HUBUNGAN TEKS DAN ILUSTRASI DALAM SERAT BRATAYUDA NASKAH PUSAKA KERATON YOGYAKARTA *) (Relationship of Text and Illustrations in Serat Bratayuda Manuscript of Yogyakarta Palace Inheritance) Oleh/By: Kustri Sumiyardana Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya, Mangunharjo Tembalang, Semarang Telepon 024-76744357, 70769945; Faksimile 024-76744358, 70799945 [email protected] Pos-el: [email protected] *) Diterima: 4 Februari 2017, Disetujui: 25 April 2017 ABSTRAK Di Keraton Yogyakarta terdapat beberapa naskah yang dijadikan pusaka, salah satunya adalah Serat Bratayuda. Teks dalam naskah tersebut diketahui merupakan turunan dari Serat Bratayuda karya Yasadipura I. Dengan demikian, naskah tersebut bersumber dari Kakawin Bhāratayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Melalui metode komparatif yang membandingkan gambar dengan teks, dapat diketahui bahwa ada gambar yang tidak sesuai dengan teksnya. Perbedaan itu diakibatkan beberapa faktor, antara lain, cerita pedalangan, fakta kehidupan masyarakat, dan kreativitas ilustrator. Kata kunci: Kakawin Bhāratayuddha, Serat Bratayuda, wayang, sastra Jawa. ABSTRACT In the Palace of Yogyakarta there are several manuscripts that became heritage, one of them is Serat Bratayuda. The text in the manuscript is known as derivative of Serat Bratayuda by Yasadipura I. Thus, the text is derived from Kakawin Bhāratayuddha by Mpu Sedah and Mpu Panuluh. Through comparative methods that compare images with text, it can be seen that there are images that different from the text. The difference is caused by several factors, such as, the story of puppetry, the facts of life the community, and the creativity of the illustrator. Keywords: Kakawin Bhāratayuddha, Serat Bratayuda, wayang, Javanese literature. PENDAHULUAN Bhāratayuddha merupakan inti dari cerita Mahabharata. Cerita itu sangat populer bagi masyarakat Jawa. Atas perintah Prabu Jayabhaya dari Kediri, Mpu Sedah menggubah cerita Bharatayuda itu dalam bentuk kakawin. Karya tersebut terkenal dengan nama Kakawin Bhāratayuddha. Kakawin tersebut mulai ditulis pada tanggal 6 September 1157 (Zoetmulder, 1 1994:342). Disebabkan sesuatu hal, Mpu Sedah tidak dapat menyelesaikan karyanya. Untuk melanjutkannya, Prabu Jayabaya menunjuk Mpu Panuluh. Mpu Panuluh mulai melanjutkan Kakawin Bhāratayuddha sejak Salya diangkat menjadi senapati. Tepatnya mulai pupuh 33 (Wiryamartana, 1977:47). Pada masa Surakarta, Yasadipura I menerjemahkan Kakawin Bhāratayuddha ke dalam bahasa Jawa Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 1 baru. Bentuknya pun diubah ke bentuk puisi yang populer pada masa itu, yaitu tembang macapat. Terjemahan karya Yasadipura I itu disebut dengan Serat Bratayuda. Sebagai interpretasi karya sebelumnya, Serat Bratayuda memiliki alur cerita yang sama dengan Kakawin Bhāratayuddha. Hanya ada beberapa perbedaan kecil, seperti Abimanyu yang bersenjata cakra dan kemunculan beberapa tokoh baru. Menurut Poerbatjaraka (1952:157—160), perubahan itu karena Yasadipura I tidak begitu memahami bahasa Jawa Kuno. Pendapat tersebut pernah disanggah oleh Kuntara Wiryamartana (1988) dengan memberikan bukti bahwa Yasadipura I piawai dalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Perbedaan pandangan tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini. Hal tersebut hanya untuk memberi gambaran adanya perbedaan kecil antara Serat Bratayuda dan Kakawin Bhāratayuddha. Meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa alur cerita Serat Bratayuda sama dengan Kakawin Bhāratayuddha. Serat Bratayuda karya Yasadipura I tersebut berkali-kali disalin dan diperbanyak. Naskah-naskah salinan tersebut di antaranya ditemukan di Keraton Yogyakarta. Serat Bratayuda di Keraton Yogyakarta ditulis pada masa Hamengku Buwana V. Teks tersebut mulai disalin pada 24 September 1843 dan diakhiri pada 23 Januari 1844. Menurut Lindsay (1994:89), teks tersebut berbeda dengan Serat Bratayuda versi Yasadipura. Namun, jika teks tersebut diamati, pendapat itu sangat diragukan. Sebagian besar baitbait dalam Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta menunjukkan kesamaan 2 dengan versi Yasadipura, meskipun masih banyak terjadi perbedaan. Namun, mengingat tradisi penyalinan di Jawa— yaitu seringkali penyalin menambah, mengurangi, atau mengubah isi naskah—maka perbedaan itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa teks tersebut bukan salinan dari Serat Bratayuda Yasadipura. Persamaan-persamaan yang ada dalam dua buah teks itu cukup banyak untuk membuktikan bahwa Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta tersebut merupakan turunan dari Serat Bratayuda karya Yasadipura I. Selanjutnya, pada masa Hamengku Buwana VII, Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta disalin kembali. Penyalinan dimulai pada 7 Agustus 1902 dan berakhir pada 14 Mei 1903 (Lindsay, 1994:89). Naskah terakhir tersebut diangkat sebagai salah satu naskah pusaka Keraton Yogyakarta. Naskah itu dilengkapi dengan 242 ilustrasi wayang. Ilustrasi tersebut dibuat dengan warnawarna yang indah dan melukiskan rangkaian cerita dalam Baratayuda. Wayang-wayang yang ditampilkan merupakan wayang gaya Yogyakarta. Akan tetapi, gambar yang terdapat dalam naskah tersebut tidak selalu mencerminkan cerita dalam teks. Hal itu yang akan disoroti dalam penelitian ini. Teks Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta pernah disoroti oleh beberapa peneliti yaitu Kasidi Hadiprayitno (2004), Yuwono Sri Suwito (2004), Haryana Harjawiyana (2004), Marsono (2004), Hamim Ilyas (2004), Moh Damami (2004), dan Simuh (2004). Penelitian yang dilakukan, antara lain, menyoroti tentang transformasi teks Serat Bratayuda dari Kakawin Bhāratayuddha, hubungannya dengan masyarakat Jawa, dan sinkretismenya ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 dengan ajaran Islam. Hubungan teks dengan ilustrasi tidak dibahas. Hubungan teks dengan ilustrasi dapat dimasukkan ke dalam resepsi. Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi termaksud dapat positif dan juga negatif (Endraswara, 2003:119). Dengan demikian, dalam penelitian resepsi peranan pembaca sangat penting, yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi makna oleh pembaca sehingga menjadi objek estetik. Reaksi terhadap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya (Endraswara, 2003:119). Ilustrator dalam naskah Serat Bratayuda termasuk melakukan tanggapan atas teks yang dibacanya sebelum menuangkannya dalam bentuk gambar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif. Sumber data penelitian adalah Serat Bratayuda yang merupakan naskah pusaka Keraton Yogyakarta dengan nomor W 24. Gambar dalam naskah tersebut diperbandingkan dengan teksnya. Berdasarkan perbandingan tersebut diketahui perbedaan dari keduanya sehingga dapat dilihat perubahan yang dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu kelebihan naskah Serat Bratayuda pusaka Keraton Yogyakarta adalah dipenuhi gambar-gambar dengan warna yang indah. Tidak dimungkiri bahwa gambar-gambar tersebut merupakan salah satu daya tarik naskah tersebut. Dengan demikian, naskah ini mirip dengan komik bergambar dengan aneka warna. Adegan dalam Ilustrasi Serat Bratayuda Ilustrasi dalam Serat Bratayuda pada dasarnya menggambarkan cerita dalam teks tersebut. Terdapat 242 gambar yang menjadi ilustrasi cerita. Pada paparan ini, gambar-gambar itu dikelompokkan berdasarkan episodenya. Penentuan episode tersebut disesuaikan dengan cerita wayang. Paparan ini juga menggunakan istilah wayang, yaitu jejer yang merujuk pada adegan pertemuan untuk membahas sesuatu. Cerita diawali dari peristiwa sebelum perang yang sering disebut dengan cerita Kresna Duta. Episode tersebut menceritakan Kresna menjadi utusan Pandawa ke Hastinapura untuk mengupayakan perdamaian. Ada enam belas gambar yang mendukung episode ini. Dimulai dari adegan jejer di Wirata (halaman 2—3), keberangkatan Kresna diiringi Setyaki (halaman 6—7), kedatangan para dewa untuk mendampingi Kresna (halaman 8—9), persiapan Kurawa untuk menyambut Kresna (halaman 12—13), Patih Sangkuni menjelaskan rencananya kepada Dursasana (halaman 16—17), kedatangan Kresna di istana Hastina (halaman 24—25), Kresna mengunjungi Kunti (halaman 28— 29), sesudah pertemuan Duryudana menjumpai Banowati (halaman 32— 33), perundingan Kresna dengan Kurawa (halaman 42—43), Kresna terhina oleh Kurawa dan marah sehingga berubah menjadi raksasa (halaman 46—47), Batara Guru Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 3 membujuk Kresna sehingga berubah menjadi bentuk semula (halaman 50— 51), Kresna mohon diri kepada Kunti (halaman 56—57), Kedatangan Karna, Yamawidura, Yuyutsuh, dan Senjaya ke tempat Kunti (halaman 58—59), Yamawidura, Yuyutsuh, Senjaya, dan Karna mengantar Kresna ke perbatasan Hastina (halaman 60—61), Kresna membujuk Karna supaya membela Pandawa, tetapi ditolak (halaman 62— 63), dan gambar terakhir adalah adegan Karna bertemu Kunti selepas mengantar Kresna (halaman 64—65). Gambar-gambar selanjutnya menampilkan adegan persiapan perang. Adegan-adegan tersebut terdapat pada halaman 68—117. Terdapat dua puluh gambar yang menceritakan episode ini. Enam belas gambar menceritakan persiapan dan keberangkatan pasukan Pandawa. Sementara itu, empat gambar lainnya menceritakan persiapan dan keberangkatan pasukan Kurawa. Gambar yang menceritakan persiapan pihak Pandawa dimulai dari jejer Pandawa di Wirata (halaman 68—69). Pertemuan itu membicarakan keberangkatan pasukan ke Kurusetra. Selanjutnya, digambarkan keberangkatan pasukan Pandawa dengan tokoh-tokohnya, yaitu Werkudara (halaman 78—79), Arjuna (halaman 80—81), Nakula dan Sadewa (halaman 84–85), Wirasangka dan Utara (halaman 86—87), Seta (halaman 88—89), Dustajumena (halaman 90—91), Drupada (halaman 92—93), Drupadi (halaman 94—95), Sumbadra dan Srikandi (halaman 96—97), Yudistira (halaman 100—101), Kresna (halaman 102—103), Setyaki (halaman 104—105), Abimanyu dengan kedua istriya, yaitu Siti Sundari dan Dewi 4 Utari (halaman 106—107), Pancawala (halaman 108—109), dan Gatotkaca (halaman 110—111). Selanjutnya adalah keberangkatan Kurawa ke Kurusetra yang diawali dengan adegan jejer Hastina (halaman 112—113). Kemudian persiapan pasukan Kurawa di alun-alun (halaman 114—115), keberangkatan empat panglima Hastina (halaman 116—117), dan Kurawa yang dipimpin Duryudana, Sangkuni, dan Dursasana (halaman 118—119). Episode selanjutnya adalah persiapan pertempuran di Kurusetra. Terdapat tujuh gambar yang mengilustrasikan episode itu. Kisah ini diawali gambar Setyaki diutus Pandawa untuk berdiplomasi dengan Kurawa (halaman 122—123). Selanjutnya, Setyaki melaporkan tugasnya kepada Pandawa (halaman 124—125). Pandawa bersiap melakukan ritual korban manusia (halaman 126—127). Ritual pembakaran korban (halaman 128—129). Pandawa mempersiapkan pasukan dengan formasi garudha nglayang (halaman 130—131). Sementara itu, Kurawa juga melakukan ritual upacara korban manusia (halaman 132—133). Seperti Pandawa, Kurawa juga mempersiapkan pasukan dengan formasi wukir jaladri (halaman 134— 135). Gambar selanjutnya menceritakan pertempuran Baratayuda, yaitu episode Seta gugur yang diceritakan dalam sembilan gambar. Diawali dengan permulaan pertempuran prajurit Pandawa dan Kurawa (halaman 136—137), Wirasangka dan Utara gugur (halaman 138—139), Seta mengamuk (halaman 140—141), Seta menghancurkan kereta Bisma (halaman 144—145), Bisma melarikan diri (halaman 146—147), ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 Seta gugur oleh panah Bisma (halaman 148—149), Mangsahpati dan permaisuri menangisi kematian tiga putranya (halaman 150—151), Pandawa datang berbela sungkawa (halaman 152—153), dan upacara perabuan jasad ketiga pahlawan tersebut (halaman 154—155). Berikutnya adalah episode Irawan gugur. Kisah tersebut diceritakan dalam empat gambar. Episode tersebut diawali dengan gambar Dustajumena memimpin pasukan Pandawa (halaman 156—157). Bisma melepaskan panah (halaman 160—161). Kalasrenggi mengamuk (halaman 162—163). Kalasrenggi berhasil menangkap dan membunuh Irawan (halaman 164—165). Selanjutnya adalah episode Bisma gugur. Episode ini dikisahkan dalam tujuh gambar. Kisahnya masih bersambung dengan episode Irawan gugur. Episode ini diawali dengan gambar Arjuna menghalangi Kresna yang akan melepaskan senjata cakra ke arah Bisma (halaman 166—167). Selanjutnya, datang Srikandi memimpin pasukan wanita sehingga para Kurawa gembira melihatnya (halaman 168— 169). Srikandi didampingi Arjuna menghadap Kresna (halaman 170— 171). Bisma bertempur melawan Srikandi (halaman 172—173). Bisma terbaring dengan tiga panah menancap di tubuhnya dikelilingi Pandawa dan Kurawa (halaman 174—175). Bisma meminum air dari sebuah kendi kecil (halaman 176—177). Episode ini ditutup dengan gambar upacara perabuan jasad Bisma (halaman 178—179). Gambar selanjutnya menceritakan episode Bogadenta gugur. Episode ini dikisahkan dalam enam gambar. Pada gambar pertama tampak Bogadenta memimpin pasukan Kurawa (halaman 180—181). Selanjutnya, Werkudara dan Arjuna melepaskan panah ke arah musuh (halaman 182—183). Bogadenta menyerang Arjuna (halaman 184—185). Arjuna tidak sadarkan diri terkena panah Bogadenta dikelilingi Kresna, Semar, Gareng, dan Petruk (halaman 186— 187). Arjuna bersiap melepaskan panah ke arah Bogadenta (halaman 188—189). Bogadenta dan gajahnya tewas (halaman 190—191). Berikutnya adalah episode Abimanyu gugur. Episode ini diceritakan dalam dua puluh satu gambar. Kisah tersebut dimulai dengan jejer Hastina (halaman 192—193). Selanjutnya, Gerdapati menantang Arjuna (halaman 194—195). Wresaya menantang Werkudara (halaman 196— 197). Gatotkaca menjemput Abimanyu (halaman 198—199). Abimanyu berangkat ke medan perang (halaman 200—201). Abimanyu melepaskan panah (halaman 202—204). Kurawa mengeroyok Abimanyu (halaman 204—205). Lesmana Mandrakumara melepaskan panah (halaman 206—207). Lesmana Mandrakumara gugur (halaman 208—209). Jayajatra memimpin Kurawa (halaman 210—211). Abimanyu dihujani panah (halaman 212—213). Abimanyu gugur (halaman 214—215). Gatotkaca, Setyaki, dan Pancawala mengamuk (halaman 216—217). Gerdapati tewas di tangan Arjuna (halaman 218—219). Keluarga Pandawa menangisi kematian Abimanyu (halaman 220—221). Kresna, Arjuna, dan Werkudara datang (halaman 222—223). Keluarga Kurawa menangisi kematian Lesmana Mandrakumara (halaman 224—225). Arjuna bersemadi didatangi Batara Guru (halaman 228— 229). Siti Sundari berpamitan kepada Utari untuk diperabukan bersama Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 5 Abimanyu (halaman 230—231). Siti Sundari berpamitan kepada Sumbadra dan Drupadi (halaman 232—233). Upacara perabuan jasad Abimanyu (halaman 234—235). Berikutnya adalah episode Burisrawa gugur. Episode tersebut dikisahkan dalam tujuh gambar. Kisah tersebut diawali dengan barisan pasukan Kurawa bersiap maju perang (halaman 236—237). Arjuna dan Kresna mencari keberadaan Jayajatra (halaman 238— 239). Burisrawa mengamuk (halaman 240—241). Setyaki bertempur melawan Burisrawa (halaman 242—243). Setyaki terdesak (halaman 244—245). Bahu Burisrawa putus diterjang panah Arjuna (halaman 246—247). Setyaki memanah leher Burisrawa (halaman 248—249). Setelah Burisrawa gugur, episode selanjutnya adalah Jayajatra gugur. Kisah tersebut dipaparkan dalam delapan gambar. Gambar pertama adalah pertempuran kedua pihak (halaman 250—251). Selanjutnya, terlihat Jayajatra dijaga ketat (halaman 252— 253). Bagawan Sampyani melindungi Jayajatra dengan magis (halaman 254— 255). Kresna menutupi matahari dengan cakra (halaman 256—257). Para prajurit membuat pancaka sebagai tempat Arjuna membakar diri (halaman 258— 259). Pandawa dan Kurawa berkumpul untuk menyaksikan Arjuna membakar diri, Kresna menunjukkan tempat persembunyian Jayajatra (halaman 260—261). Arjuna membentangkan panah Pasopati (halaman 262—263). Episode ini diakhiri dengan gambar kepala Jayajatra terlempar ke arah Bagawan Sampyani (halaman 264— 265). Episode selanjutnya adalah Gatotkaca gugur. Terdapat enam belas 6 gambar yang mengisahkan episode ini yang diawali dengan gambar jejer Hastina (halaman 266—267). Gambar selanjutnya adalah Pratipeya gugur (halaman 270—271). Kembali jejer Hastina, Karna bersitegang dengan Krepa dan Aswatama (halaman 272—273). Karna maju ke medan perang (halaman 274—275). Kresna memanggil Gatotkaca (halaman 276—277). Gatotkaca maju ke medan perang (halaman 278—279). Gatotkaca bertempur melawan Jatasura dan Lembusana (halaman 280—281). Gatotkaca menewaskan Jatasura dan Lembusana (halaman 282—283). Gatotkaca menewaskan Kalanasura dan Kalasrenggi (halaman 284—285). Pertempuran kembali berlangsung seru (halaman 286—287). Karna memanah Gatotkaca (halaman 288— 289). Gatotkaca mementahkan hujan panah dari Karna (halaman 290— 291). Gatotkaca terkena panah Kunta (halaman 292—293). Tubuh Gatotkaca menjatuhi kereta Karna hingga hancur (halaman 294—295). Kresna mencegah Arjuna yang hendak melepaskan Pasopati secara sembarangan (halaman 296—297). Episode ini ditutup dengan upacara memperabukan jasad Gatotkaca (halaman 300—301). Selanjutnya adalah episode Durna gugur. Ada lima belas gambar yang menceritakan episode tersebut. Diawali dari kisah Setyaki yang berhasil membunuh Sestradarma (halaman 302— 303). Durna tetap perkasa meskipun dikeroyok dan dihujani panah (halaman 304—305). Durna pingsan setelah mendengar berita buruk (halaman 306— 307). Dustajumena memenggal kepala Durna (halaman 308—309). Kepala Durna dilemparkan ke arah Duryudana ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 (halaman 310—311). Aswatama marah dan melepaskan Brahmastra, panah yang menyemburkan api (halaman 312— 313). Dustajumena bersitegang dengan Setyaki (halaman 314—315). Werkudara di atas kereta diserang kobaran api dari panah Aswatama (halaman 316—317). Arjuna melepaskan panah Barunastra untuk memadamkan api (halaman 318— 319). Episode Durna gugur diakhiri dengan serangkaian penobatan dan penghormatan. Berikutnya diceritakan jejer Hastina menobatkan Karna menjadi panglima perang (halaman 320—321). Seorang menteri membujuk Karna agar tidak maju ke medan perang (halaman 324—325). Kresna mengajak Yudistira dan Arjuna ke Kurusetra untuk memberi penghormatan kepada yang telah gugur (halaman 326—327). Kresna, Yudistira, dan Arjuna memberi penghormatan kepada Durna (halaman 328—329). Jasad Durna diperabukan di keretanya (halaman 330—331). Arjuna, Yudistira, dan Kresna bersamadi dan membakar dupa (halaman 332—333). Selanjutnya adalah episode Dursasana gugur. Ada sebelas gambar yang mengisahkan episode ini. Dimulai dari jejer Pandawa, Arjuna diminta maju menghadapi Karna (halaman 336— 337). Karna memimpin pasukan Kurawa (halaman 338–339). Pandawa bersiap dengan formasi wulan tumanggal atau bulan sabit (halaman 340—341). Pertempuran berkobar (halaman 344—345). Setyaki menunjukkan kesaktiannya saat dikeroyok Kurawa (halaman 348—349). Duryudana, Sangkuni, dan Kurawa berlari kocarkacir (halaman 350—351). Busur Duryudana dihancurkan Werkudara (halaman 352—353). Dursasana datang memberikan pertolongan (halaman 354—355). Werkudara menyerang Dursasana dan mengenai gajah tunggangannya (halaman 356—357). Dursasana dihajar Werkudara (halaman 358—359). Dursasana tewas di tangan Werkudara (halaman 360—361). Selanjutnya adalah episode Karna tanding atau Karna gugur. Episode ini merupakan kelanjutan dari Dursasana gugur. Ada sepuluh gambar yang mengisahkan pertempuran Arjuna melawan Karna ini. Karna maju ke medan perang dan melepaskan berbagai macam panah magis (halaman 368—369). Dari panah tersebut keluar makhluk jadi-jadian menyerang pasukan Pandawa (halaman 370—371). Arjuna melepaskan panah yang mengeluarkan api (halaman 372—373). Api membakar makhluk jadi-jadian (halaman 374— 375). Makhluk jadi-jadian habis terbakar (halaman 376—377). Naga Ardawalika menemui Karna untuk menawarkan bantuan menghadapi Arjuna (halaman 378—379). Arjuna membunuh Naga Ardawalika (halaman 380—381). Panah Karna mengenai gelung Arjuna (halaman 382—383). Narada turun dari Kahyangan memberi mahkota untuk Arjuna (halaman 384—385). Karna gugur terkena panah Pasopati (halaman 386—387). Setelah Karna tanding, episode selanjutnya adalah Salya gugur. Terdapat dua puluh tujuh gambar yang menceritakan episode tersebut. Episode ini dimulai dari jejer Hastina, Sangkuni mengusulkan Salya diangkat sebagai panglima perang (halaman 390—391). Duryudana meminta Salya menjadi panglima perang (halaman 394—395). Salya bersitegang dengan Aswatama (halaman 396—397). Berganti jejer Pandawa, Nakula diminta Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 7 menemui Salya (halaman 398—399). Nakula berangkat ke pesanggrahan Salya (halaman 400—401). Tiba di pesanggrahan, Nakula memeluk kaki Salya (halaman 404—405). Jejer Pandawa, Nakula menceritakan kelemahan Salya (halaman 408—409). Salya menghibur Setyawati yang sedang bersedih (halaman 412—413). Salya mencegah Setyawati yang hendak bunuh diri dengan keris (halaman 414— 415). Salya memerintahkan menterinya menyiapkan pasukan ke medan perang (halaman 420—421). Salya berangkat ke medan perang (halaman 422—423). Pasukan Pandawa berangkat ke medan perang (halaman 424—425). Werkudara mengamuk menghadapi pasukan Kurawa (halaman 426—427). Banyak pasukan Kurawa yang tewas tertimpa batu yang keluar dari panah Prabata milik Arjuna (halaman 428—429). Salya melepaskan panah ke udara (halaman 430—431). Arjuna dan Werkudara melepaskan panah menghadapi serangan Salya (halaman 432—433). Salya mengeluarkan ajian berupa raksasa Candabirawa (halaman 434— 435). Candabirawa menyerang pasukan Pandawa (halaman 436—437). Kresna membujuk Yudistira agar maju ke medan perang (halaman 440—441). Yudistira maju ke medan perang (halaman 442—443). Raksasa Candabirawa memenuhi Kurusetra (halaman 444— 445). Yudistira melepaskan panah yang mengeluarkan para raksasa berambut api (halaman 446—447). Para raksasa berambut api berkelahi dengan para raksasa Candabirawa (halaman 448— 449). Salya melepaskan berbagai macam panah magis (halaman 450—451). Raksasa yang keluar dari panah Salya mengejar pasukan Pandawa (halaman 8 452—453). Yudistira mengeluarkan senjata pusaka Kalimasada (halaman 454—455). Salya gugur oleh Kalimasada (halaman 456—457). Episode selanjutnya adalah Sangkuni gugur. Ada empat gambar yang terdapat pada episode ini. Setyaki, Dustajumena, dan Werkudara mengamuk menyerang musuh (halaman 458—459). Duryudana dan pasukannya lari kocar-kacir (halaman 460—461). Sangkuni ditangkap oleh Werkudara (halaman 462—463). Tubuh Sangkuni dirobek-robek Werkudara (halaman 464—465). Berikutnya adalah episode Setyawati bela pati. Episode ini dilengkapi lima gambar sebagai ilustrasi. Setyawati menerima laporan gugurnya Salya (halaman 466—467). Diiringi dayang Sugandi, Setyawati berangkat ke Kurusetra naik kereta (halaman 468— 469). Setyawati melanjutkan perjalanan berjalan kaki dan beristirahat di bangkai gajah (halaman 470—471). Setyawati menemukan jasad Salya (halaman 474— 475). Setyawati dan Sugandi bunuh diri menyusul Salya (halaman 478—479). Episode selanjutnya adalah Duryudana gugur. Ada sembilan belas gambar yang menjadi ilustrasi episode tersebut. Episode tersebut dimulai dari gambar Duryudana pergi ke tepi samudra (halaman 482—483). Duryudana terjun ke laut (halaman 484—485). Banowati yang ditinggalkan Duryudana sedang bersedih (halaman 486—487). Jejer Pandawa membahas kepergian Duryudana (halaman 488— 489). Pasukan Pandawa mencari Duryudana (halaman 490—491). Werkudara mengejek Duryudana yang berada di laut (halaman 492—493). Duryudana menjadi marah (halaman ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 494—495). Duryudana berhadapan dengan para Pandawa (halaman 496— 497). Duryudana bersiap-siap memenuhi tantangan Pandawa (halaman 498— 499). Kedatangan Baladewa (halaman 500—501). Werkudara dan Duryudana siap berperang tanding (halaman 502— 503). Perang tanding dimulai (halaman 504—505). Kresna memberi tahu Arjuna tentang kelemahan Duryudana (halaman 506—507). Perang tanding masih berlangsung, Arjuna memberi isyarat kepada Werkudara (halaman 508—509). Duryudana jatuh terduduk setelah dipukul pahanya (halaman 510—511). Baladewa marah melihat kecurangan Werkudara (halaman 512— 513). Kresna menenangkan Baladewa (halaman 514—515). Kemarahan Baladewa mereda (halaman 516—517). Duryudana roboh sekarat (halaman 518—519). Selanjutnya adalah episode pembalasan Aswatama. Terdapat dua puluh satu gambar yang menjadi ilustrasi episode ini. Para Pandawa diajak Kresna menenangkan diri di hutan (halaman 522—523). Pemandangan hutan (halaman 524—525). Aswatama bertemu Krepa dan Kartawarma (halaman 526— 527). Sementara itu, Banowati dan Lesmanawati tengah berduka (halaman 528—529). Aswatama diikuti Krepa dan Kartawarma menuju kubu Pandawa (halaman 530—531). Aswatama membunuh Dustajumena dan Srikandi yang sedang tidur (halaman 532—533). Prajurit Pandawa menjadi gempar (halaman 534—535). Pancawala gugur saat melawan Aswatama (halaman 536—537). Kresna dan Pandawa masih berada di hutan (halaman 538—539). Seorang menteri melaporkan peristiwa di kubu Pandawa (halaman 540—541). Drupadi menangisi kematian anak dan saudaranya (halaman 542—543). Resi Palasara menghibur keluarga Pandawa (halaman 544—545). Pandawa memburu Aswatama (halaman 548— 549). Pandawa menemukan Aswatama (halaman 550—551). Aswatama bersiap melepaskan panah Cundamani (halaman 552—553). Arjuna bersiap menangkis dengan panah Sarotama (halaman 554— 555). Para dewa dipimpin Narada turun mencegah dilepaskannya panah-panah tersebut (halaman 556—557). Arjuna mematuhi perintah Narada (halaman 558—559). Aswatama mematuhi perintah Narada (halaman 560—561). Narada menyerahkan Cundamani kepada Arjuna (halaman 562—563). Kresna mengutuk Aswatama, Krepa, dan Kartawarma (halaman 564—565). Episode terakhir adalah pascaperang Baratayuda. Terdapat delapan gambar yang menjadi ilustrasi peristiwa tersebut. Rombongan Pandawa menuju Hastina (halaman 566—567). Pandawa memasuki istana Hastina (halaman 568—569). Jejer Pandawa di Hastina (halaman 570—571). Arjuna bertemu Banowati (halaman 572—573). Penobatan Yudistira menjadi raja Hastina (halaman 578—579). Kresna mengajar Nakula dan Sadewa (halaman 580—581). Semar bercanda dengan Togog (halaman 586—587). Cerita diakhiri dengan gambar jejer Pandawa di Hastina (halaman 588—589). Ilustrasi-ilustrasi tersebut menggambarkan cerita dalam teks. Akan tetapi, jika dicermati, terdapat beberapa perbedaan antara gambar dan teks. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang akan dipaparkan sebagai berikut. Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 9 Kreativitas Ilustrator Seperti umumnya karya tradisional, identitas pelukis atau ilustrator dalam Serat Bratayuda tidak diungkapkan. Salah satu kemungkinan adalah ilustrator naskah tersebut merupakan orang yang sama dengan penulis teks. Akan tetapi, dapat juga orang lain. Namun, yang jelas ilustrator merupakan orang yang memahami cerita wayang di Yogyakarta. Cerita dalam Serat Bratayuda merupakan adaptasi dari Kakawin Bhāratayuddha. Oleh karena itu, kadang terdapat perbedaan dengan tradisi lisan. Misalnya, pada cerita pedalangan Yogyakarta, Kresna yang bertriwikrama menjadi Brahala mengamuk sehingga banyak yang menjadi korban. Salah satu korban adalah Destarata yang mati terinjak raksasa itu. Akan tetapi, dalam teks Serat Bratayuda Destarata masih tetap hidup. Hal itu seperti cerita dalam epos Mahābhārata maupun dalam Kakawin Bhāratayuddha. Perbedaan cerita juga mengakibatkan ada tokoh dalam Serat Bratayuda yang tidak terdapat dalam tradisi lisan, misalnya Yuyutsuh. Dalam epos Mahabhārata, Yuyutsuh berasal dari pihak Kurawa yang membelot membela Pandawa. Dalam tradisi lisan Yogyakarta, tokoh pembelot itu diperankan oleh Senjaya yang kemudian gugur oleh Karna. Gambar Yuyutsuh muncul dalam Serat Bratayuda pada saat mengantar Kresna ke perbatasan Wirata. Karena tokoh tersebut tidak terdapat dalam tradisi lisan pedalangan Yogyakarta, kemungkinan gambar tokoh Yuyutsuh dalam naskah merupakan kreativitas ilustrator. Tokoh 10 Yuyutsuh digambarkan berwujud seperti Arjunasasrabahu muda. Kreativitas ilustrator yang lain adalah kemunculan dua orang satria yang mirip dengan putra Arjuna. Satu tokoh mirip dengan Abimanyu dan yang lain mirip Irawan. Kedua tokoh tersebut muncul pada masa-masa akhir perang Baratayuda, yaitu sejak Abimanyu gugur sampai cerita berakhir. Dua satria tersebut terlihat mendampingi Kresna dan Pandawa ke hutan untuk berprihatin. Padahal dalam teks tidak diceritakan tokoh lain yang menyertai mereka. Bahkan, tokoh seperti Pancawala tidak ikut Pandawa. Kreativitas ilustrator juga terlihat pada halaman 80—81. Halaman tersebut menggambarkan keberangkatan Arjuna ke Kurusetra dengan mengendarai kereta perang. Prajurit di depannya membawa panji-panji bergambar Hanoman, seekor kera putih pada cerita Ramayana. Dalam teks tidak disebutkan tokoh Hanoman. Hanya disebutkan bahwa Arjuna membawa panji bergambar kera (tunggule kumlab aciri wenara mangap mangrik ‘panji-panjinya mengilap bertanda kera membuka mulut menjerit’). Dengan demikian, penggambaran panji-panji dengan tokoh Hanoman merupakan interpretasi ilustrator. Namun, ada beberapa gambar yang terlihat tidak konsisten. Salah satu contohnya, pakaian yang dikenakan tokoh dapat berbeda corak padahal masih dalam satu fragmen. Misalnya, Durna mengenakan baju lurik saat bertempur menjelang ajalnya, tetapi waktu malam saat dikremasi baju yang dikenakannya adalah batik. Demikian juga, Bisma yang terbaring menjelang ajal, pada halaman ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 174 mengenakan baju lurik, tetapi pada halaman 176 memakai baju batik. Mengenai baju yang dikenakan Bisma, ada hal menarik ditemukan dalam ilustrasi Serat Bratayuda ini. Sebelum perang Baratayuda, penampilan Bisma selalu bertelanjang dada. Hanya ada kain yang disampirkan di pundak sebagai penanda seorang resi. Akan tetapi, selama perang Baratayuda berlangsung, Bisma selalu memakai baju, celana panjang, dan bersepatu. Contoh ketidakkonsistenan ilustrasi lainnya adalah pada saat adegan Karna bertanding. Dalam pertempuran tersebut diceritakan Arjuna terpanah gelung rambutnya dan menjadi terurai. Karena malu, Arjuna tidak mau melanjutkan pertempuran. Narada turun memberikan mahkota kepada Arjuna. Pemberian mahkota itu digambarkan pada halaman 384. Akan tetapi, di halaman tersebut dan di halaman berikutnya rambut Arjuna kembali bergelung. Ia tidak memakai mahkota seperti diceritakan dalam teks. Selain itu, dalam perang Baratayuda Kresna dan Salya berperan menjadi kusir. Kresna menjadi kusir Arjuna dan Salya menjadi kusir Karna. Akan tetapi, dalam gambar Kresna dan Salya tidak pernah digambarkan menjadi kusir. Mereka selalu duduk di dalam kereta di samping orang yang dikusiri. Sebagai gantinya, ada orang lain yang bertugas menjadi kusir duduk di depan mereka. Penggambaran yang tidak sesuai dengan teks lainnya adalah saat Arjuna kesulitan ketika berusaha membalas dendam kepada Jayajatra karena tokoh dari Kurawa itu bersembunyi. Untuk mengatasi hal itu, dalam teks disebutkan bahwa Kresna melepaskan senjata cakra untuk menutupi matahari. Akan tetapi, gambar di halaman 257 terlihat Kresna terbang untuk menutupi matahari dengan cakra. Ia memegang senjatanya diacungkan ke atas untuk menutupi matahari. Gambar Kresna yang terbang menutupi matahari kemungkinan hanya untuk menegaskan peran raja Dwarawati tersebut. Perbedaan yang lain disebabkan kesulitan ilustrator untuk menggambarkan suatu peristiwa, misalnya pada saat Narada turun melerai Pandawa dengan Aswatama. Narada diiringi para dewa turun ke bumi. Pada halaman 556—557 terlihat lima dewa turun dari langit. Paling depan adalah Narada. Ia berada paling bawah. Selanjutnya di belakangnya, ada empat dewa. Dalam teks disebutkan bahwa para dewa yang mengiringi Narada itu berjumlah jutaan. Dalam gambar hanya terlihat empat dewa yang mengiringi Narada. Itu adalah contoh kreativitas ilustrator Serat Bratayuda. Selain itu, masih terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perbedaan gambargambar tersebut. Fakta Kehidupan Masyarakat Gambar yang terdapat dalam Serat Bratayuda adalah wayang gaya Yogyakarta. Oleh karena itu, beberapa tokoh wayang digambarkan memakai baju. Ketika berangkat ke Kurusetra Srikandi mengenakan baju militer. Bisma dan Durna mengenakan baju Jawa, baik itu bermotif batik maupun lurik. Dapat dipastikan bahwa baju-baju yang dikenakan tersebut sesuai dengan fakta yang terdapat pada waktu itu. Baju batik atau lurik merupakan baju Jawa. Selain itu, terlihat para prajurit membawa panji-panji yang bergambar seperti Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 11 panji prajurit Keraton Yogyakarta. Hal tersebut memberikan informasi bahwa pembuatan gambar tersebut juga dipengaruhi fakta kehidupan pada saat itu, terutama kehidupan prajurit. Pengaruh fakta kehidupan pada waktu itu juga tampak pada gambar masyarakat kecil dan prajurit yang ada pada teks. Contohnya adalah kesibukan prajurit bersiap ke medan perang yang dilakukan pihak Pandawa (halaman 74—75) dan Kurawa (halaman 116—117). Pada gambar tersebut diceritakan kesibukan prajurit, misalnya mempersiapkan perbekalan dan senjata. Ada juga prajurit yang menenangkan kuda mengamuk. Di antara hiruk pikuk para prajurit itu terdapat penjual makanan di tengah alun-alun (halaman 74—75). Di tengah medan perang ada prajurit yang menyempatkan diri merokok dan berbagi api (halaman 296). Ada juga gambaran prajurit raksasa Pringgadani berangkat ke Kurusetra sambil membawa botol minuman keras (halaman 110—111). Jika dicermati, pada gambargambar tersebut tampak pula pengaruh kebudayaan Barat dan modern. Salah satu contohnya adalah pakaian yang dikenakan. Pada saat naskah ditulis, Nusantara masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal itu juga terlihat dalam ilustrasi. Sering didapati prajurit berpakaian militer ala Eropa, misalnya pada pengiring Kresna (halaman 6—7), Dustajumena (halaman 90—91), dan pasukan wanita pimpinan Srikandi (halaman 96—97, 169). Bahkan, Srikandi juga memakai pakaian prajurit Eropa. Pakaian Barat juga dikenakan oleh kusir dan pengurus kuda, misalnya kusir Arjuna (halaman 80—81), Duryudana (halaman 118— 12 119), Salya (halaman 430—431, 434— 435), dan Setyawati (halaman 468). Selain pakaian, ada persenjataan prajurit yang merupakan produk budaya modern. Senjata-senjata modern yang digunakan adalah meriam dan senapan. Senjata meriam terlihat beberapa kali (halaman 74—75, 114—115, 126— 127, 134—135, 180—181, 236—237). Beberapa tokoh diiringi oleh pasukan senapan. Pasukan senapan itu, misalnya pasukan Nakula–Sadewa (halaman 84—85), Seta (halaman 88—89), Dustajumena (halaman 90—91), Drupada (halaman 92—93), Abimanyu (halaman 106—107), Pancawala (halaman 108—109), dan pasukan Pandawa (halaman 424—425). Ilustrasi yang menggambarkan budaya Barat tersebut sejalan dengan isi teks. Salah satu contohnya, dalam Serat Bratayuda tertulis dalam jamuan makan disediakan sendok dan garpu. Isining meja supenuh, mas nampan amarik marik, peso sendhok porok rukma, kembar mayang mas winangling, pekakas meja sanekya, sarweca sri warni warni. Mangsak sayur roti keju, buwah suklat puwan ertih, kumelun mangalad alad, amleng bebau giyanggi, retu ambuning nginuman, arak adas lan brendhuwin. Anggur sake merah wungu, arak api lawan kenit, jenewer arak weragi, munggeng dhedhasar miranti, adha dhi nampan kencana, kang ngampil lestari restri (Serat Bratayuda, hlm. 26; pupuh 4:25—27) ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 ‘Isi meja sangat penuh, nampan emas berderet-deret, pisau sendok garpu emas, hiasan berupa kembar mayang bersepuh emas, perkakas meja semuanya, serba enak, indah berwarna-warni.’ ‘Masakan sayur, roti, keju, buah coklat susu air putih, semerbak menyebar, aroma harum wangi, harum aroma minuman, arak adas dan brenduwin.’ ‘Anggur, sake merah, ungu, arak api dan kenit, genever arak weragi, berada di alas yang melengkapi, ada di nampan emas, yang membawa wanita perawan.’ Pada kutipan tersebut terlihat perkakas makan yang biasa digunakan orang Eropa, misalnya sendok, pisau, dan garpu. Selain itu, ada beberapa makanan orang Eropa, misalnya roti dan keju. Di samping itu ada juga disebutkan beraneka macam minuman keras, seperti genever, brendwin, sake, dan anggur. Selain makanan dan perkakas, dalam teks juga diceritakan tentang penggunaan senapan seperti kutipan berikut. Medal sangking gedhong tangsi, majibeg memepeti marga, sumektatrasning prang popor, parentah Prabu Ngastina, pan kinon berubuha, Dwarawati Prabu tamu, ganjur watang ting therathak. Patrum tras ngiseni bedhil, mukswaleng mas keti tiktak, pating kalesik swarane, ceklak ceklik ting karengsreng, jawilan kekejepan, tudang tuding tuduh tuduh, gedhek gedhek thuk anthukan (Serat Bratayuda, hlm. 44; pupuh 6:52—53) ‘Para prajurit keluar dari asrama militer. jumlah mereka sangat banyak sehingga menutupi jalan. mereka bersiap-siap untuk perang popor. Duryudana sudah memerintahkan untuk bertempur habis-habisan dengan para tamu yang dipimpin Kresna. suara berisik senjata seperti ganjur dan watang segera terdengar.’ ‘Terdengar pula suara orang mengisi senapan dengan mesiu. suaranya sangat pelan hanya terdengar ceklak-ceklik. (mereka hanya saling memberi isyarat) dengan mencolek mengedipkan mata, jarinya menunjuk memberi tahu, mengangguk atau menggeleng.’ Pada kutipan tersebut secara eksplisit disebutkan bedhil ‘senapan’. Disebutkan juga kata tiktak yang diperkirakan merupakan salah satu jenis senapan. Dengan demikian, Baratayuda mengalami perubahan, disesuaikan dengan keadaan pada saat itu. Pengaruh Cerita Pedalangan Mahabharata tidak hanya berkembang dalam bentuk tulis, tetapi juga secara lisan. Tradisi lisan itu mengakibatkan cerita mengalami perubahan, baik besar maupun kecil. Salah satu akibat perkembangan tradisi lisan adalah munculnya cerita-cerita carangan, Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 13 yaitu cerita yang tidak terdapat dalam Mahabharata Sanskerta. Salah satu pengaruh tradisi lisan adalah munculnya Punakawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, Togog, dan Tembilung. Para Punakawan tersebut tidak dijumpai dalam Kakawin Bhāratayuddha maupun Mahabharata Sanskerta. Akan tetapi, para Punakawan itu diceritakan dalam teks Serat Bratayuda Keraton Yogyakarta. Kemunculan para Punakawan tersebut dimungkinkan berasal dari tradisi lisan yang juga berkembang pada saat Serat Bratayuda ditulis. Tokoh Punakawan yang hanya menampilkan Semar, Gareng, dan Petruk menunjukkan pengaruh cerita wayang gaya Yogyakarta. Pada masa awal pascaperjanjian Giyanti, Surakarta dan Yogyakarta mengembangkan keseniannya masingmasing. Yogyakarta menggunakan Semar, Gareng, dan Petruk. Sementara itu, Surakarta menggunakan pasangan Semar dan Bagong sebagai Punakawan (Sajid, 1958:47—48). Para Punakawan tersebut terdapat dalam teks dan muncul juga dalam ilustrasi. Pengaruh cerita pedalangan terhadap Serat Bratayuda yang lain adalah kematian Bisma. Dalam Kakawin Bhāratayuddha maupun teks Sansekerta, Bisma tetap hidup sampai Baratayuda berakhir. Ia menyaksikan perang saudara itu sambil tubuhnya disangga panah yang menancap di sekujur tubuhnya. Sementara itu, dalam cerita Baratayuda yang berkembang di Jawa, Bisma tidak perlu menunggu sampai perang berakhir. Ia meninggal pada hari itu juga. Panah yang menancap di tubuhnya pun tidak sampai memenuhi tubuhnya. Malam itu juga jasad Bisma diperabukan seperti tergambar di halaman 178. 14 Perubahan selanjutnya adalah kematian Drupada dan Mangsahpati. Dalam Kakawin Bhāratayuddha kedua tokoh tersebut tewas saat bertempur melawan Durna. Dalam Serat Bratayuda kedua raja itu masih tetap hidup, sama seperti cerita yang beredar dalam cerita pedalangan di Yogyakarta. Pengaruh tradisi lisan atau cerita pedalangan dapat dilihat juga pada visualisasi tokoh Seta. Sebelum Baratayuda, Seta selalu digambarkan menunduk (ruruh), tetapi setelah memasuki perang wajah Seta digambarkan mendongak (lancap). Perubahan tokoh Seta tersebut terjadi dalam pementasan wayang gaya Yogyakarta. Hal lain yang secara tidak langsung menunjukkan pengaruh cerita pedalangan juga terdapat pada halaman 116—117. Pada halaman tersebut digambarkan keberangkatan pasukan Kurawa menuju Kurusetra. Para pemimpin Kurawa menaiki keretanya masing-masing. Bisma berada yang paling depan kemudian diikuti oleh Karna, Durna, dan Salya. Susunan itu mengingatkan kepada urutan panglima perang Kurawa menurut versi pedalangan Yogyakarta. Menurut versi Yogyakarta, panglima besar Kurawa secara berturut-turut adalah Bisma, Karna, Durna, dan Salya. Urutan tersebut berbeda dengan Baratayuda, baik yang terdapat dalam versi Sanskerta, Kakawin Bhāratayuddha, maupun dalam Serat Bratayuda. Pada semua teks itu urutan panglima perang Kurawa adalah Bisma, Durna, Karna, dan Salya. Pengaruh cerita pedalangan kadang menimbulkan perbedaan dengan teks. Salah satu contohnya adalah kemunculan Patih Udawa. Tokoh tersebut adalah ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 Patih Kerajaan Dwarawati. Dalam cerita pedalangan tokoh Udawa sangat berperan di pertempuran Baratayuda. Bersama dengan Setyaki, Udawa sering muncul memimpin pasukan dari pihak Pandawa. Dalam naskah Serat Bratayuda, tokoh itu digambarkan di halaman 103 saat mengiringi Kresna ke Kurusetra. Pada halaman 156 Udawa terlihat menjadi salah satu pimpinan barisan Pandawa bersama Setyaki. Akan tetapi, nama Udawa tidak pernah muncul dalam teks. Nama itu juga tidak disebut dalam Kakawin Bhāratayuddha. Perbedaan lain antara teks dan gambar adalah kematian Gatotkaca. Saat berhadapan dalam pertempuran, Karna melepaskan senjata Kunta dan mengenai dada Gatotkaca. Peristiwa itu dituliskan dalam teks sebagai berikut. Betyas Narpati Ngawangga, dening sirna senjata sedaya wis, marma ngres tyas kasusu, sigra anyandhak kunta, duk pinenthang larase sru kunta murub, lumepas kunta tumama, mring jaja sang Bimasiwi (Serat Baratayuda halaman 293, Pupuh 33 bait 12—13). ‘Raja Awangga (Karna) kecewa, karena semua senjatanya sudah habis, itu sebabnya hatinya panik dengan tergesa, segera mengambil Kunta, saat busurnya dibentangkan dengan keras senjata Kunta menyala, dilepaskan Kunta mengenai, ke dada sang anak Bima (Gatotkaca)’. Terlihat pada kutipan tersebut senjata Kunta dilepaskan Karna dan menembus dada Gatotkaca. Bunyi teks tersebut serupa dengan yang diceritakan dalam Kakawin Bhāratayuddha berikut. Kepwan saŋ nṛpa Karṇa de ni larut iŋ sarwāstra tan pamyati hah wiṣṭy āku pĕjah tĕkapmu liŋ ireŋ twas martrĕsārĕs mulat nāhan marma nira n panambut irikaŋ konta sĕḍĕŋ bhāswara yekiŋ Pāṇḍawawaŋśa liŋ nira tĕhĕr maŋduk Hiḍimbyatmaja Tandwa trus ḍaḍa saŋ Ghaṭotkaca wawaŋ mūrchā maŋӧ sakṣaṇa (Supomo, 1993:100—101). ‘Cemas sang Raja Karna oleh habisnya semua senjata tidak berguna “Hah, celaka aku mati olehmu” katanya dalam hati dengan was-was melihatnya itu sebabnya saat itu ia mengambil Konta yang tengah menyala “Ya, ini untuk keluarga Pandawa” katanya kemudian membidik putra Hidimbi Tidak berselang tembus ke dada sang Gatotkaca yang tidak takut mati’ Dengan demikian, terlihat bahwa teks Serat Baratayuda naskah Keraton Yogyakarta mengikuti Kakawin Bhāratayuddha. Akan tetapi, hal itu berbeda dengan gambar ilustrasi pada halaman 292 pada naskah tersebut. Dalam gambar terlihat Gatotkaca terbang di angkasa dengan sebuah panah menancap di pusarnya. Gambar tersebut cenderung berpihak pada cerita di pedalangan. Dalam cerita pedalangan, senjata Kunta masuk ke dalam pusar Gatotkaca untuk bersatu dengan sarungnya karena memang, di pusar Gatotkaca tersimpan sarung senjata Kunta. Hal tersebut diceritakan dalam kisah Gatotkaca Lahir, yaitu saat sarung senjata Kunta masuk ke dalam pusarnya setelah dipakai untuk memotong tali pusar Gatotkaca saat masih bayi. Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 15 Perbedaan lain adalah bentuk senjata Salya, yaitu Candhabirawa. Senjata tersebut tertulis sebagaimana kutipan berikut. Dadya kroda nira Sang Dipati Salya, sarosa ing ajurit, pra Candhabirawa, winatak wus minantran, lumepas sigra umijil, ditya sayuta, telung yuta nusuli (Serat Bratayuda, halaman 434—435, pupuh 58 bait 6) ‘Sang Adipati Salya menjadi marah, sekuat tenaga dalam bertempur, pra Candhabirawa, sudah diwujudkan dan diberi mantra, dilepaskan segera keluar, raksasa satu juta, disusul lagi tiga juta.’ Bayak tibane kang panah sami, nata Mandraka mempeng sarosa, menthang langkap sru kurdane, Candhabirawa gupuh, inguculken mantra pinusthi, wetuning kang denawa, ageng ageng pungkur, miwah galak galak samya, amrih mungsuh kang keparag larut ngisis, keh longe wadya pejah (Serat Bratayuda, halaman 447—448, pupuh 59 bait 6) ‘Berhamburan jatuhnya panah itu, Raja Mandraka dengan semangat sekuat tenaga, membentangkan busur sangat marahnya, Candhabirawa segera, dilepaskan disertai mantra, keluar raksasa, besar-besar membelakangi, dan semua galak-galak, berusaha agar musuh yang datang mati hancur, banyak berkurangnya prajurit karena tewas.’ 16 Dalam teks tersebut terlihat bahwa Candhabirawa adalah nama panah yang dapat mengeluarkan jutaan raksasa. Hal itu berbeda dengan ilustrasi. Pada halaman 434—435 Salya bersemadi di atas keretanya. Di depan keretanya dikelilingi raksasa berbentuk mirip berjalan menuju ke arah Pandawa. Dari gambar tersebut dapat diperkirakan bahwa Candhabirawa merupakan nama ajian yang keluar dari tubuh Salya. Ajian Candhabirawa adalah ajian Salya yang berupa raksasa. Jadi, berbeda dengan teksnya, ilustrasi tersebut dipengaruhi oleh cerita yang beredar di dunia pedalangan, yaitu Candhabirawa adalah nama ajian. Pertempuran antara Salya dan Yudistira berlanjut dengan dikeluarkannya Pusaka Kalimasada. Dalam pewayangan, Pusaka Kalimasada berwujud surat. Akan tetapi, menurut versi Kakawin, Kalimasada berwujud mantra yang berubah menjadi tombak yang kemudian menghabisi nyawa Salya. Sementara itu, dalam Serat Bratayuda tidak disebutkan secara rinci. Hanya dikatakan bahwa Yudistira melempar Kalimasada dan mengenai dada Salya. Kalimasada menghisap darah Salya hingga tewas. Dalam ilustrasi digambarkan Salya tewas dengan sebuah amplop di dadanya. Amplop tersebut merupakan layang ‘surat’ Kalimasada. Dari gambar itu terlihat bahwa ilustrasi mengacu pada cerita pewayangan daripada versi kakawin. Transformasi Kalimasada dari Kakawin Bhāratayuddha ke Serat Bratayuda pernah dibahas oleh Marsono (2004:185—192; 2012:31— 36). Menurut Marsono, perubahan tersebut karena pengaruh agama Islam. Akulturasi Islam dan Hindu ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18 mengakibatkan perubahan konsep Kalimasada (Marsono, 2004:192). PENUTUP Kisah Baratayuda memiliki sejarah yang panjang. Kisah itu melalui beberapa fase, yaitu cerita India yang ditransformasi ke Jawa. Selanjutnya, cerita tersebut berkembang melalui dua arus, yaitu tradisi lisan dan tradisi tulis. Kedua tradisi tersebut bergerak sehingga tercipta beberapa cabang. Cabang tradisi lisan antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Jawa Banyumasan, dan gaya Jawa Timur. Tradisi-tradisi itu memiliki perubahan yang kadang sangat jauh berbeda dari cerita aslinya. Sementara itu, tradisi tulis mengalami perubahan relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan tradisi lisan. Oleh karena itu, cerita dalam teksteks tulis lebih dekat kepada Kakawin Bharatayuddha. Berdasarkan analisis tersebut, dapat diketahui bahwa pembuatan ilustrasi teks Serat Baratayuda naskah pusaka Keraton Yogyakarta dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah fakta kehidupan pada saat itu, teks Serat Baratayuda yang berasal dari Kakawin Bharatayuddha, dan cerita pewayangan dari tradisi lisan. Semua faktor itu diolah ilustrator dengan kreativitasnya. Pada cerita pedalangan Yogyakarta, Brahala mengamuk sehingga banyak yang menjadi korban. Di antaranya adalah Destarata yang mati terinjak raksasa itu. Akan tetapi, dalam teks Serat Bratayuda Destarata masih tetap hidup seperti dalam epos Mahābhārata maupun dalam Kakawin Bhāratayuddha. Sebaliknya, Mangsahpati dan Drupada dalam Mahābhārata maupun dalam Kakawin Bhāratayuddha tewas oleh Durna. Akan tetapi, dalam Serat Bratayuda kedua raja tersebut tetap hidup seperti dalam cerita pedalangan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan ada gambar yang tidak sesuai dengan teks. Perbedaan itu terjadi karena pengaruh faktor-faktor tersebut. Hal itulah yang membuat naskah Serat Bratayuda menjadi unik. DAFTAR PUSTAKA Damami, Mohammad. 2004. “Serat Brangtayuda: Tinjauan dari Sudut Aktualitas Isi” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan Kalijaga. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model. Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hadiprayitno, Kasidi. 2004. “Dari Serat Brangtayuda sampai dengan Bratayuda: Tradisi Pewayangan Yogyakarta” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan Kalijaga. Harjawiyana, Haryana. 2004. “Serat Brangtayuda (Naskah Keraton Yogyakarta): Tinjauan Aspek Sastra dan Ajaran Khusus” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan Kalijaga. Hubungan Teks dan Ilustrasi dalam Serat Bratayuda .... (Kustri Sumiyardana) 17 Ilyas, Hamim. 2004. “Sinkretisme dan Ajaran Islam dalam Serat Bratayuda” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan Kalijaga. Lindsay, Jennifer dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Marsono. 2004. “Kalimasada dalam Teks Bratayuda: Analisis Semiotik” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKIIIAIN Sunan Kalijaga. _______. 2012. “Sastra Jawa Kuna Sebagai Sumber Sastra Nusantara: Jawa Baru” dalam Suastika, I Made dan I Wayan Sukartha. Sastra Jawa Kuna: Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan. Sajid, R.M. 1958. Bauwarna Kawruh Wajang Djilid 2. Surakarta: Widya Duta. Simuh. 2004. “Serat Bratayuda dan Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKIIIAIN Sunan Kalijaga. Suwito, Yuwono Sri. 2004. “Serat Bratayudha Naskah Keraton Ngayogyakarta: Kajian Aspek Budaya dan Perbandingan dengan Serat Bratayudha Lain” dalam Bharatayudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda. Yogyakarta: YKII-IAIN Sunan Kalijaga. 18 Supomo, S. 1993. Bhāratayuddha: An Old Javanese Poem and Its Indian Sources. New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan. Wiryamartana, I. Kuntara. 1977. “Salyawadha: Tinjauan Tentang Hubungan Kakawin Bhāratayuddha dengan Mahabharata”. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. _______. 1988. “Transformasi Wiracarita Mahabarata Dalam Pewayangan (II)” dalam Citra Yogya nomor 003 tahun I. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—18