EVALUASI PENAMBAHAN EKSTRAK CIPLUKAN

advertisement
EVALUASI PENAMBAHAN EKSTRAK CIPLUKAN
(Physalis angulata) DALAM AIR MINUM TERHADAP
DAYA HAMBAT BAKTERI SALMONELLA
TYPHIMURIUM DAN PERFORMA PUYUH
(Coturnix coturnix japonica) 0-4 MINGGU
SKRIPSI
TARYATI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
TARYATI. D24062702. 2010. Evaluasi Penambahan Ekstrak Ciplukan (Physalis
angulata) dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri Salmonella
typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica) 0-4 Minggu.
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
: Ir. Dwi Margi Suci, MS.
: Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS.
Tanaman ciplukan merupakan tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif imbuhan pakan. Tanaman ini mempunyai senyawa aktif
polifenol dan flavonoid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella
typhimurium dan diduga dapat menggantikan colistin sebagai antibiotik untuk
meningkatkan pertumbuhan. Penggunaan ciplukan sebagai tanaman herbal dapat
mengatasi beberapa dampak negatif yang disebabkan oleh antibiotik, diantaranya
resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme tertentu dan residu dari
antibiotik yang akan terbawa dalam produk ternak seperti daging, susu, serta telur.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak ciplukan
terhadap Salmonella typhimurium dan performa puyuh. Ciplukan yang digunakan
adalah bagian daun, batang, dan akar. Ekstrak ciplukan diperoleh dari tanaman
ciplukan yang dikeringkan, kemudian direbus selama 26 menit. Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 32 ekor burung puyuh,
sehingga total puyuh yang digunakan 384 ekor. Perlakuan yang diberikan yaitu R1
(air minum + vitamin), R2 (air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 5% dari
kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya), R3 (air minum + ekstrak ciplukan
sebanyak 10% dari kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak ciplukan 5% memiliki daya
hambat yang sangat kecil terhadap Salmonella typhimurium, namun pada ekstrak
ciplukan 10% daya hambat lebih baik. Ekstrak ciplukan 10% memiliki daya hambat
5,6 mm terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Ekstrak ciplukan yang diperoleh
dengan cara kumulatif tidak berpengaruh nyata terhadap performa puyuh. Rataan
mortalitas (%) setelah pemeliharaan setelah 4 minggu 8,5; 10,5; 10,58, rataan
konsumsi pakan kumulatif (g/ekor) 220,60; 231,56; 234,36, rataan bobot badan
akhir puyuh (g/ekor) adalah R1=64,48; R2=65,95; R3=68,26, sedangkan rataan
pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu) R1=58,12; R2=59,61; R3=64,33. Rataan
konsumsi air minum (liter/ekor/minggu) 2,29; 1,56; 1,42, rataan konversi pakan 3,79;
3,89; 3,64, rataan persentase bobot karkas (g) 61,22; 69,44; 75,3 dan rataan
persentase bobot organ dalam (g) 19,99; 22,92; 23,79. Pemanfaatan ekstrak ciplukan
10% belum dapat meningkatkan performa puyuh. Selain itu, ekstrak ciplukan dalam
penelitian ini dapat menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya.
Kata-kata kunci : ekstrak ciplukan, puyuh, performa, daya hambat, Salmonella
typhimurium
ABSTRACT
Evaluating the Effect of Ciplukan Extract Addition On Salmonella typhimurium
Antibacterial Activity Test and 1-4 Weeks Old Quail Performances
Taryati, D. M. Suci, and I. K. Amrullah
This study was conducted to known the effect of the ciplukan extract on
Salmonella typhimurium and quail’s performances period of during 1-4 weeks. The
materi of this research are 384 quail’s 2 days old with average body weight 6.91
gram and ciplukan extract from leaf, stem, and roots. Ciplukan extract made from
ciplukan’s plant which dried, then 26 minutes boiled. The animal was reared at
battery cage on 12 pens of 60x120x30 cm per pen. The research was conducted by
using completely randomized design (CRD) with 3 treatment and 4 replications, each
replication consist of 32 quail. The treatment was R1 (quail drink was given vitamin
sanbe-mix D), R2 (quail drink was given 5% of ciplukan extract), R3 (quail drink
was given 10% ciplukan extract). The variables was mortality, feed intake, body
weight, weight gain, consume of drinking water, feed conversion ratio, carcass
percentage, giblets weights percentage and antibacterial activity test of Salmonella
typhimurium. The result showed that the use of ciplukan extract up to 10% in the
quail drinking decreased quail performances. Beside that, ciplukan extract can
decreased mortality every weeks. The ciplukan extract 10% have resistivity 5.6 mm
towards Salmonella typhimurium bacteria.
Key words: ciplukan extract, quail, performances, Salmonella typhimurium
EVALUASI PENAMBAHAN EKSTRAK CIPLUKAN
(Physalis angulata) DALAM AIR MINUM TERHADAP
DAYA HAMBAT BAKTERI SALMONELLA
TYPHIMURIUM DAN PERFORMA PUYUH
(Coturnix coturnix japonica) 0-4 MINGGU
TARYATI
D24062702
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Skripsi
: Evaluasi Penambahan Ekstrak Ciplukan (Physalis angulata)
dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri Salmonella
typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
0-4 Minggu
Nama
: Taryati
NIM
: D24062702
Menyetujui :
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
(Ir. Dwi Margi Suci, MS.)
NIP. 19610905 198703 2 001
(Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS.)
NIP. 19521110 198003 1 004
Mengetahui :
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat G Permana, MSc. Agr.)
NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 31 Agustus 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 17 Juli 1987 dari pasangan Bapak
Saja dan Ibu Erum. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pepedan
pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan pertama
dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Menengah
Pertama Negeri (SMPN) 2 Parigi. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ciamis pada tahun 2003 dan lulus pada tahun
2006.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006
melalui program Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif
dalam organisasi kemahasiswaan selama di kampus, seperti menjadi anggota
Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi Peternakan (HIMASITER) pada tahun 20072008. Penulis juga melakukan magang di PT. Charoen Pokphand Jaya Farm 4
Subang selama satu bulan tahun 2008.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan lindungan-Nya kepada penulis
selama ini sehingga dapat menyelesaikan kuliah, penelitian, dan menyusun tugas
akhir dengan lancar. Skripsi yang berjudul “Evaluasi Penambahan Ekstrak
Ciplukan (Physalis angulata) dalam Air Minum terhadap Daya Hambat Bakteri
Salmonella typhimurium dan Performa Puyuh (Coturnix coturnix japonica) 0-4
Minggu” ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis pada bulan Juli
hingga September 2009 di Peternakan Bapak Prasetyo Desa Situ Udik (Leuwiliang),
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan
Mikrobiologi Nutrisi, serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro)
Cimanggu, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan
ekstrak ciplukan (Physalis angulata) terhadap daya hambat bakteri Salmonella
typhimurium dan performa puyuh (Conturnix conturnix japonica).
Semakin mahalnya harga obat modern di pasaran merupakan salah satu
alasan untuk menggali kembali penggunaan obat tradisional. Penggunaan obat
tradisional di bidang peternakan saat ini semakin dikembangkan dalam
menggantikan peranan antibiotik karena dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Hal ini diperkuat dengan adanya larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan ternak oleh ketentuan Masyarakat Uni Eropa nomor 2821 tahun 1998.
Oleh karena itu, beberapa negara telah menggantikan fungsi antibiotik dalam pakan
dengan pemakaian herbal, salah satunya dengan pemakaian ekstrak ciplukan dalam
air minum puyuh.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan ................................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Karakteristik Tanaman Ciplukan .......................................................
Senyawa Aktif dalam Ciplukan .........................................................
Burung Puyuh ....................................................................................
Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh ....................................................
Ekstraksi ..............................................................................................
3
4
7
7
12
MATERI DAN METODE .............................................................................
13
Lokasi dan Waktu ..............................................................................
Materi .................................................................................................
Ekstrak Ciplukan ......................................................................
Pakan .......................................................................................
Ternak .....................................................................................
Kandang dan Peralatan…………………………………………
Indukan ………………………………………………………..
Metode ...............................................................................................
Perlakuan .................................................................................
Rancangan Percobaan ..............................................................
Peubah yang Diamati ..............................................................
Prosedur .............................................................................................
Pemberian Ekstrak Ciplukan .....................................................
Pemberian Pakan dan Air Minum .............................................
Pengukuran Suhu.......................................................................
Pemotongan Karkas Puyuh……………………………………
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
13
13
13
14
14
14
15
14
15
16
16
18
18
19
19
19
20
Peranan Zat Bioaktif Ciplukan ...........................................................
Keadaan Umum Peternakan Puyuh ....................................................
Penggunaan Ekstrak Ciplukan dalam Air Minum ..............................
20
23
24
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
30
Kesimpulan .........................................................................................
Saran ..................................................................................................
30
30
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
32
LAMPIRAN ...................................................................................................
35
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh Periode Starter sampai Periode Petelur
8
2. Konsumsi Pakan Puyuh Periode Pertumbuhan ..............................
9
3. Konsumsi Air Minum Puyuh Periode Pertumbuhan .....................
10
4. Kandungan Nutrien Ciplukan (Physalis angulata) berdasarkan
As Fed ..............................................................................................
13
5. Hasil Analisis Proksimat Pakan Puyuh (As Fed) ............................
14
6. Komposisi Vitamin Mix (Sanbe Mix) .............................................
16
7. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Ciplukan ....................................
20
8. Hasil Uji Sumur Ekstrak Ciplukan .................................................
21
9. Performa Puyuh Secara Kumulatif Setelah Pemeliharaan
Selama 4 Minggu yang Diberi Perlakuan Vitamin Mix dan Ciplukan
25
10. Rata-rata Suhu Pemeliharaan Puyuh Minggu 1-4............................
25
11. Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas (%) Puyuh Minggu 1-4 ...
26
12. Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Bobot Karkas Puyuh Jantan
dan Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu .............................
29
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Ciplukan ...........................................................................................
3
2. Struktur Senyawa Flavonoid ..........................................................
5
3. Diagram Alur Proses Uji Sumur Difusi ..........................................
17
4. Zona Hambat Bakteri Ekstrak Ciplukan 5% dan 10% terhadap
Bakteri Salmonella typhimurium ....................................................
22
5. Denah Kandang Peternakan Puyuh .................................................
24
6. Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Aktivitas Metabolisme
Tubuh Puyuh ..................................................................................
27
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Rataan Mortalitas selama 4 Minggu…………………………..
36
2. Sidik Ragam Rataan Mortalitas Minggu 1-4………......................................
36
3. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Pakan selama 4 Minggu…………………..
36
4. Sidik Ragam Rataan Bobot Badan Akhir selama 4 Minggu………………...
36
5. Sidik Ragam Rataan Pertambahan Bobot badan selama 4 Minggu………...
36
6. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Air Minum selama 4 Minggu……………...
37
7. Sidik Ragam Rataan Konversi Pakan selama 4 Minggu…………………….
37
8. Sidik Ragam Persentase Bobot Karkas selama 4 Minggu…………………..
37
9. Sidik Ragam Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu…………………..
37
10. Rataan Konsumsi Pakan Puyuh Minggu 1-4…………………………….
38
11. Rataan Bobot Badan Akhir Puyuh Minggu 1-4………………………
38
12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Puyuh Minggu 1-4………………
38
13. Rataan Konsumsi Air Minum Puyuh Minggu 1-4………………………….
39
14. Rataan Konversi Pakan Puyuh Minggu 1-4…………………………………
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak yang sehat pada umumnya memiliki komposisi mikroflora saluran
pencernaan relatif tetap, namun bila stabilitasnya terganggu maka mikroorganisme
patogen akan membuat koloni dan menyebabkan infeksi yang serius pada tubuh
ternak tersebut. Salah satu bakteri yang bersifat patogen adalah Salmonella sp.
Bakteri ini dapat mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan dan demam
tiroid. Alternatif pencegahan bakteri yang bersifat patogen yang dilakukan oleh
peternak adalah dengan cara memberikan antibiotik. Antibiotik dapat menekan
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen, namun disayangkan penggunaan antibiotik
berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis
mikroorganisme patogen tertentu. Selain itu, residu dari antibiotik akan terbawa
dalam produk-produk ternak seperti daging, telur, susu dan akan berbahaya bagi
konsumen yang mengkonsumsinya.
Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari
residu berbahaya telah mengajak ilmuan untuk mencari alternatif imbuhan pakan
yang aman dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan kekebalan tubuh ternak. Salah
satunya penggunaan tanaman herbal, yang banyak tumbuh di Indonesia dan sudah
zaman dahulu digunakan oleh masyarakat. Ciplukan (Physalis angulata) merupakan
tanaman herbal yang memiliki aktivitas sebagai antihiperglikemi, antibakteri,
antivirus, imunostimulan dan imunosupresan (imunomodulator), antiinflamasi,
antioksidan, dan sitotoksik.
Selain itu, ciplukan dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan
performa dengan menekan bakteri patogen karena adanya kandungan bioaktif
polifenol dan flavonoid. Penggunaan ciplukan di suatu peternakan dapat mengurangi
biaya pemeliharaan dengan hasil panen yang cukup maksimal dan mudah didapat.
Ciplukan digunakan oleh peternak dengan merebusnya di dalam air untuk
mendapatkan ekstrak, yang diberikan pada ternak melalui air minum agar terjamin
homogenitas, absorpsi lebih cepat, dosis lebih seragam, dan dapat mengurangi iritasi
mukosa lambung apabila diberikan dalam bentuk sedian padat.
1
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
ciplukan (Physalis angulata) terhadap daya hambat bakteri Salmonella typhimurium
dan performa puyuh (Conturnix conturnix japonica).
2
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Ciplukan (Physalis angulata)
Ciplukan termasuk divisi Spermatophyta sub divisi Angiospermae. Selain itu
ciplukan termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, bangsa Solanales, suku
Solanaceae, marga Physalis, dan jenisnya Physalis angulata (Hadisaputra, 2008).
Gambar 1. Ciplukan
Populasi ciplukan pertama kali ditemukan di daratan Amerika yang kini
populasinya telah menyebar luas di daerah tropis di dunia. Di Indonesia, khususnya
di dearah Jawa, ciplukan mudah ditemukan karena tumbuh liar di kebun, tegalan, tepi
jalan, semak, hutan ringan, dan tepi hutan. Sebutan ciplukan berasal dari daerah Jawa
(Sunda), leletop dari Sumatera Timur, ceplukan dari Jawa Tengah, jorjoran dari
Madura, ciciplukan dari Bali, dedes atau sasak dari Nusa Tenggara, leletopan dari
Makasar, dan lapununat dari Seram (Hadisaputra, 2008).
Tanaman ciplukan (Physalis angulata) cocok hidup di tanah yang subur,
gembur, tidak tergenang air, dan memiliki pH mendekati netral. Ciplukan mampu
hidup pada tanah agak padat dan kurang terawat bersama tanaman liar yang lainnya.
Tanaman ciplukan yang hidup pada tempat yang tepat (memenuhi persyaratan
tumbuh) akan lebih subur dibanding tanaman yang hidup pada tempat yang kurang
tepat. Tanaman ciplukan mudah didapat pada musim hujan. Oleh karena itu, tanaman
ciplukan cocok dibudidayakan di daerah yang agak basah dan di tempat yang terbuka
atau agak ternaung. Ciplukan dapat hidup dengan ketinggian sekitar 1.500 meter dari
permukaan laut dan dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi, dengan
suhu udara berkisar antara 18⁰C-35⁰C (Pitojo, 2006).
3
Pembudidayaan tanaman ciplukan dapat dilakukan secara generatif atau
vegetatif. Perkembangbiakan generatif dapat menggunakan benih tua dan matang.
Buah ciplukan tua dapat diperoleh dari tanaman ciplukan yang telah berumur 2,5
bulan dengan kondisi buah sehat, kulitnya tampak kering mengkilat dan tidak
terdapat bekas gangguan hama. Perkembangbiakan vegetatif dilakukan dengan cara
perundukan. Perundukan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman ciplukan
yang dilakukan dengan melengkungkan cabang atau ranting tanaman ciplukan yang
berada di bagian bawah, yang kemudian ditimbun di dalam tanah. Dalam jangka
waktu lebih dari 1 bulan, akan keluar akar dari ruas batang atau ranting tanaman
ciplukan (Pitojo, 2006).
Senyawa Aktif dalam Ciplukan
Komposisi dari tanaman ciplukan, antara lain biji mengandung 12-25%
protein dan 15-40% minyak lemak dengan komponen utama asam palmitat dan asam
stearat, akar mengandung alkaloid, daun mengandung glikosida flavonoid (luteolin),
dan tunas
mengandung flavonoid dan saponin (Hadisaputra, 2008). Kandungan
kimia yang terdapat dalam ciplukan di antaranya saponin, flavonoid, polifenol, asam
klorogenat, zat gula, elaic acid, dan fisalin. Tanaman ciplukan bersifat analgetik
(penghilang nyeri), detoksikan (penetral racun) serta pengaktif fungsi kelenjarkelenjar tubuh. Saponin yang terkandung dalam ciplukan memberikan rasa pahit dan
berkhasiat sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker
usus besar. Flavonoid dan polifenol berkhasiat sebagai antioksidan (Hadisaputra,
2008).
Polifenol dan flavonoid merupakan senyawa utama dalam tanaman ciplukan
yang dapat digunakan sebagai antioksidan. Flavonoid dan polifenol termasuk ke
dalam senyawa fenol (Hadisaputra, 2008).
Polifenol memiliki rumus kimia C21H20O6. Senyawa-senyawa polifenol
mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkapan radikal
(radical scavenging) dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang
tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi
berkurang (Waji, 2009). Polifenol ini berperan melindungi sel tubuh dari kerusakan
akibat radikal bebas dengan cara mengikat radikal bebas sehingga mencegah proses
inflamasi dan peradangan pada sel tubuh (Smith et al., 2003).
4
Polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut
yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut
yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi
menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol yang berbeda
pula.
Keaktifan antibakteri polifenol bergantung pada kandungan protein
polyamides pada bakteri. Penghambatan bakteri oleh komponen dari fenol
diakibatkan karena terbentuknya ikatan hidrogen fenol dengan protein inti (Karou et
al., 2005).
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6.
Senyawa flavonoid mempunyai gugus hidroksi yang tersubsitusi pada orto dan para
terhadap gugus –OH dan –OR. Flavonoid menurut Achmad (1986) merupakan
kelompok senyawa fenol terbesar di alam. Struktur senyawa flavonoid disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Senyawa Flavonoid
(Sumber: Pramono et al., 1993)
Efek flavonoid banyak sekali sehingga banyak orang yang menggunakan
tumbuhan yang mengandung flavonoid dalam pengobatan tradisional (Middleton
dan Kadaswani, 1992). Menurut Masduki (1996); Winarno & Sundari, (1996);
Dzulkarnain et al. (1996) flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus
aureus.
Diduga
penghambatan
pertumbuhan
Salmonella
typhimurium juga karena ada efek fenolik dari flavonoid.
5
Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan
superhidroksi sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang
merusak. Aktivitas antioksidannya merupakan komponen aktif tumbuhan yang dapat
digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati. Manfaat lain
dari flavonoid adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas
vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Max,
1986). Flavonoid dapat berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan
menggangu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Waji, 2009).
Flavonoid dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal
(Rohman, 2005).
Menurut Gunawan (2009), aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap
bakteri Salmonella typhimurium dilakukan dengan merusak dinding sel dari bakteri
Salmonella typhimurium yang terdiri atas lipid dan asam amino. Senyawa tersebut
akan bereaksi dengan gugus alkohol flavonoid sehingga dinding sel akan rusak. Di
samping itu, gugus alkohol dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Senyawa flavonoid
akan kontak dengan DNA pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium dan melalui
perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada
senyawa flavonoid akan dapat terjadi reaksi yang akan merusak struktur lipid dari
DNA bakteri Salmonella typhimurium sehingga inti sel bakteri juga akan lisis dan
bakteri Salmonella typhimurium juga akan mengalami lisis dan mati.
Seperti halnya Syzygium polyanthum (daun salam), flavanoid pada ekstrak
ciplukan juga mengandung senyawa minyak astiri, tannin, flavonoid, dan eugenol.
Mekanisme yang ditimbulkan Syzygium polyanthum (daun salam) terhadap infeksi
Salmonella typhi adalah sebagai anti bakteri dan meningkatkan fagositas. Dengan
efek imunomodulasi yang terdapat pada Syzygium polyanthum, maka tanaman ini
dapat digunakan untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap infeksi bakteri
patogen fakultatif intraseluler, salah satunya adalah Salmonella typhi (Ambarwati,
2007).
Noor (2006) menyatakan bahwa daya hambat antibakteri ekstrak daun
tanjung yang mengandung senyawa flavonoid dengan dosis 1 g/ml daya hambatnya
terhadap Salmonella typhimurium 12,16 mm. Menurut Pratiwi (2008) daya hambat
6
tepung daun jarak dengan konsentrasi 10% dapat menghambat Salmonella
typhimurium sebesar 6,8 mm.
Burung Puyuh
( Coturnix coturnix japonica )
Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif
kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh disebut juga gemak (Bahasa
Jawa-Indonesia). Bahasa Latinnya disebut quail, merupakan bangsa burung liar yang
pertama kali diternakan di Amerika Serikat, tahun 1870, dan terus dikembangkan ke
penjuru dunia. Di Indonesia puyuh mulai dikenal, dan diternak semenjak akhir tahun
1979. Kini mulai bermunculan di kandang-kandang ternak yang ada di Indonesia.
Puyuh menghasilkan telur dan daging yang mempunyai nilai gizi dan rasa yang lezat,
bulunya sebagai bahan aneka kerajinan atau perabot rumah tangga lainnya,
kotorannya sebagai pupuk kandang ataupun kompos yang baik dapat digunakan
sebagai pupuk tanaman (Setianto, 2005).
Puyuh merupakan hewan yang diklasifikasikan dalam kelas
Aves, ordo
Galiformes, sub ordo Phasianoidae, famili Phasianidae, sub famili Phasianinae,
genus Coturnix, species Coturnix coturnix japonica. Coturnix coturnix japonica
mempunyai panjang badan sekitar 19 cm, berbadan bulat, berekor pendek, paruh
pendek dan kuat serta berjari kaki empat dan berwarna kekuning-kuningan dengan
susunan; tiga jari menghadap ke depan dan satu jari menghadap ke belakang
(Anggorodi, 1995).
Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh
Puyuh mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk
berlangsungnya proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal sehingga proses
pertumbuhan dan produksi telur berlangsung optimal. Kandungan energi pakan perlu
memperhatikan kandungan zat-zat nutrisi. Zat-zat nutrisi (nutrien) merupakan
substansi yang diperoleh dari bahan pakan yang dapat digunakan ternak apabila
tersedia dalam bentuk yang telah siap digunakan oleh sel, organ, dan jaringan
(Kartasujana dan Suprijatna, 2005). Kebutuhan zat nutrisi puyuh pada periode starter
sampai periode petelur terlampir pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Kebutuhan Zat Nutrisi Puyuh pada Periode Starter sampai Periode Petelur
Periode
Protein (%)
Energi ( kkal/kg)
Min 19
Min 2800
Pertumbuhan
20
2700
Petelur
22
2900
Anak Puyuh (starter)
Sumber : SNI, 1994
Performa ternak adalah pencerminan dari keseluruhan aktivitas organ tubuh.
Untuk mencapai performa maksimal, perlu mengetahui dan memahami faktor-faktor
yang mempengaruhi performa ternak diantaranya, pertambahan bobot badan, bobot
badan, konsumsi pakan, konsumsi air minum, konversi pakan, dan mortalitas
(Kartasujana dan Suprijatna, 2005).
Faktor pertama dan kedua yang mempengaruhi performa adalah pertambahan
bobot badan dan bobot badan. Pertambahan bobot badan dan bobot badan termasuk
dalam pertumbuhan. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah
ataupun ukuran sel, bentuk dan berat jaringan-jaringan tubuh seperti tulang, urat
daging, jantung, otak serta semua jaringan tubuh lainnya kecuali jaringan lemak dan
pertumbuhan terjadi dengan cara yang teratur (Anggorodi, 1985). Woodard et al.
(1973) menjelaskan bahwa bobot badan puyuh yang optimal pada minggu keempat
dengan energi pakan 2880 kkal/kg dan protein pakan 25% adalah 76,5 gram.
Menurut Kaharuddin (2007) bobot badan pada umur sama yang dicapai berkisar
68,09-72,18 gram dengan pakan yang memiliki energi 2900 kkal/kg dan protein
24%. Berbeda halnya dengan penelitian Guler (2005) dengan pemberian biji
ketumbar 5% pada pakan dengan energi 2990, protein 24% pada minggu keempat
bobot badan yang dicapai adalah 23,25 gram. Bobot badan unggas dipengaruhi
antara lain oleh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Kaharuddin (2007)
menyatakan bahwa rataan pertambahan bobot badan yang optimal dicapai selama
empat minggu berkisar 64,53-68,09 gram. Hasil penelitian Guler (2005), rataan
pertambahan bobot badan yang dicapai selama 4 minggu adalah 17,51 gram.
Menurut Guler (2005),
pertambahan bobot badan yang dicapai pada setiap
minggunya adalah 3,86 gram pada minggu pertama; 5,32 gram pada minggu kedua;
5,87 gram pada minggu ketiga; 4,08 gram pada minggu keempat. Bobot badan dan
pertambahan bobot badan yang dicapai sangat mempengaruhi persentase karkas dan
8
persentase organ dalam. Andriana (1997), menyatakan bahwa persentase bobot
karkas puyuh umur enam minggu adalah 65,11-66,15% dan penelitian Guler (2005)
menghasilkan kisaran persentase bobot karkasnya 70-72,4 gram. Jull (1977)
menyatakan bahwa, bobot karkas dipengaruhi oleh metode prosesing dengan
dilakukan pengulitan, sehingga jaringan kulit tidak masuk bobot karkas.
Faktor ketiga yang mempengaruhi performa adalah konsumsi pakan.
Konsumsi pakan sangat bergantung pada kualitas pakan yang diberikan. Pakan
adalah campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan
kepada puyuh untuk memenuhi kebutuhan zat-zat nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, dan reproduksi. Agar pertumbuhan dan produksi maksimal, jumlah
dan kandungan zat-zat nutrisi yang diperlukan puyuh harus terpenuhi. Puyuh
mengkonsumsi pakan agar kebutuhan energinya terpenuhi, untuk berlangsungnya
proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal (Suprijatna, 2002). Rataan
konsumsi pakan puyuh selama 4 minggu adalah 260,45 gram/ekor (Kaharuddin,
2007). Konsumsi pakan puyuh periode pertumbuhan pada setiap minggunya
terlampir pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Pakan Puyuh Periode Pertumbuhan
Umur (Hari)
Konsumsi (g/ekor/hari)
1-7
2
7-14
4
14-21
8
21-30
10
30-35
12
35-42
15
Sumber : Sritharet (2002)
Faktor keempat yang mempengaruhi performa adalah konversi pakan. Teknik
pemberian pakan yang baik dapat menekan angka
konversi pakan sehingga
keuntungan bertambah. Konversi pakan pada puyuh adalah perbandingan antara
jumlah pakan yang dikonsumsi dengan jumlah berat badan yang dihasilkan, semakin
tinggi nilai berat badan pada tingkat konsumsi yang sama maka konversi pakan yang
berarti akan semakin efisien penggunaan pakan oleh puyuh tersebut semakin kecil
9
(Haruna, 2008). Konversi pakan menjadi daging atau telur harus berlangsung secara
efisien dan ekonomis untuk memperoleh keuntungan (Suprijatna, 2002). Menurut
Kaharuddin
(2007)
kisaran
konversi
pakan
pemeliharaan
puyuh
periode
pertumbuhan adalah 3,91-4,17. Penelitian Sagala (2009), yaitu pemberian tepung
semak putih dalam pakan puyuh sebagai kontrol memiliki konversi pakan sekitar
4,31. Sedangkan penelitian Setianto (2005) tentang pemberian cassava dan tepung
indigofera sebagai pengganti jagung dalam pakan puyuh sebagai kontrol memiliki
konversi pakan 4,31-5,12.
Faktor kelima yang dapat mempengaruhi performa adalah konsumsi air
minum. Air merupakan bagian yang sangat penting bagi makhluk hidup. Hampir
seluruh bagian tubuh, mengandung air dan membutuhkan air. Air ini akan diperoleh
oleh puyuh dengan tiga cara, yaitu: melalui air yang diminum, melalui air dalam
makanan dan air metabolis. Kekurangan air akan mempengaruhi produksi (Sritharet,
2002). Konsumsi air minum puyuh pada periode pertumbuhan terlampir pada Tabel
3.
Tabel 3. Konsumsi Air Minum Puyuh Periode Pertumbuhan
Umur (Minggu)
Konsumsi (Liter)
0-2
0,40-0,80
2-4
1,00-1,30
4-6
1,30-1,60
6-8
1,60-2,50
>8
5,60-6,00
Sumber: Sritharet (2002)
Faktor yang keenam yang mempengaruhi performa adalah mortalitas. Puyuh
merupakan unggas yang sangat rentan mengalami stress yang dapat mengakibatkan
kematian pada periode pemeliharaan. Kematian puyuh lebih banyak terjadi ketika
masih kecil. Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa puyuh betina lebih banyak
mati pada umur muda dibandingkan puyuh jantan khususnya untuk peternakan
puyuh pembibitan dan puyuh jantan ini hidup lebih lama daripada puyuh betina.
Kaharuddin (2007) menyatakan bahwa mortalitas puyuh periode pertumbuhan
memiliki kisaran 7,63-7,17%.
10
Beberapa faktor yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah : (1) Kondisi dari
anak puyuh, karena dalam satu kelompok terdapat puyuh yang kuat dan lemah.
Puyuh yang lemah sering menyebabkan terjadinya penyakit, karena daya tahannya
yang lemah. (2) Faktor pemeliharaan. Misalnya pemanas kurang sesuai,
menyebabkan anak puyuh kedinginan. Sehingga daya tahan berkurang dan akhirnya
terserang penyakit. (3) Pakan. Kekurangan unsur gizi atau kerusakan makanan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada anak puyuh. (4) Lingkungan, termasuk
curah hujan yang terlalu tinggi dan kelembaban yang tinggi membantu menyuburkan
pertumbuhan bibit penyakit dan memperlemah daya tahan anak puyuh (Woodard et
al., 1973). Menurut Yousef (1985), suhu lingkungan tinggi dapat memberikan
dampak negatif terhadap kondisi fisologis dan produktivitas puyuh. Puyuh lebih
banyak mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak normal,
sehingga puyuh tidak dapat menggunakan pakan secara efisien untuk meningkatkan
bobot badan (Gunawan dan Sihombing, 2004). Suhu lingkungan yang tinggi
menyebabkan naiknya suhu tubuh puyuh. Suhu tubuh yang tinggi ini akan
mengakibatkan beban panas bagi puyuh dan akhirnya aktivitas metabolisme menjadi
berkurang. Berkurangnya aktivitas metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi,
dapat dilihat akibatnya berupa menurunnya aktivitas makan dan minum (Gunawan
dan Sihombing, 2004). Suhu ideal yang dibutuhkan oleh anak puyuh adalah suhu
normal atau suhu ruangan (37,70C pada minggu ke-1), (32,20C pada minggu ke-2)
dan (32,20C) pada minngu ke-3) (Banks, 1979; USDA, 1974).
Salah satu penyakit yang menyebabkan angka mortalitas tinggi adalah
penyakit Salmonelosis, yaitu penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella sp dan
sering menyerang unggas. Habitat utama Salmonella di dalam saluran usus hewan
(unggas, reptil, hama tanaman) dan manusia. Salmonella juga terdapat dalam bagian
tubuh lainnya dan di udara yang tercemar. Salmonellosis adalah infeksi Salmonella
bersifat zoonosis yang menyebar ke seluruh dunia. Bakteri yang paling berbahaya
yang dapat menyebabkan diare adalah Salmonella typhimurium, yaitu bakteri
patogen yang mempunyai kemampuan transmisi, perlekatan pada sel inang, invasi
sel dan jaringan inang, toksigenisitas dan kemampuan menghindari sistem imun
inang. Sekali masuk ke dalam tubuh, bekteri akan menempel atau melekat pada sel
inang, biasanya pada sel epitel. Hasil pengujian Salmonella pada produk pangan asal
11
hewan di Laboratorium Pengujian Mutu Produk Peternakan pada tahun 2002
menunjukkan bahwa kontaminasi Salmonella pada produk asal hewan bervariasi
misalnya unggas 50%, babi 15% dan sapi atau kambing kurang lebih 1% dan
Salmonella pada produk ternak harus 0%. Situasi tersebut menggambarkan bahwa
unggas merupakan ternak yang berpotensi besar sebagai sumber penularan
Salmonella sp (Nugroho, 2004).
Ekstraksi
Salah satu cara untuk mengeluarkan suatu zat warna diperlukan suatu metode
yaitu metode ekstraksi. Metode ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan
yang berasal dari suatu padatan atau cairan dengan menggunakan bantuan pelarut.
Pemisahan terjadi atas dasar kelarutan yang berbeda dari komponen-komponen yang
dipisahkan terhadap dua pelarut yang tidak saling bercampur. Berdasarkan
bentuknya ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) Ekstraksi padatcair, yaitu substansi yang diekstraksi terdapat dalam campuran yang berbentuk padat.
(2) Ektraksi cair-cair, yaitu subtansi yang di ekstraksi yang terdapat dalam campuran
berbentuk cairan (Indraswari, 2008).
Ekstraksi tradisional atau sederhana dapat dilakukan dengan cara perebusan.
Cara perebusan merupakan yang paling mudah dengan alat-alat yang sederhana pula.
Adapun prinsip pengolahannya yaitu, bahan yang akan diekstrak, direbus dalam
pelarut air dengan perbandingan tertentu, bahan direbus sampai terjadi larutan
ekstrak, lalu diangkat dan didinginkan lalu disaring, larutan ekstrak siap digunakan
(Indraswari, 2008).
12
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Peternakan Bapak Prasetyo Desa Situ Udik
(Leuwiliang) Kabupaten Bogor, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan,
Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September
2009.
Materi
Ekstrak Ciplukan
Ciplukan yang digunakan terdiri dari bagian akar, batang, daun dan buahnya.
Tanaman ciplukan dikeringkan dahulu sebelum dibuat ekstrak dengan menggunakan
panas matahari. Pengeringan ini bertujuan agar tanaman ciplukan tidak cepat busuk,
dan memperpanjang umur simpan. Ciplukan direbus selama 26 menit. Perbandingan
air dan ciplukan adalah 1:1, yaitu 1 liter air dengan 1 kilogram ciplukan kering, dari
1 kilogram ciplukan dihasilkan ekstrak ciplukan sebanyak 500 ml. Kandungan zat
nutrien ciplukan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien (Physalis angulata) Berdasarkan As Fed
Komponen
Jumlah
Bahan Kering (%)
26,97
Abu (%)
8,16
Protein Kasar (%)
7,04
Lemak Kasar (%)
0,88
Serat Kasar (%)
7,25
Beta-N (%)
3,64
Energi Bruto (kkal/kg)
1134
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009)
13
Pakan
Pakan penelitian yang digunakan adalah pakan komersil jenis BR 1 Comfeed
disusun dari: 34% konsentrat, 50% jagung dan 16% katul halus dan memiliki
komposisi nutrien sebagaimana terlampir pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Pakan Puyuh (As Fed)
Komponen
Jumlah
Bahan Kering (%)
80,91
Abu (%)
16,38
Protein Kasar (%)
24,07
Serat Kasar (%)
5,05
Lemak Kasar (%)
2,24
Beta-N (%)
33,17
Energi Bruto (kal/gram)
3659
Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009)
Ternak
Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 384 ekor yang
berumur 2 hari dan dipelihara selama 4 minggu dengan rataan bobot badan awal
6,91gram.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan sebanyak 12 buah kandang koloni terbuat dari kayu
dilengkapi ram kawat. Ukuran kandang untuk anak puyuh (DOQ) lebarnya 60 cm,
panjang 120 cm dan tinggi 30 cm, kandang tersebut dibagi menjadi 12 unit kandang.
Setiap kandang diisi dengan 32 ekor anak puyuh. Unit kandang tersebut
menggunakan alas koran, hal ini dilakukan agar anak puyuh tidak jatuh.
Pada setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.
Pakan puyuh yang berumur 1 hari sampai 4 minggu ditempatkan pada baki. Ram
dipasang di atas baki agar pakan tidak tercecer yang kemudian ditaruh di dalam unit.
Anak puyuh menggunakan tempat minum galon air yang sama dengan anak ayam.
Karena tubuh anak puyuh kecil, dikhawatirkan akan tercebur ke dalam bak minum,
maka untuk mencegahnya dimasukkan kelereng ke dalam bak minum.
14
Indukan
Indukan atau alat pemanas untuk anak puyuh menggunakan bola lampu pijar.
Setiap unit kandang terdiri dari 2 lampu dengan daya masing-masing lampu 25 watt,
hal ini untuk menjaga suhu kandang agar tidak dingin. Selain menggunakan lampu
unit kandang tersebut untuk bagian depannya dipasang papan yang bisa ditutup dan
dibuka, agar suhu didalam unit kandang tersebut lebih hangat.
Pada hari ke-5 pemeliharaan, papan yang digunakan untuk penutup unit
kandang pada siang hari dilepas satu, karena bobot badan puyuh mulai bertambah
dan pada hari ke-10 lampu yang digunakan sebagi indukan pada siang hari
dimatikan. Sedangkan untuk minggu ke-3 tutup unit kandang semuanya dilepas, dan
lampu dimatikan pada siang hari.
Metode
Perlakuan
Perlakuan pada penelitian adalah jumlah pemberian ekstrak ciplukan dalam
air minum :
Perlakuan 1 (R1)
: Air minum + vitamin mix
Perlakuan 2 (R2)
: Air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 5% dari kebutuhan
air minum puyuh setiap minggunya (20 ml/hari pada minggu
pertama, 40 ml/hari pada minggu kedua, 50 ml/hari pada
minggu ketiga, 65 ml/hari pada minggu keempat)
Perlakuan 3 (R3)
: Air minum + ekstrak ciplukan sebanyak 10% dari kebutuhan
air minum puyuh setiap minggunya (40 ml/hari pada minggu
pertama, 80 ml/hari pada minggu kedua, 100 ml/hari pada
minggu ketiga, 130 ml/hari pada minggu keempat)
Komposisi vitamin mix yang digunakan pada penelitian ini terlampir pada Tabel 6.
15
Tabel 6. Komposisi Vitamin Mix (Sanbe Mix)
Tiap kg mengandung
Satuan
Colistin
5.000
mg
Vitamin A
5.000.000 IU
Vitamin D3
800.000
IU
Vitamin E
2.000
mg
Vitamin K3
800
mg
Vitamin B2
3.200
mg
Vitamin B12
2.500
mcg
Vitamin C
20.000
mg
Ca-d-pantothenate
4.800
mg
Nicotinamide
13.000
mg
Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan dengan satu ulangan
32 ekor puyuh. Model matematik untuk percobaan ini dengan Rancangan Acak
Lengkap (Steel dan Torrie, 1993) adalah sebagai berikut:
Yij = μ + αi + εij
Keterangan :
Yij
= Efek perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
αi
= Efek utama perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i
εij
= Error (gallat) perlakuan pemberian ekstrak ciplukan ke-i dan ulangan
ke-j
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan
dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel dan
Torrie, 1993).
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati adalah uji sumur difusi, mortalitas, konsumsi pakan,
bobot badan, pertambahan bobot badan, konsumsi air minum, konversi pakan,
persentase karkas dan persentase organ dalam.
16
1. Uji Sumur Difusi (Pratiwi, 2008)
Uji sumur difusi dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terbaik ekstrak
ciplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Uji ini merupakan uji kuantitatif.
Sebelum melakukan uji difusi, terlebih dahulu dilakukan peremajaan bakteri. Bakteri
harus diremajakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk uji antibakteri. Bakteri
dibiakkan pada agar miring yang telah disterilkan, kemudian diinkubasi selama 24
jam pada suhu 370C. Kultur bakteri tersebut diambil sebanyak satu ose dan
diinokulasikan ke tabung reaksi yang berisi 10 ml media cair Natrium Broth steril.
Kemudian diinkubasi pada shaker water bath selama 24 jam.
Kultur bakteri yang telah diremajakan diambil sebanyak 50 µl menggunakan
pipet mikro lalu dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya media selektif
agar steril 15 ml dituangkan ke dalam cawan petri, lalu dicampur merata dan
dibiarkan memadat pada suhu kamar. Setelah media memadat, dibuat lubang
berdiameter 0,5 cm menggunakan pangkal pipet tetes, lalu ditetesi dengan ekstrak
ciplukan 5% dan 10%, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Daya
antibakteri masing-masing perlakuan ditunjukkan oleh diameter zona bening
disekitar lubang.
Pengukuran adanya kekuatan antibiotik terhadap bakteri menurut Pratiwi
(2008) digunakan metode dari Davis Stout dengan ketentuan: sangat kuat (daerah
hambat 20 mm atau lebih), kuat (daerah hambat 10-20 mm), sedang (daerah hambat
5-10 mm) dan lemah (daerah hambat <5 mm).
Gambar 3. Diagram Alur Proses Uji Sumur Difusi
17
2. Mortalitas (%)
Angka mortalitas diperoleh dari jumlah puyuh yang mati seluruhnya dibagi
dengan jumlah awal puyuh pada awal percobaan dikalikan seratus persen.
3. Konsumsi Pakan (g/ekor)
Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pakan yang diberikan dalam
satu minggu dikurangi sisa pakan pada akhir minggu tersebut.
4. Bobot Badan akhir (g/ekor)
Bobot badan akhir rata-rata per ekor diukur dengan menimbang puyuh pada
akhir pemeliharaan.
5. Pertambahan Bobot Badan (g/ekor)
Pertambahan bobot badan rata-rata setiap minggu diukur berdasarkan bobot
badan pada akhir minggu dikurangi bobot badan pada awal minggu.
6. Konsumsi Air Minum (liter/hari)
Konsumsi air minum dihitung setiap hari dari pemberian air minum awal
dikurangi sisa akhir minum diukur setiap hari.
7. Konversi pakan
Konversi pakan dihitung berdasarkan jumlah konsumsi rataan dibagi dengan
pertambahan bobot badan rata-rata setiap minggu selama penelitian.
7. Persentase Karkas (%)
Karkas diperoleh dari puyuh jantan (setiap ulangan dua ekor) pada masingmasing perlakuan. Persentase karkas dihitung dengan membagi bobot karkas puyuh
jantan umur empat minggu dengan bobot akhir dikalikan 100%.
8. Persentase Organ Dalam (%)
Dihitung dengan membagi organ dalam (hati, jantung, ampela dan sekum)
puyuh jantan umur empat minggu dengan bobot akhir dikalikan 100%.
Prosedur
Pemberian Ekstrak Ciplukan
Pemberian ekstrak ciplukan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian air
minum dengan dosis 5% dan 10% dari kebutuhan air minum puyuh setiap
minggunya.
18
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari. Pakan puyuh diberikan secara ad
libitum. Sedangkan untuk pemberian air minum dilakukan setelah puyuh tersebut
mengkonsumsi ekstrak ciplukan. Air minum yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan air minum puyuh setiap minggunya. Kebutuhan air minum puyuh
terlampir pada Tabel 3.
Pengukuran Suhu (Robiansyah, 2006)
Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00-08.00 WIB), siang
hari (pukul 12.00-13.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00-17.00 WIB). Alat yang
digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer yang ditempatkan pada unit
kandang. Nilai suhu udara yang diperoleh pada pagi hari, siang dan sore hari
kemudian dihitung untuk mendapatkan suhu harian dengan rumus:
Suhu harian
2 x nilai pagi
nilai siang
4
nilai sore
Pemotongan Karkas Puyuh
Setelah puyuh berumur empat minggu dilakukan pemisahan puyuh jantan dan
betina. Penampilan fisik puyuh jantan berwarna coklat muda dan tidak terdapat
warna putih sekitar dada. Warna bulu dada puyuh betina adalah coklat hitam atau
abu-abu serta ada warna bintik-bintik putih. Puyuh jantan diambil secara acak dua
ekor setiap ulangan sebagai sampel untuk menghitung persentase bobot karkas dan
organ dalam. Puyuh dipotong kemudian digantung untuk mengeluarkan darahnya.
Kemudian untuk memudahkan pencabutan bulu, puyuh direndam dalam air hangat
dengan suhu 60-700C selama beberapa detik. Kepala, leher, dan kaki dipotong lalu
puyuh dibelah untuk dikeluarkan organ dalamnya.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peranan Zat Bioaktif Ciplukan
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) sampai saat ini masih dipandang sebagai
unggas penghasil daging dan telur. Oleh karena itu upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan performa puyuh sebagai pedaging dan petelur. Penggunaan ekstrak
ciplukan yang mempunyai efek seperti antibiotik dapat memperbaiki performa
puyuh. Ekstrak ciplukan mengandung flavonoid dan polifenol yang berkhasiat
sebagai antioksidan dan antibakteri (Hadisaputra, 2008). Hasil pengujian dengan
analisis fitokimia Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro), Cimanggu
Bogor menunjukkan bahwa ekstrak ciplukan secara kualitatif mengandung polifenol
dan flavonoid. Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak ciplukan terlampir pada
Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Ciplukan
Golongan Senyawa
Hasil Kualitatif
Polifenol
++++
Flavonoid
++
Keterangan: Hasil Analisis di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu (2009).
+ (Positif lemah), ++ (Positif), +++ (Positif kuat), ++++ (Positif kuat sekali)
Flavonoid yang terdapat dalam ciplukan menurut Masduki (1996); Winarno
dan Sundari, (1996); Dzulkarnain et al. (1996) dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus dan penghambatan pertumbuhan Salmonella
typhimurium. Efek flavonoid terhadap organisme banyak sekali sehingga banyak
orang menggunakan
tradisional
tumbuhan yang mengandung flavonoid dalam pengobatan
(Middleton dan Kandaswani, 1992). Flavonoid bertindak sebagai
penampung yang baik radikal hidroksi dan superhidroksi sehingga dapat melindungi
lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya merupakan
komponen aktif tumbuhan yang dapat digunakan secara tradisional untuk mengobati
gangguan fungsi hati. Sehingga tidak adanya gangguan organ dalam pada akhir
penelitian pada puyuh tersebut. Selain flavonoid, senyawa yang terkandung dalam
ekstrak ciplukan adalah polifenol.
20
Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak ciplukan berperan secara langsung
sebagai antibiotik dengan menggangu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri
atau virus (Waji, 2009). Flavonoid dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara
menangkap radikal bebas (Rohman, 2005). Hal ini yang menyebabkan konsentarsi
ekstrak ciplukan 10% mempunyai daya hambat terhadap Salmonella typhimurium.
Aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap bakteri Salmonella typhimurium
dilakukan dengan merusak dinding sel dari bakteri Salmonella typhimurium yang
terdiri atas lipid dan asam amino akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa
flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke
dalam inti sel bakteri. Selanjutnya dengan inti sel bakteri juga senyawa ini akan
kontak dengan DNA pada inti sel bakteri Salmonella typhimurium dan melalui
perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada
senyawa flavonoid akan dapat terjadi reaksi sehingga akan merusak struktur lipid
dari DNA bakteri Salmonella typhimurium sehingga inti sel bakteri juga akan lisis
dan bakteri Salmonella typhimurium juga akan mengalami lisis dan mati (Gunawan,
2009).
Menurut hasil analisis laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi
Nutrisi, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor hasil uji sumur menunjukkan bahwa ciplukan dengan konsentrasi
10% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium dengan zona
hambat 5,6 mm, sedangkan ekstrak ciplukan 5% zona hambatnya sangat lemah
sehingga zona hambat tersebut tidak dapat diukur (Tabel 8).
Tabel 8. Hasil Uji Sumur Ekstrak Ciplukan
Perlakuan
Hasil Kuantitatif
5%
Tidak ada zona hambat (sangat kecil)
10%
5,6 mm
Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikbrobiologi, Departemen Nutrisi
dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009)
Bakteri Salmonella typhimurium dapat mengganggu saluran pencernaan
puyuh yang mengakibatkan bobot badan puyuh tersebut menurun. Adanya zona
hambat pada sampel uji mengindikasikan bahwa ekstrak ciplukan mengandung
21
senyawa aktif. Sedangkan ekstrak ciplukan dengan konsentrasi 5% tidak mempunyai
zona hambat dan
populasi Salmonella
typhimurium yang tumbuh
tidak
terdefinisikan. Ekstrak ciplukan dengan konsentrasi yang tinggi mengandung
senyawa aktif dengan kadar yang tinggi pula, sehingga lebih besar daya hambatnya
terhadap bakteri dibandingkan ekstrak ciplukan dengan konsentrasi rendah. Uji daya
hambat ekstrak ciplukan terhadap Salmonella typhimurium disajikan pada Gambar 4.
A B
Gambar 4. Zona Hambat Bakteri Ekstrak Ciplukan 5% (A)
dan 10% (B) terhadap Bakteri Salmonella typhimurium
Pengukuran adanya kekuatan antibiotik terhadap bakteri menurut Pratiwi
(2008) digunakan metode dari Davis Stout dengan ketentuan: sangat kuat (daerah
hambat 20 mm atau lebih), kuat (daerah hambat 10-20 mm), sedang (daerah hambat
5-10 mm) dan lemah (daerah hambat <5 mm). Dapat disimpulkan bahwa ekstrak
ciplukan dengan konsentrasi 10% bersifat sedang, karena zona hambatnya 5-10 mm.
Zona hambat ekstrak ciplukan terhadap Salmonella typhimurium lebih kecil
dibandingkan dengan zona hambat tepung daun jarak (6,8 mm) dengan konsentrasi
10% (Pratiwi, 2008) dan ekstrak daun tanjung (12,16 mm) dengan dosis 1 g/ml
(Noor, 2006). Sehingga performa puyuh selama pemeliharaan 4 minggu dengan
perlakuan ekstrak ciplukan hasilnya tidak jauh beda dengan perlakuan vitamin mix.
Namun dibandingkan dengan penelitian Guler (2005) yang menggunakan biji
ketumbar performa puyuh jauh lebih baik.
Selain seyawa flavonoid, senyawa yang terkandung dalam ekstrak ciplukan
adalah seyawa polifenol yang mampu menghambat reaksi oksidasi melalui
mekanisme penangkapan radikal (radical scavenging) dengan cara menyumbangkan
satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga
banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Waji, 2009). Polifenol mempunyai
22
aktivitas antibakteri. Kereaktifan antibakteri bergantung pada kandungan protein
polyamides pada bakteri. Penghambatan bakteri oleh komponen dari fenol
diakibatkan karena terbentuknya ikatan hidrogen fenol dengan protein inti (Karou et
al., 2005).
Adanya senyawa bioaktif polifenol dan flavonoid pada ekstrak ciplukan
menyebabkan ekstrak ciplukan ini bisa digunakan sebagai antibiotik untuk
menggantikan vitamin mix. Senyawa bioaktif ini dapat menurunkan populasi
Salmonella typhimurium pada puyuh yang dapat menggangu saluran pencernaan
puyuh yang fungsinya sama dengan colistin yang terkandung dalam vitamin mix.
Keadaan Umum Peternakan Puyuh
Peternakan puyuh Bapak Prasetyo yang berlokasi di Situ Udik, Leuwiliang,
Bogor ini sudah berdiri dari 5 tahun yang lalu. Peternakan ini masih tergolong skala
kecil, namun kelebihan dari peternakan ini adalah memiliki mesin penetasan yang
dibuat sendiri, kandang pertumbuhan dan kandang petelur. Peternakan ini
menghasilkan telur dan karkas puyuh yang berasal dari puyuh jantan dan betina afkir.
Letak kandang di peternakan ini kurang strategis. Kandang pertumbuhan
berada di dekat kantor, dapur dan kamar mandi, menyebabkan banyak orang yang
berlalu-lalang di sekitar kandang puyuh. Peternakan ini menggunakan mesin tetas
buatan sendiri untuk menetaskan telur puyuhnya dan menghasilkan 384 ekor anak
puyuh dari 500 butir telur. Kondisi puyuh setelah menetas sangat lemah, diakibatkan
kondisi mesin tetas yang masih dalam tahap percobaan dan pada saat pemindahan ke
kandang pertumbuhan banyak puyuh yang mati. Sebelum pemeliharaan dilakukan
sanitasi kandang dengan menggunakan disinfektan. Air yang digunakan untuk
konsumsi air minum puyuh dan mencuci peralatan kandang berasal dari sawah. Air
minum yang diberikan sesuai dengan kebutuhan air minum setiap minggunya. Pakan
yang diberikan secara ad libitum berasal dari Comfeed. Denah kandang di
peternakan disajikan pada Gambar 5.
23
1
2
3
4
5
10
6
9
8
7
Gambar 5. Denah Kandang Peternakan Puyuh
Keterangan:
1. Kantor
2. Ruang penetasan
3. Dapur
4. Kandang pemeliharaan periode pertumbuhan
5. Kamar mandi
6. Tempat penyimpanan feses
7. Kandang pemeliharaan periode petelur
8. Kandang pemeliharaan periode petelur
9. Kandang pemeliharaan periode petelur
10. Kandang pemeliharaan periode petelur
Penggunaan Ekstrak Ciplukan dalam Air Minum
Penggunaan ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh tidak berbeda nyata
terhadap mortalitas, konsumsi pakan, rataan bobot badan, pertambahan bobot badan
dengan konsumsi air minum, dan konversi pakan puyuh yang diberi ekstrak ciplukan
dengan yang diberi vitamin mix (Tabel 9). Performa puyuh dengan perlakuan ekstrak
ciplukan tidak lebih baik dibandingkan dengan perlakuan vitamin mix. Hal ini
diduga karena kandungan flavonoid dan polifenol yang terdapat dalam ekstrak
ciplukan tidak dapat meningkatkan performa yang bisa disebabkan oleh rendahnya
dosis pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum.
24
Tabel 9. Performa Puyuh Secara Kumulatif Setelah Pemeliharaan Selama 4 Minggu
yang Diberi Perlakuan Vitamin Mix dan Ciplukan
Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
Mortalitas (%)
8,5 ± 0,66
10,5 ± 1,36
10,58 ± 0,83
Konsumsi pakan (gram/ekor)
220,60 ± 4,61 231,56 ± 4,75 234,36 ± 7,87
Bobot badan akhir (gram/ekor)
64,48 ± 2,51
65,95 ± 3,65
68,26 ± 2,25
Pertambahan bobot badan (gram/ekor)
58,12 ± 0,74
59,61 ± 0,54
64,33 ± 0,98
Konsumsi air minum(liter/ekor)
2,29 ± 0,18
1,56 ± 0,14
1,42 ± 0,13
Konversi pakan
3,79± 0,41
3,89 ± 0,24
3,64 ± 0,545
Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air
minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari
kebutuhan air minum setiap minggunya.
Pada Tabel 9 dan Tabel 11 terlihat bahwa mortalitas puyuh yang diberi
ekstrak ciplukan lebih tinggi daripada yang diberi vitamin mix, terutama R3 untuk
minggu ke-1. Salah satu penyebabnya adalah suhu. Rataan suhu pemeliharaan puyuh
minggu pertama sampai minggu keempat terlampir pada Tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata Suhu Pemeliharaan Puyuh Minggu 1-4
Minggu Ke-
Rataan Suhu (0)
1
38,93
2
36,22
3
36,44
4
36,16
Suhu ideal yang dibutuhkan oleh anak puyuh adalah suhu normal atau suhu
ruangan (37,70C pada minggu ke-1), (32,20C pada minggu ke-2) dan (32,20C) pada
minggu ke-3) (Banks, 1979; USDA 1974). Tingkat mortalitas pada minggu pertama
sangat tinggi sekali (Tabel 11). Hal ini disebabkan karena suhu pada penelitian ini
memiliki kisaran 38,930C (Tabel 10), merupakan suhu yang sangat tinggi untuk anak
puyuh. Suhu yang tinggi ini menyebabkan angka mortalitas tinggi.
25
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas (%) Puyuh Minggu 1-4
Minggu
Perlakuan
R1
R2
R3
1
3,75 ± 2,63
6,00 ± 2,16
3,5 ± 2,08
2
1,50 ± 0,58
1,00 ± 1,41
2,08 ± 2,06
3
2,00 ± 2,16
1,50 ± 1,29
4,00 ± 2,16
4
1,25 ± 1,50
2,00 ± 2,83
1,00 ± 1,41
Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air
minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari
kebutuhan air minum setiap minggunya.
Mortalitas puyuh pada penelitian selama 4 minggu dibandingkan dengan
Kaharudin (2007) masih tinggi (Tabel 9). Namun mortalitas pada setiap minggunya
cenderung menurun (Tabel 11), hal ini terlihat dari angka mortalitas yang tinggi pada
minggu pertama akibat suhu lingkungan yang cenderung tinggi, kemudian pada
minggu kedua sampai minggu keempat angka mortalitasnya menurun. Sehingga
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum puyuh dapat
menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya. Senyawa aktif dalam ekstrak
ciplukan diduga dapat menurunkan angka mortalitas, karena senyawa tersebut
memiliki daya hambat bakteri.
Menurut Yousef (1985), suhu lingkungan tinggi dapat memberikan dampak
negatif terhadap kondisi fisologis dan produktivitas puyuh. Puyuh lebih banyak
mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak normal, sehingga
puyuh tidak dapat menggunakan pakan secara efisien untuk meningkatkan bobot
badan (Gunawan dan Sihombing, 2004). Cekaman panas (heat stress) menyebabkan
penurunan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan (Mashaly et al., 2004).
Penurunan efisiensi penggunaan pakan terkait dengan terganggunya pertumbuhan
saluran pencernaan yang akhirnya menggangu absorbsi nutrien. Cekaman panas pada
ayam dan burung puyuh, dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan vili usus,
karena ukuran vili menjadi lebih pendek (Mitchell dan Carlisle, 1992; Sandikci et al.,
2004).
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh puyuh. Suhu
tubuh yang tinggi ini akan mengakibatkan beban panas bagi puyuh dan akhirnya
aktivitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktivitas metabolisme
26
karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat akibatnya berupa menurunnya
aktivitas makan dan minum (Gunawan dan Sihombing, 2004). Pengaruh suhu
lingkungan terhadap aktivitas metabolisme puyuh, secara skematis disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 6. Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Aktivitas Metabolisme Tubuh
Puyuh (Gunawan dan Sihombing, 2004)
Selain pengaruh suhu lingkungan penurunan konsumsi air minum pada
perlakuan yang diberi ekstrak ciplukan, disebabkan adanya pengaruh bau dan rasa
dari air minum. Ekstrak ciplukan memiliki rasa pahit dan sedikit bau. Menurut
Prawirokusumo (1994) unggas memiliki jumlah alat perasa relatif sedikit tetapi
unggas dapat membedakan rasa dalam larutan. Menurut Appleby et al. (1992), rasa
pahit tidak disukai oleh ternak unggas dan lebih menyukai rasa manis. Sehingga
konsumsi air minum puyuh menurun. Rasa pahit pada ekstrak ciplukan dalam air
minum puyuh dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Sastrapradja et al. (1980)
menyatakan bahwa efek rasa pahit pada tanaman seperti pada buah mengkudu dapat
meningkatkan nafsu makan.
Namun pemberian ekstrak ciplukan dalam air minum menyebabkan nafsu
makan puyuh menurun, hal ini terlihat dari rataan konsumsi pakan puyuh secara
27
kumulatif (1-4 minggu) pada perlakuan ekstrak ciplukan berkisar antara 231,56234,36 gram/ekor (Tabel 9) masih rendah. Kaharudin (2007), menyatakan bahwa
rataan konsumsi pakan selama 4 minggu adalah 260, 45 gram/ekor. Konsumsi pakan
yang menurun mengakibatkan bobot badan dan pertambahan bobot badan juga
menurun. Rataan bobot badan akhir puyuh pada minggu ke- 4 rendah (Tabel 9)
dibandingkan dengan penelitian Kaharudin (2007) dan Woodard et al. (1973).
Menurut Kaharudin (2007) rataan bobot badan yang dicapai berkisar antara 68,0972,18 gram/ekor, sedangkan Woodard et al. (1973) 76,5 gram/ekor.
Walaupun ekstrak ciplukan memiliki rasa pahit dan sedikit bau dapat
berfungsi sebagai growth promoter untuk meningkatkan pertumbuhan. Vitamin mix
yang digunakan untuk meningkatkan kekebalan puyuh apabila dikonsumsi secara
berkelanjutan akan mengakibatkan efek samping terhadap ternak ataupun konsumen
yang mengkonsumsinya. Menurut Widodo (2005) apabila antibiotik
tertimbun
dalam jumlah besar akan menyebabkan kejadian residu pada organ tubuh tertentu.
Residu tersebut dapat membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya. Tanaman
obat dalam bentuk ramuan jamu atau simplisia (bahan dikeringkan atau ditepung)
yang diberikan kepada ternak khususnya unggas melalui air minum dan atau
dicampur ke dalam pakan sebagai feed additive atau feed supplement berdampak
positif terhadap pertumbuhan, aroma daging, telur tidak amis dan produktivitas
optimal. Selain itu juga tanaman obat dapat mengurangi bau kotoran (ammonia) yang
menyengat di sekitar kandang (Soedibyo, 1992).
Produk akhir dari puyuh sebagai dampak dari penggunaan ekstrak ciplukan
adalah persentase bobot karkas dan organ dalam disajikan pada Tabel 12. Persentase
bobot karkas dengan perlakuan ciplukan 10% lebih tinggi (78,3%) dibandingkan
dengan perlakuan yang lainnya. Bobot karkas yang lebih tinggi tersebut disebabkan
karena bobot badan akhir yang tinggi. Hasil penelitian Andriana (1997), yang
melaporkan bahwa persentase bobot karkas puyuh jantan umur enam minggu adalah
65,11-66,15% dan penelitian Guler (2005) selama pemeliharaan empat minggu
kisaran persentase bobot karkasnya 70-72,4 gram. Jull (1977) menyatakan bahwa,
bobot karkas dipengaruhi oleh metode prosesing dengan dilakukan
pengulitan,
sehingga jaringan kulit tidak masuk bobot karkas. Menurut Soeparno (1994) bahwa
28
faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah umur, perlemakan, bobot
badan, jenis kelamin, kualitas dan kuantitas pakan.
Persentase karkas mempengaruhi persentase organ dalam (hati, jantung, usus,
ampela), hal ini terlihat bahwa semakin tinggi persentase karkas maka semakin tinggi
juga persentase organ dalam yang dicapai. Berdasarkan pengamatan tidak ditemukan
pembengkakkan atau pengecilan hati serta perubahan warna hati, sehingga keadaan
puyuh jantan hasil penelitian ini dalam kondisi normal.
Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Bobot Karkas Puyuh Jantan dan
Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu
Peubah
R1
R2
R3
Bobot karkas Puyuh Jantan (%)
61,22 ± 3,49
69,44 ±5,25
75,30 ± 3,70
Bobot Organ Dalam (%)
19,99 ± 1,47
22,92 ±1,33
23,79 ± 1,42
Keterangan: R1= air minum + vitamin mix; R2= air minum + ekstrak ciplukan 5% dari kebutuhan air
minum puyuh setiap minggunya; R3= air minum + ekstrak ciplukan 10% dari
kebutuhan air minum setiap minggunya.
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ekstrak ciplukan memiliki senyawa aktif polifenol dan flavonoid yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium. Ekstrak ciplukan 10%
memiliki daya hambat 5,6 mm terhadap bakteri Salmonella typhimurium.
Penggunaan ekstrak ciplukan 10% belum dapat meningkatkan performa puyuh dan
ekstrak ciplukan dapat menurunkan angka mortalitas pada setiap minggunya selama
pemeliharaan.
Saran
Zat aktif dalam ekstrak ciplukan konsentrasinya dapat ditingkatkan dengan
mengolah ciplukan pada keadaan basah dan pengolahan ciplukan dengan
menggunakan ethanol. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan modifikasi
pemurnian senyawa aktif ekstrak ciplukan yang dapat digunakan sebagai feed
additive periode starter dan periode layer. Selain itu perlu dilakukan penelitian
terhadap kualitas daging.
30
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat,
taufik, dan nikmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan kuliah, penelitian,
seminar, dan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, M.S.
selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing anggota, Ir. Dwi Margi
Suci, M.S. selaku dosen pembimbing utama yang dengan sabar telah memberikan
nasehat, bimbingan, dan motivasi selama ini, Indah Wijayanti, S.Pt, M.Si. selaku
dosen pembahas seminar yang memberikan banyak masukan untuk penulisan skripsi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas saran yang telah diberikan kepada Dr.
Ir. Yuli Retnani, M.Sc. dan Maria Ulfa, S.Pt, M.Sc. Agr. sebagai dosen penguji
sidang.
Sembah bakti dan ucapan terima kasih yang tulus dan tak terkira penulis
haturkan kepada kedua orang tua, Ayahanda Saja dan Ibunda Erum yang selalu
mencurahkan kasih sayang yang tiada hentinya, do’a, kesabaran, dukungan moril dan
materil yang diberikan kepada penulis, serta terima kasih penulis ucapkan kepada
kakak-kakak tercinta Daryo dan Oos Rosita, sepupu-sepupu di Parigi dan Ciampea,
serta seseorang spesial Abun Bunyamin yang selalu mendukung dan memotivasi.
Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin.
Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prasetyo,
Ibu Lanjar dan anak-anak kandang di Peternakan Situ Udik Leuwiliang atas semua
bantuannya, serta ucapan terima kasih kepada sahabat-sahabatku, Shally, Ina, Bian,
Firman, Eka, Lenna, Feb Rina, Rini, Amir, Chandra, Tasya dan teman-teman INTP
43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan motivasi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi civitas akademik dan
masyarakat yang bergerak di bidang peternakan.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
31
DAFTAR PUSTAKA
Achmad .S. A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Penerbit Karunika. Jakarta.
Ambarwati. 2007. Efektivitas zat antibakteri Syzygium polyanthum (daun salam)
untuk menghambat pertumbuhan Salmonella thyposa dan Staphylococcus
aureus. Biodiversitas. 8(3): 320-325.
Andriana, B. B. 1997. Pemberian beberapa tingkatan zeolit dengan tingkat protein
terhadap bobot akhir; persentase karkas serta giblet puyuh jantan (Coturnix
coturnik japonica). Media Peternakan 21 (1): 48-53.
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Muthakir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta
Appleby, M. C., B. O. Hughes, & A. H. Elsen. 1992. Poultry Production System,
CAB International. Wallingford. Oxon.
Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Ward Lock Limited.
London.
Dzulkarnain B, D. Sundari , & A.Chozin. 1996. Tanaman obat bersifat antibakteri di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 110:35-48.
Gunawan, I. W. A. 2009. Potensi buah pare (Momordica charantia L) sebagai
antibakteri Salmonella Typhimurium. http:// www.wordpress.com. [3 Mei
2010] .
Gunawan & D.T. H. Sihombing. 2004. Pengaruh suhu lingkungan tinggi terhadap
kondisi fisiologis dan produktivitas ayam buras. Wartazoa. 14 (1): 31-38.
Guler, T. 2005. The effect of coriander seed (Coriandrum sativum L.) as diet
ingredient on the performance of Japanese quail. Journal of Animal Science.
35 (4): 260-266
Hadisaputra, F. F. 2008. Uji sitotoksik ekstrak etanol kultur akar ciplukan (Physalis
angulata) yang ditumbuhkan pada media murashige-skoog dengan
peningkatan konsentrasi sukrosa terhadap sel myelema. Skripsi. Fakultas
Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Haruna. 2005. Pemanfaatan jamu sebagai campuran air minum pada ternak puyuh.
Jurnal Agrisistem. 4(1): 1-11
Indraswari, A. 2008. Optimasi pembuatan ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora
L) menggunakan metode maserasi dengan parameter kadar total senyawa
fenolik dan flavonoid. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Jull, M, A. 1977. Poultry Husbandry 3rd Ed. Mc Grow Hill Book Company. New
York.
Kaharudin , D. 2007. Performan puyuh hasil pembibitan peternakan rakyat di Kota
Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus. 3: 396 – 400.
32
Kartasujana, R. & E. Suprijatna. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Karou, D., M. H. D. J. Simpore & A. S. Traore. 2005. Antioxidant and antibacterial
activities of polyphenols from ethnomedicinal plants of burkina faso. African
Journal of Biotechnology. 4 (8): 823-828.
Masduki, I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S.
aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran 109 : 21-24.
Mashaly, M. M., G. L. Hendricks, M. A. Kalama, A. E. Gehad, A. O. Abbas & P. H.
Patterson. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune
responses of commercial laying hens. Poultry Science. 83: 889-894.
Max, B. 1986. Trends Pharmacol.Cermin Dunia Kedokteran. 7:435-436.
Middleton, E. Jr. & C. Kandaswani. 1992 . Biochemistry Pharmacol. Journal Animal
Science. 43:1167-1179.
Mitchell, M. A. & A. J. Carlisle. 1992. The effects of chronic exposure to elevated
environmental temperature on intestinal morphology and nutrient absorption
in the domestic fowl (Gallus domesticus). Comparative Biochemistry and
Physiology. 101:137-142
Noor, S. M. 2006. Analisis senyawa kimia sekunder dan uji daya antibakteri ekstrak
daun tanjung (Mimusops elengi l) terhadap Salmonella typhi dan Shigella
boydii. Wartazoa. 2 (2) : 46-63
Nugroho, W. S. 2004. Tingkat cemaran Salmonella sp pada telur ayam ras di tingkat
peternakan kabupaten Sleman Yogyakarta. Prosiding Lokakarya Nasional
Keamanan Pangan Produk Pertanian. 13 (2): 160-165
Pitojo, S. 2006. Ceplukan Herba Berkhasiat Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Pratiwi, S. I. 2008. Aktivitas antibakteri tepung daun jarak (Jatropha curcas L,)
pada berbagai bakteri saluran pencernaan ayam broiler secara in vitro.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Penerbit BPFE. Yogyakarta.
Pramono S., Sumarno & Wahyono S. 1993. Flavonoid daun Sonchus arvensis L.
senyawa aktif pembentuk komplek dengan batu ginjal berkalsium. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia. Puslitbangfar. 2: 5-7.
Robiansyah, I. 2006. Lepraria sp sebagai indicator pencemaran timbale (Pb) di udara
pada tiga lokasi di kota Bandung. Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Rohman, A. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning (Murraya
paniculata (L) Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia. 3: 136-140.
Sagala, N. R. 2009. Pemanfaatan semak bunga putih (Chromolena odorata) terhadap
pertumbuhan dan IOFC dalam pakan burung puyuh (Conturnix conturnix
japonica)
umur
1
sampai
42
hari.
http://library,usu,ac,id/index,php/component/journals/index,php?option=com
_journal_review&id=11353&task=view. [25 Januari 2009].
33
Sandikci, M., U. Eren, A. G. Onol & S. Kum. 2004. The effect of heat stress and the
use of Saccharomyces cerevisiae and bacitracin zinc against heat stress on the
intestinal mucosa in quails. Revue Méd. 155: 552-556.
Sastrapradja, S., M. Asy’ari, E. Djajasukma, E.Kasim, I. Lubis & S.H.A. Lubis.
1980. Tumbuhan Obat. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Balai Pustaka.
Jakarta.
Setianto, J. 2005. Penggunaan cassava dan tepung indigofera sebagai pengganti
jagung dalam pakan terhadap performans puyuh petelur pada umur 1-5
minggu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 7 (2): 76-81.
Smith, A. H., J.A. Imlay & R.I. Mackie. (2003). Increasing the oxidative stress
response allows Escherichia coli to overcome inhibitory effect of condensed
tannins, Appl and Environ. Microb. 69 (6): 3406-3411.
Soedibyo, B. M. 1992. Pendayagunaan Tanaman Obat, Prosiding Forum Komunikasi
Ilmiah. Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sritharet, N. 2002. Effects of heat stress on histological features in pituicytes and
hepatocytes, and enzyme activities of liver and blood plasma in Japanese
quail (Coturnix japonica). Journal of Poultry Science. 39 (2): 167-178.
Standar
Nasional
Indonesia.
1994.
Kumpulan
SNI
http://agritekno.tripod.com/standar_pakan.htm. [ 7 Mei 2010]
Pakan.
Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Suprijatna, E. 2002. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
U.S.D.A & Clenson University. 1974. Raising Bobwhite Quail for Commercial Us.
U.S.D.A.Washington.
Waji, R. A. 2009. Flavonoid (Quercetin). Makalah Kimia Organik Bahan Alam.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Widodo, W. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstekstual. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia. Edisi Khusus. 3: 396 – 400.
Winarno, M. W. & Sundari D. 1996. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diare di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 109 : 25-32.
Woodard, A.E,. H. Abplannalp,. W. O. Wilson & P. Vohra.1973. Japanese Quail
Husbandry In The Laboratory. University of California. Davis. USA.
Yousef, M.K . 1985 . Stress Physiology in Livestock. Poultry. 3: 70-75 .
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Sidik Ragam Rataan Mortalitas selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
1,010
0,505
0,510
0,617
Galat
9
0,991
Total
11
8,922
9,932
Lampiran 2. Sidik Ragam Rataan Mortalitas Minggu 1-4
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
4,042
2,021
0,510
0,617
Galat
9
3,965
Total
11
35,688
39,73
Lampiran 3. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Pakan selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
26,400
13,200
0,374
0,698
Galat
9
35,272
Total
11
317,445
343,846
Lampiran 4. Sidik Ragam Rataan Bobot Badan Akhir selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
3,779
1,889
0,761
0,495
Galat
9
2,482
Total
11
22,334
26,113
Lampiran 5. Sidik Ragam Rataan Pertambahan Bobot Badan selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Perlakuan
2
2,266
1,133
Galat
9
0,597
Total
11
5,375
7,641
F 0,05
P value
1,897
0,205
36
Lampiran 6. Sidik Ragam Rataan Konsumsi Air Minum selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
19882,738
9941,369
2,731
0,118
Galat
9
3640,385
Total
11
32763,465
52646,203
Lampiran 7. Sidik Ragam Rataan Konversi Pakan selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
2,243
1,122
0,403
0,680
Galat
9
2,781
Total
11
25,027
27,270
Lampiran 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Karkas selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
14,235
7,118
0,400
0,682
Galat
9
17,807
Total
11
160,261
174,496
Lampiran 9. Sidik Ragam Persentase Organ Dalam selama 4 Minggu
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F 0,05
P value
Perlakuan
2
1,570
0,785
0,396
0,684
Galat
9
1,982
Total
11
17,842
19,412
37
Lampiran 10. Rataan Konsumsi Pakan Puyuh Minggu 1-4
Minggu ke-
Perlakuan
R1
R2
R3
1
17,83±5,22
23,06±4,86
24,14±0,73
2
48,71±7,76
50,22±4,07
51,66±6,28
3
68,82±5,45
68,93±7,36
83,21±27,95
4
85,24±4,04
89,37±11,46
89,45±7,33
Lampiran 11. Rataan Bobot Badan Akhir Puyuh Minggu 1-4
Minggu ke-
Perlakuan
R1
R2
R3
0
7,45 ± 1,21
6,47 ± 0,59
6,82 ± 1,29
1
18,96 ± 1,20
19,34 ± 0,45
19,54 ± 1,55
2
31,59 ± 1,28
33,43 ± 0,93
35,43 ± 1,53
3
48,39 ± 5,41
50,39 ± 3,36
51,80 ± 4,65
4
64,48 ± 2,51
65,95 ± 3,65
68,26 ± 2,25
Lampiran 12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Puyuh Minggu 1-4
Minggu ke-
Perlakuan
R1
R2
R3
1
12,45 ± 2,68
12,68 ± 0,54
11,87 ±3,55
2
12,65 ± 0,44
14,24 ± 0,71
14,70 ±2,00
3
14,10 ± 7,18
13,75 ± 7,65
18,22 ± 3,66
4
18,92 ± 7,45
19,12 ± 4,11
19,54 ±4,70
38
Lampiran 13. Rataan Konsumsi Air Minum Puyuh Minggu 1-4
Minggu ke-
Perlakuan
R1
R2
R3
1
0,48 ± 0,03
0,39±0,05
0,39±0,09
2
0,66 ± 0,02
0,47± 0,04
0,30 ±0,08
3
0,35 ± 0,04
0,39± 0,03
0,41±0,06
4
0,80±0,03
0,31± 0,04
0,32 ± 0,08
Lampiran 14. Rataan Konversi Pakan Minum Puyuh Minggu 1-4
Minggu ke-
Perlakuan
R1
R2
R3
1
1,61 ± 0,67
1,79 ± 0,37
2,36 ± 0,48
2
3,86 ± 0,61
3,57 ± 0,33
3,14 ± 0,68
3
4,29 ± 1,12
4,09 ± 0,62
3,96 ± 1,18
4
5,62 ± 1,59
5,1 9± 0,95
5,06 ± 2,31
39
Download