menguji pengaruh beta saham terhadap return

advertisement
1
MENGUJI PENGARUH BETA SAHAM TERHADAP
RETURN SAHAM DENGAN UNCONDITIONAL DAN
CONDITIONAL APPROACH
(Studi Pada Perusahaan – Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Kelompok LQ
45 Di Bursa Efek Indonesia Periode Januari 2008 Hingga Desember 2010)
M. Dio Vanny
Dra. Irene Rini Demi Pangestuti, ME.
ABSTRACT
The relationship between beta and return has always been controversial in
various studies. Many sources said that the CAPM model able to describe the
return movement caused by the beta. However, several other studies would deny
the statement where it was found that the beta can’t be relied upon in estimating
the return. This research was conducted with the aim to determine the effect of
beta on the return with Unconditional and Conditional Approaches.
The population in this study are all companies listed on the Indonesia
Stock Exchange are incorporated in LQ 45 index from 2008 until 2010. Sampling
was purposive sampling method using the 10 companies. Secondary data is used
in this study in the form of stock-price data LQ 45 index stocks listed on the
website yahoo.finance.com during the period January 2008 to December 2010.
Partial test results (t test) for Unconditional Approach, shows that the
influence of beta on the return is positive but insignificant. As for the Conditional
Approach, a significant positive influence on the results obtained only occurs
when a positive risk premium, but as a negative risk premium, obtained results
are also positive but insignificant.
Keywords : LQ 45, Indonesia Stock Exchange, Beta, Return, Risk Premium,
Unconditional, Conditional
2
1
PENDAHULUAN
Saham dapat didefinisikan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang
atau badan dalam suatu perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas
yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang
menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa
besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut (Darmadji dan
Fakhruddin, 2006: 6). Dengan kata lain saham adalah suatu tanda penyertaan
modal pada perseroan terbatas dengan tujuan pemodal membeli saham untuk
memperoleh penghasilan dari saham tersebut.
Dalam melakukan investasi pada saham, para investor pasti akan
mempertimbangkan tingkat return yang akan diperolehnya. Return total suatu
perusahaan didapat dari capital gain or loss dan yield. Capital gain or loss
merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga periode yang
lalu (Jogiyanto,2003).
Capital gain terjadi ketika harga saham sekarang lebih tinggi dari harga
saham waktu yang lalu. Tetapi ketika harga saham sekarang lebih rendah dari
harga saham waktu yang lalu maka seorang investor mengalami kerugian modal
(capital loss). Sedangkan Yield adalah presentase penerimaan kas periodik
terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield
adalah presentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya yang
dibagikan pada para investor atas investasi mereka (Jogiyanto,2003).
Sekuritas di Bursa Efek Indonesia dikelompokkan dalam berbagai
kelompok, misalnya LQ 45, Jakarta Islamic Index, BISNIS-27, PEFINDO-25,
SRI-KEHATI. Pada index LQ 45, setiap 6 bulan sekali Bursa Efek Indonesia
mengelompokkan saham – saham ke dalam kategori LQ 45, dengan kata lain
selalu direvisi mana saham yang masih tetap dan mana saham yang diganti dalam
LQ 45 selama periode tertentu. Karena saham – saham di LQ 45 adalah saham
yang memiliki kapitalisasi pasar dan likuiditas yang tinggi. Oleh karena itu
3
banyak investor yang menjadikan saham – saham dalam kelompok LQ 45 sebagai
saham favorit mereka.
Dalam berinvestasi selain pertimbangan memperoleh return, investor juga
harus mempertimbangkan risiko atas investasi yang dilakukan. Risiko menurut
Suad Husnan (2004) ada yang sebagian dapat dihilangkan dengan diversifikasi
(yaitu risiko tidak sistematis), dan risiko yang tidak dapat diversifikasi (risiko
sistematis). Karena pemodal bersifat risk-averse maka mereka memilih
melakukan diversifikasi apabila mereka mengetahui bahwa dengan diversifikasi
tersebut mereka dapat mengurangi risiko. Akibatnya semua pemodal akan
melakukan hal yang sama dan dengan demikian risiko yang hilang karena
diversifikasi tersebut menjadi tidak relevan dalam memperhitungkan risiko.
Hanya risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasilah yang menjadi
relevan dalam perhitungan risiko. Risiko ini disebut sebagai risiko pasar dan
risiko inilah yang relevan dalam perhitungan risiko (Suad Husnan,2004:103).
Dalam teori portofolio Capital Asset Pricing Model (CAPM) menyatakan
bahwa jika risiko yang ditanggung oleh para pemegang saham itu besar, maka
saham tersebut akan memperoleh return saham yang besar pula atau dengan kata
lain “High Risk High Return”. Risiko pasar berhubungan erat dengan perubahan
harga saham jenis tertentu atau kelompok tertentu yang disebabkan oleh antisipasi
investor terhadap perubahan tingkat kembalian yang diharapkan. Pengukuran
risiko sistematis digunakan beta (β) untuk menjelaskan return saham yang
diharapkan. Beta adalah pengukur yang tepat dari indeks pasar karena risiko suatu
sekuritas yang diversifikasikan dengan baik, tergantung kepekaan masing-masing
saham terhadap perubahan pasar yaitu pada beta saham-saham tersebut (Michell
Suharli, 2005).
Terdapat beberapa kelemahan dalam teori CAPM ini, yaitu pergerakan
expected return dari waktu ke waktu yang disebabkan asumsi dimana pasar modal
adalah sempurna atau tidak ada friksi (pergesekan), dengan kata lain tidak ada
biaya transaksi atau biaya informasi (Fama and MacBeth,1973). Fama and
MacBeth (1973) menguji validitas CAPM dan menunjukkan adanya hubungan
4
yang positif antara beta dan return meskipun bersifat lemah. Penelitian tersebut
menggunakan tiga testable implications dalam menguji persamaan CAPM.
Pertama, hubungan antara expexted return suatu saham dengan risiko saham
tersebut haruslah linier. Kedua, Beta adalah ukuran akhir dari risiko, dengan kata
lain tidak ada pengukuran lain atas risiko saham yang muncul di persamaan
CAPM. Dan ketiga, dalam pasar risk-averse investor, risiko lebih tinggi
seharusnya berhubungan dengan expected return yang lebih tinggi pula dimana
risiko premiumnya harus positif ( E(Rm) – E(Rf) > 0 ).
Fama and French (1992) melakukan pengujian terhadap CAPM dengan
menggunakan data return bulanan saham-saham di Amerika dan menemukan
tidak ada hubungan cross-sectional yang signifikan antara beta dan return, justru
variabel lain seperti market factor, firm size dan rasio book to market value yang
dapat menjelaskan return secara signifikan.
Penelitian yang dilakukan Pettengill et al. (1995) dapat menjelaskan
mengapa hubungan beta dan return tidak signifikan atau lemah. Pettengill et al.
(1995) beragumen bahwa dibutuhkan adanya penyesuaian statistik dari
metodologi sebelumnya karena return yang digunakan dalam penelitian adalah
realized return, bukan menggunakan expected return. Maka dikembangkanlah
model Conditional Approach antara beta dan return yang dibedakan dalam dua
kondisi yaitu saat risk premium positif dan risk premium negatif.
Pettengill et al. (1995) mengatakan bahwa jika return pasar di atas return
aset bebas risiko maka risiko premium adalah positif ( E(Rm) – E(Rf) > 0 ), beta
dan return haruslah berhubungan positif. Tapi jika return pasar dibawah return
aset bebas risiko ( E(Rm) – E(Rf) < 0 ), maka beta dan return haruslah
berhubungan terbalik. Pada penelitian ini dihasilkan hubungan yang sangat
signifikan antara beta dan return dalam pendekatan kondisional baik saat risk
premium positif maupun saat risk premium negatif. Pettengill juga berpendapat
jika dalam hubungan kondisional antara beta risiko dan return ada, dengan
maksud adanya hubungan positif dalam beta dan return tersebut, maka
dibutuhkan dua kondisi yaitu:
5
(1). excess market return rata – rata haruslah positif dan
(2). risk premium pada pasar naik dan pasar turun haruslah simetris.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Fletcher (1997), Elsas et al. (1999)
Hodoshima et al. (2000), dan Ho (2007) juga membuktikan bahwa pada pasar
modal di Inggris, Jerman, Jepang dan Hongkong menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara beta dan return dengan menggunakan metodologi
Conditional Approach yang dilakukan oleh Pettengill et al. (1995). Meskipun
menurut hasil penelitian Fletcher (1997) hubungan Conditional antara beta dan
return saat up market dan down market tidaklah simetris seperti yang
dikemukakan oleh Pettengill et al. (1995).
Dalam hubungan ini diasumsikan bahwa pasar modal adalah sempurna,
dimana informasi mudah didapat tanpa adanya biaya dan distribusi nilai suatu aset
atau portofolio berasal dari perkiraan yang sama dan tepat. Asumsi yang disebut
“homogeneous expectation” atau ekspektasi seragam (Fama and MacBeth, 1973).
Karena itulah menurut Fama and MacBeth (1973) alasan mengapa hubungan beta
dan return dengan pendekatan Unconditional menghasilkan hubungan yang tidak
signifikan.
Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Michailidis dan Tsopoglou
(2007), mengemukakan bahwa saat penelitian dilakukan dengan metode
Condiotional Approach menghasilkan hasil yang negatif signifikan baik saat up
market maupun pada saat down market. Ini dimungkinkan karena waktu
penelitian dari Januari 1996 hingga Desember 2006 adalah waktu ketika pasar
saham di 26 negara sedang tidak stabil (volatile period). Sehingga didapat hasil
yang negatif dengan metode Conditional Approach.
Verma (2011) juga melakukan penelitian dengan pendekatan Conditional
seperti yang dilakukan oleh Pettengill et al. (1995) dengan menggunakan 18
negara dan periode Januari 1970 hingga Juli 1998 sebagai datanya. Penelitian itu
menghasilkan hubungan yang tidak signifikan baik pada saat up market maupun
down market.
Tujuan dalam penelitian ini adalah menguji 2 metode hubungan beta dan
return yaitu dengan pendekatan Unconditional dan Conditional. Unconditional
6
adalah dengan meregreskan beta saham terhadap return saham tersebut untuk
mengestimasi koefisien beta bulanan. Sedangkan Conditional adalah meregreskan
beta saham terhadap return saham untuk mengestimasi koefisien beta bulanan
dengan menambahkan variabel dummy untuk membedakan saat risk premium
positif dan saat risk premium negatif.
Karena terdapat perbedaan hasil penelitian terdahulu atau reseacrh gap,
maka penelitian ini mengambil judul “Menguji Pengaruh Beta Saham
Terhadap Return Saham Dengan Unconditional Dan Conditional Approach”
2
TELAAH PUSTAKA
2.1
Saham
Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan
dalam suatu perusahaan, selembar saham merupakan selembar kertas yang
menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemiliknya (berapapun
porsinya/jumlahnya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas (saham)
tersebut. Perusahaan dapat mengeluarkan sertifikat saham untuk sejumlah lembar
saham yang diinginkan sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan dan
jumlah dana eksternal yang dibutuhkan oleh perusahaan. Maka seseorang atau
suatu badan melakukan investasi saham tersebut dengan tujuan mendapatkan
return atas investasi yang dia tanamkan.
Return adalah tingkat pengembalian atas investasi yang ditanamkan oleh
investor. Menurut Reilly and Brown (2000:6) investor menginvestasikan uangnya
dari tabungan mereka dan menunda konsumsi mereka karena untuk mendapatkan
Return atas investasi mereka. Dengan kata lain investor tidak akan berinvestasi
jika tidak ada return dimasa mendatang atas investasi yang mereka tanamkan.
Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield. Capital gain atau capital loss
merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga periode lalu :
Capital Gain (Loss) =
7
Jika harga sekarang (Pt) lebih tinggi dari harga investasi periode
sebelumnya (Pt-1) berarti ada keuntungan modal (capital gain), begitu pula
sebaliknya jika harga sekarang (Pt) lebih rendah dari harga investasi periode
sebelumnya (Pt-1) berarti ada kerugian modal (capital loss).
Investor yang ingin mendapatkan return berupa dividen atau capital gain
haruslah mampu menganalisis faktor – faktor yang akan mempengaruhi
perubahan return saham, baik dari segi fundamental maupun teknikal. Faktor
fundamental adalah faktor – faktor dasar yang terdapat dari data keuangan
perusahaan itu sendiri. Sementara faktor teknikal adalah faktor – faktor yang
tergambar dari pergerakan harga di pasar. Termasuk juga memperhitungkan risiko
suatu saham, apakah return yang investor harapkan sebanding dengan risiko yang
investor tanggung. Karena pada ujungnya investor hanya mengharapkan return
atas apa yang telah diinvestasikannya.
2.2
Beta Saham
Risiko menurut Jones (2007) adalah “the chance that the actual outcome
from an investment will differ from the expected outcome” atau dengan kata lain
peluang dimana hasil sesungguhnya dari suatu investasi akan berbeda dari hasil
yang diharapkan. Risiko menurut Suad Husnan (2005) ada yang sebagian dapat
dihilangkan dengan diversifikasi (yaitu risiko tidak sistematis), dan risiko yang
tidak dapat diversifikasi (risiko sistematis). Sehingga pengukuran risiko suatu
portofolio sekarang bukanlah deviasi standar (risiko total), akan tetapi hanya
risiko yang tidak dapat diversifikasikan atau disebut dengan Beta. Risiko pasar
yang digambarkan oleh nilai Beta perusahaan digunakan untuk mengetahui risiko
yang berkaitang dengan pasar. Jones juga mengatakan bahwa risiko pasar adalah
berubah – ubahnya return dikarenakan fluktuasi pasar secara keseluruhan yang
juga disebabkan oleh resesi, perang, perubahan struktural ekonomi, dan perubahan
pilihan konsumen.
Perusahaan yang memiliki risiko pasar yang tinggi akan sangat
berfluktuatif terhadap pergerakan pasar, karena semakin tinggi beta suatu
perusahaan maka semakin sensitif pula terhadap perubahan pasar. Dengan kata
lain, investor cenderung khawatir untuk masuk ke pasar, karena pergerakan pasar
8
yang tidak stabil. Sehingga perusahaan dengan beta yang tinggi akan sangat
berfluktuatif terhadap pergerakan pasar dan memberikan return yang tidak stabil.
Oleh karena itu, investor akan lebih memilih perusahaan dengan beta yang rendah
dan memiliki return yang lebih stabil.
Beta ini didapat dengan cara meregres return suatu saham dengan return
pasar dimana return saham sebagai variabel dependennya.
Rit = αi + βit Rmt + εit
Hasil regresi akan muncul misalnya Ri = 0,021 + 1,657 R_IHSG dimana
Beta merupakan koefisien parameter dari variabel R_IHSG, yaitu sebesar 1,657.
Dengan memperhitungkan beta setiap bulannya, maka investor akan dapat
melihat seberapa besar pergerakan harga saham dengan pergerakan pasar. Ini
dapat dijadikan pertimbangan apakah saham ini cocok untuk diinvestasikan atau
dianggap terlalu berisiko.
2.3
Risiko Premium
Bodie et al., (2005:142) mengatakan bahwa ukuran perbedaan antara
expected return aset berisiko di pasar saham dengan return aset tidak berisiko
seperti misalnya suku bunga SBI disebut risiko premium. Jadi jika return aset
tidak berisiko adalah 6% dan expected return pasarnya 14%, maka risiko
premiumnya adalah 8%. Perbedaan antara actual return pasar dengan return aset
tidak berisiko disebut excess return. Jadi risiko premium adalah expected excess
return.
Jika diasumsikan bahwa investor adalah risk averse, maka ketika risiko
premiumnya adalah 0, para investor akan lebih memilih untuk berinvestasi pada
aset yang bebas risiko daripada aset berisiko. Oleh karena itu, risiko premium
haruslah positif agar para investor lebih memilih berinvestasi pada aset berisiko di
pasar daripada aset yang tidak berisiko seperti SBI. Tapi jika risiko premiumnya
adalah 0 atau dibawah 0, maka para investor akan lebih memilih aset yang bebas
risiko. Karena disamping asetnya aman, tidak terpengaruh pergerakan pasar, tapi
juga return tiap bulannya lebih stabil dan menguntungkan.
2.4
Capital Asset Pricing Model
9
Dalam teori portofolio yang diperkenalkan oleh Sharpe (1964) dan Lintner
(1965) secara terpisah mereka merumuskan model keseimbangan umum yang
hampir sama yang dikenal dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM).
Kemudian CAPM ini dikombinasikan dengan Black (1972), yang dikenal dengan
model SLB. Kedua model (CAPM dan SLB) menggunakan mean variance
efficient dalam konteks Harry Markowitz, dan telah banyak digunakan akademisi
dan praktisi dalam menganalisa hubungan risiko saham dengan return saham.
Jogiyanto (2009:469) mengatakan diperlukan beberapa asumsi untuk
mengembangkan model ini. Asumsi–asumsi untuk menyederhanakan persoalan
yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata. Asumsi supaya suatu model lebih
mudah untuk dipahami dan lebih mudah diuji.
Banyak asumsi dalam model CAPM ini yang intinya adalah sebagai
berikut:
1. All investors have the same one-period time horizon. Atau dengan kata
lain investor memaksimumkan kekayaannya dengan memaksimumkan
utiliti harapan dalam satu periode waktu yang sama.
2. Semua investor mempunyai harapan yang segaram (homogeneous
expectation) terhadap faktor-faktor input yang digunakan untuk
keputusan portofolio. Faktor-faktor input yang digunakan adalah
expected return, varian return dan kovarian antar return. Atau dengan
kata lain, para investor memegang portofolio yang sama dari aset
beresiko.
3. Semua investor dapat meminjamkan atau meminjam sejumlah dana
dengan jumlah tidak terbatas pada tingkat suku bunga bebas risiko.
4. Penjualan pendek (short sale) diijinkan.
5. Tidak ada biaya transaksi.
6. Tidak terjadi inflasi.
7. Tidak ada pajak pendapatan atas dividen maupun capital gain.
8. Investor adalah penerima harga (price-takers), dan tidak dapat
mempengaruhi harga dari suatu aktiva dengan kegiatan membeli atau
menjual aktiva tersebut.
10
9. Pasar modal dalam kondisi ekuilibrium.
Keadaan ekuilibrium pasar mengenai expected return dan risiko dapat
digambarkan oleh Security Market Line (SML) untuk sekuritas individual.
Sementara Capital Market Line (CML) digunakan untuk menggambarkan tradeoff
antara risiko dan expected return portofolio. Meningkatnya expected return
sekuritas individual diakibatkan oleh tambahan risiko sekuritas yang diukur
dengan beta dengan argumentasi bahwa risiko tidak sistematik cenderung hilang
dan risiko yang relevan hanya risiko sistematik yang diukur oleh beta.
Hubungan expected return dan beta dapat digambarkan di Security Market
Line (SML) seperti tampak pada gambar 2.1 berikut:
E(Ri)
M
E(Rm)
Security Market Line (SML)
Risk Premium = E(Rm)-Rf
Rf
Aset dengan
resiko lebih kecil
dari pasar
Aset dengan
resiko lebih besar
dari pasar
1,0
Beta
Gambar 2.1. Security Market Line
Dari gambar 2.1 terlihat bahwa titik M menunjukkan portofolio pasar
dengan beta senilai 1 dengan expected return sebesar E(RM). Untuk beta bernilai
0 atau untuk aktiva bebas risiko, aktiva ini mempunyai expected return sebesar Rf
yang merupakan intercept dari SML. Dengan asumsi SML adalah garis linear,
maka persamaan dari garis nlinear ini dapat dibentuk dengan intercept sebesar Rf
dan slope sebesar [E(RM)-Rf] / βM. Karena βM adalah bernilai 1, maka slope dari
SML adalah sebesar [E(RM)-Rf]. Selanjutnya persamaan SML untuk sekuritas ke-i
11
dapat ditulis: E(Ri) = Rf + βi . [E(RM)-Rf]. Dari sinilah model CAPM terbentuk
dan banyak dipakai oleh para akademisi dan praktisi (Jogiyanto,2009).
2.4.1 Unconditional Approach
Unconditional Approach adalah pendekatan untuk menguji hubungan beta
dan return dengan meregreskan beta bulanan terhadap return bulanannya.
Pettengill et al. (1995) juga mengatakan bahwa hubungan unconditional
menggambarkan hubungan positif risk-return yang disebabkan kenaikan beta
yang akan diikuti dengan kenaikan return. Ini didasarkan pada model CAPM:
E (Ri) = Rf + βi (E (Rm) – Rf)
E (Ri) = Expected Return / Return saham yang diharapkan
Rf = Return on the Risk Free Asset / Return aset bebas risiko
βi = Beta saham
E (Rm) = Return Pasar yang diharapkan
Model regresi dari metodologi Unconditional Approach untuk menilai
validitas CAPM adalah sebagai berikut:
Rit = γ0t + γ1t * βit + εit
Rit = Return bulanan saham
γ0t = Konstanta
γ1t = Koefisien beta bulanan saham
βit = Beta bulanan saham
Dimana Rit adalah return bulanan saham sebagai variabel dependen, dan
βit adalah beta bulanan saham sebagai variabel independen. Jika nilai dari
γ1t
lebih besar dari 0 (nol) maka hubungan positif antara beta dan return dapat
terjadi. Sementara nilai
εit menunjukkan error dari regresi tersebut.
Dari model CAPM dapat digambarkan bahwa jika E(Rm) < Rf, lalu pada
model βi * (E(Rmt) - Rft) < 0, maka saham dengan beta lebih tinggi akan
memperoleh return lebih rendah dibandingkan saham dengan beta yang rendah.
12
Atau dengan kata lain, model ini menggambarkan hubungan positif hanya jika
return pasarnya positif dan hubungan beta dan return negatif jika return pasarnya
juga negatif.
2.4.2 Conditional Approach
Conditional Approach adalah model regresi untuk menguji hubungan beta
dan return dengan meregreskan beta bulanan terhadap return bulanan dan
menambahkan variabel dummy untuk membagi dalam kondisi risk premium
positive dan risk premium negative. Model Conditional ini dikembangkan oleh
Pettengill et al. (1995) dengan membagi saat risk premium positif dan risk
premium negatif.
Metode ini dianggap dapat menggambarkan hubungan beta dan return
dengan membedakannya dalam kondisi saat risk premium positif dan risk
premium negatif. Jika return pasar diatas return aset bebas risiko atau dengan kata
lain risk premium adalah positif, maka seharusnya hubungan beta dan return
adalah positif. Tetapi jika return pasar dibawah return aset bebas risiko atau risk
premium adalah negatif, maka hubungan beta dan return seharusnya terbalik.
Conditional Approach membutuhkan 2 kondisi agar hubungan positif beta
dan return dapat terjadi yaitu :
(1). excess market return rata – rata haruslah positif dan
(2). risk premium pada pasar naik dan pasar turun haruslah simetris.
Pettengill et al. (1995) menjelaskan model Conditional Approach adalah
sebagai berikut:
Rit = γ0t + δt *
γ2t * βit + (1 – δt) * γ3t * βit + εit
Rit = Return bulanan saham
γ0t = Konstanta
δt = Dummy saat risk premium positif = 1 dan negatif = 0
γ2t = Koefisien beta bulanan saham saat risk premium positif
γ3t = Koefisien beta bulanan saham saat risk premium negatif
13
βit = Beta bulanan saham
Dimana δt adalah variabel Dummy yang bernilai 1 jika risiko premiumnya
positif (Rm – Rf) > 0, dan bernilai 0 jika risiko premiumnya negatif (R m – Rf) < 0.
Oleh karena itu, persamaan tersebut dapat diuji baik saat return pasarnya positif
maka koefisien γ2t adalah positif. Dan saat return pasarnya negatif maka koefisien
γ3t adalah negatif.
Setelah Pettengill et al. (1995) mengembangkan model Conditional
Approach, banyak penelitian yang menggunakan metode tersebut. Seperti pada
Fletcher (1997), Elsas et al. (1999), Hodoshima et al. (2000), Ho (2007), Tang
dan Shum (2004) dan Theriou et al. (2004) yang menemukan hubungan positif
signifikan di saat up market dan signifikan negatif saat down market. Meskipun
Fletcher (1997) dan Theriou et al. (2004) menyanggah 2 kondisi yang dibutuhkan
dalam Conditional Approach seperti yang disyaratkan oleh Pettengill et al.(1995).
Tetapi ada beberapa penelitian lain yang menggunakan metode
Conditional Approach dan menemukan hasil yang tidak signifikan. Seperti yang
dilakukan oleh Wu (2006) dan Verma (2011) dimana mereka menemukan hasil
yang tidak signifikan baik saat up market maupun saat down market. Selain itu,
Michailidis dan Tsopoglou (2007), menemukan hasil yang signifikan negatif baik
saat up market maupun down market dengan metode tersebut.
2.5
Hubungan Beta dan Return
CAPM menyatakan bahwa jika semakin tinggi risiko yang ditanggung
oleh para pemegang saham, maka saham tersebut akan memperoleh return saham
yang semakin tinggi pula. Atau dengan kata lain “High Risk High Return” dimana
makin besar risiko, makin besar pula return-nya. Ini dikarenakan risiko pasar
berhubungan erat dengan perubahan harga saham jenis tertentu atau kelompok
tertentu yang disebabkan oleh antisipasi investor terhadap perubahan tingkat
return yang diharapkan. Jadi berdasarkan teori CAPM, jika beta suatu perusahaan
meningkat, maka return yang diharapkan juga meningkat.
”The CAPM illustrates the positive relation between asset’s systematic
risks and their expected rates of return” atau dengan kata lain CAPM
14
mengilustrasikan hubungan positif antara risiko sistematis suatu aset dengan
return yang diharapkan (Francis, 1991). Tapi seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya oleh Fama dan MacBeth, bahwa dalam CAPM terdapat tiga hal:
pertama, hubungan antara expexted return suatu saham dengan risiko saham
tersebut haruslah linier. Kedua, Beta adalah ukuran akhir dari risiko, atau tidak
ada pengukuran lain atas risiko saham di persamaan CAPM. Dan ketiga, dalam
pasar risk-averse investor, risiko lebih tinggi seharusnya berhubungan dengan
expected return yang lebih tinggi pula dimana risiko premiumnya haruslah positif
( E(Rm) – E(Rf) > 0 ).
3
METODE PENELITIAN
3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah return saham sebagai
variabel dependen (Y). Sedangkan variabel independen (X) pada penelitian ini
adalah beta saham.
3.1.1 Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah return saham. Return pada
penelitian ini digunakan proxy capital gain atau capital loss. Capital gain atau
capital loss merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga
periode lalu (Jogiyanto,2003), yang dihitung sebagai berikut :
RETURN SAHAM : Capital Gain (Loss) = ri =
3.1.2 Variabel Independen
3.1.2.1 Beta Saham
Variabel independen dalam penelitian ini adalah beta saham. Menurut
Theriou et al. (2004) beta didapat dengan cara meregres return suatu saham
dengan return pasar dimana return saham sebagai variabel dependennya, dengan
model regresi sebagai berikut :
Rit = αi + βit Rmt + εit
15
Dimana Rit adalah return saham dan Rmt adalah return pasar atau IHSG.
Hasil regresi akan muncul misalnya Ri = 0,021 + 1,657 R_IHSG dimana Beta
merupakan koefisien parameter dari variabel R_IHSG, yaitu sebesar 1,657.
3.1.2.2 Dummy
Variabel independen lainnya dalam penelitian ini adalah dummy dimana
bernilai 1 saat risk premium positif (Rm – Rf) > 0 dan bernilai 0 saat risk premium
negatif (Rm – Rf) < 0 (Pettengill et al.,1995). Variabel dummy adalah sebagai
pembeda variabel beta saham saat diregreskan terhadap return saham pada
pendekatan Conditional sebagai berikut :
Rit = γ0t + δt *
γ2t * βit + (1 – δt) * γ3t * βit + εit
Dimana beta akan memiliki nilai dan bernilai 0 saat dikalikan dengan nilai
dummy saat risk premium positif (1) dan risk premium negatif (0).
3.2
Model Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda dengan
menggunakan progam SPSS. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji asumsi
klasik untuk memastikan bahwa model yang digunakan adalah normal dan tidak
mengandung gejala multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah perusahaan – perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia dalam kelompok LQ 45 dengan periode Januari 2008
hingga Desember 2010. Total populasi perusahaan yang pernah masuk dalam
kelompok LQ 45 dengan periode antara Januari 2008 hingga Desember 2010
adalah berjumlah 70 perusahaan. Pemilihan sample yang akan digunakan sebagai
objek dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Perusahaan – perusahaan yang selalu masuk dalam indeks LQ 45 dari
Januari 2008 hingga Desember 2010.
2. Perusahaan dalam kelompok LQ 45 yang memiliki kelengkapan data
berupa harga historis setiap hari transaksi selama tahun 2008 – 2010.
16
3. Perusahaan – perusahaan dalam LQ 45 yang tidak melakukan aksi
korporasi (corporate action) seperti stock split, right issue, dan membagi
saham bonus. Ini dimaksudkan agar tidak ada bias dalam perubahan harga.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka yang menjadi sample dalam penelitian
ini adalah sebanyak 10 perusahaan. Pada kriteria pertama sebanyak 19 perusahaan
terpilih karena merupakan perusahaan - perusahaan yang selalu masuk dalam
indeks LQ 45 dengan periode dari Januari 2008 hingga Desember 2010. Setelah
itu 10 perusahaan terpilih menjadi sample dalam penelitian ini dan 9 perusahaan
lain tereliminasi karena melakukan aksi korporasi atau corporate action. Dan
dengan menggunakan metode penggabungan data (pooling) maka diperoleh data
penelitian sebanyak 36 x 10 = 360 data observasi.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan menggunakan no participant observation. Data berupa variabel
harga
–
harga
saham
yang
diambil
secara
langsung
dari
website
yahoo.finance.com dari tanggal 28 Desember 2007 hingga 31 Desember 2010.
4.2
Statistik Deskriptif
Deskripsi variabel dalam penelitian ini meliputi nilai minimum, nilai
maksimum, mean dan standar deviasi dari dua variabel yaitu return saham dan
beta saham sebanyak 360 data pengamatan. Distribusi statistik deskriptif masing –
masing variabel terdapat pada tabel berikut :
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Variabel
Descriptive Statistics
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Beta
350
-1.8337
3.9333
1.199133
.5847759
Return
350
-.3552
.4074
.021723
.1270177
Valid N (listwise)
350
Sumber : Data sekunder yang diolah
17
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata tiap variabel berada pada
angka positif, walaupun terdapat angka negatif pada nilai minimum di kedua
varibel baik beta maupun return.
4.3
Analisis Data
4.3.1 Hasil Uji Asumsi Klasik
4.3.1.1 Hasil Uji Normalitas
Gambar 4.1
Uji Normalitas Histogram
Gambar 4.2
Uji Normalitas Plot
Sumber : Data sekunder yang diolah
Tabel 4.2
Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N
Normal Parameters
350
a
Mean
Std. Deviation
Most Extreme Differences
.0000000
.12653062
Absolute
.050
Positive
.050
Negative
-.037
Kolmogorov-Smirnov Z
.936
Asymp. Sig. (2-tailed)
.345
a. Test distribution is Normal.
Sumber : Data sekunder yang diolah
18
Hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov yang ditunjukkan pada tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,936 dan
nilai signifikansi 0,345. Karena 0,345 lebih besar dari 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data terdistribusi normal.
4.3.1.2 Hasil Uji Autokorelasi
Tabel 4.3
Uji Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized
Residual
a
Test Value
-.00209
Cases < Test Value
175
Cases >= Test Value
175
Total Cases
350
Number of Runs
173
Z
-.321
Asymp. Sig. (2-tailed)
.748
a. Median
Sumber : Data sekunder yang diolah
Dari tabel 4.3 dapat terlihat bahwa nilai Run Test adalah -0,321 dengan
signifikansi sebesar 0,748. Karena 0,748 lebih besar dari 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa antar residual dalam penelitian ini bebas autokorelasi.
4.3.1.3 Hasil Uji Heterokedastisitas
Gambar 4.3
Uji Heterokedastisitas
Sumber : Data sekunder yang diolah
19
Tabel 4.4
Uji Glejser
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
Coefficients
Std. Error
Beta
(Constant)
.080
.010
Beta
.014
.007
T
.100
Sig.
8.103
.000
1.873
.062
a. Dependent Variable: AbsUt_3
Sumber : Data sekunder yang diolah
Dari
tabel
4.4
di
atas
dapat
dikatakan
bahwa
tidak
terjadi
heterokedastisitas. Karena tingkat signifikansi variabel independen adalah sebesar
0,06 yang berada di atas 0,05. Sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa
tidak terjadi masalah heterokedastisitas.
4.3.2 Uji Hipotesis
Dalam penelitian ini dilakukan dua uji signifikansi parameter individual
(uji t) yaitu dengan pendekatan Unconditional dan pendekatan Conditional.
Sehingga dari dua pendekatan tersebut akan diuji dari dua uji t yang berbeda
dimana Unconditional Approach dengan regresi biasa dan Conditional Approach
melalui regresi dengan menambahkan variabel dummy.
4.3.2.1 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) Unconditional Approach
Untuk mengetahui pengaruh variabel independen yaitu beta terhadap
variabel dependen yaitu return, maka digunakan uji t. Hasil uji t dapat dilihat pada
tabel 4.5 berikut ini :
Tabel 4.5
Uji t Unconditional Approach
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Beta
Std. Error
-.001
.015
.019
.012
Coefficients
Beta
T
.087
Sig.
-.069
.945
1.638
.102
20
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
Coefficients
Std. Error
(Constant)
Beta
-.001
.015
.019
.012
Beta
T
.087
Sig.
-.069
.945
1.638
.102
a. Dependent Variable: Return
Sumber : Data sekunder yang diolah
Hipotesis pertama mengenai variabel beta saham, terlihat dalam tabel 4.5
menunjukkan bahwa beta saham berpengaruh positif terhadap return saham
dengan koefisien sebesar 0,019. Nilai signifikansi variabel beta saham sebesar
0,102 dimana nilai ini lebih besar dari 0,05 yang berarti pengaruh variabel beta
saham
terhadap
return
saham
tidaklah
signifikan.
Dikarenakan
nilai
signifikansinya lebih besar dari 0,05 maka hipotesis pertama (H1) ditolak. Hal
ini menunjukkan bahwa beta saham berpengaruh positif tidak signifikan terhadap
return saham.
4.3.2.2 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) Conditional Approach
Sementara mengetahui pengaruh variabel independen yaitu beta terhadap
variabel dependen yaitu return dengan pendekatan Conditional, maka juga
digunakan uji t dengan membedakan saat risk premium positif dan negatif. Hasil
uji t dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 4.6
Uji t Conditional Approach
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
-.016
.014
D.beta
.121
.016
(1 - D). Beta
.011
.011
a. Dependent Variable: Return
Sumber : Data sekunder yang diolah
Coefficients
Beta
t
Sig.
-1.114
.266
.469
7.722
.000
.063
1.034
.302
21
Hipotesis pertama mengenai variabel beta saham, terlihat dalam tabel 4.6
menunjukkan bahwa beta saham saat risk premium positif, beta berpengaruh
positif terhadap return saham dengan koefisien sebesar 0,121. Dengan nilai
signifikansi variabel beta saham sebesar 0,000 dimana nilai ini lebih kecil dari
0,05 berarti pengaruh variabel beta saham terhadap return saham adalah
signifikan saat risk premium positif. Dikarenakan nilai signifikansinya lebih kecil
dari 0,05 maka hipotesis kedua (H2) diterima. Hal ini menunjukkan bahwa beta
saham berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham saat risk
premium positif.
Sedangkan hipotesis kedua pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa beta saham
saat risk premium negatif adalah berpengaruh positif terhadap return saham
dengan koefisien sebesar 0,011. Dengan nilai signifikansi variabel beta sebesar
0,302 dimana nilai ini lebih besar dari 0,05 yang berarti bahwa pengaruh variabel
beta saham terhadap return saham adalah tidak signifikan saat risk premium
negatif. Dikarenakan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 maka hipotesis
ketiga (H3) ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa beta saham berpengaruh positif
tidak signifikan terhadap return saham saat risk premium negatif.
4.3.3 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) bertujuan mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R 2 pasti meningkat
setiap penambahan satu variabel tanpa memperhatikan signifikansi variabel
independen. Maka dalam penelitian ini digunakan adjusted R2 karena nilai
tersebut dapat naik atau turun jika satu variabel independen ditambahkan kedalam model.
Sama seperti dalam uji hipotesis dimana uji signifikansi parameter
individual (uji t) dibagi menjadi dua pendekatan yaitu Unconditional Approach
dan
Conditional
Approach,
koefisien
determinasi
juga
dibagi
dalam
Unconditional Approach dan Conditional Approach. Sehingga dalam penelitian
ini akan ditampilkan dua koefisien determinasi untuk dua pendekatan.
22
4.3.3.1 Koefisien Determinasi (R2) Unconditional Approach
Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan
variasi variabel dependen dalam pendekatan Unconditional, maka dapat dilihat
pada tabel 4.7 berikut ini :
Tabel 4.7
Koefisien Determinasi
b
Model Summary
Model
R
R Square
a
1
.087
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.008
.005
.1267123
a. Predictors: (Constant), Beta
b. Dependent Variable: Return
Sumber : Data sekunder yang diolah
Pada tabel di atas terlihat angka koefisien korelasi (R) sebesar 0,087
artinya hubungan variabel independen dengan variabel dependen hanya sebesar
8,7 persen. Sementara nilai adjusted R2 adalah 0,005 yang artinya kemampuan
variabel beta dalam menjelaskan variasi variabel return hanya sebesar 0,5 persen.
Sedangkan 99,5 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan
ke dalam penelitian ini.
4.3.3.2 Keofisien Determinasi (R2) Conditional Approach
Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan
variasi variabel dependen dalam pendekatan Conditional, maka dapat dilihat pada
tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.8
Koefisien Determinasi
b
Model Summary
Model
1
R
R Square
a
.434
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.188
a. Predictors: (Constant), (1 - D). Beta, D.beta
b. Dependent Variable: Return
Sumber : Data sekunder yang diolah
.183
.1147875
23
Pada tabel di atas terlihat angka koefisien korelasi (R) sebesar 0,434
artinya hubungan variabel independen dengan variabel dependen sebesar 43,4
persen. Sementara nilai adjusted R2 adalah 0,183 yang artinya kemampuan
variabel beta dalam menjelaskan variasi variabel return sebesar 18,3 persen.
Sedangkan 81,7 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan
ke dalam penelitian ini.
4.4
Pembahasan
4.4.1 Unconditional Approach
Dari hasil penelitian melalui pendekatan Unconditional, didapat bahwa
beta saham memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap return saham. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elsas et al. (1999),
Hodoshima et al. (2000) dan Ho (2007) yang menyatakan bahwa beta
berpengaruh positif tidak signifikan terhadap return.
Pada model pendekatan Unconditional dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa investor yang menginvestasikan modalnya pada kelompok saham LQ 45
dianggap risk taker. Terlihat dari uji t dimana beta memiliki pengaruh yang positif
terhadap return. Ini menggambarkan bahwa semakin tinggi nilai beta saham maka
semakin tinggi pula tingkat return saham tersebut dan tidak sesuai dengan
anggapan bahwa para investor adalah risk averse. Hasil ini seperti yang dikatakan
oleh Francis (1991:284) dimana CAPM menggambarkan hubungan positif antara
risiko sistematis aset dengan return yang diharapkan.
Akan tetapi nilai signifikansi sebesar 0,102 yang melebihi 0,05 berarti
pengaruh tersebut tidaklah signifikan. Didukung dengan adjusted R2 sebesar
0,005 menunjukkan bahwa kemampuan beta dalam menjelaskan variasi variabel
return hanya sebesar 0,5 persen. Sehingga dapat dikatakan bahwa Unconditional
CAPM dalam penelitian ini kurang mampu menggambarkan pengaruh beta saham
terhadap return saham. Seperti yang telah dijelaskan Pettengill et al. (1995)
bahwa dibutuhkan adanya penyesuaian statistik dari metode sebelumnya karena
return yang digunakan dalam penelitian adalah realized return, bukan
menggunakan expected return.
24
4.4.2 Conditional Approach
Pada hasil penelitian melalui pendekatan Conditional dengan membedakan
saat risk premium positif dan negatif, didapat bahwa saat risk premium positif,
beta saham memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap return saham.
Nilai koefisien yang positif sebesar 0,121 dan signifikansi sebesar 0,000 dimana
lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa terjadi pengaruh yang positif dan
signifikan saat risk premium positif dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dikembangkan oleh Pettengill et al. (1995) dan penelitian yang
dilakukan Theriou et al. (2004), Fletcher (1997), Elsas et al. (1999) dan
Hodoshima et al. (2000) yang mengemukakan bahwa pada beta berpengaruh
positif dan signifikan terhadap return saat risk premium positif. Ini
mengindikasikan bahwa jika investor memegang saham dengan beta yang tinggi,
maka akan memberi tingkat return yang lebih tinggi pula dibandingkan saham
dengan beta yang lebih rendah. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Wu (2006) dan Verma (2011) yang menemukan hasil tidak signifikan
saat risk premium positif.
Sedangkan saat risk premium negatif, beta saham juga mempunyai
pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap return saham. Nilai
koefisien yang positif sebesar 0,011 dan signifikansi sebesar 0,302 dimana lebih
besar dari 0,05 menunjukkan bahwa terjadi pengaruh yang positif dan tidak
signifikan saat risk premium negatif dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Wu (2006) dan Verma (2011) yang
menemukan hasil tidak signifikan saat risk premium negatif. Hasil ini tidak sesuai
dengan teori CAPM secara kondisional pasar dalam penelitian yang diungkapkan
Pettengill et al. (1995) dimana seharusnya terjadi hubungan yang terbalik antara
beta dengan return saat risk premium-nya negatif. Jadi seharusnya ketika risk
premium negatif (Rm < Rf), saham dengan beta lebih besar akan memberikan
return yang lebih sedikit dibandingkan saham dengan beta yang lebih kecil. Ini
dikarenakan saham dengan beta lebih besar akan lebih berfluktuatif saat return
pasar sedang bearish dibandingkan saham dengan beta yang kecil.
25
Akan tetapi pada hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda saat
risk premium-nya negatif. Pada penelitian ini didapat hasil yang positif namun
tidak signifikan saat risk premium negatif. Ini menggambarkan bahwa beberapa
saham dengan beta yang lebih tinggi memberikan tingkat return yang lebih tinggi
pula. Ini dimungkinkan dapat terjadi karena para investor menganggap bahwa
beberapa saham kelompok LQ 45 adalah saham-saham yang likuid dan cepat
dalam diperdagangkan dibandingkan saham lainnya. Sehingga meskipun return
pasar sedang bearish dan dibawah return aset bebas risiko, para investor
menganggap bahwa beberapa saham LQ 45 tetap likuid untuk diperdagangkan.
Sehingga Conditional CAPM yang dikembangkan oleh Pettengill et al. (1995)
kurang sesuai dengan hasil penelitian ini.
Sementara Pettengill et al. (1995) mengemukakan bahwa dalam
Conditional Approach dibutuhkannya dua kondisi yaitu:
(1). excess market return rata – rata haruslah positif dan
(2). risk premium pada pasar naik dan pasar turun haruslah simetris.
Pengujian kondisi pertama dapat dilakukan dengan One-Sample T Test
dengan risk premium sebagai variabel test-nya. Hasil dari pengujian kondisi
pertama dapat dilihat pada tabel 4.9 dan 4.10 berikut :
Tabel 4.9
One-Sample T Test
One-Sample Statistics
N
Risk_Prem
Mean
36
Std. Deviation
-.065628
.0993806
Std. Error Mean
.0165634
Tabel 4.10
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Mean
T
Risk_Prem
-3.962
df
Sig. (2-tailed)
35
0.000348
Sumber : Data sekunder yang diolah
Difference
-.0656278
Difference
Lower
-.099253
Upper
-.032002
26
Dari hasil di atas menunjukkan dari 36 bulan observasi (Januari 2008
hingga Desember 2010) didapat bahwa rata-rata excess market return adalah
negatif dan signifikan. Ini terlihat dari nilai t sebesar -3,962 dan signifikansi
sebesar 0,000348 yang lebih kecil dari 0,05. Kondisi ini tidak sesuai dengan
syarat yang dikemukakan oleh Pettengill et al. (1995) dimana rata-rata excess
market return haruslah positif.
=
,
,
,
,
= ,
Dari nilai t di atas didapat hasil untuk pengujian kondisi kedua dalam
pendekatan Conditional pada tabel 4.12 berikut :
beta 1
beta 2
(γ2)
(γ3)
0.12091
0.01091
Tabel 4.12
Uji Simetrikal
SEb1
SEb2
T-Statistik
Df
Signifikansi
0.01566
0.01055
5.8265
347
0.0000000129
Dari hasil uji simetrikal tersebut, dapat dikatakan bahwa risk premium saat
positif dan negatif tidaklah simetris. Hal ini dikarenakan nilai signifikansi yang
mendekati 0, menggambarkan bahwa kedua garis slope saat risk premium positif
dan saat risk premium negatif adalah berbeda. Jika kedua garis memiliki arah
yang berbeda maka dapat dikatakan bahwa kedua garis adalah simetris. Akan
tetapi kedua garis tersebut memiliki arah yang sama, yaitu positif. Sehingga
meskipun garis saat risk premium positif dan saat risk premium negatif berbeda
tetapi kedua garis tersebut tidak simetris, dikarenakan memiliki arah yang sama.
5
KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini, didapat bahwa pengaruh beta saham terhadap
return saham dengan pendekatan Unconditional adalah positif dan tidak
signifikan. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Elsas et al.
(1999), Hodoshima et al. (2000) dan Ho (2007) yang menemukan pengaruh
positif tidak signifikan antara beta terhadap return. Sehingga Unconditional
27
Approach kurang dapat menggambarkan pengaruh beta saham terhadap return
saham dalam kelompok LQ 45 di Bursa Efek Indonesia.
Sementara saat dilakukan uji dengan pendekatan Conditional, dimana beta
dibedakan saat risk premium positif dan saat risk premium negatif, didapat hasil
yang bias. Saat risk premium positif didapat bahwa beta saham berpengaruh
positif signifikan terhadap return saham. Sedangkan saat risk premium negatif
didapat bahwa beta saham juga berpengaruh positif namun tidak signifikan
terhadap return saham. Sehingga dapat dikatakan bahwa Conditional Approach
ini juga kurang mampu menggambarkan pengaruh beta saham terhadap return
saham dalam kelompok LQ 45 di Bursa Efek Indonesia.
Selain itu dua kondisi yang disyaratkan dalam Conditional Approach tidak
dapat terpenuhi. Kondisi pertama dalam penelitian ini menggambarkan bahwa
rata-rata excess market return adalah negatif, tidak sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Pettengill et al. (1995) tetapi sepakat dengan hasil penelitian
Theriou et al. (2004). Sedangkan kondisi kedua dalam penelitian ini
menggambarkan bahwa kedua slope saat risk premium positif dan saat risk
premium negatif tidaklah simetris, sepakat dengan hasil penelitian yang dilakukan
Fletcher (1997) dan tidak sependapat dengan Pettengill et al. (1995). Seperti yang
dikatakan Verma (2011), Conditional Approach tidak dapat digunakan sebagai
prediksi karena realized upstate and downstate conditions bukanlah ex-ante.
Dengan kata lain, pendekatan Unconditional dan Conditional kurang mampu
menggambarkan pengaruh beta saham terhadap return saham di perusahaan –
perusahaan yang terdaftar dalam kelompok LQ 45 di Bursa Efek Indonesia
periode Januari 2008 hingga Desember 2010.
5.2
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi peneliti berikutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik.
1. Lebih banyaknya periode risk premium yang negatif daripada yang
positif dimana banyak periode return pasar lebih kecil dari return aset
bebas risiko. Ini dapat menjadikan hasil yang bias dalam penelitian ini.
28
2. Pada penelitian ini hanya digunakan dua pendekatan, yaitu
Unconditional Approach dan Conditional Approach. Sedangkan
banyak pendekatan lain yang mungkin dapat menggambarkan
pengaruh beta saham terhadap return saham.
5.3
Saran
Di bawah ini peneliti akan memberikan saran yang terkait dengan
penelitian ini, antara lain :
5.3.1 Saran bagi para Investor
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
pada pendekatan Unconditional, beta mempengaruhi return saham-saham LQ 45
secara positif namun tidak signifikan, dan pada pendekatan Conditional, beta
mempengaruhi return secara positif signifikan saat risk premium positif dan
positif tidak signifikan saat risk premium negatif. Jika investor ingin
menggunakan pendekatan Unconditional, maka dapat dipilih beberapa saham dari
10 sampel penelitian. Ini dikarenakan hanya beberapa saham yang memiliki
pengaruh positif signifikan. Sedangkan jika investor ingin menggunakan
pendekatan Conditional, maka saat risk premium positif dapat digunakan beta
untuk memperkirakan return. Tetapi saat risk premium negatif, hanya beberapa
saham saja yang menunjukkan pengaruh positif beta terhadap return. Investor
juga dapat memperkirakan return saham-saham LQ 45 dari faktor lain seperti
kondisi perekonomian, suku bunga, kurs rupiah terhadap dollar, tingkat inflasi,
pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya (Solechan,2009).
5.3.2 Saran bagi Peneliti Selanjutnya
1. Bulan amatan dan sampel penelitian sebaiknya diperbanyak. Karena
dengan bulan amatan dan sampel yang lebih banyak, diharapkan dapat
memberikan hasil yang lebih tepat
2. Sebaiknya penelitian selanjutnya menggunakan model atau alat uji yang
berbeda sebagai bahan perbandingan misalkan Covarians dan Varians
Labor dalam Jagannathan dan Wang (1996), atau model autoregresive,
moving average dan GARCH-in-mean seperti yang dilakukan Bali et
al. (2007). Dapat pula digunakan sumber data berbeda.
29
DAFTAR PUSTAKA
Bodie, Z., Kane, A., and Marcus, A.J. 2005. Investments. Sixth Edition. New
York: Mc. Graw Hill.
Corhay, A., Hawawini, G. and Michel, P. 1987. Seasonality in the Risk-Return
Relationship: Some International Evidence. Journal of Finance. Vol. 42
iss. 1, pp. 49-68.
Darmadji T. dan Fakhruddin H.M. 2006. Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan
Tanya Jawab. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Elsas, Ralf., El-Shaer, Mahmoud., Theissen, Erik. 1999. Beta and Returns
Revisited - Evidence from the German Stock Market. Journal of
International Financial Markets, Institutions and Money. Vol. 13,
pp.354-379
Fama, E. and French, K. 1992. Common Risk Factors in the Returns on Stocks
and Bonds. Journal of Financial Economics. Vol. 33, pp. 3-56.
Fama, E. and MacBeth, J. 1973. Risk, Return, and Equilibrium: Empirical Tests.
The Journal of Political Economy. Vol. 81 No. 3 May-June, pp. 607636.
Fletcher, Jonathan. 1997. An Examination of the Cross-Sectional Relationship of
Beta and Return: UK Evidence. Journal of Economics and Business.
Vol 49: 211-221
Francis, Jack C. 1991. Investments: Analysis and Management. Fifth Edition.
New York: Mc. Graw Hill.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariative Dengan Program SPSS.
Semarang: BP UNDIP.
Ho, Wai Kit. 2007. The Conditional Relation between Beta and Returns in the
Hong Kong Stock Market. A Dissertation presented in part consideration
for the degree of MA Finance & Investment Degree.
Hodoshima, Jiro., Garza-Gomez, X. and Kunimura, M. 2000. Cross-sectional
regression analysis of return and beta in Japan. Journal of Economics
and Business. Vol. 52, pp. 515-33.
Husnan, Suad, dan Pudjiastuti, Enny. 2004. Dasar-dasar Teori Portofolio dan
Analisis Sekuritas. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jogiyanto. 2003. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: BPFE.
Jones, Charles P. 2004. Investments: Analysis and Management. Ninth Edition.
Danvers: Wiley.
30
Michailidis, Grigoris and Tsopoglou, Stavros. 2007. Beta and returns revisited.
Evidence from international stock markets. Management of
International Business & Economic Systems. Vol 1, Issue 1, pp. 74-85
Paternoster, R., Brame, R., Mazerolle, P. and Piquero, A. 1998. Using The
Correct Statistical Test For The Equality Of Regression Coefficients.
Criminology. Vol. 36 No. 4, pp. 859-866.
Pettengill, G., Sundaram, S. and Mathur, I. 1995. The Conditional Relation
Between Beta and Returns. The Journal of Financial and Quantitative
Analysis. Vol. 30 No. 1 March, pp. 101-116.
Reilly, Frank K, and Brown, Keith C. 2000. Investment Analysis and Portfolio
Management. Sixth Edition. Orlando: Dryden Press.
Solechan, A. 2009. Pengaruh Manajemen Laba Dan Earning Terhadap Return
Saham (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek
Indonesia). Tesis (tidak diterbitkan). Semarang UNDIP.
Suharli, M. 2005. Studi Empiris Terhadap Dua Faktor yang Mempengaruhi
Return Saham pada Industri Food and Beverages di Bursa Efek Jakarta.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 7 No. 2 Nopember, hal.99-116.
Tang, G. and Shum, W. 2004. Beta and Returns Revisited: Evidence from The
Korean and Taiwan Stock Markets. Pacific-Basin Finance Journal.
Tang, G. and Shum, W. 2004. The Pricing Of Risky Assets In The Hong Kong
Stock Market: New Evidence. Pacific-Basin Finance Journal.
Tang, G. and Shum, W. 2004. The Risk-Return Relations in the Singapore Stock
Market. Pacific-Basin Finance Journal.
Theriou, N., Aggelidis, V. and Maditinos, D. 2004. Testing The Relation Between
Beta and Return in the Athens Stock Exchange. Managerial Finance.
Vol. 36 No. 12, pp. 1043-1056.
Tjahjo, Eko.H. 2003. Analisis Anomali Price to Earning Ratio dan Beta Saham
Serta Pengaruhnya Terhadap Return Saham (Studi Empiris Pada
Bursa Efek Jakarta). Tesis (tidak diterbitkan). Semarang UNDIP.
Verma, Rahul. 2011. Testing forecasting power of the conditional relationship
between beta and return. The Journal of Risk Finance. Vol. 12 No. 1,
pp. 69-77
Wu, Xinxin. 2006. An Empirical Test of CAPM: Evidence from Shanghai Stock
Exchange 2001-2005. A Dissertation presented in part consideration for
the degree of MA Finance & Investment Degree.
Yuningsih, I., and Yudaruddin, R. Pengaruh Model Tiga Faktor terhadap Return
Saham. Akuntabilitas. Vol. 7 No. 1 September, hal. 79-84.
Download