SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam Oleh TAUFAN BRATA RACHMAN NIM :102032124652 Di bawah bimbingan Dra. Hermawati, MA. NIP : 150.227.408 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 i SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK Oleh TAUFAN BRATA RACHMAN NIM. 102032124652 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 ii KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrohiim Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan iman dan Islam, taufiq, hidayah serta inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. Yang telah memberikan cahaya dan fatwa kepada seluruh umatnya hingga akhir zaman. Syukur dengan mengucap Alhamdulillah, dan dengan segala usaha, tekad serta dorongan yang kuat dari orang tua dan saudara-saudaraku tercinta akhirnya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan. Walaupun tentunya hambatan dan rintangan senantiasa datang silih berganti. Atas izin Allah Swt semua kesulitan dan hambatan dapat di atasi, sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat disajikan sebagaimana yang ada di hadapan pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai ukuran sempurna. Untuk itu sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang kontruktif dari pembaca sangat penulis harapkan. Disadari sepenuhnya dengan kerendahan hati, bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang turut membantu dengan rela berpartisipasi dalam membantu proses penulisan skripsi ini dari awal hingga selesai. Maka sudah sepantasnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : iii 1. Bapak Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat besarta staf dan Ibu Dra. Hermawati sebagai pembimbing yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. 4. Suster Laurentia, selaku Kepala Biara Charitas yang telah memberikan data dan informasi dalam rangka penyelesaian skripsi ini. 5. Orang tua tercinta, Ibunda tersayang mamah Yuyun yang tak pernah lelah memberikan doa dan dukungan kepada penulis, yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Papa A. Rachmansyah (Alm) semoga engkau tenang di sisi Allah Swt. 6. Om Haris dan Tante Yus yang telah memberikan dukungan moril dan materil untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Saudara-saudaraku tercinta, A’ Irman, Indra dan Dheti serta sepupu-sepupu Aji, Bayu, Lis, Yuni dan yang lainnya. yang selalu memberikan motivasi untuk selalu berjuang dalam hidup dan selalu memberi dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. iv 8. Masrifah (iva) yang selalu membantu dan senantiasa setia mendampingi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Rekan-rekan seperjuangan jurusan Perbandingan Agama angkatan 2002, 2003, 2004 yang tak mungkin di sebutkan satu persatu. Yang telah memberikan semangat persaudaraan kepada penulis selama ini. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan suka rela dalam penyelesaian skripsi ini. Walaupun demikian, banyaknya pihak yang berjasa dalam penyelesaian skipsi ini, bukan berarti kepada mereka pertanggungjawaban di bebankan, akan tetapi penulislah yang bertanggung jawab sepenuhnya, baik yang menyangkut kekhilafan maupun kekurangan-kekurangannya. Akhirnya hanya kepada Allah Swt penulis serahkan segalanya, semoga jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjdai pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Mudah-mudahan usaha kecil penulis melalui tulisan ini dapat membawa manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca pada umunya. Amin ya rabb al-alamin Jakarta, 16 Januari 2008 Penulis v DAFTAR ISI SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i DAFTAR ISI ………………………………………………………………… iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1 B. Perumusan Masalah ………………………………………... 4 C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 4 D. Metode Penulisan ………………………………………….. 5 E. Sistematika Penulisan …………………………………….... 6 BAB II SELIBAT MENURUT GEREJA ROMA KATOLIK A. Pengertian Selibat Menurut Agama Katolik ……………….. 8 B. Sejarah Perkembangan Selibat Dalam Agama Katolik ……. 15 C. Sumber Ajaran Selibat …………………………………….. 23 D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Selibat ………………... 24 BAB III KAUL, PERMANDIAN DAN TAHAPAN KEHIDUPAN SELIBAT A. Kaul dalam Selibat ………………………………………… 27 B. Permandian dalam Selibat ………………………………… 38 C. Tahapan Kehidupan dalam Selibat ………………………… 44 vi BAB IV TUJUAN DAN PENGARUH SELIBAT DALAM KEHIDUPAN ROHANIAWAN KATOLIK A. Hidup Selibat Demi Kerajaan Allah ……………………… 52 B. Hidup Selibat Demi Menyatu Dengan Kristus …………… 53 C. Hidup Selibat sebagai pelayanan Illahi …………………… 54 D. Pengaruh Selibat dalam Kehidupan Rohaniawan Katolik… 56 E. Tinjauan Kritis Tentang Selibat …………………………... 61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………….. 64 B. Saran-Saran ……………………………………………….. 65 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 67 LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………... 69 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi hukum dan ketetapan Tuhan, bahwa manusia memiliki dua jenis yang berlainan, yaitu laki-laki dan perempuan, ada daya tarik diantara keduanya satu sama lain untuk hidup bersama. Di dalam hidup bersama ini, alam pikiran manusia tidaklah kepada hal persetubuhan antara kedua jenis manusia tersebut. Pada umumnya dapat dikatakan setubuh adalah faktor yang penting dalam rumah tangga, baik dengan keinginan mendapatkan keturunan maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Hal terpenting dalam hidup insani adalah cinta menurut semua tingkatannya, termasuk cinta heteroseksual (lawan jenis). Cinta yang demikian itulah yang memberi kesempurnaan dalam hidup manusia. Cinta menjawab masalah yang paling dasar dari kehidupan manusia yaitu kesadaran akan ketidakberdayaan, kesepian, dan keterasingan yang tajam dirasakan meskipun tidak dengan jelas betul dimengerti, dan ketakutan ini membawa kecemasan. Gambaran yang hidup atas perasaan ini dilukiskan dalam kisah ditemukannya kesadaran akan ketelanjangan pria dan wanita pertama dalam Alkitab yaitu Adam dan Hawa.1 Maka setiap manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bersama, sebab keduanya memiliki daya tarik menarik untuk mengadakan hubungan hasrat yang timbul dari dorongan nafsu syahwati yang terdapat pada keduanya. Setiap pria dan 1 Hartono F, “Persahabatan Orang Selibat, Makna dan Tantangannya”. (Yogyakarta: Kanisius, 1985), h. 13. viii wanita dari setiap usia dan setiap kebudayaan mengalaminya sejak masa pubertas. Jadi perasaan kesepian manusia adalah masalah eksistensial manusia yang hanya dapat dipecahkan dengan jalan persatuan yaitu perkawinan. Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak-hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut undang-undang perkawinan nomor I tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia, kekal abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.2 Kehidupan perkawinan manusia sudah ada sejak Nabi Adam dan tetap akan ada pada masa-masa yang akan datang, akan tetapi terdapat golongangolongan yang didorong oleh keinginan mensucikan diri kemudian menjauhi halhal yang bersifat kenikmatan jasmani. Kehidupan perkawinan dinilai sebagai kenikmatan kotor dan oleh karena itu menghalangi kesucian seseorang.3 Seperti yang telah kita ketahui, bahwa didalam agama Katolik perkawinan hanya diperuntukkan bagi kaum awam saja, sedangkan bagi para pemuka agama wajib hidup membujang. 2 Undang-undang RI no I Tahun 1974 Ahmad Mubarok, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang Sakramen Gereja. (Bandung, Pustaka. 1985). h 95. 3 ix Kaum klerusa4 dan ibadat itu mempunyai kewajiban-kewajiban yang istimewa. Salah satu kewajiban itu ialah wajib selibat, manusia yang ditetapkan dalam kewajiban selibat tidak boleh menikah. Lagi pula secara istimewa mereka pun wajib hidup dengan suci kelamin.5 Selibat atau Celibacy ialah status membujang, kadang-kadang dinamakan juga hidup wadat atau hidup lajang.6 Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia arti selibat ialah pranata yang menentukan bahwa orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin, para rohaniawan yang telah ditahbiskan harus hidup membujang 7. Sewaktu Paus Gregory I seorang tokoh yang sangat berwibawa dan berwenang dalam sejarah Nasrani, menetapkan keputusannya tentang kemestian pembujangan (Celebacy) bagi setiap pendeta dan setiap rahib, maka bangkitlah reaksi pada bagian gereja belahan Timur. Keputusan itu dipandang akan memperkembangkan perzinaan secara tertutup karena tidaklah semua orang punya kemampuan seperti Paus Gregory I itu, yang bisa menahan godaan rangsangan berkelamin sepanjang hidupnya.8 Para pemimpin agama Katholik diatas dilarang hidup mewah dan menjauhkan diri dari keduniaan, mereka dituntut untuk hidup dalam kemiskinan dan tidak boleh melakukan pernikahan artinya tidak boleh menikah atau dinikahi. Mereka harus hidup dalam kehidupan lajang. 4 Kaum klerusa adalah golongan orang yang beriman yang menerima tahbisan diakonat, imamat atau keuskupan. 5 J. Verkuyl, Etika Kristen. (Jakarta, BPK Gunung Mulia. 1993). h 150. 6 Ahmad Mubarok, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang Sakramen Gereja. h 94 7 Depdikbud, kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:1988:802 8 Hardawiryana R, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993). h. 255 x Seks adalah anugerah yang diberikan Tuhan untuk manusia sebagai kebutuhan biologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Bahkan sejak lahirpun manusia sudah diberikan naluri seks untuk dinikmati. Hal inilah yang menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh tentang lajang. Dengan demikian penulis mengambil sebuah judul yaitu SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK. B. Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membahas tentang selibat dalam agama Katolik dari segi kepustakaan. Perumusan masalah dari skripsi ini yaitu: apa makna dan tujuan selibat menurut Katolik?, dan apa kaitannya kaul dan permandian dalam selibat? C. Tujuan Penelitian Penelitian dalam skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Secara Akademis adalah untuk memenuhi tugas dan melengkapi syaratsyarat dalam mencapai gelar sarjana Ushuluddin pada jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Untuk memahami lebih jauh tentang selibat dalam agama Katolik terutama tentang makna dan tujuan selibat dalam agama Katolik. 3. Kegunaan dari penelitian ini dimaksudkan sebagai pengetahuan dalam rangka hubungan antar agama, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menganut ajarannya masing-masing, sehingga akan terbentuklah suatu kehidupan yang harmonis dalam menjalankan agama yang mereka anut. xi D. Metode Penulisan Dalam mengumpulkan data Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research Method), untuk mencari data-data yang dibutuhkan dan mendapatkan data-data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Dan penulis juga menggunakan metode wawancara, dengan mengadakan tanya jawab langsung dengan sumber yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Dalam penelitian kepustakaan Penulis menerapkan metode Deskriptis dan Analitis, dengan melibatkan pendekatan historis. Metode deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas dan terang mengenai permasalahan yang ditulis dalam skripsi ini. Metode analitis dimanfaatkan agar Penulis dapat menyajikan penulisan skripsi yang sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang diselidiki. Pendekatan Historis9 adalah pendekatan yang berpandangan bahwa suatu fenomena religius dapat dipahami dengan mencoba menganalisis perkembangan segi historisnya. Dengan memperhatikan perkembangan prinsip-prinsip umum dari tingkah laku religius dan menghubungkan dengan kajian-kajian khusus dan tertentu, muncul pola-pola kejadian yang menghasilkan prinsip-prinsip umum dari keberagamaan tersebut. Sedangkan penulisan skripsi ini disusun berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007. 9 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama (Perspektif Ilmu Perbandingan Agama), (Bandung: Penebit Pustaka Setia, 2000). h. 52-53. xii E Sistematika Penulisan Pembahasan dalam skripsi ini dibagi lima bagian, yaitu: Bab pertama Merupakan bab Pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Pada bab kedua ini Penulis membahas Kajian Teori Tentang Selibat Menurut Katolik, dengan sub bab Pengertian Selibat Menurut Agama Katolik dengan tujuan untuk mempermudah dalam memahami selibat dalam Katolik. Setelah memahami makna selibat secara umum Penulis mencoba menguraikan sejarah perkembangan selibat dalam katolik dengan tujuan untuk memperjelas keberadaan selibat dalam agama Katolik. Selanjutnya, penulis membahas sumber ajaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi selibat untuk memperkuat keberadaan selibat itu sendiri. Pada bab ketiga ini Penulis membahas Kaul, Permandian dan Tahapantahapan Kehidupan Selibat dengan sub bab yaitu Kaul dalam Selibat yang isinya menjelaskan tentang Tiga Kaul, kaul sebagai penyerahan, kaul sebagai bentuk kehidupan dalam selibat, kaul sebagai sikap hidup dalam selibat. Tujuan dari sub ini untuk menjelaskan bahwa antara kaul dan selibat ada keterkaitan satu sama lainnya. Sedangkan permandian sebagai praktek dari kaul menuju selibat. Dan pada bab ini juga dijelaskan tentang tahapan-tahapan kehidupan dalam selibat yang isinya ada empat tahap yaitu Adolescent Celibacy (masa puber hingga masuk umur 20-an), Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an), xiii Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an), Integral Celibacy (umur 50an akhir, pensiunan atau kematian). Pada bab keempat Penulis menjelaskan Tujuan dan Pengaruh Hidup Selibat dalam Agama Katolik, dengan tujuan untuk mengetahui proses selibat yang dilakukan oleh Rohaniawan Katolik yaitu hidup selibat demi kerajaan Allah, hidup selibat demi menyatu dengan kristus, hidup selibat sebagai pelayanan Illahi, pengaruh selibat dalam kehidupan rohaniawan katolik dan tinjauan kritis. Bab kelima sebagai penutup yang isinya kesimpulan yaitu menyimpulkan hasil dari penelitian. Kemudian saran-saran. xiv BAB II SELIBAT MENURUT GEREJA ROMA KATOLIK A. Pengertian Selibat Menurut Gereja Roma Katolik Selibat berasal dari bahasa latin yaitu caelibatus yang berarti hidup tidak menikah atau membujang. Dalam bahasa inggris disebut celibacy yaitu status membujang, kadang-kadang dinamakan hidup wadat atau hidup lajang.10 Gereja Katolik ritus latin menuntut bahwa para imam tidak menikah seumur hidup dan taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran maupun dalam perbuatan. Selibat bukan suatu pokok iman Katolik melainkan tuntutan hukum gereja yang mengatur cita-cita tentang hidup klerus Katolik. Di dalam agama Katolik terdapat ordo-ordo keagamaan. Ordo-ordo keagamaan tersebut adalah golongan-golongan yang bersifat kerahiban yang para anggotanya menyerahkan hidup sepenuhnya bagi kepentingan agama dan kebaktian. Setiap golongan itu mempunyai ikrar dan peraturan tersendiri bagi setiap anggota yang akan memasuki ordo tersebut. Rahib laki-laki disebut Monk dan rahib wanita disebut Nun. Kepala biara laki-laki disebut Abbot dan kepala biara wanita disebut Abbes. Para anggota ordo keagamaan itu biasa juga disebut Friars, berasal dari kata latin yaitu Frater, yang bermakna saudara dan didalam bahasa inggris disebut Brothers. Setiap ordo itu 10 A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). h. 191. xv merupakan jemaat persaudaraan dan hidup dalam biara. Dan didalam bahasa Indonesia pengertian rahib menurut agama katolik yaitu biarawan dan biarawati.11 Di dalam bukunya yang berjudul Ajaran Iman Kristen, Harun Hadiwijono mengulas tentang hidup membiara, dengan memaparkan tulisan tersebut, penulis berharap akan dapat menambah pengertian biarawan dan biarawati tersebut. Harun Hadiwijono mengungkapkan sebagai berikut : “ Dalam konstitusi tentang gereja dari konsili vatikan II diutarakan tentang hidup membiara dan berkaul. Konstitusi ini membicarakan panggilan umum yakni panggilan hidup membiara sebagai status khusus di dalam gereja. semua orang Kristen, anggota-anggota tubuh kristus dipanggil untuk hidup suci untuk menghayati kesucian kristus dalam hidup mereka sendiri. Kekudusan gereja secara khusus dibina oleh rupa-rupa nasihat, yang disampaikan Tuhan di dalam injil kepada murid-murid-Nya untuk dilaksanakannya. Setiap murid Yesus dipanggil untuk mengamalkan nasihat-nasihat injil. Diantaranya ada yang menanggapi panggilan itu dengan penyerahan diri secara total dalam hidup membiara. Mereka mengikrarkan tiga kaul sesuai dengan nasihat injil yaitu keperawanan, kemiskinan dan ketaatan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan. Biarawan dan biarawati merupakan suatu golongan tertentu dalam gereja yang menuntut atau mengejar kesempurnaan secara khas. Biarawan dan biarawati melepaskan diri dari ikatan harta benda dunia untuk menyerahkan diri dengan bulat hati dan bebas kepada Tuhan. Orang yang beriman taat kepada Tuhan boleh membentuk hidup cita-citanya sendiri. Biarawan dan biarawati mengikrarkan ketaatan kepada pimpinan tarekatnya, menyesuaikan kehendaknya sendiri dengan kehendak Allah supaya ia menggunakan tenaganya dengan lebih sempurna dan efektif bagi kepentingan kerajaan Allah.12 11 A. Heuken SJ. “Rahib” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). h. 83. 12 Harun Hadiwijono. Iman Kristen, (Jakarta. BPK Gunung Mulia, 1995). hal. 120-122. xvi Dari penjelasan-penjelasan di atas, Penulis dapat menyimpulkan mengenai arti kerahiban menurut agama Katolik, yaitu orang-orang yang memenuhi panggilan untuk menghayati kesucian Kristus dan menanggapi panggilan tersebut dengan penyerahan diri secara total dengan mengikrarkan tiga kaul yaitu keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan Kristiani. Dengan mengikuti suatu pola hidup membiara, maka mereka dituntut untuk hidup melajang (selibat). Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak13 sempurna dan seumur hidupnya demi kerajaan surga, oleh karena itu mereka terikat selibat. Namun selibat tidak mungkin dilaksanakan sebagai suatu kewajiban semata-mata yang dituntut dalam rangka jabatan imamat dalam sebuah gereja Katolik. Hidup tidak nikah hanya mungkin mempunyai arti karena bersumber pada keyakinan akan cinta Allah yang tidak kenal batas, dan mendapatkan bentuknya dari pelayanan dalam gereja. Selibat bukan hanya berarti bertarak dan berkorban melainkan rasa kagum dan percaya akan kasih Allah yang tak terduga. Jika penuh kegembiraan, imam yang berselibat mencurahkan segala daya cinta kepada anggota jemaatnya maka usahanya yang serba terbatas ini memberi kesaksian mengenai cinta Allah bagi semua orang yang jauh melampaui semua usaha kita. Maka sewajarnyalah selibat dipandang sebagai “peculiare Dei donum” (anugerah 13 Tarak adalah menahan hawa nafsu dengan cara berpuasa, bertapa, berpantang terhadap kesenangan dan mengasingkan diri berlama-lama di suatu tempat. (Kamus Umum Bahasa Indonesia). xvii istimewa Allah) untuk semakin bersatu dengan Kristus dan sebagai suatu karisma yang terbina dan diperoleh dalam doa.14 Orang memilih cara hidup selibat, karena digerakkan oleh kerajaan Allah yang telah mendekat. Sadar akan waktu yang singkat dan mendesak, orang yang mempergunakan barang-barang duniawi, seolah-olah sama sekali tidak menggunakannya dan oleh karena itu yakin bahwa lebih berbahagia kalau tetap tinggal dalam keadaannya. Hidup wadat meragakan, bahwa sedalam-dalamnya dan dalam segala segi hidupku, aku sungguh diterima oleh Allah dan bahwa kasih Allah senyatanya dan sesungguhnya telah sampai kepada kita.15 Maka penghayatan selibat yang sejati mencerminkan dan meneruskan suasana aman. Kendati tetap perlu diperhatikan agar kelakuan tidak menimbulkan sandungan-sandungan. Para rohaniawan yang membina hidup selibat tidak dengan menentukan dan menepati batas-batas pergaulan. Tingkah laku seorang selibat mengungkapkan cinta Allah tidak dengan laku cinta yang semakin terbatas, melainkan dengan sikap dan laku kasih yang semakin dalam dan luas, penuh kehangatan spontan dan tanpa pamrih dengan tata cara yang sopan, dengan tandatanda cinta yang manusiawi penuh hormat dan tidak pilih kasih.16 Sebagaimana orang menemukan mutiara yang amat berharga, menjual segala milik untuk memperolehnya, begitulah hidup tidak nikah mengalir dari pengalaman persahabatan dengan Yesus. Di dorong oleh kegembiraan mendalam, orang melakukan hal-hal yang nampaknya naif. Karena ditawan oleh Yesus, 14 Dewan Keuskupan Agung Semarang, Pedoman Imam, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). h. 60 15 16 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008. Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. xviii selibat menjadi cara hidup untuk mengikuti Dia. Orang hidup tidak nikah dalam semangat seorang pelomba: “aku mengejarnya…karena aku pun ditangkap oleh Kristus”. Orang hidup tidak nikah karena sebenarnya ia telah ditangkap dan kendati ada kewajiban untuk selibat. Hanya ada satu alasan untuk hidup tidak nikah: Aku dipanggil.17 Selibat mengungkapkan jawaban dari seseorang yang ditangkap. Dan hanya orang yang cukup halus dan peka sebenarnya dapat kena di hati dan dapat memberikan jawaban dari hati ke hati. Hanya jika ditangkap oleh “the passion of love”, orang sepenuhnya dapat menjalankan selibat sebagai “the passion for Christ”..18 Hidup selibat adalah tanda dan dorongan untuk cinta kegembalaan. Melalui selibat, imam-imam seharusnya menjadi bebas untuk pelayanan, agar dengan hati yang tak terbagi mereka dapat membaktikan diri kepada tugas pelayanan mereka yang dipercayakan kepada mereka. Hidup tidak nikah merupakan pengabdian bagi gereja, hidup solider dengan mereka yang hidup sendirian dan dalam kesepian, sebagai ungkapan yang menyatakan harapan kita. Karena imam tidak nikah, imam mungkin meragakan bahwa cintanya masih muda dan bahwa hatinya masih bebas. Kepada setiap orang yang mendatanginya ia seakan-akan memperlihatkan bahwa ia masih single dan masih mungkin diperoleh. Imam selalu masih dapat memberikan seluruh cintanya. Dalam arti ini selibat merupakan suatu tanda sosial. Oleh karena itu cara hidup selibat tidak selalu ditentukan oleh hati nurani yang tulus. Dalam menjalani hidup 17 18 Harjawiyata Fr, Panggilan Membiara dan Imamat. (Yogyakarta: kanisius, 1975) h 8. Dewan Keuskupan Agung Semarang. Pedoman Imam. h 63 xix selibat imam juga terikat oleh adat setempat dan harus memperhitungkan pandangan umum. Janganlah menimbulkan desas desus karena kelakuan yang tidak cocok. Dalam masyarakat kita selibat sebagai tanda yang sangat dihargai, namun sekaligus dicurigai, seakan-akan mustahillah dipenuhi dengan jujur. Maka janganlah menimbulkan keragu-raguan ataupun skandal dengan kelakuan yang kurang pantas dan kurang sopan. Tetapi juga; melawan segala tekanan dari mereka yang hanya mengintai, mengintip dan mem-black list pastor, imam berhak untuk tetap menjadi diri sendiri, justru demi kejujuran selibat. Hidup selibat, “tanda cinta kegembalaan” dan “sumber dari kesuburan rohani” menuntut lebih daripada hanya sikap hati-hati dalam pergaulan dengan lawan jenis dan terhadap dorongan-dorongan seksual. Agar hidup tak nikah menjadi subur, pantas diperkembangkan kemampuan mencintai dengan jujur seumur hidup.19 Dalam tahap perkembangan kepribadian dan dalam wujud yang berubah, hidup selibat menuntut dari imam untuk membina seksualitas dengan wajar. Tidak mengingkari seksualitas dan mengakui dorongan-dorongan yang berubah dan berkembang; sebagai pemuda dalam umur dewasa, sebagai ayah dalam hari tua. Membina ketahanan batin dalam menanggung frustasi tanpa melarikan diri. Semakin menjadi independent dari ikatan akan “ibu” agar diteguhkan kemampuan untuk memberikan diri sepenuhnya. Menjadi rela dan kuat dalam memikul tanggung jawab untuk diri sendiri dan untuk orang lain. 19 Dewan Keuskupan Agung Semarang. Pedoman Imam. h 65 xx Mengenal bahwa hidup adalah memberi dan menerima, mangalami dan menerima ketegangan antara menghargai dan dihargai, agar semakin mampu untuk berdialog. Mengenal dorongan-dorongan jenis pria dan mengerti perasaanperasaan wanita agar semakin peka terhadap perasaan dan harapan yang timbul agar semakin bijaksana dalam menanggapinya. Adapun selibat dipandang dari beberapa segi20, diantaranya : • Segi kristologis, mengabdikan seluruh hidup dan perbuatan seperti halnya Yesus mengabdikan dirinya kepada tugas-tugas yang diberikan Allah kepadanya. Sehingga tiada tempat untuk hidup berkeluarga baginya. Maka Yesus menyeru supaya orang yang ingin mengikutinya bersedia meninggalkan apa saja termasuk anak istrinya. • Segi eklesial, hidup berselibat membebaskan orang dari aneka kewajiban dan keterikatan hidup berkeluarga, supaya dapat mencurahkan seluruh waktu segala tenaga dan cinta kasihnya pada pelayanan umat. • Segi profetis, hidup menurut tiga nasihat injil merupakan suatu alternative terhadap kecenderungan kodrati mencari kebahagiaan dalam hidup ini dan terhadap konsumerisme yang ingin menikmati apa yang dapat diperoleh sekarang ini dan sebanyak mungkin.. • Segi karismatis, menjalankan selibat dengan setia mengandaikan panggilan dan rahmat khusus. Maka hidup berselibat bukan prestasi orang yang bersangkutan, bukan pula harga yang harus dibayar kalau mau 20 A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). h. 194. xxi menjadi imam. rahmat hidup berselibat harus di doakan oleh umat yang menginginkan imam mereka berselibat. • Segi eskatologis, orang yang hidup berselibat menaruh seluruh harapan pada Allah serta kehidupan di akhirat, waktu Allah akan menjadi segalanya. Inilah harta yang tidak akan dapat dicuri atau dimakan karat. B. Sejarah Singkat Timbulnya Selibat Pada masa Gereja perdana21, hidup selibat bagi para klerus tidaklah diwajibkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis. “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Walaupun demikian, orang hendaknya jangan sampai salah menafsirkan ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7). Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) membangkitkan kembali ajaran St Paulus, ungkapan Klemens (seorang tokoh Katolik) menarik untuk dikutip. “Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”22 St. Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan, 21 Gereja Perdana ialah gereja yang berbentuk kaum atau kelompok manusia yang mempunyai visi dan misi untuk menyebarkan ajaran Yesus dan mengajarkan alkitab, dibentuk pada zaman para Rasul dimana Yesus di anggap sebagai pimpinan gereja dan Yesus Sendiri yang mengproklamirkan gereja perdana. (wawancara pribadi dengan suster Laurentia) 22 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”. Artikel di akses tanggal 2 januari 2008 dari http://yesaya.indocell.net/id.1038.htm. xxii “Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat, bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia, yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam, diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan: siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.”23 Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para Klerus. Dalam Konsili Ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit yang memandatkan selibat para Klerus, termasuk para Klerus yang telah menikah.24 Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes, menegaskan bahwa prasyarat dari dekrit Uskup Hosius akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para Klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.25 Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru “kemartiran putih”.26 Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran 23 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” 25 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” 26 Kemartiran Putih: Golongan yang sukarela mengingkari hal-hal dari dunia dan mereka rela mati untuk kembali atau bangkit untuk Kristus. 24 xxiii merah,”27 mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan, kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan. Pada poin ini, tradisi selibat para Klerus berbeda antara tradisi Gereja Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa Paus mendekritkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458). Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika, Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia, Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam, diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.28 Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara Uskup dan para Klerus lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk ditahbiskan sebagai seorang Uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa seorang Uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, Diakon dan Subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan27 28 Kemartiran Merah : Golongan yang rela mencurhkan darah demi iman kepada Kristus. Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” xxiv ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja Timur.29 Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para Klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers (1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayananpelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian.30 Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang Ekumenis, memandatkan selibat bagi para Klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang Klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik.31 Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang disiplin selibat para Klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewenganpenyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563) menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja 29 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” 31 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” 30 xxv memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili-konsili menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan. Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para Klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).32 Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat ditetapkan bagi para Klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang mendasari peraturan ini. Konsili Vatikan II dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16).33 Disamping mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: 32 33 Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat” R Hardawiryana. “Dokumen Konsili Vatikan II”. (Jakarta: Obor,1993). h. 495. xxvi “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).34 Paulus VI mengharapkan bahwa pengertian mendalam tentang kaitan erat antara imamat dan tugas melanjutkan misi Kristus itu akan semakin memperlihatkan kesesuaian antara selibat dan imamat (Sacerdotalis caelibatus).35 Yoanes Paulus II berusaha membaharui semangat selibat dengan mengajarkan bahwa semangat hidup berselibat, miskin dan taat secara radikal merupakan sikap hidup Yesus sendiri yang seharusnya meresapi seluruh umat beriman. Seperti gambaran kematian, semua orang harus menempuh jalan terakhir tanpa teman hidup, meninggalkan segala miliknya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. 36 Hidup berkeluarga Kristiani dan hidup berselibat adalah dua bentuk kesaksian akan cinta kasih Allah. Kedua bentuk itu saling memerlukan dan saling mendukung. Mereka yang menikah perlu di sadarkan bahwa cinta kasih akan 34 R Hardawiryana. “Dokumen Konsili Vatikan II”. h. 496. A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja Jilid IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). h. 191. 36 A. Heuken SJ. “Selibat” Ensiklopedi Gereja h. 191. 35 xxvii Allah melampaui cinta di antara anggota-anggota keluarga. Mereka yang berselibat perlu di sadarkan bahwa cinta kasih Allah menjadi kongkrit dalam cinta suami isteri yang tak di tarik kembali. Kedua bentuk ini memerlukan sikap sama yang di ungkapkan secara berbeda, yakni kepekaan hati, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, saling memaafkan dan setia satu sama lain. Didalam buku yang berjudul Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci37, dengan lebih khusus lagi membahas mengenai perkembangan selibat kerahiban tentang hidup murni, ia mengulas bahwa pada awal perkembangan hidup murni itu ada dua situasi yang akan memberikan gambaran yaitu : 1. St. Paulus menyatakan bahwa hidup murni itu berhubungan dengan pelayanan kerasulan. Hidup murni yang di proklamasikan oleh injil mempunyai makna besar bagi pelayanan. 2. Berhubungan dengan peran tertentu dalam gereja. ketika gereja berbenah diri dalam tata kehidupan bersama. Gereja membutuhkan orang-orang yang berbakti bagi gereja secara penuh. Selanjutnya F. Hartono38 memberikan komentarnya mengenai awal perkembangan hidup murni itu sebagai berikut: “Dari situasi itulah yang ikut menentukan kehidupan, perkembangan gereja dan pelayanannya yang tidak menuntut pelayanan khusus, sedang dari pihak lain muncul tuntutan baru yang membutuhkan panggilan khusus karya purna waktu yang membawa orang dalam keterlibatan hidup demi gereja. situasi ini membuka lahan baru bagi perkembangan cita-cita hidup menurut nasihat injil, terutama hidup murni demi kerajaan Allah”. 37 St Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. (Yogyakarta, Kanisius. 1987). hal 61. 38 Hartono F, Hidup Membiara, Apostolis. (Yogyakarta, Kanisius. 1988). h 65. xxviii Bentuk-bentuk hidup murni demi kerajaan Allah diusahakan dikaitkan dengan kehidupan pertobatan, menyepi di padang gurun, tekun dan mendalam bagi kehidupan gereja dan digiatkan demi pelayanan umum bagi jemaah beriman. Dari pengamatan di atas, jelaslah gereja berhenti dalam mengembangkan pemahaman dan cara kehidupan yang lebih mengungkapkan cita-cita asli dari proklamasi Injili. Gereja menanggapi tentang tawaran hidup murni bukan sematamata demi kerajaan Allah dimasa mendatang, tetapi guna pembangunan kerajaan Allah di masa kini. Gereja tetap berusaha memahami warisan masa lampaunya sebagai kekayaan dan memanfaatkan kekayaan itu untuk berjuang bagi saat-saat ini dalam pelayanan terhadap sesama. C. Sumber Ajaran Hidup Selibat Adapun sumber dari pada hidup selibat menurut Katholik terdapat dalam al-kitab. Diantara ayat yang menjadi landasan hidup selibat adalah: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan didalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi, mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka anak-anak Allah. Karena mereka telah dibangkitkan.” (Lukas, 20:34-36) “Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan sorga.” (Matius 19:12) “Haruslah kamu sempurna, sama peperti bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48) “Hendaklah kamu menjad kudus didalam seluruh hidupmu sama seperti dia yang kudus, yang telah memanggil kamu kuduslah kamu sebab aku kudus.” (Pet:15-16) Dan diantara ayat yang menjadi kaul adalah: xxix “ Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, jauhilah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta disorga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah aku”. Matius 19:12 Menurut ajaran Katholik, bahwa hidup selibat itu selain bersumber dari alKitab (Firman Allah) juga bersumber dari Kristus (Nabi Isa). Mereka menjalani kehidupan selibat adalah untuk meneladani Kristus, sebab Kristus tidak pernah menikah (dalam kedaan lajang) dalam hidupnya seperti tertera dalam kitab: “Hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu kuduslah kamu sebab aku kudus” (Pet 1:15-16)39 D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hidup Selibat Ada dua faktor yang mendorong seseorang untuk menjalani hidup selibat yaitu: 1. Proklamasi Yesus, yaitu hidup murni demi kerajaan Allah. Dan memang semasa hidupNya Yesus tidak menikah. Yesus memberi tempat Allah merajai hidupNya. 2. Pengaruh masyarakat, Pada waktu itu gereja mengalami masa transisi dari gereja yang bersifat kekeluargaan ke gereja yang bersifat mondial dan universal organisasinya. Karena masa transisi itulah, maka gereja sangat membutuhkan orang-orang yang mempunyai loyalitas yang tinggi untuk membaktikan hidupnya secara total untuk pelayanan yang universal, maka kesediaan orang-orang yang 39 Wawancara Pribadi dengan Suster laurentia xxx tidak berkeluarga atau orang-orang yang tidak menikah pada waktu itu sangat dibutuhkan.40 Seorang individu dipahami dan diterima sebagai wakil seluruh umat manusia. Setiap individu adalah seluruh umat manusia yang ingin diraih Allah dan tanggapan tiap-tiap individu itu oleh karenanya mewakili seluruh manusia. Dalam konteks pemahaman Kristen, tanggapan pribadi yesus terhadap karya penyelamatan Allah yang inklusif sesungguhnya dipandang sebagai paradigma, model normatif bagi kehidupan selibat.41 Dalam merefleksikan kehidupan selibat, pelayanan kristus menjadi sebuah gambaran kehidupan bagi umat katolik. Yesus pertama-tama menerima seseorang sebagai pribadi yang berharga sebagaimana dia ada, bertahan sendiri memanggil orang-orang tertentu untuk hidup bagi kepentingan orang sesama seutuhnya. Artinya seluruh hidupnya disumbangkan atau dipersembahkan untuk kepentingan jemaat atau umat. Yesus juga datang untuk mengakui kehidupan manusia dalam segala macam kegagalannya.42 Setiap orang dalam hidup ini pasti akan mendapatkan masalah, tapi yang paling penting bagaimana kita menghadapi dan mengatasi masalah itu. begitu pun orang-orang yang menjalani kehidupan selibat. Pada umumnya memang masalah godaan untuk berkeluarga selalu ada. Kemudian juga masalah lain misalnya saja kehidupan sendiri itu kadang-kadang dirasakan berat. Disamping itu bagi orangorang yang mau hidup secara tidak berkeluarga (selibat) harus rela tidak 40 St. Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 43. 41 Darmawijaya, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. h. 45 42 Harjawiyata Fr, Panggilan Membiara dan Imamat. (Yogyakarta: kanisius, 1975), h. 134 xxxi mementingkan harta dunia dan harus hidup serba sederhana. Dan faktor-faktor itu kadang-kadang menjadi beban dalam menjalankan pekerjaan kehidupannya. Namun, beban itu dapat diatasi kalau didalam jiwa dan pikiran selalu ditanamkan keinginan yang kuat untuk mengabdikan diri demi kepentingan sesama. Dan yakin bahwa Tuhan sendiri akan selalu memberikan jalan keluar dan memberikan kekuatan untuk mengatasi godaan-godaan atau masalah-masalah yang timbul. Memang tidak dipungkiri bahwa suatu saat bisa saja terjadi bahwa ada seseorang yang sudah beritikad untuk hidup selibat tetapi suatu saat karena masalah-masalah atau banyak hal yang menimpa dirinya dan tidak bisa mengatasinya. Bisa saja ia meletakkan jabatannya dan kemudian melepaskan tugasnya dan mengambil hidup berkeluarga. Karena ini memang suatu hal yang cukup berat untuk diamalkan oleh kita sebagai manusia biasa. xxxii BAB III KAUL, PERMANDIAN DAN TAHAPAN KEHIDUPAN DALAM SELIBAT E. Kaul dalam selibat Kaul atau prasetia adalah suatu janji untuk memuliakan Allah. Orang berjanji secara sadar dan rela untuk berbuat sesuatu yang pada umumnya tidak dituntut darinya yang lebih berkenan kepada Allah dari pada yang sebaliknya. 43 Kaul adalah janji kebiaraan di mana seseorang secara sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.44 Ketika mendengar kata kaul (hidup membiara) orang dengan sendirinya berpikir mengenai tiga kaul, yaitu tidak menikah (kemurnian), hidup miskin dan ketaatan. Tetapi para peter dominikan mengingat diri pada kehidupan lajang hanya dengan satu kaul saja, yakni ketaatan. Namun agak sedikit berbeda dengan regule (peraturan) Santo Benekditus memang disebutkan tiga kaul, tetapi bukan yang biasa melainkan pertobatan hidup, ketetapan tempat dan ketaatan. Hal ini tidak berarti ada biarawan biarawati yang terikat oleh selibat (lajang) kemiskinan dan ketaatan. Melainkan ketiga kaul itu selalu harus dilihat dan diartikan menurut masing-masing ordo (kumpulan rahib).45. 43 A. Heuken SJ. “Kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). h. 213. 44 Wawancara pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008. 45 A. Soenarja. Kisah Orang Membiara. Yogyakarta. Nusa Indah, 1984. hal 130. xxxiii Dengan kaul, para biarawan biarawati mengikat diri untuk melaksanakan ketiga nasihat injil yaitu tidak menikah, hidup dalam kemiskinan dan ketaatan.46. Bagi kebanyakan ordo menjadi pengertian biasa, bahwa dengan ketiga kaul itu orang akan diterima dalam hidup membiara. Maka agak mengherankan bahwa sejak tahun 1400 ketiga kaul itu baru di pandang sebagai pokok hidup lajang diantara gereja. Dewasa ini di dalam gereja dibedakan antara rohaniwan dan biarawan rohaniawan adalah mereka yang menerima tahbisan suci dan kemudian menjadi anggota hirarki untuk menunaikan tugas gerejani. Sedangkan biarawan dan biarawati ialah orang yang mengikrarkan kaul diatas. Namun ada juga biarawan dan biarawati yang sekaligus ditahbiskan menjadi rohaniawan. Sejak abad ke 6 para rohaniawan menjanjikan atau mengikrarkan kaul untuk tidak menikah, mereka juga mengikat diri untuk hidup menurut peraturan gereja, tetapi tidak ada kaul ketaatan begitu juga mereka menjanjikan kemiskinan. Sejak zaman S. Augustinus para rohaniawan sering kali hidup bersama, hidup bersama itu berarti milik bersama, dalam abad ke11 hal itu menjadi kebiasaan umum. Mereka tidak mengucapkan kaul kemiskinan melainkan mengikat diri pada kumpulan mereka yang hidup bersama. 47 Begitupun dengan para biarawan yang pada permulaan sama sekali tidak mengucapkan kaul. Mereka mengikat diri pada peraturan biara yang mengusahakan sebaik mungkin pengikraran diri pada apa yang dipandang sebagai 46 47 Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta. Kanisius, 1996. hal 376. Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik.( Yogyakarta. Kanisius, 1996). hal 375. xxxiv pokok hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula keperawanan (lajang). Tetapi itupun tidak dinyatakan secara khusus, yang terpenting adalah ketaatan kepada biara dan peraturan. Hidup para biarawan adalah bentuk kehidupan tertentu dan orang yang menjadi biarawan mengingat diri pada bentuk kehidupan itu. Sebaliknya para selibat tidak terikat pada bentuk kehidupan tertentu, mereka tidak disebut biarawati (bagi perempuan), mereka hanya mengingat diri pada keperawanan seringkali hidup dirumahnya sendiri secara biasa. Tanda lahir keperawanan adalah selubung. Sejak abad ke 6 para perawan pun (bersama dengan janda) mulai hidup bersama. Tetapi sampai abad ke 11 masih ada perawan yang secara resmi menerima selubung dari uskup dan tetap sendiri di tengah-tengah masyarakat. Secara implisit keperawanan, kemiskinan dan ketaatan sudah dirangkum dalam kehidupan para rohaiawan, biarawan dan biarawati. Tetapi hanya para rohaniawan dan perawanlah keperawanan itu dijanjikan secara terbuka. Kemiskinan tidak pernah tidak disebutkan, dan ketaatan sebetulnya berarti bahwa orang mengikuti diri pada bentuk kehidupan yang dirumuskan regule (peraturan). Pada tahun 1148 ada 12 rohaniawan di Paris yang menjanjikan kemiskinan, ketaatan dan tidak menikah. Pada pokoknya dengan kaul itu sudah dinyatakan apa yang sekarang merupakan isi pokok dari kaul kebiaraan, tetapi xxxv perumusannya masih berbeda. Baru sejak tahun 1400 dengan terang disebut kemiskinan, tidak menikah dan ketaatan.48 Pada waktu itu di dalam gereja tidak ada lagi tiga bentuk golongan di atas. Para perawan sudah menjadi biarawati, juga para rohaniawan yang hidup bersama pada waktu itu mempunyai bentuk kehidupan yang sangat mendekati para biarawan. Mereka semua menjalankan hidup yang sekarang disebut “hidup membiara”. Disamping biarawan dan biarawati juga tinggal para rohaniawan yang hidup menurut bentuk kehidupan bersama. Pada waktu itu biarawan juga mulai memikirkan bentuk kehidupan mereka dan terutama S. Thomas Aquino49 mengembangkan satu teologi hidup membiara, khususnya mengenai tiga kaul itu. Teologi itu tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi sudah dipersiapkan dalam buku-buku rohani yang ditulis dan di pahami oleh para biarawan, karena hidup membiara itu sebagai usaha tidak mengingkari diri, maka ketiga kaul itu pertamanya dilihat sebagai olah tapa saja. Menurut pandangan orang abad pertengahan hidup selibat (membiara) adalah menjauhkan diri dari dunia yang di anggap jahat oleh mereka. Secara khusus “kesenangan daging” mereka musnahkan dengan hidup lajang sedangkan “kesenangan mata” serta “kecongkakan hidup” mereka perangi dengan kemiskinan dan ketaatan50. Dengan demikian nasihat injil itu di ikrarkan dalam kaul dan mendapat tafsiran yang sangat praktis. 48 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 26. 49 A. Heuken SJ. “kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II. h. 84. Joyce Ridrich. Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. (Yogyakarta, Kanisius. 1987). hal 81. 50 xxxvi 1 Tiga Kaul Tahun 1145 M untuk pertama kalinya hidup selibat (membiara) secara resmi di ikrarkan dengan ketiga kaul yaitu kemiskinan, ketaatan dan tidak menikah.51 Dasar untuk ketiga kaul itu terdapat dalam Yohanes yang berbunyi : “Janganlah kamu mengasihi dunia, dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan bapa tidak ada di dalam orang itu sebab yang ada di dalam dunia yaitu keinginan daging serta keangkuhan hidup . keinginan mata, bkanlah dari bapa melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selamanya”. (Yoh 1:15-17). Walaupun ketiga bentuk kehidupan itu baru merupakan satu kaul sejak abad ke-12, namun sebagai bentuk kehidupan alxeis (menjauhkan diri dari kesenangan dunia) tentu saja sudah dipraktekan dalam gereja. ternyata paus Innocentius II memajukan pengikraran kaul untuk menertibkan hidup selibat (hidup membiara).52 Hal itu juga, mempunyai akibat bahwa hidup selibat harus dilihat dan diukur menurut tiga kaul itu. Oleh karenanya hidup selibat juga menjadi yuridis, yang ditentukan oleh peraturan dan kewajiban serta sifat nasihat injil. Kaul tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk membantu hidup semakin dekat dengan kristus, bahkan kaul itu seolah-olah menjadi inti dan pokok dalam kehidupan selibat. Dengan mengikrarkan nasihat injil menjadi kaul, maka artinya sedikit berubah dan 51 Konferensi Wali gereja Indonesia. Iman Katolik. (Yogyakarta. Kanisius, 1996). hal 376. 52 R. Hardawiyana, Dokumen Konsili Vatikan II. (Jakarta; Obor, 1993). h. 133. xxxvii tidak heran bahwa mula-mula konsili vatikan II53 orang mulai bertanya lagi mengenai arti dan tempat kaul dalam kehidupan selibat. Kaul dilihat secara negatif, tidak menikah tidak mempunyai apa-apa, tidak menjalankan kehendak sendiri, kiranya tidak ada perbedaan antara masing-masing ordo. Disamping kaul pertobatan (Tiga Kaul) masih ada dua kaul yang lain. Yang pertama adalah kaul ketetapan tempat, yang mana dengan kaul itu orang mengikat diri pada suatu komunitas (tempat) tertentu. Seumur hidup mereka akan tinggal dalam tempat yang sama. Yang kedua kaul ketaatan, yaitu ketaatan kepada pemimpin komunitas yang diakui sebagai pemimpin rohani.. maka disini terdapat dua ikatan dimana dengan kaul pertama (Tiga Kaul) orang mengikat diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sedang dengan kaul yang lain (ketetapan tempat dan kaul pada ketetapan pemimpin komunitas) mengikat diri pada pemimpin dan komunitas.54 Tradisi ini berjalan terus sampai Fransiskus (1182-1226). Pada waktu itu, sudah dipakai ketiga kaul yang sekarang umum: tidak menikah, kemiskinan dan ketaatan. Tetapi yang pokok adalah tetap hidup bagi Tuhan, maksudnya seluruh hidup orang yang menjalankan kehidupan selibat semata-mata dicurahkan untuk Tuhan.55 Kemiskinan dan selibat (tidak menikah) adalah sebagian suatu syarat; orang meninggalkan segala sesuatu agar dapat mengikat diri seluruh hidupnya pada Tuhan. Mereka menjalani kemiskinan, supaya bebas untuk mengikuti Tuhan kemana saja artinya bebas berbakti tanpa diikuti beban atau rintangan, karena 53 R. Hardawiyana, Dokumen Konsili Vatikan II. h. 134. Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. 55 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 136 54 xxxviii kekayaan untuk. mereka adalah merupakan suatu rintangan. Hanya dalam ketaatan menjadi sedikit lain orang tidak lagi mengikat diri pada suatu komunitas dan kepemimpinan sebagai pembimbing rohani, akan tetapi sekarang mereka mulai mengikat diri pada seluruh tarekat dan mengabdikan diri kepada seluruh ordo bukan pada pemimpin rohani atau komunitas. 2. Kaul sebagai Penyerahan Kaul pokok bagi orang yang akan menjalani hidup selibat (membiara) pada hakikatnya adalah penyerahan diri kepada kristus juga penyerahan cinta kasih yang sempurna, hal ini harus diperlihatkan dalam kehidupan sebagai lajang, seluruh hidup bagi kristus.56 Justru karena hidup seluruhnya diserahkan kepada Kristus, maka mereka mengharapkan segala sesuatu dari Kristus dan tidak mau mengusahakan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk pengharapan akan Kristus supaya sempurna maka di buanglah segala pegangan dan jaminan hidup yang bersifat duniawi oleh kaul kemiskinan. Begitu pula penyerahan adalah merupakan ketaatan yang sempurna dan meliputi seluruh hidup. Penyerahan kaul berupa pengharapan, ketaatan dan cinta kasih kehidupan. Selibat menjanjikan penyerahan itu lebih sempurna sehingga meliputi seluruh hidup. Pengharapan berarti meninggalkan semua barang duniawi sebab rahmat Kristus sudah cukup, dan ketaatan melakukan segala sesuatu adalah sebagai tanda penyerahan kemauan sendiri kepada Kristus. 56 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 136 xxxix Maka ketiga kaul itu menurut S. Thomas Aquino57 tersimpullah hidup membiara (selibat). Penyerahan bertujuan sebagai cinta kasih sempurna kepada Kristus, juga untuk menyempurnakan diri mereka yang menjalani hidup selibat. Sebagaimana firman Tuhan : “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah jualah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan perolah harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah aku” (Mat 19:21) “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dunia yang lain itu dan dalam kebangkian antara orang-orang mati tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi, mereka sama seperti malaikatmalaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan” (Luk 20:34-36). Seorang biarawan dan biarawati hanya ingin hidup dalam Kristus dari Kristus dan untuk Kristus58. Maka sejauh mungkin mereka rela melepaskan diri dari segala-galanya yang mungkin menjadi rintangan bagi kesatuan dengan Kristus. Tidak hanya barang duniawi atau kemauannya sendiri di buang bagaikan sampah, tetapi kasih kepada manusia pun yang mengikat hidupnya hanya pada satu orang saja dengan seluruhnya tidak dikehendaki. Sebagaimana tercantum dalam firman Tuhan yang berbunyi : “Aku ingin supaya kamu hidup tanpa kekhawatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya kepada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkemauan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya kepada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tak bersuami dan anak-anak gadis 57 58 A. Heuken SJ. “kaul” Ensiklopedi Gereja Jilid II. h. 84. Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. xl memusatkan perhatian mereka kepada perkara Tuhan. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya kepada perkara duniawi, bagaimana ia menyenangkan suaminya. Semua ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasanmu tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik melayani Tuhan tanpa gangguan-gangguan”. (1 Kor 7:32-35). 3. Kaul sebagai Bentuk Kehidupan Dalam pandangan di atas sebagaimana diuraikan, ketiga kaul itu tidak hanya merupakan pelaksanaan konkrit dari pengikraran diri, tetapi juga menjadi pokok perwujudan kehidupan lajang (selibat).59 Seperti telah dikatakan di atas hidup lajang (selibat) pada zaman dahulu dipandang sebagai bentuk kehidupan tertentu. Pokok hidup lajang adalah peraturan yang menentukan dan menetapkan seluruh bentuk kehidupan para lajang. Disini perlu diperhatikan bahwa tidak menikah atau selibat merupakan semacam latihan puasa yaitu menahan nafsu dan berusaha merendahkan hati menguasai diri dalam segalanya. Tindakan atau keinginan seksual dipandang sebagai puncak hawa nafsu yang harus dikendalikan. Dari semula memang ditekankan kewajiban untuk hidup sederhana dan membebaskan diri dari rintangan kekayaan (yang menarik manusia kepada dunia), tetapi dalam praktek-praktek hidup yang dipentingkan para lajang (biarawan dan biarawati) tidak mempunyai milik pribadi. Semua milik bersama, namun yang 59 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 289. xli dimiliki oleh biara seringkali amat besar, sehingga banyak biara harus di sebut kaya menurut pandangan manusia biasa. Dalam perkembangan lebih lanjut kiranya pandangan itu menjadi lebih umum, pokok kaul kemiskinan adalah bahwa para lajang tidak mempunyai millik pribadi, tetapi mereka hidup dari biara. Oleh sebab itu masing-masing biarawan dan biarawati apabila membutuhkan sesuatu harus minta izin itulah sebabnya mereka dianggap miskin. Ini berarti bahwa pokok hidup lajang (selibat) dalam praktek adalah ketaatan, sebab pokok hidup selibat adalah hidup menurut peraturan suci. De facto bagi semua biarawan dan biarawati hidup selibat sama dengan hidup menurut peraturan biara. Bentuk kehidupan biara adalah intisari hidup membiara dan juga isi pokok ketiga kaul.60 Seorang lajang (biarawan dan biarawati) harus memisahkan diri dari dunia dan tidak menikah dan hidup menurut bentuk kehidupan bersama (kemiskinan). itulah pandangan yang lazim diterima.61 4. Kaul sebagai Sikap Hidup Oleh kardinal leger dari Montreal (kanada) dikemukakan pada konsili, bahwa nasihat-nasihat injil itu tidak boleh dibatasi pada kehidupan tidak menikah, kemiskinan dan ketaatan. Juga keadilan, kerendahan hati, keramahan, belas kasihan dan segala keutamaan lainnya yang disebut dalam khotbah di bukit harus disebut nasihat injil. Jadi ketiga kaul itu tidak boleh dipandang sebagai satusatunya pokok hidup Katolik, seakan-akan dengan ketiga kaul itu orang telah 60 61 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 27-28. xlii melaksanakan cita-cita Kristus yang benar. memang boleh dikatakan bahwa dengan ketiga kaul itu hidup kristiani sudah lengkap. Akan tetapi di samping ketiga kaul tersebut masih terdapat nasihat-nasihat Yesus lainnya yang bisa dijadikan sikap hidup kristiani. Oleh sebab itu nasihat-nasihat injil tidak boleh dipandang sebagai petunjuk Kristus untuk bentuk kehidupan tertentu, bahkan tidak boleh dipandang sebagai keutamaan khusus. Nasihat-nasihat injil adalah ajaran Kristus untuk sikap hidup kristiani. Akan tetapi keperawanan atau selibat (tidak menikah) menjadi unsur yang penting dalam nasihat injil yang di anggap sebagai sikap dan bentuk dari pada kehidupan Yesus. sedangkan kemiskinan, ketaatan dan yang lainnya merupakan pelaksanaan konkrit dari keperawanan itu sendiri.62 Oleh konsili diajarkan, bahwa kesucian tidak terikat pada bentuk tertentu, karena kesucian hanya berupa suatu sikap hidup terhadap Tuhan. Tetapi kalau dikatakan, bahwa kesucian tidak terikat pada bentuk tertentu, bukan berarti bahwa manusia dapat hidup tanpa bentuk kehidupan yang konkrit.63 Bentuk kehidupan mereka harus menurut pada prinsip-prinsip atau pandangan yang telah diberikan Yesus dalam khotbah dibukit tersebut. F. Permandian dalam Selibat Sakramen pentahbisan dalam selibat seperti halnya sakramen pembaptisan pada umumnya yang meliputi permandian, untuk mensucikan diri menuju kerajaan Allah. Pentahbisan lebih di khususkan bagi para biarawan atau uskup 62 63 Hartono F, Persahabatan Orang Selibat Makna dan Tantanganya. h. 30. Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 30. xliii yang akan menjadi imam. sedangkan yang umum dalam selibat adalah permandian, karena permandian adalah dasar untuk menjadi seorang Katolik yang beriman. Mandi dan air adalah lambang pembersihan dan kehidupan. Tanpa air tidak ada kehidupan di dunia ini, karena air adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan.64 Permandian adalah dasar ketiga kaul pokok yang diucapkan oleh orang yang akan menjalani kehidupan lajang (membiara). Dan ini tidak hanya berarti bahwa orang yang akan mengikat diri dengan kaul dalam gereja harus dipermandikan dahulu, yang dimaksud ialah lebih dari pada peraturan hukum gereja, sungguh pun seyogyanya sudah memperhatikan peraturan gereja ini lebih dalam sedikit. Sebab kaul membiara adalah kaul didalam gereja, dan oleh karena itu orang hanya dapat mengucapkan kaul sebagai anggota gereja, padahal sakramen permandian mereka masuk kedalam anggota gereja. justru karena kaul itu bukan semata-mata suatu tindakan perseorangan saja, tetapi selalu berupa ibadat gereja. maka dengan demikian permandian adalah merupakan syarat mutlak bagi kaul.65 Permandian sebagai penyerahan kepada Kristus. Permandian sebagai penyerahan pertama sedangkan kaul adalah penyerahan total dan mutlak. Kaul disebut permandian kedua, karena yang terjadi dalam permandian itu diulangi secara lebih sempurna yakni penyerahan diri pada Kristus.66 Jadi dalam permandian manusia percaya bersatu dengan Tuhan dan tidak hanya mati bagi dosa tetapi juga pada dunia, supaya hanya hidup bagi Tuhan 64 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. (Jakarta: Obor, 1985). h. 5. 66 Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja h. 7. 65 xliv dalam pekerjaan yang menjadi tujuan kaulnya. Kesibukan dunia mengganggu pengabdian kepada Kristus, sehingga dikatakan dalam Kitab Kudus : “ Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan demikian ia berkenan kepada kemandiannya”. (Tim 2:4). Oleh sebab itu dengan kaul orang meninggalkan semua yang biasanya mengikat hati manusia dan yang menjadi rintangan dalam pengabdian penuh kepada Tuhan. Mereka harus menyerahkan urusan hidupnya kepada Tuhan, hal ini tercantum dalam al-Kitab: “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, karena Dialah yang memperhatikan perkaramu” (Ptr 5:5). Hidup lajang (selibat) itu bukanlah hidup yang berlainan dengan hidup orang katolik biasa, hidup ini adalah suatu perkembangan lebih lanjut dari penyerahan diri kepada Tuhan. Kaul dan Permandian, keduanya adalah penyerahan kepada Kristus hanya dalam permandian maksudnya adalah merangkul setan dengan segala pekerjaan dan kesia-siaanya. Tetapi pada hakikatnya penyerahan kaul adalah penyerahan permandian, maka kaul bukan suatu sakramen baru melainkan kesatuan dengan Kristus yang seerat-eratnya dengan perkembangan dari materi kekal permandian yang telah menjadikan anggota tubuh Kristus.67 1. Permandian sebagai Penyerahan Untuk mengerti apakah sebenarnya sakramen itu (permandian), kita harus memandang tanda sakramen. Pembersihan sakramen permandian adalah suatu 67 Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. h. 10. xlv pembebasan genggaman setan. Dengan sakramen permandian Allah Bapa telah melepaskan manusia dari kuasa kegelapan, dan memindahkan manusia kedalam kerajaan putra kekasih-Nya. Seperti firmannya: “Ia telah melepaskan kita dari kegelapan dan memindahkan kita dalam kerajaan anaknya yang kekasih” (kolose 1:13). Pembersihan sakramen permandian adalah penebusan Kristus, seperti di terangkan-Nya kepada Paulus di jalan Damaskus. “Dan aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa iblis kepada Allah mereka oleh iman mereka kepadaku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan” (Kis 3:13-14). Sakramen permandian adalah penyelamat manusia dari kejahatan. Maka menurut S. Petrus kita ini serupa dengan selamat melalui air. Adapun air itu ibarat dari yang sekarang menyelamatkan kamu yaitu permandian (Ptr 3:20-21). Seperti nabi Nuh dahulu kala dibebaskan dari antara orang jahat melalui air bah, begitu pula kita sekarang ini diselamatkan dengan air permandian. Air itu memusnahkan segala kejahatan dan kedurhakaan, dan dengan demikian kita dibebaskan dari penjajahan setan. Atau seperti orang Yahudi yang di selamatkan melalui air yang membinasakan orang Mesir. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah diutus di baptis dalam awan dan laut. (kor 10:2).68 68 Joseph Martos. Permandian, Sakramen-sakramen Gereja. h. 13. xlvi Demikian pula kita ini di bebaskan dari kerajaan dosa melalui air permandian ke dalam kesatuan Kristus. Permandian itu bukan suatu pembersihan dimana kita terima bagaikan nasib saja, melainkan pembersihan ini penuh daya dinamis yang membawa kepada Yesus Kristus, sumber keselamatan manusia. Kita dimandikan supaya menyatu dengan Kristus. Jadi sakramen permandian pada hakekatnya adalah penyerahan kepada kristus. Hal ini akan lebih jelas bila kita pelajari bagi yang menjadi dasar permandian Yohanes.69 2. Permandian Yohanes Permandian Yohanes adalah permandian tobat. Hal ini tercantum dalam Al-kitab, “Bertobatlah sebab kerajaan sorga hampir tiba”(Mat 3:2). Dengan demikian permandian Yohanes adalah persiapan untuk menemui kerajaan sorga. Semua manusia mustahil luput dari murka Tuhan, hanya dengan tobat yang sungguh-sungguhlah manusia dapat membebaskan diri dari kebinasaan pada pengabdian Tuhan. “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasihnya. Ia akan membaptiskan kamu. Dengan roh kudus dan dengan api” (Mat 3:11).70 Permandian Yohanes yang serupa dengan permandian air adalah gambaran saja dari permandian dengan api pada hari Tuhan. Maksudnya dengan permandian Yohanes maka manusia akan lepas dari siksaan api pada hari akhirat. Jadi yang dimaksud api pada hari Tuhan adalah siksaan akhirat.71 Permandian Yohanes hanya mempersiapkan orang akan pembersihan yang kuat, yakni pengadilan 69 70 71 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 49. Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 50. A. Heuken SJ. “pembaptisan” Ensiklopedi Gereja Jilid III. h. 308. xlvii dengan api. Pembersihan ini akan merupakan kebinasaan bagi yang jahat tetapi keselamatan bagi mereka dan kebahagiaan untuk orang yang percaya akan Tuhan. Semua manusia yang percaya akan Dia tidak akan dihukum, tetapi siapa yang tidak percaya sudah dijatuhi hukuman. Permandian Yohanes adalah permandian tobat yang berwujud kepercayaan yang penuh harapan akan kerajaan Allah. Permandian Yohanes berupa penyerahan pula, tetapi suatu penyerahan yang belum kelihatan, juga sebagai harapan.72 3. Permandian Yesus Permandian Yesus juga berupa suatu penyerahan yakni penyerahan ketaatan kepada Bapa. Begitu pula dia menerima permandian Yohanes sebagai tanda ketaatannya kepada Bapa. Permandian Yesus adalah ketaatan-Nya.73 “Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran yang terdapat juga dalam kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan dirinya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”(Flp 2:5-8). Kristus adalah putra tetapi kesatuannya dengan Bapa diperlihatkannya dalam kekuatan sengsara dan wafatnya. Permandian Yesus adalah penyerahan ketaatan sampai mati. 72 73 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 51. Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 52. xlviii 4. Permandian Kita Permandian kita adalah termasuk permandian penyerahan kepada kerajaan Tuhan yang sudah terlaksana di dalam Kristus, jadi permandian kita adalah sakramen kepercayaan kepada Kristus.74 C. Tahapan Kehidupan Dalam Selibat Bernard R. Bornot membagi tahapan hidup selibat dalam empat tahap berdasarkan pemikiran Erik Erikson. Erik Erikson membedakan tahapan hidup dalam suatu dilemma khusus untuk diatasi dan ditata. Setiap penanganan memiliki hasil yang berbeda, bisa positif atau negatif. Pendekatan Erikson menampilkan bahwa tiap tahap hidup selibat diasosiasikan dengan sebuah dilemma yang khas dan menuntut kekuatan khusus untuk mengatasinya serta menumbuhkan keutamaan khusus pula. 75 1. Adolescent Celibacy (masa puber hingga masuk umur 20-an) Tantangan pada tahap ini yaitu: mengembangkan sebuah visi hidup dalam model selibat sebagai hidup yang bernilai, dan bernegosiasi terhadap dorongan fisik seksualitas remaja untuk mengijinkan seseorang dalam berkomitmen pada hidup selibat (sebuah tugas yang sukar dalam budaya sekarang yang menekankan kesenangan diri dan hiperseksual). 74 75 Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 53. Bernard R. Bornot, “ Stages in Celibates Life”. ( Human Development: 1985). h. 18. xlix Dalam masa remaja, isu utama adalah bagaimana seseorang menangani dorongan fisik, kerinduan emosional, fantasi imajinatif dan hasrat psikologis yang terdalam. Kita berada dalam dunia yang menawarkan seks bebas tetapi sekaligus dunia dimana seks perlu dikontrol. Tahap pertama dari kehidupan selibat menuntut penanganan dilema seksualitas dengan tidak mengikuti dorongan seksual apapun. Orang yang tidak bernegosiasi dengan tantangan keremajaan ini harus akan bernegosiasi ulang seluruh perspektif dikemudian hari, seperti Agustinus, jika mereka mau menerima kemungkinan hidup selibat dan memutuskan untuk hidup di dalamnya. Kekuatan yang dihasilkan dari penanganan yang sukses adalah hidup selibat dalam arti fisik. Keberhasilannya adalah sebuah kemampuan untuk menjadi sungguh manusia tanpa mesti aktif secara seksual dan tanpa merasa terganggu dan frustrasi.76 2. Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an) Tantangan utamanya adalah kebutuhan akan pasangan dan anak (banyak orang mendefinisikan hidup mereka dalam arti ini). Tapi dalam hidup selibat lebih menyangkut keturunan (generativity). Tahun-tahun dalam hidup selibat saat ini lebih berhubungan dengan kebutuhan akan keturunan (generativity). 77 Tahap kedua dalam hidup selibat menyangkut kebutuhan akan munculnya kerinduan untuk menjadi Bapa atau Ibu. Penanganan yang berhasil dari tahap pertama memampukan orang untuk komitmen pada hidup selibat dengan hidup 76 Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Artikel di akses tanggal 2 Januari 2008 dari http://www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat.htm. 77 Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. l tanpa aktif seksual dalam arti fisik. Orang yang memutuskan untuk secara seksual aktif mencari partner lebih bersifat fisik daripada psikologi dari pasangannya akan membawa perpisahan atau perceraian di kemudian hari. Bagi yang tetap, dalam awal kedewasaan, orang selibat disibukkan dalam soal pendidikan dan latihan yang di syaratkan supaya secara tetap hidup dalam komunitas yang dia telah pilih sebagai sebuah konteks hidup yang bermakna, hidup seksual secara tidak aktif. Hingga 30 tahun yang lalu, formasi bagi hidup selibat membatasi tantangan keintiman dengan larangan yang keras terhadap teman eksklusif dan membatasi kontak dengan keluarga. Orang dewasa yang masih mudah menghayati hidup selibat umumnya tidak menghadapi tantangan yang mendalam dalam keintiman. Imam muda atau religius dalam pelayanannya di paroki atau bidang lain berhadapan dengan keluarga-keluarga muda dengan anak. Pada saat ini semakin disadari konsekwensi dari pilihan untuk tidak memiliki pasangan hidup dan anak (keturunan). Yang utama disini bukan soal fisik dan psikologi tetapi perbandingan dan kesadaran akan kematian generasinya. Dilema seorang selibat adalah perbandingan. Itu nampak ketika kita mengunjungi keluarga-keluarga di paroki atau saudara sepupu yang berkeluarga, teman-teman yang berkeluarga dan melihat rumah dan cara mereka membesarkan anak yang penuh hidup. Kemudian membandingkan bahwa mereka seumur dengan kita dan bahkan lebih muda. Dan dalam hati mungkin kita bilang: “Saya juga bisa” atau ada dorongan “Ayo kamu bisa”. Ketika kita kembali ke biara kita li merasa kosong dan tidak bermakna. Pengalaman ini mendorong kaum selibat untuk memiliki anak sendiri atau keluarga sendiri.78 Penanganan terhadap tahap ini menuntut kaum selibat akan keradikalan dan kematian pribadi dari eksistensinya. Seorang selibat harus sadar bahwa pilihan untuk hidup selibat menyangkut bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketiadaan keturunan. Mungkin pernah dipikirkan sebelumnya tetapi sekarang sungguh menjadi suatu penderitaan yang luar biasa. Karena begitu menyakitkan pribadi harus meninjau kembali komitmen, berpikir ulang bahwa mungkin ia tidak pernah menyadarinya apa artinya tidak memiliki anak atau keturunan. Penanganan terhadap krisis ini memaksa kaum selibat terhadap makna yang lebih penuh dari ide generavitas Erikson: bukan hanya soal tanggungjawab terhadap keturunan dan pemeliharaan dari anak sendiri, tetapi juga bagi komunitas sebagai keseluruhan, untuk kehidupan, pendidikan dan kebaikan generasi di kemudian hari dan masa depan semua generasi, untuk kebudayaan, untuk iman dan kasih di bumi ini, untuk gereja, untuk kerajaan Allah. Pada tahap ini, kaum selibat harus menerima kenyataan bahwa selibat bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketidakaktifan peran Bapa dan ibu. Keberhasilan pada tahap ini adalah kemampuan untuk menjadi produktif dan bertanggungjawab tanpa menjadi orang tua dan/atau merasa tercabut dan tidak sempurna. 3. Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an) 78 Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. lii Umur-umur ini menantang seorang selibat untuk membagi kehidupan batin dengan orang lain yang padanya ia memberi perhatian dan merupakan konsekwensi dari hasrat untuk masuk dalam persahabatan yang intim dengan orang tersebut.79 Tantangan di sini adalah keinginan, hasrat, kebutuhan dari kaum selibat untuk persahabatan, orang-orang yang kepadanya mereka membagi hidup keseharian. Isu pokoknya bukan seks, bukan anak dan keluarga tetapi Keintiman (bagaimana saya berhubungan dengan orang lain). Dalam tahapan ini, kaum selibat tiba pada pengalaman kesendirian, keheningan dan mungkin keterasingan karena dirinya dan hidupnya tidak disharingkan secara intim dengan orang lain. Orang berhasrat untuk membagi kepribadiannya, dalam kepenuhan dan kedalamannya dengan yang lain dan ingin orang lain melakukan yang sama. Intimasi menyangkut relasi antar pribadi, atau satu dengan beberapa seperti dalam sebuah keluarga, komunitas persaudaraan, sebagaimana juga dalam Trinitas. Kaum selibat sering menghadapi kenyataan bahwa dia tidak hidup dalam keintiman yang demikian. Keberhasilan pada tahap tiga ini adalah keintiman relasi yaitu sebuah kemampuan untuk menjadi teman sharing dalam hidup bagi yang lain tanpa menikah dan tanpa merusak pemberian dirinya kepada Allah baik secara fisik atau psikologi.80 Pentingnya intimasi ditekankan oleh Keith Clark dalam bukunya Being Sexual and Celibate dan An Experience of celibacy: a creative reflection on intimacy, loneliness, sexuality and commitment. Dalam dua buku ini dibicarakan 79 80 Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. liii banyak soal Intimacy. “Ada suatu kebutuhan lain yang memberikan makna kepada seksualitas manusia. Kebutuhan itu adalah keintiman relasi dengan orang lain. Kebutuhan itu adalah kebutuhan pribadi yang terdalam yang kita miliki, dan itu adalah kebutuhan spiritual. Seksualitas manusia adalah menyangkut soal keintiman”.81 Bagi kita religius intimacy berarti tanpa seks, tanpa keluarga dan anak. Saya pikir disinilah makna Persaudaraan kita untuk mengekspresikan kasih Sang Ilahi karena disadari bahwa sebagai manusia kita butuh cinta dan dicintai dan kita dipanggil menuju kemurnian cinta dalam ziarah pertobatan yang tak pernah akhir. 4. Integral Celibacy (umur 50-an akhir, pensiunan atau kematian) Umur ini menantang kaum selibat untuk memelihara makna dan harapan ketika puncak sumbangan kepada kemanusiaan semakin menurun. Yang menjadi perhatian mereka bukan pada pertanyaan yang tidak ada gunanya tetapi yang memiliki kegunaan bagi keseluruhan, dalam menemukan alasan untuk menguatkan teman-teman dan kelompok pensiun atau yang mendekati kematian. Dan untuk merasa secara pribadi bernilai dan penting ketika tidak seorangpun secara intim hadir bersamanya yang dengannya ia telah membagi semuanya. Atau dalam kata lain di sebut kebijaksanaan.82 Tetapi kaum selibat mesti antisipasi beberapa krisis baru pada tahap ini, sekalipun ia telah berhasil bernegosisi pada tahap-tahap sebelumnya. Orang yang tidak mampu bernegosiasi dengan kenyataan ini akan merasa terpisah, lelah atau 81 82 Keith Clark. Being Sexual and Celibate. (Michigan: Ave Maria Press,1985). h. 142. Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. liv kecewa. Sementara yang berhasil akan memahami makna yang mendalam dan kelayakan hidup mereka dan akan dengan positif menghadapi pengalaman baru mereka termasuk kesempatan baru untuk membagi kebijaksanaan. Pribadi yang demikian akan tetap hadir kepada komunitas. Mereka akan tetap terlibat secara fisik, generatif, intim dengan potensi yang kreatif yang akan memahkotai hidup mereka dan membawa berkat yang besar kepada orang (saudara) yang dengannya mereka berkomunikasi. lv BAB IV TUJUAN DAN PENGARUH SELIBAT DALAM KEHIDUPAN ROHANIAWAN KATOLIK Hidup selibat bukanlah putusan yang satu kali dibuat. Kedewasaan dalam hidup selibat adalah hal pencapaian keutamaan dari setiap tahap dan semua tahap. Kehidupan selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal ketidakaktifan seksual, tidak menikah, gersang, hidup sendiri. Tiap tahap menuntut kekhususan motivasinya sendiri dan memiliki rationalitasnya sendiri.83 Hidup selibat harus menunjukkan secara istimewa bahwa kerajaan Allah mengatasi segala barang duniawi, dan hidup lajang harus menjadi tanda dari seluruh hidup kristiani. Tetapi oleh karena harapan eskatologis termasuk ciri hidup rahmat yang khas, maka secara istimewa diperlihatkan dalam hidup lajang pula dan sebagai harapan eskatologis tidak merupakan bagian dari hidup kristiani, melainkan suatu aspek yang menjiwai hidup seluruhnya, maka seluruh hidup selibat harus menjadi tanda dari harapan eskatologis. Mengenai keperawanan atau selibat dikatakan bahwa secara istimewa melambangkan barang-barang sorgawi juga keperawanan itu mengingatkan kepada seluruh umat beriman akan ketentuan Allah di masa yang akan datang.84 83 Gonsa Saur, Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya. Artikel di ambil dari http//www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat. htm 84 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia, Jakarta 14 Januari 2008. lvi A. Hidup Selibat Demi Kerajaan Allah Hidup tidak menikah adalah demi kerajaan Allah yang berarti, bahwa orang tidak lagi mengakui tujuan hidup di dunia ini, tetapi semata-mata mengharapkan akan kehidupan dimasa yang akan datang (akhirat). Dan kerinduan akan datang kerajaan Allah maka seseorang mengungkapkan dengan kaul keperawanan (hidup tidak menikah dan tidak di nikahi).85 Para lajang (biarawan dan biarawati) sebenarnya tidak menganggap rendah cinta kasih Kristus yang sempurna. Dan tidak menikah, dilihat dari sudut di dunia ini sama sekali tidak ada gunanya. Namun, menurut mereka kehidupan lajang adalah suatu tanda-tanda kepercayaan yang mengatasi hidup di dunia ini. Andai kata seseorang berharap pada Kristus hanya untuk kehidupan di dunia ini saja, maka dia adalah yang paling malang di antara sekalian manusia. Kata-kata itu ditujukan S. Paulus kepada semua orang kristiani. Kaul keperawanan atau tidak menikah adalah ungkapan iman. Bahwa hidup yang sempurna adalah kehidupan sesudah hidup ini semua orang Kristen percaya akan kebangkitan mati dan akan hidup kembali diakhirat tetapi tidak semua Kristiani mengungkapkan akan melahirkan iman itu secara radikal dan menyeluruh. Itulah kekhususan hidup selibat, orang menjalani kehidupan selibat akan menjalani hidup seluruhnya dari iman akan kehidupan akhirat.86 Hidup merasa berpusat pada tidak menikah sebagai ungkapan dari harapan akhirat, karena kehidupan selibat merupakan kerinduan akan hidup yang akan 85 St. Darmawijaya, “Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci”.(Yogyakarta: kanisius, 1987). h. 41 86 St. Darmawijaya, “Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci”. h. 55. lvii datang (akhirat). Akan tetapi dalam hidup di dunia ini kehidupan selibat akan memberi kesan negatif yaitu tidak menikah. Dilihat dari sudut kehidupan dunia, hidup membiara hanya berarti bahwa pada biarawan biarawati tidak menggelar cita-cita di dunia, tidak membangun kehidupan untuk dunia, itu berarti tujuan hidup seseorang menjadi pengabdian kepada orang lain belaka, maksudnya bagi dirinya sendiri ia tidak mencari apa-apa untuk di dunia ini. Jadi segala sesuatu yang ada padanya tersedia bagi orang lain, sehingga kemiskinan menjadi pilihan dasar untuk menjadi seorang selibat. Kemiskinan tidak berarti bahwa ia tidak memiliki apa-apa lagi, tetapi segala miliknya termasuk waktunya tersedia bagi orang lain kalau keperawanannya merupakan perwujudan penyerahan total bagi kristus di dalam kemiskinan akan dinyatakan kesediaan total bagi orang lain. Tidak menikah kemiskinan dan ketaatan tidak merupakan perjanjian yang berdiri sendiri maka dengan perjanjian itulah mereka mengharapkan kerajaan Allah.87 B. Hidup Selibat Demi Menyatu dengan Kristus Hidup selibat adalah ungkapan cinta yang mendalam terhadap Kristus disertai dengan keinginan untuk mengikuti jejaknya sebagaimana hidup Yesus terpusat pada pewartaan Kerajaan Allah yang beliau hayati dalam semangat cinta dan pelayanan. Begitu pula seharusnya mereka yang menjalani kehidupan selibat 87 Sr. Joyce Ridrich, Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat”. (Yogyakarta: Kanisius, 1987). h. 43. lviii yang mengikrarkan untuk tidak menikah menjadi terang dan garam bagi dunia untuk maksud dan tujuan yang sama.88 Yesus rela untuk tidak memuaskan diri dalam bidang seks, dia juga rela untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita. Allah Bapa telah berkenan mewujudkan cintanya kepada manusia dalam diri Yesus. Kini giliran manusia untuk ambil bagian dalam inkarnasi Yesus tersebut. Yesus adalah tanda bagi manusia yang menjelaskan bahwa persembahan hidup khusus dan langsung kepada Allah Bapa mestinya ditempuh lewat jalan cinta dan secara manusiawi sebagaimana telah dibuat oleh Yesus. Yesus telah mewujudkan jalan kepada manusia bagaimana seharusnya menghayati panggilan sebagai perantara dengan mengorbankan seluruh tubuh, kebutuhan sosial, kehendak dan dambaan cinta untuk meraih satu hal saja, yaitu kehendak Allah Bapa. Kristus telah memperlihatkan kepada manusia sebuah jalan bagaimana semestinya manusia memberikan diri secara tuntas demi kerajaan Allah melalui hidup selibat.89 Jadi hidup selibat yang mereka jalani adalah untuk menghayati panggilan Illahi dan sekaligus meneladani Kristus, dimana kristus sendiri tidak pernah menikah rela mengorbankan diri untuk keselamatan umat dari dosa waris. C. Hidup Selibat Sebagai Pelayanan Illahi Hidup rahmat adalah hidup gereja, hidup iman dalam kesatuan dengan orang beriman lainnya. Hidup rahmat kesucian, semua itu tidak merupakan urusan 88 89 Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1979). h. 112. Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. h. 116 lix pribadi melainkan adalah hubungan dengan sesama manusia dalam harapan dan iman. Kaum selibat tidak merupakan golongan khusus di dalam gereja, melainkan adalah suatu tauladan di dalam panggilan umum kepada kesucian. Hidup selibat adalah tanda di dalam gereja karena ketulusan usaha untuk mencari Tuhan dalam iman yang sungguh percaya bahwa Allah tidak akan membiarkan hambanya dicoba melampaui batas.90 Bagi orang yang menjalani selibat iman tidak hanya menjiwai dan menggerakkan hati, tetapi kekuatan batin harus dinyatakan dan ditampakkan keluar. Hidup selibat adalah tanda iman, untuk itu orang yang menjalankan selibat harus mempunyai kesadaran iman dan kesadaran itu harus dihayati dalam kesatuan iman dengan orang lain. Bagi orang yang percaya sungguh-sungguh, Kristus adalah sumber inspirasi dan alasan untuk berjuang terus. Karena Yesus wafat dan bangkit, mereka pun berani percaya bahwa hidup mereka akhirnya akan mencapai tujuan dan kemuliaan Bapa. Panggilan dan pelayanan khusus rohaniawan di dalam gereja adalah usaha untuk tetap menyegarkan dan menghidupkan semangat iman yang hakiki. Pembaharuan yang terus menerus dijalankan di dalam gereja untuk meremajakan iman yang tak segan-segan mengarahkan perhatian umat kepada semangat injil yang asli.91 90 Hardawiryano R.S.Y, “Selibat Iman”. h. 56. Harjawiyata Fr, “Panggilan Membiara dan Imamat”. (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1975). h. 33. 91 lx Penyaksian hidup selibat tak lain adalah usaha setiap kali untuk hidup kembali sebagai pengikut Kristus. Setiap hari menyatakan dalam hidup yang konkrit bahwa jalan keselamatan adalah jalan pengabdian kepada Illahi. D. Pengaruh Selibat dalam Kehidupan Rohaniawan Katolik Bagi umat Kristen yang mengakui Allah Bapa di dalam Tuhan Yesus Kristus, ajaran-ajaran hidup selibat dititik beratkan pada kesucian Allah. Umat Tuhan wajib hidup dalam kesucian. Tuntutan-tuntutan itu semakin meningkat sementara pernyataan Allah semakin mendalam, mulai dengan perjanjian lama sampai dengan perjanjian baru yaitu kedatangan Yesus Kristus Allah yang Maha Mulia dan Maha Unggul, yang senantiasa memanggil umatnya untuk membersihkan diri, lahir dan bathin supaya mereka boleh bersekutu dan hidup dengan Dia. Konsep hidup selibat dalam perspektif Katolik selalu dikaitkan dengan perbuatan yang merupakan perwujudan iman. Iman merupakan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam norma manusia yang berhadapan dengan Allah yang memanggilnya sehingga norma merupakan penggerak keputusan pribadi dalam suara hati, maka norma hanya arti tidak langsung yang tidak mempunyai kaitan dengan iman sejauh norma itu menggerakkan keputusan selibat sebagai perwujudan iman. Maka iman orang Kristen adalah bagaimana orang Kristen menghayati secara kristiani, hanya dalam persekutuan umat beriman Kristen juga ungkapan iman perseorang menjadi ungkapan iman Kristen, karena berkaitan dan dibina oleh ungkapan gereja.92 92 Bakker, SVD, A. “Ajaran Iman Katolik 2”. (Yogyakarta: Kanisius, 1998). h. 206. lxi Selibat menjadi sebuah perwujudan iman bagi para rohaniawan Katolik. Karena dalam menjalani kehidupan sebagai rohaniawan, selibat menjadikan mereka lebih konsisten dalam menghayati iman kristiani yang mereka yakini. Pada hakekatnya para rohaniawan katolik mengakui bahwa nafsu seks itu merupakan suatu kodrat yang harus dipenuhi oleh manusia. Manusia mempunyai suatu naluri untuk memuaskan keinginannya itu. Tetapi para tokoh itu memandang bahwa cinta yang berdasarkan nafsu seks itu bersifat egois dan subjektif. Seperti yang di ungkapkan Sr. joyce, ia mengungkapkan bahwa keinginan seksual itu mengandung pengertian bahwa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya dan ia bermaksud untuk memenuhinya dalam mencari pemuasan pada orang lain. Pribadi lain menjadi objek dan alat pemuas kenikmatan diri atau untuk mengisi hidupnya.93 Jika melihat tujuan dari Allah mengapa hukum yang suci itu diberikan kepada umat manusia. Hukum ditempatkan bukan hanya sebagai pedoman dan kaidah perbuatan, tetapi juga bukan sekedar supaya dapat mengenal dosa pada hakikatnya, melainkan supaya datang kepada Tuhan Yesus Kristus juru selamat umat manusia. Norma berlaku karena pengakuan diri sebagai ciptaan Allah dan sebagai umat tebusan karena anugerah dan kasih dalam Yesus Kristus. Tuhan Yesus meringkaskan hukum Allah dengan kata-kata : “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama”. Dan hukum yang kedua sama dengan itu : 93 Ridrich Joyce. Kaul Harta Melimpah dan Tanah Liat. Yogyakarta. Kanisius. 1987. h lxii “Kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri”. Pada hakikatnya hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat 22:37-40). Maka motif yang seharusnya digerakkan untuk menghayati prinsip selibat adalah kasih. Kita selaku umat yang beriman mengasihi karena bahagia menikmati damai dengan Allah dan mengerti hubungan perjanjian yang mengikat dengan Allah sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya. Hidup selibat ini tentu saja tidak sembarangan, sebelumnya harus dilihat dulu oleh pimpinan apakah kira-kira mampu atau tidak untuk menjalani hidup selibat. Kemudian kalau di anggap ini ada kemungkinan untuk bisa melaksanakan hidup selibat itu harus mengucapkan dan melaksanakan tiga macam kaul. Kaul pertama, yaitu kaul ketaatan, harus taat pada pimpinan. Kaul kedua yaitu tidak boleh berkeluarga dan kaul ketiga yaitu tidak boleh mengumpulkan harta benda atau menjadi kaya, dengan kata lain harus hidup sederhana. Kalau kaul itu tidak bisa ditaati misalnya saja saya tidak taat kepada pimpinan dengan sendirinya harus bisa meletakan jabatan dan harus keluar dan hidup kaul itu harus di tinggalkan.94 Begitu pula ada yang bisa terjadi akhirnya tidak bisa hidup membujang dan ingin berkeluarga dengan sendirinya juga alasan keluar akan selalu ada. Dan terutama juga sekarang ini kalau seorang ingin menjadi imam atau hidup membujang, tetapi ingin kaya raya dan ingin hidup mewah itu tidak pantas, maka sebaiknya juga meletakkan tugasnya atau keinginannya itu. Di dalam agama Katolik sejarah perkembangan kerahiban bermula untuk menjauhi kesenangan-kesenangan duniawi, hal ini dikarenakan apabila orang 94 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia lxiii hanya mementingkan hal-hal yang bersifat keduniawian, manusia akan lupa untuk beribadat kepada Tuhan. Oleh karena itu sebagai biara oleh agama Katolik dianggap akan lebih mendekatkan penganutnya untuk lebih tekun berdoa. Agama Katolik lebih mengarahkan penganutnya untuk mencintai orang lain berdasarkan persahabatan, kebaikan hati atau kesetiaan. Cinta kebaikan hati lebih bersifat sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Berkhof bahwa para rahib agama Katolik melepaskan segala kemewahan, milik dan nikah, dengan ini mereka dapat menyerahkan diri sepenuhnya untuk berdoa, merenung melakukan semua kegiatan rohani, ibadat dan pelajaran alkitab.95 Hidup selibat pada masa kini sudah berkembang menjadi topik yang kompleks. Pada masa lalu, mereka yang di kategorikan sebagai orang-orang lajang adalah mereka yang tak mampu menikah. Entah tak mampu dalam arti fisik ataupun mental, atau dkarenakan oleh keadaan sosial ekonomi. Dengan kata lain, keadaan hidup yang dipandang “normal” adalah menikah. Memang, ada juga laki-laki atau perempuan yang menjalani hidup selibat karena panggilan religius. Mereka ini mendapatkan toleransi masyarakat, keadaan mereka “diirikan” sekaligus “diremehkan”. Singkatnya, hidup selibat pada umumnya dipandang sebagai sesuatu “kekurangan diri”, atau sebagai nasib yang sedapat mungkin dihindari atau bisa di bilang “keadaaan yang pantas mendapatkan simpati”.96 Kehidupan selibat mempunyai arti penting, pertama bahwa orang yang hidup selibat adalah bagian yang tak terpisahkan, tak terasingkan dari masyarakat yang mendapat perhatian kasih anugerah Allah. Kedua melalui seorang individu 95 96 Dr. H. Berkhof. Sejarah Gereja. Jakarta. BPK Gunung Mulia. 1990. hal 52. Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia lxiv masyarakat menanggapi pelayanan Kristus. Namun demikian tanggapan individu adalah hal penting yang mutlak. Dengan mengikrarkan kaul kemurnian atau keperawanan, orang tidak lagi memutlakkan cinta manusiawi, tetapi hal itu ditempatkan dalam rangka kerinduan untuk membina hubungan cinta kepada Allah. Dengan demikian kaul keperawanan merupakan askesis batin manusia dalam hal cara mencintai Allah secara absolut dan mencintai manusia seperti Allah sendiri mencintai. Jadi cinta manusiawi menjadi sarana untuk mengungkapkan hubungan cinta dengan Allah. Cinta pada sesama menjadi pola penghayatan akan cinta kepada Allah. Samasama dihargai sebagai yang dicintai oleh Allah dan diperlakukan sebagai teman seperjalanan untuk menuju dan bersatu dengan Allah. Dari cinta kepada sesama ini orang dapat jatuh ke dalam kebutuhan psikologis, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang muncul dari kecenderungan cinta manusiawi itu dapat berupa kebutuhan akan kehangatan, untuk diterima, keakraban, kasih sayang, kebutuhan akan kenikmatan seksual, kebutuhan akan pamer atau ekshibisi, dan kalau itu semua kurang diberikan maka akan menumbuhkan agresi (penyerangan) atau merasa kecil. Ini semua dicari demi diri sendiri dan kadang-kadang sudah tidak disadari lagi karena sudah menjadi kebiasaan spontan yang sudah terkait dengan perwatakan. Kerinduan manusia untuk memiliki harta kekayaan yang memang merupakan kebutuhan manusia bagi realisasi dan pengembangan hidupnya, diatur dengan kaul kemiskinan, sebab kaul kemiskinan berarti orang mengutamakan harta kerajaan surga sebagai satu-satunya lxv yang pantas dimiliki bagi pengembangan dan realisasi diri sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu, dengan kaul kemiskinan orang menyanggupkan diri untuk mengatur hubungan dengan harta kekayaan sebagai sarana realisasi perkembangan dan pertumbuhan milik satu-satunya yang paling berharga ialah Allah dan kerajaan-Nya.97 Kemiskinan merupakan olah diri atas gerak hati, agar selalu tertuju kepada Allah dan kerajaan-Nya dengan mampu menggunakan harta dunia tanpa terikat pada harta itu. Namun dari pada itu, muncul kebutuhan psikologis yang menghambat seperti kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan akan kenikmatan terhadap dunia, kebutuhan akan atribut-atribut sosial yang menuntut taraf materi tertentu dan konsumerisme yang tidak perlu. Kalau tidak diberikan akan menimbulkan agresi dan rasa kecil.98 Kerinduan akan realisasi martabat manusia yang merdeka dan pribadi, serta mampu menentukan hidupnya sendiri dengan mengikuti hati nurani, diolah dan diatur dengan kaul ketaatan. Dengan begitu kerinduan akan realisasi martabat manusia itu diletakkan pada dasar terdalam identitas manusia sebagai mahluk Tuhan yaitu bahwa realisasi diri manusia terdalam hanya mungkin terlaksana bila manusia melaksanakan kehendak Allah. E. Tinjauan Kritis Seorang yang selibat yang di anggap religius dalam agama Katolik, yang mungkin selalu terlibat dalam berbagai pelayan, memiliki reaksi yang sama terhadap orang yang mereka layani secara dekat. Terkadang mereka pun 97 98 Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. Wawancara Pribadi dengan Suster Laurentia. lxvi menemukan dalam dirinya sesuatu yang hilang dalam hidup. Seperti: perhatian, cinta, figur orang tertentu yang menjadi harapan mereka. Orang-orang yang selibat pada hakikatnya ingin merasakan apa yang dirasakan oleh manusia lain pada umumnya. Bila tidak direfleksi dan dikendalikan, semua perasaan tersebut akan secara pelan-pelan menumbuhkan suatu perilaku yang tidak sehat bagi para selibat. Maka perlu untuk merefleksikan hidup seksualitas bagi para selibat itu sendiri: kelemahannya dan kekuatannya. Karena dalam pandangan keagamaan secara umum kehidupan selibat tidak memberikan keuntungan yang lebih untuk sesama manusia namun membatasi pergaulan dan mencerminkan pola hidup berkelompok dengan sesama penganut selibat tidak dengan masyarakat pada umumnya. Seorang selibat tidak dapat mulai dengan proses kedukaan sampai dia menerima kebenaran dari sebuah kehilangan sebagai kodrat manusia. Seorang selibat harus mengekspresikan dalam kata, perasaan ketegangan bahwa rekan perjalanan hilang daripadanya. Proses penyembuhan banyak dibantu ketika perasaan ini dibagikan dengan orang yang dipercaya. Dengan mensharingkan pengalaman ini, emosi yang “sakit” kepada orang lain, seorang membuat sebuah pernyataan yang aktif akan kepercayaan kepada orang lain.99 Kepercayaan ini memindahkan batas keisolasian, sinisme dan ketidakpercayaan yang begitu mudah timbul kembali setelah sebuah rasa kehilangan mempertinggi rasa mudah terluka. Bila dilihat kondisi sekarang ini, sepertinya manusia tidak lagi memiliki hati nurani. Mereka melakukan perbuatan yang tanpa disadari atau memang 99 Hartono F. Persahabatan Orang Selibat Makna dan Tantangannya. (Yogyakarta: Kanisius, 1985). h. 82. lxvii mereka sadari telah menyakiti orang lain demi tercapainya keinginan mereka. Rasa egoisme, hawa nafsu dan rasa keangkuhan telah menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak mempunyai sedikit penyesalan dari apa yang mereka lakukan. Maka selibat menurut penganutnya merupakan salah satu cara dalam membina prilaku diri dalam kehidupan yang mereka anggap sudah keluar dari norma atau ajaran yang bersifat kristiani. Walaupun dalam kenyataannya menjalani hidup selibat belum tentu mendapat ketenangan sepenuhnya dalam menjalani kehidupan. Bagaimana pun seseorang yang menjalani selibat hanyalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. Sehingga tidak mungkin bisa membunuh atau menghilangkan hawa nafsunya sebagai manusia normal pada umumnya. Selibat hanya sebatas mengendalikan hawa nafsu dengan cara tidak menikah seumur hidup. Namun sebenarnya masih banyak cara untuk mengendalikan hawa nafsu selain dengan hidup selibat. Dengan demikian selibat hanya sebuah pola hidup beragama yang dibuat oleh seseorang dimana pola tersebut disandarkan kepada kehidupan Yesus sebagai pemimpin mereka. Dan mereka meyakini Yesus menyerahkan seluruh hidupnya demi kerajaan Allah, salah satunya dengan menjalani kehidupan tanpa menikah. Maka dari itu pandangan akan hidup selibat masih dalam wacana perbincangan para pemuka agama pada umumnya karena dilihat dari tujuan dan sumber sejarah yang menjadi dasar yang kuat untuk menjalaninya. Walaupun bagi mereka yang menjalaninya sudah merupakan keyakinan mutlak bahwa selibat merupakan tanda dari pada perwujudan iman mereka terhadap Allah dan Yesus. lxviii BAB V KESIMPULAN Dari uraian diatas penulis dapat mengumpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : Makna dari hidup selibat adalah mencontoh kehidupan Yesus (nabi Isa) dimana yesus sendiri selama hidupnya tidak pernah melakukan pernikahan. Tujuan dari pada menjalani hidup selibat adalah untuk berbakti sepenuhnya kepada Tuhan tanpa adanya gangguan dari kehidupan duniawi dan yang paling penting adalah semata-mata untuk mencapai kebahagiaan surga dan ingin bersatu dengan Yesus. Sumber ajaran selibat adalah dari firman Tuhan dalam kisah para rasul yang terdapat dalam perjanjian baru, diantaranya : “orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dalam kebaktian dan antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan sebab mereka tidak dapat mati lagi, mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan”. (Lukas 20 : 34) Seseorang yang akan menjalani selibat terlebih dahulu harus berkaul (berjanji) bahwa ia sanggup untuk hidup miskin, mentaati segala aturan baik dari pimpinan biara atau gereja maupun terhadap segala perintah Yesus yang terdapat dalam injil dan ia harus sanggup untuk tidak menikah selama-lamanya. Kaul adalah suatu janji untuk memuliakan Allah. Suatu janji dimana seseorang secara lxix sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Jadi kaul merupakan pokok yang menjadi dasar atau landasan untuk menjalani kehidupan selibat. Orang yang akan menjalani selibat disamping harus menjalani kaul ia juga harus melakukan permandian terlebih dahulu, mandi dan air adalah lambang pembersihan atau penyucian dan kehidupan. permandian dalam selibat adalah dasar dari pada ketiga kaul (kemurnian, kemiskinan dan ketaatan) yang menjadi pokok dalam menjalani hidup selibat. maka dari itu permandian merupakan syarat mutlak bagi kaul. diantaranya permandian yohanes, permandian yesus dan permandian kita. Konsep selibat dalam agama katolik selalu dikaitkan dengan perwujudan selibat sebagai perwujudan iman. Iman merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam norma manusia yang berhadapan langsung dengan Allah yang memanggilnya, sehingga norma merupakan penggerak keputusan pribadi yang bersumber kepada suara hati. Maka selibat orang kristen adalah bagaimana orang Kristen itu menghayati kehidupannya secara kristiani, hanya dalam persekutuan umat beriman Kristen yang dianggap sebagai ungkapan iman perseorangan menjadi ungkapan gereja. B. Saran-saran Setelah penulis mengambil sebagian dari ajaran agama Katolik khususnya yang berkaitan dengan selibat yang berasal dari berbagai literatur, lxx maka disini penulis mencoba untuk memberikan saran atau masukan-masukan untuk bahan kajian studi agama yaitu: 1. Selibat para rohaniawan katolik merupakan sebuah perwujudan iman. dimana setiap orang yang menjalaninya memahami dan meyakini bahwa dengan selibat kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani kehidupan Kristus seutuhnya, maka penulis berharap agar para rohaniawan Katolik keseluruhan khususnya yang menjalani selibat dapat memahami dan menghayati makna dan tujuan dari pada hidup selibat itu sendiri. 2. Perlu adanya sosialisasi yang lebih umum mengenai kehidupan selibat dalam bentuk buku atau artikel yang lebih banyak lagi dan lebih membuka diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat agama lain, agar lebih banyak di ketahui oleh seluruh masyarakat tentang kehidupan selibat itu sendiri. 3. Di harapkan kepada semua pemeluk agama dapat mengembangkan toleransi antar umat beragama, sehingga dapat hidup rukun dan damai, karena pada dasarnya semua agama termasuk Katolik intinya mengajarkan kebaikan, walaupun dengan tata cara yang berbeda. lxxi DAFTAR PUSTAKA Aguna, Philomena, Aku Memilih Engkau, Yogyakarta: Andi Offset, 1986. Alkitab., Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1992. Bakker, SVD A, Ajaran Iman Katolik 2. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Berkhof. Dr. H, dan Enklaar. Dr. I. H. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1990. Clark, Keith. Being Sexual..and Celibate. Michigan: Ave Maria Press. 1985. Darminta, S.I.J, Satu Hati dan Satu Jiwa, Yogyakarta: Kanisius. 1981. Dokumen Gerejawi. Pastores Dabo Vobis (Gembala-gembala akan kuangkat Bagimu). Jakarta: Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992. Faryci. R.S.J, Karisma dan Hidup Membiara, Yogyakarta: Pusat Patoral, 1981. Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Artikel di akses tanggal 2 Januari 2008 dari http://www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat.htm. Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. Hardawiryano R. S Y, Selibat Iman, Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1979. Harjawiyata. Fr. Panggilan Membiara dan Imamat. Yogyakarta, 1975. Hartono S. J. F, Hidup Membiara, Apostolos, Yogyakarta: Kanisius, 1988. Hartono S. J. F, Hidup Murni Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius. 1987. Haselears S. J. F, Persembahan Cintaku, Yogyakarta: Kanisius, 1981. Heuken SJ. Ensiklopedi Gereja. Jilid I, II, III, IV, V. (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1995). lxxii Jacobs, Tom, Hidup Membiara Makna dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 1988. Kristiyanto. A. Eddy, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius. 1996. Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. 1981. Martos, Joseph. Permadian, Sakramen-sakramen Gereja. Jakarta: Obor, 1985. Mubarok, Ahmad, Perbandingan Agama Islam dan Kristen, Studi Tentang Sakramen Gereja. Bandung: Pustaka. 1985. Ridrich, Sr. Joyce. Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta: Kanisius., 1987. Romo William P Saunder. “Sejarah dan Spiritualitas Selibat”. Artikel di akses tanggal 2 januari 2008 dari http://yesaya.indocell.net/id.1038.htm. Soenarja, A. Kisah Orang Membiara 1,2,3,4. Yogyakarta: Nusa Indah. 1984. Verkuyl, J, Etika Kristen. Jakarta, BPK Gunung Mulia. 1993. Wawancara Pribadi dengan Suster Lauren, Jakarta 14 Januari 2008. lxxiii HASIL WAWANCARA TENTANG SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK 1. T J : Mohon anda jelaskan pengertian dari Selibat? : Selibat adalah tidak menikah atau status membujang, kadang-kadang dinamakan juga hidup wadat atau hidup lajang untuk mengikuti panggilan Yesus demi kerajaan Allah. 2. T J : Menurut Anda apa yang menjadi sumber ajaran selibat? : Dalam ajaran Katholik, bahwa hidup selibat itu selain bersumber dari alKitab (Firman Allah) juga bersumber dari Kristus (Nabi Isa). Mereka menjalani kehidupan selibat adalah untuk meneladani Kristus, sebab Kristus tidak pernah menikah (dalam kedaan lajang) dalam hidupnya seperti tertera dalam kitab: “Hendaklah kamu menjadi kudus didalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu kuduslah kamu sebab aku kudus” (Pet 1:15-16). 3. T. : Apa yang menjadi tujuan dan harapan anda dalam menjalani hidup selibat? J : Hidup selibat harus menunjukkan secara istimewa bahwa kerajaan Allah mengatasi segala barang duniawi, dan hidup lajang harus menjadi tanda dari seluruh hidup kristiani. Selain demi kerajaan Allah selibat pun mempunyai tujuan untuk menyatu dengan Kristus, karena selibat merupakan salah satu cara meneladani Yesus Kristus. Dan selibat pun mempunyai tujuan sebagai pelayanan sejati atau pelayanan Illahi. lxxiv 4. T. J : Apa arti Kaul dan Permandian dalam selibat? : Kaul adalah janji kebiaraan di mana seseorang secara sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Kaul kemurnian adalah kaul di mana kaum religius secara bebas mengabdikan seluruh hidup mereka kepada Tuhan, bebas dari ikatan pernikahan dan hidup berkeluarga. “Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (1 Kor 7:32. Kaul kemiskinan adalah kaul di mana kaum religius merelakan kepemilikan atas harta duniawi dan saling berbagi dalam segala sesuatu, agar mereka dapat menemukan “harta” mereka di surga. “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Mat 19;21). Kaul ketaatan adalah janji di mana kaum religius bersumpah setia untuk taat pada regula (peraturan) ordo atau kongregasi mereka dan taat pada para superior (pembesar biara) mereka yang merupakan wakil Tuhan bagi mereka. Mereka melakukan ini seturut teladan ketaatan Yesus pada kehendak Bapa-Nya. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34). Sakramen pentahbisan dalam selibat seperti halnya sakramen pembaptisan pada umumnya yang meliputi permandian, untuk mensucikan diri menuju lxxv kerajaan Allah. Pentahbisan lebih di khususkan bagi para biarawan atau uskup yang akan menjadi imam. sedangkan yang umum dalam selibat adalah permandian, karena permandian adalah dasar untuk menjadi seorang katolik yang beriman. Mandi dan air adalah lambang pembersihan dan kehidupan. Tanpa air tidak ada kehidupan di dunia ini, karena air adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan. 6. T. J : Bagaimana pengaruh selibat terhadap kehidupan rohaniawan? : Hidup selibat ini tentu saja tidak sembarangan, sebelumnya harus dilihat dulu oleh pimpinan apakah kira-kira mampu atau tidak untuk menjalani hidup selibat. Kemudian kalau di anggap ini ada kemungkinan untuk bisa melaksanakan hidup selibat itu harus mengucapkan dan melaksanakan tiga macam kaul. Kaul pertama, yaitu kaul ketaatan, harus taat pada pimpinan. Kaul kedua yaitu tidak boleh berkeluarga dan kaul ketiga yaitu tidak boleh mengumpulkan harta benda atau menjadi kaya, dengan kata lain harus hidup sederhana. Kalau kaul itu tidak bisa ditaati misalnya saja saya tidak taat kepada pimpinan dengan sendirinya harus bisa meletakan jabatan dan harus keluar dan hidup kaul itu harus di tinggalkan. Dengan mengikrarkan kaul kemurnian atau keperawanan, orang tidak lagi memutlakkan cinta manusiawi, tetapi hal itu ditempatkan dalam rangka kerinduan untuk membina hubungan cinta kepada Allah. Dengan demikian kaul keperawanan merupakan askesis batin manusia dalam hal cara mencintai Allah secara absolut dan mencintai manusia seperti Allah sendiri mencintai. Jadi cinta lxxvi manusiawi menjadi sarana untuk mengungkapkan hubungan cinta dengan Allah. Cinta pada sesama menjadi pola penghayatan akan cinta kepada Allah. Sama-sama dihargai sebagai yang dicintai oleh Allah dan diperlakukan sebagai teman seperjalanan untuk menuju dan bersatu dengan Allah. lxxvii lxxviii