perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 5 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1.
Penyakit Alergi
a.
Definisi
Menurut nomenklatur World Allergy Organization
(WAO) tahun 2003, terminologi hipersensitivitas dipakai
untuk menjelaskan gejala dan tanda klinis yang diinisiasi oleh
pajanan terhadap stimulus tertentu dengan dosis yang dapat
ditoleransi oleh individu normal dan secara objektif dapat
diulang kembali (objectively reproducible symptoms and
signs). Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi
oleh mekanisme imunologis spesifik yang diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE) (Akib, 2010).
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip
HH Gell tahun 1963 dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III
dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi
cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera
sesudah imun terpajan alergen (Baratawidjaja et al., 2010).
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Patofisiologi
Patogenesis penyakit alergi pada anak pada dasarnya
meliputi imunopatologi, genetik dan lingkungan. Dari aspek
imunopatologi, komponen yang berperan antara lain limfosit
(limfosit B dan limfosit T), IgE, eosinofil, basofil, sel mast dan
sel langerhans (Budiastuti, 2005).
Pada reaksi Tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh
menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut :
1)
Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor
spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast/basofil
2)
Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara
pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel
mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang
antara antigen dan IgE
3)
Fase Efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks
(anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator
yang
dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja et al., 2010).
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Reaksi alergi pada individu atopi terjadi setelah
serangkaian sensitisasi alergen yang secara berangsur akan
meningkatkan kepekaan terhadap rangsang alergen (Akib,
2010). Pada paparan awal, alergen akan dikenali oleh sel
penyaji antigen (APC) untuk selanjutnya mengekspresikan
pada sel limfosit T secara langsung atau melalui sitokin. Pada
fase akut sel T helper (Th2) memproduksi antibodi switching
pembentukan imunoglobulin E (IgE) dan ekspresi molekul
adhesi endotel sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe
cepat. Sel limfosit T tersensitisasi akan merangsang sel
limfosit B menghasilkan antibodi dari berbagai kelas. Alergen
yang utuh diserap oleh usus dan mencapai sel pembentuk
antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus (plak
Peyer) dan akan membentuk immunoglobulin tipe IgG, IgM,
IgA dan IgE. Pada anak atopi, IgE dibentuk secara berlebihan
dan akan menempel pada reseptornya di sel mast, basofil dan
sel eosinofil yang terdapat sepanjang saluran cerna, kulit dan
saluran napas (Siregar, 2010).
Paparan
berulang
mengakibatkan
reaksi
oleh
silang
alergen
terhadap
spesifik
sel
mast
akan
yang
mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast
akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan
gejala klinis sesuai target organ tersebut (Wistiani et al., 2011).
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa mediator
dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE
spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah
ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator
yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).
1)
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin,
Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic (ECF-A)
dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF)
2)
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil
metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit,
serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat
terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase
yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan
sebagai
mediator
bagi
berbagai
proses
inflamasi. Produk siklooksigenase yaitu prostaglandin
(PGD2, PGE2, PGF2) serta Tromboksan A2. Leukotrien
merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4
adalah zat yang membentuk Slow Reacting Substance of
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan
LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan
SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua
SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang
tersensitisasi (Munasir et al, 2010).
Mediator yang sudah ada dalam sel mast akan
menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe I yang cepat dalam
hitungan menit sampai 2 jam setelah memakan alergen. Terjadi
kontraksi otot polos dan produksi mukus yang berlebihan
setelah kontak dengan alergen makanan sedangkan mediator
yang dilepaskan kemudian akan memberikan gejala lebih
lambat 4 sampai 8 jam setelah paparan alergen pertama yang
diperankan oleh mediator yang dihasilkan kemudian yang
ditandai dengan sel inflamasi seperti sel eosinofil sel limfosit T
(Siregar, 2010). Arshad dalam Budiastuti (2005) mengatakan
bahwa reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir semua
jaringan atau organ dalam tubuh, dengan manifestasi klinis
tergantung organ target. Manifestasi klinis umum alergi
termasuk asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan urtikariaangioedema.
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, peran faktor
keturunan sangat berperan (atopi pada orangtua dan saudara
kandung) (Siregar, 2010). Terminologi atopi dipakai untuk
menjelaskan tendensi seseorang atau keluarga, biasanya pada
masa anak atau remaja, yang tersensitisasi dan memproduksi
IgE sebagai respons pajanan biasa terhadap alergen (in
response to ordinary exposure to allergens) sehingga sebagai
konsekuensinya
dapat
timbul
gejala
khas
asma,
rinokunjungtivitis atau eksim (Akib, 2010).
2.
Jenis-Jenis Penyakit Alergi pada Anak
a.
Dermatitis Atopi
Dermatitis Atopi (DA) adalah penyakit kulit yang paling
sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi
inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor herediter dan
lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala
eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang
hebat (Santosa, 2010).
Dermatitis Atopi (DA) merupakan dermatitis kronik
residif yang dimulai pada usia bayi, yaitu sekitar 2 bulan serta
hilang timbul sampai usia 2 tahun. Banyak faktor yang
berperan sebagai penyebab DA : alergen makanan, alergen
hirup, bahan iritan, infeksi oleh kuman Staphylococcus aureus
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan Malassezia furfur (Siregar, 2010). Penyakit ini dinamakan
dermatitis
atopi
oleh
karena
kebanyakan
penderitanya
memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan
mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau
keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic
march (Santosa, 2010). Akib (2010) memaparkan bahwa bila
ditilik lebih jauh, hanya 80% penderita DA dengan hiper IgE
sedangkan 20% lainnya normal sehingga timbul pendapat
bahwa hiperIgE hanyalah epifenomenon DA dan bukan faktor
patogenik yang penting.
Wutrich dan Grendelmeier serta Soeberyo dalam Rambu
(2011) memaparkan bahwa Dermatitis Atopi dibagi menjadi 2
tipe : 1) bentuk murni tidak disertai keterlibatan saluran napas,
dan 2) bentuk campuran disertai gejala pada saluran napas.
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu : a) tipe intrinsik : tidak
terdapat peningkatan IgE total serum, dan b) tipe ekstrinsik :
terdapat peningkatan IgE total serum, peningkatan profil
sitokin yaitu IL-4 dan IL-13, adanya sensititasi terhadap
alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit.
Tanda dan gejala penting pada DA adalah gatal,
perjalanan penyakit kronik, serta morfologi dan distribusi lesi
yang spesifik berdasarkan usia (Sugito, 2012). Siregar (2010)
mengklasifikasikan dermatitis atopi menjadi tiga, yaitu
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dermatitis atopi fase infantil (usia 2 bulan-2 tahun), dermatitis
atopi fase anak (usia 3-10 tahun) dan dermatitis atopi fase
remaja dan dewasa (usia >13 tahun).
Pada dermatitis atopi fase infantil awitan DA terjadi pada
usia 2 bulan. Tempat predileksi dimulai dari kedua pipi,
kemudian menyebar ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, tungkai bagian volar. Bila anak sudah
dapat merangkak dan berjalan, lesi akan tampak pada kedua
lutut dan siku. Gambaran kulit pada masa akut berupa eritema,
papulovesikuler,
eksudasi,
erosi,
ekskoriasi
dan
bisa
mengalami infeksi sekunder. Pada fase ini alergen makanan
sering berperan seperti susu sapi, telur, soya, tomat, dan
gandum. Fase ini dapat sembuh atau berlanjut ke fase anak
atau fase remaja (Siregar, 2010).
Seringkali dermatitis atopi fase anak merupakan lanjutan
dari bentuk infantil, walaupun di antaranya terdapat suatu
periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering
(xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah
fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
Dermatitis atopi dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun.
Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan
bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi (Santosa,
2010).
Hanifin dan Lobitz dalam Santosa (2010) menyusun
petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar untuk
menegakkan
diagnosis
DA.
menegakkan
diagnosis
DA
Kriteria
minimal
meliputi
pruritus
untuk
dan
kecenderungan dermatitis untuk menjadi kronik atau kronik
residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas.
Bohme, Leung serta Zulkarnain dalam Rambu (2011)
memaparkan bahwa menurut Hanifin dan Rajka gambaran
diagnostik DA harus terdapat 3 atau lebih kriteria mayor :
pruritus, morfologi dan regio yang khas (likenifikasi fleksural
pada orang dewasa, lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi
dan anak), perlangsungan bersifat kronik dan residif, riwayat
atopi (asma, rinitis alergi atau DA) pada diri-sendiri atau
keluarga.
Kriteria
minor
3
atau
lebih
:
xerosis
iktiosis/hiperkeratosis palmaris/keratosis pilaris, reaktivitas uji
kulit tipe cepat, peningkatan IgE serum, dermatitis di daerah
palmo-plantar,
khelitis,
dermatitis
di
daerah
kepala,
kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan
herpes simplek, papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi
hiperpigmentasi, pitiriasis Alba, dermatitis di puting susu,
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
white dermographism, katarak dan keratokonus, Garis Dennie
Morgan, kemerahan atau kepucatan di wajah, serta perjalanan
penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.
Reitamo
dan
Zulkarnain
dalam
Rambu
(2011)
mengatakan kriteria William dalam diagnosis DA, harus ada :
gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak). Ditambah 3 atau
lebih : onset di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak
usia di bawah 4 tahun), riwayat keterlibatan kulit (termasuk
pipi pada anak di bawah 10 tahun), riwayat kekeringan kulit,
riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita (atau riwayat
menderita atopi pada keluarga, pada anak di bawah 4 tahun),
dermatitis flexura yang nyata (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan bagian luar ekstremitas pada anak di bawah 4 tahun).
Berbagai macam pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis Dermatitis Atopi
adalah :
1)
Uji Kulit : sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya
dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah,
bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan). Macam-macam tes
kulit yaitu tes tempel (patch test), tes gores (scratch tes),
tes intrakutan serta tes tusuk (prick tes) (Rambu, 2011).
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2)
Darah Tepi
Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas
normal, baik pada asma, rinitis alergi, maupun pada DA.
Walaupun demikian pada beberapa penderita DA berat,
dapat
disertai
menurunnya
jumlah
sel
T
dan
meningkatnya sel B. Kadar eosinofil pada penderita DA
sering meningkat. Peningkatan ini seiring dengan
meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya
penyakit (Santosa, 2010). Ardiana dalam Rambu (2011)
memaparkan bila eosinofil 5% atau 500/ml condong
pada alergi.
3)
Bakteriologi
Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri
patogen, seperti Staphylococcus aureus, walaupun tanpa
gejala klinis infeksi (Santosa, 2010).
4)
IgE total dan spesifik
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE
tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih
tinggi dibandingkan rinitis alergi (Sudewi et al., 2009).
Pemeriksaan
IgE
spesifik
menggunakan
Radioallergosorbent test (RAST) lebih praktis daripada
test tusuk kulit. Ketika seseorang mempunyai riwayat
alergi makanan dan pemeriksaan IgE untuk makanan
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut positif, maka tindakan pertama yang perlu
dilakukan adalah menghindari makanan tersebut. Seperti
dipaparkan Sicherer, Leung D, Friedmann, Ardern-Jones
dan Holden dalam Rambu (2011).
b.
Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah suatu kelainan gejala hidung yang
diinduksi oleh paparan alergen sehingga terjadi inflamasi
membran nasalis yang diperantarai IgE (Nahrawi, 2008).
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, di
antaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat,
polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta
bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa
iritan non-spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak
sering disebabkan oleh makanan alergen ingestan, sedangkan
alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia
(Munasir et al., 2010).
Manifestasi klinis rinitis alergi baru ditemukan pada anak
berusia 4-5 tahun dan insidennya akan meningkat secara
progresif dan akan mencapai 10-15% pada usia dewasa.
Manifestasi gejala klinis rinitis alergi yang khas ditemukan
pada orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
alergi dapat berupa rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis
media dan tonsilitis (Munasir et al., 2010).
Karakteristik klinis rinitis alergi adalah bersin, hidung
tersumbat, beringus dan gatal di hidung (Nahrawi, 2008).
Sekret hidung dapat berupa post nasal drip yang ditelan.
Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau
bergantian. Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada
malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokan
kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala kelelahan pada
siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan
penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis (Munasir et
al., 2010).
Anak yang menderita rinitis alergi yang kronik dapat
mempunyai bentuk wajah yang khas. Sering didapatkan warna
gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags) di bawah
mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada
anak, sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut adenoid
face. Keadaan ini memudahkan timbulnya gejala lengkung
palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang
sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan
tanda yang disebut allergic sallute (Munasir et al., 2010).
Klasifikasi rinitis alergi mengalami beberapa perubahan.
Dahulu dikenal 2 pembagian, yaitu seasonal dan perennial.
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seasonal adalah gejala rinitis timbul hanya pada waktu tertentu
dan biasanya dihubungkan dengan adanya faktor pencetus
polen (serbuk sari), sedangkan perennial dimaksudkan sebagai
serangan yang terjadi sepanjang waktu (tahunan) (Supriyatno,
2008).
Saat ini Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) mengubah klasifikasi tersebut menjadi tipe intemiten
dan persisten. Dikatakan intermiten apabila gejala timbul
kurang dari 4 hari seminggu atau lamanya gejala kurang dari 4
minggu. Sedangkan dikatakan persisten apabila gejala lebih
dari 4 hari per minggu dan lamanya lebih dari 4 minggu
(Supriyatno, 2008).
Selain klasifikasi di atas, ARIA juga mengklasifikasikan
berdasarkan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergi dibagi
menjadi rinitis alergi ringan (mild) dan rinitis alergi sedang
berat (moderate-severe). Pada rinitis alergi ringan, pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah,
bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan
tidak ada gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergi
sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat berjalan
dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat
(Munasir et al., 2010).
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Diagnosis rinitis alergi pada anak terdapat tanda
karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic crease,
Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face, namun
demikian tidak satu pun yang patognomonik. Pada rinitis
alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat
kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada
pasien yang sedang dalam serangan (Munasir et al., 2010).
Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak
tetapi tes kulit kurang bermakna pada anak berusia di bawah 3
tahun. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena
pemeriksaan ini tidak menyenangkan. Pemeriksaan in vitro
(RAST, ELISA) untuk alergen spesifik hasilnya kurang sensitif
dibandingkan dengan tes kulit dan lebih mahal. Adapun kadar
IgE total serum pada bayi adalah 0 - 1 IU/ml yang meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia dan menetap setelah usia 2030 tahun (100 - 150 IU/ml), kemudian menurun sesuai dengan
bertambahnya usia (Munasir et al., 2010). Keberadaan
eosinofil pada reaksi alergi merupakan hal yang paling
konsisten pada mukosa hidung dan eosinofil berperan sentral
dalam reaksi alergi (Sugiarto et al., 2006). Pemeriksaan sekret
hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang
meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel
neutrofil segmen akan lebih dominan (Munasir et al., 2010).
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rinitis alergi yang tidak diobati selain menggangu
kesehatan fisik dan psikososial, kualitas hidup dan kapasitas
kerja dan belajar, juga berperan terhadap timbulnya sekuele
yang berpotensi menjadi penyakit serius, seperti asma,
sinusitis, dan otitis media (Simbolon, 2006). Sumadiono dalam
Budiastuti (2005) mengatakan bahwa rinitis alergi dapat
mempengaruhi kualitas hidup dan gangguan proses tumbuh
kembang anak karena dapat menimbulkan gangguan proses
tidur, nyeri kepala, kelemahan, terbatasnya aktivitas, gangguan
proses pemberian nutrisi (terutama pada bayi), gangguan
konsentrasi, kesulitan berinteraksi dan perasaan rendah diri.
c.
Asma Bronkial
Definisi menurut Global Initiative for Asthma (GINA),
asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas
dengan berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, dada
terasa tertekan, dan batuk khususnya malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang
luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan (Irsa et al., 2007).
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, lepasnya epitel
bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik
menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik. Penyimpangan tersebut
dikenal dengan istilah remodeling, merupakan serangkaian
proses penyebab deposisi jaringan penyambung dan mengubah
struktur saluran respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur sel (Matondang et al.,
2009).
Pada beberapa kasus asma yang dialami anak-anak,
teridentifikasi bermacam-macam faktor pemicu, dan pola
reaktivitas dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia.
Pengobatan juga dapat mengubah pola reaktivitas. Beberapa
infeksi virus, seperti Respiratory Synctial Virus (RSV)
bronkiolitis pada anak-anak, menjadi predisposisi anak terkena
asma. Pada beberapa kasus, fungi (allergic bronchopulmonary
aspergillosis), bakteri (mycoplasma, pertussis) atau parasit
dapat menjadi penyebab asma. Alergen lain dapat berupa
makanan, inhalan indoor atau inhalan outdoor musiman. Asap
rokok, udara dingin, bahan kimia, bau cat, hair spray, polusi
udara, dan ozon dapat memicu reaksi inflamasi. Serangan asma
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga berhubungan dengan perubahan suhu, perubahan tekanan,
dan kualitas udara (kelembaban, alergen serta kadar iritan).
Pada beberapa individu, faktor emosional dapat menginduksi
terjadinya asma (Sharma, 2013).
Pada anamnesis penderita asma perlu diperhatikan
riwayat keluarga berupa atopi atau asma terutama pada orang
tua. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya mengi,
sesak napas, maupun sianosis tergantung pada derajat
serangannya. Batuk dan atau mengi pada asma mempunyai
karakteristik yaitu bersifat episodik (berulang), biasanya
timbul terutama pada malam hari (nokturnal), berhubungan
dengan musim, aktivitas, dan adanya faktor pencetus tertentu.
Pemeriksaan fisik lain yang dapat terlihat adalah adanya dada
yang
cembung
pada
keadaaan
asma
yang
persisten
(Supriyatno, 2012).
Castro-Rodriguez
et al
dalam Supriyatno
(2012)
memaparkan bahwa untuk mendiagnosis asma apabila
ditemukan mengi berulang ditambah dengan Indeks Prediksi
Asma (IPA) yaitu adanya kriteria mayor dan atau kriteria
minor. Kriteria mayor adalah riwayat asma pada orangtua dan
dermatitis
atopi,
sedangkan
kriteria
minor
adalah
hipereosinofilia (eosinofil darah tepi ≥4%), rinitis alergika, dan
tetap ada mengi di luar flu (selesma). Peneliti lain
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menambahkan, perlu dipertimbangkan peran uji alergi skin
prick test terhadap alergen inhalan maupun alergen ingesti
sehingga ditambahkan alergen inhalan positif ke dalam kriteria
mayor sedangkan alergen ingestif positif merupakan kriteria
minor. Diagnosis asma ditegakkan bila dijumpai 2 kriteria
mayor atau 1 mayor dan 2 minor.
Derajat penyakit asma dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.
Sedangkan derajat serangan asma dibagi menjadi serangan
ringan, serangan sedang, dan serangan berat. Derajat serangan
asma tidak tergantung pada derajat penyakitnya demikian pula
sebaliknya, misalnya seorang anak dengan asma episodik
jarang bisa mengalami serangan asma yang berat. Terdapat
perbedaan klasifikasi antara Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) dengan GINA, yang mengklasifikasikan asma
menjadi 4 kelompok yaitu asma intermiten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat. Kedua klasifikasi
tersebut dapat disetarakan sebagai berikut : asma episodik
jarang disetarakan dengan asma intermiten, asma episodik
sering setara dengan gabungan asma persisten ringan dan
sedang, sedangkan asma persisten setara dengan asma
persisten berat. Untuk pembagian derajat serangan asma, tidak
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada perbedaan antara PNAA dan GINA yaitu asma serangan
ringan, sedang, dan berat (Supriyatno, 2012).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
penderita asma antara lain spirometer untuk menegakkan
diagnosis serta menilai beratnya obstruksi dan pengobatan.
Peak flow meter untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. X-ray dada/thorax untuk menyingkirkan penyakit
yang tidak disebabkan asma. Pemeriksaan IgE dengan uji
tusuk kulit atau RAST bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(Rengganis, 2008).
d.
Urtikaria-Angiodema
Urtikaria adalah reaksi
vaskular di
kulit akibat
bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit,
sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif biasanya
gatal, rasa tersengat atau tertusuk (Siregar, 2010). Ukurannya
bervariasi, mulai dari sebesar ujung jarum sampai berdiameter
beberapa sentimeter. Dapat terjadi penyembuhan di bagian
tengah (central clearing), perluasan ke perifer, atau bersatunya
beberapa lesi (koalesen) sehingga lesi dapat berbentuk oval,
anular atau kadang serpiginosa (Sugito, 2012).
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronis atau
berulang (Matondang et al., 2010). Bila urtikaria berlangsung
kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut. Pada 80% anak,
urtikaria akut disebabkan infeksi (seringkali viral), sedangkan
pada pubertas lebih sering disebabkan makanan dan obat.
Untuk urtikaria yang sering kambuh dan berlangsung lebih dari
6 minggu disebut urtikaria kronik, lebih sering pada dewasa,
dapat berlangsung terus-menerus atau hampir setiap hari
(chronic continuous urticaria) atau diselingi masa bebas lesi
sampai beberapa minggu (chronic reccurent/intermittent
urticaria) (Sugito, 2012). Sedangkan menurut von Krogh dan
Malbach dalam Siregar (2010), urtikaria kontak berupa
timbulnya wheal terjadi setelah kulit diaplikasikan bahan
tertentu, contohnya bahan kimia seperti asam sinamik, asam
benzoik, dan paraben; atau sesuatu bahan yang terdapat pada
arthropod, tanaman, bumbu, buah atau ikan. Urtikaria kontak
dapan disebabkan mekanisme imun dan non-imun.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema,
quinckes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan
urtikaria tetapi pada angioedema meliputi jaringan subkutan
yang lebih dalam, tidak disertai dengann rasa gatal, namun
biasanya disertai rasa nyeri dan terbakar (Matondang et al.,
2010). Urtikaria biasanya besar (giant wheals) disertai edema
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada kelopak mata, tangan, kaki, genitalia, bibir, saluran napas,
dan saluran cerna. Sebagian besar angioedema idiopatik, tetapi
dapat pula disebabkan obat, alergen, atau bahan fisik (Sugito,
2012). Angioedema dapat timbul bersama urtikaria atau berdiri
sendiri. Pada 50% pasien angioedema timbul pula urtikaria,
sedangkan pada 10% bayi dan anak dengan urtikaria juga
terdapat angioedema. Angioedema dapat merupakan bagian
dari reaksi anafilaktik (Kurniati, 2010).
e.
Alergi Makanan
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang
mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan
oleh alergi terhadap bahan makanan (Harsono, 2010). Bila
anak mempunyai alergi terhadap bahan makanan utama yang
sangat diperlukan pada proses tumbuh kembangnya, maka
keadaan ini akan merugikan tumbuh kembangnya di kemudian
hari (Munasir, 2008).
The American Academy of Allergy and Immunology dan
The National Institute of Allergy and Infections Disease dalam
Munasir (2008) membagi berbagai definisi yang berkaitan
dengan alergi makanan, karena tidak semua reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan melalui mekanisme alergi yang
murni, yaitu : Reaksi Simpang Makanan (Adverse food
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
reaction) adalah istilah umum untuk suatu reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan yang ditelan, reaksi ini dapat
merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau
intoleransi makanan. Alergi makanan (Food Allergy) adalah
suatu hasil reaksi imunologik yang menyimpang, sebagian
besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (Gell &
Coombs) yang diperankan IgE. Intoleransi makanan adalah
semua respons fisiologis yang abnormal terhadap makanan/zat
aditif makanan yang ditelan.
Gejala alergi makanan dapat terjadi pada berbagai organ
sasaran seperti kulit (dapat menimbulkan urtikaria atau
dermatitis atopi), saluran napas (manifestasi klinik dapat
berupa rinitis, asma bronkial, atau batuk kronik berulang),
saluran cerna (gejala klinis dapat berupa gatal pada bibir,
mulut, faring; sembab tenggorokan, mual-muntah, nyeri perut,
kembung,
mencret,
perdarahan
usus,
protein-losing
enteropathy), mata dan telinga (Harsono, 2010).
Beberapa jenis makanan yang dapat menimbulkan reaksi
alergi pada anak antara lain susu sapi/kambing, telur, kacangkacangan, ikan laut, kedelai, serta gandum. Beberapa makanan
digolongkan
sebagai
makanan
yang
relatif
jarang
menimbulkan reaksi alergi, seperti daging ayam, daging babi,
daging sapi, kentang coklat, jagung, serta bahan aditif sintesis
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
makanan. Beberapa buah-buahan juga sering dilaporkan
menimbulkan reaksi alergi seperti jeruk (menimbulkan gatal
serta kemerahan pada kulit bayi), tomat dan apel. Selain
golongan makanan yang telah disebutkan di atas, beberapa
jenis bahan yang ditambahkan pada makanan juga dapat
menimbulkan reaksi alergi sehingga sering salah duga dengan
bahan makanan aslinya (Munasir, 2008).
f.
Alergi Susu Sapi
Alergi Susu Sapi adalah suatu penyakit yang berdasarkan
reaksi imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu
sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi itu
dapat terjadi segera atau lambat (Munasir dan Siregar, 2010).
Susu sapi adalah bahan dasar susu formula yang
mengandung protein kasein, â-laktoglobulin dan a-laktalbumin
dan pada sebagian orang merupakan protein asing yang dapat
menimbulkan alergi. Protein susu sapi adalah protein asing
yang pertama diberikan kepada seorang bayi, sehingga alergi
susu sapi sering merupakan penyakit alergi pertama pada
seorang bayi (Munasir et al., 2007).
Munasir dan Siregar (2010) memaparkan beberapa gejala
klinis alergi susu sapi yaitu pada kulit menyebabkan urtikaria,
kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik. Pada saluran
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
napas bermanifestasi hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang
dan asma. Sedangkan pada saluran cerna terdapat gejala
muntah, kolik, konstipasi, diare dan buang air besar berdarah.
3.
Allergic March atau Atopic March
Quillen et al dalam Pramita (2011) memaparkan bahwa atopic
march atau allergic march adalah perjalanan alamiah penyakit
alergi yang mengikuti suatu kurva, dimana dermatitis atopi dan
alergi makanan sering menjadi manifestasi klinis pertama penyakit
atopi pada usia 6 bulan/tahun pertama dan dermatitis atopi ini akan
menjadi asma atau rinitis alergi di kemudian hari.
Konsep atopic march dikembangkan untuk menjelaskan
perkembangan penyakit atopi dari Dermatitis Atopi (DA) pada bayi
menjadi rinitis alergi dan asma pada anak-anak (Zheng et al.,
2011). Hampir 80% pasien DA anak berkembang menjadi asma
atau rinitis alergi yang mendukung hubungan sistemik antara DA
dengan alergi saluran napas. Walaupun mekanismenya belum jelas,
hubungan antara DA dan alergi saluran napas diduga terkait dengan
sensitisasi alergen, ekspresi kemokin jaringan, dan ekspresi
reseptor homing pada sel T efektor memori (Akib, 2010).
Atopi dianggap merupakan faktor penting korelasi antara DA,
rinitis alergi dan asma. Perkembangan penyakit atopi mempunyai
perjalanan yang kompleks, dan pola yang telah dijelaskan dalam
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atopic march mungkin bukan perkembangan yang sederhana,
perkembangan penyakit tersebut dipengaruhi oleh genetik dan
lingkungan (Zheng et al., 2011).
4.
Faktor Risiko Alergi
a.
Riwayat penyakit alergi keluarga
Suatu studi epidemiologi keluarga
yang meneliti
kejadian alergi, menyatakan bahwa faktor genetik berpengaruh
pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai
penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila
kedua orang tua mempunyai alergi, maka risiko pada anak
adalah 50 - 70%. Seperti dipaparkan Notoatmojo dalam
Pramita (2011).
Berbagai regio kromosom terkait dengan atopi dan asma,
terutama dengan lokus pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13 dan 16.
Berbagai lokus genetik mempunyai asosiasi dengan penyakit
alergi, antara lain lokus yang berhubungan dengan asma dan
dermatitis atopi yaitu 5q31-33, 11q13, dan 13q12-14.
Kromosom 5q31-36 yang mengandung clustered family gen
sitokin
IL-3,
IL-4,
IL-5,
IL-13, dan GM-CSF yang
diekspresikan oleh sel Th2 menunjukkan peran penting faktor
genetik pada penyakit alergi (Akib, 2010).
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Asupan makanan
Golongan makanan yang paling sering menimbulkan
alergi yaitu susu sapi, susu kambing, telur, kacang-kacangan,
ikan laut, kacang kedelai serta gandum (Siregar, 2005).
Selain jenis makanan yang disebutkan di atas, Rengganis
(2008) menyebutkan bahwa udang, kepiting, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet serta pewarna makanan
merupakan alergen makanan bagi penderita asma bronkial.
c.
Aeroallergen
Alergen inhalan/hirup sangat berperan terhadap kejadian
asma karena berhubungan erat dengan saluran respiratorik.
Sensitisasi awal alergen inhalan pada awal kehidupan
(terutama
terjadi
bersamaan
dengan
infeksi
saluran
respiratorik) dapat meningkatkan kejadian asma di kemudian
hari. Beberapa alergen inhalan yang ditengarai berperan adalah
tungau debu rumah, “bulu” binatang, kecoa, dan jamur
(Supriyatno, 2012).
Sponk dalam Pramita (2011) mengemukakan bahwa
paparan tungau debu rumah, pada anak usia 2 tahun akan
meningkatkan risiko kekambuhan asma pada anak usia 11
tahun. Tungau debu rumah dapat meningkatkan permeabilitas
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mukosa bronkial sehingga memfasilitasi allergen lain untuk
memasuki epithelium dan mensensitisasi sistem imun.
d.
Polutan
Sebuah studi epidemiolodi menunjukkan bahwa polutan
baik di dalam maupun luar ruangan mempengaruhi gangguan
saluran napas, termasuk peningkatan penyakit asma dan alergi
(Maio et al, 2011). Weiland et al dalam Pramita (2011)
memaparkan bahwa yang paling berperan adalah asap rokok,
baik perokok aktif maupun pasif.
Polusi udara secara langsung dapat menyebabkan
inflamasi pada hidung yang ditandai dengan hidung tersumbat
dan meningkatnya produksi mukus, sedangkan efek tidak
langsung adalah meningkatkan produksi Th2. Bahan iritan
saluran napas seperti sulfur dioksia, nitrogen dioksida dan
partikel
hasil
pembakaran
mesin
diesel
menyebabkan
peningkatan IgE dengan berbagai mekanisme dan inflamasi
lokal pada saluran pernapasan, sehingga terjadi peningkatan
kontak antara jaringan dengan alergen sehingga timbul respon
imun. Seperti dipaparkan Weiland et al dalam Pramita (2011).
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
e.
digilib.uns.ac.id
Penyakit infeksi
Rahmawati et al dalam Pramita (2011) mengatakan
bahwa infeksi virus diduga mempermudah timbulnya alergi,
hubungan ini terlihat pada kejadian infeksi RSV di masa bayi
dengan timbulnya asma pada kehidupan berikutnya. Infeksi
RSV akan menyebabkan kerusakan epitel saluran nafas yang
mempermudah absorbsi aeroalergen dan pembentukan IgE
spesifik RSV yang menyebabkan degranulasi sel mast dan
menyebabkan spasme bronkus.
f.
Keadaan sosial ekonomi
Chmara et al (2008) memaparkan bahwa kejadian alergi
pada anak lebih sering terjadi dan tergantung pada kondisi
ekonomi orangtua anak yang sangat baik. Prevalensi asma dan
alergi di Turki meningkat secara signifikan pada anak dengan
riwayat keluarga alergi, tinggal di kota besar, mempunyai
kelebihan kamar di dalam rumah dan sosial ekonomi yang
baik.
Namun hal yang berbeda dipaparkan Wright et al (2011),
bahwa asma dan penyakit atopi lainnya mungkin lebih
terkonsentrasi pada masyarakat dengan status sosial ekonomi
rendah, karena masyarakat tersebut mengalami dampak dari
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
faktor-faktor lingkungan yang tidak sehat baik dari segi sosial,
fisik dan psikologi.
g.
Keadaan psikologi
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan
asma yang sudah ada (Rengganis, 2008).
h.
ASI Eksklusif
McGeady dalam Pramita (2011) mengatakan bahwa
pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 4 bulan atau
lebih dapat menurunkan IgE total pada anak usia 6 tahun dan
11 tahun. Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan
angka kejadian alergi (Harsono, 2010).
i.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin berpengaruh terhadap perkembangan asma
pada waktu tertentu. Sampai usia 13 - 14 tahun, insidensi dan
prevalensi asma lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan (Subbarao et al, 2009). Hal yang sama
juga didapatkan dari sebuah penelitian mengenai penyakit
atopi, dimana penyakit atopi lebih banyak terjadi pada anak
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laki-laki sebelum usia 13 tahun (Sears et al dalam Subbarao et
al., 2009)
j.
Pendidikan orang tua
Kejadian alergi pada anak juga tergantung pada tingkat
pendidikan orangtuanya. Tingkat pendidikan ibu, tingkat
pendidikan ayah serta status sosial ekonomi saling berkorelasi
sebagai faktor risiko alergi (Chmara et al., 2008).
k.
Riwayat kelahiran
Penyakit atopi terjadi 2 sampai 3 kali lebih banyak pada
anak yang dilahirkan dengan proses sectio caesaria yang
bersifat gawat darurat (Macaubas et al., Nafstad et al., AnnesiMesano et al., Lewis et al., Stick et al dalam Subbarao et al,
2009). Walaupun tidak didapatkan hubungan antara penyakit
atopi dengan prosedur sectio caesaria elektif (Macaubas et al.,
Nafstad et al., Annesi-Maesano et al., Stick et al., Kero et al.,
Xu et al., Bager et al dalam Subbarao et al., 2009).
Hal ini mungkin dipengaruhi keadaan psikologi ibu dan
perbedaan mikroflora pada usus bayi yang berbeda-beda
tergantung proses kelahirannya (Subbarao et al., 2009).
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
ASI Eksklusif
a.
Definisi
Pemberian ASI Eksklusif yaitu bayi hanya diberikan ASI
saja mulai dari lahir tanpa tambahan cairan lain dan tanpa
tambahan makanan padat sampai berusia 6 bulan (Roesli,
2005).
b.
Kandungan gizi
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi, ASI
menyediakan semua energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh
bayi untuk bulan-bulan pertama kehidupan. ASI terus
menyediakan hingga setengah atau lebih dari kebutuhan gizi
anak pada paruh kedua dari tahun pertama bayi, dan sampai
sepertiga selama tahun kedua kehidupan (WHO, 2012).
Kandungan gizi pada ASI antara lain karbohidrat, protein,
lemak, mineral, vitamin serta kalori (Roesli, 2001).
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula). Laktosa
ASI 20% - 30% lebih banyak dari susu sapi (Roesli, 2001).
ASI mengandung protein yang tinggi dengan dua macam
protein utama, yaitu “whey” dan “kasein”. Whey adalah protein
halus, lembut serta mudah dicerna. Kasein adalah protein yang
kasar, bergumpal, dan sukar dicerna oleh usus bayi. ASI
memiliki perbandingan whey dan kasein yang sesuai untuk
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bayi. ASI mengandung bahan larut yang rendah. Bahan larut
tersebut terdiri atas 3,8% lemak; 0,9% protein; 7% laktosa; dan
0,2% bahan-bahan lain (Riksani, 2012).
ASI mengandung jumlah lemak sehat yang tepat secara
proporsional. Lemak ASI mudah dicerna dan diserap. ASI
mengandung enzim lipase pencerna lemak, sehingga hanya
sedikit lemak ASI yang tidak diserap oleh usus bayi. Bentuk
lemak ASI yang utama adalah lemak rantai panjang antara lain
: asam linoleat (AA) dan asam linolenat (DHA) (Roesli, 2001).
ASI mengandung mineral yang lengkap. Garam organik
yang terdapat dalam ASI terutama adalah kalsium, kalium, dan
natrium dari asam klorida dan fosfat (Roesli, 2001).
c.
Kandungan imunologis ASI
1)
Imunoglobulin
Air susu ibu mengandung imunoglobulin M, A, D,
G, dan E, namun yang paling banyak adalah sIgA.
Imunoglobulin A (IgA) yang terdapat di dalam antibodi
maternal didapat dari sistem imun saluran cerna dan
pernafasan yang dibawa melalui sirkulasi darah dan
limfatik ke kelenjar payudara, akhirnya dikeluarkan
melalui ASI sebagai sIgA. Sekretori IgA pada ASI
merupakan sumber utama imunitas didapat secara pasif
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selama beberapa minggu, sebelum produksi endogen
sIgA, konsentrasi paling tinggi pada beberapa hari postpartum (Aldy et al., 2009).
2)
Laktoferin
Merupakan protein yang terikat dengan zat besi,
diproduksi oleh makrofag, neutrofil dan epitel kelenjar
payudara
bersifat
bakteriostatik
dan
bakterisid.
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan
dengan zat besi sehingga tidak tersedia untuk bakteri
patogen.
Laktoferin
juga
terbukti
menghambat
pertumbuhan kandida (Aldy et al., 2009).
3)
Lisozim
Suatu enzim yang diproduksi oleh makrofag,
neutrofil, dan epitel kelenjar payudara, dapat memecah
dinding sel bakteri Gram positif yang ada pada mukosa
usus dan menambah aktifitas bakterisid sIgA terhadap
E.coli dan beberapa Salmonella (Aldy et al., 2009).
4)
Komplemen
Komplemen C3 dapat diaktifkan oleh bakteri
melalui jalur alternatif sehingga terjadi lisis bakteri. Di
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
samping itu C3 aktif juga mempunyai sifat opsonisasi
sehingga
memudahkan
fagosit
mengeliminasi
mikroorganisme pada mukosa usus yang terikat dengan
C3 aktif (Matondang et al., 2010).
5)
Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-SCF)
Merupakan sitokin spesifik yang dapat menambah
pertahanan
anti
bakteri
melalui
efek
proliferasi,
diferensiasi dan ketahanan neutrofil (Aldy et al., 2009).
6)
Oligosakarida
Menghadang bakteri dengan cara bekerja sebagai
reseptor dan mengalihkan bakteri patogen atau toksin
mendekat ke faring dan usus bayi (Aldy et al., 2009).
7)
Musin
Melapisi membran lemak susu dan mempunyai
sifat antimikroba, dengan cara mengikat bakteri dan
virus serta mengeliminasi dari tubuh. Musin dapat
menghambat adhesi E.coli dan rotavirus (Aldy et al.,
2009).
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8)
Lipase
Membentuk asam lemak dan monogliserida yang
menginaktivasi organisme, sangat efektif terhadap
Giardia lamblia dan Entamoeba hystolitica (Aldy et al.,
2009).
9)
Interferon dan Fibronektin
Mempunyai aktivitas antiviral dan menambah sifat
lisis dari leukosit susu (Aldy et al., 2009).
10)
Protein pengikat Vitamin B12 dan Asam Folat
Bersifat antibakteri dengan menghalangi bakteri
seperti E.coli dan bacteroides untuk mengikat vitamin
bebas sebagai faktor pertumbuhan (Aldy et al., 2009).
11)
Probiotik
Bayi yang mendapat ASI mempunyai kandungan
Lactobacilli yang tinggi, terutama Lactobacillus bifidus
(Bifidobacterium bifidum). Glikan merupakan komponen
ASI yang menstimulasi pertumbuhan dan kolonisasi L.
bifidus. Kuman ini akan mengubah laktosa menjadi asam
laktat dan asam asetat, situasi asam dalam cairan usus
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan menghambat pertumbuhan E.coli (Aldy et al.,
2009).
12)
Sel darah putih
Leukosit (90% dari jumlah sel) di dalam ASI
terutama terdiri dari makrofag (90%). Sel makrofag ASI
merupakan sel fagosit aktif sehingga dapat menghambat
multiplikasi bakteri pada infeksi mukosa usus. Selain
sifat fagositik, sel makrofag juga memproduksi lisozim,
C3 dan C4, laktoferin, monokin seperti IL-1 serta enzim
lainnya. Limfosit (10% dari jumlah sel) 50% terdiri atas
limfosit T dan 34% limfosit B. Fungsi limfosit untuk
mensintesis antibodi IgA, memberikan respons terhadap
mitogen dengan cara berproliferasi, meningkatakan
interaksi makrofag – limfosit dan pelepasan mediator
(Aldy et al., 2009).
d.
Tahapan Pembentukan ASI
1)
Kolostrum
Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat
kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7. Kolostrum
mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin
pembunuh kuman dalam jumlah paling tinggi (Roesli,
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2005). Selain komposisi sel darah putih serta protein
tersebut,
kolostrum
mengandung
banyak
faktor
imunosupresif yang mencegah terjadinya stimulasi
berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang
besar (Sumadiono, 2010).
2)
Susu transisi
Susu transisi yaitu ASI yang keluar pada hari ke-3
sampai hari ke-10 setelah kelahiran. Susu permulaan atau
transisi lebih bening dan jumlahnya lebih banyak. Kadar
imunoglobulin dan proteinnya menurun, sedangkan
lemak dan laktosa meningkat (Riksani, 2012).
3)
Susu mature atau matang
Susu mature atau matang yaitu ASI yang keluar
setelah hari ke-10 pasca persalinan. Komposisinya stabil
dan tidak berubah (Riksani, 2012).
e.
Manfaat ASI Eksklusif
1)
Bagi Anak
a)
ASI sebagai nutrisi di mana ASI sebagai makanan
tunggal untuk memenuhi semua kebutuhan bayi
sampai usia 6 bulan.
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b)
ASI meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena
mengandung berbagai zat anti kekebalan sehingga
akan lebih jarang sakit. ASI juga mengurangi
terjadinya diare, sakit telinga, dan infeksi saluran
pernafasan serta serangan alergi.
c)
ASI Eksklusif meningkatkan kecerdasan karena
mengandung asam lemak yang diperlukan untuk
pertumbuhan otak sehingga bayi dengan ASI
Eksklusif potensial lebih pandai.
d)
ASI Eksklusif meningkatkan jalinan kasih sayang
sehingga
dapat
menunjang
perkembangan
kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan
spiritual, dan hubungan sosial yang baik (Roesli,
2005).
2)
Bagi Ibu
a)
Mengurangi perdarahan setelah melahirkan karena
pada ibu menyusui terjadi peningkatan kadar
oksitosin yang berguna juga untuk vasokonstriksi
atau
penutupan
pembuluh
perdarahan akan cepat berhenti.
commit to user
43
darah
sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b)
Menjarangkan
kehamilan
karena
menyusui
merupakan kontrasepsi yang aman, murah dan
cukup berhasil.
c)
Mengecilkan rahim karena kadar oksitosin ibu
menyusui yang meningkat membantu rahim ke
ukuran sebelum hamil (Roesli, 2005).
6.
Hubungan
Pemberian
ASI
Eksklusif
dengan
Kejadian
Penyakit Alergi pada Anak
American Academy of Pediatrics (2012) memaparkan bahwa
pemberian ASI Eksklusif dalam waktu tiga sampai empat bulan
berkorelasi kuat dengan penurunan kejadian asma, dermatitis atopi,
dan eksema sebesar 27% pada populasi dengan faktor risiko rendah
dan 42% pada bayi dengan riwayat keluarga yang positif alergi.
Misak (2011) memaparkan dalam studi kohort tentang pencegahan
dan insidensi asma terhadap alergi tungau debu rumah, yang
meneliti sampel sebanyak 3115 anak di Belanda, menunjukkan
bahwa anak yang diberi ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak
yang sama sekali tidak diberikan ASI mengalami penurunan
prevalensi asma yang signifikan saat berumur 3 sampai 8 tahun,
terlepas dari faktor ibu yang menderita asma. Tanaka et al (2010)
dalam sebuah penelitiannya yang melibatkan anak-anak di Jepang,
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif
≥ 4 bulan
berhubungan dengan penurunan prevalensi asma.
Efek
protektif
pemberian
ASI
Eksklusif
terhadap
perkembangan penyakit alergi terlihat lebih jelas pada anak-anak
dengan riwayat keluarga atopi (Tanaka et al., 2010). Pohlabeln et al
dalam Misak (2011) mengatakan bahwa munculnya gejala alergi
pada anak-anak berusia 2 tahun dengan riwayat keluarga atopi
lebih rendah pada anak yang mendapat ASI dibandingkan dengan
anak yang tidak mendapat ASI.
Durasi pemberian ASI Eksklusif juga berpengaruh terhadap
insidensi penyakit atopi pada anak-anak (Kristen, 2009). Pemberian
ASI Eksklusif ≤ 4 bulan, tampaknya tidak memiliki pengaruh
terhadap peningkatan atau penurunan kejadian alergi pada anak
dengan predisposisi genetik alergi pada ayah ataupun ibu. Seperti
dipaparkan Pohlabeln et al dalam Misak (2011).
Sebuah review multidisipliner oleh Van Odjik et al dalam
Kristen (2009) menyimpulkan bahwa pemberian ASI menurunkan
risiko asma dan efek protektifnya meningkat jika durasi
pemberiannya lebih lama.
Kull et al dan Larsson et al dalam
Kristen (2009) mengatakan bahwa terjadi penurunan kejadian
dermatitis atopi dan mengi pada anak berusia 2 tahun yang
diberikan ASI dalam waktu ± 4 bulan dibandingkan yang diberikan
ASI dalam waktu < 4 bulan. Pada bayi dengan risiko tinggi,
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemberian ASI Eksklusif dengan penundaan pemberian makanan
pendamping ASI (sampai berusia 6 bulan) dapat menunda atau
bahkan mencegah onset alergi makanan pada anak-anak.
Pemberian
ASI
memiliki
efek
protektif
terhadap
perkembangan alergi melalui beberapa mekanisme. Kolostrum
bertanggung jawab melindungi mukosa usus, hal ini mencegah
masuknya antigen dalam jumlah besar dan oleh karena itu
mencegah respons alergi. Kolostrum juga berperan mencegah
pengikatan bakteri patogen. Pemberian ASI menurunkan jumlah
protein asing pada saluran pencernaan bayi dan juga secara pasif
mentransfer IgA ibu ke bayi,
hal ini melindungi saluran
pencernaan bayi dari antigen. Proses transfer cell-mediated
immunity dari ibu ke bayi menstimulasi sintesis IgA pada bayi.
Selain itu, epidermal growth factor yang terdapat pada ASI
membantu proses pematangan (maturasi) mukosa usus dan
epitelium, hal ini memperkuat pertahanan mukosa melawan antigen
(Leung dan Sauve, 2005).
ASI seperti diketahui, mengandung prebiotik dan probiotik.
Prebiotik didefinisikan sebagai oligosakarida yang tidak dapat
dicerna, yang secara selektif menstimulasi pertumbuhan probiotik,
seperti
bifidobacteriae
dan
lactobacilli.
Probiotik
adalah
mikroorganisme hidup yang bila diberikan secara adekuat, dapat
memberikan manfaat bagi kesehatan host-nya. Probiotik dapat
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memodulasi toll-like receptors dan protein proteoglikan pada
enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-sel dendritik dan respon
Th1, respon tersebut menekan respon Th2, hal ini membuat Th2
kembali dalam keadaan seimbang dan kemudian mencegah
kejadian dermatitis atopik (Michail, 2009).
Meskipun ASI akan dapat mencegah asma dan atopi, atau
kedua-duanya, tetapi hal ini masih kontroversial (Matondang et al.,
2010).
Walaupun
pemberian
ASI
Eksklusif
sangat
direkomendasikan karena berbagai manfaatnya bagi kesehatan
anak, beberapa studi tidak menyetujui efek proteksi ASI terhadap
perkembangan penyakit alergi dan asma. Penurunan pada awal
kejadian mengi di anak-anak mungkin membuktikan efek proteksi
ASI terhadap infeksi virus, namun bukan terhadap asma dan alergi,
yang tetap dapat berkembang. Sedikit pula bukti kuat yang
mendukung efek protektif pemberian ASI terhadap asma dan
alergi, bahkan bila pemberiannya sudah secara eksklusif maupun
diperpanjang. Pemberian ASI Eksklusif tidak terlalu memberikan
efek protektif terhadap asma jika terdapat riwayat keluarga positif
alergi. Beberapa studi follow-up dalam jangka waktu panjang
bahkan mengasosiasikan pemberian ASI terhadap peningkatan
risiko penyakit atopi dan asma (Duncan dan Sears, 2008).
commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
ASI
Probiotik
IgA pada Kolostrum
Modulasi proteoglikan
pada enterosit
Menghambat
Penyerapan Allergen
Aktivasi sel dendritik
dan respon Th1
Aktivasi
Sel Th2
Antigen
Presenting Cells
(APC)
Paparan Awal
Allergen
(makanan, hirup)
Paparan Ulang oleh
Allergen yang sama
Berikatan dengan
Sel Mast
Aktivasi Sel B dan
Menghasilkan IgE
Ikatan IgE dengan
Sel Mast dan
Allergen
Aktivasi dan Degranulasi
Sel Mast
Mediator Inflamasi
Organ Target
Reaksi Alergi
Riwayat Penyakit Alergi Keluarga, Asupan Makanan, Aeroallergen,
Polutan, Penyakit Infeksi, Keadaan Sosial Ekonomi, Keadaan
Psikologi, Jenis Kelamin, Pendidikan Orangtua, Riwayat Kelahiran
- - - - - - : faktor risiko tidak diteliti
---------- : faktor risiko yang diteliti
Gambar 1. Kerangka
commit toPemikiran
user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Hipotesis
Pemberian ASI Eksklusif dapat menurunkan angka kejadian
penyakit alergi pada anak.
commit to user
49
Download