Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 DINAMIKA RESILIENSI PADA ORANGTUA DARI ANAK YANG MENINGGAL KARENA KANKER Prita Apriyanty1 Evans Garey Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Abstract. This research is aimed to explain factors that build resilience towards two cancer volunteers who have lost their children and to describe the process that the cancer volunteers went through to be resilient. Resilience factors are derived from a theory that was developed by Reivich and Shatte (2002). It consisted of emotion regulation, impulse control, optimism, causal analysis, empathy, self-efficacy, and reaching out. The process to be resilient was measured by analyzing the subjects’ life events. The result showed that participants were resilient. The process described a systematical journey about the subjects’ life events, especially childhood achievements and losing or inconvenience experiences that were contributing to the resilience that the participants already had till now. Keywords: cancer, loss, volunteer resilience Pendahuluan Setiap individu yang mengalami kehilangan tentu mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi terhadap proses kehilangan tersebut. Menurut Bonanno (dalam Boerner & Jopp, 2010), kehilangan hal yang berharga akan memicu reaksi stres yang memaksa manusia untuk mempertahankan atau meningkatkan sumber daya yang dimiliki dalam menyikapinya. Stres yang terjadi karena pengalaman kehilangan itu membawa dampak negatif yang berat bagi manusia, terutama kehilangan anak karena kematian. Parkes (2006) berpendapat bahwa kematian anak merupakan kehilangan terberat yang dirasakan orang dewasa, khususnya, orangtua. Menurut Peek dan Melnyk (2010), kanker adalah penyebab kedua kematian pada anak setelah kecelakaan. Di Amerika, setiap tahunnya terdapat 12.000 anak yang terdiagnosa kanker (Peek & Melnyk, 2010). Berdasarkan Yayasan Onkologi Anak Indonesia, terdapat 650 kasus kanker baru pada anak setiap tahunnya dan 150 diantaranya terdapat di Jakarta (dalam Asra, 2010). 1 Korespondensi artikel ini dapat menghubungi: [email protected] 128 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Kematian anak merupakan kejadian paling tragis dan menyakitkan bagi orangtua. Kejadian itu juga dapat membawa orangtua pada keadaan berkabung yang rumit dan kompleks (Rogers, 2005). Kematian pada anak termasuk dari salah satu jenis kehilangan traumatis yang dapat mengakibatkan hilangnya harapan dan mimpi yang dimiliki orangtua (Walsh, 2007). Terlebih lagi, situasi semakin menjadi penuh stres bila selama ini orangtua merupakan pengasuh utama dan memiliki tipe hubungan, kualitas, serta kedekatan yang baik dengan anak yang meninggal (Boerner & Jopp, 2010). Anak dan orangtua diberikan diagnosa awal mengenai penyakitnya dan orangtua harus menjalani hari-hari dengan kondisi psikologis yang berbeda di mana kematian dapat terjadi setiap saat. Wolfe, Grier, Klar, dan Levin (2000) melakukan penelitian pada tahun 1997-1998 dengan melakukan wawancara terhadap 165 orangtua yang anaknya telah meninggal karena kanker. Pada penelitian tersebut, ditemukan bahwa para orangtua dapat memahami penderitaan anaknya saat mereka menderita kanker. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitiannya bahwa sebanyak 89 persen anak kanker menderita kesakitan hebat di satu bulan terakhir hidupnya, seperti rasa sakit, lelah, dan susah bernapas. Angka tersebut didapatkan dari pemaparan para orangtua sehingga demikian jelas bahwa orangtua mendampingi anaknya dan memiliki kedekatan emosional dengan anaknya yang menderita kanker. Menurut Fish dan Schwab (dalam Rogers, 2005), secara umum para orangtua akan memiliki tingkat kedukaan yang tinggi dan cenderung merasa bersalah. Seorang ibu cenderung mengalami stres negatif lebih kuat daripada ayah saat kehilangan anak (Rogers, 2005; Boerner & Jopp, 2010). Stres negatif merupakan salah satu jenis stres yang muncul ketika seseorang mengalami sumber-sumber stres yang tidak menyenangkan (Ciccarelli & Meyer, 2006). Rubin dan Malkinson (dalam Boerner & Jopp, 2010) mengatakan bahwa wanita cenderung lebih sulit mengatasi kehilangannya. Menurut American Psychology Association dan Haig (dalam Rogers, 2005), perbedaan respon tersebut sejalan dengan penemuan bahwa wanita cenderung menunjukkan beberapa gangguan psikiatrik dengan level yang lebih tinggi dibandingkan pria dan wanita lebih dapat mengekspresikan emosinya daripada pria. 129 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Ternyata tidak semua orangtua larut terus menerus dalam kesedihan. Pada akhirnya orangtua akan dapat menerima kematian anaknya secara bertahap untuk dapat beradaptasi secara positif terhadap peristiwa yang menyakitkan tersebut (Walsh, 2007). Setiap individu juga memiliki kapasitas untuk melayani dan memberikan manfaat setelah mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan (Coifman, Bonanno, & Rafaeli, 2006). Salah satu contoh yang terlihat adalah adanya suatu perkumpulan family support yang dikenal dengan Pita Emas Family Support Community (PEFSC). Mayoritas anggota dari perkumpulan tersebut adalah para orangtua dari anak yang meninggal karena kanker yang saat ini menjadi volunteer kanker. Beberapa anggota PEFSC bahkan membuat yayasan dan komunitas tersendiri lainnya yang bergerak dalam bidang yang sama. Para orangtua mampu mengelola aktivitas dan kembali ke rutinitas sehari-hari dengan durasi berkabung yang cukup singkat, dan tergerak untuk memberikan pelayanan sosial kepada keluarga pasien (terutama orangtua) dari anak yang saat ini mengidap kanker ataupun orangtua yang anaknya baru saja meninggal karena kanker. Para relawan melakukan pendampingan, pemberian informasi mengenai kanker, dan memberikan dukungan sosial serta penguatan psikologis kepada orangtua yang membutuhkan, maupun pasien kanker itu sendiri. Pelayanan yang dilakukan diberikan sejak pasien dan keluarga memutuskan untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit kanker hingga pasca kematian pasien. Para relawan kanker yang tergabung dalam PEFSC hingga saat ini tetap aktif dalam mendampingi keluarga pasien walaupun pada awalnya aktivitas itu sulit dilakukan. Ingatan-ingatan semasa anak relawan mengalami perawatan kanker berpotensi untuk muncul kembali dalam proses pendampingan yang dilakukan. Relawan dihadapkan dengan kondisi yang mirip dengan yang mereka pernah alami sebelumnya. Kematian anak menjadi hal yang sungguh berat dan umumnya orangtua yang kehilangan anaknya akan menjadi stres dan berduka untuk waktu yang lama. Akan tetapi para relawan kanker dalam komunitas ini dapat mengelola aktivitas setelah anaknya meninggal karena kanker. 130 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Pada kaitannya dengan kehilangan, orang-orang yang dapat beradaptasi secara positif, mengelola aktivitas dan bahkan dapat memberikan manfaat terhadap orang lain adalah orang yang resilien (Boerner & Jopp, 2010). Menurut Mangham, McGrath, Reid, dan Stewart (dalam Wielia & Wirawan, 2006) resiliensi berarti kemampuan individu untuk mengelola dan mengatasi stres secara efektif serta dapat meningkatkan kemampuan individu tersebut dalam mengatasi stres di kemudian hari. Menurut Hidayat, Zamralita, dan Ninawati (2006), setiap orang dilahirkan dengan potensi untuk mengembangkan resiliensi. Dengan demikian setiap orang mampu untuk belajar menjadi resilien (Siebert, 2006). Pada pemaparan lebih dalam, resiliensi tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk adaptasi sesudah kehilangan karena menurut Bonanno (dalam Boerner & Jopp, 2010), resiliensi harus dipandang sebagai pengalaman sebelum dan sesudah kehilangan. Pengalaman sebelum kehilangan merupakan sejarah kehidupan termasuk kehidupan seseorang dengan orang yang pergi dari kehidupan subjek. Keseluruhan pengalaman hidup seseorang tersebut memegang peranan penting terhadap resiliensi yang dimilikinya saat ini. Menurut Siebert (2005), individu yang resilien adalah individu yang secara sadar memutuskan untuk melakukan yang terbaik untuk bertahan hidup, menghadapi, dan membuat kemalangan berbalik menjadi hal yang lebih baik. Kekuatan resiliensi datang dari memotivasi dan mengatur diri sendiri dalam upaya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan resiliensi. Saat mengalami kemalangan, sangat wajar bila individu mengalami emosi negatif namun orang-orang yang resilien mampu menerima dan mengubah emosi negatif menjadi positif lebih cepat daripada individu yang tidak resilien (Coifman, Bonanno, & Rafaeli, 2006). Individu yang memiliki resiliensi tinggi akan mampu mengatasi kesulitan dan trauma yang dihadapi (Fonny, Waruwu, & Lianawati, 2006). Menurut Bonanno dan Keltner (dalam Boerner & Jopp, 2010) orang yang resilien cenderung tidak merasa terganggu saat membicarakan mengenai kematian. Mereka cenderung memiliki emosi positif dari sebelum dan sesudah kehilangan. Banyak hal terkait dengan tumbuhnya resiliensi, seperti aspek kepribadian, dukungan sosial yang didapatkan, dan kemampuan coping (Boerner & Jopp, 2010). 131 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Hubfol (dalam Goel, 2009) menjelaskan bahwa hal-hal tersebut merupakan bagian dari sumber daya yang dapat dimiliki oleh seseorang menurut teori konservasi sumber daya. Folkman dan Lazarus (dalam Boerner & Jopp, 2010) menyebutkan bahwa sifat-sifat personal memengaruhi resiliensi. Manusia yang terbuka, optimis, dan memiliki selfesteem yang baik dikaitkan dengan dimilikinya resiliensi (Boerner & Jopp, 2010). Menurut Hobfol et al. (dalam Goel, 2009), dukungan sosial merupakan interaksi atau hubungan sosial yang menyediakan bantuan aktual dalam sistem sosial yang dapat dipercaya dapat menyediakan cinta, kepedulian, dan rasa kedekatan. Individu yang mampu mengontrol lingkungannya, memiliki kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan hidup dengan mencari dukungan sosial. Dukungan sosial yang diterima dapat secara efektif membantu pertumbuhan resiliensi sehingga akhirnya mampu mengatasi stres dengan cara yang sehat (Howard & Hughes, 2012). Berdasarkan penelitian Bonanno et al. (dalam Boerner & Jopp, 2010) ditemukan bahwa kelompok yang mendapat dukungan dari teman dan kerabat lebih mampu menjadi resilien dengan tempo adaptasi yang cenderung tidak lama. Resiliensi juga dapat dilihat sebagai respon dan kemampuan coping (Boerner & Jopp, 2010). Individu yang resilien tidak melakukan strategi coping yang tidak sehat. Coping adalah usaha-usaha pada aspek kognitif dan tingkah laku untuk mengatur lingkungan dan tuntutan internal dengan mengembangkan kemampuan dan sumber daya personal (Goel, 2009). Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, resiliensi terlihat memegang peran penting pada kemampuan seseorang untuk dapat menerima dan melanjutan kehidupannya secara positif setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, khususnya kematian anak. Pada penelitian ini peneliti akan memberikan penjelasan terhadap fenomena yang ada pada orangtua dari anak yang meninggal karena kanker hingga akhirnya para orangtua menjadi volunteer kanker. Peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai resiliensi karena orang yang resilien dapat menerima kemalangan dan dapat secara aktif berbuat hal yang menjadikan segalanya lebih baik. Peneliti melihat fenomena ini setelah peneliti melakukan magang di salah satu rumah sakit kanker di Jakarta. Sekelompok orangtua yang tergabung dalam PEFSC menunjukkan kondisi di mana mereka mampu beradaptasi secara positif bahkan melakukan pelayanan di bidang 132 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 kanker. Hal tersebut menarik perhatian peneliti sehingga peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Peneliti berorientasi pada proses (process-oriented) dan individu itu sendiri (person-oriented) agar pada akhirnya peneliti mampu menjelaskan fenomena tersebut secara mendalam. Dengan demikian, rumusan masalah yang terdapat pada penelitan ini adalah mengenai bagaimanakah relawan kanker yang kehilangan anaknya mampu menjadi resilien dengan perumusan masalah sebagai berikut: a) apakah yang membentuk resiliensi pada diri relawan kanker yang kehilangan anaknya? dan b) bagaimana proses yang dijalani relawan kanker yang kehilangan anaknya untuk menjadi resilien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang membentuk resiliensi pada relawan kanker yang kehilangan anaknya, serta untuk memaparkan proses yang dijalani relawan kanker yang kehilangan anaknya dalam usahanya menjadi resilien. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya dan mengembangkan ilmu psikologi perkembangan dan psikologi positif. Manfaat praktis yang didapatkan dari penelitian ini adalah membantu relawan untuk mengenal proses resiliensi yang telah dijalani dan dapat menjadi panduan intervensi bagi para orangtua yang anaknya terdiagnosa dan menjalani perawatan kanker, serta bagi orangtua yang anaknya telah meninggal karena kanker. Resiliensi Menurut Siebert (2005), resiliensi berarti kemampuan untuk berbalik arah dari perkembangan kehidupan yang terasa sangat memberatkan pada awalnya. Mereka membiarkan dirinya untuk berduka, marah, merasakan kehilangan, dan kebingungan saat tersakiti dan stres, tetapi tidak membiarkan hal-hal tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Siebert menambahkan bahwa resiliensi juga berarti kemampuan untuk mengatasi perubahan yang mengganggu dengan baik, memertahankan kesehatan dan energi saat menghadapi stres, berbalik arah dengan baik dari masalah, mengganti cara bekerja dan hidup saat cara lama tidak lagi berhasil, dan mampu melakukan semua ini tanpa cara-cara yang berbahaya dan disfungsional. 133 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Resiliensi adalah sebuah proses, di mana sebelumnya seseorang berhadapan dengan situasi penuh stres dan traumatis, kemudian dapat berperilaku sedemikian rupa sehingga dapat memberikan proteksi diri dari efek negatif yang mungkin muncul dari situasi tersebut (Bogar & Hulse-Killacky, 2006). Dalam konteks kehilangan, Boerner dan Jopp (2010) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan suatu adaptasi sukses dalam menghadapi kesulitan dan kemalangan setelah ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh faktor yang membangun resiliensi. Ketujuh faktor itu adalah (a) regulasi emosi, (b) pengontrolan impuls, (c) optimisme, (d) analisis kausal, (e) empati, (f) self-efficacy, (g) reaching out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang walaupun berada di bawah tekanan (Reivich & Shatte, 2002). Boerner dan Jopp (2010) menambahkan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan untuk tidak membiarkan emosi negatif mengambil alih pikiran dan menghambat kemungkinan muculnya emosi positif. Pengaturan emosi diri sendiri sangatlah penting dalam membentuk hubungan yang intim, sukses dalam pekerjaan, dan menjaga kesehatan fisik. Individu yang resilien memiliki kemampuan yang berkembang dengan baik untuk mengontrol emosi, atensi, dan perilaku. Dengan kemampuan ini seseorang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Seseorang yang mampu mengatur emosi berarti mampu memertahankan situasi di mana emosi positif mendominasi kondisi psikologisnya. Hal ini dapat membantu dalam melindungi kesejahteraan psikologis dan akhirnya membantu bagaimana menghadapi situasi yang tidak menyenangkan (Ong, Bergerman, & Bisconti, 2004). Pengontrolan impuls merupakan kemampuan individu untuk berhenti dan memutuskan apakah akan melakukan hal yang ingin dilakukan. Aspek ini berkaitan dengan regulasi emosi. Bila pengontrolan impuls rendah maka seseorang akan menerima keyakinan impulsif yang pertama kali muncul sebagai hal yang benar dan harus dilakukan. Hal ini berpotensi memunculkan konsekuensi negatif yang dapat menurunkan tingkat resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu resilien adalah orang-orang yang optimis, yang percaya bahwa segala hal dapat berubah menjadi lebih baik (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang optimis memiliki harapan mengenai masa depan dan yakin bahwa setiap orang dapat mengontrol dan 134 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 mengarahkan ke arah mana mereka akan menjalani kehidupannya. Manusia yang optimis percaya bahwa mereka dapat menangani kesulitan yang tidak terelakkan di masa depan dan dapat menerima fakta-fakta kehidupan (Boerner & Jopp, 2010). Secara fisik, orang yang optimis lebih sehat, cenderung produktif berprestasi, serta tidak mengalami depresi. Analisis kausal merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk secara akurat mengidentifikasikan sebab-sebab dari permasalahan mereka. Bila seseorang tidak mampu melihat sebab-sebab itu, ia akan cenderung untuk terperangkap dan melakukan kesalahan yang sama. Dalam kehidupan, tentu setiap orang akan memiliki gaya berpikir berdasarkan analisis kausal masing-masing. Gaya berpikir yang resilien membantu individu untuk melihat bahwa beberapa masalah disebabkan oleh apa yang individu tersebut lakukan, di mana masalah lain belum tentu demikian (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dan emosi orang lain. Kemampuan ini dapat dideskripsikan sebagai bagaimana seseorang dapat melihat dari sudut pandang orang lain, mampu mendeteksi apa yang orang lain pikir dan rasakan. Empati merupakan hal penting dalam memiliki hubungan yang intim karena setiap individu memiliki kebutuhan untuk dimengerti dan dihargai orang lain. Dimengerti dan mengerti orang lain merupakan hal penting dalam mengembangkan resiliensi. Seseorang yang mampu berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik. Dengan memiliki hubungan sosial yang baik, maka individu akan mendapatkan dukungan sosial yang baik pula, terutama di saat mereka mengalami masa-masa sulit. Dukungan sosial yang berasal dari orang lain, teman, orangtua, anak, atau mereka yang senasib sepenanggungan akan sangat dibutuhkan untuk membentuk resiliensi (Rogers, 2005). Self-efficacy merupakan perasaan bahwa seseorang efektif atau berguna di dunia ini. Keadaan ini mewakili keyakinan seseorang bahwa ia dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan keyakinan bahwa akhirnya akan sukses melewatinya. Kepercayaan dan kompetensi membantu individu untuk tetap berusaha meskipun sedang berada dalam situasi yang penuh tantangan dan tetap dapat 135 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 memertahankan harapan (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi tidak hanya penting untuk menghadapi, mengatur, dan berbalik arah dari kesulitan hidup. Resiliensi juga memungkinkan individu untuk meningkatkan aspek positif dalam kehidupan dan melihat kesempatan baru dalam hidup. Hal ini yang dimaksud dengan reaching out (Reivich & Shatte, 2002). Kehilangan terkait dengan Kematian Kehilangan adalah suatu keadaan di mana seseorang dipisahkan atau terpisah dari orang lain, objek, status, atau hubungan yang dianggap berharga. Kehilangan dapat berupa kematian atau jenis-jenis pengakhiran lain (Corr, Nabe, & Corr, 2009). Kehilangan terbagi menjadi dua jenis, yaitu (a) kehilangan primer, (b) kehilangan sekunder. Kehilangan primer merupakan suatu keadaan dari berakhirnya keterikatan terhadap suatu objek, status atau merupakan berakhirnya suatu hubungan dengan orang lain. Kehilangan sekunder merupakan hal-hal yang mengikuti setelah terjadinya kehilangan primer. Tipe-tipe kehilangan terkait dengan bereavement terbagi menjadi tiga yaitu (a) kematian orangtua, (b) kematian anak, (c) kematian pasangan hidup. Kematian orangtua mengingatkan individu akan kerentanan manusia terhadap kematian dan hilangnya sosok yang penting dalam hidup mereka. Pada kebanyakan orang, kematian orangtua terjadi setelah anak-anaknya tumbuh besar. Individu yang ditinggalkan orangtua merasa kekurangan akan beberapa hal seperti sumber nasehat dan panduan, sumber cinta, dan model dari gaya pengasuhan (Cavanaugh & BlanchardFields, 2006). Kematian anak dipersepsikan sebagai tragedi yang berat karena orangtua yakin bahwa anak-anak tidak seharusnya meninggal sebelum orangtuanya. Kematian yang datang tiba-tiba dapat memberikan efek traumatis yang berat, begitu juga dengan kehilangan anak akibat mengidap penyakit kronis. Kedukaan yang terjadi bersifat intens dan beberapa orangtua tidak pernah sembuh dari kedukaan akibat kematian anaknya. Kematian anak dalam bentuk apa pun, termasuk dalam kandungan maupun tidak lama setelah kelahiran dianggap sebagai tipe kehilangan yang paling traumatis (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Kematian pasangan hidup mewakili kehilangan yang dalam dan 136 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 bersifat pribadi, terutama bila pasangan memiliki hubungan yang lama dan dekat. Umumnya, setiap orang yang kehilangan pasangannya, merasakan adanya bagian dari dirinya yang mati pula (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) mendefinisikan bereavement sebagai kondisi situasi yang terjadi dan disebabkan oleh kehilangan dan kematian. Corr, Nabe, dan Corr (2009) menjelaskan bahwa bereavement adalah situasi objektif dari seseorang yang telah mengalami kehilangan akan orang lain atau hal yang dianggap berharga. Bereavement mengandung tiga elemen kunci, yaitu adanya hubungan atau kelekatan dengan seseorang atau hal yang dianggap berharga, adanya kehilangan terhadap hubungan itu, dan adanya individu yang kekurangan akan seseorang atau sesuatu yang berharga karena kehilangan. Secara khusus, bereavement terkait dengan kehilangan akan orang yang dicintai (Kastenbaum, 2009). Metode Penelitian Partisipan Metode penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Partisipan penelitian berjumlah dua orang dan merupakan relawan kanker yang tergabung dalam Pita Emas Family Support Community. Karakteristik partisipan penelitian adalah orangtua yang juga merupakan pengasuh utama dari anak yang meninggal karena kanker dengan usia kematian anak selama 3 bulan hingga 2 tahun. Jenis kelamin yang diperlukan bebas namun pada penelitian ini jenis kelamin yang didapatkan adalah wanita. Subjek merupakan anggota dari Pita Emas Family Support Community yang sampai saat ini aktif melakukan pendampingan kepada orangtua dari anak penderita kanker. Pengukuran Penelitian ini menggunakan tipe penelitian studi kasus sehingga diharapkan akan didapatkannya pengalaman subjektif individu yang mendalam, Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara kepada subjek dan informan, serta observasi kepada partisipan. Pengambilan data dilakukan selama 3 bulan. 137 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Analisis Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data yang diperoleh melalui wawancara ke dalam bentuk verbatim. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menemukan kategori-kategori seperti tema atau konsep dari jawaban subjek. Hasil Penelitian Faktor-faktor resiliensi pada subjek Dewi mampu mengembangkan regulasi emosi walaupun pernah mengalami kondisi di mana emosi negatif mendominasi kondisi psikologisnya. Dewi juga terlihat sudah mampu untuk mengontrol impuls terhadap setiap pemikiran yang muncul ketika terjadi masalah. Optimisme telah dimiliki Dewi sejak awal walaupun Dewi menekankan pentingnya penerimaan kematian sebagai hal yang tidak mungkin terelakkan. Dewi terlihat mampu menganalisa penyebab kematian anak namun hingga kini masih sering menyalahkan diri sendiri. Walaupun demikian, Dewi mampu mengontrol perasaan tersebut dengan melakukan kompensasi berupa peningkatan kinerja dirinya sebagai seorang relawan. Dewi hingga kini merasa dirinya berguna dan efektif bagi orang lain sehingga akhirnya Dewi mampu meningkatkan aspek positif dan mengembangkan kehidupannya. Hal serupa juga terlihat pada partisipan penelitian yang bernama Yuni. Yuni terlihat mampu mengatur emosinya dengan cukup baik walaupun Yuni mengalami masa-masa sulit ketika Rangga terdiagnosa dan meninggal karena kanker. Walaupun demikian, Yuni tidak dapat mencegah munculnya pemikiran-pemikiran negatif. Pengontrolan impuls yang dimiliki Yuni terlihat sangat baik dan pada akhirnya mampu membantu Yuni untuk tidak melakukan pemikiran impulsifnya dengan cepat. Optimisme Yuni tergambar pada penerimaan kanker sebagai hal yang tidak dapat terelakkan sehingga Yuni mampu mengharapkan yang terbaik bagi Rangga dan dirinya. Yuni juga terlihat mampu mengenali beberapa penyebab kanker dan kematian pada Rangga namun Yuni masih menyalahkan diri sendiri atas kematian Rangga. Walaupun demikian, Yuni mampu mengkonfrontasi pemikiran itu dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih baik. Empati Yuni terlihat baik, terutama ketika Yuni menjalani perannya sebagai relawan. Yuni 138 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 mampu mengembangkan empati sebagai elemen penyembuhan kepada keluarga pasien kanker saat ini. Perasaan berguna yang dimiliki Yuni tergambar dalam usahanya untuk mendampingi keluarga pasien. Pada akhirnya Yuni juga mampu meningkatkan aspek positif dan memperluas area kehidupannya dengan menjadi seorang relawan. Proses resiliensi pada subjek Kerangka waktu yang diutarakan Dewi memperlihatkan terdapatnya prestasi dan permasalahan yang dimiliki Dewi sebelum Qalista terdiagnosa kanker. Prestasi Dewi yang berhasil dicapainya pada masa mudanya memerlihatkan bahwa Dewi melihat masalah sebagai suatu tantangan dan berhasil mengatasinya. Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang dialami Dewi berturut-turut selama bertahun-tahun melatih kemampuan Dewi untuk dapat kuat walaupun berada dalam masalah. Hal-hal tersebut berperan penting dan berpengaruh besar dalam resiliensi yang dimiliki Dewi saat ini. Kerangka waktu yang dimiliki Yuni memperlihatkan bahwa Yuni juga memiliki prestasi di masa muda sebagai seorang penari dan Yuni mampu menjadikan masalah sebagai tantangan serta mengatasi hal tersebut. Pengalaman kehilangan Yuni yang dialami sebanyak dua kali, berperan besar dalam resiliensi Yuni ketika harus kehilangan Rangga. Yuni mampu beradaptasi terhadap setiap kehilangan yang terjadi dan hal tersebut melatih kemampuan resiliensi Yuni. Ketika Rangga meninggal karena kanker, Yuni terlihat lebih mampu beradaptasi positif dengan cepat. Pembahasan Bila dikaitkan dengan teknik pengambilan sampel di mana peneliti menggunakan maximum variaton sampling, terlihat bahwa variasi yang muncul pada penelitian ini adalah mengenai perbedaan respon awal Dewi dan Yuni ketika anak terdiagnosa kanker. Anak Dewi mengidap kanker dengan prevalensi umum dan anak Yuni mengidap kanker yang langka yang lebih sulit disembuhkan. Perbedaan respon terbesar terlihat pada kondisi di mana Yuni lebih terlihat pasrah, menerima, dan mempersiapkan kematian Rangga sejak awal sedangkan Dewi terlihat lebih optimis dan berupaya demi kesembuhan Qalista walaupun pada akhirnya dapat menerima. 139 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Salah satu temuan yang ada pada penelitian ini adalah bahwa wanita lebih mampu untuk menjadi resilien lebih cepat dibandingkan pria. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan temuan Rubin dan Malkinson (dalam Boerner & Jopp, 2010) yang mengatakan bahwa wanita cenderung lebih sulit mengatasi kehilangannya. Beberapa hal yang perlu diteliti lebih jauh adalah mengenai beberapa hal yang terkait dengan resiliensi yang dimiliki subjek yang tidak menjadi fokus pada penelitian ini. Hal-hal tersebut adalah grieving process, anticipatory grief, defense mechanism, dan budaya. Ketika kematian datang, setiap orang tentu akan menjalani proses berduka. Penelitian ini tidak menjelaskan di mana letak resiliensi ketika proses berduka terjadi. Peneliti juga melihat adanya kemungkinan terdapatnya anticipatory grief yang mempengaruhi kesiapan subjek dalam menghadapi kematian anaknya sehingga tidak terlihat jelas apakah resiliensi menjadi faktor utama bangkitnya subjek dari pengalaman tidak menyenangkan tersebut. Hal lain yang perlu diteliti lebih jauh adalah mengenai keberadaan mekanisme pertahanan diri yang dilakukan subjek ketika anaknya meninggal dan melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap adaptasi yang dilakukannya kini. Peneliti juga melihat bahwa pengaruh faktor budaya dalam pertumbuhan resiliensi sangat menarik untuk dapat dibahas. Keterbatasan yang dimiliki oleh penelitian ini adalah sedikitnya variasi yang didapatkan karena sulitnya mencari subjek yang sesuai. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan waktu dan kurangnya jumlah subjek yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Para orangtua yang kehilangan anak karena kanker terutama dengan usia kematian 3 bulan – 1 tahun sangat sulit untuk diajak berpartisipasi karena mengaku masih dalam masa berduka. Walaupun penelitian ini memiliki keterbatasan dan menyisakan beberapa hal yang masih perlu diteliti lebih lanjut, terdapat nilai-nilai penting yang terlihat pada penelitian ini. Hal yang penting untuk dapat dimengerti lebih jauh adalah bahwa resiliensi bukanlah sebuah kondisi di mana manusia dapat beradaptasi positif, mengelola aktivitas dan memiliki kehidupan baru dengan sempurna. Persepsi masyarakat mengenai orang yang kuat tidak dapat mendeskripsikan resiliensi dengan tepat. Setiap orang yang kehilangan hal atau orang yang dicintai, terutama kehilangan anak, tentu saja akan berduka. Sejalan 140 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 dengan penuturan Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) bahwa kedukaan karena kehilangan anak bersifat intens dan beberapa orangtua tidak pernah sembuh dari kedukaan tersebut. Kematian anak dalam bentuk apa pun, termasuk dalam kandungan maupun tidak lama setelah kelahiran dianggap sebagai tipe kehilangan yang paling traumatis. Respon kehilangan yang dijalani merupakan proses normal yang harus dilalui. Kesedihan, ingatan, bekas-bekas kesakitan pasti akan selalu ada pada diri namun hal yang membedakan orang resilien dengan non resilien adalah bahwa orang yang resilien tetap melangkah maju ke arah yang lebih baik, tidak diam di tempat atau bahkan mundur ke belakang. Hal penting lain yang perlu diperhitungkan adalah bahwa kesedihan, ingatan, bekas-bekas kesakitan atau ketakutan yang masih ada tidak menghalangi orang yang resilien untuk berproduksi dan berguna dalam kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan partisipan penelitian di mana pada akhirnya mampu untuk dapat hidup dengan baik, produktif, bahkan memberi manfaat kepada orang lain. Nilai penting lainnya adalah bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang mampu untuk menjadi resilien dengan cara yang unik. Proses yang dilalui setiap orang untuk mampu beradaptasi positif dengan situasi yang tidak menyenangkan tidak dapat dijelaskan dengan kaku. Hal tersebut dapat terjadi karena setiap orang pada dasarnya memiliki karakter, pemikiran, nilai dan pengalaman kehidupan yang unik dan bersifat personal. Dengan demikian tidak ada suatu proses resiliensi yang persis sama antara satu dengan yang lainnya karena setiap manusia menghadapi masalah, jatuh, dan bangkit dengan caranya sendiri. 141 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Daftar Pustaka Asra, D. (2010). Karakteristik penderita leukimia rawat inap di RSU Dr. Pringadi Medan tahun 2005-2009. (Skripsi tidak dipublikasikan). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id Boerner, K., & Jopp, D. (2010). Resilience in response to loss. Dalam Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. C. (Ed.), Handbook of adut resilience (hal.126-145). New York: The Guilford Press. Bogar, C. B., & Hulse-Killacky, D. (2006). Resiliency determinants and resiliency process among female adult survivors of childhood sexual abuse. Journal of counseling and development, 84(3), 318-327. Cavanaugh, J. C., & Blanchard-Fields, F. (2006). Adult development and aging (5th ed.). Belmont: Thomson-Wadsworth. Ciccarelli, S.K., & Meyer, G.E. (2006). Psychology. Boston: Pearson. Coifman, K. G., Bonanno, G. A., & Rafaeli, E. (2006). Affect dynamics, bereavement, and resilience to loss. Journal of Happiness Studies, 2007(8), 371-392. Corr, C. A., Nabe, C. M., & Corr D. M. (2009). Death & dying, life & living (2nd ed.). Belmont: Wadsworth. Fonny, Waruwu, F. E., & Lianawati. (2006). Resiliensi dan prestasi akademik pada anak tuna rungu. Jurnal Provitae, 2(1), 34-40. Goel, K. S. (2009). Identifying factors contributing to child and adolescent resilience following a residential fire: The role of social support, coping, and ethnicity. (Skripsi tidak dipublikasikan). Blacksburg: Virginia Polytechnic Institute and State University. Diunduh dari: http://scholar.lib.vt.edu Hidayat, D. D., Zamralita, & Ninawati. (2006). Resiliensi dan tingkat stres pada masa persiapan pensiun. Jurnal Phronesis, 8(1), 50-70. Howard, S., & Hughes, B. M. (2012). Benefit of social support for resilience-building is contingent on social context: Examining cardiovascular adaptation to recurrent stress in women. Anxiety, Stress, and Coping, 25(4), 411-423. Kastenbaum, R. J. (2009). Death, society, and human experience (10th ed.). Boston: Pearson. Krovetz, M. L. (1999). Fostering resiliency: Expecting all students to use their minds and heart well. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc. Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6th ed.). Belmont: Thomson-Wadsworth. Ong, A. D., Bergerman, C. S., & Bisconti, T. L. (2004). The role of daily positive emotions during conjungal bereavement. Journal of Gerontology: Psychogical Sciences, 59B(4), 168-176. Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods. Newsbury Park: Sage Publications. Parkes, C. M. (2006). Love and loss: The roots of grief and its implications. London: Routledge. Peek, G., & Melnyk, B. M. (2010). Coping intervensions for parents of children newly diagnosed with cancer: An evidence review with implications for clinical practice and future research. Journal of medical sciences, 36(6), 306-313. Poerwandari, E. K. (2011). Pendekatan kualitatif: Penelitian perilaku manusia (3rd ed.) Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. 142 Jurnal NOETIC Psychology Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2013 Reivich, K., & Shatter, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles. New York: Broadway Books. Rogers, C. H. (2005). The effect of the death of a child on midlife mental and physical health: An exploration of risk and resilience factors. (Skripsi tidak dipublikasikan). Georgia State Universit, United States of America. Santrock, J. W. (2008). Life span development (11th ed.). New York: McGraw Hill. Siebert, A. (2005). The resiliency advantage: Master change, thrive under pressure, and bounce back from setbacks. San Fransisco: Berret-Koehler Publishers, Inc. Siebert, A. (2006). Develop resilience skills. T+D, 60(9), 88-89. Sigelman, C. K. & Rider, E. A. (2009). Life-span human development (2nd ed.). Belmont: Wadsworth. Walsh, F. (2007). Traumatic loss and major disasters: Strengthening family and community resilience. Family Process, 46(2), 207-227. Wielia, & Wirawan, H. E. (2006). Gambaran resiliency pada individu yang pernah hidup di jalanan. Jurnal sosial & humaniora, 2(1),69-97. Wolfe, J., Grier, H. E., Klar, N., & Levin, S. B. (2000). Symptoms and suffering at the end of life in chilren with cancer. The New England Journal of Medicine, 342(5), 326-333. 143