DASAR PENGETAHUAN PEKERJAAN SOSIAL SANTOSO TRI RAHARJO 2015 ISBN: 978-602-9238-85-3 Judul Buku: DASAR PENGETAHUAN PEKERJAAN SOSIAL Penulis: Santoso Tri Raharjo 2015 Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812 Website: lppm.unpad.ac.id Email: lppm.unpad.ac.id Bandung 45363 1 Jil, 123 halaman, Ukuran: 14,8 cm X 21 cm ISBN: 978-602-9238-85-3 Cetakan: Kedua September 2015 ISBN: 978-602-9238-85-3 9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8 KATA PENGANTAR Buku Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial ini berisi mengenai perspektif, teori atau model mendasar mengenai pengetahuanpengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam praktek pekerjaan sosial secara umum; termasuk juga beberapa pendekatan penting yang banyak dan biasa dipergunakan. Tulisan ini mencoba mengakomodasi beberapa perkembangan perspektif baru dalam praktek pekerjaan sosial, diantaranya strengths perspective. Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berlandaskan pengetahuan (perspektif, teori atau model), keterampilan dan sikap sebagai syarat keprofesian. Sehingga suatu praktek pertolongan profesional sudah seharusnya berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan yang jelas. Inilah yang membedakan secara jernih dan jelas dengan relawan dan dermawan, yang membantu orang lain dengan berlandaskan pada panggilan karitas, sikap saling tolong, dan pilantropis semata. Namun di sisi lain, lemahnya pemahaman dan penguasaan berbagai perspektif-teori-model praktek pertolongan pekerjaan sosial diantara para pekerja sosial itu sendiri membuat profesi ini belum mampu berdiri dengan ‘tegak’ untuk mengatasi permasalahan sosial di tengah profesi-profesi lainnya yang telah lama berkembang. Penerapan pengetahuan (perspektif, teori atau model) dalam penanganan masalah sosial masih terbatas pada wilayah tertentu saja, atau masih dalam komunitasnya, yang didalamnya sebagian besar terdiri dari pendidik pekerjaan sosial, para praktisi pekerjaan sosial, atau lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, termasuk kementerian sosial. Para pekerja sosial seharusnya mampu menunjukkan secara ‘khas’ dengan pembeda pendekatan pekerjaan sosial (social work approach: baik pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional) khususnya manakalan terlibat dalam iii proses penanganan masalah sosial yang bergerak bersama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semoga penulisan buku ini membangunkan kepercayaan diri dalam upaya membangkit-tegakkan profesi ini di tengah-tengah masyarakat. Penulisan ini diharapkan sebagai upaya untuk memperkaya bahan-bahan pustaka dalam pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Semoga tulisan ini dapat juga menjadi bahan bacaan para mahasiswa, dosen dan praktisi pekerjaan sosial / kesejahteraan sosial di Indonesia. Namun demikian, tentunya tulisan ini masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan pada setiap sisinya, sehingga sangat terbuka untuk menerima kritik dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan. Akhir kata, kami sampaikan buku ini dengan harapan semoga dapat memberikan sumbangan yang optimal bagi pengembangan pendidikan dan praktek pekerjaan sosial, Aamiin... Terima kasih Jatinangor, September 2015 STR iv DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN ............................................................. 1 2. PENGETAHUAN UNTUK PEKERJA SOSIAL ............ A. Perkembangan Manusia ............................................. B. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan ..................... C. Dinamika Interpersonal, Kelompok dan Organisasi D. Proses Pekerjaan Sosial .............................................. E. Paradigma Teoritis ...................................................... F. Metode-metode Intervensi .......................................... G. Etika dan Nilai ............................................................. 7 9 16 26 34 40 48 57 3. ALASAN DIALEKTIKAL ................................................ 60 4. MEMANFAATKAN PENGETAHUAN .......................... A. Refletive Practice (Praktek Reflektif) ......................... B. Ide dan Rasa ............................................................... C. Tetaplah Berpraktek ..................................................... 5. PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL DAN TEORI PEKERJAAN SOSIAL ..................................................... A. Teori Sistem ................................................................ B. Perspektif Ekologis ...................................................... C. Life Model Praktek Pekerjaan Sosial ........................... D. Asesmen Person-In-Environment (PIE) dan Sistem Klasifikasi ................................................................... E. Perspektif Kekuatan ................................................... 78 80 84 87 91 95 101 107 110 114 F. Empowerment-Based Practice Model .................. 120 G. Perspektif Generalis ............................................ 122 6. PENUTUP ........................................................................... 127 PUSTAKA ................................................................................. 131 v DAFTAR TABEL Tabel 1 Contoh Beberapa Teori Praktek Pekerjaan Sosial 92 Tabel 2 Konsep-konsep Perspektif Ekologis.................... 105 Tabel 3 PIE System Factors.............................................. 112 Tabel 4 Asumsi Perspektif Kekuatan .............................. 115 Tabel 5 Perbandingan dari Perspektif Deficits and Strengths 116 vi 1 PENDAHULUAN Bartlett (1970) telah mengemukakan bahwa sifat suatu profesi yang telah ‘matang’ atau mapan akan bersandar dan berlandas atau berpegang kokoh pada suatu batang tubuh pengetahuan dan nilai-nilai yang kuat. Pekerjaan sosial semestinya tidak sekedar melakukan suatu aktfitas pelayanan sosialnya secara mekanis atau otomatis begitu saja, atau mengerjakan suatu pekerjaan tanpa berfikir dan sesukanya saja. Tentunya diperlukan suatu basis pengetahuan yang jelas dari setiap praktek pekerjaan sosial, baik pada level mikro, level meso maupun level makro. Basis pengetahuan tersebut menyuguhkan sejumlah konsolidasi dan panduan pengetahuan dari berasal dari pengalaman para praktisi, beragam teori perilaku, dan bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya, yang mencakup bidang-bidang garapan yang kurang lebih sama digunakan pada masa sebelumnya, dan juga menyediakan sejumlah pengalaman-pembelajaran bagi para pekerja sosial di masa ini dan masa mendatang. Ini bukan berarti bahwa semua pengalaman dan pembelajaran tersebut berikut nilai-nilai yang 1 dihadapinya dapat diambil semua, tetapi kita semestinya dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan atau keberhasilankeberhasilan yang pernah dilakukan dari praktik-praktik orang lain. Basis pengetahuan pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang sangat luas dan kompleks, serta merupakan sautu pengetahuan yang akan terus berkembang setiap saat seiring dengan perkembangan praktek, teori, kebijakan dan penelitian pekerjaan sosial, dan tentunya juga perubahan-perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik terhadap permasalahan sosial yang yang terus berkembang juga. Oleh karena itu akan menjadi sesuatu yang tidak realistis, apabila dalam tulisan ini akan menyuguhkan semua basis pengetahuan tersebut dalam satu buku ini. Tulisan ini merupakan salah satu dari sedikit upaya saja untuk merangkum itu semua. Pertama-tama adalah dengan melihat secara sekilas isi dari basis pengetahuan pekerjaan sosial (yang mungkin juga tidak akan komprehensif), dan kedua, sebuah diskusi singkat mengenai pendekatan basis pengetahuan pekerjaan sosial, dan terakhir sebuah perbincangan mengenai permasalahan apa yang akan muncul jika tidak tersedia basis pengetahuannya bagi para pekerja 2 sosial, atau ketersediaan basis pengetahuannya tidak sesuai atau tidak efektif untuk diterapkan pada situasi praktek saat kini. Sekali lagi tulisan ini hanya berupaya untuk memetakan basis pengetahuan pekerjaan sosial, yang umum dan biasa digunakan dalam praktek pekerjaan sosial. Menurut The New Shorter Oxford English Dictionary (1993) yang disebut pengetahuan terdefinisi dalam daftar sebagai berikut ini, yaitu; a) Fakta pengetahuan tentang sesuatu, pernyataan seseorang, dan seterusnya, yang saling berkaitan, dan dikenali melalui pengalaman; b) Persepsi intelektual akan fakta atau keyakinan; pemahaman atau kesadaran yang jelas atau tidak jelas, intuisi sebagaimana didukung pendapat; dan c) Pemahaman teoritis atau praktis tentang seni, ilmu, industri, dst. (p. 1503) Sedangkan sumber-sumber pengetahuan bagi pekerjaan sosial, menurut Mattaini (1995), dapat diperoleh dari hal-hal sebagai berikut: 1. Practice wisdom (kebijakan praktek) 2. Personal experience (pengalaman pribadi) 3 3. Sejarah dan kejadian-kejadian terkini 4. Batasan seni dan pustaka 5. Penelitian naturalistik (alamiah) 6. Penelitian kualitatif dan kuantitatif 7. Penelitian eksperimen: penelitian disain kelompok, penelitian disain tunggal 8. Pengetahuan dari kasus-kasus 9. Ilmu biologi dan perilaku: biologi, genetika, perilaku; ilmu ekologis; ilmu perilaku dan sosial; 10. Analisis teoritis dan konseptual: pemilihan teori-teori; jenis-jenis teori; pemanfaatan teori 11. Pengintegrasian Sumber-sumber Pengetahuan dalam suatu kasus Menurut Barker (1995) basis pengetahuan dalam pekerjaan sosial adalah : “..., the aggregate of accumulated information, scientific findings, values, and skills and the methodology for acquiring, using, and evaluating what is known. Sedangkan sumbernya dapat diperoleh dari berbagai penelitian para pekerja sosial sendiri, pengembangan teoritis, kajian- 4 kajian sistematis atas fenomena yang relevan dan dari pengalaman langsung serta laporan-laporan praktek dari para praktisi pekerja sosial lainnya. Pengetahuan pekerjaan sosial dapat juga dapat diperoleh dari informasi yang bersumber dari klien dan anggota asosiasi disiplin ilmu dan profesional lainnya serta informasi yang berasal dari pengetahuan masyarakat umum secara keseluruhan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengetahuan yang scientific base pekerjaan sosial yaitu terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu: a) pengetahuan yang teruji; b) pengetahuan hipotetis yang memerlukan trasformasi sehingga perlu diuji lebih kanjut; dan c) pengetahuan asumtif (atau practice wisdom) yang memerlukan transformasi ke dalam menjadi pengetahuan hipotetis dan kemudian memerlukan pengujian lebih lanjut sehingga menjadi pengetahuan yang teruji (Thackeray, Farley & Skidmore, 1994). Sepanjang basis pengetahuan tersebut secara ‘fungsional’ memiliki manfaat praktis baik langsung atau tidak langsung dalam praktek pekerjaan sosial, maka itu dapat digunakan dan dimafaatkan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan nilai-nilai dasar praktek pekerjaan sosial. 5 Titik perhatian dan ‘pembeda’ suatu profesi adalah pada kemampuan profesional seseorang, melalui sebuah proses berfikir aktif, untuk mentransfer (menterjemahkan/ menerapkan) pengetahuan tersebut ke dalam pelayanan profesional yang mengkaitkannya sesuai dengan kebutuhan unik para kliennya. Sebuah profesi menuntut keterampilanketerampilan interventif yang digunakan secara selektif dan berbeda yang ditentukan oleh batang tubuh pengetahuan dan teori, proses penentuan metodologi secara selektif, serta tujuan dan nilai-nilai profesi. Basis pengetahuan tersebut jelas menjadi pembeda dari suatu profesi, demikian pula profesi pekerjaan sosial dengan tugas-tugasnya yang sedemikian kompleks. --------------------- 6 2 PENGETAHUAN UNTUK PEKERJA SOSIAL Sebuah pertanyaan besar yang tidak mudah untuk dijawab secara singkat, adalah pengetahuan-pengetahuan apa saja yang dibutuhkan bagi para pekerja sosial. Dalam upaya menjawab pertanyaan tersebut maka basis pengetahuan pekerjaan sosial dapat dibagi menjadi beberapa bagian kecil. Namun demikian perlu ditekankan bahwa tidak ada cara yang paling definitif (clear) untuk mengkategorisasi pengetahuan tersebut. Penulis lainnya mungkin akan menggunakan kategori yang berbeda, ini bukan pula berbicara tentang kategori mana yang paling benar atau mana yang salah. Lebih dari sekedar itu, ini adalah soal bagaimana sebuah sistem kategori dapat membagi sesuatu yang sangat kompleks agar menjadi lebih mudah dipahami pada masing-masing bagiannya. Ibarat puzzle, maka setiap potongan kertas adalah bagian dari gambaran keseluruhan yang tidak terpisahkan, yang seringkali juga saling tumpang tindih dan saling silang di. Kategorisasi ini tentunya ditujukan untuk 7 membantu memudahkan memahami beragam pengatahuan pekerjaan sosial yag ada. Sheafor, Horejsi & Horejsi (1994) mengemukakan bahwa dalam upaya melalukan perubahan ke arah yang lebih baik, maka menurutnya para pekerja sosial memerlukan sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi dan permasalahan sosial, kebijakan sosial dan program sosial, fenomena sosial, profesi pekerjaan sosial, dan berbagai teori praktek. Permasalahan kenakalan dan tindak kriminal/ kenakalan remaja, pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak, remaja putus sekolah, kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan dalam rumah tangga, dan seterusnya; merupakan beberapa contoh dari permasalahan dan kondisi sosial yang ada di masyarakat saat ini. Para pekerja sosial harus mengetahui mana yang merupakan kebijakan, program dan proyek kegiatan. Bagaimana suatu kebijakan dapat diterjemahkan menjadi sejumlah program, dan bagaimana suatu program dapat diurai menjadi beberapa proyek kegiatan. Demikian pula bagaimana program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan secara jelas. Dalam 8 bagian berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengetahuan dalam profesi pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yang perlu diketahui. A. Perkembangan Manusia Pemahaman (perspektif, teori, model dst) mengenai perkembangan mengenai perkembangan manusia nampaknya merupakan bagian yang sulit terpisahkan profesi pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Bagaimana mengintervensi sebuah situasi kasus tertentu, tentunya tergantung pada sejumlah faktor, mengedepankan tetapi tentang persoalan-persoalan yang satu seperangkat perkembangan berkaitan isu selalu manusia---yaitu dengan kehidupan manusia. Sebagai contoh, respon terhadap seorang anak akan berbeda dari yang anak beranjak remaja atau yang menjelang remaja akhir. Sama halnya ketika kita akan merespon secara berbeda ketika berhadapan dengan anak usia lima tahun dibandingkan dengan anak usia lima belas tahun. Kondisi ini terjadi karena kita memahami signifikansi lingkaran kehidupan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan mengakui bahwa manusia akan menghadapi berbagai tantangan dan isu 9 yang berbeda-beda pula, bergantung pada dimana lingkaran (daur) kehidupannya sedang dijalani. Lingkaran hidup memiliki sejumlah implikasi bagi kita seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, setiap tahap kehidupan yang dicapai akan cenderung merupakan faktor kontekstual penting sehingga dapat dimengerti pula apabila akan timbul permasalahan-permasalahan dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi serta terdapat rentang solusi potensial yang juga mungkin dapat diperoleh dari setiap tahap perkembangan manusia tesebut. Tahap-tahap dari lingkaran (daur) hidup tersebut ditampilkan atau muncul secara berbeda-beda oleh para ahli, namun demikian seiring tujuan sebelumnya akan dikemukakan kategori secara umum saja. Berikut ini adalah tahap-tahap kehidupan dari lingkaran kehidupan : 1. Infancy. Tahap kehidupan yang paling awal yang hidupnya masih sangat bergantung pada perlindungan dan perawatan orang lain. Tahap ini juga merupakan tahap perkembangan yang paling signifikan dalam perkembangan psikologis seiring pengalaman yang diperoleh pada tahap ini yang dapat mempengaruhi 10 pandangan kita terhadap dunia dan bagaimana kita meresponnya di tahun-tahun berikutnya. 2. Chilhood. Seiring pertumbuhan dari masa bayi, kita memulai proses menjadi lebih mampu mengurus diri sendiri, meskipun kita masih membutuhkan perlindungan dan pengasuhan yang baik. Sekali lagi pada tahap ini dapat menjadi sangat signifikan dalam mempertajam respon-respon dan sikap-sikap psikologis kita. 3. Adolescence. Sebagaimana diketahui bergeraknya masa kanak-kanak ke masa dewasa harus melalui periode transisi yang dikenal dengan masa remaja, meski pada kenyataannya mayoritas anak muda dapat melewati masa remaja tanpa kesulitan atau drama tertentu (Lipsitz, 1980). Masa ini setidaknya merupakan masa yang penting dalam kehidupan, di masa ini biasanya seseorang mengembangkan rencana karirnya atau ideidenya tentang apa yang mereka inginkan dalam kehidupan ini dan di masa depan. 4. Early adulthood. Secara umum di masa ini dipandang sebagai tahap memastikan kemandirian diri mereka sendiri dalam dunia orang dewasa, melalui pekerjaan, 11 kehidupan keluarga, merawat tempat tinggal, memiliki anak dan seterusnya. 5. Middle age. Suatu tahap kehidupan yang dipandang sebagai pola yang lebih mantap-mandiri dan dicirikan dengan kematangan dan pengalaman. Di masa ini seringkali dipahami sebagai masa konsolidasi. 6. Old age. Pada masa ini seringkali distereotipkan dengan istilah-istilah negatif sebagai masa tergantung, lemah, dan tidakberdaya. Pada kenyataannya pada masa ini akan sangat berbeda bagi sebagian besar orang-orang lanjut usia. 7. Death. Kematian biasanya tidak dikenal sebagai sebuah tahap dalam daur kehidupan. Namun demikian, setidaknya kematian merupakan bagian signifikan atau memiliki arti penting dalam mempengaruhi daur kehidupan manusia. Memahami daur kehidupan merupakan sebuah prasyarat bagi para pekerja sosial, karena alasan-alasan berikut: 1. Dalam membentuk suatu pemahaman akan seseorang atau orang yang akan dibantu, adalah hal penting untuk 12 mengapresiasi tahap kehidupan apa dalam daur kehidupan yang mereka lalui dan apa artinya bagi mereka. 2. Permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja sosial umumnya adalah berkaitan dengan tahap kehidupan, sebagai contoh, kasus kekerasan anak seringkali berkaitan dengan penelantaran bayi (bayi dibuang misalnya) yang seharusnya masih bergantung pada pengasuhan orang tua untuk bertahan hidup. 3. Permasalahan seringkali muncul dimana orang mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian dari tahap kehidupan satu ke tahap kehidupan selanjutnya, kehidupan remaja merupakan contoh yang umum. Pendekatan intervensi krisis dapat dimanfaatkan, atau berkaitan erat dengan fenomena ini. 4. Setiap orang berbeda akan mengalami daur kehidupan yang berbeda pula, mungkin pula orang akan mengalami daur hidup yang berbeda sebagai hasil dari kecatatan fisik (disability) atau faktor-faktor sosial lainnya. 13 Poin terakhir yang benar-benar penting adalah akan berbahaya jika menggunakan kerangka daur hidup secara kaku dengan berfikir bahwa seseorang diharapkan mampu menyesuaikan diri seiring dengan tahap perkembangan (dan akan disebut menyimpang ‘deviant’ jika tidak mampu). Daur hidup menggambarkan apa yang ‘normal’ dalam pemikiran umum, dan secara statistik. Hal itu bukan berarti bahwa kelompok lain atau individu-inidividu lain yang berperilaku tidak ‘fit’ dengan pola tersebut akan dianggap ‘abnormal’ dalam arti memiliki masalah atau sedang bermasalah. Tentunya, kita harus mengerti bahwa pendekatan tradisional seperti itu terhadap daur hidup manusia adalah berpotensi oppressive, yaitu yang memiliki kecenderungan untuk mendiskriminasi terhadap orang-orang yang tidak fit (cocok, sesuai) dengan pola yang umumnya manusia (orang dengan disabilitas, gay dan lesbian dan seterusnya), dan juga seringkali gagal mempertimbangkan pentingnya perbedaan gender dan budaya. Dengan demikian hal yang seharusnya diingat adalah bahwa daur hidup merupakan cara awal untuk memahami secara umum tahaptahap perkembangan manusia dan bukan sebuah kerangka kaku (statis) untuk membuat penilaian ‘abnormal’ terhadap seseorang. Poin pentingnya adalah bagaimana memanfaatkan 14 pengetahuan umum dan pengetahuan yang lebih khusus lagi untuk memahami secara lebih mendalam fenomena tersebut. Poin penting lainnya bahwa untuk memahami bahwa daur hidup tidak sesederhana persoalan biologi (pertumbuhan fisik dan kebutuhannya). Memang benar bahwa, di sana terdapat sebuah dimensi biologi, sebagai contoh dalam kaitan ketergantungan bayi. Namun demikian kita sebaiknya tetap bersikap hati-hati untuk memanfaatkan dimensi peran biologi secara utuh dalam daur hidup seseorang. Masih terdapat dimensi-dimensi lainnya yang perlu dipertimbangkan, yaitu psikologi, sosial, politik, dan keberadaan (existential) manusia. Memang dimensi eksistensial dapat dipandang sebagai dimensi yang paling penting, untuk setiap tahap dari daur kehidupan karena membawa serta tantangan keberadaannya ---yaitu permasalahan baru untuk diatasi sebagaimana realitas yang kita hadapi sehari-hari dari keberadaan kita. Sebuah tema yang paling penting dan menyatu berkaitan erat dengan daur hidup yaitu identitas, pemikiran mengenai pengembangan diri dan pemeliharaannya melalui kehidupan sehari-hari kita. Identitas bukan sesuatu yang bersifat tetap, demikian pula tidak ada persoalan yang bersifat 15 abadi di luar kendali kita. Identitas merepresentasikan berjalannya suatu interaksi antara individu dan dirinya serta dengan kondisi sosialnya ---ini adalah ‘biografi’ yang kita tulis, perbincangan metaphorcally (tergambarkan secara simbolik), seiring berjalannya kehidupan, yang membuat kita mengerti apa sedang kita dihadapi, lalu mengintegrasikan pengaruhpengaruhnya terhadap kita dan memikirkan secara rasional dan seterusnya demikian. Permasalahan-permasalahan sosial seringkali juga berkaitan dengan identitas (misalkan rendah diri, harga diri) seringkali dihadapi dalam praktek pekerjaan sosial. B. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan Bukan sebuah kebetulan bahwa istilah ‘pekerja sosial’ terdapat kata sosial yang sebetulnya memiliki makna yang sangat mendalam. Konteks sosial adalah merupakan satu bagian yang sangat-sangat penting dari situasi yang dihadapi pekerja sosial serta diharapkan untuk dapat meresponnya secara tepat. Di sinilah keahlian (expertise) profesi pekerjaan sosial dalam memahami berbagai persoalan sosial, dengan memahami proses-proses sosial manusia, baik dalam level mikro, meso 16 maupun makro. Berikut sejumlah cara yang dapat dilakukan, dalam rangka melihat dan merespon kehidupan sosial: • Banyak permasalahan yang dihadapi awalahnya adalah dari (kondisi) sosial, sebagai contoh sebagai akibat kemiskinan dan kekurangan atau kekerasan ras, dan seterusnya. • Masalah sosial adalah socially constructed. Artinya, mereka didefinisikan oleh masyarakat. Sebagai contoh, sejumlah isu didefinisikan sebagai sesuatu yang melanggar hukum (ilegal) di beberapa negara, tetapi belum tentu bagi negara lainnya (legalitas prostitusi misalnya). • Solusi potensial adalah biasanya ada pada level sosial atau masyarakat, daripada individual (sekali lagi kemiskinan sebagai contohnya) dan mungkin melibatkan para pekerja sosial untuk memberi tekanan kepada pihak lainnya untuk menghadapi masalah tersebut (melalui aksi komunitas, contohnya), daripada menghadapinya secara langsung, case by case. • Respon pekerjaan sosial terhadap permasalahan seringkali melibatkan seluas mungkin sumber-sumber 17 sosial (pelayanan-pelayanan pemerintah, atau badanbadan sosial swasta, lembaga sosial berbasis komunitas misalnya) sebagai potensi-potensi pemenuhan kebutuhan sosial. • Faktor-faktor pribadi atau psikologis tidak berada secara terpisah---tetapi sangat dipengaruhi dan dibatasi oleh oleh isu-isu sosial. Bahkan banyak persoalan pribadi dan psikologis muncul sebagai akibat dari situasi sosial (masalah sosial psikologis). • Terdapat konsekuensi-konsekuensi sosial sebagai hasil keterlibatan dengan seorang pekerja sosial (misalnya stigma). Misalkan, orang yang diurus oleh pekerja sosial adalah orang yang punya ‘masalah’ sosial atau orang yang tidak mampu. • Intervensi pekerjaan sosial dapat saja memperburuk ketidakadilan sosial, misalkan memperkuat stereotip gender. • Kebijakan sosial yang mengatur intervensi pekerjaan sosial berakar pada kondisi sosial, politik dan ekonomi keseharian dari masyarakatnya. 18 Dengan demikian adalah penting bagi para pekerja sosial untuk memahami konteks sosial dari pekerjaannya. Mengabaikan dimensi sosial berarti mengabaikan persoalan utama pekerjaan sosial dan realitas dari kondisi-situasi sekitar klien. Ini bukan berarti bahwa para pekerja sosial harus ahli dalam bidang sosiologi tetapi mereka setidaknya perlu memahami secara mendasar bagaimana masyarakat bergerak dalam proses-proses sosial dan kelembagaan. Di sinilah kemiripan atau kesamaan pengetahuan antara sosiologi dengan pekerjaan sosial. Namun pembedanya, profesi pekerjaan sosial tidak berhenti hanya mamahami proses-proses (interkasi) sosial, tetapi bagaimana mempengaruh---melalui berbagai perdekatan, metode dan teknik serta keterampilan---prosesproses sosial tersebut agar bermanfaat bagi kesejahteraan sosial. Para pekerja sosial harus memahami proses-proses interaksi sosial yang terjadi pada setiap level atau cakupan kehidupan manusia. Hal ini meliputi pemahaman mengenai: • Social division. Kelas, ras, etnis, gender, usia, disabilitas, identitas seks, agama dan seterusnya yang merupakan cara-cara penting dimana seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor sosial 19 berkaitan dengan distribusi peluang dan kesempatan hidupnya. Bukan sebuah kebetulan pula bahwa mayoritas klien pekerjaan sosial adalah kelompokkelompok masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah. Demikian pula bukan hal yang mengejutkan bila mayoritas kliennya adalah wanita, dengan fakta bahwa wanita diharapkan mampu memainkan peran penting dalam mengelola keluarga dan rumah tangga. • Power. Kekuatan atau keberdayaan merupakan isu yang paling kompleks dan bergerak pada sejumlah tingkatan (lapisan) masyarakat yang berbeda-beda. Namun demikian, dalam sudut pandang pekerjaan sosial, hal tersebut sangatlah penting karena terkait dengan bahwa sejauh ini klien pekerjaan sosial umumnya berada pada posisi kekuatan yang relatif lemah atau tidak berdaya, sebagai akibat juga dari lokasi (posisi) sosial mereka (dalam kaitan dengan ‘divisi sosial’ di atas) atau permasalahan tertentu yang mendorong mereka untuk bertemu dengan seorang pekerja sosial (masalah kecanduan minuman keras, misalnya), atau mungkin kombinasi dari kedua hal di atas. Kemudian, intervensi pekerjaan sosial itu sendiri 20 merupakan praktek kekuatan (strengths perspective), dan ini dapat digunakan secara positif untuk memberdayakan klien atau secara negatif memperkuat mereka yang mengalami ketidak-beruntungan. • Ideology. Ideologi merujuk pada kekuatan gagasan untuk mempertahankan keberadaan struktur dan relasi sosial. Sebagai contoh, ideologi patrilineal (patrilineal/ patriarchy berarti ‘the law of the father’---yaitu dominasi laki-laki) memberi ruang terdapatnya pemeliharaan relasi kekuatan antara laki-laki dan perempuan dengan menampilkan peran gender secara alami dan yang diharapkan. Ideologi sangat berkaitan erat dengan power karena secara luas melalui peran ideologilah kekuatan tersebut dilakukan. Artinya, bekerja dengan ideologi dapat lebih efektif dalam mempertahankan struktur kekuatan daripada secara terbuka dan terlihat jelas penggunaan kekuatannya, seperti melalui kekuasaan dan pemaksaan. • Law and order. Hukum merupakan bagian dari produk dari pabrik sosial, suatu aspek penting bagaimana stabilitas sosial dipelihara. Hukum dan tatanan merupakan karakteristik penting dari kehidupan sosial, 21 sebagaimana terlihat dalam praktik-praktik hukum, baik di dalam maupun di luar sistem pengadilan, yang banyak mengatur kehidupan sosial. Pada posisi inilah signifikansi pekerja sosial, sebagai bagian dari mesin hukum dan tatanan untuk menciptakan stabilitas sosial, tetapi juga melakukan restrukturisasi sosial dengan bekerja pada sebagian besar kelompok-kelompok di masyarakat yang rentan dan tidak beruntung. • Social institutions. Tema ini merujuk pada suatu karakteristik sifat dari masyarakat yang relatif berjangka waktu panjang dan stabil, bangunan benteng kehidupan masyarakat yang terdiri dari simbol-simbol tatanan sosial. Di dalamnya termasuk pernikahan, keluarga, agama, pendidikan, dan identitas nasional. Semua hal tersebut berkait erat dengan ideologi dan memainkan masyarakat peran kita. penting Faktor-faktor dalam memahami signifikan yang membantu kita mengenali bagaimana masyarakat bergerak di sekitar kita. Hal tersebut bukanlah sifat alamiah yang sama dari suatu masyarakat dan seringkali berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. 22 Semakin selas, bahwa konteks sosial pekerjaan sosial sangat banyak dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja sosial untuk tetap berjalan seiring dengan semua yang mereka perlu ketahui, khususnya dengan perubahan-perubahan sosial yang dapat terjadi begitu cepat. Sehingga sudah merupakan hal yang wajar dan maklum apabila pekerjaan sosial, seharusnya adalah profesi yang paling paham, paling mengerti, paling ahli dan kompeten dalam bidang sosial. Sebuah profesi yang seharusnya mampu mengelola aspek sosial, sumber sosial dan potensi sosial lainnya, bagi kesejahteraan masyarakat. Sebuah profesi yang mampu mengelola relasi dan interaksi antar manusia, antar individu, kelompok, keluarga, komunitas, dan istitusi sosial lainnya, sehinga berfungsi sosial dalam rangka mencapai kemakmuran hidup manusia. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan berikut ini setidaknya akan membantu pekerja sosial atau para praktisi pertolongan untuk menyadari relevansi proses-proses dan kelembagaan sosial: 1. Lokasi sosial seseorang (orang-orang) yang anda hadapi? Artinya, bagaimana faktor-faktor seperti kelas, ras, gender, usia atau disabilitas mempengaruhi situasi? 23 Apa konteks budayanya? Apakah ada (potensi) pertentangan antara lokasi sosial mereka dan anda? Sebagai contoh, apakah anda berbicara menggunakan bahasa yang sama atau atau anda membutuhkan seorang penerjemah? 2. Faktor-faktor sosial apa yang berkontribusi terhadap situasi permasalahan? Apa peran kemiskinan, perumahan kaum miskin, stigma sosial, diskriminasi dan seterusnya? 3. Di dalam berhadapan dengan sebuah keluarga, apakah terdapat perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin signifikan dalam keluarga? Apakah terdapat isu tertentu yang dapat dilakukan berkaitan dengan peran-peran gender atau harapan-harapannya? Apakah terdapat anggota keluarga lansia atau disabilitas yang termarginalisasi atau tereksploitasi dengan cara-cara tertentu? 4. Dalam merespon sebuah permasalahan dengan situasi khusus, mungkin saja anda akan memperburuk kondisi ketidakadilan dan ketidakberuntungan sosial? Anda mungkin akan memperkuat rasisme dengan melakukan pemenuhan bantuan kebutuhan-kebutuhan tertentu dan 24 perbedaan-perbedaan budaya? Apakah anda merasa bersalah dengan kegagalan-kegagalan ketika mengatasi lansia bermasalah berkaitan dengan harga diri dan rasa hormat? 5. Jika akar permasalahan berada dalam dunia sosial dan politik, apakah ada yang dapat pekerja sosial lakukan untuk mempengaruhi dunia global tersebut? Sebagai contoh, dapatkah pekerja sosial membawa persoalanpersoalan sehingga berwenang atau menuntut perhatian kelompok-kelompok pihak penekan/ pemerhati (pressure groups) agar tertarik dengan isuisu tersebut? Semua hal tersebut tidak perlu pekerja sosial ketahui semua, tetapi setidaknya memberi titik awal, untuk memasuki kompleksitas konteks sosial. Para pekerja sosial nampaknya sudah semestinya memahami (dalam konteks sosial) bahwa sebagian besar masalah sosial tidak pernah muncul sebagai sesuatu yang tunggal dengan akibat yang tunggal pula. Para pekerja sosial juga harus memahami bahwa masalah sosial seringkali muncul sebagai akibat ketidakmampuan manusia 25 menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan, atau ketidakmampuan lingkungan menyediakan sumber-sumber yang dibutuhkan oleh manusia, atau juga (sering terjadi) merupakan perpaduan antara ketidakmampuan manusia dan ketidakmampuan lingkungan (Wibhawa, dkk, 2010). C. Dimanika Interpersonal, Kelompok dan Organisasi Sebagian besar permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja sosial adalah berkenaan dengan interaksi antar manusia, apakah pada level interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh karena itu penting bagi para pekerja sosial untuk memahami keterlibatannya dalam interaksi tersebut. Sekali lagi, kita menemui diri berada dalam wilayah yang sangat kompleks, dengan basis literatur dan penelitian yang sangat banyak, belum lagi termasuk banyak pertimbangan kebijakan praktik (wisdom) yang telah terbangun bertahun-tahun. Pada level interpersonal, kita dapat melihat bahwa interaksi diantara orang dengan pekerjaan sosial, dan tentunya demikian pula pada pelayanan manusia yang lebih luas lagi. Dengan demikian, faktor-faktor penting apa yang perlu disadari 26 dalam rangka memahami interaksi interpersonal? Berikut beberapa isu utamanya: • Komunikasi. Pola dan gaya berkomunikasi dapat menjadi penting. Tentunya, kita harus juga mempertimbangkan tidak hanya komunikasi verbalnya (apa yang dikatakan) tetapi juga komunikasi non verbal (bahasa/ gerak tubuh yang seiring ucapannya). Katakata yang digunakan, tekanan suara, kecepatan berbicara, gesture yang pekerja sosial gunakan, penundaan dan hening serta sesuatu yang tidak harus kita katakan, semuanya hal tersebut akan menjadi sangat signifikan dalam menentukan bagaimana orang melihat kita dan bagaimana orang merespon kita. Sama pentingnya dengan bagaimana kita menjadi terampil dalam ‘reading’ komunikasi orang lain, pendengar yang efektif adalah yang mampu menempatkan orang pada posisi yang nyaman dan bekerja secara efektif bersama mereka. Seringkali ketidakmampuan atau lemahnya keterampilan berkomunikasi pekerja sosial menjadi hambatan utama dalam kegiatan pelayananpelayanan sosial. 27 • Kekuatan (kekuasaan). Sekali lagi karakteristik kekuatan sebagai aspek penting dari bagian pekerjaan sosial. Kekuatan relasi biasanya terlihat dalam interaksi interpersonal dan dapat diperkuat atau didukung melalui interaksi tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang berada dalam posisi yang kuat mungkin akan berbicara rendah hati kepada seseorang yang relatif tidak memiliki kekuatan (kekuasaan). Siapa yang berbicara pertama, siapa yang menentukan agenda, siapa yang banyak bicara, siapa yang mengakhiri interaksi, siapa yang seringkali menjadi tumpuan (diandalkan) oleh semua; semua hal tersebut ditentukan merujuk pada kekuatan. Kekuatan bukanlah sekedar konsep yang abstrak tetapi juga hadir secara praktis, pada tingkat konkrit dalam interaksi keseharian. Sehingga penting untuk diingat bahwa para pekerja sosial perlu menyadari, bersikap sensitif, akan keterlibatan isu mengenai kekuatan dalam interaksi interpersonal sehingga mendukung kontribusi pada pemberdayaan, daripada memperkuat pemikiran ketidakberdayaan. Kekuatan juga erat kaitannya dengan kepemimpinan, yaitu bagaimana memanfaatkan potensi 28 kekuatan tersebut diarahkan dan dialirkan dalam rangka membantu orang lain, meningkatkan keberdayaan orang lain, dan mensejahterakan masyarakat umumnya. • Konteks. Konteks dimana interaksi itu dilakukan juga sangat penting, sebagai setting yang dapat mempengaruhi secara signifikan pada proses dan hasil dari interaksi. Sebagai contoh, sebuah perbincangan yang dilakukan pada seting formal (sebuah konferensi kasus, misalnya) nampaknya akan banyak dipengaruhi oleh konteks. Kita tidak dapat memperkirakan apakah klien berada dalam kondisi yang nyaman dalam sebuah seting pertemuan formal kecuali jika kita dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mempersiapkan apa hasilnya, memahami prosesnya dan peran-perannya dan seterusnya. Tiga aspek yang sama juga dapat diterapkan pada interaksi kelompok: • Komunikasi. Saluran-saluran komunikasi dalam kelompok dapat menjadi sangat signifikan. Beberapa anggota kelompok dapat berbicara secara terbuka dan 29 bebas, sementara lainnya sedikit atau tidak berkata sepatah kata apapun. Hal ini mungkin terjadi karena beberapa anggota merasa melalui kelompoknyalah upaya mereka untuk berkontribusi menjadi lebih mudah, sementara yang lain merasa terhambat oleh aspek keberfungsian kelompok tersebut atau suasana atmosfir yang tercipta. Oleh karena itu perlu untuk memahami dinamika kelompok yang terjadi, mengapresiasi pola-pola yang seringkali muncul dalam suatu kelompok. • Kekuatan (kekuasaan). Bekerjanya kekuatan biasanya terlihat dalam kelompok, satu orang atau lebih berupaya untuk dominan, sementara lainnya terpinggirkan atau mungkin semuanya keluar, sehingga merefleksikan posisi kekuatan respektifnya dalam sebuah kelompok. • Konteks. Seting juga hal penting bagi interaksi kelompok. Sebagai contoh, jika terdapat hambatanhambatan (posisi furnitur, jarak bicara, tata ruang, tata letak, sirkulasi udara, dan seterusnya) dalam ruangan, maka hal itu akan mengganggu efektifitas kelompok mencapai tujuannya. 30 Interaksi kelompok juga memiliki dimensi tambahan dengan fakta bahwa sebuah kelompok dapat melakukan kehidupannya sendiri---keseluruhan (whole) akan menjadi lebih besar dari pada penjumlahan bagian per bagiannya. Memahami interaksi kelompok dengan demikian kurang lebih sama dengan memahami interaksi interpersonal. Terdapat beberapa pertimbangan penting dari interaksi antara kelompok dengan factions. Tentunya perlu diingat bahwa persoalan interaksi kelompok penerapannya tidak hanya untuk bimbingan sosial kelompok (dalam arti proses-proses terorganisasi terapi berbasis kelompok) tetapi juga untuk semua jenis aktifitas kelompok, termasuk dinamika keluarga, tim kerja, pertemuan atau kelompok pelatihan. Dinamika keorganisasian dinamika interpersonal jelas memiliki banyak dan dinamika kelompok dalam organisasi. Namun demikian, terdapat pula faktor-faktor yang bergerak dalam konteks keorganisasian yang membatasi interaksi tersebut. Faktor-faktor yang mungkin memberi batasan atas interaksi yang terjadi antara lain: 31 • Budaya organisasi (the organizational culture) --sesuatu yang menggerakkan, pola-pola yang telah ada dalam waktu yang lama, karena memang budaya organisasi terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan telah berlangsung lama ; • Relasi kekuasaan resmi dan tidak resmi (formal and informal power relations) – hirarki pejabat resmi, seperti halnya pula pola-pola kekuatan dan pengaruh non pejabat yang mempengaruhi organisasi. Belum tentu kekuasaan resmi memiliki pengaruh yang kuat daripada dari relasi kekuatan informal; • Kebijakan dan prosedur (policies and procedures) – harapan-harapan formal tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak, namun belum tentu juga prosedur dan kebijakan tersebut menjadi faktor yang memperlancar atau mempermudah jalannya organisasi; • Gaya manajemen (management styles) --- gaya kepemimpinan (dari otoriter hingga demokratis) dapat mempengaruhi interaksi secara signifikan. 32 Oleh karena praktek pekerjaan sosial banyak dilakukan dalam konteks organisasi (dalam arti bekerja dengan organisasi dan badan sosial lainnya yang relevan), kompleksitas kehidupan organisasi ini pun mempengaruhi praktik pertolongan keseharian, sehingga membuatnya menjadi salah satu aspek penting dari basis pengetahuan pekerjaan sosial. Salah satu kesulitan dalam memahami interaksi adalah bahwa kita biasanya merupakan bagian dari dinamika yang coba kita pahami sendiri. Artinya, adalah sulit untuk memperoleh gambaran objektif saat kita menjadi bagian dari situasi yang coba kita pahami. Dengan demikian adalah penting apabila pada satu saat kita bekerja bersama dalam suatu persoalan tertentu sehingga kita akan memperoleh peluang yang lebih baik dalam mengatasi masalah. Supervisi dari manajer atau atasan langsung para pekerja sosial juga merupakan aspek yang bernilai, baik sebagai proses kendali memastikan metode, teknik dan proses yang digunakan sesuai dengan konteks permasalahan dan kebutuhan klien. Supervisi juga merupakan proses transfer pengetahuan dan pembelajaran bagi supervisor dan supervisee. 33 D. Proses Pekerjaan Sosial Selanjutnya, yang harus diketahui dan dikuasai adalah mengenai cara-cara profesi pekerjaan sosial dalam mengatasi permasalahan sosial. Proses pekerjaan sosial merupakan bagian penting dalam praktek pekerjaan sosial, yang juga merupakan ciri khas pendekatan dari pekerjaan sosial. Hal yang umum terjadi, walau tidak selamanya benar, yaitu kritik-kritik kepada profesi pekerjaan sosial yang seringkali tidak jelas dan mengambang. Berdasarkan pandangan ini, berarti profesi pekerjaan sosial dicirikan dengan kurang presisinya akan apa yang dapat dicapai atau bagaimana seharusnya hal tersebut diperoleh. Objektifitas nampaknya merupakan hal vague atau non-existent dan kemajuan ke arah tersebut nampaknya cenderung sangat lambat dan kurang baik, membingungkan, tidak jelas, dan tanpa arah. Kritikan tersebut mungkin ada benarnya, sebagai bahan introspeksi diri bagi praktek pekerjaan sosial. Agar para pekerja sosial terhindar dari ketidakjelasan dan terbawa arus kebingungan, maka dibutuhkan sebuah ‘systematic practice’. Hal ini meliputi kejelasan objektif (tujuan) sebagai dari bagian pekerjaan tertentu (apa yang akan 34 dicapai), strategi apa untuk mencapainya (bagaimana hal tersebut dicapai) dan bagaimana penghentian hubungan pertolongan ditentukan (Apa keberhasilan yang akan dicapai? Bagaimana menentukan berhasil atau tidaknya?). Sistematika praktik tersebut, menurut Thompson, 2002a, dapat dicapai dalam lima tahap proses, sebagai berikut: 1. Assessment. Tahap ini meliputi pengumpulan informasi dan menghasilkan sebuah gambaran tentang apa permasalahannya, kekuatan apa yang dapat digunakan, apa kebutuhan yang telah disediakan, dan seterusnya. Ini merupakan tahap awal, karena berdasarkan basis asesmen inilah kegiatan selanjutnya akan dilakukan. Penting untuk dicatat bahwa asesmen tidak sama dengan pengumpulan informasi semata, atau tidak sama pula dengan identifikasi kebutuhan atau pelayanan apa yang seharusnya disediakan saja. Assessment merupakan proses yang holistik yang meliputi upayaupaya melihat situasi menyeluruh---yang terkadang dirujuk sebagai ‘helicopter vision’. Asesmen yang terbatas atau seadanya saja dapat menyulitkan di kemudian hari ketika berpraktek yang mungkin akan 35 benar-benar terlalu jauh dari yang diperlukan sebagai akibat dari pengabaian asesmen. Asesmen yang dilakukan dengan baik dan benar merupakan keberhasilan 50% dari proses pertolongan keseluruhan. 2. Intervention. Sekali permasalahan dan faktor-faktor lainnya telah teridentifikasi, tahap berikutnya adalah menentukan pengaturan atau pengelolaan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, upaya memenuhi kebutuhan dan seterusnya. Terdapat sejumlah cara intervensi tertentu yang dapat dilakukan, tetapi kesemua proses tersebut ditujukan untuk merespon permasalahan yang telah teridentifikasi secara positif dan konstruktif. Tidak terdapat batasan ‘right answer’ (jawaban yang pasti benar) tentang bagaimana prosesnya, meski demikian terdapat beberapa cara yang mungkin lebih mendekati tepat dan sesuai membantu daripada lainnya. Artinya, penting bahwa praktek seharusnya berbasiskan pada partnership (kemitraan) antara pekerja sosial dengan klien. Dalam proses intervensi selalu berupaya melibatkan klien dan penyedia layanan sosial lainnya sebanyak mungkin, sehingga 36 pekerjaan sosial merupakan sebuah proses yang bekerja bersama orang, daripada bekerja bagi mereka. Dengan demikian pendekatan intervensi seharusnya berupaya membangun kemitraan daripada mencari sebuah ‘cure’ (mengobati si sakit) terhadap situasi seperti halnya pekerja sosial Pendekatan sebagai kemitraan seorang dalam ‘social proses doctor’. pertolongan pekerjaan sosial, juga dapat dipahami sebagai upaya untuk memberdayakan klien. 3. Review. Perubahan situasi sepanjang waktu, dan sehingga asesmen pekerjaan sosial memerlukan perubahan juga. Mungkin saja di awal asesmen terjadi kesalahan dan ketidaktepatan kajian, karena berbagai alasan, sehingga informasi yang diperoleh terbatas. Sehingga penting bahwa kajian secara periodik menuntut penyesuaian yang dapat dilakukan untuk perencanaan pekerjaan sosial. Dalam banyak kasus, mungkin saja banyak mengesampingkan semua perencanaan. Namun demikian, jika tidak dilakukan kajian secara hati-hati dan cermat, maka akan banyak waktu, usaha dan energi yang terbuang percuma karena upaya-upayanya tidak terarah dan terukur. Pekerja 37 sosial jangan ragu dan merasa malu untuk mengevaluasi diri sendiri (reflective) dan proses intervensinya, agar tidak mencelakakan klien lebih jauh lagi. 4. Ending. Dengan segala hormat dan penghargaan, sebenarnya tujuan memungkinkan pekerjaan seseorang sosial untuk adalah mengatasi permasalahannya sendiri (mandiri) dan mengatasi isuisunya sendiri tanpa membutuhkan dukungan pekerjaan sosial. Dengan demikian, secara umum pekerja sosial seharusnya melakukan intervensinya sebaik-setepat mungkin di setiap saat. Dengan demikian adalah penting juga untuk bersikap serius dalam penguasaan keterampilan-keterampilan saat intervensi, sebagai aspek praktik agar memudahkan penanganan dan berhasil baik. Sejak awal proses pertolongan, baik caracara interaksi pertolongan dengan yang klien dilakukan maupun kegiatan adalah untuk memberdayakan klien, agar mandiri menentukan hidupnya sendiri, dan lebih jauh lagi klien yang mandiri akan mampu membantu membutuhkannya. 38 orang-orang lain yang 5. Evaluation. Ketika intervensi pekerjaan telah selesai dilakukan, kemudian pekerja sosial memiliki peluang untuk belajar dari apa yang telah berjalan dengan baik (bagaimana kita dapat membangun kekuatan kita?), apa yang telah berjalan dengan lebih baik (bagaimana kita belajar dari kesalahan kita?) dan secara umum pelajaran apa yang diperoleh dari pengalaman. Jadi evaluasi merupakan sebuah bagian fundamental dari praktik yang baik, yang menyediakan sebuah platform mana yang akan terus diperbaiki. Bukan persoalan keterampilan, pengalaman atau efektifitasnya pekerja sosial, tentunya selalu terdapat pelajaran yang dapat diperoleh, perbaikan yang dilakukan dan manfaat yang diperoleh dari evaluasi praktik pekerjaan sosial. Lakukan refleksi diri akan praktek yang telah dilakukan, baik sikap, cara, dan metode atau keterampilan yang digunakan; untuk bahan perbaikan di masa mendatang. Patut dicatat bahwa tujuan dari proses pekerjaan sosial dan sistematika praktik tidak seharusnya membuat para pekerja 39 sosial bergerak bagaikan robot yang hanya bergerak kalau ada perintah, kaku pada per tahap bagiannya, daripada sekedar berfikir sebagai praktisi yang memiliki kerangka acuan kerja yang melandasi pekerjaannya dan kepercayaan diri, insight dan sensitivitas untuk mengadaptasi kerangka acuan kerja dan kapan diperlukannya. Artinya, sebuah praktek sistematik ditunjukkan atau dilakukan hanya sebagai basis untuk praktik profesional yang fleksibel dan reflektif, daripada hanya sebagai alternatif satu-satunya. E. Paradigma Teoritis Dalam perkembangan praktek pekerjaan sosial, basis pengetahuan pekerjaan sosial cukup banyak dan terus berkembang secara konstan. Khususnya di negara-negara maju dan sebagian belahan bumi lainnya yang mengakui keberadaan kewenangan pekerja sosial dan praktek pekerjaan sosialnya. Seperti negara-negara ‘Barat’ (Amerika, Canada, Eropa, Astralia) dan sebagian negara-negara di Asia (India, bangladesh, Pakistan, Thailand, Filipina, Malaysia, Korea, dan banyak lagi). Lain hal dengan di Indonesia, yang sudah mengakui secara tertulis (yuridis formal) tentang profesi 40 pekerjaan sosial, namun masih ragu atau ‘tanggung’ untuk memberikan kewenangan penuh bagi profesi pekerjaan sosial berpraktek secara profesional, baik yang di organisasi dikelola oleh pemerintah, apalagi yang dikelola oleh masyarakat atau swasta. Sebagian besar orang (para akademisi dan praktisi pekerjaan sosial) telah berupaya membuat praktek pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang logis melalui pengembangan pendekatan-pendekatan teoritis, dan melalui upaya-upaya tertentu tanpa henti untuk membentuk ciri khas dunia akademik pekerjaan sosial. Namun demikian, tentunya akan menjadi sesuatu tidak realistik jika pekerja sosial hanya bertumpu pada satu pendekatan saja untuk menjawab menanggapi semua pertanyaan yang mereka butuhkan. Dengan demikian pekerja sosial perlu memperoleh sejumlah perspektif teoritis dan kemampuan untuk menggunakannya sesuai kebutuhan. Mengembangkan sebuah tipologi teori-teori pekerjaan sosial secara komprehensif tentunya tidak dapat dicakup dalam tulisan ini. Meski demikian secara realitas, dapat dikemukakan secara singkat trend teoritis yang mempengaruhi pekerjaan sosial selama bertahun-tahun dan terus menerus saling 41 berhadapan untuk secara dominan menjelaskan kompleksitas tugas-tugas pekerjaan sosial dan menjelaskan konsekuensinya setepat mungkin. Apa yang akan dikemukakan berikut ini, memang sangat singkat, sebagai ulasan singkat tentang kerangka teoritis dan konsep-konsep yang umumnya dipergunakan dalam pemikiran pekerjaan sosial. Di bawah ini akan dikemukakan secara singkat perkembangan pendekatanpendekatan utama pada teori dan praktek pekerjaan sosial, sebagai berikut: • Psikodinamika (psychodynamic). Teori psikodinamika secara luas dipergunakan walau tidak secara khusus yang berasal dari karya Sigmund Freud saja. Teori ini berkaitan dengan konflik internal psikologis antara dorongan kesenangan irasional id dan kesadaran sosial super ego, yang dimediasi oleh ego atau ‘regulator’ psikologis. Artinya, pendekatan ini bagi profesi pekerjaan sosial berupaya mencari pemecahan masalah pekerjaan sosial sebagaimana sebuah konflik antara keinginan dan kebutuhan dari individu dan hambatanhambatan serta tuntutan masyarakat. Dalam prakteknya, adalah bagaimana caranya memperkuat ego dalam 42 rangka mengendalikan keinginan dari id yang mungkin akan membawa si individu ke dalam situasi masalah dan atau konflik berikutnya. Meski pendekatan ini tidak begitu lama mendominasi, hingga saat ini masih dipergunakan dan pada tingkat tertentu masih berpengaruh. • Bimbingan sosial perseorangan (psychosocial casework). Psikososial Pendekatan ini dalam berbagai caranya merupakan pengembangan dari teori psikodinamika, khususnya tulisan psikologi ego dari Erikson. Perbedaan dan persamaan dari kesesuaian pendekatan ini dan psikodinamika adalah terdapat penekanan yang lebih besar pada dimensi sosial, banyak faktor-faktor sosial yang mengambil bagian dalam situasi pekerjaan sosial. Artinya pendekatan ini hadir tidak hanya sekedar diterapkan sebagai upaya penyesuaian psikologis semata tetapi juga mengatasi lingkungan sosial atau situasi kondisi individu atau persoalan keluarga. Sebagaimana psikodinamika, dominasi pendekatan ini tidak lama, meski masih berpengaruh hingga saat ini. 43 • Psikologi Humanis (Humanistic psychology). Fokus psikologi humanis adalah potensi manusia serta hambatan-hambatan sosial dan psikologis yang membatasi kehidupannya. Asumsi yang dibangun dari teori ini adalah bahwa manusia dipandang atau diasumsikan memiliki dasar yang baik, dan akan cenderung berbuat jahat apabila situasi kondisi berpotensi mengganggu atau menimbulkan situasi frustasi. Implikasi teori ini dalam praktek pekerjaan sosial, kemudian, seiring dengan perhatian dari psikologi humanis, berupaya membebaskan manusia dari hambatan-hambatan tersebut sehingga kebaikankebaikan alamiah dapat muncul dan terus berkembang. Pendekatan ini tidak pernah menjadi pendekatan yang dominan tetapi pengaruhnya sedikit banyak terasa dalam berbagai teori dan bidang praktek pekerjaan sosial. • Pekerjaan sosial perilaku (behavioral social work). Asumsi dasar atau gagasan dasar yang dibangun adalah bahwa, perilaku dapat dipelajari melalui sejumlah kecil proses-proses psikologis (seperti melalui penguatanpenguatan), permasalahan-permasalahan yang berkait 44 dengan perilaku dapat diatasi melalui intervensi yang memungkinkan proses-proses pembelajaran sehingga perilaku bermasalah dapat dikurangi (atau dihilangkan), sehingga perilaku positif dapat diperkuat. Implikasi teori ini dalam praktek pekerjaan sosial antara lain untuk membangun dan memperkuat kapasitas klien agar lebih berdaya dan berguna, sehingga mampu secara mandiri membuat putusan-putusan penting bagi hidupnya sendiri saat ini dan di masa datang. Pendekatan ini begitu populer dalam sejumlah aspek praktek, meski saat ini tidak begitu populer. • Teori Sistem (systems theory). Pendekatan ini lebih eksplisit dalam sosiologi dimana situasi praktek pekerjaan sosial yang ditangani dipahami sebagai serangkaian keterkaitan sistem sosial (sistem keluarga, sistem ketetanggaan, dan seterusnya). Kemudian tugas pekerja sosial, adalah untuk memahami interaksi sistem dan permasalahan yang muncul dari interaksi tersebut, sehingga pola-pola sistem dapat diatasi dan permasalahan ditangani. Tipe terapi keluarga banyak mempergunakan pendekatan ini. Penekanannya pada perubahan sistem keluarga secara keseluruhan, daripada 45 bekerja dengan faktor-faktor individual. Teori sistem merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh besar dalam praktek pekerjaan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan konsepsi 4 (empat) sistem dasar dalam pekerjaan sosial, yaitu: sistem pelaksana perubahan, sistem klien, sistem sasaran dan sistem kegiatan. • Pekerjaan sosial radikal (radical social work). Pendekatan ini muncul dari ketidakpuasan dengan pendekatan yang sedikit sekali atau yang tidak memperhitungkan faktor-faktor sosial yang lebih luas, kelas-kelas khusus, kemiskinan dan kekurangan. Fokus pekerjaan sosial radikal adalah politisasi, membantu klien mengembangkan kesadaran tentang bagaimana permasalahan mereka dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan politik, sehingga, mereka seharusnya memiliki hak-hak dan kewajiban agar dapat berkontribusi pada proses perubahan sosial radikal. Terdapat beberapa elemen pekerjaan sosial radikal yang masih ditemukan dalam beberapa pendekatan modern ke arah pemberdayaan dan emansipasi. 46 • Praktek emansipasi (emancipatory practice). Pengembangan pada penekanan pekerjaan sosial radikal sosial politik, pendekatan emansipasi modern bagi pekerjaan sosial berkenaan dengan penindasan, mengakui bahwa mayoritas klien pekerjaan sosial mengalami penindasan dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Fokus berkontribusi praktek pada pekerjaan sosial adalah pemberdayaan klien untuk membantu mereka yang mengalami ketidakberuntungan sebagai hasil dari pembatasan-pembatasan sosial dan sikap-sikap negatif mereka. Memang pekerja sosial tidak harus menguasai semua perspektif teoritis tersebut. Beberapa praktisi akan nyaman dengan satu atau lebih teori tetapi memiliki sedikit pengetahuan, atau kepentingan lainnya. Hal tersebut bukanlah masalah. Tujuannya adalah mengembangkan suatu praktek yang dapat terlaksana dengan baik dan benar, daripada hanya mengejar satu perspektif teoritis saja atau lainnya. Dengan demikian semakin luas pemahaman dan penguasaan pekerja sosial akan beragam pula teori yang mendasari praktek 47 pekerjaan sosial akan menjadi jaminan praktek pertolongan akan lebih terukur dengan baik dan benar, serta dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis dan manfaatnya. F. Metode-metode Intervensi Banyak dan beragam metode yang dapat digunakaan dalam praktek pekerjaan sosial. Metode-metode intervensi yang dapat dikemukakan berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kerangka perspektif teoritis sebelumnya. Namun demikian, terdapat pula cara-cara lain untuk melihat metode intervensi, seperti contohnya ketika istilah intervensinya disesuaikan dengan target sasaran perubahan pada individual, keluarga, kelompok atau masyarakat: • Individual case work (bimbingan sosial perseorangan). Metode ini dapat digambarkan sebagai metode praktek dan melibatkan upaya individu berbasis pertemuan lawan-muka dengan klien dalam rangka mengatasi kesulitan yang dihadapi mereka. • Family work (bimbingan sosial keluarga). Mekanisme kerjanya adalah bekerja dengan seluruh keluarga, 48 menciptakan perubahan pada keluarga, daripada perubahan pada level individu. Sebab perubahan dalam diri individu tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan anggota keluarga lainnya. • Groupwork.(bimbingan sosial kelompok). Metode ini sangat efektif digunakan ketika bekerja dengan orangorang yang memiliki permasalahan dan perhatian yang sama. Contohnya, pekerja sosial bertindak sebagai fasilitator dalam rangka mendorong kelompok untuk saling mendukung satu sama lain dalam upaya mengatasi permasalahan mereka. Metode ini dipergunakan dengan tujuan diarahkan para perubahanperubahan positif individu melalui media interaksi kelompok. • Community work/ Community organization/ community development (pengorganisasian dan pengembangan masyarakat). Ini merupakan pendekatan yang agak populer daripada metode-metode sebelumnya, masih tetap terus berkembang dan banyak dipergunakan di sejumlah negara-negara berkembang, terumasuk Indonesia. Pekerja sosial banyak bertindak sebagai katalis dalam membantu 49 kelompok-kelompok masyarakat untuk mengatasi permasalahan dan mengelola sumber-sumber mereka. Tentunya masih terdapat perbedaan makna ‘tingkatan’ intervensi, namun tidak terlalu mencolok, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dalam prakteknya. Sebagai contoh, bimbingan sosial kelompok (group work) mungkin akan banyak digunakan sebagai bagian CO/CD, atau bimbingan sosial perseorangan mungkin dilakukan bersamaan dengan family work. Ini lah yang kemudian memperkuat pendekatan generalis dalam praktek pekerjaan sosial. Selain penggunaan metode berdasarkan sasaran atau ranah level praktek, terdapat pula sejumlah metode yang umum digunakan, sebagaimana dalam ilustrasi berikut: • Task-centered pactice. Merupakan kerja bersama untuk: (1) menjelaskan situasi terkini (dimana kamu saat ini--poin A) dan mengidentifikasi situasi alternatif yang lebih baik (kemana yang kamu suka---poin B); (2) plot rute dari A ke B dalam arti langkah-langkah apa yang akan diambil (tugas-tugas yang akan dicapai), mulai dari yang paling mudah dalam rangka membangkitkan 50 kepercayaan dan hingga memantapkan basis keberhasilan; dan (3) bersepakat untuk berbagi alokasi tugas-tugas. • Contract work. Metode ini sejenis dengan task-centred practice tetapi menggunakan negosiasi kesepakatan tertulis sebagai fokus intervensinya. • Counselling. Meski konseling secara lebih mendalam terderung dilakukan hanya dalam lembaga-lembaga khusus, praktek pekerjaan sosial seringkali terlibat dalam elemen-elemen konseling dalam rangka membantu orang memahami situasinya, perasaanperasaannya dan pilihan-pilihannya. • Care management. Pendekatan ini melihat penyediaan ‘paket’ layanan perawatan yang dilakukan dalam rangka memelihara seseorang dalam masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan kelembagaan. • Advocacy. Menjadi seorang advocate berarti mewakili kepentingan-kepentingan orang yang tidak mampu melakukan untuk dirinya sendiri (sebagai contoh, orang-orang yang mengalami kesulitan belajar atau masalah kesehatan mental). 51 • Mediation. Metode ini menunjuk pada upaya membantu menengahi kedua belah pihak berkonflik, untuk melakukan dengan rekonsiliasi tetap atas bersikap perbedaan-perbedaan, netral untuk menjaga keseimbangan diantara mereka. Sebenarnya masih banyak lagi metode yang umum dipergunakan dalam praktek pekerjaan sosial, dan terdapat pula bentuk-bentuk praktek yang mungkin tidak masuk dalam satu kategori teoritis. Demikian pula, mungkin saja terdapat beberapa metode dan perspektif teoritis dikombinasikan (misalkan, memanfaatkan metode behavioral dalam konteks task-centred practice, atau menggunakan pendekatan psikodinamika sebagai basis konseling). Metode-metode tersebut juga dapat digunakan secara lintas level intervensi, inilah yang kemudian memunculkan pendekatan praktek generalis (generalist practice). Dengan pendekatan ini berbagai metode akan dapat dimanfaatkan untuk setiap level, seiring dengan tujuan perbaikan dan keberfungsian sosial klien—baik individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan masyarakat. 52 Terdapat pula pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat indirect service , yang berbeda dengan metode-metode sebelumnya, namun keberadaannya begitu determinan dalam praktek pekerjaan sosial. Beberapa metode atau pendekatan ini adalah: • Administrasi pekerjaan sosial. Banyak kebijakan sosial dari pemerintah arti makro maupun mikro (dalam organisasi) harus diterjemahkan menjadi programprogram, dan kemudian proyek-proyek atau kegiatan yang lebih detil dan jelas, sehingga tepat sasaran. • Human/Social service organization (HSSO). Hampir seluruh aktifitas praktek pekerjaan sosial yang berupa pelayanan-pelayanan pemerintah atau sosial, swasta, baik berada yang dikelola dalam sebuah organisasi pelayanan sosial. Sehingga pemahaman dan penguasaan pengelolaan organisasi sosial menjadi begitu penting dalam rangka efektifitas dan efisiensi pelayanan sosial. • Social work research. Penelitian pekerjaan sosial akan berhubungan dengan pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data mengenai praktek-praktek 53 pekerjaan sosial, atau mengenai ketepatan sasaransararan program atau kebijakan, atau berkaitan dengan pengembangan suatu metode atau keterampilan yang efektif, atau juga dapat digunakan untuk mengevaluasi manfaat suatu program; dan sebagainya. • Social policy dan social planning. Pengembangan dan perencanaan suatu kegiatan sosial merupakan tantangan tersendiri. Perencanaan yang ideal adalah yang partisipatif, yaitu terdapatnya ruang sebanyak mungkin keikutsertaan dari kelompok-kelompok sasaran. Sejumlah praktisi menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan teknik dan metode secara khusus atau hanya satu metode saja, tetapi mereka lebih suka memadukannya secara ‘eclectic’. Terkadang, penggabungan tersebut memiliki kualitas praktek yang lebih baik dimana pekerja sosial berhasil menggabungkan elemen-elemen pengetahuan secara tepat dan efektif. Dengan eklektisisme merujuk pada sesuatu yang konsisten dan terintegrasi menyeluruh, daripada sebelumnya yang parsial dan terpisah-pisah. Inilah yang menjadi ciri khas dari landasan keilmuan pekerjaan sosial, yang memadukan 54 berbagai pendekatan, teori, perspektif dan model-model dalam praktek pertolongan atau intervensinya. Isu lain berkaitan dengan metode intervensi adalah bahwa mereka cenderung selalu menggunakan namanya saja. Sebagai contoh, “Saya menggunakan pendekatan task-centred” yang dapat diartikan sebagai secara sederhana “Saya cenderung untuk tetap menggunakan practical task”, sementara “Kita melakukan banyak intervensi krisis dalam tim ini” dapat diterjemahkan sebagai “Kita sedang menangani kedaruratan dan terkadang kita repot kesana-kemari ‘mondar-mandir’ seperti ayam kehilangan kepala”. Ini bukan berarti bahwa praktek tidak mungkin terwujud tanpa menggunakan metode dalam buku-buku teks, tetapi terdapat bahayanya jika label teoritis digunakan untuk mencakup fakta, yang secara fakta banyak pelaksanaan prakteknya dilakukan berdasarkan rutinitas (terus-menerus) dan tanpa kritik, dan dengan demikian resiko bahayanya akan berjalan menyertainya. Oleh karena itu, kiranya diperlukan kategorisasi intervensi untuk perkerjaan sosial. Heron (2001) memberi jalan keluar upaya memahami intervensi yang dapat dibagi ke dalam enam kategori, sebagai berikut: 55 • Prescriptive Intervensi ini merupakan upaya untuk mengarahkan langsung perilaku dari seseorang. Hal tersebut mungkin paling dekat berkaitan dengan intervensi kewenangan, seperti halnya putusan informatif adalah pengadilan. • Basis Informative. intervensi menyediakan informasi dan / atau membantu orang untuk memahami situasinya atau beberapa aspeknya. • Confronting. Terkadang perlu untuk memperoleh perhatian klien akan aspek-aspek dari situasi yang tidak ingin dihadapinya. Konfrontasi dengan demikian meliputi upaya menentang penyangkalan dan responrespon yang menghalangi jalannya proses.. • Cathartic. Katarsis adalah proses melepaskan emosi, seperti membantu seseorang mengekspresikan tekanan kedukaannya yang mendalam, atau dengan berkontribusi membuat rasa nyaman, ‘teduh’ dan aman dalam lingkungan emosional sehingga perasaannya tidak menjadi hambatannya . • Catalytic. Intervensi ini diarahkan untuk pada membantu orang agar lebih mampu mengelola diri sendiri, mampu mengendalikan kehidupannya sendiri, 56 mampu menemukan sumber-sumber pemecahan sendiri, dan seterusnya; singkatnya, suatu bentuk pemberdayaan. • Supportive. Ini merujuk pada penegasan akan nilai dan penghargaan terhadap klien, sifat bagi orang yang peduli dan yang terlibat dalam situasi tersebut. Kategori tersebut bukanlah merupakan batasan yang tegas dan kaku, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai ulasan singkat atas beragam intervensi dan sebagai titik awal untuk bahan pertimbangan lebih jauh lagi. G. Etika dan Nilai Dalam bekerja dengan orang lain, kita masuk pada kompleksitas dunia interaksi dan struktur. Kondisi tersebut akan mengarah pada hasil positif bagi semua hal atau sebaliknya mengarah pada kacau balaunya situasi (situasi kontra produktif). Konsekuensinya, kita harus mengenali potensi pekerjaan sosial sebaik mungkin agar tidak melukai pihak lain. Inilah yang menghantarkan akan perlunya 57 pendekatan ethical, suatu persoalan moralitas dan nilai-nilai yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut bukan berarti bahwa pekerja sosial harus ahli dalam filosofi moral, tetapi artinya kita harus benar-benar jelas mengenai nilai-nilai yang berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut: • Nilai-nilai kita sendiri dan cara-cara nilai-nilai tersebut mempengaruhi praktek pekerjaan sosial; • Nilai-nilai profesional pekerjaan sosial dan bagaimana hal tersebut dapat atau tidak memperkuat praktek; • Bahaya-bahaya yang akan timbul jika tidak mengindahkan dimensi nilai-nilai dan etik praktek. Persoalan nilai, etik dan etika merupakan wilayah yang kompleks, dan oleh karenanya kita harus realistis dan menerima bahwa dimensi etik pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang akan terus beriringan-berdampingan dalam praktek pekerjaan sosial, lebih dari sekedar diatasi. Pemahaman akan isu nilai menjadi komponen penting dari basis pengetahuan pekerjaan sosial. Tujuan intervensi yang baik dengan metode keterampilan pekerjaan sosial yang 58 canggih, belum tentu akan berhasil baik jika mengabaikan nilai-nilai dan etika praktek pekerjaan sosial. Oleh karenanya, pengetahuan (knowledge), metode dan keterampilan (skill), serta sikap-sikap (attittude) sebagai wujud dari nilai-nilai etik; dalam praktek pekerjaan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan. 59 3 ALASAN DIALEKTIKAL Konsep dialektikal merupakan istilah filsafat. Kata dialektika seiring dengan kata kata dialog yang berarti komunikasi dua arah. Sebenarnya istilah ini telah ada sejak masa Yunani ketika diperkenalkan dalam pemahaman bahwa segala sesuatu berubah (panta rei). Kemudian Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam trilogi tesis, anti-tesis dan sintesis; kemudian dari sintesis akan memunculkan tesis baru, begitu seterusnya. Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena berlaku hukum dialektik, yang absolut hanyalah semangat revolusionernya (perubahan/pertentangan atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis). Dalam konteks pengetahuan-pengetahuan untuk praktek pekerjaan sosial, maka istilah filsafat tersebut merujuk pada perlunya memahami fenomena sosial dan fenomena lainnya secara dinamis. Artinya, dalam rangka mencoba memahami dunia sosial tersebut terdapat kategori yang relatif tetap atau 60 keyakinan yang tidak akan pernah berubah, hal ini perlu untuk menghargai kehidupan sosial yang dicirikan sebagai berikut: • Konflik (conflics). Kekuatan-kekuatan penentang dan kelompok-kelompok kepentingan terhadap dominasi, dan sehingga kehidupan sosial tidak akan pernah dalam keadaan stabil dan selalu berdasar pada konsensus. Sebagai contoh, orang dengan perspektif yang berbeda mengenai penyediaan layanan kesejahteraan akan berupaya mempengaruhi kebijakan dan praktek-praktek sehingga diharapkan sesuai dengan garis perspektif dan nilai mereka sendiri . • Interaksi (interaction). Faktor-faktor dunia sosial tidak akan duduk berdampingan dengan nyaman—mereka saling berinteraksi, dan saling pengaruh satu sama lain. Contohnya pasar ekonomi akan dipengaruhi oleh media, tetapi media juga dipengaruhi oleh pasar, akan begitu seterusnya. • Perubahan atau Fluktuasi (change or flux). Masyarakat akan secara konstan terus berubah. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa stabilitas adalah bentuk perubahan yang sangat lambat. Namun demikian 61 terdapat sesuatu tidak berubah setiap waktu, karena manusia memelihara dan mempertahankannya. (contohnya, ritual peribadatan). Di dunia ini segala sesuatu (mahluk Tuhan) tercipta secara berpasang-pasangan, baik mahluk yang terlihat tangible maupun yang intangible. Besar-kecil, kaya-miskin, perangdamai, siang-malam, terang-gelap, dan seterusnya; sehingga sudah menjadi hukum alam apabila setiap proses-proses sosial baik konflik, interaksi dan perubahan tersebut sesungguhnya sedang berupaya mencari keseimbangan baru. Implikasi utama dari alasan dialektis adalah bahwa kita seharusnya mengakui bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial adalah: • Contested (tantangan). Akan selalu terdapat penjelasan menantang tentang apa yang relevan dan apa yang penting. Ini bukan sekedar sebuah cakupan kasus definitif “keyakinan” yang dapat diterima oleh siapapun. • Interactive (interaktif). Perbedaan elemen-elemen dasar pengetahuan akan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai contoh, meski faktor-faktor sosiologis dan 62 psikologis dapat dipelajari secara berbeda, dalam prakteknya akan saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. • Changing (berubah). Pengetahun terus tumbuh dan berkembang, dengan gagasan-gagasan dan tekanantekanan baru, sementara lainnya akan tertinggal di belakang. Dengan alasan-alasan tersebut, dan alasan lainnya, bahwa para pekerja sosial seharusnya tetap konsisten mengikuti perkembangan isu-isu teoritis/basis pengetahuan, sehingga mereka akan dapat memanfaatkan pengetahuan terbaik mereka. Sheafor & Horejsi (2003:82) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis kerangka praktek yaitu berdasarkan perspektif, teori dan model. Payne (2014), menjelaskan jenis teori praktek sebagai berikut: 63 Dari gambar tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: • Perspektif menunjukkan cara-cara berfikir mengenai dunia berdasarkan nilai-nilai dan prinsip yang konsisten. • Perspektif membantu anda untuk menerapkan seperangkat pemikiran yang terkait dengan kejadian atau isyu. • Penerapan perspektif yang berbeda akan membantu anda untuk melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda 64 Pejelasan gambar di atas, bahwa pengelolaan batang tubuh pengetahuan secara (dengan cara) sistematis sehingga anda dapat fokus dan dapat memilih pengetahuan yang dibutuhkan untuk praktek dalam situasi berbeda 65 Model: situasi Aksi 1 Aksi 2 Aksii 3 Hasil Suatu model, yaitu: • Suatu pola ekstrak tentang aktifitas praktek dan menggambarkan kejadian praktek dalam bentuk terstruktur. • Model akan membantu konsistensi praktek kita dalam situasi yang luas. • Model membantu anda untuk men-strukturkan dan mengorganisasi (mengelola) bagaimana pendekatan rumit anda diterapkan. 66 Sedangkan suatu teori penjelasan yaitu: • Lebih dalam dari model dengan memperhitungkan sebab-sebab hasil suatu aksi atau konsekuensi- konsekuensi khusus yang terjadi dan mengidentifikasi (mengetahui) situasi penyebabnya. • Lebih merupakan penjelasan kausal dari setiap aksi dan situasi yang terjadi Sedangkan yang dimaksud dengan kerangka praktek (practice framework) itu sendiri, terdiri dari seperangkat kepercayaan dan asumsi tentang bagaimana, kapan, dan pada kondisi apa orang dan sistem berubah serta apa yang pekerjaan sosial lakukan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan dan keinginan perubahan sistem. Beberapa kerangka praktek mungkin lebih fokus pada perubahan individu, sementara lainnya fokus pada keluarga, kelompok kecil, organisasi aau masyarakat. Selanjutnya Sheafor & Horejsi (2003:82-83), mengemukakan bahwa sebuah kerangka praktek semestinya memenuhi kriteria sebagai berikut: 67 1. Sebaiknya konsisten dengan tujuan, nilai-nilai, dan etika profesi 2. Sebaiknya mampu dikomunikasikan dengan lainnya (dalam arti, asumsi-asumsi konsep-konsep, semestinya prinsip-prinsip, dan tergambarkan dan terdefinisikan dengan jelas) 3. Sebaiknya dapat dimengerti oleh orang awam (artinya, sebagian besar klien atau relawan mampu memahami keterkaitan kerangka perhatiannya dengan pengalaman hidupnya). 4. Mampu membantu pekerja sosial menganalisa dan memahami kompleksitas dan situasi chaotic lainnya. 5. Mampu memandu dan mengarahkan, sepanjang berbagai dan banyak fase dari proses perubahan tersebut. 6. Sebaiknya mendasarkan pada landasan empiris (artinya, berbasiskan pada fakta dan pengamatan hati-hati dan sistematis. Karena begitu luasnya dan ragamnya seting praktek, jenis-jenis klien dan situasi yang ditangani oleh para pekerja sosial, 68 sehingga tidak mungkin mengidentifikasi sebuah kerangka praktek pekerjaan sosial tunggal yang dapat mencakup semua hal tersebut. Sheafor & Horejsi (2003) mengemukakan, bahwa suatu kerangka praktek setidaknya dapat memenuhi harapan klien jika hal tersebut mendorong pekerja sosial untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: • Fokus pada faktor-faktor, isu-isu dan kondisi-kondisi tertentu yang secara fakta mampu diubah atau diganti dimana klien dan pekerja sosial dapat pengaruhi atau kendalikan. • Menangani baik faktor personal dan lingkungan dalam situasi klien (misalkan, memandang anak-anak dalam kontek keluarganya dan keluarga dalam konteks ketetanggaan dan masyarakatnya) • Membangun sebuah relasi yang kuat dan kolaboratif bersama klien dengan berdasaarkan saling percaya dan pada empati, harga diri, rasa sayang dan panggilan ( calling) untuk membantu klien. • Mendorong dan memastikan klien untuk membuat putusan atas sasaran-sasaran intervensi dan metode- 69 metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. • Mengakui dan membangun kekuatan klien dan hindari konsentrasi hanya fokus pada keterbatasan, penyimpangan, dan patologis. • Bersikap proaktif dan mampu menjangkau klien dengan ajuan layanan yang mungkin dapat klien pertimbangkan relevansi dan manfaatnya. • Menawarkan pelayanan-pelayanan dan memanfaatkan pendekatan–pendekatan yang sesuai (congruent) dengan nilai-nilai, budaya dan agama klien. • Menawarkan layanan-layanan yang memungkinkan klien mampu untuk menjangkaunya baik waktu maupun biayanya yang lebih masuk akal. • Memperoleh mungkin pencapaian sebagai upaya keberhasilan untuk sesegera menunjukkan kemanfaatan dari intervensi dan memelihara motivasi klien. • Mendorong kebersamaan dan kelompok-kelompok kemandirian klien yang ada dan potensial tersedia dalam lingkungannya . 70 • Memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan keterampilan klien yang akan mengurangi kebutuhan atau ketergantungannya (agar mandiri) pada bantuanbantuan profesional dan sumber-sumber formal di masa yang akan datang. Selanjutnya Sheafor & Horejsi (2003) mengemukakan, bahwa sebuah kerangka praktek praktek semestinya menyediakan modifikasi perilaku secara mendetail yang mampu memandu implementasi perubahan perilaku, tetapi juga dapat digunakan untuk perilaku khusus yang akan menjadi fokus intervensi. Perhitungkan pertimbangan klien dan diri pekerja sosial; dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu dipertimbangkan ketika memilih sebuah kerangka praktek bagi para pekerja sosial, sebagai berikut : 1. Sistem klien dengan kerangka apa yang akan ditangani? Apakah kerangkanya fokus pada individu? Pasangan? Unit keluarga? Kelompok kecil? Organisasi? Komunitas? 2. Jenis perubahan klien apa yang diharapkan? Semisal, perubahan nilai atau sikap? Perubahan dalam perilaku? 71 Perluasan atau penambahan pengetahuan? Akses pada sumber-sumber baru? Peningkatan keterampilan baru? 3. Apakah kerangka prakteknya menawarkan sebuah penjelasan tentang bagaimana dan mengapa perubahan terjadi? 4. Ketika menerapkan kerangka praktek, apa peran dari pekerja sosial? Contohnya, apakah pekerja sosial berperan sebagai Penasehat? Guru? Konselor? Broker pelayanan-pelayanan? Case manager? Administrator? Perencana? Peneliti? Advocate? 5. Apa asumsi implisit atau eksplisist berkenaan dengan hubungan profesional dan klien? Misalkan, pertimbangan perbedaan asumsi dari beberapa teori: a. Clients as objects. Profesional atau pekerja sosial adalah sebagai ahli dan tahu apa yang harus dilakukan; klien diharapkan dan didorong untuk melakukan sesuatu atas apa yang profesional ‘terbaik’ lakukan bagi mereka. b. Clients as recipients. Profesional atau pekerja sosial membentuk dan mengendalikan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan oleh klien; klien diharapkan 72 memanfaatkan pelayanan yang telah diberikan baginya sebagai bentuk tindakan kesediaan untuk bekerja sama dan sikap apresiatif. c. Client as resources. Profesional atau pekerja sosial memandang bahwa klien adalah yang paling tahu posisinya untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan serta apa yang akan dan tidak akan ia dikerjakan. Maka, para pekerja sosial perlu secara aktif memunculkan gagasangagasan klien tentang permasalahan yang mereka hadapi dan kemungkinan-kemungkinan solusinya. Pemikiran dan putusan-putusan klien sangat dihargai dan diharapkan. 6. Bagaimana keseimbangan kekuatan dalam hubungan klien-pekerja sosial? Misalkan, apakah pekerja sosial memandang klien sebagai teman? Sebagai Ahli? Sebagai pihak berwenang? Sebagai penasehat? Sebagai Konsultan? Sebagai mitra? Atau sebagai kolega? 7. Apa media komunikasi utama yang digunakan? Apakah kerangka prakteknya cukup dikomunikasikan secara verbal? Atau diekspresikan melalui seni dan permainan? Melalui penulisan dan bacaan? Atau 73 melalui komunikasi yang terukur dan terencana atau tidak terencana dan pertukaran tanpa aturan yang jelas? 8. Apakah kerangka prakteknya saat digunakan akan tepat dan efektif, atau tidak tepat dan tidak efektif? Apakah tersedia data yang mendukung? 9. Apakah kerangka praktek dapat mengidentifikasi jenisjenis klien atau suatu situasi yang kemungkinan saat digunakan dapat membahayakan klien? 10. Apakah kerangka praktek tersebut mengakui pentingnya latar budaya atau etnik klien serta nilai-nilai agama dan atau keyakinan? Dapatkah kerangka praktek tersebut diadaptasi dengan beragam latar belakang klien? 11. Apakah kerangka praktek tersebut menggambarkan setting atau konteks organisasi yang diperlukan guna efektifitas aplikasi? Apakah lembaga prakteknya berbasis lembaga? Atau sebuah praktek privat? Apakah klien akan bersedia datang ke lembaga? Atau apakah klien lebih suka di rumah? 12. Apakah kerangka praktek dapat diterapkan ketika jenis kliennya bersifat involuntary atau atas perintah 74 pengadilan? Saat kapan klien akan bersikap tidak kooperatif? 13. Apakah kerangka praktek yang memberikan penjelasan bagaimana kesamaan dan perbedaannya dengan kerangka umum yang biasa digunakan? 14. Apakah kerangka praktek penerapannya memerlukan seperangkat teknik yang unik atau membutuhkan teknik-teknik yang secara umum sama sebagaimana digunakan dalam kerangka praktek lainnya? 15. Apakah kerangka prakteknya mengabaikan klien atau situasi-situasi khusus, baik secara eksplisit atau implisit? Misalkan, bagaimana dengan orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik? Bagaimana dengan orang tidak bisa baca-tulis? Individu yang tidak bisa bertemu dengan seorang profesional di kantor dalam waktu kerjanya ? Seseorang yang tidak mampu membayar? Seseorang yang sangat membutuhkan pangan, sandang, papan, perlindungan, perawatan kesehatan dan seterusnya? Individu yang memiliki keterbatasan fisik, daya sensorik atau intelektual? 16. Apakah kerangka prakteknya menekankan pentingnya agar klien tetap bersama dalam jaringan keluarganya 75 atau sosialnya? Atau kerangkanya, mengalihkan klien dari pengaruh keluarga, sahabat atau lingkungan terdekan klien lainnya. Proses penentuan suatu kerangka praktek dengan berlandaskan teori juga akan dipengaruhi secara subyektif para pekerja sosialnya. Faktor subyektifitas dalam proses pemilihan kerangka tersebut bergantung pada bekal pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya. Sebagai contoh, pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia yang dilaksanakan oleh beberapa perguruan tinggi, masih memiliki kurikulum yang beragam, sehingga menghasilkan lulusan dengan kemampuan kompetensi sebagai pekerja sosial profesional yang berbedabeda pula. Kondisi ini sudah coba diantisipasi dan terus diupayakan melalui Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), dengan melakukan berbagai kegiatan lokakarya kurikulum pendidikan pekerjaan sosial. Penentuan dan penetapan mata kuliah atau bahan kajian utama untuk pendidikan pekerjaan sosial yang sama untuk semua Program Studi Kesejahteraan Sosial di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tentunya kesamaan kurikulum tersebut tidak menghilangkan kekhasan dari masing-masing perguruan tinggi 76 tersebut. Bahkan kekhasan masing-masing program studi di masing-masing perguruan tinggi didorong tetap dipelihara. Faktor subyektifitas sendiri dalam penentuan kerangka praktek tidaklah cukup. Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya (ada 16 pertanyaan) dari Sheafor & Horejsi (2003), sebetulnya dapat memandu para pekerja sosial dalam memilih kerangka praktek atau teori yang tepat atau sesuai. Pengembangan suatu referensi kerangka praktek menuntut pertimbangan pemikiran dari berbagai perspektif, teori, dan model yang akan membentuk unjuk kerja (perfomance) pekerja sosialnya. Pada awal membangun sebuah referensi kerangka praktek, pekerja sosial mungkin akan melakukan penentuan secara terbatas jumlahnya. Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pengetahuan dari banyaknya pengalaman praktek, pekerja sosial tersebut mungkin dapat menentukan kebutuhan praktek yang fit bagi klien dan lembaganya. 77 4 MEMANFAATKAN PENGETAHUAN Memiliki pengetahuan adalah sesuatu hal, tetapi mampu menggunakan dan memanfaatkannya dalam praktek adalah hal lain. Pekerjan sosial semestinya tidak underestimate akan keterampilan-keterampilan sebagai pemanfaatan pengetahuan tersebut dalam praktek, serta mengintegrasikan teori dan praktek. Dalam upaya memanfaatkan pengetahuan kita harus mampu: • Select (memilih). Pekerja sosial tidak dapat menggunakan semua pengetahuan dalam satu waktu! Meski demikian cenderung pekerja menggunakan sosial seringkali sebanyak akan mungkin pengetahuannya tanpa disadarinya. Pekerja sosial seharusnya mampu memutuskan aspek basis pengetahuan mana yang harus dikedepankan dalam situasi tertentu. Dalam rangka melakukan hal tersebut, pekerja sosial harus memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang apa yang akan dicapai sehingga mereka 78 dapat menentukan elemen-elemen pengetahuan mana yang relevan, sesuai kepentingan proses dan sistematika praktek pekerjaan sosial. • Integrate (Terpadu). Penerapannya pada dua level. Pertama, terdapat perbedaan alur pengetahuan yang harus diintegrasikan (sebagai contoh, pengetahuan psikologis, sosiologis, dan filosofis), sehingga terdapat keterkaitan dan penyesuaian dari masing-masing pengetahuan tersebut. Kedua, harus memadukan antara teori dan praktek, untuk memastikan bahwa pengetahuan formal dapat diadaptasi atau disesuaikan agar cocok (fit) dengan situasi khusus yang sedang ditangani—teori harus ditautkan atau dibuat terukur, daripada dibiarkan menggantung terpisah parsial. • Reflect (memantulkan). Tentunya tidak cukup mudah menggunakan pengetahuan dan kemudian meninggalkannya. Pekerja sosial kemudian perlu merefleksikan setiap tindakannya dan konsekuensikonsekusnsi yang ditimbulkannya, sehingga pekerja sosial dapat belajar darinya dan menyesuaikan rencana tindakannya setepat mungkin. Penting untuk dicatat, bahwa gerakan “refleksi praktek” merupakan sesuatu 79 hal penting ketika menggunakan pengetahuan (perpektif, teori dan model) dalam praktek. Pertimbangan pemanfaatan pengetahuan dalam praktik (select, integrate, reflect), sebenarnya merupakan isu yang sangat penting. Khususnya pada elemen yang ketiga yaitu “reflective practice”. Padahal kemampuan reflektif dari pekerja sosial akan apa yang telah dilakukannya sebagai sikap untuk mawas diri dan evaluasi diri dari setiap praktek pekerjaan sosial. Penting bagi para pekerja sosial untuk mau mengkoreksi dan memperbaiki diri atas apa yang dilakukan sebelumnya, agar di masa depan tidak terjadi kesalahan yang sama, atau makin meningkatkan efektifitas dan performance pekerjaan sosial. A. Reflective Practice (Praktek Reflektif) Istilah “Reflective Practice” adalah satu hal yang berkaitan dengan ahli teori pendidikan Donald SchÓ§n. Praktek reflektif meliputi upaya melampaui gagasan “fitting the square peg of theory into the round hole of practice’: Theory cannot be seen as an entity that can simply be taken ‘off the self’ and applied to practice in a mechanistic way. It 80 is better conceived of as an interactive process through which concepts and frameworks are ‘made to measure’ by the skilful work of the reflective practitioner. ... In this way, human services practice, although based on science, is also very much a craft. (Thompson, 2000b, p. 89) Praktek reflektif meliputi: • Merefleksikan secara tertulis atas praktek kita, sebelum, selama dan sesudah; • Menghindari rutinitas, selimut pendekatan yang tidak mempertimbangkan situasi-situasi dan kondisi-kondisi khusus yang ditangani; • Menghindari cara-cara mekanistik, merespon permasalahan tanpa berfikir; • Tidak sekedar mencari ‘the right answer’ (jawaban yang benar), seolah-olah hanya ada satu solusi untuk setiap masalah. • Mengakui bahwa situasi praktek umumnya ‘messy’ (kacau), dan sudah semestinya menggunakan cara-cara yang masuk akal (rasional) bagi mereka. • Bersikap kreatif dan imajinatif, gali seluas dan sedalam mungkin potensi untuk mencari solusi terbaik. 81 • ‘problem setting’—bersikap jelas dan jernih atas setiap masalah dan bagaimana meresponnya secara baik. • Teruslah mengembangkan sikap profesional—terus belajar dari praktek, secara konstan memperbaiki pengetahuan dan keterampilan kita. • Selalu terbuka dengan ide-ide dan perspektif baru dari orang lain, yang bahkan ketika hal tersebut bertentangan dengan pendapat anda sendiri. Bersikap open mind (tetap terbuka), sebab bukan tidak mungkin ide-ide dari pihak lain itu lebih baik dan lebih bermanfaat. Gerakan refleksi atas praktek ‘sebelum, selama dan setelah’ praktek merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan. Refleksi sebelum praktek, adalah tentu saja saat perencanaan. Adalah sangat tidak bijak apabila saat memulai situasi praktek tanpa memikirkan terlebih dahulu atau tidak memiliki perencanaan tentang apa yang akan dihadapi atau lakukannya. Hal ini bukan berarti pula bahwa semua hal tersebut dapat diputuskan terlebih dahulu tentang bagaimana sebuah situasi dihadapi atau diatasi---tentunya hal ini akan bertentangan 82 dengan prinsip keterbukaan dan fleksibilitas berkaitan dengan praktik reflektif. Meski begitu, dalam derajat tertentu perlu diperkirakan sebuah kerangka persiapan atau rencana untuk menghadapi situasi praktek. Sesuatu yang dipersiapkan dengan baik tentu hasilnya cenderung lebih baik dari pada yang tidak dipersiapkan sama sekali. Refleksi selama praktek adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Schon (1983), merujuk pada ‘a reflective conversation with the situation’. Artinya, seharusnya terdapat sebuah situasi interaktif yang konstan terhadap apa yang sedang terjadi yang pekerja sosial pikirkan dan lakukan ketika melakukan pertolongan kepada klien. Pekerja sosial harus terus bersikap waspada dan mawas diri dalam menghadapi situasi praktek. Artinya lebih dari sekedar upaya penerapan teori atau metode mekanis atau memaksakan sebuah solusi khusus terhadap situasi permasalahaan, reflektif praktisi seharusnya mempertahankan situasi yang relatif konstan (tetap), melihat kembali elemen-elemen terkait dan menyesuaikan rencana dan meresponnya memungkinkan secara pekerja tepat. sosial Refleksi setelah mempelajari kejadian berdasarkan pengalaman, mencatat aspek-aspek kunci dari situasi dan 83 bagian yang mereka hadapi, sehingga pekerja sosial dapat memperoleh manfaat dari pengalaman untuk selanjutnya akan mendapatkan pencerahan pengetahuan baru di masa depan. Sehingga proses pertolongan di kemudian hari akan lebih baik lagi. B. Ide dan Rasa Aspek ini akan mengkaitkan antara gagasan pemikiran dengan perasaan pekerja sosial sebagai manusia. Ide dan rasa seringkali saling pengaruh mempengaruhi dalam proses praktek pekerjaan sosial. Aspek ide berkaitan erat dengan kognitif, sedangkan aspek rasa berkaitan dengan emosional. Aspek ‘kognitif’ dari pekerjaan sosial adalah—apa yang perlu diketahui, proses pemikiran apa yang perlu dilakukan, dan seterusnya. Namun demikian, kita juga perlu mencatat bahwa terdapat juga dimensi emosional yang perlu dipertimbangkan. Hal ini dapat diterapkan dengan dua cara: 1. Kita perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman akan isu-isu emosional agar dapat berpraktek secara efektif. Sebagai contoh, dalam perkembangan manusia, kita perlu mempertimbangkan isu apa yang berkaitan 84 dengan rasa kehilangan dan dampak kedukaan serta rasa sedih terhadap manusia. Sama halnya, dalam interaksi antar manusia atau kelompok, dimensi emosional nampaknya akan begitu sangat signifikan, yang sangat berperan penting dalam dinamika interpersonal dan kelompok. Perlu dicatat bahwa dimensi emosional pekerjaan sosial tidak hanya berkenaan dengan perasaan dan respon emosi dari klien dan perawatnya, tetapi juga dengan pekerja sosial itu sendiri. Para pekerja sosial adalah manusia yang selalu berhadapan secara emosional dengan situasi tertentu, dan oleh karenanya ia seharusnya tidak memandang rendah makna penting pemahaman dimensi emosinal. Para pekerja sosial tidak kebal dengan penderitaan yang dihadapi dan dirasakan oleh setiap orang. Pekerja sosial juga manusia. 2. Aspek lain dari pengetahuan dan pembelajaran adalah signifikansi dalam istilah emosional. Sebagai contoh, dalam pembelajaran penindasan, kita mengenai seharusnya diskriminasi (suka atau dan tidak) mempelajari isu atau asumsi berkaitan dengan hal tersebut, khususnya berkait dengan apakah terdapat 85 stereotypes atau pandangan awal negatif (prejudice) tentang individu, kelompok atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial. Basis pengetahuan pekerja sosial kemudian tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang sulit dan kaku (mekanis, bersifat seperti mesin), tetapi harus dapat dengan mudah dibedakan, karena banyak isu berkaitan dengan perasaan dan respon emosional yang tidak pasti. Dua faktor perangkat yaitu ide dan rasa, harusnya dipadukan, keduanya akan saling mempengaruhi tindakan para pekerja sosial. Konsekuensinya adalah sangat penting bagi para pekerja sosial untuk menempatkan dimensi emosional dalam praktek sebagai bagian dari elemen kognitif pengetahuan dan pemikiran. Para pekerja sosial perlu mengembangkan dengan apa yang disebut dengan kecerdasan emosional (emotional inteligence). Setiap pekerja sosial akan membawa serta rasa dan pemikiran masing-masing dalam praktek pertolongan, yang berbeda dengan pekerja sosial lainnya. Meskipun para pekerja sosial tersebut memperoleh bekal pengetahuan dan ketereampilan praktek pekerjaan sosial yang sama. Berpadunya pengetahuan 86 (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap/rasa (attittude) dalam praktek pertolongan pekerjaan sosial akan melahirkan ‘arts’ (seni) dari setiap masing-masing individu para pekerja sosial. Setiap pekerja sosial akan mengembangkan kekhasan masing-masing, ketika mampu memadukan potensi dirinya (knowledge, skill dan attittude) melalui praktek pertolongan. Teruslah berpraktek, banyak lah berpraktek, maka akan makin terbangun kekhasan dan kemapanan yang berujung pada efektifitas pelayanan yang dilakukan oleh para pekerja sosial, yang ujung akhirnya adalah untuk kemanfaatan optimal pengguna layanan (beneficiaries). C. Tetaplah Berpraktek Banyak para praktisi pekerja sosial menempatkan teori dan praktek sebagai sebuah gambar yang terpisah, bukan sebagai bagian yang saling terhubung dan menunjang. Praktek tidak pernah terlepas dari gagasan, asumsi, kerangka pemahaman, dan seterusnya. Teori dan praktek dengan demikian perlu saling berkait, walau demikian para praktisi tidak secara terang-terangan dan terbuka mengakui penggunaan teori tersebut. 87 Hal terpenting untuk dipahami di sini adalah, bahwa akan berbahaya jika para pekerja sosial mengabaikan, mengesampingkan, atau tanpa sama sekali tidak memanfaatkan pengetahuan dan teori dalam berpraktek. Kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan dari praktek yang tidak berdasarkan pada pengetahuan akan memunculkan sejumlah permasalahan, setidaknya sebagai berikut; • Aksi atau kegiatan yang dilakukan mungkin tidak berdasarkan pada aturan dan kebijakan resmi sehingga pelaksanaannya ilegal. • Ketidaktepatan aksi mungkin timbul sebagai akibat dari kekeliruan dalam memahami dan membaca sejumlah aspek situasi kondisi. • Peluang untuk melakukan tindakan yang tepat, sesuai dan membantu klien mungkin akan hilang, karena kurangnya kesadaran tentang pentingnya pengetahuan. • Tindakan yang dilakukan mungkin akan mendorong diskriminasi dan menindas atau bertentangan dengan prinsip-prinsip etika praktek pekerjaan sosial. • Peluang-peluang pembelajaran dan pengembangan profesional mungkin akan hilang begitu saja. 88 • Kredibilitas dan pengakuan profesional di mata orang lain mungkin hilang ‘menguap’ dan di masa depan akan menimbulkan kesulitan baginya. • Peluang untuk mencapai kepuasan prestasi kerja akan tidak tercapai. Sementara itu, perlu pula dipahami bahwa penggunaan pengetahuan dalam praktek tidaklah selalu mudah dan dapat langsung diterapkan. Diperlukan upaya-upaya lebih lanjut agar pengetahuan dan teori tersebut dapat diterapkan lebih tepat dan bertanggung jawab. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa suatu teori atau metode praktek mungkin tidak sesuai atau tidak tepat untuk individu yang berbeda, walaupun mungkin memiliki jenis permasalahan yang sama. Banyak teori-teori praktek pekerjaan sosial yang berasal dari Barat, dengan latar belakang budaya dan pemikiran yang berbeda dengan konteks masyarakat Indonesia. Sehingga dalam penerapannya di Indonesia diperlukan sejumlah penyesuaian dengan konteks ragam budaya yang dimiliki bangsa ini. Bahkan bukan sesuatu yang tidak mungkin, apabila terdapat pemikiran, metode dan keterampilan, serta nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang, serta terpelihara baik oleh 89 bangsa Indonesia yang sangat bermanfaat dalam praktek pekerjaan sosial. Di sinilah pentingnya pemahaman akan indigenous social services dalam konteks Indonesia. Bangsa Indonesia yang sangat kaya budaya ini, dengan beragam suku bangsanya, telah mengembangkan pola-pola pelayanan tradisional sejak lama. Pola-pola pengasuhan anak dan para lanjut usia berbasiskan masyarakat melalui keluarga besar (extended family), masih ada di sebagian besar masyarakat. Permainan-permainan anak-anak tradisional yang telah ada dan dan telah lama berkembang di daerah pada masyarakat Indonesia, melatih motorik anak-anak baik motorik kasar maupun halus. Juga permainan-permainan anak-anak tradisional tersebut telah melatihkan sikap pantang menyerah, terampil, bertindak sportif, kreatif, kepempimpinan; yang saat ini mulai tergerus kemajuan teknologi, bergeser dengan permainan online dan offline dengan berbagai perangkat (gadget) yang ada. -------------- 90 5 TEORI PEKERJAAN SOSIAL DAN PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL Para pekerja sosial telah dipersiapkan melalui pendidikan sarjana (S-1) kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial sebagai pekerja sosial generalis. Agar mereka mampu menjadi pekerja sosial generalis yang efektif, maka para pekerja sosial harus dapat menerapkan sebanyak mungkin teori praktek. Menjadi pekerja sosial generalis berarti memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan komponen-komponen menggunakan teorinya serta beragam teori mengelola dan bersama keseluruhan tersebut menjadi suatu pendekatan komprehensif untuk praktek khusus dengan klien khusus pula. Persoalanpersoalan (isu) klien, nilai-nilai, budaya dan sistem kepercayaan yang sedikit banyak akan mempengaruhi, atau bahkan menentukan pilihan kerangka teoritis terhadap apa yang akan dibangun dalam intervensi praktek pertolongan. Sejak awal, profesi pekerjaan sosial sudah peduli dan memperhatikan ketersediaan pelayanan-pelayanan dengan berdasarkan pada pengetahuan 91 yang teruji. Di awal perkembangannya, banyak teori-teori pekerjaan sosial meminjam dari disiplin ilmu lainnya seperti psikologi, kesehatan, antropologi, biologi dan sosiologi. Sementara itu masih banyak dari teori-teori yang digunakan dalam profesi pekerjaan sosial ---yang terus berkembang menuju kedewasaannya--- pekerjaan sosial telah mengembangkan secara empiris teori-teorinya sendiri. Kini, lebih dari sekitar 50 teori yang umum dipergunakan dalam praktek-praktek pekerjaan sosial, dan banyak dari teori tersebut dikembangkan untuk praktek pekerjaan sosial oleh para pekerja sosial. Cummins dkk., (2006) memetakan teori-teori yang umum digunakan dalam praktek pekerjaan sosial. Tabel 1 Contoh Beberapa Teori Praktek Pekerjaan Sosial Attachment Cognitive Crisis Ego Psychology Feminist Gestalt Management Person Centered Psychosocial Social Action Symbolic Interactionism Behavioral Communication Developmental Existential Functional Human Relations Marxist Problem Solving Organizational Strengths Perspective Task-oriented Sumber: Cummins, et.al. (2006: p.33) 92 Cilent Centered Constructivism Ecological Perspective Family Centered General Systems Life Model Natural Helping Network Psychoanalytic Role Structural Transactional Analysis Secara fundamental, teori praktek adalah suatu batang tubuh pengetahuan yang secara empiris telah teruji dan terbukti efektif. Selanjutnya, teori akan memandu tindakan praktek, dan bukti-bukti efektifitasnya menjadi standar (acuan) akuntabilitas (Turner, 1997). Tanpa aplikasi dari pengetahuan yang teruji, pekerja sosial tidak dapat menyatakan prakteknya sebagai tindakan profesional. Jika para pekerja sosial tidak menggunakan teori untuk memandu mereka membuat putusanputusan dalam praktek, lalu apa bedanya dengan para relawan atau dermawan yang membantu orang lain berdasarkan keinginan mereka atau suka-suka mereka tanpa mempertimbangkan akibat dari bantuan yang diberikannya tersebut. Seolah para relawan dan demawan tersebut telah tuntas melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Dengan demikian teori menjadi basis (dasar) dari asesmen dan intervensi pekerja sosial dengan klien. Pekerja sosial menggunakan teori-teori tersebut untuk memaknai situasi, untuk mengkaji dan menilai kekuatan serta kelemahannya (hambatan dan kekurangannya) dari situasi tersebut, serta untuk memahami kehidupan dan lingkungan (environment) klien dimana mereka hidup dan berfungsi. Biasanya ketika berpraktek dengan klien (baik individual, keluarga, kelompok, 93 organisasi atau masyarakat), maka pekerja sosial akan menerapkan berbagai teori pekerjaan sosial. Semisal, mungkin pekerja sosial akan menggunakan perspektif person-inenvironment untuk memahami kompleksitas kehidupan dari klien, teori psikodinamika untuk memahami rendahnya harga diri klien, teori krisis untuk membimbing dia (akibat kekerasan), dan teori grief (kesedihan) untuk membantu dia melewati proses recovery. Perhatian awal para pekerja sosial dalam praktek adalah memahami orang dalam konteks lingkungannya. Dimulai dengan memahami orang dalam hubungan dengan lingkungannya yang terbatas, termasuk pentingnya anggota keluarga klien dalam memulai asesmen. Misalkan, sudah merupakan hal yang lumrah apabila dalam pengumpulan informasi di dalamnya akan termasuk anggota-anggota keluarga, pekerjaan, dan bahkan tetangga terdekatnya; tetapi untuk memahami secara penuh dampak lingkungan fisik, ekonomi, agama dan sosial budaya pada kehidupan klien maka itu belumlah dilakukan. Pentingnya peranan faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi kehidupan klien mulai muncul di tahun 1970-an sebagai konsep baru yang dipinjam dari teori 94 sistem dan teori ekologi yang bahkan mengarahkan profesi ini pada pengembangan teori sistem ekologi atau teori ekosistem (Becket & johnson, 1997; Miller, 1978; Germain, 1973; and Germain & Gitterman, 1997). Perspektif ekologis menyediakan suatu basis teori yang luas akan praktek pekerjaan sosial dan dimanfaatkan sebagai konteks atau latar untuk penerapan teori-teori praktek yang lebih khusus, seperti halnya teori crisis intervention atau teori cognitive-behavioral. Teori-teori lain yang umum digunakan untuk praktek pekerjaan sosial saat ini termasuk, teori the life model (diperoleh dari perspektif ekologis), the strenghts perspective, dan teori praktek berbasis pemberdayaan. Berikut ini beberapa teori pokok yang banyak dimanfaatkan dalam praktek pekerjaan sosial. A. Teori Sistem Keberadaan lingkungan bagi manusia dimulai khususnya dalam lingkungan terdekat seperti keluarga dan berikut pengalaman-pengalaman hidup di dalamnya, termasuk interaksi dengan keluarga besar, teman-teman, ketetanggaan, sekolah, keagamaan, kebijakan umum, norma-norma budaya, 95 dan sistem ekonomi, dan seterusnya. Untuk memahami kompleksitas interaksi diantara individu-individu dan semua komponen lingkungannya, pekerjaan sosial memanfaatkan teori sistem umum sebagai kerangka untuk memahami permasalahan manusianya, dan upaya memperbaiki kehidupannya. Teori sistem umum telah dikembangkan dalam ilmu eksakta dan selanjutnya dikembangkan untuk aplikasi profesi pekerjaan sosial sebagai sebuah kerangka konseptual di dalam beragam pengelolaan teori. Hal tersebut juga dapat dilihat sebagai suatu kerangka yang dapat menyuarakan istilahistilah yang sama bagi para praktisi, sehingga memudahkan dalam komunikasi dan pelaksanaannya (Beckett & Johnson, 1997). Sistem didefinisikan sebagai suatu keseluruhan (totalitas) yang terbentuk dari berbagai bagian atau sub sistem yang saling berinteraksi. Sebagai contoh, seseorang mewakili sub sistem individual dalam sebuah sistem keluarga yang lebih besar; sebuah keluarga dipandang sebagai sub sistem dari sistem masyarakat yang lebih besar; dan sebuah masyarakat merupakan sub sistem dari sistem kemasyarakatan yang lebih besar lagi. Sistem dan sub sistem mempunyai suatu struktur 96 hubungan satu sama lain dan dipisahkan oleh boundaries (batas). Boundaries dapat bersifat kedap (tertutup), yaitu menciptakan sistem tertutup yang mandiri dan namun masih memungkinkan beberapa pengaruh dari luar masuk; atau terbuka (permeabel), yaitu menciptakan sistem terbuka yang secara aktif saling bertukar dengan subsistem lainnya dan dengan demikian selalu berubah. Interaksi atau pertukaran antar subsistem merupakan proses dinamis yang memungkinkan pemeliharaan sistem terbuka meningkat. Sepanjang sistem selalu siap beradaptasi untuk berubah, sistem akan tetap seimbang (homoestatis) atau memelihara keseimbangannya (equilibrium). Ketika terjadi perubahan besar terhadap suatu sistem, proses adaptasi akan terjadi sepanjang waktu tersebut, sistem mungkin berada pada situasi disequilibrium hingga sistem dapat beradaptasi dan melakukan perubahan atas dampak kerusakan sistem. Dalam merespon terhadap upaya-upaya perusakan dan gangguan terhadap sistem, bisa terhadap sebuah keluarga, masyarakat atau negara, para pekerja sosial memusatkan perhatiannya pada keseluruhan (totalitas) interaksi antar individu dan jumlah semua kekuatan sosial atau sistem, 97 sehingga mereka mungkin “promote or restore a mutually beneficial interaction between individuals and society in order to improve the quality of life for everyone” (Minahan, 1981, p.6). Misalkan dalam kasus bencana alam dengan meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah-Yogyakarta, pekerja sosial dapat berpraktek dengan melakukan berbagai upaya pada semua level: misalkan membantu keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, membantu pemerintah daerah mengatasi kerentanan wilayah, dan pemerintah pusat dalam memperbaiki kondisi perekonomian yang rusak akibat bencana alam tersebut. Optimalisasi keberfungsian seorang individu dalam lingkungan menuntut subsistem yang berfungsi (fungsional) secara optimal pada level tersebut, yang mendukung pengembangan dan peningkatan aktualisasi diri individu. Disfungsi sistem dipahami sebagai keberfungsian yang terbatas atau terkekang untuk secara potensial berkembang. Disfungsi dapat terjadi pada level individu, keluarga, komunitas, organisasi atau kemasyarakatan. Terlepas darimana disfungsi dalam sebuah sistem tersebut berasal, hal tersebut dapat 98 menimbulkan kekacauan atau kerusakan yang permanen pada subsistem-subsistem lainnya. Tujuan dari praktek langsung (direct practice) adalah untuk mengkaji dan memperbaiki interaksi sub-sub sistem (individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan organisasi) dalam konteks sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Profesi pekerjaan sosial telah mengenal dan memahami akan pentingnya penanganan 3 (tiga) level sistem, yaitu mikro, meso, dan makro. Sistem mikro adalah individual, dan mencakup sejarah masa lalu individunya, pengalamanpengalamannya, keunikan pribadinya, dan daya jangkau atas sumber-sumbernya. Sistem meso adalah kelompok kecil, seperti halnya keluarga, dengan kompleksitas dan dinamika yang dimilikinya. mempengaruhi dan Misalkan kelompok dipengaruhi oleh kecil sangat anggota-anggota individualnya. Community organization dan badan-badan pelayanan sosial juga berada pada klasifikasi level sistem meso. Sistem makro adalah kelompok besar, seperti institusi kerja kemasyarakatan, sekolah, dan komunitas keagamaan (Zastrow, 2010). Dalam kerangka tersebut, Zastrow (2010) 99 menetapkan 5 (lima) tujuan praktek pekerjaan sosial yang ditangani semua level sistem intervensi: 1. Enhance peoples’s probems-solving, coping, and developmental capacities of people; 2. Link people with systems that provide them with resources, services, and opportunities; 3. Promote the effectiveness and humane operation of systems that provide people with resources and services; 4. Develop and improve sosial policy; 5. Promote human and community well-being (p. 51-52) Sistem mikro, meso dan makro saling berinteraksi dalam sebuah kontinum keberfungsian dengan tujuan meningkatkan keberfungsian sistem sehingga keberfungsiannya sehat dan agar disfunction-nya terkurangi. Lingkungan atau ekologi dari sistem memainkan bagian penting dalam pengembangan sistem individu dan keluarga. Pekerjaan sosial yang baik manakala terjadi transaksi sistem-sistem tersebut lalu dia mendukung pertumbuhan dan pengembangan individu, keluarga, dan masyarakat, serta dalam pertukaran tersebut membuat/ membentuk lingkungan setuju (cocok, sesuai atau fit) dengan pertumbuhan yang positif bagi semua sub sistem (Ashford, 100 Lecroy, & Lortie, 2006). Pendekatan ganda (dualistic approach) dalam intervensi dilakukan baik kepada klien maupun lingkungannya. B. Perspektif Ekologis Perspektif the person-in-environment dalam praktek pekerjaan sosial diperluas dan dimanfatkan sebagai pengembangan lebih jauh lagi dari peralihan konsep-konsep teori sistem umum dalam ilmu-ilmu eksakta,yang diaplikasikan pada kehidupan sistem keluarga manusia. Perspektif ekologis membantu para pekerja sosial untuk memahami lebih mendalam kompleksitas kondisi manusia dalam konteks berbagai sub sistem kehidupan ekologis mereka. Meminjam sejumlah konsep dari ekologi (kajian tentang organisme dan hubungannya dengan lingkungan), perspektif ekologis menyediakan banyak konsep konkrit untuk memahami orang dalam lingkungan lebih dari teori sistem yang dapat lakukan. Sebagai contoh, gagasan ‘goodness of fit’ diantara seseorang dan lingkungan adalah muncul dari kerangka ekologis dan menyediakan yang sebuah lensa untuk menilai keberadaan perilaku adaptif seseorang yang mendukung pertumbuhan dan kesehatan (a good fit) atau 101 mendukung suatu penurunan keberfungsian (bad fit) fisik, sosial atau psikologis. Konsep penting lainnya adalah bahwa bagian dari memahami seseorang dalam lingkungannya yang diperkenalkan melalui kerangka ekologis adalah peranan stress and coping measure lingkungannya, dan yang individu kemampuan bawa mereka ke berelasi, dalam atau membangun kedekatan, persahabatan dan hubungan keluarga yang positif, serta semua hal yang menjadi sumber ketika menemui tantangan kehidupan (Germain & Gitterman, 1997). Perspektif ekologis juga menantang para pekerja sosial untuk berfikir pada pola-pola lebih kompleks yang menggambarkan pola timbal-balik dan saling interaksi antara individu-individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan lembaga-lembaga (Germain & Gitterman, 1997). Pemikiran logis biasanya cenderung lurus (linear), dimana kita berfikir hubungan antara suatu penyebab dan dampak (effect) dari dua kejadian, sementara itu pemikiran ekologis (ecological thingking) menuntut bahwa pekerja sosial untuk memahami timbal-balik interaksi dari seseorang dalam lingkungannya. Dalam pemikiran logis, A menyebabkan B, dan selesai. Dalam pemikiran ekologis, A berdampak pada B, yang merubah B, 102 perubahan tersebut berbalik berdampak pada A, yang merubah A, yang perubahan tersebut berbalik pada B dan begitu seterusnya. Sebagai contoh, seorang ibu yang memandang tantangan toilet training bagi anaknya yang berusia 2 tahun sebagai tahap perkembangan yang normal dan tugasnya dapat dipenuhi oleh anaknya menjadi relatif lebih mudah dan menyenangkan, daripada bagi seorang ibu yang melihat anaknya yang seringkali tidak konsisten dalam toilet training sebagai perilaku menyimpang. Ibu ini melihat anaknya bermasalah, sementara ibu yang pertama tidak. Jelas-jelas, bahwa toilet training merupakan bagian dari pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal akan mampu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi anak (good fit) untuk memenuhi tugas kritis tersebut daripada ibu kedua yang melihat anaknya yang berumur dua tahun kurang baik dalam ber-toilet sebagai sebuah masalah kedisiplinan (bad fit). Setiap respon ibunya akan membentuk perasaan anak akan dirinya sendiri dan perasaan akan kompetensinya. Pengalaman keberhasilan dalam membentuk lingkungan menumbuhkan harga diri dan rasa kompetensi. 103 kita akan Dari perspektif pekerjaan sosial, kedua ibu tersebut merupakan bagian dari lingkungan yang juga dapat meningkatkan atau menghambat potensi perkembangan anak mereka. Timbal balik hubungan antara individu dan lingkungannya yang berarti bahwa sebagai individu, kita bergerak dan membentuk sekitar kita, dan bahwa lingkungan sekitar kita juga memberi dampak atau berpengaruh kepada kita. Sebagai contoh, seorang ibu yang yang menghargai dan mengenali kemampuan anak-anak mereka dalam saat toilet training berdampak pada pikiran kompetensi dan harga diri si anak. Sebagaimana juga seorang anak merespon dengan bangga kemampuan menyelesaikan tugasnya, si ibu merasakan pula kompetensi peranan dirinya sebagai seorang ibu. Baik si ibu maupun si anak saling membentuk rasa nyaman atau menyenangkan. Sebaliknya, bagi si ibu yang melihat toilet training sebagai masalah kedisiplinan dan meresponnya dengan hukuman dan kemarahan, hal yang sama mempengaruhi perasaan harga diri anaknya. Si anak mungkin akan meresponnya dengan ketakutan, bingung, dan merasa tidak nyaman ketika berupaya memenuhi tuntutan ibunya. Kesalahan atau kegagalan anak dalam toilet training patut diduga merupakan bukti ketidaksesuaian peran yang dilakukan 104 si ibu. Dalam kedua kasus tersebut, anak dan ibu saling berkontribusi pada tingkat ketegangan atau kebahagiaan mereka yang mereka alami saat melakukan tugas toilet training dan berperan sebagai seorang ibu. Dalam kotak berikut, akan dikemukakan secara singkat pusat dari konsep-konsep penting untuk memahami perspektif ekologis dalam mengkaji goodness of fit antara seseorang dan lingkungannya. Tabel 2:Konsep-Konsep Perspektif Ekologis Person: Environment Fit: Hubungan antara seorang individu atau kelompok dan lingkungan fisik serta sosial dalam konteks historis dan budaya. Ketika lingkungan mendukung pertumbuhan dan kesehatan, dengan demikian ‘good fit’ antara orang dan lingkungan adalah ada. Adaptation: perubahan internal atau eksternal dari diri atau sesuatu lingkungan yang memelihara atau meningkatkan goodness of fit antara seorang individu dan lingkungan. Life Stressors: peristiwa atau isu-isu kehidupan kritis yang mengganggu goodness of fit antara seorang individu dan ingkungan. Isu-isu umum tersebut termasuk kejadian-kejadian traumatik, seperti kehilangan seseorang, pekerjaan, atau kesehatan; transisi kehidupan penting seperti pernikahan, perceraian, atau pensiun; isu-isu besar yang merusak goodness of fit dan selalu terbawa pada kehidupan lain sepertihalnya kemiskinan dan penindasan Stress: Suatu respon internal terhadap stressors kehidupan yang menimbulkan emosi negatif seperti rasa salah, cemas, depresi, kehilangan, atau takut, dan hasil dari diri perasaan seseorang yang kurang kompeten, menghasilkan suatu rendahnya level kedekatan, harga diri, dan arah diri. 105 Coping Measures: Perilaku individu yang berinisiasi untuk merespon stressors kehidupan dengan cara memperbaiki atau memperkuat hal-hal baik antara individu dan lingkungan. Relatedness: Suatu kemampuan untuk membentuk kedekatan/ keeratan dengan teman, keluarga, mitra kerja, dan tetangga dan memelihara rasa kepemilikan atas dunia. Competence: Manakala individu diseediakan peluang-peluang untuk membentuk lingkungannya dari sejak bayi, mereka akan memiliki peluang untuk membangun keberhasilan. Pengalaman-pengalaman keberhasilan yang diperoleh akan menyediakan suatu perasaan kompetensi (kemampuan) pada pembentukan dan mengelola lingkungannya. Self-Esteem: Mewakili suatu asesmen diri sebagai penghormatan akan cinta dan penghargaan. Orang dengan harga diri tinggi merasa lebih mampu, bernilai, dan dihargai. Pada orang yang harga dirinya rendah memahami dirinya secara tidak sesuai, tidak dapat dicintai, rendah diri dan tak dihormati, serta seringkali mengalami depresi. Bagaimana kita merasakan diri kita sendiri secara mendalam sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan perilaku. Self-Direction: Kapasitas untuk membuat putusan, mengendalikan kehidupan diri dan menyalurkan hasrat di jalurnya, ketika diberi tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur kehidupan dengan tetap menghormati hak-hak dan kebutuhan orang lain. Kemampuan untuk mengarahkan diri sangat berkaitan erat dengan perasaan berdaya (power) dan tidak berdaya (powerless). Jika seorang individu tidak diberi peluang untuk membuat keputusan dan mengarahkan hidup mereka sendiri, mereka akan merasa tidak berdaya dan pengelolaan dirinya lemah. Hidup dalam kondisi tertekan/ tertindas membuat orang lain merebut keberdayaan mereka dan dapat mempengaruhi kemampuan mereka mengelola diri. Habitat: Merujuk pada sifat dan lokasi dari wilayah ‘home’ seseorang atau tempat yang membuat mereka paling home. Beberapa istilah yang seringkali diterapkan berkaitan dengan habitat yaitu nesting place, home range, atau territory. Untuk kebutuhan manusia termasuk pemukiman, sekolah, tempat kerja, atau tempat main, dan perilaku-perilaku orang dengan spacenya. 106 Niche: Posisi atau rangkin sosial dalam suatu masyarakat, atau status yang dipegang dalam keluarga, dengan para pekerja atau dalam masyarakat. Sebagai contoh, seorang lelaki mungkin menjadi pemimpin keluarga, boss di tempat kerja, dan seorang penjaga keamanan lokasi hiburan, semuanya mengindikasikan level tinggi dari status lintas habitat. Sebaliknya, seorang lelaki mungkin tidak berkeluarga, tidak bekerja, dan gelandangan di masyarakat, semuanya menunjukkan status rendah lintas habitat. Sumber: German & Gitterman, 1997 Pusat perhatian dari model ekologis adalah mengartikulasikan transisi permasalahan-permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, dan kelompok kecil. Sekali permasalahan dan kebutuhan tersebut terindentifikasi, pendekatan intervensi akan dipilih dan diterapkan untuk membantu mengatasi individu, kelompok, permasalahan dan transisi keluarga dan tersebut pemenuhan kebutuhannya. Dalam contoh-contoh sebelumnya model ekologis juga fokus pada permasalahan maladaptive dan kebutuhan interpersonal. Juga berupaya mengartikulasi prosesproses komunikasi maladaptive dan pola-pola relasi keluarga dan kelompok yang disfungsional. C. Life Model Praktek Pekerjaan Sosial Sebagai respon terhadap kebutuhan perubahan praktek di tahun 1970-an, Germain dan Gitterman (1997) mengembangkan 107 sebuah metode praktek yang menerapkan konsep-konsep perspektif ekologis dalam suatu pendekatan praktek. Berbeda dengan pendekatan populer lainnya yang lebih menitikberatkan pada kelemahan seseorang, pendekatan ini lebih menekankan pada pemodelan interaksi dalam hubungan praktek seputar proses kehidupan dan fokus pada kekuatan klien. Tujuan dari life model tidak menyediakan tindakan remedial, tetapi lebih pada: • Mendukung potensi-potensi kesehatan, pertumbuhan dan ekspresi seseorang; • Melakukan perubahan terhadap lingkungan yang akan lebih mendukung dan memelihara pertumbuhan dan kesejahteraan; dan • Meningkatkan the person:environment fit (Germain & Gitterman, 1997) Penerapan the life model membimbing praktek para praktisi dalam melakukan asesmen life stressors, stress dan coping mechanisms dalan diri klien, dan mengupayakan pemanfaatan intervensi yang memperbaiki atau meningkatkan keeratan, selfesteem, dan self-direction. Sasaran-sasaran khusus dalam rangka mencapai mencapai tujuan yang lebih besar tersebut 108 disebutkan dan dibangun bersama dengan klien. The life model mendasarkan prinsip-prinsip pemberdayaan serta secara khusus juga sensitif terhadap kan konteks budaya, fisik, dan sosial. Aspek-aspek pemberdayaan merupakan pusat dari life model ini, yang di dalamnya terdiri dari: • • • Klien dan pekerja sosial sebagai mitra perubahan; Mengakui klien sebagai ahli akan kehidupannya; dan Sensitif pada perbedaan kekuatan dalam hubungan klien/pekerja sosial (Germain & Gitterman, 1997) Terbangunnya hubungan kerja antara klien dan pekerja sosial dengan prinsip-prinsip praktek pemberdayaan akan mendorong peningkatan akses klien kepada kekuatan personal dan selanjutnya akan meningkatkan harga dirinya. Ketika klien telah mampu mengalami efektivitas hubungan dengan lingkungannya, maka akan tumbuh perasaan kompetensi, mendukung kemampuan decision-making yang memberi arah pada kehidupan klien (Germain & Gitterman, 1996). 109 D. Asesmen Person-In-Environment (PIE) dan Sistem Klasifikasi Tahap terdepan dan lebih maju yang lebih terstruktur dan seragam adalah penerapan dari perspektif the person-inenvironment (PIE) yang mewakili perspektif ekologis dan teori sistem adalah pengembangan PIE assessment dan sistem klasifikasi (classification system) di tahun 1980-an. Sistem tersebut dikembangkan oleh satuan tugas NASW dalam merespon dua hal. Pertama, sistem klasifikasi model medis the Diagnostic Statistial Manual (DSM) yang telah banyak digunakan dalam pelayanan kemanusiaan, namun dalam sistem tersebut faktor-faktor lingkungannya masih terbatas dalam memahami perilaku manusia, sehingga membatasi para praktisi pekerja sosial dalam analisisnya tentang faktor-faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap permasalahan klien. Kedua, evolusi teori sistem, perspektif ekologis, dan the Life Model Practice yang memunculkan kebutuhan akan practice tool untuk implementasi kontruksi kerangka teoritis dari the person-in-environemnt (Karls & Wandrei, 1997). Sistem PIE digunakan oleh para praktisi untuk mengases keberfungsian klien dalam lingkungannya, dan 110 menyebutkan kesulitan-kesulitannya, demikian pula dengan kekuatan-kekuatannya. (function) dan Fokusnya pada ketidakberfungsian keberfungsian (dysfunction) atau keseimbangan (balance) dan ketidakseimbangan (imbalance) antara orang dan lingkungannya. Keberfungsian sosial diidentifikasi dan diilustrasikan dalam istilah-istilah social role performance (memenuhi/ memerankan peran-sosial). Social role performance dipahami sebagai suatu kemampuan untuk memenuhi harapan-harapan peran lintas multi peran dari kehidupan klien. Sistem PIE menyediakan suatu cara untuk menganalisa kompleksitas kehidupan klien termasuk aspek biologis, psikologis, fisik dan sosial. Ini merupakan gambaran terbaik sebagai metode untuk memahami keseluruhan permasalahan yang kompleks. Sistem klasifikasi deskriptif ini terdiri dari empat faktor dimana praktisi pekerja sosial melakukan asesmen. Dalam melakukan asesmen, pekerja sosial mengidentifikasi dan menggambarkan fungsi sosial klien atas empat faktor tersebut. 111 Tabel 3 PIE System Factors FACTORS I: Permasalahan klien dalam keberfungsian sosial, dan juga kapasitas klien dalam mengatasi permasalahan FACTORS II: Permasalahan yang muncul dari lingkungan klien yang berdampak pada keberfungsia sosial klien FACTORS III: Beberapa masalah kesehatan yang mengganggu keberfungsian klien; dan FACTORS IV: Beberapa masalah fisik Sumber: Karls & Wandrei, 1994 Sistem PIE akan menghasilkan suatu pernyataan deskriptif dan pengkodean permasalahan keberfungsian sosial dan lingkungan klien. Intervensi pekerjaan sosial tepat manakala asesmen PIE membuka upaya perbaikan keberfungsian peran dalam klien dan lingkungan yang berdampak negatif pada keberfungsian sosial klien. Kesulitankesulitan yang dialami dan lama waktu dari ketidakberfungsian klien juga patut dicatat merupakan keterampilan-keterampilan coping klien. Kode-kode penugasan yang menunjukkan kondisi lintas 4 (empat) faktor, memunculkan bahasa praktek yang sama tentang komunikasi lintas setting lembaga dan para praktisi (Karls & Wandrei, 1994). Masing-masing faktor 112 mengkaji dimensi yang berbeda dari kehidupan klien, dan setiap dimensi merujuk pada sebuah ‘axis’. Sebagai contoh, sebuah asesmen terhadap faktor I akan menghasilkan kode axis I dan gambaran dari kemampuan klien untuk berfungsi dalam peran-peran kehidupan mereka, asesmen faktor II memunculkan sebuah kode dan gambaran tentang orang atau kejadian dalam suatu lingkungan klien yang mengganggu keberfungsian klien, dan ini dikenal sebagai axis II; faktor II mengases status kesehatan mental klien sepanjang axis III menggunakan DSM IV, dan faktor IV atau kode dan gambaran axis IV merefleksikan tantangan-tantangan fisik dari klien. Signifikansi dari sistem klasifikasi PIE yaitu bahwa kondisi tersebut berhubungan dengan pengembangan konsep, teori dan model-model pekerjaan sosial dengan praktek pekerjaan sosial melalui penyediaan sebuah tool praktek asesmen. Harapannya, dengan semakin mengenali dan akrab dengan model ini akan semakin mengarahkan pemanfaatan asesmen kontekstual yang makin sering dalam praktek, serta setidaknya mengurangi asesmen yang terlalu fokus pada kekurangan individual. 113 E. Perspektif Kekuatan Perspektif kekuatan dari praktek pekerjaan sosial muncul mengalir dari nilai-nilai keprofesian yang di dalamnya terdapat nilai-nilai penghormatan, harga diri manusia, dan penentuan hak diri sendiri (self-determination). Penempatan nilai-nilai tersebut ke dalam aksi menuntut bahwa kita menyakini terdapatnya sisi kekuatan di setiap kehidupan manusia dan kemungkinan untuk selalu berubah. Kekuatan-kekuatan klien menjadi sumber perubah sehingga akan bergerak untuk tumbuh, ahli, dan mampu beraktualisasi diri (self-actualization) (Miley, et. al., 2001). Satu aspek penting dari perspektif kekuatan adalah bahwa perspektif ini memberi praktisi pekerjaan sosial suatu kerangka alternatif untuk berpraktek sebagai model yang melawan model deficit (kekurangan) yang telah mendominasi perspektif pelayanan manusia (Saleebey, 1992). Seringkali kita jumpai para pekerja sosial yang menemukan dirinya sendiri berpraktek dengan model medikal yang lebih fokus pada penyembuhan dan perbaikan kerusakan, sifatnya lebih pasif. Jika para pekerja sosial tidak dipersenjatai dengan karangka teoritis yang menekankan pada kekuatan pada diri individu, keluarga, dan 114 komunitas, maka akan mudah bagi pekerja sosial tergelincir ke dalam model praktek kelemahan (a deficit). Berikut ini perbandingan antara model pathology (terdapat dalam model medikal) dengan model kekuatan. Tabel 4: Asumsi Perspektif Kekuatan 1. Setiap orang memiliki kemampuan, kapasitas, bakat dan kompetensi khusus; 2. Manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berubah; 3. Trauma dalam kehidupan mungkin membawa dampak negatf pada kehidupan manusia, tetapi juga memberikan sumbersumber untuk tumbuh; 4. Batas teratas dari kemampuan orang untuk tumbuh dan mengalami kesulitan adalah tidak diketahui dan tidak dapat diketahui; 5. Permasalahan tidak berada dalam diri seseorang, tetapi terjadi dalam transaksi di dalamnya dan lintas sistem; 6. Orang-orang adalah ahli dalam kehidupannya sendiri; 7. Teman-teman, keluarga, dan masyarakat adalah sumber-sumber kolam kehidupan bagi seseorang, sehingga hal tersebut dapat disediakan; 8. Fokus pada pertumbuhan di masa depan; 9. Keahlian dan kompetensi akan tumbuh secara baik melalui sebuah proses dukungan yang baik; dan 10. Orang umumnya mengetahui mengenai apa yang akan membantu dan yang tidak membantu pada kehidupan yang dihadapinya. Sumber: Miley, O’Melia, DuBois, 2001; Sheafor & Horejsi, 2003 115 Tabel 5: Perbandingan dari Perspektif Deficits and Strengths Perspektif Deficit Perspektif Strength Gejala-gejala kumulatif = Keunikan, kemampuan, bakat, diagnosis sumber-sumber individu = kekuatan Fokus Intervensi pada diagnosis Fokus intervensi pada ‘problem’ kemungkinan-kemungkinan Pratisi meragukan cerita klien Praktisi memandang klien dan bertindak sebagai ‘ahli’ pada sebagai ahli dalam kehidupannya kehidupan klien dan menjadi seseorang yang mengetahui dari sisi luar Permasalahan orang dewasa Trauma masa kanak-kanak tidak berakar dari trauma masa kanak- memprediksi kejadian kehidupan kanak di masa mendatang Treatment diarahkan melalui sebuah rencana treatment yang dibuat oleh praktisi Kemungkinan-kemungkinan klien dalam kehidupannya dibatasi oleh pathology-nya Sumber-sumber untuk kegiatan terapis ada dalam pengetahua dan keterampilan praktisi Kegiatan terapis fokus pada pengurangan symtomology dan dampak negatifnya pada klien Intervensi diarahkan melalui aspirasi klien Kemungkinan-kemungkinan hidup terbuka Sumber-sumber kegiatan terapis ada dalam diri klien, keluarga, masyarakat Kegiatan terapis fokus pada bergeraknya klien ke masa depan kehidupannya dengan kemungkinan-kemungkinan dan visi kehidupannya Diadaptasi dari D. Saleebey’s Comparison of pathology and strengths. Sumber: Saleebey, 1996. 116 Ketika menggunakan perspektif kekuatan dalam praktek, para pekerja sosial juga memanfaatkan seluas mungkin prinsipprinsip, gagasan, keterampilan dan teknik-teknik praktek untuk mendukung dan memperoleh sumber-sumber klien dan dalam lingkungan mereka menginisiasi perubahan, menggerakkan proses perubahan, dan memelihara perubahan tersebut berlangsung (Miley et al., 2001) Agar mampu mengintervensi dari perspektif kekuatan secara efektif, pertama-tama para praktisi harus mengujinya sendiri perspektif yang mendasarinya dan mampu mengemukakannya dengan membahasakan permasalahanpermasalahan (dalam perspektif kekuatan) yang ada di masyarakat. Apakah Anda (pekerja sosial) benar-benar mempercayai bahwa orang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengelola hidupnya secara positif, atau Anda yakin mereka tidak berdaya dan perlu diperbaiki? Perspektif Anda akan terkomunikasi melalui bahasa Anda. Apakah melihat seseorang yang bermasalahan punya masalah atau tantangan ketika sedang mengalami kesulitan? Masalah memiliki sifat demoralisasi, membuat kita merasa bersalah, dan umumnya membuat mental kita runtuh. Tantangan dapat dilihat sebagai 117 peluang-peluang untuk tumbuh dan menginspirasi untuk mendorong sumber-sumber kita secara internal dan eksternal untuk memenuhi tantangan dan mencapai tujuan-tujuan kita. Ketika anda melihat perilaku yang tidak biasa, apakah anda melihatnya sebagai penyakit (pathology) atau kekuatan? Ketika pekerja sosial fokus pada patologi sebagai pusat perhatiannya dalam bekerja dengan klien, hal ini akan membatasi kemampuannya untuk melihat kekuatan yang melekat pada diri kien atau penggunaan teknik dalam proses pertolongannya akan menutupi kekuatan kliennya. Saat mendisain intervensi, apakah fokus pada apa yang tidak dilakukan di masa lalu atau menciptakan sesuatu di masa depan? Perspektif akan masa ‘lalu’ dalam asumsi penanganan tentang kejadian masa lalu yang menyebabkan klien tidak ‘OK’ saat ini. Bergeser penekanan dari pandangan masa ‘lalu’ ke pemanfaatan kekinian dalam mengeskplorasi sumber-sumber, opsi-opsi dan perencanaan untuk harapan di masa mendatang. Bergesernya fokus pekerjaan sosial dari kini dan masa depan akan memiliki kekuatan melepaskan masa lalu dan melepaskan asumsi-asumsi negatif mengenai diri sendiri yang membuat kita terjebak di dalamnya. 118 Dennis Saleebey (2001), menangkap peluang tantangan dalam transisi menuju suatu visi kekuatan dalam prakteknya, dengan menyatakan sebagai berikut: We are not asking you to forget the problems and pains that people may bring to your doorstep. Rather, we are asking that you honor and understand those dilemmas, and that you also revise, fill out, expand, illuminate your understanding with the realization that the work to be done, in the end, depends on the resources, reserves, and assets in and aorund the individual, family or community (p.221) Penerapan perspektif kekuatan menuntut para praktisi pekerjaan sosial untuk melakukan reorientasi kerangka berfikir atau perspektif kekurangan/kelemahan atau patologi menuju perspektif kekuatan atau peluang kemungkinan. Tentunya sebagai pekerja sosial, tidak begitu saja mengabaikan masalah, tetapi fokusnya pada kekuatan klien (Sheafor & Horejsi, 2007). Dalam berinteraksi dengan klien, pekerja sosial harus bertanya kepada diri sendiri, apakah yang dilakukan oleh mereka benar? Apa keterampilan hidup dia dalam menghadapi tantangan hidupnya? Sumber-sumber apa dalam dirinya yang dapat dimanfaatkan baginya? Sumber-sumber lain apa di dalam keluarganya, teman-temannya dan komunitas yang dapat memenuhi tantangan hidupnya dan menciptakan peluang bagi masa depannya? 119 F. Empowerment-Based Practice Model Pekerjaan sosial memiliki tradisi yang panjang dalam praktek pemberdayaan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, praktekpraktek berbasis-pemberdayaan muncul dari kegiatan bersama kelompok-kelompok masyarakat terpinggirkan, yang tidak berdaya, yang minim akses terhadap sumber, serta peluangpeluang untuk berkembang. Konsep kekuatan (power) dalam konteks praktek pemberdayaan telah dijelaskan Gutierrez et el. (1995) melalui 3 (tiga) cara: 1. The ability to get what one wants; 2. The ability to imfluence how others think, feel, act, or believe; 3. The ability to imfluence the distribution of resources in sosial systems such as family, organization, community and society. (p.535) Kekuatan yang digambarkan dengan cara tersebut mengisyaratkan bahwa praktek intervensi akan membutuhkan pelaksanaan kegiatan pada berbagai level praktek (multiple level of practice) yaitu individu, keluarga, organisasi, komunitas dan nasional; dan bahwa dimensi kekuatan menekankan pada level personal, interpersonal, dan politis. Untuk memperoleh kekuatan adalah dengan menjalaninya 120 sebagai pemikiran pengendalian atas kehidupan dan perasaan kompetensi. Individu yang mengalami perasaan kompetensi kekuatan internal dalam kemampuannya maka akan mampu mengelola hidupnya sendiri, mengakses sumber-sumber sesuai sistem kebutuhannya dan berkontribusi bagi masyarakat dan sumber-sumber sistem. Ketika seseorang memiliki kekuatan interpersonal, akan mampu mempengaruhi orang lain dan mengetahui bahwa dirinya sendiri efektif dalam berinteraksi dengan lainnya serta dihormati oleh lainnya (Miley et al., 2001). Ketika orang mengalami kekuatan politis, interaksinya dengan lingkungan lainnya menghasilkan akses terhadap sumber dan mengendalikan sumber tersebut. Mengaktivasi kekuatan internal klien menuntut para pekerja sosial yang mampu memahami konteks kehidupan klien (person-in-environment) dan menerima klien sebagai sumber kekuatan latent yang harus dibangunkan dan dibangkitkan (strengths perspetive). Membantu klien untuk mencapai kekuatan personal, interpersonal, dan politis sehingga menuntut praktisi pekerjaan sosial yang mampu berkolaborasi dengan klien dan membantunya dalam membangun intervensi pada level individu, keluarga, dan 121 komunitas. Kegiatan para praktisi pekerja sosial adalah mengakui, memudahkan, dan mendukung klien berhubungan dengan kekuatan internalnya (resource) dan menggerakkan kekuatan tersebut secara lintas sistem dengan cara meningkatkan keahliannya melalui pembentukkan lingkungan yang sesuai dengan apa yang dia harapkan. Pekerja sosial berupaya mencari cara untuk meningkatkan ‘rasa’ kompetensi mereka dan kemampuan mereka agar berupaya membangun relasi secara efektif. Pada akhirnya, membangun klien dengan mengidentifikasi cara-cara untuk memperoleh dan berkontribusi terhadap sumber-sumber masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, fokus prakteknya harus menekankan pada potensi-potensi dan daya lentur (resiliencies) klien, dan meminimalisasi kerentanan klien (Miley et al., 2001) G. Perspektif Generalis Tujuan dari perspektif ini adalah untuk memastikan bahwa pekerja sosial akan melakukan pendekatan kepada setiap klien dan situasi dengan menggunakan berbagai model, teori,dan teknik, serta akan mempertimbangkan intervensi pada beberapa level (ranah), dari mikro hingga makro. 122 Perspektif generalis merupakan suatu cara berfikir mengenai praktek yang paling relevan dan paling dibutuhkan mulai sejak fase awal dari proses pertolongan, saat masalah tersebut telah jelas batasannya dan ditelaah serta keputusan telah dibuat tentang perubahan apa yang dibutuhkan dan pendekatan apa yang diperlukan. Perspektif ini memandu langsung pekerja sosial untuk mengidentifikasi beberapa poin kemungkinan dan level intervensi dan untuk selanjutnya memilih satu atau sesuatu yang paling tepat dan yang paling memungkinkan (feasible) pelaksanaannya. Praktek pekerjaan sosial telah digambarkan sebagai inherently generalist (Landon and Feit 1999). Menurut American Heritage Dictionary, seorang generalis adalah “a person with broad general knowledge and skiils in several disciplines, fields, or areas”. Jadi istilah praktek generalis dan pekerja sosial generalis merujuk pada seorang praktisi pekerja sosial yang memiliki keluasan pengetahuan dan keterampilan, yang diperoleh dari berbagai perspektif, teori, dan model, serta yang mampu bergerak dari kesulitan-kesulitan minimal dari satu bidang praktek ke bidang praktek berikutnya. Lawannya dari praktek generalis adalah sesuatu yang dicirikan oleh spesialisasi, juga dicirikan dengan jenis klien yang dilayaninya, 123 dengan metode yang digunakannya, dengan level intervensinya, atau dicirikan oleh asumsi utama pekerja sosial. Para pekerja sosial menggunakan perspektif generalis agar mampu mengidentifikasi dan fokus pada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah keberfungsian sosial. Termasuk di dalamnya konflik-konflik nilai dan kepercayaan; keretakan hubungan, pemikiran terdistorsi; kurangnya pengetahuan dan informasi; pola-pola individual dan keluarga yang destruktif; keterasingan dan kesepian; penindasan, ketidakadilan, dan rasisme; pemenuhan kemiskinan dan minimnya kebutuhan-kebutuhan dasar; penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan; salah urus atau tidak berjalannya program dan kebijakan; dan seterusnya. Pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk terlibat dan bekerja dengan berbagai sistem klien—seperti individual, kelompok yang dibentuk untuk tujuan khusus seperti terapi atau dukungan sosial; kepanitian atau kelompok satuan tugas; organisasi formal seperti badan pelayanan atau sebuah jaringan badan pelayanan; dan para legislator dan pembuat kebijakan. Selanjutnya para pekerja sosial dipersiapkan untuk melakukan berbagai peran pekerja sosial---sebagai contoh, advocate, case manager, counselor atau therapist, group facilitator, broker 124 dari pelayanan, fund raiser, program planner, policy analyst, dan researcher. Pekerja sosial generalis diharapkan mampu membingkai dan menyesuaikan pendekatannya yang akan diterapkan dengan keunikan situasi dan permasalahan klien serta karakteristik masyarakat lokal, daripada mengharapkan klien agar menyesuaikan dengan profesional dan badan pelayanan sebagai cara meresponnya. Schatz, Jenkins, and Sheafor (1990, 223) mengidentifikasi ada 4 (empat) karakteristik paling jelas yang mencirikan perspektif generalis, yaitu: 1. A multidimensional orientation that emphasizes an interrelatedness of human problems, life situation, social condition. 2. An approach to assessment and intervention that ideas from many different practice frameworks and considers all possible action that might be relevant and helpful to client. 3. Selection of intervention strategies and worker roles are made primarily on the basis of client’s problem, goal, situation, and size of the systems that are targeted for change. 125 4. A knowledge, value and skill base that is transferable between and among diverse contexts, locations, and problems. Dengan melihat 4 (empat) karakteristik tersebut, nampaknya sebagian besar insititusi pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia telah mempersiapkan mahasiswa untuk level sarjana, sebagai pekerja sosial generalis. 126 6 PENUTUP Sangatlah jelas bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial hasruslah banyak dan luas, yang setiap saat terus berkembang dan berubah. Namun hal terpenting yang perlu ditekankan bagi para pekerja sosial adalah, bahwa pada kenyataanya tidak semua pengetahuan itu harus dikuasai, sesuaikan saja dengan bidang garapan masing-masing pekerja sosial. Oleh karena itu, basis pengetahuan apa kiranya yang secara realistis seharusnya dikuasai oleh para pekerja, kiranya dapat dipandu dengan poinpoin berikut: • Sebuah pemahaman dasar. Para pekerja sosial tidak harus menjadi ahli di semua bidang pengetahuan, tetapi secara realistis diharapkan menguasai setidaknya pengetahuan dasar. • Sebuah kesadaran untuk mengatakan, saya tidak tahu. Jika kita tidak mengetahui segala hal, jangan berpurapura untuk bertindak seolah kita tahu. Kita mungkin merasa malu atau tidak siap untuk mengatakan tidak tahu. Tetapi ini bukan pertanda kelemahan atau 127 kesalahan, tetapi lebih dari itu, sebaliknya akan lebih membantu dan merupakan pengakuan konstruktif untuk mengakui keterbatasan kita. • Akses untuk pengetahuan selanjutnya. Jika mengalami keterbatasan akan suatu isu atau persoalan yang tidak tahu bagaimana alternatif solusinya, maka banyak sumber di sekitar kita yang dapat dijadikan sumber informasi untuk membantu memberi pengetahuan kepada kita. Oleh karena itu kenali sumber-sumber potensial yang ada di sekitar kita, bisa atasan, manajer, kolega, perpustakaan, internet dan seterusnya. • Selalu bersikap terbuka untuk belajar. Jangan pernah puas dengan situasi yang rutin, monoton, mekanistis, dan tanpa pembaruan; sebab akan berbahaya di kemudian hari. Lakukan pembaruan dengan menambah pengetahuan, cara-cara baru yang mungkin lebih efektif dan banyak manfaatnya. • Mampu selektif. Tidak mungkin semua pengetahuan dan keterampilan dipergunakan setiap saat, oleh karena itu pekerja sosial perlu mengembangkan keterampilan untuk menentukan elemen pengetahuan mana yang reevan dengan aspek praktek. 128 • Praktek reflektif. pengetahuan cenderung dilupakan jika kita tidak menggunakannya; atau bahkan lupa sama sekali. Oleh karena itu, penting bagi para pekerja sosial merefleksikan pengetahuan pada praktek sehingga pengetahuan tersebut akan terus berkembang dan hidup serta bernilai. Pengalaman-pengalaman praktek dan komitmen untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, tidak saja memberikan kontribusi penting bagi praktek pekerjaan sosial, tetapi juga akan memberikan dan menjadi sumber kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan kerja. Perkembangan permasalahan sosial di Indonesia sudah sedemikan kompleks, mengingat hal ini berkait dengan kemerosotan nilai-nilai moral dan mental pada hampir lapisan masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung ‘apatis’ dengan program-program yang berasal dari ‘pusat’, walaupun itu merupakan program pemberdayaan atau bantuan bagi mereka. Namun masyarakat, dengan kecerdasannya yang telah meningkat, memahami bantuan atau program pemberdayaan 129 tersebut hanya untuk kepentingan menaikan citra sekelompok etit pemerintahan. Sementara itu keberhasilan, terobosan-terobosan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi permasalahan sosialnya secara mandiri, kurang dihargai oleh pemerintah. Kalau terdapat pengakuan oleh pemerintah, ujung-ujungnya untuk menaikan sekelompok atau sektor tertentu, bahkan dengan tidak malu mengakui keberhasilan masyarakat tersebut sebagai keberhasilan pemerintah. Masyarakat harus tetap didorong untuk terus mengembangkan terobosan-terobosan baru, yang kreatif, inovatif, dan berani dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Demikian pulan Profesi Pekerjaan sosial perlu mengembangkan cara-cara yang kreatif dan inovatif untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, dengan tetap membangun jejaring seluas mungkin. Jiwa kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) kiranya dapat menjadi semangat baru, pendekatan baru dan terobosan baru, di tengah situasi keterbatasan pemerintah dalam meningkatan kesejahteraan sosial bangsanya. Para pekerja sosial di seluruh pelosok Indonesia harus menyakini bahwa profesi ini merupakan profesi pertolongan yang mulia dan terhormat, 130 karena memang profesi terlahir untuk membantu masyarakat dengan cara-cara yang profesional berbasiskan ilmu, pengetahuan, dan nilai-nilai. Sehingga sudah merupakan amanah dan prinsip bagi para pekerja sosial untuk terus mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan pendekatanpendekatan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Insya Allah, wallohualam ------------- 131 sosial PUSTAKA Ashford, J., Lecroy, C., & Lortie, K. (2006). Human Behavior in The Social Environment. Pasific Grove, CA: Brooks/Cole Barker, Robert, L. (1995). The Social Work Dictionary, 3rd Ed. NASW Press: Washinton DC. Compton, B.R, & Galaway, B. (1989). Social Work Processes, 4th. Wadsworth Publishing Company: Belmont, California. Cummins, L; Sevel, J; & Pedrick, L. 2006. Social Work Skill Demonstrated, 2nd Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Beckett, J.O. & Johnson, H.C. (1997). Human Development. Dalam National Association of Social Works’s Encyclopedia of Social Work (19th Ed.). Washinton DC: NASW Press. Germain, C.B., & Gitterman, A. (1997). Ecological Perspective. In National Associatioan of Social Worker’s, Encyclopedia of Social Work (19-th ed.). Washindon DC: NASW Press. Gutierrez et al., (1995). Understanding Empowerment Practice: Building on Practitioner-Based knowledge. Family in Society, 76 (9), 534-542. Karls, J.M, & Wandrei, K.E. (1997). Person in environment. In National Association of Social Worker’s Encyclopedia os Social Work (19th Ed.). Washinton DC: NASW Press. Landon, Pamela and Feit. (1999). Generalist Social Work Practice. Dubuque, IA: Eddie Bowers Publisher Mattaini, Mark A. (1995). Knowledge for Practice. Dalam Mayer & Mattainni, 19995, The Foundation of Social Work Praktice. NASW Press: Washinton DC. 132 Miley, K.K., O’Melia, M. & Du Bois, B. (2001). Generalist social work practice: An empowering approach. Boston, MA: Allyn & Bacon. Minahan, A (1981). Purpose and Objectives of Social Work Revisited. Social Work, 26, 5-6. National Association Of Social Workers (1997). Encyclopedia of Social Work (19th Ed.) Washinton DC: NASW Press Payne, Malcom. (2014). Modern Social Work Theory. Lyceum Saleebey, D., (2001). Practicing the Strength Perspective: Everyday Tools and Resources. Families in Society, 82 (3), 296-305. Schatz, Jenkins, and Sheafor. (1990). “Milford Redefined: A Moel of Initial and Advanced Generalist Social Work. Journal of Social Work Education 26 (fall 1990): 217231 Sheafor, B,W, Horejsi C, R, & Horejsi, G, A .(2007). Techniques and Guidlines for Social Work Practice, 6th. Ed.,. Allyn and Bacon: Boston Thackeray, M.G, Farley, O.W, & Skidmore, R,A. (1994). Introduction to Social Work, 6th Edition. Prentice Hall: New Jersey. Thompson, Neil. (2005). Understanding of Social Work. Palgrave Macmillan, New York. Turner, F. (1997). Social Work Practice: Teoritical Base, In National Association of Social Worker’s Encyclopedia of Social Work, 19th Ed. Washinton DC: NASW Press. Raharjo, S.T (2014). Assessment dan Wawancara, dalam Praktek Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Unpad Press: Jatinangor. 133 Wibhawa, B., Raharjo, ST., Budiarti, M. (2010). Dasar-dasar Pekerjaan Sosial. Widya Padjadjaran: Bandung Zastrow, C. (2003). The Practice of Social Work. Pasific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Company 134 PENULIS Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam, dan memiliki istri bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email: [email protected]. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIPUniveristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran. Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIPUNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembina di LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012 Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009 (menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran; ‘CSR: Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’, tahun 2015 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama), tahun 2015 Unpad Press. ‘Pekerjaan Sosial Generalis, Suatu Pengatar”, tahun 2015 Penerbit Unpad Press. “Keterampilan Pekerjaan Sosial, Dasar-dasar”, tahun 2015 Penerbit Unpad Press. 1 Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berlandaskan pengetahuan (perspektif, teori atau model), sikap dan keterampilan sebagai syarat keprofesian. Sehingga suatu praktek pertolongan profesional sudah seharusnya berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan yang jelas. Inilah yang membedakan secara jernih dan jelas dengan relawan dan dermawan, yang membantu orang lain dengan berlandaskan pada panggilan karitas, sikap saling tolong, dan pilantropis semata. Namun di sisi lain, lemahnya pemahaman dan penguasaan berbagai perspektif-teori-model praktek pertolongan pekerjaan sosial diantara para pekerja sosial itu sendiri membuat profesi ini belum mampu berdiri dengan ‘tegak’ untuk mengatasi permasalahan sosial di tengah profesi-profesi lainnya yang telah lama berkembang. Penerapan pengetahuan (perspektif, teori atau model) dalam penanganan masalah sosial masih terbatas pada wilayah tertentu saja, atau masih dalam komunitasnya, yang didalamnya sebagian besar terdiri dari pendidik pekerjaan sosial, para praktisi pekerjaan sosial, atau lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, termasuk kementerian sosial. Para pekerja sosial seharusnya mampu menunjukkan secara ‘khas’ dengan pembeda pendekatan pekerjaan sosial (social work approach: baik pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional) ketika terlibat 2015 ISBN: 978-602-9238-85-3 9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8