31 HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN EFEKTIFITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL Poppy Sofia Anisa Hepi Wahyuningsih Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonalnya, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonalnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Adapun skala pengukuran yang dipakai adalah Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Orangtua yang dibedakan menjadi Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu. Skala penelitian ini menggunakan skala model Likert. Subyek penelitian adalah mahasiswa D III FE UII Yogyakarta, yang masih aktif berkuliah dan masih tercatat sebagai mahasiswa, berjenis kelamin laki – laki dan perempuan dan subyek memiliki orangtua kandung (tidak memiliki ayah tiri atau ibu tiri). Jumlah subyek penelitian sebanyak 116 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson. Proses analisis ini menggunakan SPSS release 11.0 for Windows. Hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = -0,518 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Sedangkan hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = - 0,381 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : Efektifitas Komunikasi Interpersonal, Pola Asuh Otoriter Orangtua. 31 Pengantar Manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidupnya. Pada proses pemenuhan kebutuhan, komunikasi sebagai cara untuk melakukan hubungan dengan orang lain memegang peran yang sangat penting. Bahkan Montagu (Rakhmat, 2003), seorang antropolog terkenal, menyatakan dengan tegas bahwa agen yang paling penting bagi anak untuk belajar menjadi manusia adalah komunikasi, baik verbal maupun non verbal. Menurut Tien (Laily dan Matulessy, 2004), komunikasi verbal sering dikatakan merupakan sarana untuk mengekspresikan ide–ide, sedangkan komunikasi non verbal dapat diartikan sebagai komunikasi yang menggunakan isyarat–isyarat tertentu tanpa menggunakan kata – kata yang dapat menyangkut hal – hal seperti intonasi dan tekanan suara, gerakan wajah, gerakan tubuh, tatapan maupun jarak antar individu Manusia berhubungan dengan sesamanya karena mereka saling membutuhkan dan dengan komunikasi, manusia dapat berkembang dan dapat melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Walgito, 1991). Menurut Cangara (1998) tidak ada data otentik yang menerangkan kapan manusia mampu berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hanya saja diperkirakan bahwa kemampuan manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain secara lisan adalah suatu peristiwa yang berlangsung secara mendadak. Kecakapan manusia berkomunikasi secara lisan menurut perkiraan berlangsung sekitar 50 juta tahun, kemudian memasuki generasi kedua di mana manusia mulai memiliki kecakapan berkomunikasi melalui tulisan. 31 Mulyana (2001) juga menambahkan bahwa manusia telah berkomunikasi selama puluhan ribu tahun. Komunikasi berfungsi sebagai jembatan yang dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain. Pada proses interaksi sosial, komunikasi memegang peranan yang sangat penting karena selalu digunakan dalam kehidupan sehari – hari, bahkan menurut Rakhmat (2003) manusia menggunakan 70% waktu bangunnya untuk berkomunikasi karena dengan berkomunikasi seseorang dapat menyampaikan informasi, ide ataupun pemikiran, pengetahuan, konsep dan lain – lain kepada orang lain secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun sebagai penerima komunikasi (Walgito, 1991). Menurut Onong (1986), komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang paling efektif. Komunikasi jenis ini dianggap efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogis, berupa percakapan. Efektifnya komunikasi antar pribadi itu ialah karena adanya arus balik langsung dimana komunikator dapat melihat seketika tanggapan komunikan, baik secara verbal dalam bentuk jawaban dengan kata, maupun secara non-verbal dalam bentuk gerak – gerik, sehingga komunikator dapat mengulangi atau menyakinkan pesannya kepada komunikan. Menurut Sinambela (2004) bila dilihat dari grafik industri, sering ada keluhan mengenai kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi. Mahasiswa sering terbawa arus teoritis sehingga mahasiswa kesulitan ketika harus berhadapan dengan publik. Mahasiswa tidak jarang terjebak dalam tuntutan tugas sehingga 31 mengesampingkan kemampuan dalam berkomunikasi. Semua gagasan serta ide – ide yang cemerlang akan tidak ada artinya jika tidak diiringi kemampuan untuk menyampaikannya kepada publik. Hantoro (2004) juga menambahkan bahwa ternyata besarnya indeks prestasi seseorang bukanlah jaminan bahwa mahasiswa akan mudah memenangkan persaingan tenaga kerja. Hal ini juga dibuktikan bahwa mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi ternyata tidak cukup mampu untuk bisa berkerja sebaik nilai yang didapatkannya selama kuliah karena ada beberapa kelemahan lulusan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu: pemahaman terhadap tanggung jawab dan etika profesional, pengetahuan terhadap pemahaman terkini (mutakhir), kemampuan berkomunikasi dengan efektif, kemampuan untuk berperan dalam tim multidisiplin, kesadaran akan kebutuhan untuk memenuhi proses belajar sepanjang hayat. Hal tersebut selaras dengan survei awal pada mahasiswa di mana sebagian mahasiswa masih sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, seperti di dalam suasana informal, di mana pada pergaulan sehari – hari di kampus, sebagian mahasiswa menunjukkan kesulitan berkomunikasi yang bisa dilihat manifestasinya lewat kata – kata yang tidak teratur atau salah tingkah, seperti berbicara dengan terbata – bata, seringnya berbicara dengan gerakan tubuh (menggaruk – garuk kepala, mata yang berkedip – kedip, dan lain – lain). Kesulitan berkomunikasi yang di alami mahasiswa tidak saja dengan teman – temanya tetapi juga dengan beberapa dosen pembimbing akademik maupun dosen yang mengajar mata kuliah yang mereka tempuh. Misalnya, pada saat berkonsultasi dengan DPA (dosen pembimbing 31 akademik), dimana seorang mahasiswa yang ingin meminta pendapat dosen akademik tentang mata kuliah yang akan diambilnya pada semester berikutnya, mahasiswa merasa kebingungan untuk menyusun kata – kata awal agar dosen tidak banyak bertanya tentang perkembangan kuliahnya selama ini, terlebih – lebih lagi bila nilai IPK (indeks prestasi akademik) yang jelek membuat mahasiswa merasa malas untuk bertemu dan berkomunikasi sehingga hasilnya tidak jarang mahasiswa salah mengambil mata kuliah. Namun sekarang di beberapa universitas di Yogyakarta, mahasiswa sudah sangat dipermudah karena sistem pemilihan mata kuliah yang akan diambil maupun untuk mengetahui nilai IPK sudah dapat diketahui melalui sistem komputerisasi, dengan kata lain segala urusan akademik bisa langsung di akses melalui komputer. Kasus lain yang juga sering di jumpai di lingkungan kampus seperti mahasiswa yang mempunyai kesulitan dalam mengikuti perkuliahan. Mereka jarang sekali aktif bertanya dalam kelas maupun luar kelas. Beberapa mahasiswa menganggap dosen kurang bisa bersikap ramah dengan mahasiswa sehingga mereka merasa takut untuk bertanya, begitu juga dalam situasi berdiskusi di dalam kelas, hanya orang – orang tertentu saja yang terlihat aktif menginformasikan sesuatu sementara yang lainnya hanya sebagai pendengar saja. Fenomena di atas menunjukkan adanya ketidakefektifan dalam komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Ketidakefektifan seorang mahasiswa di dalam berkomunikasi tidak saja terdapat di lingkungan kampus tetapi sering dijumpai juga di lingkungan di luar kampus, seperti yang di ungkapkan Hantoro (2004), kesulitan berkomunikasi seorang 31 mahasiswa tidak saja terjadi di lingkungan kampus tapi juga dapat dijumpai pada lingkungan sekitar mahasiswa tersebut, seperti kurang berpartisipasi mahasiswa di dalam kegiatan – kegiatan di lingkungan tempat tinggal mereka (karang taruna, kegiatan di tempat ibadah, gotong royong, dll). Hal seperti ini dikarenakan seorang mahasiswa merasa dirinya tidak pantas untuk ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka anggap kurang sesuai dengan peran mereka atau tidak sesuai dengan label kemahasiswaan, yang mereka pikir di jaman sekarang kedudukan seseorang yang berstatus mahasiswa adalah tinggi dan harus di hormati. Kesulitan berkomunikasi semakin diperparah dengan munculnya kelompok – kelompok pada pergaulan remaja. Satu hal yang ditakuti oleh remaja ketika bergabung dalam suatu kelompok adalah takut terkucil atau terisolasi dari kelompoknya. Remaja yang ditolak oleh teman sebayanya akan merasa sedih dan merasa dikucilkan dari kelompoknya. Akibat langsung dari adanya penolakan oleh kelompoknya yaitu adanya frustrasi yang menimbulkan rasa kecewa akibat penolakan atau pengabaian itu, mungkin sekali membuat seorang remaja bertingkah laku yang luar biasa, baik yang berupa pengunduran diri (withdrawal) maupun agresif seperti suka menyendiri, melamun, mengkritik, suka berdebat, suka menyebarkan gosip, suka memfitnah, dan sebagainya (Mappiare, 1982). Hantoro (2004) mengungkapkan bahwa faktor pendidikan non formal berupa kegiatan ekstrakulikuler dalam berbagai lembaga atau organisasi kemahasiswaan ternyata memiliki peran yang cukup penting di dalam proses pembentukan manusia siap saing di dunia kerja. Seperti misalnya kegiatan olahraga 31 di kampus. Bicanawati dkk (1999) mengatakan kelompok olahraga termasuk kelompok kecil, sehingga komunikasi yang terjadi juga dalam lingkup komunikasi kelompok kecil. Komunikasi bentuk ini, semua anggota dapat memiliki kesempatan untuk saling berkomunikasi sehingga orang lain bisa mengerti apa yang orang lain pikirkan. Apalagi dengan jabatan berbeda, otomatis cara berfikir juga berbeda, sehingga sangat perlu untuk membuka saluran komunikasi yang baik dengan orang lain yang mungkin adalah bawahannya. Jika perbedaan yang ada tidak diatasi besar kemungkinan hubungan yang terjadi akan sangat kaku, rendahnya kerjasama dan produktifitas serta kurangnya pemahaman anggota kelompok tentang hal – hal yang mereka lakukan. Maka dengan adanya komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan tentang hal – hal yang belum jelas dan menyampaikan hal – hal lain yang mungkin adalah jalan keluar dari masalah yang harus dihadapi atau dilakukan. Orang – orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia, bisa dipastikan akan tersesat, karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi, seseorang tidak akan tahu bagaimana makan, minum, berbicara sebagai manusia dan memperlakukan manusia lain secara beradab, karena cara – cara berperilaku tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain yang intinya adalah komunikasi. Perilaku komunikasi pertama yang dipelajari manusia berasal dari sentuhan orangtua sebagai respons atas upaya bayi untuk memenuhi kebutuhannya. Orangtua menentukan upaya mana yang akan diberi imbalan dan anak segera belajar merangsang dorongan itu dengan menciptakan perilaku mulut yang memuaskan si 31 pembelai. Pada tahap itu, komunikasi ibu dan anak masih sederhana. Komunikasi anak hanya memadai bagi lingkungannya yang terbatas. Pada tahap selanjutnya, anak memasuki lingkungan yang lebih besar lagi seperti kerabat, keluarga, kelompok bermain, komunitas lokal (tetanggga), kelompok sekolah, dan seterusnya. Ketika anak itu dewasa dan mulai memasuki dunia kerja, lebih banyak lagi keterampilan komunikasi yang ia butuhkan untuk mempengaruhi atau menyakinkan orang lain. Ringkasnya, komunikasi itu penting bagi pertumbuhan sosial sebagaimana makanan penting bagi pertumbuhan fisik (Mulyana, 2004). Komunikasi dalam keluarga mempunyai peranan penting bagi remaja untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Yatim dan Irwanto (Indrijati, 2001) pada diri remaja timbul kebutuhan yang kuat untuk dapat berkomunikasi. Mereka tampak selalu ingin tahu, ingin mempunyai banyak teman dan sebagainya, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat, maka bisa dimengerti bila remaja membutuhkan kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang mereka anggap lebih dewasa, yang pada umumnya adalah orang tua mereka. Berkaitan dengan hal tersebut Sanusi dkk (Indrijati, 2001) menyebutkan perlunya suasana yang akrab dengan anak, sehingga ia setiap saat akan merasa bahwa orang tuanya selain menyayanginya juga selalu membantunya dalam kesulitan, bahwa ia menghadapi orang tua yang berusaha memahaminya sehingga ia mau berbicara terus terang dan terbuka membicarakan masalah dan kesulitannya. Seperti pada kasus yang terdapat dalam Qurrotua’yun newsletter (2004) dimana seorang ibu yang mempunyai kesulitan membagi waktu komunikasi dengan 31 tiga anak – anaknya yang mana kebetulan sang ibu dan suaminya sama – sama bekerja, lima hari dalam seminggu. Setiap hari pulang ke rumah pukul 15.00 wib. Pada kolom konsultasi ini dijelaskan ada sekurangnya tiga kiat perlu diperhatikan dalam komunikasi dengan anak, yaitu: gunakan waktu yang meskipun sedikit untuk berkomunikasi intensif dengan anak, bersikaplah rela dalam berkomunikasi dengan anak, luangkan waktu khusus untuk rekreasi keluarga, sehingga orangtua dan (semua) anak dapat berkomunikasi langsung. Ketika itulah komunikasi langsung anak dan orangtua dapat terjalin. Selain menerima masukan (aspirasi dan keluhan) dari anak, orangtua dapat menyampaikan berbagai pesan penting (nasihat, informasi, pelajaran, penerangan) secara informal pada waktu-waktu luang seperti ini. Terlihat pada kasus di atas, dimana pentingnya komunikasi antara orangtua dengan anak, seperti yang diungkapkan Steede (2003), komunikasi orangtua dan anak sangat penting sebab sejalan dengan bertambahnya usia anak, besarnya pengawasan secara langsung dari orangtua akan berkurang secara signifikan. Ketika orangtua kehilangan kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung lingkungan terdekat anak – anaknya, dialog terbuka dan jujur menjadi cara paling efektif dan sering kali satu – satunya cara. Jika seorang remaja dapat berbicara dengan orangtuanya tentang sahabat – sahabatnya, obat – obat terlarang, atau seks, maka ia dapat memiliki peluang yang lebih baik untuk berhasil melewati masa – masa remaja yang penuh gejolak itu. Namun pada kenyataannya, terlalu sering orangtua tanpa sadar mematikan komunikasi dua arah dengan anaknya. 31 Yatim dan Irwanto (Indrijati, 2001), mengatakan tidak terpenuhinya kesempatan untuk berkomunikasi dalam keluarga akan dapat memberikan dampak yang merugikan bagi remaja, dimana remaja tidak puas dengan keluarganya. Karena keluarga dirasa tidak dapat memberikan bantuan untuk memecahkan masalah, maka remaja berusaha mencari figur lain yang ada di luar rumah. Tetapi apabila terdapat kesalahan dalam mencari figur pengganti akan berakibat kompleks juga. Jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi – situasi kritis dalam rangka konflik peran, maka besar kemungkinannya ia akan terperangkap masuk dalam jalan yang salah misalnya penyalahgunaan seks, penyalahgunaan obat dan lain – lain. Padahal konflik – konflik peran ini akan bisa terlewati dengan berhasil apabila orangtua mau mengerti masalah yang dihadapi oleh remajanya dan berhasil membimbingnya. Cara terbaik untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh remaja adalah melalui komunikasi yang berkualitas antara keduanya. Menurut Hamidah (2002), hampir setiap orangtua mengharapkan anaknya menjadi anak yang baik yang sesuai dengan harapan orangtua khususnya dan masyarakat pada umumnya, taat dan patuh pada nilai – nilai yang berlaku bagi masyarakat dan menjadi orang yang bermanfaat baik bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Harapan ini mendorong setiap orangtua memberikan yang terbaik untuk anaknya berdasarkan pendapat, pemahaman dan pengetahuannya. Sayangnya hal yang dianggap terbaik oleh orangtua belum tentu menjadi yang terbaik bagi anakanak mereka karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan hasil inilah yang seringkali membuat orangtua menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus 31 dilakukan karena kurang memahami apa yang menjadi penyebab perbedaan serta kurang mengetahui apa yang diharapkan anak. Oleh karena itu apa yang dianggap baik oleh orangtua menjadi cara atau jalan keluar yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak – anak mereka. Sehingga menurut Hurlock (1993), semakin otoriter pendidikan anak, semakin mendendam anak itu dan tidak patuh secara sengaja. Perilaku menentang sangat besar perannya dalam memburuknya hubungan orangtua dan anak dengan bertambahnya usia anak. Melihat kenyataan di atas maka Hamidah (2002), menilai pola asuh orangtua akan lebih tepat jika digunakan persepsi anak tentang pola asuh yang diterima dari orangtuanya. Pola asuh orangtua dipandang sebagai suatu respon yang di dalamnya terkandung suatu penilaian, kesan, pendapat ataupun perasaan anak terhadap pola asuh orangtua yang diberikan oleh orangtua mereka. Jadi dapatlah dikatakan bahwa persepsi anak terhadap pola asuh orangtua tersebut sifatnya sangat subyektif. Jadi sesungguhnya yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak adalah bukan hanya pola asuhnya tetapi persepsi anak terhadap pola asuh tersebut, oleh karena itu kebenaran dan ketepatan persepsi ini menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Persepsi merupakan salah satu faktor dari efektifitas komunikasi interpersonal. Rakhmat (2003) menjelaskan dengan beberapa contoh seperti, bila seseorang diberitahu bahwa dosennya yang baru itu galak dan tidak senang dikritik maka seseorang itu akan berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Bila seseorang menganggap tetangganya sombong dan feodal, maka akan menghindari bercakap- 31 cakap dengan dia. Lalu, bila seseorang mempersepsikan kawannya sebagai orang cerdas, bijak, dan senang membantu maka dia akan banyak meminta bantuan nasihat kepadanya. Sama halnya bila seorang anak mempersepsikan pola asuh orangtuanya sebagai pola asuh otoriter maka anak akan memiliki perasaan dendam dan tidak patuh secara sengaja sehingga bila kedua belah pihak menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah kegagalan komunikasi. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi tidak efektif karena menurut Mulyana (2001), komunikasi yang efektif pada dasarnya adalah berusaha memahami apa yang menyebabkan orang lain berperilaku sebagaimana yang ia lakukan, mana mungkin seorang anak dapat berusaha melakukan apa yang diinginkan orangtuanya jika mereka (anak) mempersepsikan pengasuhan orangtua mereka dengan otoriter sehingga menyebabkan anak akan menjadi patuh kalau di hadapan orangtua, tetapi di belakang orangtuanya ia akan memperlihatkan reaksi – reaksi menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa (Sianawati dkk, 1992). Hal ini dapat menimbulkan masalah dan kesulitan bagi diri anak sendiri maupun lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pengasuhan orangtua (otoriter) merupakan faktor penyebab apakah seorang anak dapat melakukan komunikasi interpersonal secara efektif dengan lingkungannya. Sehingga pertanyaan penelitian berupa apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan efektifitas komunikasi interpersonal? 31 Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Orangtua Dengan Efektifitas Komunikasi Interpersonal Komunikasi merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Komunikasi seorang anak pertama kali di lakukan di lingkungan keluarga karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dengan anak melakukan interaksi maka dapat menghasilkan karakteristik kepribadian tertentu yang selanjutnya akan mewarnai sikap dan perilakunya setiap hari, baik didalam keluarga maupun di masyarakat. Dengan demikian orangtua mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan kepribadian remaja (Timomor, 1998). Menurut Indrawati (1995), ada beberapa pendekatan yang dapat diikuti orangtua dalam berhubungan dengan dan mendidik anak – anaknya. Salah satu di antaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Biasanya mengambil sikap otoriter dan memperlakukan maupun mendidik anak secara otoriter dimaksudkan demi kebaikan anaknya. Tetapi dalam kenyataanya, anak yang dibesarkan di rumah yang suasana otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orangtua. Orangtua yang menghendaki anaknya mencapai sesuatu yang dicita - citakan orangtuanya, biasanya berfikir bahwa anaknya juga mempunyai kemampuan untuk mencapai cita – cita itu, meskipun dalam kenyataannya sering tidak demikian. Orangtua yang menggunakan pengasuhan secara otoriter jarang sekali melakukan diskusi atau dialog dua arah, mereka jarang sekali mau dikritik. Menurut Ahmadi (1979), orangtua yang otoriter menaruhkan banyak larangan – larangan yang 31 diberikan anak-anak dan yang harus dilaksanakan tanpa bersoal jawab, tanpa ada pengertian pada anak, sehingga menurut Alibata (2002), anak dengan pola asuh otoriter menjadi tergantung, pasif, kurang bisa bersosialisasi, kurang percaya diri, kurang memiliki rasa ingin tahu dan kurang mandiri bahkan anak dapat menjadi agresif. Menurut Steede (2003), orangtua yang menggunakan gaya komunikasi otoriter ini adalah orangtua yang sangat mempertahankan kendali dan kekuasaan. Gaya komunikasi ini jelas menunjukkan orangtua menilai rendah apa yang dirasakan, dipikirkan, atau dilakukan anak. Hal ini terjadi atas dasar pemikiran bahwa orangtua lebih hebat, lebih kuat, lebih pintar, dan kebutuhannya lebih penting daripada kebutuhan anak. Komunikasi dianggap efektif antara orangtua dengan remaja adalah adanya rasa empati yang di tunjukkan orangtua. Selama ini, dialog dengan keterbukaan yang di landasi rasa saling percaya dan kasih sayang seringkali terabaikan karena banyak faktor, seperti tidak tepatnya waktu atau kurangnya intensitas komunikasi karena kesibukan orangtua. Hal ini menjadikan remaja kadang trauma bila orangtua ingin mengajaknya bicara. Remaja, sebagai calon penerus bangsa sudah sewajarnya mendapat perhatian prioritas dalam segala hal. Tentu saja itu semua berawal dari lingkungan keluarga yang selama hidupnya senantiasa ada (Dian, 2002). 31 Metode Penelitian Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa di D III FE UII Yogyakarta, yang masih aktif berkuliah dan masih tercatat sebagai mahasiswa, berjenis kelamin laki – laki dan perempuan dan subyek memiliki orangtua kandung (tidak memiliki ayah tiri atau ibu tiri). Alasan peneliti mengambil data hanya dari subyek yang memiliki orangtua kandung dikarenakan hubungan antara orangtua kandung dengan anak lebih positif , seperti penerapan disiplin orangtua kandung yang dapat di terima anak dibandingkan dengan hubungan anak dengan orangtua tiri mereka, baik itu ayah tiri maupun ibu tiri mereka (Santrock, 2003). Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. Azwar (1999) menyatakan bahwa guna mengungkap aspek – aspek atau variabel – variabel yang ingin diteliti, diperlukan alat ukur berupa skala atau alat tes yang reliabel dan valid agar kesimpulan peneliti nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter. Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti mengacu pada aspek-aspek dari teori DeVito (1997), dan mengambil beberapa aitem dari skala yang disusun oleh Widiyati 31 (2001) yang relevan dengan aspek yang digunakan peneliti. Skala yang digunakan peneliti terdiri dari empat aspek dari teori DeVito (1997). Aspek yang diungkap dalam skala ini terdiri dari keterbukaan (openness), empati (emphaty), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan(equality). Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal terdiri dari 50 butir aitem yang terdiri dari item favourable dan unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3 untuk sesuai (S) dan skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan pada aitem unfavourable skor bergerak dari 4 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 3 untuk tidak sesuai (TS), skor 2 untuk sesuai (S) dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS). Skala yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Orangtua yang dibuat sendiri oleh peneliti yang berdasarkan pada aspek – aspek pola asuh otoriter orangtua yang dikemukakan oleh Frazier (2000), terdiri dari empat aspek yaitu: aspek batasan perilaku (behavoiral guidelines), aspek kualitas hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of parent-child relationship), aspek perilaku mendukung (behavioral encouraged), aspek tingkat konflik orangtua – anak (levels of parent-child conflict). Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Orangtua terdiri dari 40 butir aitem yang terdiri dari item favourable dan unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3 untuk sesuai (S) dan skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan pada aitem unfavourable skor bergerak 31 dari 4 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 3 untuk tidak sesuai (TS), skor 2 untuk sesuai (S) dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS). Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Analisis statistik mengumpulkan, menyajikan dan menganalisis data – data penelitian yang berwujud angka – angka. Statistik bersifat obyektif dan universal, sehingga dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi, 1996). Statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah teknik analisis korelasi Product Moment dari Pearson dengan menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social Science) release 11.0 for Windows. Alat Ukur Penelitian Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Persepsi Pola asuh Otoriter Ayah dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data dengan menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 4 aitem gugur dari 40 aitem yaitu nomor 1, 3, 6, 20. Aitem yang sahih sebanyak 36 aitem dengan korelasi aitem total bergerak dari 0,3088 sampai dengan 0,7860. Aitem yang sahih dari Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah diuji reliabilitasnya dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha sebesar 0,9515. Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam tabel 1. 31 Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah Setelah Uji Coba Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek Nomor Butir Batasan perilaku 10(7),16(13),25(21), Jumlah 4 30(26) Kualitas Hubungan 14(11),19(16),29(25), Emosional 38(34) Nomor Butir 2(1),7(4),18(15), Jumlah 5 23(19), 31(27) 4 5(3),11(8),24(20), 4 32(28) Orangtua – Anak Perilaku mendukung 12(9), 15(12), 26(22), 4 33(29), Tingkat Konflik 9(6), 22(18), 27(23), Orangtua – Anak 35(31), 39(35) 5 34(30),36(32) 5 4(2),13(10),17(14), 5 37(33),40(36) 17 Jumlah 8(5),21(17),28(24), 20 Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Persepsi Pola asuh Otoriter Ibu dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data dengan menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 1 aitem gugur dari 40 aitem yaitu nomor 20. Aitem yang sahih sebanyak 39 aitem dengan korelasi aitem total bergerak dari 0,3934 sampai dengan 0,7739. Aitem yang sahih dari Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu diuji reliabilitasnya dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha sebesar 0,9644. Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam tabel 2. 31 Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Persepsi Pola Asuh Ibu Setelah Uji Coba Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek Nomor Butir Batasan perilaku Jumlah 1, 10, 16, 25(24), 5 30(29) Kualitas Hubungan 6, 14, 19, 29(28), Emosional 38(37) Nomor Butir 2, 7, 18, 23(22), Jumlah 5 31(30) 5 5, 11, 24(23), 4 32(31) Orangtua – Anak Perilaku mendukung 3, 12, 15, 26(25), 5 33(32) Tingkat Konflik 9, 22(21),27(26), Orangtua – Anak 35(34), 39(38) 5 34(33), 36(35) 5 4, 13,17,37(36), 5 40(39) 20 Jumlah 8,21(20),28(27), 19 Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data dengan menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 12 aitem gugur dari 50 aitem yaitu nomor 1, 4, 7, 15, 16, 19, 23, 27, 33, 44, 49, 50. Aitem yang sahih sebanyak 38 aitem dengan korelasi aitem total bergerak dari 0,3003 sampai dengan 0,7447. Aitem yang sahih dari Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal diuji 31 reliabilitasnya dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha sebesar 0,9339. Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal Setelah Uji Coba Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek Nomor Butir Keterbukaan 5(3),12(9), 24(17), Jumlah Nomor Butir Jumlah 5 18(13), 34(25) 2 5 9(6), 37(28) 2 3 13(10), 22(16), 4 35(26), 43(34) Sikap Mendukung 2(1),10(7), 21(15), 30(22), 42(33) Empati 6(4),28(20), 45(35) 40(31), 46(36) Sikap positif 8(5), 14(11), 5 29(21), 39(30), 3(2), 25(18), 4 36(27), 48(38) 47(37) Kesetaraan 17(12), 31(23), 3 41(32) 11(8), 20(14), 5 26(19), 32(24), 38(29) Jumlah 21 17 Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba 31 Hasil Penelitian Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian Hipotetik Empirik Variabel Min Max Rerata SD Min Max Rerata SD Pola Asuh Otoriter Ayah 36 144 90 18 40 104 71,11 12,164 Pola Asuh Otoriter Ibu 39 156 97,5 19,5 46 109 70,92 13,127 Komunikasi Interpersonal 38 152 95 19 92 138 113,09 8,611 Deskripsi data penelitian di atas dimanfaatkan untuk melakukan kategorisasi pada masing – masing variabel peneltian guna mengetahui bahwa pola asuh otoriter ayah, pola asuh otoriter ibu dan efektifitas komunikasi interpersonal dalam kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah Tabel 5 Kategorisasi Variabel Pola Asuh Otoriter Ayah Kategori Nilai Jumlah % Sangat Tinggi X > 122,4 0 0 Tinggi 100,8 < X = 122,4 4 3,448 Sedang 79,2 < X = 100,8 24 20,689 Rendah 57,6 = X = 79,2 79 68,103 Sangat Rendah X < 57,6 6 5,172 31 Kategorisasi variabel Pola Asuh Otoriter Ayah untuk kategori Sangat Tinggi tidak ada, Tinggi ada 4 subyek (3,448 %), kategori Sedang ada 24 subyek (20,689 %), kategori Rendah ada 79 subyek (68,103 %), dan kategori Sangat Rendah ada 6 subyek (5,172 %). Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas, variabel Pola Asuh Otoriter Ayah termasuk dalam kategori Rendah. Tabel 6 Kategorisasi Variabel Pola Asuh Otoriter Ibu Kategori Nilai Jumlah % Sangat Tinggi X > 132,6 0 0 Tinggi 109,2 < X = 132,6 0 0 Sedang 85,8 < X = 109,2 12 10,345 Rendah 62,4 = X = 85,8 77 66,379 Sangat Rendah X < 62,4 27 23,276 Kategorisasi variabel Pola Asuh Otoriter Ibu untuk kategori Sangat Tinggi dan kategori Tinggi tidak ada, sedangkan kategori Sedang ada 12 subyek (10,345 %), kategori Rendah ada 77 subyek (66,379 %), dan kategori Sangat Rendah ada 27 subyek (23,276 %). Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas, variabel Pola Asuh Otoriter Ibu termasuk dalam kategori Rendah. 31 Tabel 7 Kategorisasi Variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal Kategori Nilai Jumlah % Sangat Tinggi X > 129,2 7 6,034 Tinggi 106,4 < X = 129,2 83 71,552 Sedang 83,6 < X = 106,4 25 21,552 Rendah 60,8 = X = 83,6 0 0 Sangat Rendah X < 60,8 0 0 Kategorisasi variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal untuk kategori Sangat Tinggi ada 7 subyek (6,034 %), kategori Tinggi ada 83 subyek (71,552 %), kategori Sedang ada 25 subyek (21,552 %), sedangkan kategorisasi Rendah dan kategori Sangat Rendah tidak ada. Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas, variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal termasuk dalam kategori Tinggi. Uji normalitas dengan menggunakan teknik One-Sample KolmogorovSmirnov Test dari program SPSS 11,0 for Windows. Variabel Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah nilai K-S Z sebesar 1,100 dengan p = 0,178 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi pola asuh otoriter ayah termasuk dalam kategori normal. Variabel Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu nilai K-S Z sebesar 0,762 dengan p = 0,607 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi pola otoriter ibu termasuk dalam kategori normal. Variabel Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal nilai K-S Z sebesar 1,343 dengan p = 0,054 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi pola otoriter ibu termasuk dalam 31 kategori normal. Berdasarkan data yang diperoleh yang memiliki signifikan lebih dari 0,05 maka data ini normal. Uji linearitas adalah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal dan juga untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Dua variabel dikatakan linear jika Anova Table menunjukkan p Linearity < 0,05 dan p Deviation from Linearity > 0,05. Data yang didapat dari Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu dengan Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal memiliki F Linearity 19,225 dengan p=0,000 (p<0,05) dan F Deviation from Linearity 0,986 dengan p=0,514 (p>0,05), maka data tersebut adalah linear. Data yang didapat dari Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah dengan Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal memiliki F Linearity 40,718 dengan p=0,000 (p<0,05) dan F Deviation from Linearity 0,931 dengan p=0,589 (p>0,05), maka data tersebut adalah linear. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson dengan program SPSS 11,0 for Windows, melalui uji tersebut didapatkan kesimpulan bahwa: a. Ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal anak, yang dibuktikan dengan r = 0,518 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin rendah persepsi pola asuh otoriter ayah maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak, semakin 31 tinggi persepsi pola asuh otoriter ayah maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonal anak, dengan demikian hipotesis penelitian diterima. b. Ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal anak, yang dibuktikan dengan r = 0,381 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin rendah persepsi pola asuh otoriter ibu maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak, semakin tinggi persepsi pola asuh otoriter ibu maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonal anak, dengan demikian hipotesis penelitian diterima. D. Pembahasan Hasil analisis data yang dilakukan membuktikan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter orangtua (ayah dan ibu) dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Jadi dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua yang terbentuk berpengaruh pada penerapan efektifitas komunikasi interpersonal anak (mahasiswa). Berdasarkan rata – rata empirik bahwa persepsi pola asuh otoriter ayah dan persepsi pola asuh otoriter ibu berada dalam kategori rendah, sedangkan efektifitas komunikasi interpersonal dalam kategori tinggi. Hal ini terjadi karena terbentuknya persepsi anak terhadap pola asuh orangtua yang rendah sehingga mengakibatkan efektifitas komunikasi interpersonal anak yang baik. Hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan subyek yang digunakan adalah mahasiswa yang mana mereka sudah memasuki lingkungan yang lebih besar sehingga mereka sudah bisa memahami 31 dengan pengasuhan yang orangtua berikan kepada mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Santosa (1999), bahwa meski tampaknya pola asuh otoriter telah diterapkan namun adanya pemberian alasan yang logis akan mengajarkan kepada anak bahwa segala sesuatu mempunyai sebab dan batasan atau norma positif yang tidak boleh dilanggar. Pada saat mereka menanjak remaja nantinya hal ini akan memudahkan orangtua dalam mengajak mereka berdialog dan mengkomunikasikan segala permasalahan. Melihat hasil penelitian pada Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal didapat mean empirik 113,09 dan mean hipotetik 95. Selain itu presentase efektifitas komunikasi interpersonal subyek yang memperoleh skor sangat tinggi adalah 6,034 % (7 subyek); 71, 552 % (83 subyek) memperoleh skor tinggi dan 21,552 % (25 subyek) memperoleh skor sedang. Hal ini sebagian besar subyek (mahasiswa) memiliki tingkat efektifitas komunikasi interpersonal yang tinggi yang ditinjau dari pola asuh otoriter orangtua. Dari temuan hasil penelitian menunjukkan efektifitas komunikasi interpersonal subyek pada skor yang tinggi yang disebabkan persepsi anak terhadap pengasuhan otoriter orangtua yang rendah hal tersebut di karenakan komunikasi dalam keluarga mempunyai peranan penting bagi remaja untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Indrijati (2001) pada diri remaja timbul kebutuhan yang kuat untuk dapat berkomunikasi. Mereka tampak selalu ingin tahu, ingin mempunyai banyak teman dan sebagainya, dalam hal ini keluarga merupakan lingkungan terdekat, maka bisa dimengerti bila remaja membutuhkan kesempatan untuk dapat 31 berkomunikasi dengan orang yang mereka anggap lebih dewasa, yang pada umumnya adalah orang tua mereka. Berkaitan dengan hal tersebut Sanusi dkk (Indrijati, 2001) menyebutkan perlunya suasana yang akrab dengan anak, sehingga ia setiap saat akan merasa bahwa orangtuanya selain menyayanginya juga selalu membantunya dalam kesulitan, bahwa ia menghadapi orangtua yang berusaha memahaminya sehingga ia mau berbicara terus terang dan terbuka membicarakan masalah dan kesulitannya. Alibata (2002) menyatakan dari beberapa pola pengasuhan orangtua, tipe authoritative merupakan yang ideal. Menurut Santosa (1999), jika remaja dididik secara demokratis, hal ini akan menjadikan mereka mempunyai tempat berlindung ketika mereka sedang mempunyai masalah (seberat apapun masalah yang mereka hadapi mereka tidak akan lari ke minum – minuman keras, penyalahgunaan obat – obatan dan hal – hal negatif lainnya). Anak yang dididik secara demokratis juga akan mempunyai kepercayaan diri yang besar, mempunyai pengertian yang benar tentang apa yang menjadi hak mereka, dapat mengkomunikasikan segala keinginannya secara wajar, dan tidak memaksakan kehendak mereka dengan cara menindas hak – hak orang lain. Menurut Sianawati dkk (1992), dalam mendidik, orangtua yang menerapkan cara otoriter menunjukkan sikap keras, menghukum dan mengancam sehingga anak akan menjadi patuh kalau di hadapan orangtua, tetapi di belakang orangtuanya ia akan memperlihatkan reaksi – reaksi menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang dan melawan ini bisa ditampilkan anak dalam perilaku – 31 perilaku yang melanggar norma atau aturan sosialnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah dan kesulitan bagi diri anak sendiri maupun lingkungannya. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka pola asuh otoriter orangtua di identifikasikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi Efektiftas komunikasi interpersonal pada anak dalam hal ini adalah mahasiswa. Hal tersebut dapat dilihat melalui sumbangan efektif persepsi pola asuh otoriter ibu terhadap efektifitas komunikasi interpersonal yang berada pada kisaran 14,5 % dan sumbangan efektif persepsi pola asuh otoriter ayah terhadap efektifitas komunikasi interpersonal yang berada pada kisaran 26,8 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter orangtua sebagian kecil dari faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi interpersonal. Adanya perubahan cara hidup di zaman modern ini menimbulkan pula perubahan peran dalam keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa pola asuh ayah lebih berpengaruh daripada pola asuh ibu dalam beberapa aspek kehidupan anak (Rohner dkk, 2001). Berbagai penelitian tersebut membuktikan bahwa anakanak yang ayahnya sangat terlibat dalam kehidupan mereka (dalam arti sering memberikan dukungan terhadap anak untuk mampu mandiri) karena mencoba untuk lebih memahami si anak, cenderung lebih berkompeten secara kognitif dan sosial, lebih sadar akan kesetaraan gender, lebih mampu berempati dan menyesuaikan diri (Rohner dkk, 2001). Hal yang sama tidaklah terjadi ketika ibu sangat terlibat pada kehidupan anaknya, namun ayah tidak melakukan hal yang sama. Dari penjelasan diatas, terdapat dua hal yang sangat dipengaruhi oleh pola asuh ayah, yaitu 31 kompetensi sosial dan kemampuan anak untuk berempati. Salah satu bentuk kompetensi sosial adalah tinggi-rendahnya kemampuan seseorang untuk melakukan komunikasi interpersonal. Kemampuan berempati juga merupakan salah satu komponen pendukung dari komunikasi interpersonal. Jadi, tinggi rendahnya kemampuan anak untuk melakukan komunikasi interpersonal lebih dipengaruhi oleh pola asuh ayah daripada pola asuh ibu. Hal ini selaras dengan pendapat Dagun (1997), dimana ia mengungkapkan bahwa tidak diragukan lagi bahwa ayah itu berperan penting dalam perkembangan anaknya secara langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara atau bercanda dengan anaknya. Semuanya itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak, misalnya menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya dan situasi di luar rumah, ia memberikan dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, dan lain – lain. Sobur (1991) menambahkan oleh sebab itu sebaiknya jangan sampai terjadi jarak di antara ayah dengan anak – anaknya, berapapun usia anak – anak itu. Sejak usia anak itu meningkat dari bayi sampai remaja, maka hendaklah ayah ikut mengambil bagian dalam pembinaan watak anak, sekalipun semakin besar anak itu semakin banyak pula kesulitan yang dihadapi anaknya. Berdasarkan penelitian ini maka dapat dilihat adanya kelemahan dalam penelitian yaitu hasil penelitian akan lebih optimal bila hasil penelitian tidak hanya dari anak saja melainkan juga wawancara kedua orangtua dari subyek 31 sehingga dapat terungkap masalah yang lebih dalam dan apabila dalam pengambilan data menggunakan skala berupa quesioner maka diharapkan dalam pengisian skala tersebut ditunggu sampai subyek selesai menjawab karena dikhawatirkan subyek dalam pengisian tidak jujur sehingga tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam penyebaran data sebaiknya subyek uji coba (try out) sama dengan subyek penelitian, agar data yang diperoleh tidak jauh berbeda hasilnya. Selain itu juga sebaiknya dalam penyusunan alat ukur didasarkan pada indikator atribut yang lebih spesifik sehingga hasilnya lebih sesuai dengan keadaan subyek. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal, yang dibuktikan dengan sumbangan efektif pola asuh otoriter ayah terhadap efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar 26,8%. Adapun sumbangan efektif pola asuh otoriter ibu terhadap efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar 14,5%, sehingga semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonal anak begitu juga sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak. Jadi dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua yang terbentuk berpengaruh pada penerapan efektifitas komunikasi interpersonal pada anak (mahasiswa). 31 B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti ingin mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi subyek penelitian Mengingat bahwa persepsi subyek terhadap pola asuh otoriter orangtua termasuk dalam kategori rendah sehingga menghasilkan efektifitas komunikasi interpersonal tinggi. Maka kondisi seperti ini perlu dipertahankan, dimana subyek dalam hal ini anak (mahasiswa) harus bisa memahami sejauh mana peran orangtua di dalam mendidik anak, tidak selamanya penerapan pengasuhan orangtua itu salah. Sehingga bila adanya saling pengertian antara orangtua dengan anak maka kondisi seperti itu dapat mendukung masing – masing peran anggota keluarga. 2. Bagi orangtua Bagi orangtua, temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perkembangan anak – anak mereka. Sebagai orangtua disarankan untuk bisa menerima pemikiran dan pendapat dari anak – anak mereka karena belum tentu apa yang baik menurut orangtua baik pula menurut anak. Orangtua diharapkan untuk membuka diri dengan memberikan informasi, memberi kesempatan pada anaknya untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan pesan tertentu dan memberikan kesempatan pada anaknya untuk mengungkapkan perasaan terutama berkaitan dengan masalah yang dihadapi remaja, sehingga remaja dapat membentuk sikap – sikap positif terhadap hal – hal 31 yang baik dan sikap negatif terhadap hal – hal yang buruk dalam dirinya yang akan melandasi perilakunya. 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tema yang sama, disarankan untuk menggunakan teknik wawancara pada subyek penelitian sehingga dapat terungkap masalah yang lebih dalam dan apabila dalam pengambilan data menggunakan skala berupa quesioner maka diharapkan dalam pengisian skala tersebut ditunggu sampai subyek selesai menjawab karena dikhawatirkan subyek dalam pengisian tidak jujur sehingga tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam penyebaran data sebaiknya subyek uji coba (try out) sama dengan subyek penelitian, agar data yang diperoleh tidak jauh berbeda hasilnya. Selain itu juga sebaiknya dalam penyusunan alat ukur didasarkan pada indikator atribut yang lebih spesifik sehingga hasilnya lebih sesuai dengan keadaan subyek. 31 DAFTAR PUSTAKA __________. 2004. Membagi Waktu Komunikasi. Qorrotua’yun Newsletter.Edisi 07. Desember 2003/Januari 2004. __________. 2005. 4 Tipe Orangtua. Empathy (majalah psikologi). Maret – April 2005. Ahmadi, A. 1979. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Bina Ilmu. Alibata, A. Anak – anak Korban Pola Asuh Orangtua.http://www. Suarapembaharuan. com/ news/ 2002/04/ 07/ Psikologi/ Psi01. Htm. 3/4/2002. Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologis. Edisi ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bicanawati dkk. 1999. Pengaruh Keikutsertaan Pada Kegiatan Olahraga Terhadap Kemampuan Melakukan Hubungan Interpersonal. Jurnal: Anima. Vol.14. No.54. Januari - Maret 1999. Cangara, H. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Castellanos, S. 2005. The Effect of Interpersonal Communication Skills on Ratings of Talk Show Hosts Rosie O’Donnell and Oprah Winfrey. http://www. People wscu. Edu/mccarneyh/acad/castellanos. Html. Coleman, J.C. dan Hammen, C. L. 1974. Contempory Psychology and Effective Behavior. Brighton, England: Glenview illinois. Dagun, S.M. 1997. Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga). Jakarta: Rineka Cipta. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. DeVito, J.A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Profesional Books. DeVito, J.A. 2005. Efektifitas Komunikasi Interpersonal. http://public.ut.ac.id/html/suplemen/skom4101/page 18. html. 31 Dian. Komunikasi Dalam Keluarga, Awal Keberhasilan. http://www.bkkbn.go.id/hqweb/pikas/2002/artikel/120802.htm. Effendy, O.U. 1981. Dimensi – dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni. Effendy, O.U. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya. Feldman, R.S.1994.Essentials of Understanding Psychology. New York: McGraw – Hill,inc. Frazier, Barbara. M.S.W. Parenting Styless: AssessingYour Parenting Style. http:/www.thesuccesfullparent.com/articles/styles.htm.14/04/05. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.D. 2003. Psikologi Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hadi, S. 1996. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hamidah. 2002. Perbedaan Kepekaan Sosial Ditinjau Berdasarkan Persepsi Remaja Terhadap Pola Asuh Orangtua pada Remaja di Jawa Timur. Jurnal: Insan. Vol.4. No.3.132 – 160. Hantoro, Y.N. 2004. Jangan Terlalu Bangga Dengan IP Tinggi. http://groups.or.id/pipermail/omepgt/2004 – October/000250.html. Hurlock, E.B.1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw – Hill. Hurlock, E.B. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Indrawati, T. 1995. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta: CV. Rajawali. Indrijati, H. 2001. Hubungan Antara Kualitas Komunikasi Remaja dan Orangtua dengan Sikap Remaja Terhadap Hubungan Seksual Pranikah. Jurnal: Insan. Vol.3.No.1. Juriana. 2000. Kesesuaian Antara Konsep Diri Nyata Dan Ideal Dengan Kemampuan Manajemen Diri Pada Mahasiswa Pelaku Organisasi. Jurnal : Psikologika Nomor 9 Tahun V 2000. Laily, N dan Matulessy, A. 2004. Pola Komunikasi Masalah Seksual Antara Orangtua dan Anak. Jurnal: Anima. Vol. 19. No. 2. 194 – 205. Liliweri. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bhakti. 31 Lindgen, H.C and Byrne, D. 1975. An Introduction to A Behavioral Science Fourth Edition. New York/ London/ Sydney/ Toronto: John Wiley & Sons, inc. Mahmud, M.D. 1990. Psikologi Pendidikan (suatu pengantar). Yogyakarta: Andi Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. Marwati. 2001. Kepercayaan Diri dan Kecemasan dalam Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Tahun Awal Fakultas Psikologi UAD Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Mulyana, D. 2001. Konteks- konteks Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, D. 2004. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Picken, J. 2003. Men and women in The Use of Media for Interpersonal Communication. http://www. Aber. Ac. Uk/media/students/jlp0201. doc. Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rohner dkk. 2001. The Importence of Father Love History and Contempory Evidence. http://academic. uofs. edu/student/sitoskis/father love. html. 04/11/2005/ Santosa, J. 1999. Peran Orangtua dalam Mengajarkan Asertivitas pada Remaja. Jurnal: Anima. Vol.15. No. 1. 83 – 91. Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Sianawati dkk. 1992. Taraf Perkembangan Moral Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orangtua. Jurnal: Anima. Vol. VII. No. 27, April – Juni 1992. Sinambela, F.C. 2004. Seputar Kampus (Kemampuan Komunikasi). http://www.petra.ac.id/dwipekan/content.php?Topic=seputar&ID=6. Sobur,A. 1991. Komunikasi Orangtua dan Anak. Bandung : Angkasa. Steede, K. 2003. 10 Kesalahan yang Sering Dilakukan Orangtua dan Bagaimana Menghindarinya. Jakarta: Pustaka Tangga. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius. 31 Timomor, A. 1998. Kecendrungan Otoriter Pola Asuh Orangtua, Konflik Keluarga dan Kecendrungan Agresivitas Remaja. Tesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Walgito, B. 1991. Psikologi Sosial (suatu pengantar). Yogyakarta: Andi. Widiyati, W. 2001. Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dengan Alienasi Diri pada Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Yulica. 2005. Hubungan Antara Empati dengan Komunikasi Interpersonal pada Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.