perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Alergi a. Definisi Menurut nomenklatur World Allergy Organization (WAO) tahun 2003, terminologi hipersensitivitas dipakai untuk menjelaskan gejala dan tanda klinis yang diinisiasi oleh pajanan terhadap stimulus tertentu dengan dosis yang dapat ditoleransi oleh individu normal dan secara objektif dapat diulang kembali (objectively reproducible symptoms and signs). Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imunologis spesifik yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) (Akib, 2010). Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell tahun 1963 dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah imun terpajan alergen (Baratawidjaja et al., 2010). commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id b. digilib.uns.ac.id Patofisiologi Patogenesis penyakit alergi pada anak pada dasarnya meliputi imunopatologi, genetik dan lingkungan. Dari aspek imunopatologi, komponen yang berperan antara lain limfosit (limfosit B dan limfosit T), IgE, eosinofil, basofil, sel mast dan sel langerhans (Budiastuti, 2005). Pada reaksi Tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut : 1) Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast/basofil 2) Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE 3) Fase Efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja et al., 2010). commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Reaksi alergi pada individu atopi terjadi setelah serangkaian sensitisasi alergen yang secara berangsur akan meningkatkan kepekaan terhadap rangsang alergen (Akib, 2010). Pada paparan awal, alergen akan dikenali oleh sel penyaji antigen (APC) untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel limfosit T secara langsung atau melalui sitokin. Pada fase akut sel T helper (Th2) memproduksi antibodi switching pembentukan imunoglobulin E (IgE) dan ekspresi molekul adhesi endotel sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Sel limfosit T tersensitisasi akan merangsang sel limfosit B menghasilkan antibodi dari berbagai kelas. Alergen yang utuh diserap oleh usus dan mencapai sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus (plak Peyer) dan akan membentuk immunoglobulin tipe IgG, IgM, IgA dan IgE. Pada anak atopi, IgE dibentuk secara berlebihan dan akan menempel pada reseptornya di sel mast, basofil dan sel eosinofil yang terdapat sepanjang saluran cerna, kulit dan saluran napas (Siregar, 2010). Paparan berulang mengakibatkan reaksi oleh silang alergen terhadap spesifik sel mast akan yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai target organ tersebut (Wistiani et al., 2011). Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). 1) Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic (ECF-A) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) 2) Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi. Produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta Tromboksan A2. Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk Slow Reacting Substance of commit to user 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi (Munasir et al, 2010). Mediator yang sudah ada dalam sel mast akan menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe I yang cepat dalam hitungan menit sampai 2 jam setelah memakan alergen. Terjadi kontraksi otot polos dan produksi mukus yang berlebihan setelah kontak dengan alergen makanan sedangkan mediator yang dilepaskan kemudian akan memberikan gejala lebih lambat 4 sampai 8 jam setelah paparan alergen pertama yang diperankan oleh mediator yang dihasilkan kemudian yang ditandai dengan sel inflamasi seperti sel eosinofil sel limfosit T (Siregar, 2010). Arshad dalam Budiastuti (2005) mengatakan bahwa reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir semua jaringan atau organ dalam tubuh, dengan manifestasi klinis tergantung organ target. Manifestasi klinis umum alergi termasuk asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan urtikariaangioedema. commit to user 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, peran faktor keturunan sangat berperan (atopi pada orangtua dan saudara kandung) (Siregar, 2010). Terminologi atopi dipakai untuk menjelaskan tendensi seseorang atau keluarga, biasanya pada masa anak atau remaja, yang tersensitisasi dan memproduksi IgE sebagai respons pajanan biasa terhadap alergen (in response to ordinary exposure to allergens) sehingga sebagai konsekuensinya dapat timbul gejala khas asma, rinokunjungtivitis atau eksim (Akib, 2010). 2. Jenis-Jenis Penyakit Alergi pada Anak a. Dermatitis Atopi Dermatitis Atopi (DA) adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat (Santosa, 2010). Dermatitis Atopi (DA) merupakan dermatitis kronik residif yang dimulai pada usia bayi, yaitu sekitar 2 bulan serta hilang timbul sampai usia 2 tahun. Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab DA : alergen makanan, alergen hirup, bahan iritan, infeksi oleh kuman Staphylococcus aureus commit to user 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan Malassezia furfur (Siregar, 2010). Penyakit ini dinamakan dermatitis atopi oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march (Santosa, 2010). Akib (2010) memaparkan bahwa bila ditilik lebih jauh, hanya 80% penderita DA dengan hiper IgE sedangkan 20% lainnya normal sehingga timbul pendapat bahwa hiperIgE hanyalah epifenomenon DA dan bukan faktor patogenik yang penting. Wutrich dan Grendelmeier serta Soeberyo dalam Rambu (2011) memaparkan bahwa Dermatitis Atopi dibagi menjadi 2 tipe : 1) bentuk murni tidak disertai keterlibatan saluran napas, dan 2) bentuk campuran disertai gejala pada saluran napas. Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu : a) tipe intrinsik : tidak terdapat peningkatan IgE total serum, dan b) tipe ekstrinsik : terdapat peningkatan IgE total serum, peningkatan profil sitokin yaitu IL-4 dan IL-13, adanya sensititasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit. Tanda dan gejala penting pada DA adalah gatal, perjalanan penyakit kronik, serta morfologi dan distribusi lesi yang spesifik berdasarkan usia (Sugito, 2012). Siregar (2010) mengklasifikasikan dermatitis atopi menjadi tiga, yaitu commit to user 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dermatitis atopi fase infantil (usia 2 bulan-2 tahun), dermatitis atopi fase anak (usia 3-10 tahun) dan dermatitis atopi fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun). Pada dermatitis atopi fase infantil awitan DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi dimulai dari kedua pipi, kemudian menyebar ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan, tungkai bagian volar. Bila anak sudah dapat merangkak dan berjalan, lesi akan tampak pada kedua lutut dan siku. Gambaran kulit pada masa akut berupa eritema, papulovesikuler, eksudasi, erosi, ekskoriasi dan bisa mengalami infeksi sekunder. Pada fase ini alergen makanan sering berperan seperti susu sapi, telur, soya, tomat, dan gandum. Fase ini dapat sembuh atau berlanjut ke fase anak atau fase remaja (Siregar, 2010). Seringkali dermatitis atopi fase anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun di antaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita. Dermatitis atopi dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik commit to user 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi (Santosa, 2010). Hanifin dan Lobitz dalam Santosa (2010) menyusun petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis DA. menegakkan diagnosis DA Kriteria minimal meliputi pruritus untuk dan kecenderungan dermatitis untuk menjadi kronik atau kronik residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas. Bohme, Leung serta Zulkarnain dalam Rambu (2011) memaparkan bahwa menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik DA harus terdapat 3 atau lebih kriteria mayor : pruritus, morfologi dan regio yang khas (likenifikasi fleksural pada orang dewasa, lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak), perlangsungan bersifat kronik dan residif, riwayat atopi (asma, rinitis alergi atau DA) pada diri-sendiri atau keluarga. Kriteria minor 3 atau lebih : xerosis iktiosis/hiperkeratosis palmaris/keratosis pilaris, reaktivitas uji kulit tipe cepat, peningkatan IgE serum, dermatitis di daerah palmo-plantar, khelitis, dermatitis di daerah kepala, kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simplek, papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi, pitiriasis Alba, dermatitis di puting susu, commit to user 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id white dermographism, katarak dan keratokonus, Garis Dennie Morgan, kemerahan atau kepucatan di wajah, serta perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi. Reitamo dan Zulkarnain dalam Rambu (2011) mengatakan kriteria William dalam diagnosis DA, harus ada : gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak). Ditambah 3 atau lebih : onset di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia di bawah 4 tahun), riwayat keterlibatan kulit (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun), riwayat kekeringan kulit, riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita (atau riwayat menderita atopi pada keluarga, pada anak di bawah 4 tahun), dermatitis flexura yang nyata (atau dermatitis pada pipi/dahi dan bagian luar ekstremitas pada anak di bawah 4 tahun). Berbagai macam pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Dermatitis Atopi adalah : 1) Uji Kulit : sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). Macam-macam tes kulit yaitu tes tempel (patch test), tes gores (scratch tes), tes intrakutan serta tes tusuk (prick tes) (Rambu, 2011). commit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2) Darah Tepi Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma, rinitis alergi, maupun pada DA. Walaupun demikian pada beberapa penderita DA berat, dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B. Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit (Santosa, 2010). Ardiana dalam Rambu (2011) memaparkan bila eosinofil 5% atau 500/ml condong pada alergi. 3) Bakteriologi Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti Staphylococcus aureus, walaupun tanpa gejala klinis infeksi (Santosa, 2010). 4) IgE total dan spesifik Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi (Sudewi et al., 2009). Pemeriksaan IgE spesifik menggunakan Radioallergosorbent test (RAST) lebih praktis daripada test tusuk kulit. Ketika seseorang mempunyai riwayat alergi makanan dan pemeriksaan IgE untuk makanan commit to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tersebut positif, maka tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah menghindari makanan tersebut. Seperti dipaparkan Sicherer, Leung D, Friedmann, Ardern-Jones dan Holden dalam Rambu (2011). b. Rinitis Alergi Rinitis alergi adalah suatu kelainan gejala hidung yang diinduksi oleh paparan alergen sehingga terjadi inflamasi membran nasalis yang diperantarai IgE (Nahrawi, 2008). Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non-spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia (Munasir et al., 2010). Manifestasi klinis rinitis alergi baru ditemukan pada anak berusia 4-5 tahun dan insidennya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15% pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergi yang khas ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi commit to user 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id alergi dapat berupa rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media dan tonsilitis (Munasir et al., 2010). Karakteristik klinis rinitis alergi adalah bersin, hidung tersumbat, beringus dan gatal di hidung (Nahrawi, 2008). Sekret hidung dapat berupa post nasal drip yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis (Munasir et al., 2010). Anak yang menderita rinitis alergi yang kronik dapat mempunyai bentuk wajah yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut adenoid face. Keadaan ini memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda yang disebut allergic sallute (Munasir et al., 2010). Klasifikasi rinitis alergi mengalami beberapa perubahan. Dahulu dikenal 2 pembagian, yaitu seasonal dan perennial. commit to user 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Seasonal adalah gejala rinitis timbul hanya pada waktu tertentu dan biasanya dihubungkan dengan adanya faktor pencetus polen (serbuk sari), sedangkan perennial dimaksudkan sebagai serangan yang terjadi sepanjang waktu (tahunan) (Supriyatno, 2008). Saat ini Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengubah klasifikasi tersebut menjadi tipe intemiten dan persisten. Dikatakan intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari seminggu atau lamanya gejala kurang dari 4 minggu. Sedangkan dikatakan persisten apabila gejala lebih dari 4 hari per minggu dan lamanya lebih dari 4 minggu (Supriyatno, 2008). Selain klasifikasi di atas, ARIA juga mengklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergi dibagi menjadi rinitis alergi ringan (mild) dan rinitis alergi sedang berat (moderate-severe). Pada rinitis alergi ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergi sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat (Munasir et al., 2010). commit to user 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Diagnosis rinitis alergi pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan (Munasir et al., 2010). Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang bermakna pada anak berusia di bawah 3 tahun. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak menyenangkan. Pemeriksaan in vitro (RAST, ELISA) untuk alergen spesifik hasilnya kurang sensitif dibandingkan dengan tes kulit dan lebih mahal. Adapun kadar IgE total serum pada bayi adalah 0 - 1 IU/ml yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan menetap setelah usia 2030 tahun (100 - 150 IU/ml), kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya usia (Munasir et al., 2010). Keberadaan eosinofil pada reaksi alergi merupakan hal yang paling konsisten pada mukosa hidung dan eosinofil berperan sentral dalam reaksi alergi (Sugiarto et al., 2006). Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan lebih dominan (Munasir et al., 2010). commit to user 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Rinitis alergi yang tidak diobati selain menggangu kesehatan fisik dan psikososial, kualitas hidup dan kapasitas kerja dan belajar, juga berperan terhadap timbulnya sekuele yang berpotensi menjadi penyakit serius, seperti asma, sinusitis, dan otitis media (Simbolon, 2006). Sumadiono dalam Budiastuti (2005) mengatakan bahwa rinitis alergi dapat mempengaruhi kualitas hidup dan gangguan proses tumbuh kembang anak karena dapat menimbulkan gangguan proses tidur, nyeri kepala, kelemahan, terbatasnya aktivitas, gangguan proses pemberian nutrisi (terutama pada bayi), gangguan konsentrasi, kesulitan berinteraksi dan perasaan rendah diri. c. Asma Bronkial Definisi menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi, menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga commit to user 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan (Irsa et al., 2007). Sejalan dengan proses inflamasi kronik, lepasnya epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik. Penyimpangan tersebut dikenal dengan istilah remodeling, merupakan serangkaian proses penyebab deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur sel (Matondang et al., 2009). Pada beberapa kasus asma yang dialami anak-anak, teridentifikasi bermacam-macam faktor pemicu, dan pola reaktivitas dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia. Pengobatan juga dapat mengubah pola reaktivitas. Beberapa infeksi virus, seperti Respiratory Synctial Virus (RSV) bronkiolitis pada anak-anak, menjadi predisposisi anak terkena asma. Pada beberapa kasus, fungi (allergic bronchopulmonary aspergillosis), bakteri (mycoplasma, pertussis) atau parasit dapat menjadi penyebab asma. Alergen lain dapat berupa makanan, inhalan indoor atau inhalan outdoor musiman. Asap rokok, udara dingin, bahan kimia, bau cat, hair spray, polusi udara, dan ozon dapat memicu reaksi inflamasi. Serangan asma commit to user 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id juga berhubungan dengan perubahan suhu, perubahan tekanan, dan kualitas udara (kelembaban, alergen serta kadar iritan). Pada beberapa individu, faktor emosional dapat menginduksi terjadinya asma (Sharma, 2013). Pada anamnesis penderita asma perlu diperhatikan riwayat keluarga berupa atopi atau asma terutama pada orang tua. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya mengi, sesak napas, maupun sianosis tergantung pada derajat serangannya. Batuk dan atau mengi pada asma mempunyai karakteristik yaitu bersifat episodik (berulang), biasanya timbul terutama pada malam hari (nokturnal), berhubungan dengan musim, aktivitas, dan adanya faktor pencetus tertentu. Pemeriksaan fisik lain yang dapat terlihat adalah adanya dada yang cembung pada keadaaan asma yang persisten (Supriyatno, 2012). Castro-Rodriguez et al dalam Supriyatno (2012) memaparkan bahwa untuk mendiagnosis asma apabila ditemukan mengi berulang ditambah dengan Indeks Prediksi Asma (IPA) yaitu adanya kriteria mayor dan atau kriteria minor. Kriteria mayor adalah riwayat asma pada orangtua dan dermatitis atopi, sedangkan kriteria minor adalah hipereosinofilia (eosinofil darah tepi ≥4%), rinitis alergika, dan tetap ada mengi di luar flu (selesma). Peneliti lain commit to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menambahkan, perlu dipertimbangkan peran uji alergi skin prick test terhadap alergen inhalan maupun alergen ingesti sehingga ditambahkan alergen inhalan positif ke dalam kriteria mayor sedangkan alergen ingestif positif merupakan kriteria minor. Diagnosis asma ditegakkan bila dijumpai 2 kriteria mayor atau 1 mayor dan 2 minor. Derajat penyakit asma dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Sedangkan derajat serangan asma dibagi menjadi serangan ringan, serangan sedang, dan serangan berat. Derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat penyakitnya demikian pula sebaliknya, misalnya seorang anak dengan asma episodik jarang bisa mengalami serangan asma yang berat. Terdapat perbedaan klasifikasi antara Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) dengan GINA, yang mengklasifikasikan asma menjadi 4 kelompok yaitu asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Kedua klasifikasi tersebut dapat disetarakan sebagai berikut : asma episodik jarang disetarakan dengan asma intermiten, asma episodik sering setara dengan gabungan asma persisten ringan dan sedang, sedangkan asma persisten setara dengan asma persisten berat. Untuk pembagian derajat serangan asma, tidak commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ada perbedaan antara PNAA dan GINA yaitu asma serangan ringan, sedang, dan berat (Supriyatno, 2012). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita asma antara lain spirometer untuk menegakkan diagnosis serta menilai beratnya obstruksi dan pengobatan. Peak flow meter untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. X-ray dada/thorax untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Pemeriksaan IgE dengan uji tusuk kulit atau RAST bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (Rengganis, 2008). d. Urtikaria-Angiodema Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk (Siregar, 2010). Ukurannya bervariasi, mulai dari sebesar ujung jarum sampai berdiameter beberapa sentimeter. Dapat terjadi penyembuhan di bagian tengah (central clearing), perluasan ke perifer, atau bersatunya beberapa lesi (koalesen) sehingga lesi dapat berbentuk oval, anular atau kadang serpiginosa (Sugito, 2012). commit to user 24 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronis atau berulang (Matondang et al., 2010). Bila urtikaria berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut. Pada 80% anak, urtikaria akut disebabkan infeksi (seringkali viral), sedangkan pada pubertas lebih sering disebabkan makanan dan obat. Untuk urtikaria yang sering kambuh dan berlangsung lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik, lebih sering pada dewasa, dapat berlangsung terus-menerus atau hampir setiap hari (chronic continuous urticaria) atau diselingi masa bebas lesi sampai beberapa minggu (chronic reccurent/intermittent urticaria) (Sugito, 2012). Sedangkan menurut von Krogh dan Malbach dalam Siregar (2010), urtikaria kontak berupa timbulnya wheal terjadi setelah kulit diaplikasikan bahan tertentu, contohnya bahan kimia seperti asam sinamik, asam benzoik, dan paraben; atau sesuatu bahan yang terdapat pada arthropod, tanaman, bumbu, buah atau ikan. Urtikaria kontak dapan disebabkan mekanisme imun dan non-imun. Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan urtikaria tetapi pada angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam, tidak disertai dengann rasa gatal, namun biasanya disertai rasa nyeri dan terbakar (Matondang et al., 2010). Urtikaria biasanya besar (giant wheals) disertai edema commit to user 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pada kelopak mata, tangan, kaki, genitalia, bibir, saluran napas, dan saluran cerna. Sebagian besar angioedema idiopatik, tetapi dapat pula disebabkan obat, alergen, atau bahan fisik (Sugito, 2012). Angioedema dapat timbul bersama urtikaria atau berdiri sendiri. Pada 50% pasien angioedema timbul pula urtikaria, sedangkan pada 10% bayi dan anak dengan urtikaria juga terdapat angioedema. Angioedema dapat merupakan bagian dari reaksi anafilaktik (Kurniati, 2010). e. Alergi Makanan Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan (Harsono, 2010). Bila anak mempunyai alergi terhadap bahan makanan utama yang sangat diperlukan pada proses tumbuh kembangnya, maka keadaan ini akan merugikan tumbuh kembangnya di kemudian hari (Munasir, 2008). The American Academy of Allergy and Immunology dan The National Institute of Allergy and Infections Disease dalam Munasir (2008) membagi berbagai definisi yang berkaitan dengan alergi makanan, karena tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan melalui mekanisme alergi yang murni, yaitu : Reaksi Simpang Makanan (Adverse food commit to user 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id reaction) adalah istilah umum untuk suatu reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan, reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan. Alergi makanan (Food Allergy) adalah suatu hasil reaksi imunologik yang menyimpang, sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (Gell & Coombs) yang diperankan IgE. Intoleransi makanan adalah semua respons fisiologis yang abnormal terhadap makanan/zat aditif makanan yang ditelan. Gejala alergi makanan dapat terjadi pada berbagai organ sasaran seperti kulit (dapat menimbulkan urtikaria atau dermatitis atopi), saluran napas (manifestasi klinik dapat berupa rinitis, asma bronkial, atau batuk kronik berulang), saluran cerna (gejala klinis dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring; sembab tenggorokan, mual-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan usus, protein-losing enteropathy), mata dan telinga (Harsono, 2010). Beberapa jenis makanan yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada anak antara lain susu sapi/kambing, telur, kacangkacangan, ikan laut, kedelai, serta gandum. Beberapa makanan digolongkan sebagai makanan yang relatif jarang menimbulkan reaksi alergi, seperti daging ayam, daging babi, daging sapi, kentang coklat, jagung, serta bahan aditif sintesis commit to user 27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id makanan. Beberapa buah-buahan juga sering dilaporkan menimbulkan reaksi alergi seperti jeruk (menimbulkan gatal serta kemerahan pada kulit bayi), tomat dan apel. Selain golongan makanan yang telah disebutkan di atas, beberapa jenis bahan yang ditambahkan pada makanan juga dapat menimbulkan reaksi alergi sehingga sering salah duga dengan bahan makanan aslinya (Munasir, 2008). f. Alergi Susu Sapi Alergi Susu Sapi adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi itu dapat terjadi segera atau lambat (Munasir dan Siregar, 2010). Susu sapi adalah bahan dasar susu formula yang mengandung protein kasein, â-laktoglobulin dan a-laktalbumin dan pada sebagian orang merupakan protein asing yang dapat menimbulkan alergi. Protein susu sapi adalah protein asing yang pertama diberikan kepada seorang bayi, sehingga alergi susu sapi sering merupakan penyakit alergi pertama pada seorang bayi (Munasir et al., 2007). Munasir dan Siregar (2010) memaparkan beberapa gejala klinis alergi susu sapi yaitu pada kulit menyebabkan urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik. Pada saluran commit to user 28 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id napas bermanifestasi hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang dan asma. Sedangkan pada saluran cerna terdapat gejala muntah, kolik, konstipasi, diare dan buang air besar berdarah. 3. Allergic March atau Atopic March Quillen et al dalam Pramita (2011) memaparkan bahwa atopic march atau allergic march adalah perjalanan alamiah penyakit alergi yang mengikuti suatu kurva, dimana dermatitis atopi dan alergi makanan sering menjadi manifestasi klinis pertama penyakit atopi pada usia 6 bulan/tahun pertama dan dermatitis atopi ini akan menjadi asma atau rinitis alergi di kemudian hari. Konsep atopic march dikembangkan untuk menjelaskan perkembangan penyakit atopi dari Dermatitis Atopi (DA) pada bayi menjadi rinitis alergi dan asma pada anak-anak (Zheng et al., 2011). Hampir 80% pasien DA anak berkembang menjadi asma atau rinitis alergi yang mendukung hubungan sistemik antara DA dengan alergi saluran napas. Walaupun mekanismenya belum jelas, hubungan antara DA dan alergi saluran napas diduga terkait dengan sensitisasi alergen, ekspresi kemokin jaringan, dan ekspresi reseptor homing pada sel T efektor memori (Akib, 2010). Atopi dianggap merupakan faktor penting korelasi antara DA, rinitis alergi dan asma. Perkembangan penyakit atopi mempunyai perjalanan yang kompleks, dan pola yang telah dijelaskan dalam commit to user 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id atopic march mungkin bukan perkembangan yang sederhana, perkembangan penyakit tersebut dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan (Zheng et al., 2011). 4. Faktor Risiko Alergi a. Riwayat penyakit alergi keluarga Suatu studi epidemiologi keluarga yang meneliti kejadian alergi, menyatakan bahwa faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua mempunyai alergi, maka risiko pada anak adalah 50 - 70%. Seperti dipaparkan Notoatmojo dalam Pramita (2011). Berbagai regio kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13 dan 16. Berbagai lokus genetik mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi, antara lain lokus yang berhubungan dengan asma dan dermatitis atopi yaitu 5q31-33, 11q13, dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang mengandung clustered family gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th2 menunjukkan peran penting faktor genetik pada penyakit alergi (Akib, 2010). commit to user 30 perpustakaan.uns.ac.id b. digilib.uns.ac.id Asupan makanan Golongan makanan yang paling sering menimbulkan alergi yaitu susu sapi, susu kambing, telur, kacang-kacangan, ikan laut, kacang kedelai serta gandum (Siregar, 2005). Selain jenis makanan yang disebutkan di atas, Rengganis (2008) menyebutkan bahwa udang, kepiting, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet serta pewarna makanan merupakan alergen makanan bagi penderita asma bronkial. c. Aeroallergen Alergen inhalan/hirup sangat berperan terhadap kejadian asma karena berhubungan erat dengan saluran respiratorik. Sensitisasi awal alergen inhalan pada awal kehidupan (terutama terjadi bersamaan dengan infeksi saluran respiratorik) dapat meningkatkan kejadian asma di kemudian hari. Beberapa alergen inhalan yang ditengarai berperan adalah tungau debu rumah, “bulu” binatang, kecoa, dan jamur (Supriyatno, 2012). Sponk dalam Pramita (2011) mengemukakan bahwa paparan tungau debu rumah, pada anak usia 2 tahun akan meningkatkan risiko kekambuhan asma pada anak usia 11 tahun. Tungau debu rumah dapat meningkatkan permeabilitas commit to user 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mukosa bronkial sehingga memfasilitasi allergen lain untuk memasuki epithelium dan mensensitisasi sistem imun. d. Polutan Sebuah studi epidemiolodi menunjukkan bahwa polutan baik di dalam maupun luar ruangan mempengaruhi gangguan saluran napas, termasuk peningkatan penyakit asma dan alergi (Maio et al, 2011). Weiland et al dalam Pramita (2011) memaparkan bahwa yang paling berperan adalah asap rokok, baik perokok aktif maupun pasif. Polusi udara secara langsung dapat menyebabkan inflamasi pada hidung yang ditandai dengan hidung tersumbat dan meningkatnya produksi mukus, sedangkan efek tidak langsung adalah meningkatkan produksi Th2. Bahan iritan saluran napas seperti sulfur dioksia, nitrogen dioksida dan partikel hasil pembakaran mesin diesel menyebabkan peningkatan IgE dengan berbagai mekanisme dan inflamasi lokal pada saluran pernapasan, sehingga terjadi peningkatan kontak antara jaringan dengan alergen sehingga timbul respon imun. Seperti dipaparkan Weiland et al dalam Pramita (2011). commit to user 32 perpustakaan.uns.ac.id e. digilib.uns.ac.id Penyakit infeksi Rahmawati et al dalam Pramita (2011) mengatakan bahwa infeksi virus diduga mempermudah timbulnya alergi, hubungan ini terlihat pada kejadian infeksi RSV di masa bayi dengan timbulnya asma pada kehidupan berikutnya. Infeksi RSV akan menyebabkan kerusakan epitel saluran nafas yang mempermudah absorbsi aeroalergen dan pembentukan IgE spesifik RSV yang menyebabkan degranulasi sel mast dan menyebabkan spasme bronkus. f. Keadaan sosial ekonomi Chmara et al (2008) memaparkan bahwa kejadian alergi pada anak lebih sering terjadi dan tergantung pada kondisi ekonomi orangtua anak yang sangat baik. Prevalensi asma dan alergi di Turki meningkat secara signifikan pada anak dengan riwayat keluarga alergi, tinggal di kota besar, mempunyai kelebihan kamar di dalam rumah dan sosial ekonomi yang baik. Namun hal yang berbeda dipaparkan Wright et al (2011), bahwa asma dan penyakit atopi lainnya mungkin lebih terkonsentrasi pada masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah, karena masyarakat tersebut mengalami dampak dari commit to user 33 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id faktor-faktor lingkungan yang tidak sehat baik dari segi sosial, fisik dan psikologi. g. Keadaan psikologi Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada (Rengganis, 2008). h. ASI Eksklusif McGeady dalam Pramita (2011) mengatakan bahwa pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 4 bulan atau lebih dapat menurunkan IgE total pada anak usia 6 tahun dan 11 tahun. Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi (Harsono, 2010). i. Jenis Kelamin Jenis kelamin berpengaruh terhadap perkembangan asma pada waktu tertentu. Sampai usia 13 - 14 tahun, insidensi dan prevalensi asma lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan (Subbarao et al, 2009). Hal yang sama juga didapatkan dari sebuah penelitian mengenai penyakit atopi, dimana penyakit atopi lebih banyak terjadi pada anak commit to user 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id laki-laki sebelum usia 13 tahun (Sears et al dalam Subbarao et al., 2009) j. Pendidikan orang tua Kejadian alergi pada anak juga tergantung pada tingkat pendidikan orangtuanya. Tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah serta status sosial ekonomi saling berkorelasi sebagai faktor risiko alergi (Chmara et al., 2008). k. Riwayat kelahiran Penyakit atopi terjadi 2 sampai 3 kali lebih banyak pada anak yang dilahirkan dengan proses sectio caesaria yang bersifat gawat darurat (Macaubas et al., Nafstad et al., AnnesiMesano et al., Lewis et al., Stick et al dalam Subbarao et al, 2009). Walaupun tidak didapatkan hubungan antara penyakit atopi dengan prosedur sectio caesaria elektif (Macaubas et al., Nafstad et al., Annesi-Maesano et al., Stick et al., Kero et al., Xu et al., Bager et al dalam Subbarao et al., 2009). Hal ini mungkin dipengaruhi keadaan psikologi ibu dan perbedaan mikroflora pada usus bayi yang berbeda-beda tergantung proses kelahirannya (Subbarao et al., 2009). commit to user 35 perpustakaan.uns.ac.id 5. digilib.uns.ac.id ASI Eksklusif a. Definisi Pemberian ASI Eksklusif yaitu bayi hanya diberikan ASI saja mulai dari lahir tanpa tambahan cairan lain dan tanpa tambahan makanan padat sampai berusia 6 bulan (Roesli, 2005). b. Kandungan gizi ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi, ASI menyediakan semua energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi untuk bulan-bulan pertama kehidupan. ASI terus menyediakan hingga setengah atau lebih dari kebutuhan gizi anak pada paruh kedua dari tahun pertama bayi, dan sampai sepertiga selama tahun kedua kehidupan (WHO, 2012). Kandungan gizi pada ASI antara lain karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin serta kalori (Roesli, 2001). Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula). Laktosa ASI 20% - 30% lebih banyak dari susu sapi (Roesli, 2001). ASI mengandung protein yang tinggi dengan dua macam protein utama, yaitu “whey” dan “kasein”. Whey adalah protein halus, lembut serta mudah dicerna. Kasein adalah protein yang kasar, bergumpal, dan sukar dicerna oleh usus bayi. ASI memiliki perbandingan whey dan kasein yang sesuai untuk commit to user 36 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bayi. ASI mengandung bahan larut yang rendah. Bahan larut tersebut terdiri atas 3,8% lemak; 0,9% protein; 7% laktosa; dan 0,2% bahan-bahan lain (Riksani, 2012). ASI mengandung jumlah lemak sehat yang tepat secara proporsional. Lemak ASI mudah dicerna dan diserap. ASI mengandung enzim lipase pencerna lemak, sehingga hanya sedikit lemak ASI yang tidak diserap oleh usus bayi. Bentuk lemak ASI yang utama adalah lemak rantai panjang antara lain : asam linoleat (AA) dan asam linolenat (DHA) (Roesli, 2001). ASI mengandung mineral yang lengkap. Garam organik yang terdapat dalam ASI terutama adalah kalsium, kalium, dan natrium dari asam klorida dan fosfat (Roesli, 2001). c. Kandungan imunologis ASI 1) Imunoglobulin Air susu ibu mengandung imunoglobulin M, A, D, G, dan E, namun yang paling banyak adalah sIgA. Imunoglobulin A (IgA) yang terdapat di dalam antibodi maternal didapat dari sistem imun saluran cerna dan pernafasan yang dibawa melalui sirkulasi darah dan limfatik ke kelenjar payudara, akhirnya dikeluarkan melalui ASI sebagai sIgA. Sekretori IgA pada ASI merupakan sumber utama imunitas didapat secara pasif commit to user 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id selama beberapa minggu, sebelum produksi endogen sIgA, konsentrasi paling tinggi pada beberapa hari postpartum (Aldy et al., 2009). 2) Laktoferin Merupakan protein yang terikat dengan zat besi, diproduksi oleh makrofag, neutrofil dan epitel kelenjar payudara bersifat bakteriostatik dan bakterisid. Menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan dengan zat besi sehingga tidak tersedia untuk bakteri patogen. Laktoferin juga terbukti menghambat pertumbuhan kandida (Aldy et al., 2009). 3) Lisozim Suatu enzim yang diproduksi oleh makrofag, neutrofil, dan epitel kelenjar payudara, dapat memecah dinding sel bakteri Gram positif yang ada pada mukosa usus dan menambah aktifitas bakterisid sIgA terhadap E.coli dan beberapa Salmonella (Aldy et al., 2009). 4) Komplemen Komplemen C3 dapat diaktifkan oleh bakteri melalui jalur alternatif sehingga terjadi lisis bakteri. Di commit to user 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id samping itu C3 aktif juga mempunyai sifat opsonisasi sehingga memudahkan fagosit mengeliminasi mikroorganisme pada mukosa usus yang terikat dengan C3 aktif (Matondang et al., 2010). 5) Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-SCF) Merupakan sitokin spesifik yang dapat menambah pertahanan anti bakteri melalui efek proliferasi, diferensiasi dan ketahanan neutrofil (Aldy et al., 2009). 6) Oligosakarida Menghadang bakteri dengan cara bekerja sebagai reseptor dan mengalihkan bakteri patogen atau toksin mendekat ke faring dan usus bayi (Aldy et al., 2009). 7) Musin Melapisi membran lemak susu dan mempunyai sifat antimikroba, dengan cara mengikat bakteri dan virus serta mengeliminasi dari tubuh. Musin dapat menghambat adhesi E.coli dan rotavirus (Aldy et al., 2009). commit to user 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8) Lipase Membentuk asam lemak dan monogliserida yang menginaktivasi organisme, sangat efektif terhadap Giardia lamblia dan Entamoeba hystolitica (Aldy et al., 2009). 9) Interferon dan Fibronektin Mempunyai aktivitas antiviral dan menambah sifat lisis dari leukosit susu (Aldy et al., 2009). 10) Protein pengikat Vitamin B12 dan Asam Folat Bersifat antibakteri dengan menghalangi bakteri seperti E.coli dan bacteroides untuk mengikat vitamin bebas sebagai faktor pertumbuhan (Aldy et al., 2009). 11) Probiotik Bayi yang mendapat ASI mempunyai kandungan Lactobacilli yang tinggi, terutama Lactobacillus bifidus (Bifidobacterium bifidum). Glikan merupakan komponen ASI yang menstimulasi pertumbuhan dan kolonisasi L. bifidus. Kuman ini akan mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam asetat, situasi asam dalam cairan usus commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akan menghambat pertumbuhan E.coli (Aldy et al., 2009). 12) Sel darah putih Leukosit (90% dari jumlah sel) di dalam ASI terutama terdiri dari makrofag (90%). Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit aktif sehingga dapat menghambat multiplikasi bakteri pada infeksi mukosa usus. Selain sifat fagositik, sel makrofag juga memproduksi lisozim, C3 dan C4, laktoferin, monokin seperti IL-1 serta enzim lainnya. Limfosit (10% dari jumlah sel) 50% terdiri atas limfosit T dan 34% limfosit B. Fungsi limfosit untuk mensintesis antibodi IgA, memberikan respons terhadap mitogen dengan cara berproliferasi, meningkatakan interaksi makrofag – limfosit dan pelepasan mediator (Aldy et al., 2009). d. Tahapan Pembentukan ASI 1) Kolostrum Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7. Kolostrum mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin pembunuh kuman dalam jumlah paling tinggi (Roesli, commit to user 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2005). Selain komposisi sel darah putih serta protein tersebut, kolostrum mengandung banyak faktor imunosupresif yang mencegah terjadinya stimulasi berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono, 2010). 2) Susu transisi Susu transisi yaitu ASI yang keluar pada hari ke-3 sampai hari ke-10 setelah kelahiran. Susu permulaan atau transisi lebih bening dan jumlahnya lebih banyak. Kadar imunoglobulin dan proteinnya menurun, sedangkan lemak dan laktosa meningkat (Riksani, 2012). 3) Susu mature atau matang Susu mature atau matang yaitu ASI yang keluar setelah hari ke-10 pasca persalinan. Komposisinya stabil dan tidak berubah (Riksani, 2012). e. Manfaat ASI Eksklusif 1) Bagi Anak a) ASI sebagai nutrisi di mana ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi semua kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. commit to user 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b) ASI meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena mengandung berbagai zat anti kekebalan sehingga akan lebih jarang sakit. ASI juga mengurangi terjadinya diare, sakit telinga, dan infeksi saluran pernafasan serta serangan alergi. c) ASI Eksklusif meningkatkan kecerdasan karena mengandung asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan otak sehingga bayi dengan ASI Eksklusif potensial lebih pandai. d) ASI Eksklusif meningkatkan jalinan kasih sayang sehingga dapat menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual, dan hubungan sosial yang baik (Roesli, 2005). 2) Bagi Ibu a) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan karena pada ibu menyusui terjadi peningkatan kadar oksitosin yang berguna juga untuk vasokonstriksi atau penutupan pembuluh perdarahan akan cepat berhenti. commit to user 43 darah sehingga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b) Menjarangkan kehamilan karena menyusui merupakan kontrasepsi yang aman, murah dan cukup berhasil. c) Mengecilkan rahim karena kadar oksitosin ibu menyusui yang meningkat membantu rahim ke ukuran sebelum hamil (Roesli, 2005). 6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Penyakit Alergi pada Anak American Academy of Pediatrics (2012) memaparkan bahwa pemberian ASI Eksklusif dalam waktu tiga sampai empat bulan berkorelasi kuat dengan penurunan kejadian asma, dermatitis atopi, dan eksema sebesar 27% pada populasi dengan faktor risiko rendah dan 42% pada bayi dengan riwayat keluarga yang positif alergi. Misak (2011) memaparkan dalam studi kohort tentang pencegahan dan insidensi asma terhadap alergi tungau debu rumah, yang meneliti sampel sebanyak 3115 anak di Belanda, menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak yang sama sekali tidak diberikan ASI mengalami penurunan prevalensi asma yang signifikan saat berumur 3 sampai 8 tahun, terlepas dari faktor ibu yang menderita asma. Tanaka et al (2010) dalam sebuah penelitiannya yang melibatkan anak-anak di Jepang, commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menyimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif ≥ 4 bulan berhubungan dengan penurunan prevalensi asma. Efek protektif pemberian ASI Eksklusif terhadap perkembangan penyakit alergi terlihat lebih jelas pada anak-anak dengan riwayat keluarga atopi (Tanaka et al., 2010). Pohlabeln et al dalam Misak (2011) mengatakan bahwa munculnya gejala alergi pada anak-anak berusia 2 tahun dengan riwayat keluarga atopi lebih rendah pada anak yang mendapat ASI dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat ASI. Durasi pemberian ASI Eksklusif juga berpengaruh terhadap insidensi penyakit atopi pada anak-anak (Kristen, 2009). Pemberian ASI Eksklusif ≤ 4 bulan, tampaknya tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kejadian alergi pada anak dengan predisposisi genetik alergi pada ayah ataupun ibu. Seperti dipaparkan Pohlabeln et al dalam Misak (2011). Sebuah review multidisipliner oleh Van Odjik et al dalam Kristen (2009) menyimpulkan bahwa pemberian ASI menurunkan risiko asma dan efek protektifnya meningkat jika durasi pemberiannya lebih lama. Kull et al dan Larsson et al dalam Kristen (2009) mengatakan bahwa terjadi penurunan kejadian dermatitis atopi dan mengi pada anak berusia 2 tahun yang diberikan ASI dalam waktu ± 4 bulan dibandingkan yang diberikan ASI dalam waktu < 4 bulan. Pada bayi dengan risiko tinggi, commit to user 45 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pemberian ASI Eksklusif dengan penundaan pemberian makanan pendamping ASI (sampai berusia 6 bulan) dapat menunda atau bahkan mencegah onset alergi makanan pada anak-anak. Pemberian ASI memiliki efek protektif terhadap perkembangan alergi melalui beberapa mekanisme. Kolostrum bertanggung jawab melindungi mukosa usus, hal ini mencegah masuknya antigen dalam jumlah besar dan oleh karena itu mencegah respons alergi. Kolostrum juga berperan mencegah pengikatan bakteri patogen. Pemberian ASI menurunkan jumlah protein asing pada saluran pencernaan bayi dan juga secara pasif mentransfer IgA ibu ke bayi, hal ini melindungi saluran pencernaan bayi dari antigen. Proses transfer cell-mediated immunity dari ibu ke bayi menstimulasi sintesis IgA pada bayi. Selain itu, epidermal growth factor yang terdapat pada ASI membantu proses pematangan (maturasi) mukosa usus dan epitelium, hal ini memperkuat pertahanan mukosa melawan antigen (Leung dan Sauve, 2005). ASI seperti diketahui, mengandung prebiotik dan probiotik. Prebiotik didefinisikan sebagai oligosakarida yang tidak dapat dicerna, yang secara selektif menstimulasi pertumbuhan probiotik, seperti bifidobacteriae dan lactobacilli. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan secara adekuat, dapat memberikan manfaat bagi kesehatan host-nya. Probiotik dapat commit to user 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memodulasi toll-like receptors dan protein proteoglikan pada enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-sel dendritik dan respon Th1, respon tersebut menekan respon Th2, hal ini membuat Th2 kembali dalam keadaan seimbang dan kemudian mencegah kejadian dermatitis atopik (Michail, 2009). Meskipun ASI akan dapat mencegah asma dan atopi, atau kedua-duanya, tetapi hal ini masih kontroversial (Matondang et al., 2010). Walaupun pemberian ASI Eksklusif sangat direkomendasikan karena berbagai manfaatnya bagi kesehatan anak, beberapa studi tidak menyetujui efek proteksi ASI terhadap perkembangan penyakit alergi dan asma. Penurunan pada awal kejadian mengi di anak-anak mungkin membuktikan efek proteksi ASI terhadap infeksi virus, namun bukan terhadap asma dan alergi, yang tetap dapat berkembang. Sedikit pula bukti kuat yang mendukung efek protektif pemberian ASI terhadap asma dan alergi, bahkan bila pemberiannya sudah secara eksklusif maupun diperpanjang. Pemberian ASI Eksklusif tidak terlalu memberikan efek protektif terhadap asma jika terdapat riwayat keluarga positif alergi. Beberapa studi follow-up dalam jangka waktu panjang bahkan mengasosiasikan pemberian ASI terhadap peningkatan risiko penyakit atopi dan asma (Duncan dan Sears, 2008). commit to user 47 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id B. Kerangka Pemikiran ASI Probiotik IgA pada Kolostrum Modulasi proteoglikan pada enterosit Menghambat Penyerapan Allergen Aktivasi sel dendritik dan respon Th1 Aktivasi Sel Th2 Antigen Presenting Cells (APC) Paparan Awal Allergen (makanan, hirup) Paparan Ulang oleh Allergen yang sama Berikatan dengan Sel Mast Aktivasi Sel B dan Menghasilkan IgE Ikatan IgE dengan Sel Mast dan Allergen Aktivasi dan Degranulasi Sel Mast Mediator Inflamasi Organ Target Reaksi Alergi Riwayat Penyakit Alergi Keluarga, Asupan Makanan, Aeroallergen, Polutan, Penyakit Infeksi, Keadaan Sosial Ekonomi, Keadaan Psikologi, Jenis Kelamin, Pendidikan Orangtua, Riwayat Kelahiran - - - - - - : faktor risiko tidak diteliti ---------- : faktor risiko yang diteliti Gambar 1. Kerangka commit toPemikiran user 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. Hipotesis Pemberian ASI Eksklusif dapat menurunkan angka kejadian penyakit alergi pada anak. commit to user 49