BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Organisasi Massa Masyarakat kita

advertisement
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1
Organisasi Massa
Masyarakat kita merupakan masyarakat yang terdiri dari organisasi-
organisasi, karena masyarakat sekarang sangat berbeda dengan masyarakat di
masa lampau. Masyarakat modern dewasa ini lebih mengutamakan rasionalitas
efektivitas dan efisiensi sebagai nilai-nilai moral yang tinggi. Peradaban modern
pada
hakikatnya
pengelompokkan
sangat
sosial
bergantung
yang
paling
pada
organisasi
rasional
dan
sebagai
efisien.
bentuk
Organisasi
menggabungkan sumber daya tenaga manusia yang dimilikinya dengan sumber
daya lain, yaitu dengan menjalin para pemimpin, kelompok pengikut atau pekerja,
dan sistem serta sturktur.32
Menurut De Vito33 yang dikutip oleh Burhan Bungin menjelaskan bahwa
pengertian organisasi adalah sebagai suatu kelompok individu yang diorganisasi
untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi bervariasi, dari tiga
atau empat hingga mencapai ribuan orang. Organisasi memiliki tujuan umum dan
tujuan spesifik, untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuat norma aturan yang
diatuhi oleh semua anggota organisasi.
32
Amitai Etzioni, Organisasi-Organisasi Modern , Jakarta, 1985, hlm. 1. 33
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, 2006, hlm. 272. 34 Universitas Sumatera Utara
Organisasi massa atau ormas merupakan suatu gerakan politik yang pada
prinsipnya juga bentuk dari partai. Pengertian organisasi massa menurut undangundang. Dalam Pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas) Bab I (1), yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama,
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Organisasi massa di Indonesia didirikan pada dasarnya dilatarbelakangi
oleh kepentingan.34 Seperti misalnya kepentingan sosial dengan mengangkat isuisu sosial dan usaha-usaha pembelaan terhadap kaum marginal, kepentingan
ekonomi sebagai upaya mengangkat derajat kemakmuran dan kesejahteraan
kelompoknya, kepentingan politik sebagai upaya rektrutmen massa politik untuk
kemudian disalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik tertentu yang
mempunyai kesepahaman ideologi yang sama pada awalnya. Kemudian
kepentingan religius yang merupakan upaya untuk perkuatan kelompok religi
dalam melakukan pembinaan dan rekrutmen, selanjutnya kepentingan budaya
yang fokus pada upaya konservasi kebudayaan, kepentingan profesi untuk
peningkatan kualitas profesionalime di bidang profesi tertentu, dan kepentingan
networking atau lobi sebagai upaya perluasan jaringan (network) dalam rangka
penguatan pengaruh yang bermanfaat untuk melobi kekuasaan.
34
Poempida hidayatulloh 35 Universitas Sumatera Utara
Namun di era demokrasi sekarang kepentingan lebih menjadi faktor
perekat yang signifikan, nilai-nilai kesamaan ideologi menjadi tidak esensial
selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan
mencapai tujuannya, ormas memerlukan suatu pondasi yang menjadi basis
kekuatan dari ormas tersebut.
Kekuatan Ormas di Indonesia masih mengandalkan beberapa faktor.35
Pertama, figur sentris atau ketokohan para pemimpin, karena menjadi suatu hal
yang sangat krusial dalam membangun dan memperkuat kekuatan ormas tersebut.
Kedua, fleksibilitas ideologi menjadi titik awal kebesaran ormas dikarenakan
besar kecilnya ormas akan tergantung dari eksklusifitas atau ekstrofertifitas dari
ormas tersebut. Ketiga, adanya dukungan pemerintah, karena rekognisi dari
pemerintah dan dukungan fasilitas pemerintah masih menjadi darah untuk
keberlangsungan ormas. Keempat, faktor militansi dari segenap organ ormas yang
menjadi isu sentral dalam perjalanan pembinaan ormas, terutama dalam hal
voluntarisme kader untuk membesarkan ormas. Intinya benefit secara ekonomis
dan politis masih menjadi daya tarik terkuat untuk kader bergabung dengan
ormas. Kelima, faktor moral dari segenap organ ormas, dan kepatuhan dan
ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ormas. Keenam,
faktor administrasi, karena ormas-ormas yang ada masih memiliki kesulitan dalam
hal administrasi, terutama dalam hal pembukuan keuangan dan pendataan
anggota.
35
Ibid. 36 Universitas Sumatera Utara
2.1.1
Gerakan Perubahan
Dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu
masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam
hubungannya dengan negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai
partisipasi politik menfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama,
tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat
yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan
umum. Kelompok-kelompok ini kecewa dengan kinerja partai politik dan
cenderung untuk memusatkan perhatian pada satu masalah tertentu, dengan
harapan akan lebih efektif memengaruhi proses pengambilan keputusan melalui
direct action36.
Pendapat Miriam Budiardjo di atas juga dijelaskan secara lebih kongkrit
dengan melihat organisasi massa memakai prinsip pergerakan (movement) dan
sebagai kelompok penekan (pressure group). Gerakan adalah kelompok atau
golongan yang ingin mengadakan perubahan, atau menciptakan suatu lembaga
baru dengan memakai cara – cara politik. Sedangkan kelompok penekan (pressure
group) adalah kelompok yang memperjuangkan kepentingan dan berusaha
memberi pengaruh terhadap kekuatan politik yang ada di pemerintahan.
Kelompok ini bisa terdiri dari perkumpulan, golongan, ataupun partai yang berada
di luar pemerintahan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gabriel A. Almond dan
G. Bingham Powell Jr. melalui buku Comparative Politics: A Developmental
Approach, mereka memperkenalkan suatu istilah ‘sistem politik’ yang keluar dari
36
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm. 367. 37 Universitas Sumatera Utara
pemaknaan tradisional. Sistem politik yang mereka perkenalkan tidak hanya
terdiri dari institusi pemerintahan, namun juga semua sturktur dalam aspek-aspek
politik di negara tersebut. Sehingga sistem yang ada menyebabkan ketergantungan
antara satu dengan bagian lain, dan memiliki batas di antara mereka dan
lingkungannya.37
Di negara-negara demokaratis pada umumnya dianggap jika lebih banyak
partispasi masyarakat, maka lebih baik. Dalam alam pemikiran ini,, tingginya
tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah
politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Hal itu juga
menunjukkan bahwa rezim yang bersangkutan memiliki kadar keabsahan atau
legitimasi yang tinggi. Dalam kehidupan demokratis, juga dikenal istilah struktur
politik, yang memiliki sistem merujuk pada organisasi dan institusi yang
memelihara atau mengubah struktur politik, dan secara khusus menampilkan
fungsi-fungsi sosialisasi, rekrutmen, dan komunikasi politik. Struktur politik ini
dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat formal dan informal. Menurut
Almond dan Coleman, struktur politik dibedakan atas infrastruktur yang terdiri
dari struktur masyarakat, suasana kehidupan masyarakat, dan sektor politiknya.
Sedangkan suprastruktur terdiri dari sektor pemerintahan, suasana, dan sektor
politik pemerintahan.38
Struktur
formal
merupakan
mesin
politik
yang
dengan
absah
mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan melaksanakan segala keputusan
37
Almond dalam Riant Nugroho Dwidjowijoto, Komunikasi Pemerintahan: Sebuah
Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 59. 38
Almond dan Colleman dalam Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi ,
Yogyakarya, 2008, hlm. 85. 38 Universitas Sumatera Utara
yang mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh masyarakat, sedangkan
sturktur informal merupakan struktur yang mampu memengaruhi cara kerja aparat
masyarakat
untuk
mengemukakan,
menyalurkan,
menerjemahkan,
mengonversikan tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu yang berhubungan
dengan kepentingan umum. Organisasi massa termasuk ke dalam struktur politik
informal, sebagaimana partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, media
massa, dan lembaga non-pemerintah lainnya.
Salah satu sebab masyarakat mulai membentuk kelompok-kelompok ini,
karena mulai menyadari bahwa suara satu orang (misalnya dalam pemilihan
umum) sangat kecil pengaruhnya, terutama di negara-negara berpenduduk dengan
jumlah besar seperti Indonesia. Gerakan kelompok ini dari upaya penggabunngan
diri individu dengan orang lain, agar suara dan aspirasinya menjadi lebih didengar
oleh pemerintah. Tujuan kelompok ini adalah mempengaruhi kebijakan
pemerintah agar lebih menguntungkan mereka. Pada era reformasi di Indonesia,
kelompok atau lembaga non-pemerintah ini semakin mengakar dalam masyarakat,
dengan perhatian dan konstentrasi yang beragam, misalnya di bidang demokrasi,
globalisasi, good governance, pemberdayaan konsumen, media, pertanian,
korupsi, isu lingkungan, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Organisasi ini
terlibat aktif memengaruhi kebijakan publik berkenaan dengan bidang-bidang
mereka masing-masing, terlibat dengan lobi-lobi politik di DPR dan pemerintah
agar kepentingan mereka diperhatikan dan tujuan mereka tercapai melalui sistem
politik.39
39
Ibid, hlm. 104 39 Universitas Sumatera Utara
Dasar dari kelompok ini adalah ‘protes’, dan mereka sangat kritis terhadap
cara-cara berpolitik para politisi dan pejabat. Mereka menginginkan desentralisasi
dan kekuasaan negara, desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam peningkatan
swadaya masyarakat, terutama masyarakat lokal. Kelompok-kelompok ini
kemudian berkembang menjadi gerakan sosial (social movement) dan mulai
berkembang istilah group politics ataupun new politics untuk mengidentifikasi
gerakan sosial ini. Sejalan memang dengan pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), bahwa gerakan sosial merupakan bentuk
perilaku kolektif yang berakar dalam kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut
bersama. T. Tarrow dalam bukunya Power in Movement (1994) berpendapat
bahwa gerakan sosial adalah tantangan kolektif oleh orang-orang yang
mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas, yang dilaksanakan melalui
interaksi secara terus-menerus dengan para elite, lawan-lawannya dan pejabatpajabat.40
2.2
Strategi Komunikasi Politik
2.2.1
Komunikasi
Gordon I. Zimmerman yang dikutip oleh Deddy Mulyana41 mengatakan
bahwa manusia melakukan komunikasi dengan dua tujuan besar, yakni untuk
menyelesaikan tugas-tugas penting yang menjadi kebutuhan manusia yang
mendasar, dan selanjutnya untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan
orang lain. Sehingga komunikasi memiliki fungsi isi, melibatkan pertukaran
40
T. Tarrow dalam Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 383. 41
Gordon I. Zimmerman dalam Deddy Mulyana, op. cit., hlm. 4. 40 Universitas Sumatera Utara
informasi yang diperlukan oleh manusia untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi
hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai hubungan dengan
pihak lain. Fungsi komunnikasi tidak dapat dilepaskan dari kegunaannya dalam
konteks sosial, dan dalam hal pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu
atau tidak. Karena dalam keputusan terdapat suatu proses informasi yang
melibatkan persuasi sehingga manusia memperoleh dukungan terhadap apa yang
diputuskan dan dilakukannya. Dengan tujuan adalah menyamakan pengertian
terhadap suatu informasi yang diproses dengan apa yang dipahami oleh orang
lain.
Komunikasi memiliki banyak ruang dan sisi, sehingga pada prakteknya
komunikasi juga bersifat multifaset. Riant N. Dwidjowijoto mengungkapkan
bahwa faset komunikasi mencakup dua hal pokok yang bersifat teknis yakni pesan
dan media.42 Komunikasi yang efektif hanya bisa dicapai minimal, pesannya
benar, mudah dipahami, dan mudah dikomunikasikan, serta media atau cara
penyampaiannya sesuai dengan kondisi komunikator dan komunikannya. Hal
tersebut dapat dijelaskan dengan gambar berikut:
42
Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 73 41 Universitas Sumatera Utara
Konteks Psikologis
Komunikator
Pesan
Media
Komunikan
Konteks Sosiologis
Gambar 2. Proses Untuk Mencapai Kesamaan Makna Pesan
Sumber: Riant Nugroho Dwidjowijoto, 2004. Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda
Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, hlm. 74
Dari gambar di atas tampak bahwa proses untuk mencapai kesamaan
makna dipengaruhi oleh tiga faset atau sisi, yaitu sisi komunikasinya sendiri, sisi
psikologi dari masing-masing, dan sisi sosiologis dari masing-masing.
Faset
psikologis berkenaan dengan nilai psikologis dari komunikator dan komunikan.
Dalam bahasa yang lebih umum yang disebut sebagai nilai psikologis adalah
kondisi kebutuhan dari masing-masing individu dalam melaksanakan komunikasi
tersebut. Faset sosiologis merupakan konteks sosial dari individu, misalnya
lingkungan, sistem nilai budaya, dan bentuk-bentuk sosial lainnya yang dapat
mempengaruhi pengertian pesan antara komunikator dan komunikan.
Jika komunikasi dipandang dalam arti yang lebih luas meliputi seluruh
pertukaran pesan di antara individu-individu warga masyarakat dari mulai
kelompok terkecil hingga sampai pada kelompok yang lebih luas. Dalam
jangkauannya, komunikasi tidak hanya berlangsung dalam ruang lingkup internal,
namun juga eksternal.
42 Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Komunikasi Politik
Politik dan komunikasi merupakan dua entitas yang saling berhubungan,
baik dilihat dari sudut panndang relasi empirik ataupun dalam tinjauan akademis.
Secara empirik, politik adalah sebuah proses kekuasaan yang menyebabkan
dinamika kehidupan berjalan secara struktural, formal, dan asimetris. Sedangkan
untuk kajian maupun tinjauan akademis, politik dilihat dari bagaimana kekuasaan
dan pemerintahan dilihat dari teori-teori yang ada, digunakan dalam menganalisis
fenomena yang terjadi. Dalam kaitannya dengan komunikasi, di sini komunikasi
menjadi instrumen yang akan menjelaskan baik secara vertikal maupun
horizontal. Kata menjelaskan di sini adalah mempertegas dan menyebarluaskan
inti dan hakikat dari politik kepada masyarakat.
Jurgen Habermas mengatakan bahwa untuk mencapai kekuasaan melalui
politik, caranya adalah dengan meletakkan komunikasi sebagai sebuah politik,
karena komunikasi merupakan sebuah proses perebutan pengaruh yang paling
demokratis yang pernah ada. Cara memperoleh legitimasi atau dukungan ada
beberapa jalan, antara lain melalui kekuatan fisik (termasuk militer), dengan uang,
jabatan, dan pemerasan. Namun keempat hal di atas bukanlah sarana yang cukup
fair jika dibandingkan dengan komunikasi. Di dalam komunikasi, mereka yang
berebut kekuasaan harus mampu memengaruhi orang banyak baik dengan caracara yang kharismatikal ataupun cara-cara yang intelektual. Karena komunikasi
merupakan sarana paling adil, bahkan paling manusiawi untuk saling
mempertukarkan pengaruh dan memperebutkan kekuasaan.43
43
Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 55. 43 Universitas Sumatera Utara
Komunikasi politik yang bersinggungan dengan organisasi atau kelompok
menjadi jiwa dari organisasi politik tersebut.44 Melalui itu, terdapat beberapa
tujuan yang hendak dicapai untuk memasyarakatkan suatu organisasi politik
seperti yang dijelaskan oleh Redi Panuju, yakni dengan menyosialisasikan
keberadaannya kepada masyarakat, membangun citra positif dalam rangka
mencari dukungan, menggalang opini publik dalam rangka membangun,
menyeleksi isu, dan merangkumnya menjadi formulasi kebijakan, dan
membangun jaringan dalam rangka efektivitas kerja. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu strategi komunikasi politik untuk mewujudkan empat tujuan tersebut.
2.2.3 Langkah Strategik
Di kalangan militer terdapat ungkapan yang amat terkenal yang berbunyi
“To win the war, not to win the battle” yang berarti memenangkan perang, bukan
memenangkan pertempuran. Dalam hal ini, sangat diperlukan strategi untuk
memenangkan perang, sedangkan taktiknya adalah untuk memenangkan
pertempuran. Demikian pula dalam komunikasi, lebih-lebih komunikasi yang
dilancarkan suatu organisasi, apakah itu komunikasi politik atau komunikasi
bisnis. Pada ahli komunikasi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang,
dalam tahun-tahun terkahir ini menumpahkan perhatian yang besar terhadap
strategi komunikasi atau communication strategy, dalam hubungannya dengan
penggiatan pembangunan nasional di negara masing-masing. Fokus perhatian ini
memang penting untuk ditujukan kepada strategi komunikasi, karena berhasil
44
Redi Panuju, loc. cit. 44 Universitas Sumatera Utara
tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi
komunikasi.45
Dengan demikian, strategi komunikasi, baik secara makro (planned multimedia strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy)
mempunya fungsi ganda. Pertama, untuk menyebarluaskan pesan komunikasi
yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran
untuk memperoleh hasil yang optimal. Kedua, untuk menjembatani ‘cultural gap’
akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media
massa yang begitu ampuh, yang apabila dibiarkan akan merusak nilai-nilai
budaya. Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah perencanaan komunikasi dan
manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan dari suatu aktivitas
komunikasi. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi
sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah, melainkah harus menunjukkan
bagaimana taktik operasionalnya. Dalam arti kata, ada pendekatan atau approach
yang bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung dari situasi dan kondisi. Pendekatan
yang dilakuan terhadap efek yang ditimbulkan juga bisa bermacam-macam,
seperti penyebaran informasi, melakukan persuasi, atau melaksanakan instruksi.
Dalam strategi komunikasi, peranan komunikator sangatlah penting,
karena strategi komunikasi harus luwes sedemikian rupa sehingga komunikator
sebagai pelaksana dapat segera membuat suatu perubahan apabila ada suatu faktor
yang mempengaruhi.46 Tahapan komunikasi hendaknya dimulai dengan
45
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung,
2003, hlm.299. 46
Ibid., hlm. 304. 45 Universitas Sumatera Utara
membangkitkan perhatian atau atensi, dan dalam hubungan ini komunikator harus
menimbulkan daya tarik. Pada diri komunikator memang harus terdapat faktor
daya tarik komunikator (source attractiveness). Seorang komunikator memiliki
kemampuan untuk melakukan perubahan sikap, pendapat, dan tingkah laku
komunikasi melalui mekanisme daya tarik, jika komunikan merasa bahwa
komunikator ikut serta dengan pendapatnya, dengan kata lain pihak komunikan
merasa adanya kesamaan dengan komunikator. Sikap komunikator yang berusaha
menyamakan diri dengan komunikasi ini akan menimbulkan simpati komunikan.
Dalam kaitannya dengan fenomena politik, maka langkah strategi untuk
memenangkan suatu ‘peperangan’ dalam tataran politik, dengan mengidentifikasi
siapa yang pantas menjadi komunikator dalam komunikasi politik. Langkah utama
dalam strategi komunikasi politik adalah merawat ketokohan, selain dari
memantapkan kelembagaan, meningkatkan kemampuan dan dukungan lembaga
dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan memilih media politik
yang tepat. Suatu strategi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan
kondisional pada saat tertentu mengenai tindakan yang akan dijalankan guna
mencapai tujuan politik pada masa depan.47
Langkah awal yang umumnya ditempuh adalah menguatkan faktor
ketokohan
sebagai
komunikator
dalam
suatu
gerakan
politik.
Dalam
kepemimpinan atau ketokohan selalu ada indikator yang menjadi karakteristik,
sehingga bisa dirumuskan menjadi bagian dari proses komunikasi, yang dalam hal
ini adalah komunikasi politik. Penempatan figur yang tepat dalam menjalankan
47
Anwar Arifin, op.cit., hlm. 145. 46 Universitas Sumatera Utara
proses ini merupakan langkah atau strategi untuk mencapai tujuan. Uraian di atas
merupakan deskripsi kemanfaatan analisis dengan mengambil objek atau subjek
komunikasi dan politik sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh
dukungan atau legitimasi, mempengaruhi khalayak, kegiatan mobilisasi massa,
membangun citra dan kepercayaan (kredibilitas), serta menyebarluaskan ide-ide
baru politik sehingga semua fungsi dalam sistem politik bekerja.
2.3
Endorser atau Ketokohan
Perlambangan yang merupakan suatu identitas merek yang dibawakan
dalam komunikasi politik merupakan jalan untuk mencitrakan sesuatu yang
bertujuan untuk dikenal dan dilekatkan ke benak publik. Bagi personal yang
memiliki identitas yang khas dan spesifik akan memudahkan untuk diidentifikasi
di antara yang lainnya. Dalam hal ini, percitraan yang difokuskan adalah kepada
personal atau tokoh. Ketokohan ini selalu diasosiasikan sebagai suatu figur yang
ditempatkan sebagai pemimpin, sehingga erat kaitannya dengan kepemimpinan
atau tokoh sentral. Kepemimpinan menurut
Tannenbaum, Weschler, dan
Massarik (1961) adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan diarahkan
melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan
tertentu48.
Sebagai contoh umum, dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono
dalam pemilihan umum 2004, yang berasal dari partai baru, yakni Partai
Demokrat yang hanya memperoleh suara sekitar 8%, jelas memperlihatkan
48
Sarlito Wirawan Sarwono, op.cit., hlm. 38. 47 Universitas Sumatera Utara
kuatnya pesona kepribadian dibanding determinasi partai. Kecenderungan ini
misalnya sudah lama dijumpai di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris,
beberapa negara Eropa.
Fenomena yang seperti ini disebut oleh Capara dan Zimbardo sebagai era
personalisasi politik.49 Kecenderungan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat serta semakin mudahnya
mendapatkan informasi, peran mobilisasi dan elit politik yang semakin terbatas,
dan peran media massa yang semakin gencar sebagai alat kampanye. Sehingga
dalam kondisi seperti itu, dapat dimengerti bahwa karakteristik kepribadian
menjadi patokan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka.
2.3.1
Karakter Kepemimpinan
Ada dua pendapat yang berbeda, mengenai apa yang menyebabkan
seseorang dapat menjadi pemimpin. Pendapat pertama menekankan pada
karakteristik unik dari sang pemimpin, dan pendapat kedua menekankan pada
kekuatan situasi yang menekan kelompok.50 Teori The Great Man atau Orang
Besar menyatakan bahwa beberapa orang yang karena personalitas dan
karakteristik uniknya, ditakdirkan untuk memimpin. Banyak studi yang
membandingkan bagaimana perbedaan antara pemimpin dengan pengikutnya.
Pertama, pemimpin cenderung unggul dalam kemampuan membantu
kelompok meraih tujuan, karena pemimpin memiliki keunggulan intelektual,
49
Hamdi Muluk, Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta, 2010, hlm. 61. 50
Chemers dalam Shellye E. Taylor (et.al.), Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas, 2009,
hlm. 403. 48 Universitas Sumatera Utara
keahlian politik, kekuatan fisik, atau keterampilan relevan dengan aktivitas dan
tujuan
kelompok.
Kedua,
pemimpin
cenderung
memiliki
keterampilan
interpersonal yang membantu menyukseskan interaksi kelompok, seperti lebih
kooperatif, terorganisir, dan empatik. Ketiga, pemimpin memiliki motivasi untuk
memiliki pengakuan dan keunggulan, lebih ambisius, berorientasi prestasi, dan
mau mengemban tanggung jawab. Keempat, pemimpin cenderung lebih percaya
diri terhadap kemampuan sendiri dan lebih optimis terhadap kesuksesan
kelompoknya.51
Menurut Prof. Dr. Hamdi Muluk dalam bukunya Mozaik Psikologi Politik
Indonesia, terdapat empat model kepemimpinan politik, yakni sebagai berikut 52:
1. Model Atribut Kepribadian (Personality Attibute Model)
Studi-studi yang menggunakan model ini mementingkan karakteristik
kepribadian aktor atau pemimpin politik sebagai determinan utama untuk
menentukan kinerja kepemimpinan yang ditampilkan. Model ini dipelopori
oleh beberapa tokoh, seperti Erikson dan Gardner. Model ini menempatkan
pemimpin politik sebagai The Great Man yang memiliki kemampuan unggul
dibandingkan orang rata-rata. Namun pada perkembangannya, ciri kepribadian
pemimpin tersebut tidaklah konsisten dari satu waktu ke waktu lain, dari satu
situasi ke situasi yang lain.
Herman pada tahun 1986 mengatakan terdapat tujuh aspek dari karakter
pemimpin yang relevan dan dapat menentukan kepemimpinan, yakni pertama,
keyakinan atau paham-paham politik mendasar dari seorang pemimpin, kedua,
51
52
Ibid. Hamdi Muluk, op.cit,. hlm. 63-68 49 Universitas Sumatera Utara
gaya politiknya, ketiga, motif politik pemimpin dalam mencapai posisi
politiknya, keempat, pola reaksi pemimpin dalam menghadapi situasi stres
terutama dalam tekanan politik, kelima, bagaimana kondisi psikologis waktu
pertama kali ia memasuki dunia politik, keenam, pengalaman dan kemampuan
politik sebelumnya, dan ketujuh, iklim politik ketika ia memasuki dunia
politik.
2. Model Pemimpin dan Pengikut (Leader and Constituent Model)
Model ini mementingkan faktor bagaimana pemimpin memperlakukan
pengikutnya, bagaimana model pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya.
Dalam model ini terdapat tiga pola yang mungkin terjadi dalam model ini.
Pertama, pemimpin yang dominan sementara pengikut sangat lemah. Hal ini
juga mengasumsikan pemimpin tahu apa-apa yang akan dicapainya. Model
seperti ini juga mirip dengan ‘Model Atribut Kepribadian’. Kedua, pemimpin
yang mengetahui apa yang diinginkan oleh pengikutnya dan menawarkan apa
yang mampu ia penuhi. Pola ini bersifat transaksional. Ketiga, pola yang
mengasumsikan pemimpin hanya sebagai boneka, yang lemah dan
pengikutnya kuat. Pemimpin diberi arahan dan sasaran, sebagai agen dari
kepentingan kelompok.
3. Model Faktor Konteks (Contextual Factor Model)
Model ini beranggapan bahwa kepemimpinan politik adalah fungsi dari
faktor situasi atau konteks tertentu. Konteks yang dimaksud adalah setting
50 Universitas Sumatera Utara
atau latar situasi di mana pemimpin ini tampil. Corak kepemimpinan ini
sangat tergantung dengan situasi kapan, pada latar budaya apa, dan dalam
konteksi situasi politik seperti apa. Pemetaan terhadap situasi atau konteks ini
sangat penting karena berfungsi sebagai faktor tuntutan, faktor pengendala,
ataupun faktor yang menfasilitasi munculnya suatu tindakan tertentu dari
seorang pemimpin. Dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa suatu keputusan
politik tertentu dapat muncul, dan pada situasi lain tidak. Asumsi dasarnya
adalah kepemimpinan politik merupakan respon timbal balik antara si
pemimpin dengan faktor situasi, lingkungan, dan konteks tertentu.
4. Model Integratif (Integrative Model)
Model ini mengintegrasikan fungsi dan interaksi dari ketiga model di atas,
yakni kepribadian, pola hubungan pemimpin-pengikut, dan lingkungan yang
melatarinya. Sehingga untuk mengerti hakikat dari pemimpin politik, harus
mengetahui karakter atau atribut kepribadian pemimpin, termasuk latar
belakangnya sebelum menjadi pemimpin, karakteristik orang-orang atau
kelompok yang menjadi pengikutnya, bagaimana interaksi antara pemimpin
dengan yang dipimpin, konteks lingkungan di mana pemimpin berada, serta
perilaku kepemimpinan yang ditampilkannya.
51 Universitas Sumatera Utara
Secara skematik, model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Karakteristi
k Pemimpin
Hubungan
antara
pemimpin
dan
pengikut
Pengikut
Periaku
Kepemimpinan
Gambar 3. Model Kepemimpinan Politik Integratif
Sumber: Hamdi Muluk, 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia, hlm. 67.
Kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi tidak sebaliknya.
Pemimpin harus memiliki empat syarat, yakni memiliki kekuasaan, kewibawaan,
kemampuan, dan yang terpenting memiliki pengikut-pengikut. Tiga syarat
sebelumnya adalah cara bagaimana pemimpin memiliki dan mendapatkan
pengikut. Pemimpin tidak memiliki arti jika ia tidak memiliki pengikut.53 Dan
kepemimpinan merupakan hubungan antara pihak yang memilki pengaruh dan
orang yang dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber
pengaruh secara efektif. Namun kepemimpinan lebih menekankan pada
kemampuan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, kepemimpinan
juga merupakan upaya untuk melaksanakan suatu tujuan yang menjadi
kepentingan bersama, baik pemimpin maupun pengikut.
Oleh karena itu, kepemimpinan politik berbeda dengan elit politik, karena
menurut Pareto54, elit politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang
paling dinilai tinggi dalam masyarakat, seperti kekayaan atau wewenang.
53
54
Riant
Nugroho Dwidjowijoto, op.cit,. hlm. 76. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, 1999, hlm. 134. 52 Universitas Sumatera Utara
Memiliki kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik,
karena berbeda jenis sumber pengaruh dan tujuan penggunaan pengaruh. Sebutan
politik dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung
dalam suprastruktur politik seperti lembaga-lembaga pemerintahan, dan yang
berlangsung dalam infrastruktur politik, seperti partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Pemimpin politik juga lebih menggunakan hubungan-hubungan
informal dan personal dalam menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan
tertentu.
2.3.2
Endorser
Endorser merupakan salah satu komponen dari proses pencitraan dalam
komunikasi politik. Dalam kajian komunikasi politik, endorser adalah strategi
penonjolan sosok ketokohan dalam sebuah partai. Merawat ketokohan dan
memantapkan kelembagaan. Ketokohan adalah orang yang memiliki kredibilitas,
daya tarik, dan kekuasaaan. Dengan kata lain, ketokohan merupakan gabungan
antara kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan.55
Menurut Asto S. Subroto56, terdapat lima aspek yang harus dipenuhi oleh
oleh seorang tokoh yang hendak dijadikan endorser di dalam ranah politik.
Pertama, adanya atribut sebagai orang yang terpercaya pada pribadinya
(trustworthiness), artinya kemampuan endorser telah dipercaya dan dijadikan
rujukan. Kepercayaan ini dapat tumbuh dari pencapaian yang telah didapat oleh
55
Anwar Arifin, op.cit., hlm. 146. 56
Asto S. Subroto. 2008. “Strategi Memilih Endorser dalam Politik.”
www.sinarharapan.co.id [09/04/2010] 53 Universitas Sumatera Utara
tokoh tersebut melalui track record yang baik di masa lalu. Kepercayaan ini juga
tergantung persepsi pendukung terhadap motivasi endorser, apakah ketokohannya
atau posisinya demi kepentingan pribadi atau motivasi lainnya.
Kedua, adanya keahlian yang dimiliki oleh endorser (expertise).
Komponen ini berkaitan dengan keahlian, pengetahuan, atau kemampuan tertentu
yang berhubungan dengan visi yang didukung atau dibawanya. Menurut Shimp,
berhasil atau tidaknya seorang endorser mengangkat suatu brand politik, akan
lebih banyak ditentukan oleh persepsi audiens atau pengamat mengenai sejauh
mana keahlian yang dimilliki endorser. Jika seseorang dipersepsi publik sebagai
seorang yang ahli, maka dia akan lebih mampu mengubah opini ketimbang
endorser yang tidak dipersepsi sebagai ahli.
Ketiga, endorser harus memiliki daya tarik atau attractiveness. Aspek ini
bukan sekadar daya pikat fisik saja, namun juga karakter. Karakter yang dapat
dipersepsi berbeda oleh audiens adalah kapasitas intelektual, identitas personal,
gaya hidup, dan keterampilan atau kelebihan yang dimilikinya. Jika audiens
menemukan sesuatu pada diri endorser yang disukai, maka proses komunikasi
persuasif bekerja lewat identifikasi. Artinya, melalui identifikasi maka audiens
akan mengadopsi perilaku, sikap, kepentingan atau preferensi, ketika mereka
menemukan hal menarik dalam diri endorser.
Keempat,
adalah
aspek
penghargaan
atau
respect.
Aspek
ini
merepresentasikan kualitas yang dihargai sebagai akibat dari kualitas atau
pencapaian personal endorser. Dalam politik, maka ketokohan yang dijadikan
endorser adalah yang memiliki kepribadian dan kualitas argumentasi politiknya.
54 Universitas Sumatera Utara
Tokoh yang amat dihargai, akan meningkatkan ekuitas sebuah brand politik
karena para komunikan bisa mendapatkan nilai (value) lewat brand politik
tersebut.
Kelima, adalah aspek
kesamaan atau similarity. Aspek ini mengacu
kepada kesamaan antara endorser dan audiens dalam hal umur, gender, etnis,
status sosial, cara pandang, ekspektasi, dan sebagainya. Similaritas sangat penting
mengingat banyak orang cenderung menyukai keadaan berbagi (shared) dalam
karakteristik yang sama.
2.4
Konstruktivisme
Subjek atau individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap pesan komunikasi atau wacana.
Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang
bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna,
yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang komunikator.
Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkat maksud dan maknamaknda tertentu dari komunikasi.
Konstruktivisme
berpendapat
bahwa
semesta
secara
epistimologi
merupakan hasil konstuksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman
manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan
reproduksi kenyataan. Keberagaman kognitif merupakan hasil dari lingkungan
historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Dengan
55 Universitas Sumatera Utara
demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan
bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif hasil dari lingkungan historis,
kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus.57
Dalam konstruktivisme, unsur objek dan subjek sama-sama berperan
dalam mengonstruksi informasi, sehingga ia menjembatani dualisme objektivitassubjektivitas dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi
informasi. Pandangan ini mengakui adanya interaksi antara ilmuwan dengan
fenomena yang dapat memayungi berbagai pendekatan atau paradigma dalam
ilmu pengetahuan. Sehingga dalam pandangan ini, tidak ada makna yang mandiri,
dan tidak ada deskripsi yang murni objektif.58
Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja ke
dalam ranah pemikiran seseorang, karena komunikanlah yang mengartikan apa
informasi pesan yang diterimanya yang disesuaikan dengan pengalaman mereka.
Pentingnya
pengalaman
dalam
proses
ini
membuat
proses
konstruksi
membutuhkan beberapa kemampuan59, seperti kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil
keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, serta kemampuan
untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.
Piaget (1970)60 membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan
pengetahuan ini, yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif adalah
57
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung, 2009,
hlm. 151 58
Ibid., hlm. 152 59
Ibid., hlm. 154 60
Ibid. 56 Universitas Sumatera Utara
imajinasi keadaan sesaat dan statis yang menyangkut bagaimana gambaran mental
seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Sedangkan aspek berpikir operatif
lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut
operasi intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti
sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi
lain.
Jika dihubungkan dengan konstruksi mengenai politik, maka pikiran,
perasaan, dan kesudian subjektiflah yang menyusun citra seorang mengenai halhal yang berhubungan dengan politik, yang berguna atau memuaskan baginya.
Walaupun ia tidak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai politik,
setidaknya hal itu memberinya jalan untuk memahami politik. Kemudian
kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik
merupakan dasar untuk menilai suatu objek atau subjek politik. Dan bagaimana
manusia mencitrakan dirinya, maka dengan cara seperti itu pula yang
menghubungkan dia dengan orang lain. Dengan demikian, maka citra seseorang
dalam politik yang melewati tahap konstruksi, dapat membantu dalam
pemahaman, penilaian, dan identifikasi peristiwa, gagasan tujuan, atau pemimpin
politik. Sehingga hal tersebut memberikan alasan yang dapat diterima secara
subjektif tentang preferensi politik.61
Konstruksi erat kaitannya dengan interpretasi, karena dengan interpretasi,
individu memperhitungkan segala sesuatu, menyusunnya, dan menanggapi yang
paling menonjol. Proses interpretatif bukan sekedar mata rantai yang
61
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung, 2001. Hlm. 8. 57 Universitas Sumatera Utara
menghubungkan keadaan internal dengan perilaku seseorang, juga bukan
mekanisme yang hanya mengaktifkan tanggapan yang dikondisikan terhadap
suatu rangsangan. Namun sebaliknya, melalui interpretasi, orang mengekploitasi
pikiran, perasaan, dan kesudiannya dengan cara yang dipikirkan dan aktif,
menanggapi objek atau subjek dalam setting secara subjektif.
Proses interpretasi personal dalam memperhitungkan atau menilai suatu
hal secara subjektif dapat digambarkan sebagai berikut:
Peluang Resmi
Komunikasi Politik
Sumber Daya Sosial
PROSES
INTERPRETASI
PERSONAL
Susunan
Tanggapan
(mengambil bagian
atau tidak)
Motivasi Personal
Gambar 4. Pengaruh Terhadap Partisipasi Politik
Sumber: Dan Nimmo. 2001. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, hlm. 168.
Gambar di atas menjelaskan bahwa pesan tentang politik yang dibawa
melalui komunikasi politik ke dalam matriks peluang resmi yang dipersepsi,
sumber daya sosial, dan motivasi sosial yang merupakan dunia seseorang. Pesan
tersebut berisi informasi tentang pilihan yang tersedia, pilihan mana yang akan
58 Universitas Sumatera Utara
diperhitungkan, dan mana yang tidak.62 Proses komunikasi politik yang terjadi
dan diterima oleh individu akan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan
subjektifnya, berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Jelas bahwa proses
interpretasi
yang
melandasi
konstruktivisme
sangat
berpengaruh
dalam
penerimaan pesan-pesan politik.
2.4.1
Pencitraan
Menurut Anwar Arifin63, pencitraan merupakan suatu tujuan dari
komunikasi politik yang terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh
khalayak. Pencitraan dalam politik berkaitan dengan pembentukan pendapat
umum yang terbangun melalui citra politik dan hal ini terwujud sebagai
konsekuensi kognitif dari komunikasi politik. Di sini, percitraan atau image
politik didefenisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat
atau publik akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang
terkait dengan aktivitas politik (Firmanzah, 2007: 230).
Pencitraan mengandung objektivitas dan subjektivitas secara bersamaan,
karena di dalam suatu image terdapat hal-hal yang dapat dilogiskan, yakni bahwa
image adalah konstruksi empiris dan terbukti di lapangan. Sedangkan ranah
subjektivitas bekerja jika percitraan mengandung unsur emosional, adanya ikatan
keberpihakan, dan timbulnya kepercayaan.64 Faktor kepercayaan menjadi semakin
penting karena masyarakat Indonesia khususnya telah berkembang menjadi
62
63
64
Ibid., hlm. 167. Anwar Arifin, op. cit., hlm. 105. Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Bandung, 2007,
hlm. 240. 59 Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang sangat besar dan kompleks. Sehingga kepercayaan sekarang
lebih efektif dibangun secara ganda, yakni melalui efektifitas organisasi dan
individu dalam menjalankan tugas dan misinya, serta adanya citra. Dan bahkan
citra cenderung memegang porsi yang lebih dari 50 persen dalam hal menentukan
adanya kepercayaan atau tidak. Dengan adanya citra yang baik, maka sejalan
dengan itu, kepercayaan juga akan timbul dari masyarakat. Trust is everything
today, seperti yang ditegaskan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Virtue of
Prosperity. Ia menjelaskan bahwa modal yang menentukan keberhasilan suatu
bangsa membangun dirinya adalah ada atau tidaknya kepercayaan di dalamnya.65
Masalah citra atau pencitraan seseorang dalam memasuki ranah politik di
Indonesia sekarang ini bukanlah masalah yang sepele. Bahkan terdapat sebuah
ungkapan, yakni politics is about image, and the image is reality. Politik adalah
masalah citra diri, tidak peduli sehebat apa kompetensi seseorang, akan tetapi jika
citranya ‘buruk’ apalagi ‘busuk’, maka tidak ada yang bisa bertahan. Oleh karena
itu, citra dianggap dan dipercaya sebagai kenyataan oleh khalayak atau publik.
Sehingga membangung citra yang baik, jauh lebih baik daripada memperbaiki
citra yang telah buruk menjadi baik.66
Agenda komunikasi politik yang menjadi perhatian para praktisi politik
saat ini adalah bahwa citra akan menjadi penentu dalam politik daripada
kenyataan itu sendiri, dan komunikasi menjadi faktor utama kunci penciptaan
citra. Media komunikasi massa mengambil peran besar dalam proses pencitraan
65
Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 10. 66
Ibid., hlm. xi. 60 Universitas Sumatera Utara
ini.67 Membangun citra dilakukan melalui komunikasi politik yang di dalamnya
terjadi proses tukar-menukar informasi antara dua entitas atau lebih yang
bertujuan untuk menciptakan kesepahaman politik (permasalahan, isu, atau
kebijakan politik). Konstruksi citra dalam komunikasi politik memiliki muatan
‘hal yang sadar’ dan ‘hal yang tidak sadar’. Kemudian omunikan yang
menanggapi pesan komunikasi politik akan memproses hal yang terjadi secara
simultan melalui dua proses, yakni pembelajaran sosial (social learning) dan
identifikasi sosial (social identification).68
Dalam pembelajaran sosial, semua imformasi yang terkadang ambigu dan
bertolak belakang, diterima oleh komunikan. Proses ini dapat terjadi melalui
beberapa cara. Pertama, komunikan melihat sumber atau siapa yang melakukan
proses komunikasi. Kedua, komunikan mencoba membenturkan informasi yang
diterima dengan semua informasi yang terdapat dalam otak mereka, kemudian
menarik kesimpulan apakah terdapat hubungan dan konsistensi antara informasi
yang tertanam dengan informasi baru. Kemudian komunikan melakukan
identifikasi untuk menentukan apakah informasi yang diterima tersebut benar atau
salah, baik secara rasional maupun emosional. Hasil konstruksi dari kedua proses
inilah yang akan tertanam dalam benak komunikan yang nantinya menjadi
gambaran citra, reputasi, dan kesan. Konstruksi citra dapat digambarkan dengan
bagan berikut:
67
Ibid., hlm. 62. 68
Firmanzah, op. cit., hlm. 244. 61 Universitas Sumatera Utara
Aksi secara
sadar
(intenden)
Pembelajaran
Sosial
Komunikasi
Politik
Aksi secara
tidak sadar
(unintenden)
Image
Terekam
Identifikasi
Sosial
Gambar 4. Konstruksi Citra Politik
Sumber: Firmanzah. 2007. Marketing Politik, hlm. 243
Figur yang diposisikan sebagai pemimpin, seharusnya adalah tokoh yang
memiliki citra baik di mata khalayak, karena tujuan komunikasi politik adalah
untuk mengoneksikan antara elit politik dan pemimpin dengan masyarakat.
Komunikasi dalam politik memegang peranan yang sangat urgent, karena
komunikasi menjadi alat yang paling ampuh dalam membangun citra ataupun
menghancurkan citra seorang figur politik. Dan Nimmo dalam Popular Images of
Politics69 mengatakan bahwa hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh
politisi sebagai strategi dalam komunikasi politik adalah menciptakan political
imagery. Melalui pola ini, dapat disusun sebuah kepercayaan sosial kepada
pemimpin atau penguasa politik, dan menjadi bagian terpenting baginya dalam
menjalankan tugasnya secara efektif.
69
Dan Nimmo dalam Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 61 62 Universitas Sumatera Utara
Pemimpin politik mengerti bahwa citra dan pencitraan dapat memenuhi
kebutuhan khalayak, dan karena itu para pemimpin mengungkapkan imbauannya
dalam bentuk perlambangan untuk membangkitkan citra yang simpatik di antara
khalayak massa. Sepanjang perlambangan politik itu membangkitkan citra positif
dan memuaskan di tengah khalayak, maka pencitraan itu adalah the real thing
atau hal yang nyata.70 Jika diistilahkan antara tokoh politik dan masyarakat itu
ibarat produsen dan konsumen seperti halnya di dalam prinsip ekonomi, maka
pemimpin selaku produsen hendaknya mematuhi tiga hukum dimensi dari pasar,
bahwa pasar (masyarakat) menuntut supply, demand, dan image. Citra adalah
dimensi ketiga dari pasar (masyarakat) yang dalam hal ini juga memiliki
kesetaraan dengan demokrasi. Namun dimensi ketiga ini acap kal diabaikan,
padahal citra adalah inti dari pasar itu sendiri.
2.5
Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku.71 Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat dalam
bukunya Psikologi Komunikasi, persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan yang memberikan makna pada stimulus
inderawi manusia.72
70
Dan Nimmo, op. cit., hlm. 10. 71
Deddy Mulyana, op. cit., hlm. 167. 72
Jalaludiin Rakhmat, loc. cit. 63 Universitas Sumatera Utara
2.5.1
Persepsi Interpersonal
Persepsi bukan sekedar rekaman suatu peristiwa atau objek yang dapat
ditangkap oleh indera sensasi kita, namun beberapa kondisi mempengaruhi
bagaimana persepsi terbentuk, seperti kebutuhan, kesiapan mental, suasana
emosional, dan latar belakang budaya, akan menentukan interpretasi seseorang
terhadap suatu sensasi yang diterima alat inderanya. Fritz Heider73 menyebutkan
proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli yang diterima disebut
sebagai construkctive process atau proses konstruktif. Proses ini meliputi faktor
biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi.
Persepsi interpersonal adalah istilah yang digunakan untuk menekankan
manusia sebagai objek persepsi, bukan benda selain manusia. Persepsi dua orang
terhadap satu objek orang yang sama, bisa akan jauh berbeda jika dibandingkan
dengan persepsi dua orang yang sama terhadap satu objek benda mati atau objek
bukan manusia. Ada empat prinsip perspesi interpersonal yang membedakannya
dengan perspesi objek.74 Pertama, stimuli pada persepsi interpersonal sampai
kepada seseorang dalam bentuk lambang-lambang verbal atau grafis yang
disampaikan oleh pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah media, sehingga
mengurangi kecermatan persepsinya. Kedua, pada persepsi interpersonal, manusia
berusaha memahami apa yang tidak tampak pada alat indera, tidak hanya
memperhatikan perilaku manusia lainnya, namun juga berusaha mengetahui apa
motif yang melatarbelakangi timbulnya perilaku tersebut. Namun manusia tidak
mampu menangkap seluruh sifat dan berbagai dimensi perilaku manusia lain, dan
73
Jalaluddin Rakhmat, op. cit., 1993, hlm. 80. 74
Ibid., hlm. 81-82. 64 Universitas Sumatera Utara
bahkan cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ketiga, melalui persepsi
interpersonal, terdapat faktor-faktor personal pelaku persepsi dan karakteristik
orang yang ditanggapi, serta hubungan antara keduanya, akan menyebabkan
persepsi interpersonal sangat cenderung keliru. Keempat, manusia sebagai pelaku
persepsi atau yang dipersepsi cenderung berubah-ubah, sehingga persepsi
interpersonal menjadi mungkin salah karena perubahan ini.
Walaupun sulit mempersepsi orang lain, bukan berarti tidak bisa saling
memahami antara seseorang dengan orang lain. Karena manusia tetap bisa saling
bergaul dan berkomunikasi, dan masih dapat menduga perilaku satu sama lain.
Persepsi disimpulkan dari melihat karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk
eksternal yang dapat diamati seperti yang dijelaskan oleh Jalaluddin Rakhmat.75
Petunjuk-petunjuk itu seperti faktor situasional, antara lain deskripsi verbal dari
pihak lain, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik, dan artifaktual.
Deskripsi verbal yakni penyebutan rangkaian kata sifat-sifat tertentu
seseorang yang disampaikan kepada orang lain, yang dapat mempengaruhi
persepsi yang dibuat mengenainya. Sedangkan proksemik adalah bagaimana jarak
sosial yang ada ketika berkomunikasi dengan orang lain, seperti keakraban,
keterbukaan, atau tertutup. Faktor kinesik adalah petunjuk gerakan atau gestur
tubuh orang lain, faktor ini paling susah dikendalikan secara sadar oleh
seseoranng jika dibandingkan dengan stimulli verbal. Kemudian faktor emosi atau
mimik wajah yang terkadang tidak dapat menggambarkan atau mengungkapkan
emosi secara cermat. Karena ada yang sangat sensitif pada wajah, dan ada yang
75
Jalaluddin Rakhmat, op. cit., 2005, hlm. 82. 65 Universitas Sumatera Utara
tidak.
Petunjuk
paralinguistik
menggambarkan
bagaimana
seseorang
mengucapkan lambang-lambang verbal, seperti tinggi-rendahnya suara, tempo
bicara, dialek atau logat, dan interaksi ketika melakukan percakapan. Faktor
artifaktual adalah atribut atau segala macam penampilan, seperti kosmetik, baju,
tas, pangkat, dan atribut lainnya.76
Kemudian yang juga menentukan persepsi interpersonal adalah faktor
personal, seperti pengalaman, motivasi, dan kepribadian. Faktor pengalaman
mempengaruhi kecermatan persepsi, walaupun pengalaman tidak selalu lewat
proses belajar formal. Pengalaman bertambah melalui rangkaian peristiwa yang
pernah dialami. Faktor motivasi merupakan faktor yang paling banyak
mempengaruhi proses konstruktif, karena apapun yang diambil sebagai persepsi
terhadap
suatu
objek
(manusia),
akan
berbeda
jika
motivasi
yang
melatarbelakanginya berbeda. Faktor kepribadian merupakan hal yang mendasari
pembentukan kesan terhadap suatu sikap sehingga menyimpulkan sifat seseorang
kemudian mempersepsikannya sesuai dengan apa kesan yang ditangkap. Faktor
ini meliputi kesan dan atribusi.77
2.5.2
Dalil-dalil Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-
hal lain yang termasuk dalam faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan
jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakter orang yang memberikan respons pada
stimuli tersebut. Terhadap satu informasi yang sama, beberapa orang dapat
76
Ibid., hlm. 83-85. 77
Ibid., hlm. 89-91. 66 Universitas Sumatera Utara
menarik kesimpulan yang berbeda, dikarenakan perbedaan kondisi yang masuk
dalam faktor personal individu yang memberikan persepsi. Krech dan
Crutchfield78 merumuskan beberapa dalil persepsi yang dapat menjelaskan
bagaimana persepsi dapat terbentuk pada ranah pemikiran seseorang.
Dalil yang pertama, menyebutkan bahwa persepsi bersifat selektif secara
fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat penekanan dalam
persepsi seseorang biasanya adalah objek-objek yang memenuhi tujuan orang
tersebut dalam melakukan persepsi. Misalnya saja tujuan dalam pemenuhan
kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar budaya terhadap
persepsi. Hal-hal yang fungsional ini memiliki faktor yang mempengaruhi, dan
biasa disebut sebagai kerangka rujukan atau frame of reference. Dalam kegiatan
komunikasi, kerangka rujukan memengaruhi bagaimana seseorang memberi
makna pada pesan yang diterimanya.
Dalil kedua menyebutkan bahwa medan perseptual dan kognitif selalu
diorganisasikan dan diberi arti. Manusia mengorganisasikan stimuli dengan
melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima tidaklah lengkap, manusia
akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli
yang dipersepsikannya. Melalui dalil ini, persepsi juga ditentukan oleh faktorfaktor struktural. Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan
efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Menurut Gestalt,
bila seseorang mempersepsikan seseuatu, maka ia akan mempersepsikannya
sebagai
suatu
keseluruhan,
tidak
melihat
bagian-bagiannya,
kemudian
78
Ibid., hlm. 55-59. 67 Universitas Sumatera Utara
menghimpunnya.
Jika
ingin
memahami
suatu
peristiwa,
maka
harus
memandangnya dalam hubungan secara keseluruhan, bukan meneliti fakt-fakta
secara terpisah. Sehingga jika ingin memahami seseorang, maka harus melihat
seseorang tersebut dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah
yang dihadapinya.
Dalil ketiga mengenai persepsi berhubungan dengan konteks, Krech dan
Crutchfield menyebutkan bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari
substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan.
Jika manusia dianggap sebagai bagian atau anggota kelompok, maka semua sifat
individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh
keanggotaan kelompoknnya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.
2.5.3
Kesan
Manusia menggunakan informasi apapun yang tersedia untuk membentuk
kesan tentang orang lain, membuat penilaian tentang kepribadiannya dan
menyusun hipotesis tentang jenis orang itu. Dengan mempersepsikan orang lain,
seseorang dapat membentuk kesan terhadap orang lain. Shelley E. Taylor dan
kawan-kawan, menyebutkan bahwa dalam mengetahui bagaimana orang
membentuk kesan tentang orang lain, terdapat enam prinsip79, yaitu:
1. Orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan
informasi minimal dan kemudian menyebutkan ciri-ciri umum dari orang
lain tersebut.
79
Shelley E. Taylor (et. al.), Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas, Jakarta, 2009, hlm.
53-54. 68 Universitas Sumatera Utara
2. Orang memberikan perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol dari
seseorang,
bukan
memerhatikan
seluruh
ciri
seseorang.
Kota
memerhatikan kualitas yang membuat orang berbeda dan aneh.
3. Dalam memproses informasi tentang orang lain, kita akan memberikan
makna yang koheren pada perilaku mereka. Hingga menggunakan perilaku
orang
lain
untuk
menyimpulkan
makna
perilaku,
bukan
menginterpretasikan perilaku secara terpisah.
4. Persepsi ditata dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan stimuli.
Manusia cenderung melihat orang sebagai kelompok, bukan individu.
5.
Manusia menggunakan struktur kognitif untuk memahami perilaku
manusia lainnya.
6. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan
memengaruhi bagaimana ia memandang orang lain.
Terdapat
beberapa
kategori
yang
digunakan
oleh
seseorang
mempersepsikan orang lain. Pertama, melalui peran yang dijalani mereka di
masyarakat. Ketika seseorang mencari cara untuk mengorganisasikan informasi
mengenai orang lain, maka penting sekali mengetahui peran sosial daripada sifat
mereka. Peran seseorang di dalam masyarakat bersifat informatif, meringkas
banyak informasi untuk berbagai macam situasi. Peran juga lebih menonjol
dibandingkan dengan sifat sehingga menimbulkan lebih banyak asosiasi.
Kemungkinan besar manusia lebih banyak mengingat orang lain berdasarkan
perannya, bukan berdasarkan ciri-cirinya. Sehingga bisa dikatakan, seseorang
69 Universitas Sumatera Utara
cenderung memandang orang lain dalam konteks peran terlebih dahulu, baru
kemudian pada ciri-cirinya.
Ketika dua orang bertemu, mereka sama-sama
membentuk kesan terhadap satu sama lain. Dengan semakin sering kontak,
mereka membentuk kesan yang makin lengkap, yang nantinya akan memengaruhi
cara mereka berhubungan satu sama lain, memengaruhi tingkat kesukaan dan
keakrabannya.
Aspek kedua, persepsi dibentuk melalui petunjuk dan ciri fisik. Kesan
pertama sering disimpulkan berdasarkan pada penampilan dan perilaku orang lain.
Ketiga, aspek kemenonjolan seseorang menjadi petunjuk atau informasi dalam
membentuk persepsi. Kemenonjolan ini tidak hanya dari segi perbedaan fisik,
namun juga atribut yang dipakainya, tingkah laku, atau stimuli lainnya. Aspek
lainnya yang juga banyak menentukan persepsi terhadap seseorang adalah
kategorisasi sosial, seperti gender, ras, dan kelas sosial.80
Kebutuhan untuk menciptakan kesan yang akurat biasanya akan membuat
orang lebih banyak mengumpulkan informasi. Banyak riset yang meneliti
seberapa akuratkah orang dalam menilai ciri dan karakter orang, seperti sifat
dominasi dan kemampuan sosialnya. Hasil studi menunjukkan bahwa akurasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor.81 Pertama, persepsi seseorang terhadap orang
lain terkadang lebih banyak ditentukan oleh preferensi pada dimensi personalitas
tertentu ketimbang oleh atribut objektif. Kedua, sulit mengukur karakter
personalitas, dan karenanya sulit untuk menetapkan kriteria yang tepat untuk
80
Ibid., hlm. 52-53. 81
Ibid. 70 Universitas Sumatera Utara
akurasi. Ketiga, seringkali ciri personalitas bisa memprediksikan perilaku hanya
pada situasi yang terbatas.
Karena sulitnya menetapkan kriteria untuk akurasi, Park & Krauss
memfokuskan pembahasan dengan menyepakati suatu ciri atau karakter yang
dapat diamati orang lain, sehingga lebih mudah untuk disepakati. Misalnya lebih
mudah menilai kepintaran dan kepiawaian dalam berbicara, dibandingkan dengan
kejujuran, yang lebih sulit untuk dilihat dan dikonfirmasi.82 Akurasi penilaian juga
diukur berdasarkan apakah penilaian terhadap orang lain sesuai dengan persepsi
diri dari orang yang dinilai tersebut. Secara umum, kesepakatan antara penilaian
seseorang dengan target akan bergantung pada seberapa baik tingkat keakraban
kedua belah pihak. Persepsi yang akurat tentang atribut orang lain dapat
ditingkatkan ketika informasi mengenai situasi di mana perilaku tersebut terjadi.
Akurasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan empati, sebab dengan empati
seseorang dapat lebih memahami apa yang orang lain pikirkan, memandang
sesuatu sebagaimana mereka memandangnya, dan menjadi lebih akurat dalam
menyimpulkan pikiran dan perasaan mereka.
2.5.4 Atribusi
Menurut Baron dan Byrne yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat83,
atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain
dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Terdapat dua macam atribusi,
yaitu atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran. Jika melihat perilaku seseorang,
82
Ibid., hlm. 66. 83
Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 93. 71 Universitas Sumatera Utara
maka proses pemahaman apa yang menyebabkan ia berperilaku seperti itu,
merupakan telaah atribusi kausalitas, faktor apa yang menyebabkannya
berperilaku seperti itu, misalnya faktor situasional atau faktor personal. Proses
memahami motif persona stimuli dapat diperhatikan melalui dua hal, yakni
apakah perilaku tersebut hanya memungkinkan satu atau sedikit penyebab, dan
apakah perilaku tersebut menyimpang dari pola perilaku yang biasa atau pada
umumnya.
Kemudian yang membedakan antara atribusi kausalitas internal, ekternal,
atau gabungan dari keduanya menurut Harrold Kelley ada tiga indikator84:
a. Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaiman seorang berperilaku dalam kondisi
yang berbeda-beda. Distinctivness yang tinggi terjadi apabila orang yang
bersangkutan mereaksi secara khusus pada suatu peristiwa. Sedangkan
distinctiveness rendah apabila seseroagn merespon sama terhadap stimulus
yang berbeda.
b. Konsistensi
Hal ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu
peristiwa. Konsistensi dikatakan tinggi apabila seseorang merespon smaa
untuk stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Apabila responnya
tidak menentu maka seseorang dikatakan konsistensinya rendah.
84
Ibid., hlm. 95. 72 Universitas Sumatera Utara
c. Konsensus
Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang, berarti
konsensusnya rendah, dan sebaliknya. Selain itu konsep tentang konsensus
selalu melibatkan orang lain sehubungan dengan stimulus yang sama.
Dari ketiga informasi di atas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang.
Atribusi internal, yakni perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya
bila distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah, dan konsistensinya tinggi.
Untuk atribusi eksternal, maka ditandai dengan distinctiveness yang tinggi,
konsensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi. Sedangkan atribusi internaleksternal, hal ini ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, konsensus rendah,
dan konsistensi tinggi. Atribusi kausalitas internal menurut Thibault dan Riecken
lebih banyak dikenakan pada konfederat berstatus tinggi. Penghormatan atau
pujian kepada orang yang memiliki status tinggi dianggap sebagai suatu
penghargaan, dan persona stimulinya dianggap jujur, sedangkan sebaliknya jika
pernghormatan yang diberikan kepada orang berstatus rendah, dianggap tingkat
kejujurannya rendah.
73 Universitas Sumatera Utara
Download