TABEL PENGKAJIAN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS

advertisement
LAPORAN TENGAH TAHUN 2013
PEMETAAN AGRO EKOLOGI ZONE (AEZ)
SKALA I : 50.000
Oleh :
Tina Febrianti, SP
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGAH
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2013
i
LAPORAN TENGAH TAHUN 2013
PEMETAAN AGRO EKOLOGI ZONE (AEZ)
SKALA I : 50.000
Oleh :
Tina Febrianti, SP
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGAH
2013
Kata Pengantar
Dalam rangka percepatan laju pembangunan di daerah, sangat diperlukan
pengenalan secara detail akan karakteristik sumberdaya alam/lahan dan komoditas
pertanian andalan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian serta
fasilitas infrastruktur yang menunjang. untuk menjamin efisiensi pembangunan
pertanian dan untuk mempercepat perkembangan wilayah tersebut diperlukan
pengkajian tentang karakteristik agro-ekosistem dan komoditas yang
sesuai
dengan kondisi agro-ekosistem tersebut.
Kegiatan bertujuan untuk (1) Melakukan zonasi, karakterisasi, dan analisis
wilayah agro-ekosistem lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai untuk
menyusun peta AEZ, dan (2) Menyusun peta kesesuaian lahan beberapa komoditas
(komoditas unggulan) dan peta agroekologi zone atau pewilayahan sistem
usahatani skala 1:50.000 berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan
kering, dan lahan pantai di Kecamatan Basidondo dan Kecamatan Lampasio
Kabupaten Tolitoli.
Laporan tengah tahun ini menyajikan hasil kegiatan yang telah
dilakukan, yaitu desk study dan survai/pengambilan data sosek yang
dilakukan melalui wawancara. Hasil yang telah dicapai berupa : analisis
data demografi; analisis komoditas tanaman (pangan, hortikultura,
perkebunan) existing.
Tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya adalah
penyusunan peta dasaranalisis/interpretasi terrain; penyusunan peta
satuan lahan; penelitian lapangan;
analisis contoh tanah dan air;
penyusunan
basis
data
sumberdaya
lahan;
evaluasi
lahan;
dan
penyusunan pewilayahan komoditas.
Palu, 01 Juli 2013
Penanggung jawab,
Tina Febrianti, SP
Nip. 19820218 200812 2 002
iii
Daftar Isi
Halaman
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
Daftar Tabel
v
Daftar Gambar
v
I.
Pendahuluan ........................................................
1
II.
Tinjauan Pustaka ................................................
III.
Metodologi .........................................................
IV.
Hasil dan Pembahasan Sementara ........................
Daftar Pustaka
Daftar Tabel
Halaman
1. Tingkat pemetaan sumberdaya tanah dan kegunaannya
2. Kelas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya
3.
4.
5.
6.
Kelas kesesuaian lahan secara kuantitatif (ekonomi) dan
pengertiannya
Kualitas dan karakteristik lahansebagai parameter dalam evaluasi
lahan
Kecamatan dan Desa Kabupaten Banggai Kepulauan, tahun 2013
Luas wilayah kabupaten Banggai Kepulauan, tahun 2013
Daftar Gambar
Halaman
1. Indeks Peta Sulawesi
2. Citra Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan
3.
4.
5.
Peta Geologi Lembar 2214 Kabupaten Banggai Kepulauan
Peta Geologi Lembar 2313, 2314, 2413, 2414 Kabupaten Banggai
Kepulauan
Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Kabupaten Banggai
Kepulauan, tahun 2013
v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Sulawesi Tengah terletak di bagian tengah Pulau Sulawesi, dengan
luas wilayah 63.305 km2 atau 6.330.466,82 Ha. Luas wilayah daratan tersebut
adalah 36,47 persen dari luas Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Tengah memiliki
potensi pertanian yang cukup besar untuk pengembangan berbagai komoditas
pertanian, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan
perikanan. Adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah,
maka dengan sendirinya provinsi ini mempunyai tanggung jawab dan wewenang
untuk memberdayakan kekayaan sumberdaya alamnya secara optimal dan
berkelanjutan, khususnya pertanian agar mampu mensejajarkan diri dengan
provinsi lainnya. Hal ini sejalan dengan visi Provinsi Sulawesi Tengah 2011 – 2016
yaitu “SULAWESI TENGAH SEJAJAR DENGAN PROVINSI MAJU DI KAWASAN TIMUR
INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN KELAUTAN MELALUI
PENINGKATAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA YANG BERDAYA SAING PADA
TAHUN 2020”
Pengenalan
secara
detail
karakteristik
sumberdaya
alam/lahan
dan
komoditas pertanian andalan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas
pertanian, di samping fasilitas infrastruktur yang menunjang pembangunan
pertanian, sangat diperlukan dalam rangka mempercepat laju pembangunan di
provinsi ini.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kondisi agro-ekosistem yang relatif
beragam dan dapat digolongkan menjadi agro-ekosistem lahan sawah, lahan kering
dataran rendah, dataran tinggi, dan dataran pantai. Sebagai konsekuensinya,
performa dan peran pengusahaan suatu komoditas akan berbeda antara agroekosistem yang satu dengan yang lainnya.
Sektor pertanian masih menjadi salah satu tumpuan untuk mewujudkan
pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah.
Hal ini dituangkan dalam
Rencana Tata Ruang dan Kewilayahan (RTRW) hingga tahun 2030 mendatang
(Bappeda, 2011).
Strategi ini dikembangkan melalui pendekatan peningkatan
sumberdaya lahan pertanian.
Peningkatan sumberdaya lahan pertanian dibagi
dalam dua kawasan, yaitu kawasan tanaman pangan dan kawasan perkebunan.
Penyebarannya diseluruh kabupaten/kota. Namun penetapannya belum mengacu
pada kondisi biofisik dan sosial ekonomi. Selain itu, penetapan ini belum
menggambarkan prioritas komoditas unggulan secara spesifik lokasi. Untuk
mendukung
dan
memacu
pengembangan
wilayah
yang
dicanangkan
oleh
pemerintah daerah, maka perlu didukung oleh informasi data kondisi/karakter
biofisik lahan dan sosial ekonomi wilayah yang lengkap dan akurat. Selain itu juga,
agar perencanaan pengembangan dan pembangunan dapat berjalan dengan baik
dan berkesinambungan, diperlukan adanya data base tentang kondisi/karakter biofisik dan sosial ekonomi. Pengumpulan data ini dapat dilakukan melalui penyusunan
basis data dalam bentuk peta Agroekologi Zone (AEZ) pada skala operasional (1:
50.000). Data biofisik, selain dapat dijadikan bahan perencanaan, juga dapat
dijadikan bahan untuk penetapan alternatif teknologi dibidang pertanian dan
perikanan, sehingga perencanaan dapat terarah dan tidak meraba-raba. Dari 11
kabupaten/kota yang ada dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tengah,
sudah beberapa kabupaten yang memiliki peta AEZ skala 1 : 50.000, yaitu Kab.
Donggala, Parigi Moutong, Morowali, Sigi (saat masih bergabung dengan kabupaten
induk), sebagian Kab. Poso, Kab. Toli-Toli, dan sebagian Kab. Buol.
1.2 Dasar Pertimbangan
Suatu agro-ekosistem yang diberdayakan sesuai dengan potensi sumberdaya
lahannya dan dikaitkan dengan persyaratan tumbuh/hidup dari komoditas yang
akan diusahakan, dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan agro-ekosistem
yang bersangkutan (Djaenudin et al, 2003).
tersebut
kemudian
ditambahkan
berbagai
Apabila ke dalam agro-ekosistem
masukan
baru
yang
sifatnya
memperbaiki, seperti bibit unggul, pupuk organik dan anorganik, maka akan terjadi
peningkatan hasil/output.
Agar target hasil/output dapat dicapai secara optimal,
vii
maka karakteristik lahan yang mencakup sifat iklim, tanah dan terrain/topografi dari
setiap agro-ekosistem tersebut perlu diketahui.
Setiap wilayah dapat digolongkan dalam zone agro-ekosistem tertentu
berdasarkan kemiripan faktor-faktor alam (iklim, terrain dan tanah) dan kegiatan
pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut. Dengan demikian petani yang ada
dalam suatu zone agro-ekosistem memiliki kesamaan baik dalam permasalahan
maupun kebutuhan teknologi. Setiap zone agro-ekosistem memiliki karakteristik
tertentu yang dapat digolongkan ke dalam empat bentuk (Conway, 1987), yaitu:

Productivity yang menggambarkan hubungan antara nilai produksi dengan
penggunaan per satuan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, energi dan
modal).

Stability
mencerminkan tingkat kestabilan produktivitas dan fluktuasi
variabel lingkungan seperti iklim atau kondisi pasar, yang tidak terlalu besar.

Sustainability mencerminkan kemampuan suatu agro-ekosistem untuk
mempertahankan produktivitas, jika terjadi tekanan/gangguan kecil yang
sifatnya periodik.

Equitability
yang
mencerminkan
tingkat
pemerataan
penyebaran
produktivitas suatu agro-ekosistem bagi manusia yang terlibat di dalamnya.
Kegiatan penelitian analisis agro-ekosistem perlu didahului dengan survei
dan pemetaan sumberdaya lahan melalui pendekatan analisis terrain, untuk
menghasilkan peta satuan lahan (land unit), yang akan digunakan sebagai dasar
analisis berikutnya. Kegiatan selanjutnya adalah survei formal dan informal untuk
bidang agronomi, sosial ekonomi pertanian, dan kultur atau budaya masyarakat
setempat. Metode untuk melakukan survei informal tersebut adalah dengan
pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA) (Lovelace et al., 1988), atau Participatory
Rural Appraisal (PRA). Dari hasil survei dapat diketahui jenis-jenis komoditas
andalan dan informasi rinci mengenai input-output usahatani, potensi dan kendala
ketersediaan sumberdaya usahatani, serta potensi dan peluang pemasaran output.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka untuk menjamin
efisiensi pembangunan pertanian dan untuk mempercepat perkembangan wilayah
kabupaten tersebut diperlukan pengkajian tentang karakteristik agro-ekosistem dan
komoditas yang sesuai dengan kondisi agro-ekosistem tersebut.
ix
1.3
Tujuan
a. Tujuan Jangka Panjang
Menyusun basis data sumberdaya lahan dan sosial ekonomi pertanian
untuk keperluan perencanaan, pembangunan dan pengembangan, serta
penelitian dan pengkajian di masa datang.
b. Tujuan Tahunan (2013)
 Melakukan zonasi, karakterisasi, dan analisis wilayah agro-ekosistem
lahan sawah, lahan kering, dan lahan pantai untuk menyusun peta AEZ.
 Menyusun peta kesesuaian lahan beberapa komoditas (komoditas
unggulan) dan peta agroekologi zone atau pewilayahan sistem usahatani
skala 1:50.000 berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan
kering dan lahan pantai di Kabupaten Banggai Kepulauan.
1.4 Keluaran yang Diharapkan
a. Keluaran Jangka Panjang
Tersedianya basis data sumberdaya lahan dan data sosial ekonomi
pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan khusus
pembangunan pertanian dan penetapan alternatif teknologinya.
b. Keluaran Tahunan (2013)
- Informasi/data karakteristik wilayah agro-ekosistem lahan sawah dan lahan
kering, dan lahan pantai di Kabupaten Banggai Kepulauan.
- Peta kesesuaian lahan beberapa komoditas (komoditas unggulan) dan peta
agroekologi zone atau pewilayahan sistem usahatani skala 1:50.000
berdasarkan agro-ekosistem untuk lahan sawah, lahan kering, dan lahan
pantai di kabupaten Banggai Kepulauan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Data dan informasi spasial sumberdaya lahan yang handal dan akurat
mempunyai peranan sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian di
daerah melalui pemanfaatan lahan potensial secara optimal. Data tersebut diperoleh
melalui tahapan kegiatan penelitian inventarisasi dan evaluasi sumberdaya lahan
yang dikenal dengan
survei dan pemetaan sumberdaya tanah/lahan. Kegiatan
tersebut menghasilkan data karakteristik dan kesesuaian lahan, potensi dan kendala
penggunaan lahan, serta alternatif mengatasinya. Tergantung pada tujuannya,
pemetaan sumberdaya lahan dibedakan ke dalam tingkat atau skala peta, yaitu:
eksplorasi, tinjau, tinjau mendalam, semi detil, dan detil (Soil Survey Division Staff,
1993; Subagjo, 1995). Makin detil tingkat pemetaan atau makin besar skala peta,
makin spesifik atau rinci informasi yang disajikan (Tabel 1).
Tabel 1. Tingkat pemetaan sumberdaya tanah dan kegunaannya
Luas per cm2
Nama dan tingkat
Skala
dalam peta
Kegunaan
informasi
(ha)
< 1:
Eksplorasi, sangat kasar
62.500Perencanaan tingkat
1.000.000 (indikasi awal)
10.000
nasional
1: 250.000 Tinjau (reconnaissance),
625
Perencanaan tingkat
kasar (indikasi kedua),
regional/provinsi
lokasi pengembangan
jelas.
1: 100.000 Tinjau Mendalam (detailed
100
Perencanaan khusus,
reconnaissance), lebih rinci
a.l. Pengelolaan DAS
dari tinjau, lokasi dan luas
jelas
1: 50.000
Semi-detil, cukup rinci,
25
Perencanaan
lokasi dan luas lebih
intensifikasi,
rinci/akurat.
ekstensifikasi
pertanian, perkebunan,
transmigrasi, irigasi,
dll.
> 1: 10.000 Detil, sangat rinci, farm
1
Percobaan penelitian,
level dan paket teknologi.
demplot, usahatani
tingkat petani.
xi
Menurut Van Wambeke dan Forbes (1986) pemetaan tanah semi detil
termasuk ordo ketiga dengan ukuran delineasi minimum yang dapat digambarkan
pada peta skala 1: 50.000 adalah seluas 10 ha. Hasil pemetaan tanah semi detil
dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di lapangan
pada tingkat kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994). Dari berbagai
pengalaman selama ini menunjukkan bahwa data dan informasi hasil survei tanah
tingkat semi detil banyak bermanfaat untuk perencanaan pembukaan areal
pertanian baru, pengembangan wilayah pada tingkat kabupaten, dan juga
diperlukan untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ RTRWPD
Tingkat II (Subagjo, 1995).
Metode pemetaan sumberdaya tanah dengan menggunakan pendekatan
land unit atau physiographic approach melalui analisis terrain (Desaunettes, 1977;
Kips et al., 1981; CSR/FAO, 1983; Van Zuidam, 1985) memberikan hasil yang lebih
efisien untuk tujuan evaluasi lahan. Delineasi land unit dari hasil analisis citra
penginderaan jauh (foto udara, landsat, spot, radar) digunakan sebagai dasar untuk
menyusun satuan peta lahan (land mapping unit). Oleh karena itu, peranan citra
penginderaan jauh sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi hasil
survei dan pemetaan tanah.
Pendekatan land unit tersebut diterapkan dalam
pemetaan sumberdaya lahan tingkat tinjau P. Sumatera (Balsem dan Buurman,
1990), dan telah dimodifikasi pada pemetaan tanah tingkat semi detil skala 1:
50.000 dari Proyek LREP II (Marsoedi et al., 1997).
Mitchell
dan
Howard
(1978)
menggunakan
pendekatan
land
unit
berdasarkan analisis terrain dari foto udara dan membedakan lahan menjadi tujuh
kategori, dari yang paling umum, yaitu: land zone-land province-land region-land
system-land catena-land facet-land element. Tetapi hanya empat kategori terakhir
yang sering digunakan dalam praktek, yaitu dari skala 1: 250.000 sampai 1: 5.000
(Kips et. al.,1981) menerapkan pendekatan ini untuk survei dan evaluasi
sumberdaya lahan di DAS Sekampung, Provinsi Lampung dan
DAS Samin di
Provinsi Jawa Tengah. Sebelumnya Dent et al. (1977) telah menggunakan
pendekatan ini untuk pemetaan dan evaluasi sumberdaya lahan di DAS Cimanuk,
Jabar. Pendekatan land unit tampaknya lebih praktis untuk pelaksanaan survei dan
pemetaan sumberdaya tanah tingkat semi detil skala 1: 50.000 serta untuk tujuan
evaluasi lahan berbagai komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan
perikanan.
Karakteristik lahan, seperti landform, relief, lereng,
litologi, landuse, dan
hidrologi, yang dikenal sebagai atribut lahan mempunyai kaitan erat dengan
kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai
parameter dalam evaluasi lahan.
Peta Land Unit yang berisi tentang informasi landform, relief/lereng, batuan
induk, landuse, dan hidrologi dapat didelineasi dari citra penginderaan jauh
berdasarkan kenampakan stereoskopis, sehingga sebagian besar informasi awal
sumberdaya lahan sudah dapat diketahui sebelum penelitian di lapangan. Dengan
demikian, pelaksanaan survei dan pemetaan sumberdaya lahan di lapangan dapat
dilakukan dengan efisien (Goosen, 1967; Van Zuidam, 1985; Kips et al., 1981;
Muljadi dan Dent, 1977). Teknik ini banyak digunakan untuk membantu pemetaan
dan evaluasi sumberdaya lahan pada skala 1: 50.000 (Kips et al., 1981; Van
Zuidam, 1986; Meijerink,1988). Teknik pengamatan lapangan dilakukan dengan
menggunakan metode transek, yaitu penjelajahan dengan memotong garis kontur,
tegak lurus sungai atau tegak lurus batas delineasi land unit, terutama untuk
wilayah-wilayah bervegetasi lebat dengan aksesibilitas rendah (White, 1966; Steers
dan Hajek, 1979; Soil Survey Division Staff, 1993). Data hasil survei tanah yang
diperoleh dengan pengamatan secara transek memberikan hasil yang lebih baik
mengenai variasi sifat-sifat tanah dibandingkan dengan pengamatan secara random
(Wang,1982 dalam Nash et al., 1988)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis terrain dari foto udara
untuk identifikasi dan delineasi land unit skala 1: 50.000 merupakan pilihan yang
cukup baik untuk diterapkan di Indonesia, karena lebih efisien, cepat dan relatif
murah. Hasil analisis terrain, berupa peta satuan lahan, dapat digunakan sebagai
dasar dalam
evaluasi lahan untuk penyusunan peta pewilayahan komoditas
pertanian skala 1: 50.000.
Peta land unit hasil analisis terrain tersebut sangat erat kaitannya dengan
zone agroekologi (ZAE), karena pada dasarnya delineasi satuan lahan mengikuti
xiii
konsep zone agroekologi. ZAE didefinisikan sebagai pembagian wilayah ke dalam
unit-unit lahan berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik iklim, terrain, dan
tanah,
yang memberikan keragaan tanaman tidak berbeda secara nyata (FAO,
1996). Konsep ZAE diperkenalkan oleh FAO (1978) untuk evaluasi lahan di Afrika
yang menggunakan peta tanah FAO 1974 skala 1: 5 juta dengan parameter panjang
periode tumbuh (length of growing period) dan suhu. Selanjutnya, FAO
merekomendasikan penggunaan ZAE pada tingkat nasional dan provinsi pada skala
1:1.000.000-1:500.000 (Kassam et al., 1991). Pada skala yang lebih detil, peta ZAE
dapat disusun dengan menggunakan parameter yang lebih rinci untuk keperluan
operasional di tingkat kabupaten atau kecamatan. Dari peta ZAE dengan skala
cukup detil (> 1: 50.000) dapat disusun peta pewilayahan komoditas pertanian atau
peta farming system zone (pewilayahan sistem usahatani).
III. METODE
3.1. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kajian ini meliputi desk study, survey lapangan, analisis
contoh tanah & air di laboratorium, penyusunan basis data, evaluasi lahan dan
penyusunan peta dan laporan.
3.2
Metoda Pelaksanaan
3.2.1 Bahan
Bahan penelitian terdiri atas: (a) Peta Rupabumi Indonesia skala 1: 50.000
dan foto udara lembar-lembar Banggai Kepulauan (Bakosurtanal, 1991); (b) Peta
Geologi Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah Skala 1: 250.000 (Nana Ratman,
1976; (c) Peta Agroklimat P. Sulawesi skala 1: 2.500.000 (Oldeman et al., 1977);
(d) peta land system skala 1: 250.000 (RePProT, 1997), (e) Alat tulis kantor dan
bahan komputer, dan (f) Peralatan survei lapangan, seperti: bor tanah tipe Belgia,
Munsell Soil Colour Chart, abney level, altimeter, kompas, pH Truogh, pisau lapang,
meteran, form isian basisdata,loupe dan kantong plastik contoh tanah.
3.2.2 Waktu dan Lokasi
Kajian ini akan dilaksanakan selama satu tahun, yang dimulai
bulan Januari – Desember 2013. Lokasi kajian meliputi satu kabupaten
yang terpilih, yaitu Kab. Banggai Kepulauan.
3.2.3 Metode
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survey dan wawancara.
Survey dilakukan untuk mengumpulkan data biofisik lahan dan iklim. Dalam survey
juga diambil sampel tanah dan air untuk selanjutnya dilakukan analisis di
laboratorium.
Sedangkan wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data sosial
ekonomi petani. Pelaksanaan kajian sumberdaya lahan terdiri atas 8 tahapan, yaitu:
(a) penyusunan peta dasar, (b) analisis/interpretasi terrain, (c) penyusunan peta
satuan lahan, d) penelitian lapangan,
(e) analisis contoh tanah dan air, (f)
penyusunan basis data sumberdaya lahan, (g) evaluasi lahan, dan (h) penyusunan
pewilayahan komoditas.
a. Penyusunan Peta Dasar
Peta dasar disusun berdasarkan data dan informasi dari peta
rupabumi skala 1: 50.000 dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan,
dan informasi peta-peta lainnya (geologi, land system, tataguna lahan,
agroklimat).
Peta dasar memberikan informasi tentang letak atau posisi geografis
(lintang-bujur), wilayah administrasi, keadaan jalan, garis pantai, sungai dan
gunung, garis montur dan titik tinggi, nama-nama kota atau pemukiman, danau dan
informasi lainnya seperti pelabuhan, hutan, rawa. Peta dasar dibuat dalam bentuk
digital sebagai dasar untuk menggambarkan peta satuan lahan hasil analisis terrain.
b. Analisis Terrain
Analisis terrain dilakukan untuk identifikasi dan delineasi satuan lahan
berdasarkan kenampakan secara visual dari foto udara, keadaan kerapatan garisgaris kontur dan titik ketinggian, peta rupa bumi yang dibantu dengan peta-peta
geologi untuk menentukan batuan induk dan landform. Komponen satuan lahan
yang diinterpretasi terdiri atas landform, litologi (sifat batuan), relief dan lereng,
tingkat torehan, elevasi, pola drainase, penggunaan lahan dan vegetasi. Komponen
xv
tanah tidak dapat diinterpretasi dari citra, dan karenanya data tanah dapat
diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan pengambilan contoh
tanah untuk analisis laboratorium.
c. Penyusunan Peta Satuan Lahan
Hasil interpretasi satuan lahan dari citra landsat digambarkan pada peta
dasar digital skala 1: 50.000. Peta yang dihasilkan adalah Peta Analisis Satuan
Lahan yang digunakan sebagai peta kerja untuk pengamatan di lapangan.
Pembagian satuan landform, litologi dan relief/lereng mengikuti Pedoman Klasifikasi
Landform (Marsoedi et al., 1997). Satuan penggunaan lahan saat ini (present
landuse) yang perlu dipisahkan adalah sawah dan non-sawah (tegalan/kebun
campuran, perkebunan), dan semak belukar/hutan rawa dan non-rawa. Apabila
memungkinkan, perlu dipisahkan antara lahan kering yang diteras dan tidak diteras,
dan lahan sawah dapat dibedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan.
d. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data sumberdaya lahan
melalui pengamatan unsur-unsur satuan lahan dan pengamatan sifat-sifat serta
sebaran jenis tanahnya. Pengamatan tanah dilakukan melalui pendekatan transek
atau topo-litosekuen (Steers dan Hajeek, 1979) pada setiap satuan lahan untuk
mengetahui penyebaran dan keragaman sifat-sifat tanah. Tiap-tiap transek diamati
beberapa titik pada posisi yang berbeda yaitu di bagian punggung (ridge) dan
lereng atau dataran dan lembahnya.
Pengamatan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan dilakukan dengan cara
membuat penampang tanah berupa profil tanah sedalam 120 cm atau minipit
sedalam 50 cm yang dilanjutkan dengan pemboran sedalam 120 cm atau sampai
batuan induk menggunakan form pada lampiran 8. Hasil pengamatan dicatat dalam
formulir isian (Soil data card), dan lokasi pengamatan diplotkan pada Peta Satuan
Lahan hasil interpretasi. Cara pengamatan sifat-sifat tanah berpedoman pada buku
Guidelines for Soil Profile Description (FAO, 1990) atau Soil Survey Manual (Soil
Survey Division Staff, 1993).
Klasifikasi tanah ditetapkan di lapangan menurut
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998) pada tingkat subgrup, yang kemudian
dilengkapi atau diperbaiki dengan data hasil analisis laboratorium.
e. Analisis Contoh Tanah dan Air
Contoh tanah dari profil dan minipit pewakil yang representatif untuk setiap
satuan lahan dan satuan tanah dianalisis di laboratorium. Contoh tanah diambil dari
profil atau minipit pewakil untuk setiap lapisan atau horison. Khusus untuk tanah
sawah, contoh tanah diambil lapisan atasnya setebal 0-30 cm.
Analisis contoh tanah di laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui sifatsifat fisik-kimia yang tidak dapat diukur di lapangan, terutama untuk keperluan
evaluasi lahan dan interpretasi lainnya, sehingga jenis analisis dilakukan secara
selektif disesuaikan dengan tujuan evaluasi lahan. Jenis analisis sifat fisik-kimia
terdiri atas penetapan: tekstur 3 fraksi (pasir, debu, liat), pH (H2O dan KCl), bahan
organik (C dan N), P2O5 dan K2O total (ekstrak HCl 25%), P tersedia (ekstrak Olsen
dan Bray I), retensi P, susunan kation tukar (Ca, Mg, K, Na), kapasitas tukar kation,
dan kejenuhan basa. Analisis komposisi mineral fraksi pasir total menggunakan
mikroskop polarisasi dengan line counting method.
Analisis tambahan, seperti kadar Al dapat tukar untuk tanah-tanah masam,
daya hantar listrik dan kadar pirit untuk tanah-tanah pantai atau pasang surut, pH
NaF, retensi P dan Al dan Fe ekstraksi asam oksalat untuk tanah-tanah bersifat
amorfus atau andik. Selain analisis contoh tanah, juga dilakukan analisis contoh air
sungai untuk menilai kualitasnya untuk pengairan dan perikanan. Jenis analisis air
terdiri atas pH, daya hantar listrik, kadar lumpur, beberapa kandungan kation dan
anion. Prosedur analisis contoh tanah dikemukakan dalam buku Soil Survey
Laboratory Manual Methods (Soil Survey Laboratory Staff, 1991).
f. Penyusunan Basisdata Sumberdaya Lahan
Semua
data
hasil
pengamatan
lapangan
dan
analisis
laboratorium
dimasukkan dan disimpan dalam format basis data tanah dengan menggunakan
program dEASE, terdiri atas Site Horizon Description (SHD), Soil Sample Analysis
(SSA), dan Mapping Unit Description (MUD). Basisdata tersebut selanjutnya dapat
diekstraks dan dihubungkan dengan program Soil Data Processing for Land
Evaluation (SDPLE). Semua data tersebut diolah untuk tujuan penilaian kesesuaian
xvii
lahan secara fisik dan ekonomi untuk berbagai komoditas pertanian tanaman
pangan maupun tanaman tahunan yang mempunyai prospek atau peluang pasar.
g. Evaluasi Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara fisik dan ekonomi untuk
beberapa jenis komoditas pertanian. Komoditas pertanian yang dievaluasi terdiri
dari tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, hortikultura
(sayuran dan buah-buahan), dan tanaman perkebunan. Evaluasi lahan berpedoman
kepada kerangka FAO (1976), seperti pada Tabel 2 dan 3, dengan kriteria penilaian
kesesuaian lahan menurut buku Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan (Djaenudin et al.,
2003).
Tabel 2. Kelas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya.
Kelas
1
Simbol
S1
Nama
Sangat sesuai
2
S2
Cukup sesuai
3
S3
Sesuai
marjinal
4
N
Tidak sesuai
Pengertian
Tanpa/sedikit pembatas yang berarti yang
mempengaruhi pengelolaan tanah dan
tanaman.
Tingkat pembatas ringan yang
mempengaruhi pengelolaan tanah dan
tanaman. Perbaikannya memerlukan input
rendah.
Tingkat pembatas sedang yang dapat
mempengaruhi pengelolaan tanah dan
tanaman. Perbaikannya memerlukan input
sedang.
Tingkat pembatas berat sehingga
penggunaannya tidak memungkinkan.
Perbaikannya memerlukan input tinggi
yang tidak sebanding dengan output-nya.
Tabel 3. Kelas kesesuaian lahan secara kuantitatif (ekonomi) dan pengertiannya.
Kelas
Simbol
Nama
Pengertian
1
S1
Sangat sesuai
Penggunaannya sangat
menguntungkan
2
S2
Cukup sesuai
Penggunaannya cukup
menguntungkan
3
S3
Sesuai marjinal
Penggunaannya kurang
menguntungkan
4
N1
Secara ekonomik
tidak
menguntungkan
Penggunaannya memungkinkan
tetapi tidak menguntungkan (untuk
sementara).
5
N2
Tidak sesuai
Penggunaannya tidak
memungkinkan
Proses perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan
program ALES (Automated Land Evaluation System) versi 4.65d (Rossiter dan Van
Wambeke, 1997). Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk data tabular dan
spasial.
(1). Penyusunan Model Evaluasi Lahan
Penyusunan model evaluasi lahan untuk kebutuhan program ALES
dilaksanakan melalui tahapan berikut:

Menetapkan tipe penggunaan lahan atau Land Use Type (LU T)

Menentukan persyaratan tumbuh tanaman atau Land Use Requirement
(LUR) untuk setiap LUT

Memilih karakteristik lahan atau Land Characteristic (LC) setiap LUR untuk
masing-masing LUT

Menyusun pohon keputusan atau Decision Tree (DT)
Penyusunan
keempat
tahapan
tersebut
telah
disiapkan
oleh
Tim
Puslitbangtanak. Prosedur penyusunan model evaluasi lahan secara rinci dapat
mengacu pada buku Standard Procedure for Land Evaluation T. R. No. 18, Ver 3.0
(Djaenudin et al., 2003). Pengertian dasar dari masing-masing istilah tersebut di
atas adalah sbb:
(a). Tipe Penggunaan Lahan
LUT adalah jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara detil
menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan, dan keluaran yang diharapkan
secara spesifik. Menurut sistem dan modelnya LUT dibedakan atas 2 macam yaitu
multiple dan compound. LUT multiple terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan
atau komoditas yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari
sebidang lahan. Contoh: cengkeh ditanam secara bersamaan dengan vanili atau
pisang. Sedangkan LUT compound terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan
xix
atau komoditas yang diusahakan secara berurutan atau rotasi atau bersamaan pada
sebidang lahan. Contoh suatu perkebunan besar, sebagian areal secara terpisah
atau blok digunakan untuk tanaman kakao, dan blok lainnya untuk kelapa. TPL di
daerah penelitian untuk keperluan pewilayahan komoditas ditentukan berupa
komoditas tunggal dengan mempertimbangkan komoditas tersebut sebagai
komoditas pada TPL paling pendek setahun dari sistem pola tanam yang biasa
diterapkan petani di daerah penelitian.
(b). Persyaratan Tumbuh Tanaman
Setiap komoditas untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi dengan
baik memerlukan persyaratan-persyaratan tumbuh tertentu. Persyaratan tersebut
antara lain faktor iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, bulan kering), media
perakaran (drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif), kesuburan tanah
(kandungan bahan organik, pH, kapasitas tukar kation/KTK, kejenuhan basa/KB,
fosfat, dan kalium), dan kondisi terrain dan bahaya erosi (relief, lereng, keadaan
batuan di permukaan).
(c). Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan (LC) adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi,
seperti besarnya lereng, kedalaman efektif, drainase, tekstur, reaksi tanah,
kejenuhan basa, dan kejenuhan aluminium. Setiap karakteristik lahan yang
digunakan dalam evaluasi lahan mempunyai interaksi antara satu karakteristik lahan
dengan karakteristik lahan lainnya.
(d). Pohon Keputusan
Pohon keputusan (DT) adalah metode pengambilan keputusan untuk
menentukan
kelas
kesesuaian
lahan
secara
hierarchical multi way keys.
Pengambilan keputusan untuk menentukan kelas kesesuaian lahannya mempunyai
hirarki bertingkat dan ditentukan oleh satu atau lebih karakteristik lahan yang
mempunyai kaitan erat antara satu dengan lainnya. Model ini membentuk semacam
pohon dengan rantingnya sehingga disebut sebagai pohon keputusan (Decision
Tree). Pohon keputusan tersebut dicerminkan oleh persyaratan penggunaan lahan
(LUR), cabang dicerminkan oleh karakteristik lahan (LC), dan daun dicerminkan
dengan kualitas lahannya (kelasnya).
Keputusan
penilaian
dilakukan
berdasarkan
tingkatan
kendala
atau
pembatas (severity level) mulai dari yang paling ringan, hingga tingkat kendala
yang paling berat. Tingkatan kendala setiap karakteristik lahan berbeda menurut
nilainya. Misalnya pH 3.0 mempunyai tingkat kendala lebih tinggi daripada pH 5.5.
Pada pohon keputusan untuk lahan dengan pH tanah 3.0 dapat langsung
diputuskan
sebagai
lahan
yang
tidak
sesuai
(N)
sehingga
tidak
perlu
dipertimbangkan karakteristik lahan lainnya. Sedangkan pada lahan dengan pH
tanah 5.5 masih tergantung pada karakteristik lahan lainnya, misalnya kedalaman
tanah. Apabila pada lahan tersebut (pH tanah 5.5) mempunyai kedalaman tanah
tergolong dangkal, kelas kesesuaiannya diputuskan sebagai lahan tidak sesuai (N)
dan tidak diperlukan informasi karakteristik lahan lainnya. Sedangkan lahan dengan
pH tanah 5.5 dan tergolong tanah dalam diputuskan sebagai lahan sesuai (S). Dari
data karakteristik lahan dengan kualitas sesuai masih mungkin dikaitkan dengan
karakteristik lahan lainnya.
(2). Komputasi
Evaluasi
lahan
dilaksanakan
dengan
menggunakan
program
ALES
(Automated Land Evaluation System). Cara pengoperasian program ALES secara
detil dapat dilihat pada User Mannual ALES Version 4.65d (Rossiter dan Van
Wambeke, 1997) atau Petunjuk Teknis Penyusunan Program ALES (Marwan et al.,
1998).
Pelaksanaan komputasi dilakukan setelah basisdata (dBase) sumberdaya
lahan (data SDPLE atau dari format Excel) diimport ke dalam program ALES. Hasil
evaluasi lahan untuk masing-masing komoditas pertanian diperoleh secara otomatis
dalam bentuk data tabular. Verifikasi terhadap hasil komputasi dilakukan untuk
mendapatkan hasil penilaian akhir, sesuai dengan kriteria dan datanya.
Tabel 4. Kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dalam
evaluasi lahan.
Simbol
Kualitas Lahan
Karakteristik lahan
Tc
Temperatur
1 Temperatur rerata (°C) atau elevasi (m)
wa
Ketersediaan air
1 Curah hujan (mm)
2 Lamanya masa kering (bln)
3 Kelembaban udara (%)
xxi
Simbol
Kualitas Lahan
Karakteristik lahan
oa
Ketersediaan oksigen
1 Drainase
rc
Media perakaran
1 Drainase
2 Tekstur
3 Bahan kasar (%)
4 Kedalaman tanah (m)
5 Ketebalan gambut (m)
6 Kematangan gambut
nr
Retensi hara
xc
Toksisitas
xn
Sodisitas
xs
Bahaya sulfidik
eh
Bahaya erosi
fh
Bahaya banjir
lp
Penyiapan lahan
1
2
3
4
KTK liat (cmol)
kejenuhan basa (%)
pH H2O
C- organik (%)
1 Aluminium
2 Salinitas/DHL (ds/m)
1 Alkalinitas (%)
1 Pirit (Bahan sulfidik)
1 Lereng (%)
2 Bahaya erosi
1 Genangan
1 Batuan di permukaan (%)
2 Singkapan batuan (%)
h. Penyusunan Pewilayahan Komoditas dan Sistem Usahatani
Hasil evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi selanjutnya dihubungkan
dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) versi 1.0 (Bachri et al., 2002)
untuk menyusun pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zone agro-ekologi
dengan memperhatikan urutan prioritas tanaman yang akan diusahakan, dan
penggunaan lahan yang telah ada (existing landuse). Penyusunan peta pewilayahan
komoditas menggunakan fasilitas sistem informasi geografi (GIS). Hasil yang
diperoleh berupa peta pewilayahan komoditas pertanian skala 1: 50.000 digunakan
sebagai dasar dalam pewilayahan sistem usahatani (Farming System Zone).
III. Hasil dan Pembahasan Sementara
A. Gambaran Umum Wilayah
Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang
terdapat di provinsi Sulawesi Tengah dan beribukota di Salakan, terletak antara
1’06’’30’’ LS – 2’20’’00’’ LS dan 122’40’’00 BT – 124’13’’30’’BT di bagian timur
laut Pulau Sulawesi. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.160,46 km (darat)
dan 18.828,10 km (laut), Banggai Kepulauan berbatasan langsung denganTeluk
Tomini di sebelah utara, Teluk Tolo di sebelah selatan, Selat Peling di sebelah
barat, serta Laut Maluku di sebelah timur.
Secara administratif, Kabupaten Banggai Kepulauan terdiri dari 19
kecamatan, 6 kelurahan dan 187 desa yang terdiri atas 342 pulau dengan 5
pulau
sedang
yakni Pulau
Peleng (luas
2.340
km²),Pulau
Banggai (268
km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Bokan Kepulauan (84 km²), Pulau
Labobo (80 km²) dan 337 pulau-pulau kecil. Panjang pantai 1.714,218 Km.
Kabupaten
ini
sebelumnya
merupakan
kesatuan
wilayah
dengan
Kabupaten Banggai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999
menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut menjadi daerah otonom
Banggai Kepulauan, sementara kabupaten induk tetap disebut Kabupaten
Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).
Komoditi unggulan Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu sektor pertanian,
Perkebunan dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah Jagung,
dan Ubi kayu. Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan berupa Kopi,
kakao, Jambu Mete, lada, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya yaitu wisata
alam, wisata adat dan budaya.
xxiii
Meskipun sumbangan tanaman pangan terhadap berekonomian Banggai
Kepulauan cukup besar, namun belum mampu mencukupi kebutuhan pangan
penduduk di wilayah ini sehingga harus mendatangkan dari luar wilayah.
Kabupaten Banggai Kepulauan yang ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999
dimekarkan menjadi dua Kabupaten yakni
Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut.
Pemekaran
kabupaten ini disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di
gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru, dan tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai Laut
di Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan pemekaran tersebut, maka wilayah kecamatan yang semula berjumlah
19 terbagi menjadi 2 yakni 12 kecamatan di wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan dan
7 Kecamatan masuk dalam wilayah Kabupaten Banggai Laut. Kecamatan dan desa
Kabupaten Banggai Kepulauan termuat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kecamatan dan Desa diKabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2013
No
Kecamatan
Desa
1
Buko
Desa Batangono; Desa Labasiano;
2
Buko Selatan
3
Bulagi
4
Bulagi selatan
Desa Lalengan; Desa Leme-Leme
Bungin; Desa Leme-Leme Darat;
Desa Malanggong; Desa Paisubatu;
Desa Peling Lalomo;Desa Tataba
Desa Buko; Desa Kambani; Desa
Labangun; Desa Lumbi-Lumbia;
Desa Palapat; Desa Seano; Desa
Tatabau
Desa Alul Desa Boloi (Boloy); Desa
Bulagi Dua;
Desa Bulagi Satu;
Desa Komba-Komba; Desa Lalanday;
Desa Meselesek; Desa Montomisan;
Desa Oluno; Desa Peling Seasa;
Desa Sosom; Desa Sumondung;
Desa Tolo
Desa Balalon; Desa Bonepuso; Desa
Lemelu; Desa Lolantang; Desa
Mangais; Desa Osan; Desa Palabatu
Dua; Desa Palabatu Satu; Desa
Pandaluk; Desa Sabelak; Desa Suit;
Desa Tatarandang; Desa Toy-Toy;
Desa Unu
No
5
Kecamatan
Bulagi Utara
6
Liang
7
Peling Tengah
8
Tinangkung
9
Tinangkung Selatan
10
Tinangkung utara
11
Totikum
12
Totikum Selatan
Desa
Desa Bakalinga; Desa Bangunemo;
Desa Bolubung; Desa Koyobunga;
Desa Luk Panenteng; Desa Montop;
Desa Ombuli; Desa Paisuluno; Desa
Sabang; Desa Sambulangan
Desa Apal; Desa Bajo; Desa
Balayon;
Desa
Basosol;
Desa
Binuntuli; Desa Boyomoute; Desa
Kindandal;
Desa
Liang;
Desa
Mamulusan; Desa Okumel; Desa
Popidolon; Desa Seleati; Desa
Tangkop; Desa Tomboniki
Desa Alakasing; Desa Balombong;
Desa Kolak; Desa Koyobunga; Desa
Labibi; Desa Luk; Desa Patukuki;
Desa Popisi; Desa Tolulos; Desa
Tombos
Desa Ambelang; Desa Baka; Desa
Bakalan; Desa Bongganan; Desa
Bulungkobit; Desa Bungin; Desa
Kautu;
Desa
Manggala;
Desa
Saiyong; Desa Salakan; Desa
Tumpudau
Desa Kampung Baru; Desa Gansal;
Desa Mansamat A; Desa Mansamat
B;
Desa
Paisomosoni;
Desa
Tinangkung; Desa Tobing; Desa
Tobungin
Desa Abason; Desa Batang; Desa
Bolonan; Desa Kambutokan; Desa
Lopito; Desa Palam; Desa Sakay;
Desa Salangan; Desa Sambiut; Desa
Sampaka; Desa Sobonon; Desa Tone
Desa Lalong; Desa Luk Sagu; Desa
Palam; Desa Ponding-Ponding; Desa
Tatakalai
Desa Kalumbatan; Desa Kanali; Desa
Nulion; Desa Peley; Desa Tobungku;
Desa Tonuson
Tabel 6. Luas Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan, Tahun 2013
Laut
Darat
%
Kecamatan
2
(Km )
(Km2)
%
xxv
Kecamatan
Totikum
Darat
(Km2)
Laut
%
%
2
(Km )
155,45
12,55
1 082,85
87,45
95,19
12,55
663,09
87,45
Tinangkung
312,60
41,16
446,96
58,84
Tinangkung Selatan
187,89
42,79
251,23
57,21
Tinangkung Utara
136,65
41,16
195,38
58,84
Liang
176,19
25,76
507,78
74,24
Peling Tengah
140,00
25,76
403,49
74,24
Bulagi
275,66
47,59
303,58
52,41
Bulagi Selatan
319,00
47,58
351,45
52,42
Bulagi Utara
318,00
47,59
350,21
52,41
Buko
184,84
14,96
1 050,60
85,04
Buko Selatan
187,32
14,96
1 064,70
85,04
3 214,46
14,58
18 828,10
85,42
Totikum Selatan
Banggai Kep. 2011
B. Peta Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan
Gambar 1. Indeks Peta Sulawesi
xxvii
Gambar 2. Citra Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan
Gambar 3. Peta Geologi Lembar 2214 Kabupaten Banggai Kepulauan
Gambar 4. Peta Geologi Lembar 2313, 2314, 2413 dan 2414
Kabupaten Banggai Kepulauan
Gambar 5. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Kabupaten
Banggai Kepulauan
xxix
IV.Kesimpulan Sementara
1. Kabupaten Banggai Kepulauan yang ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999 dimekarkan menjadi dua Kabupaten yakni
Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut.
Pemekaran
kabupaten ini disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012
di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru, dan tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten
Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Dengan pemekaran tersebut, maka wilayah kecamatan yang semula berjumlah 19
terbagi menjadi 2 yakni 12 kecamatan di wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan
dan 7 Kecamatan masuk dalam wilayah Kabupaten Banggai Laut
3. Komoditi unggulan Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu sektor pertanian,
Perkebunan dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah
Jagung, dan Ubi kayu. Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan
berupa Kopi, kakao, Jambu Mete, lada, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya
yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.
Daftar Pustaka
Bachri, S., Nata Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan
Komoditas (MPK). Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Bappeda, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah 2011 – 2016. Bappeda Sulawesi Tengah. Palu.
Buurman, P., and T. Balsem. 1990. Land unit classification for the
reconnaissance soil survey of Sumatra. TR No. 3, Version 2.1. LREP
Project. Centre for Soil and Agroclimate Research, Bogor.
Conwey, G.R. 1987. Rapid Rural Appraisal and Agroecosystem Analysis: A
Case Study from Northern Pakistan. Proceeding of the 1985
International Conference on RRA. Rural System Res. and Farming
System Res. Project. Khon Kaen, Thailand.
CSR/FAO Staff.1983. Semi-detiled land resources evaluation, 1: 25.000 scale,
Samin watershed, Central Java. Map and legend. AGOF/INS/78/006.
Technical Note No. 31a. AARD-CSR/ FAO, Bogor.
CSR/FAO. 1983. Reconnaissance land resources survey 1: 250,000 scale
Atlas format procedure. AGOF/INS/78/008. CSR, Bogor.
Dent, F.J., Desaunettes, J.R., and J.P. Malingreau. 1977. Detailed
reconnaissance land resources surveys Cimanuk Watershed area (West
Java). AGL/TF/INS/44. Working paper No.14. FAO/SRI, Bogor.
Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of landforms for Indonesia. FAO/SRI
Working paper No.16. Soil Research Institute, Bogor.
Djaenudin, D, Marwan H., Subagyo, H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2003. Balai
Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang
Pertanian, Bogor.
Donker, N.H.W. 1987. A Computer Programme to Calculate Water Balance.
Lecture Note. ITC Enschede, The Netherlands.
FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin No.52, Rome.
FAO.
1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources
Development and Conserv. Service, Land and Water Development
Division. FAO/UNESCO, Rome.
Goosen, D. 1967. Aerial photo interpretation in soil survey. FAO Soil
Bulletin No.6. Rome.
Hikmatullah, Nata Suharta dan Anny Mulyani. 2001. Petunjuk Teknis
Metodologi Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1:
50.000 Melalui Analisis Terrain. Puslitbang Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Hardjowigeno, S., dan S. Sukmana, 1995. Cara Menentukan Bahaya Erosi.
Laporan Teknis No.4, Versi 1.0 LREP II/C, Puslittanak, Bogor.
Kassam, A.H., H.T. van Velthuizen, G.W. Fischer and M.M. Shah. 1991.
Agroecological land resources assessment for agricultural development
planning. A case study of Kenya. Resource data base and land
xxxi
productivity. Technical Annex 1. Land Resources. Land and Water
Development Division, FAO, Rome.
Kips, A. Ph., D. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The land unit approach
to land resources surveys for land use planning with particular reference
to the Sekampung watershed, Lampung Province, Sumatra., Indonesia.
AGOF/INS/78/006. Technical Note No.11. Centre for Soil Research,
Bogor.
Lovelace, G.W., S. Subhadhira, and S. Simaraks. 1988. Rapid Rural Appraisal
in North East Thailand. Case Studies. KKU-FORD Rural System Research
Project. Khon Kaen University, Thailand.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J.
Hof dan E.R. Jordens.1997. Pedoman klasifikasi landform. Laporan
Teknis No.5, Versi 3.0. LREP II, CSAR, Bogor.
Marwan, H., D. Djaenudin, Subagyo, H., S. Hardjowigeno, dan E.R. Jordens.
Petunjuk Teknis pengoperasian program Automated Land Evaluation
System (ALES). Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Meijerink, A.M.J. 1988. Data acquisition and data capture through terrain
mapping units. ITC Journal 1988-1: 23-44.
Mitchell, C.W. and J.A. Howard. 1978. Land system classification. A Case
History: Jordan. FAO/United Nation, Rome.
Muljadi, D., and F.J. Dent. 1979. Evaluation of Indonesian soil and land
resources. Indonesian Agricultural Research and Development Journal.
No.1-2: 21-23.
Nana Ratman. 1976. Peta Geologi Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara Skala 1:
250.000. Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan, Bandung.
Nash, M.N., L.A. Daugherty, A. Gutjahr, P.J. Wierenga, and S.A. Nance.
1988. Horizontal and vertical kriging of soil properties along a transect
in Southern New Mexico. Soil Sci. Soc. Am. J. 52:1086-1090.
Puslittan. 1983. Jenis dan macam tanah di Indonesia untuk keperluan survei
kapabilitas tanah daerah transmigrasi. Proyek P3MT, Puslittan, Bogor.
Puslittanak. 1993. Laporan Survei dan Penelitian Tanah Daerah Lambunu,
Sulawesi Tengah. Kerjasama Ditjen Tanaman Pangan dan Puslittanak,
Bogor.
Oldeman, L.R, and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Sulawesi,
scale 1: 2,500,000. Contr. Centre. Res. Inst. Agric. Bulletin No.60,
Bogor.
RePProT. 1988. Review of Phase 1 Results Sulawesi. Vol.1 Main Report.
Ministry of 3+
Transmigration, Directorate General of Settlement Preparation. Republic
of Indonesia.
Rossiter D. G., and A. R. van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation
System ALES Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept of Soil
Crop & Atmospheric Sci. SCAS. Ithaca NY, USA.
Steers, C.A., and B.F. Hajeek. 1979. Determination of map unit composition
by a random selection of transects. Soil Sci. Soc. Am. J. 43: 156-160.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Eight edition.US Dept of
Agriculture, Natural Resources Conservation Service. Wahington DC.
Soil Survey Division Staff, 1993. Soil Survey Manual. USDA Handbook No. 18
Washington DC.
Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual.
Soil Survey Investigation Report No.42 Version 1.0. US Dept. of Agric.,
Washington DC.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and
Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42.
Jawatan Met. dan Geofisik, Jakarta.
Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian
Tanah, Bogor.
Subagjo, H. 1995. Status kemajuan dan strategi inventarisasi sumberdaya
lahan di Indonesia. Pros. Pertemuan Teknis. Makalah Kebijakan.
Hal.129-148. Puslittanak, Bogor.
xxxiii
Sys, C., E. Van Ranst, J. Debaveye, and F. Beenaert. 1993. Land Evaluation
Part III. Crop Requirement. ITC. Sci. Univ. Ghent. Agric. Publ. No. 7.
Thornthwaite, C.W. and J.R. Mathers. 1957. Instruction and Table for
Computing Potential Evapotranspiration and Water Balance. Publ. Clim.
rol. X No.3 Conterton.
Van Wambeke, A., and T. Forbes. 1986. Guidelines for using soil taxonomy in
the name of soil map units. SMSS Tehnical Monograph No.10. Cornell
Univ. Ithaca, NY.
Van Wambeke, A., P.Hastings, and P. Tolomeo. 1985. New Simulation Model
(NSM) for Mositure Regimes. Dep. Agr. Bradfield Hall. Cornell
University. NY.
Van Zuidam, R. 1986. Air Photo-Interpretation for Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Smits Publ. The Hague, The Netherlands.
White, E.M. 1966. Validity of transect method for estimating composition of
soil-map areas. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 30: 129-130.
Download