BAB II

advertisement
Tugas Akhir By Research
BAB
II
PEMAHAMAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA LUAS LANTAI
RUMAH DAN TATA SETTING KEGIATAN PENGHUNINYA
DI KAMPUNG JAWA, DENPASAR
Bab ini merupakan pemahaman tentang hubungan antara luas lantai rumah dan tata
setting kegiatan penghuninya yang terdiri dari empat pembahasan. Keempat hal tersebut
adalah Kajian Pustaka yang mengemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan atau serupa dengan penelitian yang akan dilaksanakan dan untuk menghindari
adanya duplikasi penelitian. Konsep mengemukakan tentang pengertian – pengertian
berkaitan dengan judul untuk menyamakan presepsi antara peneliti dengan pembaca. Teori
yang mengemukakan tentang teori – teori yang terkait dengan penelitian dan model penelitian
merupakan suatu kerangka berpikir dalam pelaksanaan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Terdapat tiga penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini,
penelitian pertama yaitu Hubungan antara Seting Trotoar dengan Tuntutan Atribut Persepsi
Pedagang Kaki Lima oleh Tony Subrata Suryat pada tahun 2008. Penelitian kedua berjudul
Peran Ibu Dalam Penataan Setting Privasi Rumah Tinggalnya yang dilakukan oleh
Ikhwanuddin Sativa pada tahun 2007. Penelitian ketiga yang juga memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini adalah Konsep Rusunawa Untuk Urban Renewal Bagi Pemukiman
Kumuh oleh Hendri Zulviton, dkk di tahun 2009.
“Hubungan antara Seting Trotoar dengan Tuntutan Atribut Persepsi Pedagang Kaki
Lima” merupakan penelitian yang dilakukan oleh Tony Subrata Suryat (2005). Dalam
penelitiannya tersebut Ia mengambil studi kasus pada koridor jalan Prof. H. Soedarto, SH
Semarang.
Jalan
Prof.H.
Soedarto
menjadi
sangat
berkembang
seiring
dengan
dipindahkannya gerbang utama kampus UNDIP pada pertigaan Jl. Setiabudi dengan Jl.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
5
Tugas Akhir By Research
Prof.H. Soedarto. Berkembangnya jalan tersebut memicu tumbuhnya kawasan real estate
yang membuat sirkulasi pengguna jalan pada lokasi tersebut menjadi padat. Kondisi tersebut
pada akhirnya mengakibatnya munculnya berbagai fasilitas – fasilitas pendukung salah
satunya pedagang kaki lima.
Dalam hal ini, pedagang kaki lima mempersepsikan trotoar yang sebagai tempat
berjalan kaki menjadi tempat untuk berjualan karena trotoar tersebut memiliki kekuatan
properti yang mendukung PKL tersebut berjualan disana. Penelitian ini merupakan penelitian
perilaku yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa hubungan antara seting troar dengan persepsi PKL berupa jumlah
minat PKL siang lebih sedikit dibandingkan dengan PKL malam. Hal tersebut dikarenakan
seting malam dan siang yang berbeda. Lokasi juga menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi persepsi PKL, dimana semakin ramai dan lengkapnya fasilitas maka semakin
banyak pedagang yang akan berjualan pada lokasi tersebut. Keterkaitannya dengan penelitian
yang akan dilakukan ini adalah dimana memiliki persamaan yakni sama – sama merupakan
penelitian perilaku antara manusia dengan lingkungannya. Hal lainnya adalah kedua
penelitian ini sama – sama mencari hubungan antara dua variabel sehingga penelitian ini akan
memberikan banyak masukan untuk penelitian yang akan dilakukan ini.
Ruang dapat mempengaruhi perilaku, demikian pula perilaku manusia juga dapat
mempengaruhi ruang yang melingkupinya. Hal tersebut terkait dengan penelitian dengan
judul “Peran Ibu Dalam Penataan Setting Privasi Rumah Tinggalnya” yang dilakukan pada
tahun 2007. Dengan mengambil studi kasus pada rumah – rumah tinggal pribadi ibu-ibu
anggota Majlis Taklim Salimah Yogyakarta dihasilkan kesimpulan bahwa ibu dengan latar
belakang keislaman memiliki peran dalam mengatur teritori untuk mencapai privasi yang
optimal di dalam rumah tinggalnya. Peran ibu tersebut diwujudkan di dalam melaksanakan
pengaturan teritori rumahnya yang mengacu pada kebutuhan untuk menjaga hijab atau aurat
ibu di dalam rumahnya. Bentuk pengaturan teritori tersebut antara lain berupa pengaturan
tahapan pencapaian ruang-ruang, sifat dan bentuk sekat fisik ruang.
Penelitian yang dilakukan oleh Ikhwanuddin Sativa ini menggunakan metoda kualitatif
naturalistik, dalam menarik kesimpulan dari induksi temuan penelitian di lapangan. Urutan
pengambilan data berdasarkan kemudahan akses dengan pemiliknya. Sesuai dengan metoda
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
6
Tugas Akhir By Research
pengambilan data pada metoda kualitatif, maka pengambilan data akan dihentikan setelah
diperoleh data yang berulang atau data jenuh.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dan kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh
Ikhwanuddin Sativa dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaannya adalah pada
penelitian tersebut mengacu pada perilaku manusia yang akan mempengaruhi ruang,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih mengacu pada perilaku yang terbentuk
akibat suatu ruang. Terlepas dari perbedaan tersebut, kesamaannya adalah bahwa kedua
penelitian ini memiliki kaitan dalam hal ruang dan perilaku memberikan pengaruh timbal
balik. Baik ruang terhadap perilaku maupun perilaku terhadap ruang. Kedua penelitian ini
sama – sama menggunakan pendekatan perilaku dan metode penelitian yang digunakan yaitu
metode kualitatif.
Hendri Zulviton melakukan penelitian berjudul “Konsep Rusunawa Untuk Urban
Renewal Bagi Pemukiman Kumuh”, di dalam mencari konsep rusunawa yang sesuai bagi
masyarakat menengah kebawah melalui pendekatan perilaku. Pembangunan rumah susun
pada saat ini masih belum mendapat penerimaan yang baik oleh masyarakat. Hal tersebut
berarti pembangunan rumah susun banyak yang salah sasaran karena rumah susun cenderung
dibuat dalam bentuk standar baku, sehingga penghuni yang tinggal didalamnya merasa tidak
nyaman karena merasa asing dengan lingkungan rumahnya. Dalam kaitan dengan dunia
arsitektur, perencanaan rumah susun perlu mengakomodir kebutuhan dan perilaku penghuni,
agar mereka merasa nyaman dan betah tinggal didalamnya.
Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2009 tersebut mengambil kawasan
Pemukiman Pantai Purus Kota Padang sebagai lokasi penelitian, yang termasuk salah satu
kawasan pemukiman kumuh di kota Padang. Penelitian ini menggali perilaku penghuni yang
terbentuk di pemukiman tersebut untuk memperoleh perencanaan yang sesuai dengan
kebutuhan penghuni bagi pembangunan rusunawa. Metode penelitian yang dipakai adalah
metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian ekploratif, yang mengekplorasi
perilaku penduduk yang akan ditempat tinggalkan pada bangunan rusunawa.
Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa perencanaan rumah susun
tidak lagi sekedar menyandarkan diri pada teori-teori yang ada namun harus merujuk pada
sebenar-benarnya kebutuhan dan perilaku serta keinginan warga penghuninya. Selain itu,
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
7
Tugas Akhir By Research
manusia dengan segala kebutuhan dan perilakunya menjadi indikator utama dalam proses
perancangan yang akan memberikan pengaruh pada desain. Sehingga desain tersebut dapat
diterima oleh pengguna dan dapat dimanfaatkan sebagaimana tujuan perancangan semula.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu sama – sama meneliti perilaku
yang terbentuk akibat rumah yang ditinggalinya meskipun dalam penelitian ini lebih
ditekankan pada setting aktivitas yang terjadi dan lokasinya merupakan kawasan pemukiman
yang padat dengan kondisi kumuh. Dengan demikian banyak hal yang dapat diperoleh baik
dari segi teori maupun metode penelitian yang digunakan, walaupun mempunyai tujuan
penelitian yang berbeda..
Dari ketiga penelitian terdahulu yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat
perbandingannya sebagaimana terpapar pada tabel 2.1.
No. Nama Peneliti Tahun
1.
Tony
Subrata
2008
Suryat
Studi Kasus
Judul
Hasil Penelitian
koridor jalan Prof.
Hubungan antara Seting Hubungan
H. Soedarto, SH
Trotoar
dengan trotoar
Semarang
Tuntutan
Atribut persepsi
Persepsi Pedagang Kaki
Ikhwanuddin
2007
Sativa
PKL
yang
berjualan pada daerah
Rumah
tinggal Peran
pribadi
ibu-ibu Penataan Setting Privasi privasi
anggota
Majlis Rumah Tinggalnya
Taklim
dengan
tersebut.
Lima.
2.
seting
Ibu
Dalam
Penataan
setting
rumah
tinggalnya
Salimah,
Yogyakarta
3.
Hendri
2009
Penelitian Ini
Pantai Konsep Rusunawa Untuk
Purus Kota Padang
Zulviton
4.
Pemukiman
2011
Kampung Jawa,
Denpasar
Urban
Renewal
Konsep
Bagi yang
Rusunawa
sesuai
dengan
Pemukiman Kumuh
perilaku penghuni.
Hubungan antara luas
lantai rumah dan tata
setting kegiatan
penghuninya
Tata setting kegiatan
penghuni akibat luas
rumah.
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Penelitian
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
8
Tugas Akhir By Research
2.2 Konsep Penelitian
Pada sub bab ini akan dijabarkan pengertian dari judul penelitian yang akan
dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan
pembaca, dimana judul dalam penelitian ini adalah Hubungan antara luas lantai rumah dan
tata setting kegiatan penghuninya di Kampung Jawa, Denpasar.
2.2.1 Luas Rumah
Rumah adalah bangunan buatan manusia yang dijadikan tempat tinggal dalam periode
waktu tertentu (Poerwadarminta, 1976). Dalam UU RI No. 4 Tahun 1992 dikatakan bahwa
rumah merupakan struktur fisik terdiri dari beberapa ruangan, halaman dan area sekitarnya
yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Rumah adalah ruang
dimana manusia hidup dan melakukan aktivitas kehidupan yang bebas dari gangguan dari
psikis maupun fisik (Herlianto,1986). Sedangkan Frick dan Mulyani (2006), menyatakan
bahwa rumah adalah tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan
bersukaria dengan keluarga.
Kata luas dalam penelitian ini memiliki pengertian suatu ukuran panjang-lebarnya
bidang, sedangkan rumah adalah bangunan buatan manusia yang dijadikan tempat tinggal
dalam periode waktu tertentu. (Poerwadarminta, 1976).
Jadi, yang dimaksud dengan luas rumah dalam penelitian ini adalah ukuran panjang –
lebar bidang dari suatu bangunan tempat tinggal manusia dan sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas didalamnya bersama keluarga tanpa adanya gangguan dari psikis maupun
fisik.
2.2.2 Setting Kegiatan Penghuni
Setting (seting dalam Bahasa Indonesia) adalah tatanan suatu lingkungan yang dapat
mempengaruhi manusia, artinya ditempat yang sama, perilaku manusia dapat berbeda jika
settingnya (tatanannya) berbeda (Suryat, 2008).
Definisi kegiatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aktivitas. Penghuni
disini memiliki definisi orang yang mendiami suatu rumah atau tempat (Poerwadarminta,
1976), sehingga setting kegiatan penghuni pada judul penelitian ini memiliki pengertian suatu
tatanan melakukan aktivitas yang dilakukan oleh orang yang tinggal dan mendiami suatu
rumah.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
9
Tugas Akhir By Research
2.2.3 Kampung Jawa, Denpasar
Kampung Jawa, Denpasar terbentuk setelah Raja Pemecutan pada tahun 1910
memberikan tanah kepada para pendatang muslim sebagai tempat untuk bermukim.
Perkampungan yang terletak di kecamatan Denpasar ini merupakan salah satu pemukiman
padat di Denpasar. Mayoritas penghuninya merupakan imigran asal pulau Madura. Kawasan
ini terbagi menjadi 8 RT dengan jumlah penduduk 7699 jiwa. Rumah – rumah di Kampung
ini memiliki luasan yang sempit dan juga letaknya saling berdekatan antara rumah yang satu
dengan yang lainnya.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, penelitian Hubungan antara luas lantai rumah dan
tata setting kegiatan penghuninya di Kampung Jawa ini merupakan penelitian yang dilakukan
guna mengetahui bagaimana hubungan antara ukuran tempat tinggal dengan tatanan aktivitas
yang dilakukan oleh penghuni yang tinggal di Kampung Jawa, Denpasar.
2.3 Landasan Teori
Pada bagian sub bab ini akan membahas tentang teori –teori dari literatur yang
berkaitan, menunjang dan menjadi dasar pertimbangan dalam memecahkan masalah dalam
penelitian “Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di
Kampung Jawa”.
2.3.1 Pemukiman dan Kampung
a. Pengertian
Menurut UU no. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman menyatakan bahwa
pemukiman merupakan bagian lingkungan hidup diluar kawasan lindung (desa dan kota)
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Pemukiman penduduk di Indonesia sering kali disebut dengan kampung, kampung
identik dengan suatu wilayah yang terletak pada pedesaan yang memiliki sarana dan
prasarana yang layak (Surtiani, 2006). Menurut Yudosono dalam Surtiani (2006)
menjabarkan kampung merupakan lingkungan suatu masyarakat yang sudah mapan yang
terdiri dari dua golongan yakni penghasilan rendah dan menengah. Pada umumnya kawasan
tersebut tidak memiliki sarana, utilitas dan fasilitas yang memadai dan juga kawasan tersebut
dibangun diatas tanah yang telah dimiliki maupun disewa atau dipinjam pemiliknya.
Surtiani (2006) menyebutkan beberapa pengertian mengenai kampung yakni kawasan
hunian masyarakat berpendapatan rendah dengan kondisi fisik yang kurang baik. Kampung
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
10
Tugas Akhir By Research
juga merupakan kawasan pemukiman kumuh dengan ketersediaan sarana umum tidak baik.
Kampung adalah lingkungan tradisional khas Indonesia yang ditandai dengan ikatan
kekeluargaan yang terjalin dengan erat dalam kehidupan yang ada didalamnya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan kampung kota adalah suatu kawasan
pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri penduduk masih
membawa sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan
yang erat, kondisi fisik bangunan yang kurang baik dan tidak beraturan, serta kerapatan
bangunan dan jumlah penduduk yang tergolong tinggi (Surtiani, 2006).
Hal diatas menggambarkan juga Kampung Jawa, Denpasar yang merupakan
pemukiman dikawasan kota, memiliki kepadatan penduduk tinggi begitu juga dengan
bangunannya yang sangat berdekat – dekatan antara satu dengan yang lain dan tidak
beraturan. Penduduk di daerah tersebut masih membawa sifat dan perilaku kehidupan dari
daerah asalnya serta memiliki ikatan kekeluargaan yang cukup erat dengan tetangga mereka.
b. Elemen dasar Pemukiman
Pada dasarnya pemukiman memiliki dua elemen yakni manusia dengan tempat yang
mewadahinya baik berupa rumah tinggal maupun fasilitas penunjang lainnya (Surtiani, 2006).
Surtiani (2006) juga membagi elemen- elemen tersebut menjadi lima, yakni:
a. Alam, meliputi: iklim, kekayaan alam, topografi, kandungan air, tempat tumbuh
tanaman hijau dan binatang.
b. Manusia yang tinggal didalamnya.
c. Masyarakat, meliputi : kepadatan penduduk, tingkat strata, budaya, ekonomi,
pendidikan, kesehatan.
d. Bangunan, meliputi : rumah, fasilitas umum (sekolah, rumah sakit,
perdagangan, tempat ibadah).
e. Sarana dan Prasarana, meliputi : jaringan (air bersih, listrik, jalan, dll),
pengelolaan sampah, MCK.
2.3.2 Permukiman Kumuh
a. Pengertian
Kumuh adalah salah satu kesan atau gambaran umum yang dianggap rendah dan
berada dibawah standar hidup dilihat dari sikap dan perilaku yang dilakukan suatu
masyarakat pada suatu tempat tertentu. Dengan kata lain kumuh merupakan cap yang
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
11
Tugas Akhir By Research
diberikan oleh golongan masyarakat kelas atas terhadap golongan masyarakat bawah yang
belum mapan (Mulia, 2011).
Menurut Mulia (2011) kawasan pemukiman kumuh merupakan kawasan dimana
kondisi fisik hunian masyarakat didaerah tersebut sangat buruk. Rumah maupun prasarana
yang ada didalamnya berada dibawah standar yang telah ditentukan. Standar tersebut meliputi
standar kebutuhan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun
persyaratan kelengkapan jalan, ruang terbuka, serta fasilitas sosial lainnya. Pengertian lainnya
mengenai pemukiman kumuh (Surtiani, 2006) adalah lingkungan yang berpenghuni padat
yakni dengan 500 orang per Ha dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup lemah dimana
jumlah rumahnya sangat padat dan memiliki ukuran dibawah standar, kondisi sarana dan
prasaranan juga tidak memenuhi syarat.
Ada beberapa penyebab suatu pemukiman menjadi kumuh (Mulia, 2011), yaitu :
kondisi perumahan yang buruk, penduduk yang tinggal terlalu padat, fasilitas lingkungan
yang kurang memadai, tingkah laku penyimpangan, dan adanya budaya kumuh dari
penduduk yang tinggal didalamnya.
b.
Ciri – Ciri Pemukiman Kumuh
Ciri – ciri pemukiman kumuh seperti yang diungkapkan oleh Mulia (2011) adalah:
1. Tidak memiliki fasilitas umum dengan kondisi yang memadai.
2. Kondisi rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan
penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang
– ruang yang ada dipemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya ketidak
teraturan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Sebagian besar penduduk di pemukiman kumuh tersebut memiliki mata pencaharian
disektor informal.
Surtiani (2006) juga memberikan gambaran mengenai lingkungan pemukiman kumuh,
yaitu :
1. Lingkungan pemukiman yang kondisi tempat tinggalnya berdesakan.
2. Luas rumah tidak sebanding dengan penghuni.
3. Rumah hanya sekedar untuk tempat berlindung dari panas dan hujan.
4. Hunian bersifat sementara dan dibangun diatas tanah yang bukan milik penghuni.
5. Lingkungan dan tata pemukimannya tidak teratur tanpa perencanaan.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
12
Tugas Akhir By Research
6. Prasarana kurang (MCK, saluran air bersih, saluran buangan, listrik, dan jalan
lingkungan).
7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas kesehatan).
8. Mata pencaharian enduduknya tidak tetap atau merupakan pekerja dibidang non
formal.
9. Pendidikan masyarakat rendah.
Menurut para ahli, keadaan kumuh dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial
budaya, para penghuni yang tinggal pada pemukiman tersebut. Kawasan kumuh tersebut
dapat dicerminkan melalui beberapa ciri (Surtiani, 2006), yakni :
1. Penampilan fisik lingkungannya yang miskin akan konstruksi, yang menggunakan
bahan- bahan apa adanya begitu juga dengan kondisinya kurang terawat.
2. Kepadatan bangunan yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari minimnya atau
bahkan tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain maupun
siteplan yang tidak terencana.
3. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakat yang heterogen.
4. Sistem sanitasi yang tidak baik.
5. Banyaknya jumlah pendatang yang tinggal dengan cara menyewa rumah.
Berdasarkan beberapa ciri – ciri yang disampaikan diatas, maka dapat dikatakan bahwa
pemukiman Kampung Jawa, Denpasar dalam penelitian ini termasuk kedalam pemukiman
kumuh.
c. Penyebab Timbulnya Pemukiman Kumuh
Terdapat beberapa penyebab yang menimbulkan munculnya pemukiman kumuh, hal
tersebut seperti yang dikatakan oleh Surtiani (2006), yaitu :
1. Tingkat urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah.
2. Sulitnya mencari pekerjaan.
3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah yang baik.
4. Semakin sempitnya lahan untuk pemukiman serta tingginya harga tanah.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
13
Tugas Akhir By Research
2.3.3 Bentuk Perilaku
Bentuk perilaku dapat terbentuk berdasarkan respon terhadap stimulus yang di terima
oleh individu yang terkait. Dari bentuk stimulus tersebut maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Gunadarma, 2011) yaitu :
a. Perilaku tertutup, dalam perilaku ini respon yang dihasilkan masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi sehingga belum
bisa diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka, dimana respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka dan sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dapat
dilihat oleh orang lain.
Dengan demikian bentuk perilaku seseorang yang muncul akan berbeda – beda sesuai
dengan cara orang tersebut merespon stimulus yang diterimanya. Pada penelitian ini, bentuk
perilaku yang akan diamati lebih lanjut merupakan bentuk perilaku terbuka yang dapat
terlihat jelas oleh peneliti.
2.3.4 Proses Terjadinya Perilaku
Sebuah perilaku tidak terjadi begitu saja, namun melalui beberapa tahapan seperti
halnya yang dikatakan oleh Rogers (1974), bahwa sebelum orang berperilaku baru didalam
diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan. Urutan yang pertama adalah Awareness atau
kesadaran, yakni pertama orang tersebut menyadari stimulus atau objek terlebih dahulu
kemudian merasa interest atau tertarik terhadap stimulus yang diterimanya. Proses yang
kedua adalah Evaluation, dimana setelah merasa tertarik dengan stimulus yang diterima
individu tersebut menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Proses yang
terakhir adalah Trial, setelah menimbang–nimbang stimulus dan dianggap baik orang
tersebut akan mencoba perilaku baru tersebut.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan
menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (Gunadarma, 2011).
2.3.5 Pola Perilaku dan Aktivitas
Pola perilaku bisa terdiri atas beberapa perilaku secara bersamaan seperti perilaku
emosional, perilaku untuk menyelesaikan masalah, aktivitas motorik, interaksi interpersonal
dan manipulasi objek. Kombinasi dari perilaku ini membentuk suatu pola perilaku, terjadi
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
14
Tugas Akhir By Research
pada lingkungan fisik tertentu. Suatu behaviour setting mempunyai struktural internal sendiri.
Setiap orang atau kelompok beperilaku berbeda-beda karena masing - masing mempunyai
peran yang berbeda-beda (Laurens, 2004).
Aktivitas dapat didefinisikan sebagai apa yang dikerjakan oleh seseorang pada jarak
dan waktu tertentu. Aktivitas tersebut selalu mengandung empat hal pokok diantaranya
pelaku, macam aktivitas, tempat dan waktu berlangsungnya aktivitas (Laurens, 2004).
Menurut Rapoport (1977) skema setiap aktivitas dapat di analisis menjadi empat komponen
penting yaitu kegiatan itu sendiri, bagaimana kegiatan itu dilakukan, apa kaitan kegiatan
tersebut dengan kegiatan lain, serta makna dari kegiatan itu sendiri.
Secara konseptual sebuah aktivitas dapat terdiri dari sub-sub aktivitas yang saling
berhubungan sehingga terbentuk system aktivitas. Dalam kelompok manusia yang berbedabeda, unsur simbolik inilah yang biasanya membedakan suatu aktivitas tertentu. Hal ini
antara lain terlihat pada penggunaan wadah atau setting yang sama untuk aktivitas yang
bermacam-macam dari berbagai kelompok manusia.
2.3.6 Konsep – Konsep Fenomena Perilaku Manusia
Konsep – konsep fenomena perilaku manusia yang terjadi pada kehidupan sehari –
hari terdiri dari beberapa konsep. Konsep - konsep tersebut meliputi kepadatan, kesesakan,
privasi, personal space, dan teritorialitas.
2.3.6.1 Kepadatan
a. Pengertian
Menurut Gunadarma (2011) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit
ruangan. Kepadatan juga merupakan sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau
wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila
jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas
ruangannya. Dapat disimpulkan bahwa kepadatan merupakan jumlah manusia pada suatu unit
ruangan yang melebihi kapasitas dari ruang tersebut.
b. Kategori Kepadatan
Variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial, variasi indikator
kepadatan itu meliputi jumlah individu didalam suatu kota, jumlah individu dalam suatu
wilayah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
15
Tugas Akhir By Research
tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar, dan lain – lain (Gunadarma, 2011). Unsur
– unsur yang mempengaruhi tingkat kepadatan adalah jumlah individu pada setiap ruang,
jumlah ruang pada setiap unit tempat tinggal, jumlah unit tempat tinggal pada setiap struktur
hunian pada setiap wilayah pemukiman. Berdasarkan hal yang diungkapkan dalam
Gunadarma (2011) ini maka kepadatan disetiap wilayah pemukiman memiliki tingkat
kepadatan yang berbeda sesuai dengan kontribusi unsur – unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, Altman (dalam Gunadarma 2011)
membagi kepadatan menjadi :
a. Kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu
ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah dan kamar.
b. Kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu
wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah
pemukiman.
Gunadarma (2011) menggolongkan kepadatan menjadi beberapa kategori berdasarkan teori
dari Holahan (1982), antara lain :
a. Kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau
luas ruangan diubah
menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap.
b. Kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi
dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan
meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah
unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah
pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan
tinggi dan kepadatan rendah (Gunadarma, 2011). Masih di dalam Gunadarma (2011) Zlutnick
dan Altman menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam
tipe lingkungan pemukiman, adalah sebagai berikut :
a. Lingkungan pinggir kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan
dalam yang rendah.
b. Wilayah desa miskin, yang ditandai dengan tingkat kepadatan dalam yang tinggi dan
kepadatan luar yang rendah.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
16
Tugas Akhir By Research
c. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepadatan luar tinggi sedangkan kepadatan
dalam rendah.
d. Perkampungan Kota, dimana tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tergolong
tinggi.
Dalam penelitian ini, dimana lokasi penelitian dilakukan di pemukiman Kampung
Jawa, Denpasar. Berdasarkan teori diatas, lokasi Kampung Jawa ini termasuk kedalam
wilayah perkampungan yang berada di kota. Melihat hal tersebut, lokasi ini memiliki tingkat
kepadatan luar yang tergolong tinggi.
Kepadatan Dalam
Rendah
Kepadatan Luar
Rendah
Tinggi
Tinggi
Lingkungan
Wilayah
Desa
Pinggir Kota
Miskin
Lingkungan
Perkampungan
Mewah Perkotaan
Kota
Tabel 2.2 Profil Kepadatan Menurut Zlutnick dan Altman
Sumber : Altman (1975)
c. Akibat Kepadatan
Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi
sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu
individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan berbeda akan menunjukkan sikap
dan perilaku yang berbeda pula. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi
dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi
akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya (Gunadarma, 2011).
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah
individu yang besar, pada umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya
seperti yang dikatakan oleh Jain dalam Gunadarma (2011). Hal ini terjadi karena dalam
rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat
dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi
terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut pada akhirnya
menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
17
Tugas Akhir By Research
Beberapa akibat dari kepadatan adalah stress, dimana kepadatan tinggi menumbuhkan
perasaan negative, rasa cemas (Jain dalam Gunadarma, 2011) dan perubahan suasana hati
(Holahan, 1982). Kepadatan juga membuat seorang cenderung menarik diri dan kurang mau
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Gunadarma, 2011). Kepadatan tinggi dapat
menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang
membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Gunadarma, 2011). Akibat lain dari
kepadatan adalah menurunnya kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat
tertentu (Gunadarma, 2011). Keadaan padat juga dapat memunculkan perilaku agresi, situasi
padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada
akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Gunadarma, 2011).
Banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya
pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami
tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah
tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan
tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang
dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu
merasa sesak, hal ini diungkapkan oleh Jain dalam Gunadarma (2011).
2.3.6.2 Kesesakan
a. Pengertian
Kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia
satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara
crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang–
kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik
dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang (Gunadarma, 2011).
Gunadarma (2011) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding),
yaitu dimana faktor – faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak
sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu
perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga
menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan
sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
18
Tugas Akhir By Research
interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat
dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.
Pengertian lain mengenai kesesakan juga disampaikan oleh Morris dalam Gunadarma
(2011) yaitu dimana kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan
adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap
orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit
hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan
untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran
standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda. Rapoport (1987)
mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak
mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan
dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas untuk
menampung jumlah manusia yang ada didalamnya.
b. Teori - Teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban
stimulus, kendala perilaku, dan ekologi (Bell, 1978 ; Holahan, 1982).
1. Teori Beban Stimulus
Teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila
stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul
kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating
(1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang
beserta aspek-aspek interaksinya maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar
yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi
Micklin dam Gunadarma (2011) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada
manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik
antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial
dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga,
menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
19
Tugas Akhir By Research
3. Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain
yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat.
Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis dari Brehm yang menekankan
kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku
manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan
mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi,
yang digunakan untuk mencapai tujuannya (Gunadarma, 2011).
c. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu faktor personal yang terdiri
dari tiga faktor (Gunadarma, 2011)., yaitu:
1. Faktor Personal
Faktor ini terdiri dari beberapa hal yakni kontrol pribadi. Hal kedua meliputi budaya,
pengalaman, dan proses adaptasi yang dilakukan oleh seseorang. Hal terakhir adalah
faktor sosial, yang dipengaruhi oleh kehadiran dan perilaku orang lain, formasi
koalisi, kualitas hubungan, dan informasi yang tersedia.
2. Faktor Fisik
Kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang
berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah
(perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar
rumah.
3. Adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi
kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh,
panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah,
tingkat kepadatan). Faktor – faktor situasional tersebut antara lain besarnya skala
lingkungan dan variasi arsitektural.
d. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak, maka kehidupan yang ada didalamnya
dapat mengalami ketidaknyamanan, dimana aktivitas seorang bisa menjadi terganggu karena
aktivitas orang lain. Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu
dalam
mencapai
tujuan
personalnya,
gangguan
terhadap
norma
sehingga
dapat
mengakibatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Gunadarma, 2011).
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
20
Tugas Akhir By Research
Dengan terbatasnya luas ruang terhadap jumlah orang yang ada didalamnya sehingga
terjadi kesesakan dapat mengakibatkan beberapa akibat terhadap perilaku manusia
didalamnya. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Gunadarma (2011), antara lain:
menurunnya kualitas hidup. Akibat kesesakan lainnya adalah adanya malfungsi fisiologis
seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan
penyakit – penyakit fisik yang serius. Kesesakan pada suatu wilayah dapat mengakibatkan
kenakalan remaja, hal tersebut dijabarkan oleh Gunadarma (2011) dimana kesesakan
menyebabkan menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari
lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas
hubungan sosial. Fisher dan Byrne ( dalam Gunadarma, 2011) menemukan bahwa kesesakan
dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks,
menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan
dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah.
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991)
mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi beberapa akibat yaitu pelanggaran
terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh
kehadiran orang lain. Keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya
kebebasan memilih. Kurangnya kontrol pribadi dan stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat
positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai
suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak
menyenangkan. Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku
seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang
memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang
diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan
kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan
musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
2.3.6.3 Privasi
a. Pengertian
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang
pada suatu kondisi atau suatu situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
21
Tugas Akhir By Research
menyangkut keterbukaan atau ketertutupan yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan
orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya susah dicapai oleh orang lain
(Dibyo Hartono, 1986). Pada umumnya, privasi menekankan pada kemampuan seseorang
dalam mengontrol interaksi dengan orang lain. Rapoport (1988) mengatakan bahwa privasi
sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh
pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Altman
(1975) juga berpendapat privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses
kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi Altman mempunyai pengertian yang
luas. Pertama, hubungan sosial antara individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok. Kedua, privasi sebagai proses dua arah yaitu pengontrolan input yang masuk ke
individu dari luar atau dari individu ke pihak lain. Privasi juga memiliki pengertian sebagai
keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya, hal
tersebut dikemukakan oleh Laurens (2004). Privasi dijabarkan sebagai kemampuan seseorang
atau sekelompok orang untuk mengendalikan interaksi mereka dengan orang lain baik secara
visual, audial, maupun olfaktori untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sesuai
dengan yang dikatakan Amos.
Secara keseluruhan, inti dari privasi adalah adanya manajemen informasi dan
manajemen interaksi sosial sehingga akses pada dirinya sendiri dapat diartikan informasi
mengenai dirinya sendiri maupun berarti interaksi sosial dengan dirinya (Laurens, 2004).
b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Privasi
Privasi muncul karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dijabarkan
didalam Gunadarma (2011), yaitu:
1. Faktor Personal
Perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan
privasi. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (1987) menemukan adanya perbedaan
jenis kelamin akan mempengaruhi besarnya privasi seseorang.
2. Faktor Situasional
Tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain di sebabkan oleh setting rumah.
Setting rumah disini sangat berhubungan dengan seberapa sering para penghuni
berhubungan dengan orang, jarak antara rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah,
hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marshall (1987).
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
22
Tugas Akhir By Research
3. Faktor Budaya
Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian selatan India, menunjukkan
bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu dengan yang lain,
sehingga akan sedikit privasi yang di perolehnya orang-orang desa tersebut merasa
tidak betah bila berpisah dengan tetangganya.
c. Jenis Privasi
Privasi dapat dibagi menjadi enam jenis yang termasuk kedalam dua golongan, hal
tersebut dikemukakan oleh Gunadarma (2011) antara lain :
1. Golongan pertama, adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Hal ini terlihat
dari tingkah laku yang menarik diri. Terdapat tiga jenis, dimana jenis yang pertama
adalah keinginan menyendiri (solitude), privasi didapat dengan dibatasi oleh elemen
tertentu sehingga bebas melakukan apa saja dan bebas dari perhatian orang lain. Jenis
kedua adalah keinginan menjauh (seclusion), pada hal ini privasi didapat dengan
menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas.
Jenis terakhir adalah keinginan untuk intim dengan orang – orang (intimacy),
merupakan suatu keinginan untuk mendapatkan rasa intim dengan orang – orang
tertentu seperti kekasih, tetapi jauh dari orang lain. Privasi ini tidak diperoleh dari
lingkungan, melainkan terbangun melalui kegiatan.
2. Golongan kedua, adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang
terwujud dalam tingkah laku. Dimana seseorang hanya memberikan informasi yang
seperlunya saja (control of information). Pada golongan ini juga terdiri dari 3 jenis,
jenis pertama adalah keinginan merahasiakan diri sendiri (anonymity). Privasi ini
didapat ketika berada diantara sesama didaerah orang lain, sehingga seseorang bebas
berperilaku berbeda dengan yang biasa dilakukannya, namun tidak ingin diketahui
identitasnya. Sebagai contoh, para turis atau presiden yang berdandan seperti rakyat
biasa ketika berada ditengah – tengah suatu masyarakat guna mengetahui bagaimana
kehidupan
sesungguhnya
berjalan.
Jenis
kedua,
keinginan
untuk
tidak
mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve). Privasi ini adalah
dimana seseorang dapat mengontrol sepenuhnya kondisi bahwa ia tidak dapat
diganggu dan merasa aman karena memiliki barier psikologis terhadap adanya
gangguan. Hal ini dapat dilihat dari keinginan agar orang disekitar menghargai dirinya
yang ingin membatasi informasi tentang dirinya. Keinginan untuk tidak terlibat
dengan para tetangga (not neighboring) merupakan jenis ketiga, dimana privasi ini
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
23
Tugas Akhir By Research
timbul karena seseorang tersebut tidak suka bertetangga. Hal ini dapat diakibatkan
oleh beberapa faktor, baik dari latar belakang kehidupan ataupun faktor – faktor
khusus yang mengakibatkan orang tersebut tidak ingin bertetangga.
d. Tujuan Privasi
Privasi memiliki beberapa tujuan atau fungsi yang merupakan bagian dari komunikasi.
Laurens (2004) menyimpulkan beberapa tujuan dari privasi, antara lain :
1. Memberikan perasaan berdiri sendiri, mengembangkan identitas pribadi, dimana
privasi merupakan identitas dari ego seseorang atau identitas diri sendiri.hal ini dapat
digunakan seseorang untuk mengevaluasi diri, merenung bagaimana hidupnya telah
berjalan, bangaimana hubungannya dengan sesama, dan apa yang harus dilakukannya.
2. Memberikan kesempatan untuk melepaskan emosi, dimana dalam kesendirian
seseorang dapat berteriak, memandangi dirinya di cermin, berbicara pada dirinya
sendiri. Hal tersebut memampukan seseorang untuk tidak meluapkan emosinya
didepan umum, kecuali dalam peristiwa – peristiwa tertentu seperti kematian.
3. Membantu mengevaluasi diri sendiri, menilai diri sendiri.
4. Membatasi dan melindungi diri sendiri dari komunikasi dengan orang lain. Salah satu
alasan seseorang mencari privasi adalah untuk membatasi dan melindungi percakapan
yang dilakukannya dengan orang lain. Sebagai contoh, seseorang bila ingin berbicara
dengan temannya yang bersifat pribadi maka ia akan mencari suatu tempat yang
dianggapnya aman.
e. Pengaruh Privasi Terhadap Prilaku
Para ahli mengatakan bahwa privasi akan memberikan akibat atau pengaruh terhadap
perilaku manusia. Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang
penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan
social. Bila seseorang mendapatkan privasi seperti yang diinginkan maka ia akan dapat
mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri. Seorang ahli
bernama Maxine Wolfe mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat
dari pengalam tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya orang yang
terganngu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakan. Ketertutupan
terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi
kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan akan membantu individu dalam menjaga jarak
psikologis yang pas terhadap orang lain dalam situasi apa pun (Westin, 1982 ).
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
24
Tugas Akhir By Research
Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi
menjadi dua yaitu privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks
didalam kelompok sosial dan yang kedua , privasi membantu kita dalam memantapkan
perasaan identitas pribadi.
2.3.6.4 Ruang Personal (Personal Space)
a. Pengertian
Ruang Personal adalah suatu area dengan batas maya yang mengelilingi diri seseorang
dan orang lain tidak diperkenankan masuk kedalamnya (Laurens, 2004). Jadi, ruang personal
itu seolah seperti sebuah tabung yang menyelubungi kita, membatasi jarak dengan orang lain,
dan tabung itu dapat membesar atau mengecil tergantung dengan siapa kita sedang
berhadapan. Dengan kata lain, luas atau sempitnya tabung tersebut akan bergantung pada
kadar atau sifat huubungan individu dengan individu lainnya (Laurens, 2004). Ruang
personal juga dikatakan sebagai teritori portable yang dapat berpindah – pindah. Dimana,
ruang personal selalu mengelilingi orang yang bersangkutan dan mengikuti keberadaan orang
yang bersangkutan kemanapun ia berada.
Gambar 2.1 Ruang Personal
Sumber : Laurens (2004)
Menurut Laurens (2004), dalam kehidupan sehari – hari jarak yang diperkenankan oleh
seseorang terhadap orang lain bergantung pada bagaimana sikap dan pandangan orang yang
bersangkutan terhadap orang lain itu. Berdasarkan hal tersebut semakin akrab seseorang,
semakin dekat juga jarak yang diperkenankannya.
b. Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Ruang Personal
Secara umum ada tiga cara mengukur ruang personal (Laurens, 2004). Cara pertama
melalui metoda simulasi, dimana subjek diminta untuk membayangkan adanya orang yang
mendekatinya dari berbagai posisi, kemudian menandai pada lembar simulasi jarak yang
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
25
Tugas Akhir By Research
dianggap sudah menimbulkan rasa terganggu pada subjek yang bersangkutan. Cara kedua
adalah menggunakan metoda jarak henti, yaitu menempatkan partisipan pada beberapa posisi,
kemudian mendekati subjek yang berhentipada jarak yang dianggap mengganggunya.
Pengamatan alamiah di lapangan merupakan cara ketiga yang digunakan untuk mengukur
besarnya ruang personal seseorang.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat faktor yang mempengaruhi besarnya ruang
personal (Laurens, 2004)), antara lain :
1. Faktor Personal
Faktor personal meliputi beberapa hal, yaitu jenis kelamin, umur, tipe kepribadian dan
latar belakang budayanya. Wanita ataupun pria sama – sama membuat jarak dengan lawan
bicara yang berlainan jenis kelamin. Namun, menurut Altman (1975) salah satu kemungkinan
perbedaan besarnya ruang personal dalam kaitannya dengan jenis kelamin ini lebih
disebabkan oleh perbedaan dalam sosialisasi antara pria dan wanita daripada karena
perbedaan biologis.
Pada umumnya, semakin bertambah usia seseorang, semakin besar jarak ruang personal
yang akan terbentuk. Sebagai contoh, pada saat remaja ruang personal yang terbentuk
terhadap lawan jenis akan lebih besar dibandingkan pada saat anak – anak. Cook (1970)
berpendapat bahwa orang dengan kepribadian tidak mudah berteman dan pemalu (introver)
memerlukan ruang personal lebih besar daripada orang yang berkepribadian ekstrofer (mudah
bergaul, banyak teman). Latar belakang suku bangsa dan kebudayaan juga akan
mempengaruhi besarnya ruang personal seseorang (Gunadarma, 2011). Misalnya, orang
Jerman akan lebih formal dalam berkomunikasi karena mereka lebih menjaga jarak.
Sedangkan orang Arab cenderung berkomunikasi dengan sangat dekat (Gunadarma, 2011).
2. Faktor Situasi Lingkungan
Faktor situasi ini dapat dikelompokkan dalam beberapa situasi (Laurens, 2004),
yaitu situasi sosial, dimana daya tarik dan persahabatan membuat orang secara fisik menjadi
lebih berdekatan, tidak ada rasa takut atau terganggu oleh kehadirannya. Terdapatnya
kebersamaan dan kegembiraan akan mengurangi besarnya ruang personal seseorang. Faktor
lainnya adalah situasi fisik seperti penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap
ruang personal. Laurens (2004) melakukan sejumlah simulasi mengenai situasi koopertifkompetitif dan mendapati bahwa sudut orientasi menjadi penting. Dalam situasi kompetitif
orang akan memilih duduk berhadapan, sedangkan dalam kondisi kooperatif orang memilih
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
26
Tugas Akhir By Research
duduk berdampingan. Faktor terakhir adalah perbedaan status, semakin besar perbedaan status,
maka ruang personal yang terbentuk akan semakin besar. Sebagai contoh, seorang mahasiswa
yang akan makan dikantin akan lebih memilih duduk berdekatan dengan temannya,
dibandingkan duduk dengan dosen atau rektor karena perbedaan status sosial yang dirasakan.
2.3.6.5 Teritorialitas
a. Pengertian
Seperti halnya ruang personal, teritorialitas juga muncul akibat perwujudan ego
seseorang karena tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi
seseorang (Laurens, 2004). Berikut ini merupakan beberapa pengertian teritori menurut
beberapa sumber dalam Gunadarma (2011), antara lain :
1. Julian Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif,
personalialisasi, dan identitas
2. Teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat
yang ditempatinya atau area yang sering disebut melibatkan ciri kepemilikannya dan
pertahanan dari serangan orang lain menurut Holahan (1990) .
Teritorialitas atau teritori ini merupakan suatu tempat nyata, yang relative tetap dan
tidak berpindah – pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Sehingga teritori
dapat diartikan sebagai wilayah yang sudah dianggap menjadi milik seseorang. Misalnya,
kamar tidur seseorang adalah wilayah yang sudah dianggap menjadi hak seseorang. Jika ada
orang asing yang memasuki kamar tersebut tanpa izin maka pemilik kamar akan marah
karena merasa teritorinya dilanggar. Contoh lain adalah apabila ada orang yang menempati
bangku di kantin, kemudian ingin pergi sebentar untuk memesan makanan, maka ia akan
meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritorinya
(Laurens, 2004).
Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa teritorialitas adalah sebagai suatu pola
tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok
pada suatu tempat. Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas
ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
27
Tugas Akhir By Research
b. Klasifikasi Teritorialitas
Klasifikasi teritorialitas yang terkenal adalah klasifikasi yang dikemukakan oleh
Gunadarma (2011) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan
pencapaian. Ia menggolongkan teritorialitas menjadi tiga, antara lain :
1. Teritori Primer
Teritori ini merupakan tempat – tempat yang sangat pribadi sifatnya dan hanya boleh
dimasuki oleh orang – orang yang sudah sangat akrab saja atau yang sudah
mendapatkan izin khusus. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor.
2. Teritori Sekunder
Teritori sekunder adalah tempat – tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang
yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting
teritoriprimer dan kadang berganti pemakai, atau berbagi penggunaan dengan orang
lain. Misalnya ruang kelas, kantin, kampus, dan ruang latihan olahraga.
3. Teritori Publik
Tempat – tempat yang termasuk teritori publik adalah tempat – tempat terbuka untuk
umum. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk masuk didalamnya,
contohnya pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi. Namun terkadang teritori publik
dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok yang lain, seperti bar
atau diskotik yang hanya terbuka untuk orang dewasa.
Selain itu, Lyman dan Scott dalam Gunadarma (2011) juga membuat klasifikasi tentang
teritorialitas yang sebanding dengan Altman, yaitu:
1. Teritori Interaksi (Interactional Territories)
Teritori ini ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer dikendalikan oleh
sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuah tempat perkemahan yang
sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk berkemah dan lapangan sepak bola
yang digunakan untuk bertanding. Apabila terjadi intervensi terhadap area ini, hal
tersebut akan dianggap mengganggu. Sebagai contoh seorang anak masuk kedalam
lapangan bola yang sedang digunakan untuk bertanding.
2. Teritori Badan (Body Territory)
Teritori badan dibatasi oleh badan manusia,namun berbeda dengan ruang personal
karena batasannya bukanlah ruang maya melainkan kulit manusia. Artinya segala
sesuatu yang mengenai kulit manusia tanpa izin dianggap merupakan suatu gangguan.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
28
Tugas Akhir By Research
Pada rumah juga terdapat pembagian zona ruang berdasarkan tingkat privasi dari ruang
yang bersangkutan tersebut. Rumah – rumah tersebut ditata mengikuti alur ruang publik –
semi privat – privat. Ruang publik merupakan ruang yang dapat dimasuki oleh semua orang
dengan seijin pemilik rumah. Ruang semi privat adalah ruang yang dapat dimasuki oleh
orang – orang tertentu yang dikehendaki oleh pemilik rumah saja, sedangkan ruang privat
adalah ruang yang hanya terbatas untuk pemilik rumah saja, atau anggota keluarga (Hindarto,
2009). Pembagian ruang tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Teras (publik)
2. Ruang Tamu (publik)
3. Ruang keluarga (semi privat)
4. Ruang makan (semi privat)
5. Kamar tidur (privat)
6. Kamar mandi (privat)
Berdasarkan hal tersebut kegiatan penghuni didalam rumah dapat dibedakan juga
menjadi kegiatan privat, semi privat, dan non privat, kegiatan tersebut yaitu:
Pelaku
Ayah
Privat
Tidur, mandi, ganti baju,
sembahyang, berhubungan
intim
Ibu
Tidur, mandi, ganti baju,
sembahyang, berhubungan
intim, menidurkan anak.
Anak Remaja
Putra
Tidur, mandi, ganti baju,
sembahyang,
Anak Remaja
Putri
Tidur, mandi, ganti baju,
sembahyang,
Kegiatan
Semi Privat
Makan,
bersantai,
menonton,
berkumpul bersama
keluarga, pertemuan
keluarga.
Makan,
bersantai,
menonton, memasak,
mencuci, berkumpul
bersama
keluarga,
pertemuan keluarga,
Makan,
bersantai,
menonton,
belajar,
berkumpul bersama
keluarga.
Makan,
bersantai,
menonton,
belajar,
berkumpul bersama
keluarga.
Non Privat
Menerima
tamu,
mengobrol
dengan
tetangga.
Menerima
mengobrol
tetangga.
tamu,
dengan
Menerima
mengobrol
tetangga.
tamu,
dengan
Menerima
mengobrol
tetangga.
tamu,
dengan
Tabel 2.3 Tabel Kegiatan
Berdasarkan Tingkat Privasi
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
29
Tugas Akhir By Research
Bersantai dan berkumpul
bersama
24.00
24.00
Tidur Malam
IBU
Belajar
AYAH
Sholat Subuh
Pulang Kerja
Tidur
ANAK
Menyiapkan makan Malam
Menyiapkan Sarapan
Mandi
18.00
18.00
06.00
06.00
Sholat
Anak
Bermain
Ayah
Mandi, bersiap kerja dan
sekolah
Ke pasar atau warung
Membersihkan Rumah
Ibu
Bersantai dan istirahat
Berangkat ke Kantor dan sekolah
12.00
Memasak
Pulang sekolah dan makan siang
Makan Siang
Membersihkan rumah
Istirahat dan Sholat
Diagram 2.1 Kegiatan Penghuni
Di Rumah dalam Sehari
Berdasarkan diagram 2.1 dapat dilihat bahwa dalam satu hari kepadatan tertinggi didalam
rumah terjadi pada sore hingga malam hari. Hal tersebut dikarenakan semua penghuni berada
di dalam rumah, bahkan melakukan aktivitas didalam ruangan yang sama secara bersamasama.
c. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Teritorialitas
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi teritori (Laurens, 2004), antara lain :
1. Faktor Personal
Karakteristik seseorang seperti jenis kelamin, usia dan kepribadian diyakini
mempunyai pengaruh terhadap teritorialitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Mercer dan Benyamin (1980) pada sebuah asrama. Didapati bahwa pria
menggambarkan teritori yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.
2. Situasi
Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi perilaku penghuni
sedemikian rupa. Suatu penghalang yang nyata dapat digunakan untuk memisahkan
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
30
Tugas Akhir By Research
teritori publik dan pribadi. Dengan adanya peluang bagi pemilik teritori untuk
melakukan pengamatan daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi
kriminalitas dalam teritori tersebut.
3. Faktor Budaya
Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori antara orang yang satu dengan yang
lain. Smith (1981) pada penelitiannya mengenai orang Jerman dan Perancis
mengatakan bahwa orang Perancis memiliki sikap teritorialitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang Jerman. Dimana orang Perancis mengganggap bahwa
pantai itu milik semua orang, sedangkan orang Jerman lebih banyak memberi tanda
kepemilikan dengan membuat istana pasir.
d. Teritorialitas dan Perilaku
Menurut Laurens (2004) teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam
personalisasi, agresi, dominasi, memenangkan, koordinasi, dan kontrol. Hal tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Personalisasi dan Penandaan
Personalisasi dan penandaan berupa pemberian nama dan tanda yang ditempatkan
pada lokasi yang strategis. Seperti membuat pagar batas dan memberi papan nama
yang menyatakan tanda kepemilikan. Perilaku personalisasi bisa juga dilakukan
secara verbal. Contohnya seorang adik berkata kepada kakaknya “Ini mejaky, pergi.”
2. Agresi
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras apabila
pelanggaran terjadi di teritori primernya.
3. Dominasi dan Kontrol
Dominasi dan kontrol pada umumnya lebih banyak terjadi pada teritori primer.
Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori
menjadi penting. Hal ini berarti bahwa tatanan tersebut mampu memenuhi beberapa
kebutuhan dasar manusia yaitu keutuhan akan identitas yang berkaitan dengan
kepemilikan harga diri.
2.3.7 Teori Psikologi Lingkungan
Psikologi lingkungan adalah salah satu disiplin ilmu yang mempelajari dan
memperhatikan mengenai hubungan perilaku manusia dengan lingkungan fisik (Gunadarma,
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
31
Tugas Akhir By Research
2011). Psikologi lingkungan ini memberikan perhatian terhadap manusia, tempat, perilaku
dalam hubungangannya dengan setting fisik. Setting fisik tersebut tidak hanya berhubungan
dengan rangsangan fisik saja seperti dengan cahaya, sound, kepadatan, dll. Lebih dari itu
setting fisik juga meliputi dimana orang tersebut tinggal, berinteraksai, dan beraktivitas.
Dalam hal hubungan antara lingkungan dengan perilaku, dimana lingkungan
mempengaruhi perilaku dengan empat cara (Gunadarma, 2011), yaitu:
1. Lingkungan menghalangi perilaku. Sebagai contoh adalah dinding kamar membatasi
seberapa jauh kita dapat berjalan didalamnya, ketinggian meja akan pempengaruhi
bagaimana cara seorang duduk, jumlah orang didalam kamar akan mempengaruhi rasa
kenyamanan kita.
2. Lingkungan mendatangkan perilaku dan menentukan bagaimana kita harus bertindak.
Salah satu contoh adalah ketika kita masuk ke dalam rumah ibadah maka kita dituntut
untuk tenang, kemudian udara yang panas akan membuat kita mengipas – ngipas agar
terasa sejuk.
3. Lingkungan membentuk kepribadian. Dimana perilaku yang dibatasi lingkungan
dapat menjadi bagian tetap dari diri, yang menentukan arah perkembangan
keperibadiannya pada masa waktu yang akan datang.
4. Lingkungan akan mempengaruhi citra diri. Dalam hal ini seseorang akan merasa
lingkungan yang ada disekitar mereka akan mempengaruhi citra diri mereka ketika
dipandang orang. Contohnya adalah seorang direktur akan menggunakan benda –
benda yang bagus di dalam ruangannya agar menunjukan ia memiliki posisi yang
tinggi pada kantor tersebut.
Pada umumnya lingkungan yang ada disekitar kita akan menentukan apa yang dapat
kita lakukan dan apa yang harus kita lakukan. Pendekatan teori dalam psikologi lingkungan
menurut Halim (2007) terdiri dari beberapa hal antara lain: teori kendala perilaku, teori
tingkat adaptasi, dan teori ekologi.
1. Teori kendala perilaku, dimana teori ini memfokuskan pada kenyataan, atau perasaan,
kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini , lingkungan
dapat mencegah, membatasi, atau mencampuri perilaku penghuni. Teori ini
berkeyakinan bahwa dalam keadaan tertentu seseorang benar-benar kehilangan
beberapa tingkatan kendali terhapap lingkungannya.
2. Teori tingkat adaptasi, nilai dari pendekatan ini adalah adanya pengenalan tingkat
adaptasi pada individu, misalnya tingkat adaptasi dimana pada akhirnya individu
terbiasa dengan lingkungannya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
32
Tugas Akhir By Research
lingkungan tertentu. Perbedaan individu dalam hal tingkat adaptasi menyebabkan
adanya perbedaan tingkah laku.
3. Teori ekologi, merupakan pusat dari pemikiran para ahli ekologi adalah gagasan
tentang kecocokan manusia dan lingkungannya. Lingkungan dirancang sehingga
memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Seting perilaku menurut istilah Roger
Barker adalah evaluasi kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi
pada konteks lingkungan tersebut.
2.3.8
Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku
Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan
konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik
tersebut dapat diidentifikasikan. Tentu saja apa yang dibahas tidak lantas menjadi demikian
sederhana bahwa manusia semuanya berperilaku ajeg dalam suatu tempat dan waktu tertentu.
Tapi umumnya frekuensi kegiatan yang terjadi pada suatu setting baik tunggal ataupun
berkelompok dengan setting lain menunjukkan suatu yang konstan, tetap sepanjang waktu.
Ini menunjukkan bahwa tidak hanya karakter dan pola tetap perilaku yang dapat dideteksi
dalam hubungannya dengan suatu setting tapi juga kemungkinan yang muncul seperti pola
tanggapan perilaku yang terkadang dapat berubah menjadi sebaliknya (Hadinugroho, 2002).
Menurut Hadinugroho (2002), dari data yang didapat pada riset perilaku tidak
dimaksudkan bahwa asumsi itu hanya sebagian benar, tapi yang lebih penting adalah
keyakinan bahwa hal tersebut menyederhanakan pengertian hubungan antara perilaku
manusia dan setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tidur itu secara tetap
digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan tidak hanya
untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial. Rossenberg dan Holuland
(1975) menerangkan hubungan antara stimuli dan terjadinya sikap sebagaimana diterangkan
sebagai berikut :
Diagram 2.2 Stimuli Terhadap Sikap
Sumber : Hadinugroho (2002)
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
33
Tugas Akhir By Research
2.3.9
Jenis – Jenis Furnitur
Furnitur merupakan salah satu hal yang tidak terlepas dari kebutuhan manusia didalam
rumah. Pengertian furnitur adalah mebel, perkakas atau perabotan rumah tangga seperti kursi,
meja, tempat tidur, dll (Stik, 2011). Berikut ini adalah jenis – jenis furnitur yang dijelaskan
oleh Nyeni Interior (2011) :
1. Furnitur Free Standing
Furnitur free standing adalah furnitur yang paling banyak dan paling mudah
ditemukan. Furnitur ini bersifat tidak permanen atau dengan kata lain dapat digeser
dan dipindahkan. Jenis furnitur ini dibagi lagi menjadi dua jenis berdasarkan
flesibelitasnya yakni semi fix dan non fix. Semi fix dimana jenis furnitur ini memiliki
tingkat fleksibelitas sedang, dan pada umumnya letaknya tetap jarang untuk
dipindahkan. Sebagai contoh adalah lemari baju, tempat tidur dengan ranjang kayu,
springbed, dll. Non fix furnitur merupakan furnitur dengan tingkat kemudahan
dipindahkan sangat tinggi. Pada umumnya furnitur ini berukuran kecil, ringan, dan
memiliki bentuk yang simple, contohnya adalah meja tulis, single kursi, tempat tidur
matras, dll.
2. Furnitur Built In
Furnitur built in merupakan furnitur yang di pasang mengikuti keadaan suatu ruang
dan setelah terpasang tidak mungkin untuk digeser atau dipindahkan. Furnitur ini
sangat fungsional, karena setiap jengkal ruang dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Dengan kata lain furniture ini sangat sesuai untuk rumah mungil dan apartemen
karena membuat ruangan lebih terlihat rapi dan kompak.
3. Furnitur Knockdown
Furnitur knockdown merupakan furnitur yang mudah dibongkar pasang. Furniture ini
sangat sesuai dengan penghuni yang sering berpindah tempat tinggal. Sifat yang
fleksibel dan ringkas saat diangkut merupakan nilai lebih. Tetapi untuk furnitur
knockdown
yang
berukuran
besar
tetap
membutuhkan
tukang
untuk
membongkarnya, seperti lemari pakaian, rak buku, dan workstation atau office system.
4. Furnitur Mobile
Furnitur mobile yaitu furnitur yang dapat bergerak dan mudah dipindah
pindahkan. Furnitur ini biasanya menggunakan elemen pendukung, yaitu roda pada
bagian bawahnya atau dibagian kaki-kakinya.
BAB II – Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
34
Tugas Akhir By Research
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini mengambil Kampung Jawa sebagai studi kasus dengan tujuan untuk
memperoleh hasil penelitian berupa varian luas rumah tinggal, gambaran tata setting kegiatan
penghuni yang tinggal didalamnya serta hubungan antara luas rumah tinggal dengan tata
setting kegiatan penghuni yang terbentuk didalamnya. Penelitian ini didukung dengan teori –
teori berupa teori perilaku, teori psikologi lingkungan serta teori mengenai pengaruh
lingkungan fisik terhadap perilaku. Model penelitian ini dapat dilihat seperti pada diagram
2.3 dibawah ini.
Hubungan antara Luas Lantai Rumah
dan Tata Setting Kegiatan Penghuninya
Metode
Observasi
Kuesioner
Wawancara
Latar Belakang
Adanya kebiasaan penduduk mensetting
ruang sebelum melakukan kegiatan yang
diduga berkaitan erat dengan luas rumah.
Variabel
Luas Rumah
Tata setting kegiatan Penghuni
Analisa
Hubungan antara Luas
rumah dan tata setting
kegiatan
Teori
Pemukiman
Teori Perilaku
Teori Psikologi Lingkungan
Furnitur
Rumusan Masalah
Seperti apa gambaran varian luas lantai
dasar rumah di Kampung Jawa, Denpasar?
Seperti apa gambaran tata setting kegiatan
Gambaran varian luas lantai
dasar rumah
Gambaran tata setting
kegiatan
yang terjadi?
Seperti apa hubungan antara luas lantai
rumah dan tata setting kegiatan yang
Hubungan antara luas lantai
rumah dan tata setting
kegiatan penghuninya
terjadi?
2.3 Model Penelitian
BAB II – Hubungan antara luas Diagram
lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung
Jawa, Denpasar
35
Download