i PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang

advertisement
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977
(Studi Tentang Fusi Partai Politik)
SKRIPSI
Oleh:
ARI WAHYUTI
X 4406016
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977
(Studi Tentang Fusi Partai Politik)
Oleh:
ARI WAHYUTI
X4406016
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ari Wahyuti. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi
Tentang Fusi Partai Politik). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai
politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai
politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan
studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis
dengan melakukan kritik ekstern dan intern.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Fusi
partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan
masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara
menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik
semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai
politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. (2)
Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai
masalah internal partai. Hal ini disebabkan rendahnya integrasi antara unsur-unsur
partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di
dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan
Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai
politik (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara
PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh
PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977
mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi
menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada
pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya.
v
ABSTRACT
Ari Wahyuti. X4406016. Indonesia General Election In 1977 (Study about fusion
of political parties). Skripsi, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education,
Sebelas Maret University, July 2010.
The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The
development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to
voice for the party election in 1977 to political parties that fusion.
This research was conducted by using the historical method through
heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in
this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting
data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this
research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.
Based on the research results can be concluded: (1)Background fusion of
parties because existence awareness in circle governments and the public that the
renewal of political structure must be done by simplifying parties system because
many of the parties system does not quaranted of national stabilities, (2) The
development of political parties in 1973 – 1977 was marking by the existence of
various problems internal parties. Pasca fusion, PDI and PPP not can unite the
elements in that. Until the Conflict always in the their parties. And then structure of
Golkar is good working and go on fast, (3) Effect fusion of political parties to voice
for the party election in 1977 PPP voice acquirement is be gone up in many kinds of
state country, exspecially in Jakarta and PPP defeat Golkar in Daerah Istimewa Aceh.
And then Golkar seats acquirement is obtain redusing in election 1977. Golkar
obtained 62,11 percent, become 232 or loss 4 seats in comparing election 1971. And
defeat PDI in election 1977 appear in decline acquisition seats compared join seats
parties that fusion before now.
vi
MOTTO
Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak dihari kiamat ia akan menjadi penyesalan.
(HR. Al-Bukhari)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan
kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk
kesuksesan dan cita-cataku.
2. Kang
Wan’s
dan
adikku
Ria
yang
telah
memberikan dukungan dan semangat kepadaku.
3. Sahabat-sahabatku
4. Almamater
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas
permohonan skripsi ini.
3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin
atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf
atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Teman-teman Sejarah Angkatan 2006, terima kasih atas doa dan dukungannya.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
ix
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu di dalam penyelesaian skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang
setimpal. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih
terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat
bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta,
Juli 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ......................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................................
9
D.Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................................... 11
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 11
1. Partai Politik......................................................................................... 11
2. Pemilu .................................................................................................. 19
3. Demokrasi ............................................................................................ 22
B. Kerangka Berfikir ............................................................................................ 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 30
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 30
B. Metodologi Penelitian ..................................................................................... 31
C. Sumber Data .................................................................................................... 31
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 33
E. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 33
F. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................................ 39
A. Latar Belakang Fusi Partai Politik .................................................................. 39
1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik .............................................. 39
xi
2. Pemilihan Umum 1971 ....................................................................... 42
3. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik ............... 52
B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977 ............................................. 63
C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan Suara Pemilu 1977
Bagi Partai Yang Berfusi ................................................................................. 68
1. Kampanye Pemilu 1977 ...................................................................... 68
2. Hasil Pemilu 1977 ............................................................................... 74
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 87
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 87
B. Implikasi ......................................................................................................... 88
C. Saran ................................................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 90
LAMPIRAN ............................................................................................................... 94
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Hasil pemilihan umum 1971 .....................................................................
46
Tabel 2: Perbandingan jumlah suara pada pemilu1971 ..........................................
49
Tabel 3 : Hasil pemilu 1977 ....................................................................................
80
Tabel 4 : Pergeseran jumlah suara pada pemilu 1971-1977 ...................................
83
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Hasil Fusi PPP ...............................................................................
97
Lampiran 2
: Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat ...................................
98
Lampiran 3
: Munas PNI .....................................................................................
99
Lampiran 4
: Kampanye Golkar ........................................................................... 100
Lampiran 5
: Kampanye PDI ............................................................................... 101
Lampiran 6
: Kampanye PPP ............................................................................... 102
Lampiran 7
: Pidato Kampanye PPP .................................................................... 103
Lampiran 8
: Pidato Kampanye PDI .................................................................... 104
Lampiran 9
: Pelaksanaan Pemilu 1977 ............................................................... 105
Lampiran 10 : Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977 ....................... 106
Lampiran 11 : Hasil Pemilu 1977 ........................................................................... 107
Lampiran 12 : Jurnal ...............................................................................................
108
Lampiran 13 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ........................................ 109
Lampiran 14 : Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan Skripsi ...... 110
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting
sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno,
Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi
yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994:
32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk
mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur
seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh
karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik
Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi
(demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil,
1974: 25).
Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo,
demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi
individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara
berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta
adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan
yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi
kemasyarakatan, masyarakat,
perseorangan, serta prasarana pendapat umum
semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8).
Perkembangan kehidupan politik, Indonesia pernah mengalami berbagai
praktek demokrasi sebagai akibat berubahnya sistem pemerintahan dalam
pemakaian Undang-Undang Dasar. Untuk itu dikenal berbagai macam praktek
demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan yang sedang berlaku, misalnya
demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin (Miriam
Budiardjo, 1982: 69). Dalam suatu negara demokrasi yang pemerintahannya
2
berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan
pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi
titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan
sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam
pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara
yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat
diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan
umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan
kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih
anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada
gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik
dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61).
Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No.
XIII/MPRS/1968
tentang
Permusyawaratan/Perwakilan
pemilihan
Rakyat
umum
anggota-anggota
Badan
yang diatur dalam Undang-Undang
pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum,
langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969
tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk
dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat
yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu
pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi
hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan
mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C.
S. T. Kansil, 1974: 86).
Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat
dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi
modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan
umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan
secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang
masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan
1
3
terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan
mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara
berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami
posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta
perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16).
Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan
pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang
kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi
pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan
pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam
masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan
dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan
rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam
pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk
memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan
Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia
menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71).
Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955
bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan umum pertama ini
dilaksanakan diseluruh tanah air (kecuali Irian Barat) memperebutkan 257 kursi
DPR. Dalam pemilihan umum ini muncul berbagai tuntutan dan harapan dari
rakyat agar pemilu dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi bangsa
Indonesia, baik berupa kemelut politik yang berkepanjangan, kemerosotan
ekonomi, maupun ancaman terhadap keamanan. Rakyat berharap pemilu itu dapat
menciptakan suatu pemerintahan yang sah dan stabil sehingga dapat
melaksanakan pembangunan nasional dalam segala bidang. Pemilu 1955
menghasilkan empat partai politik yang meraih kemenangan besar yaitu Partai
Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) (Syamsuddin Haris dkk, 1998: 32). Hasil pemilu menunjukkan
bahwa PNI memperoleh suara sebesar (8.434.653), Masyumi (7.903.886), NU
4
(6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara
jumlah kursi yang diperoleh
PNI
sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert
Feith, 1957: 58).
Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa
stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah
sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas
yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap
partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada
loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju
dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh
karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini
menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering
berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436).
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat
Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di
Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno
menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu
disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan
negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan
menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu
demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto,
1993: 224).
Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah
mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda
pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh
presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden
yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya,
seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa
Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada
5
presiden Soekarno yang membuat mereka mengikuti dan mendukung apa yang
dikatakan oleh Soekarno (Maswadi Rauf, 2001: 124).
Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar
dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik
membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan
ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk
memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar
lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh
militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin
menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam
menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42)
Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan
yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula
muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi
berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden
Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam
arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan
TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti
dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98).
Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru
mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap
berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya
stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai
kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde
Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang
tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan
pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127)
Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui
penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk
6
mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan perwakilan-perwakilan
rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan di
Indonesia. (Ali Moertopo, 1974: 65). Banyak kemungkinan yang dapat
berpengaruh dalam kehidupan surutnya kepartaian di Indonesia. Faktor dari sifatsifat hubungan dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit dan
Ideologi partai. Akan tetapi, pengaruh yang lebih tampak yang melatar belakangi
kelemahan partai diantaranya jumlah partai yang terlalu banyak sehinggga
diperlukan pengurangan jumlah partai politik (Arbi Sanit, 1995: 43).
Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah
berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi
penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah
mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI),
dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden
tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam
golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan
partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan
spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu,
golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud,
2000: 90)
Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru
menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik,
yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru
selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan
politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut
digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak
7
dari sikap tersebut adalah kebebasan terhadap partai politik. Suasana politik lebih
banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilihan
umum yang dilangsungkan pada tanggal 3 juli 1971 (Maswadi Rauf, 2001: 127128).
Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik
antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba,
Partai Ikatan pendukung
Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia,
Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin
Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya.
(Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517).
Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan
stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan
Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67).
Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan
penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan
penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman
Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya
kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan
demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan
aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Mas‟oed dan
Mac Andrews, Colin, 2006: 263).
Hasil pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti
oleh Parmusi, Nadhlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI)
menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dari
pemilihan. Hal ini tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu
pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi
Golkar untuk berusaha sekuat tenaga dalam memenangkan pemilu dengan dibantu
oleh pemerintah. Dengan kemenangan Golkar maka sangat mungkin melapangkan
jalan untuk menyederhanakan kehidupan partai secara melembaga (Arifin
Rahman, 1998: 99).
8
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan
hasil
pemilu
1971
berhasil
diyakinkan
untuk
menggariskan
perintah
penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum
1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk
dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan
struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem
kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat
menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat,
efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur
aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi
ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan
fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan
umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam
Budiardjo, 2008: 446 ).
Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam
isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang
tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik)
dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh
kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu
yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah
menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho
Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah
menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun
1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai
politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9).
Tema ini menarik untuk diteliti sebab pemilihan umum 1977 penting dalam
sejarah
pertumbuhan
politik
Indonesia
karena
untuk
pertama
kalinya
diselenggarakan dengan struktur partai politik yang disederhanakan (Sinar
Harapan , 1977 )
9
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang
berjudul “Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi
Partai Politik)”.
B. Perumusan Masalah
Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui
metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang
tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu
dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain:
1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik?
2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977?
3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977
bagi partai yang berfusi ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas
masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang
akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun
1973-1977.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pengaruh fusi partai politik terhadap
perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.
10
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di
Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977).
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap
pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data
dalam penulisan sejarah.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan
Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Partai Politik
a. Pengertian Partai Politik
Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat “Partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan
kebijakan-kebijakan partai”. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91),
“partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat
seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik
dalam negara”. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik
tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui
berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara
melembaga dalam partai politik pada umumnya.
Inu Kencana. S (2003: 104), “Partai politik adalah sekelompok orangorang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan
kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi
paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat)
negara”. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering
dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai
politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik
merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakilwakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Sukarna (1990: 45), berpendapat “Partai politik adalah sekumpulan
orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha
11
12
untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orangorangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan
badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku
ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup d‟etat”. Menurut Haryanto
(1982: 88) “Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari
kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan
orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat,
sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan
kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan
kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatanjabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai
politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatanjabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang
konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui
cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai
politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai
dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui caracara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum,
maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan
kekuasaan.
b. Fungsi Partai Politik
Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi
adalah sebagai berikut:
1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung,
maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak
13
yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang
menampung arus informasi, baik informasi yang berasal dari pihak
penguasa kepada masyarakat maupun yang berasal dari masyarakat kepada
pihak penguasa. Oleh karena partai politik menyalurkan informasi dari
masyarakat kepada pihak penguasa, maka berarti partai politik mempunyai
tugas untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat,
serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua pendapat dan asprasi
masyarakat itu dapat tersalurkan. Sebaliknya partai politik juga
menyalurkan informasi yang datang dari pihak penguasa kepada
masyarakat.
Rencana-rencana
atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan
demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada
masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa.
2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara
untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinankeyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi
berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan
peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang
lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya.
Partai politik disamping menanamkan ideologi partai kepada para
pendukungnya, harus pula mengajarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan
politik yang berlaku di masyarakatnya atau di negaranya. Partai politik
juga harus mendidik masyarakatnya agar supaya mempunyai kesadaran
dan tanggung jawab yang tinggi sebagai warga negara dan lebih
mementingkan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongannya.
Dalam rangka proses sosialisasi politik, maka cara yang biasanya
dipergunakan oleh partai politik adalah dengan cara memberikan kursuskursus, ceramah-ceramah, maupun penataran-penataran tentang politik.
14
3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik
adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk
menjadi anggota partai. Partai politik
berusaha untuk menarik minat
warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan
hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga
negara dalam bidang politik.
Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi
anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi caloncalon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik
adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan
dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat
yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin.
Rekrutmen
politik
juga
dimaksudkan
untuk
menjamin
kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya
anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti
pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat
berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari
segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin.
4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan
Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan
kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang
tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas
mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi,
maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan
akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah.
5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik
Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal
yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara
yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan
persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada
15
memang sering muncul. Perbedaan pendapat dan persaingan tersebut
sering sekali mengakibatkan terjadinya konflik-konflik atau pertentanganpertentangan diantara mereka. Apabila tejadi konflik-konflik atau
pertentangan-pertentangan antara para warga negara atau golongangolongan dapat diselesaikan melalui partai politik.
c. Klasifikasi Partai
Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya,
secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.
Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah
anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari
berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung
dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan
agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja
dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian
doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang
telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Sistem Partai-Tunggal
Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal
merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis)
sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari
satu unsur. Namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan
masyarakat dan para sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benarbenar merupakan satu-satunya partai dalam negara, ataupun untuk partai
yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya.
Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara : Afrika, China, dan kuba.
Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan
bersaing dengannya.
16
Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal
disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta
suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya.
Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini
dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik
yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah
meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan
partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di
Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai
dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru
melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi
motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan
sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan
karena dianggap berbau fasis.
2) Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai
biasanya diartikan adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi
dengan peranan dominan dari dua partai. Beberapa negara yang
mempunyai ciri-ciri system dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat,
Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini, partai-partai
dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam
pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan
umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab
mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah
berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal opposition) terhadap
kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk
merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering
dinamakan pemilih terapung (floating vote).
17
Sistem dwi-partai pernah disebut “a convenient system for
contented people” dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai
dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi
masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam
masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political
consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical
continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya
sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana
dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem
pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga
dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada
tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan
lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh
partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa
akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah
diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari
partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini
dihentikan pada tahun 1969.
3) Sistem Multi-Partai
Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong
pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara
lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan
federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17
sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis
jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan
sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan
eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena
tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-
18
partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu
mengadakan
musyawarah
dan
kompromi
dengan
mitranya
dan
menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai
yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya
dalam partai hilang.
Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas
karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk
dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering
terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang
dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang
mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi
di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat
dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang
didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana
kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat
dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal
ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda,
Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat
mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan
Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi
kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan
baru. melalui sistem pemilihan Perwakilan Berimbang partai-partai kecil
dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan
lain
untuk
menggenapkan
jumlah
suara
yang
diperlukan
guna
memenangkan satu kursi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat
pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia
menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah
berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun
19
1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai
maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum
tersebut.
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi
pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak
digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan
sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah
mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok,
yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya.
Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan
peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu
golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh
kontestan. Selanjutnya
pada tahun 1973 semua partai politik resmi
melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan
Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum
1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya
(Golkar).
2. Pemilu
a. Pengertian Pemilu
Ali Moertopo (1974: 61), berpendapat “ Pemilihan umum adalah
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai
dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945”. Pemilihan umum
itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggotaanggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada
gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan
politik dan jalannya pemerintahan negara.
20
Arifin Rahman (1998: 194), “Pemilihan umum merupakan cara dan
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan
duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan
rakyat”. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), “Pemilihan
umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga
negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya”.
Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal “pemilihan umum
adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut
Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan
demokrasi dizaman modern”. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), “Pemilihan
umum adalah tindakan
melakukan pemilihan anggota-anggota Badan
Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu
merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang
diletakkan pada kekuasaan rakyat.
b. Fungsi Pemilu
Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa
fungsi, antara lain:
1) Sebagai sarana legitimasi politik
Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan
sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui
pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu
pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu,
pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya
memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi
berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya.
2) Sebagai perwakilan politik
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam rangka
mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta
kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu dalam kaitan ini merupakan
21
mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang
dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan maupun lembaga
legislatif.
3) Sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa
Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi di
pihak lain. Pemerintah ingin memperoleh kesepakatan dan dukungan bagi
kelangsungan otoritasnya dan kepatuhan terhadapnya, sedang pihak-pihak
kepentingan partai dan warga negara meninginkan semakin kuatnya
kontrol mereka serta pertanggungjawaban pihak pemerintah akan kiprah
yang dilakukannya.
Pemilihan umum tahun 1977 merupakan pemilihan umum kedua
sejak Orde Baru. Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan
berdasarkan UU No. 4 tahun 1975 Jo. UU No. 15 tahun 1969 tentang
pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat. Pemilihan umum tahun 1977 maupun sesudahnya didasarkan pada
asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia,
yang sering disebut asas LUBER. Yang dimaksud pemilihan umum yang
bersifat:
1. Langsung ialah rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung
memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan
tanpa tingkatan.
2. Umum ialah pada dasarnya semua warga negara Indonesia yang
mempunyai persyaratan minimal usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau
telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum, dan yang
telah berusia 21 berhak dipilih.
3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara berhak memilih dan
menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan
pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan
ataupun paksaan dari siapapun atau dengan apapun juga.
4. Rahasia ialah para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan
diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun yang
22
dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya kepada kotak suara dengan
tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan
(C.S.T. Kansil, 1974: 86).
3. Demokrasi
a. Pengertian Demokrasi
Menurut alfian (1985: 59) “Demokrasi adalah suatu sistem politik
dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau
kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis
akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan
dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa
kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran
yang wajar”. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa
“demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan
oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana
keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha
Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu”.
Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa
“demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan
antara konflik dan konsesus”. Demokrasi dengan demikian, memberikan
peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara
individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan
pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri.
Setiap negara demokrasi pasti terdapat partai politik lebih dari satu,
hal ini merupakan persyaratan yang paling menonjol. Mengingat rakyat
mempunyai beberapa alternatif maka rakyat akan sukar untuk menyalurkan
aspirasi-aspirasinya yang paling cocok pada dirinya. Dengan demikian adanya
wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan suatu conditio
since qua non (kondisi yang mau tidak mau harus ada). Tanpa adanya partai
politik yang lebih dari satu, maka demokrasi tidak dapat ditegakkan. Maka
23
untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah
dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23)
Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi
adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan
memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik
dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.
b. Demokrasi di Indonesia
Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut
perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa,
yaitu:
1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950
sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Sementara (UUDS)
sebagai landasan konstitusionalnya. Periode pemerintahan dalam masa ini
disebut sebagai pemerintahan Parlementer. Pada masa Demokrasi
Parlementer lembaga Perwakilan Rakyat atau Parlemen memainkan
peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Disamping
itu, kehidupan kepartaian memperoleh peluang yang sebesar-besarnya
untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia
menganut sistem banyak partai (multy party system). (A.Gaffar karim,
1999: 12). Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui
partai-partai politik ini ternyata menimbulkan labilitas nasional, sehingga
dalam masa berlakunya UUDS 1950 telah terjadi jatuh bangunnya kabinet
sebanyak 7 kali. Karena
sering terjadi jatuh bangunnya kabinet telah
menimbulkan rasa tidak puas dikalangan politisi Indonesia. Selain itu,
sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan
timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan
timbulnya
pemberontakan-pemberontan didaerah
keutuhan republik Indonesia (Moh. Mahfud, 2000: 43).
yang mengancam
24
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah
menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal
itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan
ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik
nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan
gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan
bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan
kekeluargaan.
Kemudian
Soekarno
mengusulkan,
agar
terbentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua
kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan
tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal
sebagai “Konsepsi Presiden” melalui konsepsi tersebut maka Dewan
Nasional.
Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat
tantangan yang kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan
PSI. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul secara hampir
bersamaan.
Pertama,
hubungan
antara
pemerintah
pusat
dengan
pemerintah daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante
mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan
ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu
politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara
dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara.
Ketika dilakukan voting, ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak
tercapai.
Berhubung
situasi
keamanan
nasional
sudah
sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, Soekarno kemudian pada
tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan
konstituante dan menyatakan kembali pada UUD 1945. Dengan Dekrit
Presiden tersebut, menandai berahirnya masa Demokrasi Parlementer dan
memasuki era baru demokrasi yang kemudian oleh Soekarno disebut
sebagai Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 24-25). Pada pidato
25
kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan kembali
revolusi kita” Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi
Terpimpin sebagai berikut:
1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,
masyarakat, dan negara.
2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat,
bangsa dan negara.
Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin
adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik
yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah
mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan
lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah,
sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi
pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI
yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak
dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa
tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto.
Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya
dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Dengan
adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan
berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30).
3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan
pemerintahan Orde baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan
Soekarno. Pada awal pemerintahan Orde Baru hampir seluruh kekuatan
demokrasi
mendukungnya
karena
Orde
Baru
diharapkan
dapat
melenyapkan rezim Orde Lama. Soeharto kemudian mencoba menerapkan
Demokrasi Pancasila. Inti Demokrasi Pancasila adalah seperti yang
dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan
26
kembali azas-azas negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh
segenap warga negara dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek
kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin dan dimana
penyalagunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional (Moh.
Mahfud, 2000: 36). Sedangkan Amir Machmud (1986: 87) berpendapat
bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang
dijiwai
dan
diintegrasikan
dengan
sila-sila
lainnya.
Ini
berarti
menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing,
menjunjung tinggi nilai-nilai manusia, menjamin persatuan bangsa dan
harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.
27
B. Kerangka Berfikir
Demokrasi
Pemilu
Partai Politik
Sistem Multi Partai
Pemilu 1955
Pemilu 1971
Kebijakan Politik
Orde Baru
Fusi Partai Politik
(Nasionalis, Spiritual, dan Golongan Karya)
PDI
PPP
Golkar
Pemilihan Umum
1977
Keterangan:
Setelah Indonesia merdeka, gagasan demokrasi tercantum dengan jelas
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pasal-pasal dalam batang
tubuhnya. Sila keempat pancasila dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat
(2) dalam batang tubuh itu menunjukkan bahwa negara republik Indonesia
28
menganut asas kedaulatan rakyat. Dalam asas ini terkandung unsur pokok bahwa
rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan yang bersifat politik atau
dengan kata lain negara Indonesia adalah negara demokratis. Dalam pelaksanaan
demokrasi ini, menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 negara Indonesia menganut
sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Hal ini terbukti
adanya lembaga-lembaga negara yaitu MPR dan DPR serta adanya pemilihan
umum dan partai-partai politik. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden
No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi
partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai,
sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi
liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian
dalam pemilihan umum tersebut.
Bentrokan antar partai politik dan pasukan milisi masing-masing yang
mempunyai ideologi Islam dan nasionalis membuat konflik politik semakin
memanas. Pola konflik antar partai politik yang terjadi selama tahun 1950-1957
adalah kelanjutan dari pola konflik antar partai politik pada masa sebelumnya.
Ideologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan
faktor penyebab terjadinya konflik yang hebat antara partai-partai politik. Sulitnya
partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang
keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955 menjadikan stabilitas politik sangat
bergantung pada koalisi partai yang sering berubah. Kehidupan politik dengan
sistem multi partai ini berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959.
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat
Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di
Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di
Indonesia, khususnya dengan dikeluarkannya penetapan presiden (Penpres) No.
7/1960 dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/1960 yang mengatur pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran partai. Pada tanggal 17 agustus 1960 PSI dan
29
Masyumi dibubarkan. Dalam hal penyederhanaan partai, pada tanggal 14 April
1961 diumumkan bahwa hanya sepuluh partai yang mendapatkan pengakuan,
masing-masing adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, partai katolik, Perti, Murba
dan Partindo. Pada tanggal 21 September 1965 Partai Murba dibekukan oleh
Presiden Soekarno. Namun memasuki Orde Baru, pada tanggal 7 Februari 1970
Presiden Soeharto menyerukan kepada partai-partai agar dalam menghadapi
pemilihan umum, partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran
pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan, dan memikirkan
pengelompokan diri partai-partai, disamping adanya Golongan karya. Sebelum
diselenggarakan pemilu tahun 1971, yakni pada tahun 1970, presiden Soeharto
telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan karya.
Penerimaan atas saran presiden ini merupakan keberhasilan baru dari
gambaran keinginan jangka panjang Orde Baru tentang akan dilakukannya
penyederhanaan sistem kepartaian dengan cara memperkecil jumlah partai, dan
MPR yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk
menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa
pemilu tahun 1977 hanya akan diikuti oleh tiga kontestan . Berdasarkan isi
ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan
fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dengan demikian, pada pemilihan umum 1997 hanya diikuti dua partai politik
yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar). Dengan adanya fusi partai politik
ini, maka akan dilihat pengaruhnya terhadap hasil pemilihan umum 1977.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
a. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan
metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data
baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan, maupun sumber tertulis
lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan,
koleksi swasta maupun perorangan dan ditempat yang menyimpan dokumendokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung
Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan untuk
melaksanaan penelitian ini, antara lain:
1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta
3. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
4. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
6. Perpustakaan Daerah Surakarta
7. Kolese St. Ignatius Yogyakarta
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya proposal skripsi
hingga penulisan ini selesai, yaitu pada bulan Januari 2010 sampai bulan Juli
2010.
30
31
b. Metodologi Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methode, yang berarti cara
atau jalan, dan theodos yang berarti masalah. Jadi metode dapat diartikan menjadi
cara atau jalan untuk menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan karya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah-masalah, cara kerja untuk memahami obyek
yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 8).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu
kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari
peninggalan masa lampau. Dengan kata lain metode sejarah merupakan metode
pemecahan masalah dengan menggunakan data dan peninggalan masa lalu untuk
memahami keadaan masa sekarang dengan hubungannya dengan peristiwaperistiwa masa lampau (Louis Gottschalk. 1975: 32)
Menurut Hadari Nawawi (1998: 81), “Metode sejarah adalah prosedur
pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalanpeninggalan baik untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang maupun
untuk memahami dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu”.
Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo (1992: 37), “Metode penelitian sejarah
adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa
lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut”.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian
ini dilakukan kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisa secara kritis
mengenai data dan peninggalan-peninggalan masa lampau serta melakukan
sintesa dan menyajikan dalam bentuk tulisan sejarah mengenai pemilu di
Indonesia tahun 1977 (tentang fusi partai politik ).
c. Sumber Data
Sumber sejarah seringkali disebut sebagai “ data sejarah”. data berasal
dari bahasa latin yaitu “ datum” yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo 1995:
96) . Jadi sumber data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak
langsung memberitahukan kepada sejarawan tentang sesuatu kenyataan atau
kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsuddin, 1996: 73). Sedangkan
32
menurut (Dudung Abdurrahman, 1999: 30), “Data sejarah berarti bahan sejarah
yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian sejumlah
sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal, sehingga membuka
kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang
berbagai hal”. Adapun klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut
bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat.
Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan
tidak tertulis. Sedangkan sumber-sumber menurut penyampaiannya dapat
dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Dan menurut tujuannya sumbersumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber formal dan informal.
Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.
Sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Sumber
tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan
pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis sekunder
yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa
yang dikisahkan. Sumber tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar (Nugroho
Notosusanto, 1979: 26). Sedangkan Menurut Louis Gottschalk (1975: 35),
“Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri
atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti
diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritaannya.
Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan
merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak hadir pada peristiwa
itu”.
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip dan
dokumen antara lain : Kedaulatan Rakyat, edisi 4 Januari 1973. Kedaulatan
Rakyat, edisi 6 Februari 1973. Kompas, edisi 22 Februari 1973. Kompas, edisi 6
Januari 1973. Sinar Harapan, edisi 2 Mei 1977. Suara Merdeka, edisi 8 Januari
1973. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain : buku yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik , karangan Miriam Budiardjo.
Strategi Politik Nasional karangan Ali Moertopo. Pembangunan Politik Dalam
Negara Indonesia karangan Amir Machmud. Sistem Politik Indonesia, karangan
33
Arifin Rahman. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia, karangan Eep
Saefulloh Fattah. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, karangan Eep
Saefulloh Fattah. The Indonesian Election Of 1955, karangan Herbert Feith. Inti
Pengetahuan Pemilihan Umum, karangan C. S. T. Kansil. Partai Politik dan
Golkar, karangan C. S. T. Kansil. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi),
karangan Miriam Budiardjo. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, karangan
Moh. Mahfud. Perbandingan Sistem Politik, karangan Mohtar Mas‟oed dan Colin
Mac Andrews. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia,
karangan Muhammad A.S Hikam. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah
Potret Pasang Surut, karangan Rusli Karim. Menggugat Pemilihan Umum Orde
Baru. karangan Syamsuddin Haris dkk . Konsesus Politik, karangan Maswadi
Rauf. Sejarah Nasional VI, karangan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho
Notosusanto.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik.
Pengumpulan data (heuristik) merupakan bagian penting dalam suatu penelitian.
Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam
melakukan pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi
pustaka adalah metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data dan fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur,
majalah, dokumen atau arsip, surat kabar, atau brosur yang tersimpan dalam
perpustakaan (Koentjoroningrat, 1983: 3). Dalam penelitian ini, langkah-langkah
yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : (1)
Mengumpulkan buku-buku, majalah, surat kabar, yang relevan dengan masalah
yang diteliti. (2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang dibutuhkan
baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. (3) Memfotokopi dan mencatat
literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang
diteliti.
e. Teknik Analisis Data
Proses analisis data sangat penting dalam menentukan kualitas data
penelitian sejarah. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara
34
sistematis baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data sejarah yaitu analisis
yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan data
sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri.
Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat-sifat yang kompleks, sehingga
suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Oleh
karena itu fakta-fakta yang diperoleh harus dirangkaikan dengan fakta-fakta yang
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang urut dan memiliki makna (Louis
Gottschalk, 1975: 95).
Fakta merupakan bahan utama sejarawan dalam menyusun historiografi.
Fakta itu hasil pemikiran para sejarawan sehingga fakta yang terkumpul
mengandung subyektivitas. Setiap fakta yang terekonstruksikan oleh sejarawan
akan menghasilkan konstruksi. Setiap konstruksi mengandung unsur-unsur dari
penyusunan konstruksi tersebut, sehigga dalam menganalisis diperlukan konsep
seperti penyeleksian, pengidentifikasian (Sartono kartodirdjo, 1992: 92). Dengan
demikian tujuan analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan
sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan
bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang
menyeluruh (Dudung Abdurrahman, 1999: 64)
Kegiatan menganalisis data sejarah di dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : (1) Kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah
tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang otentik atau asli. Analisis sumber
data sejarah tertulis dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah
tertulis berupa buku-buku literatur dan surat kabar yang berkaitan dengan tema
penelitian. Berbagai bentuk sumber data tertulis tersebut dikelompokkan apakah
termasuk jenis primer atau sekunder. Kedua jenis data tersebut diidentifiksikan
mengenai penulis atau pengarang sumber data tertulis tersebut, tahun dan tempat
penulisan atau penerbitan, dan orisinalitas apakah asli ditulis oleh penulis sumber
data tersebut atau bukan. (2) Kritik intern yaitu menganalisis isi sumber data
sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang kredibel dan reliable.
Analisis sumber data tertulis dilakukan dengan cara mengidentifikasi gaya, tata
35
bahasa, dan ide yang digunakan penulis, kecenderungan politik dan pendidikan
penulis, siasat disaat penulisan, dan tujuan penulis dalam mengemukakan
peristiwa yang berkaitan dengan tema pemilihan umum di Indonesia tahun 1977
tentang fusi partai politik. Kemudian isi dan pernyataan penulis sumber data yang
satu dibandingkan dengan isi dan pernyataan penulis sumber data yang lain.
Berdasarkan seleksi data tersebut dihasilkan fakta. (3) Interpretasi fakta dilakukan
dengan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain. Fakta-fakta
tersebut ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga
makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis, dan
berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Fakta sejarah yang sudah ditemukan
dihubungkan dengan konsep atau teori sebagai alat analisis.
f. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti
sebelum menghasilkan sebuah penelitian yang diharapkan. Prosedur penelitian
tampak pada skema sebagai berikut:
Heuristik
Kritik
Sumber
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan:
1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang berarti memperoleh.
Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau
dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber tidak
tertulis serta sumber yang relevan dengan penelitian ini (Nugroho Notosusanto,
1978: 36). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 99), “Heuristik adalah
36
pengumpulan sumber-sumber sejarah”. Pada tahap ini peneliti berusaha untuk
menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti. Dalam tahap ini
hal pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan mengadakan studi
tentang buku-buku literatur yang tersimpan di perpustakaan.
2. Kritik Sumber
Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan
kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber (kritik
ekstern) dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kritik intern) (Dudung
Abdurrahman, 1999: 58). Dengan langkah-langkah:
a. Kritik sumber ekstern
Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang
berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti : bahan
(kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi
penampilan yang lain. Uji otentik minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, di
mana, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat (Dudung
Abdurrahman, 1999: 59). Fungsi kritik ekstern adalah memeriksa sejumlah
sumber atas dua butir pertama dan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan
integritas sumber itu (Helius Syamsuddin, 1996: 105). Adapun yang dimaksud
dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu
pemeriksaan terhadap catatan dan peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan
semua informasi yang mungkin, dan tidak untuk mengetahui sejak asal mulanya
sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik ekstern dalam
penelitian ini dilakukan dengan menyeleksi sumber data sejarah tertulis berupa
buku-buku literatur, surat kabar dan majalah. Uji otentisitas dilakukan dengan
melihat jenis kertas, bentuk tulisan, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan,
siapa yang membuat, serta dimana arsip, buku, majalah, dan surat kabar dibuat.
b. Kritik sumber intern
Kritik intern adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek dalam arti sumber data sejarah. Kritik intern dilakukan untuk
mendapatkan data yang dapat dipercaya kebenarannya atau kredibel. Kritik intern
37
digunakan untuk menguji kredibilitas sumber apakah isi, fakta, atau ceritanya
dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada langkah kritik
intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah keaslian
sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain, dari tahap
ini akan didapat validitas data. Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain (surat
kabar, majalah, dan buku-buku). Sumber tersebut sesuai dengan yang ada atau
banyak dipengaruhi oleh subjektifitas pengarang, dan apakah sumber tersebut
sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Misalnya buku “Pemilu-Pemilu Orde
Baru” karangan R.William Liddle yang memuat tentang persiapan menjelang
pemilihan umum 1977 serta hasil pemilihan umum 1977 dibandingkan dengan
majalah yang berjudul “pemilihan umum di Indonesia, saksi pasang naik dan
surut partai politik” karangan Daniel Dhakidae yang memuat tentang hasil
pemilihan umum 1977.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering kali disebut analisis sejarah.
Analisis ini berarti menguraikan, secara terminologi, berbeda dengan sistematis
yang berarti menyatukan. Namun adanya, analisis dan sintetis dipandang sebagai
metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995: 100).
Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan
atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain,
sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau
yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi
makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna
tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang
dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut
dihasilkan fakta sejarah atau sistesis sejarah.
38
4. Historiografi
Historiografi adalah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk
suatu kisah atau hasil penafsiran atas fakta-fakta sejarah itu dilukiskan menjadi
suatu kisah yang selaras dan logis. Pada tahap ini dituntut kemahiran dalam
menuliskan kisah sejarah dengan bahasa yang baik. Dalam menyusun hasil
penelitian sejarah hendakya disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai
(Nugroho Notosusanto, 1979: 42). Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan
untuk merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu
kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Tahap
historiografi ini merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur
penelitian historis. Dari data-data yang sudah berhasil dikumpulkan oleh peneliti,
maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan
dengan menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis.
Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa
skripsi yang berjudul “ Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi
Tentang Fusi Partai Politik)” sebagai obyek penelitian.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Fusi Partai Politik
1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik
Upaya penataan struktur politik yang dilaksanakan pemerintah Orde
Baru diawal kelahirannya menjadi faktor pendorong utama penyederhanaan partai
politik. Pengalaman kepartaian di masa Orde Lama yang didominasi oleh banyak
partai politik dengan ideologinya yang berbeda-beda telah menimbulkan citra
buruk bagi partai politik di Indonesia yaitu sering terjadinya konflik antar partai.
Ada tiga penyakit partai-partai politik yang menyebabkan sering timbulkan
konflik. Pertama, partai politik terlalu berorientasi pada ideologi. Kedua, mereka
hanya mementingkan kepentingan kelompok dan menggunakan dukungan rakyat
untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Ketiga, cara pengangkatan
pemimpin partai karena melalui pimpinan pusat dan tidak bertanggung jawab
kepada pemilih, telah menjadikan pemimpin partai ini suatu olygarkhi yang tidak
bertanggung jawab terhadap pemilih mereka (Mochtar Mas‟oed, 1989: 23). Dan
karena keadaan yang seperti itulah menyebabkan pembangunan ekonomi
cenderung terabaikan, karena tiap-tiap partai hanya mementingkan kepentingan
mereka sendiri. Atas dasar pernyataan tersebut maka tidak mengherankan apabila
arah penataan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah
menyederhanakan struktur kepartaian, baik dari segi jumlah, basis massa, pola
dukungan, maupun pola aliran ideologi yang dipakai partai. Pemerintah Orde
Baru bepikiran bahwa pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan
penyebab dari konflik-konflik politik yang terjadi sebelumnya (Ali Moertopo,
1982: 47). Sebelumnya jalan kearah penyederhanaan partai politik sudah dirintis
oleh presiden Soekarno. Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi
Terpimpin serta UUD 1945 presiden Soekarno membentuk alat-alat kenegaraan
seperti MPR dan DPA. Selain itu, dimulailah beberapa usaha untuk
menyederhanakan sistem partai melalui Penpres No. 7/1959. Maklumat
39
40
Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai
dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk
diketahui oleh pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat
adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Parkindo, Partai
Murba, PSII, IPKI, Perti, sedangkan beberapa lain dinyatakan tidak memenuhi
syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960 tinggal sepuluh
partai politik saja (Miriam Budiardjo, 1998: 440-441).
Penyederhanaan partai politik ini berarti mengerahkan sikap dan pola
kerja menuju pada orientasi progam. Tindakan yang pertama adalah merehabilitas
partai Murba, dan mengumumkan berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)
pada tanggal 20 Februari 1968. Secara sepintas pendirian partai baru ini
bertentangan dengan gagasan penyederhanaan partai politik. Namun pada
dasarnya merupakan pertimbangan perlunya suatu wadah bagi peleburan dan
penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tapi selama ini aspirasi-aspirasi
politiknya belum tersalur secara efektif. Penyederhaaan partai politik ini
dimaksudkan untuk memberikan corak baru pada kehidupan kepartaian di
Indonesia, disesuaikan dengan kebutuhan baru yang pada dasarnya merupakan
ukuran-ukuran pada hak hidup suatu partai, yakni mengabdi pada pembangunan
bangsa dan negara. Tujuan jangka pendek pengelompokan ini adalah untuk
mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan (Ali Moertopo,
1974: 73-74 ).
Gagasan penyederhanaan partai juga berarti perombakan pola kerja
menuju orientasi program (program oriented). Penyederhanaan partai secara ideal
adalah
penyederhanaan
yang
dilakukan
melalui
Undang-undang,
tetapi
kenyataannya menunjukkan bahwa jalan kearah itu masih jauh, sehingga
disarankan oleh presiden untuk mencari cara menuju arah itu. Pada bulan Februari
1970, presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan pimpinan partai-parai
politik mengenai gagasan pengelompokan partai-partai.
Disamping asas-asas
yang dianut bersama, pancasila dan UUD 1945, dasar pengelompokan itu
sebaiknya persamaan tekanan pada aspek-aspek pembangunan, baik material
maupun spiritual. Atas dasar ini disarankan pembentukan dua kelompok: (a)
41
kelompok material-spiritual, yang terdiri atas partai-partai yang menekankan
pembangunan material tanpa mengabaikan asas spiritual, tediri atas PNI, Murba,
IPKI, Parkindo, dan partai Katolik; dan (b) kelompok spiritual–material, yang
menekankan pembangunan spiritual tanpa mengabaikan aspek material, terdiri
atas NU, Parmusi, PSII dan Perti (Prisma, tahun 1971-1991). Gagasan tersebut
diikuti oleh sikap pro dan kontra. Yang pertama kali menyambut ialah PNI dan
IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut
Lukman Harun (Parmusi), gagasan pengelompokan partai dapat memberikan
keuntungan bagi partai politik Islam. Dengan pengelompokan tersebut partai
Islam akan bersatu dari yang semula terpecah-pecah berdasarkan kepentingan
kelompok masing-masing. Sedangkan menurut Subhan Z.E., seorang tokoh NU,
pengelompokan partai akan memudahkan proses pengambilan keputusan sehingga
alternatif pendapat-pendapat dalam masyarakat dapat diperkecil.
Golongan yang menentang pengelompokan partai politik adalah
Parkindo dan Partai Katolik. Alasan penolakan mereka karena dikelompokannya
kedua partai ini dalam golongan spiritual dan bukan kepada ide pengelompokan
itu sendiri. Mereka lebih senang jika dimasukkan ke dalam golongan nasionalis.
Alasannya, golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang tidak
mementingkan motif-motif ideologis. Bahkan Partai Katolik menegaskan lebih
baik membubarkan diri daripada masuk ke kelompok Spiritual. Akhirnya, pada
tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, ,
Murba, IPKI , Partai Katolik dan Parkindo. Dan pada tanggal 14 maret 1970
terbentuk Golongan Spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Golongan
Nasionalis
kemudian
diberi
nama
“Kelompok
Demokrasi
Pembangunan”, dan kelompok spiritual diberi nama “Kelompok Persatuan” (Arif
Zulkifli, 1996: 56-57). Dalam pengelompokan seperti itulah partai-partai ikut
tampil dalam pemilihan umum tahun 1971.
Pemilihan umum tahun 1971 ini merupakan untuk pertama kalinya
diadakan sejak pemerintahan Orde Baru. Karena sejak pemilihan umum yang
pertama tahun 1955 sampai awal pemerintahan Orde Baru beberapa kali
pelaksanaannya mengalami penundaan, dan baru dapat dilaksanakan tahun 1971
42
setelah melalui persiapan-persiapan dan serangkaian usaha yang harus dapat
menjamin Orde Baru dan mempertahankan kekuatan-kekuaan pancasila. Akhirnya
pada tanggal 3 Juli 1971 sejumlah 34.696.387 orang untuk kedua kalinya sejak
kemerdekaan, enam belas tahun sejak pemilihan umum yang pertama
berbondong-bondong menuju kotak suara. Angka tersebut merupakan sebagian
besar dari sejumlah 57.537.752 yang berhak memilih. Bilamana dibandingkan
dengan pemilihan umum yang pertama maka ini merupakan angka yang sangat
besar yang bisa dicapai, karena dalam pemilihan umum pertama tahun 1955
tercatat 87,65 % yang ikut memberikan suaranya. Salah satu alasannya karena
keamanan yang tidak terjamin. Pada pemilihan umum 1971 ini, keamanan tidak
menjadi alasan untuk mengahalangi orang dalam pemilihan umum nasional kedua
(Prisma, No. 9 tahun 1981).
2. Pemilihan Umum 1971
Pemilihan umum tahun 1971 merupakan hasil persiapan yang telah
dilaksanakan oleh Orde Baru sejak tahun 1966. Dalam ketetapan No
XI/MPRS/1966 telah dinyatakan partimbangan-paerimbangan konstitusional yang
mendasarinya, yakni (a) bahwa negara republik Indonesia adalah negara yang
berdasarkan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam asas Pancasila dan UUD
1945; (b) bahwa untuk pelaksanaan asas kedaulatan rakyat itu diperlukan
lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang dibentuk dengan
pemilihan umum; (c) bahwa hingga kini lembaga-lembaga tersebut belum
terbentuk dengan pemilihan umum; (d) bahwa akibat daripada belum
terbentuknya tersebut dengan pemilihan umum, kehidupan demokrasi Indonesia
belum berjalan lancar; (e) bahwa dalam rangka kembali pada pelaksanaan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, perlu segera dibentuk lembaga-lembaga dalam
pemilihan umum (Ali Moertopo, 1974: 63).
Pada
pemilihan umum 1971 para pemimpin partai mempunyai
kesempatan untuk memperbaiki kedudukan sebagai wakil rakyat. Kelompok
Mahasiswa dan kekuatan pro Orde Baru baik sipil atau militer memanfaatkan
pemilihan umum sebagai alat untuk memulai penyusunan kembali sistem
43
kepartaian secara menyeluruh (Liddle, 1992: 194). Dalam menghadapi pemilihan
umum, persiapan-persiapan mulai dilakukan . pada tanggal 23 Mei 1970 presiden
dengan surat keputusan No. 43 menetapkan organisasi-organisasi yang ikut serta
dalam pemilihan umum dan anggota-anggota DPR/DPRD. Partai-partai tersebut
diantaranya adalah : Partai Murba, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam
Persatuan Tarbiyah (Perti), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo),
Parmusi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
dan Golongan Karya (Golkar) (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993 : 427). Disamping melakukan usaha ke dalam, Soeharto juga
juga melakukan operasi-operasi keluar yang ditujukan kepada partai-partai politik
peserta pemilu 1971. Ali Moertopo sebagai pengemban tugas melalui Operasi
Khusus (Opsus) politik mulai memperlemah partai politik serta organisasi dan
dipihak lain memperkuat Golkar (Arif Yulianto, 2002: 267).
Badan Pengendali Pemilihan Umum (Bapilu) sebagai produk kelompok
pembaharu di DPR-Gotong Royong mendapatkan dukungan kerjasama dari
Opersi Khusus. Ali Moertopo menghimpun perwira-perwira militer (Soedjono
Humardhani, Sapardjo), mantan pimpinan formal mahasiswa (Jusuf Wanandi,
Sofian Wanandi, Cosmas Batubara, Rachman Tolleng, David Napitulu),
Intelektual (Drs. Moerdopo, Drs. Sumiskum, Daud Jusuf). Kelompok ini
menentukan dan mengendalikan Bapilu. Tugas pokok Bapilu adalah : (Andreas
Pandiangan, 199: 162)
a.
Memenangkan Golkar dalam pemilu 1971
b.
Berusaha merebut suara yang sebanyak-banyaknya dalam pemilu
dan mendapatkan kursi semaksimal mungkin di DPR, DPRD I,
DPRD II yang mempunyai akibat mayoritas mutlak Golkar di MPR.
c.
Memilih, menyusun dan mengajukan calon-calon yang tepat dari
Golkar sesuai
kepres NO.43/1970
dengan sejauh mungkin
mengambil dari Golkar
d.
Mempergunakan secara optimal dan maksimal tanda gambar
“Beringin” sebagai sarana memenangkan Golkar.
44
e.
Mengatur dan melaksanakan kampanye di pusat, daerah-daerah
pemungutan suara dan sampai ke desa-desa secara efektif an efisien.
Menjelang pemilu 1971, Operasi khusus Ali Moertopo mempunyai
strategi baru dalam mengintervensi Nahdlatul Ulama (NU). Intervensi dilakukan
dengan cara berbeda yaitu lebih menekankan penggalangan kerjasama dimana
partai-partai tidak akan menentang peran utama Angkatan Darat. Langkah yang
dilakukan Opsus antara lain memberikan Nahdlatul Ulama status dan dana bagi
kegiatan-kegiatan keagamaan, Idham Chalid (Ketua Umum NU) akan mendukung
Soeharto sebagaimana Soekarno dimasa lalu (Arif Yulianto, 2002: 276). Operasi
khusus melalui intervensi juga dilakukan terhadap kelompok nasional lainnya
seperti : Parmusi, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang melalui
konggres bulan Mei 1970 dan dari hasil konggres tersebut didapatkan pemimpin
IPKI yang pro dengan pemerintah (Arif Yulianto, 2002: 268).
Pada kampanye 1971, Golkar diambil alih oleh Depatemen Dalam
Negeri. Depatemen Pertahanan dan Keamanan, dan sekelompok intelektual Orde
Baru yang punya hubungan denagn Ali Moertopo. Tugas berikutnya adalah
mengorganisasikan upaya kempanye nasional dengan mengidentifikasi Golkar
sebagai kekuatan progresif masyarakat Indonesia, kekuatan pembangunan
programatis non-ideologis. Kontak nyata dengan para pemilih dibuat oleh pejabatpejabat kelurahan dan desa dibawah pengawasan pejabat-pejabat Departemen
Dalam Negeri tingkat kecamatan, kotamadya, dan propinsi. Suatu kebijakan
“monoloyalitas” pejabat kepada Golkar diperkuat oleh komandan-komandan
militer lokal. Sebagian besar ketua Golkar propinsi dan kotamadya, serta
kecamatan, adalah perwira-perwira yang masih aktif berdinas (Liddle, 1992: 37)
Program kampanye partai Katolik dalam pemilu 1971 dinamakan trilogy
perjuangan yaitu : demokrasi, pembaharuan dan pembangunan. Ketiga hal
tersebut terinspirasi dari perjuangan kemerdekaan RI (Kompas, 21 April 1971).
Dalam kampanyenya, partai Katolik lebih menunjukkan peranan partai politik
dalam pembangunan negara, bersifat integratif, memperjuangkan seluruh bangsa
tidak berjuang untuk kepentingan golongan sendiri dan terbuka terhadap konsepsikonsepsi pembaharuan dari pihak manapun.
45
Partai-partai politik penting seperti (NU dan PNI) menyatakan keberatan
karena Sekber Golkar tidak bertindak jujur sebelum pemilu, namun partai-partai
tampak optimis. PNI masih mengharapkan setidaknya bisa meraih 78 dari 360
kursi yang diperebutkan. Hadisubeno, ketua PNI bahkan meramalkan bahwa
presiden akan memasukkan pemimpin-pemimpin PNI dalam kabinet baru.
Sementara itu, NU mengharapkan 100 kursi sebagai targetnya, dan Parmusi yang
baru saja didirikan berharap memperoleh 50 kursi. Partai-partai lain tidak
mempunyai target. Mereka memahami bahwa mereka tidak bisa menyaingi partaipartai politik yang besar dan Sekber Golkar. Kenyataannnya, bebeapa partai kecil
tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hasil pemilihan
muncul sebagai kejutan besar bagi beberapa pemimpin partai. Sekber Golkar
memenangkan 62, 8 % suara (227) kursi sementara NU hanya meraih 18 % (58)
kursi dan PNI 6, 93 % suara (20) kursi. (Leo Suryadinata, 1992). Tiga partai
meraih kursi kurang dari sepuluh yaitu Parkindo (7) kursi, partai katolik (3) kursi,
Perti (2) kursi. Partai IPKI dan Murba tidak meraih kursi. (http://www.suarakarya.com diakses tanggal 15 Februari 2010). Hasil pemilihan umum tahun 1971
secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
46
Tabel 1.
HASIL PEMILIHAN UMUM 3 JULI 1971
No
DAERAH
PERTI
PSII
NU
PARMUSI
GOLKAR
PARKINDO
MURBA
TINGKAT I
PARTAI
PNI
IPKI
KATHOLIK
1
D.I. Aceh
127.58
74.787
80.965
182.458
483.085
9630
330
775
3.834
3.090
2
Riau
10.503
69.837
136.483
187.033
1.786.028
111.988
4.208
44.067
166.135
31.272
3
Sumba
53.536
23.114
35.869
273.104
761.165
7.708
3.821
5.002
5.046
6.492
4
Riau
18.575
9.403
48.184
61.963
515.505
4.540
288
2.908
6.747
1.730
5
Sumsel
10.195
91.889
153.440
169.544
685.732
6.648
1.753
14.053
70.274
10.913
6
Jambi
1.611
4.485
22.077
20.004
408.351
682
160
467
3.043
2.040
7
Bengkulu
5.282
3.600
5.607
19.830
154.805
525
77
469
1.084
2.047
8
Lampung
2.040
47.478
137.800
75.704
869.894
5.422
680
10.933
50.628
2.344
9
Jabar
55.315
304.989
1.310.679
809.700
7.525.797
40.670
10.042
28.013
272.551
69.918
10
Jakarta
11.456
56.381
452.803
150.735
912.400
58.130
5.977
56.370
227.535
138.21
11
Jateng
12.937
90.468
2.382.462
468.704
5.174.182
55.447
7.084
52.745
2.003.177
86.053
12
DIY
4.385
30.832
126.315
108.184
736.493
13.190
1.533
35.439
119.431
6.561
13
Jatim
14.757
154.707
4.387.507
339.919
8.843.077
38.047
3.900
30.47
22.748
31.691
14
Kalbar
1.073
7.322
89.355
57.621
532.836
5.716
441
54.275
24.385
30.358
15
Kalteng
98
4.052
39.802
10.415
200.561
3.547
82
403
1.195
1.942
16
Kalsel
944
6.381
210.941
52.122
516.402
1.940
743
508
3450
2.710
17
Kaltim
653
11.320
68040
19.044
150.146
18.146
3.113
9.225
17.600
1.503
18
Sulut
-
96.820
38.575
42.053
472.974
52.238
713
16.343
44.846
13.172
19
Sulteng
231
48.188
18.505
13.563
326.379
10.927
83
624
5.156
1.111
20
Sultengg
21
Sulsel
22
Bali
500
1.181
23
NTB
5.370
52.308
24
NTT
2.650
11.935
25
Maluku
2321
15.414
Jumlah
381.31
Persen (%)
Kursi
207
4.383
7.92
7.257
316.047
424
10
1.187
932
3.813
8.755
106.730
230.127
126.905
1.970.501
35.084
440
9.181
6.613
20.361
16.725
5.436
569.404
3.272
748
2.106
130.203
20.254
150.110
53.357
736.801
2.465
663
961
47.381
5.558
14.413
6.961
706.557
154.532
171
210.312
35.554
5.930
33.653
75.694
213.402
98.379
2.006
16.367
21.914
1.507
1.308.237
10.213.650
2.930.760
34.348.673
733.359
48.175
603.740
8.793.266
338.4
0,70%
2,30 %
18,67%
5,36%
62,80%
1,34%
0,09%
1,10 %
6,94%
0,62%
2
10
58
24
237
7
-
3
-
-
Sumber : Kompas, 9 Agustus 1971
Pada pemilu 1971 NU mengumpulkan suara sebesar 10.213.650 berarti
18,6 % dari seluruh suara pemilih sebesar 54.696.887. Sebagian besar suara NU
dihasilkan dari daerah pemilihan di Pulau Jawa 84,8% atau 8,66 juta dari total
suara yang dihasilkan NU secara nasional. Kecuali Masyumi, partai-partai lain
dalam pemilihan umum tahun 1955 umumnya tidak berbeda dengan NU,
mayoritas suara mereka berasal dari Pulau Jawa, PNI 72,9% atau 5,96 juta dan
47
PKI 89,8% atau 5,46 juta. Suara Masyumi berimbang antara suara yang dihasilkan
Pulau Jawa dengan pulau-pulau luar Jawa. Di Pulau Jawa Masyumi
mengumpulkan suara 51,6% atau 4,05 juta dari total suara 7,9 juta. Keadaan ini
hampir tidak berubah dalam pemilihan umum 1971 kekuatan PNI di Pulau Jawa
menghasilkan suara 82,9% atau 3,14 juta, berarti ada kenaikan sebesar 10%
disbanding tahun 1955, sementara Parmusi memperoleh suara 50% atau 1,47 juta
tahun 1971 berasal dari pulau Jawa. Dalam pemilihan umum 1971 Golkar
menghasilkan suara 62% atau 21,29 juta berasal dari Pulau Jawa. Angka-angka ini
memperlihatkan selama dua kali pemilihan umum 1955 dan 1971 perolehan suara
NU hampir tidak berubah sebagian terbesar 84,7% (1955) dan 84,8% (1971)
berasal dari Pulau Jawa. Jika dibandingkan total suara nasional antara NU dengan
Masyumi dalam pemilihan tahun 1955, NU menghasilkan suara sebesar 18,4%
atau 6,95 juta sementara Masyumi 20,9% atau 7,9 juta. Ini berarti ada selisih 2,5%
suara NU lebih kecil. Akan tetapi setelah suara itu didistribusikan dalam jumlah
kursi yang dihasilkan, kursi yang diperoleh NU turun lebih tajam yaitu NU
mendapat kursi 45 (17,5% dari total kursi 257), sementara Masyumi mendapat 57
kursi (22,2% dari total kursi 257), selisih berubah menjadi 4,7% NU lebih kecil
dibanding kursi Masyumi. Kenaikan jumlah kursi Masyumi dibanding perolehan
suara nasional berasal dari suara yang didapat di daerah luar pulau Jawa yang
bilangan pembagi pemilihannya (BPP) lebih kecil dibanding BPP pulau Jawa, di
daerah mana Masyumi mengantongi suara 48,4% dari total suara nasional yang
didapatnya. Presentase suara Masyumi di luar pulau Jawa membawa keuntungan
kenaikan jumlah kursi yang didapat.
Sebagian besar partai-partai politik kecuali NU tampil sangat buruk
dalam pemilu. PNI misalnya, yang mendapatkan 22,3 % suara (54) kursi dalam
pemilu 1955 hanya meraih kurang dari 7% suara. Hal ini disebabkan karena
pegawai-pegawai negeri yang memberikan suaranya untuk PNI masa lalu,
mengalihkan suaranya untuk Golkar pada pemilu 1971. Suara pegawai negeri
begitu penting karena jumlah mereka sangat banyak dan sangat berpengaruh
dalam menentukan perilaku penduduk pedesaan dalam pemilihan. PNI di masa
lalu
mampu
memperoleh
jumlah
pemilih
yang
sangat
besar
karena
48
diidentifikasikan sebagai partai pegawai negeri. NU bisa mempertahankan
presentasenya seperti yang diraih pada 1955, karena sebagai partai ulama yang
mendapat dukungan dari komunitas keagamaan dan bukannya dari pegawai negeri
(Ali Moertopo, 1973: 411).
Perolehan hasil suara Golkar jika dibandingkan dengan sembilan partai
lainnya yang digabungkan dalam dua kelompok yaitu Kelompok Persatuan
Pembangunan (PSII, NU, Parmusi, Perti) dan Kelompok Demokrasi (Partai
Katolik, Parkindo, Murba, PNI, IPKI), dapat dilihat pada table berikut ini :
49
Tabel 2.
Perbandingan Jumlah Suara Kelompok Demokrasi
Pembangunan, Kelompok Persatuan Pembangunan & Golkar
Pada Tahun 1971
No
Daerah
Kelompok Persatuan
KelompokDemokrasi
Tingkat I
Pembangunan
Pembangunan
Golkar
1.
D.I. aceh
465.791
17.659
483.085
2.
Sumut
403.856
357.670
1.786.028
3.
Sumbar
385.623
28.069
761.165
4.
Riau
138.125
16.213
515.505
5.
Sumsel
425.068
103.641
685.732
6.
Jambi
48.177
6.392
408.351
7.
Bengkulu
34.319
4.202
154.805
8.
Lampung
263.022
70.007
869.894
9.
Jabar
2.480.683
421.194
7.525.797
10.
Jakarta
535.713
486.226
912.400
11.
Jateng
2.954.571
2.204.506
5.14.182
12.
DIY
269.716
176.154
736.493
13.
Jatim
4.896.890
126.856
8.843.077
14.
Kalbar
155.371
115.175
532.836
15.
Kalteng
54.871
7.169
200.561
16.
Kalsel
270.388
9.351
516.402
17.
Kaltim
99.057
49.587
150.146
18.
Sulut
177.448
127.312
472.974
19.
Sulteng
80.487
17.901
326.379
20.
Sultengg
19.767
6.366
316.047
21.
Sulsel
472.517
71.679
1.970.501
22.
Bali
23.842
156.583
569.404
23.
NTB
261.145
57.028
736.801
24.
NTT
35.959
406.499
706.557
25.
Maluku
127.082
140.173
213.402
Sumber : Kompas, 9 Agustus 1971
50
Pada pemilu 1971 partai-partai yang kemudian tergabung dalam PPP
memperoleh suara yang cukup besar di Jawa yang meliputi Jawa Barat berhasil
meraih 2.480.683 suara, Jawa Tengah meraih 2.954.571 suara dan di Jawa Timur
berhasil meraih 4.896.890 suara. Sedangkan di Maluku partai-partai yang
kemudian tergabung dalam PDI berhasil meraih 140.173 suara. Begitu pula di
propinsi Nusa Tenggara Timur berhasil meraih 406.499 suara dan di Jawa Tengah
berhasil meraih 2.204.506 suara. Sementara itu, Golkar berhasil meraih suara
yang cukup besar di propinsi Jawa Timur dengan perolehan 8.843.077 suara, di
Jawa Barat berhasil memperoleh 7.525.797 suara, di Sulawesi Selatan berhasil
meraih 1.970.501 suara dan di Sumatera Utara berhasil meraih 1.786.028 suara.
Golkar unggul dibeberapa daerah kecuali di propinsi Sumatera Selatan yang
diungguli oleh PDI dengan perolehan 103.641 suara dan di jawa Tengah yang di
ungguli oleh PPP dengan perolehan 2.954.571 suara. Golkar unggul disemua
daerah. Sedangkan urutan kedua adalah Kelompok Persatuan Pembangunan
kecuali di Maluku, NTT dan Bali. Kelompok Demokrasi berhasil memperoleh
suara terbesar di kedua daerah tersebut karena penduduknya mayoritas Kristen,
sedangkan di Bali lebih pada kuatnya unsur-unsur nasionalisme daripada
agamanya.
Perti dan partai kecil lainnya yang kalah dalam pemilu, yakin bahwa
pemerintah tentunya masih memberi kesempatan bagi partai-partai tersebut dalam
pemilu yang akan datang. Bagi Perti, kemenangan Golkar di luar dugaan, dengan
perolehan hasil yang besar mendorong Perti melakukan koreksi diri atas
kegagalannya dan menentukan langkah-langkah yang sebaik-baiknya untuk
menghadapi pemilu 1977, walaupun dalam wadah partai yang baru (Kompas, 6
Juli 1971). Sedangkan Partai Murba merasa kecewa terhadap hasil perolehan
suara diberbagai daerah. Jumlah
suara yang diperoleh jauh lebih sedikit
dibanding anggota yang terdaftar. Meskipun begitu, partai Murba tetap bersikap
bijaksana dengan melaksanakan perjuangan aspirasi sosialisme di Indonesia
dengan kepemimpinan Soeharto. Tanggapan partai Murba terhadap kemenangan
Golkar merupakan kemenangan kekuatan yang berjuang untuk menegakkan
Pancasila, UUD 1945, politik luar negeri bebas aktif anti penjajahan serta untuk
51
pelaksanaan pembangunan mewujudkan masyarakat adil dan makmur (Kompas,
17 Juli 1971).
Pada pemilihan umum 1971, partai pemerintah, Sekber Golkar,
memenangkan 227 kursi. Bersama dengan 100 anggota yang diangkat pemerintah,
pemerintah memiliki sekitar 327 suara dari 460 kursi yang tersedia. Karena
proporsi suara pemerintah yang besar sekali, Sekber Golkar dapat mengusulkan
dan menyetujui sebagian
besar rancangan Undang-undang. Dalam rangka
mengawasi DPR, tidaklah cukup untuk hanya bersandar pada anggota-anggotanya
yang diangkat. Pemerintah harus menempatkan wakil-wakilnya di DPR melalui
pemilihan umum berkala. Untuk menjamin kemenangan Sekber Golkar dalam
pemilu-pemilu mendatang, pemerintah bermaksud memperbaiki Sekber Golkar
untuk membuatnya lebih efektif (Leo Suryadinata, 1992: 48). Kemenangan
Sekber Golkar dalam pemilu 1971 merupakan bukti perkiraan-perkiraan yang
telah dapat diperhitungkan sebelumnya, satu dan lain hal karena rakyat yang
selama ini telah dikecewakan oleh partai-partai politik benar-benar menaruh
harapan pada Sekber Golkar (Al Moertopo, 1974: 82).
Strategi politik berkenaan dengan pembinaan
kehidupan kepartaian
melihat bangsa sebagai satu kesatuan politik yang terdiri dari lembaga-lembaga
politik yang mebentuk mekanisme politik nasional dan masyarakat pada
umumnya yang menjadi penunjang kehidupan kelembagaan tersebut. Pembinaan
kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dijadikan sebagai pengarahan
bahwa golongan yang satu melihat golongan yang lain sebagai partner
berdemokrasi dan partner membangun. Pengelompokan partai-partai merupakan
bagian pelaksanaan diktum ini (Ali Moertopo, 1974: 76). Dengan kemenangan
Golkar dalam pemilu, presiden Soeharto mengajukan berbagai Rancangan
Undang-undang (RUU) partai politik dan Golkar dibahas di DPR. Rancangan
Undang-undang (RUU) ini pertama kali diajukan pada tahun 1968 bersama –sama
denga RUU pemilu (kemudian disebut RUU partai politik, Oganisasi Massa,dan
Golongan Karya) tetapi gagal dibahas karena dilihat oleh partai-partai politik,
yang masih mempunyai pengaruh yang kuat, sebagai restrukturisasi sistem politik
yang merugikan. Hanya setelah pemilu 1971, dengan kemenangan Golkar yang
52
luar biasa dan menguatnya pengaruh militer di parlemen, restrukturisasi partaipartai politik menjadi kenyataan. Restrukturisasi partai-partai politik dipandang
oleh partai-partai politik sebagai cara untuk memperlemah posisi partai-partai
politik, karena dengan menghimpun partai-partai yang berbeda dalam suatu
wadah, hal itu akan menimbulkan perpecahan didalam partai baru itu. Pemerintah
menolak dan anggapan ini dan menyatakan bahwa restrukturisasi dimaksudkan
untuk menciptakan partai-partai politik yang lebih efektif dan mengurangi
perbedaan (Leo Suryadinata, 1992: 79).
3.
Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik
Fusi partai politik tidak berarti matinya partai politik. Sebaliknya, justru
merupakan pertumbuhan baru partai-partai politik kearah yang lebih sehat dan
kuat serta menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri, bahwa demokasi yang
sedang ditumbuhkan telah ditemukan makna rasa tanggung jawab dan
kepentingan bersama dan pembangunan. Keinginan rakyat adalah pembangunan
disegala bidang termasuk pembangunan dari pembaharuan kehidupan politik.
Dalam rangka pembangunan jumlah partai-partai politik yang banyak, semua
partai politik harus berpijak pada ideologi nasional pancasila. Semua partai politik
sebagai penegak-penegak demokrasi ingin mencapai tujuan-tujun politiknya
dengan cara damai dan demokrasi. Oleh karena itu perbedaan yang memang ada
soal titik berat perhatian pada salah satu segi pembangunan dan penentuan cara
tepat untuk mencapainya (Kompas, 27 Februari 1973 ).
Strategi pemerintahan Orde Baru dalam rangka melaksanakan pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah dengan strategi yang
diperkenalkan sebagai trilogi pembangunan. Trilogi pembangunan terdiri dari: (1)
Terciptanya stabilitas politik yang mantap, yang memungkinkan kelangsungan
jalannya pembagunan nasional; (2) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi; (3)
Pemerataan hasil pembangunan untuk memenuhi prinsip keadilan sosial.
Intensitas kehidupan politik dan konflik ideologi yang tinggi diera Orde Lama
dinilai tidak kondusif bagi jalannya pembangunan bangsa, oleh karena itu
diperlukan pembaharuan atau penyederhanaan sistem politik. Hal ini dilakukan
53
dengan
penyederhanaan jumlah partai. (http://id.wikipedia.org/wiki/trilogi
pembangunan diakses tanggal 19 April 2010). Program fusi partai merupakan
wujud konkret kecenderungan pemerintah Orde Baru dalam hal perampingan
sistem kepartaian dan pembatasan jumlah partai untuk tujuan mengamankan
program stabilisasi. Disamping itu, program fusi ini juga merupakan salah satu
langkah sistematis dari penguasa Orde Baru untuk membangun sebuah model
menejemen politik yang dianggapnya berdaya dukung bagi upaya stabilisasi dan
mengamankan pembangunan ekonomi berorientasikan pembangunan (Eep
saefulloh F, 2000: 194). Sedangkan menurut Mahrus Irsyam (1984: 49-50), fusi
partai ini memiliki tiga tujuan. Pertama, penggantian lembaga politik lama
khususnya partai politik dengan lembaga politik baru atau partai politik baru.
Kedua, menghendaki pembatasan yang tegas antara pelembagaan peran di
wilayah politik dengan non politik. Ketiga, perubahan nilai dan norma dengan
nilai dan norma baru.
Pemilihan umum 1971 telah menampilkan kekuatan politik baru dengan
kemenangan Golkar. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan
tahun 1971 secara tegas menyatakan bahwa dalam pemilihan umum tahun 1977
hanya ada tiga peserta. Pada tahun 1973 semua partai politik menganggap sudah
tiba untuk menuju pada peleburan atau fusi partai. Bukan lagi untuk
mengelompok tetapi sebagai satu kesatuan wadah kegiatan politik (Manuel
Kaiseipo, 1981). Realisasinya adalah sembilan partai yang disederhanakan
menjadi dua partai, disamping adanya golongan Karya. Pertama, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang berasaskan spirituil sebagai fusi dari partai Islam
Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Parti Sarekat Islam
Indonesia (PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti) yang tadinya
bergabung dalam kelompok Persatuan Pembangunan. (Elizabeth Sukamto, dkk,
1991: 70). Struktur kepemimpinan PPP diusahakan dapat menampung partai
pendukung secara proporsional dengan pertimbangan kekuatan dalam pemilu
1971. oleh karena itu, NU paling dominan dalam posisi pengurus PPP. (Affan
Gaffar Karim, 1995: 69). Hampir semua jabatan penting dan strategis dalam
kepengurusan PPP diduduki oleh orang-orang NU. Dominasi NU yang besar ini
54
merupakan konsekuensi perimbangan kekuatan dari hasil pemilu 1971, yang
membuktikan bahwa NU paling banyak menjaring suara disebanding tiga partai
Islam lainnya yang ikut berfusi (Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, 1992: 49).
Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP sebagai berikut (Kedaulatan Rakyat,
16 Februari 1973) :
Ketua Umum
: H.M.S. Mintaredja, SH
Wakil Ketua Umum
: H. Nurdin Lubis
Ketua I
: Drs. H.T.M. Gobel; Nur Hasan,;
KH. Syarifuddin
Zuhri; J. Naro, SH; H. Imam Sofyan.
Sekretaris Jendral
: Yahya Ubeid, SH
Wakil Sekretaris Jendral
: Drs. M. Husni Thamrin; Yudo Paripurno,
SH; H. Mahmub Djuaidi; Drs. Darussamin
AS; H.A. Chalid Mawardi.
Anggota
: M. Yusuf Hasyim; dr. Sulastomo; Djohan
Burhanuddin, SH ; Rusnaizur; H.M. Dahrif
Nasution; Ismail hasan; Mutareum, SH;
Ishakmoro; Ali Hanafiah; Wahid Hasyim;
Drs. Soedardji; Achmad Daenuri; Amir
Husein; Zen Badjuber; m. Fachrurrozi;
Dra. Syamsiah Nur Adnues; Muh. Hartono
BA; Chalidjah Razak; Drs. A. Chalid Ali;
Anshor Syams.
Majelis Pertimbangan Pusat :
Ketua Umum
: KH. Manskur
Wakil Ketua Umum
: Drs. MA. Gani, MA
Ketua
: Djadil Abdullah; T.M. Saleh; Drs.
Syahmanap.
Anggota
: K.H. Gozali; Ali Tamin, SH; HM.
Munasir; Ismil Mokonbombang;
55
Mahmudah mawardi; Syahkawi Mustafa;
H.A. Muip Ali.
Majelis Syuro
: K.H. Bisri Syamsuri; K.H. Dachlan; K.H.
Moh Syafei Wirakoesoemah; K.H. Rusli A.
Wahid; K.H. Balya Umar; K.H Zaeni
Mifbah; K.H. Syuhairi Chatib; K.H. Aiz
Halim; K.H. Mustafi Jusuf; K.H. Achmad
Sidiq; Dr. Muhibuddin Wali; K.H. Misbah;
K.H. Aini Chalik; K. H. Usman Abidin.
Golongan Karya (Golkar) yang pendiriannya dimaksudkan untuk
menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang aspirasi politiknya
belum tersalur lewat partai-partai yang ada (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 71).
Hasil pemilu 1955 menempatkan PKI sebagai pemenang keempat. hal ini
menyebabkan posisi PKI menjadi semakin dominan. Sejak tahun 1957 PKI
meningkatkan ekspansi politiknya yang sangat agresif. Di kalangan masyarakat
Masyumi sebagai kekuatan pengimbang terhadap PKI menjadi semakin lemah
kedudukannya secara politis. Apalagi setelah Masyumi dan PSI dibubarkan pada
tahun 1960. selain itu, gagasan Nasionalis Agama Komunis (Nasakom) yang
dicanangkan Soekarno diterapkan secara maksimal oleh PKI. Seluruh
kelembagaan politik yang dibentuk didominasi oleh PKI (Ridwan Saidi, 1993: 3).
Untuk mengimbangi pengaruh PKI, TNI-AD mendukung munculnya organisasiorganisasi yang akan melaksanakan program-program yang akan melaksanakan
program-program yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Dalam periode
ini gerakan golongan-golongan fungsional seperti buruh, tani, nelayan, pemuda,
wanita dll. Yang semula berasal dari organisasi massa (Ormas) partai politik,
menyatakan diri sebagai organisasi fungsional. Organisasi ini kemudian
membentuk organisasi fungsional dalam Pengurus Besar Front Nasional (PBFN).
Maka lahirlah
organisasi fungsional Sentral Organanisasi Karyawan Swadiri
Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR),
Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) yang dipelopori oleh perwiraperwira TNI-AD. Pada tahun 1963, atas prakarsa Djuhartono dan Drs. Imam
56
Pratignyo
dibentuk
Musyawarah
Kekaryaan
Indonesia
(MKI)
untuk
mempersatukan seluruh oganisasi fungsional dalam satu wadah namun belum
pernah terwujud dalam bentuk organisasi. Kemudian pada tahun 1964 atas restu
Jendral A.H. Nasution selaku Wakil Ketua PBFN, oleh Djuhartono (Brigjend),
Mukito (Kol), Sutjipto, SH.(Brigjend) dan Mashuri, diubah ide pembentukan satu
organisasi tunggal MKI menjadi satu forum koordinasi bernama Musyawarah
Kerja Kekaryaan Indonesia (MKKI). Tetapi organisasi ini hanya hanya berumur
beberapa bulan saja dan mejadi beku kegiatannya.Belajar dari pengalaman ini,
maka pada bulan Oktober 1964 diadakan suatu pertemuan untuk menghidupkan
usaha koordinasi diantara golongan-golongan fungsional dalam Front Nasional.
Pertemuan tersebut diprakarsai oleh sembilan orang yang kemudian dikenal
dengan nama Panitia 9 dengan anggota : Brigjend Djuhartono, Drs. Imam
Pratignyo, J.K. Tumakaka, Dominggos Nanloby, Pandu Kartawiguna, Kol. Dr.
Anwar Rasyid BA. Mereka menyiapkan penyusunan “ Pernyataan Dasar
Karyawan” , yang ditandatangani oleh Panitia 9 dengan organisasi-organisasi
karya pendukung yang terdiri dari 35 organisasi golongan karya non-afiliasi pada
tanggal 19 Oktober 1964. Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1964, diadakan
pertemuan dengan organisasiorganisasi golongan non-afiliasi dengan hasil
menyetujui didirikannya Sekber Golkar dan berhasil mengesahkan Anggaran
Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang telah disiapkan oleh Panitia 9
(Andreas Pandiangan, 1996: 29-30).
Organisasi-organisasi pendiri Sekber Golkar adalah sebagai berikut : 53
organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan organisasi pegawai Negeri,
(Soksi, Serikat Sekerja Bank Indonesia dan Serikat Sekerja Dalam Negeri), 10
Organisasi kelompok cendekiawan (ISIE, ISI), 10 organisasi Pelajar &
Mahasiswa (Gerakan TP, Pemuda Muhammadiyah, Pengurus Besar Pelajar Islam
Indonesia), 4 organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 5 Organisasi
Wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi petani dan nelayan dan organisasi
lainnya (Leo Suryadinata, 1992: 54). Setelah kemenangan Golkar dalam
pemilihan umum 1971, Sekber Golkar melalukan reorganisasi lainnya (para
pengurusnya
menyebut konsolidasi) dan namanya secara formal disingkat
57
menjadi Golkar berdasarkan keputusan Mandataris Ketua Umum Sekber Golkar
Sukowati No. 101/VII/Golkar/1971 tentang struktur organisasi dan Susunan
Personalia Dewan Pimpinan Golkar Pusat. Sebuah publikasi Golkar menyatakan
bahwa presiden Soeharto telah dimintai saran tentang reorganisasi itu melalui
Letjen Darjatmo yang kemudian menyampaikan petunjuk Soeharto kepada
Golkar. Hal ini berarti bahwa Soeharto juga ikut terlibat dalam proses itu
(Andreas Pandiangan, 1996: 32-33).
Pada tanggal 17 Juli 1971, struktur dan komposisi Golkar yang baru
terbentuk. Golkar terdiri dari sebuah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang
merupakan badan eksekutifnya. Tujuh belas orang, termasuk pejabat militer
jajaran atas, para teknokrat, cendekiawan pro pemerintah, dan ketua-ketua Kino,
menjadi anggota-anggota Dewan Pembina. Pada saat itu, Dewan Pembina secara
teoritis hanya menjadi penasehat, dan pengangkatan ketua-ketua Kino itu
mengidikasikan bahwa mereka digeser ke atas. Dewan Pimpinan Pusat terdiri dari
Mayjen Sukowati sebagai Ketua Umum, dan Kolonel Amir Murtono sebagai
Ketua. Setelah pengaruh ketua-ketua Kino dikurangi, kelompok Soeharto di dalam
dan di luar Hankam, terutama kelompok Moertopo, hampir mendominasi DPP
karena banyak dari mereka yang muncul dari Bapilu. Di bawah Moertopo,
terdapat enam anggota: Kolonel Moedjono, SH (Soksi); Martono (Kosgoro);
Kolonel Malikus Suparto(Kokarmendagri); Drs. Sumiskum (Bapilu), Cosmas
Batubara (Bapilu); dan david Napitupulu (Bapilu). Sekretaris Jenderal Brigjen
Sapardjo (Bapilu),
dibantu oleh tiga wakil : Moerdopo (Bapilu);
Kolonel
Sapardjo (Kokarmendagri), dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie, Bapilu).
Disamping jabatan-jabatan diatas, ada lima sekretaris bidang yang ditugaskan
diberbagai sektor (Leo Suryadinata, 1992: 50) .
Peranan Golkar yang penting setelah pemilihan umum 1971 pada bulan
Maret 1972 Golkar menyelenggarakan Rapat kerja (Raker) ke I yang selain
menetapkan pogram-program intern organisasi juga telah menggariskan konsepsi
dan langkah-langkah dalam menghadapi Sidang Umum MPR 1973 yang
merupakan batu ujiannya yang pertama setelah memperoleh legalisasi masyarakat.
Garis-garis perjuangan itu adalah : (1) dibidang ideologi, yakni memperkuat
58
kedudukan pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara; (2) dibidang politik,
yakni (a). menetapkan kehidupan demokrasi Pancasila; (b) mengembalikan fungsi
lembaga-lembaga tinggi negara sesuai dengnaan UUD 1945; (c) mendorong
pembaharuan struktur politik dengan menyederhanakan kepartaian dan kekuatan
sosial-politik; (d) mengubah pola orientasi ideologi menjadi orientasi program
berdasarkan fungsional dan professional; (e) turut menyempurnakan terus aparatur
negara untuk mencapai pemerintahan yang kuat dan bersih; (3) dibidang ekonomi,
yakni (a) membuang slogan-slogan dan menggantikannya dengan perbaikan
ekonomi dan pembangunan yang nyata; (b) membuka pintu bagi modal asing
yang bersifat melengkapi guna menumbuhkan kekuatan ekonomi;mendorong (c)
mengadakan kerjasama ekonomi dengan semua atas dasar saling menguntungkan;
(d) mendorong usaha-usaha swasta, terutama ekonomi lemah, untuk berkembang;
(4) di bidang kemasyarakatan, yakni (a) mengahapuskan fanatisme golongan,
ideologi, agama dan kesadaran nasional yang chauvinisme serta mengusahakan
hidup rukun diantara umat beragama dan penganut kepercayaan terhaap Tuhan
Yang Maha Esa; (b) mengarahkan pembaharuan sistem pendidikan yang
berorientasi pada pembangunan (c). memanfaatkan sumbangan positif unsurunsur kebudayaan baik dari daerah maupun dari luar negeri guna memupuk
kebudayaan nasional yang sehat; (5) dibidang Hankam, yakni mengukuhkan dwifungsi ABRI dalam mengemban tugasnya sebagai stabilisator dan dinamisator.
Peranan Golkar adalah untuk menghidupkan dan memumbuhkan kesatuan
profesionil melalui pembentukan wadah-wadah profesi atau yang bersifat
fungsional yang secara langsung akan menggarap masalah-masalah pembangunan
dan dipihak lain Golkar harus menjadi penyalur aspirasi kepentingan-kepentingan
golongan profesi dan golongan fungsionil untuk diperjuangkan dalam tataran
politik nasional. Jalan pikiran ini dianut sebagai dasar pengaturan kerja. Dengan
pembagian kerja dalam berbagai wadah-wadah yang baru, masing-msing dengan
tugasnya yang nyata, maka diharapkan partisipasi rakyat akan semakin meluas
dan meningkat dalam pembangunan bangsa dan negara (Ali Moertopo, 1974: 83) .
Golkar terdiri dari tiga komponen pening yaitu (1) ABRI; (2) Pegawai Negeri; (3)
59
orang-orang sipil yang bukan anggota ABRI maupun pegawai negeri (Leo
Suryadinata, 1992: 62).
PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Proses penyederhanaan partai politik
yang tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan di tingkat pusat
berlangsung selama tiga tahun yakni tahun 1970 sampai dengan tahun 1974.
Proses fusi partai itu sangat sulit bukan saja memadukan asas dan program tetapi
memadukan personalia pemimpinnya, hal itu merupakan salah satu faktor yang
menghambat proses fusi. Faktor lain yaitu keengganan, kelambanan dan
pertentangan diantara mereka sendiri (Kompas, 8 Januari 1973). Akhirnya karena
tekanan dari atas fusi berhasil dilaksanakan dan resmi menjadi PDI pada tanggal
10 Januari 1973. PDI yang mempunyai corak Nasionalis-Materialis merupakan
fusi dari lima partai yaitu : PNI (Partai Nasional Indonesia), Partai Katholik, IPKI
(Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Partai Murba dan Parkindo (Partai
Kristen Indonesia). Dalam Konferensi Pers yang dihadiri seluruh pimpinan partai,
Drs. Beng Mang Reng Say yang memimpin Konferensi Pers itu menyatakan
bahwa fusi partai yang dideklarasikan itu merupakan hasil klimaks dari proses
penyederhanaan yang telah dijalani oleh kelima partai politik selama tiga tahun.
Pada awal deklarasi dicantumkan bahwa pembentukan PDI itu adalah dalam
rangka pembaharuan struktur dan kehidupan politik menuju kearah sistem
kepartaian yang terbuka untuk semua warga negara tanpa pebedaan suku,
keturunan dan agama. Hal ini sesuai dengan pasal-pasal Ketentuan Pokok
Kelompok Demokrasi Pembangunan dan sesuai dengan TAP. MPRS No. XXII
/MPRS /1966. Deklarasi pembentukan PDI memuat empat diktum pokok
(Kompas, 12 Januari 1973) :
a. Memfusikan diri dalam satu kelompok wadah kegiatan politik yang
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
b. Mengubah nama kelompok Demokrasi pembangunan menjadi Partai
Demokrasi Pembangunan.
c. Membentuk tim untuk menyusun rencana Anggaran Dasar, struktur
organisasi dan prosedur yang diperlukan dalam hubungan dengan
pelaksanaan fusi tersebut.
60
d. Penyelesaian hal-hal kerumah tanggaan masing-masing partai dalam
rangka fusi akan diatur sebaik-baiknya oleh setiap partai yang
bersangkutan sesuai dengan norma organisasasi dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Mengenai perubahan nama yang tadinya kelompok Demokrasi
Pembangunan diganti menjadi Partai Demokrasi Indonesia tidak ada hambatan.
Menurut MH. Isnaeni pemilihan nama itu memberikan kualifikasi identitas serta
corak dari partai tersebut bukan Demokrasi Liberal atau Demokrasi Sentral
melainkan Demokrasi Indonesia (Kompas, 10 januari 973). Menurut Anggaran
Dasarnya, PDI adalah partai yang berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia,
kebangsaan Indonesia dan berkeadilan sosial yang mencoba membangun citranya
sebagai partai rakyat kecil (Prisma, No 12 tahun 1981).
Pada tanggal 16 Januari 1973 Disusun pimpinan inti PDI yang terdiri
dari 25 anggota Majelis Pimpinan Pusat, 11 Dewan Pimpinan Pusat yang terdiri
dari 1 orang ketua umum dan 5 ketua serta 4 Sekjen dikoordinir oleh Sekjen
koordnator. Dalam MPP, tiap partai yang berfusi mendapat tempat untuk 5 orang
anggota, sehingga seluruh anggota MPP berjumlah 25 orang. Pimpunan MPP
dipegang sekaligus oleh Pimpinan Dewan Pimpinan Pusat dan seluruh anggota
inti mengirimkan instruksi untuk membentuk wilayah dan cabang PDI didaerah.
Dengan adanya peleburan partai otomatis anggota dari kelima partai-partai yang
berfusi belum resmi bubar dengan tebentuknya PDI, tetapi tinggal mengatur
proses pembubarannya saja (Kompas, 16 Januari 1973).
Susunan lengkap Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia sebagai
berikut :
I. Majelis Pimpinan Pusat terdiri dari 25 orang yaitu : Achmad
Sukarmdidjaja, Dr. HMNM. Hasjim Ning, Andi Parenrengi Tanri,
Mustafa Soepangat, WA. Valik, Drs. Ben Mang Reng Say, RG. Duriat,
Palausuka, FS. Wignyosumarsono, Drs. MB. Somosir, Alexander
Wenas, JCT. Simorangkir SH, Sabam Sirait, JHD. Tahamata, Drs. TAM.
Simatupang, Sugiarto Murbantoko SH, John B. Andreas, Drs. Zakaria
61
Raib, Djon Pakan, Muhidin Nasution, Mh. Isnaeni, Prof. Sunawar
Sukowati SH, Abdul Madjid, Drs. Hardjanto, Drs. Gowi.
II. Dewan Pimpinan Pusat
Ketua Umum
: Mh. Isnaeni
Ketua
: Achmad Sukarmadidjaja, Drs. Beng
Mang Reng Say, Alexander Wenas,
Sugiarto Murbantoko, Prof.
Sunawar Sukowati, SH.
Sekretaris Jendral Koordinat
: Sabam Sirait
Sekretaris Jendral
: WA. Chalik, FS.Wignyosumarsono,
Djon Pakan, Abdul Madjid.
Secara umum fusi partai politik membawa sejumlah konsekuensi buruk
bagi partai politik. Pertama, posisi partai politik begitu tergatung pada tendensi
politik nasional yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi
menjadikan partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya dihadapan tata
politik nasional yang ada (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 88). Meskipun bagi
kalangan partai politik, restrukturisasi politik dengan cara fusi dianggap
melemahkan posisi partai, karena dengan menghimpun partai yang berbda
kedalam suatu wadah akan timbul perpecahan didalam partai baru (Liddle, 1992:
36). Namun demikian dorongan fusi justru disambut baik oleh kalangan Islam
karena dianggap baik dalam menyatukan barisan. Semangat ini tercermin dari
awal pergantian nama Kelompok Persatuan Pembangunan menjadi Partai
Persatuan Pembangunan. Pergantian ini disambut baik oleh umat partai Islam,
karena hakekat persatuan meningkatkan khidmat umat Islam sendiri. Apa yang
dipersatukan hanya gerak dan langkah partai serta pelayanan keluar dari partai
Islam yang ada di Indonesia (Kompas, 4 Januari 1973).
Pada tanggal 6 Desember 1974 pemerintah menyampaikan Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang partai politik dan Golongan Karya kepada DPR.
Rancangan Undang-undang ini cukup penting mengingat bahwa peleburan partaipartai politik secara besar-besaran adalah untuk pertama kalinya di dalam sejarah
62
kepartaian di Indonesia, tidak terkecuali bagi partai-partai Islam meskipun aspirasi
Islam menjadi jiwa dari setiap partai. Melihat sejarahnya maka partai-partai
seperti Masyumi adalah partai yang dianggap pelopor dalam gerakan modern
Islam di Indonesia. Sedangkan NU adalah reaksi lain di dalam Islam terhadap
gerakan modernis ini. Di dalam sejarahnya misalnya tidak pernah ada masa
dimana keduanya mempunyai aspirasi politik yang sama. Sedangkan Masyumi
yang kemudian dihidupkan kembali dengan nama Parmusi adalah partai Islam
yang tidak popular dimata pemerintah dan dibubarkan oleh Soekarno. Ini
sebenarnya menunjukkan bahwa didalam tubuh partai-partai yang dileburkan jadi
satu dengan yang lain sukar untuk dijadikan satu begitu saja (Prisma, No. 9 tahun
1981)
Kesulitan serupa terjadi pada peleburan di dalam kelompok Demokrasi
Pembangunan. Di sana dicampur baur semua unsur non-Islam, dari yang
Nasionalis, Kristen, Marxis dan Sosialis. Dalam hubungan itu sejak semula telah
terjadi pertikaian pendapat yang sengit sejauh menyangkut identitas. Pembahasan
apakah Islam, Nasionalisme yang bisa dipakai sebagai asas yang disatugariskan
dengan Pancasila dan UUD 1945 atau tidak, memakan waktu lebih dari tiga bulan
untuk akhirnya disetujui. Partai-partai tersebut berusaha sejauh mungkin agar asas
yang menunjuk identitasnya tidak hilang begitu saja. Adanya perombakan ini di
pelihara melalui berbagai cara pengendalian. Salah satu diantaranya melalui
mekanisme recall, dengan mana pemimpin partai dapat mengenakan tindakan
disipliner terhadap para anggotanya dari Parlemen atas kehendak pemerintah
(Mochtar Mas‟oed, 1989: 64). Dengan adanya usaha ini pemerintah berharap agar
didalam tubuh partai tidak terdapat benih radikalisme yang bisa menobarkan
konflik yang pada akhirnya akan mengganggu program pemerintah, stabilitas
politik dan pembangunan ekonomi. Usaha pemerintah ini juga diperkuat dengan
UU. No. 3 tahun 1975, yang berharap agar partai politik dan Golongan Karya
benar-benar menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas
politik serta percepatan pembangunan (Amir Mahmud, 1982: 214-215).
63
B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977
Pembaharuan kehidupan politik masa Orde Baru di Indonesia
memberikan dampak yang nyata bagi partai-partai politik diantaranya:
a. Partai dan Golkar tidak pernah bisa menjadi oganisasi politik yang
mandiri. Hal ini tercermin pada pemilihan pemimpin partai politik
yang ditentukan dari seberapa besar kemauan dan tanggapan politik
pemimpin partai tersebut untuk lebih patuh dan taat pada gagasan
pemerintah tanpa harus mengkritisi gagasan dan program-program
pemerintah. Apabila pemerintah menghadapi pemimpin partai yang
berhaluan keras, kritis, maka ada kecenderungan pemerintah ikut
campur dalam urusan internal partai khususnya pada masa-masa
pergantian pemimpin baik dalam musyawarah atau dalam muktamar.
b. Intervensi negara yang mengatasnamakan pembinaan politik
berdampak pada munculnya para politisi yang memiliki cara
pandang yang sama dengan pemerintah Orde Lama.
c. Pengendalian yang intens melalui pembinaan politik dari kalangan
militer, sehingga cara pandang dan pendekatan yang dipakai bersifat
militer pula (Arif Yulianto, 2002: 217).
Penciptaan jarak antara partai politik dan birokrasi menunjukkan
terututupnya kesempatan bagi politisi yang berasal dari partai agar duduk atau
menempati posisi dalam birokrasi pemerintahan, khususnya posisi sebagai
menteri yang merupakan elit birokrasi. Posisi yang dapat diraih kalangan partai di
DPR semakin kecil, sementara jumlah perolehan kursi fraksi pemerintah semakin
meningkat. Fusi partai yang terjadi pada tahun 1973 membawa dampak yang
cukup besar bagi pertumbuhan partai politik. Penggabungan sembilan partai
menjadi dua partai “baru” sebenarnya lebih didorong oleh faktor luar, dimana
adanya desakan pemerintah dan perubahan politik nasional. Kenyataan ini
memberi dampak pada rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada.
PPP yang terdiri dari keempat unsur partai Islam (NU, Parmusi, Perti, PSII)
menunjukkan bahwa persepsi agama dan pandangan politik tidak selalu sama.
Begitu juga dengan PDI yang bercirikan nasionalis mempunyai perbedaan-
64
perbedaan yang tajam sehingga sejak bergabungnya kelima partai (PNI, IPKI,
Parkindo, Partai Katholik, Partai Murba) sudah memendam benih-benih konflik
(Suzanne Keller dalam Syamsuddin Haris, 1991: 63).
Posisi yang kurang menguntungkan dirasakan oleh kalangan partai.
Akibatnya, sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “akomodatif” dalam
perilaku politiknya. Adapula sebagian yang lain bersikap “ radikal” dalam upaya
mempertahankan ideologi. Politisi yang bersikap radikal pada umumnya
tersingkir dari panggung politik. Berdasarkan kasus konflik dalam tubuh PDI dan
PPP terjadi tarik-menarik dan benturan antara kepemimpinan partai yang
cenderung radikal dan akomodatif. Sikap politisi yang akomodatif dapat bertahan
lama, tapi tidak berarti mereka mampu mengatasi kecenderungan politik yang
berlangsung. Hal ini disebabkan oleh tiga hal diantaranya:
a. Politisi partai memang tidak terlibat dalam proses penataan politik.
Kehadiran partai secara formal diakui, tetapi tidak menjadi bagian
dalam struktur politik. Hal ini dapat dilihat pada pembuatan UU.
b. Ketidakpastian arah pembangunan sistem kepartaian. Partai politik
dilema oleh aturan UU yang berlaku yang membatasi ruang gerak
partai dan satu sisi partai dihimbau dan diminta lebih mandiri dan
diminta lebih madiri dan juga berperan aktif dalam pembangunan.
Partai formal diakui sejajar dengan Golkar, tetapi tidak mempunyai
hak yang sama dengan birokrasi.
c. Tingkat kepekaan elit partai yang rendah terhadap arah perubahan
poltik yang terjadi. Hal ini bersumber dari berkurangnya kalangan
intelektual yang menjadi politisi partai.
Adanya restrukturisasi politik membawa berbagai masalah internal
partai. Konflik partai politik terjadi karena fusi yang dilakukan belum tuntas dan
matang serta adanya perbedaan kepentingan dan ideologis. Pada umumnya
konflik internal PPP dan PDI terjadi akibat persoalan ideologis, kelangkaan posisi
dan sumber kekusaan dalam kepengurusan partai politik serta alienasi politik.
Perbedaan yang terjadi dalam tubuh PDI dan PPP pada hakekatnya menjadi
bagian tak terpisahkan dari sifat fusi. Perbedaan yang ada telah menjadi ciri
65
identitas setiap berkas partai yang tetap ada walaupun dilakukan fusi antara unsurunsur tersebut. Hal ini akan menimbulkan perbedaan cara pandang dan cara
menilai arah penataan politik yang berlangsung maupun hakekat pelaksanaan
kekuasaan pemerintah Orde Baru (Syamsuddin Haris, 1991: 96).
Pasca fusi keadaan PDI tidak jauh berbeda dengan PPP. Pada awal
pembentukan sudah terjadi konflik antar unsur, dimana terjadi pembentukan DPD
PDI Jakarta oleh eks. PNI, IPKI, Murba tanpa mengikutsertakan eks Partai
Katolik dan eks Parkindo. Dalam DPD PDI juga terjadi konflik pada saat
pembentukan Badan Pembina MPR 1973. Isnaeni dan Sunawar (dari eks PNI)
sebagai ketua DPP PDI hasil konggres XII di Semarang, tidak mengikutsertakan
IPKI dan Murba (Jurnal Ilmu Politik No. 13, 1993: 39 ). Tugas pokok PDI adalah
memperjuangkan nasionalisme, demokrasi dan kerakyatan demi tegaknya
Pancasila dan UUD 1945 serta pembangunan nasional yang berkeadilan sosial.
Dalam pelaksanaanya, tujuan-tujuan yang sering diperjuangkan dengan ambisi
kekuasaan yang berlebihan sehingga melunturkan nilai-nilai pengabdian yang
diperjuangkan dan diamalkan. Namun demikian, ada pula berbagai perbedaan atau
kekacauan orientasi dalam memperjuangkan tujuan PDI sehingga menimbulkan
pertentangan yang sering sulit untuk dihindari. Fusi partai ini telah mengaburkan
basis legitimasi identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Implikasi
politik pasca fusi menimbulkan pola konflik baru yaitu terjadinya perubahan sifat
konflik dari antar partai sebelum fusi menjadi konflik antar unsur partai, terutama
antar Partai katolik, Parkindo, IPKI, Murba versus PNI. Selain konflik diatas
terjadi konflik baru yaitu terjadinya konflik anta elite PNI yang bermula dari
keinginan PNI mendominasi kepanitiaan konggres, sebagaimana disepakati pada
Munas PNI tanggal 2-3 Februari 1974. Sunawar Sukowati dan Isnaeni dicalonkan
sebagai ketua umum DPP dan ketua umum MPP (Kacung Marijan, 1993: 30)
Bagi PDI adanya fusi partai juga membawa sejumlah konsekuensi.
Konsekuessi pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh
PDI. Konflik intern disebabkan oleh dua hal yaitu : persaingan antar unsur dan
antar individu, justru konflik antar individu yang dilandasi kepentingan pribadilah
yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Konsekuensi kedua, hilangnya
66
identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda
diantara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya (Arif
Zulkifli, 1996: 58). Faktor-faktor yang selama ini mengikat partai dengan massa
pendukungnya, menjadi terputus. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan partai
sukar diharapkan berorientasi kebawah, sebaliknya lebih tergantung ke atas. Hal
ini menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan. Saling berebut kursi sambil
mendekatkan diri kepada pihak penguasa adalah konsekuansi logis dari rasa tidak
perlunya pertanggungjawaban kepada anggota atau massa pendukung, yang
memang tidak manfaatnya lagi. Faktor lain yang menjadi pemicu munculnya
konflik dihadapkan pada sejumlah persoalan yang vital seperti masalah identitas
pribadi partai dan kaderisasi (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 95). Dengan latar
belakang idiologi dan sejarah pembentukannya yang berbeda-beda, PDI sulit
untuk menentukan identias yang cocok. Dengan terjadinya fusi partai yang berarti
berakhirnya eksistensi dari partai-partai itu, maka hilanglah identitas masingmasing partai.
Secara yuridis formal, PDI sebagai hasil peleburan kelima partai telah
merumuskan identitas partainya. Sebagaimana tercantum dalam Anggaran
Dasarnya yaitu berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan
Indonesia dan berkeadilan sosial. Tetapi ini nampak belum cukup teruji
keampuhannya sebagai sumber legitimasi dan identitas partai, melalui mana PDI
dapat mengidentifikasikan dirinya terhadap massa pendukungnya (Manuel
Kaisepo, 1981). Usaha yang dilakukan PDI untuk lebih memperjelas identitas
partainya misalnya dengan mengangkat kembali atribut-atribut yang pernah
dipakai oleh PNI sebagai partai yang dominant dalam PDI. Dipakainya simbol
banteng, warna merah dan hitam, dan dimunculkan kembali tokoh Soekarno pada
saat kampanye pemilu, itu semua adalah usaha PDI untuk memperjelas identitas
dan untuk menarik massa pemilihnya (Arif Zulkifli, 1996: 68).
Deliar Noer dalam (Arif Yulianto, 2002) tipologi unsur PPP pasca fusi
1973 ada dua diantaranya : (a) Kelompok modernis terdiri dari Partai Muslim
Indonesia (Parmusi) dan PSII, (b) Kelompok tradisional yang terdiri dari NU dan
Perti. Adanya unsur-unsur tersebut fusi banyak menimbulkan konflik dalam tubuh
67
partai. PPP sering terjadi perbedaan pendapat antara partai kelompok modern dan
tradisional. Kelompok modern cenderung lebih pro pemerintah, sedangkan
kelompok tradisioanaldianggap radikal. Dalam rangka menunjukkan identitas
Islam, PPP menggunakan simbol lambang Ka‟bah sebagai tanda gambar PPP
dalam pemilu. Hal ini ditolak oleh pemerintah, campur tangan dalam ideologi
partai sering dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri/ pejabat militer. Unsur
utamanya adalah persoalan perombakan struktur ideologi, mentalitas dan perilaku
partai politik. Pertentangan kepentingan ideologi sering menjadi ancaman bagi
para aktivis partai politik (Arif Yulianto, 2002: 68). Di dalam menghadapi pemilu
1977 dalam tubuh PPP sangat kompak, kekompakan itu dapat dilihat dari
berhasilnya partai menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tahun
1975. Pada munas ini disepakati bahwa rasio perbandingan jatah kursi masingmasing unsur dalam PPP untuk pemilu 1977 didasarkan pada hasil nyata
perolehan kursi dalam pemilu 1971, yakni ketika masing-masing unsur masih
menjadi partai yang berdiri sendiri. Konsesus yang selanjutnya dikenal dengan
konsesus 1975 ini, juga menghimbau bahwa demi menjaga ukhuwah Islamiyah,
maka dalam pemilu 1977 nanti pihak yang sudah besar tidak perlu menuntut
tambahan kursi secara mutlak, namun hendaknya rela menyerahkan sekedar satu
atau dua kursi bagi pihak yang lebih kecil (Umaidi Radhi, 1984: 103).
Menjelang pemilu 1977 dalam tubuh PPP, khususnya dalam tubuh unsur
NU kelihatan kompak sekali, sehingga tidak mengherankan apabila banyak warga
(Islam) yang menitipkan suara politiknya kepada PPP. Dan tidak mengherankan
pula karena kekompakkannya yang pada akhirnya menghasilkan kegigihan PPP
dalam menghaapi pemilu 1977. (Syamsuddin Haris, 1991: 60). Kehadiran PDI
secara formal disepakati adanya fusi partai politik yaitu pada tanggal 10 Januari
1973 dengan ditandataganinya deklarasi pambentukan PDI. Selama itu pula sejak
terbentuknya PDI dalam perjalan politiknya selalu dihadapkan pada berbagai
masalah. Selalu ada alasan untuk berbeda pendapat antar kelompok di dalamnya
dan mengembangkannya sebagai sarana untuk saling pukul, saling memojokkan
dan mengucilkan. Kegagalan PDI untuk membangun budaya organisasi tingkat
nasional begitu transparan di mata umum sehingga bagi warga negara yang sudah
68
dewasa pemandangan yang disuguhkan PDI sangat merisaukan. PDI bisa
dikategorikan gagal melakukan adaptasi terhadap situasi yang telah berubah.
Kegagalan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal ini kemudian
ini kemudian dimanifestasikan dalam bentuk konflik-konflik internal dalam tubuh
PDI (Riswandha Imawan, 1997: 3).
Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan
dengan partai-partai politik yang sudah mempunyai tradisi dan mekanismenya,
tetapi karena merupakan suatu penglompokan yang baru Golkar dapat tumbuh
dengan pesat. Dengan menjadi jelasnya kehidupan politik selama proses
penyederhanaan partai-partai politik itu semakin jelas peranan dan tempat Golkar.
Rakyat di daerah-daerah pedesaan tidak terikat secara ketat pada organisasiorganisasi fungsionil dan profesi yang pendiriannya diprakarsai oleh Golkar tetapi
tidak mempunyai ikatan formil dengan Golkar. Hal ini sesuai dengan cita-cita,
disatu pihak untuk membuat partai-partai dan oganisasi politik menjadi partai dan
organsasi kader dan dipihak lain untuk menumbuhkan kelompok-kelompok
profesi dan fungsionil yang akan menjadi tulang punggung pembangunan (Ali
Moertopo, 1982).
C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan suara pemilu 1977
Bagi Partai Yang Berfusi
1. Kampanye Pemilu 1977
Persiapan pemilu 1977 dimulai tahun 1975, pemerintah mengajukan ke
DPR UU organisasi partai politik dan tata cara penyelenggaraan pemilu. Tujuan
utama kedua UU tersebut adalah membatasi kemampuan partai politik untuk
bersaing dengan golkar. Pembatasan gerak partai diantaranya mencegah pegawai
negeri sipil bergabung dengan partai kecuali Golkar, membatasi pilihan asas
ideologi partai pada UUD 1945 dan Pancasila, sehingga kedua partai tidak bisa
dibedakan dengan Golkar, khususnya PPP. UU pemilu dirancang dalam rangka
mempertahankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971 (Liddle, 1992: 40).
Tahun 1976, PPP mengeluarkan maklumat politik tentang dasar-dasar pendirian
politik dan pembangunan menyangkut asas negara hukum, kedudukan partai
69
politik, penyelenggaraan pemilu, kesejahteraan rakyat, kerjasama internasional,
politik Hankam, pola pembangunan dan peranan agama (Saifuddin Zuhri, 1981:
70).
Isu tentang simbol partai dan Golkar mulai muncul menjelang pemilu
1977. PDI diharuskan mengubah rancangan aslinya dengan perisai yang
mencerminkan salah satu gambar pancasila yang dapat memperkuat identifikasi
partai dengan seekor banteng yang menjadi simbol PNI lama. Pertentangan juga
terjadi antara PPP dan Amir Machmud sebagai ketua LPU tentang simbol Ka‟bah
sebagai symbol PPP. Penolakan simbol PPP oleh
Amir Machmud ditujukan
untuk mengaburkan pengakuan pemilih akan sifat Islamis PPP. Pertentangan ini
akhirnya dimenangkan oleh PPP, pihak LPU menyetujui simbol Ka‟bah tersebut
(Liddle, 1992: 41)
Kampanye
pemilu
dilakukan
oleh
Organisasi
Peserta
Pemilu
berlangsung selama enam puluh hari mulai 24 Februari-24 April 1977 (Sinar
Harapan, 23 April 1977). Minggu terakhir sebelum tanggal pemungutan suara 2
Mei direncanakan sebagai “minggu tenang”, saat ketegangan yang timbul selama
kampanye mereda dan kesempatan bagi para pemilih untuk mempertimbangkan
kembali pilihan mereka (Liddle,1992: 41). Semua partai (PDI, PPP, Golkar)
merupakan partner agar kampanye berjalan baik dan terlaksana kompetisi yang
sehat. Kontestan pemilu diberi kebebasan penuh untuk menilai pelaksaan program
pembangunan. Tidak diberinya kesempatan untuk mempersoalkan pembangunan
dengan segala aspeknya, kontestan pemilu cenderung untuk mencari-cari dan
mengajukan program yang kurang riil atau isu-isu yang saling menjatuhkan,
seperti agama, kafir, Orde Baru (Kompas, 9 April 1977).
Selama masa kampanye ketiga kontestan diberi hak yang sama untuk
memanfaatkan semua media komunikasi berupa pertemuan-pertemuan, rapat
umum, ceramah, diskusi, film, slide, kaset maupun fasilitas RRI dan TVRI yang
masing-masing diatur menurut peraturan tersendiri. Melalui media massa tersebut
ketiga kontestan dapat menampaikan program masing-masing dan mengajak calon
pemilih untuk mencoblos tanda gambar PPP (nomor 1), Golkar (nomor 2) dan
PDI (nomor 3) pada tanggal 2 Mei 1977 (Umaidi Radi, 1984: 141).
70
Kampanye PDI dalam pemilu 1977 lebih ditekankan pada persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Perjuangan PDI tidak lepas dari cita-cita bangsa
Indonesia yang berusaha membebaskan dirinya dari kemiskinan, tekanan dan
kebodohan yang menyelimuti hidup bangsa Indonesia (Merdeka, 19 April 1977).
PDI tampil dengan membawa tema “Mengamalkan Pancasila Melalui
Pembangunan Nasional” yang disebutkan bahwa PDI adalah sarana penegak
Demokrasi Pancasila, pemersatu rakyat dan sarana perjuangan rakyat. Program
perjuangan berisi tentang program pembangunan nasional seperti pemerataan
lapangan kerja, kesempatan usaha, pembangunan pertanian dan pedesaan serta
kesempatan usaha bagi rakyat (Rusli Karim, 1983: 54).
Keanggotaan PDI terbuka bagi segenap warga negara RI, tanpa
membedakan suku, keturunan, kedudukan atau agama. PDI merupakan sarana dan
penegak Demokrasi Pancasila sehingga PDI mengemban tugas luhur untuk
mempertahankan, mengawali serta mengamankan dan mengamalkan Pancasila
dan UU 1945. Tujuan PDI adalah mewujudkan mayarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Tekad PDI adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, keadilan sosial sebagai arah harus ditegakkan dan keadilan sebagai
landasan harus diletakkan dan dimantapkan. (Suara Merdeka, 7 Maret 1977).
Partai Demokrasi Indonesia yang berwatak serta bercirikan Demokrasi Indonesia,
kebangsaan Indonesia dan berkedilan sosial mencoba membangun citranya
sebagai partai rakyat kecil (Daniel Dhakidae, 1981: 32).
Kampanye PDI di Jakarta Utara disemarakkan dengan melakukan pawai
keliling becak, ojek sejauh 10 KM. Pawai tersebut dimulai di Lapangan Mini Yos
Sudarso sampai Lapangan Bola Kramat Jaya. Dalam orasinya, PDI menyatakan
perang terhadap koruptor, PDI menghendaki pejabat yang melakukan korupsi
disingkirkan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, dalam bidang pendidikan,
pabila PDI menang alam pemilu 1977, SPP akan dibebaskan. Slogan “Hiduphidup PDI” selalu mewarnai setiap kampanye PDI (Sinar Harapan, 5 Maret 1977).
Kampanye PPP dalam pemilu 1977 menekankan tentang makna tanda
gambar Ka‟bah dalam lambang PPP. Ka‟bah yang dua sisi sampingnya tegak
lurus dari atas kebawah menunjukkan bahwa PPP menghendaki sama rata orang-
71
orang yang ada diatas dan bawah, yaitu antara para pemimpin dan orang-orang
kecil. Kampanye yang diadakan di Lapangan Stasiun Senen Jakarta, ditekankan
pada makna dari pemilu sendiri, pemilu adalah untuk rakyat, bukan rakyat untuk
pemilu. Pemilu merupakan kewajiban mutlak untuk penduduk Indonesia belajar
berpolitik. Slogan PPP yang sering digunakan untuk menarik simpati umat Islam
adalah “Hidup-Hidup Umat Islam, Hidup Orde Baru!” dan “Cobloslah Tanda
Gambar Ka‟bahYang Jelas Islam!” (Kedaulatan Rakyat, 20 April 1977). Dalam
menghadapi pemilihan umum 1977, PPP sejak awal-awal kampanyenya sudah
menangkap isyu agama sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya.
Sasaran kampanye PPP adalah memusatkan diri pada para pemilih tradisional
yaitu umat Islam yang selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi
Islam (organisasi massa Islam) atau organisasi yang bernaung dibawah organisasi
pendukung PPP seperti, NU, PSII, Parmusi, dan Perti. Dalam kampanyenya
Partai Persatuan Pembangunan selalu mengemukakan bahwa Partai Persatuan
Pembangunan adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam. Dalam rangka
menggalang pemilih tradisional inilah Kyai Bisjri Syamsuri, Rois „Aam, Ketua
Umum Majelis Syuro Partai dan juga Rois „Aam Syuriah PBNU menjelang
pemilu 1977 menyampaikan seruannya :
“…wajib hukumnya bagi setiap peserta pemilihan umum 1977 dari
kalangan umat Islam pria maupun wanita, terutama warga Partai
Persatuan Pembangunan untuk turut menegakkan hukum dari agama
Allah dalam kehidupan bangsa kita, dengan jalan menusuk tanda
gambar Ka‟bah pada waktunya nanti” (Daniel Dhakidae, 1981: 36).
Pada pemilu 1977, PPP beruntung karena banyaknya tawaran
sukarelawan juru kampanye dari orang-orang di luar partai, seperti Nurcholis
Majid, Rhoma Irama dan lain-lain. PPP juga mendapat dukungan sukarelawan
dari kalangan pemuda dan Mahasiswa untuk menjadi saksi di TPS-TPS pada
waktu pelaksanaan pemungutan suara, terutama di kota-kota. Dengan organisasi
dan keuangan yang serba terbatas PPP memasuki masa kampanye dengan
memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada. Diluar dugaan ternyata hampir seluruh
72
kampanye yang diselenggarakan oleh PPP mendapat sambutan dan bantuan
spontan dari massa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
a. PPP dapat meyakinkan para pemilih tradisional kalangan umat
Islam. Pimpinan PPP terlihat kompak dalam menangani semua
permasalahan yang timbul. Hal ini memberikan harapan dan
keyakinan bagi umat Islam baik di dalam maupun di luar partai.
b. Berhasilnya para juru kampanye PPP meyakinkan bahwa PPP
sebagai pewaris dan penerus sah perjuangan partai-partai Islam
yang berfusi (NU, Parmusi, PSII dan Perti).
c. Adanya kecenderungan dikalangan Mahasiswa dan pemuda di
perkotaan untuk mengharapkan agar PPP sebagai kekuatan
alternatif yang dapat mengimbangi dominasi Golkar (Umaidi
Radi, 1984: 142).
PPP sebagai partai gabungan partai-partai Islam mempunyai keuntungan
besar dalam pemilu 1977, diantaranya:
a.
PPP tampil sebagai partai Islam, kekuatan Islam sebagai agama
dan cara hidup mampu menarik rakyat Indonesia yang mayoritas
Islam untuk masuk dalam PPP.
b.
PPP memperoleh sebagian struktur kader NU, satu-satunya
partai yang mampu menahan serangan Golkar pada tahun 1971.
Jaringan kepemimpinan NU dibangun oleh guru-guru agama
yang tidak menduduki jabatan pemerintahan dan karenanya
bebas dari kontrol Golkar.
c.
Fusi partai menghasilkan keberuntungan yang tidak sengaja,
karena menjadi lebih mudah menyatukan seluruh umat Islam
dibelakang PPP (Liddle, 1992: 66-67).
Golongan Karya sadar benar bahwa taruhan PPP dalam Islam bisa
menjadi senjata yang ampuh melawannya. Oleh karena itu, seruan tersebut dibalas
dengan semacam pembelaan diri misalnya dalam spanduk-spanduk yang
bertuliskan : “ Tidak benar bahwa orang yang masuk Golkar adalah kafir” Usaha
Golkar tidak lain adalah mementahkan identitas dan proses identifikasi massa
73
Islam PPP. Di pihak lain Golkar berusaha keras untuk mengidentikkan dirinya
dengan suatu partai yang terdiri dari manusia-manusia modern yang
mengusahakan modernisasi dan pembangunan Indonesia, dan hanya golongan itu
yang mengusahakan kedua tujuan tersebut. Melawan ideologis dan agama Golkar
tidak punya cara lain dari pada bersandar pada pembangunan dan modernisasi
(Daniel Dhakidae, 1981: 37).
Golkar dalam kampanye bertekad bulat untuk mempertahankan
Pancasila serta mengusahakan dengan segala daya dan upaya agar pengalaman
Pancasila menjiwai segala aspek kehidupan manusia dan bangsa Indonesia.
Apabila ada usaha merongrong Pancasila, maka Golkar akan tampil paling depan
untuk senantiasa mengamankan pancasila (Suara Merdeka, 3 Maret 1977). Di
dalam kampanyenya Golkar menyatakan selalu mengamalkan ajaran-ajaran Nabi
Muhammad, dibuktikan oleh Golkar dengan tetap mempertahankan Pancasila dan
UUD 1945 serta melaksanakan pembangunan yang merupakan amal sholeh dan
karya nyata yang hasilnya mau tidak mau harus diakui manfaatnya bagi
masyarakat Indonesia (Suara Karya, 14 Maret 1977).
Beberapa slogan Golkar yang dipakai dalam kampanye yang
dicantumkan dalam surat kabar atau spanduk:
“Pilih Golkar: Golkar adalah tempat dimana semua warga negara
dari suku manapun, dari keturunan apapun berkumpul untuk bahu
membahu memikirkan dan melaksanakan pembangunan bangsa
untuk seluruh Republik Indonesia” (Suara Karya, 3 Maret 1977).
Pada akhir kampanye, partai politik mengalami perdebatan sengit
tentang isu laporan tanda tangan saksi pada pemungutan suara. Menurut UU
Pemilu, formulir harus ditandatangani oleh saksi-saksi partai politik dan Golkar
setelah penghitungan suara dan pencatan suara (Liddle, 1992: 45). Pemilu 1977
berahir pada tanggal 24 april 1977, selama satu minggu dari tanggal 2 April 1977
sampai 1 Mei 1977 merupakan minggu tenang, dimana setiap OPP dilarang
melakukan kampanye pemilu berupa rapat-rapat, pawai, pesta umum, penempelan
poster, plakat, spanduk, tulisan-tulisan di tempat-tempat umum, serta dilarang
74
mengadakan segala macam dan bentuk pertunjukkan yang bersifat umum (Sinar
Harapan, 23 April 1977).
2. Hasil Pemilu 1977
Presiden Soeharto menyerukan seluruh warga negara yang berhak
memilih dan sudah terdaftar sebagai pemilih turut serta dalam pemilihan umum
pada tanggal 2 Mei 1977 dengan memberikan suaranya secara sadar serta bebas
tanpa paksaan dari siapapun. Pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal
2 Mei 1977 merupakan yang kedua kalinya selama masa Orde Baru. Hal ini
menunjukkan bahwa Orde Baru benar-benar ingin menegakkan sendi-sendi
demokrasi, sebagai pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Pemilu yang diselenggarakan ini merupakan suatu sarana untuk
membawakan perubahan kearah kemajuan bagi kehidupan rakyat dan negara.
Disamping itu dengan melaksanakan pemilu rakyat akan dapat menyalurkan
aspirasinya melalui wakil-wakilnya dan pemerintah yang dipercayainya dapat
memberikan kesejahteraan yang semakin meningkat, adil dan merata bagi seluruh
rakyat. Pemilu merupakan pelaksanaan hak asasi kehidupan bangsa dan negara
yang demokratis yang menginginkan pemerintahan negara dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat (Sinar Harapan, 2 Mei 1977)
Pemungutan suara dilaporkan tertib dan lancar. Jakarta dan sekitarnya
termasuk Tangerang dan Bekasi aman. Diwilayah Jawa dan Nusa Tenggara juga
tidak terdapat gangguan. Untuk mengamankan 3.198 TPS di wilayah Jakarta
Pusat dipersiapkan sekitar 6.400 Hansip. Mereka bertugas antara lain menjaga
keamanan areal TPS. Slogan “Mari Sukseskan Pemilu” selama bulan-bulan
sebelum pelaksanaan pemilu menunjukkan bahwa demi kemantapan Demokrasi
Pancasila, maka harus dijaga agar pemilu 1977 diselenggarakan dan diselesaikan
dengan sebersih-bersihnya. Kecurangan tindakan dan penyelewengan dalam
penyelenggaraan pemilu berari mengkorupsikan kepercayaan rakyat (Sinar
Harapan, 3 Mei 1977). Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam
menghadapi pelaksanaan pemilu ini. Oleh Kopkamtib telah dibentuk Forum
Kontak Komunikasi ditingkat pusat sampai daerah yang fungsinya untuk
75
memusyawarahkan segala sesuatu yang menyangkut pelaksaaan pemilu sehingga
percikan-percikan massa kampanye dapat diselesaikan dengan semangat
kekeluargaan.
Dalam segi penegakan hukum pada pemilu 1971 jelas sekali terlihat
perhatian yang besar dari pada kontestan untuk memberi bantuan hukum tehadap
anggota atau simpatisan mereka yang diajukan ke pengadilan. Pimpinan partai
politik pada waktu itu membentuk beberapa team yang dikirim ke beberapa
daerah untuk memberi bantuan hukum kepada anggota mereka yang dihadapkan
ke meja hijau, akan tetapi pemilu 1977 ini konsistensi penegakan hukum oleh
badan peradilan tidak begitu bersemarak. Dalam pemilu 1971 secara khusus
diinstruksikan
diadakan “Peradilan Kilat” untuk menangani perkara pemilu.
Tetapi pada pemilu 1977 sebagai pengganti “Peradilan Kilat” hanya dianjurkan
untuk memprioritaskan perkara-perkara yang menyangkut pelaksanaan pemilu
(Sinar harapan, 4 Mei 1977).
Pelaksanaan pemilu 1977 mengalami kemajuan dibandingkan tahun
1971, yaitu adanya peningkatan kesadaran rakyat dalam berpolitik. Pelaksanaan
dibeberapa TPS juga berjalan baik, PDI dalam pemilu mengalami kemajuan
tercermin dalam keberanian rakyat menggunakan hak pilihnya (Suara Karya, 3
Mei 1977). Sebanyak 63.495.479 orang menuju kotak suara memberikan
suaranya, dari jumlah yang berhak pilih sebanyak 70.110.007 orang, yang juga
berasal dari penduduk pada tahun 1977 sejumlah 128.808.106 orang. Partisipasi di
dalam pemilihan umum 1977 cukup tinggi, sebanyak 90,55 % yang memilih.
Dipihak lain jumlah mereka yang tidak memilih ternyata meningkat. Bilamana
pada pemilihan umum 1971 yang tidak memilih adalah 5 % maka pada pemilu
1977 yang tidak memilih meningkat menjadi 9,43 % (Daniel Dhakidae, 1981: 33).
Hasil sementara penghitungan suara di DKI Jakarta maupun di daerahdaerah yang disampaikan pada tanggal 2 Mei 1977 belum bisa dipakai sebagai
patokan kontesan mana yang unggul. Hasil sementara DKI ditunggu langsung dari
komputer pencatat diruang pola Balaikota. Hasil yang diperoleh dari LPU yang
berpusat di Jalan Matraman Jakarta telah mempersiapkan tiga pesawat TV untuk
bisa langsung dilihat oleh masyarakat. Sekretariat DPP Golkar menyediakan tidak
76
kurang dari tiga puluh buah pesawat atau nomor telepon untuk menerima laporanlaporan langsung hasil pemungutan suara dari kabupaten-kabupaten seluruh
Indonesia.
Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI menilai ada perkembangan demokrasi
dikota-kota besar hal tersebut tercermin pada hasil sementara pemilu 1977. Partai
politik berhasil meraih suara yang cukup banyak perkembangan demokrasi dikotakota besar lebih baik dari pada di pedesaan. Hal tersebut disebabkan berkat
adanya bantuan yang diberikan oleh generasi muda serta mahasiswa yang
bermukim dikota-kota besar maupun adanya partisipasi surat-surat kabar dalam
merangsang perkembangan tersebut.
Menanggapi apa yang berhasil dikumpulkan oleh PDI dalam pemilu
1977, walaupun merupakan hasil sementara ada beberapa faktor PDI belum dapat
secara baik terjun dalam pemilu 1977 hal ini disebabkan karena sempitnya waktu
persiapan yang tidak lebih dari setengah tahun merupakan faktor yang banyak
berpengaruh. Disamping itu terlalu banyak masalah intern organisasi yang harus
diselesaikan sehingga PDI terpaksa lebih banyak meluangkan waktunya untuk
mengatasi hal tersebut. Belum mampunya PDI mengumpulkan suara lebih banyak
dikarenakan adanya tekanan yang terlalu besar yang dialami oleh pemilh didesadesa (Sinar Harapan, 5 Mei 1977).
Menurut pimpinan PPP wilayah Jawa Tengah ada berbagai masalah
yang menimbulkan kekalahan PPP di Jawa tengah antara lain adanya pemilih
yang tidak didaftar atau walaupun didaftar tidak mendapatkan panggilan untuk
ikut mencoblos. Massa PPP adalah masyarakat dari golongan menengah dan
bawah. Sedikit sekali diantara mereka yang menjadi pegawai negeri. Oleh karena
itu menurut Sekretaris Wilayah Ismail Abdullah massanya tidak banyak yang
masuk Golkar. Jumlah suara yang diperoleh Golkar di Jawa Tengah memperoleh
kemajuan yang cukup lumayan. Hal ini disebabkan karena kota-kota besar di Jawa
tengah menjadi instansi maupun dinas sehingga menjadi pusat potensi Golkar.
Walaupun didaerah-aerah lain seperti Cilacap, Brebes, Banyumas, Pemalang,
Blora, Kudus, Pati, Boyolali, Klaten, Magelang, membutuhkan perjuangan yang
cukup berat. Sedangkan bagi PDI yang potensinya terletak pada eks-massa Partai
77
Nasional Indonesia (PNI). Tahun 1971 massa PNI di Jawa Tengah meliputi
jumlah 4.000.000 orang dan sebagian besar terdiri dari pegawai negeri, guru
maupun pamong pradja sehingga sebagian besar masuk Golkar. Dari beberapa
daerah pemilihan terdapat perubahan-perubahan angka dari yang pernah
diumumkan terdahulu. Hal itu disebabkan kesalahan atau kekeliruan dalam
penghitungan angka-angka oleh beberapa PPD Tingkat I yang dilaporkan kepada
PPI. Sedangkan hasil-hasil yang definitif diumumkan berdasarkan hasil-hasil
resmi sesuai yang diterima secara tertulis dari PPD (Sinar Harapan, 5 Mei 1977).
Ketua Umum DPP Golkar Amir Murtono menjelaskan sejak semula
DPP Golkar telah memperhitungkan 4 daerah yang dianggap rawan.
Pada
keempat daerah tersebut Golkar berusaha sekuat mungkin yaitu di daerah Aceh,
DKI Jakarta, Jatim dan Maluku. Untuk daerah Aceh dinilai bahwa wilayah
tersebut masyarakatnya masih fanatik Islam. Oleh karena itu apabila dalam datadata sementara hasil pemilu Golkar mengalami kekalahan dalam arti tidak
menyolok namun belum merupakan hasil akhir maka diakui bahwa tanda gambar
adalah faktor yang menentukan masyarakat didaerah tersebut masih menganggap
ada kaitanya antara pemilu dengan agama (Sinar Harapan, 4 Mei 1977).
Periode pasca pemilu merupakan masa kritik yang tajam terhadap
pemerintah atas sejumlah isu yang berkaitan dengan pemilihan umum. Ketika
hasil perolehan suara sementara mulai diterima, para pemimpin partai segera
membuat catatan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan
pemilu. Seperti laporan dari Jawa Timur disebutkan bahwa ada sekitar satu juta
suara yang dinyatakan hangus (Liddle, 1922: 45). Masalah berkurangnya sekitar
satu juta pemilih di Jawa Timur oleh Ketua Umum DPP Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Mintaredja SH. Menjelaskan bahwa berkurangnya satu juta
pemilih di Jawa Timur tidak hanya terdiri dari warga PPP tetapi juga para warga
kedua kontestan.
DPP-PPP telah mengirimkan team ke Jawa Timur untuk menyelidiki
kasus tersebut. Dalam rapat DPP-PPP telah disampaikan beberapa fakta-fakta
penyimpangan yang banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu diberbagai
daerah. Penyimpangan-penyimpangan ini terutama banyak terjadi di Jawa Timur.
78
Di daerah tersebut lebih dari satu juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya,
karena tidak menerima surat panggilan memilih (tidak menerima formulir C).
Sebagian dari mereka adalah warga Ka‟bah. Banyak pula perhitungan suara tidak
dilakukan di TPS tetapi dihitung di Balai Desa, dengan terlebih dahulu
mengangkat petinya kesana. Selain itu ada pula pemilih yang melakukan
penusukan lebih dari semestinya. Di Bangkalan, Madura, rata-rata 15 sampai
dengan 20 anggota PPP ditiap-tiap desa, tidak menerima formulir C. I Pasuruan
rata-rata lima orang tiap desa yang tidak menerima formulir C tersebut (Sinar
Harapan, 6 Mei 1977).
Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyo Sudarmo telah menginstruksikan
pengulangan penghitungan suara ditiap-tiap kecamatan. Untuk itu Gubernur juga
meminta ketiga kontestan untuk mengirimkan saksi-saksi mereka. Hasil
pertemuan dari Muspida dan partai politik atau Golkar telah didapat kata sepakat
untuk menentukan kerusakan-kerusakan yang dianggap sah atau tidak sah.
Berdasarkan laporan tersebut Tuban memegang rekor dalam jumlah surat suara
yang hangus yaitu 31,23 persen pemilih. Didaerah itu tercatat 463.224 sedang
surat suara yang sah berjumlah 318.554. Suara yang hilang 144,670 aau 31,23
persen. Diderah-daerah lain yang diatas 20 persen adalah Bangkalan, Sampang,
Sumenep, Pamekasan dan Situbondo masing-masing 25,86 persen, 24,5 persen,
24,3 persen, 20,22 persen. Kelima daerah tersebut dikenal dengan daerah yang
dimenangkan oleh PPP.
Lima daerah lainnya yang dimenangkan oleh PPP dan termasuk dalam
surat suara yang hangus adalah Bondowoso 19,86 persen, Kabupaten Probolinggo
18,46 persen, Kabupaten Pasuruan 15,69 persen, Kabupaten Gresik 15,43 persen
dan Kodya Pasuruan 15,37 persen. Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur yang
surat suaranya diatas angka rata-rata 16, 10 persen adalah Kabupaten Mediun
18,75 persen, Lumajang dan Jember masing-masing 17,12 persen, Banyuwangi
17,35 persen, Ponorogo 17,12 persen dan Kabupaten Mojokerto 16,13 persen,
prosentase terkecil adalah Kabupaten Bojonegoro yaitu 10,29 persen jumlah
tersebut dari 528.315 pemilih, surat suara yag sah 473.944 suara sedangkan yang
hangus 54.371 suara. Di Kotamadya Surabaya sendiri 11 persen surat suara
79
hangus yaitu dari jumlah 928.984 pemilih tidak ada satupun daerah daerah
pemilihan tingkat Kabupaten Jawa Timur yang mencapai dibawah 10 persen.
Angka-angka ini dibuat berdasarkan surat suara yang masuk dari tiap kabupaten
untuk DPR pusat (Sinar Harapan, 8 Mei 1977).
Pengumuman perolehan hasil suara disaksikan oleh pimpinan partai
politik dan Golkar, pimpinan DPR/MPR, ketua dan anggota Komisi II DPR,
beberapa Menteri Kabinet Pembangunan, Pimpinan Lembaga Pemerintahan dan
ABRI, para Gubernur seluruh Indonesia serta saksi dari pada ketiga kontestan.
Hasil dari perolehan suara diharapkan pihak-pihak kontestan tetap saling
pengertian dan menghormati hasil tersebut. Berikut Daftar Pembagian Kursi Hasil
kursi Pemilu Anggota DPR Tahun 1977:
80
Tabel 3.
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 di Indonesia
No.
Daerah
Pemilihan
Jumlah Suara Yang Diperoleh Tiap Organisasi
PPP
GOLKAR
PDI
Jumlah
Jumlah Kursi Yang Diperoleh Tiap
Organisasi
PPP
GOLKAR
PDI
1
D.I.Aceh
641.256
460.992
17.390
1.119.638
6
4
-
2
Sumut
706.289
2.112.550
359.937
3.178.776
4
12
2
3
Sumbar
460.024
942.752
14.825
1.417.601
5
9
-
4
Riau
270.374
504.724
21.922
797.020
2
4
-
5
Sumsel
713.310
833.804
126.437
1.673.551
4
5
1
6
Jambi
93.797
500.091
5.062
598.950
1
5
-
7
Bengkulu
59.676
208.684
4.627
272.987
1
3
-
8
Lampung
525.527
1.055.525
125.755
1.706.807
2
5
1
9
Jabar
3.413.310
7.825.728
620.462 11.959.500
14
33
3
10
Jakarta
1.085.069
980.452
2.496.426
5
5
2
11
Jateng
3.082.757
5.735.376
2.080.580 10.898.716
15
27
10
12
D.I.Y
304.510
741.611
1.310.792
1
4
1
13
Jatim
5.230.707
8.538.502
741.276 14.510.485
21
35
3
14
Kalbar
218.474
689.376
93.028
1.000.878
1
5
1
15
Kalteng
106.361
278.916
13.999
399.272
2
4
-
16
Kalsel
417.590
419.095
8.554
845.239
5
5
-
17
Kaltim
162.621
261.520
34.958
459.099
2
3
1
18
Sulut
165.026
682.484
88.937
936.447
1
4
1
19
Sultengah
102.552
421.749
7.481
531.782
1
3
-
20
Sulteng
12.791
393.521
3.161
409.473
4
-
21
Sulsel
391.420
2.379.834
22.484
2.793.738
20
-
22
Bali
19.318
1.002.143
152.475
1.173.936
7
1
23
NTB
398.234
624.900
63.842
1.086.976
4
-
24
NTT
25.451
1.182.116
101.816
1.309.383
11
1
25
Maluku
115.694
436.910
55.403
608.007
3
-
26
Irian Jaya
21.353
436.742
44.770
502.865
8
1
232
29
Jumlah
18.743.491 39.650.097
Sumber: Suara Karya, 9 Juni 1977 .
430.905
264.671
5.504.757 63.998.344
3
2
1
99
81
Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 turun. Golkar memperoleh
suara 62, 11 %, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding
pemilu 1971. Golkar mengalami kemrosotan dalam mengumpulkan kursi
sedangkan dibeberapa daerah mengalami kenaikan. Di daerah pemilihan di Aceh,
Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan dan Irian Jaya, mengalami pengurangan jumlah kursi.
Sedangkan di Sulawesi Selatan dan Maluku Golkar mengalami kenaikan jumlah
kursi (Sinar Harapan, 9 Juni 1977). Pada pemilu 1977 suara PPP naik diberbagai
daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan
Golkar. Perbandingan suara PPP dan Golkar di Daerah Aceh adalah 641.256 :
460.992. Perolehan kursi PPP di Daerah Istimewa Aceh menjadi 6 kursi
sedangkan Golkar turun menjadi 4 kursi. Kemenangan PPP di Daerah Istimewa
Aceh sudah dapat diduga karena penduduknya yang mayoritas beragama Islam
banyak memilih PPP. Sedangkan kemenangan PPP di DKI Jakarta mempunyai
perbandingan suara 1.085.069 (PPP) : 980.452 (Golkar). PPP menang pada
masyarakat pinggiran kota Jakarta yang juga merupakan masyarakat Islam.
Sejak pemilu 1955, DKI Jakarta merupakan daerah basis partai-partai
Islam yang memperoleh 45 % suara. Kekalahan Golkar di Jakarta dikarenakan
tidak maksimalnya penggunaan metode-metode represif dalam kampanye yang
bisa dilakukan di daerah. Hal ini karena faktor penduduk kota Jakarta sendiri yang
terdiri dari berbagai elemen masyarakat mempunyai kemampuan dalam menilai
dan memilih partai politik (Liddle, 1992: 47). Sedangkan menurut Riswandha
Imawan kekalahan Golkar di Jakarta disebabkan kurang jelinya Golkar dalam
menangkap aspirasi masyarakat ibukota. Sedangkan di Jawa Timur meskipun
masyarakatnya juga Islam tetapi Golkar menyadari bahwa daerah tersebut
merupakan yang terbanyak jumlah pemilihnya sehingga penggarapannya
diintensifkan dalam arti konsolidasi organisasi dan mekanisme organisasi benarbenar dimantapkan dan ternyata sudah tergarap sampai kebawah, sehingga semua
berjalan dengan baik, di Jawa Timur Golkar mengalami kenaikan dari 56 persen
menjadi 61 persen dibandingkan dengan dengan pemilu 1971 (Sinar Harapan, 4
Mei 1977 ).
82
Secara nasional PPP berhasil meraih suara meraih PPP berhasil meraih
suara 18.743.491 suara dengan perolehan 99 kursi atau bertambah 5 kursi
dibanding gabungan kursi 4 partai Islam (NU, Perti, PSII, dan Parmusi) pada
perolehan pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak daerah yang
menjadi basis-basis eks Masyumi, hal ini seiring tampilnya tokoh Masyumi yang
mendukung PPP, tetapi kenaikan PPP dibasis-basis Masyumi diikuti pula oleh
penurunan suara dan kursi basis-basis NU, sehingga kenaikan suara PPP secara
nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera,
Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan. Tetapi kehilangan 12 kursi di Jateng,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional hanya bertambah
5 kursi.
Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan
kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yaitu
hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi dibanding gabungan suara
PNI, Parkindo, dan Partai Katolik. (http://www.kpu.go.id.//sejarah/pemilu 1977
diakses tanggal 27 April 2010). PDI memperoleh tambahan kursi didaerah-daerah
Jawa Barat, Lampung dan Irian Jaya sedangkan di Jawa Tengah, NTT dan
Maluku mengalami pengurangan (Sinar Harapan, 9 Juni 1977 ).
83
Tabel 4.
Pergeseran Suara Propinsi-Propinsi, 1971-1977 (Dalam Persen )
Golkar
Propinsi
PPP
PDI
1971
1977
Perubahan
1971
1977
Perubahan
1971
1977
Perubahan
Aceh
49,7
41,2
-8,5
48,9
57,3
+8,4
1,4
1,5
+0,1
Sumatera Utara
70,1
66,4
-3,7
15,8
22,2
+6,4
14,0
11,3
-2,7
Sumatera Barat
63,2
66,5
+3,3
34,5
32,4
-2,1
2,2
1,0
-1,2
Riau
76,7
63,3
-13,4
20,3
33,9
+13,6
2,7
2,7
-
Sumatera Selatan
62,6
49,8
-12,8
30,0
42,6
+12,6
7,4
7,5
-0,1
Jambi
88,2
83,5
-4,7
10,4
15,7
+5,3
1,4
0,8
-0,6
Bengkulu
82,7
76,5
-6,2
15,4
21,8
+6,4
1,9
1,7
-0,2
Lampung
71,8
61,8
-10,0
21,6
30,8
+9,2
6,0
7,4
+1,4
Jawa Barat
76,1
66,3
-9,8
20,3
28,5
+8,2
3,1
5,2
+2,1
Jakarta
46,7
39,3
-7,4
34,8
43,5
+8,7
18,5
17,3
-1,2
Jawa Tengah
50,3
52,6
+2,3
28,7
28,3
+0,4
20,9
19,1
-1,8
Yogyakarta
63,4
56,6
-6,8
21,4
23,2
+1,8
15,1
20,2
+5,1
Jawa Tmur
54,9
58,8
+3,9
39,2
36,0
-3,2
5,8
5,1
-0,7
Kalimantan Barat
66,7
68,9
+2,2
18,7
21,8
+3,1
14,6
9,3
-5,3
Kalimantan Tengah
81,4
69,8
-11,6
16,0
26,6
+10,6
5,0
3,5
-1,5
Kalimantan Selatan
64,8
49,6
-15,2
33,9
49,4
+15,5
1,2
1,0
-0,2
Kalimantan Timur
54,8
57,0
+2,2
30,1
35,4
+5,3
15,2
7,6
-7,6
Sulawesi Utara
60,7
72,8
+12,1
22,9
17,6
-5,3
16,4
9,5
-6,9
Sulawesi Tengah
76,8
79,3
-2,5
19,0
19,3
+0,3
4,2
1,4
-2,0
Sulawesi Tenggara
92,4
96,1
+3,7
5,8
3,1
-2,7
1,9
0,8
-1,1
Sulawesi Selatan
78,4
85,2
+6,8
18,8
14,0
-4,8
2,8
0,8
-2,0
Bali
82,8
85,4
+2,6
2,3
1,6
-0,7
14,9
13,0
-1,9
NTB
69,8
57,5
-12,3
24,7
36,6
+11,9
5,4
5,9
+0,5
NTT
61,5
90,3
+28,8
3,4
1,9
-1,5
29,2
7,8
-21,4
Maluku
47,7
71,8
+24,1
25,4
19,0
-6,4
27,7
9,1
-18,6
Sumber : Liddle, 1992
Hasil pemilu 1971 dan 1977 tidak mengalami perubahan yang
mencolok. Hasil pemilu 1971 merupakan kemenangan besar Golkar, pada pemilu
1977 Golkar memperoleh presentase suara lebih kecil dibandingkan perolehan
84
suara pada pemilu 1971 ditiga belas dari dua puluh lima propinsi yang
melangsungkan pemilihan umum, meliputi tujuh dari delapan propinsi Sumatra,
Jabar, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, serta Nusa
Tenggara Barat (Liddle, 1992: 47). Disemua tempat kecuali dua propinsi dibawah
ini, kerugian Golkar diiringi dengan keuntungan pertambahan suara PPP. Propinsi
tersebut ialah Sumatra Utara dimana pertambahan PPP (+6,4%) disertai dengan
turunnya Golkar (-3,7%) dan PDI (-2,7%), serta Daerah Istimewa Yogyakarta
dimana Golkar kehilangan 6,8% suara, PDI naik 5,1%, dan PPP naik hanya 1,8%.
Dari dua belas propinsi persentase suara Golkar meningkat, empat
propinsi merupakan penyumbang terbesar antara lain : Jawa Timur, Jawa Tengah,
NTT dan Sulawesi Selatan. Dalam presentase, propinsi-propinsi yang paling
besar menaikkan suara Golkar adalah Nusa Tenggara Timur (+28,8%), Maluku
(+24,1%), Sulawesi Utara (12,1%), Sulawesi Selatan (+6,8%), dan Jawa Timur
(+3,9%). Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur persentase suara Golkar
dan PPP meningkat sedangkan PDI menurun (Liddle, 1992: 47-48).
Kemenangan kembali Golkar dalam pemilu 1977 antara lain disebabkan
oleh sifat masyarakat Indonesia yang patrenalistis atau bapakisme, yaitu
terikatnya sifat masyarakat Indonesia pada pemuka agama sehingga kalau pemuka
desa menentukan memilih Golkar, maka akan di ikuti masyarakatnya. Golkar
dapat memanfaatkan kondisi tersebut dan menolak bahwa kepala desa melakukan
tekanan-tekanan terhadap penduduknya. Golkar unggul dalam oganisasi, sebagai
gambaran, Golkar mempunyai fasilitas dan peralatan yang dengan cepat
mengetahui hasil-hasil pemungutan suara. Banyaknya pemilih Golkar bukanlah
karena faktor-faktor program yang dijual pada massa kampanye, sebab cara yang
dan isi kampanye para kontestan tidak memenuhi harapan “ penjualan program”
yang memang disebabkan oleh kondisi masyarakat yang belum mampu menerima
uraian program-program. Dibawah ini diuraikan sebab kemenangan Golkar pada
pemilu 1977 :
a. Peningkatan kualitas kestabilan nasional dengan ditumbuhkannya
kesadaran dalam menjaga keseimbangan. Misal : dalam lalu lintas di
85
jalan semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk mematuhi
peraturannya.
b. Kelangsungan dan peningkatan pembangunan ekonomi untuk
menjawab tantangan banyak hal seperti kesejahteran, pendidikan dan
lapangan kerja.
c. Kelangsungan program
yang mencerminkan keadilan dalam
kemakmuran (Kompas, 4 Mei 1977).
Terciptanya hegemoni pada tangan Golkar didukung oleh, pertama,
peran sosial politik militer dilegalisasi dengam kekuasaan yang besar untuk
menjamin terciptanya stabilitas. Kedua, dilakukan depolitisasi massa dengan
alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan mengarahkan perhatiannya pada
pembangunan ekonomi. Ketiga, diperkenalkan kebijakan pembatasan peran
partai-partai politik non Golkar. Keempat, pemilihan umum dilakukan dengan
menajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni Golkar dan
kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan
dipilihnya sistem pemilihan umum yang kondusif bagi upaya tersebut, serta
dengan melakukan pengaturan-pengaturan tertentu dalam praktek pelaksanaan
pemilu. Kelima, partai-partai politik non Golkar menghadapi persoalan-pesoalan
intern mereka berupa konflik antar unsur atau kepentingan, macetnya kaderisasi,
kelangkan sumber daya, kelangkaan figur pemimpin yang aspiratif dan
akomodatif dan lain-lain (Eep Sefulloh F, 2000: 196).
Pemilu 1977 memberikan pengaruh besar dalam perjalan politik di
Indonesia. Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang mampu menstabilkan
posisinya. PPP muncul menjadi kekuatan nasional yang tetap potensial mendapat
tantangan dari propinsi yang masih muda dan sedang berkembang diwilayah
tertentu. Keberadaan PDI masa pemilu tidak mendapat dukungan secara
menyeluruh di wilayah Indonesia, PDI muncul sebagai partai “Jawa”, karena
selain mendapat dukungan di Jawa juga mendapat dukungan di daerah-daerah
transmigran, keturuan Jawa misalnya : Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung.
86
Golkar dalam pemilu 1977 dapat menunjukkan secara kuantitas dan
proporsional memiliki hak politis atau konstitusional. Sedangkan golongan politik
non Golkar tetap mendapat kesempatan untuk meningkatkan kegiatannya dalam
pembangunan politik negara sehingga tidak ada alasan lagi untuk menekan
golongan non Golkar dalam rangka penghayatan Demokrasi Pancasila (Suara
Merdeka, 5 Mei 1977).
87
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan yang dijabarkan dalam
pembahasan, maka Penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Upaya penyederhanaan partai politik sudah mulai dipikirkan pemerintah
Orde Baru semenjak tahun 1966. Fusi partai dilatar belakangi karena adanya
kesadaran di kalangan pemerintah dan masyarakat umum bahwa
pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan
sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik semakin
meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai
politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional.
2.
Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya
berbagai masalah internal partai. Hal ini disebabkan karena rendahnya
integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum
dapat menyatukan unsur-unsur di dalamnya sehingga konflik mewarnai
perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan
cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik tetapi karena
merupakan suatu pengelompokkan yang baru Golkar dapat tumbuh dengan
pesat.
3.
Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara
PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa
Aceh PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada
pemilu 1977 mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11
persen, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding
pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada
merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang
berfusi sebelumnya.
87
88
B. IMPLIKASI
1.
Teoritis
Negara Indonesia sebagai negara yang demokratis menganut sistem multi
partai yang terdiri dari banyak partai. Berdasarkan pengalaman selama
diberlakukan demokrasi liberal menunjukkan bahwa kehidupan politik yang
didominasi partai-partai politik dengan ideologi yang berbeda-beda menghasilkan
konflik dan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Atas dasar pengalaman
itu maka arah penataan politik yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah
menyederhanakan
struktur
kepartaian.
Sebagai
kelanjutan
dari
usaha
penyederhaan sistem kepartaian tersebut maka pada tanggal 4 Maret 1970
terbentuk golongan Nasionalis dan pada tanggal 14 Maret 1970 terbentuk
golongan Spiritual. Sehingga pada pemilu 1971 hanya di ikuti 10 kontestan dan
pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan
spiritual menjadi Partai persatuan Pembangunan sedangkan golongan Nasionalis
menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dengan pelaksanaan fusi tersebut maka
dalam pemilu 1977 hanya diikuti tiga kontestan. Pada pelaksanaan pemilu rakyat
berpartisipasi aktif sebagai pemilih. Oleh karena itu, hasil pemilu merupakan hasil
kesepakatan bersama yang menjadi cermin pilihan rakyat dan hasil tersebut harus
diterima partai politik sebagai hasil keputusan bersama.
2.
Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini terutama dikaji mengenai pengaruh
adanya fusi partai politik terhadap perkembangan partai politik di Indonesia.
Pengaruh tersebut dapat dilihat secara positif dan negatif. Secara positif dengan
adanya fusi partai mengasilkan keberuntungan bagi PPP karena menjadi lebih
mudah menyatukan seluruh umat Islam dibelakang PPP. Sedangkan segi negatif
dari adanya fusi partai adalah melemahkan posisi partai, karena dengan
menghimpun partai yang berbeda kedalam suatu wadah akan timbul perpecahan
didalam partai baru dan membawa berbagai masalah internal partai.
89
Implikasi praktis yang dapat diambil dari penelitian ini, adalah sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan tentang
kepartian. Pemerintah harus mampu memberikan pengawasan dan pengarahan
terhadap partai politik yang berkembang di Indonesia agar tidak terjadi
perpecahan atau konflik intern dalam suatu partai yang dapat mengganggu
stabilitas nasional.
C. SARAN
Berdasarkan penelitian mengenai Pemilihan Umum di Indonesia Tahun
1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik), maka dapat disarankan sebagai berikut :
a. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dan sebagai calon pemimpin
harus bisa bersikap demokratis yaitu dengan bersikap bijak, menghargai
perbedaan, dan dapat meredam emosi agar tercipta suatu kerukunan dan
menghindarkan dari perpecahan.
b. Bagi Pendidik
Sebagai seorang pendidik diharapkan mampu menanamkan sikap saling
menghormati dan menghargai kepada para pelajar. Karena dengan saling
menghormati dan menghargai akan dapat mencegah terjadinya suatu konflik.
Disamping itu, juga perlu ditanamkan sikap mengutamakan kepentingan bersama
diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan demi persatuan dan
kesatuan bangsa.
90
DAFTAR PUSTAKA
Affan Gaffar Karim. 1995. Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia.
Yogyakarta: LKIS & Pustaka Pelajar.
. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alfian.1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
.1985. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT.
Rajawali.
Ali Moertopo. 1974. Strategi Politik Nasional. Jakarta: CSIS.
. 1982. Strategi pembangunan Nasional. Jakarta. CSIS.
Amir Machmud. 1987. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia.
Andreas Pandiangan. 1996. Menggugat Kemandirian Golkar. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.
Arbi Sanit. 1995. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta kekuatan Politik dan
pembangunan. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Arif Zulkifli. 1996. PDI di Mata Menengah Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Arifin Rahman. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos.
91
Eep Saefulloh Fattah. 1994. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
. 2000. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Jakarta:
Rosda.
Elizabeth Sukamto, dkk. 1991. PDI dan Pembangunan Politik. Jakarta: Rasindo.
Feith, Herbert. 1957. The Indonesian Election Of 1955. New York: Cornell
University Press.
Gottschalk. Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hadari Nawawi. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Haryanto. 1982. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Inu Kencana. 2003. Sistem Admistrasi Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kansil C. S. T. 1974. Inti Pengetahuan Pemilihan Umum. Jakarta: Pratya
Paramita.
. 1979. Partai Politik dan Golkar. Jakarta : Aksara Baru.
Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen. 1992. NU Pasca Khittah. Yogyakarta:
Media Widya Mandala.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.
Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan bentang
Budaya.
92
Leo Suryadinata. 1992. Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Mahrus Irsyam .1984. Ulama dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.
Maswadi Rauf. 2001. Konsesus Politik. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Miriam Budiardjo. 1982. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia.
. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Miriam Budiardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik, Edisi Revisi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mochtar Mas‟oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta:
LP3ES.
Mohctar Mas‟oed dan Mac Andrews, Colin. 2006. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta : UGM Press.
Moh. Mahfud. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Muhammad A. S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan,
Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Landasan
Nugroho Notosusanto.1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:
PT. Idaya Press.
.1979. Norma-Norma Dasar Metode Penelitian Sejarah.
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
93
Ridwan Saidi. 1993. Golkar Pasca Pemilu1992. Jakarta: Grasindo.
Riswandha Imawan. 1997. Membedah politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rusli Karim. M. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret
Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press.
R.William Liddle. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Saifuddin Zuhri. 1981. Kalaidoskop Politik di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Sukarna. 1990. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV. Mandar Maju.
Syamsuddin Haris, dkk. 1988. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI.
. 1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia
Widiasarana
Umaidi Radhi. 1984. Strategi PPP. Jakarta: Integrita Press Indonesia.
Jurnal:
Kacung Marijan, Soerjanto P, Ibrahim A., A. Eby Hara, Ikrar NB, Dhurorudin M,
Hari W, Alfitra S, Rahadi TW, & Akhmad ZA. 1993.” Dinamika konflik
di Partai Demokrasi Indonesia.” Jurnal Politik 13.
R.William Liddle. 1978. February. “Indonesia 1977: The new order’s second
parliamentary election”. The Journal of Asian Studies. Vol 18. Number
2. halaman 175.
94
Koran:
Abdoel Madjid. 1977 Maret 7. “ Pidato Kampanye PDI” Suara Merdeka. 1.
Ali Moertopo. 1977. Maret. 3. “Golkar Sangat Dibutuhkan Untuk Pembangunan
Bangsa”. Suara Karya. 1.
. 1973. Januari. 7. “Partai Harus Sudah Berfusi Sebelum Sidang MPR”.
Suara Karya. 1.
Amirmachmud. 1977. Juni. 9. “DPR Hasil Pemilu 1977, Golkar 232 Kursi, PPP
99 Kursi, PDI 29 Kursi” Suara Karya. 8.
Antara. 1971. April.21. “Partai Katolik Mengadakan Santiadji Pemilu”. Kompas.
5.
DPP Murba. 1971. Juli 17.Murba Terkedjut Dengan Hasil Pemilu Jang
Ditjapainya.” Kompas. 1.
Frans Seda. 1973 . Januari. 12. “PDI Telah Lahir.”.Kompas. 1.
H.K.1971. Agustus. 9. ”Hasil Resmi Pemilihan Umum 3 Djuli 1971” Kompas. 11.
H. M. S. Mintaredja. 1973. Februari 16 . “Presiden terima DPP PPP”.
Kedaulatan Rakyat. 2.
Idham Chalid. 1973 . Januari. 4 “ Nama Kelompok Persatuan Pembangunan
Akan Dirubah” Kompas. 1.
Ischak Suryodiputro. 1977. April. 23 “ Larangan Selama Minggu Tenang” Sinar
Harapan. 1.
KH. Abubakar Atjeh. 1977. Maret. 14 “ Tusuk No 21.” Suara Karya. 1.
MB. Samosir. 1977. Mei. 3 “ Pendidikan Politik Berhasil “. Suara Karya. 1.
95
Mashuri. 1977. Mei. 4 “Paternalistik Salah Satu Faktor Kemenangan Golkar”.
Kompas. 3.
M.H. 1977. Mei. 3 “Reaksi Amir Murtono” Sinar Harapan. 6.
Redaktur. 1977. Mei. 2. “Presiden Gunakan Hak Pilih Dengan Tenang Dan
Tertib”.Sinar Harapan. 1.
. 1977. Mei 2. Pemilihan Umum 1977. Sinar Harapan. 7.
. 1977. Mei. 3. “Pemungutan Suara Tertib Dan Lancar”.Sinar
Harapan. 3.
“Sekjen DPP-PDI Nilai Ada Perkembangan Demokrasi Di Kota-Kota Besar.
1977. 4 Mei. Sinar Harapan. 9.
Ruslan Abdulgani. 1977. April. 9 “Semua Kontestan Pemilu Agar Mawas Diri”.
Kompas . 1.
Rusli Halil. 1971. Djuli. 6. “Perti Lakukan Koreksi Diri” Kompas. 8.
Thoha Abdurrahman. 1977. April. 20. “PPP akan perjuangkan ONH Serendah
Mungkin”. Kedaulatan Rakyat. 5.
Majalah:
Dhakidae, Daniel. (1981, September). “Pemilihan Umum di Indonesia”. Prisma 9.
Manuel Kaiseipo, (1981, Desember). “Dilema PDI: Perjuangan Mencari
Identitas”. Prisma 12.
Internet:
http://www.suara-karya.com,15 Februari 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/trilogi pembangunan, 19 April 2010.
http://www.kpu.go.id.//sejarah/pemilu 1977, 27 April 2010.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1:
Hasil Fusi PPP
Sumber: Kompas. 5 Januari 1973.
98
Lampiran 2:
Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat
Sumber: Kompas. 16 Januari 1973.
Munas PNI
99
Sumber: Kompas. 25 Januari 1973.
Lampiran 3:
Kampanye Golkar
Sumber: Suara Karya. 3 Maret 1977.
Sumber: Suara Karya. 3 Maret 1977.
100
Lampiran 4:
Pawai Akbar Golkar
Sumber: Kedaulatan Rakyat. 16 Februari 1977.
101
Lampiran 5:
Kampanye PDI
Sumber: Kedaultan Rakyat. 28 Februari 1977.
102
Lampiran 6:
Kampanye PPP
Sumber: Kedaulatan Rakyat. 16 Maret 1977.
103
Lampiran 7:
Pidato Kampanye PPP
Sumber: Suara Karya. 26 Februari 1977.
104
Lampiran 8:
Pidato Kampanye PDI
Sumber: Suara Karya. 27 Februari 1977.
105
Lampiran 9:
Pelaksanaan Pemilu 1977
Sumber: Sinar Harapan. 2 Mei 1977.
Sumber: Sinar Harapan. 3 Mei 1977.
106
Lampiran 10:
Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977
Sumber: Sinar Harapan. 3 Mei 1977.
107
Sumber: Sinar Harapan. 4 Mei 1977.
Lampiran 11:
Hasil Pemilu 1977
Sumber: Suara Karya. 9 Juni 1977.
Download