BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik kini menjadi hal yang semakin meresahkan di berbagai daerah di Indonesia. Perbedaan nilai dan ideologi dalam bermasyarakat dan beragama menjadikan konflik semakin pelik. Hal tersebut terlihat, salah satunya dari banyaknya penyerangan massa beruntun terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa daerah. Konflik terhadap minoritas, khususnya konflik Ahmadiyah yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia memang terusmenerus terjadi. Dalam kurun waktu dua tahun saja (2008-2010) tercatat telah terjadi 276 kali kekerasan yang dilakukan terhadap JAI.1 Konflik yang berlarut-larut ini bukannya tanpa upaya negosiasi dan penyelesaian konflik. Namun konflik keagamaan yang bersifat sensitif serta rumitnya upaya mengelola komunikasi dalam konflik mempersulit terbentuknya penyelesaian yang diharapkan.Komunikasi memang sering kali disebut-sebut sebagai pangkal dari berbagai permasalahan dan konflik yang terjadi. Namun di saat yang sama, komunikasi juga dianggap sebagai solusi pemecahan masalah yang ada (Susanto, 1977:15). Mayer (2000:119) bahkan menyebut komunikasi sebagai jantung dari konflik dan resolusinya. Meskipun komunikasi merupakan satu bagian dari konflik, namun tanpa adanya komunikasi yang efektif dari aktoraktor yang terlibat, konflik maupun resolusi konflik tak akan bisa terpecahkan. 1 Setara Institue mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah mengalami kekerasan dan bentrokan sebanyak 33 dan 50 kali di berbagai daerah di Indonesia http://www.vivanews.com/resolusi%20konflik/konflik%20ahmadyahweb/Ahmadiyah,%20Darah %20dan%20Ibadah.htm diakses pada 30 Mei 2013 1 Keterlibatan banyaknya aktor dalam upaya penyelesaian konflik Ahmadiyah sesungguhnya telah diupayakan pemerintah dari dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 yang memberi peringatan kepada JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam. SKB sebagai upaya penyelesaian konflik Ahmadiyah, bahkan dipandang perlu ditandatangani dan disepakati oleh tiga aktor penting sekaligus yakni Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (RI). Baru-baru ini bahkan rapat koordinasi pembahasan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah ini melibatkan Menteri KoordinatorKepolisian Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Menko Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Pertahanan.2 Meluasnya bidang yang terkait dalam konflik Ahmadiyah, memperlihatkan rumitnya proses penyelesaian konflik ini sehingga diperlukan banyak aktor yang terlibat. Penyelesaian konflik Ahmadiyah di tiap daerah melibatkan aktor serta penyelesaian yang berbeda-beda. Pun demikian dalam keterlibatan aktor dan upaya komunikasi penyelesaian konflik kasus Ahmadiyah di Tasikmalaya. Masih berbekas dalam ingatan bagaimana perusakan rumah waga Ahmadiyah yang terjadi di Tenjowaringin dan Kutawaringin, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya pada 2012 dan awal 2013 lalu.3 Tenjowaringin, sebagai salah satu basis pemukiman Ahmadiyah terbesar di Indonesia ini, memiliki jumlah anggota JAI sebanyak lebih dari 3000 orang (Wijoarko, 2013:32). Selain itu daerah Tenjowaringin dan Kutawaringin memiliki fasilitas pendidikan milik JAI berupa TK Siti Khadijah dan SMU Plus Al Wahid 2 http://news.detik.com/read/2013/05/30/150449/2260448/10/soal-ahmadiyah-sekali-lagipemerintah-imbau-patuhi-skb-3-menteridiakses pada 17 Juni 2013 3 Konflik dan kekerasan terjadi berturut-turut pada April 2012 di mana beberapa oknum merusak tempat ibadah JAI dan berlanjut dengan aksi lain yaitu ketika ratusan orang dari sejumlah ormas Islam menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor KUA Kecamatan Salawu sebagai protes karena mendapat isu bahwa ada sepasang JAI yang menikah di KUA dan pada Mei 2013, kembali terjadi perusakan terhadap Masjid Ahmadiyah Salawu http://www.Antaranews.com/Masjid%20Ahmadiyah%20Tasikmalaya%20dirusak%20%20ANTARA %20News.htm http//kompas.com/konflik/Nikahkan%20Jemaah%20Ahmadiyah,%20Kantor%20KUA%20Didemo diakses pada 2 Februari 2013 2 yang merupakan satu-satunya di Indonesia (Zulkarnain, 2005:286). Sebagai mayoritas dalam suatu desa, JAI yang hidup di Tenjowaringin kerap kali membuat kegiatan yang akhirnya memicu perlawanan dari FPI DWP Tasikmalaya. Pada 5 Mei 2013 tercatat suatu puncak konflik melanda kota yang dijuluki sebagai Kota Santri4 ini, dimana di hari itu terjadi perusakan rumah warga JAI yang dilakukan oleh ormas Islam FPI akibat bentuk pernyataanmenolak kegiatan Jalsah Salanah (Munas) JAI yang dianggap FPI sebagai bentuk pelanggaran terhadap SKB 3 Menteri.5 Menanggapi konflik yang meresahkan warga serta mengancam ketertiban dan keamanan wilayah Tasikmalaya, terdapat beberapa aktor yang memiliki kepentingan terhadap kasus Ahmadiyah mencoba melakukan upaya-upaya komunikasi dalam menyelesaikan konflik yang ada. Berbagai strategi dan pendekatan dilakukan berbagai aktor tersebut berkelindan dengan kepentingan yang mereka miliki sehingga kondisi di Tasikmalaya kini relative stabil. Meskipun upaya komunikasi resolusi konflik yang dilakukan oleh aktoraktor dalam resolusi konflik tidak bisa menjamin konflik tak akan terjadi lagi, namun proses inisiasi negosiasi dalam resolusi konflik, pembinaan pasca bentrokan, serta upaya komunikasi dalam menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh para aktor menjadikan isu ini sangat menarik untuk dikaji. Selain itu, upaya komunikasi aktor-aktor dalam resolusi konflik di Tasikmalaya ini menjadi penting untuk diteliti karena hal tersebut bisa memberikan menjadi harapan bagi penyelesaian konflik Ahmadiyah di daerah lain. 4 Tercatat kurang-lebih 700 pesantren tersebar di Kota-Kabupaten Tasikmalaya. Selain karena jumlah pesantrennya yang banyak, sebutan Kota Santri semakin melekat pada Tasikmalaya dengan disertakannya gambar kubah masjid pada lambang Tasikmalaya, sebagai perwujudan dari citra Kota Santri, dan dicanangkannya berbagai program yang mendukung pendidikan di pesantren oleh pemerintah kota Tasikmalaya. Lebih lanjut lihat Situs Resmi Kota Tasikmalaya www.tasikmalayakota.go.id 5 Perusakan menyebabkan 24 rumah warga rusak dan Dari keterangan saksi yang melihat, jumlah massa pada saat melakukan penyerangan sekitar 100200orang.http://news.detik.com/read/2013/05/05/072550/2238193/10/pemukimanahmadiyah-di-tasikmalaya-diserang-sekelompok-orang 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini memfokuskan permasalahan yang ingin diteliti yaitu : “Bagaimana upaya komunikasi aktor-aktor yang terlibat dalam prosespenyelesaian konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya?” C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis siapa aktor-aktor dalam resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya 2. Untuk menganalisis upaya komunikasi aktor-aktor dalam resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya serta kontribusinya dalam penyelesaian konflik. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa wawasan dan pemahaman baru berkaitan dengan cara komunikasi dalam upaya resolusi konflik. Terutama yang berkaitan dengan peran dan komunikasi aktor-aktor dalam penyelesaian konflik keagamaan sehingga dapat menambah khazanah kepustakaan ilmu komunikasi khususnya yang berhubungan dengan komunikasi dalam resolusi konflik. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah atau para pemangku kebijakan, dalam menyelesaikan serta mengeluarkan kebijakan berkenaan konflik keagamaan yang terjadi di daerahnya. Sedangkan bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi berupa proses upaya komunikasi aktoraktor yang berkesinambungan sehingga dapat memberi rujukan pada analisis-analisis mengenai resolusi konflik Ahmadiyah yang terjadi di daerah lain di Indonesia 4 E. Kerangka Pemikiran Untuk menjelaskan alur berpikir dalam penelitian ini, maka penulis menyusun kerangka pemikiran dalam memudahkan pengidentifikasian jawaban atas masalah yang penulis teliti. Untuk itu penulis menggunakan tiga konsep atau teori dalam menganalisis upaya komunikasi yang dilakukan aktor-akor dalam resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya, yakni konsep resolusi konflik, aktoraktor dalam penyelesaian konflik dan komunikasi dalam resolusi konflik. 1. Resolusi konflik Nicholson (1991:59) menyatakan bahwa conflict resolution is the process facilitating a solution where the actors no longer feel the need to indulge in conflict activity and feel that the distribution of benefits in social system is acceptable. Ketika pihak yang berkonflik merasa sudah tidak lagi perlu untuk melanjutkan konflik yang ada, resolusi konflik menjadi fasilitas bagi terciptanya suatu proses solusi. Resolusi konflik merupakan suatu proses upaya untuk meredam atau bahkan menyelesaian suatu konflik. Sebagaimana Kriesberg (2006:107) mendefinisikan resolusi konflik sebagai “conducting conflicts constructively, even creatively”. Hal itu berarti meminimalkan kekerasan yang timbul akibat konflik, mengatasi permusuhan yang terjadi antar pihak yang berkonflik, membuat suatu hasil yang saling dapat diterima oleh para pihak berkonflik dan suatu penyelesaian yang dapat dipertahankan. Dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi, para peneliti menetapkan pendekatan konflik manajemen yang sangat beragam. Menurut Littlejohn dan Domenici (2007:15) terdapat dua genre dalam memanajemen konflik yaitu adversarial methods dan alternative dispute resolution (ADR) : a. Adversarial Methods Pendekatan ini memiliki kecenderungan lebih konfronsional, oleh karena itu dipahami dalam tiga bentuk pendekatan: 1) Pengajuan perkara secara hukum (Litigation) 5 Ketika konflik tidak juga terselesaikan dalam- apa yang disebut Littlejohn dan Dominici (2007:16) sebagai normal course events- maka pihak yang berkonflik biasanya menyelesaikannya dengan proses formal yakni dengan mengajukan perkara konflik tersebut ke pengadilan. Pihak yang berkonflik menghadapai akan diwakili konsekuensi bahwa oleh pengacara mereka tidak dan dapat mengontrol apa yang akan terjadi di pengadilan. Proses litigasi ini merupakan win/lose process dimana masing-masing pihak berkonflik saling berlawanan dan mencoba menjatuhkan satu sama lain. Selain itu, proses ini sangat menguras waktu, tenaga juga biaya. 2) Kecaman (Diatribe) Dalam proses resolusi konflik, terkadang salah satu pihak merasa sangat frustasi akibat ketidakmampuan pihak lawan dalam memahami posisi dan cara pandangnya yang berakibat munculnya kecaman-kecaman yang keluar dari pihak tersebut. Kecaman ini dapat berbentuk penyebutan nama secara kasar, mengejek, berteriak, dan pelepasan kemarahan yang tidak pantas. Jenis komunikasi ini biasanya tidak menyelesaikan masalah dan justru berlanjut pada pemaksaan (force). 3) Pemaksaan (Force) Pemaksaan bisa menjadi suatu ancaman atau bahkan kekerasan dalam situasi konflik. Meskipun telah menjadi suatu yang biasa, kekerasan dalam pemaksaan justru menaikkan tensi dari konflik itu sendiri. Karena sifatnya teresbut maka pemaksaan bisa menjadi bentuk yang terburuk dari upaya resolusi konflik. b. Alternative Dispute Resolution (ADR) ADR merupakan suatu bentuk alternatif pilihan dalam melakukan resolusi konflik yang biasanya disertai dengan metode partisipasi pihak ketiga. ADR secara luas merujuk pada semua metode 6 nonadversarialyang digunakan dalam meresolusi konflik. Bentukbentuk pendekatan ini adalah: 1) Negosiasi (Negotiation) Negosiasi dapat ditempuh dengan jalan formal atau nonformal, secara privat atau terbuka, secara langsung atau melalui perwakilan tertentu. Negosiasi yang berhasil mensyaratkan pihak berkonflik kepentingan untuk yang ada, dapat mendefinisikan berkomunikasi isu secara dan jelas, mendengar dan memahami posisi pihak lain, dan bekerjasama dalam membuat suatu jalan kesepakatan. 2) Mediasi (Mediation) Mediasi memfasilitasi negoisasi untuk dapat bekerja bersama mencari solusi terbaik dari perbedaan yang ada dengan pihak ketiga yang netral. Mediasi biasanya dimengerti sebagai perpanjangan dari negoisasi. Dalam proses mediasi, peran mediator menjadi sangat krusial, maka mediator sebaiknya memiliki karakteristik dapat membuka saluran komunikasi antar dua pihak, menekankan pada hasil atau tujuan dari proses juga bersifat menghargai masing-masing pihak. 3) Arbitrase (Arbitration) Bentuk partisipasi pihak ketiga lainnya adalah arbitrase yang biasanya digunakan dalam resolusi konflik bisnis. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No: 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyebutkan bahwa: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanijan arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.” 7 2. Aktor dalam Proses Resolusi Konflik Aktor dalam konflik dapat berupa orang, kelompok, organisasi, atau jalinan yang mampu mengambil keputusan dan bertindak dengan cara yang sedikit-banyak terkoordinasi (Burns et al, 1987:4). Setiap proses transaksi sosial adalah interaksi antar aktor yang berupa kerja sama, persaingan, pertentangan, penggunaan kekerasan atau konflik. Aktor-aktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu, kelompok atau organisasi yang dengan perspektif dan perannya masing-masing berupaya menyelesaikan konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya. Para aktor menyerap dan menata informasi, mempertimbangkannya dan membuat keputusan serta bertindak dengan dilandasi niat juga berbagai pertimbangan rasional. Para aktor memiliki kepentingan sosial dan orientasi yang bersifat normatif. Perspektif dan kepentingan aktor tersebut pada akhirnya berpengaruh pada tindakan mereka terhadap satu sama lain dan di saat yang sama aktor-aktor ini menerjemahkan norma, aturan serta situasi yang ada dengan caranya masing-masing. Tindakan yang diambil oleh para aktor pada umumnya berdasarkan pada pilihan rasional masing-masing. Pilihan rational atau rational choice memandang bahwa fenomena sosial dibangun dari pemahaman terhadap preferensi, keyakinan, danstrategi individu. Individu-individu ini bertindak secara rasional dimana individu dapatmenentukan ranking dari berbagai pilihan yang dimilikinya sertamembuat pilihan yang memaksimalkan kepentingannya (Ward, 2002:19).Esensi dari rationalchoice adalah ketika dihadapkan pada beberapa alurtindakan, manusia biasanya akan memilih alur yang mereka yakini akanmendatangkan manfaat yang paling besar bagi manusia tersebut. Aktor dalam konflik biasanya memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses penyelesaian konflik yang ada. Peran aktor tersebut bisa berupa mediator dalam pertemuan para pihak yang berkonflik, negosiator dalam 8 menyepakati penyelesaian konflik, atau fasilitator yang berupaya memberikan fasilitas atau menjembatani pihak yang berkonflik dalam berkehidupan baik ketika berkonflik maupun pasca konflik. Dalam pencapaian tujuan dan perannya tersebut, para aktor biasanya melakukan berbagai macam pendekatan dan metode. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua pendekatan dalam negosiasi yang dapat dilpilih oleh para aktor dalam upaya penyelesaian konflik yakni positional bargaining dan collaborative bargaining (Littlejohn dan Domeinici, 2007:117). Keduanya dijabarkan sebagai berikut: a. Positional bargaining Pendekatan yang sering juga disebut sebagai pendekatan distributif ini merupakan suatu bentuk pendekatan yang bertujuan untuk mendistribusikan sumberdaya (uang, tanah, keuntungan dan lain-lain) yang terbatas. Negosiator yang berhasil adalah mereka yang memenangkan sumber daya sebanyak mungkin atau setidaknya mendapatkan pembagian yang sama. Pilihan-pilihan akan sangat terbatas dan akan nda salah satu pihak yang menang juga pihak lain yang kalah. b. Collaborative bargaining Sesuai dengan penyebutannya, pendekatan ini merupakan bentuk negosiasi di mana para negosiator berkolaborasi atau bekerja bersama-sama untuk menghasilkan solusi yang memberikan keyamanan bersama. Pendekatan ini juga memiliki banyak nama lain, diantaranya: integrative problem solving, win-win, dan principled. Dengan integrative problem solving, masing-masing pihak mengintegrasikan kepentingannya menjadi satu kesatuan. Disebut win-win karena pihak yang bernegosiasi tidak lagi mencoba saling menjatuhkan satu sama lain, tapi justru membuat kesepakatan yang mempertemukan semua kepentingan, sehingga semua menjadi pemenang. Sedangkan principled dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip negosiasi mendapat tempat yang lebih tinggi dibandingkan kepentingan salah satu pihak yang berkonflik. 9 2.1 Face Negotiation Theory Dalam memahami berbagai relasi aktor dalam proses penyelesaian konflik, Ting Toomey merumuskan suatu teori bernama face negotiation theory. Asumsi dari teori face negotiation theory adalah, melalui adanya perbedaan yang terjadi dalam tiap budaya atau kelompok, dalam komunikasi yang terjadi, terkadang ada proses penyampaian pesan yang tidak tersampaikan sehingga menimbulkan miss communication atau salah pengertian di dalam kelompok tersebut. Sebuah budaya akan memiliki adat, kebiasaan, nilai, norma, dan hal lain yang mengikat yang mengidentifikasi mereka menjadi sebuah budaya tersebut. Konflik akan muncul saat dua kelompok atau lebih memiliki perbedaan dan tidak bisa menerima identitas dari kelompok lain. Dalam Em. Griffin, Ting-Toomey mengasumsikan bahwa setiap orang dalam tiap budaya akan selalu menegosiasikan atau merundingkan identitas mereka (face). Istilah ini mengacu pada pencitraan diri, cara kita meminta orang lain agar “melihat” keberadaan kita dan berprilaku menyenangkan terhadap kita. Maka dari hal ini muncullah istilah facework, yang berarti penyampaian pesan verbal dan nonverbal yang dikemukakan secara spesifik yang akan membantu menjaga dan memperbaiki wajah yang kalah atau saat posisi terlihat lebih rendah dan berusaha untuk memperoleh wajah yang penuh dengan penghargaan (Em. Griffin, 2004:435) Secara garis besar Face Negotiation Theorymemiliki 3 asumsiyang padaintinya terdiri dari konsep kunci teori ini, yaitu wajah, konflik dan budaya: a. Self identity is important in interpersonal interactions, with individuals negotiating their identities differently across culture. Identitas diri merupakan sesuatu hal yang penting di dalam interaksi interpersonal. Namun dalam interaksinya, individu– 10 individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda sesuai dengan budaya asal mereka. Melekat dengan asumsi pertama adalah keyakinan bahwa para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra diri yang berbeda dan bahwa mereka menegosiasikan citra ini secara terus-menerus. Dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. TingToomey percaya bahwa bagaimana kita mempersepsikan rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk mempersepsikan kita merupakan hal yang sangat penting dalam pengalaman komunikasi kita b. The management of conflict is mediated by face and culture. Konflik merupakan peristiwa yang dapat merusak dan menyebabkan kerenggangan antar orang yang semula berhubungan sangat dekat. Dalam konteks ini, konflik yang terjadi memiliki hubungan yang sangat erat dengan wajah dan budaya. Hal ini disebabkan oleh cara seseorang menghadapidan meyelesaikan konflik sangat berhubungan erat dengan cara bagaimana ia dibesarkan. Atau dengan kata lain, orang yang dibesarkan dalam kebudayaan barat memiliki cara mengatasi konflik yang berbeda dengan orang yang dibesarkan dalam kebudayaan timur. Menurut Ting-Toomey, konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. Sebagaimana ia nyatakan, konflik adalah “forum” bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang tidak bersesuaian dalam bagaimana menyelesaikan konflik tersebut. Contohnya, dalam budaya Amerika, 11 menganggap bahwa menunjukkan perbedaan di antara dua orang sebagai hal yang penting, sementara budaya lain yakin bahwa konflik harus ditangani secara diam-diam c. Certain acts threaten one’s projected self-image (face) Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Setiap orang memiliki kemampuan untuk menampilkan beraneka macam ekspresi. Menurut asumsi ini, terdapat dua pola dalam face threatening process yaitu face saving&face restoration. Face saving merupakan usaha untuk mencegah terjadinya sesuatu yang memalukan sedangkan face restoration merupakan strategi yang dilakukan untuk melindungi otonomi atas diri sendiri dan mencegah jatuhnya harga diri karena malu. 3. Komunikasi dalam Resolusi Konflik Moore dan Wood dalam Fazzi (2011:88) menyatakan bahwa “communication is the life blood of negotiation” di mana dalam mencapai suatu kesepakatan, maka para pihak tidak hanya harus berkomunikasi dan bertukar informasi, tapi juga harus mengintrepretasi informasi secara akurat. Komunikasi sangat berperan dalam tercapainya suatu penyelesaian dalam konflik juga dalam proses negosiasi untuk tercapainya penyelesaian itu. Negosiasi sebagai suatu proses timbul melalui komunikasi yang terjadi antara para pihak yang berkonflik atau para aktor yang menjadi pihak ketiga atau negosiator. Pengertian negosiasi sangat beragam dan luas, namun dalam penelitian ini, negosiasi dimaknai sebagai suatu proses. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lax dan Sebenius dalam Weingart dan Olenkalns (2004:143) negosiasi diartikan sebagai “a process of potentially opportunistic interaction by which two or more parties, with some apparent conflict, seek to do better through jointly decided action than they could otherwise.” 12 Komunikasi pada umumnya memiliki model-model yang khas dalam penjelasannya. Begitu pula dalam proses konflik, terdapat beberapa model komunikasi yang dikenal, diantaranya (Abigail dan Cahn, 2011:10) : a. Model Komunikasi Linear Model ini lebih berfokus pada hasil akhir dari konfik yakni mendapatkan perubahan sikap atau perilaku dari pihak yang berlawanan sehingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh karena model ini lebih menitikberatkan hasil akhir saja, maka terkadang proses komunikasi yang terjadi di dalamnya tidak berlangsung dengan baik. Para pihak yang berkonflik atau pihak yang terlibat dalam proses resolusi konflik lebih sering menyalahkan pihak lawan atau pihak yang tidak disenangi tanpa berpikir bahwa masingmasing pihak sebenarnya berkontribusi terhadap keberlangsungan konflik. Komunikasi yang terjadi dapat berwujud convincing, persuading, controlling atau dominating. Hal ini sebaiknya tidak terjadi karena tentu akan berdampak buruk pada hubungan antara para pihak dan justru menimbulkan konflik yang berlarut-larut. b. Model Komunikasi Transaksional Model komunikasi ini menekankan bahwa konflik bukan tentang apa yang akan kita lakukan supaya pihak lain sesuai dengan posisi kita, namun lebih kepada apa yang akan dilakukan bersama-sama supaya konflik cepat selesai. Konflik dipahami sebagai proses memberi dan menerima, saling merespon dari apa yang pihak lain utarakan, bekerja bersama-sama dalam mencari solusi dan berdiskusi hingga mendapatkan kesepakatan dan resolusi. Masing-masing pihak yang berkonflik dan pihak yang berupaya menyelesaikan konflik bertanggungjawab dalam menimbulkan sikap empati, menghindari prasangka, menjaga pikiran tetap terbuka dan mewujudkan resolusi yang terbaik. Komunikasi yang terjadi dalam negosiasi pada umumnya berdasarkan kerelaan masing-masing pihak untuk bersikap akomodatif. Komunikasi yang 13 akomodatif ini memberikan jalan bagi para aktor dalam resolusi konflik dan para pihak yang berkonflik untuk dapat berkomunikasi sesuai dengan situasi yang dihadapi sekaligus akan menentukan bagaimana pola komunikasi di dalam konflik akan terbentuk. Pola-pola komunikasi yang dipilih oleh aktor dalam penyelesaian konflik dipengaruhi oleh pilihan-pilihan para aktor dalam merespon konflik yang ada. Secara umum aktor akan merespon konflik dengan lebih menitikberatkan salah satu dari tiga orientasi. Orientasi-orientasi tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abigail & Cahn (2011:45) dapat mempengaruhi sikap atau komunikasi yang dipilih dalam menghadapi konflik. Orientasi dan pilihan komunikasi dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut : a. Orientasi pada pihak lain (other centered orientation), Orientasi ini lebih mementingkan apa yang pihak lain inginkan dibanding apa yang dirinya inginkan. Other centered orientation dapat menghasilkan pilihan sikap dalam menghadapi konflik atau komunikasi yang dipilih dalam konflik yaitu non-assertive communication. 1) Non-assertive communication Pilihan komunikasi dalam konflik yang pertama ini membentuk dua pendekatan perilaku: Pertama;Avoiding, yaitu menghindar dari konflik atau bahkan tidak peduli dengan konflik yang terjadi. Kedua; Accommodating, yaitu ketika salah satu pihak yang sebenarnya ingin menyampaikan apa yang ia inginkan tapi mudah menyerah dan memilih untuk sepakat dengan pendapat lain tanpa memberikan pendapatnya atau menyatakan complain. b. Orientasi pada diri sendiri (self-centered orientation), Sesuai dengan penyebutannya, orientasi ini lebih menitikkan pada kepentingan diri daripada kepentingan orang lain. Orientasi ini dapat melahirkan dua pilihan komunikasi dalam konflik yaitu, 1) Passive-aggressive communication Ketika satu pihak memilih bentuk komunikasi ini, ia cenderung tidak secara langsung atau terbuka mengemukakan keinginan dan pendapatnya, namun ia justru menempuh jalan-jalan yang licik seperti memfitnah (backstabbing) atau menyabotase (sabotage). 14 2) Aggressive communication Bentuk komunikasi ini didefinisikan sebagai kemampuan memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lain dengan tekanan atau bahkan kekerasan baik secara verbal ataupun non verbal (forcing). c. Orientasi pada hubungan (relationship-centered orientation). Orientasi yang terakhir ini, dapat dipahami bahwa baik kepentingan diri dan kepentingan pihak lain adalah penting dan keduanya dapat terwujud dengan seimbang. Pilihan yang berorientasi pada hubungan antara dua pihak ini dapat menghasilkan apa yang disebut sebagai assertive communication 1) Assertive communication Merupakan kemampuan dalam menyampaikan keinginan dari satu pihak dengan tidak mengganggu kepentingan atau hak pihak lain. Komunikasi ini dapat diwujudkan baik dengan compromising maupun collaborating strategies. compromising merupakan strategi yang ada diantara forcing dan accommodating serta biasanya sering dikaitkan dengan negosiasi (Hynes, 2011:231). Compromise terjadi jika masing-masing pihak merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk memaksa pihak lain dan pertentangan yang memberikan kemenangan sepihak tidak akan memberikan keuntungan Setelah mengetahui orientasi atau perspektif penyelesaian yang digunakan oleh aktor-aktor, maka upaya komunikasi yang digunakan dalam implementasi perspektif tersebut dapat dengan lebih jelas terlihat sehingga pola komunikasi yang diinginkan dapat lebih mudah terlaksana. Menurut Pruitt dan Rubin (2004:57) bentuk-bentuk komunikasi yang bisa dilakukan dalam penyelesaian konflik yang dapat dipilih oleh aktor-aktor dapat berupa contending, problem solving, yielding, inaction dan withdrawing yang dijabarkan sebagai berikut: 15 a. Contending merupakan upaya menyelesaikan konflik dengan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Pihak yang menggunakan strategi ini berupaya untuk membujuk pihak lain untuk menuruti keinginannya dan bersikukuh dalam mempertahankan pendapatnya. Taktik yang dapat digunakan dalam strategi ini dapat berupa ancaman, menjatuhkan penalti atau melakukan tindakan yang mendahului pihak lain untuk menyelesaikan konflik tanpa sepengetahuan pihak lawan. b. Problem solving merupakan strategi yang berusaha mempertahankan perndapatnya sendiri tapi sekaligus berusaha untuk mendapatkan cara melakukan rekonsiliasi dengan pihak lain. Berbagai taktik dapat digunakan dalam strategi ini misalnya mengirimkan penengah yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak, berkomunikasi melalui penghubungpenghubung tidak resmi, atau duduk bersama dalam suatu negosiasi. c. Yielding adalah strategi di mana salah satu pihak harus menurunkan aspirasinya sendiri tapi juga bukan berarti penyerahan total pada pihak lain. Biasanya strategi ini dimaksudkan untuk menurunkan tensi konflik juga untuk mempermudah tercapainya kesepakatan. Strategi ini bisa diikuti oleh penggunaan strategi lain secara bersamaan, misalnya setelah melakukan yielding pihak tersebut melakukan problem solving. d. Inaction dan withdrawing adalah strategi yang mirip di mana keduanya melibatkan penghentian usaha untuk mengatasi kontroversi. Perbedaannnya adalah withdrawing merupakan penghentian yang bersifat permanen, sedangkan inaction merupakan tindakan yang temporer yang tetap membuka kesempatan bagi upaya penyelesaian 3.1 Strategi Komunikasi dalam Resolusi Konflik Kekuatan komunikasi sangatlah besar, dengan komunikasi seseorang mampu membawa banyak teman untuk suara yang sama atau menceraiberaikan musuh, meyakinkan orang asing akan hal yang baru atau bahkan menciptakan suatu mufakat dari perselisihan yang tak kunjung selesai. Komunikasi mengizinkan komunikator untuk mengirim pesan verbal dan non verbal yang dapat membentuk tingkah laku orang lain. Adler dan Proctor dalam 16 Samovar et al (2010 :17) bahkan menyebutkan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan sosial dan membentuk identitas komunikasi merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan untuk membuat orang bertingkah laku sesuai dengan keinginan kita. Tujuan komunikasi agar dapat mempengaruhi tingkah laku orang lain agar dapat sesuai dengan yang kita harapkan itulah yang tentu ingin dicapai oleh para aktor dalam penyelesaian konflik. Masing-masing actor berupaya agar para pihak berkonflik bisa tunduk dalam kesepakatan yang dibuat bersama hingga konflik terselesaikan. Maka perlu kiranya suatu strategi komunikasi yang digunakan oleh para aktor agar tujuan tersebut tercapai. Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan dan manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi mempunyai tujuan utama yaitu to secure understanding, to estabilish acceptance, to motivate actions. Yang menjadi tujuan adalah memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterima, apabila telah dimengerti dan diterima, penerimaannya harus dibina dan pada akhirnya kegiatan tersebut dimotivasikan (Effendy, 2003:32). Sama halnya dengan merumuskan suatu strategi komunikasi umum, strategi komunikasi dalam konflik juga sangat ditentukan oleh analisis target atau sasaran dari komunikasi, bagaimana pemilihan dan penyampaian pesan yang tepat, bagaimana penggunaan media yang dipilih serta penentuan komunikan atau sumber sebagai faktor penting dalam keberhasilan strategi komunikasi. a. Analisis Sasaran Komunikasi Sebelum melakukan aktivitas komunikasi, sangat penting kiranya dalam menentukan atau memutuskan siapa-siapa saja yang menjadi target atau komunikan dari komunikasi yang akan dilakukan. Sasaran komunikasi perlu dipelajari secara menyeluruh karena akan sangat menentukan pemilihan pesan, media hingga komunikator yang perlu dipakai dalam komunikasi. Analisis sasaran komunikasi juga penting dicocokkan dengan tujuan dari komunikasi yang dilakukan, apakah sekadar menginginkan khalayak untuk tahu (metode informatif) atau 17 agar khalayak melakukan tindakan tertentu sesuai dengan keinginan komunikator (metode persuasive atau instruktif). Pengenalan terhadap komunikan juga diperlukan akan komunikasi yang dilakukan tidak melupakan kepentingan komunikan itu sendiri. Bauer dalam Depari (1988:57) menyatakan bahwa, agar komunikasi dapat berjalan efektif maka komunikator harus berorientasi pada apa yang menjadi kepentingan khalayak, bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan model komunikasi transaksional, dimana proses transaksi akan terjadi apabila komunikan menganggap barang yang ditawarkan oleh komunikator sesuai dengan minat, kehendak dan dapat dijangkaunya. b. Pemilihan Pesan Dalam Komunikasi Aspek isi pesan memiliki kontribusi besar dalam membangun kualitas konten. Beberapa hal yang terkait dengan isi pesan harus diperhatikan, mulai dari materi pendukung, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. Para aktor dalam konflik perlu memikirkan cara terbaik untuk membentuk pesan yang akan dikomunikasikan. Ada dua bentuk pesan yang paling efektif adalah pesan langsung dan pesan tidak langsung. Bentuk langsung artinya mengungkapkan secara langsung poin utama terlebih dahulu, kemudian menjelaskan mengapa hal itu penting. Sedangkan bentuk tidak langsung yaitu menjelaskan mengapa pesan tersebut perlu, kemudian mengungkapkan poin utamanya. Dengan pesan yang menarik, akan dapat membangkitkan perhatian khalayak untuk mengetahui isi pesan tersebut. Hal ini sesuai dengan AA.Procedure atau from Attention to Action procedure, artinya membangkitkan perhatian untuk selanjutnya menggerakkan seseorang atau orang banyak melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan (Argenti, 2009:39). 18 Wilbur Schramm dalam Effendy (2002:57) menjelaskan bahwa ada beberapa kondisi sukses dalam berkomunikasi yang berhubungan dengan pesan komunikasi yaitu: 1) Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud. 2) Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama dapat dimengerti 3) Pesan harus komunikan, membangkitkan dan kebutuhan menyarankan beberapa pribadi pihak cara untuk mendapatkan kebutuhan itu. 4) Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. c. Penggunaan Media Dalam Komunikasi Pemilihan media atau saluran komunikasi memainkan peranan penting dalam menyebarkan pesan ke target audiens. Media sebagai alat penyampai informasi dan pesan adalah salah satu faktor penting dalam keberhasilan program komunikasi. Teknologi komunikasi baru banyak bermunculan sebagai hasil usaha dari penyempurnaan secara terus menerus teknologi yang sudah ada. Untuk itu, ada baiknya untuk menyusun strategi media berupa bauran media lainnya agar pesan-pesan yang disampaikan tepat sasaran. Penggunaan menggunakan media komunikasi komunikasi interpersonal yang menjadi beragam hal yang serta dapat menyukseskan pesan kampanye dapat sampai ke audiens, sehingga mampu menumbuhkan rasa kesadaran adanya perubahan perilaku seseorang. Komunikasi interpersonal dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau dengan menggunakan media (seperti email, chatting 19 atau menggunakan media sosial) sehingga lebih cepat mendapatkan umpa F.MODEL PENELITIAN Dari kerangka pemikiran di atas, maka peneliti membuat model penelitian sebagai berikut: Konflik Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya Front Pembela Islam (FPI) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Ta Aktor-Aktor dalam Upaya Penyelesaian Konflik TA Tasikmalaya Kontribusi Aktor Dalam Penyelesaian Konflik Strategi Komunikasi Aktor-aktor Bagan 1 20 Bagan Model Penelitian Peneliti G. Definisi Operasional Berdasarkan kerangka pemikiran serta model penelitian di atas, maka konsep-kosnsep dalam penelitian mengenai upaya komunikasi aktor-aktor dalam resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya akan dijabarkan dalam definisi operasional unit kajian yang akan menjadi fokus kajian peneliti, sebagai berikut: No. Unit Kajian Keterangan 1 Konflik dalam penelitian ini adalah Konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya konflik manifest yang berupa pertikaian, perusakan, pertentangan, demonstrasi, kerusuhan yang berkaitan dengan keberadaan ataupun kegiatan Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2012-2013, yang melibatkan Front Pembela Islam DWP Tasikmalaya Ahmadiyah dan Indonesia Tasikmalaya sebagai Jemaat Cabang pihak yang berkonflik. 2 Aktor-aktor Konflik dalam Resolusi Aktor yang dimaksud dalam penelitian ini bukan merupakan aktor yang berkonflik, namun merupakan individu atau instansi kawasan yang berada dalam Kabupaten Tasikmalaya yang dengan segala kepentingan dan posisinya berupaya menyelesaian konflik Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya 21 3 Strategi Komunikasi Strategi komunikasi di sini adalah bagaimana cara-cara yang dipakai oleh aktor-aktor upayanyamenyelesaikan dengan pendekatan dalam konflik komunikasi seperti analisis khalayak, pemilihan dan penyampaian pesan yang tepat serta penggunaan media yang dipilih. 4 Kontribusi Aktor-Aktor Kontribusi aktor merupakan peranan, sumbangan atau andil berupa ide, pendekatan, perumusan,program yang diberikan actor demi terciptanya penyelesaian konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya yang dilakukan melalui strategi-strategi komunikasi H. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Hal ini disebabkan karena penelitian ini bertujuan untuk memaparkan proses dan negosiasi komunikasi para aktor dalam resolusi Ahmadiyah, bukan ditujukan untuk mencari atau menjelaskan hubungan serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Rahmat, 2001:24). Studi kasus juga dipandang tepat sebagai metode penelitian karena menurut Yin (2002:8) studi kasus lebih cocok bila pokok pertanyaan dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan pertanyaan bagaimana atau mengapa, peneliti tidak memiliki banyak peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diteliti dan fenomena yang diteliti merupakan fenomena yang kontemporer bukan historis. 22 Penelitian ini lebih menanyakan tentang bagaimana negosiasi komunikasi, peran dan perspektif aktor-aktor dalam konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya, peneliti tidak dapat berbuat banyak untuk mengontrol peristiwa yang terjadi dan meskipun Ahmadiyah sebagai organisasi telah lama berkembang di Indonesia, namun konflik manifest khususnya yang terjadi di Tasikmalaya pada kurun waktu 2012-2013 merupakan fenomena yang baru atau kontemporer. Melihat hal tersebut maka studi kasus dianggap menjadi strategi yang tepat dalam penelitian ini. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Tasikmalaya, Jawa Barat khususnya di daerah konflik pada Mei 2013 terjadi yaitu di Tenjowaringin dan Kutawaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. 3. Teknik pengumpulan data Teknik atau metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian ini, menggunakan beberapa teknik, diantaranya: a. Wawancara Mendalam (depth interview) Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu data tertentu (Saebani, 2008: 190).Wawancara dapat dibagi ke dalam tiga jenis, antara lain wawancara pendahuluan yang biasa digunakan untuk memperkenalkan peneliti dengan subjek yang akan diteliti, wawancara terstruktur yang disusun secara sistematis dari pertanyaan yang mudah hingga kompleks, dan yang terakhir adalah wawancara semistruktur yang dapat dilakukan secara bebas namun tetap terarah agar tetap berada dijalur pokok permasalahan (Kriyantono, 2010:98) 23 Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara mendalam untuk memperoleh data primer terhadap pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan upaya komunikasi aktor-aktor dalam penyelesaian konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya. Wawancara dilakukan semistruktur dengan berdasar interview guidenamun tetap mengembangkan pertanyaan sesuai dengan feedback dari informan. Wawancara menggunakan tipe open-ended yang memungkinkan peneliti bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta, peristiwa, disamping opini mereka terhadap peristiwa yang ada. Informan kunci terbagi dua, yaitu aktor-aktor yang melakukan upaya komunikasi dalam penyelesaian konflik dan para pihak yang berkonflik itu sendiri. Informan kunci yang berupa aktor-aktor meliputi pihak-pihak baik organisasi maupun individu yang berupaya dalampenyelesaian konflik, sedangkan para pihak berkonflik merupakan pihak JAI dan FPI. b. Observasi Observasi di sini diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut. Observasi yang digunakan adalah obsevasi partisipan, karena dengan metode ini akan lebih memungkinkan periset untuk mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi yang riil (Kriyantono, 2006: 110). Observasi dalam penelitian ini dilakukan di Desa Cipakat Tenjowaringin, Tasikmalaya tempat bermukim JAI sekaligus tempat terjadinya perusakan, di berbagai tempat program yang dilakukan oleh aktor dalam rangka penyelesaian konflik, serta obseervasi akan situasi pasca konflik di Tasikmalaya secara umum. c. Dokumentasi Secara sederhana dokumentasi adalah kegiatan yang menyangkut dokumen. Seperti buku, jurnal, file, citra, foto, atau 24 rekaman suara Dokumentasi sebagai dalam rekaman penelitian ini komunikasi lebih langsung. ditujukan untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data berupa berbagai buku yang berkaitan dengan penelitian. Dokumentasi dan data diambil dari dokumen-dokumen berbagai instansi terkait yang berhubungan dengan konflik Ahmadiyah dan penanggulangannya, seperti surat laporan, srat keputusan, dan notulen rapat. 4.Analisis Data Analisis data yang dipakai menggunakan Miles dan Huberman dalam Pawito (2007:104) dengan istilah Interactive model teknik terdiri dari tiga komponen yaitu : a. Reduksi data (data reduction), mempunyai tiga tahap, yakni tahap pertama: editing, pengelompokan dan meringkas data. Seluruh data mengenai konflik Ahmadiyah dan upaya komunikasi dalam penyelesaian konflik dikumpulkan seluruhnya. Tahap kedua: peneliti menyusun catatan atau memo yang berkenaan dengan proses penelitian sehingga peneliti dapat menemukan tema, kelompok, dan pola-pola data dari resolusi konflik dan upaya komunikasi aktor-aktor yang terlibat dalam reolusi konflik. Tahap ketiga: peneliti menyusun rancangan konsep-konsep (mengupayakan konseptualisasi) serta penjelasaan berkenaan dengan tema, pola atau kelompok-kelompok data yang bersangkutan. Peneliti berusaha terus mengerucutkan dat-data yang ada sehingga tidak hanya proses resolusi konflik tetapi upaya komunikasi yang dilakukan juga dapat tergambarkan. b. Penyajian data (data display), melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan kelompok data lain, sehingga seluruh data benarbenar dilibatkan.Dalam tahap ini, peneliti mulai menyajikan dan mengintrepetasikan temuan yang didapat dari lapangan dan hasil 25 wawancara dengan aktor-aktor penyelesai konflik serta pihak yang berkonflik ke dalam teks deskriptif-naratif. c. Pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion), peneliti mengimplementasikan mempertimbangkan prinsip pola-pola data induktif yang ada dengan dan atau kecenderungan dari display data yang dibuat. Analisis akan temuan yang didapat kemudian dibuat kesimpulan-kesimpulan. Sehingga peneliti dapat memaparkan kesimpulan dari sudut pandang peneliti berdasarkan dari data yang telah direduksi dan disajikan 26