RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA
MEKANISME RESISTENSI TERHADAP PEMBERIAN
TAMOXIFEN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA
TESIS
dr. Shiera Septrisya
NPM : 1006767355
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT DR. CIPTOMANGUNKUSUMO
JAKARTA
JANUARI 2015
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA
MEKANISME RESISTENSI TERHADAP PEMBERIAN
TAMOXIFEN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis bedah
dr. Shiera Septrisya
NPM : 1006767355
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT DR. CIPTOMANGUNKUSUMO
JAKARTA
JANUARI 2015
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan hidup, kesehatan, umur panjang, dan kesempatan sehingga saya
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis Bedah (Sp.B) pada
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini maka
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini.
Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. DR.dr.Toar JM Lalisang,Sp.B(K) BD selaku Kepala Departemen Ilmu Bedah
FKUI/RSCM yang telah memberikan kesempatan dan ijin kepada saya untuk
melakukan penelitian ini
2. Dr.Riana Pauline Tamba, SpB, SpBA, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Bedah dan Dr. Wifanto, SpB, KBD, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Bedah, yang telah membimbing dan mengarahkan saya sehingga dapat
menyelesaikan pendidikan
3. Dr. Erwin Danil Julian, SpB(K)Onk, selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
tulisan ini
4. Dr. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM yang
telah membimbing saya tanpa putus asa sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini
5. Orang tua, Bapak Yongky Wibowo dan Ibu Henny Lawati Sudjono, adik,
Reginald Agussalim, dan seluruh keluarga besarku tercinta, yang telah
memberikan support baik moril maupun materiil, terutama doa yang tidak
putus untuk saya
6. Teman – teman seperjuangan residen bedah angkatan Juli 2010 terima kasih
sudah menjadi teman dalam suka dan duka
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
7. Mba Ati, Mbak Sarah, Mbak Dian, terima kasih atas dukungannya
8. Seluruh rekan – rekan residen bedah (KARIB UI) yang tidak dapat
disebutkan satu persatu
9. Seluruh perawat, karyawan, dan pasien di Departemen Bedah di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo maupun di RS Mitra Pendidikan
Saya menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dan adalah suatu
kehormatan bagi saya untuk menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga
penelitian ini membawa manfaat dalam pengembangan ilmu dan pelayanan di
bidang ilmu bedah terutama bedah onkologi.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
ABSTRAK
Nama
: dr. Shiera Septrisya
Program Studi
: Ilmu Bedah
Judul
: Respon Terapi Hormonal dan Timbulnya Mekanisme
Resistensi terhadap Pemberian Tamoxifen pada Pasien Kanker Payudara
LATAR BELAKANG
Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam urutan
kanker tertinggi yang diderita perempuan dan terapi hormonal masih merupakan
pilihan terapi yang banyak digunakan pada penderita kanker payudara, termasuk
pada kasus lanjut. Telah ditemukan GPR30, yang turut mengikat estrogen, dan
hasil akhir dari kaskade yang diinisasi dari GPR30 ini adalah adanya proliferasi
atau pertumbuhan sel, survival dari sel (anti-apoptosis), serta migrasi atau
metastasis. Perilaku Tamoxifen juga disinyalir berbeda pada ER (estrogen
receptor) dan pada GPR30, yang ternyata bersifat agonis terhadap GRP30, dan
hasil akhirnya dapat menstimulasi timbulnya proliferasi.
METODE
Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif, dilakukan di Poliklinik Bedah
Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian
didasarkan pada data pasien dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu 20082010. Jenis kegiatan riset ini berupa literature dan theoritical study. Sampel
penelitian dipilih secara consecutive sampling.
HASIL
Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan ER (-) pada 63,6%
sampel, PR (-) pada 64,8% sampel, dan C-ERB 2 (-) pada 61,3% sampel. Dari
sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen didapatkan bahwa
61,4% sampel tidak mendapatkan terapi Tamoxifen. Dari sampel yang
mendapatkan terapi Tamoxifen, 25 dari 34 sampel (73,5%) mendapatkan terapi
hormonal ini kurang dari 2 tahun dan 26,5% sampel mendapatkan terapi lebih dari
2 tahun. Sebagian besar sampel (59,1%) memiliki compliance yang baik terhadap
pengobatan, dan secara keseluruhan sampel, ditemukan adanya metastasis pada
26,1% sampel. Dari sampel penelitian yang ditemukan timbulnya metastasis,
sebesar 69,6% sampel sudah terdapat metastasis jauh. Pada sampel yang
mendapat terapi Tamoxifen kurang dari 2 tahun, terlihat sebesar 84% sampel tidak
didapatkan timbulnya metastasis, sedangkan pada sampel yang mendapat terapi
Tamoxifen lebih dari 2 tahun, sebesar 77,7% sampel didapatkan timbulnya
metastasis.
KESIMPULAN
Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang
parsial, berperan sebagai agonis pada GPR30, dan mengemukakan suatu
penemuan baru bahwa sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini,
dapat bersifat stimulasi daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten
terhadap Tamoxifen.
Kata Kunci: overexpression, GPR30, proliferasi, Tamoxifen, resistensi
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
ABSTRACT
Name
: dr. Shiera Septrisya
Study programme
: Surgery
Title
: Hormonal Therapy Response and the Resistancy
Mechanism of Tamoxifen Therapy in Breast Cancer Patients
BACKGROUNDS
In Indonesia, breast cancer has become number one in the incidence of highest
number or cancers which is suffered by women, and hormonal therapy has still
been one of the choice, included in advanced cases. GPR30, a novel protein, has
been discovered, also binds estrogen, and the end result of this cascade is cell
proliferation and growth, cell survival (anti-apoptosis), and migration or even
metastases. The effect of Tamoxifen is also found different in ER (estrogen
receptor) and GPR30, which is an agonist for GPR30, and resulting proliferation
of cells.
METHODS
The research had been done in cohort retrospective, at Oncology Surgery
Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The research was based
from patients data in 2008 until 2010. This is a literature and theoritical study. The
samples were selected based from consecutive sampling.
RESULTS
The descriptive data finds ER (-) in 63,6% samples, PR (-) in 64,8% samples, and
C-ERB 2 (-) in 61,3% samples. It is also found that 61,4% samples did not get
Tamoxifen hormonal therapy. From the samples who got Tamoxifen hormonal
therapy, 25 from 34 samples (73,5%) got this hormonal therapy for less than two
years, and 26,5% samples got for more than two years. Most of the samples
(59,1%) have good compliance in taking the medicines, and based from all
samples, metastases were found in 26,1% samples, and from these samples,
69,6% samples has got distant metatases. Based on the samples who got
Tamoxifen hormonal therapy for less than two years, 84% samples did not have
metastases, whereas in samples who got it for more than two years, metastases
were found in 77,7% samples.
CONCLUSION
There is a strong preference that Tamoxifen, a partial ER antagonist, acts as
agonist in GPR30, and reveals a novel discovery that our conventional antiestrogen therapy which has been used all these times, may act in stimulation
rather than inhibition the tumor growth which is resistant in Tamoxifen.
Keywords: overexpression, GPR30, proliferation, Tamoxifen, resistancy
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
DAFTAR ISI
JUDUL
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
HALAMAN PENGESAHAN
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
vii
ABSTRAK
VIIIIII..............................................................................viii
DAFTAR ISIDAFvv.vii
....................................................................... x..........
BAB.1. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................1
1.2. Perumusan masalah.................................................................. 6
1.3. Hipotesis ................................................................................ 6
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
1.4.1. Tujuan Umum ............................................................ 7
1.4.2. Tujuan Khusus ........................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 7
BAB. 2. TINJAUAN PUSTAKA
......................................................... 9
BAB.3. METODE PENELITIAN ......................................................... 19
3.1. Desain Penelitian ................................................................. 19
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 19
3.3. Populasi Target dan Terjangkau ……………………………… 19
3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi ................................................. 19
3.5. Cara pemilihan Sampel ………………………………………. 20
3.6. Jumlah sampel ………………………………………………… 20
3.7. Prosedur dan perlengkapan…………………………………… 20
3.8. Identifikasi variabel .............................................................. 20
BAB.4. HASIL PENELITIAN
......................................................... 22
BAB. 5. DISKUSI ...........................................................................
25
BAB. 6. SIMPULAN DAN SARAN
28
BAB. 7. DAFTAR PUSTAKA
.................................................
........................................................ 29
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1. Kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam urutan kanker
tertinggi yang diderita perempuan Indonesia
Penderita kanker payudara di dunia saat ini terhitung lebih dari satu juta
perempuan per tahun dan menempati penyebab kematian kedua tertinggi pada
perempuan. Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam
urutan kanker tertinggi yang diderita perempuan Indonesia dengan angka kejadian
26 per 100.000 perempuan, disusul oleh kanker leher rahim dengan 16 per
100.000 perempuan. Berdasarkan Pathological Based Registration, insidens
relatif kanker payudara di Indonesia sekitar 11,5%, diperkirakan insidens minimal
sebanyak 20.000 kasus baru per tahun, dengan kenyataan bahwa lebih dari
setengahnya merupakan stadium lanjut. Kanker payudara dapat menyerang pada
berbagai usia dan terdapat kecenderungan insidens akan meningkat dari tahun ke
tahun.
1.1.2. Terapi hormonal masih merupakan salah satu terapi ajuvan yang banyak
digunakan pada penderita kanker payudara
Selama ini, terapi endokrin atau hormonal masih merupakan pilihan terapi
yang banyak digunakan dan masih terjangkau untuk digunakan pada penderita
kanker payudara, termasuk pada kasus lanjut, asalkan memang masih estrogendependent. Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang
mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan
pada pasien-pasien kanker payudara. Dasar dari pemberian terapi hormonal
sebagai terapi ajuvan pada pasien kanker payudara ini adalah dari hasil
pemeriksaan reseptor dan juga status hormonal pasien.
1.1.3. Penemuan reseptor estrogen baru, yang dikenal sebagai GPR30
Eric Prossnitz, PhD, Profesor dalam Cell Biology and Physiology di
University of New Mexico (UNM), bersama-sama dengan kolega-koleganya di
UNM Cancer Center dan Department of Chemistry and Biochemistry di New
Mexico State University, telah menemukan bahwa sebuah G-Protein Coupled
Receptor baru pada permukaan sel, dikenal sebagai GPR30, yang turut mengikat
estogen.
Penemuan reseptor estrogen yang baru sangat penting karena estrogen
diyakini turut berperan dalam stimulasi pertumbuhan dari berbagai jenis kanker,
seperti di payudara, endometrium, dan ovarium. Meskipun estrogen tidak
menyebabkan timbulnya kanker secara langsung, estrogen diyakini dapat
menstimulasi proliferasi dari beberapa jenis sel kanker.
Estrogen 17-beta-estradiol (E2) yang aktif secara biologis, berikatan
dengan reseptor estrogen yang klasik (ER) dan menghasilkan dimerisasi reseptor.
Interaksi E2 dengan ER α turut mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal yang
berperan dalam proliferasi sel, seperti aktivasi c-Src tyrosine kinase (Src).
Aktivasi Src menstimulasi kaskade matrix metalloproteinase (MMP), yang
berakibat pelepasan epidermal growth factor (EGF) yang terikat heparin (HEP)
pada permukaan sel. Ligan EGF bebas, berikatan dengan keluarga reseptor EGFR,
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
seperti misalnya HER2, yang akan mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal
extracellular stimulus regulate kinase (ERK). Hasil akhir dari kaskade ini adalah
adanya proliferasi, survival dari sel, serta migrasi atau metastasis.
Di samping mekanisme aksi estrogen yang bersifat genomik atau klasik
pada reseptor intraseluler (ER α dan ER β), terdapat bukti bahwa estrogen
memiliki jalur alternatif lain, jalur non-genomik, yang menimbulkan aksi yang
dengan respon yang cepat, yang diinisiasi dari permukaan sel. Respon-respon ini
diyakini berasal dari adanya sinyal yang dikirimkan dari reseptor steroid di
sitoplasma dan permukaan sel, yang disebut sebagai sinyal non-klasik atau nongenomik.
Pengiriman sinyal secara non-genomik ini memiliki berbagai karakteristik,
yaitu respon yang dihasilkan sangat cepat (hanya dalam beberapa detik atau
menit), tidak sensitif terhadap inhibitor mRNA dan sintesis protein, dan banyak
ditemukan pada sel-sel yang kurang memiliki reseptor steroid nuklear.
Sebenarnya aksi cepat dari estrogen dari membran plasma ini telah ditemukan
sejak dua dekade lalu, namun tidak dijadikan fokus oleh kelompok-kelompok
peneliti saat itu sehingga penelitian lebih lanjut mengenai reseptor ini tidak
dilakukan. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa 17β-estradiol (E2), suatu
mitogen yang poten, turut menghasilkan berbagai respon ekstranuklear atau nongenomik. Misalnya, E2 dapat cepat meningkatkan second messengers intraseluler,
seperti kalsium dan cAMP, mengaktivasi mitogen-activated protein kinase
(MAPK) dan phospholipase C. Respon-respon intraseluler ini penting dalam
berbagai proses fisiologis, seperti untuk proteksi kardiovaskular, preservasi
tulang, proliferasi sel kanker, neuroproteksi, spermatogenesis, dan proliferasi
keratinosit.
GPR30 merupakan bagian dari G-protein coupled receptors yang
terbentang pada membran sebanyak tujuh kali, ada yang menyebutnya sebagai
heptahelical transmembrane proteins. GPR30 ini pada berbagai literatur
dikatakan terletak pada membran plasma namun juga terdapat beberapa literatur
yang mengatakan terletak di membran retikulum endoplasma. Masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sebagian besar letak GPR30 pada sel.
Reseptor yang terkait dengan protein G ini, juga diketahui dapat mengikat
berbagai peptida atau protein, sehingga menimbulkan pertanyaan akan adanya
kemungkinan reseptor ini memiliki ligan lainnya selain estrogen.
Melalui kaki β dan γ protein G (protein G merupakan protein trimerik,
memiliki 3 kaki yaitu α, β, dan γ), induksi E 2 menimbulkan aktivasi dari SRC-like
tyrosine kinase, aktivasi dari metalloproteinase, dan pelepasan ekstraselular dari
heparin-bound epidermal growth factor (HB-EGF). Pelepasan dari HB-EGF
mengakibatkan aktivasi reseptor EGF (EGFR), yang akhirnya menginduksi jalur
mitogen activated kinase (MAPK). Kaki protein G yang lainnya, yaitu kaki α,
berperan dalam aktivasi jalur adenilat siklase dan produksi cAMP pada sel kanker
payudara.
Selain itu, E2 juga mengaktivasi phosphoinositide 3-kinases (PI3K)
melalui GPR30. Sebagai akibat dari akumulasi phosphatidylinositol 3,4,5triphosphate (PIP3), terjadi aktivasi dari AKT kinase yang berefek proliferatif dan
menghambat apoptosis hasil induksi tumor necrosis factor. PI3K diketahui juga
memediasi timbulnya efek seluler dari platelet-derived growth factor (PDGF) dan
vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kalsium (Ca)
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
intraseluler juga terjadi sebagai respon cepat dari aktivasi GPR30 pada berbagai
sel. Namun, belum terdapat penjelasan yang memuaskan terhadap stimulasi
peningkatan kalsium ini dan dari mana kalsium ini berasal. Pelepasan simpanan
kalsium intraseluler ataupun influks dari luar sel, keduanya masih merupakan
penjelasan yang mungkin. Adanya peranan dari phospholipase C (PLC) dapat
dipertimbangkan namun tergantung dari tipe sel yang terkait ataupun mungkin
melibatkan fosfolipase lainnya.
Stimulasi connective tissue growth factor (CTGF) juga turut dimediasi
oleh GPR30 dan faktor ini berperan dalam terjadinya proliferasi dan migrasi sel.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan hasil akhir dari kaskade yang diinisasi dari
GPR30 ini adalah adanya proliferasi atau pertumbuhan sel, survival dari sel (antiapoptosis), serta migrasi atau metastasis.
I.1.4. Perilaku Tamoxifen yang ternyata disinyalir berbeda pada ER dan pada
GPR30, timbul pemahaman bahwa GPR30 turut berperan dalam karsinogenesis
Selective estrogen receptor modulator yang selama ini banyak digunakan,
hydroxytamoxifen (OHT), suatu antagonis ER parsial, ternyata bersifat agonis
terhadap GRP30, dan dapat menstimulasi timbulnya proliferasi.
Telah dikatakan di berbagai literatur bahwa estrogen diyakini dapat
menimbulkan efek proliferasi melalui GPR30. Hal ini menimbulkan suatu
pemahaman baru bahwa GPR30 memang dapat berperan dalam karsinogenesis.
Ekspresi berlebihan (overexpression) dari GPR30 berhubungan secara signifikan
dengan ukuran tumor (> 2 cm), munculnya metastasis jauh, dan peningkatan
ekspresi HER-2/neu. Hal ini turut memberikan kesimpulan bahwa adanya ekspresi
berlebihan dari GPR30 dapat menjadi prediktor adanya penyakit yang agresif.
Pada pasien-pasien dengan ekspresi GPR30 yang berlebihan, survival rate secara
keseluruhan secara signifikan terlihat lebih buruk dibandingkan dengan pasienpasien yang memiliki ekspresi GPR30 yang rendah.
Hanya sekitar dua pertiga dari semua kanker payudara yang
mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak berespon terhadap terapi
Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya menunjukkan respon yang baik, banyak
pasien pada akhirnya juga mengalami lesi kanker refrakter, yang ditunjukkan
dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat dan invasif. Hal ini mungkin
berhubungan dengan Tamoxifen yang bersifat sebagai agonis terhadap GPR30.
Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan
sebagai agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa
sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi
daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen.
Penyebab yang mengkontribusi perubahan atau progresi dari tumor yang sensitif
terhadap pemberian terapi hormonal menjadi tumor yang secara farmakologis
tidak sensitif lagi terhadap pemberian hormon, masih perlu diteliti lebih lanjut
melalui eksperimen-eksperimen.
1.1.5. Peranan GPR30 dalam mekanisme resistensi terhadap Tamoxifen
Terdapat penelitian dimana cell line MCF-7 pada kanker payudara
diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus selama 6 bulan untuk
menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari Tamoxifen. Terapi Tamoxifen
jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada sel-sel MCF-7 ini mengubah
efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya dengan konsentrasi
Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek inhibisi dari
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi terhadap
Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap
stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam memediasi aksi
estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan peningkatan ekspresi
basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan ekspresi basal EGFR.
Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting pengiriman sinyal
melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap Tamoxifen. Inhibisi
kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon antihormonal yang valid pada kanker payudara.
Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang
mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan
pada pasien-pasien kanker payudara. Namun ternyata, hampir semua tumor akan
mengalami resistensi saat pengobatan berlangsung. Beberapa studi eksperimental
telah menunjukkan bahwa peningkatan pengiriman sinyal melalui growth factor
berperan besar dalam timbulnya resistensi terhadap Tamoxifen. Di samping itu,
adanya ekspresi GPR30 dan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2)
yang berlebihan (overexpressed) turut berperan dalam timbulnya fenomena
resistensi ini. Dapat dikatakan bahwa GPR30 tidak hanya memiliki kontribusi
dalam pertumbuhan sel tumor namun juga berperan dalam terjadinya resistensi
terhadap terapi hormonal. Knocking down terhadap GPR30 dan inhibisi
pengiriman sinyal melalui EGFR, mengembalikan efek inhibisi Tamoxifen
terhadap sel, menguatkan pentingnya cross talk dari GPR30/EGFR dalam
terjadinya resistensi Tamoxifen in vitro.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran sebaran data penderita kanker payudara di
RSCM di tahun 2008, yang didasarkan dari kelompok usia, hasil
pemeriksaan imunohistokimia (ER, PR, C-ERB 2), ada tidaknya operasi
yang dijalani dan jenis operasinya, ada tidaknya kemoterapi yang dijalani
dan jenis kemoterapinya, ada tidaknya pemberian Tamoxifen beserta ratarata lama pemakaian Tamoxifen, compliance dalam pengobatan, serta
hasil pemantauan ada tidaknya metastasis dan tipe metastasisnya.
2. Adakah kecenderungan ke arah resistensi terhadap pemberian Tamoxifen
dalam hubungannya dengan aktivitas GPR30 dalam respon terapi
hormonal.
1.3 Hipotesis
1. ER (estrogen receptor) bukan merupakan satu-satunya dasar pemakaian
terapi hormonal karena ternyata pun hanya sekitar dua pertiga dari semua
kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak
berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya
menunjukkan respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga
mengalami lesi kanker refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan
sel yang kembali cepat dan invasif. Hal ini mungkin berhubungan dengan
adanya overexpression dari GPR30, sehingga pemakaian Tamoxifen yang
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
disinyalir sebagai agonis GPR30, semakin meningkatkan survival dari selsel tumor.
2. Adanya overexpression GPR30 yang terus dipaparkan dengan pemakaian
Tamoxifen disinyalir dapat menginduksi timbulnya mekanisme resistensi
terhadap terapi hormonal, sehingga hasil akhir yang didapat adalah
hilangnya efek inhibisi dari Tamoxifen dan terus terjadinya proliferasi sel.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Memperkenalkan suatu reseptor estrogen baru, yaitu GPR30,
hubungannya terkait dengan respon terapi hormonal dan menggali hubungannya
terkait mekanisme timbulnya resistensi terhadap pemberian Tamoxifen pada
pasien kanker payudara.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran sebaran data penderita kanker payudara di RSCM
di tahun 2008, berdasarkan kelompok usia, hasil pemeriksaan
imunohistokimia (ER, PR, C-ERB 2), ada tidaknya operasi yang dijalani
dan jenis operasinya, ada tidaknya kemoterapi yang dijalani dan jenis
kemoterapinya, ada tidaknya pemberian Tamoxifen beserta rata-rata lama
pemakaian Tamoxifen, compliance dalam pengobatan, serta pemantauan
ada tidaknya metastasis dan tipe metastasisnya.
2. Mengetahui adanya kecenderungan ke arah resistensi terhadap pemberian
Tamoxifen dalam hubungannya dengan aktivitas GPR30 dalam respon
terapi hormonal pada pasien kanker payudara.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, memperkenalkan reseptor estrogen baru, yaitu GPR30,
beserta proses penerimaan dan pengiriman sinyalnya yang terkait dengan
estrogen (E2) dan juga Tamoxifen, kontribusinya dalam pertumbuhan sel
tumor dan peranannya dalam timbulnya resistensi terhadap terapi
hormonal.
2. Secara klinis, mengetahui penyebab adanya kemungkinan gagal respon
dengan terapi Tamoxifen dan adanya fenomena resistensi terhadap
pemberian terapi hormonal ini setelah beberapa waktu tertentu.
3. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting pengiriman
sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap
Tamoxifen. Oleh karena itu, adanya penelitian selanjutnya untuk inhibisi
kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon antihormonal yang valid pada kanker payudara.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penderita kanker payudara di dunia saat ini terhitung lebih dari satu juta
perempuan per tahun dan menempati penyebab kematian kedua tertinggi pada
perempuan. Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam
urutan kanker tertinggi yang diderita perempuan Indonesia dengan angka kejadian
26 per 100.000 perempuan, disusul oleh kanker leher rahim dengan 16 per
100.000 perempuan. Berdasarkan Pathological Based Registration, insidens
relatif kanker payudara di Indonesia sekitar 11,5%, diperkirakan insidens minimal
sebanyak 20.000 kasus baru per tahun, dengan kenyataan bahwa lebih dari
setengahnya merupakan stadium lanjut. Kanker payudara dapat menyerang pada
berbagai usia dan terdapat kecenderungan insidens akan meningkat dari tahun ke
tahun1.
Pemeriksaan histopatologi tetap merupakan gold standard dalam
diagnosis. Dari pemeriksaan histopatologi yang dilakukan dengan potong beku
dan atau parafin tersebut, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia yaitu estrogen
receptor (ER), progesteron receptor (PR), c-erbB-2, cathepsin-D, dan p53.
Pemeriksaan reseptor secara imunohistokimia dan status hormonal pasien
merupakan dasar dari pemberian terapi hormonal sebagai terapi ajuvan pada
pasien kanker payudara. Menurut protokol Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi
Indonesia (PERABOI) 2003, terapi hormonal diberikan untuk pasien-pasien
dengan ER(+)PR(+) atau ER(+)PR(-) atau ER(-)PR(+). Di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo sendiri, selama ini pemberian terapi hormonal tidak diberikan
untuk pasien dengan ER negatif, meskipun pada beberapa kasus diberikan terapi
hormonal untuk alasan chemo prevention. Selama ini, terapi hormonal yang
banyak digunakan adalah Tamoxifen, sebagai Selective Estrogen Receptor
Modulator (SERM), bersifat antagonis kompetitif pada reseptor estrogen di sel
payudara1.
Beberapa tahun terakhir, Eric Prossnitz, PhD, Profesor dalam Cell Biology
and Physiology di University of New Mexico (UNM), bersama-sama dengan
kolega-koleganya di UNM Cancer Center dan Department of Chemistry and
Biochemistry di New Mexico State University, mengemukakan penemuan sebuah
G-Protein Coupled Receptor baru pada permukaan sel, dikenal sebagai GPR30,
yang ternyata turut mengikat estogen2.
Penemuan reseptor estrogen yang baru sangat penting karena estrogen
diyakini turut berperan dalam stimulasi pertumbuhan dari berbagai jenis kanker,
seperti di payudara, endometrium, dan ovarium. Reseptor estrogen memiliki
tempat khusus dimana hanya estrogen atau molekul lain yang berkaitan, yang
dapat terikat. Sewaktu molekul estrogen bersirkulasi di dalam aliran darah,
mereka hanya beraksi pada sel yang memiliki reseptor estrogen. Pada beberapa
jaringan, efek utama dari estrogen adalah pertumbuhan dan pembelahan sel,
sebuah proses yang dikenal dengan proliferasi sel. Meskipun estrogen tidak
menyebabkan timbulnya kanker secara langsung, estrogen diyakini dapat
menstimulasi proliferasi dari beberapa jenis sel kanker 2.
Estrogen sebenarnya memiliki macam-macam target molekuler yang
berbeda, yang karakteristik di antaranya, reseptor estrogen nuklear α (ER α) dan
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
reseptor estrogen nuklear β (ER β). Beberapa analisa biokimiawi dan mikroskopis
telah membuktikan eksistensi kumpulan reseptor estrogen dengan lokasi yang
berbeda-beda, yaitu di membran plasma (Razandi et al., 1999), mitokondria (Chen
et al., 2004), dan retikulum endoplasma (Govind dan Thampan, 2003). Namun,
secara umum dapat dikatakan sekitar 80% reseptor estrogen terletak di dalam
nukleus. Reseptor estrogen yang teraktivasi hormon membentuk dimer, reseptorreseptor tersebut dapat membentuk homodimer seperti ER α (αα) atau ER β (ββ),
atau heterodimer yaitu ER αβ (αβ) 3.
Gambar 1
Kedudukan reseptor-reseptor estrogen dalam sel
Estrogen, seperti hormon steroid yang lain, berperan sebagai faktor
transkripsi nuklear, dengan cara memodulasi gen target melalui interaksi
kompleks dengan protein koaktivator atau protein korepresor, enzim yang
memodifikasi histon, dan juga protein-protein lain yang berkaitan dengan
transkripsi. Pengiriman signal secara genomik yang biasa dilakukan oleh steroid,
membutuhkan steroid bebas yang masuk ke dalam sel target secara difusi pasif
melalui membran plasma, sampai akhirnya steroid akan berikatan dengan afinitas
yang tinggi ke reseptornya. Sekali teraktivasi, maka reseptor estrogen (ER) akan
bertranslokasi ke nukleus. Ikatan estrogen dengan reseptornya menimbulkan
perubahan-perubahan konformasi reseptor (dalam struktur tersier dan kuaterner),
yang pada akhirnya menghasilkan kompleks ikatan reseptor-ligan yang
teraktivasi. Interaksi-interaksi regulatorik selanjutnya, menghasilkan sintesis
mRNA yang, pada proses selanjutnya, menghasilkan sintesis protein-protein yang
berguna untuk efek hormonal4,5.
Estrogen 17-beta-estradiol (E2) yang aktif secara biologis, berikatan
dengan reseptor estrogen yang klasik (ER), menghasilkan terjadinya dimerisasi
reseptor. Interaksi E2 dengan ER α turut mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal
yang berperan dalam proliferasi sel, seperti aktivasi c-Src tyrosine kinase (Src).
Aktivasi Src menstimulasi kaskade matrix metalloproteinase (MMP), yang
berakibat pelepasan epidermal growth factor (EGF) yang terikat heparin (HEP)
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
pada permukaan sel. Ligan EGF bebas, berikatan dengan keluarga reseptor EGFR,
seperti misalnya HER2, yang akan mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal
extracellular stimulus regulate kinase (ERK). Hasil akhir dari kaskade ini adalah
adanya proliferasi, survival dari sel, serta migrasi atau metastasis4,5.
Gambar 2
Skema pengiriman sinyal melalui jalur genomik (klasik) melalui ER
Estrogen selain bekerja melalui signal yang berasal dari reseptor nuklear,
juga menghasilkan respon non-genomik yang cepat melalui reseptor yang terkait
membran. Sejarah penemuan GPR30 diawali dari hasil pengamatan bahwa
estrogen dapat menstimulasi aktivitas adenilat siklase dan produksi cAMP pada
MCF7 cell line pada pasien dengan kanker payudara. Para penulis menyimpulkan
dari fakta saat itu bahwa sel kanker payudara MDA-MB-231 yang bersifat ER (-)
tidak dapat menghasilkan respon sel seperti yang dihasilkan pada sel MCF7. Yang
belum mereka ketahui saat itu adalah bahwa sel MCF7 mengekspresikan GPR30,
sedangkan MDA-MB-231 tidak5.
Di samping mekanisme aksi estrogen yang bersifat genomik atau klasik
pada reseptor intraseluler (ER α dan ER β), terdapat bukti bahwa estrogen
memiliki jalur alternatif lain, jalur non-genomik, yang menimbulkan aksi yang
dengan respon yang cepat, yang diinisiasi dari permukaan sel. Respon-respon ini
diyakini berasal dari adanya sinyal yang dikirimkan dari reseptor steroid di
sitoplasma dan permukaan sel, yang disebut sebagai sinyal non-klasik atau nongenomik. Pengiriman sinyal secara non-genomik ini memiliki berbagai
karakteristik, yaitu respon yang dihasilkan sangat cepat (hanya dalam beberapa
detik atau menit), tidak sensitif terhadap inhibitor mRNA dan sintesis protein, dan
banyak ditemukan pada sel-sel yang kurang memiliki reseptor steroid nuklear.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Sebenarnya aksi cepat dari estrogen dari membran plasma ini telah ditemukan
sejak dua dekade lalu, namun tidak dijadikan fokus oleh kelompok-kelompok
peneliti saat itu sehingga penelitian lebih lanjut mengenai reseptor ini tidak
dilakukan. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa 17β-estradiol (E2), suatu
mitogen yang poten, turut menghasilkan berbagai respon ekstranuklear atau nongenomik. Misalnya, E2 dapat cepat meningkatkan second messengers intraseluler,
seperti kalsium dan cAMP, mengaktivasi mitogen-activated protein kinase
(MAPK) dan phospholipase C. Respon-respon intraseluler ini penting dalam
berbagai proses fisiologis, seperti untuk proteksi kardiovaskular, preservasi
tulang, proliferasi sel kanker, neuroproteksi, spermatogenesis, dan proliferasi
keratinosit. Suatu protein pengikat estrogen yang baru, terletak transmembran,
suatu G-protein-coupled receptor (selanjutnya disebut sebagai GPR30) telah
ditemukan. Penemuan reseptor estrogen yang baru ini, menimbulkan berbagai
ketertarikan atas pencarian fungsi-fungsi lain yang belum diketahui dan
mekanisme lain yang dilakukan estrogen di luar nukleus2,4.
GPR30 merupakan bagian dari G-protein coupled receptors yang
terbentang pada membran sebanyak tujuh kali, ada yang menyebutnya sebagai
heptahelical transmembrane proteins. GPR30 ini pada berbagai literatur
dikatakan terletak pada membran plasma namun juga terdapat beberapa literatur
yang mengatakan terletak di membran retikulum endoplasma. Masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sebagian besar letak GPR30 pada sel.
Reseptor yang terkait dengan protein G ini, juga diketahui dapat mengikat
berbagai peptida atau protein, sehingga menimbulkan pertanyaan akan adanya
kemungkinan reseptor ini memiliki ligan lainnya selain estrogen2,4.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Gambar 3
Skema pengiriman sinyal melalui jalur GPR30
Melalui kaki β dan γ protein G (protein G merupakan protein trimerik,
memiliki 3 kaki yaitu α, β, dan γ), induksi E 2 menimbulkan aktivasi dari SRC-like
tyrosine kinase, aktivasi dari metalloproteinase, dan pelepasan ekstraselular dari
heparin-bound epidermal growth factor (HB-EGF). Pelepasan dari HB-EGF
mengakibatkan aktivasi reseptor EGF (EGFR), yang akhirnya menginduksi jalur
mitogen activated kinase (MAPK). Kaki protein G yang lainnya, yaitu kaki α,
berperan dalam aktivasi jalur adenilat siklase dan produksi cAMP pada sel kanker
payudara.
Selain itu, E2 juga mengaktivasi phosphoinositide 3-kinases (PI3K)
melalui GPR30. Sebagai akibat dari akumulasi phosphatidylinositol 3,4,5triphosphate (PIP3), terjadi aktivasi dari AKT kinase yang berefek proliferatif dan
menghambat apoptosis yang diinduksi oleh tumor necrosis factor. PI3K diketahui
juga memediasi timbulnya efek seluler dari platelet-derived growth factor
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
(PDGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kalsium
(Ca) intraseluler juga terjadi sebagai respon cepat dari aktivasi GPR30 pada
berbagai sel. Namun, belum terdapat penjelasan yang memuaskan terhadap
stimulasi peningkatan kalsium ini dan dari mana kalsium ini berasal. Pelepasan
simpanan kalsium intraseluler ataupun influks dari luar sel, keduanya masih
merupakan penjelasan yang mungkin. Adanya peranan dari phospholipase C
(PLC) dapat dipertimbangkan namun tergantung dari tipe sel yang terkait ataupun
mungkin melibatkan fosfolipase lainnya.
Stimulasi connective tissue growth factor (CTGF) juga turut dimediasi
oleh GPR30 dan faktor ini berperan dalam terjadinya proliferasi dan migrasi sel.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan hasil akhir dari kaskade yang
diinisasi dari GPR30 ini adalah adanya proliferasi atau pertumbuhan sel, survival
dari sel (anti-apoptosis), serta migrasi atau metastasis.
Perlu diketahui bahwa sel jaringan payudara yang normal memiliki ER α,
PR, dan juga GPR30. Terdapat asosiasi yang signifikan namun masih belum jelas
mengenai hubungan ekspresi kedua jenis reseptor ini.
17-β-Estradiol (E2) menunjukkan ikatan yang lebih lemah afinitasnya
terhadap GPR30, bila dibandingkan dengan ikatan fisiologisnya terhadap ER α
yang jauh lebih kuat. GPR30 tidak dapat memediasi aksi estrogen pada sel yang
tidak memiliki ER α maupun ER β dan beberapa laboratorium telah menunjukkan
bahwa efek E2 tidak berubah apabila dilakukan “knock down” terhadap GPR30
melalui RNA yang terkait. Fungsi-fungsi biologis lain juga tidak dipengaruhi oleh
hilangnya fungsi GPR30. Hal ini berbeda bila dilakukan “knock down” terhadap
ER α, maka dapat terlihat adanya berbagai abnormalitas fungsi dan perkembangan
organ. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa efek estrogen yang fisiologis tetap
memerlukan ER α. Namun, pada sel yang tidak memiliki ER α maupun GPR30,
seperti pada cell line MDA-MB-231, respon estrogen yang bersifat cepat dapat
ditransfer dengan cara dilakukan transfeksi vektor ekspresi GPR30. Pada sel yang
tidak memiliki ER α namun memiliki GPR30, seperti pada cell line SKBr3,
ternyata efek proliferasi sel juga masih sangat tergantung dari ikatan E 2 dengan
GPR30. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya GPR30 menimbulkan efek
secara independen terhadap ER α maupun ER β, aksi yang ditimbulkan tidak
berkorelasi dengan ekspresi ER α maupun ER β4,5.
Selain E2, ternyata selective estrogen receptor modulator yang selama ini
banyak digunakan, hydroxytamoxifen (OHT), suatu antagonis ER parsial, bersifat
agonis terhadap GRP30, dan dapat menstimulasi timbulnya proliferasi. Hal ini
berbeda dengan reseptor progesteron (PR) yang hanya berespon terhadap E26.
Telah dikatakan di berbagai literatur bahwa estrogen diyakini dapat
menimbulkan efek proliferasi melalui GPR30. Hal ini menimbulkan suatu
pemahaman baru bahwa GPR30 memang dapat berperan dalam karsinogenesis.
Ekspresi berlebihan (overexpression) dari GPR30 berhubungan secara signifikan
dengan ukuran tumor (> 2 cm), munculnya metastasis jauh, dan peningkatan
ekspresi HER-2/neu. Hal ini turut memberikan kesimpulan bahwa adanya ekspresi
berlebihan dari GPR30 dapat menjadi prediktor adanya penyakit yang agresif.
Pada pasien-pasien dengan ekspresi GPR30 yang berlebihan, survival rate secara
keseluruhan secara signifikan terlihat lebih buruk dibandingkan dengan pasienpasien yang memiliki ekspresi GPR30 yang rendah7,8.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Selama ini, terapi endokrin atau hormonal masih merupakan pilihan terapi
yang banyak digunakan pada penderita kanker payudara, termasuk pada kasus
lanjut, asalkan memang masih estrogen-dependent. Hanya sekitar dua pertiga dari
semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak
berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya menunjukkan
respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga mengalami lesi kanker
refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat dan
invasif9.
Tamoxifen, sebagai salah satu selective estrogen receptor modulator
(SERM), bersifat antagonis ER pada jaringan payudara, bekerja dalam bentuk
metabolit aktifnya, yaitu Hydroxytamoxifen. Sedangkan pada jaringan yang lain,
seperti pada tulang dan endometrium, Tamoxifen berperan sebagai agonis ER.
Dari literatur dikemukakan bahwa ternyata Tamoxifen memiliki efek yang
berbeda ketika berikatan dengan GPR30 dibandingkan bila berikatan dengan ER.
Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan sebagai
agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa sebenarnya
terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi daripada
inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen. Penyebab
yang mengkontribusi perubahan atau progresi dari tumor yang sensitif terhadap
pemberian terapi hormonal menjadi tumor yang secara farmakologis tidak sensitif
lagi terhadap pemberian hormon, masih perlu diteliti lebih lanjut melalui
eksperimen-eksperimen9,10.
Seperti yang kita ketahui bahwa Tamoxifen merupakan obat antihormonal yang paling banyak digunakan dalam pengobatan kanker payudara yang
masih bersifat hormone-dependent11,12. Terdapat penelitian dimana cell line MCF7 pada kanker payudara diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus
selama 6 bulan untuk menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari
Tamoxifen. Terapi Tamoxifen jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada
sel-sel MCF-7 ini mengubah efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya
dengan konsentrasi Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek
inhibisi dari Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi
terhadap Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas
terhadap stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam
memediasi aksi estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan
peningkatan ekspresi basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan
ekspresi basal EGFR. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting
pengiriman sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap
Tamoxifen. Inhibisi kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan
respon anti-hormonal yang valid pada kanker payudara6,9.
Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang
mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan
pada pasien-pasien kanker payudara. Namun ternyata, hampir semua tumor akan
mengalami resistensi saat pengobatan berlangsung. Beberapa studi eksperimental
telah menunjukkan bahwa peningkatan pengiriman sinyal melalui growth factor
berperan besar dalam timbulnya resistensi terhadap Tamoxifen. Di samping itu,
adanya ekspresi GPR30 dan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2)
yang berlebihan (overexpressed) turut berperan dalam timbulnya fenomena
resistensi ini13. Dapat dikatakan bahwa GPR30 tidak hanya memiliki kontribusi
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
dalam pertumbuhan sel tumor namun juga berperan dalam terjadinya resistensi
terhadap terapi hormonal. Knocking down terhadap GPR30 dan inhibisi
pengiriman sinyal melalui EGFR, mengembalikan efek inhibisi Tamoxifen
terhadap sel, menguatkan pentingnya cross talk dari GPR30/EGFR dalam
terjadinya resistensi Tamoxifen in vitro 9,14.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Onkologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian didasarkan pada data pasien dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu 2008-2010.
3.3 Populasi Target dan Terjangkau
Sumber data merupakan data sekunder berupa rekam medis. Populasi target
adalah pasien kanker payudara yang belum memiliki metastasis (stadium I-III).
Populasi terjangkau adalah pasien kanker payudara yang belum memiliki
metastasis (stadium I-III) di Poliklinik Bedah Onkologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu
2008-2010. Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah:
1. Pasien dengan diagnosis awal di tahun 2008 dengan kanker payudara
stadium I-III
2. Menjalani pemeriksaan imunohistokimia
3. Pemeriksaan reseptor ER (+) dan atau PR (+) serta mendapatkan terapi
Tamoxifen
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien kanker payudara yang telah memiliki metastasis atau dengan
diagnosis awal stadium IV
2. Pemeriksaan reseptor ER (-)/PR (-) namun mendapatkan terapi Tamoxifen
untuk tujuan chemo prevention
3. Pasien yang menolak untuk menjalani terapi medis sesuai protokol dan
prosedur terapi kanker payudara di RSCM
4. Pasien kanker payudara yang tidak melakukan kontrol rutin di RSCM
setelah pengobatan (compliance yang rendah)
5. Pasien yang dilakukan konversi terapi dengan aromatase inhibitor
sebelum 2 tahun
3.5 Cara Pemilihan Sampel
Sampel penelitian dipilih secara consecutive sampling.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
3.6 Jumlah Sampel
Jumlah subjek penelitian 88 sampel.
3.7 Prosedur dan Perlengkapan
Subjek penelitian berasal dari pasien yang berobat ke Poliklinik Bedah
Onkologi RSCM dengan diagnosis awal kanker payudara stadium I-III.
Diagnosis kanker payudara stadium I-III ditetapkan oleh sejawat Dokter
Spesialis Bedah dan Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah.
Selanjutnya dicari sampel penelitian yang menjalani pemeriksaan
imunohistokimia, pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada pada
kriteria eksklusi dimasukkan dalam penelitian.
3.8 Identifikasi Variabel
Stadium I-III : Klasifikasi stadium kanker payudara yang ditentukan berdasarkan
sistem TNM dari UICC/AJCC tahun 2002.
Terapi hormonal : Salah satu modalitas terapi kanker payudara, dengan macamnya
ada 2 (dua), yaitu aditif dengan pemberian Tamoxifen dan ablatif dengan
ooforektomi bilateral. Terapi hormonal yang dimaksud dalam pembahasan adalah
terapi dengan pemberian Tamoxifen, dengan salah satu dasar pemberiannya
adalah melalui pemeriksaan reseptor ER dan PR.
Multi modalitas terapi : Adanya berbagai cara atau modalitas terapi pada kanker
payudara, yaitu dengan cara operasi, radiasi, kemoterapi, terapi hormonal, dan
atau molecular targetting therapy (biology therapy).
Pemeriksaan imunohistokimia : Metode pemeriksaan reseptor hormon ER, PR,
dan GPR30 pada pasien kanker payudara.
Metastasis : Penyebaran sel-sel kanker ke kelenjar getah bening terkait maupun
ke organ-organ lain, yang dapat dicapai baik melalui jalur hematogen, limfogen,
atau per kontinuitatum.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB IV
HASIL PENELITIAN
1. Sebaran data sampel berdasarkan kelompok usia
Kelompok usia
Jumlah
Persentase (%)
(n)
30-40 tahun
12
13,6
41-50 tahun
30
34,1
51-60 tahun
30
34,1
16
18,2
≥ 61 tahun
Total
88
100
2. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan ER
Hasil pemeriksaan ER
Jumlah
Persentase (%)
(n)
ER (+)
32
36,4
ER (-)
56
63,6
Total
88
100
3. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan PR
Hasil pemeriksaan PR
Jumlah
Persentase (%)
(n)
PR (+)
31
35,2
PR (-)
57
64,8
Total
88
100
4. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan C-ERB 2
Hasil pemeriksaan C-ERB
Jumlah
Persentase (%)
2
(n)
C-ERB 2 (+)
27
30,7
C-ERB 2 (-)
54
61,3
Tidak ada data
7
8
Total
88
100
5. Sebaran data berdasarkan data sampel yang telah menjalani operasi
Prosedur terapi
Jumlah
Persentase (%)
(n)
Operasi (+)
73
83,0
Operasi (-)
15
17,0
Total
88
100
6. Sebaran data sampel berdasarkan jenis operasi yang dijalani
Jenis operasi
Jumlah (n) Persentase (%)
Breast Conserving Therapy (BCT)
2
2,3
Simple Mastectomy (SM)
2
2,3
Modified Radical Mastectomy (MRM)
50
56,8
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Classic Radical Mastectomy (CRM)
Tidak dioperasi
Total
18
16
88
20,5
18,2
100
7. Sebaran data berdasarkan data sampel yang telah menjalani kemoterapi
Prosedur terapi
Jumlah
Persentase (%)
(n)
Kemoterapi (+)
83
94,3
Kemoterapi (-)
5
5,7
Total
88
100
8. Sebaran data sampel berdasarkan jenis kemoterapi yang dijalani
Jenis kemoterapi
Jumlah (n) Persentase (%)
CMF
1
1,1
CAF, CEF
81
92,0
Capecetabine
1
1,1
Tidak dikemoterapi
5
5,7
Jumlah
88
100
9. Sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen
Pemberian Tamoxifen Jumlah (n) Persentase (%)
Tamoxifen (+)
34
38,6
Tamoxifen (-)
54
61,4
Total
88
100
10. Sebaran data sampel berdasarkan kelompok lama pemakaian Tamoxifen
Kelompok lama pemakaian
Jumlah (n) Persentase (%)
Tamoxifen
< 2 tahun
25
28,4
≥ 2 tahun
9
10,2
Tidak diberikan
54
61,4
Total
88
100
11. Sebaran data sampel berdasarkan compliance dalam pengobatan
Compliance dalam
Jumlah (n)
Persentase (%)
pengobatan
Compliance (+)
52
59,1
Compliance (-)
36
40,9
Total
88
100
12. Sebaran data sampel berdasarkan ada tidaknya metastasis
Ada tidaknya metastasis
Jumlah
Persentase (%)
(n)
Metastasis (+)
23
26,1
Metastasis (-)
36
40,9
Metastasis tidak diketahui
29
33,0
Total
88
100
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
13. Sebaran data sampel berdasarkan tipe metastasis
Tipe metastasis
Jumlah
Persentase (%)
(n)
Lokal
3
3,4
Lokoregional
4
4,5
Jauh
16
18,2
Tidak ada atau tidak
65
73,9
diketahui
Total
88
100
14. Sebaran data berdasarkan ada tidaknya metastasis dari sampel yang
mendapat terapi Tamoxifen
Tamoxifen
Metastasis
Metastasis (- Metastasis
Total
(+)
(+)
)
tidak
diketahui
N total = 34
sampel
Jml
(%)
Jml
(%)
Jml
(%)
Jml
(%)
(n)
(n)
(n)
(n)
< 2 tahun
3
12
21
84
1
4
25
100
≥ 2 tahun
7
77,7
1
11,1
1
11,1
9
100
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB V
PEMBAHASAN
Dari sebaran data sampel berdasarkan kelompok usia terlihat bahwa
kelompok usia terbanyak yang menderita kanker payudara ada pada kisaran usia
41-60 tahun, dimana masing-masing kelompok 41-50 tahun dan 51-60 tahun
mendapat persentase 34,1%. Hal ini sesuai dengan faktor risiko yang memang
meningkat dari 1 : 5900 ke 1 : 290 antara dekade ketiga dan dekade ke delapan.
Dari sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia, berupa
estrogen receptor (ER), progesteron receptor (PR), dan C-ERB 2, didapatkan
hasil masing-masing sebagai berikut. Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan
ER didapatkan hasil terbanyak ER (-) pada 63,6% sampel. Sebaran data
berdasarkan hasil pemeriksaan PR juga didapatkan hasil terbanyak PR (-) yaitu
pada 64,8% sampel. Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan C-ERB 2
didapatkan hasil terbanyak C-ERB 2 (-) pada 61,3% sampel. Hasil sebaran data
pemeriksaan ER sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa hanya sekitar
dua pertiga dari semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α.
Sebaran data berdasarkan data sampel yang menjalani operasi
menunjukkan bahwa 83% sampel menjalani operasi di RSCM, dan terbanyak
menjalani jenis operasi modified radical mastectomy (MRM), yaitu sebanyak
56,8%. MRM merupakan operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta
tumor, nipple-areola complex, kulit di atas tumor, dan fascia pektoral, serta
diseksi aksila level I-II. MRM banyak dilakukan di RSCM karena memang paling
banyak pasien datang sudah dalam stadium lokal lanjut.
Sebaran data berdasarkan data sampel yang mendapat kemoterapi
menunjukkan bahwa 94,3% sampel mendapat kemoterapi di RSCM, dengan
persentase terbanyak mendapat kombinasi regimen CAF ataupun CEF, yaitu
sebanyak 92%. Diketahui bahwa terdapat 3 jenis/setting kemoterapi yaitu
adjuvant, neoadjuvant, dan primer (paliatif). Adjuvant kemoterapi adalah terapi
tambahan setelah terapi utama yaitu pembedahan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan penyembuhan yang sempurna, meningkatkan kuratifitas, dan
memperlama timbulnya metastasis. Adjuvant kemoterapi dapat menurunkan 25%
mortalitas pada kanker payudara. Sedangkan untuk pasien dengan stadium lokal
lanjut (stadium III A, III B, dan III C), dianjurkan neo-adjuvant kemoterapi, 3
siklus sebelum operasi dan 3 siklus pasca operasi. Neo-adjuvant kemoterapi
bertujuan untuk memperkecil ukuran tumor dan kontrol mikrometastasis.
Kemoterapi primer (paliatif) diberikan pada stadium lanjut (stadium IV) untuk
mempertahankan kualitas hidup yang baik, kontrol progresi tumor, dan
memperlama harapan hidup. Kemoterapi banyak dilakukan di RSCM karena
memang diketahui banyak pasien datang sudah dalam stadium lokal lanjut, yang
membutuhkan neo-adjuvant kemoterapi seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Dari sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen
didapatkan bahwa 61,4% sampel tidak mendapatkan terapi Tamoxifen. Hal ini
sejalan dengan hasil sebaran data berdasarkan pemeriksaan imunohistokimia
dimana sebagian besar sampel penelitian memang didapakan ER (-) dan atau PR
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
(-), dan oleh karenanya memang bukan merupakan indikasi untuk diberikan terapi
hormonal Tamoxifen.
Dari sampel yang mendapatkan terapi Tamoxifen, 25 dari 34 sampel
(73,5%) mendapatkan terapi hormonal ini kurang dari 2 tahun dan 26,5% sampel
mendapatkan terapi lebih dari 2 tahun. Sebagian besar sampel (59,1%) memiliki
compliance yang baik terhadap pengobatan, dan secara keseluruhan sampel,
ditemukan adanya metastasis pada 26,1% sampel dan tidak ditemukan metastasis
pada 40,9% sampel, sedangkan sisanya yaitu sebesar 33% sampel tidak diketahui
timbul metastasis atau tidak, hal ini mungkin disebabkan oleh compliance pasien
yang kurang baik terhadap pengobatan, sehingga terapi serta respon terapi tidak
dapat dievaluasi dengan baik. Dari sampel penelitian yang ditemukan timbulnya
metastasis, sebesar 69,6% sampel sudah terdapat metastasis jauh.
Sehubungan dengan hipotesis penelitian ini yang mensinyalir Tamoxifen
sebagai agonis GPR30 dan adanya overexpression dari GPR30 yang terus
dipaparkan dengan pemakaian Tamoxifen juga disinyalir dapat menginduksi
timbulnya mekanisme resistensi terhadap terapi hormonal, sehingga hasil akhir
yang didapat adalah hilangnya efek inhibisi dari Tamoxifen dan terus terjadinya
proliferasi sel, maka dilihat sebaran data berdasarkan ada tidaknya metastasis dari
sampel yang mendapat terapi Tamoxifen, dan dibandingkan antara sampel yang
mendapat terapi hormonal ini kurang dari 2 tahun dan yang lebih dari 2 tahun.
Pada sampel yang mendapat terapi Tamoxifen kurang dari 2 tahun, terlihat
sebesar 84% sampel tidak didapatkan timbulnya metastasis, sedangkan pada
sampel yang mendapat terapi Tamoxifen lebih dari 2 tahun, sebesar 77,7% sampel
didapatkan timbulnya metastasis. Dari literatur, dikatakan bahwa hanya sekitar
dua pertiga dari semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di
antaranya tidak berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya
menunjukkan respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga mengalami lesi
kanker refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat
dan invasif. Dari literatur juga dikemukakan bahwa ternyata Tamoxifen memiliki
efek yang berbeda ketika berikatan dengan GPR30 dibandingkan bila berikatan
dengan ER. Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan
sebagai agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa
sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi
daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen.
Terdapat juga penelitian sebelumnya dimana cell line MCF-7 pada kanker
payudara diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus selama 6 bulan
untuk menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari Tamoxifen. Terapi
Tamoxifen jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada sel-sel MCF-7 ini
mengubah efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya dengan
konsentrasi Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek
inhibisi dari Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi
terhadap Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas
terhadap stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam
memediasi aksi estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan
peningkatan ekspresi basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan
ekspresi basal EGFR. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting
pengiriman sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Tamoxifen. Inhibisi kaskade ini merupakan salah satu pilihan terapi di kemudian
hari untuk menimbulkan respon anti-hormonal yang valid pada kanker payudara.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang
parsial, berperan sebagai agonis pada GPR30, dan mengemukakan suatu
penemuan baru bahwa sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini,
dapat bersifat stimulasi daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten
terhadap Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang mengalami resistensi terhadap
Tamoxifen ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi
estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam memediasi aksi estrogen
pada sel sehingga hasil akhir yang didapat adalah hilangnya efek inhibisi dari
Tamoxifen dan terus terjadinya proliferasi sel.
6.2 Saran
Adanya penelitian selanjutnya mengenai inhibisi kaskade melalui GPR30/EGFR
ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon terapi anti-hormonal
yang valid pada kanker payudara.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. Protokol PERABOI 2003.
Bandung: PERABOI; 2004.
2. Maggiolini M, Picard D. The unfolding stories of GPR30, a new
membrane-bound estrogen receptor. Journal of Endocrinology 2010; 204:
105-14.
3. Levin ER. G protein-coupled receptor 30: estrogen receptor or
collaborator? Endocrinology 2009 Apr; 150(4): 1563-5.
4. Revankar CM, Cimino DF, Sklar LA, Arterburn JB, Prossnitz ER. A
transmembrane intracellular estrogen receptor mediates rapid cell
signaling. Science 2005 Mar 11; 307: 1625-30.
5. Manavathi B, Kumar R. Steering estrogen signals from the plasma
membrane to the nucleus: two sides of the coin. Journal of Cellular
Physiology 2006; 207: 594-604.
6. Ignatov A, Ignatov T, Roessner A, Costa SD, Kalinski T. Role of GPR30
in the mechanisms of tamoxifen resistance in breast cancer MCF-7 cells.
Breast Cancer Res Treat 2010; 123: 87-96.
7. Filardo EJ, Quinn JA, Frackelton AR, Bland KI. Estrogen action via the G
protein-coupled receptor, GPR30: stimulation of adenylyl cyclase and
cAMP-mediated attenuation of the epidermal growth factor receptor-toMAPK signaling axis. Molecular Endocrinology 2002; 16: 70-84.
8. Filardo EJ, Quinn JA, Bland KI, Frackelton AR. Estrogen-induced
activation of Erk-1 and Erk-2 requires the G protein-coupled receptor
homolog, GPR30, and occurs via trans-activation of the epidermal growth
factor receptor through release of HB-EGF. Molecular Endocrinology
2000; 14: 1649-1660.
9. Ring A, Dowsett M. Mechanisms of tamoxifen resistance. EndocrineRelated Cancer 2004; 11: 643–658.
10. Mårtensson UEA, et al. Deletion of the G Protein-Coupled Receptor 30
impairs glucose tolerance, reduces bone growth, increases blood pressure,
and eliminates estradiol-stimulated insulin release in female mice.
Endocrinology 2009; 150(2): 687–698.
11. Early Breast Cancer Trialists Collaborative Group. Chemotherapy and
hormonal therapy for early breast cancer: effects on recurrence and 15 year
survival in an overview of the randomized trials. Lancet 2005:in press.
12. Wong ZW, Ellis MJ. Neoadjuvant endocrine therapy for breast cancer: an
overlooked option? Oncology 2004, 18: 411-420.
13. Dowsett M, Cuzick J, Wale C, Howell A, Houghton J, Baum M.
Retrospective analysis of time to recurrence in the ATAC trial according
to hormone receptor status. J Clin Oncol 2005: in press.
14. Jelovac D, Sabnis G, Long BJ, Macedo L, Brodie A. Strategies to oppose
loss of sensitivity to hormone therapy in breast cancer cells. 96th AACR
Annual Meeting, 2005.
Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015
Download