Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara

advertisement
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
kemungkinan penggunaan prinsip rebus sic stantibus. Lebih jauh,
Pengadilan di Italia pada masa perang dunia kedua memutuskan bahwa
perjanjian ekstradisi tidak berlaku lagi atas dasar perang yang terjadi49.
Selain praktek negara-negara di dunia, beberapa konflik senjata yang
terjadi setelah perang dunia kedua juga dapat dijadikan acuan apakah
konflik senjata dapat serta merta menyebabkan terhentinya atau
memunculkan penundaan sebuah perjanjin internasional. Acuan pertama
adalah ketika negara Mesir melakukan penundaan atas perjanjian Suez
Canal Base dengan negara Inggris di tahun 1956. Keputusan Mesir ini
disebabkan atas serangan udara Inggris dan Perancis terhadap Mesir di
tahun 1956. Acuan kedua adalah konflik senjata yang terjadi antara
negara Cina dan negara India yang berkenaan tentang masalah
perbatasan di tahun 1962. Menarik untuk dicermati adalah bahwa
walaupun terjadi konflik senjata, hubungan diplomatik kedua negara ini
tetap ada. Acuan yang ketiga adalah konfik senjata Iran-Irak pada tahun
1980 sampai dengan 1988. Di dalam konflik senjata ini kedua belah
negara telah secara sepihak membatalkan perjanjian internasional tentang
batas negara. Iran membatalkan perjanjian internasional Batas Shatt-alArab yang dibuat tahun 1937 sementara Irak membatalkan perjanjian
internasional Baghdad yang dibuat pada tahun 197550.
Dari beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa
konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang
patut dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus,
sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik
senjata; bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti
berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami
penundaan pelaksanaan; dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah
49
50
Ibid.
Ibid.
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau terjadi penundaan yang
disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak perjanjian
internasional dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.
Di Indonesia sendiri penerapan asas rebus sic stantibus dapat dilihat
dari dua kasus, yaitu kasus berkaitan dengan Perjanjian Konferensi Meja
Bundar, dan kasus keberlangsungan perjanjian internasional antara
Australia dengan Indonesia tentang Zona Kerja Sama di Celah Timor.
Kasus Pertama, dalam hal ini berkaitan dengan adanya Perjanjian
sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana
Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas
wilayah Hindia Belanda dengan penangguhan penyelesaian wilayah Irian
Barat (kini Papua). Namun Perjanjian KMB ternyata tidak mampu
menjalin hubungan baik antara Indonesia dan Belanda, bahkan tidak
membawa penyelesaian mengenai masalah Irian Barat.
Setelah pembubaran Uni Indonesia – Belanda kemudian pemerintah
Indonesia memutuskan secara sepihak keseluruhan perjanjian KMB.
Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat tertanggal 22 Mei 1956 dan dimuat dalam Undang Undang nomor
13 tahun 1956. Adapun alasan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia
dalam membatalkan perjanjian KMB adalah sebagai berikut:
Maka di dalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak
sekali untuk membatalkan perjanjian KMB demi kepentingan nasional,
pemerintah tidak mempunyai pilihan lain daripada membatalkan
perjanjian tersebut atas dasar rebus sic stantibus yang berlaku di dalam
hukum internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti atas
dasar kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri
daripada salah satu pihak yang menandatangani, maka pihak tersebut
berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
perkataan di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus
bisa dibuat sebagai dasar untuk meniadakan asas pacta sunt servanda
tersebut51.
Melihat pada kasus di atas, di mana dengan bubarnya Uni-Indonesia
– Belanda dianggap telah terjadi perubahan keadaan yang fundamental di
wilayah Indonesia, sehingga pihak dalam perjanjian dalam KMB dapat
menyatakan untuk mengundurkan diri dari perjanjian KMB.
Dibentuknya Uni Indonesia – Belanda sebagai salah satu sarana dalam
penyelesaian masalah Irian Barat. Maka di sini dipenuhi ukuran obyektif
sebagai dasar untuk menarik diri dari perjanjian dengan alasan
berlakunya asas rebus sic stantibus. Sedangkan ukuran kedua yang harus
dipenuhi adalah ukuran obyektif, yaitu dengan bubarnya Uni Indonesia –
Belanda, ternyata mempengaruhi kemampuan para pihak.
Kasus kedua, sebagaimana diketahui bahwa dengan belum tercapainya
kesepakatan mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan
Australia di selatan Timor Timur (Celah Timor) maka pada tanggal 11
Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia dan
Australia52 mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan
Australia Bagian Utara, yang lebih dikenal ”Perjanjian Celah Timor”53.
Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat
51
52
53
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu
Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006, hlm. 182.
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah
Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di
sebelah selatan Timor Timur berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah
Timor, karena penekanan dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan
yang fundamental yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian
internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan
Australia.
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
praktis untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya
miyak dan gas bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan
batas landas kontinen. Juga, perjanjian tersebut mengatur mengenai
”Zona Pengembangan Bersama” (Joint Development Zone) di daerah
”tumpang tindih” negara-negara yang bersangkutan (dispute area).
Diadakannya perjanjian Celah Timor berlandaskan pada Pasal 83 ayat (3)
Konvensi Hukum Laut 198254.
Kemudian dengan berjalannya waktu, pada tanggal 30 Agustus 1999
diadakan jajak pendapat rakyat Timor Timur apakah akan menerima
status otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia untuk
merdeka. Beradaskan hasil jajak pendapat yang diumumkan pada
tanggal 4 September 1999 sebagian besar rakyat Timor Timur
menghendaki untuk berpisah dari Indonesia menjadi negara merdeka.
Akhirnya pada tanggal 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur menyatakan
kemerdekaannya dan menjadi Negara Timor Leste.
Sebagai konsekuensi atas kemerdekaan Timor Timur, maka wilayah
landas kontinen yang berada disebelah selatan Timor Timur yang
merupakan obyek perjanjian Celah Timor tidak lagi berada di bawah
kedaulatan Indonesia, namun berada di bawah kedaulatan Timor Leste.
Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum perjanjian dikenal asas pacta
tertiis nec nocent nec prosunt55. Demikian juga dengan merdekanya Timor
54
55
76
Pasal 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa: ”sementara persetujuan
penetapan batas landas kontinen belum tercapai negara-negara yang bersangkutan
dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya
masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai
persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis
batas landas kontinen yang final”.
Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam
kasus ini perjanjian Celah Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak
ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya menikat bagi Indonesia dan Australia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Timur maka menurut hukum internasional telah terjadi suksesi, yang
dalam hal ini suatu wilayah Timor Timur yang dalam hubungan
internasional semula menjadi tanggung jawab Indonesia, setelah tanggal
20 Mei 2002 berubah menjadi wilayah negara baru, yaitu negara Timor
Leste sebagai negara berdaulat56.
Dengan terjadinya suksesi negara dapat dikatakan bahwa telah terjadi
suatu perubahan keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus) di
wilayah Indonesia, yang pada akhirnya berdasarkan kesepakatan antara
Indonesia dan Australia diadakan peninjauan kembali atas berlakunya
perjanjian Celah Timor.
III. K E S I M P U L A N
Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan keberadaan asas dalam
perjanjian intenasional, khususnya asas rebus sic stantibus, dapat tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa keberadaan kedua asas tersebut telah lama dikenal dalam
masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Bahkan beberapa
ahli terkemuka telah memberi dukungan atas keberadaan asas
tersebut, dan bahkan dewasa ini asas tersebut telah menjadi bagian
dari hukum positif, baik dalam taraf nasional Indonesia maupun
dalam taraf internasional. Ini artinya keberadaan asas rebus sic
stantibus barada dalam sustu sistem hukum.
Penerimaan, keberadaan dan penggunaan asas pacta sunt servanda
adalah mengawali berlakunya suatu perjanjian. Artinya keberadaan
dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar
beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya
56
Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of
Treaties,1978: “succession of states means the replacement of one state by another
in the responsibility for the international relations of territory”.
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
kesanggupan untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan, maka
perjanjian tidak akan dapat beroperasi atau berlaku sebagaimana
mestinya. Lain halnya dengan asas rebus sic stantibus, di mana dengan
berlandaskan pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat menyatakan
menunda atau menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian yang
telah disepakati, sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya sebagaimana
tercantum dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969.
2. Sebagaimana disinggung pada urian di atas, bahwa penerimaan dan
pengakuan asas rebus sic stantibus sebagai upaya untuk melegalsir
tindakan pihak-pihak peserta perjanjian untuk mengakiri atau
menunda berlakunya perjanjian yang telah mereka buat. Perubahan
keadaan yang fundamental dapat dijadikan sebagai alasan untuk
tidak lagi melaksanakan perjanjian, sepanjang dipenuhi persyaratan
tertentu, yaitu bila terjadi perubahan keadaan, di mana keadaan yang
berubah itu menjadi dasar diadakannya perjanjian; dan adanya
perubahan keadaan yang fundamental tersebut menyebabkan terjadi
perubahan pelaksanaan kewajiban dari para pihak sebagaimana yang
pernah dijanjikan. Beberapa kasus yang dianggap telah terjadinya
perubahan keadaan yang fundamental, yang pada gilirannya
merubah pelaksanaan apa yang telah diperjanjikan yaitu terjadinya
konflik bersenjata, terjadinya konflik kepentingan di antara para
pihak yang berjanji, atau karena adanya perubahan keadaan yang
menyangkut status wilayah yang diperjanjikan (karena terjadi
suksesi).
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Daftar Pustaka
Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta,
Bandung, 1969.
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta,
Bandung, 1970.
Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963.
Brownlie, Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979,
Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina
1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983 .
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006,
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co,
New delhi, 1982.
Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,
Emond Montgomery Publications Limited, 1987
Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda, The Principle and its application in Petroleum
Production Sharing Contract, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2005
Martin Dixon and Robert MC Corquodale, Cases and Materials on International Law,
Third Edition, Blackstone Press Limited, Aldine Place, London, 2000.
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.
Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003,
Peter Malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,
London and New York, 1997.
Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do
Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe
pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001,
dalam http://Pihilawyers.com/blog/?p
Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Bernagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan
Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006 .
Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum
UGM, Yogyakarta, 2007.
Starke, Introduction to International Law, Butterword, London, 1989,
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001.
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu
Hukum (S-2), tanpa tahun.
Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung,
2005.
Dokumen:
Jurnal Hukum Internasional, , Volume 3 Nomor 4, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, diakses tanggal 22 Pebruari
2008
Undang Undang Nomor 37 Tahuhn1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
United Nations Convention on the Law of The Sea 1982.
Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969.
Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 1986
Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978.
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
IMPLEMENTASI KONVENSI NEW YORK 1958
DALAM PERKARA-PERKARA ARBITRASE
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Mutiara Hikmah
Abstrak
Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,
penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di
Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan
arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan
arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundangundangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan UndangUndang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas
Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana
perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York
1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase
internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya UndangUndang Arbitrase.
Kata kunci: arbitrase internasional, alternatif penyelesaian sengketa,
konvensi New York 1958, UU Arbitrase.
Abstract
With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the
Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the
enforcement of international arbitral awards can begin to be
implemented in Indonesia, because the procedural law governing the
procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the
problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation,
on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and
Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section
that discusses the International Arbitration. This article examines how
the development of the implementation of international arbitral awards
in Indonesia before Indonesia became a member of New York
81
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Convention 1958, to date, by analyzing the international arbitration
decisions and court order after the enactment of the Law of Arbitration.
Keywords: international arbitration, alternative dispute settlement,
New York Convention 1958, Law on Arbitration.
Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 melalui
Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan
dalam Lembaran Negara RI tahun 1981 No. 40. Dengan ikut sertanya
negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat
pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah
Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh
menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia
harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan
melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya
dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia
sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara
Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti trend penyelesaian
sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya1.
Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam
kontrak-kontrak yang ditanda tangani oleh Badan Usaha Milik Negara
1
Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”,
dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
(BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik
dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC)
atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”,
dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan
umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2.
Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang
dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan
arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan
dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase
diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari
Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses
arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tersebut di Indonesia.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait
dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan.
Pengadilan-pengadilan
mempunyai
peranan
penting
dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun
para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang
bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur
tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses
pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat
memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan
2
Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua,
(Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74.
4
Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri.
Hal tersebut dikarenakan:
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan
arbitrase tersebut5. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu
campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan.
Campur tangan pengadilan itu bisa berupa menunjuk arbiter ketiga,
apabila dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga. Bentuk
campur tangan yang lain misalnya membantu proses arbitrase
mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk kepentingan pemeriksaan.
Berbeda dengan arbitrase, mengenai pelaksanaan putusan
pengadilan asing, kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak
negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi
putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara
yang menganut sistem Civil Law dan sistem Common Law. Penolakan
eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep
1.
Lembaga arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga lembaga tersebut
tidak memiliki wewenang yang bersifat publik yang dapat dijalankan dengan paksa
kepada pihak-pihak lain;
2. Tidak terdapat landasan hukum bagi lembaga arbitrase untuk melaksanakan eksekusi
putusannya sendiri;
3. Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita sebagaimana terdapat pada lembaga
peradilan yang bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
eksekusi.
Lihat: Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori
dan Praktek yang Berkembang, cetakan pertama, (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika,
2009), hal. 222.
5
Di dalam Konvensi New York 1958, diatur mengenai peran pengadilan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Peran Pengadilan ini dapat dilihat juga di
dalam UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang menjadi
rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada tahun 1985 sebagai standar
hukum yang modern dalam arbitrase. Dibeberapa negara, campur tangan Pengadilan
dimungkinkan pada waktu proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang
merasa dirugikan. Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan putusan arbitrase
dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan mengangkat ketentuan-ketentuan
yang sama dengan Model Law.
84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
kedaulatan negara. Sebuah negara yang memiliki kedaulatan tidak akan
mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara
tersebut sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan merupakan
alat perlengkapan yang ada pada suatu negara, maka wajar apabila
pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan
pengadilan asing. Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial
(principle of territorial souvereignty), berarti keputusan hakim asing
tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas
kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara
Indonesia dengan negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan
keputusan-keputusan asing di wilayah RI (Pasal 436 RV).
Pelaksanaan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan
dalam perjanjian internasional karena dalam hukum internasional dikenal
adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi kekuasaan
negara hanya dapat dilakukan di wilayah teritorialnya. Pelaksanaan
yurisdiksi oleh suatu negara di negara lain harus seizin otoritas yang
berwenang di negara lain tersebut. Putusan arbitrase internasional yang
dibuat di suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain, maka
harus ada pengakuan dan pelaksanaan dari negara dimana pengakuan
dan pelaksanaan dimintakan. Oleh karena itu pengaturan tentang
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan dalam bentuk
perjanjian internasional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam
bentuk perundang-undangan nasional6.
Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada
tahun 1981, pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan
6
Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan
Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72.
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Perma), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia
berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dengan tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung RI yang
menolak eksekusi putusan arbitrase internasional pada perkara PT
Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare7, putusan Mahkamah Agung RI
No.2944 K/Pdt/1983 yang diputus pada tanggal 29 November 1984.
Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat
diterima, karena belum ada peraturan pelaksana mengenai ketentuanketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Hal ini berbeda
dengan putusan Pengadilan Jakarta Pusat, yang menerima pelaksanaan
putusan arbitrase internasional. Sikap Mahkamah Agung RI pada saat itu
tetap menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, walaupun
saat itu Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi New York 19588.
Menurut Sudargo Gautama, Konvensi New York 1958 bersifat self
executing, artinya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksana yang
dikeluarkan oleh Pemerintah RI, karena di dalam konvensi tersebut
tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di
luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang
diucapkan dalam negeri anggota peserta konvensi. Hal tersebut seperti
yang tercantum di dalam Pasal III Konvensi New York 1958 yang
menyatakan:
7
Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40.
8
Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991), hal. 2.
86
Download