BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air dan Potensi Air Air merupakan faktor penting kehidupan manusia, setiap hari manusia diperkirakan membutuhkan air bersih minimal sebanyak 100 liter per-orang, seperti untuk keperluan minum, memasak, mandi, mencuci dan lain-lain (Taty dan Satmoko, 2007). Menurut Rai dan Menaka (2011) air merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, salah satu pemanfaatan air terpenting adalah untuk mendukung kehidupan manusia diantaranya penggunaan air untuk budidaya tanaman pertanian secara intensif. Penggunaan air untuk pertanian secara intensif disebut irigasi. Air merupakan aspek penting di bumi. Air sangat dibutuhkan oleh manusia. Sekitar 71 % permukaan bumi ditutupi oleh air (Aldrian, 2011). Sutawan, (2001) menyatakan bahwa air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan, jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan berhenti. Menurut Herlambang dan Said (2005) air merupakan unsur utama kehidupan, bahkan mahluk hidup mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air beberapa hari saja mahluk hidup akan mati. Asdak (2002), menyatakan air adalah bagian dari kebutuhan manusia yang esensial. Manusia membutuhkan air untuk keperluan hidup. Air dalam hal ini dimanfaatkan dan digunakan sebagai sarana untuk kelangsungan hidup manusia 9 10 yaitu untuk air minum, pertanian, perikanan, tenaga listrik, pengenceran polutan, industry dan navigasi serta kegiatan lainnya. Pada musim kemarau terjadi kekurangan air karena beberapa penyebab diantaranya : kondisi geografi, kondisi pemanfaatan lahan, kondisi geologi yang mempunyai keterkaitan pengaruh iklim, hujan, kemampuan tanah dan kualitas serta kuantitas air. Berdasarkan uraian tersebut maka air merupakan unsur yang sangat penting dan sangat diperlukan dalam setiap kehidupan mahluk hidup di bumi ini yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk air hujan air, air tanah dan air laut yang berada di daratan serta berpotensi sebagai sumber daya air yang telah ada sekarang dan yang memenuhi kebutuhan air untuk masa yang akan datang. Potensi air adalah potensi sumber daya air yang telah ada sekarang dan yang memenuhi kebutuhan air untuk masa yang akan datang. Menurut Ditjen Pengairan PU. (1994), potensi air permukaan Indonesia lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun, dengan sebaran: Irian Jaya 1.401 milyar m3/tahun, Kalimantan 557 milyar m3/tahun dan Jawa 118 m3/tahun. Potensi total air tanahnya 4,7 milyar m3/tahun, tersebar di 224 cekungan air. Sebarannya: 1,172 milyar m3/tahun di Jawa-Madura (60 cekungan), 1 milyar m3/tahun di Sumatera (53 cekungan), 358 juta m3/tahun di Sulawesi (38 cekungan), Irian Jaya 217 juta m3/tahun (17 cekungan), Kalimantan 830 juta m3/tahun (14 cekungan) dan sisanya 1,123 juta m3/tahun tersebar di beberapa pulau. Menurut Dinas PU. Bali (2012) potensi ketersediaan air (air permukaaan dan air tanah) sebesar 7.369,77 juta m3/tahun. 11 2.2. Sungai, Karakteristik Sungai dan Bagian Sungai 2.2.1. Definisi sungai Sungai adalah sistem pengairan air dari mulai mata air sampai ke muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh sempadan sungai (Sudaryoko, 1986). Sungai adalah fitur alami dan integritas ekologis, yang berguna bagi ketahanan hidup (Brierly, 2005). Dinas PU (2012), menetapkan bahwa sungai sebagai salah satu sumber air yang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sungai merupakan tempattempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Menurut Hamzah (2009) sungai adalah bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah disekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau, rawa, atau ke sungai yang lain. Sumber air di sungai terdiri dari air hujan, air tanah, mata air dan sisa hasil buangan limbah rumah tangga, dan dari limbah industri. Untuk mengetahui besarnya sumber air di sungai dapat dilihat dari besarnya debit air atau volume air di sungai. 2.2.2. Karakteristik sungai Menurut Wikipedia (2011), karateristik dan jenis sungai di Indonesia berdasarkan sumber air sungai, dibedakan menjadi tiga macam yaitu : 1. Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. 12 2. Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencarian es (gletser) dari hujan, dan sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah Sungai Digul dan Sungai Mamberano di Pulau Papua (Irian Jaya). Menurut Wikipedia (2011) karateristik dan jenis sungai di Indonesia, berdasarkan debit airnya atau volume airnya, sungai dibedakan menjadi : 1. Sungai Pharennial, adalah sungai yang debit airnya sepanjang tahun relative tetap. Contoh Sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan Mahakam Di Kalimantan. Sungai Musi, Sungai Petanu, Sungai Saba di Bali, Batanghari dan Indragiri di Sumatera 2. Sungai Periodik, adalah sungai yang pada musin hujan airnya banyak sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai ini banyak dipulau Jawa seperti Bengawan Solo, sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Code, dan Sungai Brantas. 3. Sungai Episodik, adalah Sungai yang pada musim kemarau airnya kering dan pada musim hujan airnya banyak. Contoh : Sungai kalada dipulau Sumba. 4. Sungai Ephemeral, adalah sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan, pada musim hujan airnya belum tentu banyak. 2.2.3. Debit sungai Debit adalah jumlah volume air yang mengalir melewati suatu penampang melintang saluran atau sungai persatuan waktu. Menurut Asdak (2002), debit sungai adalah besarnya aliran air persatuan waktu, ukuran yang 13 umumnya digunakan adalah volume per detik (m3/detik) atau cubic feet second (cfs). Besarnya volume air sungai tergantung pada daerah aliran sungai tersebut, Debit aliran adalah laju aliran (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu, debit aliran merupakan salah satu elemen yang harus dikaji untuk pengembangan sungai. Menurut Nuryanto, (2002) metode untuk menghitung debit aliran (Q) dapat digunakan rumus perkalian kecepatan aliran rata-rata (V) dengan luas penampang basah aliran (A). Analisis regresi yang memperlihatkan perubahan debit aliran dipengaruhi oleh perubahan lebar sungai, kedalaman aliran, diameter material dasar dan kemiringan dasar sungai. Tingkat kemiringan sungai yang dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kecepatan aliran. Kecuraman sungai di daerah hulu rata-rata lebih tinggi daripada di daerah hilir. Semakin ke hilir sungai akan semakin landai sebelum kemudian bermuara ke laut. Gradient sungai dapat dihitung dengan bantuan garis kontur yang memotong sungai pada peta topografi. Pengukuran debit air di wilayah sungai dan di muara sungai dilakukan dengan pengukuran di lapangan dimana data kecepatan dan kedalaman sungai diperoleh dari hasil current meter dan pengukuran langsung kedalaman sehingga diperoleh profil sungai serta kecepatan aliran tiap titik. 2.2.4. Penampang memanjang sungai Penampang memanjang sungai terdiri dari bagian hulu sungai yang memiliki ciri yaitu : arus sangat deras, memiliki erosi tinggi, lembah yang terbentuk sangat curam sehingga berbentuk huruf V. Tengah sungai memiliki ciri yaitu: ditemukan adanya meander (aliran sungai yang berbelok-belok), lembah 14 yang berbentuk tidak securam pada hulu sungai, sehingga berbentuk U. Hilir sungai dengan ciri sebagai berikut : arus mulai melambat, arus membawa materimateri yang akan diendapkan, lembah pada hilir sungai semakin melebar. Beberapa nilai kekasaran sungai yang ditetapkan oleh Stricler (ks), dan Manning (n). 2.2.5. Panjang sungai Panjang sungai diukur pada peta. Dalam memperkirakan panjang suatu segmen sungai disarankan untuk mengukurnya beberapa kali dan kemudian dihitung panjang reratanya. Panjang sungai adalah panjang yang diukur sepanjang sungai, dari stasiun yang ditinjau atau muara sungai sampai ujung hulunya. Sungai utama adalah sungai terbesar pada daerah tangkapan dan yang membawa aliran menuju muara sungai. 2.2.6. Bagian-bagian sungai Sungai dapat dikelompokkan menjadi tiga daerah yang menunjukkan sifat dan karaktersitik dari sistem sungai yang berbeda menurut Kodoatie (2002) yaitu: 1. Daerah hulu (pegunungan); di daerah pegunungan sungai-sungai memiliki kemiringan yang terjal (steep slope). Kemiringan terjal ini dan curah hujan yang tinggi akan menimbulkan stream power (kuat arus) besar sehingga debit aliran sungai sungai di daerah ini menjadi cukup besar. Periode waktu debit aliran umumnya berlangsung cepat. Pada bagian hulu ditandai dengan adanya erosi di Daerah Pengairan Sungai (DPS) maupun erosi akibat penggerusan dasar sungai dan longsoran tebing. Proses sedimentasi tebing sungai disebut degradasi. Material dasar sungai dapat berbentuk 15 boulder/batu besar, krakal, krikil dan pasir. Bentuk sungai di daerah ini adalah braider (selempit/kepang). Alur bagian atas hulu merupakan rangkaian jeram-jeram aliran yang deras. Penampang lintang sungai umumnya berbentuk V. 2. Daerah transisi batas tengah sebelum bagian sampai ke daerah pantai, kemiringan dasar sungai umumnya berkurang dari 2% karena kemiringan memanjang dasar sungai berangsur-angsur menjadi landai (mild). Pada daerah ini seiring dengan berkurangnya debit aliran walaupun erosi masih terjadi namun proses sedimentasi meningkat yang menyebabkan endapan sedimen mulai timbul, akibat pengendapan ini berpengaruh terhadap mengecilnya kapasitas sungai (pengurangan tampang lintang sungai). Proses degradasi (penggerusan) dan agradasi (penumpukan sedimen) terjadi akibatnya banjir dapat terjadi dalam waktu yang relatif lama dibandingkan dengan daerah hulu. Material dasarnya relative lebih halus dibandingkan pada daerah pegunungan. Penampang melintang sungai umumnya berangsur-angsur berubah dari huruf V ke huruf U. 3. Daerah hilir; sungai mulai batas transisi, daerah pantai, dan berakhir di laut (mulut sungai/ estuary). Kemiringan di daerah hilir dari landai menjadi sangat landai bahkan ada bagian-bagian sungai, terutama yang mendekati laut kemiringan dasar sungai hampir mendekati 0 (nol). Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola yang berbentuk meander sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses agradasi (penumpukan sedimen) lebih dominan terjadi. Material dasar sungai lebih halus 16 dibandingkan di daerah transisi atau daerah hulu. Apabila terjadi banjir, periodenya lebih lama dibandingkan daerah transisi maupun daerah hulu. 2.3. Muara Sungai (Estuary) 2.3.1. Definisi muara sungai Menurut Ross (1995) muara sungai adalah wilayah badan air tempat masuknya satu atau lebih sungai menuju ke laut, ke samudra, danau, bendungan, atau ke sungai lain yang lebih besar. Di wilayah pesisir, muara sungai sangat terpengaruh oleh kondisi air daratan seperti aliran air tawar dan sedimen, serta air lautan seperti pasang surut, gelombang, dan masuknya air asin ke darat. Bergantung pada lokasi dan kondisi lingkungannya, muara dapat mengandung banyak relung ekologis dalam area kecil, dan begitu juga terkait dengan tingginya keanekaragaman hayati. Muara sungai-sungai besar dapat membentuk estuaria dan juga delta. Estuaria merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Daerah perairan yang termasuk dalam estuaria ini adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang surut. Estuaria daratan pesisir merupakan tipe estuaria yang paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai ( Kamal, dan Suardi, 2004). 17 Menurut Nybakken (1992) estuaria merupakan badan air tempat terjadinya pencampuran masa air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari daratan. Faktor ini menyebabkan kondisi perairan sangat tergantung pada kondisi air laut dan air tawar yang masuk kedalamanya. Semakin tinggi kandungan tersuspensi yang dibawa air tersebut semakin tinggi endapan lumpur di estuaria. Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Mulut sungai adalah bagian paling hilir dari muara sungai yang langsung bertemu dengan laut. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau pembuangan debit sungai, terutama pada waktu banjir ke laut, karena letaknya yang berada di ujung hilir, maka debit aliran di muara adalah lebih besar dibanding pada tampang sungai di bagian hulu. Selain itu muara sungai juga harus melewati debit yang ditimbulkan oleh pasang surut air laut (Triatmodjo, 1999). Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran / pembuangan debit sungai terutama pada waktu banjir ke laut. Muara sungai mempunyai nilai ekonomis yang penting karena dapat berfungsi sebagai alur penghubung antara laut dan daerah yang cukup dalam di daratan. Permasalahan yang sering dijumpai adalah banyaknya endapan di muara sungai sehingga tampang alirannya menjadi kecil yang dapat mengganggu pembuangan debit sungai ke laut. Beragam kegiatan banyak berkembang di kawasan muara sungai, seperti aktivitas pelabuhan, pemukiman, industri, pariwisata, perikanan/pertambakan, dan lain sebagainya. Jika pengembangan yang dilakukan kurang memperhatikan 18 aspek konservasi lingkungan akan menimbulkan dan mempercepat terjadinya proses perubahan fisik dan biologi yang merusak kawasan muara sungai dan pantai di sekitarnya. Permasalahan yang sering dijumpai di daerah muara sungai adalah banyaknya endapan sedimen di muara sungai sehingga tampang aliran kecil, yang dapat menganggu pembuangan debit sungai ke laut. Pengaliran debit sungai tidak lancar terbuang yang mengakibatkan banjir di daerah sebelah hulu muara. Muara sungai atau Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain : tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut. 19 Estuaria secara umum mempunyai peran ekologis penting antara lain: sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2002). 2.3.2. Karakteristik morfologi muara sungai Menurut Triatmodjo (1999), morfologi muara sungai terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : muara sungai yang didominasi oleh debit sungai. Muara sungai ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup besar yang bermuara ke laut dengan gelombang relative kecil. Pada waktu air surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Muara sungai yang didominasi oleh gerakan gelombang. Muara sungai ini dipengaruhi oleh gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat menimbulkan angkutan (transport) sedimen baik dalam arah tegak lurus maupun sejajar/sepanjang pantai. Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak masuk ke muara sungai dan di daerah tersebut kondisi gelombang sudah tenang maka sedimen akan mengendap, semakin besar gelombang semakin besar angkutan sedimen dan semakin banyak sedimen 20 yang mengendap di muara sungai. Muara sungai yang didominisi oleh gerakan pasang surut air laut. Muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi dengan air dari hulu sungai. Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar tersebut mengalir keluar dalam perioda waktu tertentu yang tergantung pada tipe pasang surut. Dengan demikian kecepatan arus selama air surut tersebut besar, yang cukup potensial untuk membentuk muara sungai. Muara sungai tipe ini berbentuk corong atau lonceng. Contoh dari muara sungai yang didominasi oleh pasang surut adalah muara Sungai Sowan di Kabupaten Jembrana 2.3.3. Strategi pengelolaan muara sungai Strategi pengelolaan muara sungai yaitu untuk muara sungai selalu terbuka : supaya mulut sungai selalu terbuka diperlukan dua buah jetty panjang untuk menghindari sedimentasi di dalam alur muara sungai dan pembentukan lidah pasir. Sedimen ini disebabkan oleh gerakan sedimen dalam arah tegak lurus pantai dan angkutan sedimen sepanjang pantai. Jetty dibuat cukup panjang menjorok ke laut sampai ujungnya berada pada kedalaman dimana tidak terjadi gerak sedimen. Muara sungai boleh tertutup dimana ada dua pilihan yaitu : mulut sungai tidak boleh berbelok atau boleh berpindah/berbelok. Pembelokan menyebabkan sungai semakin panjang muara sungai dapat yang secara hidraulis dapat menguranggi kemampuannya untuk melewatkan debit. Untuk menahan 21 pembelokan muara sungai perlu dibuat jetty sedang, jetty pendek, bangunan di tebing mulut muara sungai atau pengerukan sedimen secara rutin (maintenance dredging), apabila muara sungai diijinkan untuk berbelok, penanganan dapat dilakukan dengan pengerukan endapan di mulut muara sungai (Triatmodjo, 1999). 2.4. Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.4.1.Pengertian DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (Triatmodjo, 2010). Hujan yang jatuh di suatu DAS akan berubah menjadi aliran di sungai. Dengan demikian terdapat suatu hubungan antara hujan dan debit aliran, yang tergantung pada karakteristik DAS. Hujan dapat diukur dengan cara yang sederhana. Jumlah data hujan jauh lebih banyak dari pada data debit. Untuk itu perlu dicari bentuk persamaan debit aliran sebagai fungsi curah hujan. Parameter hidrologi DAS yang diperhitungkan adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS dan konsentrasi aliran. Ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih dari 15 %, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8 %), pada beberapa 22 tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan gambut/bakau (Asdak, 2002). 2.4.2. Pengelolaan DAS. Tiga aspek penting utama yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan (water regime), dan sedimen. DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsurunsur utamanya seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tata guna lahan. Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1977). Tujuan umum pengelolaan DAS adalah keberlanjutan yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi dan erosi. Tujuan akhir pengelolaan DAS adalah terwujudnya kondisi yang lestari dari sumber daya vegetasi, tanah, air sehingga mampu memberikan manfaat yang optimal yang berkesinambungan bagi kesejahtraan manusia. Manfaat yang optimal dan berkesinambungan akan tercapai apabila sumber daya alam dan lingkungan dikelola dengan baik (Mangundikoro, 1985). 23 2.5. Wilayah Sungai (WS) Penentuan wilayah sungai didasarkan pada efektivitas pengelolaan sumber daya air dengan kriteria: memenuhi kebutuhan konservasi sumber daya air dan pendayagunaan sumber daya air; dan atau telah tersedianya prasarana sumber daya air yang menghubungkan daerah aliran sungai yang satu dengan daerah aliran sungai yang lain. Efisiensi pengelolaan sumber daya air dengan kriteria rentang kendali pengelolaan sumber daya air. Yang dimaksud dengan rentang kendali pengelolaan sumber daya air, misalnya besaran wilayah, besaran organisasi, kompleksitas permasalahan. Keseimbangan pengelolaan sumber daya air pada daerah aliran sungai basah dan daerah aliran sungai kering dengan kriteria tercukupinya hak setiap orang untuk mendapatkan air guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Daerah aliran sungai kering adalah daerah aliran sungai (DAS) yang curah hujannya secara alamiah tidak dapat memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Daerah aliran sungai basah adalah DAS yang curah hujannya secara alamiah berlebih guna memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan yang sehat, dan bersih. 2.6. Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut Sunaryo dan Walujo (2004) visi dalam pengelolaan sumber daya air adalah mewujudkan kemanfaatan sumber daya air bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Sementara misi pengelolaaan sumber daya air adalah konservasi sumber daya air yang berkelanjutan, pendayagunaan sumber daya air yang adil untuk berbagai kebutuhan masyarakat yang memenuhi kualitas dan kuantitas, 24 pengendalian daya rusak air, pemberdayaaan dan peneingkatan peran masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, peningkatan keterbukaan dan ketersediaan data dan informasi dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam pengelolaan sumber daya air, digunakan asas-asas kelestarian, keseimbangan fungsi social-ekonomi-lingkungan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas. Pengelolaan sumber daya air memiliki salah satu tujuan yaitu mendukung pembangunan regional dan nasional yang berkelanjutan dengan mewujudkan keberlanjutan sumber daya air. Dalam suatu pengelolaan terdapat batasan-batasan atar ruang lingkup yang akan dicapai. Sunaryo dan Walujo (2004), menyebutkan terdapat tujuh ruang lingkup dalam pengelolaan sumber daya air yaitu : a. Pengelolaan daerah tangkapan hujan (watershed management) adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan agar fungsi kawasan resapan air dapat tetap terjaga dengan penghijauan, terasering dan pengendalian tata guna lahan. b. Pengelolaan kuantitas air ( water quantity management) adalah penyediaan air secara adil dan transparan, dimana pencapainya dilakukan melalui kegiatan penetapan perizinan penggunaan air dan alokasi air serta pengendalian distribusi air. c. Pengelolaan kualitas air (water quality management) adalah upaya menjaga kualitas air agar tetap berada dalam kondisi yang sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. 25 d. Pengendalian banjir (flood control management) adalah upaya-upaya pengendalian banjir seperti meminimalkan limpasan permukaan yang terjadi ketika hujan, membatasi pemompaan air tanah yang menyebabkan penurunan muka air tanah. e. Pengelolaan lingkungan sungai (river environment management) adalah upaya pengendalian penggunaan lahan di daerah sempadan sungai dan peningkatan biota air agar fungsi sumber daya air terjaga. f. Pengelolaan prasarana pengairan (infrastruktur management) adalah upaya –upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan fungsi sarana dan prasaran pengairan agar tetap terjaga sesuai dengan umur dan tujuan yang telah ditetapkan. g. Penelitian dan Pengembangan (research and development) adalah upaya mendukung dan meningkatkan pengelolaan sumber daya air di suatu wilayah dengan inovasi-inovasi baik dalam bidang teknologi maupun manajemen. 2.7. Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air 2.7.1. Ketersediaan air Ketersediaan air dalam pengertian sumber daya air pada dasarnya berasal dari air hujan (atmosferik), air permukaan, air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan pada suatu daerah aliran sungai atau wilayah sungai sebagian menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan sebagian lagi meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada 26 kandungan air tanah yang ada. Aliran yang terukur di sungai atau saluran merupakan potensi/ debit air permukaan. Komponen ketersediaan air meliputi komponen air permukaan dan air tanah. Untuk analisis ketersediaan air permukaan akan digunakan sebagai acuan adalah debit andalan (dependable flow). Debit andalan adalah suatu besaran debit pada titik kontrol (titik tinjau) di suatu sungai dimana debit tersebut merupakan gabungan antara limpasan langsung dan aliran dasar. Debit ini mencerminkan suatu angka yang dapat diharapkan terjadi pada titik kontrol yang dikaitkan dengan waktu dan nilai keandalan. Beberapa metode untuk menghitung jumlah air/ketersediaan air/potensi air: 1. Menggunakan data hujan Metode ini digunakan untuk tahap awal, menghitung jumlah air di DAS dengan memperkirakan : Tebal hujan x luas Daerah Aliran Sungai (DAS) x koefisien limpasan permukaan (runoff). 2. Menggunakan data debit Data debit diperoleh dari : • Pos pencatat tinggi muka air Automatic Water Level Recorder (AWLR) • Bendung (air yang tercatat di mercu dan intake) • Bendungan (operasional waduk) 27 3. Menggunakan model hujan aliran (Rainfall – Runoff) Model hujan aliran digunakan apabila di lokasi studi tidak ditemukan pencatatan data aliran ataupun kondisi data kurang memungkinkan untuk dilakukan analisis maka ketersediaan air/debit dianaliss dengan metode model hubungan hujan-aliran, diantaranya metode NRECA dan atau Mock. 4. Metode NRECA Model NRECA adalah model hidrologi yang banyak digunakan untuk mensimulasi hujan-limpasan yang tujuannya adalah untuk pengisian atau memperpanjang data debit. Model NRECA (USA) yang dikembangkan oleh Crowfort, dimana dalam model ini telah banyak diterapkan oleh Pustlibang Pengairan pada berbagai daerah pengaliran di Indonesia, selain parameter model relatif sedikit dan mudah dalam pelaksanaannya serta memberikan hasil yang cukup handal. Secara umum persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut: Q=P–E+S .....................(1) dengan: Q = limpasan (mm) P = hujan rata-rata DAS (mm) E = Evapotraspirasi aktual (mm) S = Perubahan kandungan (simpanan air dalam tanah) (mm) Persamaan keseimbangan air di atas merupakan dasar dari model NRECA untuk suatu daerah aliran sungai pada setiap langkah waktu, dimana hujan, aktual evapotraspirasi dan limpasan adalah volume yang masuk kedalam 28 dan keluar pada suatu DAS untuk setiap langkah waktu tertentu. Purnama, (2009), mengemukakan dan menyimpulkan bahwa ketersediaan air di Pulau Bali mencapai 2.604.483.300 m3/tahun yang terdiri dari atas air tanah sebesar 693.296.200 m3/tahun, air sungai 1.903.678.000 m3/tahun dan mata air 7.509.600 m3/tahun. Kebutuhan air di Pulau Bali mencapai 1.213.625.300 m3/tahun, yang terdiri atas kebutuhan domestik sebesar 121.276.260 m3/tahun, industri dan hotel 20.038.068 m3/tahun, ternak 31.272.435 m3/tahun, perikanan 125.305.574 m3/tahun dan irigasi 915.733.000 m3/tahun. Kebutuhan dan ketersedian airnya, rasio neraca air di Pulau Bali adalah 47 %, atau mendekati krisis air ( angka Indeks Penggunaan Air/IPA berkisar 0,75-1,0). IPA adalah rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. 2.7.2. Kebutuhan air Menurut Triatmodjo (2010), kebutuhan air meliputi kebutuhan air domestik (air rumah tangga) dan non domestik (pelayanan kantor, perniangaan, pariwisata, hidran umum, pelabuhan dan sebagainya), industri, pemeliharaan sungai, ternak, perikanan dan irigasi. Kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan konsumsi air per kapita per hari. Penelitian Yulistiyanto dan Kironoto (2008) menghasilkan kebutuhan air terdiri dari : 1. Kebutuhan air irigasi Kebutuhan air irigasi sebagian besar dicukupi dari air permukaan. Untuk lahan-lahan tertentu yang tidak dapat diari dengan air permukaan, karena jauh atau tidak adanya sumber air permukaan, 29 lahan diairi dengan irigasi pompa. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi berbagai faktor seperti klimatologi, kondisi tanah, koefiisen tanaman, pola tanam, pasoka air yang diberikan, luas daerah irigasi, efisiensi irigasi, penggunaan kembali air drainase untuk irigasi, sistem golongan, jadwal tanam dan lain-lain. Kebutuhan air irigasi dihitung dengan persamaan : KAI = ×A ...................... (2) dengan : KAI : kebutuhan air irigasi dalam liter/detik Etc : kebutuhan air konsumtif (penyiapan lahan, pengganti lapisan) mm/hari IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari) WLR : kebutuhan air untuk mengganti 2. Kebutuhan air non-irigasi Jumlah dan distribusi penyebaran penduduk akan menentukan besar kebutuhan air baku (domestik dan non domestik dan industri). Untuk memproyeksi jumlah penduduk akan sangat sulit diperhitungkan satu persatu. Kebiasaan yang dilakukan adalah dengan memperhitungkan semua faktor tersebut di atas ke dalam bentuk tingkat pertumbuhan penduduk, dimana termasuk di dalamnya adalah faktor urbanisasi penduduk dari desa ke kota. 30 3. Kebutuhan air domestik Kebutuhan air domestik (rumah tangga) di hitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air perkapita dan proyeksi waktu yang direncanakan. Kriteria penentuan kebutuhan air domestik yang dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per hari. Kebutuhan air di kota besar pada umumnya adalah > 150 liter/kapita/hari, di kota sedang 80-150 liter/kapita/hari, kota kecamatan 60-80 liter/kapita/hari, dan desa berkisar antara 30-60 liter/kapita/hari, hasil penelitian Purnama, (2009), menghasilkan kebutuhan air domestik di Pulau Bali sebesar 100 liter/kapita/hari. 4. Kebutuhan air untuk perkantoran Dasar perhitungan menurut Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjen Cipta karya DPU. Kebutuhan air bersih untuk kantor ditetapkan 25 liter/pegawai/hari dengan pertimbangan yang didasarkan dari ratarata kebutuhan air diperlukan setiap karyawan kantor untuk minum, wudhu, mencuci tangan/kaki, kakus dan lain sebagainya yang berhubungan dengan keperluan air di kantor. Dalam penghitungan kebutuhan air tersebut diperlukan data mengenai jumlah karyawan di tiap-tiap kantor yang ada didaerah yang ditinjau. 31 5. Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai/penggelontoran Proyeksi kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai/perkantoran saluran dietimasikan berdasarkan perkalian antara jumlah penduduk perkotaan dengan kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai /penggelontoran perkapita menurut Index Water Resources Demand (IWRD), besar kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai /saluran saat ini adalah 330 liter/kapita/hari. 6. Kebutuhan air untuk peternakan Kebutuhan air untuk ternak diestimasi dengan cara mengalikan jumlah ternak dengan tingkat kebutuhan air. 7. Kebutuhan air untuk industri Analisis kebutuhan air untuk industri dapat dihitung dengan dua cara. Untuk wilayah yang data luas lahan rencana kawasan industrinya diketahui, kebutuhan industri dihitung dengan menggunakan metode penggunaan lahan industri yaitu sebesar 0,4 liter/detik/ha. Untuk wilayah yang tidak diperoleh data penggunaan lahan industri, kebutuhan air industri dihitung dengan menggunakan metode persamaan linier. Standar yang digunakan adalah dari Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjen Cipta Karya DPU, yaitu kebutuhan air untuk industri sebesar 10% dari air konsusmsi air domestik. 32 2.7.3. Keseimbangan air Analisis keseimbangan air di lakukan dengan membandingkan antara ketersediaan air sebagai potensi, jumlah air yang sudah dimanfaatkan pada kondisi eksisting, dan kebutuhan air sebagai fungsi tempat, waktu, dan teknologi. Analisis imbangan air dilakukan pada kondisi waktu-waktu yang diproyeksikan di masa-masa yang akan datang. Dari analisis imbangan air ini akan diketahui jumlah air, baik air permukaan maupun air tanah, yang masih tersisa dan dapat dikembangkan untuk berbagai sektor pada masa mendatang, disamping itu hasil dari analisis imbangan air ini juga dapat digunakan sebagai rekomendasi pemanfaatan sumber daya air yang tersisa untuk berbagai sektor. Persamaan neraca air (water balance), (Triatmodjo, 2010) sebagai berikut : + + − − −E – T – I - SD = Q − − − ∆ ∆ =0 dimana Q = P – I ......................(3) dan ∆S = Q1 – Q0 - E dengan : P : presipitasi Q1, Qo : debit aliran masuk dan keluar G1, Go : aliran air tanah masuk dan keluar E : evaporasi T : evapotranspirasi ∆S : perubahan volume tampungan untuk selang waktu ∆t. 2.8. Kualitas Air / Standar Kualitas Air Aspek kualitas air memengang peranan penting dalam konteks pengelolaan sumber daya air. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang 33 disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003). Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi : 1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa. 2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut dan perubahan pH. 3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri patogen. Indikator yang umum digunakan pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD). Pemantauan kualitas air pada sungai perlu disertai dengan pengukuran dan pencatatan debit air agar analisis hubungan parameter pencemaran air dan debit badan air sungai dapat dikaji untuk keperluan pengendalian pencemarannya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 82/2001(PP 82/2001) memfokuskan pada pengelolaan dari kualitas air dan pengendalian polusi air dan dalam hal ini sangat relevan dengan studi mengenai pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Lampiran dari peraturan ini menspesifikasi Standar Kualitas 34 Air Nasional (SKAN) yang pada kenyataannya standar kualitas air lingkungan berdasarkan penggunaan yang bermanfaat dari sumber air tawar tanpa membuat perbedaaan pada tipe dari sumber air tersebut seperti danau atau air tanah. SKAN ini mengesampingkan pemanfaatan air dengan standar kualitas air yang serupa lainnya baik tingkat nasional ataupun daerah seperti dispesifikasikan pada lampiran yaitu untuk tingkat nasional Peraturan Pemerintah no. 20/1990 (PP20/1990) dan juga standar kualitas air tingkat daerah (provinsi) melalui Peraturan Gubernur Bali No 08 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. Pemerintah provinsi bisa mengatur standar mereka sendiri yang bisa menjadi lebih ketat dari pada SKAN dan juga bisa melibatkan nilainilai standar untuk parameter tambahan yang tepat sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah Provinsi Bali berada dalam proses memformulasikan standar kualitas airnya sendiri berdasarkan SKAN yang baru. SKAN yang baru memformulasikan dan menggambarkan 4 kelas untuk penggunaan air yang memberikan manfaat sebagai berikut: • Kelas I . Air baku untuk suplai air bersih (minum) dengan pengolahan dan semua pemanfaatan lainnya dari Kelas II sampai Kelas IV • Kelas II. Air untuk rekreasi dan semua pemanfaatan lain dari kelas III dan kelas IV • Kelas III. Air untuk perikanan air tawar untuk peternakan dan pemanfaatan dari kelas IV 35 • Kelas IV. Air untuk air Irigasi 2.9. Program Software HYMOS (Hydrological Model System) dan RIBASIM (River Basin Simulation) HYMOS adalah program suatu perangkat lunak yang merupakan sistem basis data dan pengolahan data hidrologi yang terpadu. Menurut Hatmoko (1993), RIBASIM adalah alat pemodelan untuk perencanaan wilayah sungai dan manajemen. RIBASIM memiliki seperangkat program yang luar biasa untuk membuat model simulasi sungai dan kondisinya. Model ini telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun di sejumlah negara dan dalam berbagai proyek. Organisasi pengelolaan air di seluruh dunia menggunakannya untuk mendukung manajemen dan kegiatan perencanaan. Besar dan kompleks DAS telah dimodelkan dan disimulasikan dengan RIBASIM. Secara terpisah model subDAS dapat digabungkan menjadi satu main-basin. Menurut Hatmoko (1993), RIBASIM memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi berbagai langkahlangkah terkait dengan infrastruktur, manajemen operasional, permintaan dan kebutuhan hasil dalam kuantitas air dan kualitas air. RIBASIM menghasilkan pola distribusi air, menyediakan kualitas air secara rinci dan analisis sedimentasi di sungai, waduk dan yang lainnya. Program ini memberikan analisis sumber air, memberikan potensi air di setiap lokasi tampungan. RIBASIM mengikuti pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah sungai/DAS dan manajemen air. RIBASIM memiliki link dengan HYMOS terkait basis data hidrologi dan pemodelan sistem. Bidang aplikasi RIBASIM dirancang untuk analisis keseimbangan air di basin/sungai untuk disimulasikan, 36 kemudian menghasilkan waterbalance untuk memberikan informasi dasar tentang ketersedian/ kuantitas air serta komposisi aliran di setiap lokasi pada setiap saat/waktu dalam wilayah sungai. RIBASIM menyediakan sarana untuk mempersiapkan sisa air di DAS secara detail sesuai dengan keperluan, dengan mempertimbangkan drainase dari pertanian, pembuangan dari industry di hilir dan penggunaan kembali air. Sejumlah parameter kinerja tampungan yang dihasilkan untuk mengevaluasi situasi simulasi. Sebuah aplikasi baru RIBASIM adalah model aliran routing untuk komponen dalam sistem peringatan dini untuk banjir (FEWS). Struktur RIBASIM didasarkan pada kerangka kerja yang terintegrasi dengan, grafis, GIS berorientasi user-friendly. Bekerja dengan RIBASIM berarti menerapkan pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah sungai dan manajemen air. RIBASIM berorientasi peta. Sebuah lingkungan pemodelan fleksibel telah dirancang di mana sistem pemodelan dibuat independen dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Para pengguna air (stakeholder) dan air digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan: irigasi pertanian, budidaya air tawar dan payau, kebutuhan air domestik, kebutuhan air kota, kebutuhan air industri, lahan basah, dan ternak. Kerugian akibat penguapan, rembesan, navigasi, rekreasi, alam, ekologi dan lingkungan. Hak atas air, transfer antar cekungan/tampungan, resapan air tanah, sungai es, pembangkit tenaga air, kebutuhan air dan perhitungan alokasi air untuk pertanian/ irigasi dan budidya air payau termasuk dalam model komponen terpisah. 37 Pemodelan lahan basah dapat fine-tuned oleh opsi menskemakan jaringan tertentu dan pengoperasian waduk. Aspek yang diperhitungkan dalam komponen RIBASIM adalah simulasi pengoperasian waduk, yang digunakan untuk model waduk tunggal dan multitujuan, danau dan waduk penyimpanan. Berbagai pengelolaan air dan prosedur pengalokasian air dapat dimodelkan. Software RIBASIM dapat menghitung konsentrasi zat di setiap jangkauan sungai dan badan air, dan sisa substansi setiap penggunaan air. Setiap jumlah zat dapat didefinisikan seperti garam, Biological Oxygen Demand, nitrogen, fosfor, bakteri, zat beracun, dan pemurnian air diperhitungkan oleh modelling retensi di sungai sampai di badan air, dan pengelolaan air limbah pabrik. Perhitungan ini didasarkan pada aliran pola alokasi air, konsentrasi limbah (polusi konsentrasi zat) pada batas sistem ditentukan sebagai hubungan antara konsentrasi substansi air yang diambil dan dibuang dari drainase, dan daerah irigasi. Pertanian merupakan pengguna air terbesar di sungai. Untuk alasan ini pemodelan kebutuhan air pertanian dan alokasi merupakan elemen penting untuk analisis sumber daya air yang terbatas di wilayah sungai. RIBASIM mendukung berbagai metode untuk menangani berbagai jenis permintaan. RIBASIM mendukung spesifikasi sederhana dari permintaan kotor serta kebutuhan air pertanian lengkap, alokasi air, hasil panen dan model biaya produksi (Delft AGRI). RIBASIM memiliki alat untuk sepenuhnya interaktif grafis, desain rencana tanaman yang terdiri dari kombinasi budidaya, yang dibudidayakan, ukuran daerah untuk budidaya dan tanggal mulai budidaya. Alat ini diaktifkan dari peta, menggunakan permintaan terpadu air pertanian, alokasi 38 air, hasil panen dan biaya produksi. RIBASIM dapat digunakan untuk perencanaan wilayah sungai dari hulu sampai hilir dan manajemen. RIBASIM menerapkan pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah sungai/muara sungai dan manajemen air/pengelolaan. RIBASIM tidak memerlukan perangkat lunak dari luar software. Persyaratan minimum untuk perangkat keras disarankan adalah konfigurasi yang terdiri dari: prosesor pentium (200 MHz atau lebih cepat satu dianjurkan), 64 Mb, RAM 400 Mb ruang disk bebas, kartu super VGA grafis dengan Monitor yang sesuai, mouse, CD-ROM, perangkat lunak. RIBASIM membutuhkan MICROSOFT WINDOWS 95, 98, 2000, NT, XP atau Vista. Pengunaan program RIBASIM dapat diaplikasikan di wilayah sungai dan muara sungai seperti gambar dibawah ini. 2.10. Pengelolaan Sumber Daya Air dengan Program HYMOS dan RIBASIM Menurut Hatmoko (1993), pengelolaan sumber daya air di sungai dilakukan dengan upaya-upaya strategis dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut : a. Mengidentifikasi skenario pengembangan wilayah sungai dan muara sungai sebagai basis proyeksi kebutuhan air. b. Mengelompokkan daerah di wilayah sungai dan muara sungai kedalam beberapa kelompok pengguna yang mengacu pada rencana tata ruang. c. Menganalisis kebutuhan air antar sektor pada saat ini dan proyeksinya dimasa yang akan datang 39 d. Menganalisis ketersediaan /potensi untuk seluruh wilayah sungai dari hulu dan hilir/muara sungai. e. Menghitung neraca air bulanan. 2.11. Proses Pengolahan Data dengan Software RIBASIM Proses pengolahan data dengan software RIBASIM dapat dijelaskan dengan sistem sebagai berikut : input (masuk) data hidrologi (curah hujan, iklim, dan suhu), ketersediaan air, kebutuhan air, dan hasil pengukuran lapangan serta sistem pembagian air dari hulu sampai hilir. Kemudian diproses dengan software dan menghasilkan (output) berupa : peta tentatif potensi air di masing-masing distrit, neraca air/water balance (keseimbangan air), manajemen air dan model pengelolaan sumber daya air. Software ini mempunyai kelebihan tampilan interaktif, yang dapat dengan mudah memberikan infromasi imbangan/alokasi air pada suatu daerah (Water District) dalam suatu wilayah dalam suatu wilayah sungai (Meijer, 2011). Model DSS-RIBASIM terdiri atas beberapa komponen, yang dikendalikan oleh sebuah interface yang menunjukkan lokasi geografis. Adapun komponen-komponen model antara lain sebagai berikut: 1. DSS Shell merupakan program pembuka yang memadukan programprogram lain. 2. Netter adalah editor jaringan skematisasi sistem tata air yang dapat digunakan secara interaktif dalam menyusun jaringan dan pemasukan data. Penyajian hasil simulasi pada setiap simpul dan ruas sungai juga ditampilkan dalam bentuk peta skematisasi ini. 40 Skematisasi ini dilatarbelakangi oleh lapisan (layer) peta situasi wilayah yang dapat memuat lapisan kontur, kota-kota kecamatan, jaringan infrastruktur dan lainnya. 3. Case management tool merupakan pemberi petunjuk dalam melaksanakan proses simulasi, sehingga masing-masing kasus simulasi dapat dikelola secara rapi. 4. AGWAT adalah model perhitungan kebutuhan air irigasi. 5. FISHWAT adalah model kebutuhan air perikanan. 6. SIMPROC adalah model simulasi wilayah sungai untuk alokasi air. 7. WADIS adalah model distrik air (Water District). 8. DELWAQ adalah model simulasi kualitas air dari Delft Hydraulics. Penyajian hasil simulasi secara grafis yang flexible dan dilengkapi dengan fasilitas export ke Microsoft-Excel. Model simulasi dalam sistem sumber daya air adalah teknik matematik dengan prosedur/algoritma aritmatik dan logika untuk menggambarkan perilaku dinamik sistem sumber daya air dalam rangkaian periode waktu. Secara umum langkah-langkah yang diperlukan dalam menyusun model simulasi dalam sistem sumber daya air adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan masalah. 2. Menentukan masukan (input) dan keluaran (output) model, data yang diperlukan, ketersediaan data, pemrosesan data. 3. Mendeskripsikan sistem sumber daya air dan hubungan hidrologisnya serta menyusun model. 41 4. Mendefinisikan parameter pada sistem awal, kemudian mengestimasi parameter simulasi untuk dijalankan pada simulasi pertama. 5. Merencanakan kebijakan operasi sistem. 6. Menyusun program komputer. 7. Menjalankan program. 8. Menguji model. Dalam model simulasi pengaturan sumber daya air, simulasi yang sekurang-kurangnya dilakukan untuk dapat mengevaluasi hasil alternatif pola pengaturan air penelitian Hatmoko dan Radhika (2010), adalah sebagai berikut : a. Simulasi tahap awal, yaitu dengan kondisi tanpa upaya pada kasus masa kini yang diperlukan untuk mengecek input data sistem dan kebenaran dijalankannya model (kalibrasi). Dalam tahap ini akan dimasukkan data ketersediaan air sebagai data water supply pada tahun tertentu yang disusun sedemikian rupa untuk memperoleh hasil keluaran model sama/mendekati kenyataan yang terjadi pada tiap periode yang sama. b. Simulasi dengan kondisi tertentu, dimana simulasi ini akan diketahui akibat sistem kebijakan pengaturan air yang diterapkan dengan menganalisa ketersediaan air di tiap titik pada DAS. c. Simulasi-simulasi selanjutnya, yaitu menerapkan skenario-skenario kebijakan pengaturan air yang baru untuk mendapatkan hasil alokasi air yang lebih baik dan mengarah ke hasil yang optimum. Untuk lebih jelas mengenai DSS Ribasim dapat dilihat pada Gambar 2.1. 42 2.12. Penelitian dengan Software RIBASIM Penelitian dari Yulistianto dan Kironoto ( 2008), mengkaji mengenai pengembangan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai Progo-OpakSerang, dengan menggunakan software RIBASIM dengan tujuan untuk menganalisis pengelolaan sumber daya air, dan untuk pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai Paguyaman, penelitian ini menghasilkan pengembangan dan potensi air di wilayah sungai Paguyaman. Penelitian Istianto dan Suripin (2010), menghasilkan pola pengelolaan sumber daya air terpadu wilayah sungai Pemali Comal Provinsi Jawa Tengah dengan bantuan analisis software RIBASIM. Aryati (2012) meneliti mengenai analisis pendayagunaan sumber daya air di wilayah sungai Limboto Bolango Bone dengan RIBASIM. Penelitian tersebut menghasilkan keseimbangan air untuk kebutuhan air irigasi pada umumnya masih belum dapat tercukupi, kecuali yang telah terpenuhi dengan keandalan diatas 80% adalah pada DI Alale, DI Molalahu, dan DI Pilohayanga serta menentapkan Daerah Irigasi Alo dan Pohu dibuatkan beberapa sumur pompa air tanah, yang sangat membantu penyediaan air irigasi pada musim kemarau. RIBASIM sudah dipergunakan dalam tantanan aplikasi oleh Departemen Pekerjaan Umum yaitu : membantu pada proyek Pengisian Waduk Cirata (1987) untuk memberikan prakiraan duga muka air pada ketiga buah waduk tersebut untuk berbagai alternatif cara pengisian waduk Cirata. Pengembangan 43 sumber daya air di wilayah Sungai Bengawan Solo (1992) RIBASIM digunakan untuk penyusunan skematisasi sistem tata air. Hasilnya berupa peta tata air di DAS Bengawan Solo berdasarkan daerah irigasi. DSS RIBASIM MAPINFO Geographical information system Demand Analysis Allocation Analysis Impact Analysis AGWAT SIMPROC WADIS Water requirement for irrigated agriculture River basin simulation model Crop production cost and yield Water allocation within water distric and on distribution network level DELWAQ FISHWAT HYMOS Hydrological database and modeling system Water requirement for brackish water aquaculture Water quality model. Flow composition on distribution network level (fraction simulation) DEMES Water requirement domestic, municipal and industry supply 2.12. Penelitian dengan Software RIBASIM Module Data Gambar. 2.1. DSS RIBASIM (sumber : Hatmoko,W, 2010) Module 44