LaporanPenelitian Faktor-faktorSuaraTidakSah dalamPemilihanAnggotaLegislatif DPRRIPemilu2014 (StudiKasusdi3(Tiga)DaerahPemilihan: BantenII,JawaBaratVdanJawaTengahIII) LAPORAN PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR RI PEMILU 2014 (Studi Kasus di 3 (Tiga) Daerah Pemilihan: Banten II, Jawa Barat V dan Jawa Tengah III Jakarta, 22 September 2014 Kontak Person Alamat Phone Email : Kurniawan Zein : Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) : 0813-884-494-57 : [email protected]/[email protected] DAFTAR ISI Daftar isi Bab I. halaman Pendahuluan 1 Bab II. Metode dan Keterbatasan Penelitian 4 Bab III. Gambaran Umum Suara Tidak Sah dan Lokasi 8 Bab IV. Faktor-Faktor dan Modus Suara Tidak Sah 15 Bab V. Politik Uang dan Suara Tidak Sah 35 Bab VI. Kesimpulan 39 Lampiran Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES i BAB I PENDAHULUAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2014 yang lalu mencapai 75,11 persen, yang berarti bahwa sisanya; sekitar 24,89 persen pemilih yang terdaftar tidak menggunakan hak pilihnya.1 Persentase ini menunjukkan peningkatan tingkat partisipasi pemilih dibandingkan pada pemilu legislatif 2009 yang hanya mencapai 71 persen, dengan demikian terjadi peningkat +/- 4 persen. Pada sisi ini, pada pemilu legislatif 2014 terdapat trend peningkatan partisipasi politik masyarakat. Kondisi ini tentunya diharapkan merupakan gambaran membaiknya kesadaran masyarakat mengenai signifikansi pemilu bagi pembangunan sistem politik nasional. Di tengah tingkat partisipasi pemilih yang meningkat, ternyata terdapat ‘anomali’ pemilu dalam bentuk suara tidak sah yang masih cukup tinggi pada pemilihan anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang secara nasional mencapai 10,77 persen atau sekitar 15.076.606 dari total suara yaitu 140.049.097 suara yang diberikan pada pemilu legislatif yang lalu. Dari aspek legitimasi politik, persentase suara tidak sah pada pemilu legislatif memang tidak memberikan pengaruh terhadap hasil pemilu. Hanya saja, seyogyanya perbaikan tingkat partisipasi juga berbanding lurus dengan tingkat sura sah yang juga tinggi. Apabila tingkat suara tidak sah disisi lain meningkat, maka hal tersebut merupakan anomali partisipasi politik dalam pemilu. Fenomena suara tidak sah merupakan catatan tersendiri yang mengundang dua hipotesis apakah hal tersebut bersumber dari perilaku pemilih yang dengan tidak sadar atau sadar menjadikan suara mereka tidak sah. Hipotesis pertama mengimplikasikan tingkat pengetahuan pemilih yang memang minim terhadap tata-cara memilih yang benar pada saat pemungutan 1 Harian Kompas, 10 Mei 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 1 suara pemilu legislatif 2014. Hal ini terkait bagaimana sosialisasi pemilu dilakukan oleh KPU dan perangkatnya kepada masyarakat, khususnya mengenai tata-cara mencoblos. Sedangkan hipotesis kedua, apabila fenomena suara tidak sah bersumber dari perilaku pemilih yang secara sadar menjadikan suara yang diberikan tidak sah, maka hal tersebut terkait dengan dua hal, yaitu: (1) pengetahuan pemilih terhadap calon yang akan dipilihnya, sehingga pemilih memiliki preferensi untuk memilih atau tidak, yang berarti hal ini juga bagaimana calon anggota legislatif mensosialisasikan dirinya dan (2) karena terdapat faktor tertentu yang membuat pemilih dengan dalam kondisi dilematis untuk memilih. Keterlibatan stakeholder lain selain partai politik dan pemilih yang memiliki peran sangat strategis dalam pemilu adalah Komisis Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan mengenai penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalam penetapan suara tidak sah. KPPS merupakan perangkat KPU pada tingkat paling terdepan dalam menetapkan apakah surat suara sah atau tidak sah pada saat perhitungan suara di TPS. Selain KPPS, PPS dan PPK juga perangkat KPU yang memiliki peran terdepan dalam menetapkan suara sah atau tidak sah. Melalui mekanisme rekapitulasi berjenjang mulai dari TPS oleh KPPS, di desa oleh PPS dan di kecamatan oleh PPK sedianya akan menjadi mekanisme kontrol berlapis, sehingga hal-hal yang terkait dengan perhitungan dan rekapitulasi hasil pemilu telah didilakukan secara benar (professional) dan dapat dipertangungjawabkan (akuntabel). FOKUS STUDI Berdasarkan uraian di atas, fokus studi ini akan menitik-beratkan kepada identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suara tidak sah. Dari hasil perhitungan suara KPU, terlihat bahwa persentase suara tidak sah rata-rata cukup tinggi pada pemilihan anggota anggota legislatif di tingkat nasional (DPR RI), terutama di wilayah pemilihan Jawa yang berkisar 10-22%. Pada tingkat provinsi (DPRD Provinsi) meskipun tingkat suara tidak sah lebih rendah dari nasional namun kecenderungan akan selalu lebih tinggi dari persentase suara tidak sah di pemilihan anggota legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten). Kecuali di wilayah beberapa provinsi di wilayah Timur Indonesia, pola surat suara tidak sah memiliki pola yang acak. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 2 Terhadap persolan ini terdapat beberapa asumsi persoalan yang akan dieskplorasi, yaitu: 1. Bagaimana kapasitas perangkat KPU dalam hal penetapan suara tidak sah pada saat pemilu legislatif? 2. Bagaimana perilaku pemilih menyebabkan suara tidak sah pada saat pemilu legislatif? 3. Bagaimana peran partai politik berpengaruh terhadap suara tidak sah? KERANGKA KONSEP Meneliti tentang pemilu, maka tidak akan dapat dilepaskan dari dua kategori subjek utama yang menjadi unit analisis yaitu, penyelenggara dan peserta pemilu. Subjek penyelenggara pemilu berdasarkan Undang-Undang terdiri dari dua jenis kelembagaan yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda antara penyelenggaraan dan pengawasan, yaitu: Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Derivasi subjek peserta pemilu terdiri dari partai politik dan pemilih. Partai politik merupakan lembaga politik yang diakui sebagai satu-satunya lembaga politik yang memiliki otoritas melakukan rekrutmen calon anggota legislatif yang ditempakan dalam lembaga legislatif atau parlemen melalui mekanisme pemilihan umum. Sementara itu pemilih adalah rakyat yang didalam sistem demokrasi diakui sebagai pemilik kedaulatan politik. Pilihan politik rakyat merupakan sumber legitimasi politik bagi kelembagaan legislatif . Oleh karena itu suara pemilih memiliki harga politik yang diperebutkan oleh partai politik dan kandidat anggota parlemen melalui pemilu. Berdasarkan kerangka tersebut, maka analisa faktor-faktor suara tidak sah dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif DPR RI perlu dilakukan dengan memetakan persoalan-persoalan yang berpotensi memiliki konstribusi terhadap suara tidak sah dari 3 (tiga) subjek, yaitu (1) kapasitas perangkat KPU Sebagai penyelenggara pemilu terkait dengan keputusan dan penetapan suara tidak sah, (2) peran partai politik terkait dengan fungsi pendidikan kepada masyarakat mengenai suara tidak sah dan (3) pemilih terkait dengan kesadaran politik dalam memberikan suaranya sehingga dapat dinilai sah atau tidak sah. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 3 BABII METODE DAN KETERBATASAN PENELITIAN Studi ini dilakukan dengan pendekatan grounded research yang digunakan dalam studi-studi kualitatif. Pilihan pendekatan tersebut dilakukan karena studi ini didesain sebagai studi awal (preliminary study), sehingga peneliti benar-benar berangkat dari nir-asumsi. Untuk mendukung penelitian, maka dilakukan: (1) FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD) Pelaksanaan FGD dimaksudkan sebagai bentuk esplorasi awal dalam merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suara tidak sah, berdasarkan pengalaman dan opini dari-dari pihak yang dinilai memiliki kredibilitas informasi tentang pemilu. FGD akan meilibatkan 5-10 peserta yang terdiri dari, Jurnalis dan penggiat NGO lokal yang concern terhadap persoalan pemilu. Dari hasil eksplorasi awal terhadap isu-isu pemilu dalam kerangka suara tidak sah, dapat diidentifikasi beberapa informasi awal yang dirumuskan sebagai isu atau faktor-faktor yang akan diverifikasi dari data-data selanjutnya. (lihat tabel) Tabel II.1. Subjek dan Isu-isu Studi Suara Tidak Sah No 1 Subjek Kapasitas Penyelenggara 1. 2. 3. 2 Penyelenggaraan Pemilu 3 Peran Partai Politik 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. Isu Efektivitas Bimtek bagi PPK, PPS dan KPPS Pemanfaatan panduan pelaksanaan pemilu oleh KPPS Pemahaman KPPS atas ketentuan suara sah dan tidak sah Pemahaman atas isu dan praktik uang Faktor suara tidak sah di TPS Sosialisasi tata-cara pencoblosan Pola pencoblosan tidak sah Sosialisasi Caleg DPR RI Partisipasi parpol dalam sosilaisasi tata-cara mencoblos Pembekalan saksi tentang teknis Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 4 4. 4 Perilaku Pemilih 1. 2. 3. 4. 5. pelaksanaan pemilu (termasuk penetapan suara sah dan tidak sah) Komplain saksi atas suara sah dan tidak sah Pengetahuan pemilih atas caleg Pengetahuan tentang tata-cara memilih/mencoblos Pemahaman suara sah dan tidak sah Tingkat keinginan untuk memilih caleg DPR-RI Respon terhadap politik uang (2) IN-DEPTH INTERVIEW Informasi yang diperoleh dari FGD dianalisa dan diperdalam melalui wawancara mendalam (in-depht interview) terhadap pihak-pihak (aktor) yang relevan dengan penelitian ini, yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian dan selanjutnya disebut sebagai informan kunci (key informant). Kriteria Informan yang diwawancarai adalah pelaksana pemilu mulai dari tingkat provinsi sampai dengan tingkat ad hoc, saksi, pemantau dari masyarakat, dan masyarakat pemilih. Pertimbangan pembatasan kriteria informan didasari atas pemikiran bahwa pihak-pihak tersebut sebagai aktor yang terlibat secara langsung dalam proses pemungutan suarat di tingkat masyarakat. Pihak-pihak (key informant) per-lokasi yang akan diwawancarai terdiri dari: No 1 2 1 2 3 4 5 6 Kriteria Informan KPU Provinsi KPU Kabupaten PPK PPS KPPS Saksi Parpol Pemantau/masyarakat Masyarakat pemilih Total Jumlah 1 1 2 2 2 2 2 2 12 Untuk mendapatkan informasi yang lebih teknis terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, maka penyelenggara pemilu adalah stakeholder yang paling banyak diwawancarai untuk menggali informasi penyebab suara sah dan tidak sah mulai dari tingkat KPU Provinsi dan Kab/Kota sampai pelaksana pemungutan suara di tingkat ad hoc (PPK, PPS dan KPPS). Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 5 LOKASI STUDI Lokasi penelitian ditentukan secara purposive 3 lokasi, yaitu: 1. Daerah pemilihan (Dapil) 3 Jawa Tengah 2. Daerah pemilihan (Dapil) 2 Banten 3. Daerah pemilihan (Dapil) 5 Jawa Barat Dasar pemilihan ketiga lokasi studi dilakukan dengan mempertimbangkan (a) keterbatasan waktu (b) bahwa pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah pemilih terbesar (c) fakta bahwa ketiga wilayah tersebut memiliki tingkat suara tidak sah yang lebih tinggi dibandingkan dengan dapil lain di 3 (tiga) provinsi, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten. Pemilihan lokasi studi pada tingkat yang lebih rendah, yaitu desa, dilakukan dengan teknik snow-bowling, berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan atau data sekunder. Kecamatan Cileungsi, di Jawa Barat dan Kecamatan Watu merupakan dua kecamatan dengan tingkat suara tidak sah tertinggi. Sebagai pertimbangan metodologis, maka diperlukan wilayah dengan tingkat suara tidak sah yang moderat yang kontrol untuk melihat apakah faktor suara tidak menunjukkan pola umum atau spesifik. Kecamatan Winong di Kabupaten Pati merupakan wilayah moderat yang dipilih. METODE, KERANGKA DAN KETERBATASAN ANALISA Analisa terhadap data-data atau informasi yang diperoleh dari wawancara dengan informan kunci akan dilakukan dengan metode analisis deskriptif, yaitu dengan cara data-data tersebut akan dikategorisasikan berdasarkan isu, kemudian dibandingkan antar subjek sehingga didapati pola mengenai faktorfaktor suara tidak sah. Dalam studi ini tidak dimaksudkan untuk memperbandingkan antar faktor suara tidak sah sehingga didapati gambaran mengenai faktor yang lebih tinggi atau rendah sebagai penyebab suara tidak sah. Penelitian ini hanya diditujukan untuk melakukan pemetaan terhadap isu-isu yang berdasarkan temuan dapat dinilai sebagai faktor suara tidak sah. Penelusuran faktor suara tidak sah dari sisi perangkat KPU sebagai informan kunci didasari atas pertimbangan teoritik dan formal bahwa perangkat KPU merupakan pihak yang memiliki otoritas terhadap keputusan dan penetapan suara tidak sah dan memiliki informasi yang dibutuhkan mengenai pola-pola suara tidak sah yang terjadi mulai dari pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara. Dengan kerangka ini, disadari terdapat keterbatasan analisa Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 6 dalam studi ini yang lebih merepresentasikan persoalan suara tidak sah dari sisi penyelenggara bukan pemilih. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 7 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUARA TIDAK SAH PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI PEMILU 2014 SUARA TIDAK DALAM PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI 2009 DAN 2014 Perbandingan suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI antara tahun 2009 dan 2014 menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada pemilu 2009, suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI mencapai 17,196,020 atau 14.39 persen dari total suara pemilih nasional, sedangkan pemilihan anggota legislatif DPR RI, pemilu tahun 2014, jumlah suara tidak sah mencapai 15,076,606 atau 10.77 persen dari total suara pemilih nasional. Dengan demikian sesungguhnya telah terjadi penurunan jumlah suara tidak sah pada pemilu 2014 sebesar 2,119,414 suara atau 3.63 persen suara dari total suara pemilih nasional. Tabel III.1 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 PEMILU 2009 WILAYAH ACEH DARUSSALAM SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH PEMILU 2014 JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENT ASE SUARA TIDAK SAH JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENT ASE SUARA TIDAK SAH 427798 426,329 200,698 258,244 263,430 524,395 149,120 487,238 86,585 79,844 235,645 2,552,901 3,590,407 18.87% 11.00% 9.03% 11.26% 16.93% 13.17% 16.43% 12.25% 15.86% 11.86% 5.45% 12.04% 19.24% 299,038 740,087 158,931 301,837 270,646 580,166 182,620 414,848 100,515 93,805 381,946 2,522,291 2,441,076 11.43% 10.78% 6.20% 10.16% 13.79% 12.83% 16.51% 9.27% 14.70% 10.24% 7.24% 10.64% 12.18% Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES SELISIH SUARA TIDAK SAH 2014 DAN 2009(%) -7.44% -0.22% -2.83% -1.10% -3.14% -0.34% 0.08% -2.98% -1.17% -1.62% 1.80% -1.40% -7.06% 8 YOGYAKARTA 254,584 12.68% 159,160 JAWA TIMUR 3,912,166 19.37% 2,973,438 BANTEN 725,150 15.38% 875,188 BALI 346,207 16.92% 285,324 NUSA TENGGARA BARAT 391,971 16.65% 347,593 NUSA TENGGARA TIMUR 195,475 8.70% 116,815 KALIMANTAN BARAT 277,700 12.00% 240,534 KALIMANTAN TENGAH 172,207 16.49% 150,975 KALIMANTAN SELATAN 306,038 17.29% 272,663 KALIMANTAN TIMUR 223,683 14.17% 259,711 SULAWESI UTARA 83,739 6.33% 92,335 SULAWESI TENGAH 96,989 7.48% 72,614 SULAWESI SELATAN 444,192 10.75% 314,465 SULAWESI TENGGARA 126,685 11.31% 140,514 GORONTALO 40,464 7.07% 26,971 SULAWESI BARAT 55,790 9.50% 48,656 MALUKU 55,012 6.65% 43,526 MALUKU UTARA 30,501 5.54% 53,741 PAPUA 132,202 7.14% 83,748 PAPUA BARAT 42,631 10.06% 30,829 NASIONAL 17,196,020 14.39% 15,076,606 SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah) 7.17% 12.95% 15.31% 12.35% 12.59% 4.73% 8.85% 11.70% 12.92% 12.62% 6.15% 4.85% 6.66% 10.63% 4.06% 6.87% 4.48% 7.89% 2.75% 5.10% 10.77% -5.51% -6.42% -0.07% -4.57% -4.06% -3.97% -3.15% -4.79% -4.38% -1.55% -0.18% -2.63% -4.08% -0.67% -3.00% -2.63% -2.16% 2.34% -4.39% -4.96% -3.63% Berdasarkan data di atas, suara sah di Provinsi Banten secara persentase terjadi penurunan suara tidak sah pada pemilu 2014 dibandingkan dengan pemilu 2009, namun dari sisi jumlah terjadi kenaikan 150.038 suara. Di Provinsi Banten, suara tidak sesungguhnya tidak mengalami perubahan sama sekali, bahkan cenderung naik. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, suara tidak sah di kedua provinsi ini menunjukkan penurunan. SUARA TIDAK SAH DI DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) BANTEN II Fakta bahwa trend suara tidak sah di Provinsi Banten dalam pemilihan anggota legislatif 2014 yang tidak menunjukkan pengurangan cukup signifikan apabila dibandingkan dengan suara tidak sah dalam pemilu 2009, sesungguhnya merepresentasikan fakta tidak jauh berbeda dari masing-masing daerah pemilihan (Dapil). Di Dapil Banten I, suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI adalah 11.49 persen pada pemilu 2009 dan pada pemilu 2014, suara tidak sah mencapai 11.17 persen, yang berarti berkurang 0.32 persen. Demikian pula di Banten III, suara tidak sah dalam pemilihan anggota DPR RI pada pemilu 2014 berkurang 1 persen. Berbeda dengan Banten I dan III, suara tidak sah Dapil Banten II mengalami penambahan sebesar 1 atau 0.75 persen. Dengan kata lain, bahwa Dapil Banten II baik pada pemilu 2009 dan pemilu 2014, sesungguhnya merupakan wilayah dengan tingkat suara tidak tertinggi di Provinsi Banten. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 9 Tabel III.2 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Banten JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) Banten I 142,254 11.49% 147,459 11.17% -0.32% Banten II 243,363 21.63% 312,950 22.39% 0.75% Banten III 339,533 14.43% 414,779 13.83% -0.60% PROVINSI 725,150 15.38% 875,188 SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah) 15.31% -0.07% PEMILU 2009 WILAYAH PEMILU 2014 Daerah Pemilihan (Dapil) II Provinsi Banten meliputi Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon. Berdasarkan Model DB-1 DPR KPU, jumlah suara sah seluruh partai politik di dapil Banten II adalah 1.397.711 dengan jumlah suara tidak sah adalah 312.882 dimana Kabupaten Serang merupakan Kabupaten dengan jumlah Suara Tidak Sah tertinggi yaitu 188.733 dan Kota Cilegon dengan jumlah suara tidak sah terendah (43.907). Tabel III.3. Data Suara Sah dan Tidak Sah DPR Daerah Pemilihan Banten II VOTER TURNOUT Kab. Serang Kota Cilegon Kota Serang SUARA SAH 824,546 635,813 225,855 181,948 347,310 267,068 1,397,711 1,084,829 Sumber. Model DB-1 DPR, KPU SUAR TIDAK SAH 188,733 43,907 80,242 312,882 PERSENTASE SUARA TIDAK SAH 22.89% 19.44% 23.10% 22.39% Untuk suara tidak sah DPR di tingkat kecamatan di dapil Banten II, dari 29 kecamatan di Kabupaten Serang, berdasarkan data KPU Kabupaten Serang Model DB-1 DPR, Kecamatan Kramat Watu adalah Kdengan Suara Tidak Sah tertinggi, dengan rincian Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik 40.250, jumlah Suara Tidak Sah 12.681 (Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 52.931). Kecamatan Kramat Watu terdiri dari 15 desa, berdasarkan data PPK Kramat Watu Model DA-1 DPR, desa dengan jumlah Suara Tidak Sah tertinggi adalah desa Terate, dengan rincian Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 2.781, jumlah Suara Sah seluruh Partai Politik 1.784 dan jumlah Suara Tidak Sah 997. Desa Terate Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 10 terdiri dari 8 TPS dan TPS terbesar untuk Suara Tidak Sah DPR RI ada di TPS 2 dimana suara tidak sah lebih besar dari jumlah suara sah seluruh partai politik. Dari data PPS Desa Terate Model D-1 DPR, di TPS 2, jumlah suara sah seluruh partai politik 186 sedangkan jumlah suara tidak sah 225 ( total 411). Sedangkan untuk Kota Cilegon, dari 8 kecamatan di Kota Cilegon, Kecamatan Cibeber adalah kecamatan dengan suara tidak sah DPR tertinggi yaitu 7.019 suara dari total suara sah dan tidak sah (28.599). Dalam studi ini Kelurahan Cibeber dijadikan sebagai lokasi studi dengan pertimbangan sebagai desa/kelurahan dengan jumlah pemilih terbanyak. Dari 9.568 suara sah dan tidak sah yang ada di Desa Cibeber, jumlah suara tidak sah DPR tertinggi ada di TPS 6 dengan rincian suara sah seluruh parpol 104 suara dan suara tidak sah 194 (total suara sah dan tidak sah 298). SUARA TIDAK DI DAERAH PEMILIHAN JAWA BARAT V Jawa Barat terdiri dari 11 Daerah Pemilihan (dapil). Dapil Jawa Barat V yang meliputi hanya 1 (satu) kabupaten, yaitu Kabupaten Bagor. Jumlah pemilih di Kabupaten Bogor merupakan jumlah pemilih terbanyak dibandingkan kabupaten lainnya di daerah pemilihan provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data DB1-DPR KPU Kabupaten Bogor, jumlah pemilih di daerah tersebut adalah 3.318.222 dengan pemilih yang menggunakan hak pilihnnya (voter turn-out) sebesar 2.421.667 pemilih. Jumlah suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR RI pemilu 2009 sebesar 256.527 suara atau 12.15 persen dari total jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu 2014, jumlah suara yang tidak sah meningkat 1.39 persen atau sebesar 327.895 suara. Apabila dibandingkan jumlah suara tidak sah di dapil V dengan dapil-dapil lainnya di Provinsi Jawa Barat, dapil VII dan VIII merupakan wilayah dengan jumlah suara tidak sah tertinggi pada pemilu 2009, sementara pada pemilu 2014, terjadi pergeseran di mana status tersebut digantikan oleh dapil V. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 11 Tabel III.4 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Jawa Barat WILAYAH PEMILU 2009 JUMLAH PERSENTASE SUARA SUARA TIDAK TIDAK SAH SAH JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) PEMILU 2014 Jawa Barat I 106,171 7.24% 108,967 7.08% -0.17% Jawa Barat II 264,183 11.12% 263,319 9.80% -1.32% Jawa Barat III 190,527 12.91% 183,417 10.99% -1.92% Jawa Barat IV 161,838 12.45% 149,539 10.44% -2.01% Jawa Barat V 256,876 12.15% 327,895 13.54% 1.39% Jawa Barat VI 170,619 9.97% 174,048 8.82% -1.15% Jawa Barat VII 400,302 15.69% 403,974 12.76% -2.93% Jawa Barat VIII 292,689 14.23% 265,565 11.97% -2.26% Jawa Barat IX 290,592 13.55% 258,243 11.34% -2.22% Jawa Barat X 160,998 10.36% 130,342 8.02% -2.35% Jawa Barat XI 258,106 10.51% 256,982 9.51% -1.00% PROVINSI 4,750,893 22.41% 4,966,546 SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah) 20.94% -1.46% Dapil V dengan jumlah pemilih terbesar ada dapil Jawa Barat V meskipun hanya mencakup satu wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor. Berdasarkan Model DC-1 DPR, jumlah suara sah seluruh partai politik di dapil Jawa Barat V adalah 2.093.772 dan jumlah suara tidak sah adalah 327.895. Untuk suara tidak sah DPR di tingkat kecamatan di dapil Jawa Barat V, dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor, berdasarkan data KPU Kabupaten Bogor Model DB-1 DPR, Kecamatan Cileungsi adalah kecamatan dengan Suara Tidak Sah tertinggi, dengan rincian Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik 99.681 suara, jumlah Suara Tidak Sah 14.327 suara (Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 114.008). Dari data PPK Cileungsi, Desa Limus Nunggal adalah desa dengan jumlah pemilih tertinggi di Kecamatan Cileungsi, pada pemilu legislatif 2014 jumlah TPS di Desa Limus Nunggal sebanyak 68 TPS. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 12 SUARA TIDAK SAH DI KABUPATEN PATI DAERAH PEMILIHAN JAWA TENGAH III Dokumen rekapitulasi DB1 KPU DPR memperlihatkan bahwa suara tidak sah di daerah pemilihan Provinsi Jawa Tengah, secara umum, mencapai 12.18 persen atau sebesar 2.441.076 suara. Jumlah ini sesungguhnya telah mengalami penurunan 7.06 persen dari jumlah suara tidak sah pada pemilu 2009 yang mencapai 19.24 persen atau 3.590.407 suara. Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa dapil Jawa Tengah III merupakan daerah dengan tingkat suara tidak sah yang lebih tinggi dibandingkan daerah pemilihan lainnnya sejak pemilu 2009, meski pada pemilu 2014, jumlah suara tidak sah di dapil tersebut telah berkurang sebesar 8.47 persen; dari 25.03 persen suara tidak sah menjadi 16.56 persen. Tabel III.5 Perbandingan Suara Tidak Sah Pemilihan Anggota Legislatif DPR RI 2009-2014 Di Provinsi Jawa Barat JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH JUMLAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) Jawa Tengah I 355,686 18.17% 291,065 13.54% -4.64% Jawa Tengah II 352,619 22.02% 226,517 12.54% -9.48% Jawa Tengah III 594,747 25.03% 411,196 16.56% -8.47% Jawa Tengah IV 323,086 19.87% 173,782 10.21% -9.66% Jawa Tengah V 360,177 17.57% 216,082 9.70% -7.87% Jawa Tengah VI 351,933 16.40% 266,752 11.69% -4.70% Jawa Tengah VII 292,377 17.65% 203,345 11.43% -6.22% Jawa Tengah VIII 220,226 12.00% 131,459 6.90% -5.10% Jawa Tengah IX 313,299 18.26% 222,326 11.96% -6.30% Jawa Tengah X 426,257 25.09% 298,552 16.12% -8.97% PROVINSI 3,590,407 19.24% SUMBER: Dokumen KPU dan Dokumen IFES (Data diolah) 2,441,076 12.18% -7.06% PEMILU 2009 WILAYAH PEMILU 2014 Daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah III terdiri dari Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, Kapubaten Rembag dan Kabupaten Blora. Lokasi studi di lakukan di Kabupaten Pati, dapil III Jawa Tengah. Kabupaten Pati terdiri dari 23 kecamatan. Kabupaten Pati merupakan wilayah daerah pemilihan terluas di Dapil III Jawa Tengah dan berdasarkan informasi dari narasumber KPU Provinsi Jawa Tengah bahwa dapil III merupakan wilayah Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diantaranya adalah Kabupaten Pati. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 13 Tabel III.6. Data Suara Sah dan Tidak Sah DPR Kabupaten Pati Daerah Pemilihan Jawa Tengah III Kecamatan Sukolilo Jumlah TPS 189 Suara Sah Tidak Sah Voter Turn-Out Persentase suara tidak sah 40,974 10,344 51,318 20% Kayen 159 34,402 7,106 41,508 17% Tambakromo 116 24,337 3,814 28,151 14% Winong 133 27,134 3,533 30,667 12% Puncakwangi 112 24,090 3,763 27,853 14% Jaken 100 23,361 5,260 28,621 18% Batangan 89 24,099 3,241 27,340 12% Juwana 186 51,231 5,398 56,629 10% Jaknenan 112 23,941 2,961 26,902 11% Pati 218 56,612 7,565 64,177 12% Gabus 139 29,257 4,131 33,388 12% Margorejo 115 31,386 4,918 36,304 14% Gembong 98 23,341 4,011 27,352 15% Tlogowungu 109 26,782 5,768 32,550 18% Wedarijaksa 128 31,989 5,833 37,822 15% Margoyoso 147 35,844 7,075 42,919 16% Gunung Wungkal 79 19,543 2,449 21,992 11% Cluwak 120 24,630 2,460 27,090 9% Tayu 149 35,604 5,005 40,609 12% Dukuhseti 122 32,813 3,602 36,415 10% 127 31,191 6,689 37,880 18% 2.747 652,561 104,926 757,487 14% Trangkil Sumber DB1 DPR KPU Kab. Pati Jumlah voter turn-out di Kabupaten Pati pada pemilu 2014 mencapai 757.487 pemilih atau 74 persen dari total pemilih yang terdaftar. Kecamatan Sukulilo, Juwana dan Pati merupakan wilayah dengan voter turn-out terbanyak di atas 50 ribu pemilih. Sedangkan, konstribusi suara tidak sah di Kabupaten Pati disumbang oleh Kecamatan Sukolilo, Jaken dan Kayen. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 14 BAB IV FAKTOR-FAKTOR DAN MODUS SUARA TIDAK SAH Pada saat pemungutan suara pemilu legislatif 2014, suara tidak sah merupakan suatu hal yang tidak bisa dielakkan sebagai deviasi yang sebenarnya masih dapat ditoleransi. Hal tersebut menjadi tidak biasa karena pengamatan terhadap datadata suara tidak sah menunjukkan pola yang relatif merata, tetap dan tidak tidak acak. Suara tidak sah pada tingkat pemilihan anggota legislatif nasional DPR RI, lebih tinggi dibandingkan dengan suara tidak sah pada tingkat pemilihan anggota legislatif kabupaten (DPRD Kabupaten). Secara common sense, penyebab suara sah dapat dengan mudah dikaitkan dengan perilaku pemilih dalam memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara. Dengan megkaitkan aspek perilaku pemilih sebagai faktor tingginya suara tidak sah, maka hulu persoalan suara tidak sah bersumber dari apa yang mempengaruhi preferensi politik pemilih terhadap calon, seperti tingkat pengetahuan terhadap calon sebagai hal yang paling cepat diduga. Dugaan tingkat pengetahuan sebagai faktor suara tidak sah dari hasil pemungutan suara, sesungguhnya bukanlah hal yang secara independen terbentuk dengan sendirinya. Menjadikan tingkat pengetahuan pemilih sebagai konstributor suara tidak sah berkonsekuensi penulusuran dari aspek lain, yaitu sosialisasi. Terma sosialisasi memiliki dua dimensi. Dimensi pertama yaitu sosialisasi yang terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap calon anggota legislatif yang berarti hal tersebut tentang bagaimana upaya yang dilakukan oleh para calon untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat sehingga layak untuk dipilih. Dimensi kedua, yaitu terkait dengan sosialisasi tentang bagaimana cara masyarakat memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara secara benar. Pada dimensi ini menunjuk kepada kinerja perangkat KPU dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tatacara pemilihan. Dengan kata lain, mencari akar persoalan yang menyebabkan suara tidak cukup dengan menyelediki perilaku pemilih, namun juga perlu memasukkan aspek lain, Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 15 seperti (a) partai politik yang didalamnya juga termasuk calon anggota legislatif, dan (b) kinerja aparat penyelenggara pada tingkat yang langsung berhubungan dengan keputusan penetapan suara sah atau tidak sah pada saat pemungutan suara dan perhitungan suara. Dalam bab ini, pembahasan mengenai temuan penelitian atas faktor-faktor suara tidak sah akan diklasifikasi kedalam tiga aspek, (1) faktor suara tidak sah yang bersumber dari aspek penyelenggara, (2) faktor suara tidak sah yang bersumber dari aspek perilaku pemilih, (3) faktor suara yang dipengaruhi oleh peran partai politik. Aspek Penyelenggara Kapasitas Kapasitas tentang kepemiluan merupakan suatu hal yang urgent bagi penyelenggara pemilu, terutama pada tingkat ad-hoc, karena keberadaan mereka merupakan garis pertama dalam keputusan-keputusan terhadap hasil pemilu, seperti penetapan suara sah dan tidak sah. Kesalahan keputusan atas penetapan hasil pemilu, seperti sah atau tidaknya suara pada waktu perhitungan akan berimplikasi terhadap penetapan hasil pemilu pada rentang yang lebih luas. Bekal kapasitas kepemiluan bagi penyelenggara pemilu pada tingkat adhoc, terutama KPPS akan membuat kualitas pemilu menjadi lebih baik. Bimbingan teknis (Bimtek) kepemiluan telah dilakukan KPU dan jajaran dibawahnya secara berjenjang/ hirarki, mulai dari tingkat KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS sampai dengan KPPS. Untuk lebih memperkuat kapasitas penyelenggara di tingkat ad hoc, KPU menerbitkan buku panduan KPPS, yang didalamnya juga memuat materi tentang tata-cara mencoblos bagi pemilih yang hasilnya dapat dinilai sah atau tidak sah. Gambar 1. Hirarki Bimtek Penyelenggara Pemilu BIMTEK ANGGOTA KPU KAB/ KOTA BIMTEK ANGGOTA PPK BIMTEK ANGGOTA PPS Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES BIMTEK ANGGOTA KPPS 16 Secara umum, penyelenggaraan Bimtek telah dilaksanakan kepada seluruh perangkat penyelenggara pemilu secara berjenjang. Menurut Ketua KPU Provinsi Banten, penyelenggaraan pelatihan secara berjenjang ini sesuai dengan pentunjuk KPU Pusat. Hanya saja, keterbatasan anggaran menyebabkan penyelenggaraan Bimtek tidak dapat melibatkan seluruh penyelenggara pemilu terutama pada tingkat ad-hoc. Pagu anggaran yang telah ditetapkan pada tingkat pusat, dinilai tidak memperhatikan proporsi wilayah kerja KPU di tingkat di daerah; provinsi dan kabupaten, karena tidak ada perbedaan besaran anggara operasional, termasuk anggaran Bimtek, antara KPU di daerah dengan cakupan wilayah kerja yang luas dan jumlah pemilih yang lebih besar dengan KPU yang cakupan wilayah kerja lebih kecil dan jumlah pemilihnya lebih sedikit, seperti KPU Kabupaten Bogor dan KPU Kota Depok memiliki pagu anggaran yang sama, sehingga dalam memberikan Bimtek kepada penyelenggara pemilu di tingkat adhoc, mulai dari tingkat PPK, PPS dan KPPS hanya dapat melibatkan perwakilan dari unsur PPK, PPS dan KPPS, dengan harapan mereka dapat mensosialisasikan kembali hasil Bimtek kepada masig-masing anggotanya. Demikian pula dengan pengadaan buku panduan pemilu yang sangat penting, dicetak dalam jumlah yang tidak sesuai dengan proporsi penyelenggara pemilu ditingkat ad-hoc, sehingga pendistribusiannya hanya diberikan 1 buku kepada masing-masing PPK, PPS dan KPPS, dan diharapkan kerelaan dari penyelenggara untuk secara swadaya meperbanyak dengan cara dicopy apabila dibutuhkan. Di Provinsi Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat penyelenggaran Bimtek bagi PPK, PPS dan KPPS dilakukan dengan hanya melibatkan representasi dari masing-masing unsur, terdiri dari 1 sampai dengan 2 orang mulai dari PPK, PPS, dan KPPS. KPU provinsi Banten mengadakan bimtek terhadap anggota KPU Kabupaten / Kota secara serentak sebanyak satu (1) kali yang dihadiri oleh seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Banten termasuk anggota KPU daerah di Dapil II Banten (Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon). Narasumber bimtek terhadap anggota KPU Kabupaten/Kota adalah KPU Provinsi Banten dengan satu diantara materi bimteknya adalah ketentuan-ketentuan terkait suara sah dan tidak sah pada pemilu legislatif 2014. Dengan pendekatan yang sama, Bimtek juga dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah terhadap KPU Kabupaten/Kota di kedua provinsi tersebut. Berdasarkan pertimbangkan luas wilayah kerja KPU provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, bimtek dilakukan secara bertahap berdasarkan kedekatan masing-masing wilayah kabupaten/Kota di kedua provinsi tersebut. Peserta bimtek di tingkat KPU Kabupaten/Kota di Jawa Barat hanya menghadirkan 3 orang peserta di tiap KPU Kabupaten/ Kota yang terdiri dari Dua (2) orang komisioner dan Satu (1) orang sekretaris KPU Kabupaten/ Kota. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 17 Menurut anggota KPU provinsi Jawa Barat, hal ini dilakukan karena ketersediaan anggaran bimtek KPU Provinsi Jawa Barat yang terbatas. Di tingkat kabupaten/kota, KPU Kabupaten/Kota melakukan bimtek terhadap penyelenggara pemilu di tingkat Kecamatan (PPK). Di Kabupaten Serang, Bimtek terhadap PPK dilakukan sebanyak satu (1) kali dengan menghadirkan seluruh anggota PPK termasuk sekretaris PPK dengan narasumber KPU Kabupaten Serang dan KPU Provinsi Banten. Menurut Ketua KPU Kabupaten Serang, dengan menghadirkan seluruh anggota PPK sebagai peserta bimtek diharapkan masingmasing anggota dapat saling melengkapi informasi dan pemahaman yang didapat selama bimtek. Salah satu materi yang digunakan dalam bimtek adalah Buku Panduan KPPS yang diterbitkan oleh KPU Pusat. Sama halnya dengan KPU Kabupaten Serang, bimtek yang dilakukan oleh KPU Kota Cilegon menghadirkan seluruh anggota PPK di tiap kecamatan di Kota Cilegon. Bimtek dilakukan sebanyak Satu (1) kali dengan menghadirkan anggota KPU Provinsi Banten dan KPU Kota Cilegon sebagai Narasumber. Berbeda dengan Banten, bimtek KPU Kabupaten/Kota terhadap PPK di provinsi Jawa Barat hanya menghadirkan 3 orang peserta di tiap PPK yang terdiri dari Dua (2) orang anggota PPK dan Satu (1) orang sekretaris PPK. Pola bimtek di tingkat kecamatan (PPK) secara substansi sama halnya dengan bimtek pada jenjang sebelumnya, peserta bimtek adalah panitia penyelenggara di tingkat desa / kelurahan (PPS) terkecuali bimtek yang dilakukan oleh PPK Kramat Watu Kabupaten Serang, selain menghadirkan Dua (2) anggota PPS, bimtek juga diikuti oleh Dua (2) anggota anggota KPPS. Pada bimtek tingkat PPK Kramat Watu, PPK Cibeber dan PPK Cileungsi selain PPS, bimtek juga dihadiri oleh anggota Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Terkait dengan efektifitas bimtek dinilai kurang efektif karena jumlah peserta bimtek yang terlalu banyak dan sedikitnya materi simulasi proses penghitungan dan rekapitulasi suara sebagai faktor yang mempengaruhi kapasitas penyelenggara pemilu terhadap setiap tahapan penyelenggaraan pemilu legislatif 2014, sementara peserta Bimtek terlalu banyak sehingga tidak fokus memperhatikan presentasi dan simulasi materi. Kritik terhadap efektifitas penyelenggaraan disampaikan oleh salah seorang PPS di Desa Winong Kabupaten Semarang bahwa Bimtek tidak efektif karena pada tingkat implementasi tidak sesuai dengan apa yang disampaikan pada saat Bimtek, seperti penerbitan surat edaran dari KPU pada detik-detik terakhir menjelang pemungutan suara terkait dengan diskualifikasi salah seroang kandidat DPD dan DPRD Kabupaten, sehingga menganulir apa yang telah disampai pada Bimtek. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 18 Menurut anggota Panwascam Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, bimtek di tingkat kecamatan lebih mirip seminar ketimbang sebuah pelatihan bimbingan teknis, hal ini disebabkan karena banyaknya peserta yang terlibat dalam bimtek. Meskipun peserta dibekali dengan buku panduan bagi KPPS namun dengan bimtek yang berjalan normatif dan umum, bimtek dinilai tidak efektif dalam membekali kemampuan teknis bagi PPS dan KPPS dalam menyelengarakan pemilu di tingkat desa dan TPS. Menurut Panwascam Kramat Watu Kabupaten Serang, indikasi tidak efektifnya bimtek ini terlihat dari rendahnya pemahaman PPS dan KPPS dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Panwascam. Pada pelaksanaan pemilu legislatif 2014 masih ditemukan adanya anggota KPPS yang tidak memberikan akses terhadap Form C1 kepada Petugas Pengawas Lapangan (PPL). Hal senada disampaikan oleh PPK Cibeber Kota Cilegon, singkatnya waktu pelaksanaan bimtek membuat simulasi proses penghitungan dan rekapitulasi menjadi tidak efektif, padahal simulasi ini menjadi penting untuk menggambarkan proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara mengingat sebagian besar anggota PPS dan KPPS enggan membaca buku panduan KPPS. Meskipun demikian, PPK Kramat Watu, PPK Cibeber dan PPK Cileungsi sepakat mengatakan bahwa bimtek adalah penyegaran (up grading) terhadap anggota PPS dan KPPS, yang sebagian besar diantaranya sering terlibat sebagai anggota panitia pemilihan baik pada pemilu nasional ( 2004 dan 2009) maupun pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Kualitas SDM dalam perekrutan anggota KPPS juga menentukan kapasitas penyelenggara pemilu. Sebagian besar PPS mengaku kesulitan merekrut anggota KPPS yang memiliki kemauan dan kemampuan sebagai KPPS sebagaimana yang diamanatkan dalam aturan tertulis KPU. Di tingkat pengawas pemilu, tidak berimbangnya jumlah Petugas Pengawas Lapangan (PPL) dibandingkan dengan jumlah TPS berimplikasi kepada tidak maksimalnya fungsi PPL sebagai mitra kerja PPS dan KPPS dalam mengawal proses pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS. Persyaratan anggota PPK, PPS dan KPPS mengacu pada aturan yang dibuat oleh KPU seperti berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun, berpendidikan paling rendah SLTA atau yang sederajat sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran (SE) KPU tentang Pengangkatan Anggota KPPS Pemilu tahun 2014. Fakta di lapangan bahwa persyaratan tersebut sulit untuk diimplemementasikan, karena sulit untuk merekrut KPPS sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Ketua PPS Desa Terate, Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, sangat sulit memenuhi persyaratan anggota KPPS sebagaimana yang tertuang dalam aturan KPU tersebut. Ketersediaan SDM yang ada di tingkat desa menjadi kendala utama dalam merekrut anggota KPPS. Di PPS Desa Terate Kecamatan Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 19 Kramat Watu Kabupaten Serang masih ditemukan anggota KPPS yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Pengakuan yang sama juga dilontarkan oleh ketua PPS Cibeber Kecamatan Cibeber Kota Cilegon dan PPS Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, menurut ketua PPS Cibeber, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, bagi sebagian besar masyarakat, tugas dan tanggungjawab menjadi KPPS sangat berat jika dibandingkan dengan “penghargaan” yang didapat sehingga banyak SDM yang memenuhi kriteria tidak berkenan menjadi anggota KPPS. Untuk mengatasi hal ini, PPS Desa Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi menunjuk perangkat desa seperti pengurus RT dan RW sebagai anggota KPPS. Sebagian besar PPS hanya merekrut ketua KPPS saja selanjutnya ketua KPPS yang merekrut anggotanya. Dari sisi pengawas pemilu, cakupan wilayah pengawasan dan jumlah petugas pengawas lapangan (PPL) yang tidak berimbang diakui oleh panwascam Kramat Watu dan Panwascam Cileungsi. Proporsi jumlah PPL juga ditemukan tidak berimbang antara satu desa dengan desa lainnya di wilayah kecamatan yang sama. Menurut panwascam hal ini menyebabkan PPL tidak mampu memberikan pengawasan maksimal pada tiap TPS terutama pada proses penghitungan suara di tingkat TPS. Namun demikian untuk mengatasi hal ini, panwascam memberikan skala prioritas pengawasan terhadap PPS atau KPPS yang dianggap memiliki tingkat potensi pelanggaran yang tinggi. Pemahaman Suara Tidak Sah Pengadministrasian hasil suara pemilu legislatif (Pileg) dicatat dalam sertfikat rekapitulasi perhitungan suara mulai dari tingkat KPPS hingga KPU Provinsi. Masing-masing sertifikat di setiap rekapitulasi hasil perhitungan suara Pileg diberikan kode tersendiri. Kode C1 untuk sertfikat di tingkat KPPS atau TPS, D1 di tingkat PPS, DA-1 di tingkat PPK, DB-1 di tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan DC1 di tingkat KPU Provinsi. Di dalam sertifikat termuat 3 jenis kolom yang harus diisikan oleh petugas/penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan, yaitu: kolom I adalah kolom Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih, kolom II adalah kolom Data Penggunaan Hak Suara, dan kolom III adalah kolom Suara Sah dan Tidak Sah. Dalam hal suara tidak sah, KPU telah memberikan petunjuk mengenai surat suara yang dinilai sah dan tidak sah berdasarkan cara mencoblos. Terdapat 15 poin cara mencoblos yang dinilai sah dalam memberikan suara dan 4 poin cara mencoblos yang menyebabkan suara tidak sah. Keempat poin tersebut sebagai berikut: Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 20 No Cara Mencoblos Tidak Sah Surat Suara Pileg DPR RI 2014 Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan 1 nama Partai Politik, Sedangkan tanda coblos calon terletak pada partai politik yg berbeda, suaranya dinyatakan TIDAK SAH Tanda coblos terletak hampir mengenai garis/diluar kolom pada kolom 2 yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya dinyatakan TIDAK SAH Tanda coblos terletak diantara kolom Partai Politik, suaranya 3 dinyatakan TIDAK SAH Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, DAN tanda coblos pada kolom yang memuat nomor 4 urut dan nama calon, SERTA ada tanda coblos diluar kolom, suaranya dinyatakan TIDAK SAH Sumber: Buku Panduan KPPS, Pemilu Legislatif 2014 Penjelasan KPU mengenai surat suara tidak sah adalah dalam kerangka tata-cara pencoblosan, karena memang sebagai hal yang paling mudah dijelaskan untuk mengantisipasi kesalahan pada tingkat pencoblosan maupun pada tingkat penulisan hasil. Kesalahan yang bersumber dari kesalahan pencatatan oleh petugas (human error) dinilai akan dapat terdeteksi melalui proses pencatatan dan pendokumentasian rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilu legislatif yang dilakukan secara berjenjang. Pada praktiknya, penjelasan KPU mengenai suara sah dan tidak sah yang seyogyanya telah tersosialisasi secara baik melui Bimtek, tidak secara efektif memberikan pemahaman yang benar dan seragam kepada semua petugas di tingkat ad-hoc, seperti KPPS. Sebagaimana yang dinyatakan oleh anggota KPU Provinsi Jawa Barat bahwa kesalahan penetapan suara tidak sah satu diantaranya karena KPPS masih mengikuti ketentuan yang berlaku pada pemilu 2009. Pada pemilu legislatif 2014, apabila surat suara dicoblos lebih dari satu di nomor urut dan nama caleg dalam parpol yang sama, maka suaranya dihitung 1 (satu) untuk parpol, sedangkan hal yang sama pada pemilu 2009 cara pencoblosan seperti ini dianggap tidak sah. Menurut anggota KPU Provinsi Jawa Barat, potensi kesalahan pada proses penghitungan suara akan terjadi jika panitia penyelenggara pemilu seperti anggota KPPS yang pernah bertugas sebagai KPPS pada pemilu sebelumnya tidak melakukan up grade pemahaman atas penetapan suara sah dan tidak sah pada pemilu legislatif 2014. Namun demikian potensi kesalahan ini sangat kecil terjadi pada proses akhir penetapan perolehan suara sah dan tidak sah, karena proses penghitungan dan rekapitulasi yang berjenjang mulai dari tingkat PPS, PPK, KPU Kabupaten / Kota sampai KPU Provinsi yang juga diikuti oleh saksi dan pengawas pemilu. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 21 Secara umum pemahaman penyelenggara pemilu terhadap suara sah dan tidak sah cukup baik. Beberapa kesalahan yang terjadi pada proses pengitungan dan rekapitulasi adalah pada tahap pencatatan hasil penghitungan kedalam form rekapitulasi perolehan suara seperti kesalahan penulisan pada kolom dan baris yang tersedia pada masing-masing form. Pemahaman penyelenggara pemilu terkait dengan tahapan penentuan suara sah dan tidak sah dinilai anggota PPK Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang sudah cukup baik, hal ini terlihat dari sedikitnya pertanyaan yang muncul dari PPS dan KPPS dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara, demikian halnya dengan tahapan penghitungan suara yang dimulai dari DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Hal yang sama diutarakan oleh Ketua PPK Kecamatan Cibeber Kota Cilegon dan ketua PPK Cileungsi Kabupaten Bogor, penentuan suara sah dan tidak sah menjadi fokus utama pada saat bimtek terhadap PPS dan KPPS. Namun demikian paska bimtek semua PPK mengakui jika masih ada PPS dan KPPS yang berkonsultasi terkait dengan penentuan suara sah dan tidak sah. “Paska bimtek termasuk pada proses penghitungan dan rekapitulasi suara, masih ada anggota PPS dan KPPS yang berkonsultasi terkait suara sah dan tidak sah, sebagian besar pertanyaan yang muncul adalah kasuskasus yang sudah diatur jelas dalam buku panduan KPPS. Kejadian ini kami duga karena KPPS tidak memahami dengan baik buku panduan KPPS” 2. Hal yang sama juga terjadi di PPS Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, konsultasi paska bimtek juga terjadi termasuk pada proses penghitungan dan rekapitulasi, pemahaman KPPS yang kurang atas penentuan suara sah dan tidak sah justru menimbulkan perdebatan antara KPPS dan saksi partai politik. “Konsultasi ini sengaja kami buka sebagai cara untuk menyelesaikan kendala di lapangan secara lebih dini. Ada kasus konsultasi dilakukan oleh KPPS ketika saksi begitu dominan di TPS tersebut. KPPS yang tidak memiliki pemahaman yang utuh atas suara sah dan tidak sah membuat saksi menjadi dominan dalam menentukan suara sah dan tidak sah, pada kasus seperti ini kami menjadikan buku panduan KPPS sebagai acuan bersama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat terkait penentuan suara sah dan tidak sah” 3 2 3 Hasil wawancara dengan PPK Kramat Watu tanggal 08 Agustus 2014 Hasil wawancara dengan PPS Limus Nunggal tanggal 27 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 22 Menurut dosen ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, salah satu faktor yang paling menjamin pemahaman penyelenggara pemilu atas ketentuan mengenai suara sah dan tidak sah adalah jika penyelenggara pemilu membaca dan memahami dengan baik semua ketentuan KPU mengenai pelaksanaan pemilu legislatif 2014 termasuk buku panduan KPPS yang diterbitkan oleh KPU. Temuan di Jawa Tengah Dapil III mengindikasikan asimetri informasi dari penyelenggara pemilu mengenai suara tidak sah yang sekaligus mengimplikasikan variasi pemahaman mengenai alokasi suara tidak sah. Menurut Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tingginya suara sah di Jawa Tengah Dapil III karena (1) perilaku pemilih dan (2) masalah pengadministrasian suara. Penjelasan mengenai masalah pengadministrasian suara adalah dalam konteks pengadministrasian hasil suara pemungutan suara ulang (PSU) di 251 TPS di Jawa Tengah, yang mana 200 TPS sesungguhnya merupakan pemungutan suara lanjutan (PSL) dan 51 TPS sebagai yang benar-benar PSU. Menurut Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, dalam konteks ini adalah bagaimana memperlakukan suara sebelum PSU, karena tidak ada Peraturan KPU (PKPU) yang menjelaskan mengenai hasil suara terkait dengan PSU, maka hasil PSU tersebut dimasukkan ke dalam kolom suara tidak sah. Pada waktu perhitungan suara di tingkat KPPS, kotak suara lama sebelum PSU tidak dihitung karena dianggap tidak terpakai, namun ketika diserahkan kepada KPU Provinsi, tampaknya hal tersebut menjadi pertanyaannya, apakah surat suara dalam kotak lama sebelum PSU dianggap tidak ada atau dimasukkan dalam kolom suara tidak sah. Kekosongan aturan mengenai hasil suara ketika terjadi PSU mendorong ‘ijtihad’ dari KPU Provinsi untuk menuliskannya sebagai suara tidak sah. “Di Jawa Tengah terdapat 201 TPS yang PSU, yang murni PSU ada 51 TPS dan 200 TPS merupakan pemungutan suara lanjutan dan rekapitulasi ulang…Dan itu secara administrasi dimasukkan dalam kolom tidak sah, karena PKPU tentang PSU tidak ada dan kolomnya juga tidak ada. Kalau kotak yang lama PSU tidak dihitung, lalu kita menerima surat suara tersebut, misal ada 500 surat suara, ketika yang terpakai 300, tapi sisanya kok hanya 100, berarti kan yang seratus itu ada dalam kotak itu (yang dianulir karena PSU-pen), pertanyaannya dimasukkan di mana? Karena tidak ada kolomnya maka dimasukkan dalam suara tidak sah.”4 Pernyataan berbeda disampaikan oleh salah seorang anggota KPU Kabupaten Pati, bahwa suara dalam kotak sebelum PSU dianggap tidak ada secara hukum, karena pelaksanaan pemungutan suaranya dinilai cacat hukum, oleh karena itu 4 Hasil wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 23 hasilnya juga tidak bisa dipakai. Surat suaranya tidak bisa diketegorikan surat suara rusak atau tidak sah, karena pengertian surat suara rusak dan tidak sah tidak merujuk kepada kasus PSU. “Surat suara PSU – kotak sebelum pelaksanaan PSU, pen. – tidak bisa dihitung karena dianggap batal secara hukum, jadi otomatis tidak dapat dilaporkan dalam dokumen rekapitulasi suara”5 Pada tingkat adhoc, salah seorang aggota PPS di Desa Winong, Kecamatan Winong, memahami bahwa surat suara yang tidak dicoblos karena terdapat pemilih yang tidak datang ke TPS dianggap sebagai suara tidak sah. Desa Winong, sebagian penduduknya merupakan pekerja migran (TKI) di Malaysia, banyak dari penduduk yang masih bekerja di luar negeri tidak berada di tempat pada saat pemilu legislatif, tanggal 9 April, padahal mereka sudah terdata dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ketika dilaksanakan pencoblosan, banyak surat suara yang tidak terpakai karena para pemilih yang terdata tidak mendatangi TPS, karena tidak berada di tempat, masih berada di luar negeri. PPS berkewajiban untuk memberikan tanda silang bagi surat suara yang tidak dicoblos tersebut untuk menandai bahwa surat suara tersebut rusak. Hanya saja karena kerusakannya bukan karena kerusakan surat suara atau karena salah mencoblos, maka surat suara tersebut dilaporkan sebagai surat suara tidak sah. 6 Hal tersebut dapat menyebabkan suara tidak sah, khususnya suara tidak sah pada tingkat DPR RI menjadi tinggi. Penetapan dan Pencatatan Suara Sah dan Tidak Sah Dalam pemilu legislatif 2014, diakui oleh banyak informan yang diwawancarai bahwa berkas-berkas perhitungan dan rekapitulasi suara terlalu komplek, sangat banyak kolom yang harus ditulis oleh petugas yang berkonsekuensi waktu dan konsentrasi, sehingga human error atau kesalahan pada saat pencatatan hasil pemilu pada tahap perhitungan dan rekapitulasi suara berpotensi dilakukan oleh KPPS, PPS dan PPK. Kesalahan dalam mengisi form rekap diakui oleh PPK Kramat Watu dan PPK Cileungsi di lokasi studi bahwa masih ada KPPS dan PPS yang melakukan kesalahan pada tahap pencatatan perolehan suara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Umumnya kesalahan yang terjadi adalah penempatan penulisan dan penjumlahan perolehan suara tidak pada baris atau kolom yang seharusnya. Hal ini tidak merubah data perolehan suara masing-masing caleg 5 6 Hasil wawancara dengan anggota KPU Kab. Pati, tanggal 11 Agustus 2014 hasil wawancara dengan PPS Desa Winong, Kabupaten Pati, Tanggal, 9 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 24 maupun partai, namun hal ini berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian rekapitulasi di tingkat kecamatan (PPK). Kesalahan dalam proses pencatatan tersebut dapat dideteksi dan dikoreksi dalam pencermatan di tingkat rekapitulasi suara oleh PPS atau PPK.7 Hal yang perlu digarisbawahi adalah kesalahan pencatatan dapat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi yang lemah karena faktor keletihan, namun apabila kesalahan terjadi pada penjumlahan suara, bukan terletak pada pada baris atau kolom yang seharusnya, maka kesalahan tersebut lebih mengindikasikan kepada efektifitas Bimtek yang diselenggarakan. Beberapa kesalahan lainnya yang terjadi di tingkat PPS adalah melaksanakan tahapan penghitungan suara berdasarkan prosedur yang seharusnya, yaitu dimulai dari DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Menurut Ketua PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, di salah satu TPS proses perhitungan suara tidak dimulai dari perhitungan suara DPR, mereka langsung menghitung suara untuk DPRD Kabupaten/Kota, hal tersebut dilakukan atas usulan dan desakan saksi partai yang lebih mengutamakan untuk melakukan pencatatan atas hasil perolehan suara caleg provinsi dan kabupaten, namun hal tersebut hanya di beberapa TPS saja. Ketua PPS Desa Terate menyayangkan adanya saksi yang meninggalkan TPS sebelum semua proses penghitungan selesai dilakukan, sehingga banyak TPS yang pengesahan suara sah untuk DPR, tidak ditandatangani oleh semua saksi parpol. Sementara itu, terkait dengan kesalahan pencatatan perolehan suara pada form, baik PPS maupun KPPS mengakui hal tersebut disebabkan oleh faktor kelelahan yang dialami oleh anggota KPPS yang bertugas pada proses pencatatan perolehan suara. Sebagian besar anggota KPPS mengaku menyelesaikan tugas mereka di TPS sampai dengan dini hari. Panwascam Kramat Watu Kabupaten Serang menilai, faktor kelelahan yang dialami oleh anggota KPPS disebabkan karena tugas untuk melakukan proses penghitungan dan pencatatan hanya ditumpukan pada anggota KPPS yang mengikuti bimtek saja sementara anggota KPPS yang lain tidak memiliki kemampuan untuk mengambil alih tugas penghitungan dan pencatatan. Hal ini disebabkan anggota KPPS yang mengikuti bimtek tidak menularkan pemahaman pada saat bimtek kepada anggota KPPS yang lain, sehingga kemampuan atas pemahaman suara sah dan tidak sah, serta kemampuan teknis dalam melakukan penghitungan dan pencatatan menjadi tidak merata antar anggota KPPS. 7 Hasil wawancara dengan PPK Kramat Watu tanggal 11 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 25 Selain faktor kelelahan dan distribusi pekerjaan yang tidak merata di antara sesama anggota KPPS, menurut PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, ketersediaan SDM di KPPS juga mempengaruhi kinerja pelaksanaan pemilu terutama pada tahap pemungutan dan penghitungan suara, pada TPS 2 misalnya, dari 7 orang anggota KPPS, 1 orang berpendidikan sarjana, 4 orang berpendidikan SMU dan 2 orang berpendidikan SD. Menurut anggota Bapilu partai Demokrat Kabupaten Serang, keberatan saksi partai atas penyelenggara pemilu yang terkait penetapan suara sah dan tidak sah relative sedikit , secara umum yang terjadi pada proses pengitungan di tingkat TPS dan rekapilutulasi di tingkat PPS, PPK dan KPU adalah kesalahan dalam penempatan atau penulisan angka perolehan suara. Meskipun hal ini tidak berpengaruh pada suara sah dan tidak sah namun kesalahan kecil seperti ini juga harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu kedepan. Menanggapi kesalahan pada tingkat implementasi ini, dosen ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menjelaskan secara teknis, banyaknya form yang harus dilengkapi oleh KPPS dan ketersediaan waktu yang sangat sempit berkontribusi besar dalam tingkat kesalahan yang mungkin terjadi di tingkat TPS. Faktor kelelahan yang dialami oleh anggota KPPS menjadi tidak terhindarkan ketika tingkat konsentrasi menurun pada bagian-bagian penting dari proses pemungutan dan pengitungan suara yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Aspek Perilaku Pemilih Pemahaman Tata-cara Mencoblos Keikut-sertaan banyak partai dan banyak calon anggota legislatif, berimplikasi terhadap kompleksitas surat suara yang harus dicobolos oleh masyarakat, baik pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten, termasuk juga DPD. Khusus untuk pemilihan anggota DPR RI, diikuti oleh 6.068 calon anggota legislatif yang akan memperebutkan 560 kursi yang tersebar di 77 daerah pemilihan (dapil). Oleh karena itu, dapat dibayangkan struktur surat suara (ballot stucture) yang harus memuat nama-nama calon anggota legislatif dan partai pengusung masing-masing calon, sehingga mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat dan nama-nama yang termuat dalam surat suara dapat dengan benar dicoblos. Agar tidak terjadi kesalahan dalam mencoblos yang mengakibatkan suara tidak sah, KPU menetapkan 15 kategori coblosan yang dinilai sah dan 4 kategori coblosan yang dinilai tidak sah. Agar masyarakat memahami tata-cara mencoblos dengan benar sehingga suara yang diberikan adalah sah, KPU telah melakukan sosialisasi tata-cara mencoblos melalui PPK, PPS dan KPPS. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 26 Di ketiga lokasi studi, sosialisasi tata-cara mencoblos oleh KPPS dilakukan dengan pola yang hampir sama, yaitu melalui pertemuan-pertemuan informal rukun tangga (RT) atau pengajian/yasinan. Hal ini diakui lebih efektif daripada sosialisasi yang dilakukan dalam format formal, seperti seminar dan sejenisnya. Di sisi lain sosialisasi pemilu oleh KPU melalui mass-media, cetak maupun elektronik lebih fokus untuk mengajak masyarakat datang ke TPS pada tanggal 9 April. Sosialisasi tata-cara mencoblos juga dilakukan oleh tim sukses calon legislatif dalam rangka mendorong masyarakat memilih calon yang didukungnya. Terkadang juga calon anggota legislatif (caleg), biasanya dari calon anggota legislatif DPRD, hadir dalam sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh PPK atau PPS. Kehadiran caleg pada dinilai tidak produktif karena akan menjadi preseden yang kurang baik dalam hal relasi perangkat KPU di tingkat adhoc dengan caleg. “Kehadiran caleg dan tim sukses ini membuat PPK dan PPS lebih berhatihati dalam melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat. Kami khawatir ada kesalahpahaman yang timbul seolah-olah PPK dan PPS berpihak pada salah satu partai atau caleg”. 8 Sosialisasi pemilu selain dilakukan secara langsung melalui pertemuan dengan masyarakat, sosialisasi juga dilakukan melalui media cetak, elektronik dan media luar ruang seperti spanduk dan baliho. Media sosialisasi yang digunakan berjenjang sesuai jangkauan media di tiap jenjang penyelenggara pemilu. Sosialisasi menggunakan media massa secara berjenjang ini dinilai oleh KPU Serang kurang efektif, mengingat sulitnya mendapatkan media massa yang paling tepat untuk menjangkau pemilih dalam jumlah besar dan merata di satu wilayah kabupaten. “Menggunakan radio sebagai media sosialisasi di tingkat kabupaten tentu bukan pilihan yang baik mengingat segmentasi pendengar radio yang terbatas dan kecenderungan masyarakat saat ini yang makin sedikit menggunakan radio sebagai media untuk mendapatkan informasi” 9 Pelaksanaan pemilu lokal (pilkada) juga memberikan konstribusi terhadap masyarakat tentang bagaimana cara memilih atau mencoblos yang benar. Ketua PPK Cileungsi Kabupaten Bogor menyampaikan bahwa secara teknis pencoblosan, pemilih tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pencoblosan dengan benar, karena pemilu 2014 adalah bukan pemilu pertama bagi sebagian 8 9 Hasil wawancara dengan PPK Cibeber, Kota Cilegon tanggal tanggal 11 Agustus 2014 Hasil wawancara dengan KPU Kabupaten Serang tanggal 08 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 27 besar pemilih, terlebih di daerah juga ada pilkada Bupati dan Gubernur yang proses tata cara pencoblosan untuk suara sah relatif sama.10 Selain itu, pemilihan kepala juga telah memberikan pengalaman kepada masyarakat tentang bagaiamana memilih yang benar.11 Meski secara umum masyarakat telah memahami bagaimana cara mencoblos, kelompok usia lanjut buta huruf di wilayah pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang sulit diberikan pemahaman bagaiman cara mencoblos yang benar.12 Willingness to Vote dan Modus Suara Tidak Sah Sejak pemilu dilaksanakan dengan cara masyarakat memilih langsung calon legislatif di berbagai tingkatan, telah membentuk ‘kesadaran’ politik masyarakat yang cukup baik untuk menentukan pilihan pada saat pemilu. Dibalik suara tidak sah, sesungguhnya mengimplikasikan kesadaran politik pemilih yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perilaku partai politik. 13 Dengan kata lain, menganalisa fenomena suara tidak sah masih sah saja tinggi mulai dari pemilu tahun 2009, kiranya perlu melihat perilaku partai politik dalam melakukan pendekatan politik ke masyarakat. Pada pemilu legislatif yang lalu, ketika mendatangi TPS masyarakat cenderung mengatakan “negara minta milih, kita milih”, atau “yang penting menggugurkan kewajiban”. Menggaris bawahi ungkapan “yang penting menggugurkan kewajiban” merupakan ungkapan yang dapat dilihat dari dua perspektif dan konteks, yaitu (1) sikap yang ‘skeptis’ terhadap pemilu, dan (2) sikap imbal balik dari sesuatu yang mereka terima. Sikap ‘skeptis’ terhadap pemilu merefleksikan kesadaran yang sesungguhnya mempertanyakan pengaruh pemilu terhadap kehidupan mereka, karena pemilu lebih dilihat dalam kerangka kewajiban warga negara daripada sebagai hak. Sehingga kedatangan mereka ke TPS lebih sebagai bentuk kepatuhan sebagai warga negara, daripada sebagai bentuk kesadaran untuk menyalurkan aspirasi politik dengan memilih calon anggota lagislatif. Sedangkan yang kedua merupakan bentuk sikap yang lahir dari kesadaran penuh atas imbal balik dari ‘pemberian’ yang diterima oleh masyarakat dari tim sukses calon anggota legislatif yang menuntut komitmen untuk memilih calon anggota legislatif tertentu yang diminta. Dalam kontek suara tidak sah, sikap ‘skeptis’ terlihat dari adanya blanko surat suara yang tidak dicoblos, meski dimasukkan dalam kotak suara, sehigga tidak dapat dihitung dan dinyatakan tidak sah. Seperti pernyataan Ketua TPS 6 Kelurahan Cibeber, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon bahwa sebagain besar Hasil wawancara tanggal 27 Agustus 2014 Hasil wawancara dengan anggota KPU Kab. Bogor 25 Agustus 2014 12 Hasil wawancara dengan PPK Kecamatan Winong, Pati, Jawa Tengah, tanggal 11 Agustus 2014 13 Hasil wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014 10 11 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 28 suara tidak sah pada pemilu legislatif 2014 adalah kertas suara blangko (kertas suara tidak dicoblos). Untuk mengantisipasi hal ini, sesungguhnya KPU Kota Cilegon telah mengupayakan sosialisasi yang tidak terbatas tentang tata-cara mencoblos, juga sosialisasi yang menggugah kesadaran mereka tentang pentingnya pemilu 2014, baik yang dilakukan oleh KPU Kota Cilegon sendiri maupun melalui perangkat pemilu di tingkat ad-hoc; PPS dan KPPS melalui pertemuan-pertemuan informal yang ada di masyarakat. Di Kabupaten Serang, KPU Kabupaten Serang juga mendorong partai politik dan calon anggota legislatif untuk melakukan sosialisasi pemilu secara langsung kepada pemilih, seperti pemilih pemula, pada saat masa kampanye, karena hal tersebut disamping sebagai bentuk kampanye, juga merupakan pendidikan politik. Hal ini diakui memang sulit terlaksana, karena parpol dan calon anggota legislatif cenderung lebih melakukan kampanye politik. Tidak dikenal maka tidak dipilih merupakan ungkapan yang dapat memberikan deskripsi mengenai satu diantara penyebab fenomena suara tidak sah. Di Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang, terdapat variasi perbedaan perolehan suara yang cukup signifikan dimana jumlah suara tidak sah akan semakin besar jumlahnya ketika jarak calon anggota legislatif semakin jauh dari pemilih. Jumlah Suara tidak sah untuk DPR sebagian besar dibiarkan kosong (tidak dicoblos), karena pemilih tidak mengenal calon anggota legislatif DPR di wilayahnya. Meski sesungguhnya surat suara tidak sah karena tidak dicoblos banyak terdapat di surat suara untuk DPD karena masyarakat tidak mengenal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga tidak antusias untuk memilih mereka. Kondisi ini dinilai wajar, sebagaimana penilaian anggota KPU Kabupaten Pati dan Bogor, karena sosialisasi calon anggota DPR dan DPD kurang terdengar bahkan dapat dikatakan samasekali tidak ada, sehingga kurang dikenal dibandingkan calon anggota legislatif. Adapun suara tidak sah yang disebabkan oleh ketidaktahuan pemilih mengenai tata cara pencoblosan, menurut Ketua PPS Desa Terate Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang mungkin saja terjadi, terutama untuk pemilih usia lanjut meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit. Sedikitnya sosialisasi yang dilakukan oleh caleg DPR membuat sebagian besar pemilih tidak memiliki pengetahuan tentang profil calon yang berkonsekuensi logis terhadap rendahnya tingkat keinginan untuk mencoblos kertas suara DPR. Situasi ini terjadi di semua lokasi studi. Terlebih, calon anggota legislatif secara etnis tidak merepresentasikan wilayah daerah pemilihannya, seperti di Kabupaten Bogor, calon anggota legislatif DPR RI dari salah satu partai pemenang pemilu 2014 tidak ada yang merepresentasikan etnis daerah pemilihannya. Hal ini disayangkan oleh salah seorang anggota KPU Kabupaten Bogor, menurutnya partai seharusnya Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 29 mempertimbangkan keterwakilan calon anggota legislatif (DPR-pen.) dari wilayah yang menjadi daerah pemilihannnya, karena bagaimanapun hal tersebut menjadi salah pertimbangan pilihan politik.14 Menurut anggota PPS Desa Limus Nunggal Kabupaten Bogor, pada proses penghitungan suara di tingkat TPS, masyarakat pemilih dan saksi sangat antusias pada proses penghitungan perolehan suara caleg DPRD Kabupaten/ Kota terutama jika terdapat caleg yang berasal dari desa tersebut. Menanggapi hal ini, dosen ilmu politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten menyampaikan bahwa membangun hubungan emosional yang baik dengan pemilih adalah hal paling utama yang harus dibangun oleh calon anggota legislatif yang ingin memenangkan proses pemilihan. Sosialisasi yang dilakukan oleh caleg baik secara langsung maupun melalui tim sukses serta melalui media massa sangat mempengaruhi pengetahuan pemilih untuk memutuskan dukungan suara pada proses pemilihan. Sosialisasi terbaik adalah dengan menemui langsung pemilih pada tingkat komunitas untuk memperkenalkan diri maupun menyampaikan program yang akan dilakukan, bagi pemilih tertentu, terkadang program menjadi buka hal paling utama ketika pemilih sudah mengenal baik calon anggota legislatif. Modus suara tidak sah lainnya adalah terdapat coblosan ganda pada kolom yang berbeda. Temuan di ke-tiga lokasi studi di Provinsi Banten, Jawa Tengah dan Jawa Barat bahwa surat suara tidak sah diantaranya karena pencoblosan ganda. Perilaku mencoblos ganda dapat dikategorikan karena dua hal: (1) dimotivasi oleh adanya pemberian uang atau barang dari para caleg agar mereka memilih para caleg tersebut, (2) faktor kesalahan pencoblosan, yang mana pada saat pencoblosan, surat suara tidak dibuka secara benar, sehingga semua kolom tercoblos yang menyebabkan lubang coblosan lebih di satu kolom, dan (3) karena masyarakat lebih kenal atau lebih menyukai partai daripada caleg sehingga mereka terdorong lebih memilih caleg dari partai yang berbeda. Modus coblosan ganda karena disebabkan adanya praktik politik uang dari para calon anggota legislatif terkonfirmasi dari informasi yang disampaikan oleh Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, Anggota KPU Kab. Pati, Anggota KPU Kabupaten Bogor, PPK, PPS dan KPPS di Kecamatan Winong Kabupaten Pati dan Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor. Di Jawa Tengah istilah yang lazim terdengar dari masyarakat adalah “untuk menggugurkan kewajiban”. Istilah ini refleksi atas sikap pemilih yang telah memberikan komitmennya untuk memilih para caleg yang telah memberikan uang atau barang, untuk menghindari “dosa” melanggar komitmen. Dengan cara mencoblos semua nama atau partai yang 14 Hasil wawancara dengan anggota KPU Kabupaten Bogor, tanggal 25 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 30 telah memberikan uang atau barang merupakan cara yang dapat menggugurkan komitmen tersebut. Coblosan ganda karena faktor kesalahan atau ketidaktahuan cara mencoblos yang benar, dengan tidak membuka surat suara secara benar sehingga tercoblos semua kolom yang memuat partai dan caleg. Para pemilih usia lanjut merupakan para pelaku coblosan ganda dalam konteks ini. “Pada saat pengitungan suara di tingkat TPS, sebagain besar kertas suara tidak sah yang dicoblos adalah tercoblos ganda. Kasus ini karena tidak dibukanya kertas suara secara utuh dan biasanya dilakukan oleh pemilih usia lanjut, memang jumlahnya sedikit” 15 Peran Partai Politik Sosialisasi Calon Anggota Legislatif DPR RI Sosialisasi menjadi kata kunci dalam proses pemilihan anggota legislatif 2014. Sosialisasi yang dilakukan baik oleh partai maupun caleg sangat menentukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka pada saat pemungutan suara. Dalam konteks ini, sosialisasi calon anggota legislatif (caleg) DPR dirasa kurang intensif bahkan tidak ada sama sekali. Sosialisasi calon anggota legislatif dengan cara langsung mendatangi masyarakat, baik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif itu sendiri, baik yang dilakukan oleh tim sukses atau partai politik, lebih intensif dilakukan oleh calon anggota legislatif ditingkat kabupaten. Sosialisasi caleg DPR lebih cenderung dilakukan melalui media luar ruang yang lebih bersifat impersonal, meski menampilkan foto dan nama, namun masyarakat tidak pernah bisa mengenal profil caleg DPR yang akan dikenal secara dekat. “Di Desa kami praktis tidak ada caleg DPR atau tim pemenangan caleg yang melakukan sosialisasi seperti bertemu untuk berdialog dengan masyarakat seperti yang dilakukan oleh caleg DPRD Kabupaten. Jadi wajar jika masyarakat tidak mengenal calegnya dan memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya pada kertas suara caleg pada pemilu legislatif yang lalu” 16 15 16 Hasil wawancara dengan KPPS 2 Terate tanggal 11 Agustus 2014 Hasil wawancara dengan PPS 2 Terate tanggal 11 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 31 Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh calon anggota legisatif (caleg) DPR merupakan hal yang turut mempengaruhi suara tidak sah. Sebab pada saat pemungutan suara, pemilih cenderung membiarkan surat suara DPR tidak dicoblos atau dicoblos dengan cara tidak tepat, seperti coblos ganda di kolom yang berbeda. Sosialisasi oleh para calon aggota legislatif (caleg) penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan terhadap para pemilih, sehingga memiliki preferensi untuk memilih calon yang sesuai dengan aspirasi politik mereka. Minimnya sosialisasi dinilai menyebabkan pemilih tidak mencoblos caleg DPR, membiarkannya kosog, meskpiun demikian tetap dimasukkan dalam kotak suara, sehingga suara yang diberikan menjadi tidak sah. Hal ini disampaikan oleh seluruh penyelenggara pemilu di Dapil II Provinsi Banten baik di Kabupaten Serang maupun di Kota Cilegon. Hal yang sama juga disampaikan oleh penyelenggara pada tingkat adhoc di Desa Limus Nunggal (PPS) Kecamatan Cileungsi (PPK) Kabupaten Bogor. Hal yang sama juga disampaikan oleh PPK Kecamatan Winong, PPS dan KPPS Desa Winong, Kecamatan Winong Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Terbatasnya akses, luasnya wilayah dapil dan waktu merupakan kendala paling utama yang dihadapi oleh caleg DPR untuk melakukan sosialisasi sampai ke tingkat pemilih paling bawah di desa. Hal ini diperparah dengan kinerja mesin partai yang tidak bekerja cukup baik dalam memberikan dukungan sosialisasi kepada caleg. Menurut anggota Bapilu Partai Demokrat Kabupaten Serang, salah satu upaya untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih adalah melalui sosialisasi. Kedekatan caleg dengan pemilih menjadi sangat penting ketika pilihan politik masyarakat tidak linear dengan pilihan terhadap partai politik pada tiap tingkatan pemilihan calon anggota legislatif. Pemilih mulai selektif dalam menentukan wakil mereka pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten. Terbatasnya waktu caleg DPR seringkali menjadi kendala utama bagi partai dalam memberikan dukungan sosialisasi langsung kepada masyarakat. Beberapa inisiatif pertemuan langsung dengan masyarakat yang melibatkan caleg DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam satu wilayah pemilihan yang sama, seringkali tidak dihadiri oleh caleg DPR karena jadwal kampanye yang padat. Disisi lain, persaingan politik internal dalam sosialisasi atau kampanye caleg yang dilakukan tim sukses dari partai politik, kerap kali didominasi oleh caleg lokal DPRD, sehingga caleg DPR ‘seolah’ berjuang sendiri dalam meraih dukungan masyarakat. Kondisi ini bertambah berat ketika sosialisasi caleg ‘dimanfaatkan’ oleh masyarakat sebagai kesempatan menuntut atau meminta imbalan kepada mereka, seperti yang nyatakan oleh salah seorang aktivis pemantau di Jawa Tengah. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 32 “Pernah ada caleg DPR dari Gerindra yang mengeluhkan kepada saya, bahwa tidak repot apabila melakukan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat selalu saja ujungnya adalah uang, dia senang kalau saya temani, soalnya tidak selalu harus mengeluarkan uang. Sebenarnya perilaku ini karena masyarakat telah terbiasa dengan pembagian uang pada saat pemilu, apalagi dalam pilkada, pembagian uang kepada masyarakat sudah bukan lagi rahasia umum, telah dilakukan secara terang-terangan. Soalnya lagi, ada anggapan di masyarakat bahwa caleg ketika sudah terpilih akan melupakan yang memilihnya, maka pada saat pemilu merupakan waktu yang tempat untuk mendapatkan sesuatu dari para caleg.”17 Pengamat politik Untirta Banten berpendapat idealnya pencalegan adalah sebuah proses politik yang berjalan seiring dengan proses pengkaderan pada partai politik sehingga proses sosialisasi caleg idealnya berjalan seiring dengan kiprah partai politik di tengah masyarakat. Jika pencalonan anggota legislatif adalah sebuah proses pengkaderan, sistem proporsional terbuka yang ada pada saat ini tidak akan berdampak pada persaingan antar caleg dalam satu partai yang sama. Hasil sosialisasi caleg DPR yang dilakukan hanya menjelang masa pemilihan (masa kampanye caleg) tentu saja tidak akan maksimal. Namun demikian, proses sosialisasi caleg DPR bukan tidak ada jalan keluarnya, sosialisasi caleg DPR dimungkinkan untuk dilakukan secara bersamaan dengan caleg DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Sayangnya, istilah kerjasama yang lazim disebut dengan tandem ini sebagian besar hanya terjadi pada sosialisasi dengan menggunakan media, baik media massa maupun media luar ruang seperti spanduk, leaflet dan sebagainya, praktis hanya sedikit caleg DPR dan partai politik yang melakuka tandem untuk sosialisasi langsung kepada masyarakat pemilih. Kinerja Saksi KPU mengatur keberadaan 1 (satu) orang saksi partai politik di tiap TPS. Keberadaan saksi partai dalam tiap TPS menjadi sangat penting untuk menjaga pemilu legislatif berlangsung secara jujur, adil, transparan dan berlangsung sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh KPU. Bagi partai politik, keberadaan saksi tentu saja untuk menjaga perolehan suara partai dan caleg partai. Namun demikian pada pemilu legislatif 2014, hanya sebagian kecil partai yang menempatkan saksinya di tiap TPS. Tidak dilakukannya bimtek terhadap saksi membuat kesadaran saksi sebagai perwakilan partai masih cukup rendah, 17 Hasil wawancara dengan aktivis pemantau lokal Jawa Tengah, tanggal 8 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 33 sebagaian besar saksi memposisikan dirinya sebagai saksi caleg sehingga peran saksi untuk menjaga pemilu tidak berjalan maksimal. Kemampuan untuk menempatkan saksi partai politik di tiap TPS menjadi kendala tersendiri bagi partai politik tertentu. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan akses terhadap sumberdaya saksi menjadi kendala utama yang dihadapi partai politik. Menurut anggota Bapilu Partai Demokrat Kabupaten Serang, untuk menempatkan saksi partai yang baik di tiap TPS tentu membutuhkan biaya yang besar. Biaya tersebut tidak hanya untuk memobilisasi saksi ke TPS tetapi juga untuk biaya bimtek saksi. Hal ini diakui oleh anggota Bappilu Partai Bulan Bintang Cabang Pati bahwa hanya partai politik yang memiliki dana besar saja yang mampu merekrut saksi. Secara internal partai, keberadaan dana saksi dan kepentingan pribadi caleg incumbent yang berasal dari pengurus partai menjadi kendala tersendiri bagi caleg berhubungan dengan saksi. Karena bagaimana-pun saksi akan bekerja bagi caleg yang mendanai kerja mereka. Praktik tranksaksional antara caleg dan saksi berimplikasi terhadap sulitnya akses untuk mendapatkan form C1 pemilu legislatif 2014 dari saksi yang ‘bekerja’ untuk caleg incumbent atau pengurus partai. Untuk menjaga perolehan suara caleg, umumnya caleg mengutus saksi untuk berada diluar TPS yang fungsinya mencatat semua proses pemilihan termasuk proses penghitungan perolehan suara caleg, namun hal ini tentu sangat sulit dilakukan oleh caleg DPR yang kebutuhan saksinya jauh lebih besar dibanding caleg DPRD provinsi atau Kabupaten/ Kota. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 34 BAB V POLITIK UANG DALAM REKAPITULASI SUARA Politik uang menjadi perbincangan yang jamak terjadi pada setiap proses pemilihan baik pada pemilu nasional maupun pada pilkada. Meskipun tidak terkait langsung dengan penetapan suara sah dan tidak sah DPR, maraknya pelanggaran yang dilakukan karena politik uang pada pemilu legislatif 2014 sudah menjadi konsumsi media massa dan pemantau pemilu. Kurangnya alat bukti menyebabkan tindak lanjut atas laporan dan temuan pelanggaran politik uang menjadi kendala tersendiri bagi pengawas pemilu. Modus Politik Uang di Tingkat Penyelenggara Berdasarkan temuan lapangan, modus politik uang terhadap penyelenggara pemilu adalah dalam rangka menambahkan perolehan suara. Calon legislatif yang tidak mendapatkan cukup suara melakukan ‘pendekatan’ kepada penyelenggara pemilu untuk menambahkan suara peroleh mereka dengan mengambil suara dari calon lain dari partai politik yang sama. ‘Pendekatan’ tersebut dilakukan mulai dari penyelenggara pemilu di tingkat adhoc hingga pada tingkat komisioner KPU di tingkat Kabupaten/Kota. Seperti pernyataan Panwascam Kramat Watu, Kabupaten Serang salah satu modus politik uang yang terjadi ditingkat penyelenggara pemilu (PPK dan PPS) adalah mengurangi perolehan suara partai dan menambahkannya kepada perolehan suara caleg tertentu pada partai yang sama. Modus seperti ini terbongkar karena adanya keberatan saksi pada proses rekapitulasi atau pleno di tingkat KPU Kabupaten / Kota melalui Form Model DB-2. Menurut Panwascam Kramat Watu Kabupaten Serang, modus pelanggaran seperti ini terjadi di Kecamatan Gunung Sari (PPK) Desa Tamiang (PPS) Kabupaten Serang. Kasus serupa terjadi Desa Sukajaya, terdapat PPS yang mengelembungkan suara salah satu caleg dengan mengurangi dari caleg lain dari partai yang sama. Kasus tersebut sempat diekspos oleh media cetak (Koransindo, 25 April 2014) terkait dengan calon anggota legislatif DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 35 Perjuangan (PDIP) nomor urut 5. Dalam pleno KPU untuk Kecamatan Sukajaya diputuskan bahwa untuk PDIP tingkat DPR RI, suara partai yang semula 311 di kembalikan menjadi 721, sementara suara caleg DPR RI nomor urut 5, Indra Simatupang yang semula 1.432 dikembalikan menjadi 722. Perhitungan tersebut sesuai dengan rekapitulasi dokumen asli D1 tingkat desa yang dimiliki oleh PPK, Panwas Kabupatenten Bogor dan para saksi. Atas kejadian tersebut, KPPS dan PPS yang bersangkutan telah dilakukan pemecatan. Di Jawa Tengah, kasus penggelumbungan suara terjadi di Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, karena salah satu calon legislatif menang secara mutlak sehingga KPU Kabupaten Pati didesak oleh masyarakat untuk melakukan pemungutan suara ulang atau perhitungan ulang. KPU Kabupaten Pati akhirya melakukan perhitungan ulang dan memecat anggota KPPS yang terindikasi melakukan kecurangan. ‘Pendekatan’ oleh caleg terhadap penyelenggara pemilu juga terjadi pada tingkat KPU Kabupaten/Kota dalam rangka meminta penambahan suara. Hal ini diakui oleh Ketua KPU Kabupaten Pati bahwa memang ada permintaan tersebut dari caleg, meski disadari permintaan tersebut pasti akan ditolak.18 Namun demikian modus politik uang terhadap penyelenggara, lebih rentan dilakukan pada tingkat PPS dan KPPS, contoh yang disinyalir oleh anggota KPU Kabupaten Bogor, bahwa terdapat KPPS yang menyebarkan C6 disertai dengan amplop berisi uang. Ini menunjukkan bahwa terdapat persoalan netralitas yang sumbernya adalah politik uang. Praktik politik uang lebih rentan terhadap KPPS dan PPS, karena mereka memegang daftar pemilih serta pihak yang pertama kali melakukan perhitungan dan rekapitulasi suara, sehingga mereka lebih mengetahui jumlah pemilih yang datang pada saat pemungutan, serta jumlah surat suara terpakai dan tidak. Keberadaan saksi pada saat perhitungan hampir bisa dikatakan tidak efektif sama sekali, sudah menjadi rahasia umum target mereka hanya mendapatkan C1 saja tanpa mengawasi proses perhitungan suara. Salah satu kendala pengawas pemilu adalah terkait dengan keberadaan alat bukti pendukung laporan pelanggaran politik uang, seperti dihadapi oleh Panwascam Kecamatan Kramat Watu dalam menindaklanjuti laporan politik uang, terutama yang dilakukan oleh caleg. Kurangnya barang bukti membuat laporan masyarakat terkait dengan politik uang, tidak bisa ditindaklanjuti ke tingkat yang lebih tinggi untuk dilakukan penindakan. 18 Hasil wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Pati, 11 Agustus 2014 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 36 Menurut pengamat politik Untirta Banten yang juga mantan pengawas pemilu Kota Serang, saat ini politik uang berevolusi dengan sangat luar biasa sehingga tampil dalam kemasan yang lebih kasat mata. Keterlibatan langsung pengawas dalam setiap tahapan pemilu menjadi penting ketika unsur penindakan seperti kepolisian dan kejaksaan berada diluar struktur pengawas pemilu. Modus Politik Uang di Tingkat Pemilih Pemilih merupakan sasaran paling penting dalam politik uang. Mempengaruhi pilihan pemilih dengan menggunakan uang semakin marak terjadi seiring maraknya pilkada yang terjadi di daerah. Modus politik uang yang terjadi di tingkat pemilih semakin beragam dan tampil lebih kasat mata, mulai dari pemberian sembako sampai dengan memfasilitasi kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan lainnya. Identiknya pencaleg-an dengan bagi-bagi uang menyebabkan keengganan tersendiri bagi caleg untuk terjun langsung melakukan sosialisasi ke tengahtengah masyarakat. Menurut anggota Bapilu partai Demokrat Kabupaten Serang, bagi caleg yang belum mengakar kuat di masyarakat atau caleg baru, biaya politik untuk melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat tentu akan lebih besar dibanding caleg incumbent. Praktik politik uang membuat kerja caleg berlangsung secara instan dan pragamatis. Kalkulasi mereka didasarkan bahwa sosialisasi politik yang dilakukan dalam jangka waktu panjang untuk mendapatkan dukungan masyarakat tidaklah efektif, karena caleg yang memiliki modal akan melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan metode “sembako politik”, dengan cara membagi-bagikan uang atau sembako.19 Di sisi masyarakat sendiri, “sembako politik” telah menjadi konsekuensi dari transaksi politik. Untuk memilih calon anggota legislatif masyarakat akan bertanya “saya akan mendapatkan apa?”, sehingga bagi caleg yang tidak memiliki modal besar, bekerja dalam jangka waktu panjang akan menjadi percuma.20 Menurut pengamat politik Untirta Banten, maraknya pilkada yang terjadi di daerah membuat masyarakt cenderung pragmatis dalam memilih pemimpin. Dalam kondisi seperti ini terlebih pada karakter masyarakat pemilih yang sebagain besar pilihan masyarakat masih merujuk kepada pilihan pemimpin lokal, mengharapkan masyarakat sebagai pelapor terlebih sebagai saksi dalam politik uang tentu bukan perkara mudah. Untuk itu pengawas pemilu harus lebih proaktif dan terlibat langsung dalam kegiatan caleg di masyarakat pada masa 19 20 hasil wawancara dengan anggota KPU Kabupaten Bogor, 25 Agustus 2014. hasil wawancara dengan salah satu pengurus Partai Bulan Bintang, 10 Agustus 2014. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 37 pemilihan. Besar kemungkinan kegiatan tersebut akan mengarah pada politik uang. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 38 BAB VI KESIMPULAN Fenomena suara tidak sah dalam pemilu legislatif 2014 untuk pemilihan calon anggota DPR, berdasaran temuan-temuan dalam penelitian ini dapat diketegorikan ke dalam dua jenis faktor, yaitu faktor yang secara tidak langsung memiliki potensi menyebabkan suara pemilih menjadi tidak sah dan faktor yang secara langsung memiliki potensi cukup besar menyebabkan suara tidak sah dalam pemilu. Suara tidak sah yang disebabkan oleh faktor tidak langsung, terkait dengan kapasitas penyelenggara di tingkat adhoc dalam proses perhitungan dan rekapitulasi suara. Keterbatasan penyelenggaraan bimbingan teknis, ketersediaan buku panduan yang terbatas, merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi kapasitas penyelenggara di tingkat adhoc. Keterbatasan tersebut merupakan klasik dalam implementasi kebijakan dan program, terkait dengan alokasi anggaran dari pemerintah yang tidak memperhatikan proporsi dan bobot kerja, yang tentunya berimplikasi terhadap reward bagi penyelenggara pemilu di tingkat adhoc (PPK, PPS dan KPPS). Oleh karena itu, pada tingkat ini, penyelenggara menjadi rentan terhadap politik uang. Suara tidak sah yang disebabkan oleh faktor kedua, terkat dengan perilaku pemilih. Beberapa pola perilaku pemilih yang menyebabkan suara tidak sah dapat dikategori menjadi: (1) tidak dicoblos karena pemilih tidak mengenal calon anggota legislatif DPR di wilayahnya, (2) tidak dicoblos karena tidak menyukai calon anggota legislatif DPR di wilayahnya, (3) mencoblos ganda karena masyarakat mendapatkan uang/barang dari beberapa calon, (4) mencoblos ganda karena ketidaktahuan cara mencoblos yang benar, (5) mencoblos ganda karena masyarakat lebih menyukai partai tertentu dan lebih menyukai calon tertentu yang berbeda dari partai yang dipilihnya. Politik uang bagaimanapun memiliki konstribusi yang cukup besar, baik secara langsung atau tidak langsung terhadap fenomen suara tidak sah. Politik uang menjadikan kinerja penyelenggara menjadi tidak professional dan independen, serta membentuk budaya transaksional pada tingkat pemilih. Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES 39 LAMPIRAN-1. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH NASIONAL DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR PEMILU 2009 DAN 2014 PEMILU LEGISLATIF 2009 WILAYAH ACEH DARUSSALAM SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PEMILU LEGISLATIF 2014 PERSENTA SE SUARA TIDAK SAH VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTA SE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) 2266713 3,875,211 2,223,239 2,292,893 1,556,080 3,982,645 907,816 3,978,504 545,812 673,412 4,327,596 21,204,505 18,663,295 2,007,359 20,201,770 4,716,108 2,045,675 1828915 3,448,882 2,022,541 2,034,649 1,292,650 3,458,250 758,696 3,491,266 459,227 593,568 4,091,951 18,651,604 15,072,888 1,752,775 16,289,604 3,990,958 1,699,468 427798 426,329 200,698 258,244 263,430 524,395 149,120 487,238 86,585 79,844 235,645 2,552,901 3,590,407 254,584 3,912,166 725,150 346,207 18.87% 11.00% 9.03% 11.26% 16.93% 13.17% 16.43% 12.25% 15.86% 11.86% 5.45% 12.04% 19.24% 12.68% 19.37% 15.38% 16.92% 2,615,264 6,864,446 2,564,270 2,971,237 1,962,604 4,523,025 1,106,368 4,474,348 683,962 916,141 5,272,656 23,712,918 20,044,535 2,218,613 22,965,758 5,717,047 2,309,574 2,316,226 6,124,359 2,405,339 2,669,684 1,691,958 3,942,859 923,755 4,059,500 583,447 822,336 4,891,034 21,190,627 17,603,459 2,059,453 19,992,320 4,841,859 2,024,250 299,038 740,087 158,931 301,837 270,646 580,166 182,620 414,848 100,515 93,805 381,946 2,522,291 2,441,076 159,160 2,973,438 875,188 285,324 11.43% 10.78% 6.20% 10.16% 13.79% 12.83% 16.51% 9.27% 14.70% 10.24% 7.24% 10.64% 12.18% 7.17% 12.95% 15.31% 12.35% -7.44% -0.22% -2.83% -1.10% -3.14% -0.34% 0.08% -2.98% -1.17% -1.62% 1.80% -1.40% -7.06% -5.51% -6.42% -0.07% -4.57% 2,354,271 1,962,300 391,971 16.65% 2,760,082 2,412,489 347,593 12.59% -4.06% Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT NASIONAL 2,247,057 2,314,404 1,044,569 2,051,582 2,036,704 872,362 195,475 277,700 172,207 8.70% 12.00% 16.49% 2,471,976 2,718,796 1,290,519 2,355,161 2,478,262 1,139,544 116,815 240,534 150,975 4.73% 8.85% 11.70% -3.97% -3.15% -4.79% 1,769,528 1,578,755 1,323,131 1,296,819 4,132,962 1,120,277 572,519 587,334 827,591 550,236 1,851,783 423,752 1,463,490 1,355,072 1,239,392 1,199,830 3,688,770 993,592 532,055 531,544 772,579 519,735 1,719,581 381,121 306,038 223,683 83,739 96,989 444,192 126,685 40,464 55,790 55,012 30,501 132,202 42,631 17.29% 14.17% 6.33% 7.48% 10.75% 11.31% 7.07% 9.50% 6.65% 5.54% 7.14% 10.06% 2,110,594 2,058,150 1,502,281 1,497,362 4,718,630 1,321,247 663,625 708,622 970,864 681,386 3,044,737 604,554 1,837,931 1,798,439 1,409,946 1,424,748 4,404,165 1,180,733 636,654 659,966 927,338 627,645 2,963,280 573,725 272,663 259,711 92,335 72,614 314,465 140,514 26,971 48,656 43,526 53,741 83,748 30,829 12.92% 12.62% 6.15% 4.85% 6.66% 10.63% 4.06% 6.87% 4.48% 7.89% 2.75% 5.10% -4.38% -1.55% -0.18% -2.63% -4.08% -0.67% -3.00% -2.63% -2.16% 2.34% -4.39% -4.96% 119,463,621 102,257,601 17,196,020 14.39% 140,046,191 124,972,491 15,076,606 10.77% -3.63% Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES LAMPIRAN-2. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) BANTEN PEMILU LEGISLATIF 2009 WILAYAH Banten I Banten II PEMILU LEGISLATIF 2014 VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) 1,238,394 1,096,140 142,254 11.49% 1,320,575 1,173,116 147,459 11.17% -0.32% 21.63% 1,397,779 1,084,829 312,950 22.39% 0.75% 2,583,914 414,779 13.83% -0.60% 4,841,859 875,188 15.31% -0.07% 1,124,902 881,539 243,363 Banten III 2,352,812 2,013,279 339,533 14.43% 2,998,693 PROVINSI 4,716,108 3,990,958 725,150 15.38% 5,717,047 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES LAMPIRAN-3. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) JAWA BARAT PEMILU LEGISLATIF 2009 WILAYAH Jawa Barat I Jawa Barat II Jawa Barat III Jawa Barat IV Jawa Barat V Jawa Barat VI Jawa Barat VII PEMILU LEGISLATIF 2014 VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTASE SUARA TIDAK SAH SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) 1,465,457 1,359,286 106,171 7.24% 1,539,685 1,430,718 108,967 7.08% -0.17% 11.12% 2,686,258 2,422,939 263,319 9.80% -1.32% 12.91% 1,669,449 1,486,032 183,417 10.99% -1.92% 12.45% 1,432,599 1,283,060 149,539 10.44% -2.01% 12.15% 2,421,667 2,093,772 327,895 13.54% 1.39% 9.97% 1,973,418 1,799,370 174,048 8.82% -1.15% 15.69% 3,166,410 2,762,436 403,974 12.76% -2.93% 1,953,002 2,374,747 1,475,680 1,299,949 2,113,904 1,712,111 2,551,802 2,110,564 1,285,153 1,138,111 1,857,028 1,541,492 2,151,500 264,183 190,527 161,838 256,876 170,619 400,302 Jawa Barat VIII 2,057,115 1,764,426 292,689 14.23% 2,218,567 265,565 11.97% -2.26% Jawa Barat IX 2,144,095 1,853,503 290,592 13.55% 2,277,717 2,019,474 258,243 11.34% -2.22% 10.36% 1,625,911 1,495,569 130,342 8.02% -2.35% 2,444,255 256,982 9.51% -1.00% 18,746,372 4,966,546 20.94% -1.46% Jawa Barat X Jawa Barat XI PROVINSI 1,553,547 1,392,549 160,998 2,456,098 2,197,992 258,106 10.51% 2,701,237 21,204,505 16,453,612 4,750,893 22.41% 23,712,918 Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES LAMPIRAN-4. TABEL PERBANDINGAN JUMLAH SUARA TIDAK SAH DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF DPR PEMILU 2009 DAN 2014, DAERAH PEMILIHAN (DAPIL) JAWA BARAT PEMILU LEGISLATIF 2009 WILAYAH Jawa Tengah I PEMILU LEGISLATIF 2014 VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTAS E SUARA TIDAK SAH VOTER TURN-OUT SUARA SAH SUARA TIDAK SAH PERSENTAS E SUARA TIDAK SAH 1,957,199 1,601,513 355,686 18.17% 2,150,169 1,859,104 291,065 13.54% 1,579,820 Jawa Tengah II 1,601,222 1,248,603 352,619 22.02% 1,806,337 226,517 12.54% Jawa Tengah III 2,376,143 1,781,396 594,747 25.03% 2,483,128 2,071,932 411,196 16.56% 19.87% 1,701,916 1,528,134 173,782 10.21% 17.57% 2,226,910 2,010,828 216,082 9.70% 16.40% 2,281,067 2,014,315 266,752 11.69% 17.65% 1,778,920 1,575,575 203,345 11.43% 12.00% 1,905,589 1,774,130 131,459 6.90% 18.26% 1,858,301 1,635,975 222,326 11.96% 1,553,646 298,552 16.12% 17,603,459 2,441,076 12.18% Jawa Tengah IV Jawa Tengah V Jawa Tengah VI Jawa Tengah VII Jawa Tengah VIII Jawa Tengah IX 1,625,940 2,049,889 2,146,403 1,656,717 1,835,060 1,715,582 1,302,854 1,689,712 1,794,470 1,364,340 1,614,834 1,402,283 323,086 360,177 351,933 292,377 220,226 313,299 Jawa Tengah X 1,699,140 1,272,883 426,257 25.09% 1,852,198 PROVINSI 18,663,295 15,072,888 3,590,407 19.24% 20,044,535 SELISIH SUARA TIDAK SAH 2009 DAN 2014(%) Laporan Penelitian Suara Tidak Sah, LP3ES-IFES -4.64% -9.48% -8.47% -9.66% -7.87% -4.70% -6.22% -5.10% -6.30% -8.97% -7.06%