3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Lokal
Domba merupakan ternak yang cukup selektif dalam memilih makanan
seperti dalam memilih jenis rumput yang baik, dan jenis legum yang cocok. Menurut
Blakely dan Bade (1991) domba diklasifikasikan dalam kingdom Animalia (hewan),
filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui),
ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus
Ovis (domba) dan spesies Ovis aries (domba yang telah didomestikasi).
Budidaya domba lokal sangat diminati masyarakat Indonesia karena memiliki
fungsi ekonomis, sosial dan budaya. Terdapat tiga jenis domba lokal di Indonesia
terutama di daerah Jawa yaitu : domba lokal ekor tipis (Javanese thin-tailed), domba
priangan dan domba lokal ekor gemuk (East Java fat-tailed) (Einstiana, 2006).
Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang
baik pada iklim tropis dan dapat beranak dua atau lebih dalam satu kebuntingan.
Domba lokal mempunyai warna bulu beragam serta memiliki wool atau bulu yang
tidak tebal, tubuh yang relatif kecil, memiliki ekor kecil dan tidak terlalu panjang
serta memiliki perdagingan sedikit dan sering disebut juga sebagai domba kampung
(Einstiana, 2006).
Bangsa-bangsa ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai
keunggulan antara lain mampu bertahan hidup pada tekanan iklim dan pakan yang
berkualitas rendah, penyakit, dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif
dipelihara dengan biaya rendah, dan mendukung keragaman pangan (FAO, 2004).
Domba Garut
Domba garut merupakan bangsa domba yang banyak digemari oleh
masyarakat Indonesia karena produksinya yang baik dan memiliki fungsi adat dan
budaya bagi masyarakat Jawa Barat. Domba garut memiliki bentuk tubuh yang besar,
bergaris punggung cekung, pundak lebih tinggi dari kelangkang dengan bagian dada
relatif besar, dahi konveks, tanduk yang jantan besar dan kuat melingkar seperti
spiral sedangkan betina sering ditemukan bertanduk kecil seperti benjolan (Einstiana,
2006). Domba ini diduga merupakan hasil persilangan antara Domba Merino dan
Domba Kaapstad dengan domba lokal sekitar tahun 1864 (Einstiana, 2006). Domba
3
garut jantan bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang
diternakkan dengan sangat selektif karena umumnya tujuan khusus pemeliharaan
domba garut ialah untuk penggemukan dan memperoleh domba yang tangkas.
Hasil penelitian Gunawan dan Noor (2006) menunjukkan bobot sapih domba
garut jantan dapat mencapai 14,12 ± 3,11 kg. Domba garut memiliki bobot badan
yang besar dibandingkan dengan bobot badan domba lokal lain. Suswati (2010)
menyatakan bahwa rataan bobot badan domba keturunan garut pada grade yang
berbeda memiliki rataan bobot badan sebesar 30,28±3,40 kg lebih besar
dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang memiliki bobot badan sebesar
29,60±2,88 kg.
Domba Jonggol
Domba UP3 jonggol dapat dikatagorikan kedalam salah satu jenis domba
lokal karena sudah dibudidayakan di lingkungan UP3 jonggol (Unit Pendidikan dan
Penelitian Peternakan Jonggol) sejak tahun 1980. Domba jonggol merupakan domba
ekor tipis hasil persilangan dengan domba garut secara acak, domba ini telah
dipelihara dengan sistem penggembalaan sejak tahun 1980 di Unit Pendidikan dan
Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
dan terseleksi secara alami untuk lingkungan panas dan kering (Sumantri et al.,
2007). Pemeliharaan domba UP3J umumnya secara tradisional yaitu digembalakan
pagi hari dan dikandangkan pada malam hari. Rumput segar merupakan pakan utama
yang biasa diberikan pada domba jonggol, walaupun dalam jumlah dan kualitas yang
terbatas. Kondisi lingkungan di daerah Jonggol mempengaruhi performa domba
secara keseluruhan (Sumantri et al., 2007).
Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba UP3J mempunyai bobot
tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan26,1 kg untuk betina. Bobot tubuh
dewasa domba UP3 Jonggol tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot
tubuh dewasa sejumlah domba lokal lainnya, seperti : domba Donggala (25,3 dan
24,0 kg), domba Kisar (25,8 dan 18,9kg), dan domba Rote (27,9 dan 20,3 kg). Bobot
tubuh tersebut hampir sama dengan bobot dewasa domba Sumbawa (33,8 dan 26,9
kg) masing-masing untuk jantan dan betina.
4
Potensi Indigofera zollingeriana
Indigofera zollingeriana merupakan tanaman leguminosa dengan genus
Indigofera yang memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia,
Australia, dan Amerika Utara. Pertumbuhan Indigofera sangat cepat, adaptif terhadap
tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya. Menurut Hassen et al.
(2007) produksi bahan kering (BK) total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan
produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun.
Tepung daun Indigofera zollingeriana mengandung protein kasar (PK)
22,30%-31,10%, NDF 18,90%-50,40%, kandungan serat kasar sekitar 15,25% dan
kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,80%-71,70% (Abdullah, 2010). Legum
ini memiliki kandungan mineral yaitu Ca 0,97%-4,52%, P 0,19%-0,33%, Mg 0,21%1,07%, Cu 9 ppm-15,30 ppm, Zn 27,20 ppm-50,20 ppm, dan Mn 137,40 ppm-281,30
ppm (Hassen et al., 2007) serta memiliki kandungan tanin sebanyak 9,35%
(Ologhobo, 2009).
Indigofera zollingeriana sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan
ternak karena memiliki kecernaan bahan organik yang tinggi, kandungan bahan
organik hijauan ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik
sehingga nilai kecernaan juga dapat meningkat (Abdullah, 2010). Hasil penelitian
Abdullah dan Suharlina (2010) menunjukkan bahwa umur panen yang tepat untuk
menghasilkan kualitas Indigofera zollingeriana terbaik adalah pada defoliasi umur
60 hari.
Fluktuasi ketersediaan hijauan baik kuantitatif maupun kualitatif merupakan
masalah dalam peningkatan produktifitas ternak ruminansia didaerah tropis termasuk
Indonesia. Indigofera zollingeriana memiliki potensi yang menjanjikan dalam hal
pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan karena
produksinya tinggi dan memiliki kandungan protein yang tinggi, akan tetapi perlu
diperhatikan jumlah pemberiannya karena legum ini memiliki anti nutrisi yaitu tanin
yang cukup tinggi. Tabel 1 menampilkan kandungan zat makanan tepung Indigofera
sp. berdasarkan 100% BK.
5
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Tepung Indigofera zollingeriana Berdasarkan
100% BK
Zat makanan
Kandungan (%)
Bahan Kering
93,21
Abu
12,51
Protein Kasar
27,88
Serat Kasar
32,73
Lemak Kasar
1,48
Beta-N
25,39
Ca
0,06
P
0,54
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)
Potensi Limbah Tauge
Limbah tauge adalah bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh manusia,
yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang
berwarna hijau. Limbah tauge merupakan bagian dari limbah pasar sehingga
penggunaan limbah tauge sebagai pakan ternak tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia (Rahayu et al., 2010).
Hasil survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor yang
telah dilakukan oleh Rahayu et al. (2010) menunjukkan potensi limbah tauge di Kota
Bogor sebesar 1,5 ton/hari. Berdasarkan data tersebut, limbah tauge ini sangat
berpotensi untuk dipakai sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan-peternakan
di wilayah urban (di pinggir kota). Permasalahan peternakan di wilayah urban adalah
hijauan yang terbatas karena keterbatasan ketersediaan lahan, dan harga konsentrat
mahal. Berdasarkan uji laboratorium limbah tauge memiliki kandungan nutrien yang
cukup baik, yaitu mengandung protein kasar (PK) sebesar ± 13-14 %, serat kasar
(SK) 49,44% dan TDN sebesar 64,65% (Rahayu et al., 2010).
Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan domba ekor
gemuk di wilayah Bogor yang memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya,
menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum
menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 145 g/e/h. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hanya diberi ransum
6
konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Rahayu et al., 2010). Tabel 2 menampilkan
kandungan zat makanan tepung limbah tauge berdasarkan 100% BK.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Tepung Limbah Tauge Berdasarkan 100% BK
Zat makanan
Kandungan (%)
Bahan Kering
87,94
Abu
3,00
Protein Kasar
16,40
Serat Kasar
43,78
Lemak Kasar
0,24
Beta-N
36,58
Ca
0,86
P
0,41
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)
Metabolisme Zat Makanan
Metabolisme adalah perubahan yang dialami bahan makanan dalam
konversinya sampai kepada hasil sisa, mencakup seluruh reaksi biokimiawi yang
terjadi di dalam sel tubuh makhluk hidup (Tillman et al., 1998). Selanjutnya
dijelaskan, metabolisme berperan mengubah zat-zat makanan seperti: glukosa, asam
amino, dan asam lemak menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan untuk proses
kehidupan salah satu hasil metabolisme yang sangat penting adalah energi (ATP).
Energi antara lain berguna untuk aktivitas otot, sekresi kelenjar, memelihara
membran potensial sel saraf dan sel otot, dan sintesis substansi sel. Energi berperan
penting dalam terjadinya proses biokimia untuk metabolisme karbohidrat, protein,
dan lipid (McDonald, 2002). Hasil proses metabolisme yang tidak digunakan oleh
tubuh akan mengalami proses transformasi secara kimia dan akan segera dikeluarkan
melalui sistem ekskresi (McDonald, 2002).
Tillman et al. (1998) menjelaskan bahwa, pada ruminansia, karbohidrat
dipecah di dalam rumen menjadi asam asetat, propionate dan butirat. Asam butirat
dalam perjalananya melewati dinding rumen dan diubah menjadi asam β-Hidroksi
butirat langsung ke dalam sistem peredaran darah. Asam asetat dan asam β-Hidroksi
butirat dibawa oleh darah melewati hati dan menuju ke jaringan dan organ target,
7
untuk digunakan sebagai sumber energi dan sintesis asam lemak. Hasil penelitian
Panousis (2011) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar βHidroksi butirat dengan kadar glukosa darah pada domba. Propionat yang terserap
dapat menyuplai 30% (atau lebih) glukosa untuk ruminansia (Parakkasi, 1999).
Sebagian glukosa akan diubah menjadi glikogen dan disimpan, sebagian lagi
digunakan untuk sintesis asam lemak dan sintesis trigliserida (McDonald, 2002).
Glukosa yang masuk dalam sistem peredaran darah dalam bentuk glukosa darah akan
dibawa menuju jaringan tubuh, glukosa tersebut digunakan untuk sumber energi,
sintesis asam lemak dan sintesis glikogen (McDonald, 2002).
Protein pakan sebagian akan dipecah di dalam rumen oleh mikroba menjadi
peptida dan asam amino dan sebagian protein yang tidak mengalami fermentasi akan
diserap langsung di usus (by pass) (McDonald, 2002). Asam amino yang berlebih
akan dibawa ke hati untuk diubah menjadi amonia. Amonia merupakan hasil
metabolisme protein dan nitrogen bukan protein. Amonia dalam rumen adalah
sumber nitrogen yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan
protein mikroba (McDonald et al., 2002). Kelebihan amonia akan menyebabkan
amonia terakumulasi di rumen yang kemudian akan diserap oleh darah dan dibawa
ke hati untuk dikonversi menjadi urea. Beberapa urea akan dikembalikan ke saliva
dan ada yang langsung diekskresikan melalui urin (McDonald., 2002)
Selama pencernaan unsur lemak dalam pakan, sebagian besar trigliserida
dipecah menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian sewaktu melalui sel epitel usus,
keduanya disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang berkumpul dan
masuk kedalam limfe dalam bentuk droplet kecil yang tersebar yang disebut
kilomikron selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah (McDonald, 2002). Apabila
sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. Oleh
sel-sel yang membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian dioksidasi dan
menghasilkan energi, karbondioksida (CO 2 ), dan air (H 2 O). jika kebutuhan energi
telah tercukupi, asam lemak yang berlebih dalam hati akan mengalami katabolisme
menjadi asam β-Hidroksi butirat dan asetoasetat yang disimpan dalam jaringan
sebagai energi cadangan(McDonald, 2002).
8
Jaringan tubuh dan pakan
Asam
asetat
Asam butirat
Asam
propionat
Glukosa
Asam lemak
bebas
Triasilgliserol
Asam –asam
amino
BHBA
R
u
m
e
n
NADPH
(+H)
Glukosa
Glikogen
Gliserol
Energi
Asam lemak
bebas
Triasilgliserol
Asetoasetat
β-Hidroksi
asam butirat
Asam α keto
Amonia
Urea
Protein
Sistem Peredaran Darah
Asetat β-Hidroksi
asam butirat
Glukosa
Trigliserida
Asetoasetat
β-Hidroksi
asam butirat
Gambar 1. Sumber dan Hasil Proses Metabolisme pada Ruminansia (McDonald, 2002)
Urea
Asam amino
9
N - Urea Darah
Urea dalam darah dipengaruhi oleh pakan karena sebagian besar urea
diperoleh dari penguaraian protein yang berasal dari pakan. Pada ternak yang
mempunyai asupan protein tinggi dan sebagian besar protein tersebut mengalami
fermentasi di rumen, dapat menyebabkan peningkatan kadar urea dalam darah di atas
rentang normal (Riis, 1983). Kadar urea dalam darah mencerminkan keseimbangan
antara produksi dan ekskresi urea (Guyton dan Hall, 1987). Kadar urea dapat
meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Riis, 1983).
Senyawa mengandung nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh ternak
ruminansia untuk proses pertumbuhan dan produksinya, yang terdiri atas protein dan
non protein nitrogen (NPN). Sebagian protein (protein by pass) tidak mengalami
fermentasi di dalam rumen akan tetapi langsung diserap di usus untuk digunakan
sebagai protein pembentuk jaringan tubuh, dan sebagian lagi mengalami fermentasi
di dalam rumen (McDonald, 2002).
Protein pakan yang dikonsumsi akan mengalami dua kemungkinan, yaitu
akan terdegradasi atau lolos dari degradasi oleh mikroba rumen. Proses degradasi
protein atau proteolisis adalah proses perubahan protein pakan menjadi peptida dan
asam-asam amino oleh mikroba rumen, selanjutnya asam-asam amino tersebut
mengalami deaminasi menghasilkan asam α keto dan ammonia (McDonald, 2002).
Protein yang terdegradasi di dalam rumen sebagian akan dimanfaatkan oleh mikroba
rumen menjadi protein mikroba (Promkot dan Wanapat, 2005).
Mikroba rumen tidak mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan asam
amino secara langsung, karena tidak mempunyai sistem transportasi untuk
mengangkut asam amino ke dalam selnya, oleh karena itu sekitar 82% dari mikroba
rumen memanfaatkan amonia untuk pembentukan asam amino dalam tubuhnya
(Promkot dan Wanapat, 2005). Kadar urea dalam darah dapat dipengaruhi kadar
amonia dalam rumen (McDonald, 2002). Hal ini disebabkan oleh kandungan protein
yang tinggi dalam rumen dan mengalami proses degradasi akan menghasilkan
ammonia yang berlebih, sementara mikroba rumen telah optimal dalam
memanfaatkan amonia untuk pembentukan tubuhnya, selanjutnya amonia di dalam
rumen tersebut diserap oleh dinding rumen dan melalui peredaran darah masuk ke
dalam hati dan mengalami proses perubahan menjadi urea, kemudian melalui
10
peredaran darah sebagian urea kembali menuju saliva dan sebagian lain yang tidak
terpakai menuju ginjal untuk dikeluarkan bersama urin (Tillman et al., 1998).
Kadar urea darah juga dipengaruhi adanya kelebihan asam amino hasil
pencernaan dalam usus yang tidak digunakan dalam sel, sehingga terjadi proses
deaminasi asam amino dalam hati menghasilkan rantai karbon yang akan disimpan
berupa glikogen atau lemak, dan urea yang akan dikeluarkan bersama urin
(Prawirokusumo, 1993). Hasil penelitian Antunovic et al. (2011) menunjukkan kadar
urea darah domba bunting lebih rendah dibandingkan kadar urea darah domba tidak
bunting, hal ini berarti bahwa urea darah pada domba dipengaruhi oleh status
fisiologis domba tersebut. Terdapat hubungan yang positif antara urea darah dan
protein pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Promkot dan Wanapat, 2005). Tingginya
protein pakandapat menyebabkan meningkatnya kandungan urea dalam darah. Moss
dan Murray (1992) menyatakan bahwa ruminansia yang mendapatkan tambahan
protein pada pakannya ditemukan memiliki konsentrasi urea darah yang tinggi.
Kadar urea darah normal pada domba adalah 13 - 28 mg/dl (Swenson, 1977).
Glukosa darah
Glukosa darah berasal dari berbagai sumber, antara lain: karbohidrat,
senyawa glikogenik yang mengalami glukoneogenesis dan glikogen hati oleh proses
glukogenolisis. Glukosa darah dan glukosa pada beberapa cairan jaringan atau dalam
sel-sel tubuh dimanfaatkan untuk memproduksi energi (McDonald, 2002). Kadar
glukosa darah ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk ke
dalam darah dan jumlah yang meninggalkan darah (Ganong, 1995). Lebih lanjut
dijelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi glukosa darah adalah konsumsi pakan,
kecepatan masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot, jaringan lemak dan organ-organ
lain. Glukosa dalam darah umumnya secara terus menerus dikeluarkan untuk
memberi makan berbagai jaringan tubuh. Glikogen di dalam hati, urat daging serta
jaringan tertentu lainnya secara bertahap akan dirubah menjadi glukosa (Benerjee,
1978).
Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa pada darah salah satunya adalah
produk VFA (Volatyle Fatty Acid) salah satunya adalah asam propionat yang
memiliki proporsi 21% dari total VFA (McDonald, 2002). VFA merupakan hasil
fermentasi karbohidrat yang terjadi didalam rumen pada ruminansia (Arifin, 1995).
11
Pembentukan glukosa darah dari asam propionat diawali dengan propionat diaktifkan
dengan ATP dan KoA oleh enzim asetil-KoA sintetase, produknya propionil KoA.
Propionil KoA menjalani reaksi fiksasi CO 2 untuk membentuk D-metil malonil KoA
dan reaksi ini dikatalis oleh enzim propionil KoA karboksilase dan proses
selanjutnya menjadi suksinil KoA dengan enzim metal malonil KoA isomerase yang
memerlukan vitamin B12 sebagai koenzim. Suksinil KoA masuk ke siklus Krebs.
Dalam siklis Krebs, suksinil KoA diubah menjadi fumarat. Fumarat diubah menjadi
malat, selanjutnya malat diubah menjadi oksaloasetat. Oksaloasetat diubah menjadi
fosfoenol piruvat dengan enzim fosfoenolpiruvat karboksilase, selanjutnya diubah
menjadi fruktosa 1-6 bifosfat dan diubah menjadi glukosa-6-fosfat dan glukosa darah
(Ngili, 2009)
Glukosa diabsorbsi dari saluran pencernaan ruminansia dalam jumlah kecil
dan kadarnya di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous untuk
keperluan fungsi-fungsi esensial jaringan tubuh (Arora, 1995). Glukosa dibutuhkan
oleh lima jaringan ternak ruminansia, yaitu jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan
lemak, organ reproduksi dan proses metabolisme pada kelenjar susu (Prakkasi,
1999). Ternak ruminansia dewasa sangat tergantung pada proses glukoneogenesis
untuk memenuhi kebutuhannya akan glukosa (Riis, 1983). Ruminansia memiliki
kandungan glukosa lebih rendah dibanding ternak lain, karena pada proses
pencernaannya ruminansia akan memfermentasikan semua karbohidrat dalam
pakannya menjadi asam lemak yang mudah menguap dan unsur ini dapat
menggantikan sebagian besar glukosa sebagai bahan bakar utama metabolik jaringan
(McDonald, 2002). Kadar glukosa darah normal pada domba adalah 59 mg/100 ml
(Riis, 1983). Hasil penelitian Astuti (2005) menunjukkan bahwa, domba yang
diberikan pakan rambanan menghasilkan kadar glukosa darah yang berkisar 37-59
mg/dl. Ruminansia yang baru lahir, konsentrasi glukosanya menyerupai hewan
monogastrik dan secara gradual menurun dengan meningkatnya umur. Kebutuhan
energi tidak dapat dipenuhi semata-mata hanya oleh asam lemak (Riis, 1983).
Kolesterol Darah
Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan
pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah (Mayes, 1995). Kolesterol
merupakan komponen struktural dari membran sel serta merupakan senyawa induk
12
yang menurunkan hormon-hormon steroid, vitamin D, dan garam empedu. Kolesterol
disintesis dalam hati dan sel epitel usus dan juga berasal dari lipid makanan. Sintesis
kolesterol diregulasi oleh jumlah kolesterol dan trigliserida dalam lipid makanan
(Ngili, 2009).
Kolesterol total sebenarnya merupakan susunan dari banyak zat, termasuk
trigliserida, LDL kolesterol, dan HDL kolesterol (Boyer, 2002). Trigliserida adalah
salah satu bentuk lemak yang diserap oleh usus setelah mengalami hidrolisis.
Trigliserida kemudian masuk ke dalam plasma dalam dua bentuk, yaitu sebagai
kilomikron yang berasal dari penyerapan usus setelah makan lemak dan sebagai
VLDL (very low density lipoprotein) yang dibentuk oleh hepar dengan bantuan
insulin (Boyer, 2002). Trigliserida tersebut di dalam jaringan di luar hepar
(pembuluh darah, otot, jaringan lemak) akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein
lipase. Sisa hidrolisis kemudian oleh hepar dimetabolisasi menjadi LDL. Kolesterol
yang terdapat pada LDL kemudian ditangkap oleh suatu reseptor khusus di jaringan
perifer sehingga LDL sering disebut sebagai kolesterol jahat (Cheng dan Hardy,
2004). Kelebihan kolesterol dalam jaringan perifer akan diangkut oleh HDL (high
density lipoprotein) ke hepar untuk kemudian dikeluarkan melalui saluran empedu
sebagai asam empedu sehingga HDL sering disebut sebagai kolesterol baik. Soraya
(2006) menyatakan bahwa kadar kolesterol darah normal pada domba adalah
108,41±32,42 mg/dl. Hasil penelitian Astuti (2005) menunjukkan bahwa domba yang
diberikan 100% rumput lapang menghasilkan kadar kolesterol darah sebesar 60,86
mg/dl. Hal tersebut menunjukkan bahwa serat kasar pada pakan mempengaruhi kadar
kolesterol darah sesuai dengan yang dinyatakan Djojosoebagio dan Piliang (2006)
bahwa serat kasar pakan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum dengan
cara meningkatkan ekskresi asam empedu, yang merupakan produk metabolisme
kolesterol.
Kolesterol dalam tubuh dikeluarkan melalui dua cara, yaitu diubah menjadi
empedu sebagai garam-garam kolesterol dan sterol netral yang dibuang melalui
feses. Asam empedu disintesa dalam hati dengan bahan dasar kolesterol. Asam
empedu ini digunakan dalam proses pencernaan, khususnya lemak dengan cara
pembentukan kilomikron (Mcdonald, 2002).
13
Download