selibat dalam gereja roma katolik program studi

advertisement
SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh
TAUFAN BRATA RACHMAN
NIM :102032124652
Di bawah bimbingan
Dra. Hermawati, MA.
NIP : 150.227.408
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
i
SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK
Oleh
TAUFAN BRATA RACHMAN
NIM. 102032124652
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim
Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.
yang telah memberikan kekuatan iman dan Islam, taufiq, hidayah serta inayahnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Yang telah
memberikan cahaya dan fatwa kepada seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Syukur dengan mengucap Alhamdulillah, dan dengan segala usaha, tekad
serta dorongan yang kuat dari orang tua dan saudara-saudaraku tercinta akhirnya
penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan. Walaupun tentunya hambatan dan
rintangan senantiasa datang silih berganti. Atas izin Allah Swt semua kesulitan
dan hambatan dapat di atasi, sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat
disajikan sebagaimana yang ada di hadapan pembaca. Penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini belum mencapai ukuran sempurna. Untuk itu sumbangsih
dan pemikiran, kritik dan saran yang kontruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan.
Disadari sepenuhnya dengan kerendahan hati, bahwa penulisan skripsi ini
tidak terlepas dari berbagai pihak yang turut membantu dengan rela berpartisipasi
dalam membantu proses penulisan skripsi ini dari awal hingga selesai. Maka
sudah sepantasnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
iii
1. Bapak Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
besarta staf dan Ibu Dra. Hermawati sebagai pembimbing yang telah
memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan
Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama kuliah di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam
buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
4. Suster Laurentia, selaku Kepala Biara Charitas yang telah memberikan data
dan informasi dalam rangka penyelesaian skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Ibunda tersayang mamah Yuyun yang tak pernah lelah
memberikan doa dan dukungan kepada penulis, yang telah merawat dan
membesarkan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Papa A.
Rachmansyah (Alm) semoga engkau tenang di sisi Allah Swt.
6. Om Haris dan Tante Yus yang telah memberikan dukungan moril dan materil
untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Saudara-saudaraku tercinta, A’ Irman, Indra dan Dheti serta sepupu-sepupu
Aji, Bayu, Lis, Yuni dan yang lainnya. yang selalu memberikan motivasi
untuk selalu berjuang dalam hidup dan selalu memberi dorongan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
iv
8. Masrifah (iva) yang selalu membantu dan senantiasa setia mendampingi
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Rekan-rekan seperjuangan jurusan Perbandingan Agama angkatan 2002, 2003,
2004 yang tak mungkin di sebutkan satu persatu. Yang telah memberikan
semangat persaudaraan kepada penulis selama ini. Dan semua pihak yang
telah memberikan bantuan dengan suka rela dalam penyelesaian skripsi ini.
Walaupun demikian, banyaknya pihak yang berjasa dalam penyelesaian
skipsi ini, bukan berarti kepada mereka pertanggungjawaban di bebankan, akan
tetapi penulislah yang bertanggung jawab sepenuhnya, baik yang menyangkut
kekhilafan maupun kekurangan-kekurangannya.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt penulis serahkan segalanya, semoga
jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjdai pemberat
timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Mudah-mudahan usaha kecil penulis
melalui tulisan ini dapat membawa manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun
bagi pembaca pada umunya. Amin ya rabb al-alamin
Jakarta, 16 Januari 2008
Penulis
v
DAFTAR ISI
SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ………………………………………... 4
C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 4
D. Metode Penulisan ………………………………………….. 5
E. Sistematika Penulisan …………………………………….... 6
BAB II
SELIBAT MENURUT GEREJA ROMA KATOLIK
A. Pengertian Selibat Menurut Agama Katolik ……………….. 8
B. Sejarah Perkembangan Selibat Dalam Agama Katolik ……. 15
C. Sumber Ajaran Selibat …………………………………….. 23
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Selibat ………………... 24
BAB III
KAUL, PERMANDIAN DAN TAHAPAN KEHIDUPAN
SELIBAT
A. Kaul dalam Selibat ………………………………………… 27
B. Permandian dalam Selibat ………………………………… 38
C. Tahapan Kehidupan dalam Selibat ………………………… 44
vi
BAB IV
TUJUAN
DAN
PENGARUH
SELIBAT
DALAM
KEHIDUPAN ROHANIAWAN KATOLIK
A. Hidup Selibat Demi Kerajaan Allah ……………………… 52
B. Hidup Selibat Demi Menyatu Dengan Kristus …………… 53
C. Hidup Selibat sebagai pelayanan Illahi …………………… 54
D. Pengaruh Selibat dalam Kehidupan Rohaniawan Katolik… 56
E. Tinjauan Kritis Tentang Selibat …………………………... 61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 64
B. Saran-Saran ……………………………………………….. 65
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………... 69
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi hukum dan ketetapan Tuhan, bahwa manusia memiliki dua
jenis yang berlainan, yaitu laki-laki dan perempuan, ada daya tarik diantara
keduanya satu sama lain untuk hidup bersama. Di dalam hidup bersama ini, alam
pikiran manusia tidaklah kepada hal persetubuhan antara kedua jenis manusia
tersebut. Pada umumnya dapat dikatakan setubuh adalah faktor yang penting
dalam rumah tangga, baik dengan keinginan mendapatkan keturunan maupun
hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Hal terpenting dalam hidup insani adalah cinta menurut semua
tingkatannya, termasuk cinta heteroseksual (lawan jenis). Cinta yang demikian
itulah yang memberi kesempurnaan dalam hidup manusia. Cinta menjawab
masalah yang paling dasar dari kehidupan manusia yaitu kesadaran akan
ketidakberdayaan, kesepian, dan keterasingan yang tajam dirasakan meskipun
tidak dengan jelas betul dimengerti, dan ketakutan ini membawa kecemasan.
Gambaran yang hidup atas perasaan ini dilukiskan dalam kisah ditemukannya
kesadaran akan ketelanjangan pria dan wanita pertama dalam Alkitab yaitu Adam
dan Hawa.1 Maka setiap manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bersama, sebab
keduanya memiliki daya tarik menarik untuk mengadakan hubungan hasrat yang
timbul dari dorongan nafsu syahwati yang terdapat pada keduanya. Setiap pria dan
1
Hartono F, “Persahabatan Orang Selibat, Makna dan Tantangannya”. (Yogyakarta:
Kanisius, 1985), h. 13.
viii
wanita dari setiap usia dan setiap kebudayaan mengalaminya sejak masa pubertas.
Jadi perasaan kesepian manusia adalah masalah eksistensial manusia yang hanya
dapat dipecahkan dengan jalan persatuan yaitu perkawinan.
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak-hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan
perempuan yang keduanya bukan muhrim berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa.
Menurut undang-undang perkawinan nomor I tahun 1974 dinyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
bahagia, kekal abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.2
Kehidupan perkawinan manusia sudah ada sejak Nabi Adam dan tetap
akan ada pada masa-masa yang akan datang, akan tetapi terdapat golongangolongan yang didorong oleh keinginan mensucikan diri kemudian menjauhi halhal yang bersifat kenikmatan jasmani. Kehidupan perkawinan dinilai sebagai
kenikmatan kotor dan oleh karena itu menghalangi kesucian seseorang.3
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa didalam agama Katolik perkawinan
hanya diperuntukkan bagi kaum awam saja, sedangkan bagi para pemuka agama
wajib hidup membujang.
2
Undang-undang RI no I Tahun 1974
Ahmad Mubarok, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang Sakramen
Gereja. (Bandung, Pustaka. 1985). h 95.
3
ix
Kaum klerusa4 dan ibadat itu mempunyai kewajiban-kewajiban yang
istimewa. Salah satu kewajiban itu ialah wajib selibat, manusia yang ditetapkan
dalam kewajiban selibat tidak boleh menikah. Lagi pula secara istimewa mereka
pun wajib hidup dengan suci kelamin.5 Selibat atau Celibacy ialah status
membujang, kadang-kadang dinamakan juga hidup wadat atau hidup lajang.6
Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia arti selibat ialah pranata yang
menentukan bahwa orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin, para
rohaniawan yang telah ditahbiskan harus hidup membujang 7.
Sewaktu Paus Gregory I seorang tokoh yang sangat berwibawa dan
berwenang dalam sejarah Nasrani, menetapkan keputusannya tentang kemestian
pembujangan (Celebacy) bagi setiap pendeta dan setiap rahib, maka bangkitlah
reaksi pada bagian gereja belahan Timur. Keputusan itu dipandang akan
memperkembangkan perzinaan secara tertutup karena tidaklah semua orang punya
kemampuan seperti Paus Gregory I itu, yang bisa menahan godaan rangsangan
berkelamin sepanjang hidupnya.8
Para pemimpin agama Katholik diatas dilarang hidup mewah dan
menjauhkan diri dari keduniaan, mereka dituntut untuk hidup dalam kemiskinan
dan tidak boleh melakukan pernikahan artinya tidak boleh menikah atau dinikahi.
Mereka harus hidup dalam kehidupan lajang.
4
Kaum klerusa adalah golongan orang yang beriman yang menerima tahbisan diakonat,
imamat atau keuskupan.
5
J. Verkuyl, Etika Kristen. (Jakarta, BPK Gunung Mulia. 1993). h 150.
6
Ahmad Mubarok, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang Sakramen
Gereja. h 94
7
Depdikbud, kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:1988:802
8
Hardawiryana R, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993). h. 255
x
Seks adalah anugerah yang diberikan Tuhan untuk manusia sebagai
kebutuhan biologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Bahkan sejak lahirpun manusia sudah diberikan naluri seks untuk dinikmati.
Hal inilah yang menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh tentang
lajang. Dengan demikian penulis mengambil sebuah judul yaitu SELIBAT
DALAM GEREJA ROMA KATOLIK.
B. Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membahas tentang selibat dalam
agama Katolik dari segi kepustakaan. Perumusan masalah dari skripsi ini yaitu:
apa makna dan tujuan selibat menurut Katolik?, dan apa kaitannya kaul dan
permandian dalam selibat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Secara Akademis adalah untuk memenuhi tugas dan melengkapi syaratsyarat
dalam
mencapai
gelar
sarjana
Ushuluddin
pada
jurusan
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk memahami lebih jauh tentang selibat dalam agama Katolik terutama
tentang makna dan tujuan selibat dalam agama Katolik.
3. Kegunaan dari penelitian ini dimaksudkan sebagai pengetahuan dalam
rangka hubungan antar agama, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
menganut ajarannya masing-masing, sehingga akan terbentuklah suatu
kehidupan yang harmonis dalam menjalankan agama yang mereka anut.
xi
D. Metode Penulisan
Dalam mengumpulkan data Penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research Method), untuk mencari data-data yang
dibutuhkan dan mendapatkan data-data yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini. Dan penulis juga menggunakan metode wawancara, dengan
mengadakan tanya jawab langsung dengan sumber yang dibutuhkan dalam
penulisan skripsi ini. Dalam penelitian kepustakaan Penulis menerapkan metode
Deskriptis dan Analitis, dengan melibatkan pendekatan historis.
Metode deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan
gambaran yang jelas dan terang mengenai permasalahan yang ditulis dalam
skripsi ini. Metode analitis dimanfaatkan agar Penulis dapat menyajikan penulisan
skripsi yang sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang diselidiki.
Pendekatan Historis9 adalah pendekatan yang berpandangan bahwa suatu
fenomena religius dapat dipahami dengan mencoba menganalisis perkembangan
segi historisnya. Dengan memperhatikan perkembangan prinsip-prinsip umum
dari tingkah laku religius dan menghubungkan dengan kajian-kajian khusus dan
tertentu, muncul pola-pola kejadian yang menghasilkan prinsip-prinsip umum dari
keberagamaan tersebut.
Sedangkan penulisan skripsi ini disusun berdasarkan pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007.
9
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama (Perspektif Ilmu Perbandingan Agama),
(Bandung: Penebit Pustaka Setia, 2000). h. 52-53.
xii
E Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam skripsi ini dibagi lima bagian, yaitu:
Bab pertama Merupakan bab Pendahuluan yang berisi Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Pada bab kedua ini Penulis membahas Kajian Teori Tentang Selibat
Menurut Katolik, dengan sub bab Pengertian Selibat Menurut Agama Katolik
dengan tujuan untuk mempermudah dalam memahami selibat dalam Katolik.
Setelah memahami makna selibat secara umum Penulis mencoba menguraikan
sejarah perkembangan selibat dalam katolik dengan tujuan untuk memperjelas
keberadaan selibat dalam agama Katolik. Selanjutnya, penulis membahas sumber
ajaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi selibat untuk memperkuat
keberadaan selibat itu sendiri.
Pada bab ketiga ini Penulis membahas Kaul, Permandian dan Tahapantahapan Kehidupan Selibat dengan sub bab yaitu Kaul dalam Selibat yang isinya
menjelaskan tentang Tiga Kaul, kaul sebagai penyerahan, kaul sebagai bentuk
kehidupan dalam selibat, kaul sebagai sikap hidup dalam selibat. Tujuan dari sub
ini untuk menjelaskan bahwa antara kaul dan selibat ada keterkaitan satu sama
lainnya. Sedangkan permandian sebagai praktek dari kaul menuju selibat. Dan
pada bab ini juga dijelaskan tentang tahapan-tahapan kehidupan dalam selibat
yang isinya ada empat tahap yaitu Adolescent Celibacy (masa puber hingga
masuk umur 20-an), Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an),
xiii
Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an), Integral Celibacy (umur 50an akhir, pensiunan atau kematian).
Pada bab keempat Penulis menjelaskan Tujuan dan Pengaruh Hidup
Selibat dalam Agama Katolik, dengan tujuan untuk mengetahui proses selibat
yang dilakukan oleh Rohaniawan
Katolik yaitu hidup selibat demi kerajaan
Allah, hidup selibat demi menyatu dengan kristus, hidup selibat sebagai pelayanan
Illahi, pengaruh selibat dalam kehidupan rohaniawan katolik dan tinjauan kritis.
Bab kelima sebagai penutup yang isinya kesimpulan yaitu menyimpulkan
hasil dari penelitian. Kemudian saran-saran.
xiv
BAB II
SELIBAT MENURUT GEREJA ROMA KATOLIK
A. Pengertian Selibat Menurut Gereja Roma Katolik
Selibat berasal dari bahasa latin yaitu caelibatus yang berarti hidup tidak
menikah atau membujang. Dalam bahasa inggris disebut celibacy yaitu status
membujang, kadang-kadang dinamakan hidup wadat atau hidup lajang.10 Gereja
Katolik ritus latin menuntut bahwa para imam tidak menikah seumur hidup dan
taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran maupun dalam perbuatan. Selibat
bukan suatu pokok iman Katolik melainkan tuntutan hukum gereja yang mengatur
cita-cita tentang hidup klerus Katolik.
Di dalam agama Katolik terdapat ordo-ordo keagamaan. Ordo-ordo
keagamaan tersebut adalah golongan-golongan yang bersifat kerahiban yang para
anggotanya menyerahkan hidup sepenuhnya bagi kepentingan agama dan
kebaktian. Setiap golongan itu mempunyai ikrar dan peraturan tersendiri bagi
setiap anggota yang akan memasuki ordo tersebut.
Rahib laki-laki disebut Monk dan rahib wanita disebut Nun. Kepala biara
laki-laki disebut Abbot dan kepala biara wanita disebut Abbes. Para anggota ordo
keagamaan itu biasa juga disebut Friars, berasal dari kata latin yaitu Frater, yang
bermakna saudara dan didalam bahasa inggris disebut Brothers. Setiap ordo itu
10
A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1995). h. 191.
xv
merupakan jemaat persaudaraan dan hidup dalam biara. Dan didalam bahasa
Indonesia pengertian rahib menurut agama katolik yaitu biarawan dan biarawati.11
Di dalam bukunya yang berjudul Ajaran Iman Kristen, Harun Hadiwijono
mengulas tentang hidup membiara, dengan memaparkan tulisan tersebut, penulis
berharap akan dapat menambah pengertian biarawan dan biarawati tersebut.
Harun Hadiwijono mengungkapkan sebagai berikut :
“ Dalam konstitusi tentang gereja dari konsili vatikan II diutarakan tentang
hidup membiara dan berkaul. Konstitusi ini membicarakan panggilan umum
yakni panggilan hidup membiara sebagai status khusus di dalam gereja. semua
orang Kristen, anggota-anggota tubuh kristus dipanggil untuk hidup suci untuk
menghayati kesucian kristus dalam hidup mereka sendiri. Kekudusan gereja
secara khusus dibina oleh rupa-rupa nasihat, yang disampaikan Tuhan di dalam
injil kepada murid-murid-Nya untuk dilaksanakannya. Setiap murid Yesus
dipanggil untuk mengamalkan nasihat-nasihat injil. Diantaranya ada yang
menanggapi panggilan itu dengan penyerahan diri secara total dalam hidup
membiara. Mereka mengikrarkan tiga kaul sesuai dengan nasihat injil yaitu
keperawanan, kemiskinan dan ketaatan sebagai sarana untuk mencapai
kesempurnaan.
Biarawan dan biarawati merupakan suatu golongan tertentu dalam gereja
yang menuntut atau mengejar kesempurnaan secara khas. Biarawan dan biarawati
melepaskan diri dari ikatan harta benda dunia untuk menyerahkan diri dengan
bulat hati dan bebas kepada Tuhan. Orang yang beriman taat kepada Tuhan boleh
membentuk hidup cita-citanya sendiri. Biarawan dan biarawati mengikrarkan
ketaatan kepada pimpinan tarekatnya, menyesuaikan kehendaknya sendiri dengan
kehendak Allah supaya ia menggunakan tenaganya dengan lebih sempurna dan
efektif bagi kepentingan kerajaan Allah.12
11
A. Heuken SJ. “Rahib” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1995). h. 83.
12
Harun Hadiwijono. Iman Kristen, (Jakarta. BPK Gunung Mulia, 1995). hal. 120-122.
xvi
Dari penjelasan-penjelasan di atas, Penulis dapat menyimpulkan mengenai
arti kerahiban menurut agama Katolik, yaitu orang-orang yang memenuhi
panggilan untuk menghayati kesucian Kristus dan menanggapi panggilan tersebut
dengan penyerahan diri secara total dengan mengikrarkan tiga kaul yaitu
keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan sebagai sarana untuk mencapai
kesempurnaan Kristiani. Dengan mengikuti suatu pola hidup membiara, maka
mereka dituntut untuk hidup melajang (selibat).
Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak13 sempurna dan
seumur hidupnya demi kerajaan surga, oleh karena itu mereka terikat selibat.
Namun selibat tidak mungkin dilaksanakan sebagai suatu kewajiban semata-mata
yang dituntut dalam rangka jabatan imamat dalam sebuah gereja Katolik. Hidup
tidak nikah hanya mungkin mempunyai arti karena bersumber pada keyakinan
akan cinta Allah yang tidak kenal batas, dan mendapatkan bentuknya dari
pelayanan dalam gereja. Selibat bukan hanya berarti bertarak dan berkorban
melainkan rasa kagum dan percaya akan kasih Allah yang tak terduga. Jika penuh
kegembiraan, imam yang berselibat mencurahkan segala daya cinta kepada
anggota jemaatnya maka usahanya yang serba terbatas ini memberi kesaksian
mengenai cinta Allah bagi semua orang yang jauh melampaui semua usaha kita.
Maka sewajarnyalah selibat dipandang sebagai “peculiare Dei donum” (anugerah
13
Tarak adalah menahan hawa nafsu dengan cara berpuasa, bertapa, berpantang terhadap
kesenangan dan mengasingkan diri berlama-lama di suatu tempat. (Kamus Umum Bahasa
Indonesia).
xvii
istimewa Allah) untuk semakin bersatu dengan Kristus dan sebagai suatu karisma
yang terbina dan diperoleh dalam doa.14
Orang memilih cara hidup selibat, karena digerakkan oleh kerajaan Allah
yang telah mendekat. Sadar akan waktu yang singkat dan mendesak, orang yang
mempergunakan
barang-barang
duniawi,
seolah-olah
sama
sekali
tidak
menggunakannya dan oleh karena itu yakin bahwa lebih berbahagia kalau tetap
tinggal dalam keadaannya. Hidup wadat meragakan, bahwa sedalam-dalamnya
dan dalam segala segi hidupku, aku sungguh diterima oleh Allah dan bahwa kasih
Allah senyatanya dan sesungguhnya telah sampai kepada kita.15
Maka penghayatan selibat yang sejati mencerminkan dan meneruskan
suasana aman. Kendati tetap perlu diperhatikan agar kelakuan tidak menimbulkan
sandungan-sandungan. Para rohaniawan yang membina hidup selibat tidak dengan
menentukan dan menepati batas-batas pergaulan. Tingkah laku seorang selibat
mengungkapkan cinta Allah tidak dengan laku cinta yang semakin terbatas,
melainkan dengan sikap dan laku kasih yang semakin dalam dan luas, penuh
kehangatan spontan dan tanpa pamrih dengan tata cara yang sopan, dengan tandatanda cinta yang manusiawi penuh hormat dan tidak pilih kasih.16
Sebagaimana orang menemukan mutiara yang amat berharga, menjual
segala milik untuk memperolehnya, begitulah hidup tidak nikah mengalir dari
pengalaman persahabatan dengan Yesus. Di dorong oleh kegembiraan mendalam,
orang melakukan hal-hal yang nampaknya naif. Karena ditawan oleh Yesus,
14
Dewan Keuskupan Agung Semarang, Pedoman Imam, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
h. 60
15
16
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008.
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
xviii
selibat menjadi cara hidup untuk mengikuti Dia. Orang hidup tidak nikah dalam
semangat seorang pelomba: “aku mengejarnya…karena aku pun ditangkap oleh
Kristus”. Orang hidup tidak nikah karena sebenarnya ia telah ditangkap dan
kendati ada kewajiban untuk selibat. Hanya ada satu alasan untuk hidup tidak
nikah: Aku dipanggil.17
Selibat mengungkapkan jawaban dari seseorang yang ditangkap. Dan
hanya orang yang cukup halus dan peka sebenarnya dapat kena di hati dan dapat
memberikan jawaban dari hati ke hati. Hanya jika ditangkap oleh “the passion of
love”, orang sepenuhnya dapat menjalankan selibat sebagai “the passion for
Christ”..18
Hidup selibat adalah tanda dan dorongan untuk cinta kegembalaan.
Melalui selibat, imam-imam seharusnya menjadi bebas untuk pelayanan, agar
dengan hati yang tak terbagi mereka dapat membaktikan diri kepada tugas
pelayanan mereka yang dipercayakan kepada mereka. Hidup tidak nikah
merupakan pengabdian bagi gereja, hidup solider dengan mereka yang hidup
sendirian dan dalam kesepian, sebagai ungkapan yang menyatakan harapan kita.
Karena imam tidak nikah, imam mungkin meragakan bahwa cintanya
masih muda dan bahwa hatinya masih bebas. Kepada setiap orang yang
mendatanginya ia seakan-akan memperlihatkan bahwa ia masih single dan masih
mungkin diperoleh. Imam selalu masih dapat memberikan seluruh cintanya.
Dalam arti ini selibat merupakan suatu tanda sosial. Oleh karena itu cara hidup
selibat tidak selalu ditentukan oleh hati nurani yang tulus. Dalam menjalani hidup
17
18
Harjawiyata Fr, Panggilan Membiara dan Imamat. (Yogyakarta: kanisius, 1975) h 8.
Dewan Keuskupan Agung Semarang. Pedoman Imam. h 63
xix
selibat imam juga terikat oleh adat setempat dan harus memperhitungkan
pandangan umum. Janganlah menimbulkan desas desus karena kelakuan yang
tidak cocok. Dalam masyarakat kita selibat sebagai tanda yang sangat dihargai,
namun sekaligus dicurigai, seakan-akan mustahillah dipenuhi dengan jujur. Maka
janganlah menimbulkan keragu-raguan ataupun skandal dengan kelakuan yang
kurang pantas dan kurang sopan. Tetapi juga; melawan segala tekanan dari
mereka yang hanya mengintai, mengintip dan mem-black list pastor, imam berhak
untuk tetap menjadi diri sendiri, justru demi kejujuran selibat.
Hidup selibat, “tanda cinta kegembalaan” dan “sumber dari kesuburan
rohani” menuntut lebih daripada hanya sikap hati-hati dalam pergaulan dengan
lawan jenis dan terhadap dorongan-dorongan seksual. Agar hidup tak nikah
menjadi subur, pantas diperkembangkan kemampuan mencintai dengan jujur
seumur hidup.19
Dalam tahap perkembangan kepribadian dan dalam wujud yang berubah,
hidup selibat menuntut dari imam untuk membina seksualitas dengan wajar. Tidak
mengingkari seksualitas dan mengakui dorongan-dorongan yang berubah dan
berkembang; sebagai pemuda dalam umur dewasa, sebagai ayah dalam hari tua.
Membina ketahanan batin dalam menanggung frustasi tanpa melarikan
diri. Semakin menjadi independent dari ikatan akan “ibu” agar diteguhkan
kemampuan untuk memberikan diri sepenuhnya. Menjadi rela dan kuat dalam
memikul tanggung jawab untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
19
Dewan Keuskupan Agung Semarang. Pedoman Imam. h 65
xx
Mengenal bahwa hidup adalah memberi dan menerima, mangalami dan
menerima ketegangan antara menghargai dan dihargai, agar semakin mampu
untuk berdialog. Mengenal dorongan-dorongan jenis pria dan mengerti perasaanperasaan wanita agar semakin peka terhadap perasaan dan harapan yang timbul
agar semakin bijaksana dalam menanggapinya.
Adapun selibat dipandang dari beberapa segi20, diantaranya :
•
Segi kristologis, mengabdikan seluruh hidup dan perbuatan seperti halnya
Yesus mengabdikan dirinya kepada tugas-tugas yang diberikan Allah
kepadanya. Sehingga tiada tempat untuk hidup berkeluarga baginya. Maka
Yesus menyeru supaya orang yang ingin mengikutinya bersedia
meninggalkan apa saja termasuk anak istrinya.
•
Segi eklesial, hidup berselibat membebaskan orang dari aneka kewajiban
dan keterikatan hidup berkeluarga, supaya dapat mencurahkan seluruh
waktu segala tenaga dan cinta kasihnya pada pelayanan umat.
•
Segi profetis, hidup menurut tiga nasihat injil merupakan suatu alternative
terhadap kecenderungan kodrati mencari kebahagiaan dalam hidup ini dan
terhadap konsumerisme yang ingin menikmati apa yang dapat diperoleh
sekarang ini dan sebanyak mungkin..
•
Segi karismatis, menjalankan selibat dengan setia mengandaikan
panggilan dan rahmat khusus. Maka hidup berselibat bukan prestasi orang
yang bersangkutan, bukan pula harga yang harus dibayar kalau mau
20
A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1995). h. 194.
xxi
menjadi imam. rahmat hidup berselibat harus di doakan oleh umat yang
menginginkan imam mereka berselibat.
•
Segi eskatologis, orang yang hidup berselibat menaruh seluruh harapan
pada Allah serta kehidupan di akhirat, waktu Allah akan menjadi
segalanya. Inilah harta yang tidak akan dapat dicuri atau dimakan karat.
B. Sejarah Singkat Timbulnya Selibat
Pada
masa Gereja perdana21, hidup selibat bagi para klerus tidaklah
diwajibkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis.
“Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat,
suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka
memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri
dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12).
Walaupun demikian, orang hendaknya jangan sampai salah menafsirkan
ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah
menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7).
Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) membangkitkan kembali ajaran
St Paulus, ungkapan Klemens (seorang tokoh Katolik) menarik untuk dikutip.
“Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah
sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan
bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian
akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”22
St. Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan,
21
Gereja Perdana ialah gereja yang berbentuk kaum atau kelompok manusia yang
mempunyai visi dan misi untuk menyebarkan ajaran Yesus dan mengajarkan alkitab, dibentuk
pada zaman para Rasul dimana Yesus di anggap sebagai pimpinan gereja dan Yesus Sendiri yang
mengproklamirkan gereja perdana. (wawancara pribadi dengan suster Laurentia)
22
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”. Artikel di akses tanggal
2 januari 2008 dari http://yesaya.indocell.net/id.1038.htm.
xxii
“Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke
tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat,
bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan
perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia,
yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan
isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana
kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu
konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam
dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam,
diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali
dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan:
siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.”23
Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah
pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para Klerus. Dalam Konsili
Ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit
yang memandatkan selibat para Klerus, termasuk para Klerus yang telah
menikah.24
Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes,
menegaskan bahwa prasyarat dari dekrit Uskup Hosius akan terlalu keras dan
tidak bijaksana. Sebaiknya, para Klerus yang telah menikah hendaknya terus setia
kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan
secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat
yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.25
Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru
“kemartiran putih”.26 Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran
23
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
25
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
26
Kemartiran Putih: Golongan yang sukarela mengingkari hal-hal dari dunia dan mereka
rela mati untuk kembali atau bangkit untuk Kristus.
24
xxiii
merah,”27 mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki
dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini
dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup
dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan
kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan,
kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan.
Pada poin ini, tradisi selibat para Klerus berbeda antara tradisi Gereja
Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa Paus mendekritkan
selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458).
Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika,
Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia,
Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam,
diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.28
Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara Uskup dan para Klerus
lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar
Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk
ditahbiskan sebagai seorang Uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa
seorang Uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari
isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, Diakon dan Subdiakon
dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi
janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan27
28
Kemartiran Merah : Golongan yang rela mencurhkan darah demi iman kepada Kristus.
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
xxiv
ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja
Timur.29
Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus
penyelewengan dalam selibat para Klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari
Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers
(1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun
1975
melarang
para
imam yang
menikah
atau
yang
memiliki
selir
mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya,
dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayananpelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian.30
Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang Ekumenis,
memandatkan selibat bagi para Klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139)
kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan,
dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang Klerus
tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai
selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja
Katolik.31
Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang
disiplin selibat para Klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewenganpenyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan,
Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563)
menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja
29
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
31
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
30
xxv
memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari
menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup
perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili-konsili
menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus
mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan.
Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para Klerus,
yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum
ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan
dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).32
Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat
ditetapkan bagi para Klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa
Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang
mendasari peraturan ini.
Konsili Vatikan II dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para
Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan,
“Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah
dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman
sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan
sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu
sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang
dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa
kesuburan rohani di dunia” (No. 16).33
Disamping mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat
berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai
kesesuaian dengan imamat:
32
33
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”
R Hardawiryana. “Dokumen Konsili Vatikan II”. (Jakarta: Obor,1993). h. 495.
xxvi
“Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga,
para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih
mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus
dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan
sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali
adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara
lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan
di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri
kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan
umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan
murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan
perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa
depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai
Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang
hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan
cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan
dinikahkan” (Luk 20:35-36).34
Paulus VI mengharapkan bahwa pengertian mendalam tentang kaitan erat
antara imamat dan tugas melanjutkan misi Kristus itu akan semakin
memperlihatkan kesesuaian antara selibat dan imamat (Sacerdotalis caelibatus).35
Yoanes Paulus II berusaha membaharui semangat selibat dengan
mengajarkan bahwa semangat hidup berselibat, miskin dan taat secara radikal
merupakan sikap hidup Yesus sendiri yang seharusnya meresapi seluruh umat
beriman. Seperti gambaran kematian, semua orang harus menempuh jalan terakhir
tanpa teman hidup, meninggalkan segala miliknya dan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah. 36
Hidup berkeluarga Kristiani dan hidup berselibat adalah dua bentuk
kesaksian akan cinta kasih Allah. Kedua bentuk itu saling memerlukan dan saling
mendukung. Mereka yang menikah perlu di sadarkan bahwa cinta kasih akan
34
R Hardawiryana. “Dokumen Konsili Vatikan II”. h. 496.
A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1995). h. 191.
36
A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja h. 191.
35
xxvii
Allah melampaui cinta di antara anggota-anggota keluarga. Mereka yang
berselibat perlu di sadarkan bahwa cinta kasih Allah menjadi kongkrit dalam cinta
suami isteri yang tak di tarik kembali. Kedua bentuk ini memerlukan sikap sama
yang di ungkapkan secara berbeda, yakni kepekaan hati, kemampuan
berkomunikasi dan bekerjasama, saling memaafkan dan setia satu sama lain.
Didalam buku yang berjudul Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi
Kitab Suci37, dengan lebih khusus lagi membahas mengenai perkembangan selibat
kerahiban tentang hidup murni, ia mengulas bahwa pada awal perkembangan
hidup murni itu ada dua situasi yang akan memberikan gambaran yaitu :
1. St. Paulus menyatakan bahwa hidup murni itu berhubungan dengan
pelayanan kerasulan. Hidup murni yang di proklamasikan oleh injil
mempunyai makna besar bagi pelayanan.
2. Berhubungan dengan peran tertentu dalam gereja. ketika gereja berbenah
diri dalam tata kehidupan bersama. Gereja membutuhkan orang-orang
yang berbakti bagi gereja secara penuh.
Selanjutnya F. Hartono38
memberikan komentarnya mengenai awal
perkembangan hidup murni itu sebagai berikut:
“Dari situasi itulah yang ikut menentukan kehidupan,
perkembangan gereja dan pelayanannya yang tidak menuntut pelayanan
khusus, sedang dari pihak lain muncul tuntutan baru yang membutuhkan
panggilan khusus karya purna waktu yang membawa orang dalam
keterlibatan hidup demi gereja. situasi ini membuka lahan baru bagi
perkembangan cita-cita hidup menurut nasihat injil, terutama hidup murni
demi kerajaan Allah”.
37
St Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. (Yogyakarta,
Kanisius. 1987). hal 61.
38
Hartono F, Hidup Membiara, Apostolis. (Yogyakarta, Kanisius. 1988). h 65.
xxviii
Bentuk-bentuk hidup murni demi kerajaan Allah diusahakan dikaitkan
dengan kehidupan pertobatan, menyepi di padang gurun, tekun dan mendalam
bagi kehidupan gereja dan digiatkan demi pelayanan umum bagi jemaah beriman.
Dari pengamatan di atas, jelaslah gereja berhenti dalam mengembangkan
pemahaman dan cara kehidupan yang lebih mengungkapkan cita-cita asli dari
proklamasi Injili. Gereja menanggapi tentang tawaran hidup murni bukan sematamata demi kerajaan Allah dimasa mendatang, tetapi guna pembangunan kerajaan
Allah di masa kini. Gereja tetap berusaha memahami warisan masa lampaunya
sebagai kekayaan dan memanfaatkan kekayaan itu untuk berjuang bagi saat-saat
ini dalam pelayanan terhadap sesama.
C. Sumber Ajaran Hidup Selibat
Adapun sumber dari pada hidup selibat menurut Katholik terdapat dalam
al-kitab. Diantara ayat yang menjadi landasan hidup selibat adalah:
“Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang
dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan
didalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak
dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi, mereka sama seperti
malaikat-malaikat dan mereka anak-anak Allah. Karena mereka telah
dibangkitkan.” (Lukas, 20:34-36)
“Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang lahir demikian dari
rahim ibunya, dan orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan
ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri
oleh karena kerajaan sorga.” (Matius 19:12)
“Haruslah kamu sempurna, sama peperti bapamu yang di sorga adalah
sempurna” (Matius 5:48)
“Hendaklah kamu menjad kudus didalam seluruh hidupmu sama seperti
dia yang kudus, yang telah memanggil kamu kuduslah kamu sebab aku
kudus.” (Pet:15-16)
Dan diantara ayat yang menjadi kaul adalah:
xxix
“ Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, jauhilah segala milikmu dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta
disorga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah aku”. Matius 19:12
Menurut ajaran Katholik, bahwa hidup selibat itu selain bersumber dari alKitab (Firman Allah) juga bersumber dari Kristus (Nabi Isa). Mereka menjalani
kehidupan selibat adalah untuk meneladani Kristus, sebab Kristus tidak pernah
menikah (dalam kedaan lajang) dalam hidupnya seperti tertera dalam kitab:
“Hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia
yang kudus, yang telah memanggil kamu kuduslah kamu sebab aku kudus” (Pet
1:15-16)39
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hidup Selibat
Ada dua faktor yang mendorong seseorang untuk menjalani hidup selibat
yaitu:
1. Proklamasi Yesus, yaitu hidup murni demi kerajaan Allah. Dan memang
semasa hidupNya Yesus tidak menikah. Yesus memberi tempat Allah merajai
hidupNya.
2. Pengaruh masyarakat, Pada waktu itu gereja mengalami masa transisi dari
gereja yang bersifat kekeluargaan ke gereja yang bersifat mondial dan universal
organisasinya. Karena masa transisi itulah, maka gereja sangat membutuhkan
orang-orang yang mempunyai loyalitas yang tinggi untuk membaktikan hidupnya
secara total untuk pelayanan yang universal, maka kesediaan orang-orang yang
39
Wawancara Pribadi dengan Suster laurentia
xxx
tidak berkeluarga atau orang-orang yang tidak menikah pada waktu itu sangat
dibutuhkan.40
Seorang individu dipahami dan diterima sebagai wakil seluruh umat
manusia. Setiap individu adalah seluruh umat manusia yang ingin diraih Allah dan
tanggapan tiap-tiap individu itu oleh karenanya mewakili seluruh manusia. Dalam
konteks
pemahaman
Kristen,
tanggapan
pribadi
yesus
terhadap
karya
penyelamatan Allah yang inklusif sesungguhnya dipandang sebagai paradigma,
model normatif bagi kehidupan selibat.41
Dalam merefleksikan kehidupan selibat, pelayanan kristus menjadi sebuah
gambaran kehidupan bagi umat katolik. Yesus pertama-tama menerima seseorang
sebagai pribadi yang berharga sebagaimana dia ada, bertahan sendiri memanggil
orang-orang tertentu untuk hidup bagi kepentingan orang sesama seutuhnya.
Artinya seluruh hidupnya disumbangkan atau dipersembahkan untuk kepentingan
jemaat atau umat. Yesus juga datang untuk mengakui kehidupan manusia dalam
segala macam kegagalannya.42
Setiap orang dalam hidup ini pasti akan mendapatkan masalah, tapi yang
paling penting bagaimana kita menghadapi dan mengatasi masalah itu. begitu pun
orang-orang yang menjalani kehidupan selibat. Pada umumnya memang masalah
godaan untuk berkeluarga selalu ada. Kemudian juga masalah lain misalnya saja
kehidupan sendiri itu kadang-kadang dirasakan berat. Disamping itu bagi orangorang yang mau hidup secara tidak berkeluarga (selibat) harus rela tidak
40
St. Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci.
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 43.
41
Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. h. 45
42
Harjawiyata Fr, Panggilan Membiara dan Imamat. (Yogyakarta: kanisius, 1975), h.
134
xxxi
mementingkan harta dunia dan harus hidup serba sederhana. Dan faktor-faktor itu
kadang-kadang menjadi beban dalam menjalankan pekerjaan kehidupannya.
Namun, beban itu dapat diatasi kalau didalam jiwa dan pikiran selalu ditanamkan
keinginan yang kuat untuk mengabdikan diri demi kepentingan sesama. Dan yakin
bahwa Tuhan sendiri akan selalu memberikan jalan keluar dan memberikan
kekuatan untuk mengatasi godaan-godaan atau masalah-masalah yang timbul.
Memang tidak dipungkiri bahwa suatu saat bisa saja terjadi bahwa ada seseorang
yang sudah beritikad untuk hidup selibat tetapi suatu saat karena masalah-masalah
atau banyak hal yang menimpa dirinya dan tidak bisa mengatasinya. Bisa saja ia
meletakkan jabatannya dan kemudian melepaskan tugasnya dan mengambil hidup
berkeluarga. Karena ini memang suatu hal yang cukup berat untuk diamalkan oleh
kita sebagai manusia biasa.
xxxii
BAB III
KAUL, PERMANDIAN DAN TAHAPAN KEHIDUPAN DALAM SELIBAT
E. Kaul dalam selibat
Kaul atau prasetia adalah suatu janji untuk memuliakan Allah. Orang
berjanji secara sadar dan rela untuk berbuat sesuatu yang pada umumnya tidak
dituntut darinya yang lebih berkenan kepada Allah dari pada yang sebaliknya. 43
Kaul adalah janji kebiaraan di mana seseorang secara sukarela
menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam
kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.44
Ketika mendengar kata kaul (hidup membiara) orang dengan sendirinya
berpikir mengenai tiga kaul, yaitu tidak menikah (kemurnian), hidup miskin dan
ketaatan. Tetapi para peter dominikan mengingat diri pada kehidupan lajang
hanya dengan satu kaul saja, yakni ketaatan. Namun agak sedikit berbeda dengan
regule (peraturan) Santo Benekditus memang disebutkan tiga kaul, tetapi bukan
yang biasa melainkan pertobatan hidup, ketetapan tempat dan ketaatan. Hal ini
tidak berarti ada biarawan biarawati yang terikat oleh selibat (lajang) kemiskinan
dan ketaatan. Melainkan ketiga kaul itu selalu harus dilihat dan diartikan menurut
masing-masing ordo (kumpulan rahib).45.
43
A. Heuken SJ. “Kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1995). h. 213.
44
Wawancara pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008.
45
A. Soenarja. Kisah Orang Membiara. Yogyakarta. Nusa Indah, 1984. hal 130.
xxxiii
Dengan kaul, para biarawan biarawati mengikat diri untuk melaksanakan
ketiga nasihat injil yaitu tidak menikah, hidup dalam kemiskinan dan ketaatan.46.
Bagi kebanyakan ordo menjadi pengertian biasa, bahwa dengan ketiga kaul itu
orang akan diterima dalam hidup membiara. Maka agak mengherankan bahwa
sejak tahun 1400 ketiga kaul itu baru di pandang sebagai pokok hidup lajang
diantara gereja.
Dewasa ini di dalam gereja dibedakan antara rohaniwan dan biarawan
rohaniawan adalah mereka yang menerima tahbisan suci dan kemudian menjadi
anggota hirarki untuk menunaikan tugas gerejani. Sedangkan biarawan dan
biarawati ialah orang yang mengikrarkan kaul diatas. Namun ada juga biarawan
dan biarawati yang sekaligus ditahbiskan menjadi rohaniawan. Sejak abad ke 6
para rohaniawan menjanjikan atau mengikrarkan kaul untuk tidak menikah,
mereka juga mengikat diri untuk hidup menurut peraturan gereja, tetapi tidak ada
kaul ketaatan begitu juga mereka menjanjikan kemiskinan.
Sejak zaman S. Augustinus para rohaniawan sering kali hidup bersama,
hidup bersama itu berarti milik bersama, dalam abad ke11 hal itu menjadi
kebiasaan umum. Mereka tidak mengucapkan kaul kemiskinan melainkan
mengikat diri pada kumpulan mereka yang hidup bersama. 47
Begitupun dengan para biarawan yang pada permulaan sama sekali tidak
mengucapkan kaul. Mereka mengikat diri pada peraturan biara yang
mengusahakan sebaik mungkin pengikraran diri pada apa yang dipandang sebagai
46
47
Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta. Kanisius, 1996. hal 376.
Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik.( Yogyakarta. Kanisius, 1996). hal
375.
xxxiv
pokok hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula keperawanan
(lajang). Tetapi itupun tidak dinyatakan secara khusus, yang terpenting adalah
ketaatan kepada biara dan peraturan.
Hidup para biarawan adalah bentuk kehidupan tertentu dan orang yang
menjadi biarawan mengingat diri pada bentuk kehidupan itu.
Sebaliknya para selibat tidak terikat pada bentuk kehidupan tertentu,
mereka tidak disebut biarawati (bagi perempuan), mereka hanya mengingat diri
pada keperawanan seringkali hidup dirumahnya sendiri secara biasa.
Tanda lahir keperawanan adalah selubung. Sejak abad ke 6 para perawan
pun (bersama dengan janda) mulai hidup bersama. Tetapi sampai abad ke 11
masih ada perawan yang secara resmi menerima selubung dari uskup dan tetap
sendiri di tengah-tengah masyarakat. Secara implisit keperawanan, kemiskinan
dan ketaatan sudah dirangkum dalam kehidupan para rohaiawan, biarawan dan
biarawati. Tetapi hanya para rohaniawan dan perawanlah keperawanan itu
dijanjikan secara terbuka. Kemiskinan tidak pernah tidak disebutkan, dan ketaatan
sebetulnya berarti bahwa orang mengikuti diri pada bentuk kehidupan yang
dirumuskan regule (peraturan).
Pada tahun 1148 ada 12 rohaniawan di Paris yang menjanjikan
kemiskinan, ketaatan dan tidak menikah. Pada pokoknya dengan kaul itu sudah
dinyatakan apa yang sekarang merupakan isi pokok dari kaul kebiaraan, tetapi
xxxv
perumusannya masih berbeda. Baru sejak tahun 1400 dengan terang disebut
kemiskinan, tidak menikah dan ketaatan.48
Pada waktu itu di dalam gereja tidak ada lagi tiga bentuk golongan di atas.
Para perawan sudah menjadi biarawati, juga para rohaniawan yang hidup bersama
pada waktu itu mempunyai bentuk kehidupan yang sangat mendekati para
biarawan. Mereka semua menjalankan hidup yang sekarang disebut “hidup
membiara”. Disamping biarawan dan biarawati juga tinggal para rohaniawan yang
hidup menurut bentuk kehidupan bersama.
Pada waktu itu biarawan juga mulai memikirkan bentuk kehidupan mereka
dan terutama S. Thomas Aquino49 mengembangkan satu teologi hidup membiara,
khususnya mengenai tiga kaul itu. Teologi itu tidak jatuh dari langit begitu saja,
tetapi sudah dipersiapkan dalam buku-buku rohani yang ditulis dan di pahami
oleh para biarawan, karena hidup membiara itu sebagai usaha tidak mengingkari
diri, maka ketiga kaul itu pertamanya dilihat sebagai olah tapa saja.
Menurut pandangan orang abad pertengahan hidup selibat (membiara)
adalah menjauhkan diri dari dunia yang di anggap jahat oleh mereka. Secara
khusus “kesenangan daging” mereka musnahkan dengan hidup lajang sedangkan
“kesenangan mata” serta “kecongkakan hidup” mereka perangi dengan
kemiskinan dan ketaatan50. Dengan demikian nasihat injil itu di ikrarkan dalam
kaul dan mendapat tafsiran yang sangat praktis.
48
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
h. 26.
49
A. Heuken SJ. “kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II. h. 84.
Joyce Ridrich. Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. (Yogyakarta,
Kanisius. 1987). hal 81.
50
xxxvi
1 Tiga Kaul
Tahun 1145 M untuk pertama kalinya hidup selibat (membiara) secara
resmi di ikrarkan dengan ketiga kaul yaitu kemiskinan, ketaatan dan tidak
menikah.51 Dasar untuk ketiga kaul itu terdapat dalam Yohanes yang berbunyi :
“Janganlah kamu mengasihi dunia, dan apa yang ada di dalamnya.
Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan bapa tidak ada di dalam orang
itu sebab yang ada di dalam dunia yaitu keinginan daging serta keangkuhan
hidup . keinginan mata, bkanlah dari bapa melainkan dari dunia. Dan dunia ini
sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak
Allah tetap hidup selamanya”. (Yoh 1:15-17).
Walaupun ketiga bentuk kehidupan itu baru merupakan satu kaul sejak
abad ke-12, namun sebagai bentuk kehidupan alxeis (menjauhkan diri dari
kesenangan dunia) tentu saja sudah dipraktekan dalam gereja. ternyata paus
Innocentius II memajukan pengikraran kaul untuk menertibkan hidup selibat
(hidup membiara).52
Hal itu juga, mempunyai akibat bahwa hidup selibat harus dilihat dan
diukur menurut tiga kaul itu. Oleh karenanya hidup selibat juga menjadi yuridis,
yang ditentukan oleh peraturan dan kewajiban serta sifat nasihat injil. Kaul tidak
lagi dilihat sebagai sarana untuk membantu hidup semakin dekat dengan kristus,
bahkan kaul itu seolah-olah menjadi inti dan pokok dalam kehidupan selibat.
Dengan mengikrarkan nasihat injil menjadi kaul, maka artinya sedikit berubah dan
51
Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik. (Yogyakarta. Kanisius, 1996). hal
376.
52
R. Hardawiyana, Dokumen Konsili Vatikan II. (Jakarta; Obor, 1993). h. 133.
xxxvii
tidak heran bahwa mula-mula konsili vatikan II53 orang mulai bertanya lagi
mengenai arti dan tempat kaul dalam kehidupan selibat.
Kaul dilihat secara negatif, tidak menikah tidak mempunyai apa-apa, tidak
menjalankan kehendak sendiri, kiranya tidak ada perbedaan antara masing-masing
ordo.
Disamping kaul pertobatan (Tiga Kaul) masih ada dua kaul yang lain.
Yang pertama adalah kaul ketetapan tempat, yang mana dengan kaul itu orang
mengikat diri pada suatu komunitas (tempat) tertentu. Seumur hidup mereka akan
tinggal dalam tempat yang sama. Yang kedua kaul ketaatan, yaitu ketaatan kepada
pemimpin komunitas yang diakui sebagai pemimpin rohani.. maka disini terdapat
dua ikatan dimana dengan kaul pertama (Tiga Kaul) orang mengikat diri
sepenuhnya kepada Tuhan. Sedang dengan kaul yang lain (ketetapan tempat dan
kaul pada ketetapan pemimpin komunitas) mengikat diri pada pemimpin dan
komunitas.54
Tradisi ini berjalan terus sampai Fransiskus (1182-1226). Pada waktu itu,
sudah dipakai ketiga kaul yang sekarang umum: tidak menikah, kemiskinan dan
ketaatan. Tetapi yang pokok adalah tetap hidup bagi Tuhan, maksudnya seluruh
hidup orang yang menjalankan kehidupan selibat semata-mata dicurahkan untuk
Tuhan.55 Kemiskinan dan selibat (tidak menikah) adalah sebagian suatu syarat;
orang meninggalkan segala sesuatu agar dapat mengikat diri seluruh hidupnya
pada Tuhan. Mereka menjalani kemiskinan, supaya bebas untuk mengikuti Tuhan
kemana saja artinya bebas berbakti tanpa diikuti beban atau rintangan, karena
53
R. Hardawiyana, Dokumen Konsili Vatikan II. h. 134.
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
55
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 136
54
xxxviii
kekayaan untuk. mereka adalah merupakan suatu rintangan. Hanya dalam ketaatan
menjadi sedikit lain orang tidak lagi mengikat diri pada suatu komunitas dan
kepemimpinan sebagai pembimbing rohani, akan tetapi sekarang mereka mulai
mengikat diri pada seluruh tarekat dan mengabdikan diri kepada seluruh ordo
bukan pada pemimpin rohani atau komunitas.
2. Kaul sebagai Penyerahan
Kaul pokok bagi orang yang akan menjalani hidup selibat (membiara)
pada hakikatnya adalah penyerahan diri kepada kristus juga penyerahan cinta
kasih yang sempurna, hal ini harus diperlihatkan dalam kehidupan sebagai lajang,
seluruh hidup bagi kristus.56 Justru karena hidup seluruhnya diserahkan kepada
Kristus, maka mereka mengharapkan segala sesuatu dari Kristus dan tidak mau
mengusahakan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk pengharapan akan Kristus
supaya sempurna maka di buanglah segala pegangan dan jaminan hidup yang
bersifat duniawi oleh kaul kemiskinan. Begitu pula penyerahan adalah merupakan
ketaatan yang sempurna dan meliputi seluruh hidup.
Penyerahan kaul berupa pengharapan, ketaatan dan cinta kasih kehidupan.
Selibat menjanjikan penyerahan itu lebih sempurna sehingga meliputi seluruh
hidup. Pengharapan berarti meninggalkan semua barang duniawi sebab rahmat
Kristus sudah cukup, dan ketaatan melakukan segala sesuatu adalah sebagai tanda
penyerahan kemauan sendiri kepada Kristus.
56
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 136
xxxix
Maka ketiga kaul itu menurut S. Thomas Aquino57 tersimpullah hidup
membiara (selibat). Penyerahan bertujuan sebagai cinta kasih sempurna kepada
Kristus, juga untuk menyempurnakan diri mereka yang menjalani hidup selibat.
Sebagaimana firman Tuhan :
“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah jualah segala milikmu dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan perolah
harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah aku” (Mat 19:21)
“Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang
dianggap layak untuk mendapat bagian dunia yang lain itu dan dalam
kebangkian antara orang-orang mati tidak kawin dan tidak dikawinkan.
Sebab mereka tidak dapat mati lagi, mereka sama seperti malaikatmalaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah
dibangkitkan” (Luk 20:34-36).
Seorang biarawan dan biarawati hanya ingin hidup dalam Kristus dari
Kristus dan untuk Kristus58. Maka sejauh mungkin mereka rela melepaskan diri
dari segala-galanya yang mungkin menjadi rintangan bagi kesatuan dengan
Kristus. Tidak hanya barang duniawi atau kemauannya sendiri di buang bagaikan
sampah, tetapi kasih kepada manusia pun yang mengikat hidupnya hanya pada
satu orang saja dengan seluruhnya tidak dikehendaki.
Sebagaimana tercantum dalam firman Tuhan yang berbunyi :
“Aku ingin supaya kamu hidup tanpa kekhawatiran. Orang yang tidak beristeri
memusatkan perhatiannya kepada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkemauan
kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya kepada perkara
duniawi,
bagaimana
ia
dapat
menyenangkan
isterinya,
dan
demikian
perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tak bersuami dan anak-anak gadis
57
58
A. Heuken SJ. “kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II. h. 84.
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
xl
memusatkan perhatian mereka kepada perkara Tuhan. Tetapi perempuan yang
bersuami memusatkan perhatiannya kepada perkara duniawi, bagaimana ia
menyenangkan suaminya. Semua ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri
bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasanmu tetapi sebaliknya
supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik melayani Tuhan tanpa
gangguan-gangguan”. (1 Kor 7:32-35).
3. Kaul sebagai Bentuk Kehidupan
Dalam pandangan di atas sebagaimana diuraikan, ketiga kaul itu tidak
hanya merupakan pelaksanaan konkrit dari pengikraran diri, tetapi juga menjadi
pokok perwujudan kehidupan lajang (selibat).59 Seperti telah dikatakan di atas
hidup lajang (selibat) pada zaman dahulu dipandang sebagai bentuk kehidupan
tertentu. Pokok hidup lajang adalah peraturan yang menentukan dan menetapkan
seluruh bentuk kehidupan para lajang.
Disini perlu diperhatikan bahwa tidak menikah atau selibat merupakan
semacam latihan puasa yaitu menahan nafsu dan berusaha merendahkan hati
menguasai diri dalam segalanya. Tindakan atau keinginan seksual dipandang
sebagai puncak hawa nafsu yang harus dikendalikan.
Dari semula memang ditekankan kewajiban untuk hidup sederhana dan
membebaskan diri dari rintangan kekayaan (yang menarik manusia kepada dunia),
tetapi dalam praktek-praktek hidup yang dipentingkan para lajang (biarawan dan
biarawati) tidak mempunyai milik pribadi. Semua milik bersama, namun yang
59
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 289.
xli
dimiliki oleh biara seringkali amat besar, sehingga banyak biara harus di sebut
kaya menurut pandangan manusia biasa.
Dalam perkembangan lebih lanjut kiranya pandangan itu menjadi lebih
umum, pokok kaul kemiskinan adalah bahwa para lajang tidak mempunyai millik
pribadi, tetapi mereka hidup dari biara. Oleh sebab itu masing-masing biarawan
dan biarawati apabila membutuhkan sesuatu harus minta izin itulah sebabnya
mereka dianggap miskin. Ini berarti bahwa pokok hidup lajang (selibat) dalam
praktek adalah ketaatan, sebab pokok hidup selibat adalah hidup menurut
peraturan suci. De facto bagi semua biarawan dan biarawati hidup selibat sama
dengan hidup menurut peraturan biara. Bentuk kehidupan biara adalah intisari
hidup membiara dan juga isi pokok ketiga kaul.60
Seorang lajang (biarawan dan biarawati) harus memisahkan diri dari dunia
dan tidak menikah dan hidup menurut bentuk kehidupan bersama (kemiskinan).
itulah pandangan yang lazim diterima.61
4. Kaul sebagai Sikap Hidup
Oleh kardinal leger dari Montreal (kanada) dikemukakan pada konsili,
bahwa nasihat-nasihat injil itu tidak boleh dibatasi pada kehidupan tidak menikah,
kemiskinan dan ketaatan. Juga keadilan, kerendahan hati, keramahan, belas
kasihan dan segala keutamaan lainnya yang disebut dalam khotbah di bukit harus
disebut nasihat injil. Jadi ketiga kaul itu tidak boleh dipandang sebagai satusatunya pokok hidup Katolik, seakan-akan dengan ketiga kaul itu orang telah
60
61
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 27-28.
xlii
melaksanakan cita-cita Kristus yang benar. memang boleh dikatakan bahwa
dengan ketiga kaul itu hidup kristiani sudah lengkap. Akan tetapi di samping
ketiga kaul tersebut masih terdapat nasihat-nasihat Yesus lainnya yang bisa
dijadikan sikap hidup kristiani. Oleh sebab itu nasihat-nasihat injil tidak boleh
dipandang sebagai petunjuk Kristus untuk bentuk kehidupan tertentu, bahkan
tidak boleh dipandang sebagai keutamaan khusus. Nasihat-nasihat injil adalah
ajaran Kristus untuk sikap hidup kristiani. Akan tetapi keperawanan atau selibat
(tidak menikah) menjadi unsur yang penting dalam nasihat injil yang di anggap
sebagai sikap dan bentuk dari pada kehidupan Yesus. sedangkan kemiskinan,
ketaatan dan yang lainnya merupakan pelaksanaan konkrit dari keperawanan itu
sendiri.62
Oleh konsili diajarkan, bahwa kesucian tidak terikat pada bentuk tertentu,
karena kesucian hanya berupa suatu sikap hidup terhadap Tuhan. Tetapi kalau
dikatakan, bahwa kesucian tidak terikat pada bentuk tertentu, bukan berarti bahwa
manusia dapat hidup tanpa bentuk kehidupan yang konkrit.63 Bentuk kehidupan
mereka harus menurut pada prinsip-prinsip atau pandangan yang telah diberikan
Yesus dalam khotbah dibukit tersebut.
F. Permandian dalam Selibat
Sakramen pentahbisan dalam selibat seperti halnya sakramen pembaptisan
pada umumnya yang meliputi permandian,
untuk mensucikan diri menuju
kerajaan Allah. Pentahbisan lebih di khususkan bagi para biarawan atau uskup
62
63
Hartono F, Persahabatan Orang Selibat Makna dan Tantanganya. h. 30.
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 30.
xliii
yang akan menjadi imam. sedangkan yang umum dalam selibat adalah
permandian, karena permandian adalah dasar untuk menjadi seorang Katolik yang
beriman. Mandi dan air adalah lambang pembersihan dan kehidupan. Tanpa air
tidak ada kehidupan di dunia ini, karena air adalah salah satu unsur penting dalam
kehidupan.64
Permandian adalah dasar ketiga kaul pokok yang diucapkan oleh orang
yang akan menjalani kehidupan lajang (membiara). Dan ini tidak hanya berarti
bahwa orang yang akan mengikat diri dengan kaul dalam gereja harus
dipermandikan dahulu, yang dimaksud ialah lebih dari pada peraturan hukum
gereja, sungguh pun seyogyanya sudah memperhatikan peraturan gereja ini lebih
dalam sedikit. Sebab kaul membiara adalah kaul didalam gereja, dan oleh karena
itu orang hanya dapat mengucapkan kaul sebagai anggota gereja, padahal
sakramen permandian mereka masuk kedalam anggota gereja. justru karena kaul
itu bukan semata-mata suatu tindakan perseorangan saja, tetapi selalu berupa
ibadat gereja. maka dengan demikian permandian adalah merupakan syarat
mutlak bagi kaul.65
Permandian sebagai penyerahan kepada Kristus. Permandian sebagai
penyerahan pertama sedangkan kaul adalah penyerahan total dan mutlak. Kaul
disebut permandian kedua, karena yang terjadi dalam permandian itu diulangi
secara lebih sempurna yakni penyerahan diri pada Kristus.66
Jadi dalam permandian manusia percaya bersatu dengan Tuhan dan tidak
hanya mati bagi dosa tetapi juga pada dunia, supaya hanya hidup bagi Tuhan
64
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. (Jakarta: Obor, 1985). h. 5.
66
Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja h. 7.
65
xliv
dalam pekerjaan yang menjadi tujuan kaulnya. Kesibukan dunia mengganggu
pengabdian kepada Kristus, sehingga dikatakan dalam Kitab Kudus :
“ Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya
dengan demikian ia berkenan kepada kemandiannya”. (Tim 2:4).
Oleh sebab itu dengan kaul orang meninggalkan semua yang biasanya
mengikat hati manusia dan yang menjadi rintangan dalam pengabdian penuh
kepada Tuhan. Mereka harus menyerahkan urusan hidupnya kepada Tuhan, hal ini
tercantum dalam al-Kitab:
“Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, karena Dialah yang
memperhatikan perkaramu” (Ptr 5:5).
Hidup lajang (selibat) itu bukanlah hidup yang berlainan dengan hidup
orang katolik biasa, hidup ini adalah suatu perkembangan lebih lanjut dari
penyerahan diri kepada Tuhan. Kaul dan Permandian, keduanya adalah
penyerahan kepada Kristus hanya dalam permandian maksudnya adalah
merangkul setan dengan segala pekerjaan dan kesia-siaanya. Tetapi pada
hakikatnya penyerahan kaul adalah penyerahan permandian, maka kaul bukan
suatu sakramen baru melainkan kesatuan dengan Kristus yang seerat-eratnya
dengan perkembangan dari materi kekal permandian yang telah menjadikan
anggota tubuh Kristus.67
1. Permandian sebagai Penyerahan
Untuk mengerti apakah sebenarnya sakramen itu (permandian), kita harus
memandang tanda sakramen. Pembersihan sakramen permandian adalah suatu
67
Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. h. 10.
xlv
pembebasan genggaman setan. Dengan sakramen permandian Allah Bapa telah
melepaskan manusia dari kuasa kegelapan, dan memindahkan manusia kedalam
kerajaan putra kekasih-Nya.
Seperti firmannya:
“Ia telah melepaskan kita dari kegelapan dan memindahkan kita dalam
kerajaan anaknya yang kekasih” (kolose 1:13).
Pembersihan sakramen permandian adalah penebusan Kristus, seperti di
terangkan-Nya kepada Paulus di jalan Damaskus.
“Dan aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata
mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari
kuasa iblis kepada Allah mereka oleh iman mereka kepadaku memperoleh
pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan
untuk orang-orang yang dikuduskan” (Kis 3:13-14).
Sakramen permandian adalah penyelamat manusia dari kejahatan. Maka
menurut S. Petrus kita ini serupa dengan selamat melalui air. Adapun air itu ibarat
dari yang sekarang menyelamatkan kamu yaitu permandian (Ptr 3:20-21). Seperti
nabi Nuh dahulu kala dibebaskan dari antara orang jahat melalui air bah, begitu
pula kita sekarang ini diselamatkan dengan air permandian. Air itu memusnahkan
segala kejahatan dan kedurhakaan, dan dengan demikian kita dibebaskan dari
penjajahan setan. Atau seperti orang Yahudi yang di selamatkan melalui air yang
membinasakan orang Mesir. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah
diutus di baptis dalam awan dan laut. (kor 10:2).68
68
Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. h. 13.
xlvi
Demikian pula kita ini di bebaskan dari kerajaan dosa melalui air
permandian ke dalam kesatuan Kristus. Permandian itu bukan suatu pembersihan
dimana kita terima bagaikan nasib saja, melainkan pembersihan ini penuh daya
dinamis yang membawa kepada Yesus Kristus, sumber keselamatan manusia. Kita
dimandikan supaya menyatu dengan Kristus. Jadi sakramen permandian pada
hakekatnya adalah penyerahan kepada kristus. Hal ini akan lebih jelas bila kita
pelajari bagi yang menjadi dasar permandian Yohanes.69
2. Permandian Yohanes
Permandian Yohanes adalah permandian tobat. Hal ini tercantum dalam
Al-kitab, “Bertobatlah sebab kerajaan sorga hampir tiba”(Mat 3:2).
Dengan demikian permandian Yohanes adalah persiapan untuk menemui
kerajaan sorga. Semua manusia mustahil luput dari murka Tuhan, hanya dengan
tobat yang sungguh-sungguhlah manusia dapat membebaskan diri dari kebinasaan
pada pengabdian Tuhan. “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda
pertobatan, tetapi ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari
padaku dan aku tidak layak melepaskan kasihnya. Ia akan membaptiskan kamu.
Dengan roh kudus dan dengan api” (Mat 3:11).70
Permandian Yohanes yang serupa dengan permandian air adalah gambaran
saja dari permandian dengan api pada hari Tuhan. Maksudnya dengan permandian
Yohanes maka manusia akan lepas dari siksaan api pada hari akhirat. Jadi yang
dimaksud api pada hari Tuhan adalah siksaan akhirat.71 Permandian Yohanes
hanya mempersiapkan orang akan pembersihan yang kuat, yakni pengadilan
69
70
71
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 49.
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 50.
A. Heuken SJ. “pembaptisan” Ensiklopedi Gereja Jilid III. h. 308.
xlvii
dengan api. Pembersihan ini akan merupakan kebinasaan bagi yang jahat tetapi
keselamatan bagi mereka dan kebahagiaan untuk orang yang percaya akan Tuhan.
Semua manusia yang percaya akan Dia tidak akan dihukum, tetapi siapa yang
tidak percaya sudah dijatuhi hukuman.
Permandian Yohanes adalah permandian tobat yang berwujud kepercayaan
yang penuh harapan akan kerajaan Allah. Permandian Yohanes berupa
penyerahan pula, tetapi suatu penyerahan yang belum kelihatan, juga sebagai
harapan.72
3. Permandian Yesus
Permandian Yesus juga berupa suatu penyerahan yakni penyerahan
ketaatan kepada Bapa. Begitu pula dia menerima permandian Yohanes sebagai
tanda ketaatannya kepada Bapa. Permandian Yesus adalah ketaatan-Nya.73
“Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran yang terdapat
juga dalam kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan
telah mengosongkan dirinya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah
merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib”(Flp 2:5-8).
Kristus adalah putra tetapi kesatuannya dengan Bapa diperlihatkannya
dalam kekuatan sengsara dan wafatnya. Permandian Yesus adalah penyerahan
ketaatan sampai mati.
72
73
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 51.
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 52.
xlviii
4. Permandian Kita
Permandian kita adalah termasuk permandian penyerahan kepada kerajaan
Tuhan yang sudah terlaksana di dalam Kristus, jadi permandian kita adalah
sakramen kepercayaan kepada Kristus.74
C. Tahapan Kehidupan Dalam Selibat
Bernard R. Bornot membagi tahapan hidup selibat dalam empat tahap
berdasarkan pemikiran Erik Erikson. Erik Erikson membedakan tahapan hidup
dalam suatu dilemma khusus untuk diatasi dan ditata. Setiap penanganan
memiliki hasil yang berbeda, bisa positif atau negatif. Pendekatan Erikson
menampilkan bahwa tiap tahap hidup selibat diasosiasikan dengan sebuah
dilemma yang khas dan menuntut kekuatan khusus untuk mengatasinya serta
menumbuhkan keutamaan khusus pula. 75
1. Adolescent Celibacy (masa puber hingga masuk umur 20-an)
Tantangan pada tahap ini yaitu: mengembangkan sebuah visi hidup dalam
model selibat sebagai hidup yang bernilai, dan bernegosiasi terhadap dorongan
fisik seksualitas remaja untuk mengijinkan seseorang dalam berkomitmen pada
hidup selibat (sebuah tugas yang sukar dalam budaya sekarang yang menekankan
kesenangan diri dan hiperseksual).
74
75
Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 53.
Bernard R. Bornot, “ Stages in Celibates Life”. ( Human Development: 1985). h. 18.
xlix
Dalam masa remaja, isu utama adalah bagaimana seseorang menangani
dorongan fisik, kerinduan emosional, fantasi imajinatif dan hasrat psikologis yang
terdalam. Kita berada dalam dunia yang menawarkan seks bebas tetapi sekaligus
dunia dimana seks perlu dikontrol. Tahap pertama dari kehidupan selibat
menuntut penanganan dilema seksualitas dengan tidak mengikuti dorongan
seksual apapun. Orang yang tidak bernegosiasi dengan tantangan keremajaan ini
harus akan bernegosiasi ulang seluruh perspektif dikemudian hari, seperti
Agustinus, jika mereka mau menerima kemungkinan hidup selibat dan
memutuskan untuk hidup di dalamnya.
Kekuatan yang dihasilkan dari penanganan yang sukses adalah hidup
selibat dalam arti fisik. Keberhasilannya adalah sebuah kemampuan untuk
menjadi sungguh manusia tanpa mesti aktif secara seksual dan tanpa merasa
terganggu dan frustrasi.76
2. Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an)
Tantangan utamanya adalah kebutuhan akan pasangan dan anak (banyak
orang mendefinisikan hidup mereka dalam arti ini). Tapi dalam hidup selibat lebih
menyangkut keturunan (generativity). Tahun-tahun dalam hidup selibat saat ini
lebih berhubungan dengan kebutuhan akan keturunan (generativity). 77
Tahap kedua dalam hidup selibat menyangkut kebutuhan akan munculnya
kerinduan untuk menjadi Bapa atau Ibu. Penanganan yang berhasil dari tahap
pertama memampukan orang untuk komitmen pada hidup selibat dengan hidup
76
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Artikel di akses tanggal 2
Januari 2008 dari http://www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat.htm.
77
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.
l
tanpa aktif seksual dalam arti fisik. Orang yang memutuskan untuk secara seksual
aktif mencari partner lebih bersifat fisik daripada psikologi dari pasangannya akan
membawa perpisahan atau perceraian di kemudian hari.
Bagi yang tetap, dalam awal kedewasaan, orang selibat disibukkan dalam
soal pendidikan dan latihan yang di syaratkan supaya secara tetap hidup dalam
komunitas yang dia telah pilih sebagai sebuah konteks hidup yang bermakna,
hidup seksual secara tidak aktif. Hingga 30 tahun yang lalu, formasi bagi hidup
selibat membatasi tantangan keintiman dengan larangan yang keras terhadap
teman eksklusif dan membatasi kontak dengan keluarga. Orang dewasa yang
masih mudah menghayati hidup selibat umumnya tidak menghadapi tantangan
yang mendalam dalam keintiman.
Imam muda atau religius dalam pelayanannya di paroki atau bidang lain
berhadapan dengan keluarga-keluarga muda dengan anak. Pada saat ini semakin
disadari konsekwensi dari pilihan untuk tidak memiliki pasangan hidup dan anak
(keturunan). Yang utama disini bukan soal fisik dan psikologi tetapi perbandingan
dan kesadaran akan kematian generasinya.
Dilema seorang selibat adalah perbandingan. Itu nampak ketika kita
mengunjungi keluarga-keluarga di paroki atau saudara sepupu yang berkeluarga,
teman-teman yang berkeluarga dan melihat rumah dan cara mereka membesarkan
anak yang penuh hidup. Kemudian membandingkan bahwa mereka seumur
dengan kita dan bahkan lebih muda. Dan dalam hati mungkin kita bilang: “Saya
juga bisa” atau ada dorongan “Ayo kamu bisa”. Ketika kita kembali ke biara kita
li
merasa kosong dan tidak bermakna. Pengalaman ini mendorong kaum selibat
untuk memiliki anak sendiri atau keluarga sendiri.78
Penanganan terhadap tahap ini menuntut kaum selibat akan keradikalan
dan kematian pribadi dari eksistensinya. Seorang selibat harus sadar bahwa
pilihan untuk hidup selibat menyangkut bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi
juga ketiadaan keturunan. Mungkin pernah dipikirkan sebelumnya tetapi sekarang
sungguh menjadi suatu penderitaan yang luar biasa. Karena begitu menyakitkan
pribadi harus meninjau kembali komitmen, berpikir ulang bahwa mungkin ia tidak
pernah menyadarinya apa artinya tidak memiliki anak atau keturunan. Penanganan
terhadap krisis ini memaksa kaum selibat terhadap makna yang lebih penuh dari
ide generavitas Erikson: bukan hanya soal tanggungjawab terhadap keturunan dan
pemeliharaan dari anak sendiri, tetapi juga bagi komunitas sebagai keseluruhan,
untuk kehidupan, pendidikan dan kebaikan generasi di kemudian hari dan masa
depan semua generasi, untuk kebudayaan, untuk iman dan kasih di bumi ini,
untuk gereja, untuk kerajaan Allah. Pada tahap ini, kaum selibat harus menerima
kenyataan bahwa selibat bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga
ketidakaktifan peran Bapa dan ibu. Keberhasilan pada tahap ini adalah
kemampuan untuk menjadi produktif dan bertanggungjawab tanpa menjadi orang
tua dan/atau merasa tercabut dan tidak sempurna.
3. Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an)
78
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.
lii
Umur-umur ini menantang seorang selibat untuk membagi kehidupan
batin dengan orang lain yang padanya ia memberi perhatian dan merupakan
konsekwensi dari hasrat untuk masuk dalam persahabatan yang intim dengan
orang tersebut.79
Tantangan di sini adalah keinginan, hasrat, kebutuhan dari kaum selibat
untuk persahabatan, orang-orang yang kepadanya mereka membagi hidup
keseharian. Isu pokoknya bukan seks, bukan anak dan keluarga tetapi Keintiman
(bagaimana saya berhubungan dengan orang lain). Dalam tahapan ini, kaum
selibat tiba pada pengalaman kesendirian, keheningan dan mungkin keterasingan
karena dirinya dan hidupnya tidak disharingkan secara intim dengan orang lain.
Orang berhasrat untuk membagi kepribadiannya, dalam kepenuhan dan
kedalamannya dengan yang lain dan ingin orang lain melakukan yang sama.
Intimasi menyangkut relasi antar pribadi, atau satu dengan beberapa seperti
dalam sebuah keluarga, komunitas persaudaraan, sebagaimana juga dalam
Trinitas. Kaum selibat sering menghadapi kenyataan bahwa dia tidak hidup dalam
keintiman yang demikian. Keberhasilan pada tahap tiga ini adalah keintiman relasi
yaitu sebuah kemampuan untuk menjadi teman sharing dalam hidup bagi yang
lain tanpa menikah dan tanpa merusak pemberian dirinya kepada Allah baik
secara fisik atau psikologi.80
Pentingnya intimasi ditekankan oleh Keith Clark dalam bukunya Being
Sexual and Celibate dan An Experience of celibacy: a creative reflection on
intimacy, loneliness, sexuality and commitment. Dalam dua buku ini dibicarakan
79
80
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.
liii
banyak soal Intimacy. “Ada suatu kebutuhan lain yang memberikan makna
kepada seksualitas manusia. Kebutuhan itu adalah keintiman relasi dengan orang
lain. Kebutuhan itu adalah kebutuhan pribadi yang terdalam yang kita miliki, dan
itu adalah kebutuhan spiritual. Seksualitas manusia adalah menyangkut soal
keintiman”.81 Bagi kita religius intimacy berarti tanpa seks, tanpa keluarga dan
anak. Saya pikir disinilah makna Persaudaraan kita untuk mengekspresikan kasih
Sang Ilahi karena disadari bahwa sebagai manusia kita butuh cinta dan dicintai
dan kita dipanggil menuju kemurnian cinta dalam ziarah pertobatan yang tak
pernah akhir.
4. Integral Celibacy (umur 50-an akhir, pensiunan atau kematian)
Umur ini menantang kaum selibat untuk memelihara makna dan harapan
ketika puncak sumbangan kepada kemanusiaan semakin menurun. Yang menjadi
perhatian mereka bukan pada pertanyaan yang tidak ada gunanya tetapi yang
memiliki kegunaan bagi keseluruhan, dalam menemukan alasan untuk
menguatkan teman-teman dan kelompok pensiun atau yang mendekati kematian.
Dan untuk merasa secara pribadi bernilai dan penting ketika tidak seorangpun
secara intim hadir bersamanya yang dengannya ia telah membagi semuanya. Atau
dalam kata lain di sebut kebijaksanaan.82
Tetapi kaum selibat mesti antisipasi beberapa krisis baru pada tahap ini,
sekalipun ia telah berhasil bernegosisi pada tahap-tahap sebelumnya. Orang yang
tidak mampu bernegosiasi dengan kenyataan ini akan merasa terpisah, lelah atau
81
82
Keith Clark. Being Sexual and Celibate. (Michigan: Ave Maria Press,1985). h. 142.
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.
liv
kecewa. Sementara yang berhasil akan memahami makna yang mendalam dan
kelayakan hidup mereka dan akan dengan positif menghadapi pengalaman baru
mereka termasuk kesempatan baru untuk membagi kebijaksanaan. Pribadi yang
demikian akan tetap hadir kepada komunitas. Mereka akan tetap terlibat secara
fisik, generatif, intim dengan potensi yang kreatif yang akan memahkotai hidup
mereka dan membawa berkat yang besar kepada orang (saudara) yang dengannya
mereka berkomunikasi.
lv
BAB IV
TUJUAN DAN PENGARUH SELIBAT DALAM KEHIDUPAN
ROHANIAWAN KATOLIK
Hidup selibat bukanlah putusan yang satu kali dibuat. Kedewasaan dalam
hidup selibat adalah hal pencapaian keutamaan dari setiap tahap dan semua tahap.
Kehidupan selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal ketidakaktifan
seksual, tidak menikah, gersang, hidup sendiri. Tiap tahap menuntut kekhususan
motivasinya sendiri dan memiliki rationalitasnya sendiri.83
Hidup selibat harus menunjukkan secara istimewa bahwa kerajaan Allah
mengatasi segala barang duniawi, dan hidup lajang harus menjadi tanda dari
seluruh hidup kristiani. Tetapi oleh karena harapan eskatologis termasuk ciri
hidup rahmat yang khas, maka secara istimewa diperlihatkan dalam hidup lajang
pula dan sebagai harapan eskatologis tidak merupakan bagian dari hidup kristiani,
melainkan suatu aspek yang menjiwai hidup seluruhnya, maka seluruh hidup
selibat harus menjadi tanda dari harapan eskatologis. Mengenai keperawanan atau
selibat dikatakan bahwa secara istimewa melambangkan barang-barang sorgawi
juga keperawanan itu mengingatkan kepada seluruh umat beriman akan ketentuan
Allah di masa yang akan datang.84
83
Gonsa Saur, Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya. Artikel di ambil dari
http//www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat. htm
84
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008.
lvi
A. Hidup Selibat Demi Kerajaan Allah
Hidup tidak menikah adalah demi kerajaan Allah yang berarti, bahwa
orang tidak lagi mengakui tujuan hidup di dunia ini, tetapi semata-mata
mengharapkan akan kehidupan dimasa yang akan datang (akhirat). Dan kerinduan
akan datang kerajaan Allah maka seseorang mengungkapkan dengan kaul
keperawanan (hidup tidak menikah dan tidak di nikahi).85
Para lajang (biarawan dan biarawati) sebenarnya tidak menganggap rendah
cinta kasih Kristus yang sempurna. Dan tidak menikah, dilihat dari sudut di dunia
ini sama sekali tidak ada gunanya. Namun, menurut mereka kehidupan lajang
adalah suatu tanda-tanda kepercayaan yang mengatasi hidup di dunia ini. Andai
kata seseorang berharap pada Kristus hanya untuk kehidupan di dunia ini saja,
maka dia adalah yang paling malang di antara sekalian manusia.
Kata-kata itu ditujukan S. Paulus kepada semua orang kristiani. Kaul
keperawanan atau tidak menikah adalah ungkapan iman. Bahwa hidup yang
sempurna adalah kehidupan sesudah hidup ini semua orang Kristen percaya akan
kebangkitan mati dan akan hidup kembali diakhirat tetapi tidak semua Kristiani
mengungkapkan akan melahirkan iman itu secara radikal dan menyeluruh. Itulah
kekhususan hidup selibat, orang menjalani kehidupan selibat akan menjalani
hidup seluruhnya dari iman akan kehidupan akhirat.86
Hidup merasa berpusat pada tidak menikah sebagai ungkapan dari harapan
akhirat, karena kehidupan selibat merupakan kerinduan akan hidup yang akan
85
St. Darmawijaya, “Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab
Suci”.(Yogyakarta: kanisius, 1987). h. 41
86
St. Darmawijaya, “Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci”. h. 55.
lvii
datang (akhirat). Akan tetapi dalam hidup di dunia ini kehidupan selibat akan
memberi kesan negatif yaitu tidak menikah. Dilihat dari sudut kehidupan dunia,
hidup membiara hanya berarti bahwa pada biarawan biarawati tidak menggelar
cita-cita di dunia, tidak membangun kehidupan untuk dunia, itu berarti tujuan
hidup seseorang menjadi pengabdian kepada orang lain belaka, maksudnya bagi
dirinya sendiri ia tidak mencari apa-apa untuk di dunia ini. Jadi segala sesuatu
yang ada padanya tersedia bagi orang lain, sehingga kemiskinan menjadi pilihan
dasar untuk menjadi seorang selibat.
Kemiskinan tidak berarti bahwa ia tidak memiliki apa-apa lagi, tetapi
segala
miliknya
termasuk
waktunya
tersedia
bagi
orang
lain
kalau
keperawanannya merupakan perwujudan penyerahan total bagi kristus di dalam
kemiskinan akan dinyatakan kesediaan total bagi orang lain. Tidak menikah
kemiskinan dan ketaatan tidak merupakan perjanjian yang berdiri sendiri maka
dengan perjanjian itulah mereka mengharapkan kerajaan Allah.87
B. Hidup Selibat Demi Menyatu dengan Kristus
Hidup selibat adalah ungkapan cinta yang mendalam terhadap Kristus
disertai dengan keinginan untuk mengikuti jejaknya sebagaimana hidup Yesus
terpusat pada pewartaan Kerajaan Allah yang beliau hayati dalam semangat cinta
dan pelayanan. Begitu pula seharusnya mereka yang menjalani kehidupan selibat
87
Sr. Joyce Ridrich, Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat”. (Yogyakarta:
Kanisius, 1987). h. 43.
lviii
yang mengikrarkan untuk tidak menikah menjadi terang dan garam bagi dunia
untuk maksud dan tujuan yang sama.88
Yesus rela untuk tidak memuaskan diri dalam bidang seks, dia juga rela
untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita. Allah Bapa telah
berkenan mewujudkan cintanya kepada manusia dalam diri Yesus. Kini giliran
manusia untuk ambil bagian dalam inkarnasi Yesus tersebut. Yesus adalah tanda
bagi manusia yang menjelaskan bahwa persembahan hidup khusus dan langsung
kepada Allah Bapa mestinya ditempuh lewat jalan cinta dan secara manusiawi
sebagaimana telah dibuat oleh Yesus. Yesus telah mewujudkan jalan kepada
manusia bagaimana seharusnya menghayati panggilan sebagai perantara dengan
mengorbankan seluruh tubuh, kebutuhan sosial, kehendak dan dambaan cinta
untuk meraih satu hal saja, yaitu kehendak Allah Bapa. Kristus telah
memperlihatkan kepada manusia sebuah jalan bagaimana semestinya manusia
memberikan diri secara tuntas demi kerajaan Allah melalui hidup selibat.89
Jadi hidup selibat yang mereka jalani adalah untuk menghayati panggilan
Illahi dan sekaligus meneladani Kristus, dimana kristus sendiri tidak pernah
menikah rela mengorbankan diri untuk keselamatan umat dari dosa waris.
C. Hidup Selibat Sebagai Pelayanan Illahi
Hidup rahmat adalah hidup gereja, hidup iman dalam kesatuan dengan
orang beriman lainnya. Hidup rahmat kesucian, semua itu tidak merupakan urusan
88
89
Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1979). h. 112.
Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. h. 116
lix
pribadi melainkan adalah hubungan dengan sesama manusia dalam harapan dan
iman.
Kaum selibat tidak merupakan golongan khusus di dalam gereja,
melainkan adalah suatu tauladan di dalam panggilan umum kepada kesucian.
Hidup selibat adalah tanda di dalam gereja karena ketulusan usaha untuk mencari
Tuhan dalam iman yang sungguh percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan
hambanya dicoba melampaui batas.90
Bagi orang yang menjalani selibat iman tidak hanya menjiwai dan
menggerakkan hati, tetapi kekuatan batin harus dinyatakan dan ditampakkan
keluar. Hidup selibat adalah tanda iman, untuk itu orang yang menjalankan selibat
harus mempunyai kesadaran iman dan kesadaran itu harus dihayati dalam
kesatuan iman dengan orang lain.
Bagi orang yang percaya sungguh-sungguh, Kristus adalah sumber
inspirasi dan alasan untuk berjuang terus. Karena Yesus wafat dan bangkit,
mereka pun berani percaya bahwa hidup mereka akhirnya akan mencapai tujuan
dan kemuliaan Bapa.
Panggilan dan pelayanan khusus rohaniawan di dalam gereja adalah usaha
untuk tetap menyegarkan dan menghidupkan semangat iman yang hakiki.
Pembaharuan yang terus menerus dijalankan di dalam gereja untuk meremajakan
iman yang tak segan-segan mengarahkan perhatian umat kepada semangat injil
yang asli.91
90
Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. h. 56.
Harjawiyata Fr, “Panggilan Membiara dan Imamat”. (Yogyakarta: Pusat Pastoral,
1975). h. 33.
91
lx
Penyaksian hidup selibat tak lain adalah usaha setiap kali untuk hidup
kembali sebagai pengikut Kristus. Setiap hari menyatakan dalam hidup yang
konkrit bahwa jalan keselamatan adalah jalan pengabdian kepada Illahi.
D. Pengaruh Selibat dalam Kehidupan Rohaniawan Katolik
Bagi umat Kristen yang mengakui Allah Bapa di dalam Tuhan Yesus
Kristus, ajaran-ajaran hidup selibat dititik beratkan pada kesucian Allah. Umat
Tuhan wajib hidup dalam kesucian. Tuntutan-tuntutan itu semakin meningkat
sementara pernyataan Allah semakin mendalam, mulai dengan perjanjian lama
sampai dengan perjanjian baru yaitu kedatangan Yesus Kristus Allah yang Maha
Mulia dan Maha Unggul, yang senantiasa memanggil umatnya untuk
membersihkan diri, lahir dan bathin supaya mereka boleh bersekutu dan hidup
dengan Dia.
Konsep hidup selibat dalam perspektif Katolik selalu dikaitkan dengan
perbuatan yang merupakan perwujudan iman. Iman merupakan hubungan antara
manusia dan Tuhan dalam norma manusia yang berhadapan dengan Allah yang
memanggilnya sehingga norma merupakan penggerak keputusan pribadi dalam
suara hati, maka norma hanya arti tidak langsung yang tidak mempunyai kaitan
dengan iman sejauh norma itu menggerakkan keputusan selibat sebagai
perwujudan iman. Maka iman orang Kristen adalah bagaimana orang Kristen
menghayati secara kristiani, hanya dalam persekutuan umat beriman Kristen juga
ungkapan iman perseorang menjadi ungkapan iman Kristen, karena berkaitan dan
dibina oleh ungkapan gereja.92
92
Bakker, SVD, A. “Ajaran Iman Katolik 2”. (Yogyakarta: Kanisius, 1998). h. 206.
lxi
Selibat menjadi sebuah perwujudan iman bagi para rohaniawan Katolik.
Karena dalam menjalani kehidupan sebagai rohaniawan, selibat menjadikan
mereka lebih konsisten dalam menghayati iman kristiani yang mereka yakini.
Pada hakekatnya para rohaniawan katolik mengakui bahwa nafsu seks itu
merupakan suatu kodrat yang harus dipenuhi oleh manusia. Manusia mempunyai
suatu naluri untuk memuaskan keinginannya itu. Tetapi para tokoh itu
memandang bahwa cinta yang berdasarkan nafsu seks itu bersifat egois dan
subjektif. Seperti yang di ungkapkan Sr. joyce, ia mengungkapkan bahwa
keinginan seksual itu mengandung pengertian bahwa ada sesuatu yang kurang
dalam dirinya dan ia bermaksud untuk memenuhinya dalam mencari pemuasan
pada orang lain. Pribadi lain menjadi objek dan alat pemuas kenikmatan diri atau
untuk mengisi hidupnya.93
Jika melihat tujuan dari Allah mengapa hukum yang suci itu diberikan
kepada umat manusia. Hukum ditempatkan bukan hanya sebagai pedoman dan
kaidah perbuatan, tetapi juga bukan sekedar supaya dapat mengenal dosa pada
hakikatnya, melainkan supaya datang kepada Tuhan Yesus Kristus juru selamat
umat manusia.
Norma berlaku karena pengakuan diri sebagai ciptaan Allah dan sebagai
umat tebusan karena anugerah dan kasih dalam Yesus Kristus. Tuhan Yesus
meringkaskan hukum Allah dengan kata-kata : “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan pertama”. Dan hukum yang kedua sama dengan itu :
93
Ridrich Joyce. Kaul Harta Melimpah dan Tanah Liat. Yogyakarta. Kanisius. 1987. h
lxii
“Kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri”. Pada hakikatnya hukum
inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat 22:37-40).
Maka motif yang seharusnya digerakkan untuk menghayati prinsip selibat
adalah kasih. Kita selaku umat yang beriman mengasihi karena bahagia
menikmati damai dengan Allah dan mengerti hubungan perjanjian yang mengikat
dengan Allah sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya.
Hidup selibat ini tentu saja tidak sembarangan, sebelumnya harus dilihat
dulu oleh pimpinan apakah kira-kira mampu atau tidak untuk menjalani hidup
selibat. Kemudian kalau di anggap ini ada kemungkinan untuk bisa melaksanakan
hidup selibat itu harus mengucapkan dan melaksanakan tiga macam kaul. Kaul
pertama, yaitu kaul ketaatan, harus taat pada pimpinan. Kaul kedua yaitu tidak
boleh berkeluarga dan kaul ketiga yaitu tidak boleh mengumpulkan harta benda
atau menjadi kaya, dengan kata lain harus hidup sederhana. Kalau kaul itu tidak
bisa ditaati misalnya saja saya tidak taat kepada pimpinan dengan sendirinya harus
bisa meletakan jabatan dan harus keluar dan hidup kaul itu harus di tinggalkan.94
Begitu pula ada yang bisa terjadi akhirnya tidak bisa hidup membujang
dan ingin berkeluarga dengan sendirinya juga alasan keluar akan selalu ada. Dan
terutama juga sekarang ini kalau seorang ingin menjadi imam atau hidup
membujang, tetapi ingin kaya raya dan ingin hidup mewah itu tidak pantas, maka
sebaiknya juga meletakkan tugasnya atau keinginannya itu.
Di dalam agama Katolik sejarah perkembangan kerahiban bermula untuk
menjauhi kesenangan-kesenangan duniawi, hal ini dikarenakan apabila orang
94
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia
lxiii
hanya mementingkan hal-hal yang bersifat keduniawian, manusia akan lupa untuk
beribadat kepada Tuhan. Oleh karena itu sebagai biara oleh agama Katolik
dianggap akan lebih mendekatkan penganutnya untuk lebih tekun berdoa.
Agama Katolik lebih mengarahkan penganutnya untuk mencintai orang
lain berdasarkan persahabatan, kebaikan hati atau kesetiaan. Cinta kebaikan hati
lebih bersifat sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Berkhof bahwa para rahib
agama Katolik melepaskan segala kemewahan, milik dan nikah, dengan ini
mereka dapat menyerahkan diri sepenuhnya untuk berdoa, merenung melakukan
semua kegiatan rohani, ibadat dan pelajaran alkitab.95
Hidup selibat pada masa kini sudah berkembang menjadi topik yang
kompleks. Pada masa lalu, mereka yang di kategorikan sebagai orang-orang
lajang adalah mereka yang tak mampu menikah. Entah tak mampu dalam arti fisik
ataupun mental, atau dkarenakan oleh keadaan sosial ekonomi. Dengan kata lain,
keadaan hidup yang dipandang “normal” adalah menikah. Memang, ada juga
laki-laki atau perempuan yang menjalani hidup selibat karena panggilan religius.
Mereka ini mendapatkan toleransi masyarakat, keadaan mereka “diirikan”
sekaligus “diremehkan”. Singkatnya, hidup selibat pada umumnya dipandang
sebagai sesuatu “kekurangan diri”, atau sebagai nasib yang sedapat mungkin
dihindari atau bisa di bilang “keadaaan yang pantas mendapatkan simpati”.96
Kehidupan selibat mempunyai arti penting, pertama bahwa orang yang
hidup selibat adalah bagian yang tak terpisahkan, tak terasingkan dari masyarakat
yang mendapat perhatian kasih anugerah Allah. Kedua melalui seorang individu
95
96
Dr. H. Berkhof. Sejarah Gereja. Jakarta. BPK Gunung Mulia. 1990. hal 52.
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia
lxiv
masyarakat menanggapi pelayanan Kristus. Namun demikian tanggapan individu
adalah hal penting yang mutlak.
Dengan mengikrarkan kaul kemurnian atau keperawanan, orang tidak lagi
memutlakkan cinta manusiawi, tetapi hal itu ditempatkan dalam rangka kerinduan
untuk membina hubungan cinta kepada Allah. Dengan demikian kaul
keperawanan merupakan askesis batin manusia dalam hal cara mencintai Allah
secara absolut dan mencintai manusia seperti Allah sendiri mencintai. Jadi cinta
manusiawi menjadi sarana untuk mengungkapkan hubungan cinta dengan Allah.
Cinta pada sesama menjadi pola penghayatan akan cinta kepada Allah. Samasama dihargai sebagai yang dicintai oleh Allah dan diperlakukan sebagai teman
seperjalanan untuk menuju dan bersatu dengan Allah.
Dari cinta kepada sesama ini orang dapat jatuh ke dalam kebutuhan
psikologis, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang muncul dari kecenderungan
cinta manusiawi itu dapat berupa kebutuhan akan kehangatan, untuk diterima,
keakraban, kasih sayang, kebutuhan akan kenikmatan seksual, kebutuhan akan
pamer atau ekshibisi, dan kalau itu semua kurang diberikan maka akan
menumbuhkan agresi (penyerangan) atau merasa kecil. Ini semua dicari demi diri
sendiri dan kadang-kadang sudah tidak disadari lagi karena sudah menjadi
kebiasaan spontan yang sudah terkait dengan perwatakan.
Kerinduan
manusia untuk memiliki harta kekayaan yang memang
merupakan kebutuhan manusia bagi realisasi dan pengembangan hidupnya, diatur
dengan kaul kemiskinan, sebab kaul kemiskinan berarti orang mengutamakan
harta
kerajaan
surga
sebagai
satu-satunya
lxv
yang
pantas
dimiliki
bagi
pengembangan dan realisasi diri sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu, dengan
kaul kemiskinan orang menyanggupkan diri untuk mengatur hubungan dengan
harta kekayaan sebagai sarana realisasi perkembangan dan pertumbuhan milik
satu-satunya yang paling berharga ialah Allah dan kerajaan-Nya.97
Kemiskinan merupakan olah diri atas gerak hati, agar selalu tertuju kepada
Allah dan kerajaan-Nya dengan mampu menggunakan harta dunia tanpa terikat
pada harta itu. Namun dari pada itu, muncul kebutuhan psikologis yang
menghambat seperti kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan akan kenikmatan
terhadap dunia, kebutuhan akan atribut-atribut sosial yang menuntut taraf materi
tertentu dan konsumerisme yang tidak perlu. Kalau tidak diberikan akan
menimbulkan agresi dan rasa kecil.98
Kerinduan akan realisasi martabat manusia yang merdeka dan pribadi,
serta mampu menentukan hidupnya sendiri dengan mengikuti hati nurani, diolah
dan diatur dengan kaul ketaatan. Dengan begitu kerinduan akan realisasi martabat
manusia itu diletakkan pada dasar terdalam identitas manusia sebagai mahluk
Tuhan yaitu bahwa realisasi diri manusia terdalam hanya mungkin terlaksana bila
manusia melaksanakan kehendak Allah.
E. Tinjauan Kritis
Seorang yang selibat yang di anggap religius dalam agama Katolik, yang
mungkin selalu terlibat dalam berbagai pelayan, memiliki reaksi yang sama
terhadap orang yang mereka layani secara dekat. Terkadang mereka pun
97
98
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia.
lxvi
menemukan dalam dirinya sesuatu yang hilang dalam hidup. Seperti: perhatian,
cinta, figur orang tertentu yang menjadi harapan mereka.
Orang-orang yang selibat pada hakikatnya ingin merasakan apa yang
dirasakan oleh
manusia lain pada umumnya. Bila tidak direfleksi dan
dikendalikan, semua perasaan tersebut akan secara pelan-pelan menumbuhkan
suatu perilaku yang tidak sehat bagi para selibat. Maka perlu untuk merefleksikan
hidup seksualitas bagi para selibat itu sendiri: kelemahannya dan kekuatannya.
Karena dalam pandangan keagamaan secara umum kehidupan selibat tidak
memberikan keuntungan yang lebih untuk sesama manusia namun membatasi
pergaulan dan mencerminkan pola hidup berkelompok dengan sesama penganut
selibat tidak dengan masyarakat pada umumnya.
Seorang selibat tidak dapat mulai dengan proses kedukaan sampai dia
menerima kebenaran dari sebuah kehilangan sebagai kodrat manusia. Seorang
selibat harus mengekspresikan dalam kata, perasaan ketegangan bahwa rekan
perjalanan hilang daripadanya. Proses penyembuhan banyak dibantu ketika
perasaan ini dibagikan dengan orang yang dipercaya. Dengan mensharingkan
pengalaman ini, emosi yang “sakit” kepada orang lain, seorang membuat sebuah
pernyataan yang aktif akan kepercayaan kepada orang lain.99 Kepercayaan ini
memindahkan batas keisolasian, sinisme dan ketidakpercayaan yang begitu mudah
timbul kembali setelah sebuah rasa kehilangan mempertinggi rasa mudah terluka.
Bila dilihat kondisi sekarang ini, sepertinya manusia tidak lagi memiliki
hati nurani. Mereka melakukan perbuatan yang tanpa disadari atau memang
99
Hartono F. Persahabatan Orang Selibat Makna dan Tantangannya. (Yogyakarta:
Kanisius, 1985). h. 82.
lxvii
mereka sadari telah menyakiti orang lain demi tercapainya keinginan mereka.
Rasa egoisme, hawa nafsu dan rasa keangkuhan telah menutupi hati mereka,
sehingga mereka tidak mempunyai sedikit penyesalan dari apa yang mereka
lakukan. Maka selibat menurut penganutnya merupakan salah satu cara dalam
membina prilaku diri dalam kehidupan yang mereka anggap sudah keluar dari
norma atau ajaran yang bersifat kristiani. Walaupun dalam kenyataannya
menjalani hidup selibat belum tentu mendapat ketenangan sepenuhnya dalam
menjalani kehidupan. Bagaimana pun seseorang yang menjalani selibat hanyalah
manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. Sehingga tidak mungkin
bisa membunuh atau menghilangkan hawa nafsunya sebagai manusia normal pada
umumnya. Selibat hanya sebatas mengendalikan hawa nafsu dengan cara tidak
menikah seumur hidup. Namun sebenarnya masih banyak cara untuk
mengendalikan hawa nafsu selain dengan hidup selibat.
Dengan demikian selibat hanya sebuah pola hidup beragama yang dibuat
oleh seseorang dimana pola tersebut disandarkan kepada kehidupan Yesus sebagai
pemimpin mereka. Dan mereka meyakini Yesus menyerahkan seluruh hidupnya
demi kerajaan Allah, salah satunya dengan menjalani kehidupan tanpa menikah.
Maka dari itu pandangan akan hidup selibat masih dalam wacana
perbincangan para pemuka agama pada umumnya karena dilihat dari tujuan dan
sumber sejarah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjalaninya. Walaupun bagi
mereka yang menjalaninya sudah merupakan keyakinan mutlak bahwa selibat
merupakan tanda dari pada perwujudan iman mereka terhadap Allah dan Yesus.
lxviii
BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian diatas penulis dapat mengumpulkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
Makna dari hidup selibat adalah mencontoh kehidupan Yesus (nabi Isa)
dimana yesus sendiri selama hidupnya tidak pernah melakukan pernikahan.
Tujuan dari pada menjalani hidup selibat adalah untuk berbakti
sepenuhnya kepada Tuhan tanpa adanya gangguan dari kehidupan duniawi dan
yang paling penting adalah semata-mata untuk mencapai kebahagiaan surga dan
ingin bersatu dengan Yesus.
Sumber ajaran selibat adalah dari firman Tuhan dalam kisah para rasul
yang terdapat dalam perjanjian baru, diantaranya :
“orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap
layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dalam kebaktian dan
antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan sebab mereka tidak dapat
mati lagi, mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak
Allah, karena mereka telah dibangkitkan”. (Lukas 20 : 34)
Seseorang yang akan menjalani selibat terlebih dahulu harus berkaul
(berjanji) bahwa ia sanggup untuk hidup miskin, mentaati segala aturan baik dari
pimpinan biara atau gereja maupun terhadap segala perintah Yesus yang terdapat
dalam injil dan ia harus sanggup untuk tidak menikah selama-lamanya. Kaul
adalah suatu janji untuk memuliakan Allah. Suatu janji dimana seseorang secara
lxix
sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan
dalam kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Jadi kaul merupakan pokok yang
menjadi dasar atau landasan untuk menjalani kehidupan selibat.
Orang yang akan menjalani selibat disamping harus menjalani kaul ia juga
harus melakukan permandian terlebih dahulu, mandi dan air adalah lambang
pembersihan atau penyucian dan kehidupan. permandian dalam selibat adalah
dasar dari pada ketiga kaul (kemurnian, kemiskinan dan ketaatan) yang menjadi
pokok dalam menjalani hidup selibat. maka dari itu permandian merupakan syarat
mutlak bagi kaul. diantaranya permandian yohanes, permandian yesus dan
permandian kita.
Konsep selibat dalam agama katolik selalu dikaitkan dengan perwujudan
selibat sebagai perwujudan iman. Iman merupakan hubungan antara manusia
dengan Tuhan dalam norma manusia yang berhadapan langsung dengan Allah
yang memanggilnya, sehingga norma merupakan penggerak keputusan pribadi
yang bersumber kepada suara hati. Maka selibat orang kristen adalah bagaimana
orang Kristen itu menghayati kehidupannya secara kristiani, hanya dalam
persekutuan umat beriman Kristen yang dianggap sebagai ungkapan iman
perseorangan menjadi ungkapan gereja.
B. Saran-saran
Setelah penulis mengambil sebagian dari ajaran agama Katolik
khususnya yang berkaitan dengan selibat yang berasal dari berbagai literatur,
lxx
maka disini penulis mencoba untuk memberikan saran atau masukan-masukan
untuk bahan kajian studi agama yaitu:
1. Selibat para rohaniawan katolik merupakan sebuah perwujudan iman. dimana
setiap orang yang menjalaninya memahami dan meyakini bahwa dengan
selibat kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani
kehidupan Kristus seutuhnya, maka penulis berharap agar para rohaniawan
Katolik keseluruhan khususnya yang menjalani selibat dapat memahami dan
menghayati makna dan tujuan dari pada hidup selibat itu sendiri.
2. Perlu adanya sosialisasi yang lebih umum mengenai kehidupan selibat dalam
bentuk buku atau artikel yang lebih banyak lagi dan lebih membuka diri dalam
bersosialisasi dengan masyarakat agama lain, agar lebih banyak di ketahui
oleh seluruh masyarakat tentang kehidupan selibat itu sendiri.
3. Di harapkan kepada semua pemeluk agama dapat mengembangkan toleransi
antar umat beragama, sehingga dapat hidup rukun dan damai, karena pada
dasarnya semua agama termasuk Katolik intinya mengajarkan kebaikan,
walaupun dengan tata cara yang berbeda.
lxxi
DAFTAR PUSTAKA
Aguna, Philomena, Aku Memilih Engkau, Yogyakarta: Andi Offset, 1986.
Alkitab., Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1992.
Bakker, SVD A, Ajaran Iman Katolik 2. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Berkhof. Dr. H, dan Enklaar. Dr. I. H. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1990.
Clark, Keith. Being Sexual..and Celibate. Michigan: Ave Maria Press. 1985.
Darminta, S.I.J, Satu Hati dan Satu Jiwa, Yogyakarta: Kanisius. 1981.
Dokumen Gerejawi. Pastores Dabo Vobis (Gembala-gembala akan kuangkat
Bagimu). Jakarta: Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.
Faryci. R.S.J, Karisma dan Hidup Membiara, Yogyakarta: Pusat Patoral, 1981.
Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Artikel di akses tanggal 2
Januari 2008 dari
http://www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat.htm.
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Hardawiryano R. S Y, Selibat Iman, Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1979.
Harjawiyata. Fr. Panggilan Membiara dan Imamat. Yogyakarta, 1975.
Hartono S. J. F, Hidup Membiara, Apostolos, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Hartono S. J. F, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci.
Yogyakarta: Kanisius. 1987.
Haselears S. J. F, Persembahan Cintaku, Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Heuken SJ. Ensiklopedi Gereja. Jilid I, II, III, IV, V. (Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka, 1995).
lxxii
Jacobs, Tom, Hidup Membiara Makna dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius,
1986.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, 1988.
Kristiyanto. A. Eddy, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius. 1996.
Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. 1981.
Martos, Joseph. Permadian, Sakramen-sakramen Gereja. Jakarta: Obor, 1985.
Mubarok, Ahmad, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang
Sakramen Gereja. Bandung: Pustaka. 1985.
Ridrich, Sr. Joyce. Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta:
Kanisius., 1987.
Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”. Artikel di akses
tanggal 2 januari 2008 dari http://yesaya.indocell.net/id.1038.htm.
Soenarja, A. Kisah Orang Membiara 1,2,3,4. Yogyakarta: Nusa Indah. 1984.
Verkuyl, J, Etika Kristen. Jakarta, BPK Gunung Mulia. 1993.
Wawancara Pribadi dengan Suster Lauren, Jakarta 14 Januari 2008.
lxxiii
HASIL WAWANCARA TENTANG SELIBAT DALAM GEREJA ROMA
KATOLIK
1. T
J
: Mohon anda jelaskan pengertian dari Selibat?
: Selibat adalah tidak menikah atau status membujang, kadang-kadang
dinamakan juga hidup wadat atau hidup lajang untuk mengikuti panggilan
Yesus demi kerajaan Allah.
2. T
J
: Menurut Anda apa yang menjadi sumber ajaran selibat?
: Dalam ajaran Katholik, bahwa hidup selibat itu selain bersumber dari alKitab (Firman Allah) juga bersumber dari Kristus (Nabi Isa). Mereka
menjalani kehidupan selibat adalah untuk meneladani Kristus, sebab
Kristus tidak pernah menikah (dalam kedaan lajang) dalam hidupnya
seperti tertera dalam kitab: “Hendaklah kamu menjadi kudus didalam
seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil
kamu kuduslah kamu sebab aku kudus” (Pet 1:15-16).
3. T.
: Apa yang menjadi tujuan dan harapan anda dalam menjalani hidup
selibat?
J
: Hidup selibat harus menunjukkan secara istimewa bahwa kerajaan Allah
mengatasi segala barang duniawi, dan hidup lajang harus menjadi tanda
dari seluruh hidup kristiani. Selain demi kerajaan Allah selibat pun
mempunyai tujuan untuk menyatu dengan Kristus, karena selibat
merupakan salah satu cara meneladani Yesus Kristus. Dan selibat pun
mempunyai tujuan sebagai pelayanan sejati atau pelayanan Illahi.
lxxiv
4. T.
J
: Apa arti Kaul dan Permandian dalam selibat?
: Kaul adalah janji kebiaraan di mana seseorang secara sukarela
menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam
kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.
Kaul kemurnian adalah kaul di mana kaum religius secara bebas
mengabdikan seluruh hidup mereka kepada Tuhan, bebas dari ikatan
pernikahan dan hidup berkeluarga. “Orang yang tidak beristeri
memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan
berkenan kepadanya.” (1 Kor 7:32.
Kaul kemiskinan adalah kaul di mana kaum religius merelakan
kepemilikan atas harta duniawi dan saling berbagi dalam segala sesuatu,
agar mereka dapat menemukan “harta” mereka di surga. “Jikalau engkau
hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu
kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga,
kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Mat 19;21).
Kaul ketaatan adalah janji di mana kaum religius bersumpah setia untuk
taat pada regula (peraturan) ordo atau kongregasi mereka dan taat pada
para superior (pembesar biara) mereka yang merupakan wakil Tuhan bagi
mereka. Mereka melakukan ini seturut teladan ketaatan Yesus pada
kehendak Bapa-Nya. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang
mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34).
Sakramen pentahbisan dalam selibat seperti halnya sakramen pembaptisan
pada umumnya yang meliputi permandian, untuk mensucikan diri menuju
lxxv
kerajaan Allah. Pentahbisan lebih di khususkan bagi para biarawan atau
uskup yang akan menjadi imam. sedangkan yang umum dalam selibat
adalah permandian, karena permandian adalah dasar untuk menjadi
seorang katolik yang beriman. Mandi dan air adalah lambang pembersihan
dan kehidupan. Tanpa air tidak ada kehidupan di dunia ini, karena air
adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan.
6. T.
J
: Bagaimana pengaruh selibat terhadap kehidupan rohaniawan?
: Hidup selibat ini tentu saja tidak sembarangan, sebelumnya harus dilihat
dulu oleh pimpinan apakah kira-kira mampu atau tidak untuk menjalani
hidup selibat. Kemudian kalau di anggap ini ada kemungkinan untuk bisa
melaksanakan hidup selibat itu harus mengucapkan dan melaksanakan tiga
macam kaul. Kaul pertama, yaitu kaul ketaatan, harus taat pada pimpinan.
Kaul kedua yaitu tidak boleh berkeluarga dan kaul ketiga yaitu tidak boleh
mengumpulkan harta benda atau menjadi kaya, dengan kata lain harus
hidup sederhana. Kalau kaul itu tidak bisa ditaati misalnya saja saya tidak
taat kepada pimpinan dengan sendirinya harus bisa meletakan jabatan dan
harus keluar dan hidup kaul itu harus di tinggalkan.
Dengan mengikrarkan kaul kemurnian atau keperawanan, orang tidak lagi
memutlakkan cinta manusiawi, tetapi hal itu ditempatkan dalam rangka
kerinduan untuk membina hubungan cinta kepada Allah. Dengan demikian
kaul keperawanan merupakan askesis batin manusia dalam hal cara
mencintai Allah secara absolut dan mencintai manusia seperti Allah
sendiri
mencintai.
Jadi
cinta
lxxvi
manusiawi
menjadi
sarana
untuk
mengungkapkan hubungan cinta dengan Allah. Cinta pada sesama menjadi
pola penghayatan akan cinta kepada Allah. Sama-sama dihargai sebagai
yang dicintai oleh Allah dan diperlakukan sebagai teman seperjalanan
untuk menuju dan bersatu dengan Allah.
lxxvii
lxxviii
Download