LAPORAN TENGAH TAHUN 2013 PEMETAAN AGRO EKOLOGI ZONE (AEZ) SKALA I : 50.000 Oleh : Tina Febrianti, SP BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGAH BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 i LAPORAN TENGAH TAHUN 2013 PEMETAAN AGRO EKOLOGI ZONE (AEZ) SKALA I : 50.000 Oleh : Tina Febrianti, SP BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGAH 2013 Kata Pengantar Dalam rangka percepatan laju pembangunan di daerah, sangat diperlukan pengenalan secara detail akan karakteristik sumberdaya alam/lahan dan komoditas pertanian andalan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian serta fasilitas infrastruktur yang menunjang. untuk menjamin efisiensi pembangunan pertanian dan untuk mempercepat perkembangan wilayah tersebut diperlukan pengkajian tentang karakteristik agro-ekosistem dan komoditas yang sesuai dengan kondisi agro-ekosistem tersebut. Kegiatan bertujuan untuk (1) Melakukan zonasi, karakterisasi, dan analisis wilayah agro-ekosistem lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai untuk menyusun peta AEZ, dan (2) Menyusun peta kesesuaian lahan beberapa komoditas (komoditas unggulan) dan peta agroekologi zone atau pewilayahan sistem usahatani skala 1:50.000 berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai di Kecamatan Basidondo dan Kecamatan Lampasio Kabupaten Tolitoli. Laporan tengah tahun ini menyajikan hasil kegiatan yang telah dilakukan, yaitu desk study dan survai/pengambilan data sosek yang dilakukan melalui wawancara. Hasil yang telah dicapai berupa : analisis data demografi; analisis komoditas tanaman (pangan, hortikultura, perkebunan) existing. Tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya adalah penyusunan peta dasaranalisis/interpretasi terrain; penyusunan peta satuan lahan; penelitian lapangan; analisis contoh tanah dan air; penyusunan basis data sumberdaya lahan; evaluasi lahan; dan penyusunan pewilayahan komoditas. Palu, 01 Juli 2013 Penanggung jawab, Tina Febrianti, SP Nip. 19820218 200812 2 002 iii Daftar Isi Halaman Kata Pengantar iii Daftar Isi iv Daftar Tabel v Daftar Gambar v I. Pendahuluan ........................................................ 1 II. Tinjauan Pustaka ................................................ III. Metodologi ......................................................... IV. Hasil dan Pembahasan Sementara ........................ Daftar Pustaka Daftar Tabel Halaman 1. Tingkat pemetaan sumberdaya tanah dan kegunaannya 2. Kelas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya 3. 4. 5. 6. Kelas kesesuaian lahan secara kuantitatif (ekonomi) dan pengertiannya Kualitas dan karakteristik lahansebagai parameter dalam evaluasi lahan Kecamatan dan Desa Kabupaten Banggai Kepulauan, tahun 2013 Luas wilayah kabupaten Banggai Kepulauan, tahun 2013 Daftar Gambar Halaman 1. Indeks Peta Sulawesi 2. Citra Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan 3. 4. 5. Peta Geologi Lembar 2214 Kabupaten Banggai Kepulauan Peta Geologi Lembar 2313, 2314, 2413, 2414 Kabupaten Banggai Kepulauan Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Kabupaten Banggai Kepulauan, tahun 2013 v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sulawesi Tengah terletak di bagian tengah Pulau Sulawesi, dengan luas wilayah 63.305 km2 atau 6.330.466,82 Ha. Luas wilayah daratan tersebut adalah 36,47 persen dari luas Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi pertanian yang cukup besar untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, maka dengan sendirinya provinsi ini mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk memberdayakan kekayaan sumberdaya alamnya secara optimal dan berkelanjutan, khususnya pertanian agar mampu mensejajarkan diri dengan provinsi lainnya. Hal ini sejalan dengan visi Provinsi Sulawesi Tengah 2011 – 2016 yaitu “SULAWESI TENGAH SEJAJAR DENGAN PROVINSI MAJU DI KAWASAN TIMUR INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN KELAUTAN MELALUI PENINGKATAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA YANG BERDAYA SAING PADA TAHUN 2020” Pengenalan secara detail karakteristik sumberdaya alam/lahan dan komoditas pertanian andalan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian, di samping fasilitas infrastruktur yang menunjang pembangunan pertanian, sangat diperlukan dalam rangka mempercepat laju pembangunan di provinsi ini. Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kondisi agro-ekosistem yang relatif beragam dan dapat digolongkan menjadi agro-ekosistem lahan sawah, lahan kering dataran rendah, dataran tinggi, dan dataran pantai. Sebagai konsekuensinya, performa dan peran pengusahaan suatu komoditas akan berbeda antara agroekosistem yang satu dengan yang lainnya. Sektor pertanian masih menjadi salah satu tumpuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini dituangkan dalam Rencana Tata Ruang dan Kewilayahan (RTRW) hingga tahun 2030 mendatang (Bappeda, 2011). Strategi ini dikembangkan melalui pendekatan peningkatan sumberdaya lahan pertanian. Peningkatan sumberdaya lahan pertanian dibagi dalam dua kawasan, yaitu kawasan tanaman pangan dan kawasan perkebunan. Penyebarannya diseluruh kabupaten/kota. Namun penetapannya belum mengacu pada kondisi biofisik dan sosial ekonomi. Selain itu, penetapan ini belum menggambarkan prioritas komoditas unggulan secara spesifik lokasi. Untuk mendukung dan memacu pengembangan wilayah yang dicanangkan oleh pemerintah daerah, maka perlu didukung oleh informasi data kondisi/karakter biofisik lahan dan sosial ekonomi wilayah yang lengkap dan akurat. Selain itu juga, agar perencanaan pengembangan dan pembangunan dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan, diperlukan adanya data base tentang kondisi/karakter biofisik dan sosial ekonomi. Pengumpulan data ini dapat dilakukan melalui penyusunan basis data dalam bentuk peta Agroekologi Zone (AEZ) pada skala operasional (1: 50.000). Data biofisik, selain dapat dijadikan bahan perencanaan, juga dapat dijadikan bahan untuk penetapan alternatif teknologi dibidang pertanian dan perikanan, sehingga perencanaan dapat terarah dan tidak meraba-raba. Dari 11 kabupaten/kota yang ada dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tengah, sudah beberapa kabupaten yang memiliki peta AEZ skala 1 : 50.000, yaitu Kab. Donggala, Parigi Moutong, Morowali, Sigi (saat masih bergabung dengan kabupaten induk), sebagian Kab. Poso, Kab. Toli-Toli, dan sebagian Kab. Buol. 1.2 Dasar Pertimbangan Suatu agro-ekosistem yang diberdayakan sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya dan dikaitkan dengan persyaratan tumbuh/hidup dari komoditas yang akan diusahakan, dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan agro-ekosistem yang bersangkutan (Djaenudin et al, 2003). tersebut kemudian ditambahkan berbagai Apabila ke dalam agro-ekosistem masukan baru yang sifatnya memperbaiki, seperti bibit unggul, pupuk organik dan anorganik, maka akan terjadi peningkatan hasil/output. Agar target hasil/output dapat dicapai secara optimal, vii maka karakteristik lahan yang mencakup sifat iklim, tanah dan terrain/topografi dari setiap agro-ekosistem tersebut perlu diketahui. Setiap wilayah dapat digolongkan dalam zone agro-ekosistem tertentu berdasarkan kemiripan faktor-faktor alam (iklim, terrain dan tanah) dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut. Dengan demikian petani yang ada dalam suatu zone agro-ekosistem memiliki kesamaan baik dalam permasalahan maupun kebutuhan teknologi. Setiap zone agro-ekosistem memiliki karakteristik tertentu yang dapat digolongkan ke dalam empat bentuk (Conway, 1987), yaitu: Productivity yang menggambarkan hubungan antara nilai produksi dengan penggunaan per satuan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, energi dan modal). Stability mencerminkan tingkat kestabilan produktivitas dan fluktuasi variabel lingkungan seperti iklim atau kondisi pasar, yang tidak terlalu besar. Sustainability mencerminkan kemampuan suatu agro-ekosistem untuk mempertahankan produktivitas, jika terjadi tekanan/gangguan kecil yang sifatnya periodik. Equitability yang mencerminkan tingkat pemerataan penyebaran produktivitas suatu agro-ekosistem bagi manusia yang terlibat di dalamnya. Kegiatan penelitian analisis agro-ekosistem perlu didahului dengan survei dan pemetaan sumberdaya lahan melalui pendekatan analisis terrain, untuk menghasilkan peta satuan lahan (land unit), yang akan digunakan sebagai dasar analisis berikutnya. Kegiatan selanjutnya adalah survei formal dan informal untuk bidang agronomi, sosial ekonomi pertanian, dan kultur atau budaya masyarakat setempat. Metode untuk melakukan survei informal tersebut adalah dengan pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA) (Lovelace et al., 1988), atau Participatory Rural Appraisal (PRA). Dari hasil survei dapat diketahui jenis-jenis komoditas andalan dan informasi rinci mengenai input-output usahatani, potensi dan kendala ketersediaan sumberdaya usahatani, serta potensi dan peluang pemasaran output. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka untuk menjamin efisiensi pembangunan pertanian dan untuk mempercepat perkembangan wilayah kabupaten tersebut diperlukan pengkajian tentang karakteristik agro-ekosistem dan komoditas yang sesuai dengan kondisi agro-ekosistem tersebut. ix 1.3 Tujuan a. Tujuan Jangka Panjang Menyusun basis data sumberdaya lahan dan sosial ekonomi pertanian untuk keperluan perencanaan, pembangunan dan pengembangan, serta penelitian dan pengkajian di masa datang. b. Tujuan Tahunan (2013) Melakukan zonasi, karakterisasi, dan analisis wilayah agro-ekosistem lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai untuk menyusun peta AEZ. Menyusun peta kesesuaian lahan beberapa komoditas (komoditas unggulan) dan peta agroekologi zone atau pewilayahan sistem usahatani skala 1:50.000 berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan kering dan lahan pantai di Kabupaten Banggai Kepulauan. 1.4 Keluaran yang Diharapkan a. Keluaran Jangka Panjang Tersedianya basis data sumberdaya lahan dan data sosial ekonomi pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan khusus pembangunan pertanian dan penetapan alternatif teknologinya. b. Keluaran Tahunan (2013) - Informasi/data karakteristik wilayah agro-ekosistem lahan sawah dan lahan kering, dan lahan pantai di Kabupaten Banggai Kepulauan. - Peta kesesuaian lahan beberapa komoditas (komoditas unggulan) dan peta agroekologi zone atau pewilayahan sistem usahatani skala 1:50.000 berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai di kabupaten Banggai Kepulauan. II. TINJAUAN PUSTAKA Data dan informasi spasial sumberdaya lahan yang handal dan akurat mempunyai peranan sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian di daerah melalui pemanfaatan lahan potensial secara optimal. Data tersebut diperoleh melalui tahapan kegiatan penelitian inventarisasi dan evaluasi sumberdaya lahan yang dikenal dengan survei dan pemetaan sumberdaya tanah/lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan data karakteristik dan kesesuaian lahan, potensi dan kendala penggunaan lahan, serta alternatif mengatasinya. Tergantung pada tujuannya, pemetaan sumberdaya lahan dibedakan ke dalam tingkat atau skala peta, yaitu: eksplorasi, tinjau, tinjau mendalam, semi detil, dan detil (Soil Survey Division Staff, 1993; Subagjo, 1995). Makin detil tingkat pemetaan atau makin besar skala peta, makin spesifik atau rinci informasi yang disajikan (Tabel 1). Tabel 1. Tingkat pemetaan sumberdaya tanah dan kegunaannya Luas per cm2 Nama dan tingkat Skala dalam peta Kegunaan informasi (ha) < 1: Eksplorasi, sangat kasar 62.500Perencanaan tingkat 1.000.000 (indikasi awal) 10.000 nasional 1: 250.000 Tinjau (reconnaissance), 625 Perencanaan tingkat kasar (indikasi kedua), regional/provinsi lokasi pengembangan jelas. 1: 100.000 Tinjau Mendalam (detailed 100 Perencanaan khusus, reconnaissance), lebih rinci a.l. Pengelolaan DAS dari tinjau, lokasi dan luas jelas 1: 50.000 Semi-detil, cukup rinci, 25 Perencanaan lokasi dan luas lebih intensifikasi, rinci/akurat. ekstensifikasi pertanian, perkebunan, transmigrasi, irigasi, dll. > 1: 10.000 Detil, sangat rinci, farm 1 Percobaan penelitian, level dan paket teknologi. demplot, usahatani tingkat petani. xi Menurut Van Wambeke dan Forbes (1986) pemetaan tanah semi detil termasuk ordo ketiga dengan ukuran delineasi minimum yang dapat digambarkan pada peta skala 1: 50.000 adalah seluas 10 ha. Hasil pemetaan tanah semi detil dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di lapangan pada tingkat kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994). Dari berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa data dan informasi hasil survei tanah tingkat semi detil banyak bermanfaat untuk perencanaan pembukaan areal pertanian baru, pengembangan wilayah pada tingkat kabupaten, dan juga diperlukan untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ RTRWPD Tingkat II (Subagjo, 1995). Metode pemetaan sumberdaya tanah dengan menggunakan pendekatan land unit atau physiographic approach melalui analisis terrain (Desaunettes, 1977; Kips et al., 1981; CSR/FAO, 1983; Van Zuidam, 1985) memberikan hasil yang lebih efisien untuk tujuan evaluasi lahan. Delineasi land unit dari hasil analisis citra penginderaan jauh (foto udara, landsat, spot, radar) digunakan sebagai dasar untuk menyusun satuan peta lahan (land mapping unit). Oleh karena itu, peranan citra penginderaan jauh sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi hasil survei dan pemetaan tanah. Pendekatan land unit tersebut diterapkan dalam pemetaan sumberdaya lahan tingkat tinjau P. Sumatera (Balsem dan Buurman, 1990), dan telah dimodifikasi pada pemetaan tanah tingkat semi detil skala 1: 50.000 dari Proyek LREP II (Marsoedi et al., 1997). Mitchell dan Howard (1978) menggunakan pendekatan land unit berdasarkan analisis terrain dari foto udara dan membedakan lahan menjadi tujuh kategori, dari yang paling umum, yaitu: land zone-land province-land region-land system-land catena-land facet-land element. Tetapi hanya empat kategori terakhir yang sering digunakan dalam praktek, yaitu dari skala 1: 250.000 sampai 1: 5.000 (Kips et. al.,1981) menerapkan pendekatan ini untuk survei dan evaluasi sumberdaya lahan di DAS Sekampung, Provinsi Lampung dan DAS Samin di Provinsi Jawa Tengah. Sebelumnya Dent et al. (1977) telah menggunakan pendekatan ini untuk pemetaan dan evaluasi sumberdaya lahan di DAS Cimanuk, Jabar. Pendekatan land unit tampaknya lebih praktis untuk pelaksanaan survei dan pemetaan sumberdaya tanah tingkat semi detil skala 1: 50.000 serta untuk tujuan evaluasi lahan berbagai komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Karakteristik lahan, seperti landform, relief, lereng, litologi, landuse, dan hidrologi, yang dikenal sebagai atribut lahan mempunyai kaitan erat dengan kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Peta Land Unit yang berisi tentang informasi landform, relief/lereng, batuan induk, landuse, dan hidrologi dapat didelineasi dari citra penginderaan jauh berdasarkan kenampakan stereoskopis, sehingga sebagian besar informasi awal sumberdaya lahan sudah dapat diketahui sebelum penelitian di lapangan. Dengan demikian, pelaksanaan survei dan pemetaan sumberdaya lahan di lapangan dapat dilakukan dengan efisien (Goosen, 1967; Van Zuidam, 1985; Kips et al., 1981; Muljadi dan Dent, 1977). Teknik ini banyak digunakan untuk membantu pemetaan dan evaluasi sumberdaya lahan pada skala 1: 50.000 (Kips et al., 1981; Van Zuidam, 1986; Meijerink,1988). Teknik pengamatan lapangan dilakukan dengan menggunakan metode transek, yaitu penjelajahan dengan memotong garis kontur, tegak lurus sungai atau tegak lurus batas delineasi land unit, terutama untuk wilayah-wilayah bervegetasi lebat dengan aksesibilitas rendah (White, 1966; Steers dan Hajek, 1979; Soil Survey Division Staff, 1993). Data hasil survei tanah yang diperoleh dengan pengamatan secara transek memberikan hasil yang lebih baik mengenai variasi sifat-sifat tanah dibandingkan dengan pengamatan secara random (Wang,1982 dalam Nash et al., 1988) Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis terrain dari foto udara untuk identifikasi dan delineasi land unit skala 1: 50.000 merupakan pilihan yang cukup baik untuk diterapkan di Indonesia, karena lebih efisien, cepat dan relatif murah. Hasil analisis terrain, berupa peta satuan lahan, dapat digunakan sebagai dasar dalam evaluasi lahan untuk penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian skala 1: 50.000. Peta land unit hasil analisis terrain tersebut sangat erat kaitannya dengan zone agroekologi (ZAE), karena pada dasarnya delineasi satuan lahan mengikuti xiii konsep zone agroekologi. ZAE didefinisikan sebagai pembagian wilayah ke dalam unit-unit lahan berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik iklim, terrain, dan tanah, yang memberikan keragaan tanaman tidak berbeda secara nyata (FAO, 1996). Konsep ZAE diperkenalkan oleh FAO (1978) untuk evaluasi lahan di Afrika yang menggunakan peta tanah FAO 1974 skala 1: 5 juta dengan parameter panjang periode tumbuh (length of growing period) dan suhu. Selanjutnya, FAO merekomendasikan penggunaan ZAE pada tingkat nasional dan provinsi pada skala 1:1.000.000-1:500.000 (Kassam et al., 1991). Pada skala yang lebih detil, peta ZAE dapat disusun dengan menggunakan parameter yang lebih rinci untuk keperluan operasional di tingkat kabupaten atau kecamatan. Dari peta ZAE dengan skala cukup detil (> 1: 50.000) dapat disusun peta pewilayahan komoditas pertanian atau peta farming system zone (pewilayahan sistem usahatani). III. METODE 3.1. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kajian ini meliputi desk study, survey lapangan, analisis contoh tanah & air di laboratorium, penyusunan basis data, evaluasi lahan dan penyusunan peta dan laporan. 3.2 Metoda Pelaksanaan 3.2.1 Bahan Bahan penelitian terdiri atas: (a) Peta Rupabumi Indonesia skala 1: 50.000 dan foto udara lembar-lembar Banggai Kepulauan (Bakosurtanal, 1991); (b) Peta Geologi Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah Skala 1: 250.000 (Nana Ratman, 1976; (c) Peta Agroklimat P. Sulawesi skala 1: 2.500.000 (Oldeman et al., 1977); (d) peta land system skala 1: 250.000 (RePProT, 1997), (e) Alat tulis kantor dan bahan komputer, dan (f) Peralatan survei lapangan, seperti: bor tanah tipe Belgia, Munsell Soil Colour Chart, abney level, altimeter, kompas, pH Truogh, pisau lapang, meteran, form isian basisdata,loupe dan kantong plastik contoh tanah. 3.2.2 Waktu dan Lokasi Kajian ini akan dilaksanakan selama satu tahun, yang dimulai bulan Januari – Desember 2013. Lokasi kajian meliputi satu kabupaten yang terpilih, yaitu Kab. Banggai Kepulauan. 3.2.3 Metode Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survey dan wawancara. Survey dilakukan untuk mengumpulkan data biofisik lahan dan iklim. Dalam survey juga diambil sampel tanah dan air untuk selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium. Sedangkan wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data sosial ekonomi petani. Pelaksanaan kajian sumberdaya lahan terdiri atas 8 tahapan, yaitu: (a) penyusunan peta dasar, (b) analisis/interpretasi terrain, (c) penyusunan peta satuan lahan, d) penelitian lapangan, (e) analisis contoh tanah dan air, (f) penyusunan basis data sumberdaya lahan, (g) evaluasi lahan, dan (h) penyusunan pewilayahan komoditas. a. Penyusunan Peta Dasar Peta dasar disusun berdasarkan data dan informasi dari peta rupabumi skala 1: 50.000 dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan, dan informasi peta-peta lainnya (geologi, land system, tataguna lahan, agroklimat). Peta dasar memberikan informasi tentang letak atau posisi geografis (lintang-bujur), wilayah administrasi, keadaan jalan, garis pantai, sungai dan gunung, garis montur dan titik tinggi, nama-nama kota atau pemukiman, danau dan informasi lainnya seperti pelabuhan, hutan, rawa. Peta dasar dibuat dalam bentuk digital sebagai dasar untuk menggambarkan peta satuan lahan hasil analisis terrain. b. Analisis Terrain Analisis terrain dilakukan untuk identifikasi dan delineasi satuan lahan berdasarkan kenampakan secara visual dari foto udara, keadaan kerapatan garisgaris kontur dan titik ketinggian, peta rupa bumi yang dibantu dengan peta-peta geologi untuk menentukan batuan induk dan landform. Komponen satuan lahan yang diinterpretasi terdiri atas landform, litologi (sifat batuan), relief dan lereng, tingkat torehan, elevasi, pola drainase, penggunaan lahan dan vegetasi. Komponen xv tanah tidak dapat diinterpretasi dari citra, dan karenanya data tanah dapat diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium. c. Penyusunan Peta Satuan Lahan Hasil interpretasi satuan lahan dari citra landsat digambarkan pada peta dasar digital skala 1: 50.000. Peta yang dihasilkan adalah Peta Analisis Satuan Lahan yang digunakan sebagai peta kerja untuk pengamatan di lapangan. Pembagian satuan landform, litologi dan relief/lereng mengikuti Pedoman Klasifikasi Landform (Marsoedi et al., 1997). Satuan penggunaan lahan saat ini (present landuse) yang perlu dipisahkan adalah sawah dan non-sawah (tegalan/kebun campuran, perkebunan), dan semak belukar/hutan rawa dan non-rawa. Apabila memungkinkan, perlu dipisahkan antara lahan kering yang diteras dan tidak diteras, dan lahan sawah dapat dibedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan. d. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data sumberdaya lahan melalui pengamatan unsur-unsur satuan lahan dan pengamatan sifat-sifat serta sebaran jenis tanahnya. Pengamatan tanah dilakukan melalui pendekatan transek atau topo-litosekuen (Steers dan Hajeek, 1979) pada setiap satuan lahan untuk mengetahui penyebaran dan keragaman sifat-sifat tanah. Tiap-tiap transek diamati beberapa titik pada posisi yang berbeda yaitu di bagian punggung (ridge) dan lereng atau dataran dan lembahnya. Pengamatan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan dilakukan dengan cara membuat penampang tanah berupa profil tanah sedalam 120 cm atau minipit sedalam 50 cm yang dilanjutkan dengan pemboran sedalam 120 cm atau sampai batuan induk menggunakan form pada lampiran 8. Hasil pengamatan dicatat dalam formulir isian (Soil data card), dan lokasi pengamatan diplotkan pada Peta Satuan Lahan hasil interpretasi. Cara pengamatan sifat-sifat tanah berpedoman pada buku Guidelines for Soil Profile Description (FAO, 1990) atau Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993). Klasifikasi tanah ditetapkan di lapangan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998) pada tingkat subgrup, yang kemudian dilengkapi atau diperbaiki dengan data hasil analisis laboratorium. e. Analisis Contoh Tanah dan Air Contoh tanah dari profil dan minipit pewakil yang representatif untuk setiap satuan lahan dan satuan tanah dianalisis di laboratorium. Contoh tanah diambil dari profil atau minipit pewakil untuk setiap lapisan atau horison. Khusus untuk tanah sawah, contoh tanah diambil lapisan atasnya setebal 0-30 cm. Analisis contoh tanah di laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui sifatsifat fisik-kimia yang tidak dapat diukur di lapangan, terutama untuk keperluan evaluasi lahan dan interpretasi lainnya, sehingga jenis analisis dilakukan secara selektif disesuaikan dengan tujuan evaluasi lahan. Jenis analisis sifat fisik-kimia terdiri atas penetapan: tekstur 3 fraksi (pasir, debu, liat), pH (H2O dan KCl), bahan organik (C dan N), P2O5 dan K2O total (ekstrak HCl 25%), P tersedia (ekstrak Olsen dan Bray I), retensi P, susunan kation tukar (Ca, Mg, K, Na), kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa. Analisis komposisi mineral fraksi pasir total menggunakan mikroskop polarisasi dengan line counting method. Analisis tambahan, seperti kadar Al dapat tukar untuk tanah-tanah masam, daya hantar listrik dan kadar pirit untuk tanah-tanah pantai atau pasang surut, pH NaF, retensi P dan Al dan Fe ekstraksi asam oksalat untuk tanah-tanah bersifat amorfus atau andik. Selain analisis contoh tanah, juga dilakukan analisis contoh air sungai untuk menilai kualitasnya untuk pengairan dan perikanan. Jenis analisis air terdiri atas pH, daya hantar listrik, kadar lumpur, beberapa kandungan kation dan anion. Prosedur analisis contoh tanah dikemukakan dalam buku Soil Survey Laboratory Manual Methods (Soil Survey Laboratory Staff, 1991). f. Penyusunan Basisdata Sumberdaya Lahan Semua data hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium dimasukkan dan disimpan dalam format basis data tanah dengan menggunakan program dEASE, terdiri atas Site Horizon Description (SHD), Soil Sample Analysis (SSA), dan Mapping Unit Description (MUD). Basisdata tersebut selanjutnya dapat diekstraks dan dihubungkan dengan program Soil Data Processing for Land Evaluation (SDPLE). Semua data tersebut diolah untuk tujuan penilaian kesesuaian xvii lahan secara fisik dan ekonomi untuk berbagai komoditas pertanian tanaman pangan maupun tanaman tahunan yang mempunyai prospek atau peluang pasar. g. Evaluasi Lahan Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara fisik dan ekonomi untuk beberapa jenis komoditas pertanian. Komoditas pertanian yang dievaluasi terdiri dari tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, hortikultura (sayuran dan buah-buahan), dan tanaman perkebunan. Evaluasi lahan berpedoman kepada kerangka FAO (1976), seperti pada Tabel 2 dan 3, dengan kriteria penilaian kesesuaian lahan menurut buku Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan (Djaenudin et al., 2003). Tabel 2. Kelas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya. Kelas 1 Simbol S1 Nama Sangat sesuai 2 S2 Cukup sesuai 3 S3 Sesuai marjinal 4 N Tidak sesuai Pengertian Tanpa/sedikit pembatas yang berarti yang mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman. Tingkat pembatas ringan yang mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman. Perbaikannya memerlukan input rendah. Tingkat pembatas sedang yang dapat mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman. Perbaikannya memerlukan input sedang. Tingkat pembatas berat sehingga penggunaannya tidak memungkinkan. Perbaikannya memerlukan input tinggi yang tidak sebanding dengan output-nya. Tabel 3. Kelas kesesuaian lahan secara kuantitatif (ekonomi) dan pengertiannya. Kelas Simbol Nama Pengertian 1 S1 Sangat sesuai Penggunaannya sangat menguntungkan 2 S2 Cukup sesuai Penggunaannya cukup menguntungkan 3 S3 Sesuai marjinal Penggunaannya kurang menguntungkan 4 N1 Secara ekonomik tidak menguntungkan Penggunaannya memungkinkan tetapi tidak menguntungkan (untuk sementara). 5 N2 Tidak sesuai Penggunaannya tidak memungkinkan Proses perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan program ALES (Automated Land Evaluation System) versi 4.65d (Rossiter dan Van Wambeke, 1997). Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk data tabular dan spasial. (1). Penyusunan Model Evaluasi Lahan Penyusunan model evaluasi lahan untuk kebutuhan program ALES dilaksanakan melalui tahapan berikut: Menetapkan tipe penggunaan lahan atau Land Use Type (LU T) Menentukan persyaratan tumbuh tanaman atau Land Use Requirement (LUR) untuk setiap LUT Memilih karakteristik lahan atau Land Characteristic (LC) setiap LUR untuk masing-masing LUT Menyusun pohon keputusan atau Decision Tree (DT) Penyusunan keempat tahapan tersebut telah disiapkan oleh Tim Puslitbangtanak. Prosedur penyusunan model evaluasi lahan secara rinci dapat mengacu pada buku Standard Procedure for Land Evaluation T. R. No. 18, Ver 3.0 (Djaenudin et al., 2003). Pengertian dasar dari masing-masing istilah tersebut di atas adalah sbb: (a). Tipe Penggunaan Lahan LUT adalah jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara detil menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan, dan keluaran yang diharapkan secara spesifik. Menurut sistem dan modelnya LUT dibedakan atas 2 macam yaitu multiple dan compound. LUT multiple terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan atau komoditas yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari sebidang lahan. Contoh: cengkeh ditanam secara bersamaan dengan vanili atau pisang. Sedangkan LUT compound terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan xix atau komoditas yang diusahakan secara berurutan atau rotasi atau bersamaan pada sebidang lahan. Contoh suatu perkebunan besar, sebagian areal secara terpisah atau blok digunakan untuk tanaman kakao, dan blok lainnya untuk kelapa. TPL di daerah penelitian untuk keperluan pewilayahan komoditas ditentukan berupa komoditas tunggal dengan mempertimbangkan komoditas tersebut sebagai komoditas pada TPL paling pendek setahun dari sistem pola tanam yang biasa diterapkan petani di daerah penelitian. (b). Persyaratan Tumbuh Tanaman Setiap komoditas untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi dengan baik memerlukan persyaratan-persyaratan tumbuh tertentu. Persyaratan tersebut antara lain faktor iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, bulan kering), media perakaran (drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif), kesuburan tanah (kandungan bahan organik, pH, kapasitas tukar kation/KTK, kejenuhan basa/KB, fosfat, dan kalium), dan kondisi terrain dan bahaya erosi (relief, lereng, keadaan batuan di permukaan). (c). Karakteristik Lahan Karakteristik lahan (LC) adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, seperti besarnya lereng, kedalaman efektif, drainase, tekstur, reaksi tanah, kejenuhan basa, dan kejenuhan aluminium. Setiap karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan mempunyai interaksi antara satu karakteristik lahan dengan karakteristik lahan lainnya. (d). Pohon Keputusan Pohon keputusan (DT) adalah metode pengambilan keputusan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan secara hierarchical multi way keys. Pengambilan keputusan untuk menentukan kelas kesesuaian lahannya mempunyai hirarki bertingkat dan ditentukan oleh satu atau lebih karakteristik lahan yang mempunyai kaitan erat antara satu dengan lainnya. Model ini membentuk semacam pohon dengan rantingnya sehingga disebut sebagai pohon keputusan (Decision Tree). Pohon keputusan tersebut dicerminkan oleh persyaratan penggunaan lahan (LUR), cabang dicerminkan oleh karakteristik lahan (LC), dan daun dicerminkan dengan kualitas lahannya (kelasnya). Keputusan penilaian dilakukan berdasarkan tingkatan kendala atau pembatas (severity level) mulai dari yang paling ringan, hingga tingkat kendala yang paling berat. Tingkatan kendala setiap karakteristik lahan berbeda menurut nilainya. Misalnya pH 3.0 mempunyai tingkat kendala lebih tinggi daripada pH 5.5. Pada pohon keputusan untuk lahan dengan pH tanah 3.0 dapat langsung diputuskan sebagai lahan yang tidak sesuai (N) sehingga tidak perlu dipertimbangkan karakteristik lahan lainnya. Sedangkan pada lahan dengan pH tanah 5.5 masih tergantung pada karakteristik lahan lainnya, misalnya kedalaman tanah. Apabila pada lahan tersebut (pH tanah 5.5) mempunyai kedalaman tanah tergolong dangkal, kelas kesesuaiannya diputuskan sebagai lahan tidak sesuai (N) dan tidak diperlukan informasi karakteristik lahan lainnya. Sedangkan lahan dengan pH tanah 5.5 dan tergolong tanah dalam diputuskan sebagai lahan sesuai (S). Dari data karakteristik lahan dengan kualitas sesuai masih mungkin dikaitkan dengan karakteristik lahan lainnya. (2). Komputasi Evaluasi lahan dilaksanakan dengan menggunakan program ALES (Automated Land Evaluation System). Cara pengoperasian program ALES secara detil dapat dilihat pada User Mannual ALES Version 4.65d (Rossiter dan Van Wambeke, 1997) atau Petunjuk Teknis Penyusunan Program ALES (Marwan et al., 1998). Pelaksanaan komputasi dilakukan setelah basisdata (dBase) sumberdaya lahan (data SDPLE atau dari format Excel) diimport ke dalam program ALES. Hasil evaluasi lahan untuk masing-masing komoditas pertanian diperoleh secara otomatis dalam bentuk data tabular. Verifikasi terhadap hasil komputasi dilakukan untuk mendapatkan hasil penilaian akhir, sesuai dengan kriteria dan datanya. Tabel 4. Kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Simbol Kualitas Lahan Karakteristik lahan Tc Temperatur 1 Temperatur rerata (°C) atau elevasi (m) wa Ketersediaan air 1 Curah hujan (mm) 2 Lamanya masa kering (bln) 3 Kelembaban udara (%) xxi Simbol Kualitas Lahan Karakteristik lahan oa Ketersediaan oksigen 1 Drainase rc Media perakaran 1 Drainase 2 Tekstur 3 Bahan kasar (%) 4 Kedalaman tanah (m) 5 Ketebalan gambut (m) 6 Kematangan gambut nr Retensi hara xc Toksisitas xn Sodisitas xs Bahaya sulfidik eh Bahaya erosi fh Bahaya banjir lp Penyiapan lahan 1 2 3 4 KTK liat (cmol) kejenuhan basa (%) pH H2O C- organik (%) 1 Aluminium 2 Salinitas/DHL (ds/m) 1 Alkalinitas (%) 1 Pirit (Bahan sulfidik) 1 Lereng (%) 2 Bahaya erosi 1 Genangan 1 Batuan di permukaan (%) 2 Singkapan batuan (%) h. Penyusunan Pewilayahan Komoditas dan Sistem Usahatani Hasil evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi selanjutnya dihubungkan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) versi 1.0 (Bachri et al., 2002) untuk menyusun pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zone agro-ekologi dengan memperhatikan urutan prioritas tanaman yang akan diusahakan, dan penggunaan lahan yang telah ada (existing landuse). Penyusunan peta pewilayahan komoditas menggunakan fasilitas sistem informasi geografi (GIS). Hasil yang diperoleh berupa peta pewilayahan komoditas pertanian skala 1: 50.000 digunakan sebagai dasar dalam pewilayahan sistem usahatani (Farming System Zone). III. Hasil dan Pembahasan Sementara A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah dan beribukota di Salakan, terletak antara 1’06’’30’’ LS – 2’20’’00’’ LS dan 122’40’’00 BT – 124’13’’30’’BT di bagian timur laut Pulau Sulawesi. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.160,46 km (darat) dan 18.828,10 km (laut), Banggai Kepulauan berbatasan langsung denganTeluk Tomini di sebelah utara, Teluk Tolo di sebelah selatan, Selat Peling di sebelah barat, serta Laut Maluku di sebelah timur. Secara administratif, Kabupaten Banggai Kepulauan terdiri dari 19 kecamatan, 6 kelurahan dan 187 desa yang terdiri atas 342 pulau dengan 5 pulau sedang yakni Pulau Peleng (luas 2.340 km²),Pulau Banggai (268 km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Bokan Kepulauan (84 km²), Pulau Labobo (80 km²) dan 337 pulau-pulau kecil. Panjang pantai 1.714,218 Km. Kabupaten ini sebelumnya merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut menjadi daerah otonom Banggai Kepulauan, sementara kabupaten induk tetap disebut Kabupaten Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep). Komoditi unggulan Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu sektor pertanian, Perkebunan dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah Jagung, dan Ubi kayu. Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan berupa Kopi, kakao, Jambu Mete, lada, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya. xxiii Meskipun sumbangan tanaman pangan terhadap berekonomian Banggai Kepulauan cukup besar, namun belum mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk di wilayah ini sehingga harus mendatangkan dari luar wilayah. Kabupaten Banggai Kepulauan yang ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999 dimekarkan menjadi dua Kabupaten yakni Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut. Pemekaran kabupaten ini disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru, dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan pemekaran tersebut, maka wilayah kecamatan yang semula berjumlah 19 terbagi menjadi 2 yakni 12 kecamatan di wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan dan 7 Kecamatan masuk dalam wilayah Kabupaten Banggai Laut. Kecamatan dan desa Kabupaten Banggai Kepulauan termuat pada Tabel 5. Tabel 5. Kecamatan dan Desa diKabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2013 No Kecamatan Desa 1 Buko Desa Batangono; Desa Labasiano; 2 Buko Selatan 3 Bulagi 4 Bulagi selatan Desa Lalengan; Desa Leme-Leme Bungin; Desa Leme-Leme Darat; Desa Malanggong; Desa Paisubatu; Desa Peling Lalomo;Desa Tataba Desa Buko; Desa Kambani; Desa Labangun; Desa Lumbi-Lumbia; Desa Palapat; Desa Seano; Desa Tatabau Desa Alul Desa Boloi (Boloy); Desa Bulagi Dua; Desa Bulagi Satu; Desa Komba-Komba; Desa Lalanday; Desa Meselesek; Desa Montomisan; Desa Oluno; Desa Peling Seasa; Desa Sosom; Desa Sumondung; Desa Tolo Desa Balalon; Desa Bonepuso; Desa Lemelu; Desa Lolantang; Desa Mangais; Desa Osan; Desa Palabatu Dua; Desa Palabatu Satu; Desa Pandaluk; Desa Sabelak; Desa Suit; Desa Tatarandang; Desa Toy-Toy; Desa Unu No 5 Kecamatan Bulagi Utara 6 Liang 7 Peling Tengah 8 Tinangkung 9 Tinangkung Selatan 10 Tinangkung utara 11 Totikum 12 Totikum Selatan Desa Desa Bakalinga; Desa Bangunemo; Desa Bolubung; Desa Koyobunga; Desa Luk Panenteng; Desa Montop; Desa Ombuli; Desa Paisuluno; Desa Sabang; Desa Sambulangan Desa Apal; Desa Bajo; Desa Balayon; Desa Basosol; Desa Binuntuli; Desa Boyomoute; Desa Kindandal; Desa Liang; Desa Mamulusan; Desa Okumel; Desa Popidolon; Desa Seleati; Desa Tangkop; Desa Tomboniki Desa Alakasing; Desa Balombong; Desa Kolak; Desa Koyobunga; Desa Labibi; Desa Luk; Desa Patukuki; Desa Popisi; Desa Tolulos; Desa Tombos Desa Ambelang; Desa Baka; Desa Bakalan; Desa Bongganan; Desa Bulungkobit; Desa Bungin; Desa Kautu; Desa Manggala; Desa Saiyong; Desa Salakan; Desa Tumpudau Desa Kampung Baru; Desa Gansal; Desa Mansamat A; Desa Mansamat B; Desa Paisomosoni; Desa Tinangkung; Desa Tobing; Desa Tobungin Desa Abason; Desa Batang; Desa Bolonan; Desa Kambutokan; Desa Lopito; Desa Palam; Desa Sakay; Desa Salangan; Desa Sambiut; Desa Sampaka; Desa Sobonon; Desa Tone Desa Lalong; Desa Luk Sagu; Desa Palam; Desa Ponding-Ponding; Desa Tatakalai Desa Kalumbatan; Desa Kanali; Desa Nulion; Desa Peley; Desa Tobungku; Desa Tonuson Tabel 6. Luas Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan, Tahun 2013 Laut Darat % Kecamatan 2 (Km ) (Km2) % xxv Kecamatan Totikum Darat (Km2) Laut % % 2 (Km ) 155,45 12,55 1 082,85 87,45 95,19 12,55 663,09 87,45 Tinangkung 312,60 41,16 446,96 58,84 Tinangkung Selatan 187,89 42,79 251,23 57,21 Tinangkung Utara 136,65 41,16 195,38 58,84 Liang 176,19 25,76 507,78 74,24 Peling Tengah 140,00 25,76 403,49 74,24 Bulagi 275,66 47,59 303,58 52,41 Bulagi Selatan 319,00 47,58 351,45 52,42 Bulagi Utara 318,00 47,59 350,21 52,41 Buko 184,84 14,96 1 050,60 85,04 Buko Selatan 187,32 14,96 1 064,70 85,04 3 214,46 14,58 18 828,10 85,42 Totikum Selatan Banggai Kep. 2011 B. Peta Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan Gambar 1. Indeks Peta Sulawesi xxvii Gambar 2. Citra Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan Gambar 3. Peta Geologi Lembar 2214 Kabupaten Banggai Kepulauan Gambar 4. Peta Geologi Lembar 2313, 2314, 2413 dan 2414 Kabupaten Banggai Kepulauan Gambar 5. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Kabupaten Banggai Kepulauan xxix IV.Kesimpulan Sementara 1. Kabupaten Banggai Kepulauan yang ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999 dimekarkan menjadi dua Kabupaten yakni Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut. Pemekaran kabupaten ini disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru, dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Dengan pemekaran tersebut, maka wilayah kecamatan yang semula berjumlah 19 terbagi menjadi 2 yakni 12 kecamatan di wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan dan 7 Kecamatan masuk dalam wilayah Kabupaten Banggai Laut 3. Komoditi unggulan Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu sektor pertanian, Perkebunan dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah Jagung, dan Ubi kayu. Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan berupa Kopi, kakao, Jambu Mete, lada, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya. Daftar Pustaka Bachri, S., Nata Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK). Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Bappeda, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 2011 – 2016. Bappeda Sulawesi Tengah. Palu. Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit classification for the reconnaissance soil survey of Sumatra. TR No. 3, Version 2.1. LREP Project. Centre for Soil and Agroclimate Research, Bogor. Conwey, G.R. 1987. Rapid Rural Appraisal and Agroecosystem Analysis: A Case Study from Northern Pakistan. Proceeding of the 1985 International Conference on RRA. Rural System Res. and Farming System Res. Project. Khon Kaen, Thailand. CSR/FAO Staff.1983. Semi-detiled land resources evaluation, 1: 25.000 scale, Samin watershed, Central Java. Map and legend. AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 31a. AARD-CSR/ FAO, Bogor. CSR/FAO. 1983. Reconnaissance land resources survey 1: 250,000 scale Atlas format procedure. AGOF/INS/78/008. CSR, Bogor. Dent, F.J., Desaunettes, J.R., and J.P. Malingreau. 1977. Detailed reconnaissance land resources surveys Cimanuk Watershed area (West Java). AGL/TF/INS/44. Working paper No.14. FAO/SRI, Bogor. Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of landforms for Indonesia. FAO/SRI Working paper No.16. Soil Research Institute, Bogor. Djaenudin, D, Marwan H., Subagyo, H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2003. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Donker, N.H.W. 1987. A Computer Programme to Calculate Water Balance. Lecture Note. ITC Enschede, The Netherlands. FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin No.52, Rome. FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Conserv. Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome. Goosen, D. 1967. Aerial photo interpretation in soil survey. FAO Soil Bulletin No.6. Rome. Hikmatullah, Nata Suharta dan Anny Mulyani. 2001. Petunjuk Teknis Metodologi Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1: 50.000 Melalui Analisis Terrain. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hardjowigeno, S., dan S. Sukmana, 1995. Cara Menentukan Bahaya Erosi. Laporan Teknis No.4, Versi 1.0 LREP II/C, Puslittanak, Bogor. Kassam, A.H., H.T. van Velthuizen, G.W. Fischer and M.M. Shah. 1991. Agroecological land resources assessment for agricultural development planning. A case study of Kenya. Resource data base and land xxxi productivity. Technical Annex 1. Land Resources. Land and Water Development Division, FAO, Rome. Kips, A. Ph., D. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The land unit approach to land resources surveys for land use planning with particular reference to the Sekampung watershed, Lampung Province, Sumatra., Indonesia. AGOF/INS/78/006. Technical Note No.11. Centre for Soil Research, Bogor. Lovelace, G.W., S. Subhadhira, and S. Simaraks. 1988. Rapid Rural Appraisal in North East Thailand. Case Studies. KKU-FORD Rural System Research Project. Khon Kaen University, Thailand. Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan E.R. Jordens.1997. Pedoman klasifikasi landform. Laporan Teknis No.5, Versi 3.0. LREP II, CSAR, Bogor. Marwan, H., D. Djaenudin, Subagyo, H., S. Hardjowigeno, dan E.R. Jordens. Petunjuk Teknis pengoperasian program Automated Land Evaluation System (ALES). Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Meijerink, A.M.J. 1988. Data acquisition and data capture through terrain mapping units. ITC Journal 1988-1: 23-44. Mitchell, C.W. and J.A. Howard. 1978. Land system classification. A Case History: Jordan. FAO/United Nation, Rome. Muljadi, D., and F.J. Dent. 1979. Evaluation of Indonesian soil and land resources. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. No.1-2: 21-23. Nana Ratman. 1976. Peta Geologi Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara Skala 1: 250.000. Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan, Bandung. Nash, M.N., L.A. Daugherty, A. Gutjahr, P.J. Wierenga, and S.A. Nance. 1988. Horizontal and vertical kriging of soil properties along a transect in Southern New Mexico. Soil Sci. Soc. Am. J. 52:1086-1090. Puslittan. 1983. Jenis dan macam tanah di Indonesia untuk keperluan survei kapabilitas tanah daerah transmigrasi. Proyek P3MT, Puslittan, Bogor. Puslittanak. 1993. Laporan Survei dan Penelitian Tanah Daerah Lambunu, Sulawesi Tengah. Kerjasama Ditjen Tanaman Pangan dan Puslittanak, Bogor. Oldeman, L.R, and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Sulawesi, scale 1: 2,500,000. Contr. Centre. Res. Inst. Agric. Bulletin No.60, Bogor. RePProT. 1988. Review of Phase 1 Results Sulawesi. Vol.1 Main Report. Ministry of 3+ Transmigration, Directorate General of Settlement Preparation. Republic of Indonesia. Rossiter D. G., and A. R. van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System ALES Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept of Soil Crop & Atmospheric Sci. SCAS. Ithaca NY, USA. Steers, C.A., and B.F. Hajeek. 1979. Determination of map unit composition by a random selection of transects. Soil Sci. Soc. Am. J. 43: 156-160. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Eight edition.US Dept of Agriculture, Natural Resources Conservation Service. Wahington DC. Soil Survey Division Staff, 1993. Soil Survey Manual. USDA Handbook No. 18 Washington DC. Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. Soil Survey Investigation Report No.42 Version 1.0. US Dept. of Agric., Washington DC. Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan Geofisik, Jakarta. Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Subagjo, H. 1995. Status kemajuan dan strategi inventarisasi sumberdaya lahan di Indonesia. Pros. Pertemuan Teknis. Makalah Kebijakan. Hal.129-148. Puslittanak, Bogor. xxxiii Sys, C., E. Van Ranst, J. Debaveye, and F. Beenaert. 1993. Land Evaluation Part III. Crop Requirement. ITC. Sci. Univ. Ghent. Agric. Publ. No. 7. Thornthwaite, C.W. and J.R. Mathers. 1957. Instruction and Table for Computing Potential Evapotranspiration and Water Balance. Publ. Clim. rol. X No.3 Conterton. Van Wambeke, A., and T. Forbes. 1986. Guidelines for using soil taxonomy in the name of soil map units. SMSS Tehnical Monograph No.10. Cornell Univ. Ithaca, NY. Van Wambeke, A., P.Hastings, and P. Tolomeo. 1985. New Simulation Model (NSM) for Mositure Regimes. Dep. Agr. Bradfield Hall. Cornell University. NY. Van Zuidam, R. 1986. Air Photo-Interpretation for Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. Smits Publ. The Hague, The Netherlands. White, E.M. 1966. Validity of transect method for estimating composition of soil-map areas. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 30: 129-130.