ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA: EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan Analisis Komoditas Kopi dan Karet Indonesia : Evaluasi Kinerja Produksi, Ekspor dan Mafaat Keikutsertaan dalam Asosiasi Komoditas Internasional dapat selesai tepat pada waktunya. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak yang turut serta dalam penyelesaian penyusunan laporan analisis ini. Semoga analisis yang kami susun ini bermanfaat bagi yang membacanya. Jakarta, September, 2014 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri i ABSTRAK ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MAFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL Keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional Kopi dan Karet perlu dievaluasi peluang dan manfaatnya. Sehingga dapat memberikan keuntungan bagi kepentingan Indonesia. Indonesia memproduksi dua macam jenis kopi, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika termasuk jenis yang dapat tumbuh optimal 1000 meter dpl, sedangkan lahan seperti itu umumnya merupakan lahan hutan di Indonesia. Berbeda dengan kopi jenis robusta yang dapat tumbuh optimal di dataran yang lebih rendah, hal inilah yang menyebabkan proporsi produksi kopi Indonesia rata-rata lebih dari 80% adalah jenis kopi robusta. International Coffee Organization atau ICO adalah organisasi utama antar pemerintah untuk kopi, menjadi wadah bersama bagi exportir dan importir kopi untuk menghadapi tantangan sektor kopi global. Organisasi ini diinisiasi untuk kolaborasi dengan PBB dalam meningkatkan kerjasama antara negara konsumen kopi, distributor dan produsen. Anggota Pemerintahan yang masuk ke dalam ICO mewakili 94% produksi kopi dunia dan lebih dari 75% konsumsi kopi dunia. Karet merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Produksi karet Indonesia pada tahun 2013 mencapai 3,18 juta ton, sekitar 16% dari produksi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik (Ditjenbun, Kementan). ii Besarnya hasil karet Indonesia harus mampu dimanfaatkan untuk mengembangkan hilirisasi produk karet Indonesia. Saat ini baru 16% produksi karet Indonesia digunakan untuk industri domestik. Perlu keseriusan pemerintah dalam membuat peta jalan hilirisasi karet. Selain itu, berbagai insentif fiskal dalam indutri ini perlu di evaluasi dalam mendorong perkembangan industri karet dalam negeri. Sehingga rantai industri dapat berjalan dari hulu sampai hilir dengan baik. Struktur pasar kopi yang terfragmentasi dengan tiap negara/daerah, memiliki rasa yang berbeda, peran pembeli yang kuat, potensi premium yang lebih kecil. Karet adalah komoditas yang mendekati sifat homogen dan Indonesia diproyeksikan akan mendapatkan manfaat lebih besar (US$ 78,21 – 312,84 juta dolar) bila para produsen dapat mengkoordinasikan kebijakannya. Hasil karet Indonesia juga dapat digunakan untuk mendorong industri dalam negeri yang selama ini belum dapat menyerap produksi. Apalagi International Rubber Study Group (IRSG) mempunyai peran yang cukup besar serta datanya menjadi referensi, sehinggi studi ini merekomendasikan keanggotaan pada IRSG. Kata kunci: Kopi, International Coffee Organization, Karet, International Rubber Study Group iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii ABSTRAK iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 1 1.3 Tujuan Penelitian 2 1.4 Manfaat Penelitian 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Penelitian Terdahulu BAB BAB 3 III METODOLOGI 4 IV ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv 5 33 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Lima Negara Utama Penghasil Karet (Akhir 2012) 20 Tabel 4.2 : Skenario Premium Komoditas 32 v DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Produksi, Ekspor, Impor dan Persediaan Kopi Dunia (dalam Ton) Gambar 4.2: Harga Kopi Dunia Periode 1998-2014 ($/kg, nominal$) Gambar 4.3: Negara Penghasil Kopi Dunia (juta ton) Gambar 4.5: Negara Importir Kopi Utama Dunia Gambar 4.6: Produksi, Ekspor, Impor dan Konsumsi (dalam Ton) Gambar 4.7: Produksi Kopi Arabika dan Robusta Indonesia Gambar 4.8: Produksi Karet Dunia Gambar 4.9: Harga Karet Dunia Periode 1998-2014 (Pasar Singapore, $/kg, nominal$) Gambar 4.10: Persentase Eksportir Utama Karet Dunia 2012 Gambar 4.11: Negara Penghasil Utama Karet Dunia 2012 Gambar 4.12: Konsumsi Karet Dunia Gambar 4.13: Persentase Konsumsi Karet Alam Dunia 2012 Gambar 4.14: Produksi dan Ekspor Karet Alam Indonesia Gambar 4.15: Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia vi 6 7 9 10 12 13 18 19 20 21 22 23 24 25 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1 Hasil Regresi Lampiran 1.2 Tabel Premium Kartel Internasional Lampiran 1.3 Kuesioner vii 1 2 5 COMMODITY ANALYSIS OF COFFEE AND RUBBER INDONESIA: PERFORMANCE EVALUATION OF PRODUCTION, EXPORTS AND mafaat PARTICIPATION IN ASSOCIATION INTERNATIONAL COMMODITIES Indonesia's involvement in international organizations Coffee and Rubber opportunities and benefits need to be evaluated. So it can provide benefits for the benefit of Indonesia. Indonesia produces two types of coffee, the coffee arabica and robusta coffee. Arabica coffee including types that can grow optimally 1000 feet above sea level, while the land as it is generally a forest in Indonesia. Unlike the robusta that can grow optimally at lower ground, this is what causes the proportion of Indonesian coffee production averaged more than 80% is kind of robusta coffee. International Coffee Organization, is the main intergovernmental organization for coffee, into a container exporters and importers together for coffee to face the challenges of the global coffee sector. The organization initiated a collaboration with the United Nations to promote cooperation among countries in coffee consumers, distributors and manufacturers. Government members who enter into the International Coffee Organization represents 94% of world coffee production and more than 75% of world coffee consumption. Rubber is one of the leading commodity in Indonesia. Indonesian rubber production in 2013 reached 3.18 million tons, about 16% of the production is used to meet domestic needs (Ministry of Agriculture). The magnitude of the result of the Indonesian rubber should be able to be utilized to develop the Indonesian downstream rubber products. Currently only 16% of Indonesia's rubber production is used for domestic industry. It should be the government's seriousness in making a road map downstream rubber. Moreover, various fiscal incentives in these industries need to be evaluated in encouraging the development of the rubber industry in the country. So the industry chain can be run from upstream to downstream well. The structure of the coffee market is fragmented with each country/region, has a different taste, a strong buyer role, the potential for a smaller premium. Rubber is the homogeneous nature of the commodity approach and Indonesia is projected to gain greater benefit (USD 78.21 to 312.84 million dollars) when the manufacturer can coordinate policies. Results of Indonesian rubber can also be used to encourage the domestic industry has not been able to absorb the production. Moreover, the International Rubber Study Group has a considerable role as well as the data to a reference, this study recommends IRSG membership. Keywords: Coffee, International Coffee Organization, Rubber, International Rubber Study Group BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia setelah Brazil dan Vietnam dalam produksi kopi di tahun 2013. Adapun untuk produksi karet alam di dunia, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Thailand. Besarnya produksi kopi dan karet Indonesia masih belum mampu diserap industri domestik. Sebagian besar dari produksi kopi dan karet Indonesia di ekspor, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri. Hal ini disebabkan belum kuatnya industri hilir karet, serta kurangnya budaya minum kopi masyarakat Indonesia. Besarnya proporsi komoditas kopi dan karet Indonesia meningkatkan salah satu pendorong devisa. Hal tersebut membantu meningkatkan nilai ekspor non-migas Indonesia. Terlebih kopi adalah komoditas setelah minyak dan gas yang paling diminati. Perlunya peningkatan nilai tambah dua komoditas tersebut sebelum diekspor tentu akan memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia, pemerintah perlu serius memperhatikan tumbuh-kembangnya hilirisasi industri dua komoditas tersebut. Keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional Kopi dan Karet perlu dievaluasi peluang dan manfaatnya. Sehingga dapat memberikan keuntungan bagi kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, perlu disusun langkah-langkah dalam memaksimalkan peran Indonesia untuk menjaga harga dua komoditas tersebut tetap stabil pada tingkat yang menguntungkan. 1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi produksi, ekspor, impor, konsumsi kopi dan karet dunia? 2. Bagaimana kondisi produksi, ekspor, impor, konsumsi kopi dan karet Indonesia? 3. Bagaimana gambaran negara produsen dan eksportir kopi dan karet dunia? 4. Peran Indonesia dalam produksi dan ekspor kopi dan karet serta asosiasinya? 5. Kesimpulan dan rekomendasi terkait keikutsertaan saat ini dalam Asosiasi Produsen Komoditi Internasional? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menentukan sikap akan keikutsertaan Indoneisa dalam asosiasi kopi atau karet internasional dilihat dari potensi manfaat yang didapat. 1.4 Manfaat Penelitian Kebijakan untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia dalam asosiasi komoditi internasional kopi dan karet untuk melihat manfaat yang diberikan bagi Indonesia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian dan merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar bagi kebanyakan negara berkembang. Pembangunan pertanian antara lain ditujukan untuk mencapai pertumbuhan, sustainability, stabilitas, pemerataan dan efisiensi (Warren C. Baum, 1988, dikutip dari Persveranda, 2005). Di Indonesia komoditas kopi merupakan salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai andil cukup penting penghasil devisa ketiga terbesar setelah kayu dan karet. Kopi sebagai tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang menarik bagi banyak negara terutama negara berkembang, karena perkebunan kopi memberi kesempatan kerja yang cukup tinggi dan dapat menghasilkan devisa yang sangat diperlukan bagi pembangunan nasional (Spillane, 1990). BAB III METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif seperti dilakukan dengan regresi multivariabel. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) narasumber terkait di Jakarta, Medan, Palembang dan Lampung. Uji empirik yang dilakukan dalam studi ini ditujukan untuk melihat pengaruh dari konsentrasi pasar terhadap overcharge atas harga komoditas tersebut karena adanya asosiasi internasional yang berperan dalam penentuan harga. Hal tersebut sejalan dengan tujuan utama studi ini, yaitu untuk mengevaluasi keikutsertaan Indonesia dalam asosiasi komoditas di tingkat internasional. BAB IV ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL 4.1 Kopi 4.1.1 Produksi dan Harga Kopi Dunia Produksi kopi dunia mulai 2009/2010 sampai 2012/2013 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhannya mencapai 6,1% selama tiga musim terakhir. Peningkatan produksi tertinggi antara musim 2009/2010 sampai 2010/2011 sebesar 9,3% menjadi 8,3 juta ton kopi. Pertumbuhan ini sebagian besar di topang peningkatan produksi kopi jenis Arabika yang tumbuh 13,8% menjadi 5,2 juta ton, dan pertumbuhan produksi kopi Robusta 2,5% menjadi 3,2 juta ton. Pada musim 2012/2013 produksi kopi dunia mencapai 9,19 juta ton, rekor produksi terbesar. Musim 2013/2014 diprediksi terjadi penurunan produksi sebesar minus 1,8% dari periode sebelumnya menjadi 9 juta ton kopi 1. 1, 2United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, Circular Series Desember 2013 Grafik 4. 1: Produksi, Ekspor, Impor dan Persediaan Kopi Dunia (dalam Ton) Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah Ekspor kopi dunia selama lima tahun terakhir terus meningkat, rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya sekitar 4,2%. Pertumbuhan ekspor terbesar terjadi di musim 2009/2010 sampai 2010/2011 sebesar 10,3% menjadi 6,8 juta ton. Pada musim 2012/2013 merupakan rekor ekspor terbesar sebesar 6,9 juta ton. Proyeksi untuk musim 2013/2014 tumbuh 0,6% dibandingkan tahun sebelumnya menembus 7 juta ton. Rata-rata impor kopi selama lima musim terakhir tumbuh sebesar 4% tiap tahunnya, proyeksi pertumbuhan impor untuk musim 2013/2014 turun sedikit sekitar 0,001% dari musim sebelumnya menjadi 6,7 juta ton. Rata-rata konsumsi kopi global dari musim 2009/2010 sampai 2013/2014 tumbuh 1,3% tiap musimnya (termasuk proyeksi musim 2013/2014). Penurunan terbesar konsumsi terjadi di musim 2010/2011, turun 2,5% menjadi 8 juta ton dibanding musim sebelumnya. Untuk persediaan kopi global rata-rata tumbuh 6,9% tiap tahunnya. Penurunan pertumbuhan terbesar terjadi di musim 2011/2012 sebesar minus 11,6% menjadi 1,5 juta ton. Di musim selanjutnya 2012/2013 terjadi kenaikan persediaan tertinggi sebesar 33% menjadi 2,02 juta ton. 7 6 5 4 3 2 1 1998M01 1998M07 1999M01 1999M07 2000M01 2000M07 2001M01 2001M07 2002M01 2002M07 2003M01 2003M07 2004M01 2004M07 2005M01 2005M07 2006M01 2006M07 2007M01 2007M07 2008M01 2008M07 2009M01 2009M07 2010M01 2010M07 2011M01 2011M07 2012M01 2012M07 2013M01 2013M07 2014M01 0 Coffee, Arabica, $/kg, nominal$ Coffee, Robusta, $/kg, nominal$ Grafik 4.2: Harga Kopi Dunia Periode 1998-2014 ($/kg, nominal$) Sumber: International Coffee Organization; Thomson Reuters Datastream; World Bank, diolah Gambar 4.2 menyajikan data bulanan harga kopi dimana sejak tahun 1998 harga cenderung menurun sampai 2002 lalu menanjak dengan puncaknya pada US$ 6,6 pada April 2011. Pola pergerakan kopi arabika dan robusta cenderung mirip sampai 2009 dimana arabika naik drastis untuk lalu mencapai titik terendah pada US 2,84 di Oktober 2013. Harga kopi Robusta sejak pertengahan 2008 relatif stabil pada US$ 2 per kg. 4.1.2 Negara Penghasil dan Eksportir Kopi Dunia Brazil adalah raksasa di sektor kopi dengan produksi dua kali lipat dari pesaing terdekatnya (Vietnam) dan enam kali lipat Indonesia yang berada di urutan ketiga. Produksi kopi Brazil diperkirakan turun 5,3% pada musim 2013/2014 menjadi 3,18 juta ton dari musim sebelumnya, ini disebabkan pohon kopi arabika memasuki penurunan siklus produksi setiap dua tahunan. Setelah tiga tahun melakukan ekspansinya, panen kopi robusta diperkirakan akan menyumbang dalam penurunan total produksi Brazil. Penurunan ini karena curah hujan yang tidak teratur dan suhu rata-rata diatas batas wajar. Nilai ekspor kopi Brazil diproyeksikan tumbuh 1,3% pada musim 2013/2014 menjadi 1,65 juta ton, lebih dari satu perempatnya diekspor ke Uni Eropa. Gafik 4.3: Negara Penghasil Kopi Dunia (juta ton) Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service Produksi Vietnam diperkirakan mencapai rekornya pada musim 2013/2014 sebesar 1,71 juta ton, naik 7,5% dari tahun sebelumnya. Peningkatkan ini disebabkan oleh cuaca yang menguntungkan dan daerah panen yang semakin luas. Luas panen kopi Vietnam terus berkembang dan kemungkinan diatas 625 ribu hektar. Ekspor kopi Vietnam diproyeksikan naik 3,8% pada musim 2013/2014 menjadi sekitar 1,47 juta ton biji kopi, 25% ekspornya dengan tujuan Uni Eropa. Grafik 4.4: Negara Ekportir Utama Dunia Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service Amerika Tengah dan Meksiko tercatat memiliki produksi seperlima dari produksi kopi arabika global. Dalam wilayah ini, pada musim 2013/2014 diproyeksikan terjadi penurunan kopi sebesar 8,2% menjadi 1,01 juta ton. Ini disebabkan oleh penyakit yang menyerang daun kopi menyebabkan berkurangnya kapasitas fotosisntesis dan berpengaruh terhadap hasil panen. Nilai ekspor wilayah ini diproyeksikan turun 54 ribu ton menjadi 864 ribu ton. Sementara produksi kopi Kolumbia diperkirakan sebesar 600 ribu ton pada musim 2013/2014, naik sedikit dari musim sebelumnya. Sementara nilai ekspornya diproyeksikan meningkat 54 ribu ton naik 11,1% menjadi 540 ribu ton. Produksi India diperkirakan akan menurun 3,4% pada musim 2013/2014 menjadi 307 ribu ton. Hal ini disebabkan hujan yang lebat selama musim hujan di daerah penghasil kopi terbesar di India yang mempengaruhi hasil panen. Nilai ekspor kopi India diproyeksikan akan turun 2% menjadi 220 ribu ton pada musim 2013/2014. Produksi kopi Indonesia menempati urutan ke-3 terbesar setelah Brazil (36,6%) dan Vietnam (17,2%) pada musim 2012/2013. Meskipun masuk peringkat ke-3 dunia, namun produksi Indonesia hanya 6,8% dari total produksi dunia, sedikit diatas Kolumbia yang berada di posisi ke-4 sebesar 6,4%. Sementara itu, Indonesia menempati urutan ke-4 (6,8%) atau 360 ribu ton kopi di musim 2012/2013 dalam ekspor kopi setelah Brazil (26,6%), Vietnam (23,2%) dan Kolumbia (7,9%). 4.1.3 Negara Konsumen dan Importir Kopi Utama Dunia Uni Eropa tercatat menyumbang hampir setengah dari impor biji kopi dunia dan diperkirakan akan meningkat 1,4% pada musim 2013/2014 menjadi 2,73 juta ton. Dengan pemasok utama kopi untuk Uni Eropa seperti Brazil (28%), Vietnam (25%) dan Honduras (7%). Tingginya konsumsi kopi di Eropa karena kopi sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat, dan produk-produk dari biji kopi berkembang dengan baik di Eropa. Grafik 4.5: Negara Importir Kopi Utama Dunia Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah Seperti halnya di Eropa, minum kopi di Amerika Serikat pun sudah menjadi budaya. Hampir setiap blok kota di Amerika Serikat memiliki kedai kopi. Hal inilah yang menyebabkan konsumsi kopi disana cukup tinggi dan menempatkan Amerika Serikat menjadi negara pengimpor terbesar ke-2 setelah Eropa atau sekitar 23,5% dari total impor dunia. Pada musim 2013/2014 diproyeksikan impor biji kopi Amerika Serikat naik sedikit sebesar 0,6% menjadi 1,4 juta ton biji kopi. Ada beberapa negara yang menjadi pemasok utama biji kopi Amerika Serikat, antara lain Brazil (25%), Vietnam (18%) dan Kolumbia (13%). Jepang menempati urutan ke-3 importir kopi dunia dengan impor 6,7% dari total impor dunia, masyarakat jepang sendiri terbiasa dengan budaya minum kopi instan. Di Jepang, banyak terdapat mesin penjual kopi otomatis yang memudahkan warganya mengonsumsi kopi. Pada musim 2013/2014 impor kopi Jepang diproyeksikan akan menurun 10,2% bila dibandingkan dengan musim sebelumnya menjadi 402 ribu ton. 4.1.4 Kopi Indonesia Produksi kopi Indonesia rata-rata tumbuh 1,4% tiap musim, namun penurunan produksi terjadi di beberapa musim terakhir. Seperti di musim 2010/2011 yang turun minus 11,2% dari musim sebelumnya menjadi 559 ribu ton. Produksi kopi Indonesia juga turun di musim selanjutnya, turun 11% menjadi 498 ribu ton. Pada musim 2013/2014 produksi kopi Indonesia diproyeksikan akan turun minus 9,5% dari musim sebelumnya. Hal ini karena musim kemarau yang datang di awal musim mengurangi pembungaan tanaman kopi, sementara hujan yang berlebihan mengurangi hasil panen. Selain itu, kurang lebih 60% luas lahan perkebunan kopi Indonesia telah berumur diatas 25 tahun yang menyebabkan turunnya produktivitas kopi Indonesia (Ditjenbun 2012). Grafik 4.6: Produksi, Ekspor, Impor dan Konsumsi (dalam Ton) Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah Sebagian besar produksi kopi Indonesia diekspor, rata-rata ekspor kopi Indonesia 67,7% dari total produksi tiap tahunnya. Besarnya ekspor ini mengingat konsumsi dalam negeri masih rendah, tidak sampai seperempat dari produksi kopi Indonesia. Pada tahun 2013/2014 ekspor kopi Indonesia diprediksi turun 13%, hal ini seiring dengan menurunnya produksi kopi kita. Untuk impor kopi, beberapa musim terakhir impor kita menurun seperti musim 2010/2011 turun 0,9% menjadi 33,9 ribu ton kopi dan 2012/2013 turun 29,6% menjadi 64,8 ribu ton. Namun pada musim 2011/2012, impor naik 171,7% menjadi 92,1 ribu ton dari tahun sebelumnya. Hal ini seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri yang naik 40,8% dari tahun sebelumnya menjadi 142,8 ribu ton. Grafik 4.7: Produksi Kopi Arabika dan Robusta Indonesia Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah Indonesia memproduksi dua macam jenis kopi, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika termasuk jenis yang dapat tumbuh optimal 1000 meter dpl, sedangkan lahan seperti itu umumnya merupakan lahan hutan di Indonesia. Berbeda dengan kopi jenis robusta yang dapat tumbuh optimal di dataran yang lebih rendah, hal inilah yang menyebabkan proporsi produksi kopi Indonesia ratarata lebih dari 80% adalah jenis kopi robusta. Pada musim 2012/2013 produksi kopi arabika Indonesia 99 ribu ton, sedangkan kopi robusta 471 ribu ton. Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan cara utama dalam memasarkan produk-produk kopi yang dihasilkan Indonesia. Negara tujuan ekspor Indonesia adalah negara-negara konsumen tradisional seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Bersamaan dengan kemajuan zaman dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, terjadi perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi kopi. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kopi Indonesia dari musim 2009/2010 sampai 2012/2013 adalah 13,6%, hal ini menunjukan prospek yang bagus bagi pengembangan produk kopi Indonesia. Sosialisasi terus menerus kepada masyarakat tentang manfaat kopi bagi tubuh, merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan konsumsi kopi Indonesia. Selain itu, masyarakat juga perlu belajar untuk mengolah kopi dengan baik sehingga cita rasa dari kopi dapat di maksimalkan 2.Kualitas cita rasa kopi 70% ditentukan dari proses panen dan sangrai atau goreng, selebihnya dari kualitas tanaman kopi. Saat ini konsumsi kopi per orang Indonesia kurang dari 1 kg per tahun. Masih jauh dari rata-rata konsumsi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat per tahunnnya lebih dari 6 kg. Ini seiring dengan peningkatan konsumsi kopi dunia yang kualitas kopinya terus diperbaiki. Potensi pengembangan produk kopi yang semakin tinggi pun menjadi kesempatan bagi kedai-kedai kopi lokal. Seperti EXCELSO yang merupakan bagian dari Group Kapal Api, kedai kopi ini pertama kali dibuka bulan September tahun 1991 di Plaza Indonesia Jakarta. Dengan menggunakan konsep “Kopi, Kopi, dan lebih banyak Kopi”, EXCELSO mengembangkan berbagai produk olahan kopi yang mampu menarik konsumen. Saat ini EXCELSO tumbuh menjadi salah satu gerai kopi terkuat di Indonesia, yang memiliki 100 kedai di 28 kota besar di Indonesia. Bengawan Solo Coffee juga mampu membaca peluang yang ada di pasar, pertama kali membuka kedai retailnya bulan Mei 2003 di ITC Kuningan. Bengawan Solo Coffee saat ini memiliki 30 kedai yang terdapat di Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Surabaya dan Medan. Dengan peningkatan kesejahteraan dan gaya hidup masyarakat Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, potensi kopi domestik Indonesia sangat besar. Terlebih Indonesia memiliki kopi-kopi lokal yang menjadi andalan seperti Kopi Luwak, Kalosi Toraja, Kopi Lanang Toraja, Sumatra Mandheling dan Java Estate. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pengusaha, petani dan berbagai pihak terkait untuk membangun dan meningkatkan alur produksi sehingga meningkatkan nilai tambah 3. 4.1.5 Asosiasi Produsen Komoditi Internasional Berbagai Asosiasi Komoditi Internasional yang bertujuan dalam stabilisasi harga ekspor komoditi, berusaha untuk dapat seefektif organisasi lainnya seperti OPEC yang dalam jangka lama dapat dalam stabilisasi harga terlihat dari anggota yang masuk kedalam OPEC mewakili 60% dari total ekspor minyak bumi, sehingga OPEC dapat mempengaruhi harga pasar 4. Anggota dalam OPEC patuh terhadap perjanjian atau kesepakatan dalam produksi minyak bumi, sehingga kontrol volume produksi yang ketat dapat mempengaruhi harga. Dengan kekuatan pasar yang dimilikinya, OPEC dapat menentukan pada tingkatan mana 2Wawancara dengan Muchtar Lutfie dengan Prof. Dr. Ir. Wan Abbas 4http://www.eia.gov/finance/markets/supply-opec.cfm 3Wawancara seharusnya harga minyak berada, sehingga dapat mengoptimumkan keuntungan anggota. Selain menentukan jumlah pasokan atau memberlakukan kuota dalam mengatur harga sesuai tingkat yang diinginkan, organisasi atau perjanjian kartel juga melakukan perjanjian kontrak multilateral jangka panjang dan melakukan penjualan dan pembelian dari buffer stock untuk menentukan harga. International Coffee Aggrements menggunakan kuota pasokan dalam menentukan harga. Jenis produk dan pasar juga mempengaruhi keberhasilan pengendalian harga oleh kartel seperti OPEC, elastisitas produk yang lebih inelastis akan lebih efektif dalam menentukan harga. Selain itu, jumlah konsumen yang banyak juga semakin membuat kartel lebih efektif. Menurut survey yang dilakukan Connor J. M. (2005) kartel internasional jauh lebih efektif dalam menentukan harga daripada kartel domestik, lebih efektif 75% dalam menaikan harga daripada kartel domestik. 4.1.6 International Coffee Agreement dan International Coffee Organization International Coffee Agreement memiliki tujuan untuk menguatkan sektor kopi global dan mempromosikan ekspansi berkelanjutan dalam lingkungan berbasis pasar untuk kemajuan semua anggota disektor ini. Pihak yang terlibat dalam perjajian mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan perjanjian dan sepenuhnya saling bekerja sama. Hal ini untuk mencapai tujuan bersama dari perjanjian. Setiap pihak yang termasuk dalam perjanjian merupakan anggota tunggal. Anggota dapat mengubah kategori keanggotaannya pada kondisi yang disetujui oleh dewan. International Coffee Organization didirikan berdasarkan International Coffee Agreement tahun 1962 dan akan terus berlanjut untuk mengelola ketentuan dan mengawasi pelaksanaan dari perjanjian ini. otoritas tertinggi dari organisasi tersebut adalah International Coffee Council. Dewan akan dibantu sesuai dengan Finance and Administration Committee, Promosi dan Promotion and Market Development Committee dan Projects Committee. Dewan juga disarankan oleh Private Sector Consultative Board, The World Coffee Conference dan Consultative Forum on Coffee Sector Finance. International Coffee Organization atau ICO adalah organisasi utama antar pemerintah untuk kopi, menjadi wadah bersama bagi exportir dan importir kopi untuk menghadapi tantangan sektor kopi global. Organisasi ini diinisiasi untuk kolaborasi dengan PBB dalam meningkatkan kerjasama antara negara konsumen kopi, distributor dan produsen. Anggota Pemerintahan yang masuk ke dalam ICO mewakili 94% produksi kopi dunia dan lebih dari 75% konsumsi kopi dunia. International Coffee Organization atau ICO didirikan di London tahun 1963 yang merupakan hasil International Coffee Agreement (ICA). International Coffee Agreement (ICA) mulai diberlakukan pada tahun 1962 untuk jangka waktu lima tahun, dan terus beroperasi dibawah perjanjian yang dinegosiasikan tersebut. Termasuk ICA 1968 (dan dua perpanjangannya), ICA 1978 (dengan satu perpanjangan), 1983 (dan empat perpanjangan), Perjanjian 1994 (dengan satu perpanjangan) dan Perjanjian 2001 (dengan tiga perpanjangan). Kesepakatan terbaru diadopsi oleh dewan International Coffee Organization September 2007 dan mulai berlaku secara definitif pada tanggal 2 Februari 2011. International Coffee Organization (ICO) bernaung dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa karena pentingnya kopi yang menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan secara luas setelah minyak dan gas. ICO memiliki dua jenis anggota, anggota negara pengekspor kopi yang terdiri dari 39 (tiga puluh sembilan) negara dan negara-negara yang masuk kedalam kategori negara importir yang terdiri dari 6 (enam) anggota yaitu Uni Eropa, Norwegia, Swiss, Tunisia, dan Amerika Serikat. Badan tertinggi ICO adalah International Coffee Council yang mana mengadakan pertemuan dua kali tiap tahunnya. Badan konsultasi sektor swasta ICO terdiri dari 16 (enam belas) perwakilan dari Industri konsumsi dan produksi kopi yang juga mengadakan pertemuan dua kali tiap tahunnya. 4.2. KARET ALAM 4.2.1 Sejarah Singkat Karet Alam Karet pertama kali dikenal oleh orang asli Amerika jauh sebelum kedatangan dari penjelajah Eropa. Seorang pendeta bernana d’Anghieria melaporkan bahwa dia melihat suku asli Meksiko bermain dengan bola elastis. Penelitian ilmiah pertama karet dilakukan oleh Charles de la Condamine, ketika melakukan penelitian di Peru tahun 1735. Seorang insinyur Perancis yang ditemui Condamine di Guinea, Fresnau mempelajari karet di tanah asalnya, dia menyimpulkan bahwa ini tidak lebih dari “jenis minyak resin kental”. Penggunaan karet pertama kali sebagai penghapus dilakukan oleh Magellan, keturunan dari navigator Portugis yang terkenal. Sedangkan di Inggris, Priestley mempopulerkan penggunaannya yang saat itu dikenal sebagai “karet India”, saat itu karet digunakan untuk membuat botol menggantikan kulit borrachas yang biasa digunakan untuk mengapalkan wine. Pada tahun 1820 seorang industrialis Inggris, Nadier menghasilkan benang karet dan berusaha menggunakannya untuk aksesori pakaian. Saat itu adalah ketika Amerika dihinggapi demam karet, dan alas kaki tahan air yang digunakan oleh masyarakat adat. Pada tahun 1840 secara tidak sengaja Goddyear menemukan teknik vulkanisasi dan pada 1842 Hancock menemukan rahasia vulkanisasi, 1845 R. W. Thomson menemukan ban pneumatic yaitu ban dalam pada tahun 1850 berbagai mainan yang terbuat dari karet. Di tahun 1869 Michaux menemukan Velocipede yang menyebabkan penemuan karet padat, dan Bouchardt menemukan cara polimerasi isoprena antara tahun 1879 dan 1882. Penemuan ban sepeda pertama kali tahun 1830 dan untuk pertama kali Michelin mengadaptasi ban karet untuk mobil pada 1895. Karet merupakan bahan baku penting yang memainkan peran utama dalam peradaban modern, pada abad 19 para ilmuwan menemukan karet yang merupakan polimer isoperna. Rusia dan Jerman membuat terobosan baru dengan berusaha mensistesis karet. Namun produk yang dihasilkan tidak dapat bersaing dengan karet alam. Awal mula dari usaha untuk mensistesiskan karet inilah yang menjadi cikal bakal industri produk sintesis di seluruh dunia. 4.2.2 Produksi Dan Harga Karet Dunia Rata-rata produksi karet dunia tumbuh 3,92% dari tahun 2008 sampai 2013. Pertumbuhan sempat negatif di tahun 2009 yaitu turun 3,15% secara total, penurunan tersebut imbas dari lesunya industri otomotif dan mempengaruhi permintaan ban. Total produksi karet tertinggi terjadi pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 12 juta ton, naik 3,73% dari tahun sebelumnya. Naiknya produksi karet ini didorong oleh naiknya konsumsi karet (terutama untuk bahan baku pembuatan ban) dunia seiring tumbuhnya industri otomotif. Grafik 4.8: Produksi Karet Dunia Sumber: International Rubber Study Group (IRSG), diolah Pergerakan bulanan harga karet alami (natural rubber) dunia disajikan pada grafik 4.8 Terlihat bahwa sejak 1998 harga perlahan meningkat sampai US$ 3,05 di bulan Mei 2008 untuk lalu jatuh sampai US$1,2 di Desember 2008 dan terus meningkat sampai US$ 6,3 di Februari 2011. Setelah itu harga cenderung menurun dan sekarang pada kisaran US$ 2 per kg. 7 6 5 4 3 2 1 1998M01 1998M07 1999M01 1999M07 2000M01 2000M07 2001M01 2001M07 2002M01 2002M07 2003M01 2003M07 2004M01 2004M07 2005M01 2005M07 2006M01 2006M07 2007M01 2007M07 2008M01 2008M07 2009M01 2009M07 2010M01 2010M07 2011M01 2011M07 2012M01 2012M07 2013M01 2013M07 2014M01 0 Rubber, Singapore, $/kg, nominal$ Grafik 4.9: Harga Karet Dunia Periode 1998-2014 (Pasar Singapore, $/kg, nominal$) Sumber: Singapore Commodity Exchange Ltd (SICOM); Bloomberg; Rubber Association of Singapore Commodity Exchange (RASCE); International Rubber Study Group; Asian Wall Street Journal; World Bank, diolah 4.2.3 Negara Penghasil Dan Eksportir Karet Dunia Pada tahun 2012, Thailand masih menjadi produsen karet alam terbesar di dunia dengan produksi 3,5 juta ton, disusul Indonesia 3,04 juta ton, Malaysia 950 ribu ton, India 904 ribu ton dan Vietnam 863,6 ribu ton.Pasokan karet alam dunia sebagian besar di pasok dari Asia Tenggara, yaitu dari Thailand (34,4%), Indonesia (24,8%), Malaysia (17,1%) dan Vietnam (10,3%). Grafik 4.10: Persentase Eksportir Utama Karet Dunia 2012 Sumber: Agroinfo, FPTS, diolah Tabel 4.1: Lima Negara Utama Penghasil Karet (Akhir 2012) Indikator Total Area (Hektar) Produksi (Ton) Rata-rata Produksi (Ton/ha) Thailand Indonesia Malaysia 2756000 3456000 1048000 3500000 3040000 950000 1,72 1,16 1,47 India 737000 904000 Vietnam 910500 863600 1,82 1,71 Sumber: Agroinfo, IRSG, ANRPC, diolah Diantara kelima produsen karet utama dunia tersebut, India memiliki produktivitas tertinggi sebesar 1,82 ton/ha, padahal luas areanya paling kecil diantara yang lain dengan luas 737 ribu hektar. Sedangkan Indonesia memiliki produktivitas terendah diantara produsen karet utama, produktivitas Indonesia 1,16 ton/ha. Kecilnya produktivitas ini salah satunya karena dukungan pemerintah masih minim terhadap perkebunan karet alam yang 85% areanya merupakan perkebunan rakyat. Berbeda dengan negara-negara produsen karet utama lainnya yang mendapat dukungan berarti dari pemerintahnya. Grafik 4.11: Negara Penghasil Utama Karet Dunia 2012 Sumber: Agroinfo, IRSG, ANRPC 4.2.4 Negara Konsumen Dan Importir Karet Utama Dunia Rata-rata pertumbuhan konsumsi karet alam dunia dari tahun 2008 sampai 2013 sebesar 2,41% tiap tahunnya. Konsumsi karet sempat turun di tahun 2009 apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 konsumsi karet alam dunia mencapai 11,3 juta ton, naik 2,6% dari tahun sebelumnya. Grafik 4.12: Konsumsi Karet Dunia Sumber: International Rubber Study Group (IRSG) Menurut data International Rubber Study Group (2012) konsumsi karet alam dunia terus mengalami peningkatan disebabkan oleh semakin berkembangnya industri bahan baku karet alam khususnya industri ban di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman. Peningkatan harga minyak bumi di pasar internasional juga mempengaruhi permintaan karet alam, hal ini karena karet sintetis yang bahan bakunya dari fraksi minyak bumi harganya ikut naik. Grafik 4.13: Persentase Konsumsi Karet Alam Dunia 2012 Sumber: Agroinfo, FPTS, diolah Pada tahun 2012 negara-negara yang menjadi importir karet alam terbesar, Tiongkok (33,5%) masih menduduki peringkat pertama dalam konsumsi karet dunia. Disusul oleh Amerika Serikat dengan konsumsi sekitar 9,5%, India 8,7%, Jepang 6,6% dan Malaysia 4,6%. Diperkirakan permintaan karet dari Tiongkok akan menurun, hal ini berhubungan dengan koreksi pertumbuhan ekonominya yang turun menjadi 7,5%. Hal ini menunjukkan turunnya produksi industri di Tiongkok, selain itu persediaan karet alam Tiongkok diduga banyak. 4.2.5 Karet Indonesia Gambar 4.14: Produksi dan Ekspor Karet Alam Indonesia Sumber: BPS, Gapkindo, Statistik Perkebunan Karet Indonesia Karet merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Pada tahun 2013, sektor ini menyumbang 4,61% dari total ekspor nonmigas Indonesia yang mencapai USD 149,9 miliar. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai pemasok utama karet alam global, ekspor karet alam Indonesia rata-rata tumbuh 3,69% tiap tahun dari 2008 sampai 2013. Ekspor karet alam Indonesia tumbuh negatif pada tahun 2009 dan 2012. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekspor menurun seiring dengan krisis global yang terjadi, lesunya pertumbuhan industri otomotif berdampak pada karet alam yang 70% konsumsinya digunakan untuk membuat ban. Sedangkan pada tahun 2012 ekspor karet Indonesia menurun disebabkan melambatnya permintaan karet global bersamaan dengan lesunya sektor otomotif dan pengguna akhir. Produksi karet Indonesia pada tahun 2013 mencapai 3,18 juta ton, sekitar 16% dari produksi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik (Ditjenbun, Kementan). Tahun lalu, ekspor karet Indonesia mencapai 2,67 juta ton atau naik 9,28% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ekspor Indonesia tahun lalu yang cukup tinggi didorong oleh tingginya harga karet selama bulan Desember 2012 sampai pertengahan Maret 2013, pada awal Januari 2013 harga karet sempat menyentuh USD 2,913 per kg, lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya USD 2,85 per kg. Luasnya lahan perkebunan karet Indonesia (3,556 juta ha, terluas di dunia) tidak menjamin paling tingginya jumlah karet yang dihasilkan. Sekitar 85% dari perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat, selebihnya perkebunan milik negara dan swasta. Produktifitas karet alam Indonesia apabila dibandingkan dengan negara produsen karet alam lain masih tertinggal. Pada tahun 2013, produktivitas karet kita 1104 kg/ha, masih kalah dengan Tiongkok 1160 kg/ha, India 1800/ha, Malaysia 1500 kg/ha, Sri Lanka 1550 kg/ha, Thailand 1790 kg/ha dan Vietnam 1720 kg/ha 5. Gambar 4.15: Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik diolah oleh GAPKINDO Ekspor karet alam Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utama naik tahun 2013 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara total ekspor Indonesia naik 9,28% menjadi 2,67 juta ton. Pada tahun 2013, Indonesia mengekspor karet alam sebesar 609,8 ribu ton ke Amerika Serikat atau 22,6% 5Vibiz Consulting dari total ekspor karet alam Indonesia, diikuti Tiongkok sebesar 511,7 ribu ton atau 18,9% dan Jepang 425,9 ribu ton atau 15,8%. Kondisi karet alam dunia saat ini sedang menghadapi tantangan berat dengan menurunnya harga karet alam hingga mencapai USD 1,64 per kilogram (kg). Dengan pelemahan ekonomi sejumlah negara tujuan ekspor karet Indonesia, terutama Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya terkoreksi menjadi 7,5%. Terlebih, tekanan dari pembeli berlanjut terutama dengan berkembangnya isu tingginya tingkat persediaan karet di negara konsumen, terutama Tiongkok. Selain itu kelebihan pasokan dari negara produsen yang tidak terkontrol juga menjadi penyebab menurunnya harga karet alam. Saat ini produksi karet per hektar Indonesia sekitar 1,1 ton per hektar, produktivitas Indonesia masih di bawah produsen karet lain seperti Malaysia (1,5 ton/ha) dan Thailand (1,8 ton/ha). Indonesia masih memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitas karetnya. Apalagi Indonesia memiliki perkebunan karet terluas di dunia (lebih dari 3,5 juta ha) dan 85% perkebunan tersebut adalah perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 2 juta petani karet 6. Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam meningkatkan produktivitas karet Indonesia, diperlukan berbagai pembinaan terhadap petani karet untuk meningkatkan produktivitasnya. Besarnya hasil karet Indonesia harus mampu dimanfaatkan untuk mengembangkan hilirisasi produk karet Indonesia. Saat ini baru 16% produksi karet Indonesia digunakan untuk industri domestik. Perlu keseriusan pemerintah dalam membuat peta jalan hilirisasi karet. Selain itu, berbagai insentif fiskal dalam indutri ini perlu di evaluasi dalam mendorong perkembangan industri karet dalam negeri. Sehingga rantai industri dapat berjalan dari hulu sampai hilir dengan baik 7. 4.2.6 Association Of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) adalah organisasi antar pemerintah yang didirikan pada tahun 1970 dalam industri karet alam. Keanggotaan ANRPC terbuka bagi pemerintah negara-negara penghasil karet alam. Saat ini ANRPC memiliki 11 (sebelas) anggota yaitu: Kamboja, Tiongkok, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, Sri lanka, Thailand dan Vietnam. Sebelas negara ini menyumbang 93% dari produksi global karet alam selama 2013. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) berfungsi sebagai sumber statistik dan informasi lainnya terkait karet alam bagi negara6, 5 GAPKINDO, Dr. Rusdan Dalimunthe M. Sc. negara anggota. ANRPC juga sebagai forum internasional untuk menganalisis dan merumuskan kebijakan-kebijakan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan negara produsen karet alam. Fungsi spesifiknya sebagai berikut: 1. Melayani sebagai pusat sumber informasi yang otentik dan up to date dari industri karet alam. 2. Mempromosikan kegiatan yang kondusif untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dalam produksi, pengolahan, pemasaran dan konsumsi karet alam. 3. Mempromosikan karet alam sebagai bahan baku industri ramah lingkungan dengan memproyeksikan kredensial hijau dan kontribusi sosial ekologis. 4. Mengidentifikasi tantangan dan peluang jangka pendek, menengah dan panjang dengan melakukan studi yang cocok di industri karet. 5. Menjalin hubungan dengan instansi terkait termasuk organisasi karet internasional untuk berbagi informasi dan kerjasama teknis dan membuat rekomendasi kebjakan untuk anggota pemerintah bila diperlukan. Badan tertinggi dari asosiasi ini adalah majelis yang terdiri dari semua anggota pemerintah negara, majelis bersidang biasanya satu tahun sekali. Komite Eksekutif ANRPC melaksanakan fungsi dari asosiasi antara sesi dari majelis. Ini terdiri dari seluruh anggota pemerintahan dan diberdayakan untuk menentukan hal-hal prosedural, frame aturan dan membentuk komite yang mungkin diperlukan dari waktu ke waktu. Pada tanggal 30 Juni 2010, dua komite berikut berfungasi dibawah Komite Eksekutif untuk memberikan masukan teknis dan membuat rekomendasi tentang berbagai aspek industri karet, komitenya adalah Information and Statistics Committee dan Industry Matters Committee. Asosiasi juga memiliki dua grup kerja untuk memberikan input pada dua area spesifik, yaitu Working Group of Experts for Demand-Supply Analysis dan Expert Group on Project on Promotion of Natural Rubber as an environmentallyfriendly Raw Material and Renewable Resource. 4.2.7 International Rubber Study Group Kejatuhan harga karet alam pada tahun 1930-an menjadi awal terbentuknya perjanjian internasional diantara produsen untuk mengontrol tingkat output. International Rubber Agreement ditandatangani bulan Mei 1934, tujuannya adalah untuk mengatur jumlah output produksi negara anggota. Negara anggota perjanjian ini secara kolektif mewakili lebih dari 90% produksi karet alam dunia saat itu. Perjanjian ini berhasil dalam menjaga kestabilan harga melalui pengendalian produksi karet alam para anggotanya. Pada awalnya International Rubber Regulation Agreement direncanakan berjalan sampai akhir 1938, namun pada tahun tersebut perjanjian ini diperbarui sampai 31 Desember 1943. Pada waktu itu, hanya Inggris dan Belanda yang memiliki perwakilan pemerintahan di perjanjian pengembangan industri karet sintesis masif itu. Periode tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat. Menjelang akhir 1943, pemerintah Inggris dan Belanda mengumumkan bahwa mereka tidak berniat untuk memperbarui perjanjian tersebut. Hal ini sebenarnya bagian dari usaha mereka mengamankan pembentukan sebuah komite baru secara lebih luas, tetapi tanpa kekuasaan regulator. Kenyataanya, perjajian tersebut diperpanjang sampai akhir bulan April 1944. Pada pertemuan di London bulan Agustus 1944, yang diikuti oleh perwakilan industri dan tiga perwakilan pemerintah dari Amerika Serikat, Inggris dan Belanda, diumumkan terbentuknya Rubber Study Group. Tujuannya adalah memberikan sebuah forum untuk mendiskusikan permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama dan mengenai posisi masa depan dari industri karet. Beberapa pertemuan awal Rubber Study Group cukup krusial dalam membentuk kegiatan operasi dan kegunaannya pada anggota pemerintah yang berpartisipasi yang bertujuan dalam menjaga bebas dan terbukanya pertukaran informasi dan opini. Pertemuan pertama Rubber Study Group dilakukan di Washington bulan Januari 1945. Meskipun keanggotaan dari International Rubber Study Group (IRSG) terbatas pada pemerintah negara saja, perusahaan dan organisasi yang berhubungan dengan industri karet dapat menjadi anggota panel International Rubber Study Group. Sebagai organisasi antar pemerintahan, fungsi IRSG berfungsi melayani departemen pemerintahan yang dibiayainya. IRSG memiliki hubungan yang dekat dengan segala sisi dari industri karet dan kesadaran pada faktor yang mempengaruhi produksi, perdagangan, dan konsumsi karet. Statistik dan data IRSG kerap menjadi rujukan utama. Anggota IRSG yang terdiri dari pemerintah negara baik produsen maupun konsumen; Belgia, Perancis, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamerun, Uni Eropa, Italia, Belanda, Spanyol, Inggris, Pantai Gading, Jerman, Federasi Rusia, Sri Lanka, dan Amerika Serikat. 4.2.8 Hasil Analisis Data overcharge dalam riil USD 2005 didapatkan dari hasil perhitungan Connor dan Gunnars (2007) terhadap beberapa komoditas dunia. Data tersebut selanjutnya disesuaikan dengan inflasi AS tahun 2005-2013. Tujuannya untuk mendapatkan nilai nominal 2013. Sedangkan data ekspor komoditas untuk menghitung indeks Herfindahl-Hirschman didapatkan dari International Trade Center (ITC). Distribusi data antara indeks HHI dan Overcharge digambarkan dalam scatterplot berikut: Banyaknya observasi yang berada dalam confidence level 95 % yang ditunjukkan dalam garis berbayang abu-abu yang menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara indeks konsentasi (HHI) dan premium yang didapatkan. Uji empirik dilakukan dengan menggunakan regresi cross-section dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Regresi yang dilakukan mencakup 37 observasi. Berikut ini adalah model regresi yang digunakan: 𝑂𝑣𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒 = 𝛼 + 𝛽1 HHI + 𝛽2 Mineral + 𝛽3 Food + 𝛽3 Processed + 𝜀 Berikut ini adalah penjelasan variabel-variabel yang digunakan di dalam model: 𝑂𝑣𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒 = Overcharge dalam riil USD tahun 2005 (juta USD), ditransformasi berdasarkan inflasi Amerika Serikat ke dalam USD 2013 (juta USD) HHI = Indeks Herfindahl-Hirschman tahun 2005 untuk masing-masing komoditas. Mineral = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan mineral. Food = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan makanan, vitamin ataupun asam protein. Processed = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan produk olahan, seperti misalnya insektisida. Seluruh variabel tersebut digunakan dalam model regresi Ordinary Least Square (OLS). Hasilnya dijabarkan pada bagian selanjutnya. Selanjutnya dilakukan keempat regresi sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Variabel HHI D_Makanan D_Mineral D_Industri Konstanta Adj R2 F-stat Koefisien -3.825 4987.145 9982.231 11751.85 3731.36 0.1163 2.18 Tidak ada koefisien yang signifikansinya menembus 10% dan nilai R2 yang disesuaikan (adjusted) juga tidak tinggi. Hasil regresi ini akan digunakan untuk menghitung perkiraan overcharge harga komoditas kopi dan karet di bagian selanjutnya. Bila disajikan dalam bentuk persamaan, maka persamaan yang didapatkan dari regresi adalah: Overcharge = 3731,36 – 3,8252HHI + 9982,231Mineral + 4987,145 Food + 11751,85 Processed Setelah mendapatkan hasil regresi, studi ini mencoba menggunakan hasil tersebut untuk menghitung overcharge komoditas kopi dan karet. Data HHI dan overcharge yang digunakan dalam tahun yang sama, tahun 2005. Hasil yang didapatkan merupakan gambaran umum korelasi antara HHI terhadap overcharge. Hasil tersebut bisa digunakan untuk menghitung korelasi tahun 2013, yaitu menggunakan HHI kopi dan karet tahun 2013. Berikut adalah hasil perhitungan yang didapatkan: • Komoditas Kopi HHI 2013 = 651,427 Overcharge 2013 = 3731,36 – 3,8252(651,427) + 9982,231(0) + + 9982,231(0) + 4987,145(1) + 11751,85(0) = 6.226,666 juta USD • Komoditas Karet HHI 2013 = 512,817 Overcharge 2013 = 3731,36 – 3,8252(512,817) 4987,145(1) + 11751,85(0) = 6.756,877 juta USD Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan perkiraan overcharge harga komoditas kopi dan karet pada tahun 2013. Overcharge harga komoditas kopi tahun 2013 adalah sebesar 6.226,666 juta USD. Pada tahun tersebut proporsi ekspor kopi Indonesia terhadap ekspor kopi dunia adalah 4,1%. Sehingga dari total overcharge tersebut Indonesia berpotensi menikmati premium harga sebesar 255,293 juta USD. Sedangkan overcharge harga komoditas karet tahun 2013 adalah sebesar 6.756,877 juta USD. Pada tahun tersebut proporsi ekspor karet Indonesia terhadap ekspor karet dunia adalah 4,63%. Sehingga dari total overcharge tersebut Indonesia berpotensi menikmati bagian premium sebesar 312,843 juta USD. Kalkulasi tersebut apabila asosiasi komoditas memiliki kekuatan pasar dan soliditas antar anggota yang sama dengan kartel internasional pada appendix 2. Untuk mengakomodiasi beberapa skenario maka untuk scenario low ditetapkan premium sebesar 25 % dan medium mendapat premium 50 % dari studi Conner dan Helmers (2007) sehingga menghasilkan tabel sebagai berikut: Tabel 4.2 : Skenario Premium Komoditas Skenario Low Medium High Kopi 63.82 127.65 255.29 Karet 78.21 156.42 312.84 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN KESIMPULAN Studi ini menelahaan kondisi dan struktur pasar komoditas kopi dan karet serta efektivitas organisasi internasional komoditas. Karet adalah komoditas yang mendekati sifat homogen dan Indonesia diproyeksikan akan mendapatkan manfaat lebih besar (US$ 78,21 – 312,84 juta dolar) bila para produsen dapat mengkoordinasikan kebijakannya. Hasil karet Indonesia juga dapat digunakan untuk mendorong industri dalam negeri yang selama ini belum dapat menyerap produksi. Apalagi International Rubber Study Group (IRSG) mempunyai peran yang cukup besar serta datanya menjadi referensi, sehinggi studi ini merekomendasikan keanggotaan pada IRSG. Struktur pasar kopi yang terfragmentasi dengan tiap negara/daerah, memiliki rasa yang berbeda, peran pembeli yang kuat, potensi premium yang lebih kecil, berdasarkan studi Conner dan Helmers (2007), menghasilkan tabel sebagai berikut: Skenario Premium Komoditas Skenario Low Medium High Kopi 63.82 127.65 255.29 Karet 78.21 156.42 312.84 REKOMENDASI KEBIJAKAN Saat ini kelembagaan petani kopi masih lemah, sehingga daya tawar dalam menentukan harga masih lemah. Perlu didorong terbentuk asosiasi atau lembaga yang menyatukan para petani kopi yang tidak hanya menaikan daya tawar dalam menentukan harga, tetapi juga menjadi sarana meningkatkan keahlian petani. Kelembagaan ini akan membantu meningkatkan kualitas dalam menanam, mengolah dan mendistribusikan kopi. Melalui asosiasi atau kelembagaan petani, akses terhadap informasi terkini lebih mudah. Karena saat ini akses petani terhadap informasi masih kurang 8. Sehingga petani dapat memaksimalkan peluang yang ada (baik informasi harga atau lainnya). Kendala peningkatan produksi salah satunya karena sudah tuanya kondisi pohon sehingga produktivitas berkurang. Perlu dilakukan peremajaan pohon kopi untuk meningkatkan produktivitas atau membuat batang atas yang tahan terhadap penyakit 9. 8 Wawancara dengan Sjafrizal Helmi (Dosen USU) dengan Prof. Dr. Ir. Wan Abbas 9Wawancara Perlu penyediaan bibit berkualitas dalam jumlah besar, karena sebagian besar pohon kopi sudah tua. Petani kopi masih banyak yang belum mengerti bagaimana cara mengolah kopi pasca panen. Ini salah satu faktor yang menurunkan kualitas kopi dan berdampak pada harga kopi. Saat ini (8 Juli 2014) kopi dengan grade 1 berharga Rp. 23.850,-, grade 2 Rp. 23.000,-, grade 3 Rp. 22.700,-, grade 4 Rp. 22.000,-, grade 5 Rp. 21.000,- dan grade asalan Rp. 19.000-20.000 10. Dengan selisih harga yang signifikan, petani bisa dapatkan penghasilan tambahan bila dilakukan screening yang memadai. Produksi kopi Indonesia memiliki kualitas yang tinggi dan sudah ternama. Kopi Aceh, Toraja, Jawa, Papua dan tentunya Kopi Luwak sudah dikenal masyarakat global sehingga yang lebih dibutuhkan saat adalah pengelolaan kualitas, ketersediaan pasokan secara terus menerus dan marketing yang lebih baik Hasil karet Indonesia sekitar 84% diekspor, sisanya digunakan untuk industri dalam negeri. Belum berkembangnya industri hilir di Indonesia yang mendorong sebagian besar karet Indonesia lebih banyak diekspor. Pada titik ini, pemerintah dapat mendorong industri hilir karet dapat berkembang, sehingga nilai tambah dari karet dapat lebih tinggi. Dengan produktivitas karet Indonesia sekitar 1,1 ton/ha, Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas karetnya. Pemerintah perlu turun tangan dengan membantu peningkatan produktivitas karet, seperti yang dilakukan pemerintah Thailand dan Malaysia dalam mendukung produksi karetnya (Thailand 1,8 ton/ha, Malaysia 1,5 ton/ha). Dukungan pemerintah yang diperlukan berbentuk riset untuk bibit unggul, pengelolaan tanaman, dan stabilitas harga serta dana untuk pengembangan industri pengolahan karet terutama ban. 10Wawancara dengan kelompok tani Dunia Baru DAFTAR PUSTAKA Connor J. M.,.2005.Proce-Fixing Overchanges : Legal and Economic Evidence.Purdue University Koop T., Alamsyah Z., Fatricia R.S., dan Brumer B.,2014.Have Indonesia Rubber Processors Formed a Cartel?.Georg-August-Universitat-Gottingen Luan N. K.,.2013.Natural Rubber Industry Report 2013.Fpt Securities Pichop G. N., Kemegue F. M.,. 2005.International Coffee Agreement: Incomplete Membership and Instability of the Cooperative Game. Southwest Business and Economic Journal Radetzki M. A Handbook of: Primary Commodities in the Global Economy. Cambridge Rubber Statistical News.2013.Review of The Year 2012-2013.Statistics & Planning Department Rubber Board, Kottayam, Kerala, India. Margaret C. Levenstein dan Valerie Y. Suslow. International Cartels, in 2 Issues In Competition Law dan Policy 1107 (ABA Section of Antitrust Law 2008) Lampiran 1.1 Hasil Regresi . regress inflationadjusted hhi2005 mineral food processed = Source | 37 SS df MS Number of obs -------------+-----------------------------= 2.18 F( 4, 1.0285e+09 4 257123934 Prob > F = Model | 0.0931 Residual | 0.2145 3.7666e+09 32 117707787 R-squared = -------------+-----------------------------= 0.1163 = Total | 10849 4.7951e+09 36 32) Adj R-squared 133198470 Root MSE -------------------------------------------------------------------inflationa~d | Interval] Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. -------------+-----------------------------------------------------hhi2005 | 2.138378 -3.825287 2.927767 -1.31 0.201 -9.788953 mineral | 33703.23 9982.231 11645.45 0.86 0.398 -13738.77 food | 29087.98 4987.145 11831.92 0.42 0.676 -19113.68 processed | 35068.84 11751.85 11447.1 1.03 0.312 -11565.13 _cons | 26111.05 3731.36 10986.95 0.34 0.736 -18648.33 -------------------------------------------------------------------- Lampiran 1.2 Tabel Premium Kartel Internasional N o KOMODITAS Million Real 2005 USD 2013-Inflationadjusted Overchar HHI 2005 1 Aluminum Metal 45497.6 54142.144 420.4642346 2 Cable, high-voltage, Germany 39272.7 46734.513 663.4798434 3 Linerboard, US 13033.2 15509.508 1523.921803 4 Steel, flat stainless 11328.2 13480.558 1641.288827 5 Flat glass, US 10494.6 12488.574 533.5489277 6 DRAMs Plastic Additives: Heat Stabilizers 5549.1 6603.429 6666.7 7933.373 564.5200403 9268.3 11029.277 599.5646925 5517.2 6565.468 564.5200403 10 PVC (polyvinyl-chloride) plastic Plastic Additives: Impact Modifiers Insurance brokers, commercial, US 3804.3 4527.117 11 Graphite Electrodes 5871.9 6987.561 12 Sulfuric acid, US 3980.7 4737.033 13 Cartonboard 4692.5 5584.075 804.4684949 14 Waste collection, Germany 2913.6 3467.184 1011.755533 15 Polypropylene plastic 3172.3 3775.037 599.5646925 16 Steel beams 4114.9 4896.731 17 2621.7 3119.823 18 Vitamin Premixes TACA (europe/north Atlantic Shipping) 1985.6 2362.864 19 Vitamin E 2740.1 3260.719 20 Petroleum, Iceland 4239.2 5044.648 21 Cement I, Germany 1744.8 2076.312 22 High Fructose Corn Syrup, US 1959.4 2331.686 1787.739033 23 Citric Acid 2209.6 2629.424 3397.463949 7 8 9 1539.98598 1779.124823 1882.324595 24 Corn Glucose Syrup, US 1722 2049.18 1156.070188 25 Carbon Fiber 2627.7 3126.963 1399.889876 26 British Sugar 3190.4 3796.576 27 Tobacco Leaf, US 1648.8 1962.072 655.3180164 28 1996.6 2375.954 2371.108408 29 Vitamin C Parcel Tankers, Chemical Shipping 651.6 775.404 30 Cement, Romania 957.5 1139.425 31 1362.9 1621.851 1811.302011 32 Vitamin A Steel Tubes ("oil country tubes") 1156.3 1375.997 680.2534466 33 Copper Concentrate 872.1 1037.799 2365.668046 34 Carbon Black 735.1 874.769 584.412183 35 Gasoline, FR 712 847.28 36 Gasoline, IT 719.3 855.967 37 Cell Phones, IT 715.8 851.802 38 Telephone Services, local, Korea 611 727.09 39 Choline chloride (Vitamin B4) 1029.8 1225.462 2222.788609 40 Paper, carbonless Construction, Nigeria LNG plants 1232.2 1466.318 592.1234658 483.6 575.484 42 Fine Arts (Art Auction Houses) 1092.5 1300.075 43 Methionine 419.4 499.086 44 Beta Carotene 562.4 669.256 45 Canthaxanthin 488.5 581.315 46 Compressed Gases, NL Generic drugs, warfarin, penicilin, UK 612.8 729.232 344.6 410.074 432.9 515.151 49 Explosives, commercial, US Cardizem CD hypertension drug, US 274.1 326.179 50 Lysine 397.9 473.501 1490.528938 51 Steel pipes, insulated heating 360.3 428.757 680.2534466 52 Construction, Netherlands 210.9 250.971 53 Vitamin B12 226.9 270.011 2141.518382 54 Vitamin B5 (Caplan) 318.3 378.777 2054.303074 55 Vitamin B4, North America 290.6 345.814 56 136.5 162.435 57 Anit-anxiety drugs, US Telephone services, longdistance, Korea 147.6 175.644 58 Construction, Norway 141.5 168.385 59 154 183.26 60 Vitamin B3 (Niacin) Broadband Internet Service, Korea 127.2 151.368 61 Diamonds, Industrial 136.3 162.197 62 Euro-Zone banks 100.6 119.714 63 Concrete, Eastern Germany 12.1 14.399 64 183.2 218.008 65 Vitamin B2 Insurance, industrial property, Germany 105.5 125.545 66 Construction, USAID in Egypt 215.5 256.445 67 Petroleum, Military fuels, Korea 116.1 138.159 68 Philippines telecom, US 96.9 115.311 69 Biotin (Vitamin H) 117.2 139.468 70 176.1 209.559 71 Infant Formula (Episode 1), Italy Telephone services, international, Korea 78.7 93.653 72 Vitamin B6 86.1 102.459 73 Iron Oxide, Canada 84.2 100.198 41 47 48 2851.717669 1013.887163 2054.303074 2219.321672 2370.784727 74 Polyester staple, US and CA 63.6 75.684 75 Compressed gas, CA 76.2 90.678 76 Gasoline, Sweden 60.9 72.471 77 Infant Formula (Episode 2), Italy 52 61.88 78 Methylglucamine 31.5 37.485 79 Danish air routes Vitamin B4 (Choline Chloride) Europe 53.2 63.308 60.1 71.519 80 81 Vitamin B1 34.4 40.936 2581.737455 82 Vitamin D 37.5 44.625 2054.303074 Lampiran 1.3 Kuesioner KUESIONER ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL 1 Apakah peran eksportir kopi dalam peningkatan produksi dan stabilitas harga? 2 Sejauhmana peran ICO terhadap ekspor kopi Indonesia ? 3 Sejauhmana peran ANPRC terhadap stabilisasi harga? 4 Sejauhmana Terkait dengan hilirisasi industri karet dan stabilitas harga?