EVALUASI PENAMBAHAN EKSTRAK CIPLUKAN (Physalis angulata) DALAM AIR MINUM TERHADAP DAYA HAMBAT BAKTERI SALMONELLA TYPHIMURIUM DAN PERFORMA PUYUH (Coturnix coturnix japonica) 0-4 MINGGU SKRIPSI TARYATI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN TARYATI. D24062702. 2010. Evaluasi Penambahan Ekstrak Ciplukan (Physalis angulata) dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri Salmonella typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica) 0-4 Minggu. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Margi Suci, MS. : Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS. Tanaman ciplukan merupakan tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif imbuhan pakan. Tanaman ini mempunyai senyawa aktif polifenol dan flavonoid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium dan diduga dapat menggantikan colistin sebagai antibiotik untuk meningkatkan pertumbuhan. Penggunaan ciplukan sebagai tanaman herbal dapat mengatasi beberapa dampak negatif yang disebabkan oleh antibiotik, diantaranya resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme tertentu dan residu dari antibiotik yang akan terbawa dalam produk ternak seperti daging, susu, serta telur. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak ciplukan terhadap Salmonella typhimurium dan performa puyuh. Ciplukan yang digunakan adalah bagian daun, batang, dan akar. Ekstrak ciplukan diperoleh dari tanaman ciplukan yang dikeringkan, kemudian direbus selama 26 menit. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 32 ekor burung puyuh, sehingga total puyuh yang digunakan 384 ekor. Perlakuan yang diberikan yaitu R1 (air minum + vitamin), R2 (air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 5% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya), R3 (air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 10% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak ciplukan 5% memiliki daya hambat yang sangat kecil terhadap Salmonella typhimurium, namun pada ekstrak ciplukan 10% daya hambat lebih baik. Ekstrak ciplukan 10% memiliki daya hambat 5,6 mm terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Ekstrak ciplukan yang diperoleh dengan cara kumulatif tidak berpengaruh nyata terhadap performa puyuh. Rataan mortalitas (%) setelah pemeliharaan setelah 4 minggu 8,5; 10,5; 10,58, rataan konsumsi pakan kumulatif (g/ekor) 220,60; 231,56; 234,36, rataan bobot badan akhir puyuh (g/ekor) adalah R1=64,48; R2=65,95; R3=68,26, sedangkan rataan pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu) R1=58,12; R2=59,61; R3=64,33. Rataan konsumsi air minum (liter/ekor/minggu) 2,29; 1,56; 1,42, rataan konversi pakan 3,79; 3,89; 3,64, rataan persentase bobot karkas (g) 61,22; 69,44; 75,3 dan rataan persentase bobot organ dalam (g) 19,99; 22,92; 23,79. Pemanfaatan ekstrak ciplukan 10% belum dapat meningkatkan performa puyuh. Selain itu, ekstrak ciplukan dalam penelitian ini dapat menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya. Kata-kata kunci : ekstrak ciplukan, puyuh, performa, daya hambat, Salmonella typhimurium ABSTRACT Evaluating the Effect of Ciplukan Extract Addition On Salmonella typhimurium Antibacterial Activity Test and 1-4 Weeks Old Quail Performances Taryati, D. M. Suci, and I. K. Amrullah This study was conducted to known the effect of the ciplukan extract on Salmonella typhimurium and quail’s performances period of during 1-4 weeks. The materi of this research are 384 quail’s 2 days old with average body weight 6.91 gram and ciplukan extract from leaf, stem, and roots. Ciplukan extract made from ciplukan’s plant which dried, then 26 minutes boiled. The animal was reared at battery cage on 12 pens of 60x120x30 cm per pen. The research was conducted by using completely randomized design (CRD) with 3 treatment and 4 replications, each replication consist of 32 quail. The treatment was R1 (quail drink was given vitamin sanbe-mix D), R2 (quail drink was given 5% of ciplukan extract), R3 (quail drink was given 10% ciplukan extract). The variables was mortality, feed intake, body weight, weight gain, consume of drinking water, feed conversion ratio, carcass percentage, giblets weights percentage and antibacterial activity test of Salmonella typhimurium. The result showed that the use of ciplukan extract up to 10% in the quail drinking decreased quail performances. Beside that, ciplukan extract can decreased mortality every weeks. The ciplukan extract 10% have resistivity 5.6 mm towards Salmonella typhimurium bacteria. Key words: ciplukan extract, quail, performances, Salmonella typhimurium EVALUASI PENAMBAHAN EKSTRAK CIPLUKAN (Physalis angulata) DALAM AIR MINUM TERHADAP DAYA HAMBAT BAKTERI SALMONELLA TYPHIMURIUM DAN PERFORMA PUYUH (Coturnix coturnix japonica) 0-4 MINGGU TARYATI D24062702 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 Judul Skripsi : Evaluasi Penambahan Ekstrak Ciplukan (Physalis angulata) dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri Salmonella typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica) 0-4 Minggu Nama : Taryati NIM : D24062702 Menyetujui : Pembimbing Utama Pembimbing Anggota (Ir. Dwi Margi Suci, MS.) NIP. 19610905 198703 2 001 (Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS.) NIP. 19521110 198003 1 004 Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Dr. Ir. Idat G Permana, MSc. Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001 Tanggal Ujian : 31 Agustus 2010 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 17 Juli 1987 dari pasangan Bapak Saja dan Ibu Erum. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pepedan pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Parigi. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ciamis pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui program Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan selama di kampus, seperti menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi Peternakan (HIMASITER) pada tahun 20072008. Penulis juga melakukan magang di PT. Charoen Pokphand Jaya Farm 4 Subang selama satu bulan tahun 2008. KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan lindungan-Nya kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan kuliah, penelitian, dan menyusun tugas akhir dengan lancar. Skripsi yang berjudul “Evaluasi Penambahan Ekstrak Ciplukan (Physalis angulata) dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri Salmonella typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica) 0-4 Minggu” ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis pada bulan Juli hingga September 2009 di Peternakan Bapak Prasetyo Desa Situ Udik (Leuwiliang), Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi, serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro) Cimanggu, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak ciplukan (Physalis angulata) terhadap daya hambat bakteri Salmonella typhimurium dan performa puyuh (Conturnix conturnix japonica). Semakin mahalnya harga obat modern di pasaran merupakan salah satu alasan untuk menggali kembali penggunaan obat tradisional. Penggunaan obat tradisional di bidang peternakan saat ini semakin dikembangkan dalam menggantikan peranan antibiotik karena dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan ternak oleh ketentuan Masyarakat Uni Eropa nomor 2821 tahun 1998. Oleh karena itu, beberapa negara telah menggantikan fungsi antibiotik dalam pakan dengan pemakaian herbal, salah satunya dengan pemakaian ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh. Bogor, Agustus 2010 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................ ii ABSTRACT ................................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL .......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................... Tujuan ................................................................................................ 1 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 Karakteristik Tanaman Ciplukan ....................................................... Senyawa Aktif dalam Ciplukan ......................................................... Burung Puyuh .................................................................................... Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh .................................................... Ekstraksi .............................................................................................. 3 4 7 7 12 MATERI DAN METODE ............................................................................. 13 Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Ekstrak Ciplukan ...................................................................... Pakan ....................................................................................... Ternak ..................................................................................... Kandang dan Peralatan………………………………………… Indukan ……………………………………………………….. Metode ............................................................................................... Perlakuan ................................................................................. Rancangan Percobaan .............................................................. Peubah yang Diamati .............................................................. Prosedur ............................................................................................. Pemberian Ekstrak Ciplukan ..................................................... Pemberian Pakan dan Air Minum ............................................. Pengukuran Suhu....................................................................... Pemotongan Karkas Puyuh…………………………………… HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 13 13 13 14 14 14 15 14 15 16 16 18 18 19 19 19 20 Peranan Zat Bioaktif Ciplukan ........................................................... Keadaan Umum Peternakan Puyuh .................................................... Penggunaan Ekstrak Ciplukan dalam Air Minum .............................. 20 23 24 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 30 Kesimpulan ......................................................................................... Saran .................................................................................................. 30 30 UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 32 LAMPIRAN ................................................................................................... 35 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh Periode Starter sampai Periode Petelur 8 2. Konsumsi Pakan Puyuh Periode Pertumbuhan .............................. 9 3. Konsumsi Air Minum Puyuh Periode Pertumbuhan ..................... 10 4. Kandungan Nutrien Ciplukan (Physalis angulata) berdasarkan As Fed .............................................................................................. 13 5. Hasil Analisis Proksimat Pakan Puyuh (As Fed) ............................ 14 6. Komposisi Vitamin Mix (Sanbe Mix) ............................................. 16 7. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Ciplukan .................................... 20 8. Hasil Uji Sumur Ekstrak Ciplukan ................................................. 21 9. Performa Puyuh Secara Kumulatif Setelah Pemeliharaan Selama 4 Minggu yang Diberi Perlakuan Vitamin Mix dan Ciplukan 25 10. Rata-rata Suhu Pemeliharaan Puyuh Minggu 1-4............................ 25 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas (%) Puyuh Minggu 1-4 ... 26 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Bobot Karkas Puyuh Jantan dan Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu ............................. 29 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Ciplukan ........................................................................................... 3 2. Struktur Senyawa Flavonoid .......................................................... 5 3. Diagram Alur Proses Uji Sumur Difusi .......................................... 17 4. Zona Hambat Bakteri Ekstrak Ciplukan 5% dan 10% terhadap Bakteri Salmonella typhimurium .................................................... 22 5. Denah Kandang Peternakan Puyuh ................................................. 24 6. Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Aktivitas Metabolisme Tubuh Puyuh .................................................................................. 27 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Sidik Ragam Rataan Mortalitas selama 4 Minggu………………………….. 36 2. Sidik Ragam Rataan Mortalitas Minggu 1-4………...................................... 36 3. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Pakan selama 4 Minggu………………….. 36 4. Sidik Ragam Rataan Bobot Badan Akhir selama 4 Minggu………………... 36 5. Sidik Ragam Rataan Pertambahan Bobot badan selama 4 Minggu………... 36 6. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Air Minum selama 4 Minggu……………... 37 7. Sidik Ragam Rataan Konversi Pakan selama 4 Minggu……………………. 37 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Karkas selama 4 Minggu………………….. 37 9. Sidik Ragam Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu………………….. 37 10. Rataan Konsumsi Pakan Puyuh Minggu 1-4……………………………. 38 11. Rataan Bobot Badan Akhir Puyuh Minggu 1-4……………………… 38 12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Puyuh Minggu 1-4……………… 38 13. Rataan Konsumsi Air Minum Puyuh Minggu 1-4…………………………. 39 14. Rataan Konversi Pakan Puyuh Minggu 1-4………………………………… 39 PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak yang sehat pada umumnya memiliki komposisi mikroflora saluran pencernaan relatif tetap, namun bila stabilitasnya terganggu maka mikroorganisme patogen akan membuat koloni dan menyebabkan infeksi yang serius pada tubuh ternak tersebut. Salah satu bakteri yang bersifat patogen adalah Salmonella sp. Bakteri ini dapat mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan dan demam tiroid. Alternatif pencegahan bakteri yang bersifat patogen yang dilakukan oleh peternak adalah dengan cara memberikan antibiotik. Antibiotik dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen, namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme patogen tertentu. Selain itu, residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur, susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu berbahaya telah mengajak ilmuan untuk mencari alternatif imbuhan pakan yang aman dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan kekebalan tubuh ternak. Salah satunya penggunaan tanaman herbal, yang banyak tumbuh di Indonesia dan sudah zaman dahulu digunakan oleh masyarakat. Ciplukan (Physalis angulata) merupakan tanaman herbal yang memiliki aktivitas sebagai antihiperglikemi, antibakteri, antivirus, imunostimulan dan imunosupresan (imunomodulator), antiinflamasi, antioksidan, dan sitotoksik. Selain itu, ciplukan dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan performa dengan menekan bakteri patogen karena adanya kandungan bioaktif polifenol dan flavonoid. Penggunaan ciplukan di suatu peternakan dapat mengurangi biaya pemeliharaan dengan hasil panen yang cukup maksimal dan mudah didapat. Ciplukan digunakan oleh peternak dengan merebusnya di dalam air untuk mendapatkan ekstrak, yang diberikan pada ternak melalui air minum agar terjamin homogenitas, absorpsi lebih cepat, dosis lebih seragam, dan dapat mengurangi iritasi mukosa lambung apabila diberikan dalam bentuk sedian padat. 1 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ciplukan (Physalis angulata) terhadap daya hambat bakteri Salmonella typhimurium dan performa puyuh (Conturnix conturnix japonica). 2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Ciplukan (Physalis angulata) Ciplukan termasuk divisi Spermatophyta sub divisi Angiospermae. Selain itu ciplukan termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, bangsa Solanales, suku Solanaceae, marga Physalis, dan jenisnya Physalis angulata (Hadisaputra, 2008). Gambar 1. Ciplukan Populasi ciplukan pertama kali ditemukan di daratan Amerika yang kini populasinya telah menyebar luas di daerah tropis di dunia. Di Indonesia, khususnya di dearah Jawa, ciplukan mudah ditemukan karena tumbuh liar di kebun, tegalan, tepi jalan, semak, hutan ringan, dan tepi hutan. Sebutan ciplukan berasal dari daerah Jawa (Sunda), leletop dari Sumatera Timur, ceplukan dari Jawa Tengah, jorjoran dari Madura, ciciplukan dari Bali, dedes atau sasak dari Nusa Tenggara, leletopan dari Makasar, dan lapununat dari Seram (Hadisaputra, 2008). Tanaman ciplukan (Physalis angulata) cocok hidup di tanah yang subur, gembur, tidak tergenang air, dan memiliki pH mendekati netral. Ciplukan mampu hidup pada tanah agak padat dan kurang terawat bersama tanaman liar yang lainnya. Tanaman ciplukan yang hidup pada tempat yang tepat (memenuhi persyaratan tumbuh) akan lebih subur dibanding tanaman yang hidup pada tempat yang kurang tepat. Tanaman ciplukan mudah didapat pada musim hujan. Oleh karena itu, tanaman ciplukan cocok dibudidayakan di daerah yang agak basah dan di tempat yang terbuka atau agak ternaung. Ciplukan dapat hidup dengan ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut dan dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi, dengan suhu udara berkisar antara 18⁰C-35⁰C (Pitojo, 2006). 3 Pembudidayaan tanaman ciplukan dapat dilakukan secara generatif atau vegetatif. Perkembangbiakan generatif dapat menggunakan benih tua dan matang. Buah ciplukan tua dapat diperoleh dari tanaman ciplukan yang telah berumur 2,5 bulan dengan kondisi buah sehat, kulitnya tampak kering mengkilat dan tidak terdapat bekas gangguan hama. Perkembangbiakan vegetatif dilakukan dengan cara perundukan. Perundukan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman ciplukan yang dilakukan dengan melengkungkan cabang atau ranting tanaman ciplukan yang berada di bagian bawah, yang kemudian ditimbun di dalam tanah. Dalam jangka waktu lebih dari 1 bulan, akan keluar akar dari ruas batang atau ranting tanaman ciplukan (Pitojo, 2006). Senyawa Aktif dalam Ciplukan Komposisi dari tanaman ciplukan, antara lain biji mengandung 12-25% protein dan 15-40% minyak lemak dengan komponen utama asam palmitat dan asam stearat, akar mengandung alkaloid, daun mengandung glikosida flavonoid (luteolin), dan tunas mengandung flavonoid dan saponin (Hadisaputra, 2008). Kandungan kimia yang terdapat dalam ciplukan di antaranya saponin, flavonoid, polifenol, asam klorogenat, zat gula, elaic acid, dan fisalin. Tanaman ciplukan bersifat analgetik (penghilang nyeri), detoksikan (penetral racun) serta pengaktif fungsi kelenjarkelenjar tubuh. Saponin yang terkandung dalam ciplukan memberikan rasa pahit dan berkhasiat sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus besar. Flavonoid dan polifenol berkhasiat sebagai antioksidan (Hadisaputra, 2008). Polifenol dan flavonoid merupakan senyawa utama dalam tanaman ciplukan yang dapat digunakan sebagai antioksidan. Flavonoid dan polifenol termasuk ke dalam senyawa fenol (Hadisaputra, 2008). Polifenol memiliki rumus kimia C21H20O6. Senyawa-senyawa polifenol mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkapan radikal (radical scavenging) dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Waji, 2009). Polifenol ini berperan melindungi sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas dengan cara mengikat radikal bebas sehingga mencegah proses inflamasi dan peradangan pada sel tubuh (Smith et al., 2003). 4 Polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol yang berbeda pula. Keaktifan antibakteri polifenol bergantung pada kandungan protein polyamides pada bakteri. Penghambatan bakteri oleh komponen dari fenol diakibatkan karena terbentuknya ikatan hidrogen fenol dengan protein inti (Karou et al., 2005). Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6. Senyawa flavonoid mempunyai gugus hidroksi yang tersubsitusi pada orto dan para terhadap gugus –OH dan –OR. Flavonoid menurut Achmad (1986) merupakan kelompok senyawa fenol terbesar di alam. Struktur senyawa flavonoid disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur Senyawa Flavonoid (Sumber: Pramono et al., 1993) Efek flavonoid banyak sekali sehingga banyak orang yang menggunakan tumbuhan yang mengandung flavonoid dalam pengobatan tradisional (Middleton dan Kadaswani, 1992). Menurut Masduki (1996); Winarno & Sundari, (1996); Dzulkarnain et al. (1996) flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Diduga penghambatan pertumbuhan Salmonella typhimurium juga karena ada efek fenolik dari flavonoid. 5 Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superhidroksi sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya merupakan komponen aktif tumbuhan yang dapat digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati. Manfaat lain dari flavonoid adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Max, 1986). Flavonoid dapat berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan menggangu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Waji, 2009). Flavonoid dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal (Rohman, 2005). Menurut Gunawan (2009), aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap bakteri Salmonella typhimurium dilakukan dengan merusak dinding sel dari bakteri Salmonella typhimurium yang terdiri atas lipid dan asam amino. Senyawa tersebut akan bereaksi dengan gugus alkohol flavonoid sehingga dinding sel akan rusak. Di samping itu, gugus alkohol dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Senyawa flavonoid akan kontak dengan DNA pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium dan melalui perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid akan dapat terjadi reaksi yang akan merusak struktur lipid dari DNA bakteri Salmonella typhimurium sehingga inti sel bakteri juga akan lisis dan bakteri Salmonella typhimurium juga akan mengalami lisis dan mati. Seperti halnya Syzygium polyanthum (daun salam), flavanoid pada ekstrak ciplukan juga mengandung senyawa minyak astiri, tannin, flavonoid, dan eugenol. Mekanisme yang ditimbulkan Syzygium polyanthum (daun salam) terhadap infeksi Salmonella typhi adalah sebagai anti bakteri dan meningkatkan fagositas. Dengan efek imunomodulasi yang terdapat pada Syzygium polyanthum, maka tanaman ini dapat digunakan untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap infeksi bakteri patogen fakultatif intraseluler, salah satunya adalah Salmonella typhi (Ambarwati, 2007). Noor (2006) menyatakan bahwa daya hambat antibakteri ekstrak daun tanjung yang mengandung senyawa flavonoid dengan dosis 1 g/ml daya hambatnya terhadap Salmonella typhimurium 12,16 mm. Menurut Pratiwi (2008) daya hambat 6 tepung daun jarak dengan konsentrasi 10% dapat menghambat Salmonella typhimurium sebesar 6,8 mm. Burung Puyuh ( Coturnix coturnix japonica ) Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh disebut juga gemak (Bahasa Jawa-Indonesia). Bahasa Latinnya disebut quail, merupakan bangsa burung liar yang pertama kali diternakan di Amerika Serikat, tahun 1870, dan terus dikembangkan ke penjuru dunia. Di Indonesia puyuh mulai dikenal, dan diternak semenjak akhir tahun 1979. Kini mulai bermunculan di kandang-kandang ternak yang ada di Indonesia. Puyuh menghasilkan telur dan daging yang mempunyai nilai gizi dan rasa yang lezat, bulunya sebagai bahan aneka kerajinan atau perabot rumah tangga lainnya, kotorannya sebagai pupuk kandang ataupun kompos yang baik dapat digunakan sebagai pupuk tanaman (Setianto, 2005). Puyuh merupakan hewan yang diklasifikasikan dalam kelas Aves, ordo Galiformes, sub ordo Phasianoidae, famili Phasianidae, sub famili Phasianinae, genus Coturnix, species Coturnix coturnix japonica. Coturnix coturnix japonica mempunyai panjang badan sekitar 19 cm, berbadan bulat, berekor pendek, paruh pendek dan kuat serta berjari kaki empat dan berwarna kekuning-kuningan dengan susunan; tiga jari menghadap ke depan dan satu jari menghadap ke belakang (Anggorodi, 1995). Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh Puyuh mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk berlangsungnya proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal sehingga proses pertumbuhan dan produksi telur berlangsung optimal. Kandungan energi pakan perlu memperhatikan kandungan zat-zat nutrisi. Zat-zat nutrisi (nutrien) merupakan substansi yang diperoleh dari bahan pakan yang dapat digunakan ternak apabila tersedia dalam bentuk yang telah siap digunakan oleh sel, organ, dan jaringan (Kartasujana dan Suprijatna, 2005). Kebutuhan zat nutrisi puyuh pada periode starter sampai periode petelur terlampir pada Tabel 1. 7 Tabel 1. Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh pada Periode Starter sampai Periode Petelur Periode Protein (%) Energi ( kkal/kg) Min 19 Min 2800 Pertumbuhan 20 2700 Petelur 22 2900 Anak Puyuh (starter) Sumber : SNI, 1994 Performa ternak adalah pencerminan dari keseluruhan aktivitas organ tubuh. Untuk mencapai performa maksimal, perlu mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi performa ternak diantaranya, pertambahan bobot badan, bobot badan, konsumsi pakan, konsumsi air minum, konversi pakan, dan mortalitas (Kartasujana dan Suprijatna, 2005). Faktor pertama dan kedua yang mempengaruhi performa adalah pertambahan bobot badan dan bobot badan. Pertambahan bobot badan dan bobot badan termasuk dalam pertumbuhan. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah ataupun ukuran sel, bentuk dan berat jaringan-jaringan tubuh seperti tulang, urat daging, jantung, otak serta semua jaringan tubuh lainnya kecuali jaringan lemak dan pertumbuhan terjadi dengan cara yang teratur (Anggorodi, 1985). Woodard et al. (1973) menjelaskan bahwa bobot badan puyuh yang optimal pada minggu keempat dengan energi pakan 2880 kkal/kg dan protein pakan 25% adalah 76,5 gram. Menurut Kaharuddin (2007) bobot badan pada umur sama yang dicapai berkisar 68,09-72,18 gram dengan pakan yang memiliki energi 2900 kkal/kg dan protein 24%. Berbeda halnya dengan penelitian Guler (2005) dengan pemberian biji ketumbar 5% pada pakan dengan energi 2990, protein 24% pada minggu keempat bobot badan yang dicapai adalah 23,25 gram. Bobot badan unggas dipengaruhi antara lain oleh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Kaharuddin (2007) menyatakan bahwa rataan pertambahan bobot badan yang optimal dicapai selama empat minggu berkisar 64,53-68,09 gram. Hasil penelitian Guler (2005), rataan pertambahan bobot badan yang dicapai selama 4 minggu adalah 17,51 gram. Menurut Guler (2005), pertambahan bobot badan yang dicapai pada setiap minggunya adalah 3,86 gram pada minggu pertama; 5,32 gram pada minggu kedua; 5,87 gram pada minggu ketiga; 4,08 gram pada minggu keempat. Bobot badan dan pertambahan bobot badan yang dicapai sangat mempengaruhi persentase karkas dan 8 persentase organ dalam. Andriana (1997), menyatakan bahwa persentase bobot karkas puyuh umur enam minggu adalah 65,11-66,15% dan penelitian Guler (2005) menghasilkan kisaran persentase bobot karkasnya 70-72,4 gram. Jull (1977) menyatakan bahwa, bobot karkas dipengaruhi oleh metode prosesing dengan dilakukan pengulitan, sehingga jaringan kulit tidak masuk bobot karkas. Faktor ketiga yang mempengaruhi performa adalah konsumsi pakan. Konsumsi pakan sangat bergantung pada kualitas pakan yang diberikan. Pakan adalah campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada puyuh untuk memenuhi kebutuhan zat-zat nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan, dan reproduksi. Agar pertumbuhan dan produksi maksimal, jumlah dan kandungan zat-zat nutrisi yang diperlukan puyuh harus terpenuhi. Puyuh mengkonsumsi pakan agar kebutuhan energinya terpenuhi, untuk berlangsungnya proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal (Suprijatna, 2002). Rataan konsumsi pakan puyuh selama 4 minggu adalah 260,45 gram/ekor (Kaharuddin, 2007). Konsumsi pakan puyuh periode pertumbuhan pada setiap minggunya terlampir pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Pakan Puyuh Periode Pertumbuhan Umur (Hari) Konsumsi (g/ekor/hari) 1-7 2 7-14 4 14-21 8 21-30 10 30-35 12 35-42 15 Sumber : Sritharet (2002) Faktor keempat yang mempengaruhi performa adalah konversi pakan. Teknik pemberian pakan yang baik dapat menekan angka konversi pakan sehingga keuntungan bertambah. Konversi pakan pada puyuh adalah perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan jumlah berat badan yang dihasilkan, semakin tinggi nilai berat badan pada tingkat konsumsi yang sama maka konversi pakan yang berarti akan semakin efisien penggunaan pakan oleh puyuh tersebut semakin kecil 9 (Haruna, 2008). Konversi pakan menjadi daging atau telur harus berlangsung secara efisien dan ekonomis untuk memperoleh keuntungan (Suprijatna, 2002). Menurut Kaharuddin (2007) kisaran konversi pakan pemeliharaan puyuh periode pertumbuhan adalah 3,91-4,17. Penelitian Sagala (2009), yaitu pemberian tepung semak putih dalam pakan puyuh sebagai kontrol memiliki konversi pakan sekitar 4,31. Sedangkan penelitian Setianto (2005) tentang pemberian cassava dan tepung indigofera sebagai pengganti jagung dalam pakan puyuh sebagai kontrol memiliki konversi pakan 4,31-5,12. Faktor kelima yang dapat mempengaruhi performa adalah konsumsi air minum. Air merupakan bagian yang sangat penting bagi makhluk hidup. Hampir seluruh bagian tubuh, mengandung air dan membutuhkan air. Air ini akan diperoleh oleh puyuh dengan tiga cara, yaitu: melalui air yang diminum, melalui air dalam makanan dan air metabolis. Kekurangan air akan mempengaruhi produksi (Sritharet, 2002). Konsumsi air minum puyuh pada periode pertumbuhan terlampir pada Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi Air Minum Puyuh Periode Pertumbuhan Umur (Minggu) Konsumsi (Liter) 0-2 0,40-0,80 2-4 1,00-1,30 4-6 1,30-1,60 6-8 1,60-2,50 >8 5,60-6,00 Sumber: Sritharet (2002) Faktor yang keenam yang mempengaruhi performa adalah mortalitas. Puyuh merupakan unggas yang sangat rentan mengalami stress yang dapat mengakibatkan kematian pada periode pemeliharaan. Kematian puyuh lebih banyak terjadi ketika masih kecil. Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa puyuh betina lebih banyak mati pada umur muda dibandingkan puyuh jantan khususnya untuk peternakan puyuh pembibitan dan puyuh jantan ini hidup lebih lama daripada puyuh betina. Kaharuddin (2007) menyatakan bahwa mortalitas puyuh periode pertumbuhan memiliki kisaran 7,63-7,17%. 10 Beberapa faktor yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah : (1) Kondisi dari anak puyuh, karena dalam satu kelompok terdapat puyuh yang kuat dan lemah. Puyuh yang lemah sering menyebabkan terjadinya penyakit, karena daya tahannya yang lemah. (2) Faktor pemeliharaan. Misalnya pemanas kurang sesuai, menyebabkan anak puyuh kedinginan. Sehingga daya tahan berkurang dan akhirnya terserang penyakit. (3) Pakan. Kekurangan unsur gizi atau kerusakan makanan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anak puyuh. (4) Lingkungan, termasuk curah hujan yang terlalu tinggi dan kelembaban yang tinggi membantu menyuburkan pertumbuhan bibit penyakit dan memperlemah daya tahan anak puyuh (Woodard et al., 1973). Menurut Yousef (1985), suhu lingkungan tinggi dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi fisologis dan produktivitas puyuh. Puyuh lebih banyak mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak normal, sehingga puyuh tidak dapat menggunakan pakan secara efisien untuk meningkatkan bobot badan (Gunawan dan Sihombing, 2004). Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh puyuh. Suhu tubuh yang tinggi ini akan mengakibatkan beban panas bagi puyuh dan akhirnya aktivitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktivitas metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat akibatnya berupa menurunnya aktivitas makan dan minum (Gunawan dan Sihombing, 2004). Suhu ideal yang dibutuhkan oleh anak puyuh adalah suhu normal atau suhu ruangan (37,70C pada minggu ke-1), (32,20C pada minggu ke-2) dan (32,20C) pada minngu ke-3) (Banks, 1979; USDA, 1974). Salah satu penyakit yang menyebabkan angka mortalitas tinggi adalah penyakit Salmonelosis, yaitu penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella sp dan sering menyerang unggas. Habitat utama Salmonella di dalam saluran usus hewan (unggas, reptil, hama tanaman) dan manusia. Salmonella juga terdapat dalam bagian tubuh lainnya dan di udara yang tercemar. Salmonellosis adalah infeksi Salmonella bersifat zoonosis yang menyebar ke seluruh dunia. Bakteri yang paling berbahaya yang dapat menyebabkan diare adalah Salmonella typhimurium, yaitu bakteri patogen yang mempunyai kemampuan transmisi, perlekatan pada sel inang, invasi sel dan jaringan inang, toksigenisitas dan kemampuan menghindari sistem imun inang. Sekali masuk ke dalam tubuh, bekteri akan menempel atau melekat pada sel inang, biasanya pada sel epitel. Hasil pengujian Salmonella pada produk pangan asal 11 hewan di Laboratorium Pengujian Mutu Produk Peternakan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kontaminasi Salmonella pada produk asal hewan bervariasi misalnya unggas 50%, babi 15% dan sapi atau kambing kurang lebih 1% dan Salmonella pada produk ternak harus 0%. Situasi tersebut menggambarkan bahwa unggas merupakan ternak yang berpotensi besar sebagai sumber penularan Salmonella sp (Nugroho, 2004). Ekstraksi Salah satu cara untuk mengeluarkan suatu zat warna diperlukan suatu metode yaitu metode ekstraksi. Metode ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan yang berasal dari suatu padatan atau cairan dengan menggunakan bantuan pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar kelarutan yang berbeda dari komponen-komponen yang dipisahkan terhadap dua pelarut yang tidak saling bercampur. Berdasarkan bentuknya ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) Ekstraksi padatcair, yaitu substansi yang diekstraksi terdapat dalam campuran yang berbentuk padat. (2) Ektraksi cair-cair, yaitu subtansi yang di ekstraksi yang terdapat dalam campuran berbentuk cairan (Indraswari, 2008). Ekstraksi tradisional atau sederhana dapat dilakukan dengan cara perebusan. Cara perebusan merupakan yang paling mudah dengan alat-alat yang sederhana pula. Adapun prinsip pengolahannya yaitu, bahan yang akan diekstrak, direbus dalam pelarut air dengan perbandingan tertentu, bahan direbus sampai terjadi larutan ekstrak, lalu diangkat dan didinginkan lalu disaring, larutan ekstrak siap digunakan (Indraswari, 2008). 12 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Peternakan Bapak Prasetyo Desa Situ Udik (Leuwiliang) Kabupaten Bogor, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2009. Materi Ekstrak Ciplukan Ciplukan yang digunakan terdiri dari bagian akar, batang, daun dan buahnya. Tanaman ciplukan dikeringkan dahulu sebelum dibuat ekstrak dengan menggunakan panas matahari. Pengeringan ini bertujuan agar tanaman ciplukan tidak cepat busuk, dan memperpanjang umur simpan. Ciplukan direbus selama 26 menit. Perbandingan air dan ciplukan adalah 1:1, yaitu 1 liter air dengan 1 kilogram ciplukan kering, dari 1 kilogram ciplukan dihasilkan ekstrak ciplukan sebanyak 500 ml. Kandungan zat nutrien ciplukan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrien (Physalis angulata) Berdasarkan As Fed Komponen Jumlah Bahan Kering (%) 26,97 Abu (%) 8,16 Protein Kasar (%) 7,04 Lemak Kasar (%) 0,88 Serat Kasar (%) 7,25 Beta-N (%) 3,64 Energi Bruto (kkal/kg) 1134 Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009) 13 Pakan Pakan penelitian yang digunakan adalah pakan komersil jenis BR 1 Comfeed disusun dari: 34% konsentrat, 50% jagung dan 16% katul halus dan memiliki komposisi nutrien sebagaimana terlampir pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Pakan Puyuh (As Fed) Komponen Jumlah Bahan Kering (%) 80,91 Abu (%) 16,38 Protein Kasar (%) 24,07 Serat Kasar (%) 5,05 Lemak Kasar (%) 2,24 Beta-N (%) 33,17 Energi Bruto (kal/gram) 3659 Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009) Ternak Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 384 ekor yang berumur 2 hari dan dipelihara selama 4 minggu dengan rataan bobot badan awal 6,91gram. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan sebanyak 12 buah kandang koloni terbuat dari kayu dilengkapi ram kawat. Ukuran kandang untuk anak puyuh (DOQ) lebarnya 60 cm, panjang 120 cm dan tinggi 30 cm, kandang tersebut dibagi menjadi 12 unit kandang. Setiap kandang diisi dengan 32 ekor anak puyuh. Unit kandang tersebut menggunakan alas koran, hal ini dilakukan agar anak puyuh tidak jatuh. Pada setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Pakan puyuh yang berumur 1 hari sampai 4 minggu ditempatkan pada baki. Ram dipasang di atas baki agar pakan tidak tercecer yang kemudian ditaruh di dalam unit. Anak puyuh menggunakan tempat minum galon air yang sama dengan anak ayam. Karena tubuh anak puyuh kecil, dikhawatirkan akan tercebur ke dalam bak minum, maka untuk mencegahnya dimasukkan kelereng ke dalam bak minum. 14 Indukan Indukan atau alat pemanas untuk anak puyuh menggunakan bola lampu pijar. Setiap unit kandang terdiri dari 2 lampu dengan daya masing-masing lampu 25 watt, hal ini untuk menjaga suhu kandang agar tidak dingin. Selain menggunakan lampu unit kandang tersebut untuk bagian depannya dipasang papan yang bisa ditutup dan dibuka, agar suhu didalam unit kandang tersebut lebih hangat. Pada hari ke-5 pemeliharaan, papan yang digunakan untuk penutup unit kandang pada siang hari dilepas satu, karena bobot badan puyuh mulai bertambah dan pada hari ke-10 lampu yang digunakan sebagi indukan pada siang hari dimatikan. Sedangkan untuk minggu ke-3 tutup unit kandang semuanya dilepas, dan lampu dimatikan pada siang hari. Metode Perlakuan Perlakuan pada penelitian adalah jumlah pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum : Perlakuan 1 (R1) : Air minum + vitamin mix Perlakuan 2 (R2) : Air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 5% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya (20 ml/hari pada minggu pertama, 40 ml/hari pada minggu kedua, 50 ml/hari pada minggu ketiga, 65 ml/hari pada minggu keempat) Perlakuan 3 (R3) : Air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 10% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya (40 ml/hari pada minggu pertama, 80 ml/hari pada minggu kedua, 100 ml/hari pada minggu ketiga, 130 ml/hari pada minggu keempat) Komposisi vitamin mix yang digunakan pada penelitian ini terlampir pada Tabel 6. 15 Tabel 6. Komposisi Vitamin Mix (Sanbe Mix) Tiap kg mengandung Satuan Colistin 5.000 mg Vitamin A 5.000.000 IU Vitamin D3 800.000 IU Vitamin E 2.000 mg Vitamin K3 800 mg Vitamin B2 3.200 mg Vitamin B12 2.500 mcg Vitamin C 20.000 mg Ca-d-pantothenate 4.800 mg Nicotinamide 13.000 mg Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan dengan satu ulangan 32 ekor puyuh. Model matematik untuk percobaan ini dengan Rancangan Acak Lengkap (Steel dan Torrie, 1993) adalah sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij Keterangan : Yij = Efek perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum αi = Efek utama perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i εij = Error (gallat) perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i dan ulangan ke-j Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang Diamati Peubah yang diamati adalah uji sumur difusi, mortalitas, konsumsi pakan, bobot badan, pertambahan bobot badan, konsumsi air minum, konversi pakan, persentase karkas dan persentase organ dalam. 16 1. Uji Sumur Difusi (Pratiwi, 2008) Uji sumur difusi dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terbaik ekstrak ciplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Uji ini merupakan uji kuantitatif. Sebelum melakukan uji difusi, terlebih dahulu dilakukan peremajaan bakteri. Bakteri harus diremajakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk uji antibakteri. Bakteri dibiakkan pada agar miring yang telah disterilkan, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Kultur bakteri tersebut diambil sebanyak satu ose dan diinokulasikan ke tabung reaksi yang berisi 10 ml media cair Natrium Broth steril. Kemudian diinkubasi pada shaker water bath selama 24 jam. Kultur bakteri yang telah diremajakan diambil sebanyak 50 µl menggunakan pipet mikro lalu dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya media selektif agar steril 15 ml dituangkan ke dalam cawan petri, lalu dicampur merata dan dibiarkan memadat pada suhu kamar. Setelah media memadat, dibuat lubang berdiameter 0,5 cm menggunakan pangkal pipet tetes, lalu ditetesi dengan ekstrak ciplukan 5% dan 10%, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Daya antibakteri masing-masing perlakuan ditunjukkan oleh diameter zona bening disekitar lubang. Pengukuran adanya kekuatan antibiotik terhadap bakteri menurut Pratiwi (2008) digunakan metode dari Davis Stout dengan ketentuan: sangat kuat (daerah hambat 20 mm atau lebih), kuat (daerah hambat 10-20 mm), sedang (daerah hambat 5-10 mm) dan lemah (daerah hambat <5 mm). Gambar 3. Diagram Alur Proses Uji Sumur Difusi 17 2. Mortalitas (%) Angka mortalitas diperoleh dari jumlah puyuh yang mati seluruhnya dibagi dengan jumlah awal puyuh pada awal percobaan dikalikan seratus persen. 3. Konsumsi Pakan (g/ekor) Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pakan yang diberikan dalam satu minggu dikurangi sisa pakan pada akhir minggu tersebut. 4. Bobot Badan akhir (g/ekor) Bobot badan akhir rata-rata per ekor diukur dengan menimbang puyuh pada akhir pemeliharaan. 5. Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) Pertambahan bobot badan rata-rata setiap minggu diukur berdasarkan bobot badan pada akhir minggu dikurangi bobot badan pada awal minggu. 6. Konsumsi Air Minum (liter/hari) Konsumsi air minum dihitung setiap hari dari pemberian air minum awal dikurangi sisa akhir minum diukur setiap hari. 7. Konversi pakan Konversi pakan dihitung berdasarkan jumlah konsumsi rataan dibagi dengan pertambahan bobot badan rata-rata setiap minggu selama penelitian. 7. Persentase Karkas (%) Karkas diperoleh dari puyuh jantan (setiap ulangan dua ekor) pada masingmasing perlakuan. Persentase karkas dihitung dengan membagi bobot karkas puyuh jantan umur empat minggu dengan bobot akhir dikalikan 100%. 8. Persentase Organ Dalam (%) Dihitung dengan membagi organ dalam (hati, jantung, ampela dan sekum) puyuh jantan umur empat minggu dengan bobot akhir dikalikan 100%. Prosedur Pemberian Ekstrak Ciplukan Pemberian ekstrak ciplukan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian air minum dengan dosis 5% dan 10% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya. 18 Pemberian Pakan dan Air Minum Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari. Pakan puyuh diberikan secara ad libitum. Sedangkan untuk pemberian air minum dilakukan setelah puyuh tersebut mengkonsumsi ekstrak ciplukan. Air minum yang diberikan sesuai dengan kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya. Kebutuhan air minum puyuh terlampir pada Tabel 3. Pengukuran Suhu (Robiansyah, 2006) Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00-08.00 WIB), siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00-17.00 WIB). Alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer yang ditempatkan pada unit kandang. Nilai suhu udara yang diperoleh pada pagi hari, siang dan sore hari kemudian dihitung untuk mendapatkan suhu harian dengan rumus: Suhu harian 2 x nilai pagi nilai siang 4 nilai sore Pemotongan Karkas Puyuh Setelah puyuh berumur empat minggu dilakukan pemisahan puyuh jantan dan betina. Penampilan fisik puyuh jantan berwarna coklat muda dan tidak terdapat warna putih sekitar dada. Warna bulu dada puyuh betina adalah coklat hitam atau abu-abu serta ada warna bintik-bintik putih. Puyuh jantan diambil secara acak dua ekor setiap ulangan sebagai sampel untuk menghitung persentase bobot karkas dan organ dalam. Puyuh dipotong kemudian digantung untuk mengeluarkan darahnya. Kemudian untuk memudahkan pencabutan bulu, puyuh direndam dalam air hangat dengan suhu 60-700C selama beberapa detik. Kepala, leher, dan kaki dipotong lalu puyuh dibelah untuk dikeluarkan organ dalamnya. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Zat Bioaktif Ciplukan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) sampai saat ini masih dipandang sebagai unggas penghasil daging dan telur. Oleh karena itu upaya telah dilakukan untuk meningkatkan performa puyuh sebagai pedaging dan petelur. Penggunaan ekstrak ciplukan yang mempunyai efek seperti antibiotik dapat memperbaiki performa puyuh. Ekstrak ciplukan mengandung flavonoid dan polifenol yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antibakteri (Hadisaputra, 2008). Hasil pengujian dengan analisis fitokimia Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro), Cimanggu Bogor menunjukkan bahwa ekstrak ciplukan secara kualitatif mengandung polifenol dan flavonoid. Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak ciplukan terlampir pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Ciplukan Golongan Senyawa Hasil Kualitatif Polifenol ++++ Flavonoid ++ Keterangan: Hasil Analisis di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu (2009). + (Positif lemah), ++ (Positif), +++ (Positif kuat), ++++ (Positif kuat sekali) Flavonoid yang terdapat dalam ciplukan menurut Masduki (1996); Winarno dan Sundari, (1996); Dzulkarnain et al. (1996) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan penghambatan pertumbuhan Salmonella typhimurium. Efek flavonoid terhadap organisme banyak sekali sehingga banyak orang menggunakan tradisional tumbuhan yang mengandung flavonoid dalam pengobatan (Middleton dan Kandaswani, 1992). Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superhidroksi sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya merupakan komponen aktif tumbuhan yang dapat digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati. Sehingga tidak adanya gangguan organ dalam pada akhir penelitian pada puyuh tersebut. Selain flavonoid, senyawa yang terkandung dalam ekstrak ciplukan adalah polifenol. 20 Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak ciplukan berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan menggangu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Waji, 2009). Flavonoid dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas (Rohman, 2005). Hal ini yang menyebabkan konsentarsi ekstrak ciplukan 10% mempunyai daya hambat terhadap Salmonella typhimurium. Aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap bakteri Salmonella typhimurium dilakukan dengan merusak dinding sel dari bakteri Salmonella typhimurium yang terdiri atas lipid dan asam amino akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Selanjutnya dengan inti sel bakteri juga senyawa ini akan kontak dengan DNA pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium dan melalui perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid akan dapat terjadi reaksi sehingga akan merusak struktur lipid dari DNA bakteri Salmonella typhimurium sehingga inti sel bakteri juga akan lisis dan bakteri Salmonella typhimurium juga akan mengalami lisis dan mati (Gunawan, 2009). Menurut hasil analisis laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor hasil uji sumur menunjukkan bahwa ciplukan dengan konsentrasi 10% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium dengan zona hambat 5,6 mm, sedangkan ekstrak ciplukan 5% zona hambatnya sangat lemah sehingga zona hambat tersebut tidak dapat diukur (Tabel 8). Tabel 8. Hasil Uji Sumur Ekstrak Ciplukan Perlakuan Hasil Kuantitatif 5% Tidak ada zona hambat (sangat kecil) 10% 5,6 mm Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikbrobiologi, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009) Bakteri Salmonella typhimurium dapat mengganggu saluran pencernaan puyuh yang mengakibatkan bobot badan puyuh tersebut menurun. Adanya zona hambat pada sampel uji mengindikasikan bahwa ekstrak ciplukan mengandung 21 senyawa aktif. Sedangkan ekstrak ciplukan dengan konsentrasi 5% tidak mempunyai zona hambat dan populasi Salmonella typhimurium yang tumbuh tidak terdefinisikan. Ekstrak ciplukan dengan konsentrasi yang tinggi mengandung senyawa aktif dengan kadar yang tinggi pula, sehingga lebih besar daya hambatnya terhadap bakteri dibandingkan ekstrak ciplukan dengan konsentrasi rendah. Uji daya hambat ekstrak ciplukan terhadap Salmonella typhimurium disajikan pada Gambar 4. A B Gambar 4. Zona Hambat Bakteri Ekstrak Ciplukan 5% (A) dan 10% (B) terhadap Bakteri Salmonella typhimurium Pengukuran adanya kekuatan antibiotik terhadap bakteri menurut Pratiwi (2008) digunakan metode dari Davis Stout dengan ketentuan: sangat kuat (daerah hambat 20 mm atau lebih), kuat (daerah hambat 10-20 mm), sedang (daerah hambat 5-10 mm) dan lemah (daerah hambat <5 mm). Dapat disimpulkan bahwa ekstrak ciplukan dengan konsentrasi 10% bersifat sedang, karena zona hambatnya 5-10 mm. Zona hambat ekstrak ciplukan terhadap Salmonella typhimurium lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat tepung daun jarak (6,8 mm) dengan konsentrasi 10% (Pratiwi, 2008) dan ekstrak daun tanjung (12,16 mm) dengan dosis 1 g/ml (Noor, 2006). Sehingga performa puyuh selama pemeliharaan 4 minggu dengan perlakuan ekstrak ciplukan hasilnya tidak jauh beda dengan perlakuan vitamin mix. Namun dibandingkan dengan penelitian Guler (2005) yang menggunakan biji ketumbar performa puyuh jauh lebih baik. Selain seyawa flavonoid, senyawa yang terkandung dalam ekstrak ciplukan adalah seyawa polifenol yang mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkapan radikal (radical scavenging) dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Waji, 2009). Polifenol mempunyai 22 aktivitas antibakteri. Kereaktifan antibakteri bergantung pada kandungan protein polyamides pada bakteri. Penghambatan bakteri oleh komponen dari fenol diakibatkan karena terbentuknya ikatan hidrogen fenol dengan protein inti (Karou et al., 2005). Adanya senyawa bioaktif polifenol dan flavonoid pada ekstrak ciplukan menyebabkan ekstrak ciplukan ini bisa digunakan sebagai antibiotik untuk menggantikan vitamin mix. Senyawa bioaktif ini dapat menurunkan populasi Salmonella typhimurium pada puyuh yang dapat menggangu saluran pencernaan puyuh yang fungsinya sama dengan colistin yang terkandung dalam vitamin mix. Keadaan Umum Peternakan Puyuh Peternakan puyuh Bapak Prasetyo yang berlokasi di Situ Udik, Leuwiliang, Bogor ini sudah berdiri dari 5 tahun yang lalu. Peternakan ini masih tergolong skala kecil, namun kelebihan dari peternakan ini adalah memiliki mesin penetasan yang dibuat sendiri, kandang pertumbuhan dan kandang petelur. Peternakan ini menghasilkan telur dan karkas puyuh yang berasal dari puyuh jantan dan betina afkir. Letak kandang di peternakan ini kurang strategis. Kandang pertumbuhan berada di dekat kantor, dapur dan kamar mandi, menyebabkan banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar kandang puyuh. Peternakan ini menggunakan mesin tetas buatan sendiri untuk menetaskan telur puyuhnya dan menghasilkan 384 ekor anak puyuh dari 500 butir telur. Kondisi puyuh setelah menetas sangat lemah, diakibatkan kondisi mesin tetas yang masih dalam tahap percobaan dan pada saat pemindahan ke kandang pertumbuhan banyak puyuh yang mati. Sebelum pemeliharaan dilakukan sanitasi kandang dengan menggunakan disinfektan. Air yang digunakan untuk konsumsi air minum puyuh dan mencuci peralatan kandang berasal dari sawah. Air minum yang diberikan sesuai dengan kebutuhan air minum setiap minggunya. Pakan yang diberikan secara ad libitum berasal dari Comfeed. Denah kandang di peternakan disajikan pada Gambar 5. 23 1 2 3 4 5 10 6 9 8 7 Gambar 5. Denah Kandang Peternakan Puyuh Keterangan: 1. Kantor 2. Ruang penetasan 3. Dapur 4. Kandang pemeliharaan periode pertumbuhan 5. Kamar mandi 6. Tempat penyimpanan feses 7. Kandang pemeliharaan periode petelur 8. Kandang pemeliharaan periode petelur 9. Kandang pemeliharaan periode petelur 10. Kandang pemeliharaan periode petelur Penggunaan Ekstrak Ciplukan dalam Air Minum Penggunaan ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh tidak berbeda nyata terhadap mortalitas, konsumsi pakan, rataan bobot badan, pertambahan bobot badan dengan konsumsi air minum, dan konversi pakan puyuh yang diberi ekstrak ciplukan dengan yang diberi vitamin mix (Tabel 9). Performa puyuh dengan perlakuan ekstrak ciplukan tidak lebih baik dibandingkan dengan perlakuan vitamin mix. Hal ini diduga karena kandungan flavonoid dan polifenol yang terdapat dalam ekstrak ciplukan tidak dapat meningkatkan performa yang bisa disebabkan oleh rendahnya dosis pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum. 24 Tabel 9. Performa Puyuh Secara Kumulatif Setelah Pemeliharaan Selama 4 Minggu yang Diberi Perlakuan Vitamin Mix dan Ciplukan Perlakuan Peubah R1 R2 R3 Mortalitas (%) 8,5 ± 0,66 10,5 ± 1,36 10,58 ± 0,83 Konsumsi pakan (gram/ekor) 220,60 ± 4,61 231,56 ± 4,75 234,36 ± 7,87 Bobot badan akhir (gram/ekor) 64,48 ± 2,51 65,95 ± 3,65 68,26 ± 2,25 Pertambahan bobot badan (gram/ekor) 58,12 ± 0,74 59,61 ± 0,54 64,33 ± 0,98 Konsumsi air minum(liter/ekor) 2,29 ± 0,18 1,56 ± 0,14 1,42 ± 0,13 Konversi pakan 3,79± 0,41 3,89 ± 0,24 3,64 ± 0,545 Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari kebutuhan air minum setiap minggunya. Pada Tabel 9 dan Tabel 11 terlihat bahwa mortalitas puyuh yang diberi ekstrak ciplukan lebih tinggi daripada yang diberi vitamin mix, terutama R3 untuk minggu ke-1. Salah satu penyebabnya adalah suhu. Rataan suhu pemeliharaan puyuh minggu pertama sampai minggu keempat terlampir pada Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata Suhu Pemeliharaan Puyuh Minggu 1-4 Minggu Ke- Rataan Suhu (0) 1 38,93 2 36,22 3 36,44 4 36,16 Suhu ideal yang dibutuhkan oleh anak puyuh adalah suhu normal atau suhu ruangan (37,70C pada minggu ke-1), (32,20C pada minggu ke-2) dan (32,20C) pada minggu ke-3) (Banks, 1979; USDA 1974). Tingkat mortalitas pada minggu pertama sangat tinggi sekali (Tabel 11). Hal ini disebabkan karena suhu pada penelitian ini memiliki kisaran 38,930C (Tabel 10), merupakan suhu yang sangat tinggi untuk anak puyuh. Suhu yang tinggi ini menyebabkan angka mortalitas tinggi. 25 Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas (%) Puyuh Minggu 1-4 Minggu Perlakuan R1 R2 R3 1 3,75 ± 2,63 6,00 ± 2,16 3,5 ± 2,08 2 1,50 ± 0,58 1,00 ± 1,41 2,08 ± 2,06 3 2,00 ± 2,16 1,50 ± 1,29 4,00 ± 2,16 4 1,25 ± 1,50 2,00 ± 2,83 1,00 ± 1,41 Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari kebutuhan air minum setiap minggunya. Mortalitas puyuh pada penelitian selama 4 minggu dibandingkan dengan Kaharudin (2007) masih tinggi (Tabel 9). Namun mortalitas pada setiap minggunya cenderung menurun (Tabel 11), hal ini terlihat dari angka mortalitas yang tinggi pada minggu pertama akibat suhu lingkungan yang cenderung tinggi, kemudian pada minggu kedua sampai minggu keempat angka mortalitasnya menurun. Sehingga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh dapat menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya. Senyawa aktif dalam ekstrak ciplukan diduga dapat menurunkan angka mortalitas, karena senyawa tersebut memiliki daya hambat bakteri. Menurut Yousef (1985), suhu lingkungan tinggi dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi fisologis dan produktivitas puyuh. Puyuh lebih banyak mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak normal, sehingga puyuh tidak dapat menggunakan pakan secara efisien untuk meningkatkan bobot badan (Gunawan dan Sihombing, 2004). Cekaman panas (heat stress) menyebabkan penurunan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan (Mashaly et al., 2004). Penurunan efisiensi penggunaan pakan terkait dengan terganggunya pertumbuhan saluran pencernaan yang akhirnya menggangu absorbsi nutrien. Cekaman panas pada ayam dan burung puyuh, dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan vili usus, karena ukuran vili menjadi lebih pendek (Mitchell dan Carlisle, 1992; Sandikci et al., 2004). Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh puyuh. Suhu tubuh yang tinggi ini akan mengakibatkan beban panas bagi puyuh dan akhirnya aktivitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktivitas metabolisme 26 karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat akibatnya berupa menurunnya aktivitas makan dan minum (Gunawan dan Sihombing, 2004). Pengaruh suhu lingkungan terhadap aktivitas metabolisme puyuh, secara skematis disajikan pada Gambar 4. Gambar 6. Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Aktivitas Metabolisme Tubuh Puyuh (Gunawan dan Sihombing, 2004) Selain pengaruh suhu lingkungan penurunan konsumsi air minum pada perlakuan yang diberi ekstrak ciplukan, disebabkan adanya pengaruh bau dan rasa dari air minum. Ekstrak ciplukan memiliki rasa pahit dan sedikit bau. Menurut Prawirokusumo (1994) unggas memiliki jumlah alat perasa relatif sedikit tetapi unggas dapat membedakan rasa dalam larutan. Menurut Appleby et al. (1992), rasa pahit tidak disukai oleh ternak unggas dan lebih menyukai rasa manis. Sehingga konsumsi air minum puyuh menurun. Rasa pahit pada ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Sastrapradja et al. (1980) menyatakan bahwa efek rasa pahit pada tanaman seperti pada buah mengkudu dapat meningkatkan nafsu makan. Namun pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum menyebabkan nafsu makan puyuh menurun, hal ini terlihat dari rataan konsumsi pakan puyuh secara 27 kumulatif (1-4 minggu) pada perlakuan ekstrak ciplukan berkisar antara 231,56234,36 gram/ekor (Tabel 9) masih rendah. Kaharudin (2007), menyatakan bahwa rataan konsumsi pakan selama 4 minggu adalah 260, 45 gram/ekor. Konsumsi pakan yang menurun mengakibatkan bobot badan dan pertambahan bobot badan juga menurun. Rataan bobot badan akhir puyuh pada minggu ke- 4 rendah (Tabel 9) dibandingkan dengan penelitian Kaharudin (2007) dan Woodard et al. (1973). Menurut Kaharudin (2007) rataan bobot badan yang dicapai berkisar antara 68,0972,18 gram/ekor, sedangkan Woodard et al. (1973) 76,5 gram/ekor. Walaupun ekstrak ciplukan memiliki rasa pahit dan sedikit bau dapat berfungsi sebagai growth promoter untuk meningkatkan pertumbuhan. Vitamin mix yang digunakan untuk meningkatkan kekebalan puyuh apabila dikonsumsi secara berkelanjutan akan mengakibatkan efek samping terhadap ternak ataupun konsumen yang mengkonsumsinya. Menurut Widodo (2005) apabila antibiotik tertimbun dalam jumlah besar akan menyebabkan kejadian residu pada organ tubuh tertentu. Residu tersebut dapat membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya. Tanaman obat dalam bentuk ramuan jamu atau simplisia (bahan dikeringkan atau ditepung) yang diberikan kepada ternak khususnya unggas melalui air minum dan atau dicampur ke dalam pakan sebagai feed additive atau feed supplement berdampak positif terhadap pertumbuhan, aroma daging, telur tidak amis dan produktivitas optimal. Selain itu juga tanaman obat dapat mengurangi bau kotoran (ammonia) yang menyengat di sekitar kandang (Soedibyo, 1992). Produk akhir dari puyuh sebagai dampak dari penggunaan ekstrak ciplukan adalah persentase bobot karkas dan organ dalam disajikan pada Tabel 12. Persentase bobot karkas dengan perlakuan ciplukan 10% lebih tinggi (78,3%) dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Bobot karkas yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena bobot badan akhir yang tinggi. Hasil penelitian Andriana (1997), yang melaporkan bahwa persentase bobot karkas puyuh jantan umur enam minggu adalah 65,11-66,15% dan penelitian Guler (2005) selama pemeliharaan empat minggu kisaran persentase bobot karkasnya 70-72,4 gram. Jull (1977) menyatakan bahwa, bobot karkas dipengaruhi oleh metode prosesing dengan dilakukan pengulitan, sehingga jaringan kulit tidak masuk bobot karkas. Menurut Soeparno (1994) bahwa 28 faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah umur, perlemakan, bobot badan, jenis kelamin, kualitas dan kuantitas pakan. Persentase karkas mempengaruhi persentase organ dalam (hati, jantung, usus, ampela), hal ini terlihat bahwa semakin tinggi persentase karkas maka semakin tinggi juga persentase organ dalam yang dicapai. Berdasarkan pengamatan tidak ditemukan pembengkakkan atau pengecilan hati serta perubahan warna hati, sehingga keadaan puyuh jantan hasil penelitian ini dalam kondisi normal. Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Bobot Karkas Puyuh Jantan dan Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu Peubah R1 R2 R3 Bobot karkas Puyuh Jantan (%) 61,22 ± 3,49 69,44 ±5,25 75,30 ± 3,70 Bobot Organ Dalam (%) 19,99 ± 1,47 22,92 ±1,33 23,79 ± 1,42 Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari kebutuhan air minum setiap minggunya. 29 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ekstrak ciplukan memiliki senyawa aktif polifenol dan flavonoid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium. Ekstrak ciplukan 10% memiliki daya hambat 5,6 mm terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Penggunaan ekstrak ciplukan 10% belum dapat meningkatkan performa puyuh dan ekstrak ciplukan dapat menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya selama pemeliharaan. Saran Zat aktif dalam ekstrak ciplukan konsentrasinya dapat ditingkatkan dengan mengolah ciplukan pada keadaan basah dan pengolahan ciplukan dengan menggunakan ethanol. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan modifikasi pemurnian senyawa aktif ekstrak ciplukan yang dapat digunakan sebagai feed additive periode starter dan periode layer. Selain itu perlu dilakukan penelitian terhadap kualitas daging. 30 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik, dan nikmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan kuliah, penelitian, seminar, dan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, M.S. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing anggota, Ir. Dwi Margi Suci, M.S. selaku dosen pembimbing utama yang dengan sabar telah memberikan nasehat, bimbingan, dan motivasi selama ini, Indah Wijayanti, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembahas seminar yang memberikan banyak masukan untuk penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas saran yang telah diberikan kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. dan Maria Ulfa, S.Pt, M.Sc. Agr. sebagai dosen penguji sidang. Sembah bakti dan ucapan terima kasih yang tulus dan tak terkira penulis haturkan kepada kedua orang tua, Ayahanda Saja dan Ibunda Erum yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada hentinya, do’a, kesabaran, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis, serta terima kasih penulis ucapkan kepada kakak-kakak tercinta Daryo dan Oos Rosita, sepupu-sepupu di Parigi dan Ciampea, serta seseorang spesial Abun Bunyamin yang selalu mendukung dan memotivasi. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prasetyo, Ibu Lanjar dan anak-anak kandang di Peternakan Situ Udik Leuwiliang atas semua bantuannya, serta ucapan terima kasih kepada sahabat-sahabatku, Shally, Ina, Bian, Firman, Eka, Lenna, Feb Rina, Rini, Amir, Chandra, Tasya dan teman-teman INTP 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu memberikan dukungan, semangat dan motivasi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi civitas akademik dan masyarakat yang bergerak di bidang peternakan. Bogor, Agustus 2010 Penulis 31 DAFTAR PUSTAKA Achmad .S. A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Penerbit Karunika. Jakarta. Ambarwati. 2007. Efektivitas zat antibakteri Syzygium polyanthum (daun salam) untuk menghambat pertumbuhan Salmonella thyposa dan Staphylococcus aureus. Biodiversitas. 8(3): 320-325. Andriana, B. B. 1997. Pemberian beberapa tingkatan zeolit dengan tingkat protein terhadap bobot akhir; persentase karkas serta giblet puyuh jantan (Coturnix coturnik japonica). Media Peternakan 21 (1): 48-53. Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Muthakir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia. Jakarta. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta Appleby, M. C., B. O. Hughes, & A. H. Elsen. 1992. Poultry Production System, CAB International. Wallingford. Oxon. Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Ward Lock Limited. London. Dzulkarnain B, D. Sundari , & A.Chozin. 1996. Tanaman obat bersifat antibakteri di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 110:35-48. Gunawan, I. W. A. 2009. Potensi buah pare (Momordica charantia L) sebagai antibakteri Salmonella Typhimurium. http:// www.wordpress.com. [3 Mei 2010] . Gunawan & D.T. H. Sihombing. 2004. Pengaruh suhu lingkungan tinggi terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam buras. Wartazoa. 14 (1): 31-38. Guler, T. 2005. The effect of coriander seed (Coriandrum sativum L.) as diet ingredient on the performance of Japanese quail. Journal of Animal Science. 35 (4): 260-266 Hadisaputra, F. F. 2008. Uji sitotoksik ekstrak etanol kultur akar ciplukan (Physalis angulata) yang ditumbuhkan pada media murashige-skoog dengan peningkatan konsentrasi sukrosa terhadap sel myelema. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Haruna. 2005. Pemanfaatan jamu sebagai campuran air minum pada ternak puyuh. Jurnal Agrisistem. 4(1): 1-11 Indraswari, A. 2008. Optimasi pembuatan ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora L) menggunakan metode maserasi dengan parameter kadar total senyawa fenolik dan flavonoid. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Jull, M, A. 1977. Poultry Husbandry 3rd Ed. Mc Grow Hill Book Company. New York. Kaharudin , D. 2007. Performan puyuh hasil pembibitan peternakan rakyat di Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus. 3: 396 – 400. 32 Kartasujana, R. & E. Suprijatna. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. Karou, D., M. H. D. J. Simpore & A. S. Traore. 2005. Antioxidant and antibacterial activities of polyphenols from ethnomedicinal plants of burkina faso. African Journal of Biotechnology. 4 (8): 823-828. Masduki, I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S. aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran 109 : 21-24. Mashaly, M. M., G. L. Hendricks, M. A. Kalama, A. E. Gehad, A. O. Abbas & P. H. Patterson. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poultry Science. 83: 889-894. Max, B. 1986. Trends Pharmacol.Cermin Dunia Kedokteran. 7:435-436. Middleton, E. Jr. & C. Kandaswani. 1992 . Biochemistry Pharmacol. Journal Animal Science. 43:1167-1179. Mitchell, M. A. & A. J. Carlisle. 1992. The effects of chronic exposure to elevated environmental temperature on intestinal morphology and nutrient absorption in the domestic fowl (Gallus domesticus). Comparative Biochemistry and Physiology. 101:137-142 Noor, S. M. 2006. Analisis senyawa kimia sekunder dan uji daya antibakteri ekstrak daun tanjung (Mimusops elengi l) terhadap Salmonella typhi dan Shigella boydii. Wartazoa. 2 (2) : 46-63 Nugroho, W. S. 2004. Tingkat cemaran Salmonella sp pada telur ayam ras di tingkat peternakan kabupaten Sleman Yogyakarta. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Pertanian. 13 (2): 160-165 Pitojo, S. 2006. Ceplukan Herba Berkhasiat Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Pratiwi, S. I. 2008. Aktivitas antibakteri tepung daun jarak (Jatropha curcas L,) pada berbagai bakteri saluran pencernaan ayam broiler secara in vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Pramono S., Sumarno & Wahyono S. 1993. Flavonoid daun Sonchus arvensis L. senyawa aktif pembentuk komplek dengan batu ginjal berkalsium. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Puslitbangfar. 2: 5-7. Robiansyah, I. 2006. Lepraria sp sebagai indicator pencemaran timbale (Pb) di udara pada tiga lokasi di kota Bandung. Skripsi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Rohman, A. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia. 3: 136-140. Sagala, N. R. 2009. Pemanfaatan semak bunga putih (Chromolena odorata) terhadap pertumbuhan dan IOFC dalam pakan burung puyuh (Conturnix conturnix japonica) umur 1 sampai 42 hari. http://library,usu,ac,id/index,php/component/journals/index,php?option=com _journal_review&id=11353&task=view. [25 Januari 2009]. 33 Sandikci, M., U. Eren, A. G. Onol & S. Kum. 2004. The effect of heat stress and the use of Saccharomyces cerevisiae and bacitracin zinc against heat stress on the intestinal mucosa in quails. Revue Méd. 155: 552-556. Sastrapradja, S., M. Asy’ari, E. Djajasukma, E.Kasim, I. Lubis & S.H.A. Lubis. 1980. Tumbuhan Obat. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Balai Pustaka. Jakarta. Setianto, J. 2005. Penggunaan cassava dan tepung indigofera sebagai pengganti jagung dalam pakan terhadap performans puyuh petelur pada umur 1-5 minggu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 7 (2): 76-81. Smith, A. H., J.A. Imlay & R.I. Mackie. (2003). Increasing the oxidative stress response allows Escherichia coli to overcome inhibitory effect of condensed tannins, Appl and Environ. Microb. 69 (6): 3406-3411. Soedibyo, B. M. 1992. Pendayagunaan Tanaman Obat, Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah. Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sritharet, N. 2002. Effects of heat stress on histological features in pituicytes and hepatocytes, and enzyme activities of liver and blood plasma in Japanese quail (Coturnix japonica). Journal of Poultry Science. 39 (2): 167-178. Standar Nasional Indonesia. 1994. Kumpulan SNI http://agritekno.tripod.com/standar_pakan.htm. [ 7 Mei 2010] Pakan. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka. Jakarta. Suprijatna, E. 2002. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. U.S.D.A & Clenson University. 1974. Raising Bobwhite Quail for Commercial Us. U.S.D.A.Washington. Waji, R. A. 2009. Flavonoid (Quercetin). Makalah Kimia Organik Bahan Alam. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin. Makassar. Widodo, W. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstekstual. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus. 3: 396 – 400. Winarno, M. W. & Sundari D. 1996. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diare di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 109 : 25-32. Woodard, A.E,. H. Abplannalp,. W. O. Wilson & P. Vohra.1973. Japanese Quail Husbandry In The Laboratory. University of California. Davis. USA. Yousef, M.K . 1985 . Stress Physiology in Livestock. Poultry. 3: 70-75 . 34 LAMPIRAN 35 Lampiran 1. Sidik Ragam Rataan Mortalitas selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 1,010 0,505 0,510 0,617 Galat 9 0,991 Total 11 8,922 9,932 Lampiran 2. Sidik Ragam Rataan Mortalitas Minggu 1-4 Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 4,042 2,021 0,510 0,617 Galat 9 3,965 Total 11 35,688 39,73 Lampiran 3. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Pakan selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 26,400 13,200 0,374 0,698 Galat 9 35,272 Total 11 317,445 343,846 Lampiran 4. Sidik Ragam Rataan Bobot Badan Akhir selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 3,779 1,889 0,761 0,495 Galat 9 2,482 Total 11 22,334 26,113 Lampiran 5. Sidik Ragam Rataan Pertambahan Bobot Badan selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT Perlakuan 2 2,266 1,133 Galat 9 0,597 Total 11 5,375 7,641 F 0,05 P value 1,897 0,205 36 Lampiran 6. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Air Minum selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 19882,738 9941,369 2,731 0,118 Galat 9 3640,385 Total 11 32763,465 52646,203 Lampiran 7. Sidik Ragam Rataan Konversi Pakan selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 2,243 1,122 0,403 0,680 Galat 9 2,781 Total 11 25,027 27,270 Lampiran 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Karkas selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 14,235 7,118 0,400 0,682 Galat 9 17,807 Total 11 160,261 174,496 Lampiran 9. Sidik Ragam Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu Sumber Keragaman Db JK KT F 0,05 P value Perlakuan 2 1,570 0,785 0,396 0,684 Galat 9 1,982 Total 11 17,842 19,412 37 Lampiran 10. Rataan Konsumsi Pakan Puyuh Minggu 1-4 Minggu ke- Perlakuan R1 R2 R3 1 17,83±5,22 23,06±4,86 24,14±0,73 2 48,71±7,76 50,22±4,07 51,66±6,28 3 68,82±5,45 68,93±7,36 83,21±27,95 4 85,24±4,04 89,37±11,46 89,45±7,33 Lampiran 11. Rataan Bobot Badan Akhir Puyuh Minggu 1-4 Minggu ke- Perlakuan R1 R2 R3 0 7,45 ± 1,21 6,47 ± 0,59 6,82 ± 1,29 1 18,96 ± 1,20 19,34 ± 0,45 19,54 ± 1,55 2 31,59 ± 1,28 33,43 ± 0,93 35,43 ± 1,53 3 48,39 ± 5,41 50,39 ± 3,36 51,80 ± 4,65 4 64,48 ± 2,51 65,95 ± 3,65 68,26 ± 2,25 Lampiran 12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Puyuh Minggu 1-4 Minggu ke- Perlakuan R1 R2 R3 1 12,45 ± 2,68 12,68 ± 0,54 11,87 ±3,55 2 12,65 ± 0,44 14,24 ± 0,71 14,70 ±2,00 3 14,10 ± 7,18 13,75 ± 7,65 18,22 ± 3,66 4 18,92 ± 7,45 19,12 ± 4,11 19,54 ±4,70 38 Lampiran 13. Rataan Konsumsi Air Minum Puyuh Minggu 1-4 Minggu ke- Perlakuan R1 R2 R3 1 0,48 ± 0,03 0,39±0,05 0,39±0,09 2 0,66 ± 0,02 0,47± 0,04 0,30 ±0,08 3 0,35 ± 0,04 0,39± 0,03 0,41±0,06 4 0,80±0,03 0,31± 0,04 0,32 ± 0,08 Lampiran 14. Rataan Konversi Pakan Minum Puyuh Minggu 1-4 Minggu ke- Perlakuan R1 R2 R3 1 1,61 ± 0,67 1,79 ± 0,37 2,36 ± 0,48 2 3,86 ± 0,61 3,57 ± 0,33 3,14 ± 0,68 3 4,29 ± 1,12 4,09 ± 0,62 3,96 ± 1,18 4 5,62 ± 1,59 5,1 9± 0,95 5,06 ± 2,31 39