BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Organisasi Massa Masyarakat kita merupakan masyarakat yang terdiri dari organisasi- organisasi, karena masyarakat sekarang sangat berbeda dengan masyarakat di masa lampau. Masyarakat modern dewasa ini lebih mengutamakan rasionalitas efektivitas dan efisiensi sebagai nilai-nilai moral yang tinggi. Peradaban modern pada hakikatnya pengelompokkan sangat sosial bergantung yang paling pada organisasi rasional dan sebagai efisien. bentuk Organisasi menggabungkan sumber daya tenaga manusia yang dimilikinya dengan sumber daya lain, yaitu dengan menjalin para pemimpin, kelompok pengikut atau pekerja, dan sistem serta sturktur.32 Menurut De Vito33 yang dikutip oleh Burhan Bungin menjelaskan bahwa pengertian organisasi adalah sebagai suatu kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi bervariasi, dari tiga atau empat hingga mencapai ribuan orang. Organisasi memiliki tujuan umum dan tujuan spesifik, untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuat norma aturan yang diatuhi oleh semua anggota organisasi. 32 Amitai Etzioni, Organisasi-Organisasi Modern , Jakarta, 1985, hlm. 1. 33 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, 2006, hlm. 272. 34 Universitas Sumatera Utara Organisasi massa atau ormas merupakan suatu gerakan politik yang pada prinsipnya juga bentuk dari partai. Pengertian organisasi massa menurut undangundang. Dalam Pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Bab I (1), yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Organisasi massa di Indonesia didirikan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kepentingan.34 Seperti misalnya kepentingan sosial dengan mengangkat isuisu sosial dan usaha-usaha pembelaan terhadap kaum marginal, kepentingan ekonomi sebagai upaya mengangkat derajat kemakmuran dan kesejahteraan kelompoknya, kepentingan politik sebagai upaya rektrutmen massa politik untuk kemudian disalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik tertentu yang mempunyai kesepahaman ideologi yang sama pada awalnya. Kemudian kepentingan religius yang merupakan upaya untuk perkuatan kelompok religi dalam melakukan pembinaan dan rekrutmen, selanjutnya kepentingan budaya yang fokus pada upaya konservasi kebudayaan, kepentingan profesi untuk peningkatan kualitas profesionalime di bidang profesi tertentu, dan kepentingan networking atau lobi sebagai upaya perluasan jaringan (network) dalam rangka penguatan pengaruh yang bermanfaat untuk melobi kekuasaan. 34 Poempida hidayatulloh 35 Universitas Sumatera Utara Namun di era demokrasi sekarang kepentingan lebih menjadi faktor perekat yang signifikan, nilai-nilai kesamaan ideologi menjadi tidak esensial selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan mencapai tujuannya, ormas memerlukan suatu pondasi yang menjadi basis kekuatan dari ormas tersebut. Kekuatan Ormas di Indonesia masih mengandalkan beberapa faktor.35 Pertama, figur sentris atau ketokohan para pemimpin, karena menjadi suatu hal yang sangat krusial dalam membangun dan memperkuat kekuatan ormas tersebut. Kedua, fleksibilitas ideologi menjadi titik awal kebesaran ormas dikarenakan besar kecilnya ormas akan tergantung dari eksklusifitas atau ekstrofertifitas dari ormas tersebut. Ketiga, adanya dukungan pemerintah, karena rekognisi dari pemerintah dan dukungan fasilitas pemerintah masih menjadi darah untuk keberlangsungan ormas. Keempat, faktor militansi dari segenap organ ormas yang menjadi isu sentral dalam perjalanan pembinaan ormas, terutama dalam hal voluntarisme kader untuk membesarkan ormas. Intinya benefit secara ekonomis dan politis masih menjadi daya tarik terkuat untuk kader bergabung dengan ormas. Kelima, faktor moral dari segenap organ ormas, dan kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ormas. Keenam, faktor administrasi, karena ormas-ormas yang ada masih memiliki kesulitan dalam hal administrasi, terutama dalam hal pembukuan keuangan dan pendataan anggota. 35 Ibid. 36 Universitas Sumatera Utara 2.1.1 Gerakan Perubahan Dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik menfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum. Kelompok-kelompok ini kecewa dengan kinerja partai politik dan cenderung untuk memusatkan perhatian pada satu masalah tertentu, dengan harapan akan lebih efektif memengaruhi proses pengambilan keputusan melalui direct action36. Pendapat Miriam Budiardjo di atas juga dijelaskan secara lebih kongkrit dengan melihat organisasi massa memakai prinsip pergerakan (movement) dan sebagai kelompok penekan (pressure group). Gerakan adalah kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan, atau menciptakan suatu lembaga baru dengan memakai cara – cara politik. Sedangkan kelompok penekan (pressure group) adalah kelompok yang memperjuangkan kepentingan dan berusaha memberi pengaruh terhadap kekuatan politik yang ada di pemerintahan. Kelompok ini bisa terdiri dari perkumpulan, golongan, ataupun partai yang berada di luar pemerintahan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell Jr. melalui buku Comparative Politics: A Developmental Approach, mereka memperkenalkan suatu istilah ‘sistem politik’ yang keluar dari 36 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm. 367. 37 Universitas Sumatera Utara pemaknaan tradisional. Sistem politik yang mereka perkenalkan tidak hanya terdiri dari institusi pemerintahan, namun juga semua sturktur dalam aspek-aspek politik di negara tersebut. Sehingga sistem yang ada menyebabkan ketergantungan antara satu dengan bagian lain, dan memiliki batas di antara mereka dan lingkungannya.37 Di negara-negara demokaratis pada umumnya dianggap jika lebih banyak partispasi masyarakat, maka lebih baik. Dalam alam pemikiran ini,, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Hal itu juga menunjukkan bahwa rezim yang bersangkutan memiliki kadar keabsahan atau legitimasi yang tinggi. Dalam kehidupan demokratis, juga dikenal istilah struktur politik, yang memiliki sistem merujuk pada organisasi dan institusi yang memelihara atau mengubah struktur politik, dan secara khusus menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi, rekrutmen, dan komunikasi politik. Struktur politik ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat formal dan informal. Menurut Almond dan Coleman, struktur politik dibedakan atas infrastruktur yang terdiri dari struktur masyarakat, suasana kehidupan masyarakat, dan sektor politiknya. Sedangkan suprastruktur terdiri dari sektor pemerintahan, suasana, dan sektor politik pemerintahan.38 Struktur formal merupakan mesin politik yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan melaksanakan segala keputusan 37 Almond dalam Riant Nugroho Dwidjowijoto, Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 59. 38 Almond dan Colleman dalam Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi , Yogyakarya, 2008, hlm. 85. 38 Universitas Sumatera Utara yang mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh masyarakat, sedangkan sturktur informal merupakan struktur yang mampu memengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengonversikan tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Organisasi massa termasuk ke dalam struktur politik informal, sebagaimana partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, media massa, dan lembaga non-pemerintah lainnya. Salah satu sebab masyarakat mulai membentuk kelompok-kelompok ini, karena mulai menyadari bahwa suara satu orang (misalnya dalam pemilihan umum) sangat kecil pengaruhnya, terutama di negara-negara berpenduduk dengan jumlah besar seperti Indonesia. Gerakan kelompok ini dari upaya penggabunngan diri individu dengan orang lain, agar suara dan aspirasinya menjadi lebih didengar oleh pemerintah. Tujuan kelompok ini adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih menguntungkan mereka. Pada era reformasi di Indonesia, kelompok atau lembaga non-pemerintah ini semakin mengakar dalam masyarakat, dengan perhatian dan konstentrasi yang beragam, misalnya di bidang demokrasi, globalisasi, good governance, pemberdayaan konsumen, media, pertanian, korupsi, isu lingkungan, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Organisasi ini terlibat aktif memengaruhi kebijakan publik berkenaan dengan bidang-bidang mereka masing-masing, terlibat dengan lobi-lobi politik di DPR dan pemerintah agar kepentingan mereka diperhatikan dan tujuan mereka tercapai melalui sistem politik.39 39 Ibid, hlm. 104 39 Universitas Sumatera Utara Dasar dari kelompok ini adalah ‘protes’, dan mereka sangat kritis terhadap cara-cara berpolitik para politisi dan pejabat. Mereka menginginkan desentralisasi dan kekuasaan negara, desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam peningkatan swadaya masyarakat, terutama masyarakat lokal. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi gerakan sosial (social movement) dan mulai berkembang istilah group politics ataupun new politics untuk mengidentifikasi gerakan sosial ini. Sejalan memang dengan pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), bahwa gerakan sosial merupakan bentuk perilaku kolektif yang berakar dalam kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut bersama. T. Tarrow dalam bukunya Power in Movement (1994) berpendapat bahwa gerakan sosial adalah tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas, yang dilaksanakan melalui interaksi secara terus-menerus dengan para elite, lawan-lawannya dan pejabatpajabat.40 2.2 Strategi Komunikasi Politik 2.2.1 Komunikasi Gordon I. Zimmerman yang dikutip oleh Deddy Mulyana41 mengatakan bahwa manusia melakukan komunikasi dengan dua tujuan besar, yakni untuk menyelesaikan tugas-tugas penting yang menjadi kebutuhan manusia yang mendasar, dan selanjutnya untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Sehingga komunikasi memiliki fungsi isi, melibatkan pertukaran 40 T. Tarrow dalam Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 383. 41 Gordon I. Zimmerman dalam Deddy Mulyana, op. cit., hlm. 4. 40 Universitas Sumatera Utara informasi yang diperlukan oleh manusia untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai hubungan dengan pihak lain. Fungsi komunnikasi tidak dapat dilepaskan dari kegunaannya dalam konteks sosial, dan dalam hal pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu atau tidak. Karena dalam keputusan terdapat suatu proses informasi yang melibatkan persuasi sehingga manusia memperoleh dukungan terhadap apa yang diputuskan dan dilakukannya. Dengan tujuan adalah menyamakan pengertian terhadap suatu informasi yang diproses dengan apa yang dipahami oleh orang lain. Komunikasi memiliki banyak ruang dan sisi, sehingga pada prakteknya komunikasi juga bersifat multifaset. Riant N. Dwidjowijoto mengungkapkan bahwa faset komunikasi mencakup dua hal pokok yang bersifat teknis yakni pesan dan media.42 Komunikasi yang efektif hanya bisa dicapai minimal, pesannya benar, mudah dipahami, dan mudah dikomunikasikan, serta media atau cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi komunikator dan komunikannya. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar berikut: 42 Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 73 41 Universitas Sumatera Utara Konteks Psikologis Komunikator Pesan Media Komunikan Konteks Sosiologis Gambar 2. Proses Untuk Mencapai Kesamaan Makna Pesan Sumber: Riant Nugroho Dwidjowijoto, 2004. Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, hlm. 74 Dari gambar di atas tampak bahwa proses untuk mencapai kesamaan makna dipengaruhi oleh tiga faset atau sisi, yaitu sisi komunikasinya sendiri, sisi psikologi dari masing-masing, dan sisi sosiologis dari masing-masing. Faset psikologis berkenaan dengan nilai psikologis dari komunikator dan komunikan. Dalam bahasa yang lebih umum yang disebut sebagai nilai psikologis adalah kondisi kebutuhan dari masing-masing individu dalam melaksanakan komunikasi tersebut. Faset sosiologis merupakan konteks sosial dari individu, misalnya lingkungan, sistem nilai budaya, dan bentuk-bentuk sosial lainnya yang dapat mempengaruhi pengertian pesan antara komunikator dan komunikan. Jika komunikasi dipandang dalam arti yang lebih luas meliputi seluruh pertukaran pesan di antara individu-individu warga masyarakat dari mulai kelompok terkecil hingga sampai pada kelompok yang lebih luas. Dalam jangkauannya, komunikasi tidak hanya berlangsung dalam ruang lingkup internal, namun juga eksternal. 42 Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Komunikasi Politik Politik dan komunikasi merupakan dua entitas yang saling berhubungan, baik dilihat dari sudut panndang relasi empirik ataupun dalam tinjauan akademis. Secara empirik, politik adalah sebuah proses kekuasaan yang menyebabkan dinamika kehidupan berjalan secara struktural, formal, dan asimetris. Sedangkan untuk kajian maupun tinjauan akademis, politik dilihat dari bagaimana kekuasaan dan pemerintahan dilihat dari teori-teori yang ada, digunakan dalam menganalisis fenomena yang terjadi. Dalam kaitannya dengan komunikasi, di sini komunikasi menjadi instrumen yang akan menjelaskan baik secara vertikal maupun horizontal. Kata menjelaskan di sini adalah mempertegas dan menyebarluaskan inti dan hakikat dari politik kepada masyarakat. Jurgen Habermas mengatakan bahwa untuk mencapai kekuasaan melalui politik, caranya adalah dengan meletakkan komunikasi sebagai sebuah politik, karena komunikasi merupakan sebuah proses perebutan pengaruh yang paling demokratis yang pernah ada. Cara memperoleh legitimasi atau dukungan ada beberapa jalan, antara lain melalui kekuatan fisik (termasuk militer), dengan uang, jabatan, dan pemerasan. Namun keempat hal di atas bukanlah sarana yang cukup fair jika dibandingkan dengan komunikasi. Di dalam komunikasi, mereka yang berebut kekuasaan harus mampu memengaruhi orang banyak baik dengan caracara yang kharismatikal ataupun cara-cara yang intelektual. Karena komunikasi merupakan sarana paling adil, bahkan paling manusiawi untuk saling mempertukarkan pengaruh dan memperebutkan kekuasaan.43 43 Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 55. 43 Universitas Sumatera Utara Komunikasi politik yang bersinggungan dengan organisasi atau kelompok menjadi jiwa dari organisasi politik tersebut.44 Melalui itu, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai untuk memasyarakatkan suatu organisasi politik seperti yang dijelaskan oleh Redi Panuju, yakni dengan menyosialisasikan keberadaannya kepada masyarakat, membangun citra positif dalam rangka mencari dukungan, menggalang opini publik dalam rangka membangun, menyeleksi isu, dan merangkumnya menjadi formulasi kebijakan, dan membangun jaringan dalam rangka efektivitas kerja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi komunikasi politik untuk mewujudkan empat tujuan tersebut. 2.2.3 Langkah Strategik Di kalangan militer terdapat ungkapan yang amat terkenal yang berbunyi “To win the war, not to win the battle” yang berarti memenangkan perang, bukan memenangkan pertempuran. Dalam hal ini, sangat diperlukan strategi untuk memenangkan perang, sedangkan taktiknya adalah untuk memenangkan pertempuran. Demikian pula dalam komunikasi, lebih-lebih komunikasi yang dilancarkan suatu organisasi, apakah itu komunikasi politik atau komunikasi bisnis. Pada ahli komunikasi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, dalam tahun-tahun terkahir ini menumpahkan perhatian yang besar terhadap strategi komunikasi atau communication strategy, dalam hubungannya dengan penggiatan pembangunan nasional di negara masing-masing. Fokus perhatian ini memang penting untuk ditujukan kepada strategi komunikasi, karena berhasil 44 Redi Panuju, loc. cit. 44 Universitas Sumatera Utara tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi komunikasi.45 Dengan demikian, strategi komunikasi, baik secara makro (planned multimedia strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy) mempunya fungsi ganda. Pertama, untuk menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. Kedua, untuk menjembatani ‘cultural gap’ akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh, yang apabila dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya. Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah perencanaan komunikasi dan manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan dari suatu aktivitas komunikasi. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah, melainkah harus menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Dalam arti kata, ada pendekatan atau approach yang bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung dari situasi dan kondisi. Pendekatan yang dilakuan terhadap efek yang ditimbulkan juga bisa bermacam-macam, seperti penyebaran informasi, melakukan persuasi, atau melaksanakan instruksi. Dalam strategi komunikasi, peranan komunikator sangatlah penting, karena strategi komunikasi harus luwes sedemikian rupa sehingga komunikator sebagai pelaksana dapat segera membuat suatu perubahan apabila ada suatu faktor yang mempengaruhi.46 Tahapan komunikasi hendaknya dimulai dengan 45 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung, 2003, hlm.299. 46 Ibid., hlm. 304. 45 Universitas Sumatera Utara membangkitkan perhatian atau atensi, dan dalam hubungan ini komunikator harus menimbulkan daya tarik. Pada diri komunikator memang harus terdapat faktor daya tarik komunikator (source attractiveness). Seorang komunikator memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap, pendapat, dan tingkah laku komunikasi melalui mekanisme daya tarik, jika komunikan merasa bahwa komunikator ikut serta dengan pendapatnya, dengan kata lain pihak komunikan merasa adanya kesamaan dengan komunikator. Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikasi ini akan menimbulkan simpati komunikan. Dalam kaitannya dengan fenomena politik, maka langkah strategi untuk memenangkan suatu ‘peperangan’ dalam tataran politik, dengan mengidentifikasi siapa yang pantas menjadi komunikator dalam komunikasi politik. Langkah utama dalam strategi komunikasi politik adalah merawat ketokohan, selain dari memantapkan kelembagaan, meningkatkan kemampuan dan dukungan lembaga dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan memilih media politik yang tepat. Suatu strategi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional pada saat tertentu mengenai tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik pada masa depan.47 Langkah awal yang umumnya ditempuh adalah menguatkan faktor ketokohan sebagai komunikator dalam suatu gerakan politik. Dalam kepemimpinan atau ketokohan selalu ada indikator yang menjadi karakteristik, sehingga bisa dirumuskan menjadi bagian dari proses komunikasi, yang dalam hal ini adalah komunikasi politik. Penempatan figur yang tepat dalam menjalankan 47 Anwar Arifin, op.cit., hlm. 145. 46 Universitas Sumatera Utara proses ini merupakan langkah atau strategi untuk mencapai tujuan. Uraian di atas merupakan deskripsi kemanfaatan analisis dengan mengambil objek atau subjek komunikasi dan politik sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh dukungan atau legitimasi, mempengaruhi khalayak, kegiatan mobilisasi massa, membangun citra dan kepercayaan (kredibilitas), serta menyebarluaskan ide-ide baru politik sehingga semua fungsi dalam sistem politik bekerja. 2.3 Endorser atau Ketokohan Perlambangan yang merupakan suatu identitas merek yang dibawakan dalam komunikasi politik merupakan jalan untuk mencitrakan sesuatu yang bertujuan untuk dikenal dan dilekatkan ke benak publik. Bagi personal yang memiliki identitas yang khas dan spesifik akan memudahkan untuk diidentifikasi di antara yang lainnya. Dalam hal ini, percitraan yang difokuskan adalah kepada personal atau tokoh. Ketokohan ini selalu diasosiasikan sebagai suatu figur yang ditempatkan sebagai pemimpin, sehingga erat kaitannya dengan kepemimpinan atau tokoh sentral. Kepemimpinan menurut Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu48. Sebagai contoh umum, dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan umum 2004, yang berasal dari partai baru, yakni Partai Demokrat yang hanya memperoleh suara sekitar 8%, jelas memperlihatkan 48 Sarlito Wirawan Sarwono, op.cit., hlm. 38. 47 Universitas Sumatera Utara kuatnya pesona kepribadian dibanding determinasi partai. Kecenderungan ini misalnya sudah lama dijumpai di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, beberapa negara Eropa. Fenomena yang seperti ini disebut oleh Capara dan Zimbardo sebagai era personalisasi politik.49 Kecenderungan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat serta semakin mudahnya mendapatkan informasi, peran mobilisasi dan elit politik yang semakin terbatas, dan peran media massa yang semakin gencar sebagai alat kampanye. Sehingga dalam kondisi seperti itu, dapat dimengerti bahwa karakteristik kepribadian menjadi patokan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka. 2.3.1 Karakter Kepemimpinan Ada dua pendapat yang berbeda, mengenai apa yang menyebabkan seseorang dapat menjadi pemimpin. Pendapat pertama menekankan pada karakteristik unik dari sang pemimpin, dan pendapat kedua menekankan pada kekuatan situasi yang menekan kelompok.50 Teori The Great Man atau Orang Besar menyatakan bahwa beberapa orang yang karena personalitas dan karakteristik uniknya, ditakdirkan untuk memimpin. Banyak studi yang membandingkan bagaimana perbedaan antara pemimpin dengan pengikutnya. Pertama, pemimpin cenderung unggul dalam kemampuan membantu kelompok meraih tujuan, karena pemimpin memiliki keunggulan intelektual, 49 Hamdi Muluk, Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta, 2010, hlm. 61. 50 Chemers dalam Shellye E. Taylor (et.al.), Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas, 2009, hlm. 403. 48 Universitas Sumatera Utara keahlian politik, kekuatan fisik, atau keterampilan relevan dengan aktivitas dan tujuan kelompok. Kedua, pemimpin cenderung memiliki keterampilan interpersonal yang membantu menyukseskan interaksi kelompok, seperti lebih kooperatif, terorganisir, dan empatik. Ketiga, pemimpin memiliki motivasi untuk memiliki pengakuan dan keunggulan, lebih ambisius, berorientasi prestasi, dan mau mengemban tanggung jawab. Keempat, pemimpin cenderung lebih percaya diri terhadap kemampuan sendiri dan lebih optimis terhadap kesuksesan kelompoknya.51 Menurut Prof. Dr. Hamdi Muluk dalam bukunya Mozaik Psikologi Politik Indonesia, terdapat empat model kepemimpinan politik, yakni sebagai berikut 52: 1. Model Atribut Kepribadian (Personality Attibute Model) Studi-studi yang menggunakan model ini mementingkan karakteristik kepribadian aktor atau pemimpin politik sebagai determinan utama untuk menentukan kinerja kepemimpinan yang ditampilkan. Model ini dipelopori oleh beberapa tokoh, seperti Erikson dan Gardner. Model ini menempatkan pemimpin politik sebagai The Great Man yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan orang rata-rata. Namun pada perkembangannya, ciri kepribadian pemimpin tersebut tidaklah konsisten dari satu waktu ke waktu lain, dari satu situasi ke situasi yang lain. Herman pada tahun 1986 mengatakan terdapat tujuh aspek dari karakter pemimpin yang relevan dan dapat menentukan kepemimpinan, yakni pertama, keyakinan atau paham-paham politik mendasar dari seorang pemimpin, kedua, 51 52 Ibid. Hamdi Muluk, op.cit,. hlm. 63-68 49 Universitas Sumatera Utara gaya politiknya, ketiga, motif politik pemimpin dalam mencapai posisi politiknya, keempat, pola reaksi pemimpin dalam menghadapi situasi stres terutama dalam tekanan politik, kelima, bagaimana kondisi psikologis waktu pertama kali ia memasuki dunia politik, keenam, pengalaman dan kemampuan politik sebelumnya, dan ketujuh, iklim politik ketika ia memasuki dunia politik. 2. Model Pemimpin dan Pengikut (Leader and Constituent Model) Model ini mementingkan faktor bagaimana pemimpin memperlakukan pengikutnya, bagaimana model pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya. Dalam model ini terdapat tiga pola yang mungkin terjadi dalam model ini. Pertama, pemimpin yang dominan sementara pengikut sangat lemah. Hal ini juga mengasumsikan pemimpin tahu apa-apa yang akan dicapainya. Model seperti ini juga mirip dengan ‘Model Atribut Kepribadian’. Kedua, pemimpin yang mengetahui apa yang diinginkan oleh pengikutnya dan menawarkan apa yang mampu ia penuhi. Pola ini bersifat transaksional. Ketiga, pola yang mengasumsikan pemimpin hanya sebagai boneka, yang lemah dan pengikutnya kuat. Pemimpin diberi arahan dan sasaran, sebagai agen dari kepentingan kelompok. 3. Model Faktor Konteks (Contextual Factor Model) Model ini beranggapan bahwa kepemimpinan politik adalah fungsi dari faktor situasi atau konteks tertentu. Konteks yang dimaksud adalah setting 50 Universitas Sumatera Utara atau latar situasi di mana pemimpin ini tampil. Corak kepemimpinan ini sangat tergantung dengan situasi kapan, pada latar budaya apa, dan dalam konteksi situasi politik seperti apa. Pemetaan terhadap situasi atau konteks ini sangat penting karena berfungsi sebagai faktor tuntutan, faktor pengendala, ataupun faktor yang menfasilitasi munculnya suatu tindakan tertentu dari seorang pemimpin. Dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa suatu keputusan politik tertentu dapat muncul, dan pada situasi lain tidak. Asumsi dasarnya adalah kepemimpinan politik merupakan respon timbal balik antara si pemimpin dengan faktor situasi, lingkungan, dan konteks tertentu. 4. Model Integratif (Integrative Model) Model ini mengintegrasikan fungsi dan interaksi dari ketiga model di atas, yakni kepribadian, pola hubungan pemimpin-pengikut, dan lingkungan yang melatarinya. Sehingga untuk mengerti hakikat dari pemimpin politik, harus mengetahui karakter atau atribut kepribadian pemimpin, termasuk latar belakangnya sebelum menjadi pemimpin, karakteristik orang-orang atau kelompok yang menjadi pengikutnya, bagaimana interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin, konteks lingkungan di mana pemimpin berada, serta perilaku kepemimpinan yang ditampilkannya. 51 Universitas Sumatera Utara Secara skematik, model ini dapat digambarkan sebagai berikut: Karakteristi k Pemimpin Hubungan antara pemimpin dan pengikut Pengikut Periaku Kepemimpinan Gambar 3. Model Kepemimpinan Politik Integratif Sumber: Hamdi Muluk, 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia, hlm. 67. Kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi tidak sebaliknya. Pemimpin harus memiliki empat syarat, yakni memiliki kekuasaan, kewibawaan, kemampuan, dan yang terpenting memiliki pengikut-pengikut. Tiga syarat sebelumnya adalah cara bagaimana pemimpin memiliki dan mendapatkan pengikut. Pemimpin tidak memiliki arti jika ia tidak memiliki pengikut.53 Dan kepemimpinan merupakan hubungan antara pihak yang memilki pengaruh dan orang yang dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber pengaruh secara efektif. Namun kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, kepemimpinan juga merupakan upaya untuk melaksanakan suatu tujuan yang menjadi kepentingan bersama, baik pemimpin maupun pengikut. Oleh karena itu, kepemimpinan politik berbeda dengan elit politik, karena menurut Pareto54, elit politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat, seperti kekayaan atau wewenang. 53 54 Riant Nugroho Dwidjowijoto, op.cit,. hlm. 76. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, 1999, hlm. 134. 52 Universitas Sumatera Utara Memiliki kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena berbeda jenis sumber pengaruh dan tujuan penggunaan pengaruh. Sebutan politik dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik seperti lembaga-lembaga pemerintahan, dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik, seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Pemimpin politik juga lebih menggunakan hubungan-hubungan informal dan personal dalam menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu. 2.3.2 Endorser Endorser merupakan salah satu komponen dari proses pencitraan dalam komunikasi politik. Dalam kajian komunikasi politik, endorser adalah strategi penonjolan sosok ketokohan dalam sebuah partai. Merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Ketokohan adalah orang yang memiliki kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaaan. Dengan kata lain, ketokohan merupakan gabungan antara kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan.55 Menurut Asto S. Subroto56, terdapat lima aspek yang harus dipenuhi oleh oleh seorang tokoh yang hendak dijadikan endorser di dalam ranah politik. Pertama, adanya atribut sebagai orang yang terpercaya pada pribadinya (trustworthiness), artinya kemampuan endorser telah dipercaya dan dijadikan rujukan. Kepercayaan ini dapat tumbuh dari pencapaian yang telah didapat oleh 55 Anwar Arifin, op.cit., hlm. 146. 56 Asto S. Subroto. 2008. “Strategi Memilih Endorser dalam Politik.” www.sinarharapan.co.id [09/04/2010] 53 Universitas Sumatera Utara tokoh tersebut melalui track record yang baik di masa lalu. Kepercayaan ini juga tergantung persepsi pendukung terhadap motivasi endorser, apakah ketokohannya atau posisinya demi kepentingan pribadi atau motivasi lainnya. Kedua, adanya keahlian yang dimiliki oleh endorser (expertise). Komponen ini berkaitan dengan keahlian, pengetahuan, atau kemampuan tertentu yang berhubungan dengan visi yang didukung atau dibawanya. Menurut Shimp, berhasil atau tidaknya seorang endorser mengangkat suatu brand politik, akan lebih banyak ditentukan oleh persepsi audiens atau pengamat mengenai sejauh mana keahlian yang dimilliki endorser. Jika seseorang dipersepsi publik sebagai seorang yang ahli, maka dia akan lebih mampu mengubah opini ketimbang endorser yang tidak dipersepsi sebagai ahli. Ketiga, endorser harus memiliki daya tarik atau attractiveness. Aspek ini bukan sekadar daya pikat fisik saja, namun juga karakter. Karakter yang dapat dipersepsi berbeda oleh audiens adalah kapasitas intelektual, identitas personal, gaya hidup, dan keterampilan atau kelebihan yang dimilikinya. Jika audiens menemukan sesuatu pada diri endorser yang disukai, maka proses komunikasi persuasif bekerja lewat identifikasi. Artinya, melalui identifikasi maka audiens akan mengadopsi perilaku, sikap, kepentingan atau preferensi, ketika mereka menemukan hal menarik dalam diri endorser. Keempat, adalah aspek penghargaan atau respect. Aspek ini merepresentasikan kualitas yang dihargai sebagai akibat dari kualitas atau pencapaian personal endorser. Dalam politik, maka ketokohan yang dijadikan endorser adalah yang memiliki kepribadian dan kualitas argumentasi politiknya. 54 Universitas Sumatera Utara Tokoh yang amat dihargai, akan meningkatkan ekuitas sebuah brand politik karena para komunikan bisa mendapatkan nilai (value) lewat brand politik tersebut. Kelima, adalah aspek kesamaan atau similarity. Aspek ini mengacu kepada kesamaan antara endorser dan audiens dalam hal umur, gender, etnis, status sosial, cara pandang, ekspektasi, dan sebagainya. Similaritas sangat penting mengingat banyak orang cenderung menyukai keadaan berbagi (shared) dalam karakteristik yang sama. 2.4 Konstruktivisme Subjek atau individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap pesan komunikasi atau wacana. Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang komunikator. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkat maksud dan maknamaknda tertentu dari komunikasi. Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstuksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Keberagaman kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Dengan 55 Universitas Sumatera Utara demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus.57 Dalam konstruktivisme, unsur objek dan subjek sama-sama berperan dalam mengonstruksi informasi, sehingga ia menjembatani dualisme objektivitassubjektivitas dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi informasi. Pandangan ini mengakui adanya interaksi antara ilmuwan dengan fenomena yang dapat memayungi berbagai pendekatan atau paradigma dalam ilmu pengetahuan. Sehingga dalam pandangan ini, tidak ada makna yang mandiri, dan tidak ada deskripsi yang murni objektif.58 Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja ke dalam ranah pemikiran seseorang, karena komunikanlah yang mengartikan apa informasi pesan yang diterimanya yang disesuaikan dengan pengalaman mereka. Pentingnya pengalaman dalam proses ini membuat proses konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan59, seperti kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, serta kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain. Piaget (1970)60 membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini, yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif adalah 57 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung, 2009, hlm. 151 58 Ibid., hlm. 152 59 Ibid., hlm. 154 60 Ibid. 56 Universitas Sumatera Utara imajinasi keadaan sesaat dan statis yang menyangkut bagaimana gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Sedangkan aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Jika dihubungkan dengan konstruksi mengenai politik, maka pikiran, perasaan, dan kesudian subjektiflah yang menyusun citra seorang mengenai halhal yang berhubungan dengan politik, yang berguna atau memuaskan baginya. Walaupun ia tidak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai politik, setidaknya hal itu memberinya jalan untuk memahami politik. Kemudian kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik merupakan dasar untuk menilai suatu objek atau subjek politik. Dan bagaimana manusia mencitrakan dirinya, maka dengan cara seperti itu pula yang menghubungkan dia dengan orang lain. Dengan demikian, maka citra seseorang dalam politik yang melewati tahap konstruksi, dapat membantu dalam pemahaman, penilaian, dan identifikasi peristiwa, gagasan tujuan, atau pemimpin politik. Sehingga hal tersebut memberikan alasan yang dapat diterima secara subjektif tentang preferensi politik.61 Konstruksi erat kaitannya dengan interpretasi, karena dengan interpretasi, individu memperhitungkan segala sesuatu, menyusunnya, dan menanggapi yang paling menonjol. Proses interpretatif bukan sekedar mata rantai yang 61 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung, 2001. Hlm. 8. 57 Universitas Sumatera Utara menghubungkan keadaan internal dengan perilaku seseorang, juga bukan mekanisme yang hanya mengaktifkan tanggapan yang dikondisikan terhadap suatu rangsangan. Namun sebaliknya, melalui interpretasi, orang mengekploitasi pikiran, perasaan, dan kesudiannya dengan cara yang dipikirkan dan aktif, menanggapi objek atau subjek dalam setting secara subjektif. Proses interpretasi personal dalam memperhitungkan atau menilai suatu hal secara subjektif dapat digambarkan sebagai berikut: Peluang Resmi Komunikasi Politik Sumber Daya Sosial PROSES INTERPRETASI PERSONAL Susunan Tanggapan (mengambil bagian atau tidak) Motivasi Personal Gambar 4. Pengaruh Terhadap Partisipasi Politik Sumber: Dan Nimmo. 2001. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, hlm. 168. Gambar di atas menjelaskan bahwa pesan tentang politik yang dibawa melalui komunikasi politik ke dalam matriks peluang resmi yang dipersepsi, sumber daya sosial, dan motivasi sosial yang merupakan dunia seseorang. Pesan tersebut berisi informasi tentang pilihan yang tersedia, pilihan mana yang akan 58 Universitas Sumatera Utara diperhitungkan, dan mana yang tidak.62 Proses komunikasi politik yang terjadi dan diterima oleh individu akan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan subjektifnya, berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Jelas bahwa proses interpretasi yang melandasi konstruktivisme sangat berpengaruh dalam penerimaan pesan-pesan politik. 2.4.1 Pencitraan Menurut Anwar Arifin63, pencitraan merupakan suatu tujuan dari komunikasi politik yang terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh khalayak. Pencitraan dalam politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum yang terbangun melalui citra politik dan hal ini terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik. Di sini, percitraan atau image politik didefenisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat atau publik akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik (Firmanzah, 2007: 230). Pencitraan mengandung objektivitas dan subjektivitas secara bersamaan, karena di dalam suatu image terdapat hal-hal yang dapat dilogiskan, yakni bahwa image adalah konstruksi empiris dan terbukti di lapangan. Sedangkan ranah subjektivitas bekerja jika percitraan mengandung unsur emosional, adanya ikatan keberpihakan, dan timbulnya kepercayaan.64 Faktor kepercayaan menjadi semakin penting karena masyarakat Indonesia khususnya telah berkembang menjadi 62 63 64 Ibid., hlm. 167. Anwar Arifin, op. cit., hlm. 105. Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Bandung, 2007, hlm. 240. 59 Universitas Sumatera Utara masyarakat yang sangat besar dan kompleks. Sehingga kepercayaan sekarang lebih efektif dibangun secara ganda, yakni melalui efektifitas organisasi dan individu dalam menjalankan tugas dan misinya, serta adanya citra. Dan bahkan citra cenderung memegang porsi yang lebih dari 50 persen dalam hal menentukan adanya kepercayaan atau tidak. Dengan adanya citra yang baik, maka sejalan dengan itu, kepercayaan juga akan timbul dari masyarakat. Trust is everything today, seperti yang ditegaskan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Virtue of Prosperity. Ia menjelaskan bahwa modal yang menentukan keberhasilan suatu bangsa membangun dirinya adalah ada atau tidaknya kepercayaan di dalamnya.65 Masalah citra atau pencitraan seseorang dalam memasuki ranah politik di Indonesia sekarang ini bukanlah masalah yang sepele. Bahkan terdapat sebuah ungkapan, yakni politics is about image, and the image is reality. Politik adalah masalah citra diri, tidak peduli sehebat apa kompetensi seseorang, akan tetapi jika citranya ‘buruk’ apalagi ‘busuk’, maka tidak ada yang bisa bertahan. Oleh karena itu, citra dianggap dan dipercaya sebagai kenyataan oleh khalayak atau publik. Sehingga membangung citra yang baik, jauh lebih baik daripada memperbaiki citra yang telah buruk menjadi baik.66 Agenda komunikasi politik yang menjadi perhatian para praktisi politik saat ini adalah bahwa citra akan menjadi penentu dalam politik daripada kenyataan itu sendiri, dan komunikasi menjadi faktor utama kunci penciptaan citra. Media komunikasi massa mengambil peran besar dalam proses pencitraan 65 Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 10. 66 Ibid., hlm. xi. 60 Universitas Sumatera Utara ini.67 Membangun citra dilakukan melalui komunikasi politik yang di dalamnya terjadi proses tukar-menukar informasi antara dua entitas atau lebih yang bertujuan untuk menciptakan kesepahaman politik (permasalahan, isu, atau kebijakan politik). Konstruksi citra dalam komunikasi politik memiliki muatan ‘hal yang sadar’ dan ‘hal yang tidak sadar’. Kemudian omunikan yang menanggapi pesan komunikasi politik akan memproses hal yang terjadi secara simultan melalui dua proses, yakni pembelajaran sosial (social learning) dan identifikasi sosial (social identification).68 Dalam pembelajaran sosial, semua imformasi yang terkadang ambigu dan bertolak belakang, diterima oleh komunikan. Proses ini dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, komunikan melihat sumber atau siapa yang melakukan proses komunikasi. Kedua, komunikan mencoba membenturkan informasi yang diterima dengan semua informasi yang terdapat dalam otak mereka, kemudian menarik kesimpulan apakah terdapat hubungan dan konsistensi antara informasi yang tertanam dengan informasi baru. Kemudian komunikan melakukan identifikasi untuk menentukan apakah informasi yang diterima tersebut benar atau salah, baik secara rasional maupun emosional. Hasil konstruksi dari kedua proses inilah yang akan tertanam dalam benak komunikan yang nantinya menjadi gambaran citra, reputasi, dan kesan. Konstruksi citra dapat digambarkan dengan bagan berikut: 67 Ibid., hlm. 62. 68 Firmanzah, op. cit., hlm. 244. 61 Universitas Sumatera Utara Aksi secara sadar (intenden) Pembelajaran Sosial Komunikasi Politik Aksi secara tidak sadar (unintenden) Image Terekam Identifikasi Sosial Gambar 4. Konstruksi Citra Politik Sumber: Firmanzah. 2007. Marketing Politik, hlm. 243 Figur yang diposisikan sebagai pemimpin, seharusnya adalah tokoh yang memiliki citra baik di mata khalayak, karena tujuan komunikasi politik adalah untuk mengoneksikan antara elit politik dan pemimpin dengan masyarakat. Komunikasi dalam politik memegang peranan yang sangat urgent, karena komunikasi menjadi alat yang paling ampuh dalam membangun citra ataupun menghancurkan citra seorang figur politik. Dan Nimmo dalam Popular Images of Politics69 mengatakan bahwa hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh politisi sebagai strategi dalam komunikasi politik adalah menciptakan political imagery. Melalui pola ini, dapat disusun sebuah kepercayaan sosial kepada pemimpin atau penguasa politik, dan menjadi bagian terpenting baginya dalam menjalankan tugasnya secara efektif. 69 Dan Nimmo dalam Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 61 62 Universitas Sumatera Utara Pemimpin politik mengerti bahwa citra dan pencitraan dapat memenuhi kebutuhan khalayak, dan karena itu para pemimpin mengungkapkan imbauannya dalam bentuk perlambangan untuk membangkitkan citra yang simpatik di antara khalayak massa. Sepanjang perlambangan politik itu membangkitkan citra positif dan memuaskan di tengah khalayak, maka pencitraan itu adalah the real thing atau hal yang nyata.70 Jika diistilahkan antara tokoh politik dan masyarakat itu ibarat produsen dan konsumen seperti halnya di dalam prinsip ekonomi, maka pemimpin selaku produsen hendaknya mematuhi tiga hukum dimensi dari pasar, bahwa pasar (masyarakat) menuntut supply, demand, dan image. Citra adalah dimensi ketiga dari pasar (masyarakat) yang dalam hal ini juga memiliki kesetaraan dengan demokrasi. Namun dimensi ketiga ini acap kal diabaikan, padahal citra adalah inti dari pasar itu sendiri. 2.5 Persepsi Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku.71 Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang memberikan makna pada stimulus inderawi manusia.72 70 Dan Nimmo, op. cit., hlm. 10. 71 Deddy Mulyana, op. cit., hlm. 167. 72 Jalaludiin Rakhmat, loc. cit. 63 Universitas Sumatera Utara 2.5.1 Persepsi Interpersonal Persepsi bukan sekedar rekaman suatu peristiwa atau objek yang dapat ditangkap oleh indera sensasi kita, namun beberapa kondisi mempengaruhi bagaimana persepsi terbentuk, seperti kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya, akan menentukan interpretasi seseorang terhadap suatu sensasi yang diterima alat inderanya. Fritz Heider73 menyebutkan proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli yang diterima disebut sebagai construkctive process atau proses konstruktif. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi. Persepsi interpersonal adalah istilah yang digunakan untuk menekankan manusia sebagai objek persepsi, bukan benda selain manusia. Persepsi dua orang terhadap satu objek orang yang sama, bisa akan jauh berbeda jika dibandingkan dengan persepsi dua orang yang sama terhadap satu objek benda mati atau objek bukan manusia. Ada empat prinsip perspesi interpersonal yang membedakannya dengan perspesi objek.74 Pertama, stimuli pada persepsi interpersonal sampai kepada seseorang dalam bentuk lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan oleh pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah media, sehingga mengurangi kecermatan persepsinya. Kedua, pada persepsi interpersonal, manusia berusaha memahami apa yang tidak tampak pada alat indera, tidak hanya memperhatikan perilaku manusia lainnya, namun juga berusaha mengetahui apa motif yang melatarbelakangi timbulnya perilaku tersebut. Namun manusia tidak mampu menangkap seluruh sifat dan berbagai dimensi perilaku manusia lain, dan 73 Jalaluddin Rakhmat, op. cit., 1993, hlm. 80. 74 Ibid., hlm. 81-82. 64 Universitas Sumatera Utara bahkan cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ketiga, melalui persepsi interpersonal, terdapat faktor-faktor personal pelaku persepsi dan karakteristik orang yang ditanggapi, serta hubungan antara keduanya, akan menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung keliru. Keempat, manusia sebagai pelaku persepsi atau yang dipersepsi cenderung berubah-ubah, sehingga persepsi interpersonal menjadi mungkin salah karena perubahan ini. Walaupun sulit mempersepsi orang lain, bukan berarti tidak bisa saling memahami antara seseorang dengan orang lain. Karena manusia tetap bisa saling bergaul dan berkomunikasi, dan masih dapat menduga perilaku satu sama lain. Persepsi disimpulkan dari melihat karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal yang dapat diamati seperti yang dijelaskan oleh Jalaluddin Rakhmat.75 Petunjuk-petunjuk itu seperti faktor situasional, antara lain deskripsi verbal dari pihak lain, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik, dan artifaktual. Deskripsi verbal yakni penyebutan rangkaian kata sifat-sifat tertentu seseorang yang disampaikan kepada orang lain, yang dapat mempengaruhi persepsi yang dibuat mengenainya. Sedangkan proksemik adalah bagaimana jarak sosial yang ada ketika berkomunikasi dengan orang lain, seperti keakraban, keterbukaan, atau tertutup. Faktor kinesik adalah petunjuk gerakan atau gestur tubuh orang lain, faktor ini paling susah dikendalikan secara sadar oleh seseoranng jika dibandingkan dengan stimulli verbal. Kemudian faktor emosi atau mimik wajah yang terkadang tidak dapat menggambarkan atau mengungkapkan emosi secara cermat. Karena ada yang sangat sensitif pada wajah, dan ada yang 75 Jalaluddin Rakhmat, op. cit., 2005, hlm. 82. 65 Universitas Sumatera Utara tidak. Petunjuk paralinguistik menggambarkan bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal, seperti tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, dialek atau logat, dan interaksi ketika melakukan percakapan. Faktor artifaktual adalah atribut atau segala macam penampilan, seperti kosmetik, baju, tas, pangkat, dan atribut lainnya.76 Kemudian yang juga menentukan persepsi interpersonal adalah faktor personal, seperti pengalaman, motivasi, dan kepribadian. Faktor pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi, walaupun pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dialami. Faktor motivasi merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi proses konstruktif, karena apapun yang diambil sebagai persepsi terhadap suatu objek (manusia), akan berbeda jika motivasi yang melatarbelakanginya berbeda. Faktor kepribadian merupakan hal yang mendasari pembentukan kesan terhadap suatu sikap sehingga menyimpulkan sifat seseorang kemudian mempersepsikannya sesuai dengan apa kesan yang ditangkap. Faktor ini meliputi kesan dan atribusi.77 2.5.2 Dalil-dalil Persepsi Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal- hal lain yang termasuk dalam faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakter orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Terhadap satu informasi yang sama, beberapa orang dapat 76 Ibid., hlm. 83-85. 77 Ibid., hlm. 89-91. 66 Universitas Sumatera Utara menarik kesimpulan yang berbeda, dikarenakan perbedaan kondisi yang masuk dalam faktor personal individu yang memberikan persepsi. Krech dan Crutchfield78 merumuskan beberapa dalil persepsi yang dapat menjelaskan bagaimana persepsi dapat terbentuk pada ranah pemikiran seseorang. Dalil yang pertama, menyebutkan bahwa persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat penekanan dalam persepsi seseorang biasanya adalah objek-objek yang memenuhi tujuan orang tersebut dalam melakukan persepsi. Misalnya saja tujuan dalam pemenuhan kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar budaya terhadap persepsi. Hal-hal yang fungsional ini memiliki faktor yang mempengaruhi, dan biasa disebut sebagai kerangka rujukan atau frame of reference. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan memengaruhi bagaimana seseorang memberi makna pada pesan yang diterimanya. Dalil kedua menyebutkan bahwa medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Manusia mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima tidaklah lengkap, manusia akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsikannya. Melalui dalil ini, persepsi juga ditentukan oleh faktorfaktor struktural. Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Menurut Gestalt, bila seseorang mempersepsikan seseuatu, maka ia akan mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, tidak melihat bagian-bagiannya, kemudian 78 Ibid., hlm. 55-59. 67 Universitas Sumatera Utara menghimpunnya. Jika ingin memahami suatu peristiwa, maka harus memandangnya dalam hubungan secara keseluruhan, bukan meneliti fakt-fakta secara terpisah. Sehingga jika ingin memahami seseorang, maka harus melihat seseorang tersebut dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya. Dalil ketiga mengenai persepsi berhubungan dengan konteks, Krech dan Crutchfield menyebutkan bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Jika manusia dianggap sebagai bagian atau anggota kelompok, maka semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknnya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. 2.5.3 Kesan Manusia menggunakan informasi apapun yang tersedia untuk membentuk kesan tentang orang lain, membuat penilaian tentang kepribadiannya dan menyusun hipotesis tentang jenis orang itu. Dengan mempersepsikan orang lain, seseorang dapat membentuk kesan terhadap orang lain. Shelley E. Taylor dan kawan-kawan, menyebutkan bahwa dalam mengetahui bagaimana orang membentuk kesan tentang orang lain, terdapat enam prinsip79, yaitu: 1. Orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan informasi minimal dan kemudian menyebutkan ciri-ciri umum dari orang lain tersebut. 79 Shelley E. Taylor (et. al.), Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas, Jakarta, 2009, hlm. 53-54. 68 Universitas Sumatera Utara 2. Orang memberikan perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol dari seseorang, bukan memerhatikan seluruh ciri seseorang. Kota memerhatikan kualitas yang membuat orang berbeda dan aneh. 3. Dalam memproses informasi tentang orang lain, kita akan memberikan makna yang koheren pada perilaku mereka. Hingga menggunakan perilaku orang lain untuk menyimpulkan makna perilaku, bukan menginterpretasikan perilaku secara terpisah. 4. Persepsi ditata dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan stimuli. Manusia cenderung melihat orang sebagai kelompok, bukan individu. 5. Manusia menggunakan struktur kognitif untuk memahami perilaku manusia lainnya. 6. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan memengaruhi bagaimana ia memandang orang lain. Terdapat beberapa kategori yang digunakan oleh seseorang mempersepsikan orang lain. Pertama, melalui peran yang dijalani mereka di masyarakat. Ketika seseorang mencari cara untuk mengorganisasikan informasi mengenai orang lain, maka penting sekali mengetahui peran sosial daripada sifat mereka. Peran seseorang di dalam masyarakat bersifat informatif, meringkas banyak informasi untuk berbagai macam situasi. Peran juga lebih menonjol dibandingkan dengan sifat sehingga menimbulkan lebih banyak asosiasi. Kemungkinan besar manusia lebih banyak mengingat orang lain berdasarkan perannya, bukan berdasarkan ciri-cirinya. Sehingga bisa dikatakan, seseorang 69 Universitas Sumatera Utara cenderung memandang orang lain dalam konteks peran terlebih dahulu, baru kemudian pada ciri-cirinya. Ketika dua orang bertemu, mereka sama-sama membentuk kesan terhadap satu sama lain. Dengan semakin sering kontak, mereka membentuk kesan yang makin lengkap, yang nantinya akan memengaruhi cara mereka berhubungan satu sama lain, memengaruhi tingkat kesukaan dan keakrabannya. Aspek kedua, persepsi dibentuk melalui petunjuk dan ciri fisik. Kesan pertama sering disimpulkan berdasarkan pada penampilan dan perilaku orang lain. Ketiga, aspek kemenonjolan seseorang menjadi petunjuk atau informasi dalam membentuk persepsi. Kemenonjolan ini tidak hanya dari segi perbedaan fisik, namun juga atribut yang dipakainya, tingkah laku, atau stimuli lainnya. Aspek lainnya yang juga banyak menentukan persepsi terhadap seseorang adalah kategorisasi sosial, seperti gender, ras, dan kelas sosial.80 Kebutuhan untuk menciptakan kesan yang akurat biasanya akan membuat orang lebih banyak mengumpulkan informasi. Banyak riset yang meneliti seberapa akuratkah orang dalam menilai ciri dan karakter orang, seperti sifat dominasi dan kemampuan sosialnya. Hasil studi menunjukkan bahwa akurasi dipengaruhi oleh beberapa faktor.81 Pertama, persepsi seseorang terhadap orang lain terkadang lebih banyak ditentukan oleh preferensi pada dimensi personalitas tertentu ketimbang oleh atribut objektif. Kedua, sulit mengukur karakter personalitas, dan karenanya sulit untuk menetapkan kriteria yang tepat untuk 80 Ibid., hlm. 52-53. 81 Ibid. 70 Universitas Sumatera Utara akurasi. Ketiga, seringkali ciri personalitas bisa memprediksikan perilaku hanya pada situasi yang terbatas. Karena sulitnya menetapkan kriteria untuk akurasi, Park & Krauss memfokuskan pembahasan dengan menyepakati suatu ciri atau karakter yang dapat diamati orang lain, sehingga lebih mudah untuk disepakati. Misalnya lebih mudah menilai kepintaran dan kepiawaian dalam berbicara, dibandingkan dengan kejujuran, yang lebih sulit untuk dilihat dan dikonfirmasi.82 Akurasi penilaian juga diukur berdasarkan apakah penilaian terhadap orang lain sesuai dengan persepsi diri dari orang yang dinilai tersebut. Secara umum, kesepakatan antara penilaian seseorang dengan target akan bergantung pada seberapa baik tingkat keakraban kedua belah pihak. Persepsi yang akurat tentang atribut orang lain dapat ditingkatkan ketika informasi mengenai situasi di mana perilaku tersebut terjadi. Akurasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan empati, sebab dengan empati seseorang dapat lebih memahami apa yang orang lain pikirkan, memandang sesuatu sebagaimana mereka memandangnya, dan menjadi lebih akurat dalam menyimpulkan pikiran dan perasaan mereka. 2.5.4 Atribusi Menurut Baron dan Byrne yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat83, atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Terdapat dua macam atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran. Jika melihat perilaku seseorang, 82 Ibid., hlm. 66. 83 Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 93. 71 Universitas Sumatera Utara maka proses pemahaman apa yang menyebabkan ia berperilaku seperti itu, merupakan telaah atribusi kausalitas, faktor apa yang menyebabkannya berperilaku seperti itu, misalnya faktor situasional atau faktor personal. Proses memahami motif persona stimuli dapat diperhatikan melalui dua hal, yakni apakah perilaku tersebut hanya memungkinkan satu atau sedikit penyebab, dan apakah perilaku tersebut menyimpang dari pola perilaku yang biasa atau pada umumnya. Kemudian yang membedakan antara atribusi kausalitas internal, ekternal, atau gabungan dari keduanya menurut Harrold Kelley ada tiga indikator84: a. Distinctiveness Konsep ini merujuk pada bagaiman seorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctivness yang tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus pada suatu peristiwa. Sedangkan distinctiveness rendah apabila seseroagn merespon sama terhadap stimulus yang berbeda. b. Konsistensi Hal ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensi dikatakan tinggi apabila seseorang merespon smaa untuk stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Apabila responnya tidak menentu maka seseorang dikatakan konsistensinya rendah. 84 Ibid., hlm. 95. 72 Universitas Sumatera Utara c. Konsensus Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang, berarti konsensusnya rendah, dan sebaliknya. Selain itu konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain sehubungan dengan stimulus yang sama. Dari ketiga informasi di atas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Atribusi internal, yakni perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya bila distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah, dan konsistensinya tinggi. Untuk atribusi eksternal, maka ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, konsensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi. Sedangkan atribusi internaleksternal, hal ini ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, konsensus rendah, dan konsistensi tinggi. Atribusi kausalitas internal menurut Thibault dan Riecken lebih banyak dikenakan pada konfederat berstatus tinggi. Penghormatan atau pujian kepada orang yang memiliki status tinggi dianggap sebagai suatu penghargaan, dan persona stimulinya dianggap jujur, sedangkan sebaliknya jika pernghormatan yang diberikan kepada orang berstatus rendah, dianggap tingkat kejujurannya rendah. 73 Universitas Sumatera Utara