bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik kini menjadi hal yang semakin meresahkan di berbagai daerah di
Indonesia. Perbedaan nilai dan ideologi dalam bermasyarakat dan beragama
menjadikan konflik semakin pelik. Hal tersebut terlihat, salah satunya dari
banyaknya
penyerangan
massa
beruntun
terhadap
Jamaah
Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di beberapa daerah. Konflik terhadap minoritas, khususnya
konflik Ahmadiyah yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia memang terusmenerus terjadi. Dalam kurun waktu dua tahun saja (2008-2010) tercatat telah
terjadi 276 kali kekerasan yang dilakukan terhadap JAI.1
Konflik yang berlarut-larut ini bukannya tanpa upaya negosiasi dan
penyelesaian konflik. Namun konflik keagamaan yang bersifat sensitif serta
rumitnya upaya mengelola komunikasi dalam konflik mempersulit terbentuknya
penyelesaian yang diharapkan.Komunikasi memang sering kali disebut-sebut
sebagai pangkal dari berbagai permasalahan dan konflik yang terjadi. Namun di
saat yang sama, komunikasi juga dianggap sebagai solusi pemecahan masalah
yang ada (Susanto, 1977:15). Mayer (2000:119) bahkan menyebut komunikasi
sebagai jantung dari konflik dan resolusinya. Meskipun komunikasi merupakan
satu bagian dari konflik, namun tanpa adanya komunikasi yang efektif dari aktoraktor yang terlibat, konflik maupun resolusi konflik tak akan bisa terpecahkan.
1
Setara Institue mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah.
Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun
itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah mengalami kekerasan dan bentrokan sebanyak 33 dan 50
kali di berbagai daerah di Indonesia
http://www.vivanews.com/resolusi%20konflik/konflik%20ahmadyahweb/Ahmadiyah,%20Darah
%20dan%20Ibadah.htm diakses pada 30 Mei 2013
1
Keterlibatan banyaknya aktor
dalam
upaya penyelesaian konflik
Ahmadiyah sesungguhnya telah diupayakan pemerintah dari dikeluarkannya
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 yang memberi
peringatan kepada JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai
dengan penafsiran Agama Islam. SKB sebagai upaya penyelesaian konflik
Ahmadiyah, bahkan dipandang perlu ditandatangani dan disepakati oleh tiga
aktor penting sekaligus yakni Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia (RI). Baru-baru ini bahkan rapat koordinasi
pembahasan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah ini melibatkan Menteri
KoordinatorKepolisian
Hukum
dan
HAM
(Menkopolhukam),
Menko
Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Pertahanan.2
Meluasnya bidang yang terkait dalam konflik Ahmadiyah, memperlihatkan
rumitnya proses penyelesaian konflik ini sehingga diperlukan banyak aktor yang
terlibat. Penyelesaian konflik Ahmadiyah di tiap daerah melibatkan aktor serta
penyelesaian yang berbeda-beda. Pun demikian dalam keterlibatan aktor dan
upaya komunikasi penyelesaian konflik kasus Ahmadiyah di Tasikmalaya. Masih
berbekas dalam ingatan bagaimana perusakan rumah waga Ahmadiyah yang
terjadi di Tenjowaringin dan Kutawaringin, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya pada
2012 dan awal 2013 lalu.3
Tenjowaringin, sebagai salah satu basis pemukiman Ahmadiyah terbesar
di Indonesia ini, memiliki jumlah anggota JAI sebanyak lebih dari 3000 orang
(Wijoarko, 2013:32). Selain itu daerah Tenjowaringin dan Kutawaringin memiliki
fasilitas pendidikan milik JAI berupa TK Siti Khadijah dan SMU Plus Al Wahid
2
http://news.detik.com/read/2013/05/30/150449/2260448/10/soal-ahmadiyah-sekali-lagipemerintah-imbau-patuhi-skb-3-menteridiakses pada 17 Juni 2013
3
Konflik dan kekerasan terjadi berturut-turut pada April 2012 di mana beberapa oknum merusak
tempat ibadah JAI dan berlanjut dengan aksi lain yaitu ketika ratusan orang dari sejumlah ormas
Islam menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor KUA Kecamatan Salawu sebagai protes karena
mendapat isu bahwa ada sepasang JAI yang menikah di KUA dan pada Mei 2013, kembali terjadi
perusakan terhadap Masjid Ahmadiyah Salawu
http://www.Antaranews.com/Masjid%20Ahmadiyah%20Tasikmalaya%20dirusak%20%20ANTARA
%20News.htm
http//kompas.com/konflik/Nikahkan%20Jemaah%20Ahmadiyah,%20Kantor%20KUA%20Didemo
diakses pada 2 Februari 2013
2
yang merupakan satu-satunya di Indonesia (Zulkarnain, 2005:286). Sebagai
mayoritas dalam suatu desa, JAI yang hidup di Tenjowaringin kerap kali
membuat
kegiatan
yang akhirnya
memicu perlawanan dari FPI
DWP
Tasikmalaya. Pada 5 Mei 2013 tercatat suatu puncak konflik melanda kota yang
dijuluki sebagai Kota Santri4 ini, dimana di hari itu terjadi perusakan rumah warga
JAI yang dilakukan oleh ormas Islam FPI akibat bentuk pernyataanmenolak
kegiatan Jalsah Salanah (Munas) JAI yang dianggap FPI sebagai bentuk
pelanggaran terhadap SKB 3 Menteri.5
Menanggapi konflik yang meresahkan warga serta mengancam ketertiban
dan keamanan wilayah Tasikmalaya, terdapat beberapa aktor yang memiliki
kepentingan terhadap kasus Ahmadiyah mencoba melakukan upaya-upaya
komunikasi dalam menyelesaikan konflik yang ada. Berbagai strategi dan
pendekatan dilakukan berbagai aktor tersebut berkelindan dengan kepentingan
yang mereka miliki sehingga kondisi di Tasikmalaya kini relative stabil.
Meskipun upaya komunikasi resolusi konflik yang dilakukan oleh aktoraktor dalam resolusi konflik tidak bisa menjamin konflik tak akan terjadi lagi,
namun proses inisiasi negosiasi dalam resolusi konflik, pembinaan pasca
bentrokan, serta upaya komunikasi dalam menyelesaikan konflik yang dilakukan
oleh para aktor menjadikan isu ini sangat menarik untuk dikaji. Selain itu, upaya
komunikasi aktor-aktor dalam resolusi konflik di Tasikmalaya ini menjadi penting
untuk diteliti karena hal tersebut bisa memberikan menjadi harapan bagi
penyelesaian konflik Ahmadiyah di daerah lain.
4
Tercatat kurang-lebih 700 pesantren tersebar di Kota-Kabupaten Tasikmalaya. Selain karena
jumlah pesantrennya yang banyak, sebutan Kota Santri semakin melekat pada Tasikmalaya
dengan disertakannya gambar kubah masjid pada lambang Tasikmalaya, sebagai perwujudan dari
citra Kota Santri, dan dicanangkannya berbagai program yang mendukung pendidikan di
pesantren oleh pemerintah kota Tasikmalaya. Lebih lanjut lihat Situs Resmi Kota Tasikmalaya
www.tasikmalayakota.go.id
5
Perusakan menyebabkan 24 rumah warga rusak dan Dari keterangan saksi yang melihat, jumlah
massa pada saat melakukan penyerangan sekitar 100200orang.http://news.detik.com/read/2013/05/05/072550/2238193/10/pemukimanahmadiyah-di-tasikmalaya-diserang-sekelompok-orang
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini memfokuskan
permasalahan yang ingin diteliti yaitu :
“Bagaimana
upaya
komunikasi
aktor-aktor
yang
terlibat
dalam
prosespenyelesaian konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya?”
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis siapa aktor-aktor dalam resolusi
konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya
2.
Untuk menganalisis upaya komunikasi aktor-aktor dalam resolusi konflik
Ahmadiyah di Tasikmalaya serta kontribusinya dalam penyelesaian
konflik.
D. Manfaat Penelitian
1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa
wawasan dan pemahaman baru berkaitan dengan cara komunikasi dalam
upaya resolusi konflik. Terutama yang berkaitan dengan peran dan
komunikasi aktor-aktor dalam penyelesaian konflik keagamaan sehingga
dapat menambah khazanah kepustakaan ilmu komunikasi khususnya
yang berhubungan dengan komunikasi dalam resolusi konflik.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pemerintah atau para pemangku kebijakan, dalam menyelesaikan serta
mengeluarkan kebijakan berkenaan konflik keagamaan yang terjadi di
daerahnya. Sedangkan bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan rekomendasi berupa proses upaya komunikasi aktoraktor yang berkesinambungan sehingga dapat memberi rujukan pada
analisis-analisis mengenai resolusi konflik Ahmadiyah yang terjadi di
daerah lain di Indonesia
4
E. Kerangka Pemikiran
Untuk menjelaskan alur berpikir dalam penelitian ini, maka penulis
menyusun kerangka pemikiran dalam memudahkan pengidentifikasian jawaban
atas masalah yang penulis teliti. Untuk itu penulis menggunakan tiga konsep atau
teori dalam menganalisis upaya komunikasi yang dilakukan aktor-akor dalam
resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya, yakni konsep resolusi konflik, aktoraktor dalam penyelesaian konflik dan komunikasi dalam resolusi konflik.
1.
Resolusi konflik
Nicholson (1991:59) menyatakan bahwa conflict resolution is the process
facilitating a solution where the actors no longer feel the need to indulge in
conflict activity and feel that the distribution of benefits in social system is
acceptable. Ketika pihak yang berkonflik merasa sudah tidak lagi perlu untuk
melanjutkan konflik yang ada, resolusi konflik menjadi fasilitas bagi terciptanya
suatu proses solusi. Resolusi konflik merupakan suatu proses upaya untuk
meredam atau bahkan menyelesaian suatu konflik. Sebagaimana Kriesberg
(2006:107) mendefinisikan resolusi konflik sebagai “conducting conflicts
constructively, even creatively”. Hal itu berarti meminimalkan kekerasan yang
timbul akibat konflik, mengatasi permusuhan yang terjadi antar pihak yang
berkonflik, membuat suatu hasil yang saling dapat diterima oleh para pihak
berkonflik dan suatu penyelesaian yang dapat dipertahankan.
Dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi, para peneliti menetapkan
pendekatan konflik manajemen yang sangat beragam. Menurut Littlejohn dan
Domenici (2007:15) terdapat dua genre dalam memanajemen konflik yaitu
adversarial methods dan alternative dispute resolution (ADR) :
a. Adversarial Methods
Pendekatan ini memiliki kecenderungan lebih konfronsional, oleh
karena itu dipahami dalam tiga bentuk pendekatan:
1) Pengajuan perkara secara hukum (Litigation)
5
Ketika konflik tidak juga terselesaikan dalam- apa yang disebut
Littlejohn dan Dominici (2007:16) sebagai normal course
events-
maka
pihak
yang
berkonflik
biasanya
menyelesaikannya dengan proses formal yakni dengan
mengajukan perkara konflik tersebut ke pengadilan. Pihak
yang
berkonflik
menghadapai
akan
diwakili
konsekuensi
bahwa
oleh
pengacara
mereka
tidak
dan
dapat
mengontrol apa yang akan terjadi di pengadilan. Proses litigasi
ini merupakan win/lose process dimana masing-masing pihak
berkonflik saling berlawanan dan mencoba menjatuhkan satu
sama lain. Selain itu, proses ini sangat menguras waktu,
tenaga juga biaya.
2) Kecaman (Diatribe)
Dalam proses resolusi konflik, terkadang salah satu pihak
merasa sangat frustasi akibat ketidakmampuan pihak lawan
dalam memahami posisi dan cara pandangnya yang berakibat
munculnya kecaman-kecaman yang keluar dari pihak tersebut.
Kecaman ini dapat berbentuk penyebutan nama secara kasar,
mengejek, berteriak, dan pelepasan kemarahan yang tidak
pantas. Jenis komunikasi ini biasanya tidak menyelesaikan
masalah dan justru berlanjut pada pemaksaan (force).
3) Pemaksaan (Force)
Pemaksaan bisa menjadi suatu ancaman atau bahkan
kekerasan dalam situasi konflik. Meskipun telah menjadi suatu
yang biasa, kekerasan dalam pemaksaan justru menaikkan
tensi dari konflik itu sendiri. Karena sifatnya teresbut maka
pemaksaan bisa menjadi bentuk yang terburuk dari upaya
resolusi konflik.
b. Alternative Dispute Resolution (ADR)
ADR merupakan suatu bentuk alternatif pilihan dalam melakukan
resolusi konflik yang biasanya disertai dengan metode partisipasi
pihak ketiga. ADR secara luas merujuk pada semua metode
6
nonadversarialyang digunakan dalam meresolusi konflik. Bentukbentuk pendekatan ini adalah:
1) Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi dapat ditempuh dengan jalan formal atau nonformal,
secara privat atau terbuka, secara langsung atau melalui
perwakilan tertentu. Negosiasi yang berhasil mensyaratkan
pihak
berkonflik
kepentingan
untuk
yang
ada,
dapat
mendefinisikan
berkomunikasi
isu
secara
dan
jelas,
mendengar dan memahami posisi pihak lain, dan bekerjasama
dalam membuat suatu jalan kesepakatan.
2) Mediasi (Mediation)
Mediasi memfasilitasi negoisasi untuk dapat bekerja bersama
mencari solusi terbaik dari perbedaan yang ada dengan pihak
ketiga yang netral. Mediasi biasanya dimengerti sebagai
perpanjangan dari negoisasi. Dalam proses mediasi, peran
mediator menjadi sangat krusial, maka mediator sebaiknya
memiliki karakteristik dapat membuka saluran komunikasi
antar dua pihak, menekankan pada hasil atau tujuan dari
proses juga bersifat menghargai masing-masing pihak.
3) Arbitrase (Arbitration)
Bentuk partisipasi pihak ketiga lainnya adalah arbitrase yang
biasanya digunakan dalam resolusi konflik bisnis. Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No: 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
menyebutkan bahwa:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanijan
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa.”
7
2.
Aktor dalam Proses Resolusi Konflik
Aktor dalam konflik dapat berupa orang, kelompok, organisasi, atau
jalinan yang mampu mengambil keputusan dan bertindak dengan cara yang
sedikit-banyak terkoordinasi (Burns et al, 1987:4). Setiap proses transaksi
sosial adalah interaksi antar aktor yang berupa kerja sama, persaingan,
pertentangan, penggunaan kekerasan atau konflik. Aktor-aktor yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah individu, kelompok atau organisasi yang dengan
perspektif dan perannya masing-masing berupaya menyelesaikan konflik
Ahmadiyah di Tasikmalaya.
Para aktor menyerap dan menata informasi, mempertimbangkannya dan
membuat keputusan serta bertindak dengan dilandasi niat juga berbagai
pertimbangan rasional. Para aktor memiliki kepentingan sosial dan orientasi
yang bersifat normatif. Perspektif dan kepentingan aktor tersebut pada
akhirnya berpengaruh pada tindakan mereka terhadap satu sama lain dan di
saat yang sama aktor-aktor ini menerjemahkan norma, aturan serta situasi
yang ada dengan caranya masing-masing.
Tindakan yang diambil oleh para aktor pada umumnya berdasarkan pada
pilihan rasional masing-masing. Pilihan rational atau
rational choice
memandang bahwa fenomena sosial dibangun dari pemahaman terhadap
preferensi, keyakinan, danstrategi individu. Individu-individu ini bertindak
secara rasional dimana individu dapatmenentukan ranking dari berbagai
pilihan
yang
dimilikinya
sertamembuat
pilihan
yang
memaksimalkan
kepentingannya (Ward, 2002:19).Esensi dari rationalchoice adalah ketika
dihadapkan pada beberapa alurtindakan, manusia biasanya akan memilih alur
yang mereka yakini akanmendatangkan manfaat yang paling besar bagi
manusia tersebut.
Aktor dalam konflik biasanya memiliki peran yang sangat signifikan dalam
proses penyelesaian konflik yang ada. Peran aktor tersebut bisa berupa
mediator dalam pertemuan para pihak yang berkonflik, negosiator dalam
8
menyepakati penyelesaian konflik, atau fasilitator yang berupaya memberikan
fasilitas atau menjembatani pihak yang berkonflik dalam berkehidupan baik
ketika berkonflik maupun pasca konflik. Dalam pencapaian tujuan dan
perannya tersebut, para aktor biasanya melakukan berbagai macam
pendekatan dan metode. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua
pendekatan dalam negosiasi yang dapat dilpilih oleh para aktor dalam upaya
penyelesaian konflik yakni positional bargaining dan collaborative bargaining
(Littlejohn dan Domeinici, 2007:117). Keduanya dijabarkan sebagai berikut:
a. Positional bargaining
Pendekatan yang sering juga disebut sebagai pendekatan distributif
ini merupakan suatu bentuk pendekatan yang bertujuan untuk
mendistribusikan sumberdaya (uang, tanah, keuntungan dan lain-lain)
yang terbatas. Negosiator yang berhasil adalah mereka yang
memenangkan sumber daya sebanyak mungkin atau setidaknya
mendapatkan pembagian yang sama. Pilihan-pilihan akan sangat
terbatas dan akan nda salah satu pihak yang menang juga pihak lain
yang kalah.
b. Collaborative bargaining
Sesuai dengan penyebutannya, pendekatan ini merupakan bentuk
negosiasi di mana para negosiator berkolaborasi atau bekerja
bersama-sama
untuk
menghasilkan
solusi
yang
memberikan
keyamanan bersama. Pendekatan ini juga memiliki banyak nama lain,
diantaranya: integrative problem solving, win-win, dan principled.
Dengan
integrative
problem
solving,
masing-masing
pihak
mengintegrasikan kepentingannya menjadi satu kesatuan. Disebut
win-win karena pihak yang bernegosiasi tidak lagi mencoba saling
menjatuhkan satu sama lain, tapi justru membuat kesepakatan yang
mempertemukan semua kepentingan, sehingga semua menjadi
pemenang. Sedangkan principled dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip
negosiasi
mendapat
tempat
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
kepentingan salah satu pihak yang berkonflik.
9
2.1 Face Negotiation Theory
Dalam memahami berbagai relasi aktor dalam proses penyelesaian
konflik, Ting Toomey merumuskan suatu teori bernama face negotiation
theory. Asumsi dari teori face negotiation theory adalah, melalui adanya
perbedaan yang terjadi dalam tiap budaya atau kelompok, dalam
komunikasi yang terjadi, terkadang ada proses penyampaian pesan yang
tidak tersampaikan sehingga menimbulkan miss communication atau
salah pengertian di dalam kelompok tersebut. Sebuah budaya akan
memiliki adat, kebiasaan, nilai, norma, dan hal lain yang mengikat yang
mengidentifikasi mereka menjadi sebuah budaya tersebut. Konflik akan
muncul saat dua kelompok atau lebih memiliki perbedaan dan tidak bisa
menerima identitas dari kelompok lain.
Dalam Em. Griffin, Ting-Toomey mengasumsikan bahwa setiap orang
dalam tiap budaya akan selalu menegosiasikan atau merundingkan
identitas mereka (face). Istilah ini mengacu pada pencitraan diri, cara kita
meminta orang lain agar “melihat” keberadaan kita dan berprilaku
menyenangkan terhadap kita. Maka dari hal ini muncullah istilah
facework, yang berarti penyampaian pesan verbal dan nonverbal yang
dikemukakan secara spesifik yang akan membantu menjaga dan
memperbaiki wajah yang kalah atau saat posisi terlihat lebih rendah dan
berusaha untuk memperoleh wajah yang penuh dengan penghargaan
(Em. Griffin, 2004:435)
Secara garis besar Face Negotiation Theorymemiliki 3 asumsiyang
padaintinya terdiri dari konsep kunci teori ini, yaitu wajah, konflik dan
budaya:
a. Self identity is important in interpersonal interactions, with
individuals negotiating their identities differently across culture.
Identitas diri merupakan sesuatu hal yang penting di dalam
interaksi interpersonal. Namun dalam interaksinya, individu–
10
individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda
sesuai dengan budaya asal mereka.
Melekat dengan asumsi pertama adalah keyakinan bahwa
para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra
diri yang berbeda dan bahwa mereka menegosiasikan citra ini
secara terus-menerus. Dalam banyak budaya yang berbeda,
orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan
kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. TingToomey percaya bahwa bagaimana kita mempersepsikan rasa
akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk
mempersepsikan kita merupakan hal yang sangat penting
dalam pengalaman komunikasi kita
b. The management of conflict is mediated by face and culture.
Konflik merupakan peristiwa yang dapat merusak dan
menyebabkan
kerenggangan
antar
orang
yang
semula
berhubungan sangat dekat. Dalam konteks ini, konflik yang
terjadi memiliki hubungan yang sangat erat dengan wajah dan
budaya.
Hal
ini
disebabkan
oleh
cara
seseorang
menghadapidan meyelesaikan konflik sangat berhubungan
erat dengan cara bagaimana ia dibesarkan. Atau dengan
kata lain, orang yang dibesarkan dalam kebudayaan barat
memiliki cara mengatasi konflik yang berbeda dengan orang
yang dibesarkan dalam kebudayaan timur.
Menurut Ting-Toomey, konflik dapat merusak muka sosial
seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara
dua orang. Sebagaimana ia nyatakan, konflik adalah “forum”
bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka. Konflik
mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi
yang tidak bersesuaian dalam bagaimana menyelesaikan
konflik
tersebut.
Contohnya,
dalam
budaya
Amerika,
11
menganggap bahwa menunjukkan perbedaan di antara dua
orang sebagai hal yang penting, sementara budaya lain yakin
bahwa konflik harus ditangani secara diam-diam
c. Certain acts threaten one’s projected self-image (face)
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat
diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Setiap orang
memiliki kemampuan untuk menampilkan beraneka macam
ekspresi. Menurut asumsi ini, terdapat dua pola dalam face
threatening process yaitu face saving&face restoration. Face
saving merupakan usaha untuk mencegah terjadinya sesuatu
yang memalukan sedangkan face restoration merupakan
strategi yang dilakukan untuk melindungi otonomi atas diri
sendiri dan mencegah jatuhnya harga diri karena malu.
3.
Komunikasi dalam Resolusi Konflik
Moore
dan
Wood
dalam
Fazzi
(2011:88)
menyatakan
bahwa
“communication is the life blood of negotiation” di mana dalam mencapai suatu
kesepakatan, maka para pihak tidak hanya harus berkomunikasi dan bertukar
informasi, tapi juga harus mengintrepretasi informasi secara akurat. Komunikasi
sangat berperan dalam tercapainya suatu penyelesaian dalam konflik juga
dalam proses negosiasi untuk tercapainya penyelesaian itu. Negosiasi sebagai
suatu proses timbul melalui komunikasi yang terjadi antara para pihak yang
berkonflik atau para aktor yang menjadi pihak ketiga atau negosiator.
Pengertian negosiasi sangat beragam dan luas, namun dalam penelitian ini,
negosiasi dimaknai sebagai suatu proses. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Lax dan Sebenius dalam Weingart dan Olenkalns (2004:143) negosiasi
diartikan sebagai “a process of potentially opportunistic interaction by which two
or more parties, with some apparent conflict, seek to do better through jointly
decided action than they could otherwise.”
12
Komunikasi pada umumnya memiliki model-model yang khas dalam
penjelasannya. Begitu pula dalam proses konflik, terdapat beberapa model
komunikasi yang dikenal, diantaranya (Abigail dan Cahn, 2011:10) :
a. Model Komunikasi Linear
Model ini lebih berfokus pada hasil akhir dari konfik yakni
mendapatkan perubahan sikap atau perilaku dari pihak yang
berlawanan sehingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh
karena model ini lebih menitikberatkan hasil akhir saja, maka
terkadang proses komunikasi yang terjadi di dalamnya tidak
berlangsung dengan baik. Para pihak yang berkonflik atau pihak yang
terlibat dalam proses resolusi konflik lebih sering menyalahkan pihak
lawan atau pihak yang tidak disenangi tanpa berpikir bahwa masingmasing pihak sebenarnya berkontribusi terhadap keberlangsungan
konflik.
Komunikasi
yang
terjadi
dapat
berwujud
convincing,
persuading, controlling atau dominating. Hal ini sebaiknya tidak terjadi
karena tentu akan berdampak buruk pada hubungan antara para
pihak dan justru menimbulkan konflik yang berlarut-larut.
b. Model Komunikasi Transaksional
Model komunikasi ini menekankan bahwa konflik bukan tentang apa
yang akan kita lakukan supaya pihak lain sesuai dengan posisi kita,
namun lebih kepada apa yang akan dilakukan bersama-sama supaya
konflik cepat selesai. Konflik dipahami sebagai proses memberi dan
menerima, saling merespon dari apa yang pihak lain utarakan, bekerja
bersama-sama
dalam
mencari
solusi
dan
berdiskusi
hingga
mendapatkan kesepakatan dan resolusi. Masing-masing pihak yang
berkonflik
dan
pihak
yang
berupaya
menyelesaikan
konflik
bertanggungjawab dalam menimbulkan sikap empati, menghindari
prasangka, menjaga pikiran tetap terbuka dan mewujudkan resolusi
yang terbaik.
Komunikasi yang terjadi dalam negosiasi pada umumnya berdasarkan
kerelaan masing-masing pihak untuk bersikap akomodatif. Komunikasi yang
13
akomodatif ini memberikan jalan bagi para aktor dalam resolusi konflik dan para
pihak yang berkonflik untuk dapat berkomunikasi sesuai dengan situasi yang
dihadapi sekaligus akan menentukan bagaimana pola komunikasi di dalam
konflik akan terbentuk. Pola-pola komunikasi yang dipilih oleh aktor dalam
penyelesaian konflik dipengaruhi oleh pilihan-pilihan para aktor dalam merespon
konflik yang ada. Secara umum aktor akan merespon konflik dengan lebih
menitikberatkan salah satu dari tiga orientasi. Orientasi-orientasi tersebut,
sebagaimana
yang
dinyatakan
oleh
Abigail
&
Cahn
(2011:45)
dapat
mempengaruhi sikap atau komunikasi yang dipilih dalam menghadapi konflik.
Orientasi dan pilihan komunikasi dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Orientasi pada pihak lain (other centered orientation),
Orientasi ini lebih mementingkan apa yang pihak lain inginkan
dibanding apa yang dirinya inginkan. Other centered orientation dapat
menghasilkan pilihan sikap dalam menghadapi konflik atau komunikasi
yang dipilih dalam konflik yaitu non-assertive communication.
1) Non-assertive communication
Pilihan komunikasi dalam konflik yang pertama ini membentuk dua
pendekatan perilaku: Pertama;Avoiding, yaitu menghindar dari
konflik atau bahkan tidak peduli dengan konflik yang terjadi.
Kedua; Accommodating, yaitu ketika salah satu pihak yang
sebenarnya ingin menyampaikan apa yang ia inginkan tapi mudah
menyerah dan memilih untuk sepakat dengan pendapat lain tanpa
memberikan pendapatnya atau menyatakan complain.
b. Orientasi pada diri sendiri (self-centered orientation),
Sesuai dengan penyebutannya, orientasi ini lebih menitikkan pada
kepentingan diri daripada kepentingan orang lain. Orientasi ini dapat
melahirkan dua pilihan komunikasi dalam konflik yaitu,
1) Passive-aggressive communication
Ketika satu pihak memilih bentuk komunikasi ini, ia cenderung
tidak secara langsung atau terbuka mengemukakan keinginan dan
pendapatnya, namun ia justru menempuh jalan-jalan yang licik
seperti memfitnah (backstabbing) atau menyabotase (sabotage).
14
2) Aggressive communication
Bentuk
komunikasi
ini
didefinisikan
sebagai
kemampuan
memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lain dengan
tekanan atau bahkan kekerasan baik secara verbal ataupun non
verbal (forcing).
c. Orientasi pada hubungan (relationship-centered orientation).
Orientasi yang terakhir ini, dapat dipahami bahwa baik kepentingan diri
dan kepentingan pihak lain adalah penting dan keduanya dapat terwujud
dengan seimbang. Pilihan yang berorientasi pada hubungan antara dua
pihak ini dapat menghasilkan apa yang disebut sebagai assertive
communication
1) Assertive communication
Merupakan kemampuan dalam menyampaikan keinginan dari satu
pihak dengan tidak mengganggu kepentingan atau hak pihak lain.
Komunikasi ini dapat diwujudkan baik dengan compromising
maupun collaborating strategies. compromising merupakan strategi
yang ada diantara forcing dan accommodating serta biasanya
sering dikaitkan dengan negosiasi (Hynes, 2011:231). Compromise
terjadi jika masing-masing pihak merasa bahwa mereka tidak
memiliki kekuatan untuk memaksa pihak lain dan pertentangan
yang memberikan kemenangan sepihak tidak akan memberikan
keuntungan
Setelah
mengetahui
orientasi
atau
perspektif
penyelesaian
yang
digunakan oleh aktor-aktor, maka upaya komunikasi yang digunakan dalam
implementasi perspektif tersebut dapat dengan lebih jelas terlihat sehingga pola
komunikasi yang diinginkan dapat lebih mudah terlaksana. Menurut Pruitt dan
Rubin (2004:57)
bentuk-bentuk komunikasi
yang bisa dilakukan dalam
penyelesaian konflik yang dapat dipilih oleh aktor-aktor dapat berupa contending,
problem solving, yielding, inaction dan withdrawing yang dijabarkan sebagai
berikut:
15
a. Contending merupakan upaya menyelesaikan konflik dengan tanpa
memperhatikan kepentingan orang lain. Pihak yang menggunakan
strategi ini berupaya untuk membujuk pihak lain untuk menuruti
keinginannya dan bersikukuh dalam mempertahankan pendapatnya.
Taktik yang dapat digunakan dalam strategi ini dapat berupa ancaman,
menjatuhkan penalti atau melakukan tindakan yang mendahului pihak lain
untuk menyelesaikan konflik tanpa sepengetahuan pihak lawan.
b. Problem solving merupakan strategi yang berusaha mempertahankan
perndapatnya sendiri tapi sekaligus berusaha untuk mendapatkan cara
melakukan rekonsiliasi dengan pihak lain. Berbagai taktik dapat
digunakan dalam strategi ini misalnya mengirimkan penengah yang dapat
dipercaya oleh kedua belah pihak, berkomunikasi melalui penghubungpenghubung tidak resmi, atau duduk bersama dalam suatu negosiasi.
c. Yielding
adalah strategi di mana salah satu pihak harus menurunkan
aspirasinya sendiri tapi juga bukan berarti penyerahan total pada pihak
lain. Biasanya strategi ini dimaksudkan untuk menurunkan tensi konflik
juga untuk mempermudah tercapainya kesepakatan. Strategi ini bisa
diikuti oleh penggunaan strategi lain secara bersamaan, misalnya setelah
melakukan yielding pihak tersebut melakukan problem solving.
d. Inaction dan withdrawing adalah strategi yang mirip di mana keduanya
melibatkan
penghentian
usaha
untuk
mengatasi
kontroversi.
Perbedaannnya adalah withdrawing merupakan penghentian yang
bersifat permanen, sedangkan inaction merupakan tindakan yang
temporer yang tetap membuka kesempatan bagi upaya penyelesaian
3.1 Strategi Komunikasi dalam Resolusi Konflik
Kekuatan komunikasi sangatlah besar, dengan komunikasi seseorang
mampu
membawa
banyak
teman
untuk
suara
yang
sama
atau
menceraiberaikan musuh, meyakinkan orang asing akan hal yang baru atau
bahkan menciptakan suatu mufakat dari perselisihan yang tak kunjung selesai.
Komunikasi mengizinkan komunikator untuk mengirim pesan verbal dan non
verbal yang dapat membentuk tingkah laku orang lain. Adler dan Proctor dalam
16
Samovar et al (2010 :17) bahkan menyebutkan bahwa selain untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan membentuk identitas komunikasi merupakan pendekatan
yang paling banyak digunakan untuk membuat orang bertingkah laku sesuai
dengan keinginan kita.
Tujuan komunikasi agar dapat mempengaruhi tingkah laku orang lain agar
dapat sesuai dengan yang kita harapkan itulah yang tentu ingin dicapai oleh para
aktor dalam penyelesaian konflik. Masing-masing actor berupaya agar para pihak
berkonflik bisa tunduk dalam kesepakatan yang dibuat bersama hingga konflik
terselesaikan. Maka perlu kiranya suatu strategi komunikasi yang digunakan oleh
para aktor agar tujuan tersebut tercapai.
Strategi
komunikasi
merupakan
paduan
dari
perencanaan
dan
manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah
ditetapkan. Strategi komunikasi mempunyai tujuan utama yaitu to secure
understanding, to estabilish acceptance, to motivate actions. Yang menjadi tujuan
adalah memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterima, apabila
telah dimengerti dan diterima, penerimaannya harus dibina dan pada akhirnya
kegiatan tersebut dimotivasikan (Effendy, 2003:32). Sama halnya dengan
merumuskan suatu strategi komunikasi umum, strategi komunikasi dalam konflik
juga sangat ditentukan oleh analisis target atau sasaran dari komunikasi,
bagaimana pemilihan dan penyampaian pesan yang tepat, bagaimana
penggunaan media yang dipilih serta penentuan komunikan atau sumber sebagai
faktor penting dalam keberhasilan strategi komunikasi.
a. Analisis Sasaran Komunikasi
Sebelum melakukan aktivitas komunikasi, sangat penting kiranya
dalam menentukan atau memutuskan siapa-siapa saja yang menjadi
target atau komunikan dari komunikasi yang akan dilakukan. Sasaran
komunikasi perlu dipelajari secara menyeluruh karena akan sangat
menentukan pemilihan pesan, media hingga komunikator yang perlu
dipakai dalam komunikasi. Analisis sasaran komunikasi juga penting
dicocokkan dengan tujuan dari komunikasi yang dilakukan, apakah
sekadar menginginkan khalayak untuk tahu (metode informatif) atau
17
agar khalayak melakukan tindakan tertentu sesuai dengan keinginan
komunikator (metode persuasive atau instruktif).
Pengenalan terhadap komunikan juga diperlukan akan komunikasi
yang dilakukan tidak melupakan kepentingan komunikan itu sendiri.
Bauer dalam Depari (1988:57) menyatakan bahwa, agar komunikasi
dapat berjalan efektif maka komunikator harus berorientasi pada apa
yang menjadi kepentingan khalayak, bukan sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan model komunikasi transaksional, dimana proses transaksi
akan terjadi apabila komunikan menganggap barang yang ditawarkan
oleh komunikator sesuai dengan minat, kehendak dan dapat
dijangkaunya.
b. Pemilihan Pesan Dalam Komunikasi
Aspek isi pesan memiliki kontribusi besar dalam membangun
kualitas konten. Beberapa hal yang terkait dengan isi pesan harus
diperhatikan, mulai dari materi pendukung, visualisasi pesan, isi
negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut,
kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan.
Para aktor dalam konflik perlu memikirkan cara terbaik untuk
membentuk pesan yang akan dikomunikasikan. Ada dua bentuk
pesan yang paling efektif adalah pesan langsung dan pesan tidak
langsung. Bentuk langsung artinya mengungkapkan secara langsung
poin utama terlebih dahulu, kemudian menjelaskan mengapa hal itu
penting. Sedangkan bentuk tidak langsung yaitu menjelaskan
mengapa pesan tersebut perlu, kemudian mengungkapkan poin
utamanya. Dengan pesan yang menarik, akan dapat membangkitkan
perhatian khalayak untuk mengetahui isi pesan tersebut. Hal ini
sesuai dengan AA.Procedure atau from Attention to Action procedure,
artinya membangkitkan perhatian untuk selanjutnya menggerakkan
seseorang atau orang banyak melakukan kegiatan sesuai dengan
tujuan yang dirumuskan (Argenti, 2009:39).
18
Wilbur Schramm dalam Effendy (2002:57) menjelaskan bahwa
ada
beberapa
kondisi
sukses
dalam
berkomunikasi
yang
berhubungan dengan pesan komunikasi yaitu:
1) Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa
sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
2) Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada
pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan,
sehingga sama-sama dapat dimengerti
3) Pesan
harus
komunikan,
membangkitkan
dan
kebutuhan
menyarankan
beberapa
pribadi
pihak
cara
untuk
mendapatkan kebutuhan itu.
4) Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh
kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok tempat
komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan
tanggapan yang dikehendaki.
c. Penggunaan Media Dalam Komunikasi
Pemilihan media atau saluran komunikasi memainkan peranan
penting dalam menyebarkan pesan ke target audiens. Media sebagai alat
penyampai informasi dan pesan adalah salah satu faktor penting dalam
keberhasilan program komunikasi. Teknologi komunikasi baru banyak
bermunculan sebagai hasil usaha dari penyempurnaan secara terus
menerus teknologi yang sudah ada. Untuk itu, ada baiknya untuk
menyusun strategi media berupa bauran media lainnya agar pesan-pesan
yang disampaikan tepat sasaran.
Penggunaan
menggunakan
media
komunikasi
komunikasi
interpersonal
yang
menjadi
beragam
hal
yang
serta
dapat
menyukseskan pesan kampanye dapat sampai ke audiens, sehingga
mampu menumbuhkan rasa kesadaran adanya perubahan perilaku
seseorang. Komunikasi interpersonal dapat dilakukan secara langsung
(face to face) atau dengan menggunakan media (seperti email, chatting
19
atau menggunakan media sosial) sehingga lebih cepat mendapatkan
umpa
F.MODEL PENELITIAN
Dari kerangka pemikiran di atas, maka peneliti membuat model penelitian
sebagai berikut:
Konflik Ahmadiyah di
Kabupaten Tasikmalaya
Front Pembela
Islam (FPI)
Jemaat
Ahmadiyah
Indonesia (JAI)
Ta
Aktor-Aktor dalam Upaya
Penyelesaian Konflik
TA Tasikmalaya
Kontribusi Aktor Dalam
Penyelesaian Konflik
Strategi Komunikasi
Aktor-aktor
Bagan 1
20
Bagan Model Penelitian Peneliti
G. Definisi Operasional
Berdasarkan kerangka pemikiran serta model penelitian di atas, maka
konsep-kosnsep dalam penelitian mengenai upaya komunikasi aktor-aktor dalam
resolusi konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya akan dijabarkan dalam definisi
operasional unit kajian yang akan menjadi fokus kajian peneliti, sebagai berikut:
No. Unit Kajian
Keterangan
1
Konflik dalam penelitian ini adalah
Konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya
konflik
manifest
yang
berupa
pertikaian, perusakan, pertentangan,
demonstrasi,
kerusuhan
yang
berkaitan dengan keberadaan ataupun
kegiatan Ahmadiyah di Kabupaten
Tasikmalaya pada tahun 2012-2013,
yang melibatkan Front Pembela Islam
DWP
Tasikmalaya
Ahmadiyah
dan
Indonesia
Tasikmalaya
sebagai
Jemaat
Cabang
pihak
yang
berkonflik.
2
Aktor-aktor
Konflik
dalam
Resolusi Aktor yang dimaksud dalam penelitian
ini
bukan
merupakan
aktor
yang
berkonflik, namun merupakan individu
atau instansi
kawasan
yang
berada dalam
Kabupaten
Tasikmalaya
yang dengan segala kepentingan dan
posisinya
berupaya
menyelesaian
konflik Ahmadiyah yang terjadi di
Kabupaten Tasikmalaya
21
3
Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi di sini adalah
bagaimana cara-cara yang dipakai
oleh
aktor-aktor
upayanyamenyelesaikan
dengan
pendekatan
dalam
konflik
komunikasi
seperti analisis khalayak, pemilihan
dan penyampaian pesan yang tepat
serta penggunaan media yang dipilih.
4
Kontribusi Aktor-Aktor
Kontribusi aktor merupakan peranan,
sumbangan atau andil berupa ide,
pendekatan, perumusan,program yang
diberikan
actor
demi
terciptanya
penyelesaian konflik Ahmadiyah di
Tasikmalaya yang dilakukan melalui
strategi-strategi komunikasi
H. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Hal ini disebabkan karena
penelitian ini bertujuan untuk memaparkan proses dan negosiasi komunikasi para
aktor dalam resolusi Ahmadiyah, bukan ditujukan untuk mencari atau
menjelaskan hubungan serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi
(Rahmat, 2001:24). Studi kasus juga dipandang tepat sebagai metode penelitian
karena menurut Yin (2002:8) studi kasus lebih cocok bila pokok pertanyaan
dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan pertanyaan bagaimana atau
mengapa, peneliti tidak memiliki banyak peluang untuk mengontrol peristiwa
yang akan diteliti dan fenomena yang diteliti merupakan fenomena yang
kontemporer bukan historis.
22
Penelitian
ini
lebih
menanyakan
tentang
bagaimana
negosiasi
komunikasi, peran dan perspektif aktor-aktor dalam konflik Ahmadiyah di
Tasikmalaya, peneliti tidak dapat berbuat banyak untuk mengontrol peristiwa
yang terjadi dan meskipun Ahmadiyah sebagai organisasi telah lama
berkembang di Indonesia, namun konflik manifest khususnya yang terjadi di
Tasikmalaya pada kurun waktu 2012-2013 merupakan fenomena yang baru atau
kontemporer. Melihat hal tersebut maka studi kasus dianggap menjadi strategi
yang tepat dalam penelitian ini.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Tasikmalaya, Jawa Barat khususnya di daerah
konflik pada Mei 2013 terjadi yaitu di Tenjowaringin dan Kutawaringin,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik atau metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian ini, menggunakan
beberapa teknik, diantaranya:
a. Wawancara Mendalam (depth interview)
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi
dan
ide
melalui
tanya
jawab,
sehingga
dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu data tertentu (Saebani, 2008:
190).Wawancara dapat dibagi ke dalam tiga jenis, antara lain
wawancara
pendahuluan
yang
biasa
digunakan
untuk
memperkenalkan peneliti dengan subjek yang akan diteliti,
wawancara terstruktur yang disusun secara sistematis dari
pertanyaan yang mudah hingga kompleks, dan yang terakhir
adalah wawancara semistruktur yang dapat dilakukan secara
bebas namun tetap terarah agar tetap berada dijalur pokok
permasalahan (Kriyantono, 2010:98)
23
Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara mendalam
untuk memperoleh data primer terhadap pihak-pihak yang secara
langsung terkait dengan upaya komunikasi aktor-aktor dalam
penyelesaian konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya. Wawancara
dilakukan semistruktur dengan berdasar interview guidenamun
tetap mengembangkan pertanyaan sesuai dengan feedback dari
informan.
Wawancara menggunakan tipe open-ended yang memungkinkan
peneliti bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta,
peristiwa, disamping opini mereka terhadap peristiwa yang ada.
Informan kunci terbagi dua, yaitu aktor-aktor yang melakukan
upaya komunikasi dalam penyelesaian konflik dan para pihak yang
berkonflik itu sendiri. Informan kunci yang berupa aktor-aktor
meliputi pihak-pihak baik organisasi maupun individu yang
berupaya dalampenyelesaian konflik, sedangkan para pihak
berkonflik merupakan pihak JAI dan FPI.
b. Observasi
Observasi di sini diartikan sebagai kegiatan mengamati secara
langsung sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang
dilakukan objek tersebut. Observasi yang digunakan adalah
obsevasi partisipan, karena dengan metode ini akan lebih
memungkinkan periset untuk mengamati kehidupan individu atau
kelompok dalam situasi yang riil (Kriyantono, 2006: 110).
Observasi dalam penelitian ini dilakukan di Desa Cipakat
Tenjowaringin, Tasikmalaya tempat bermukim JAI sekaligus
tempat terjadinya perusakan, di berbagai tempat program yang
dilakukan oleh aktor dalam rangka penyelesaian konflik, serta
obseervasi akan situasi pasca konflik di Tasikmalaya secara
umum.
c. Dokumentasi
Secara
sederhana
dokumentasi
adalah
kegiatan
yang
menyangkut dokumen. Seperti buku, jurnal, file, citra, foto, atau
24
rekaman
suara
Dokumentasi
sebagai
dalam
rekaman
penelitian
ini
komunikasi
lebih
langsung.
ditujukan
untuk
mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi
data berupa berbagai buku yang berkaitan dengan penelitian.
Dokumentasi dan data diambil dari dokumen-dokumen berbagai
instansi terkait yang berhubungan dengan konflik Ahmadiyah dan
penanggulangannya, seperti surat laporan, srat keputusan, dan
notulen rapat.
4.Analisis Data
Analisis data yang dipakai menggunakan Miles dan Huberman dalam
Pawito (2007:104) dengan istilah Interactive model teknik terdiri dari tiga
komponen yaitu :
a. Reduksi data (data reduction), mempunyai tiga tahap, yakni tahap
pertama: editing, pengelompokan dan meringkas data. Seluruh
data mengenai konflik Ahmadiyah dan upaya komunikasi dalam
penyelesaian konflik dikumpulkan seluruhnya. Tahap kedua:
peneliti menyusun catatan atau memo yang berkenaan dengan
proses penelitian sehingga peneliti dapat menemukan tema,
kelompok, dan pola-pola data dari resolusi konflik dan upaya
komunikasi aktor-aktor yang terlibat dalam reolusi konflik. Tahap
ketiga:
peneliti
menyusun
rancangan
konsep-konsep
(mengupayakan konseptualisasi) serta penjelasaan berkenaan
dengan
tema,
pola
atau
kelompok-kelompok
data
yang
bersangkutan. Peneliti berusaha terus mengerucutkan dat-data
yang ada sehingga tidak hanya proses resolusi konflik tetapi
upaya komunikasi yang dilakukan juga dapat tergambarkan.
b. Penyajian data (data
display),
melibatkan langkah-langkah
mengorganisasikan data, yakni menjalin (kelompok) data yang
satu dengan kelompok data lain, sehingga seluruh data benarbenar dilibatkan.Dalam tahap ini, peneliti mulai menyajikan dan
mengintrepetasikan temuan yang didapat dari lapangan dan hasil
25
wawancara dengan aktor-aktor penyelesai konflik serta pihak
yang berkonflik ke dalam teks deskriptif-naratif.
c. Pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion), peneliti
mengimplementasikan
mempertimbangkan
prinsip
pola-pola
data
induktif
yang
ada
dengan
dan
atau
kecenderungan dari display data yang dibuat. Analisis akan
temuan yang didapat kemudian dibuat kesimpulan-kesimpulan.
Sehingga peneliti dapat memaparkan kesimpulan dari sudut
pandang peneliti berdasarkan dari data yang telah direduksi dan
disajikan
26
Download