Faktor-faktor Suara Tidak Sah dalam Pemilihan

advertisement
LaporanPenelitian
Faktor-faktorSuaraTidakSah
dalamPemilihanAnggotaLegislatif
DPRRIPemilu2014
(StudiKasusdi3(Tiga)DaerahPemilihan:
BantenII,JawaBaratVdanJawaTengahIII)
LAPORAN PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR SUARA TIDAK SAH
DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF
DPR RI PEMILU 2014
(Studi Kasus di 3 (Tiga) Daerah Pemilihan: Banten II, Jawa
Barat V dan Jawa Tengah III
Jakarta, 22 September 2014
Kontak Person
Alamat
Phone
Email
: Kurniawan Zein
: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES)
: 0813-884-494-57
: [email protected]/[email protected]
DAFTAR ISI
Daftar isi
Bab I.
halaman
Pendahuluan
1
Bab II. Metode dan Keterbatasan Penelitian
4
Bab III. Gambaran Umum Suara Tidak Sah dan Lokasi
8
Bab IV. Faktor-Faktor dan Modus Suara Tidak Sah
15
Bab V. Politik Uang dan Suara Tidak Sah
35
Bab VI. Kesimpulan
39
Lampiran
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
i
BAB I
PENDAHULUAN
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan bahwa tingkat partisipasi pemilih
pada pemilu 2014 yang lalu mencapai 75,11 persen, yang berarti bahwa sisanya;
sekitar 24,89 persen pemilih yang terdaftar tidak menggunakan hak pilihnya.1
Persentase ini menunjukkan peningkatan tingkat partisipasi pemilih
dibandingkan pada pemilu legislatif 2009 yang hanya mencapai 71 persen,
dengan demikian terjadi peningkat +/- 4 persen. Pada sisi ini, pada pemilu
legislatif 2014 terdapat trend peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Kondisi ini tentunya diharapkan merupakan gambaran membaiknya kesadaran
masyarakat mengenai signifikansi pemilu bagi pembangunan sistem politik
nasional.
Di tengah tingkat partisipasi pemilih yang meningkat, ternyata terdapat
‘anomali’ pemilu dalam bentuk suara tidak sah yang masih cukup tinggi pada
pemilihan anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang secara
nasional mencapai 10,77 persen atau sekitar 15.076.606 dari total suara yaitu
140.049.097 suara yang diberikan pada pemilu legislatif yang lalu.
Dari aspek legitimasi politik, persentase suara tidak sah pada pemilu legislatif
memang tidak memberikan pengaruh terhadap hasil pemilu. Hanya saja,
seyogyanya perbaikan tingkat partisipasi juga berbanding lurus dengan tingkat
sura sah yang juga tinggi. Apabila tingkat suara tidak sah disisi lain meningkat,
maka hal tersebut merupakan anomali partisipasi politik dalam pemilu.
Fenomena suara tidak sah merupakan catatan tersendiri yang mengundang dua
hipotesis apakah hal tersebut bersumber dari perilaku pemilih yang dengan
tidak sadar atau sadar menjadikan suara mereka tidak sah.
Hipotesis pertama mengimplikasikan tingkat pengetahuan pemilih yang
memang minim terhadap tata-cara memilih yang benar pada saat pemungutan
1
Harian Kompas, 10 Mei 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
1
suara pemilu legislatif 2014. Hal ini terkait bagaimana sosialisasi pemilu
dilakukan oleh KPU dan perangkatnya kepada masyarakat, khususnya mengenai
tata-cara mencoblos.
Sedangkan hipotesis kedua, apabila fenomena suara tidak sah bersumber dari
perilaku pemilih yang secara sadar menjadikan suara yang diberikan tidak sah,
maka hal tersebut terkait dengan dua hal, yaitu: (1) pengetahuan pemilih
terhadap calon yang akan dipilihnya, sehingga pemilih memiliki preferensi untuk
memilih atau tidak, yang berarti hal ini juga bagaimana calon anggota legislatif
mensosialisasikan dirinya dan (2) karena terdapat faktor tertentu yang
membuat pemilih dengan dalam kondisi dilematis untuk memilih.
Keterlibatan stakeholder lain selain partai politik dan pemilih yang memiliki
peran sangat strategis dalam pemilu adalah Komisis Pemilihan Umum (KPU),
sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan
mengenai penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalam penetapan suara tidak
sah. KPPS merupakan perangkat KPU pada tingkat paling terdepan dalam
menetapkan apakah surat suara sah atau tidak sah pada saat perhitungan suara
di TPS. Selain KPPS, PPS dan PPK juga perangkat KPU yang memiliki peran
terdepan dalam menetapkan suara sah atau tidak sah. Melalui mekanisme
rekapitulasi berjenjang mulai dari TPS oleh KPPS, di desa oleh PPS dan di
kecamatan oleh PPK sedianya akan menjadi mekanisme kontrol berlapis,
sehingga hal-hal yang terkait dengan perhitungan dan rekapitulasi hasil pemilu
telah didilakukan secara benar (professional) dan dapat dipertangungjawabkan
(akuntabel).
FOKUS STUDI
Berdasarkan uraian di atas, fokus studi ini akan menitik-beratkan kepada
identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suara tidak sah. Dari hasil
perhitungan suara KPU, terlihat bahwa persentase suara tidak sah rata-rata
cukup tinggi pada pemilihan anggota anggota legislatif di tingkat nasional (DPR
RI), terutama di wilayah pemilihan Jawa yang berkisar 10-22%. Pada tingkat
provinsi (DPRD Provinsi) meskipun tingkat suara tidak sah lebih rendah dari
nasional namun kecenderungan akan selalu lebih tinggi dari persentase suara
tidak sah di pemilihan anggota legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten). Kecuali
di wilayah beberapa provinsi di wilayah Timur Indonesia, pola surat suara tidak
sah memiliki pola yang acak.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
2
Terhadap persolan ini terdapat beberapa asumsi persoalan yang akan
dieskplorasi, yaitu:
1. Bagaimana kapasitas perangkat KPU dalam hal penetapan suara tidak sah
pada saat pemilu legislatif?
2. Bagaimana perilaku pemilih menyebabkan suara tidak sah pada saat
pemilu legislatif?
3. Bagaimana peran partai politik berpengaruh terhadap suara tidak sah?
KERANGKA KONSEP
Meneliti tentang pemilu, maka tidak akan dapat dilepaskan dari dua kategori
subjek utama yang menjadi unit analisis yaitu, penyelenggara dan peserta
pemilu. Subjek penyelenggara pemilu berdasarkan Undang-Undang terdiri dari
dua jenis kelembagaan yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda
antara penyelenggaraan dan pengawasan, yaitu: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Derivasi subjek peserta pemilu terdiri
dari partai politik dan pemilih. Partai politik merupakan lembaga politik yang
diakui sebagai satu-satunya lembaga politik yang memiliki otoritas melakukan
rekrutmen calon anggota legislatif yang ditempakan dalam lembaga legislatif
atau parlemen melalui mekanisme pemilihan umum. Sementara itu pemilih
adalah rakyat yang didalam sistem demokrasi diakui sebagai pemilik kedaulatan
politik. Pilihan politik rakyat merupakan sumber legitimasi politik bagi
kelembagaan legislatif . Oleh karena itu suara pemilih memiliki harga politik
yang diperebutkan oleh partai politik dan kandidat anggota parlemen melalui
pemilu.
Berdasarkan kerangka tersebut, maka analisa faktor-faktor suara tidak sah
dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif DPR RI perlu dilakukan dengan
memetakan persoalan-persoalan yang berpotensi memiliki konstribusi terhadap
suara tidak sah dari 3 (tiga) subjek, yaitu (1) kapasitas perangkat KPU Sebagai
penyelenggara pemilu terkait dengan keputusan dan penetapan suara tidak sah,
(2) peran partai politik terkait dengan fungsi pendidikan kepada masyarakat
mengenai suara tidak sah dan (3) pemilih terkait dengan kesadaran politik
dalam memberikan suaranya sehingga dapat dinilai sah atau tidak sah.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
3
BABII
METODE DAN KETERBATASAN
PENELITIAN
Studi ini dilakukan dengan pendekatan grounded research yang digunakan dalam
studi-studi kualitatif. Pilihan pendekatan tersebut dilakukan karena studi ini
didesain sebagai studi awal (preliminary study), sehingga peneliti benar-benar
berangkat dari nir-asumsi. Untuk mendukung penelitian, maka dilakukan:
(1) FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)
Pelaksanaan FGD dimaksudkan sebagai bentuk esplorasi awal dalam
merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suara tidak sah,
berdasarkan pengalaman dan opini dari-dari pihak yang dinilai memiliki
kredibilitas informasi tentang pemilu. FGD akan meilibatkan 5-10 peserta
yang terdiri dari, Jurnalis dan penggiat NGO lokal yang concern terhadap
persoalan pemilu.
Dari hasil eksplorasi awal terhadap isu-isu pemilu dalam kerangka suara
tidak sah, dapat diidentifikasi beberapa informasi awal yang dirumuskan
sebagai isu atau faktor-faktor yang akan diverifikasi dari data-data
selanjutnya. (lihat tabel)
Tabel II.1. Subjek dan Isu-isu Studi Suara Tidak Sah
No
1
Subjek
Kapasitas Penyelenggara
1.
2.
3.
2
Penyelenggaraan Pemilu
3
Peran Partai Politik
4.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Isu
Efektivitas Bimtek bagi PPK, PPS dan
KPPS
Pemanfaatan panduan pelaksanaan
pemilu oleh KPPS
Pemahaman KPPS atas ketentuan
suara sah dan tidak sah
Pemahaman atas isu dan praktik uang
Faktor suara tidak sah di TPS
Sosialisasi tata-cara pencoblosan
Pola pencoblosan tidak sah
Sosialisasi Caleg DPR RI
Partisipasi parpol dalam sosilaisasi
tata-cara mencoblos
Pembekalan saksi tentang teknis
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
4
4.
4
Perilaku Pemilih
1.
2.
3.
4.
5.
pelaksanaan
pemilu
(termasuk
penetapan suara sah dan tidak sah)
Komplain saksi atas suara sah dan
tidak sah
Pengetahuan pemilih atas caleg
Pengetahuan
tentang
tata-cara
memilih/mencoblos
Pemahaman suara sah dan tidak sah
Tingkat keinginan untuk memilih caleg
DPR-RI
Respon terhadap politik uang
(2) IN-DEPTH INTERVIEW
Informasi yang diperoleh dari FGD dianalisa dan diperdalam melalui
wawancara mendalam (in-depht interview) terhadap pihak-pihak (aktor)
yang relevan dengan penelitian ini, yang dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian dan selanjutnya disebut sebagai informan
kunci (key informant).
Kriteria Informan yang diwawancarai adalah pelaksana pemilu mulai dari
tingkat provinsi sampai dengan tingkat ad hoc, saksi, pemantau dari
masyarakat, dan masyarakat pemilih. Pertimbangan pembatasan kriteria
informan didasari atas pemikiran bahwa pihak-pihak tersebut sebagai aktor
yang terlibat secara langsung dalam proses pemungutan suarat di tingkat
masyarakat.
Pihak-pihak (key informant) per-lokasi yang akan diwawancarai terdiri dari:
No
1
2
1
2
3
4
5
6
Kriteria Informan
KPU Provinsi
KPU Kabupaten
PPK
PPS
KPPS
Saksi Parpol
Pemantau/masyarakat
Masyarakat pemilih
Total
Jumlah
1
1
2
2
2
2
2
2
12
Untuk mendapatkan informasi yang lebih teknis terkait dengan
penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, maka penyelenggara pemilu adalah
stakeholder yang paling banyak diwawancarai untuk menggali informasi
penyebab suara sah dan tidak sah mulai dari tingkat KPU Provinsi dan
Kab/Kota sampai pelaksana pemungutan suara di tingkat ad hoc (PPK, PPS
dan KPPS).
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
5
LOKASI STUDI
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive 3 lokasi, yaitu:
1. Daerah pemilihan (Dapil) 3 Jawa Tengah
2. Daerah pemilihan (Dapil) 2 Banten
3. Daerah pemilihan (Dapil) 5 Jawa Barat
Dasar pemilihan ketiga lokasi studi dilakukan dengan mempertimbangkan (a)
keterbatasan waktu (b) bahwa pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah
pemilih terbesar (c) fakta bahwa ketiga wilayah tersebut memiliki tingkat suara
tidak sah yang lebih tinggi dibandingkan dengan dapil lain di 3 (tiga) provinsi,
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten.
Pemilihan lokasi studi pada tingkat yang lebih rendah, yaitu desa, dilakukan
dengan teknik snow-bowling, berdasarkan informasi yang diperoleh dari
informan atau data sekunder. Kecamatan Cileungsi, di Jawa Barat dan Kecamatan
Watu merupakan dua kecamatan dengan tingkat suara tidak sah tertinggi.
Sebagai pertimbangan metodologis, maka diperlukan wilayah dengan tingkat
suara tidak sah yang moderat yang kontrol untuk melihat apakah faktor suara
tidak menunjukkan pola umum atau spesifik. Kecamatan Winong di Kabupaten
Pati merupakan wilayah moderat yang dipilih.
METODE, KERANGKA DAN KETERBATASAN ANALISA
Analisa terhadap data-data atau informasi yang diperoleh dari wawancara
dengan informan kunci akan dilakukan dengan metode analisis deskriptif, yaitu
dengan cara data-data tersebut akan dikategorisasikan berdasarkan isu,
kemudian dibandingkan antar subjek sehingga didapati pola mengenai faktorfaktor suara tidak sah.
Dalam studi ini tidak dimaksudkan untuk memperbandingkan antar faktor suara
tidak sah sehingga didapati gambaran mengenai faktor yang lebih tinggi atau
rendah sebagai penyebab suara tidak sah. Penelitian ini hanya diditujukan untuk
melakukan pemetaan terhadap isu-isu yang berdasarkan temuan dapat dinilai
sebagai faktor suara tidak sah.
Penelusuran faktor suara tidak sah dari sisi perangkat KPU sebagai informan
kunci didasari atas pertimbangan teoritik dan formal bahwa perangkat KPU
merupakan pihak yang memiliki otoritas terhadap keputusan dan penetapan
suara tidak sah dan memiliki informasi yang dibutuhkan mengenai pola-pola
suara tidak sah yang terjadi mulai dari pemungutan, perhitungan dan
rekapitulasi suara. Dengan kerangka ini, disadari terdapat keterbatasan analisa
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
6
dalam studi ini yang lebih merepresentasikan persoalan suara tidak sah dari sisi
penyelenggara bukan pemilih.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
7
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN
SUARA TIDAK SAH PEMILIHAN
ANGGOTA DPR RI PEMILU 2014
SUARA TIDAK DALAM PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI 2009 DAN 2014
Perbandingan suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI antara
tahun 2009 dan 2014 menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada pemilu
2009, suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI mencapai
17,196,020 atau 14.39 persen dari total suara pemilih nasional, sedangkan
pemilihan anggota legislatif DPR RI, pemilu tahun 2014, jumlah suara tidak sah
mencapai 15,076,606 atau 10.77 persen dari total suara pemilih nasional.
Dengan demikian sesungguhnya telah terjadi penurunan jumlah suara tidak sah
pada pemilu 2014 sebesar 2,119,414 suara atau 3.63 persen suara dari total
suara pemilih nasional.
Tabel III.1 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan
Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014
PEMILU 2009
WILAYAH
ACEH DARUSSALAM
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
BANGKA BELITUNG
KEPULAUAN RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
PEMILU 2014
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENT
ASE
SUARA
TIDAK
SAH
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENT
ASE
SUARA
TIDAK
SAH
427798
426,329
200,698
258,244
263,430
524,395
149,120
487,238
86,585
79,844
235,645
2,552,901
3,590,407
18.87%
11.00%
9.03%
11.26%
16.93%
13.17%
16.43%
12.25%
15.86%
11.86%
5.45%
12.04%
19.24%
299,038
740,087
158,931
301,837
270,646
580,166
182,620
414,848
100,515
93,805
381,946
2,522,291
2,441,076
11.43%
10.78%
6.20%
10.16%
13.79%
12.83%
16.51%
9.27%
14.70%
10.24%
7.24%
10.64%
12.18%
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2014 DAN
2009(%)
-7.44%
-0.22%
-2.83%
-1.10%
-3.14%
-0.34%
0.08%
-2.98%
-1.17%
-1.62%
1.80%
-1.40%
-7.06%
8
YOGYAKARTA
254,584
12.68%
159,160
JAWA TIMUR
3,912,166
19.37%
2,973,438
BANTEN
725,150
15.38%
875,188
BALI
346,207
16.92%
285,324
NUSA TENGGARA BARAT
391,971
16.65%
347,593
NUSA TENGGARA TIMUR
195,475
8.70%
116,815
KALIMANTAN BARAT
277,700
12.00%
240,534
KALIMANTAN TENGAH
172,207
16.49%
150,975
KALIMANTAN SELATAN
306,038
17.29%
272,663
KALIMANTAN TIMUR
223,683
14.17%
259,711
SULAWESI UTARA
83,739
6.33%
92,335
SULAWESI TENGAH
96,989
7.48%
72,614
SULAWESI SELATAN
444,192
10.75%
314,465
SULAWESI TENGGARA
126,685
11.31%
140,514
GORONTALO
40,464
7.07%
26,971
SULAWESI BARAT
55,790
9.50%
48,656
MALUKU
55,012
6.65%
43,526
MALUKU UTARA
30,501
5.54%
53,741
PAPUA
132,202
7.14%
83,748
PAPUA BARAT
42,631
10.06%
30,829
NASIONAL
17,196,020
14.39%
15,076,606
SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah)
7.17%
12.95%
15.31%
12.35%
12.59%
4.73%
8.85%
11.70%
12.92%
12.62%
6.15%
4.85%
6.66%
10.63%
4.06%
6.87%
4.48%
7.89%
2.75%
5.10%
10.77%
-5.51%
-6.42%
-0.07%
-4.57%
-4.06%
-3.97%
-3.15%
-4.79%
-4.38%
-1.55%
-0.18%
-2.63%
-4.08%
-0.67%
-3.00%
-2.63%
-2.16%
2.34%
-4.39%
-4.96%
-3.63%
Berdasarkan data di atas, suara sah di Provinsi Banten secara persentase terjadi
penurunan suara tidak sah pada pemilu 2014 dibandingkan dengan pemilu
2009, namun dari sisi jumlah terjadi kenaikan 150.038 suara. Di Provinsi Banten,
suara tidak sesungguhnya tidak mengalami perubahan sama sekali, bahkan
cenderung naik. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, suara
tidak sah di kedua provinsi ini menunjukkan penurunan.
SUARA TIDAK SAH DI DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) BANTEN II
Fakta bahwa trend suara tidak sah di Provinsi Banten dalam pemilihan anggota
legislatif 2014 yang tidak menunjukkan pengurangan cukup signifikan apabila
dibandingkan dengan suara tidak sah dalam pemilu 2009, sesungguhnya
merepresentasikan fakta tidak jauh berbeda dari masing-masing daerah
pemilihan (Dapil). Di Dapil Banten I, suara tidak sah dalam pemilihan anggota
legislatif DPR RI adalah 11.49 persen pada pemilu 2009 dan pada pemilu 2014,
suara tidak sah mencapai 11.17 persen, yang berarti berkurang 0.32 persen.
Demikian pula di Banten III, suara tidak sah dalam pemilihan anggota DPR RI
pada pemilu 2014 berkurang 1 persen. Berbeda dengan Banten I dan III, suara
tidak sah Dapil Banten II mengalami penambahan sebesar 1 atau 0.75 persen.
Dengan kata lain, bahwa Dapil Banten II baik pada pemilu 2009 dan pemilu
2014, sesungguhnya merupakan wilayah dengan tingkat suara tidak tertinggi di
Provinsi Banten.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
9
Tabel III.2 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan
Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Banten
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
Banten I
142,254
11.49%
147,459
11.17%
-0.32%
Banten II
243,363
21.63%
312,950
22.39%
0.75%
Banten III
339,533
14.43%
414,779
13.83%
-0.60%
PROVINSI
725,150
15.38%
875,188
SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah)
15.31%
-0.07%
PEMILU 2009
WILAYAH
PEMILU 2014
Daerah Pemilihan (Dapil) II Provinsi Banten meliputi Kabupaten Serang, Kota
Serang dan Kota Cilegon. Berdasarkan Model DB-1 DPR KPU, jumlah suara sah
seluruh partai politik di dapil Banten II adalah 1.397.711 dengan jumlah suara
tidak sah adalah 312.882 dimana Kabupaten Serang merupakan Kabupaten
dengan jumlah Suara Tidak Sah tertinggi yaitu 188.733 dan Kota Cilegon dengan
jumlah suara tidak sah terendah (43.907).
Tabel III.3. Data Suara Sah dan Tidak Sah DPR
Daerah Pemilihan Banten II
VOTER
TURNOUT
Kab. Serang
Kota Cilegon
Kota Serang
SUARA
SAH
824,546
635,813
225,855
181,948
347,310
267,068
1,397,711
1,084,829
Sumber. Model DB-1 DPR, KPU
SUAR
TIDAK
SAH
188,733
43,907
80,242
312,882
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
22.89%
19.44%
23.10%
22.39%
Untuk suara tidak sah DPR di tingkat kecamatan di dapil Banten II, dari 29
kecamatan di Kabupaten Serang, berdasarkan data KPU Kabupaten Serang
Model DB-1 DPR, Kecamatan Kramat Watu adalah Kdengan Suara Tidak Sah
tertinggi, dengan rincian Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik 40.250, jumlah
Suara Tidak Sah 12.681 (Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 52.931).
Kecamatan Kramat Watu terdiri dari 15 desa, berdasarkan data PPK Kramat
Watu Model DA-1 DPR, desa dengan jumlah Suara Tidak Sah tertinggi adalah
desa Terate, dengan rincian Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 2.781, jumlah Suara
Sah seluruh Partai Politik 1.784 dan jumlah Suara Tidak Sah 997. Desa Terate
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
10
terdiri dari 8 TPS dan TPS terbesar untuk Suara Tidak Sah DPR RI ada di TPS 2
dimana suara tidak sah lebih besar dari jumlah suara sah seluruh partai politik.
Dari data PPS Desa Terate Model D-1 DPR, di TPS 2, jumlah suara sah seluruh
partai politik 186 sedangkan jumlah suara tidak sah 225 ( total 411).
Sedangkan untuk Kota Cilegon, dari 8 kecamatan di Kota Cilegon, Kecamatan
Cibeber adalah kecamatan dengan suara tidak sah DPR tertinggi yaitu 7.019
suara dari total suara sah dan tidak sah (28.599). Dalam studi ini Kelurahan
Cibeber dijadikan sebagai lokasi studi dengan pertimbangan sebagai
desa/kelurahan dengan jumlah pemilih terbanyak. Dari 9.568 suara sah dan
tidak sah yang ada di Desa Cibeber, jumlah suara tidak sah DPR tertinggi ada di
TPS 6 dengan rincian suara sah seluruh parpol 104 suara dan suara tidak sah
194 (total suara sah dan tidak sah 298).
SUARA TIDAK DI DAERAH PEMILIHAN JAWA BARAT V
Jawa Barat terdiri dari 11 Daerah Pemilihan (dapil). Dapil Jawa Barat V yang
meliputi hanya 1 (satu) kabupaten, yaitu Kabupaten Bagor. Jumlah pemilih di
Kabupaten Bogor merupakan jumlah pemilih terbanyak dibandingkan
kabupaten lainnya di daerah pemilihan provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data
DB1-DPR KPU Kabupaten Bogor, jumlah pemilih di daerah tersebut adalah
3.318.222 dengan pemilih yang menggunakan hak pilihnnya (voter turn-out)
sebesar 2.421.667 pemilih.
Jumlah suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR RI pemilu 2009 sebesar
256.527 suara atau 12.15 persen dari total jumlah pemilih yang menggunakan
hak pilihnya. Pada pemilu 2014, jumlah suara yang tidak sah meningkat 1.39
persen atau sebesar 327.895 suara. Apabila dibandingkan jumlah suara tidak sah
di dapil V dengan dapil-dapil lainnya di Provinsi Jawa Barat, dapil VII dan VIII
merupakan wilayah dengan jumlah suara tidak sah tertinggi pada pemilu 2009,
sementara pada pemilu 2014, terjadi pergeseran di mana status tersebut
digantikan oleh dapil V.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
11
Tabel III.4 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan
Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Jawa Barat
WILAYAH
PEMILU 2009
JUMLAH
PERSENTASE
SUARA
SUARA
TIDAK
TIDAK SAH
SAH
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
PEMILU 2014
Jawa Barat I
106,171
7.24%
108,967
7.08%
-0.17%
Jawa Barat II
264,183
11.12%
263,319
9.80%
-1.32%
Jawa Barat III
190,527
12.91%
183,417
10.99%
-1.92%
Jawa Barat IV
161,838
12.45%
149,539
10.44%
-2.01%
Jawa Barat V
256,876
12.15%
327,895
13.54%
1.39%
Jawa Barat VI
170,619
9.97%
174,048
8.82%
-1.15%
Jawa Barat VII
400,302
15.69%
403,974
12.76%
-2.93%
Jawa Barat VIII
292,689
14.23%
265,565
11.97%
-2.26%
Jawa Barat IX
290,592
13.55%
258,243
11.34%
-2.22%
Jawa Barat X
160,998
10.36%
130,342
8.02%
-2.35%
Jawa Barat XI
258,106
10.51%
256,982
9.51%
-1.00%
PROVINSI
4,750,893
22.41%
4,966,546
SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah)
20.94%
-1.46%
Dapil V dengan jumlah pemilih terbesar ada dapil Jawa Barat V meskipun hanya
mencakup satu wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor. Berdasarkan Model
DC-1 DPR, jumlah suara sah seluruh partai politik di dapil Jawa Barat V adalah
2.093.772 dan jumlah suara tidak sah adalah 327.895.
Untuk suara tidak sah DPR di tingkat kecamatan di dapil Jawa Barat V, dari 40
kecamatan di Kabupaten Bogor, berdasarkan data KPU Kabupaten Bogor Model
DB-1 DPR, Kecamatan Cileungsi adalah kecamatan dengan Suara Tidak Sah
tertinggi, dengan rincian Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik 99.681 suara,
jumlah Suara Tidak Sah 14.327 suara (Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 114.008).
Dari data PPK Cileungsi, Desa Limus Nunggal adalah desa dengan jumlah pemilih
tertinggi di Kecamatan Cileungsi, pada pemilu legislatif 2014 jumlah TPS di Desa
Limus Nunggal sebanyak 68 TPS.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
12
SUARA TIDAK SAH DI KABUPATEN PATI DAERAH PEMILIHAN JAWA
TENGAH III
Dokumen rekapitulasi DB1 KPU DPR memperlihatkan bahwa suara tidak sah di
daerah pemilihan Provinsi Jawa Tengah, secara umum, mencapai 12.18 persen
atau sebesar 2.441.076 suara. Jumlah ini sesungguhnya telah mengalami
penurunan 7.06 persen dari jumlah suara tidak sah pada pemilu 2009 yang
mencapai 19.24 persen atau 3.590.407 suara.
Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa dapil Jawa Tengah III merupakan
daerah dengan tingkat suara tidak sah yang lebih tinggi dibandingkan daerah
pemilihan lainnnya sejak pemilu 2009, meski pada pemilu 2014, jumlah suara
tidak sah di dapil tersebut telah berkurang sebesar 8.47 persen; dari 25.03
persen suara tidak sah menjadi 16.56 persen.
Tabel III.5 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan
Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Jawa Barat
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
JUMLAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
Jawa Tengah I
355,686
18.17%
291,065
13.54%
-4.64%
Jawa Tengah II
352,619
22.02%
226,517
12.54%
-9.48%
Jawa Tengah III
594,747
25.03%
411,196
16.56%
-8.47%
Jawa Tengah IV
323,086
19.87%
173,782
10.21%
-9.66%
Jawa Tengah V
360,177
17.57%
216,082
9.70%
-7.87%
Jawa Tengah VI
351,933
16.40%
266,752
11.69%
-4.70%
Jawa Tengah VII
292,377
17.65%
203,345
11.43%
-6.22%
Jawa Tengah VIII
220,226
12.00%
131,459
6.90%
-5.10%
Jawa Tengah IX
313,299
18.26%
222,326
11.96%
-6.30%
Jawa Tengah X
426,257
25.09%
298,552
16.12%
-8.97%
PROVINSI
3,590,407
19.24%
SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah)
2,441,076
12.18%
-7.06%
PEMILU 2009
WILAYAH
PEMILU 2014
Daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah III terdiri dari Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Pati, Kapubaten Rembag dan Kabupaten Blora. Lokasi studi di
lakukan di Kabupaten Pati, dapil III Jawa Tengah. Kabupaten Pati terdiri dari 23
kecamatan. Kabupaten Pati merupakan wilayah daerah pemilihan terluas di
Dapil III Jawa Tengah dan berdasarkan informasi dari narasumber KPU Provinsi
Jawa Tengah bahwa dapil III merupakan wilayah Pemungutan Suara Ulang (PSU)
yang diantaranya adalah Kabupaten Pati.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
13
Tabel III.6. Data Suara Sah dan Tidak Sah DPR
Kabupaten Pati Daerah Pemilihan Jawa Tengah III
Kecamatan
Sukolilo
Jumlah
TPS
189
Suara Sah
Tidak Sah
Voter Turn-Out
Persentase
suara tidak
sah
40,974
10,344
51,318
20%
Kayen
159
34,402
7,106
41,508
17%
Tambakromo
116
24,337
3,814
28,151
14%
Winong
133
27,134
3,533
30,667
12%
Puncakwangi
112
24,090
3,763
27,853
14%
Jaken
100
23,361
5,260
28,621
18%
Batangan
89
24,099
3,241
27,340
12%
Juwana
186
51,231
5,398
56,629
10%
Jaknenan
112
23,941
2,961
26,902
11%
Pati
218
56,612
7,565
64,177
12%
Gabus
139
29,257
4,131
33,388
12%
Margorejo
115
31,386
4,918
36,304
14%
Gembong
98
23,341
4,011
27,352
15%
Tlogowungu
109
26,782
5,768
32,550
18%
Wedarijaksa
128
31,989
5,833
37,822
15%
Margoyoso
147
35,844
7,075
42,919
16%
Gunung Wungkal
79
19,543
2,449
21,992
11%
Cluwak
120
24,630
2,460
27,090
9%
Tayu
149
35,604
5,005
40,609
12%
Dukuhseti
122
32,813
3,602
36,415
10%
127
31,191
6,689
37,880
18%
2.747
652,561
104,926
757,487
14%
Trangkil
Sumber DB1 DPR KPU Kab. Pati
Jumlah voter turn-out di Kabupaten Pati pada pemilu 2014 mencapai 757.487
pemilih atau 74 persen dari total pemilih yang terdaftar. Kecamatan Sukulilo,
Juwana dan Pati merupakan wilayah dengan voter turn-out terbanyak di atas 50
ribu pemilih. Sedangkan, konstribusi suara tidak sah di Kabupaten Pati
disumbang oleh Kecamatan Sukolilo, Jaken dan Kayen.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
14
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR
DAN MODUS SUARA TIDAK SAH
Pada saat pemungutan suara pemilu legislatif 2014, suara tidak sah merupakan
suatu hal yang tidak bisa dielakkan sebagai deviasi yang sebenarnya masih dapat
ditoleransi. Hal tersebut menjadi tidak biasa karena pengamatan terhadap datadata suara tidak sah menunjukkan pola yang relatif merata, tetap dan tidak tidak
acak. Suara tidak sah pada tingkat pemilihan anggota legislatif nasional DPR RI,
lebih tinggi dibandingkan dengan suara tidak sah pada tingkat pemilihan
anggota legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten).
Secara common sense, penyebab suara sah dapat dengan mudah dikaitkan
dengan perilaku pemilih dalam memberikan hak suaranya pada saat
pemungutan suara. Dengan megkaitkan aspek perilaku pemilih sebagai faktor
tingginya suara tidak sah, maka hulu persoalan suara tidak sah bersumber dari
apa yang mempengaruhi preferensi politik pemilih terhadap calon, seperti
tingkat pengetahuan terhadap calon sebagai hal yang paling cepat diduga.
Dugaan tingkat pengetahuan sebagai faktor suara tidak sah dari hasil
pemungutan suara, sesungguhnya bukanlah hal yang secara independen
terbentuk dengan sendirinya. Menjadikan tingkat pengetahuan pemilih sebagai
konstributor suara tidak sah berkonsekuensi penulusuran dari aspek lain, yaitu
sosialisasi. Terma sosialisasi memiliki dua dimensi. Dimensi pertama yaitu
sosialisasi yang terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap calon
anggota legislatif yang berarti hal tersebut tentang bagaimana upaya yang
dilakukan oleh para calon untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat
sehingga layak untuk dipilih. Dimensi kedua, yaitu terkait dengan sosialisasi
tentang bagaimana cara masyarakat memberikan suara mereka di tempat
pemungutan suara secara benar. Pada dimensi ini menunjuk kepada kinerja
perangkat KPU dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tatacara pemilihan.
Dengan kata lain, mencari akar persoalan yang menyebabkan suara tidak cukup
dengan menyelediki perilaku pemilih, namun juga perlu memasukkan aspek lain,
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
15
seperti (a) partai politik yang didalamnya juga termasuk calon anggota legislatif,
dan (b) kinerja aparat penyelenggara pada tingkat yang langsung berhubungan
dengan keputusan penetapan suara sah atau tidak sah pada saat pemungutan
suara dan perhitungan suara.
Dalam bab ini, pembahasan mengenai temuan penelitian atas faktor-faktor suara
tidak sah akan diklasifikasi kedalam tiga aspek, (1) faktor suara tidak sah yang
bersumber dari aspek penyelenggara, (2) faktor suara tidak sah yang bersumber
dari aspek perilaku pemilih, (3) faktor suara yang dipengaruhi oleh peran partai
politik.
Aspek Penyelenggara
Kapasitas
Kapasitas tentang kepemiluan merupakan suatu hal yang urgent bagi
penyelenggara pemilu, terutama pada tingkat ad-hoc, karena keberadaan
mereka merupakan garis pertama dalam keputusan-keputusan terhadap hasil
pemilu, seperti penetapan suara sah dan tidak sah. Kesalahan keputusan atas
penetapan hasil pemilu, seperti sah atau tidaknya suara pada waktu perhitungan
akan berimplikasi terhadap penetapan hasil pemilu pada rentang yang lebih
luas. Bekal kapasitas kepemiluan bagi penyelenggara pemilu pada tingkat adhoc, terutama KPPS akan membuat kualitas pemilu menjadi lebih baik.
Bimbingan teknis (Bimtek) kepemiluan telah dilakukan KPU dan jajaran
dibawahnya secara berjenjang/ hirarki, mulai dari tingkat KPU Provinsi, KPU
Kabupaten, PPK, PPS sampai dengan KPPS. Untuk lebih memperkuat kapasitas
penyelenggara di tingkat ad hoc, KPU menerbitkan buku panduan KPPS, yang
didalamnya juga memuat materi tentang tata-cara mencoblos bagi pemilih yang
hasilnya dapat dinilai sah atau tidak sah.
Gambar 1. Hirarki Bimtek Penyelenggara Pemilu
BIMTEK
ANGGOTA KPU
KAB/ KOTA
BIMTEK
ANGGOTA
PPK
BIMTEK
ANGGOTA
PPS
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
BIMTEK
ANGGOTA
KPPS
16
Secara umum, penyelenggaraan Bimtek telah dilaksanakan kepada seluruh
perangkat penyelenggara pemilu secara berjenjang. Menurut Ketua KPU Provinsi
Banten, penyelenggaraan pelatihan secara berjenjang ini sesuai dengan
pentunjuk KPU Pusat. Hanya saja, keterbatasan anggaran menyebabkan
penyelenggaraan Bimtek tidak dapat melibatkan seluruh penyelenggara pemilu
terutama pada tingkat ad-hoc. Pagu anggaran yang telah ditetapkan pada tingkat
pusat, dinilai tidak memperhatikan proporsi wilayah kerja KPU di tingkat di
daerah; provinsi dan kabupaten, karena tidak ada perbedaan besaran anggara
operasional, termasuk anggaran Bimtek, antara KPU di daerah dengan cakupan
wilayah kerja yang luas dan jumlah pemilih yang lebih besar dengan KPU yang
cakupan wilayah kerja lebih kecil dan jumlah pemilihnya lebih sedikit, seperti
KPU Kabupaten Bogor dan KPU Kota Depok memiliki pagu anggaran yang sama,
sehingga dalam memberikan Bimtek kepada penyelenggara pemilu di tingkat adhoc, mulai dari tingkat PPK, PPS dan KPPS hanya dapat melibatkan perwakilan
dari unsur PPK, PPS dan KPPS, dengan harapan mereka dapat mensosialisasikan
kembali hasil Bimtek kepada masig-masing anggotanya. Demikian pula dengan
pengadaan buku panduan pemilu yang sangat penting, dicetak dalam jumlah
yang tidak sesuai dengan proporsi penyelenggara pemilu ditingkat ad-hoc,
sehingga pendistribusiannya hanya diberikan 1 buku kepada masing-masing
PPK, PPS dan KPPS, dan diharapkan kerelaan dari penyelenggara untuk secara
swadaya meperbanyak dengan cara dicopy apabila dibutuhkan.
Di Provinsi Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat penyelenggaran Bimtek bagi
PPK, PPS dan KPPS dilakukan dengan hanya melibatkan representasi dari
masing-masing unsur, terdiri dari 1 sampai dengan 2 orang mulai dari PPK, PPS,
dan KPPS.
KPU provinsi Banten mengadakan bimtek terhadap anggota KPU Kabupaten /
Kota secara serentak sebanyak satu (1) kali yang dihadiri oleh seluruh anggota
KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Banten termasuk anggota KPU daerah di Dapil
II Banten (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon). Narasumber
bimtek terhadap anggota KPU Kabupaten/Kota adalah KPU Provinsi Banten
dengan satu diantara materi bimteknya adalah ketentuan-ketentuan terkait
suara sah dan tidak sah pada pemilu legislatif 2014.
Dengan pendekatan yang sama, Bimtek juga dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa
Barat dan Jawa Tengah terhadap KPU Kabupaten/Kota di kedua provinsi
tersebut. Berdasarkan pertimbangkan luas wilayah kerja KPU provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Barat, bimtek dilakukan secara bertahap berdasarkan
kedekatan masing-masing wilayah kabupaten/Kota di kedua provinsi tersebut.
Peserta bimtek di tingkat KPU Kabupaten/Kota di Jawa Barat hanya
menghadirkan 3 orang peserta di tiap KPU Kabupaten/ Kota yang terdiri dari
Dua (2) orang komisioner dan Satu (1) orang sekretaris KPU Kabupaten/ Kota.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
17
Menurut anggota KPU provinsi Jawa Barat, hal ini dilakukan karena ketersediaan
anggaran bimtek KPU Provinsi Jawa Barat yang terbatas.
Di tingkat kabupaten/kota, KPU Kabupaten/Kota melakukan bimtek terhadap
penyelenggara pemilu di tingkat Kecamatan (PPK). Di Kabupaten Serang, Bimtek
terhadap PPK dilakukan sebanyak satu (1) kali dengan menghadirkan seluruh
anggota PPK termasuk sekretaris PPK dengan narasumber KPU Kabupaten
Serang dan KPU Provinsi Banten. Menurut Ketua KPU Kabupaten Serang, dengan
menghadirkan seluruh anggota PPK sebagai peserta bimtek diharapkan masingmasing anggota dapat saling melengkapi informasi dan pemahaman yang
didapat selama bimtek. Salah satu materi yang digunakan dalam bimtek adalah
Buku Panduan KPPS yang diterbitkan oleh KPU Pusat. Sama halnya dengan KPU
Kabupaten Serang, bimtek yang dilakukan oleh KPU Kota Cilegon menghadirkan
seluruh anggota PPK di tiap kecamatan di Kota Cilegon. Bimtek dilakukan
sebanyak Satu (1) kali dengan menghadirkan anggota KPU Provinsi Banten dan
KPU Kota Cilegon sebagai Narasumber. Berbeda dengan Banten, bimtek KPU
Kabupaten/Kota terhadap PPK di provinsi Jawa Barat hanya menghadirkan 3
orang peserta di tiap PPK yang terdiri dari Dua (2) orang anggota PPK dan Satu
(1) orang sekretaris PPK.
Pola bimtek di tingkat kecamatan (PPK) secara substansi sama halnya dengan
bimtek pada jenjang sebelumnya, peserta bimtek adalah panitia penyelenggara
di tingkat desa / kelurahan (PPS) terkecuali bimtek yang dilakukan oleh PPK
Kramat Watu Kabupaten Serang, selain menghadirkan Dua (2) anggota PPS,
bimtek juga diikuti oleh Dua (2) anggota anggota KPPS. Pada bimtek tingkat PPK
Kramat Watu, PPK Cibeber dan PPK Cileungsi selain PPS, bimtek juga dihadiri
oleh anggota Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam).
Terkait dengan efektifitas bimtek dinilai kurang efektif karena jumlah peserta
bimtek yang terlalu banyak dan sedikitnya materi simulasi proses penghitungan
dan rekapitulasi suara sebagai faktor yang mempengaruhi kapasitas
penyelenggara pemilu terhadap setiap tahapan penyelenggaraan pemilu
legislatif 2014, sementara peserta Bimtek terlalu banyak sehingga tidak fokus
memperhatikan presentasi dan simulasi materi. Kritik terhadap efektifitas
penyelenggaraan disampaikan oleh salah seorang PPS di Desa Winong
Kabupaten Semarang bahwa Bimtek tidak efektif karena pada tingkat
implementasi tidak sesuai dengan apa yang disampaikan pada saat Bimtek,
seperti penerbitan surat edaran dari KPU pada detik-detik terakhir menjelang
pemungutan suara terkait dengan diskualifikasi salah seroang kandidat DPD dan
DPRD Kabupaten, sehingga menganulir apa yang telah disampai pada Bimtek.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
18
Menurut anggota Panwascam Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang,
bimtek di tingkat kecamatan lebih mirip seminar ketimbang sebuah pelatihan
bimbingan teknis, hal ini disebabkan karena banyaknya peserta yang terlibat
dalam bimtek. Meskipun peserta dibekali dengan buku panduan bagi KPPS
namun dengan bimtek yang berjalan normatif dan umum, bimtek dinilai tidak
efektif dalam membekali kemampuan teknis bagi PPS dan KPPS dalam
menyelengarakan pemilu di tingkat desa dan TPS. Menurut Panwascam Kramat
Watu Kabupaten Serang, indikasi tidak efektifnya bimtek ini terlihat dari
rendahnya pemahaman PPS dan KPPS dalam kaitannya dengan fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh Panwascam. Pada pelaksanaan pemilu legislatif
2014 masih ditemukan adanya anggota KPPS yang tidak memberikan akses
terhadap Form C1 kepada Petugas Pengawas Lapangan (PPL). Hal senada
disampaikan oleh PPK Cibeber Kota Cilegon, singkatnya waktu pelaksanaan
bimtek membuat simulasi proses penghitungan dan rekapitulasi menjadi tidak
efektif, padahal simulasi ini menjadi penting untuk menggambarkan proses
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara mengingat sebagian besar
anggota PPS dan KPPS enggan membaca buku panduan KPPS. Meskipun
demikian, PPK Kramat Watu, PPK Cibeber dan PPK Cileungsi sepakat
mengatakan bahwa bimtek adalah penyegaran (up grading) terhadap anggota
PPS dan KPPS, yang sebagian besar diantaranya sering terlibat sebagai anggota
panitia pemilihan baik pada pemilu nasional ( 2004 dan 2009) maupun pada
pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kualitas SDM dalam perekrutan anggota KPPS juga menentukan kapasitas
penyelenggara pemilu. Sebagian besar PPS mengaku kesulitan merekrut anggota
KPPS yang memiliki kemauan dan kemampuan sebagai KPPS sebagaimana yang
diamanatkan dalam aturan tertulis KPU. Di tingkat pengawas pemilu, tidak
berimbangnya jumlah Petugas Pengawas Lapangan (PPL) dibandingkan dengan
jumlah TPS berimplikasi kepada tidak maksimalnya fungsi PPL sebagai mitra
kerja PPS dan KPPS dalam mengawal proses pemungutan dan penghitungan
suara di tingkat TPS.
Persyaratan anggota PPK, PPS dan KPPS mengacu pada aturan yang dibuat oleh
KPU seperti berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun, berpendidikan
paling rendah SLTA atau yang sederajat sebagaimana yang diatur dalam Surat
Edaran (SE) KPU tentang Pengangkatan Anggota KPPS Pemilu tahun 2014. Fakta
di lapangan bahwa persyaratan tersebut sulit untuk diimplemementasikan,
karena sulit untuk merekrut KPPS sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Menurut Ketua PPS Desa Terate, Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang,
sangat sulit memenuhi persyaratan anggota KPPS sebagaimana yang tertuang
dalam aturan KPU tersebut. Ketersediaan SDM yang ada di tingkat desa menjadi
kendala utama dalam merekrut anggota KPPS. Di PPS Desa Terate Kecamatan
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
19
Kramat Watu Kabupaten Serang masih ditemukan anggota KPPS yang hanya
berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Pengakuan yang sama juga dilontarkan oleh
ketua PPS Cibeber Kecamatan Cibeber Kota Cilegon dan PPS Limus Nunggal
Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, menurut ketua PPS Cibeber, Kecamatan
Cibeber, Kota Cilegon, bagi sebagian besar masyarakat, tugas dan tanggungjawab
menjadi KPPS sangat berat jika dibandingkan dengan “penghargaan” yang
didapat sehingga banyak SDM yang memenuhi kriteria tidak berkenan menjadi
anggota KPPS. Untuk mengatasi hal ini, PPS Desa Limus Nunggal Kecamatan
Cileungsi menunjuk perangkat desa seperti pengurus RT dan RW sebagai
anggota KPPS. Sebagian besar PPS hanya merekrut ketua KPPS saja selanjutnya
ketua KPPS yang merekrut anggotanya.
Dari sisi pengawas pemilu, cakupan wilayah pengawasan dan jumlah petugas
pengawas lapangan (PPL) yang tidak berimbang diakui oleh panwascam Kramat
Watu dan Panwascam Cileungsi. Proporsi jumlah PPL juga ditemukan tidak
berimbang antara satu desa dengan desa lainnya di wilayah kecamatan yang
sama. Menurut panwascam hal ini menyebabkan PPL tidak mampu memberikan
pengawasan maksimal pada tiap TPS terutama pada proses penghitungan suara
di tingkat TPS. Namun demikian untuk mengatasi hal ini, panwascam
memberikan skala prioritas pengawasan terhadap PPS atau KPPS yang dianggap
memiliki tingkat potensi pelanggaran yang tinggi.
Pemahaman Suara Tidak Sah
Pengadministrasian hasil suara pemilu legislatif (Pileg) dicatat dalam sertfikat
rekapitulasi perhitungan suara mulai dari tingkat KPPS hingga KPU Provinsi.
Masing-masing sertifikat di setiap rekapitulasi hasil perhitungan suara Pileg
diberikan kode tersendiri. Kode C1 untuk sertfikat di tingkat KPPS atau TPS, D1
di tingkat PPS, DA-1 di tingkat PPK, DB-1 di tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan
DC1 di tingkat KPU Provinsi. Di dalam sertifikat termuat 3 jenis kolom yang
harus diisikan oleh petugas/penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan, yaitu:
kolom I adalah kolom Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih, kolom II adalah
kolom Data Penggunaan Hak Suara, dan kolom III adalah kolom Suara Sah dan
Tidak Sah. Dalam hal suara tidak sah, KPU telah memberikan petunjuk mengenai
surat suara yang dinilai sah dan tidak sah berdasarkan cara mencoblos. Terdapat
15 poin cara mencoblos yang dinilai sah dalam memberikan suara dan 4 poin
cara mencoblos yang menyebabkan suara tidak sah. Keempat poin tersebut
sebagai berikut:
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
20
No
Cara Mencoblos Tidak Sah Surat Suara Pileg DPR RI 2014
Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan
1
nama Partai Politik, Sedangkan tanda coblos calon terletak pada partai
politik yg berbeda, suaranya dinyatakan TIDAK SAH
Tanda coblos terletak hampir mengenai garis/diluar kolom pada kolom
2
yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik,
suaranya dinyatakan TIDAK SAH
Tanda coblos terletak diantara kolom Partai Politik, suaranya
3
dinyatakan TIDAK SAH
Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan
nama Partai Politik, DAN tanda coblos pada kolom yang memuat nomor
4
urut dan nama calon, SERTA ada tanda coblos diluar kolom, suaranya
dinyatakan TIDAK SAH
Sumber: Buku Panduan KPPS, Pemilu Legislatif 2014
Penjelasan KPU mengenai surat suara tidak sah adalah dalam kerangka tata-cara
pencoblosan, karena memang sebagai hal yang paling mudah dijelaskan untuk
mengantisipasi kesalahan pada tingkat pencoblosan maupun pada tingkat
penulisan hasil. Kesalahan yang bersumber dari kesalahan pencatatan oleh
petugas (human error) dinilai akan dapat terdeteksi melalui proses pencatatan
dan pendokumentasian rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilu legislatif
yang dilakukan secara berjenjang.
Pada praktiknya, penjelasan KPU mengenai suara sah dan tidak sah yang
seyogyanya telah tersosialisasi secara baik melui Bimtek, tidak secara efektif
memberikan pemahaman yang benar dan seragam kepada semua petugas di
tingkat ad-hoc, seperti KPPS. Sebagaimana yang dinyatakan oleh anggota KPU
Provinsi Jawa Barat bahwa kesalahan penetapan suara tidak sah satu
diantaranya karena KPPS masih mengikuti ketentuan yang berlaku pada pemilu
2009. Pada pemilu legislatif 2014, apabila surat suara dicoblos lebih dari satu di
nomor urut dan nama caleg dalam parpol yang sama, maka suaranya dihitung 1
(satu) untuk parpol, sedangkan hal yang sama pada pemilu 2009 cara
pencoblosan seperti ini dianggap tidak sah.
Menurut anggota KPU Provinsi Jawa Barat, potensi kesalahan pada proses
penghitungan suara akan terjadi jika panitia penyelenggara pemilu seperti
anggota KPPS yang pernah bertugas sebagai KPPS pada pemilu sebelumnya
tidak melakukan up grade pemahaman atas penetapan suara sah dan tidak sah
pada pemilu legislatif 2014. Namun demikian potensi kesalahan ini sangat kecil
terjadi pada proses akhir penetapan perolehan suara sah dan tidak sah, karena
proses penghitungan dan rekapitulasi yang berjenjang mulai dari tingkat PPS,
PPK, KPU Kabupaten / Kota sampai KPU Provinsi yang juga diikuti oleh saksi dan
pengawas pemilu.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
21
Secara umum pemahaman penyelenggara pemilu terhadap suara sah dan tidak
sah cukup baik. Beberapa kesalahan yang terjadi pada proses pengitungan dan
rekapitulasi adalah pada tahap pencatatan hasil penghitungan kedalam form
rekapitulasi perolehan suara seperti kesalahan penulisan pada kolom dan baris
yang tersedia pada masing-masing form.
Pemahaman penyelenggara pemilu terkait dengan tahapan penentuan suara sah
dan tidak sah dinilai anggota PPK Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang
sudah cukup baik, hal ini terlihat dari sedikitnya pertanyaan yang muncul dari
PPS dan KPPS dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara, demikian
halnya dengan tahapan penghitungan suara yang dimulai dari DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Hal yang sama diutarakan oleh Ketua PPK
Kecamatan Cibeber Kota Cilegon dan ketua PPK Cileungsi Kabupaten Bogor,
penentuan suara sah dan tidak sah menjadi fokus utama pada saat bimtek
terhadap PPS dan KPPS. Namun demikian paska bimtek semua PPK mengakui
jika masih ada PPS dan KPPS yang berkonsultasi terkait dengan penentuan suara
sah dan tidak sah.
“Paska bimtek termasuk pada proses penghitungan dan rekapitulasi
suara, masih ada anggota PPS dan KPPS yang berkonsultasi terkait suara
sah dan tidak sah, sebagian besar pertanyaan yang muncul adalah kasuskasus yang sudah diatur jelas dalam buku panduan KPPS. Kejadian ini
kami duga karena KPPS tidak memahami dengan baik buku panduan
KPPS” 2.
Hal yang sama juga terjadi di PPS Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi
Kabupaten Bogor, konsultasi paska bimtek juga terjadi termasuk pada proses
penghitungan dan rekapitulasi, pemahaman KPPS yang kurang atas penentuan
suara sah dan tidak sah justru menimbulkan perdebatan antara KPPS dan saksi
partai politik.
“Konsultasi ini sengaja kami buka sebagai cara untuk menyelesaikan
kendala di lapangan secara lebih dini. Ada kasus konsultasi dilakukan
oleh KPPS ketika saksi begitu dominan di TPS tersebut. KPPS yang tidak
memiliki pemahaman yang utuh atas suara sah dan tidak sah membuat
saksi menjadi dominan dalam menentukan suara sah dan tidak sah, pada
kasus seperti ini kami menjadikan buku panduan KPPS sebagai acuan
bersama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat terkait penentuan
suara sah dan tidak sah” 3
2
3
Hasil wawancara dengan PPK Kramat Watu tanggal 08 Agustus 2014
Hasil wawancara dengan PPS Limus Nunggal tanggal 27 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
22
Menurut dosen ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, salah satu faktor
yang paling menjamin pemahaman penyelenggara pemilu atas ketentuan
mengenai suara sah dan tidak sah adalah jika penyelenggara pemilu membaca
dan memahami dengan baik semua ketentuan KPU mengenai pelaksanaan
pemilu legislatif 2014 termasuk buku panduan KPPS yang diterbitkan oleh KPU.
Temuan di Jawa Tengah Dapil III mengindikasikan asimetri informasi dari
penyelenggara pemilu mengenai suara tidak sah yang sekaligus
mengimplikasikan variasi pemahaman mengenai alokasi suara tidak sah.
Menurut Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tingginya suara sah di Jawa Tengah
Dapil III karena (1) perilaku pemilih dan (2) masalah pengadministrasian suara.
Penjelasan mengenai masalah pengadministrasian suara adalah dalam konteks
pengadministrasian hasil suara pemungutan suara ulang (PSU) di 251 TPS di
Jawa Tengah, yang mana 200 TPS sesungguhnya merupakan pemungutan suara
lanjutan (PSL) dan 51 TPS sebagai yang benar-benar PSU. Menurut Ketua KPU
Provinsi Jawa Tengah, dalam konteks ini adalah bagaimana memperlakukan
suara sebelum PSU, karena tidak ada Peraturan KPU (PKPU) yang menjelaskan
mengenai hasil suara terkait dengan PSU, maka hasil PSU tersebut dimasukkan
ke dalam kolom suara tidak sah. Pada waktu perhitungan suara di tingkat KPPS,
kotak suara lama sebelum PSU tidak dihitung karena dianggap tidak terpakai,
namun ketika diserahkan kepada KPU Provinsi, tampaknya hal tersebut menjadi
pertanyaannya, apakah surat suara dalam kotak lama sebelum PSU dianggap
tidak ada atau dimasukkan dalam kolom suara tidak sah. Kekosongan aturan
mengenai hasil suara ketika terjadi PSU mendorong ‘ijtihad’ dari KPU Provinsi
untuk menuliskannya sebagai suara tidak sah.
“Di Jawa Tengah terdapat 201 TPS yang PSU, yang murni PSU ada 51 TPS
dan 200 TPS merupakan pemungutan suara lanjutan dan rekapitulasi
ulang…Dan itu secara administrasi dimasukkan dalam kolom tidak sah,
karena PKPU tentang PSU tidak ada dan kolomnya juga tidak ada. Kalau
kotak yang lama PSU tidak dihitung, lalu kita menerima surat suara
tersebut, misal ada 500 surat suara, ketika yang terpakai 300, tapi sisanya
kok hanya 100, berarti kan yang seratus itu ada dalam kotak itu (yang
dianulir karena PSU-pen), pertanyaannya dimasukkan di mana? Karena
tidak ada kolomnya maka dimasukkan dalam suara tidak sah.”4
Pernyataan berbeda disampaikan oleh salah seorang anggota KPU Kabupaten
Pati, bahwa suara dalam kotak sebelum PSU dianggap tidak ada secara hukum,
karena pelaksanaan pemungutan suaranya dinilai cacat hukum, oleh karena itu
4
Hasil wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
23
hasilnya juga tidak bisa dipakai. Surat suaranya tidak bisa diketegorikan surat
suara rusak atau tidak sah, karena pengertian surat suara rusak dan tidak sah
tidak merujuk kepada kasus PSU.
“Surat suara PSU – kotak sebelum pelaksanaan PSU, pen. – tidak bisa
dihitung karena dianggap batal secara hukum, jadi otomatis tidak dapat
dilaporkan dalam dokumen rekapitulasi suara”5
Pada tingkat adhoc, salah seorang aggota PPS di Desa Winong, Kecamatan
Winong, memahami bahwa surat suara yang tidak dicoblos karena terdapat
pemilih yang tidak datang ke TPS dianggap sebagai suara tidak sah. Desa
Winong, sebagian penduduknya merupakan pekerja migran (TKI) di Malaysia,
banyak dari penduduk yang masih bekerja di luar negeri tidak berada di tempat
pada saat pemilu legislatif, tanggal 9 April, padahal mereka sudah terdata dalam
daftar pemilih tetap (DPT). Ketika dilaksanakan pencoblosan, banyak surat
suara yang tidak terpakai karena para pemilih yang terdata tidak mendatangi
TPS, karena tidak berada di tempat, masih berada di luar negeri. PPS
berkewajiban untuk memberikan tanda silang bagi surat suara yang tidak
dicoblos tersebut untuk menandai bahwa surat suara tersebut rusak. Hanya saja
karena kerusakannya bukan karena kerusakan surat suara atau karena salah
mencoblos, maka surat suara tersebut dilaporkan sebagai surat suara tidak sah. 6
Hal tersebut dapat menyebabkan suara tidak sah, khususnya suara tidak sah
pada tingkat DPR RI menjadi tinggi.
Penetapan dan Pencatatan Suara Sah dan Tidak Sah
Dalam pemilu legislatif 2014, diakui oleh banyak informan yang diwawancarai
bahwa berkas-berkas perhitungan dan rekapitulasi suara terlalu komplek,
sangat banyak kolom yang harus ditulis oleh petugas yang berkonsekuensi
waktu dan konsentrasi, sehingga human error atau kesalahan pada saat
pencatatan hasil pemilu pada tahap perhitungan dan rekapitulasi suara
berpotensi dilakukan oleh KPPS, PPS dan PPK.
Kesalahan dalam mengisi form rekap diakui oleh PPK Kramat Watu dan PPK
Cileungsi di lokasi studi bahwa masih ada KPPS dan PPS yang melakukan
kesalahan pada tahap pencatatan perolehan suara yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Umumnya kesalahan yang terjadi adalah penempatan
penulisan dan penjumlahan perolehan suara tidak pada baris atau kolom yang
seharusnya. Hal ini tidak merubah data perolehan suara masing-masing caleg
5
6
Hasil wawancara dengan anggota KPU Kab. Pati, tanggal 11 Agustus 2014
hasil wawancara dengan PPS Desa Winong, Kabupaten Pati, Tanggal, 9 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
24
maupun partai, namun hal ini berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan
dalam penyelesaian rekapitulasi di tingkat kecamatan (PPK).
Kesalahan dalam proses pencatatan tersebut dapat dideteksi dan dikoreksi
dalam pencermatan di tingkat rekapitulasi suara oleh PPS atau PPK.7 Hal yang
perlu digarisbawahi adalah kesalahan pencatatan dapat dipengaruhi oleh tingkat
konsentrasi yang lemah karena faktor keletihan, namun apabila kesalahan
terjadi pada penjumlahan suara, bukan terletak pada pada baris atau kolom yang
seharusnya, maka kesalahan tersebut lebih mengindikasikan kepada efektifitas
Bimtek yang diselenggarakan.
Beberapa kesalahan lainnya yang terjadi di tingkat PPS adalah melaksanakan
tahapan penghitungan suara berdasarkan prosedur yang seharusnya, yaitu
dimulai dari DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Menurut
Ketua PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, di salah satu
TPS proses perhitungan suara tidak dimulai dari perhitungan suara DPR, mereka
langsung menghitung suara untuk DPRD Kabupaten/Kota, hal tersebut
dilakukan atas usulan dan desakan saksi partai yang lebih mengutamakan untuk
melakukan pencatatan atas hasil perolehan suara caleg provinsi dan kabupaten,
namun hal tersebut hanya di beberapa TPS saja. Ketua PPS Desa Terate
menyayangkan adanya saksi yang meninggalkan TPS sebelum semua proses
penghitungan selesai dilakukan, sehingga banyak TPS yang pengesahan suara
sah untuk DPR, tidak ditandatangani oleh semua saksi parpol. Sementara itu,
terkait dengan kesalahan pencatatan perolehan suara pada form, baik PPS
maupun KPPS mengakui hal tersebut disebabkan oleh faktor kelelahan yang
dialami oleh anggota KPPS yang bertugas pada proses pencatatan perolehan
suara. Sebagian besar anggota KPPS mengaku menyelesaikan tugas mereka di
TPS sampai dengan dini hari.
Panwascam Kramat Watu Kabupaten Serang menilai, faktor kelelahan yang
dialami oleh anggota KPPS disebabkan karena tugas untuk melakukan proses
penghitungan dan pencatatan hanya ditumpukan pada anggota KPPS yang
mengikuti bimtek saja sementara anggota KPPS yang lain tidak memiliki
kemampuan untuk mengambil alih tugas penghitungan dan pencatatan. Hal ini
disebabkan anggota KPPS yang mengikuti bimtek tidak menularkan pemahaman
pada saat bimtek kepada anggota KPPS yang lain, sehingga kemampuan atas
pemahaman suara sah dan tidak sah, serta kemampuan teknis dalam melakukan
penghitungan dan pencatatan menjadi tidak merata antar anggota KPPS.
7
Hasil wawancara dengan PPK Kramat Watu tanggal 11 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
25
Selain faktor kelelahan dan distribusi pekerjaan yang tidak merata di antara
sesama anggota KPPS, menurut PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu
Kabupaten Serang, ketersediaan SDM di KPPS juga mempengaruhi kinerja
pelaksanaan pemilu terutama pada tahap pemungutan dan penghitungan suara,
pada TPS 2 misalnya, dari 7 orang anggota KPPS, 1 orang berpendidikan sarjana,
4 orang berpendidikan SMU dan 2 orang berpendidikan SD.
Menurut anggota Bapilu partai Demokrat Kabupaten Serang, keberatan saksi
partai atas penyelenggara pemilu yang terkait penetapan suara sah dan tidak sah
relative sedikit , secara umum yang terjadi pada proses pengitungan di tingkat
TPS dan rekapilutulasi di tingkat PPS, PPK dan KPU adalah kesalahan dalam
penempatan atau penulisan angka perolehan suara. Meskipun hal ini tidak
berpengaruh pada suara sah dan tidak sah namun kesalahan kecil seperti ini juga
harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu kedepan.
Menanggapi kesalahan pada tingkat implementasi ini, dosen ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menjelaskan secara teknis, banyaknya form
yang harus dilengkapi oleh KPPS dan ketersediaan waktu yang sangat sempit
berkontribusi besar dalam tingkat kesalahan yang mungkin terjadi di tingkat
TPS. Faktor kelelahan yang dialami oleh anggota KPPS menjadi tidak
terhindarkan ketika tingkat konsentrasi menurun pada bagian-bagian penting
dari proses pemungutan dan pengitungan suara yang membutuhkan konsentrasi
tinggi.
Aspek Perilaku Pemilih
Pemahaman Tata-cara Mencoblos
Keikut-sertaan banyak partai dan banyak calon anggota legislatif, berimplikasi
terhadap kompleksitas surat suara yang harus dicobolos oleh masyarakat, baik
pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten, termasuk juga DPD.
Khusus untuk pemilihan anggota DPR RI, diikuti oleh 6.068 calon anggota
legislatif yang akan memperebutkan 560 kursi yang tersebar di 77 daerah
pemilihan (dapil). Oleh karena itu, dapat dibayangkan struktur surat suara
(ballot stucture) yang harus memuat nama-nama calon anggota legislatif dan
partai pengusung masing-masing calon, sehingga mudah dilihat dan dibaca oleh
masyarakat dan nama-nama yang termuat dalam surat suara dapat dengan
benar dicoblos. Agar tidak terjadi kesalahan dalam mencoblos yang
mengakibatkan suara tidak sah, KPU menetapkan 15 kategori coblosan yang
dinilai sah dan 4 kategori coblosan yang dinilai tidak sah. Agar masyarakat
memahami tata-cara mencoblos dengan benar sehingga suara yang diberikan
adalah sah, KPU telah melakukan sosialisasi tata-cara mencoblos melalui PPK,
PPS dan KPPS.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
26
Di ketiga lokasi studi, sosialisasi tata-cara mencoblos oleh KPPS dilakukan
dengan pola yang hampir sama, yaitu melalui pertemuan-pertemuan informal
rukun tangga (RT) atau pengajian/yasinan. Hal ini diakui lebih efektif daripada
sosialisasi yang dilakukan dalam format formal, seperti seminar dan sejenisnya.
Di sisi lain sosialisasi pemilu oleh KPU melalui mass-media, cetak maupun
elektronik lebih fokus untuk mengajak masyarakat datang ke TPS pada tanggal 9
April.
Sosialisasi tata-cara mencoblos juga dilakukan oleh tim sukses calon legislatif
dalam rangka mendorong masyarakat memilih calon yang didukungnya.
Terkadang juga calon anggota legislatif (caleg), biasanya dari calon anggota
legislatif DPRD, hadir dalam sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh PPK atau
PPS. Kehadiran caleg pada dinilai tidak produktif karena akan menjadi preseden
yang kurang baik dalam hal relasi perangkat KPU di tingkat adhoc dengan caleg.
“Kehadiran caleg dan tim sukses ini membuat PPK dan PPS lebih berhatihati dalam melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat. Kami
khawatir ada kesalahpahaman yang timbul seolah-olah PPK dan PPS
berpihak pada salah satu partai atau caleg”. 8
Sosialisasi pemilu selain dilakukan secara langsung melalui pertemuan dengan
masyarakat, sosialisasi juga dilakukan melalui media cetak, elektronik dan media
luar ruang seperti spanduk dan baliho. Media sosialisasi yang digunakan
berjenjang sesuai jangkauan media di tiap jenjang penyelenggara pemilu.
Sosialisasi menggunakan media massa secara berjenjang ini dinilai oleh KPU
Serang kurang efektif, mengingat sulitnya mendapatkan media massa yang
paling tepat untuk menjangkau pemilih dalam jumlah besar dan merata di satu
wilayah kabupaten.
“Menggunakan radio sebagai media sosialisasi di tingkat kabupaten tentu
bukan pilihan yang baik mengingat segmentasi pendengar radio yang
terbatas dan kecenderungan masyarakat saat ini yang makin sedikit
menggunakan radio sebagai media untuk mendapatkan informasi” 9
Pelaksanaan pemilu lokal (pilkada) juga memberikan konstribusi terhadap
masyarakat tentang bagaimana cara memilih atau mencoblos yang benar. Ketua
PPK Cileungsi Kabupaten Bogor menyampaikan bahwa secara teknis
pencoblosan, pemilih tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pencoblosan
dengan benar, karena pemilu 2014 adalah bukan pemilu pertama bagi sebagian
8
9
Hasil wawancara dengan PPK Cibeber, Kota Cilegon tanggal tanggal 11 Agustus 2014
Hasil wawancara dengan KPU Kabupaten Serang tanggal 08 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
27
besar pemilih, terlebih di daerah juga ada pilkada Bupati dan Gubernur yang
proses tata cara pencoblosan untuk suara sah relatif sama.10 Selain itu,
pemilihan kepala juga telah memberikan pengalaman kepada masyarakat
tentang bagaiamana memilih yang benar.11 Meski secara umum masyarakat
telah memahami bagaimana cara mencoblos, kelompok usia lanjut buta huruf di
wilayah pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang sulit diberikan
pemahaman bagaiman cara mencoblos yang benar.12
Willingness to Vote dan Modus Suara Tidak Sah
Sejak pemilu dilaksanakan dengan cara masyarakat memilih langsung calon
legislatif di berbagai tingkatan, telah membentuk ‘kesadaran’ politik masyarakat
yang cukup baik untuk menentukan pilihan pada saat pemilu. Dibalik suara tidak
sah, sesungguhnya mengimplikasikan kesadaran politik pemilih yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari perilaku partai politik. 13 Dengan kata lain,
menganalisa fenomena suara tidak sah masih sah saja tinggi mulai dari pemilu
tahun 2009, kiranya perlu melihat perilaku partai politik dalam melakukan
pendekatan politik ke masyarakat.
Pada pemilu legislatif yang lalu, ketika mendatangi TPS masyarakat cenderung
mengatakan “negara minta milih, kita milih”, atau “yang penting menggugurkan
kewajiban”.
Menggaris bawahi ungkapan “yang penting menggugurkan
kewajiban” merupakan ungkapan yang dapat dilihat dari dua perspektif dan
konteks, yaitu (1) sikap yang ‘skeptis’ terhadap pemilu, dan (2) sikap imbal balik
dari sesuatu yang mereka terima. Sikap ‘skeptis’ terhadap pemilu merefleksikan
kesadaran yang sesungguhnya mempertanyakan pengaruh pemilu terhadap
kehidupan mereka, karena pemilu lebih dilihat dalam kerangka kewajiban warga
negara daripada sebagai hak. Sehingga kedatangan mereka ke TPS lebih sebagai
bentuk kepatuhan sebagai warga negara, daripada sebagai bentuk kesadaran
untuk menyalurkan aspirasi politik dengan memilih calon anggota lagislatif.
Sedangkan yang kedua merupakan bentuk sikap yang lahir dari kesadaran
penuh atas imbal balik dari ‘pemberian’ yang diterima oleh masyarakat dari tim
sukses calon anggota legislatif yang menuntut komitmen untuk memilih calon
anggota legislatif tertentu yang diminta.
Dalam kontek suara tidak sah, sikap ‘skeptis’ terlihat dari adanya blanko surat
suara yang tidak dicoblos, meski dimasukkan dalam kotak suara, sehigga tidak
dapat dihitung dan dinyatakan tidak sah. Seperti pernyataan Ketua TPS 6
Kelurahan Cibeber, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon bahwa sebagain besar
Hasil wawancara tanggal 27 Agustus 2014
Hasil wawancara dengan anggota KPU Kab. Bogor 25 Agustus 2014
12 Hasil wawancara dengan PPK Kecamatan Winong, Pati, Jawa Tengah, tanggal 11 Agustus 2014
13 Hasil wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014
10
11
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
28
suara tidak sah pada pemilu legislatif 2014 adalah kertas suara blangko (kertas
suara tidak dicoblos).
Untuk mengantisipasi hal ini, sesungguhnya KPU Kota Cilegon telah
mengupayakan sosialisasi yang tidak terbatas tentang tata-cara mencoblos, juga
sosialisasi yang menggugah kesadaran mereka tentang pentingnya pemilu 2014,
baik yang dilakukan oleh KPU Kota Cilegon sendiri maupun melalui perangkat
pemilu di tingkat ad-hoc; PPS dan KPPS melalui pertemuan-pertemuan informal
yang ada di masyarakat. Di Kabupaten Serang, KPU Kabupaten Serang juga
mendorong partai politik dan calon anggota legislatif untuk melakukan
sosialisasi pemilu secara langsung kepada pemilih, seperti pemilih pemula, pada
saat masa kampanye, karena hal tersebut disamping sebagai bentuk kampanye,
juga merupakan pendidikan politik. Hal ini diakui memang sulit terlaksana,
karena parpol dan calon anggota legislatif cenderung lebih melakukan kampanye
politik.
Tidak dikenal maka tidak dipilih merupakan ungkapan yang dapat memberikan
deskripsi mengenai satu diantara penyebab fenomena suara tidak sah. Di
Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, terdapat variasi perbedaan
perolehan suara yang cukup signifikan dimana jumlah suara tidak sah akan
semakin besar jumlahnya ketika jarak calon anggota legislatif semakin jauh dari
pemilih. Jumlah Suara tidak sah untuk DPR sebagian besar dibiarkan kosong
(tidak dicoblos), karena pemilih tidak mengenal calon anggota legislatif DPR di
wilayahnya. Meski sesungguhnya surat suara tidak sah karena tidak dicoblos
banyak terdapat di surat suara untuk DPD karena masyarakat tidak mengenal
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga tidak antusias untuk
memilih mereka. Kondisi ini dinilai wajar, sebagaimana penilaian anggota KPU
Kabupaten Pati dan Bogor, karena sosialisasi calon anggota DPR dan DPD kurang
terdengar bahkan dapat dikatakan samasekali tidak ada, sehingga kurang
dikenal dibandingkan calon anggota legislatif.
Adapun suara tidak sah yang disebabkan oleh ketidaktahuan pemilih mengenai
tata cara pencoblosan, menurut Ketua PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu
Kabupaten Serang mungkin saja terjadi, terutama untuk pemilih usia lanjut
meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit. Sedikitnya sosialisasi yang dilakukan
oleh caleg DPR membuat sebagian besar pemilih tidak memiliki pengetahuan
tentang profil calon yang berkonsekuensi logis terhadap rendahnya tingkat
keinginan untuk mencoblos kertas suara DPR. Situasi ini terjadi di semua lokasi
studi. Terlebih, calon anggota legislatif secara etnis tidak merepresentasikan
wilayah daerah pemilihannya, seperti di Kabupaten Bogor, calon anggota
legislatif DPR RI dari salah satu partai pemenang pemilu 2014 tidak ada yang
merepresentasikan etnis daerah pemilihannya. Hal ini disayangkan oleh salah
seorang anggota KPU Kabupaten Bogor, menurutnya partai seharusnya
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
29
mempertimbangkan keterwakilan calon anggota legislatif (DPR-pen.) dari
wilayah yang menjadi daerah pemilihannnya, karena bagaimanapun hal tersebut
menjadi salah pertimbangan pilihan politik.14 Menurut anggota PPS Desa Limus
Nunggal Kabupaten Bogor, pada proses penghitungan suara di tingkat TPS,
masyarakat pemilih dan saksi sangat antusias pada proses penghitungan
perolehan suara caleg DPRD Kabupaten/ Kota terutama jika terdapat caleg yang
berasal dari desa tersebut.
Menanggapi hal ini, dosen ilmu politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Banten menyampaikan bahwa membangun hubungan emosional yang baik
dengan pemilih adalah hal paling utama yang harus dibangun oleh calon anggota
legislatif yang ingin memenangkan proses pemilihan. Sosialisasi yang dilakukan
oleh caleg baik secara langsung maupun melalui tim sukses serta melalui media
massa sangat mempengaruhi pengetahuan pemilih untuk memutuskan
dukungan suara pada proses pemilihan. Sosialisasi terbaik adalah dengan
menemui langsung pemilih pada tingkat komunitas untuk memperkenalkan diri
maupun menyampaikan program yang akan dilakukan, bagi pemilih tertentu,
terkadang program menjadi buka hal paling utama ketika pemilih sudah
mengenal baik calon anggota legislatif.
Modus suara tidak sah lainnya adalah terdapat coblosan ganda pada kolom yang
berbeda. Temuan di ke-tiga lokasi studi di Provinsi Banten, Jawa Tengah dan
Jawa Barat bahwa surat suara tidak sah diantaranya karena pencoblosan ganda.
Perilaku mencoblos ganda dapat dikategorikan karena dua hal: (1) dimotivasi
oleh adanya pemberian uang atau barang dari para caleg agar mereka memilih
para caleg tersebut, (2) faktor kesalahan pencoblosan, yang mana pada saat
pencoblosan, surat suara tidak dibuka secara benar, sehingga semua kolom
tercoblos yang menyebabkan lubang coblosan lebih di satu kolom, dan (3)
karena masyarakat lebih kenal atau lebih menyukai partai daripada caleg
sehingga mereka terdorong lebih memilih caleg dari partai yang berbeda.
Modus coblosan ganda karena disebabkan adanya praktik politik uang dari para
calon anggota legislatif terkonfirmasi dari informasi yang disampaikan oleh
Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, Anggota KPU Kab. Pati, Anggota KPU
Kabupaten Bogor, PPK, PPS dan KPPS di Kecamatan Winong Kabupaten Pati dan
Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor. Di Jawa Tengah istilah yang lazim
terdengar dari masyarakat adalah “untuk menggugurkan kewajiban”. Istilah ini
refleksi atas sikap pemilih yang telah memberikan komitmennya untuk memilih
para caleg yang telah memberikan uang atau barang, untuk menghindari “dosa”
melanggar komitmen. Dengan cara mencoblos semua nama atau partai yang
14
Hasil wawancara dengan anggota KPU Kabupaten Bogor, tanggal 25 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
30
telah memberikan uang atau barang merupakan cara yang dapat menggugurkan
komitmen tersebut.
Coblosan ganda karena faktor kesalahan atau ketidaktahuan cara mencoblos
yang benar, dengan tidak membuka surat suara secara benar sehingga tercoblos
semua kolom yang memuat partai dan caleg. Para pemilih usia lanjut merupakan
para pelaku coblosan ganda dalam konteks ini.
“Pada saat pengitungan suara di tingkat TPS, sebagain besar kertas suara
tidak sah yang dicoblos adalah tercoblos ganda. Kasus ini karena tidak
dibukanya kertas suara secara utuh dan biasanya dilakukan oleh pemilih
usia lanjut, memang jumlahnya sedikit” 15
Peran Partai Politik
Sosialisasi Calon Anggota Legislatif DPR RI
Sosialisasi menjadi kata kunci dalam proses pemilihan anggota legislatif 2014.
Sosialisasi yang dilakukan baik oleh partai maupun caleg sangat menentukan
bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka pada saat
pemungutan suara.
Dalam konteks ini, sosialisasi calon anggota legislatif (caleg) DPR dirasa kurang
intensif bahkan tidak ada sama sekali. Sosialisasi calon anggota legislatif dengan
cara langsung mendatangi masyarakat, baik yang dilakukan oleh calon anggota
legislatif itu sendiri, baik yang dilakukan oleh tim sukses atau partai politik, lebih
intensif dilakukan oleh calon anggota legislatif ditingkat kabupaten. Sosialisasi
caleg DPR lebih cenderung dilakukan melalui media luar ruang yang lebih
bersifat impersonal, meski menampilkan foto dan nama, namun masyarakat
tidak pernah bisa mengenal profil caleg DPR yang akan dikenal secara dekat.
“Di Desa kami praktis tidak ada caleg DPR atau tim pemenangan caleg
yang melakukan sosialisasi seperti bertemu untuk berdialog dengan
masyarakat seperti yang dilakukan oleh caleg DPRD Kabupaten. Jadi
wajar jika masyarakat tidak mengenal calegnya dan memutuskan untuk
tidak menggunakan hak suaranya pada kertas suara caleg pada pemilu
legislatif yang lalu” 16
15
16
Hasil wawancara dengan KPPS 2 Terate tanggal 11 Agustus 2014
Hasil wawancara dengan PPS 2 Terate tanggal 11 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
31
Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh calon anggota legisatif (caleg) DPR
merupakan hal yang turut mempengaruhi suara tidak sah. Sebab pada saat
pemungutan suara, pemilih cenderung membiarkan surat suara DPR tidak
dicoblos atau dicoblos dengan cara tidak tepat, seperti coblos ganda di kolom
yang berbeda. Sosialisasi oleh para calon aggota legislatif (caleg) penting
dilakukan untuk memberikan pengetahuan terhadap para pemilih, sehingga
memiliki preferensi untuk memilih calon yang sesuai dengan aspirasi politik
mereka. Minimnya sosialisasi dinilai menyebabkan pemilih tidak mencoblos
caleg DPR, membiarkannya kosog, meskpiun demikian tetap dimasukkan dalam
kotak suara, sehingga suara yang diberikan menjadi tidak sah. Hal ini
disampaikan oleh seluruh penyelenggara pemilu di Dapil II Provinsi Banten baik
di Kabupaten Serang maupun di Kota Cilegon. Hal yang sama juga disampaikan
oleh penyelenggara pada tingkat adhoc di Desa Limus Nunggal (PPS) Kecamatan
Cileungsi (PPK) Kabupaten Bogor. Hal yang sama juga disampaikan oleh PPK
Kecamatan Winong, PPS dan KPPS Desa Winong, Kecamatan Winong Kabupaten
Pati, Jawa Tengah.
Terbatasnya akses, luasnya wilayah dapil dan waktu merupakan kendala paling
utama yang dihadapi oleh caleg DPR untuk melakukan sosialisasi sampai ke
tingkat pemilih paling bawah di desa. Hal ini diperparah dengan kinerja mesin
partai yang tidak bekerja cukup baik dalam memberikan dukungan sosialisasi
kepada caleg. Menurut anggota Bapilu Partai Demokrat Kabupaten Serang, salah
satu upaya untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih adalah
melalui sosialisasi. Kedekatan caleg dengan pemilih menjadi sangat penting
ketika pilihan politik masyarakat tidak linear dengan pilihan terhadap partai
politik pada tiap tingkatan pemilihan calon anggota legislatif. Pemilih mulai
selektif dalam menentukan wakil mereka pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan
Kabupaten.
Terbatasnya waktu caleg DPR seringkali menjadi kendala utama bagi partai
dalam memberikan dukungan sosialisasi langsung kepada masyarakat. Beberapa
inisiatif pertemuan langsung dengan masyarakat yang melibatkan caleg DPR,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam satu wilayah pemilihan yang
sama, seringkali tidak dihadiri oleh caleg DPR karena jadwal kampanye yang
padat. Disisi lain, persaingan politik internal dalam sosialisasi atau kampanye
caleg yang dilakukan tim sukses dari partai politik, kerap kali didominasi oleh
caleg lokal DPRD, sehingga caleg DPR ‘seolah’ berjuang sendiri dalam meraih
dukungan masyarakat. Kondisi ini bertambah berat ketika sosialisasi caleg
‘dimanfaatkan’ oleh masyarakat sebagai kesempatan menuntut atau meminta
imbalan kepada mereka, seperti yang nyatakan oleh salah seorang aktivis
pemantau di Jawa Tengah.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
32
“Pernah ada caleg DPR dari Gerindra yang mengeluhkan kepada saya,
bahwa tidak repot apabila melakukan pertemuan-pertemuan dengan
masyarakat selalu saja ujungnya adalah uang, dia senang kalau saya
temani, soalnya tidak selalu harus mengeluarkan uang. Sebenarnya
perilaku ini karena masyarakat telah terbiasa dengan pembagian uang
pada saat pemilu, apalagi dalam pilkada, pembagian uang kepada
masyarakat sudah bukan lagi rahasia umum, telah dilakukan secara
terang-terangan. Soalnya lagi, ada anggapan di masyarakat bahwa caleg
ketika sudah terpilih akan melupakan yang memilihnya, maka pada saat
pemilu merupakan waktu yang tempat untuk mendapatkan sesuatu dari
para caleg.”17
Pengamat politik Untirta Banten berpendapat idealnya pencalegan adalah
sebuah proses politik yang berjalan seiring dengan proses pengkaderan pada
partai politik sehingga proses sosialisasi caleg idealnya berjalan seiring dengan
kiprah partai politik di tengah masyarakat. Jika pencalonan anggota legislatif
adalah sebuah proses pengkaderan, sistem proporsional terbuka yang ada pada
saat ini tidak akan berdampak pada persaingan antar caleg dalam satu partai
yang sama.
Hasil sosialisasi caleg DPR yang dilakukan hanya menjelang masa pemilihan
(masa kampanye caleg) tentu saja tidak akan maksimal. Namun demikian, proses
sosialisasi caleg DPR bukan tidak ada jalan keluarnya, sosialisasi caleg DPR
dimungkinkan untuk dilakukan secara bersamaan dengan caleg DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/ Kota. Sayangnya, istilah kerjasama yang lazim disebut
dengan tandem ini sebagian besar hanya terjadi pada sosialisasi dengan
menggunakan media, baik media massa maupun media luar ruang seperti
spanduk, leaflet dan sebagainya, praktis hanya sedikit caleg DPR dan partai
politik yang melakuka tandem untuk sosialisasi langsung kepada masyarakat
pemilih.
Kinerja Saksi
KPU mengatur keberadaan 1 (satu) orang saksi partai politik di tiap TPS.
Keberadaan saksi partai dalam tiap TPS menjadi sangat penting untuk menjaga
pemilu legislatif berlangsung secara jujur, adil, transparan dan berlangsung
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh KPU. Bagi partai politik,
keberadaan saksi tentu saja untuk menjaga perolehan suara partai dan caleg
partai. Namun demikian pada pemilu legislatif 2014, hanya sebagian kecil partai
yang menempatkan saksinya di tiap TPS. Tidak dilakukannya bimtek terhadap
saksi membuat kesadaran saksi sebagai perwakilan partai masih cukup rendah,
17
Hasil wawancara dengan aktivis pemantau lokal Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
33
sebagaian besar saksi memposisikan dirinya sebagai saksi caleg sehingga peran
saksi untuk menjaga pemilu tidak berjalan maksimal.
Kemampuan untuk menempatkan saksi partai politik di tiap TPS menjadi
kendala tersendiri bagi partai politik tertentu. Besarnya biaya yang harus
dikeluarkan dan akses terhadap sumberdaya saksi menjadi kendala utama yang
dihadapi partai politik. Menurut anggota Bapilu Partai Demokrat Kabupaten
Serang, untuk menempatkan saksi partai yang baik di tiap TPS tentu
membutuhkan biaya yang besar. Biaya tersebut tidak hanya untuk memobilisasi
saksi ke TPS tetapi juga untuk biaya bimtek saksi. Hal ini diakui oleh anggota
Bappilu Partai Bulan Bintang Cabang Pati bahwa hanya partai politik yang
memiliki dana besar saja yang mampu merekrut saksi.
Secara internal partai, keberadaan dana saksi dan kepentingan pribadi caleg
incumbent yang berasal dari pengurus partai menjadi kendala tersendiri bagi
caleg berhubungan dengan saksi. Karena bagaimana-pun saksi akan bekerja bagi
caleg yang mendanai kerja mereka. Praktik tranksaksional antara caleg dan saksi
berimplikasi terhadap sulitnya akses untuk mendapatkan form C1 pemilu
legislatif 2014 dari saksi yang ‘bekerja’ untuk caleg incumbent atau pengurus
partai. Untuk menjaga perolehan suara caleg, umumnya caleg mengutus saksi
untuk berada diluar TPS yang fungsinya mencatat semua proses pemilihan
termasuk proses penghitungan perolehan suara caleg, namun hal ini tentu
sangat sulit dilakukan oleh caleg DPR yang kebutuhan saksinya jauh lebih besar
dibanding caleg DPRD provinsi atau Kabupaten/ Kota.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
34
BAB V
POLITIK UANG
DALAM REKAPITULASI SUARA
Politik uang menjadi perbincangan yang jamak terjadi pada setiap proses
pemilihan baik pada pemilu nasional maupun pada pilkada. Meskipun tidak
terkait langsung dengan penetapan suara sah dan tidak sah DPR, maraknya
pelanggaran yang dilakukan karena politik uang pada pemilu legislatif 2014
sudah menjadi konsumsi media massa dan pemantau pemilu. Kurangnya alat
bukti menyebabkan tindak lanjut atas laporan dan temuan pelanggaran politik
uang menjadi kendala tersendiri bagi pengawas pemilu.
Modus Politik Uang di Tingkat Penyelenggara
Berdasarkan temuan lapangan, modus politik uang terhadap penyelenggara
pemilu adalah dalam rangka menambahkan perolehan suara. Calon legislatif
yang tidak mendapatkan cukup suara melakukan ‘pendekatan’ kepada
penyelenggara pemilu untuk menambahkan suara peroleh mereka dengan
mengambil suara dari calon lain dari partai politik yang sama. ‘Pendekatan’
tersebut dilakukan mulai dari penyelenggara pemilu di tingkat adhoc hingga
pada tingkat komisioner KPU di tingkat Kabupaten/Kota.
Seperti pernyataan Panwascam Kramat Watu, Kabupaten Serang salah satu
modus politik uang yang terjadi ditingkat penyelenggara pemilu (PPK dan PPS)
adalah mengurangi perolehan suara partai dan menambahkannya kepada
perolehan suara caleg tertentu pada partai yang sama. Modus seperti ini
terbongkar karena adanya keberatan saksi pada proses rekapitulasi atau pleno
di tingkat KPU Kabupaten / Kota melalui Form Model DB-2. Menurut Panwascam
Kramat Watu Kabupaten Serang, modus pelanggaran seperti ini terjadi di
Kecamatan Gunung Sari (PPK) Desa Tamiang (PPS) Kabupaten Serang.
Kasus serupa terjadi Desa Sukajaya, terdapat PPS yang mengelembungkan suara
salah satu caleg dengan mengurangi dari caleg lain dari partai yang sama. Kasus
tersebut sempat diekspos oleh media cetak (Koransindo, 25 April 2014) terkait
dengan calon anggota legislatif DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
35
Perjuangan (PDIP) nomor urut 5. Dalam pleno KPU untuk Kecamatan Sukajaya
diputuskan bahwa untuk PDIP tingkat DPR RI, suara partai yang semula 311 di
kembalikan menjadi 721, sementara suara caleg DPR RI nomor urut 5, Indra
Simatupang yang semula 1.432 dikembalikan menjadi 722. Perhitungan tersebut
sesuai dengan rekapitulasi dokumen asli D1 tingkat desa yang dimiliki oleh PPK,
Panwas Kabupatenten Bogor dan para saksi. Atas kejadian tersebut, KPPS dan
PPS yang bersangkutan telah dilakukan pemecatan. Di Jawa Tengah, kasus
penggelumbungan suara terjadi di Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo,
Kabupaten Pati, karena salah satu calon legislatif menang secara mutlak
sehingga KPU Kabupaten Pati didesak oleh masyarakat untuk melakukan
pemungutan suara ulang atau perhitungan ulang. KPU Kabupaten Pati akhirya
melakukan perhitungan ulang dan memecat anggota KPPS yang terindikasi
melakukan kecurangan.
‘Pendekatan’ oleh caleg terhadap penyelenggara pemilu juga terjadi pada tingkat
KPU Kabupaten/Kota dalam rangka meminta penambahan suara. Hal ini diakui
oleh Ketua KPU Kabupaten Pati bahwa memang ada permintaan tersebut dari
caleg, meski disadari permintaan tersebut pasti akan ditolak.18 Namun demikian
modus politik uang terhadap penyelenggara, lebih rentan dilakukan pada tingkat
PPS dan KPPS, contoh yang disinyalir oleh anggota KPU Kabupaten Bogor, bahwa
terdapat KPPS yang menyebarkan C6 disertai dengan amplop berisi uang. Ini
menunjukkan bahwa terdapat persoalan netralitas yang sumbernya adalah
politik uang.
Praktik politik uang lebih rentan terhadap KPPS dan PPS, karena mereka
memegang daftar pemilih serta pihak yang pertama kali melakukan perhitungan
dan rekapitulasi suara, sehingga mereka lebih mengetahui jumlah pemilih yang
datang pada saat pemungutan, serta jumlah surat suara terpakai dan tidak.
Keberadaan saksi pada saat perhitungan hampir bisa dikatakan tidak efektif
sama sekali, sudah menjadi rahasia umum target mereka hanya mendapatkan C1
saja tanpa mengawasi proses perhitungan suara.
Salah satu kendala pengawas pemilu adalah terkait dengan keberadaan alat
bukti pendukung laporan pelanggaran politik uang, seperti dihadapi oleh
Panwascam Kecamatan Kramat Watu dalam menindaklanjuti laporan politik
uang, terutama yang dilakukan oleh caleg. Kurangnya barang bukti membuat
laporan masyarakat terkait dengan politik uang, tidak bisa ditindaklanjuti ke
tingkat yang lebih tinggi untuk dilakukan penindakan.
18
Hasil wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Pati, 11 Agustus 2014
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
36
Menurut pengamat politik Untirta Banten yang juga mantan pengawas pemilu
Kota Serang, saat ini politik uang berevolusi dengan sangat luar biasa sehingga
tampil dalam kemasan yang lebih kasat mata. Keterlibatan langsung pengawas
dalam setiap tahapan pemilu menjadi penting ketika unsur penindakan seperti
kepolisian dan kejaksaan berada diluar struktur pengawas pemilu.
Modus Politik Uang di Tingkat Pemilih
Pemilih merupakan sasaran paling penting dalam politik uang. Mempengaruhi
pilihan pemilih dengan menggunakan uang semakin marak terjadi seiring
maraknya pilkada yang terjadi di daerah. Modus politik uang yang terjadi di
tingkat pemilih semakin beragam dan tampil lebih kasat mata, mulai dari
pemberian sembako sampai dengan memfasilitasi kegiatan keagamaan dan
sosial kemasyarakatan lainnya.
Identiknya pencaleg-an dengan bagi-bagi uang menyebabkan keengganan
tersendiri bagi caleg untuk terjun langsung melakukan sosialisasi ke tengahtengah masyarakat. Menurut anggota Bapilu partai Demokrat Kabupaten Serang,
bagi caleg yang belum mengakar kuat di masyarakat atau caleg baru, biaya
politik untuk melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat tentu akan lebih
besar dibanding caleg incumbent.
Praktik politik uang membuat kerja caleg berlangsung secara instan dan
pragamatis. Kalkulasi mereka didasarkan bahwa sosialisasi politik yang
dilakukan dalam jangka waktu panjang untuk mendapatkan dukungan
masyarakat tidaklah efektif, karena caleg yang memiliki modal akan melakukan
pendekatan kepada masyarakat dengan metode “sembako politik”, dengan cara
membagi-bagikan uang atau sembako.19 Di sisi masyarakat sendiri, “sembako
politik” telah menjadi konsekuensi dari transaksi politik. Untuk memilih calon
anggota legislatif masyarakat akan bertanya “saya akan mendapatkan apa?”,
sehingga bagi caleg yang tidak memiliki modal besar, bekerja dalam jangka
waktu panjang akan menjadi percuma.20
Menurut pengamat politik Untirta Banten, maraknya pilkada yang terjadi di
daerah membuat masyarakt cenderung pragmatis dalam memilih pemimpin.
Dalam kondisi seperti ini terlebih pada karakter masyarakat pemilih yang
sebagain besar pilihan masyarakat masih merujuk kepada pilihan pemimpin
lokal, mengharapkan masyarakat sebagai pelapor terlebih sebagai saksi dalam
politik uang tentu bukan perkara mudah. Untuk itu pengawas pemilu harus lebih
proaktif dan terlibat langsung dalam kegiatan caleg di masyarakat pada masa
19
20
hasil wawancara dengan anggota KPU Kabupaten Bogor, 25 Agustus 2014.
hasil wawancara dengan salah satu pengurus Partai Bulan Bintang, 10 Agustus 2014.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
37
pemilihan. Besar kemungkinan kegiatan tersebut akan mengarah pada politik
uang.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
38
BAB VI
KESIMPULAN
Fenomena suara tidak sah dalam pemilu legislatif 2014 untuk pemilihan calon
anggota DPR, berdasaran temuan-temuan dalam penelitian ini dapat
diketegorikan ke dalam dua jenis faktor, yaitu faktor yang secara tidak langsung
memiliki potensi menyebabkan suara pemilih menjadi tidak sah dan faktor yang
secara langsung memiliki potensi cukup besar menyebabkan suara tidak sah
dalam pemilu.
Suara tidak sah yang disebabkan oleh faktor tidak langsung, terkait dengan
kapasitas penyelenggara di tingkat adhoc dalam proses perhitungan dan
rekapitulasi suara. Keterbatasan penyelenggaraan bimbingan teknis,
ketersediaan buku panduan yang terbatas, merupakan aspek-aspek yang
mempengaruhi kapasitas penyelenggara di tingkat adhoc. Keterbatasan tersebut
merupakan klasik dalam implementasi kebijakan dan program, terkait dengan
alokasi anggaran dari pemerintah yang tidak memperhatikan proporsi dan bobot
kerja, yang tentunya berimplikasi terhadap reward bagi penyelenggara pemilu di
tingkat adhoc (PPK, PPS dan KPPS). Oleh karena itu, pada tingkat ini,
penyelenggara menjadi rentan terhadap politik uang.
Suara tidak sah yang disebabkan oleh faktor kedua, terkat dengan perilaku
pemilih. Beberapa pola perilaku pemilih yang menyebabkan suara tidak sah
dapat dikategori menjadi: (1) tidak dicoblos karena pemilih tidak mengenal
calon anggota legislatif DPR di wilayahnya, (2) tidak dicoblos karena tidak
menyukai calon anggota legislatif DPR di wilayahnya, (3) mencoblos ganda
karena masyarakat mendapatkan uang/barang dari beberapa calon, (4)
mencoblos ganda karena ketidaktahuan cara mencoblos yang benar, (5)
mencoblos ganda karena masyarakat lebih menyukai partai tertentu dan lebih
menyukai calon tertentu yang berbeda dari partai yang dipilihnya.
Politik uang bagaimanapun memiliki konstribusi yang cukup besar, baik secara
langsung atau tidak langsung terhadap fenomen suara tidak sah. Politik uang
menjadikan kinerja penyelenggara menjadi tidak professional dan independen,
serta membentuk budaya transaksional pada tingkat pemilih.
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
39
LAMPIRAN-1. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH NASIONAL DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR
PEMILU 2009 DAN 2014
PEMILU LEGISLATIF 2009
WILAYAH
ACEH DARUSSALAM
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
BANGKA BELITUNG
KEPULAUAN RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
BARAT
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK
SAH
PEMILU LEGISLATIF 2014
PERSENTA
SE SUARA
TIDAK SAH
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTA
SE SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA TIDAK
SAH 2009 DAN
2014(%)
2266713
3,875,211
2,223,239
2,292,893
1,556,080
3,982,645
907,816
3,978,504
545,812
673,412
4,327,596
21,204,505
18,663,295
2,007,359
20,201,770
4,716,108
2,045,675
1828915
3,448,882
2,022,541
2,034,649
1,292,650
3,458,250
758,696
3,491,266
459,227
593,568
4,091,951
18,651,604
15,072,888
1,752,775
16,289,604
3,990,958
1,699,468
427798
426,329
200,698
258,244
263,430
524,395
149,120
487,238
86,585
79,844
235,645
2,552,901
3,590,407
254,584
3,912,166
725,150
346,207
18.87%
11.00%
9.03%
11.26%
16.93%
13.17%
16.43%
12.25%
15.86%
11.86%
5.45%
12.04%
19.24%
12.68%
19.37%
15.38%
16.92%
2,615,264
6,864,446
2,564,270
2,971,237
1,962,604
4,523,025
1,106,368
4,474,348
683,962
916,141
5,272,656
23,712,918
20,044,535
2,218,613
22,965,758
5,717,047
2,309,574
2,316,226
6,124,359
2,405,339
2,669,684
1,691,958
3,942,859
923,755
4,059,500
583,447
822,336
4,891,034
21,190,627
17,603,459
2,059,453
19,992,320
4,841,859
2,024,250
299,038
740,087
158,931
301,837
270,646
580,166
182,620
414,848
100,515
93,805
381,946
2,522,291
2,441,076
159,160
2,973,438
875,188
285,324
11.43%
10.78%
6.20%
10.16%
13.79%
12.83%
16.51%
9.27%
14.70%
10.24%
7.24%
10.64%
12.18%
7.17%
12.95%
15.31%
12.35%
-7.44%
-0.22%
-2.83%
-1.10%
-3.14%
-0.34%
0.08%
-2.98%
-1.17%
-1.62%
1.80%
-1.40%
-7.06%
-5.51%
-6.42%
-0.07%
-4.57%
2,354,271
1,962,300
391,971
16.65%
2,760,082
2,412,489
347,593
12.59%
-4.06%
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
NUSA TENGGARA
TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA
PAPUA BARAT
NASIONAL
2,247,057
2,314,404
1,044,569
2,051,582
2,036,704
872,362
195,475
277,700
172,207
8.70%
12.00%
16.49%
2,471,976
2,718,796
1,290,519
2,355,161
2,478,262
1,139,544
116,815
240,534
150,975
4.73%
8.85%
11.70%
-3.97%
-3.15%
-4.79%
1,769,528
1,578,755
1,323,131
1,296,819
4,132,962
1,120,277
572,519
587,334
827,591
550,236
1,851,783
423,752
1,463,490
1,355,072
1,239,392
1,199,830
3,688,770
993,592
532,055
531,544
772,579
519,735
1,719,581
381,121
306,038
223,683
83,739
96,989
444,192
126,685
40,464
55,790
55,012
30,501
132,202
42,631
17.29%
14.17%
6.33%
7.48%
10.75%
11.31%
7.07%
9.50%
6.65%
5.54%
7.14%
10.06%
2,110,594
2,058,150
1,502,281
1,497,362
4,718,630
1,321,247
663,625
708,622
970,864
681,386
3,044,737
604,554
1,837,931
1,798,439
1,409,946
1,424,748
4,404,165
1,180,733
636,654
659,966
927,338
627,645
2,963,280
573,725
272,663
259,711
92,335
72,614
314,465
140,514
26,971
48,656
43,526
53,741
83,748
30,829
12.92%
12.62%
6.15%
4.85%
6.66%
10.63%
4.06%
6.87%
4.48%
7.89%
2.75%
5.10%
-4.38%
-1.55%
-0.18%
-2.63%
-4.08%
-0.67%
-3.00%
-2.63%
-2.16%
2.34%
-4.39%
-4.96%
119,463,621
102,257,601
17,196,020
14.39%
140,046,191
124,972,491
15,076,606
10.77%
-3.63%
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
LAMPIRAN-2. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR
PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) BANTEN
PEMILU LEGISLATIF 2009
WILAYAH
Banten I
Banten II
PEMILU LEGISLATIF 2014
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
1,238,394
1,096,140
142,254
11.49%
1,320,575
1,173,116
147,459
11.17%
-0.32%
21.63%
1,397,779
1,084,829
312,950
22.39%
0.75%
2,583,914
414,779
13.83%
-0.60%
4,841,859
875,188
15.31%
-0.07%
1,124,902
881,539
243,363
Banten III
2,352,812
2,013,279
339,533
14.43%
2,998,693
PROVINSI
4,716,108
3,990,958
725,150
15.38%
5,717,047
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
LAMPIRAN-3. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR
PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) JAWA BARAT
PEMILU LEGISLATIF 2009
WILAYAH
Jawa Barat I
Jawa Barat II
Jawa Barat III
Jawa Barat IV
Jawa Barat V
Jawa Barat VI
Jawa Barat VII
PEMILU LEGISLATIF 2014
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTASE
SUARA
TIDAK SAH
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
1,465,457
1,359,286
106,171
7.24%
1,539,685
1,430,718
108,967
7.08%
-0.17%
11.12%
2,686,258
2,422,939
263,319
9.80%
-1.32%
12.91%
1,669,449
1,486,032
183,417
10.99%
-1.92%
12.45%
1,432,599
1,283,060
149,539
10.44%
-2.01%
12.15%
2,421,667
2,093,772
327,895
13.54%
1.39%
9.97%
1,973,418
1,799,370
174,048
8.82%
-1.15%
15.69%
3,166,410
2,762,436
403,974
12.76%
-2.93%
1,953,002
2,374,747
1,475,680
1,299,949
2,113,904
1,712,111
2,551,802
2,110,564
1,285,153
1,138,111
1,857,028
1,541,492
2,151,500
264,183
190,527
161,838
256,876
170,619
400,302
Jawa Barat VIII
2,057,115
1,764,426
292,689
14.23%
2,218,567
265,565
11.97%
-2.26%
Jawa Barat IX
2,144,095
1,853,503
290,592
13.55%
2,277,717
2,019,474
258,243
11.34%
-2.22%
10.36%
1,625,911
1,495,569
130,342
8.02%
-2.35%
2,444,255
256,982
9.51%
-1.00%
18,746,372
4,966,546
20.94%
-1.46%
Jawa Barat X
Jawa Barat XI
PROVINSI
1,553,547
1,392,549
160,998
2,456,098
2,197,992
258,106
10.51%
2,701,237
21,204,505
16,453,612
4,750,893
22.41%
23,712,918
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
LAMPIRAN-4. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR
PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) JAWA BARAT
PEMILU LEGISLATIF 2009
WILAYAH
Jawa Tengah I
PEMILU LEGISLATIF 2014
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTAS
E SUARA
TIDAK SAH
VOTER
TURN-OUT
SUARA SAH
SUARA
TIDAK SAH
PERSENTAS
E SUARA
TIDAK SAH
1,957,199
1,601,513
355,686
18.17%
2,150,169
1,859,104
291,065
13.54%
1,579,820
Jawa Tengah II
1,601,222
1,248,603
352,619
22.02%
1,806,337
226,517
12.54%
Jawa Tengah III
2,376,143
1,781,396
594,747
25.03%
2,483,128
2,071,932
411,196
16.56%
19.87%
1,701,916
1,528,134
173,782
10.21%
17.57%
2,226,910
2,010,828
216,082
9.70%
16.40%
2,281,067
2,014,315
266,752
11.69%
17.65%
1,778,920
1,575,575
203,345
11.43%
12.00%
1,905,589
1,774,130
131,459
6.90%
18.26%
1,858,301
1,635,975
222,326
11.96%
1,553,646
298,552
16.12%
17,603,459
2,441,076
12.18%
Jawa Tengah IV
Jawa Tengah V
Jawa Tengah VI
Jawa Tengah VII
Jawa Tengah VIII
Jawa Tengah IX
1,625,940
2,049,889
2,146,403
1,656,717
1,835,060
1,715,582
1,302,854
1,689,712
1,794,470
1,364,340
1,614,834
1,402,283
323,086
360,177
351,933
292,377
220,226
313,299
Jawa Tengah X
1,699,140
1,272,883
426,257
25.09%
1,852,198
PROVINSI
18,663,295
15,072,888
3,590,407
19.24%
20,044,535
SELISIH
SUARA
TIDAK SAH
2009 DAN
2014(%)
Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES
-4.64%
-9.48%
-8.47%
-9.66%
-7.87%
-4.70%
-6.22%
-5.10%
-6.30%
-8.97%
-7.06%
Download