17 TINJAUAN PUSTAKA Kanker Paru Kanker paru merupakan tumor ganas pada organ paru, dan terletak pada daerah saluran nafas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker paru ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas dan cenderung merusak jaringan normal (Herbst et al. 2008). Masa pertumbuhan kanker mulai dari fase prakanker, stadium awal dan stadium lanjut dapat dilihat pada Gambar 1. Normal Pra kanker Stadium awal Stadium Lanjut Perokok Perbesaran Asap rokok Kerentanan Faktor lain Bukan Perokok Herbst et al. (2008) Gambar 1 Fase pertumbuhan kanker pada pasien perokok dan non-perokok Kanker paru terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Small-Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Kasus kanker paru jenis NSCLC lebih banyak terjadi (85%) jika dibandingkan dengan jenis SCLC (15%) (Herbst et al. 2008). NSCLC dapat dibagi menjadi tiga subtipe utama yaitu squamous-cell carcinoma, adenocarcinoma, dan large cell lung cancer. Jenis squamous-cell carcinoma dan small-cell lung cancer banyak ditemukan pada pasien perokok, sedangkan jenis sel adenocarcinoma banyak ditemukan pada pasien non-perokok . Asap rokok dan polusi lingkungan lainnya dapat memicu terjadinya karsinogenesis. Disamping itu, faktor lain seperti keturunan, hormonal dan virus juga dapat menjadi pemicu karsinogenesis pada paru (Sun et al. 2007). Kerusakan jaringan paru diawali dengan perubahan genetik dan epigenetik, seperti mutasi gen dan metilasi yang tidak normal, dan perubahan transkriptomik, seperti inflamasi dan apoptosis. Perubahan ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama dan mengarah kepada terjadinya perubahan pada jalur regulasi sel, seperti ketidakteraturan proses proliferasi dan apoptosis, sehingga sel berubah menjadi ganas (Spira et al. 2004). Perubahan karakteristik molekuler juga menyebabkan terjadinya angiogenesis, invasi dan metastasis sel (Sato et al. 2007). 18 Perubahan karakteristik molekuler pada setiap pasien kanker paru berbedabeda (Gambar 1). Pasien kanker paru yang memiliki riwayat merokok misalnya, memiliki perbedaan karakteristik pola mutasi gen dengan pasien yang tidak memiliki riwayat perokok. Mutasi gen KRAS banyak ditemukan pada pasien perokok, sedangkan mutasi gen EGFR banyak ditemukan pada pasien nonperokok. Sel kanker pada pasien perokok umumnya terbentuk pada bagian saluran utama sistem pertukaran udara, sedangkan pada kasus pasien non-perokok umumnya terbentuk pada daerah perifer (Mao et al. 1997; Wistuba et al. 2000; Zudaire et al. 2008) Pasien kanker paru memiliki harapan kesembuhan lebih besar jika pada saat dilakukan diagnosa pertama kali masih berada pada stadium awal (I dan II). Pada kondisi ini sel kanker paru masih dapat diangkat melalui pembedahan. Namun demikian, 80–90% pasien penderita kanker paru sudah diketahui berada pada stadium III dan IV ketika diagnosa pertama kali dilakukan (Sone et al. 2007). Pada stadium ini sel kanker sudah menyebar menuju organ lain, dan pada beberapa pasien umumnya disertai pembengkakan dan penumpukan cairan pada rongga pleura, yang sering disebut efusi pleura. Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini menutupi jaringan paru dan terdiri atas 2 lapisan yaitu pleura viseralis yang terletak pada bagian dalam, langsung menutupi permukaan paru, dan pleura parietalis yang terletak pada bagian luar dan berhubungan dengan dinding dada (Gambar 2a). Pada rongga pleura terdapat cairan yang keluar dari pembuluh darah melalui pleura parietal dan kemudian diserap oleh pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali ke darah (Gambar 2b). Rongga pleura dalam keadaan normal memiliki ukuran tebal 10-20 µm, berisi sekitar 1020 mL cairan jernih yang tidak berwarna, mengandung protein <1,5 gr/dl dan ± 1500 sel/µL. Sel cairan pleura didominasi oleh sel monosit, sejumlah kecil sel limfosit, makrofag, sel darah merah dalam jumlah yang sangat kecil dan sel mesotel (Light 2000). Pleura viseral Pleura parietal Rongga pleura Rongga pleura Mediastinum Efusi pleura (a) (b) Gambar 2 Anatomi pleura paru. (a) pleura normal; (b) efusi pleura Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura, yang terjadi akibat produksi cairan melebihi kemampuan normal penyerapan sehingga terjadi akumulasi cairan melebihi volume normal. Umumnya efusi pleura disebabkan oleh infeksi dan kasus keganasan/kanker pada paru atau organ lainnya (Sato 2006). Efusi pleura yang disebabkan oleh kanker sering disebut sebagai efusi pleura ganas (EPG). EPG dibuktikan dengan adanya penemuan sel tumor pada 19 pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi cairan pleura. Efusi pleura ganas bersifat metastatik berasal dari penyebaran langsung sel-sel ganas dari tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara, dan dinding dada) (Heffner & Klein 2008). Pada umumnya hanya sekitar 25% dari effusi pleura ganas yang disertai penemuan sel tumor pada pemeriksaan sitologi. Meskipun tidak ditemukan sel tumor pada cairan pleura, akan tetapi ditemukan kanker primer pada paru dan cairan pada pleura timbul berulang, masif dan pasien tidak respon terhadap obat antiinfeksi maka pasien tetap dikategorikan menderita EPG (Syahruddin et al. 2009). Terjadinya EPG pada penderita kanker paru sangat menyulitkan pengambilan tindakan yang tepat. Penderita pada kondisi ini sudah dikategorikan berada pada stadium IIIB yang prognosisnya tidak dapat disamakan dengan stadium IIIB tanpa EPG. Penderita juga memiliki prognosis yang buruk, namun demikian penanganan yang tepat dapat meningkatkan kualitas kesehatan penderita (Burrows et al. 2000). Penelitian-penelitian terakhir berusaha untuk mengungkapkan patogenesis EPG pada tingkat molekuler untuk dapat menjawab tantangan dalam hal diagnosis dan penetalaksanaannya yang sangat kompleks. Penelitian-penelitian tersebut banyak melihat peranan protein inflamasi dan penanda tumor lainnya dalam hubungannya dengan EPG (Ngurah Rai 2009). Optimasi analisis kanker paru berdasarkan penanda protein CEA pada efusi pleura telah dilakukan Arbaningsih (2010). Analisis karakteristik molekuler yang memanfaatkan cairan pleura dari pasien kanker paru juga telah banyak dilakukan (Krypuy et al. 2006; Kimura et al. 2006). Biomarker Kanker Paru Pengembangan teknologi pengobatan berbasis sistem terapi target dan aplikasinya kepada pasien kanker telah mendorong dikembangkannya jenis biomarker spesifik yang dapat digunakan sebagai acuan dalam diagnosa untuk pengambilan tindakan pengobatan yang tepat. Biomarker prediktif dikembangkan, divalidasi dan diaplikasikan dalam diagnosa pasien untuk meningkatkan ketepatan dalam pemberian obat terapi target, serta melihat kemungkinan adanya resistensi yang terjadi. Adanya biomarker spesifik ini dapat membantu pasien menerima tindakan pengobatan yang tepat dan mengurangi biaya pengobatan (Tappenden et al. 2006; Simon 2010). Pengembangan penelitian untuk menemukan dan memvalidasi biomarker spesifik kanker paru telah dilakukan beberapa tahun ini. Salahsatu jenis biomarker yang dikembangkan, diarahkan pada pengobatan berbasis inhibitor enzim tirosin kinase pada reseptor faktor pertumbuhan/EGFR. Dua jenis obat terapi target gefitinib (IRESSATM) dan erlotinib (TARCEVATM) telah menunjukkan respon pengobatan yang lebih baik terhadap pasien yang mengalami mutasi gen EGFR, sehingga menunjukkan pentingnya analisis mutasi gen EGFR sebagai biomarker kanker paru pada pasien (Dassonville et al. 2007; Hirsch & Bunn 2005; Dahabreh et al. 2010). Hasil penelitian sejak tahun 2004 menunjukkan bahwa penggunaan obat terapi target gefitinib pada pasien yang mengalami mutasi gen EGFR menunjukkan respon yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian obat pada pasien yang memiliki profil gen EGFR wild type (Tabel 1). 20 Tabel 1 Data prevalensi mutasi gen EGFR pada pasien kanker paru Penelitian Etnis Prevalensi Respon gefitinib pasien mutasi terhadap pasien dengan EGFR wild type Huang et al. (2004) Cina 8/16 (50%) 0/8 (0%) Tokumo et al. (2005) Jepang 10/21 (48%) 2/12 (17%) Zhang et al. (2005) Cina 12/30 (40%) 1/18 (6%) Han et al. (2005) Korea 17/90 (19%) 10/73 (14%) Kim et al. (2005 Korea 6/27 (22%) 2/21 (10%) Respon gefitinib terhadap pasien yang mengalami mutasi gen EGFR 6/8 (75%) 7/9 (78%) 8/12 (67%) 11/17 (65%) 6/6 (100%) Pengembangan penemuan biomarker spesifik lain dalam rangka menemukan obat terapi target yang lebih spesifik untuk setiap pasien terus dikembangkan. Penemuan jenis mutasi pada gen-gen lain yang mengatur regulasi sel terus berkembang. Menurut Crystal & Alice (2011) beberapa jenis mutasi gen yang ditemukan pada pasien kanker paru selain gen EGFR adalah KRAS, ALK, PIK3CA, HER2, BRAF, AKT, MET dan sebagian besar mutasi gen masih belum diketahui (Gambar 3). Mutasi gen KRAS dan EGFR memiliki prevalensi cukup besar jika dibandingkan dengan gen yang lain. Tidak diketahui Gambar 3 Grafik prevalensi mutasi gen pada pasien kanker paru Mutasi Gen EGFR Gen EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) terletak pada lengan pendek kromosom 7 dan berfungsi untuk mengkode protein reseptor faktor pertumbuhan. EGFR terletak pada bagian transmembran sel epitel dan memiliki aktivitas tirosin kinase (Yarden & Sliwkowski 2001). Menurut Carpenter (1987) EGFR merupakan glikoprotein membran plasma yang berukuran 170 kDa, dan tersusun dari bagian ekstraseluler, daerah transmembran dan daerah intraseluler. Daerah ekstraseluler merupakan bagian yang berikatan dengan ligan, sedangkan daerah intraseluler merupakan bagian aktivitas enzim trosin kinase. Ikatan ligan dengan reseptor menginduksi terjadinya dimerisasi antara dua reseptor EGFR. Proses dimerisasi tidak hanya terjadi antara reseptor yang sama (homo-dimerisasi) namun dapat terjadi antara dua reseptor yang berbeda (hetero-dimerisasi) (Riese & Stern 1998). Heterodimerisasi terjadi antara sesama kelompok reseptor tirosin kinase/ErbB seperti ErbB2, ErbB3 dan ErbB4. EGFR berfungsi sebagai penyampai sinyal transduksi dari luar sel menuju inti sel melalui protein-protein di dalam sitoplasma, dan mengarah kepada proses 21 pengendalian pertumbuhan dan kematian sel, diferensiasi dan migrasi sel, angiogenesis, serta invasi sel (Santos et al. 2011). Sinyal ini terjadi setelah proses pengikatan ligan oleh reseptor EGFR yang dilanjutkan dengan adanya proses dimerisasi dan autofosforilasi (Ogiso et al. 2002; Schlessinger 2002). Proses ini memicu aktivasi jalur transduksi sinyal dibawah protein EGFR seperti jalur Akt, STAT dan RAS. Jalur sinyal Akt berkaitan erat dengan proses ketahanan (survival) sel (Goswami et al. 2006). Proses autofosforilasi jalur Akt melalui proses docking protein Gab1 pada protein PI3K yang selanjutnya akan mengaktivasi protein Akt, mTOR dan akhirnya menyampaikan sinyal ke inti sel (Matton et al. 2004). Menurut Sordella et al. (2004) jalur Akt dan STAT memiliki peran penting dalam proses antiapoptosis untuk ketahanan sel. Pada jalur lain terjadi proses aktivasi sinyal Raf/MEK/Erk melalui aktivasi protein RAS. Protein Grb2 SH2 yang terikat pada EGFR menghasilkan sinyal yang mengaktivasi protein RAS dan terjadi fosforilasi pada protein dibawahnya (Katz et al. 2007). Jalur RAS terutama berperan terhadap proses proliferasi sel (Katz et al. 2007; Robets & Der 2007). Yoshida et al. 2010 Gambar 4 Skema jalur transduksi sinyal EGFR Ket: ERK= extracytoplasmic-regulated kinase, Grb-2= Growth factor receptor-bound protein 2, MAPK= mitogen-activated protein kinase, MEK= MAPK kinase, mTOR= mammalian target rapamycin, PI3K= phosphoinositide 3-kinase, PTEN= phospatase and tensin homolog, RAF= v-raf murine leukimia viral oncogene homolog, RAS= rat sarcoma viral oncogene homolog, SOS= sister of sevenless, STAT= signal transducer and activator of transcription. Pada kondisi normal EGFR akan menyampaikan sinyal melalui protein yang berada pada jalur dibawahnya ke inti sel, sehingga sel melakukan regulasi secara normal. Proses proliferasi dan apoptosis sel berjalan secara teratur. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan prilaku pada protein EGFR yang disebabkan oleh adanya 22 mutasi gen, EGFR memberikan sinyal pertumbuhan sel yang secara konstitutif melakukan proliferasi dan menghambat aktivasi protein yang berperan dalam proses apoptosis, sehingga sel berubah menjadi kanker (Sakurada et al. 2006). Mutasi gen EGFR menyebabkan aktivasi tirosin kinase secara terus menerus akibat adanya perusakan pada sistem autoinhibitor (Yun et al. 2007) dan induksi terjadinya proses fosforilasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan normal (Lynch et al. 2004; Mulloy et al. 2007). Selain itu, pada sel kanker paru NSCLC mutasi EGFR menyebabkan terjadinya dimerisasi reseptor tanpa membutuhkan bantuan ligan, sehingga aktivasi EGFR dan jalur tranduksi sinyal dibawahnya terjadi secara konstitutif (Okabe et al. 2007; Choi et al. 2007). Mutasi gen EGFR meliputi jenis mutasi titik, delesi dan insersi yang terjadi pada ekson 18, 19, 20, 21 dan 24 (Shigematsu et al. 2005; Paez et al. 2004; Lynch et al. 2004). Delesi yang terjadi merupakan jenis delesi in-frame akibat kehilangan 4-6 asam amino (kodon 746–kodon 752) pada ekson 19 (Sakurada et al. 2006; Kawada et al. 2008). Jenis mutasi berikutnya yang terjadi adalah substitusi satu nukleotida yang dapat terjadi pada ekson 18 dan 21, serta duplikasi in-frame dan atau insersi yang banyak terjadi pada ekson 20 (Shigematsu & Gazdar 2006). Pada umumnya mutasi yang paling sering terjadi (85-90%) adalah mutasi pada ekson 19 dan 21 kodon 858 (Gambar 5) (Shigematsu et al. 2005; Paez et al. 2004; Lynch et al. 2004). Substitusi pada mutan dua sekuen terdeteksi Substitusi dua nukleotida terdeteksi (Santos et al. 2011) Gambar 5 Mutasi EGFR ekson 19 dan 21 Mutasi EGFR pada ekson 21 kodon 858 menyebabkan terjadinya perubahan konformasi struktur enzim tirosin kinase. Substitusi basa Timin menjadi Guanin (CTG>CGG) menyebabkan perubahan translasi asam amino leusin menjadi arginin. Asam amino arginin bersifat hidrofil dan polar, sedangkan leusin bersifat hidrofob dan cenderung nonpolar. Asam amino hidrofil lebih banyak berada di bagian permukaan protein, sedangkan asam amino hidrofob memiliki struktur berlipat dan hampir selalu ada di bagian dalam protein (Yun el al. 2007) 23 Gambar 6 Perubahan struktur asam amino pada mutasi EGFR exon 21. (a) EGFR dengan asam amino Leusin; (b) EGFR dengan asam amino Arginin Mutasi Gen KRAS Penelitian mengenai gen RAS bukanlah hal yang baru dilakukan akhir-akhir ini. Edward Scolnick dan tim risetnya sejak 30 tahun yang lalu telah mengidentifikasi gen RAS (Rat Sarcoma Virus) sebagai suatu gen virus dengan karakteristik yang bersifat onkogenik/memicu terjadinya tumor, dan kemudian diidentifikasi merupakan gen yang terkait dengan karsinogenesis (Linordau et al. 2011). Gen RAS pada awalnya ditemukan dari virus penginduksi leukimia pada tikus. Gen tersebut kemudian diidentifikasi sebagai HRAS (Harvey RAS) dan KRAS (Kirsten RAS) setelah ditemukan dari turunan sekuen genom tikus. Pada tahun 1982, penelitian mengenai kloning gen dari sel kultur manusia menemukan adanya homologi gen manusia dengan gen HRAS dan KRAS. Satu tahun kemudian jenis gen RAS yang lain, NRAS (Neuroblastoma RAS), ditemukan (Rielly et al. 2008). Gen RAS mengekspresikan protein RAS yang termasuk kedalam famili protein G (Guanine triphosphate-binding protein), suatu protein berukuran 20-40 kDa, yang berperan dalam proses penyampaian sinyal transduksi di dalam sel (Linordau et al. 2011), dan berfungsi sebagai saklar molekuler penghubung aktivasi tirosin kinase yang mengkonversi sinyal dari membran ke inti sel (Adjei 2001). Protein Ras teraktivasi secara langsung melalui faktor pertukaran nukleotida guanin (Guanine nucleotide exchange factors/GEP) yang mengubah guanosin diposfat (GDP) menjadi guanosin triposfat (GTP), dan kembali pada keadaan tidak aktif ketika terjadi hidrolisis GTP menjadi GDP, suatu reaksi yang dikatalisasi oleh enzim GTPase (Gambar 7) (Hall et al. 2002; Cox & Der 2003). 24 Tidak aktif Aktif Efektor RAS (Raf, MEK, Erk) Respon sel (Linardou et al. 2011) Gambar 7 Siklus aktivasi protein RAS Menurut Linordau et al. (2011) proses aktivasi RAS dibantu protein GRB2 dan SHC, protein adaptor yang mengikat RAS pada fosfotirosin spesifik. Interaksi ini menjadi mediasi masuknya SOS ke dalam membran plasma yang akan mendorong konversi RAS dari GDP menjadi bentuk GTP. Reseptor-reseptor lain yang tidak secara langsung terintegrasi dengan tirosin kinase seperti Src-like tirosin kinase juga mengaktivasi protein RAS. Proses inaktivasi RAS terjadi melalui proses perubahan GTP menjadi GDP oleh GAPs, suatu proses yang belum diketahui secara detail. Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa fosforilasi SOS oleh jalur Raf/MAP kinase dapat menginduksi disosiasi SOS dari GRB2 sebagai hasil peralihan menjadi bentuk GDP. Protein GAP p120 bertindak sebagai regulator negatif RAS dan diatur oleh fosporilasi tirosin. Aktivasi RAS menyebabkan fungsinya sebagai adaptor untuk mengaktifkan jalur-jalur sinyal transduksi berikutnya berlangsung dan pada akhirnya menyampaikan sinyal ke inti sel. Mutasi gen RAS merupakan perubahan onkogen yang paling banyak terjadi pada kasus kanker manusia. Mutasi gen RAS yang umum terjadi disebabkan adanya substitusi satu basa nukleotida pada daerah kodon 12, 13 dan kodon 61 (Bos 1989). Letak mutasi KRAS yang jarang terjadi adalah pada kodon 11, 18 dan 59 (Cox & Der 2003; Molina & Adjei 2006; Krypuy et al. 2006) dan kodon 22 (Miyakura et al. 2002). High Resolution Melting Analysis (HRM) Analisis HRM adalah suatu metode yang dikembangkan untuk mengetahui adanya mutasi atau variasi pada susunan basa nukleotida secara tepat dan cepat. Metode ini mampu mendeteksi dan mengidentifikasi mutasi gen secara cepat, mengidentifikasi variasi genetik tanpa sekuensing dan atau membedakan adanya variasi genetik pada suatu populasi (Kapa Biosystem 2007). HRM banyak 25 digunakan untuk SNP (Single nucleotide polymorphisme) genotyping, analisis DNA metilasi, fingerprint DNA, identifikasi spesies, dan penemuan adanya mutasi DNA (Corbett Research 2006). HRM merupakan teknik yang sederhana, tidak memerlukan proses pemisahan DNA atau proses rumit lainnya. Teknik ini menjadi solusi yang tepat untuk diagnostik setelah teknik HRM ini dikombinasikan dengan rapid cycle PCR (Reed et al. 2007). Proses HRM diawali dengan amplifikasi sekuen DNA target menggunakan teknik PCR. Senyawa dye ditambahkan agar dapat terikat pada DNA utas ganda hasil PCR secara spesifik dan menghasilkan fluoresen yang jelas. Dye tidak terikat dan memancarkan fluoresen pada DNA utas tunggal. Perbedaan sinyal fluoresen ini digunakan untuk mengamati proses amplifikasi DNA dan proses selama HRM. Analisis HRM dimulai setelah proses PCR selesai, DNA yang dihasilkan didenaturasi secara bertahap dengan cara menaikkan temperatur secara perlahan dengan tujuan untuk mendapatkan profil pola melting point DNA. Pola ini dapat diamati dari penurunan fluoresen senyawa dye akibat perubahan DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal (Kapa Biosystem 2007). DNA utas ganda DNA utas tunggal Gambar 8 Proses PCR-HRM yang diamati penurunan sinyal fluoresen HRM menggunakan mesin PCR yang dilengkapi dengan instrumen beresolusi tinggi untuk menentukan pola melting DNA, sehingga tidak semua mesin PCR dapat digunakan. Pola melting yang terbentuk menunjukkan karakteristik DNA yang terbentuk. Karakterisasi DNA dengan HRM dilakukan berdasarkan pada panjang sekuen, kandungan basa guanin dan sitosin, serta komplementaritas sekuen DNA. HRM sangat sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan satu basa nukleotida. Dengan demikian, adanya mutasi titik pada basa DNA akan menghasilkan pola melting yang berbeda (Wittwer 2009). HRM terjadi setelah proses PCR, sehingga sangat bergantung kepada keberhasilan proses PCR. Tingkat sensitivitas yang tinggi sangat dipengaruhi oleh kondisi PCR yang digunakan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan analisis seperti faktor mesin dan faktor proses PCR yang meliputi desain primer, reagen PCR, senyawa dye dan kondisi siklus PCR perlu 26 diperhatikan. Sedikit perbedaan pada kondisi mesin dan kondisi campuran reagen PCR dapat menyebabkan perubahan pada hasil analisis (Reed et al. 2007). Kualitas DNA cetakan, primer, konsentrasi MgCl2, dan keberadan inhibitor dapat mempengaruhi pola melting DNA. Selain itu keberadaan senyawa dye sebagai indikator melalui sinyal fluoresen yang dihasilkan juga sangat penting. Beberapa jenis dye yang telah dikembangkan diantaranya adalah SYBR green, LCGreen, dan Syto9 (White & Potts 2006). Penggunaan SYBR Green dapat menghambat proses PCR ketika konsentrasi DNA utas ganda yang terbentuk telah mencapai jumlah yang hampir jenuh. Hal ini dapat menyebabkan “dye jumping” selama proses melting amplikon sehingga dapat menurunkan sensitivitas deteksi HRM (Wittwer et al. 2003). LCGreen digunakan untuk menyempurnakan fungsi dye SYBR green. Dye ini tidak menghambat proses amplifikasi selama PCR sehingga sensitivitas dan spesifitas analisis lebih baik jika dibandingkan dengan SYBR Green (Wittwer et al. 2003Íž Herrmann et al. 2006). Jenis dye berikutnya adalah SYTO9 yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas deteksi yang lebih tinggi daripada LCGreen. SYTO9 menunjukkan hasil analisis melting curve yang lebih reprodusibel, tidak menghambat proses PCR dan tidak bersifat selektif terhadap amplikon tertentu (Monis et al. 2004). Restriction Fragment Lenght Polymorphisme (RFLP) Metode RFLP merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk mengetahui adanya variasi pada susunan basa DNA suatu organisme. Analisis dilakukan pada DNA atau cDNA hasil amplifikasi, kemudian dipotong menggunakan enzim restriksi dan dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Meskipun teknik ini merupakan teknik yang sangat sensitif dan sangat mudah digunakan untuk mengetahui variasi pada sekuen DNA, akan tetapi banyak polimorfisme terjadi akibat adanya perubahan pada satu pasang basa nukleotida, sehingga dibutuhkan enzim restriksi yang secara spesifik mengenali daerah tempat terjadinya perubahan tersebut (Nakashima et al. 2003). Teknik RFLP relatif sederhana, tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan mahal, namun dapat digunakan untuk analisis genotyping (Zhang et al. 2005). Enzim restriksi endonuklease yang dapat memutuskan molekul DNA pada daerah yang spesifik digunakan pada suhu dan jumlah tertentu. Daerah pengenalan enzim restriksi umumnya berjumlah 4-6 basa. Semakin pendek daerah yang dikenali maka semakin besar jumlah fragmen yang dihasilkan. Besar kecilnya ukuran fragmen yang dihasilkan dapat dianalisis menggunakan gel elektroforesis (Lodish et al. 2000). 27 (Nollau et al.1996) (a) MscI PvuII (Kawada et al. 2008) (b) Gambar 9 Pola pita DNA mutan dan DNA wild type pada analisis mutasi gen KRAS dan EGFR menggunakan metode RFLP. (a) KRAS; (b) EGFR Penggunaan metode RFLP dalam analisis mutasi gen KRAS dan EGFR telah dilakukan oleh Nollau et al. (1996) dan Kawada et al. (2008). Analisis mutasi gen KRAS dan EGFR menggunakan metode RFLP secara jelas dapat membedakan DNA mutan dengan DNA Wild type (Gambar 9). Enzim BstN 1 memotong susunan basa 5’-CC WGG-3’ (W= A atau T) pada kodon 12, sedangkan enzim BglI memiliki situs pemotongan 5’-GCCNNNN NGGC-3’ (N= A, T, G, atau C). Mutasi gen KRAS kodon 12 dapat diketahui dengan adanya pita tunggal berukuran sekitar 157 pb setelah dipotong menggunakan enzim BstNI dan mutasi kodon 13 ditunjukkan dengan adanya pita berukuran sekitar 157 pb setelah dipotong menggunakan enzim BglI. Kedua jenis enzim tersebut memotong DNA yang tidak mengalami mutasi wild type (Nollau et al. 1996). Analisis mutasi gen EGFR ekson 21 dapat dibedakan pada dua kodon yaitu 858 dan 861. Mutasi titik L858R ditunjukkan dengan adanya pita tunggal berukuran sekitar 348 pb setelah dipotong menggunakan enzim MscI, dan mutasi titik L861Q ditunjukkan dengan adanya dua pita berukuran sekitar 200 pb dan 148 pb setelah dipotong menggunakan enzim PvuII. Enzim MscI memotong daerah 5’-TGG CCA-3’ pada exon 21 kodon 858 dan enzim PvuII memotong daerah 5’CAG CTG-3’ pada ekson 21 kodon 861. Analisis mutasi EGFR ekson 19 tidak 28 membutuhkan proses restriksi. Profil hasil elektroforesis produk amplifikasi menunjukkan adanya dua pita berukuran sekitar 254 dan 239 pb. Pita 254 pb merupakan sekuen DNA Wild type dan pita 239 pb merupakan pita sekuen DNA mutan. Delesi yang terjadi pada mutan ekson 19 menyebabkan kehilangan 15 pasang basa pada DNA wild type, sehingga ukuran sekuen hasil amplifikasi menjadi lebih pendek (Kawada et al. 2008).