi
kematian Lesmana Mandrakumara
(halaman 224—225). Arjuna bersemadi
didatangi Batara Guru (halaman 228—
229). Siti Sundari berpamitan kepada
Utari untuk diperabukan bersama
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
5
Abimanyu (halaman 230—231). Siti
Sundari berpamitan kepada Sumbadra
dan Drupadi (halaman 232—233).
Upacara perabuan jasad Abimanyu
(halaman 234—235).
Berikutnya
adalah
episode
Burisrawa gugur. Episode tersebut
dikisahkan dalam tujuh gambar. Kisah
tersebut diawali dengan barisan pasukan
Kurawa bersiap maju perang (halaman
236—237). Arjuna dan Kresna mencari
keberadaan Jayajatra (halaman 238—
239). Burisrawa mengamuk (halaman
240—241). Setyaki bertempur melawan
Burisrawa (halaman 242—243). Setyaki
terdesak (halaman 244—245). Bahu
Burisrawa putus diterjang panah Arjuna
(halaman 246—247). Setyaki memanah
leher Burisrawa (halaman 248—249).
Setelah Burisrawa gugur, episode
selanjutnya adalah Jayajatra gugur.
Kisah tersebut dipaparkan dalam
delapan gambar. Gambar pertama adalah
pertempuran kedua pihak (halaman
250—251).
Selanjutnya,
terlihat
Jayajatra dijaga ketat (halaman 252—
253). Bagawan Sampyani melindungi
Jayajatra dengan magis (halaman 254—
255). Kresna menutupi matahari dengan
cakra (halaman 256—257). Para prajurit
membuat pancaka sebagai tempat
Arjuna membakar diri (halaman 258—
259). Pandawa dan Kurawa berkumpul
untuk menyaksikan Arjuna membakar
diri, Kresna menunjukkan tempat
persembunyian Jayajatra (halaman
260—261). Arjuna membentangkan
panah Pasopati (halaman 262—263).
Episode ini diakhiri dengan gambar
kepala Jayajatra terlempar ke arah
Bagawan Sampyani (halaman 264—
265).
Episode
selanjutnya
adalah
Gatotkaca gugur. Terdapat enam belas
6
gambar yang mengisahkan episode
ini yang diawali dengan gambar jejer
Hastina (halaman 266—267). Gambar
selanjutnya adalah Pratipeya gugur
(halaman 270—271). Kembali jejer
Hastina, Karna bersitegang dengan
Krepa dan Aswatama (halaman
272—273). Karna maju ke medan
perang (halaman 274—275). Kresna
memanggil
Gatotkaca
(halaman
276—277). Gatotkaca maju ke medan
perang (halaman 278—279). Gatotkaca
bertempur melawan Jatasura dan
Lembusana
(halaman
280—281).
Gatotkaca menewaskan Jatasura dan
Lembusana
(halaman
282—283).
Gatotkaca menewaskan Kalanasura
dan Kalasrenggi (halaman 284—285).
Pertempuran kembali berlangsung
seru (halaman 286—287). Karna
memanah Gatotkaca (halaman 288—
289). Gatotkaca mementahkan hujan
panah dari Karna (halaman 290—
291). Gatotkaca terkena panah Kunta
(halaman 292—293). Tubuh Gatotkaca
menjatuhi kereta Karna hingga hancur
(halaman 294—295). Kresna mencegah
Arjuna yang hendak melepaskan
Pasopati secara sembarangan (halaman
296—297). Episode ini ditutup dengan
upacara memperabukan jasad Gatotkaca
(halaman 300—301).
Selanjutnya adalah episode Durna
gugur. Ada lima belas gambar yang
menceritakan episode tersebut. Diawali
dari kisah Setyaki yang berhasil
membunuh Sestradarma (halaman 302—
303). Durna tetap perkasa meskipun
dikeroyok dan dihujani panah (halaman
304—305). Durna pingsan setelah
mendengar berita buruk (halaman 306—
307). Dustajumena memenggal kepala
Durna (halaman 308—309). Kepala
Durna dilemparkan ke arah Duryudana
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
(halaman 310—311). Aswatama marah
dan melepaskan Brahmastra, panah yang
menyemburkan api (halaman 312—
313). Dustajumena bersitegang dengan
Setyaki (halaman 314—315). Werkudara
di atas kereta diserang kobaran api dari
panah Aswatama (halaman 316—317).
Arjuna melepaskan panah Barunastra
untuk memadamkan api (halaman 318—
319). Episode Durna gugur diakhiri
dengan serangkaian penobatan dan
penghormatan. Berikutnya diceritakan
jejer Hastina menobatkan Karna menjadi
panglima perang (halaman 320—321).
Seorang menteri membujuk Karna agar
tidak maju ke medan perang (halaman
324—325). Kresna mengajak Yudistira
dan Arjuna ke Kurusetra untuk memberi
penghormatan kepada yang telah gugur
(halaman 326—327). Kresna, Yudistira,
dan Arjuna memberi penghormatan
kepada Durna (halaman 328—329).
Jasad Durna diperabukan di keretanya
(halaman 330—331). Arjuna, Yudistira,
dan Kresna bersamadi dan membakar
dupa (halaman 332—333).
Selanjutnya
adalah
episode
Dursasana gugur. Ada sebelas gambar
yang mengisahkan episode ini. Dimulai
dari jejer Pandawa, Arjuna diminta maju
menghadapi Karna (halaman 336—
337). Karna memimpin pasukan Kurawa
(halaman 338–339). Pandawa bersiap
dengan formasi wulan tumanggal
atau bulan sabit (halaman 340—341).
Pertempuran
berkobar
(halaman
344—345).
Setyaki
menunjukkan
kesaktiannya saat dikeroyok Kurawa
(halaman
348—349).
Duryudana,
Sangkuni, dan Kurawa berlari kocarkacir (halaman 350—351). Busur
Duryudana dihancurkan Werkudara
(halaman 352—353). Dursasana datang
memberikan pertolongan (halaman
354—355). Werkudara menyerang
Dursasana dan mengenai gajah
tunggangannya (halaman 356—357).
Dursasana dihajar Werkudara (halaman
358—359). Dursasana tewas di tangan
Werkudara (halaman 360—361).
Selanjutnya adalah episode Karna
tanding atau Karna gugur. Episode ini
merupakan kelanjutan dari Dursasana
gugur. Ada sepuluh gambar yang
mengisahkan pertempuran Arjuna
melawan Karna ini. Karna maju
ke medan perang dan melepaskan
berbagai macam panah magis (halaman
368—369). Dari panah tersebut keluar
makhluk jadi-jadian menyerang pasukan
Pandawa (halaman 370—371). Arjuna
melepaskan panah yang mengeluarkan
api (halaman 372—373). Api membakar
makhluk jadi-jadian (halaman 374—
375). Makhluk jadi-jadian habis terbakar
(halaman 376—377). Naga Ardawalika
menemui Karna untuk menawarkan
bantuan menghadapi Arjuna (halaman
378—379). Arjuna membunuh Naga
Ardawalika
(halaman
380—381).
Panah Karna mengenai gelung Arjuna
(halaman 382—383). Narada turun dari
Kahyangan memberi mahkota untuk
Arjuna (halaman 384—385). Karna
gugur terkena panah Pasopati (halaman
386—387).
Setelah Karna tanding, episode
selanjutnya adalah Salya gugur.
Terdapat dua puluh tujuh gambar
yang menceritakan episode tersebut.
Episode ini dimulai dari jejer Hastina,
Sangkuni mengusulkan Salya diangkat
sebagai panglima perang (halaman
390—391). Duryudana meminta Salya
menjadi panglima perang (halaman
394—395). Salya bersitegang dengan
Aswatama
(halaman
396—397).
Berganti jejer Pandawa, Nakula diminta
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
7
menemui Salya (halaman 398—399).
Nakula berangkat ke pesanggrahan
Salya (halaman 400—401). Tiba
di pesanggrahan, Nakula memeluk
kaki Salya (halaman 404—405).
Jejer Pandawa, Nakula menceritakan
kelemahan Salya (halaman 408—409).
Salya menghibur Setyawati yang sedang
bersedih (halaman 412—413). Salya
mencegah Setyawati yang hendak
bunuh diri dengan keris (halaman 414—
415). Salya memerintahkan menterinya
menyiapkan pasukan ke medan perang
(halaman 420—421). Salya berangkat
ke medan perang (halaman 422—423).
Pasukan Pandawa berangkat ke medan
perang (halaman 424—425). Werkudara
mengamuk
menghadapi
pasukan
Kurawa (halaman 426—427). Banyak
pasukan Kurawa yang tewas tertimpa
batu yang keluar dari panah Prabata
milik Arjuna (halaman 428—429). Salya
melepaskan panah ke udara (halaman
430—431). Arjuna dan Werkudara
melepaskan
panah
menghadapi
serangan Salya (halaman 432—433).
Salya mengeluarkan ajian berupa
raksasa Candabirawa (halaman 434—
435). Candabirawa menyerang pasukan
Pandawa (halaman 436—437). Kresna
membujuk Yudistira agar maju ke medan
perang (halaman 440—441). Yudistira
maju ke medan perang (halaman
442—443). Raksasa Candabirawa
memenuhi Kurusetra (halaman 444—
445). Yudistira melepaskan panah yang
mengeluarkan para raksasa berambut
api (halaman 446—447). Para raksasa
berambut api berkelahi dengan para
raksasa Candabirawa (halaman 448—
449). Salya melepaskan berbagai macam
panah magis (halaman 450—451).
Raksasa yang keluar dari panah Salya
mengejar pasukan Pandawa (halaman
8
452—453). Yudistira mengeluarkan
senjata pusaka Kalimasada (halaman
454—455). Salya gugur oleh Kalimasada
(halaman 456—457).
Episode
selanjutnya
adalah
Sangkuni gugur. Ada empat gambar
yang terdapat pada episode ini.
Setyaki, Dustajumena, dan Werkudara
mengamuk menyerang musuh (halaman
458—459). Duryudana dan pasukannya
lari kocar-kacir (halaman 460—461).
Sangkuni ditangkap oleh Werkudara
(halaman 462—463). Tubuh Sangkuni
dirobek-robek Werkudara (halaman
464—465).
Berikutnya
adalah
episode
Setyawati bela pati. Episode ini
dilengkapi lima gambar sebagai ilustrasi.
Setyawati menerima laporan gugurnya
Salya (halaman 466—467). Diiringi
dayang Sugandi, Setyawati berangkat ke
Kurusetra naik kereta (halaman 468—
469). Setyawati melanjutkan perjalanan
berjalan kaki dan beristirahat di bangkai
gajah (halaman 470—471). Setyawati
menemukan jasad Salya (halaman 474—
475). Setyawati dan Sugandi bunuh diri
menyusul Salya (halaman 478—479).
Episode
selanjutnya
adalah
Duryudana gugur. Ada sembilan
belas gambar yang menjadi ilustrasi
episode tersebut. Episode tersebut
dimulai dari gambar Duryudana pergi
ke tepi samudra (halaman 482—483).
Duryudana terjun ke laut (halaman
484—485). Banowati yang ditinggalkan
Duryudana sedang bersedih (halaman
486—487). Jejer Pandawa membahas
kepergian Duryudana (halaman 488—
489). Pasukan Pandawa mencari
Duryudana
(halaman
490—491).
Werkudara mengejek Duryudana yang
berada di laut (halaman 492—493).
Duryudana menjadi marah (halaman
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
494—495). Duryudana berhadapan
dengan para Pandawa (halaman 496—
497). Duryudana bersiap-siap memenuhi
tantangan Pandawa (halaman 498—
499). Kedatangan Baladewa (halaman
500—501). Werkudara dan Duryudana
siap berperang tanding (halaman 502—
503). Perang tanding dimulai (halaman
504—505). Kresna memberi tahu
Arjuna tentang kelemahan Duryudana
(halaman 506—507). Perang tanding
masih berlangsung, Arjuna memberi
isyarat kepada Werkudara (halaman
508—509). Duryudana jatuh terduduk
setelah dipukul pahanya (halaman
510—511). Baladewa marah melihat
kecurangan Werkudara (halaman 512—
513). Kresna menenangkan Baladewa
(halaman
514—515).
Kemarahan
Baladewa mereda (halaman 516—517).
Duryudana roboh sekarat (halaman
518—519).
Selanjutnya
adalah
episode
pembalasan Aswatama. Terdapat dua
puluh satu gambar yang menjadi ilustrasi
episode ini. Para Pandawa diajak Kresna
menenangkan diri di hutan (halaman
522—523).
Pemandangan
hutan
(halaman 524—525). Aswatama bertemu
Krepa dan Kartawarma (halaman 526—
527). Sementara itu, Banowati dan
Lesmanawati tengah berduka (halaman
528—529). Aswatama diikuti Krepa
dan Kartawarma menuju kubu Pandawa
(halaman
530—531).
Aswatama
membunuh Dustajumena dan Srikandi
yang sedang tidur (halaman 532—533).
Prajurit Pandawa menjadi gempar
(halaman 534—535). Pancawala gugur
saat melawan Aswatama (halaman
536—537). Kresna dan Pandawa masih
berada di hutan (halaman 538—539).
Seorang menteri melaporkan peristiwa
di kubu Pandawa (halaman 540—541).
Drupadi menangisi kematian anak dan
saudaranya (halaman 542—543). Resi
Palasara menghibur keluarga Pandawa
(halaman
544—545).
Pandawa
memburu Aswatama (halaman 548—
549). Pandawa menemukan Aswatama
(halaman 550—551). Aswatama bersiap
melepaskan panah Cundamani (halaman
552—553). Arjuna bersiap menangkis
dengan panah Sarotama (halaman 554—
555). Para dewa dipimpin Narada turun
mencegah dilepaskannya panah-panah
tersebut (halaman 556—557). Arjuna
mematuhi perintah Narada (halaman
558—559).
Aswatama
mematuhi
perintah Narada (halaman 560—561).
Narada
menyerahkan
Cundamani
kepada Arjuna (halaman 562—563).
Kresna mengutuk Aswatama, Krepa,
dan Kartawarma (halaman 564—565).
Episode terakhir adalah pascaperang
Baratayuda. Terdapat delapan gambar
yang menjadi ilustrasi peristiwa
tersebut. Rombongan Pandawa menuju
Hastina (halaman 566—567). Pandawa
memasuki istana Hastina (halaman
568—569). Jejer Pandawa di Hastina
(halaman 570—571). Arjuna bertemu
Banowati
(halaman
572—573).
Penobatan Yudistira menjadi raja
Hastina (halaman 578—579). Kresna
mengajar Nakula dan Sadewa (halaman
580—581). Semar bercanda dengan
Togog (halaman 586—587). Cerita
diakhiri dengan gambar jejer Pandawa
di Hastina (halaman 588—589).
Ilustrasi-ilustrasi
tersebut
menggambarkan cerita dalam teks. Akan
tetapi, jika dicermati, terdapat beberapa
perbedaan antara gambar dan teks. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
yang akan dipaparkan sebagai berikut.
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
9
Kreativitas Ilustrator
Seperti umumnya karya tradisional,
identitas pelukis atau ilustrator dalam
Serat Bratayuda tidak diungkapkan.
Salah satu kemungkinan adalah
ilustrator naskah tersebut merupakan
orang yang sama dengan penulis teks.
Akan tetapi, dapat juga orang lain.
Namun, yang jelas ilustrator merupakan
orang yang memahami cerita wayang di
Yogyakarta.
Cerita dalam Serat Bratayuda
merupakan adaptasi dari Kakawin
Bhāratayuddha. Oleh karena itu, kadang
terdapat perbedaan dengan tradisi
lisan. Misalnya, pada cerita pedalangan
Yogyakarta, Kresna yang bertriwikrama
menjadi Brahala mengamuk sehingga
banyak yang menjadi korban. Salah
satu korban adalah Destarata yang mati
terinjak raksasa itu. Akan tetapi, dalam
teks Serat Bratayuda Destarata masih
tetap hidup. Hal itu seperti cerita dalam
epos Mahābhārata maupun dalam
Kakawin Bhāratayuddha.
Perbedaan
cerita
juga
mengakibatkan ada tokoh dalam Serat
Bratayuda yang tidak terdapat dalam
tradisi lisan, misalnya Yuyutsuh. Dalam
epos Mahabhārata, Yuyutsuh berasal
dari pihak Kurawa yang membelot
membela Pandawa. Dalam tradisi
lisan Yogyakarta, tokoh pembelot itu
diperankan oleh Senjaya yang kemudian
gugur oleh Karna. Gambar Yuyutsuh
muncul dalam Serat Bratayuda pada
saat mengantar Kresna ke perbatasan
Wirata. Karena tokoh tersebut tidak
terdapat dalam tradisi lisan pedalangan
Yogyakarta, kemungkinan gambar
tokoh
Yuyutsuh
dalam
naskah
merupakan kreativitas ilustrator. Tokoh
10
Yuyutsuh digambarkan berwujud seperti
Arjunasasrabahu muda.
Kreativitas ilustrator yang lain
adalah kemunculan dua orang satria
yang mirip dengan putra Arjuna. Satu
tokoh mirip dengan Abimanyu dan yang
lain mirip Irawan. Kedua tokoh tersebut
muncul pada masa-masa akhir perang
Baratayuda, yaitu sejak Abimanyu
gugur sampai cerita berakhir. Dua satria
tersebut terlihat mendampingi Kresna
dan Pandawa ke hutan untuk berprihatin.
Padahal dalam teks tidak diceritakan
tokoh lain yang menyertai mereka.
Bahkan, tokoh seperti Pancawala tidak
ikut Pandawa.
Kreativitas ilustrator juga terlihat
pada halaman 80—81. Halaman tersebut
menggambarkan keberangkatan Arjuna
ke Kurusetra dengan mengendarai kereta
perang. Prajurit di depannya membawa
panji-panji bergambar Hanoman, seekor
kera putih pada cerita Ramayana.
Dalam teks tidak disebutkan tokoh
Hanoman. Hanya disebutkan bahwa
Arjuna membawa panji bergambar
kera (tunggule kumlab aciri wenara
mangap
mangrik
‘panji-panjinya
mengilap bertanda kera membuka
mulut menjerit’). Dengan demikian,
penggambaran panji-panji dengan
tokoh Hanoman merupakan interpretasi
ilustrator.
Namun, ada beberapa gambar
yang terlihat tidak konsisten. Salah satu
contohnya, pakaian yang dikenakan
tokoh dapat berbeda corak padahal masih
dalam satu fragmen. Misalnya, Durna
mengenakan baju lurik saat bertempur
menjelang ajalnya, tetapi waktu malam
saat dikremasi baju yang dikenakannya
adalah batik. Demikian juga, Bisma yang
terbaring menjelang ajal, pada halaman
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
174 mengenakan baju lurik, tetapi pada
halaman 176 memakai baju batik.
Mengenai baju yang dikenakan
Bisma, ada hal menarik ditemukan dalam
ilustrasi Serat Bratayuda ini. Sebelum
perang Baratayuda, penampilan Bisma
selalu bertelanjang dada. Hanya ada kain
yang disampirkan di pundak sebagai
penanda seorang resi. Akan tetapi,
selama perang Baratayuda berlangsung,
Bisma selalu memakai baju, celana
panjang, dan bersepatu.
Contoh ketidakkonsistenan ilustrasi
lainnya adalah pada saat adegan Karna
bertanding. Dalam pertempuran tersebut
diceritakan Arjuna terpanah gelung
rambutnya dan menjadi terurai. Karena
malu, Arjuna tidak mau melanjutkan
pertempuran. Narada turun memberikan
mahkota kepada Arjuna. Pemberian
mahkota itu digambarkan pada halaman
384. Akan tetapi, di halaman tersebut dan
di halaman berikutnya rambut Arjuna
kembali bergelung. Ia tidak memakai
mahkota seperti diceritakan dalam teks.
Selain itu, dalam perang Baratayuda
Kresna dan Salya berperan menjadi
kusir. Kresna menjadi kusir Arjuna dan
Salya menjadi kusir Karna. Akan tetapi,
dalam gambar Kresna dan Salya tidak
pernah digambarkan menjadi kusir.
Mereka selalu duduk di dalam kereta di
samping orang yang dikusiri. Sebagai
gantinya, ada orang lain yang bertugas
menjadi kusir duduk di depan mereka.
Penggambaran yang tidak sesuai
dengan teks lainnya adalah saat Arjuna
kesulitan ketika berusaha membalas
dendam kepada Jayajatra karena tokoh
dari Kurawa itu bersembunyi. Untuk
mengatasi hal itu, dalam teks disebutkan
bahwa Kresna melepaskan senjata cakra
untuk menutupi matahari. Akan tetapi,
gambar di halaman 257 terlihat Kresna
terbang untuk menutupi matahari
dengan cakra. Ia memegang senjatanya
diacungkan ke atas untuk menutupi
matahari. Gambar Kresna yang terbang
menutupi matahari kemungkinan hanya
untuk menegaskan peran raja Dwarawati
tersebut.
Perbedaan yang lain disebabkan
kesulitan
ilustrator
untuk
menggambarkan
suatu
peristiwa,
misalnya pada saat Narada turun melerai
Pandawa dengan Aswatama. Narada
diiringi para dewa turun ke bumi.
Pada halaman 556—557 terlihat lima
dewa turun dari langit. Paling depan
adalah Narada. Ia berada paling bawah.
Selanjutnya di belakangnya, ada empat
dewa. Dalam teks disebutkan bahwa
para dewa yang mengiringi Narada itu
berjumlah jutaan. Dalam gambar hanya
terlihat empat dewa yang mengiringi
Narada. Itu adalah contoh kreativitas
ilustrator Serat Bratayuda. Selain itu,
masih terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi
perbedaan
gambargambar tersebut.
Fakta Kehidupan Masyarakat
Gambar yang terdapat dalam Serat
Bratayuda adalah wayang gaya
Yogyakarta. Oleh karena itu, beberapa
tokoh wayang digambarkan memakai
baju. Ketika berangkat ke Kurusetra
Srikandi mengenakan baju militer.
Bisma dan Durna mengenakan baju
Jawa, baik itu bermotif batik maupun
lurik. Dapat dipastikan bahwa baju-baju
yang dikenakan tersebut sesuai dengan
fakta yang terdapat pada waktu itu. Baju
batik atau lurik merupakan baju Jawa.
Selain itu, terlihat para prajurit membawa
panji-panji yang bergambar seperti
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
11
panji prajurit Keraton Yogyakarta.
Hal tersebut memberikan informasi
bahwa pembuatan gambar tersebut juga
dipengaruhi fakta kehidupan pada saat
itu, terutama kehidupan prajurit.
Pengaruh fakta kehidupan pada
waktu itu juga tampak pada gambar
masyarakat kecil dan prajurit yang ada
pada teks. Contohnya adalah kesibukan
prajurit bersiap ke medan perang yang
dilakukan pihak Pandawa (halaman
74—75) dan Kurawa (halaman
116—117). Pada gambar tersebut
diceritakan kesibukan prajurit, misalnya
mempersiapkan perbekalan dan senjata.
Ada juga prajurit yang menenangkan
kuda mengamuk. Di antara hiruk
pikuk para prajurit itu terdapat penjual
makanan di tengah alun-alun (halaman
74—75). Di tengah medan perang
ada prajurit yang menyempatkan diri
merokok dan berbagi api (halaman 296).
Ada juga gambaran prajurit raksasa
Pringgadani berangkat ke Kurusetra
sambil membawa botol minuman keras
(halaman 110—111).
Jika dicermati, pada gambargambar tersebut tampak pula pengaruh
kebudayaan Barat dan modern.
Salah satu contohnya adalah pakaian
yang dikenakan. Pada saat naskah
ditulis, Nusantara masih dalam masa
pemerintahan kolonial Belanda. Hal
itu juga terlihat dalam ilustrasi. Sering
didapati prajurit berpakaian militer
ala Eropa, misalnya pada pengiring
Kresna (halaman 6—7), Dustajumena
(halaman 90—91), dan pasukan wanita
pimpinan Srikandi (halaman 96—97,
169). Bahkan, Srikandi juga memakai
pakaian prajurit Eropa. Pakaian Barat
juga dikenakan oleh kusir dan pengurus
kuda, misalnya kusir Arjuna (halaman
80—81), Duryudana (halaman 118—
12
119), Salya (halaman 430—431, 434—
435), dan Setyawati (halaman 468).
Selain pakaian, ada persenjataan
prajurit yang merupakan produk budaya
modern. Senjata-senjata modern yang
digunakan adalah meriam dan senapan.
Senjata meriam terlihat beberapa kali
(halaman 74—75, 114—115, 126—
127, 134—135, 180—181, 236—237).
Beberapa tokoh diiringi oleh pasukan
senapan. Pasukan senapan itu, misalnya
pasukan Nakula–Sadewa (halaman
84—85), Seta (halaman 88—89),
Dustajumena
(halaman
90—91),
Drupada (halaman 92—93), Abimanyu
(halaman
106—107),
Pancawala
(halaman 108—109), dan pasukan
Pandawa (halaman 424—425).
Ilustrasi yang menggambarkan
budaya Barat tersebut sejalan dengan isi
teks. Salah satu contohnya, dalam Serat
Bratayuda tertulis dalam jamuan makan
disediakan sendok dan garpu.
Isining meja supenuh,
mas nampan amarik marik,
peso sendhok porok rukma,
kembar mayang mas winangling,
pekakas meja sanekya,
sarweca sri warni warni.
Mangsak sayur roti keju,
buwah suklat puwan ertih,
kumelun mangalad alad,
amleng bebau giyanggi,
retu ambuning nginuman,
arak adas lan brendhuwin.
Anggur sake merah wungu,
arak api lawan kenit,
jenewer arak weragi,
munggeng dhedhasar miranti,
adha dhi nampan kencana,
kang ngampil lestari restri (Serat
Bratayuda, hlm. 26; pupuh 4:25—27)
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
‘Isi meja sangat penuh,
nampan emas berderet-deret,
pisau sendok garpu emas,
hiasan berupa kembar mayang
bersepuh emas,
perkakas meja semuanya,
serba enak, indah berwarna-warni.’
‘Masakan sayur, roti, keju,
buah coklat susu air putih,
semerbak menyebar,
aroma harum wangi,
harum aroma minuman,
arak adas dan brenduwin.’
‘Anggur, sake merah, ungu,
arak api dan kenit,
genever arak weragi,
berada di alas yang melengkapi,
ada di nampan emas,
yang membawa wanita perawan.’
Pada kutipan tersebut terlihat
perkakas makan yang biasa digunakan
orang Eropa, misalnya sendok, pisau,
dan garpu. Selain itu, ada beberapa
makanan orang Eropa, misalnya roti dan
keju. Di samping itu ada juga disebutkan
beraneka macam minuman keras, seperti
genever, brendwin, sake, dan anggur.
Selain makanan dan perkakas,
dalam teks juga diceritakan tentang
penggunaan senapan seperti kutipan
berikut.
Medal sangking gedhong tangsi,
majibeg memepeti marga,
sumektatrasning prang popor,
parentah Prabu Ngastina,
pan kinon berubuha,
Dwarawati Prabu tamu,
ganjur watang ting therathak.
Patrum tras ngiseni bedhil,
mukswaleng mas keti tiktak,
pating kalesik swarane,
ceklak ceklik ting karengsreng,
jawilan kekejepan,
tudang tuding tuduh tuduh,
gedhek gedhek thuk anthukan
(Serat Bratayuda, hlm. 44; pupuh
6:52—53)
‘Para prajurit keluar dari asrama
militer.
jumlah mereka sangat banyak
sehingga menutupi jalan.
mereka bersiap-siap untuk perang
popor.
Duryudana sudah memerintahkan
untuk bertempur habis-habisan
dengan para tamu yang dipimpin
Kresna.
suara berisik senjata seperti ganjur
dan watang segera terdengar.’
‘Terdengar pula suara orang
mengisi senapan
dengan mesiu.
suaranya sangat pelan
hanya terdengar ceklak-ceklik.
(mereka hanya saling memberi
isyarat) dengan mencolek
mengedipkan mata,
jarinya menunjuk memberi tahu,
mengangguk atau menggeleng.’
Pada kutipan tersebut secara
eksplisit disebutkan bedhil ‘senapan’.
Disebutkan juga kata tiktak yang
diperkirakan merupakan salah satu jenis
senapan. Dengan demikian, Baratayuda
mengalami perubahan, disesuaikan
dengan keadaan pada saat itu.
Pengaruh Cerita Pedalangan
Mahabharata tidak hanya berkembang
dalam bentuk tulis, tetapi juga secara
lisan. Tradisi lisan itu mengakibatkan
cerita mengalami perubahan, baik
besar maupun kecil. Salah satu akibat
perkembangan tradisi lisan adalah
munculnya cerita-cerita carangan,
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
13
yaitu cerita yang tidak terdapat dalam
Mahabharata Sanskerta.
Salah satu pengaruh tradisi lisan
adalah munculnya Punakawan yaitu
Semar, Gareng, Petruk, Togog, dan
Tembilung. Para Punakawan tersebut
tidak
dijumpai
dalam
Kakawin
Bhāratayuddha maupun Mahabharata
Sanskerta. Akan tetapi, para Punakawan
itu diceritakan dalam teks Serat
Bratayuda
Keraton
Yogyakarta.
Kemunculan para Punakawan tersebut
dimungkinkan berasal dari tradisi lisan
yang juga berkembang pada saat Serat
Bratayuda ditulis. Tokoh Punakawan
yang hanya menampilkan Semar, Gareng,
dan Petruk menunjukkan pengaruh
cerita wayang gaya Yogyakarta.
Pada masa awal pascaperjanjian
Giyanti, Surakarta dan Yogyakarta
mengembangkan keseniannya masingmasing. Yogyakarta menggunakan
Semar, Gareng, dan Petruk. Sementara
itu, Surakarta menggunakan pasangan
Semar dan Bagong sebagai Punakawan
(Sajid, 1958:47—48). Para Punakawan
tersebut terdapat dalam teks dan muncul
juga dalam ilustrasi.
Pengaruh
cerita
pedalangan
terhadap Serat Bratayuda yang lain
adalah kematian Bisma. Dalam Kakawin
Bhāratayuddha maupun teks Sansekerta,
Bisma tetap hidup sampai Baratayuda
berakhir. Ia menyaksikan perang saudara
itu sambil tubuhnya disangga panah
yang menancap di sekujur tubuhnya.
Sementara itu, dalam cerita Baratayuda
yang berkembang di Jawa, Bisma tidak
perlu menunggu sampai perang berakhir.
Ia meninggal pada hari itu juga. Panah
yang menancap di tubuhnya pun tidak
sampai memenuhi tubuhnya. Malam itu
juga jasad Bisma diperabukan seperti
tergambar di halaman 178.
14
Perubahan selanjutnya adalah
kematian Drupada dan Mangsahpati.
Dalam Kakawin Bhāratayuddha kedua
tokoh tersebut tewas saat bertempur
melawan Durna. Dalam Serat Bratayuda
kedua raja itu masih tetap hidup, sama
seperti cerita yang beredar dalam cerita
pedalangan di Yogyakarta.
Pengaruh tradisi lisan atau cerita
pedalangan dapat dilihat juga pada
visualisasi tokoh Seta. Sebelum
Baratayuda, Seta selalu digambarkan
menunduk (ruruh), tetapi setelah
memasuki
perang
wajah
Seta
digambarkan mendongak (lancap).
Perubahan tokoh Seta tersebut terjadi
dalam pementasan wayang gaya
Yogyakarta.
Hal lain yang secara tidak
langsung menunjukkan pengaruh cerita
pedalangan juga terdapat pada halaman
116—117. Pada halaman tersebut
digambarkan keberangkatan pasukan
Kurawa menuju Kurusetra. Para
pemimpin Kurawa menaiki keretanya
masing-masing. Bisma berada yang
paling depan kemudian diikuti oleh
Karna, Durna, dan Salya. Susunan
itu mengingatkan kepada urutan
panglima perang Kurawa menurut versi
pedalangan Yogyakarta. Menurut versi
Yogyakarta, panglima besar Kurawa
secara berturut-turut adalah Bisma,
Karna, Durna, dan Salya. Urutan tersebut
berbeda dengan Baratayuda, baik yang
terdapat dalam versi Sanskerta, Kakawin
Bhāratayuddha, maupun dalam Serat
Bratayuda. Pada semua teks itu urutan
panglima perang Kurawa adalah Bisma,
Durna, Karna, dan Salya.
Pengaruh cerita pedalangan kadang
menimbulkan perbedaan dengan teks.
Salah satu contohnya adalah kemunculan
Patih Udawa. Tokoh tersebut adalah
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
Patih Kerajaan Dwarawati. Dalam
cerita pedalangan tokoh Udawa sangat
berperan di pertempuran Baratayuda.
Bersama dengan Setyaki, Udawa
sering muncul memimpin pasukan dari
pihak Pandawa. Dalam naskah Serat
Bratayuda, tokoh itu digambarkan di
halaman 103 saat mengiringi Kresna ke
Kurusetra. Pada halaman 156 Udawa
terlihat menjadi salah satu pimpinan
barisan Pandawa bersama Setyaki. Akan
tetapi, nama Udawa tidak pernah muncul
dalam teks. Nama itu juga tidak disebut
dalam Kakawin Bhāratayuddha.
Perbedaan lain antara teks dan
gambar adalah kematian Gatotkaca. Saat
berhadapan dalam pertempuran, Karna
melepaskan senjata Kunta dan mengenai
dada Gatotkaca. Peristiwa itu dituliskan
dalam teks sebagai berikut.
Betyas Narpati Ngawangga,
dening sirna senjata sedaya wis,
marma ngres tyas kasusu,
sigra anyandhak kunta,
duk pinenthang larase sru kunta murub,
lumepas kunta tumama,
mring jaja sang Bimasiwi
(Serat Baratayuda halaman 293,
Pupuh 33 bait 12—13).
‘Raja Awangga (Karna) kecewa,
karena semua senjatanya sudah habis,
itu sebabnya hatinya panik dengan
tergesa,
segera mengambil Kunta,
saat busurnya dibentangkan dengan
keras senjata Kunta menyala,
dilepaskan Kunta mengenai,
ke dada sang anak Bima (Gatotkaca)’.
Terlihat pada kutipan tersebut
senjata Kunta dilepaskan Karna dan
menembus dada Gatotkaca. Bunyi teks
tersebut serupa dengan yang diceritakan
dalam Kakawin Bhāratayuddha berikut.
Kepwan saŋ nṛpa Karṇa de ni larut
iŋ sarwāstra tan pamyati
hah wiṣṭy āku pĕjah tĕkapmu liŋ
ireŋ twas martrĕsārĕs mulat
nāhan marma nira n panambut
irikaŋ konta sĕḍĕŋ bhāswara
yekiŋ Pāṇḍawawaŋśa liŋ nira tĕhĕr
maŋduk Hiḍimbyatmaja
Tandwa trus ḍaḍa saŋ Ghaṭotkaca
wawaŋ mūrchā maŋӧ sakṣaṇa
(Supomo, 1993:100—101).
‘Cemas sang Raja Karna oleh
habisnya semua senjata tidak
berguna
“Hah, celaka aku mati olehmu”
katanya dalam hati dengan was-was
melihatnya
itu sebabnya saat itu ia mengambil
Konta yang tengah menyala
“Ya, ini untuk keluarga Pandawa”
katanya kemudian membidik putra
Hidimbi
Tidak berselang tembus ke dada sang
Gatotkaca yang tidak takut mati’
Dengan demikian, terlihat bahwa
teks Serat Baratayuda naskah Keraton
Yogyakarta
mengikuti
Kakawin
Bhāratayuddha. Akan tetapi, hal itu
berbeda dengan gambar ilustrasi pada
halaman 292 pada naskah tersebut.
Dalam gambar terlihat Gatotkaca
terbang di angkasa dengan sebuah
panah menancap di pusarnya. Gambar
tersebut cenderung berpihak pada cerita
di pedalangan. Dalam cerita pedalangan,
senjata Kunta masuk ke dalam pusar
Gatotkaca untuk bersatu dengan
sarungnya karena memang, di pusar
Gatotkaca tersimpan sarung senjata
Kunta. Hal tersebut diceritakan dalam
kisah Gatotkaca Lahir, yaitu saat sarung
senjata Kunta masuk ke dalam pusarnya
setelah dipakai untuk memotong tali
pusar Gatotkaca saat masih bayi.
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
15
Perbedaan lain adalah bentuk
senjata Salya, yaitu Candhabirawa.
Senjata tersebut tertulis sebagaimana
kutipan berikut.
Dadya kroda nira Sang Dipati Salya,
sarosa ing ajurit,
pra Candhabirawa,
winatak wus minantran,
lumepas sigra umijil,
ditya sayuta,
telung yuta nusuli (Serat Bratayuda,
halaman 434—435, pupuh 58 bait 6)
‘Sang Adipati Salya menjadi marah,
sekuat tenaga dalam bertempur,
pra Candhabirawa,
sudah diwujudkan dan diberi mantra,
dilepaskan segera keluar,
raksasa satu juta,
disusul lagi tiga juta.’
Bayak tibane kang panah sami,
nata Mandraka mempeng sarosa,
menthang langkap sru kurdane,
Candhabirawa gupuh,
inguculken mantra pinusthi,
wetuning kang denawa,
ageng ageng pungkur,
miwah galak galak samya,
amrih mungsuh kang keparag larut
ngisis,
keh longe wadya pejah (Serat
Bratayuda, halaman 447—448,
pupuh 59 bait 6)
‘Berhamburan jatuhnya panah itu,
Raja Mandraka dengan semangat
sekuat tenaga,
membentangkan busur sangat marahnya,
Candhabirawa segera,
dilepaskan disertai mantra,
keluar raksasa,
besar-besar membelakangi,
dan semua galak-galak,
berusaha agar musuh yang datang mati
hancur,
banyak berkurangnya prajurit karena
tewas.’
16
Dalam teks tersebut terlihat bahwa
Candhabirawa adalah nama panah yang
dapat mengeluarkan jutaan raksasa.
Hal itu berbeda dengan ilustrasi. Pada
halaman 434—435 Salya bersemadi
di atas keretanya. Di depan keretanya
dikelilingi raksasa berbentuk mirip
berjalan menuju ke arah Pandawa. Dari
gambar tersebut dapat diperkirakan
bahwa Candhabirawa merupakan nama
ajian yang keluar dari tubuh Salya. Ajian
Candhabirawa adalah ajian Salya yang
berupa raksasa. Jadi, berbeda dengan
teksnya, ilustrasi tersebut dipengaruhi
oleh cerita yang beredar di dunia
pedalangan, yaitu Candhabirawa adalah
nama ajian.
Pertempuran
antara
Salya
dan Yudistira berlanjut dengan
dikeluarkannya Pusaka Kalimasada.
Dalam pewayangan, Pusaka Kalimasada
berwujud surat. Akan tetapi, menurut
versi Kakawin, Kalimasada berwujud
mantra yang berubah menjadi tombak
yang kemudian menghabisi nyawa Salya.
Sementara itu, dalam Serat Bratayuda
tidak disebutkan secara rinci. Hanya
dikatakan bahwa Yudistira melempar
Kalimasada dan mengenai dada
Salya. Kalimasada menghisap darah
Salya hingga tewas. Dalam ilustrasi
digambarkan Salya tewas dengan sebuah
amplop di dadanya. Amplop tersebut
merupakan layang ‘surat’ Kalimasada.
Dari gambar itu terlihat bahwa ilustrasi
mengacu pada cerita pewayangan
daripada versi kakawin.
Transformasi Kalimasada dari
Kakawin Bhāratayuddha ke Serat
Bratayuda pernah dibahas oleh
Marsono (2004:185—192; 2012:31—
36). Menurut Marsono, perubahan
tersebut karena pengaruh agama
Islam. Akulturasi Islam dan Hindu
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
mengakibatkan perubahan konsep
Kalimasada (Marsono, 2004:192).
PENUTUP
Kisah Baratayuda memiliki sejarah
yang panjang. Kisah itu melalui
beberapa fase, yaitu cerita India yang
ditransformasi ke Jawa. Selanjutnya,
cerita tersebut berkembang melalui
dua arus, yaitu tradisi lisan dan tradisi
tulis. Kedua tradisi tersebut bergerak
sehingga tercipta beberapa cabang.
Cabang tradisi lisan antara lain gaya
Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Jawa
Banyumasan, dan gaya Jawa Timur.
Tradisi-tradisi itu memiliki perubahan
yang kadang sangat jauh berbeda dari
cerita aslinya. Sementara itu, tradisi
tulis mengalami perubahan relatif lebih
sedikit bila dibandingkan dengan tradisi
lisan. Oleh karena itu, cerita dalam teksteks tulis lebih dekat kepada Kakawin
Bharatayuddha.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat
diketahui bahwa pembuatan ilustrasi
teks Serat Baratayuda naskah pusaka
Keraton
Yogyakarta
dipengaruhi
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah fakta kehidupan pada saat itu,
teks Serat Baratayuda yang berasal dari
Kakawin Bharatayuddha, dan cerita
pewayangan dari tradisi lisan. Semua
faktor itu diolah ilustrator dengan
kreativitasnya.
Pada cerita pedalangan Yogyakarta,
Brahala mengamuk sehingga banyak
yang menjadi korban. Di antaranya
adalah Destarata yang mati terinjak
raksasa itu. Akan tetapi, dalam teks
Serat Bratayuda Destarata masih tetap
hidup seperti dalam epos Mahābhārata
maupun dalam Kakawin Bhāratayuddha.
Sebaliknya, Mangsahpati dan Drupada
dalam Mahābhārata maupun dalam
Kakawin Bhāratayuddha tewas oleh
Durna. Akan tetapi, dalam Serat
Bratayuda kedua raja tersebut tetap
hidup seperti dalam cerita pedalangan
Yogyakarta.
Perbedaan-perbedaan
tersebut
mengakibatkan ada gambar yang tidak
sesuai dengan teks. Perbedaan itu terjadi
karena pengaruh faktor-faktor tersebut.
Hal itulah yang membuat naskah Serat
Bratayuda menjadi unik.
DAFTAR PUSTAKA
Damami, Mohammad. 2004. “Serat
Brangtayuda:
Tinjauan
dari
Sudut Aktualitas Isi” dalam
Bharatayudha: Dimensi Religi dan
Budaya dalam Serat Bratayuda.
Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan
Kalijaga.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra: Epistemologi,
Model. Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hadiprayitno, Kasidi. 2004. “Dari
Serat Brangtayuda sampai dengan
Bratayuda: Tradisi Pewayangan
Yogyakarta” dalam Bharatayudha:
Dimensi Religi dan Budaya dalam
Serat Bratayuda. Yogyakarta:
YKII-IAIN Sunan Kalijaga.
Harjawiyana, Haryana. 2004. “Serat
Brangtayuda (Naskah Keraton
Yogyakarta): Tinjauan Aspek
Sastra dan Ajaran Khusus” dalam
Bharatayudha: Dimensi Religi dan
Budaya dalam Serat Bratayuda.
Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan
Kalijaga.
Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana)
17
Ilyas, Hamim. 2004. “Sinkretisme
dan Ajaran Islam dalam Serat
Bratayuda” dalam Bharatayudha:
Dimensi Religi dan Budaya dalam
Serat Bratayuda. Yogyakarta:
YKII-IAIN Sunan Kalijaga.
Lindsay, Jennifer dkk. 1994. Katalog
Induk Naskah-naskah Nusantara
Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Marsono. 2004. “Kalimasada dalam
Teks Bratayuda: Analisis Semiotik”
dalam Bharatayudha: Dimensi
Religi dan Budaya dalam Serat
Bratayuda. Yogyakarta: YKIIIAIN Sunan Kalijaga.
_______. 2012. “Sastra Jawa Kuna
Sebagai Sumber Sastra Nusantara:
Jawa Baru” dalam Suastika, I Made
dan I Wayan Sukartha. Sastra Jawa
Kuna: Refleksi Dulu, Kini, dan
Tantangan ke Depan. Denpasar:
Cakra Press.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan
Djawi. Jakarta: Djambatan.
Sajid, R.M. 1958. Bauwarna Kawruh
Wajang Djilid 2. Surakarta: Widya
Duta.
Simuh. 2004. “Serat Bratayuda dan
Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa”
dalam Bharatayudha: Dimensi
Religi dan Budaya dalam Serat
Bratayuda. Yogyakarta: YKIIIAIN Sunan Kalijaga.
Suwito, Yuwono Sri. 2004. “Serat
Bratayudha
Naskah
Keraton
Ngayogyakarta: Kajian Aspek
Budaya dan Perbandingan dengan
Serat Bratayudha Lain” dalam
Bharatayudha: Dimensi Religi dan
Budaya dalam Serat Bratayuda.
Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan
Kalijaga.
18
Supomo, S. 1993. Bhāratayuddha: An
Old Javanese Poem and Its Indian
Sources. New Delhi: International
Academy of Indian Culture and
Aditya Prakashan.
Wiryamartana, I. Kuntara. 1977.
“Salyawadha: Tinjauan Tentang
Hubungan Kakawin Bhāratayuddha
dengan
Mahabharata”.
Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______.
1988.
“Transformasi
Wiracarita Mahabarata Dalam
Pewayangan (II)” dalam Citra
Yogya nomor 003 tahun I.
Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan:
Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang. Diterjemahkan oleh Dick
Hartoko. Jakarta: Djambatan.
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18
Download