BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Telaah Pustaka 2.1.1 Golongan Darah a. Definisi golongan darah Golongan darah adalah ciri khusus darah dari individu yang mencerminkan perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran eritrosit (Ganong, 2003). Sebelum ditemukan adanya golongan darah, pada abad ke 18 saat dilakukan transfusi darah terjadi kematian pada penerima darah (resipien). Kemudian pada tahun 1901, Dr. Karl Landsteiner, seorang ilmuwan dari Austria, berhasil menemukan bahwa sel-sel darah merah (eritrosit) dari beberapa individu akan mengalami penggumpalan (aglutinasi) apabila dicampur dengan serum dari beberapa orang, tetapi tidak semua orang. Penemuan ini kemudian menjadi awal mula perkembangan dari ilmu genetika yang sangat bermanfaat bagi ilmu kedokteran. Antigen–antigen yang terdapat pada eritrosit bersifat herediter. Menurut Ganong (2003), antigen A dan B ini diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel. Selain di sel darah, antigen ini juga dapat terdistribusi secara luas di berbagai jaringan tubuh lain yakni di kelenjar liur, pankreas, saliva, testis, ginjal, hati, semen dan cairan amnion. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika penggolongan darah dengan sistem ABO tidak hanya penting dalam transfusi darah, tetapi juga memiliki peranan dalam patofisiologi berbagai macam penyakit pada manusia. Saat ini, keterkaitan antara golongan darah ABO dengan berbagai penyakit mulai mendapat perhatian khusus. Dari berbagai hasil penelitian, didapatkan bahwa golongan darah mempunyai hubungan terhadap penyakit tertentu. Golongan darah AB berkaitan dengan sindrom syok dengue pada anak (Rahayu, 2008), sedangkan golongan darah O berkaitan dengan kejadian ulkus peptikus dan kanker lambung (Edgren et al., 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuzhalin & Kutikhin (2012), subyek dengan golongan darah non-O (A, B, atau AB) mempunyai resiko mengalami kanker ovarium sebesar 40-60% dibandingkan 8 9 dengan subyek lain, dan resiko ini paling tinggi pada orang dengan golongan darah AB. b. Golongan darah ABO Dari hasil pengamatan terhadap sampel darah, darah manusia dapat digolongan menjadi beberapa macam tipe. Di dunia, terdapat banyak macam penggolongan darah, seperti sistem ABO, Rh, MNS, Lutheran, Kell dan Kid. Selain fenotipe golongan darah yang sudah dikenal, diperkirakan masih terdapat triliunan fenotipe golongan darah yang belum terungkap. Saat ini, sistem yang lebih banyak dipakai adalah penggolongan dengan sistem ABO dan sistem Rhesus (Rh). Sistem golongan darah ABO yang ditemukan oleh Karl Landsteiner pada tahun 1990 merupakan sistem yang sangat penting dalam bank darah dan ilmu kedokteran transfusi. Antigen-antigen utama dalam sistem ini disebut sebagai A dan B, dan antibodi utamanya adalah anti-A dan anti-B. Gen-gen yang menentukan ada tidaknya aktivitas A atau B terletak di kromosom 9. Pada sistem ABO, berdasarkan antigen yang terdapat di membran selnya dapat dikelompokkan dalam 4 golongan, yakni golongan darah O (46%), A (40%), B (10%) dan AB (4%). Pada sebagian besar populasi, antigen utamanya yang terdapat di permukaan selnya yakni antigen tipe A dan tipe B. Seseorang bisa memiliki salah satu antigen, keduanya atau atau tidak memiliki antigen itu sama sekali. Keberadaan dari antigen itu yang nantinya akan menentukan dari jenis golongan darah yang dimiliki oleh seseorang. Antigen-antigen ini disebut juga sebagai aglutinogen karena sifatnya yang menyebabkan aglutinasi eritrosit (Ganong, 2003). Antigen A dan B pada dasarnya merupakan oligosakarida kompleks yang memiliki perbedaan pada gula terminalnya. Pada eritrosit, antigen ini kebanyakan berupa glikosfingolipid, sedangkan pada jaringan yang lain antigennya berupa glikoprotein. Pada semua jenis golongan darah, terdapat gen H yang mengkode fukosa transferase yang meletakkan satu molekul fukosa di ujung glikolipid atau glikoprotein. Gen H inilah yang akan membentuk antigen H pada golongan darah. Dalam sel, gen H terletak di luar lokus ABO dan ditemukan di kromosom 19. 10 Individu yang memiliki golongan darah A mempunyai satu gen yang mengkode suatu transferase yang berfungsi sebagai katalisator penempatan Nasetilgalaktoksamin terminal pada antigen H. Orang dengan golongan darah B akan mempunyai suatu gen yang mengkode transferase dan menempatkan galaktosa terminal. Sedangkan, pada individu dengan golongan darah AB mempunyai dua transferase yang akan menempatkan N-asetilgalaktoksamin dan galaktosa pada terminal antigen H. Individu dengan golongan darah O tidak mempunyai dua transferase ini, namun tetap memiliki antigen H. Hal ini disebabkan, pada orang-orang dengan golongan darah O terjadi delesi satu-basa (single-base deletion) pada gennya, sehingga orang bergolongan darah O mempunyai protein yang tidak memiliki aktivitas transferase ( Franchini & Lippi, 2015). Gambar 3. Struktur kimiawi antigen darah ( Franchini & Lippi, 2015) Selain antigen, tubuh manusia juga membentuk antibodi terhadap antigen eritrosit. Antibodi ini disebut sebagai aglutinin. Setiap golongan darah memiliki kekhasan masing-masing pada aglutininnya. Orang dengan golongan darah A membentuk antibodi anti-B, individu dengan golongan darah B membentuk antibodi anti-A. Individu dengan golongan darah membentuk keduanya, sedangkan pada golongan darah AB tidak membentuk keduanya. 11 Tabel 3. Penggolongan golongan darah berdasar sistem ABO (Guyton & Hall, 2007) Golongan darah O A B AB Aglutinogen A B A dan B Aglutinin Anti-A dan Anti-B Anti-B Anti-A - c. Penentuan golongan darah sistem ABO Penentuan jenis golongan darah berdasarkan sistem ABO dapat dilakukan dengan mencampurkan sampel darah seseorang dengan antisera yang mengandung berbagai aglutinin pada gelas obyek untuk melihat proses aglutinasi (penggumpalan) yang terjadi. Cara penentuan golongan darah sistem ABO : 1. Sediakan gelas obyek bersih 2. Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya dengan menggunakan alkohol 70 % 3. Tusuk jari dengan menggunakan jarum lanset berukuaran 3 ml 4. Setelah darah keluar, letakkan tiga tetes kecil darah pada gelas obyek 5. Tetesi tetesan darah pertama dengan antiserum A, lalu aduk dengan ujung tusuk gigi 6. Tetesi tetesan darah pertama dengan antiserum B, lalu aduk dengan ujung tusuk gigi 7. Tetesi tetesan darah pertama dengan antiserum AB, lalu aduk dengan ujung tusuk gigi 8. Amati hasilnya apakah terjadi aglutinasi (penggumpalan darah) atau tidak pada tetesan darah yang telah dicampur dengan antiserum 9. Tentukan golongan darah berdasarkan reaksi yang terjadi 12 Tabel 4. Interpretasi penentuan golongan darah sistem ABO Anti-A + + Anti-B + + Anti-AB + + + Golongan Darah O A B AB 2.1.2 Hipertensi a. Definisi hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg (Price & Wilson, 2002). Hipertensi merupakan keadaan yang kompleks dan merupakan faktor resiko terbanyak dalam berbagai penyakit kardiovaskular. Sekitar 90% dari kasus hipertensi merupakan hipertensi esensial dimana penyebabnya tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan laporan WHO, hipertensi merupakan penyebab paling penting dalam kematian prematur. Pada tahun 2002, hipertensi menyerang sekitar 972 juta jiwa di dunia dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat sebanyak 60% menjadi sekitar 1,56 milyar jiwa pada tahun 2025 (Mukopadhyay et al., 2011). Hipertensi merupakan masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia karena prevalensinya yang cukup tinggi. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi hipertensi pada penduduk berusia 18 tahun ke atas mencapai 28% dan akan lebih lanjut pada orang lanjut usia. Hipertensi tidak memberikan keluhan yang khas sehingga banyak penderita yang tidak menyadarinya, oleh karena itu hipertensi dijuluki sebagai the silent killer atau “pembunuh diam-diam” (Rilantono, 2012). b. Faktor resiko hipertensi Faktor resiko dari hipertensi adalah : 1. Usia Seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipertensi. Lansia yang mengalami hipertensi mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular. Tekanan darah sistolik akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan tekanan diastolik akan menurun mulai dari 13 usia 50 tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kekakuan pada aorta (Kaplan & Victor, 2010). 2. Ras Orang dengan ras kulit hitam memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berkulit hitam. Jumlah kematian akibat hipertensi lebih tinggi di ras kulit hitam. Prevalensi hipertensi pada ras non hispanik berkulit hitam sebesar 33,5%, ras non hispanik kulit putih 28,9% dan pada ras meksiko amerika prevalensinya mencapai 20,7% (Rader & Hobbs, 2008). 3. Diet Asupan makanan yang memiliki kadar NaCl yang tinggi dan konsumsi alkohol memiliki kaitan yang erat dengan hipertensi. Rendahnya konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan potasium juga berperan dalam timbulnya hipertensi. 4. Keluarga Adopsi, saudara kembar dan keluarga memiliki pengaruh terhadap tingkat tekanan darah dan timbulnya hipertensi pada individu. Riwayat keluarga hipertensi berperan dalam 15-35% terhadap timbulnya hipertensi (Rader & Hobbs, 2008). 5. Merokok Kandungan nikotin dalam rokok menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding endotel, sehingga pembuluh darah lebih rentan mengalami penumpukan lemak (aterosklerosis). Selain itu, nikotin dapat merangsang syaraf simpatis sehingga akan memacu jantung untuk bekerja lebih keras dan juga mengakibatkan adanya vasokonstriksi pembuluh darah. 6. Kurangnya aktivitas fisik Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor resiko dari hipertensi. Orang yang mengalami obesitas memiliki resiko tinggi mengalami hipertensi. Diperkirakan dari sekitar 60% pasien yang mengalami hipertensi, lebih dari 20% diantaranya mempunyai berat badan yang berlebih (Rader & Hobbs, 2008). 14 c. Klasifikasi hipertensi Tekanan darah bersifat kontinyu, namun batasan tekanan darah normal ditentukan secara konsensus berdasarkan data epidemiologik. Saat ini, klasifikasi yanng banyak dianut yakni berdasarkan pedoman The Joint National Commision (JNC VII) dari Amerika Serikat dan yang dikeluarkan oleh The European Society of Hypertension (ESC) tahun 2007. Tabel 5. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 (Adam et al., 2007) Klasifikasi Normal Prehipertensi Hipertensi tahap 1 Hipertensi tahap 2 Tekanan darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) < 120 dan < 80 130-139 80-89 140-159 90-99 >160 >100 d. Patofisiologi hipertensi Sekitar 95% kasus dari hipertensi merupakan hipertensi esensial atau idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti. Patogenesis hipertensi sangat kompleks karena melibatkan interaksi berbagai macam variabel. Sedangkan, 5% kasus hipertensi terjadi secara sekunder akibat adanya penyakit parenkim ginjal atau aldosteronisme primer (Price & Wilson, 2002). Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang etiologinya tidak diketahui secara pasti. Hipertensi esensial diturunkan secara genetik dan terjadi akibat adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Rader & Hobbs, 2008). Meskipun patogenesisnya tidak diketahui secara jelas, akan tetapi dimungkinkan terdapat perubahan homeostatis dari kadar sodium di ginjal dan adanya perubahan tonus pembuluh darah. Kedua hal itu berperan dalam meningkatkan volume darah dan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Kumar et al., 2003). Faktor genetik memiliki peran yang kuat dalam hipertensi esensial. Hal ini terkait dengan variasi alel pada gen yang mengkode komponen dalam sistem renin angiotensin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah. Hipertensi berkaitan dengan polimorfisme pada lokus angiotensinogen dan lokus reseptor angiotensin 15 tipe II. Gen inilah yang bertanggungjawab terhadap pengaturan respons terhadap peningkatan kadar sodium di ginjal, kadar substansi pressor dan reaktivitas serta pertumbuhan otot polos vaskuler. Faktor lingkungan juga memiliki peran dalam memodifikasi ekspresi dari berbagai macam gen yang berperan terhadap kejadian hipertensi. Stres, obesitas, merokok, inaktivitas fisik dan asupan makanan yang mengandung garam tinggi akan berpengaruh terhadap tekanan darah. Gambar 4. Patofisiologi hipertensi ( Kumar et al., 2003) Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang terjadi akibat adanya penyakit tertentu. Penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan hipertensi yakni : 1. Penyakit ginjal Penyakit ginjal merupakan penyebab paling sering terjadinya hipertensi. Hipertensi dapat dijumpai pada >80% pasien yang mengalami gagal ginjal. Secara umum, semua penyakit ginjal akan mengakibatkan terjadinya hipertensi, akan tetapi penyakit ginjal yang melibatkan glomerolus seperti glomeruloneftritis akan mengakibatkan hipertensi yang lebih parah dibandingkan dengan penyakit yang melibatkan intersisium ginjal seperti pielonefritis kronis (Rader & Hobbs, 2008). Kelainan yang terjadi di ginjal akan mengakibatkan hipertensi melalui mekanisme aktivasi jalur renin-angiotensin yang selanjutnya akan 16 menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang merupakan mekanisme utama terjadinya hipertensi. 2. Aldosteronisme primer Produksi hormon aldosteron yang berlebihan seperti yang terjadi pada aldosteronisme primer menyebabkan hipertensi melalui aktivasi sistem renin-angiotensin sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan retensi sodium, hipertensi dan hipokalemia (Rader & Hobbs, 2008). 3. Cushing’s Syndrome Hipertensi terjadi pada 75-80% pasien yang mengalami Cushing’s Syndrome. Mekanisme hipertensi terjadi melalui stimulasi reseptor mineralokortikoid oleh kortisol dan peningkatan sekresi steroid adrenal lainnya (Rader & Hobbs, 2008). 4. Feokromositoma Feokromositoma adalah tumor mensekresikan katekolamin. di medula adrenal yang dapat Hipertensi yang terjadi akibat feokromositoma terjadi pada sekitar 0,05% pasien. Sekitar 20% feokromositoma merupakan penyakit familial yang diturunkan secara dominan autosomal. e. Manifestasi klinis dan komplikasi hipertensi Perjalanan penyakit hipertensi terjadi secara perlahan, sehingga mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini dapat menyelubungi perkembangan penyakit sampai akhirnya terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala, maka gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik seperti sakit kepala atau pusing (Price & Wilson, 2002). Jika hipertensi tidak diketahui dan tidak diberikan penatalaksanaan, maka hipertensi akan menyebabkan kerusakan sejumlah organ penting seperti jantung, otak, ginjal dan retina mata. Selain itu, hipertensi juga bisa menyebabkan adanya disfungsi ereksi. Dengan adanya komplikasi yang terjadi akibat hipertensi seperti hipertrofi ventrikel kiri, payah jantung, iskemik otak dan stroke akan menurunkan kelangsungan hidup (survival) secara drastis dalam beberapa tahun. Setiap 17 kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg akan meningkatkan resiko mortalitas kardiovaskular dua kali lipat (Rilantono, 2012). f. Pengukuran tekanan darah Pengukuran tekanan darah memerlukan ketepatan untuk menghindarkan terjadinya kesalahan dalam menggolongkan seseorang yang seharusnya memiliki tekanan darah tinggi, namun digolongkan sebagai penderita hipertensi. Untuk meminimalkan adanya perbedaan tersebut, maka pengkuran tekanan darah sebaiknya dilakukan sesuai denngan pedoman standar (Rilantono, 2012). Pengukuran tekanan darah sebaiknya : 1. Orang yang diukur tekanan darahnya harus tenang dan santai beberapa menit sebelumnya. Tidak boleh merokok, minum kopi atau minuman yang mengandung kafein. Obat-obatan yang digunakan harus diketahui. 2. Pasien diperiksa dalam keadaan duduk di kursi dengan sandaran punggung, gunakan manset (cuff) dengan ukuran yang pas 3. Lengan diletakkan diatas meja, manset dipasang setinggi jantung. Apabila pasien diperiksa dalam keadaan berbaring, maka tekanan darah dicatat sebagai tekanan darah supine 4. Sambil melakukan palpasi denyut nadi arteri radialis atau arteri brakialis, balon dipompa sehingga denyut nadi hilang 5. Stetoskop diletakkan di arteri brakialis lalu manset dikempiskan perlahan-lahan dengan kecepatan turun tekanan 2 mmHg per detik. Bunyi pertama yang terdengar (Korotkoff I) adalah tekanan darah sistolik dan saat bunyi tidak terdengar (Korotkoff V) adalah tekanan darah diastolik Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan hasil yang tepat. Jarak antara dua pengukuran sebaiknya 2 menit agtau lebih. Jika pada kedua pengukuran tekanan darah tersebut terdapat perbedaan lebih dari 5 mmHg, maka ulangi pengukuran tekanan darah (Bickley, 2003). 18 2.1.3. Profil Lipid a. Definisi lipid Lipid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen yang umunya hidrofobik, yaitu tidak larut dalam air, tapi larut dalam pelarut organik (Sacher & McPherson, 2002). b. Klasifikasi lipid Golongan lipid yang secara biologis mempunyai arti penting adalah : 1. Asam lemak Asam lemak mempunyai struktur yang terdiri dari rantai C-H yang diakhiri dengan gugus karboksil (-COOH). Di plasma, hanya sebagian kecil asam lemak berada dalam bentuk bebas (bentuk tidak teresterifikasi) dan sebagian besar lainnya akan berikatan dengan albumin. Sebagian besar asam lemak di plasma merupakan komponen dari trigliserida dan fosfolipid. 2. Trigliserida Sesuai dengan namanya, trigliserida merupakan golongan lipid yang terdiri atas tiga molekul lemak yang berikatan dengan molekul gliserol melalui ikatan ester. Asam lemak dalam trigliserida dapat berupa asam lemak jenuh ataupun asam lemak tidak jenuh. Sebagian besar trigliserida berasal dari sumber tumbuhan seperti jagung dan biji bunga matahari yang kaya akan asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid) yang berbentuk minyak (cair) pada suhu ruangan. Sedangkan, sebagian yang lainnya berasal dari sumber hewani yang mengandung asam lemak jenuh dan biasanya berbentuk padat pada suhu ruangan. Trigliserida tidak mempunyai gugus hidrofilik, sehingga membuatnya bersifat hidrofobik dan sangat tidak larut dalam air. Akibat dari tidak adanya kandungan muatan dalam trigliserida, maka trigliserida diklasifikasikan sebagai lipid netral. 3. Fosfolipid Fosfolipid mempunyai struktur yang mirip dengan trigliserida, yang membedakan yakni adanya dua gugus asam lemak teresterifikasi dalam fosfolipid. Posisi ketiga dalam rangka gliserol mengandung gugus 19 fosfolipid. Gugus fosfolipid yang terkandung dalam fosfolipid dapat berupa kolin, inositol, serine dan etanolalamin. Berbagai macam fosfolipid dinamai berdasarkan kandungan gugus fosfolipidnya. Misalnya fosfatidilkolin yang memiliki gugus kolin. Fosfolipid merupakan molekul ampifatik yang memiliki gugus hidrofobik asam lemak dan gugus hidrofilik. Dengan sifat amfifatik yang dimilikinya ini, fosfolipid merupakan penyusun utama pada membran sel. Gugus hidrofilik yang bersifat polar berada di lingkungan sitoplasma yang kaya akan air, sedangkan rantai asam lemak yang bersifat hidrofobik akan menghadap ke arah dalam sel. 4. Kolesterol Kolesterol merupakan alkohol steroid tidak jenuh yang terdiri dari empat cincin (A, B, C dan D) dan mempunyai satu gugus C-H. Pada kolesterol, satu-satunya bagian yang bersifat hidrofilik adalah gugus hidroksil pada cincin A. Seperti halnya fosfolipid, kolesterol juga bersifat ampifatik dan berfungsi sebagai penyusun membran sel. Gugus hidroksil pada cincin A yang bersifat polar berada di bagian luar membran sel dan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen non kovalen. Kolesterol juga dapat berada dalam bentuk teresterifikasi yang disebut dengan kolesterol ester. Berbeda dengan kolesterol bebas, kolesterol ester tidak memiliki gugus polar sehingga membuatnya menjadi sangat hidrofobik. Karena tidak bermuatan, maka kolesterol ester digolongkan sebagai lipid netral yang ditemukan pada bagain tengah lipoprotein bersama dengan trigliserida. Berbeda dengan jenis lipid lainnya, kolesterol tidak bisa dikatabolisme oleh sebagian besar sel, sehingga tidak bisa digunakan sebagai sumber energi. Namun demikian, kolesterol dapat diubah oleh hepar menjadi asam empedu seperti asam kolat dan asam deoksikolat yang berfungsi dalam penyerapan lemak di saluran cerna dengan bekerja sebagai detergen. Sejumlah kecil dari kolesterol juga dapat diubah menjadi hormon steroid sepeti glukokortikoid, mineralokortikoid dan estrogen oleh 20 kelenjar adrenal dan kelenjar kelamin. Selain itu, setelah diubah menjadi 7-dehidrokolesterol dapat diubah menjadi vitamin D3 di kulit dengan bantuan sinar ultraviolet. c. Metabolisme lipid Untuk bisa larut dalam air, lipid memerlukan zat pelarut berupa protein yang dikenal dengan apolipoprotein atau apoprotein. Pada saat ini sudah dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama secara alfabetis yakni Apo A, Apo B, Apo C, dan Apo E (Adam, 2007). Gabungan antara lipid dengan apoprotein akan menghasilkan lipoprotein. Setiap lipoprotein akan terdiri dari kolesterol, trigliserid, fosfolipid, dan apoprotein. Lipoprotein mempunyai bentuk sferik dan mempunyai inti trigliserida dan kolesterol ester yang dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Apoprotein bisa ditemukan pada permukaan lipoprotein. Berdasarkan densitasnya, lipoprotein pada manusia dapat dibedakan menjadi enam jenis, yakni l-High-Density Lipoprotein (HDL), Low-Density Lipoprotein (LDL), Intermediate-Density Lipoprotein (IDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), kilomikron dan lipoprotein a kecil (Lp(a)). Dari keenam jenis lipoprotein tersebut, LDL yang paling banyak mengandung kolesterol. Gambar 5. Klasifikasi lipoprotein (Rader & Hobbs, 2008) Setiap jenis lipoprotein memiliki Apo tersendiri. Contohnya untuk VLDL, IDL, dan LDL mengandung Apo B 100, pada kilomikron ditemukan Apo B48. 21 Apo A1, Apo A2 dan Apo A3 ditemukan terutama pada HDL dan kilomikron. Lipoprotein ditemukan dalam keadaan cair untuk kemudian mengalami metabolisme dan akan ditranspor ke organ spesifik. Akan tetapi, ada sebagian lipoprotein yang mengandung Apo B yang berikatan dengan endotel dan sel darah (Adam, 2007). Metabolisme lipoprotein dapat dibagi menjai tiga jalur, yaitu jalur metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen dan jalur reverse cholesterol transport. Jalur metabolisme eksogen dan endogen berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDL, sedangkan jalur reverse cholesterol transport berhubungan dengan metabolisme kolesterol-HDL. 1. Jalur metabolisme eksogen Makanan berlemak yang kita makan mengandung kolesterol dan trigliserida. Selain dari makanan, kolesterol dapat bersumber dari kolesterol yang disintesis oleh hati bersama empedu ke usus halus. Di dalam usus halus, trigliserida dan kolesterol akan diserap oleh enterosit mukosa. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas, sedangkan kolesterol akan diserap sebagai kolesterol. Di dalam usus halus, asam lemak bebas akan diubah kembali menjadi trigliserida, sedangkan kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester. Trigliserida dan kolesterol ester bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang dikenal sebagai kilomikron. Kilomikron kemudian akan memasuki saluran limfe dan akhirnya bermuara ke duktus toraksikus untuk selanjutnya masuk ke aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi asam lemak bebas (free fatty acid, non-esterified fatty acid). Asam lemak bebas kemudian disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan adiposa, tetapi jika jumlahnya banyak, sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan pembentuk trigliserida di hati. Kilomikron yang sudah kehilangan trigliserida akan menjadi kilomikron remnant yang 22 mengandung kolesterol ester dan akhirnya kilomikron remnant akan dibawa ke hati. Gambar 6. Jalur metabolisme eksogen dan endogen lipid (Rader & Hobbs, 2008) 2. Jalur metabolisme endogen Trigliserida dan kolesterol yang disintesis oleh hati akan diekskresikan ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Di sirkulasi, trigliserida dalam VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase menjadi IDL, IDL kemudian juga akan mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL dan LDL kemudian akan mengangkut kolesterol ester kembali ke hati. Sebagian dari kolesterol di dalam LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik seperti kelenjar adrenal, testis dan ovarium yang mempunyai reseptor kolesterol-LDL. Sebagian lagi dari kolesterol-LDL kemudian akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag, dan selanjutnya makrofag akan menjadi sel busa (foam cell) yang bisa menyebabkan terjadinya penumpukan lemak di endotel pembuluh darah. Semakin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma, maka akan semakin banyak kolesterolLDL yang mengalami oksidasi dan ditangkap oleh makrofag, sehingga rentan untuk mengalami penyempitan pembuluh darah (Adam, 2007). 23 3. Jalur Reverse Cholesterol Transport HDL akan dilepaskan oleh usus halus dan hati sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang berbentuk gepeng yang disebut sebagai HDL nascent. HDL nascent akan mendekati makrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di dalam makrofag, kemudian HDL nascent akan berubah menjadi HDL dewasa yang berbentuk bulat. Untuk bisa diambil oleh HDL nascent, kolesterol bebas yang ada di bagian dalam makrofag harus di bawa ke permukaan makrofag melalui transporter yang disebut sebagai Adenosine TriphosphateBinding Cassette Transporter-1 (ABC-1). Setelah kolesterol bebas berhasil diambil, kolesterol bebas akan diesterifikasi menjadi kolesterol ester oleh enzim Lechitin Cholesterol Acyltransfrase (LCAT). Kolesterol ester yang dibawa oleh HDL kemudian akan memasuki dua jalur. Jalur pertama adalah jalur menuju hati. Kolesterol akan ditangkap oleh Scavenger Receptor class B type 1 (SR-B1) di sel-sel hepatosit. Jalur kedua yakni kolesterol ester di dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserida dari VLDL dan IDL dengan bantuan Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) d. Pengukuran kadar lipid Pengukuran lipid serum yang paling relevan adalah kolesterol total, trigliserida dan fraksionasi kolesterol menjadi fraksi HDL dengan kalkulasi fraksi LDL kolesterol. Selain itu, laboratorium klinik sekarang sudah memiliki kemampuan untuk mengukur apolipoprotein AI (ApoAI) dan apolipoprotein B (ApoB) dalam sampel serum. Asam lemak bebas dan dan fosfolipid biasanya tidak diukur dalam serum kecuali pada kasus-kasus penyakit metabolik tertentu (Sacher & McPerson, 2004). Diantara pemeriksaan profil lipid yang lainnya, kolesterol total memiliki popularitas yang lebih besar diantara petugas medis dan non medis untuk menilai faktor resiko individu terkena penyakit kardiovaskular. Semua individu perlu mengetahui kadar kolesterolnya untuk dapat memutuskan terapi atau perubahan 24 gaya hidup apa yang diperlukan untuk mengurangi faktor resiko penyakit kardiovaskular (Sacher & McPerson, 2004). Uji kolesterol total merupakan analisis serum kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kadar kolesterol bebas dan kolesterol ester. Kolesterol total dapat diukur dengan metode kolorimetri, kromatografi, enzimatik dan metode langsung otomatis. Pemeriksaan yang biasa dilakukan di laboratorium patologi klinik adalah pemeriksaan dengan metode spektrofotometri. Pemeriksaan ini merupakan baku emas, akan tetapi memiliki beberapa kerugian yaitu harga yang mahal, waktu pemeriksaan yang relatif lebih lama dan pengambilan sampel darah vena yang invasif. Adanya keterbatasan ini menyebabkan masyarakat mengabaikan pentingnya pemeriksaan kadar kolesterol total (Suwandi et al., 2013). Kesulitan ini menyebabkan timbulnya metode yang lebih praktis, yaitu electrode-based biosensor atau yang biasa kita sebut sebagai rapid test cholesterol. Metode ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri, low-cost, serta cara pemakaian yang lebih mudah dengan waktu yang cepat, pengambilan sampel yang dilakukan juga tidak terlalu invasif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwandi et al. (2013), didapatkan juga bahwa metode electrode-based biosensor memiliki kesesuaian dengan metode spektrofotometri dalam melakukan pengukuran terhadap kadar kolesterol total. e. Dislipidemia 1. Definisi dan etiologi dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma (Adam, 2007). Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar koleterol total, kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis, semuanya memiliki peran penting dan saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga tidak mungkin dibicarakan sendirisendiri. Ketiganya disebut sebagai Triad Lipid. Dislipidemia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Hal-hal yang dapat mengakibatkan dislipidemia yakni : 25 1. Genetik Faktor genetik memiliki peran penting dalam patogenesis dislipidemia, contohnya pada hiperkolesterolemia familial. Hiperkolesterolemia familial merupakan gangguan mendelian yang paling sering ditemukan pada populasi umum dengan frekuensi heterozigot yakni 1 dalam 500 individu. Penyakit ini disebabkan oleh adanya mutasi gen yang membentuk reseptor untuk LDL yang merupakan pengangkut 70% kolesterol plasma total (Kumar et al., 2003). Hiperkolesterolemia familial diturunkan secara autosomal dominan. Kadar serum kolesterol pada individu hiperkolesterolemia famial dewasa berkisar 280-500 mg/dL, dengan kadar trigliserida biasanya normal. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan xantoma jenis tendinosa, arkus kornea dan xantalesma yang timbul pada dekade ketiga. Aterosklerosis koroner cenderung timbul secara prematur. 2. Obesitas Individu yang mengalami obesitas, pada hasil pemeriksaaan laboratoriumnya sering didapati adanya hiperlipidemia. Peningkatan massa jaringan adiposa dan penurunan sensitivitas terhadap insulin yang berkaitan dengan adiposa memiliki efek pada metabolisme lipid. Semakin banyak asam lemak yang ditransfer dari jaringan adiposa menuju ke hepar, maka akan semakin banyak asam lemak yang diesterifikasi di hepatosit untuk membentuk trigliserida, dan selanjutnya trigliserida akan dikemas dalam bentuk VLDL dalam sirkulasi darah. Peningkatan insulin di dalam darah akan menaikkan kadar asam lemak. Selain itu, konsumsi karbohidrat secara berlebihan akan meningkatkan produksi VLDL di dalam hepar. 3. Diabetes mellitus Pasien yang mengalami diabetes mellitus tipe 1 pada umumnya tidak mengalami dislipidemia selama kadar glukosa 26 darahnya terkontrol dengan baik. Sedangkan pasien yang mengalami diabetes mellitus tipe 2 lebih sering mengalami hipertrigliseridemia meski kadar glukosa darah sudah terkontrol dengan baik. Kondisi yang mengakibatkan adanya peningkatan kadar insulin ataupun adanya resistensi insulin yang berkaitan dengan diabetes mellitus tipe 2 mempunyai berbagai macam efek pada metabolisme lemak tubuh. Efek tersebut yakni penurunan aktivitas LPL yang mengakibatkan penurunan katabolisme kilomikron dan VLDL, peningkatan asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan hepar serta peningkatan sintesis VLDL hepar. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 jika dilakukan pemeriksaan profil lipid darah akan mempunyai kenaikan kadar trigliserid dan LDL, namun mempunyai kadar HDL-C yang rendah (Rader & Hobbs, 2008). 4. Penyakit gangguan hormon tiroid Abnormalitas produksi hormon tiroid mempunyai efek pada kadar lipid di dalam tubuh. Hipotiroidisme mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar LDL-C di dalam plasma akibat adanya penurunan fungsi dari reseptor LDL plasma dan mekanisme bersihan LDL. Sebaliknya, pasien yang mengalami hipertiroidisme cenderung mengalami penurunan kadar LDL-C. 5. Gangguan ginjal Sindroma nefrotik mengakibatkan adanya dislipidemia yang cukup menonjol, yang biasanya merupakan campuran dari hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. Dislipidemia pada sindroma nefrotik terjadi akibat adanya peningkatan produksi VLDL dan LDL hepar yang disertai dengan adanya penurunan mekanisme bersihan dalam sirkulasi darah. Pasien yang menerima transplantasi ginjal biasanya juga akan mengalami kenaikan kadar lipid di dalam darahnya. Hal ini 27 diakibatkan oleh penggunaan obat-obat imunosupresan seperti siklosporin dan glukokortikoid. 6. Gangguan hepar Hepar merupakan organ yang paling penting dalam proses pembentukan dan pembersihan lipoprotein. Sehingga ketika terjadi adanya gangguan pada hepar maka akan secara langsung berefek pada kadar lipid di dalam darah. Hepatitis akibat infeksi, obat ataupun alkohol berkaitan dengan adanya hipertrigliseridemia. peningkatan Hepatitis sintesis kronis dan VLDL sirosis dan hepatitis mengakibatkan adanya penurunan kadar kolesterol dan trigliserida yang cukup signifikan akibat adanya penurunan kemampuan biosintesis hepar. Kolestasis mengakibatkan kolesterol yang disekresikan bersama empedu menjadi terhambat, sehingga kadar kolesterol darah dapat meningkat dan tertumpuk di dalam jaringan membentuk xanthoma planar atau erupsi. 7. Alkohol Konsumsi alkohol seara rutin mempunyai efek dalam metabolisme tubuh. Efek yang paling menonjol yakni peningkatan kadar trigliserida darah. Alkohol menstimulasi sekresi VLDL hepar dengan menghambat proses oksidasi asam lemak bebas di dalam hepar dan meningkatkan sintesis trigliserida serta sintesis VLDL. 8. Estrogen Peningkatan peningkatan sintesis hormon VLDL estrogen yang berkaitan pada akhirnya dengan akan mengakibatkan peningkatan kadar trigliserida. Oleh karena itu, pada pasien yang mengkonsumsi pil KB yang mengandung estrogen, pasien postmenopaus yang mendapat terapi sulih estrogen dan wanita hamil perlu dimonitor kadar kadar trigliserida plasmanya. Selain itu, penurunan kadar estrogen juga berpengaruh terhadap profil lipid. Pada menopaus, terjadi peningkatan secara 28 bertahap kadar kolesterol total dan LDL yang disertai dengan penurunan kadar HDL plasma. Perubahan yang terjadi ini menjadikan wanita yang sudah memasuki masa menopaus menjadi rentan mengalami berbagai penyakit kardiovaskular. 2. Diagnosis dislipidemia National Cholesterol Education Program (NCEP), telah mebuat petunjuk pemeriksaan kadar kolesterol darah bagi individu (Sacher & McPherson, 2002). NCEP menyarankan bagi mereka yang berusia lebih dari 20 tahun agar diperiksa kadar kolesterol darahnya. Bagi mereka yang kadar kolesterol darahnya kurang dari 200 mg/dL, pemeriksaan harus diulang setiap 5 tahun. Bagi individu yang memiliki kolesterol diantara 200-239 dianggap berada di ambang batas. Pada kadar kolesterol 240 mg/dL atau lebih diklasifikasikan menjadi tinggi. Tabel 6. Klasifikasi kadar kolesterol menurut NCEP-ATP III (Adam, 2007) Kolesterol total < 200 Optimal 200-239 Diinginkan ≥240 Tinggi Kolesterol LDL < 100 Optimal 100-129 Mendekati optimal 130-159 Diinginkan 160-189 Tinggi ≥ 190 Sangat tinggi Kolesterol HDL < 40 Rendah ≥ 60 Tinggi Trigliserida < 150 Optimal 150-199 Diinginkan 200-499 Tinggi ≥ 500 Sangat tinggi 3. Manifestasi klinis hiperkolesterolemia Kadar kolesterol darah yang berlebihan dalam darah merupakan keadaan yang dapat diderita oleh seseorang tanpa memberikan gejala awal. Seringkali keadaan ini tidak sengaja diketahui saat orang tersebut menjalani pemeriksaan 29 laboratorium ataupun ketika seseorang sudah berada dalam keadaan kegawatdaruratan kardiovaskular yang mengancam jiwa. Hiperkolesterolemia mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai macam penyakit kardiovaskular. Hiperkolesterolemia memperantarai penyakit kardiovaskular melalui proses aterosklerosis. Aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani “Sclerosis” yang berati pengerasan dan “athere” yang berarti bubur (akumulasi lipid). Aterosklerosis adalah penyakit yang mengenai arteri muskularis berukuran besar dan sedang, ditandai dengan adanya inflamasi dan disfungsi dinding pembuluh darah dan timbunan kolesterol. Aterosklerosis menyebabkan terbentuknya plak, obstruksi aliran darah dan penurunan aliran darah ke organ target (Anderson, 1999). Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya kematian dan disabilitas di di negara-negara berkembang. Lebih lanjut, diperkirakan pada tahun 2020, aterosklerosis akan menjadi penyebab nomor satu penyakit-penyakit yang ada di dunia. Secara epidemiologis, aterosklerosis lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Akan tetapi hal ini dapat berubah akibat dari pengaruh gaya hidup yang tidak baik, merokok dan stress yang terjadi pada wanita. Selain itu, aterosklerosis juga cenderung lebih banyak terjadi pada pria berkulit putih dibandingkan dengan pria yang memiliki kulit hitam (Singh et al., 2007). Di antara berbagai macam faktor resiko kardiovaskular lain, peningkatan kolesterol plasma itu sendiri dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis meski tanpa disertai faktor lainnya. Faktor lain seperti hipertensi, merokok, diabetes mellitus, jenis kelamin laki-laki dan penanda inflamasi seperti C reactive protein dan sitokin akan mempercepat proses aterosklerosis yang diakibatkan oleh LDL (Falk, 2006). Aterosklerosis merupakan suatu proses yang terjadi secara bertahap. Aterosklerosis mulai terjadi sejak masa anak-anak dengan adanya fatty streaks yakni garis akumulasi lipid di tunika intima arteri. Selanjutnya, pada usia pertengahan fatty streaks mulai berkembang menjadi plak aterosklerosis yang berukuran lebih besar di dinding arteri (Aaronson & Jeremy, 2011). 30 Pembentukan plak aterosklerosis dimulai dengan adanya disfungsi pada bagian endotel. Hipertensi dan hiperkolesterolemia menyebabkan disfungsi endotel dengan meningkatkan stress oksidatif yang selanjutnya akan memicu respon inflamasi. Monosit selanjutnya akan dikerahkan ke endotel yang mengalami disfungsi dan selanjutnya monosit akan berubah menjadi makrofag. Makrofag akan berperan sebagai “sel pemakan” yang akan mencerna dan mengoksidasi tumpukan lipoprotein yang menyebabkan makrofag mempunyai bentuk seperti busa sehingga makrofag juga disebut juga sebagai sel busa (foam cell). Sel busa yang menumpuk akan membentuk fatty streaks. Secara bertahap, fatty streaks akan semakin mebesar sehingga membentuk plak atrosklerosis. Selain itu, makrofag juga melepaskan berbagai macam sitokin dan faktor pertumbuhan yang berfungsi untuk memicu penyembuhan endotel. Jaringan fibrosa dan otot polos akan mengalami proliferasi yang berlebihan, sehingga plak yang sudah terbentuk akan mengalami penonjolan ke lumen pembuluh darah dan akhirnya akan menyumbat aliran darah (Kumar et al., 2003). Aterosklerosis biasanya terjadi pada tunika intima di arteri berukuran sedang dan menengah, utamanya pada daerah percabangan arteri. Hal ini disebabkan karena daerah ini akan mendapatkan tekanan yang tinggi sehingga ekspresi gen ateroprotektif yang dihasilkan endotel akan terganggu (Frotesgard, 2013). Penyumbatan aliran darah yang terjadi akibat aterosklerosis akan mengakibatkan gangguan pada berbagai organ akibat berkurangnya pasokan nutrisi dan oksigen ke jaringan. Jika mengenai pembuluh darah di otak, maka aterosklerosis dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Sedangkan jika mengenai arteri koronaria, penyakit jantung iskemik dan gagal jantung akan terjadi. 2.1.4. Hubungan Golongan Darah, Kolesterol dan Hipertensi Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa metabolisme lipid, terutama kolesterol memiliki keterkaitan dengan golongan darah yang dimiliki oleh setiap individu. Golongan darah O mempunyai kadar kolesterol yang lebih rendah, sedangkan golongan darah A didapatkan memiliki kadar kolesterol dan LDL-C 31 yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya (Garisson et al., 1976). Penelitian yang dilakukan oleh Klop et al. (2013) berusaha untuk mengungkap penyebab perbedaan kadar kolesterol diantara golongan darah yang berbeda ini. Hasilnya yakni, dimungkinkan perbedaan dari kadar kolesterol terkait dengan adanya ery-ApoB yang terdapat dalam setiap jenis golongan darah. Apolipoprotein B (ApoB) merupakan protein struktural yang menyusun lipoprotein aterogenik seperti kilomikron, VLDL, IDL dan LDL. Selain itu, ApoB juga terdapat dalam endotel dan sel darah yang bersirkulasi. Ikatan antara ApoB yang terkandung dalam lipoprotein dengan eritrosit akan membentuk ery-ApoB yang dipercaya berperan sebagai faktor protektif terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian yang dilakukan terhadap tikus menunjukkan bahwa eritrosit memiliki peranan dalam jalur reverse cholesterol transport yang dibuktikan dengan adanya gangguan transpor kolesterol pada tikus yang mengalami anemia. Eritrosit berperan dalam jalur ini dengan mengikat ApoB yang terdapat pada lipoprotein dan Apo B yang sudah berikatan dengan eritrosit menjadi kurang reaktif terhadap endotel, sehinga efek aterogeniknya menjadi berkurang. Mekanisme eritrosit berikatan dengan Apo B belum dapat dijelaskan secara pasti, diperkirakan mekanisme ini melibatkan reseptor LDL yang berada di membran sel eritrosit. Dimungkinkan penggolongan darah dengan sistem ABO memiliki peran dalam pengikatan ApoB dalam lipoprotein ke eritrosit. Penelitian yang dilakukan Klop et al. (2013) mendapatkan hasil konsentrasi ery-ApoB pada kelompok yang bergolongan darah O lebih besar dua kali dibandingkan dengan golongan darah A, B ataupun AB. Selain itu, kelompok yang memiliki konsentrasi ery-ApoB yang rendah memiliki ketebalan tunika intima carotis yang lebih tinggi. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan gugus karbohidrat pada molekul ApoB yang berinteraksi dengan fukosa, galaktosa, N asetil-galaktosamin atau N asetil-glukosamin yang merupakan pembentuk dari antigen A, B dan H. Alel A dan B yang terdapat di golongan darah A, B dan AB akan mengkode glikosiltransferase yang akan menambahkan gugus N-galaktosamin dan Dgalaktosa ke ujung antigen H. Semantara itu, alel O pada golongan darah O tidak 32 memiliki enzim transferase dan hanya memilki antigen H (Franchini & Lippi, 2015). Dengan adanya peningkatan kadar kolesterol, maka proses aterosklerosis yang terjadi juga akan semakin tinggi. Pembentukan LDL teroksidasi pada proses aterosklerosis memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya hipertensi. LDL teroksidasi akan mengaktifkan protein kinase intraseluler seperti NFkB atau activator protein-1 yang akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis. Selain itu, LDL teroksidasi juga akan menurunkan produksi vasodilator poten seperti nitrit oksida dan prostaglandin, dan di sisi lain LDL terokidasi akan meningkatkan produksi agen vasokonstriktor yakni endothelin-1 (ET-1). Aterosklerosis juga mengakibatkan terjadinya peningkatan respon vaskular terhadap angiotensin II yang juga dapat mengakibatkan aterosklerosis (Singh et al., 2002). Hal-hal yang disebutkan tersebut pada akhirnya sehingga akan terjadi peningkatan resistensi perifer total. Jika terjadi dalam waktu yang lama, refleks baroreseptor akan terganggu sehingga hipertensi bisa terjadi. Hipertensi seringkali dijumpai bersamaan dengan dislipidemia. Hipertensi yang terjadi juga akan menyebabkan peningkatan terjadinya proses aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung lama menyebabkan peningkatan daya regang yang dapat merusak lapisan endotel arteri dan arteriol. Kerusakan yang berulang pada endotel dapat menyababkan siklus aterosklerosis yakni inflamasi, penimbunan dan perlekatan trombosit dan eritrosit, serta pembentukan bekuan. Trombus yang terbentuk dapat terlepas sehingga membentuk tromboembolus yang dapat menyumbat aliran darah. Hipertensi yang diperparah dengan adanya dislipidemia merupakan faktor yang akan memicu timbulnya aterosklerosis yang lebih lanjut. Aterosklerosis pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan pada berbagai organ seperti penyakit jantung koroner dan stroke yang bisa menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan baik. 33 2.2.Kerangka Teori Golongan darah ABO O Gen H (fukosa transferase) Non O (A, B, AB) Gen H (fukosa transferase) N-asetilgalaktosamin D-galaktosa Ery -Apo B lebih rendah Penurunan Reverse Cholesterol Transport Peningkatan kolesterol NFkB, activator protein-I, endotelin-1 Aterosklerosis Hipertensi 34 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Variabel bebas Variabel terikat Penderita hipertensi : - Golongan darah non O dan O Rata-rata kadar kolesterol total darah Variabel penganggu yang dikendalikan - Hamil Menggunakan kontrasepsi hormonal Konsumsi alkohol Diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit ginjal dan hati - Menggunakan obat-obatan penurun lipid 2.4. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : “Terdapat hubungan antara golongan darah non-O (A, B, AB) dan O dengan kadar kolesterol total darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Panjatan 1, Kulon Progo.”