BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Pada awal mulanya masyarakat menggunakan tanah hanya sebatas
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah dipergunakan secara
bersama-sama dan hasilnya dibagikan secara merata. Sistem ini disebut
sebagai sistem komunalistik religius namun seiring dengan berkembangnya
zaman, perubahan penggunaan tanah untuk masyarakat juga berubah.
Perubahan hak atas tanah masyarakat itu terjadi karena beberapa dimensi yang
mempengaruhinya seperti dimensi ideologi, politik, ekonomi maupun dimensi
kepentingan lainnya yang mempengaruhi proses transformasi tanah-tanah
rakyat.1
Menurut Maria Sumardjana, seiring dengan perubahan transformasi
tanah maka perubahan itu juga diikuti dengan masalah-masalah tanah yang
selalu hadir dalam kehidupan masyarakat saat ini. Permasalahan tanah yang
dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin
kompleks dengan berbagai kebijakan serta perubahan kebutuhan manusia
terhadap tanah.2
Transformasi tanah yang dimaksud Maria Sumardjana menurut peneliti
adalah tanah sekarang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga tidak
1
Munir, 2002, Perebutan Kuasa Tanah, Lappera Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 2. Maria Sumardjana, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, hlm. 1. 2
1 2
dipungkiri
sumber
konflik
karena
masalah
tanah
sering
didengar
dimasyarakat. Pada tingkat yang lebih tinggi masalah tanah dapat memicu
adanya konflik kepentingan politik. Penggunaan tanah untuk kepentingan
pembangunan pemerintah dapat pula memicu adanya konflik dengan
masyarakat sedangkan pada awal mulanya tanah dipergunakan secara
bersama-sama dan hasilnya dibagikan secara merata (komunalistik).
Masalah tanah merupakan masalah yang sangat kompleks, salah
satunya terkait masalah peralihan hak atas tanah yang berasal dari harta
warisan dan hibah. Peralihan hak atas tanah yang berasal dari warisan menurut
hukum adat dapat dimulai baik si pemberi/pewaris belum meninggal atau
sudah meninggal sehingga berbeda dengan hukum waris Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pewarisan dapat terjadi pada saat
meninggalnya si pewaris kepada anak-anaknya.
Hibah telah banyak dilakukan oleh masyarakat khususnya hibah atas
tanah. Hibah digolongkan dalam perjanjian sepihak, hal ini berbeda dengan
Hibah Wasiat (legaat). Menurut Herlien Budiono3 Hibah terjadi pada waktu
hidupnya para pihak, sedangkan pada Hibah Wasiat akibat hukumnya baru
berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia dan benda yang dihibah
wasiatkan tersebut diserahkan oleh pelaksana wasiat dengan hak bezit atau
oleh segenap ahli waris dari pemberi hibah wasiat kepada legataris.
Hibah wasiat
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) dinamakan sebagai penetapan wasiat khusu (Pasal 957 KUHPer).
3
Herrlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 356
3
Wasiat dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah testamen sebagaimana
terjemahan Pasal 874 KUH Perdt oleh R. Subekti. Wasiat tunduk pada
ketentuan hukum waris sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian.
Disebutkan pada Pasal 1666 KUHPer definisi dari penghibahan adalah :
“Suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya,
dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu”.
Oleh karenanya maka menurut KUHPerdt. hibah tidak boleh ditarik kembali
secara sepihak oleh si Pemberi.4
Pengaturan hibah di Indonesia selain diatur secara perdata juga
terdapat ketentuan yang mengatur secara lex specialis khususnya bagi orang
yang tunduk pada hukum Islam. Menurut ajaran Islam hibah adalah suatu
pemberian antara seorang kepada seorang anggota keluarga atau orang lain
sebagai tanda kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan balasan.5 Hibah yang
berarti pemberian atau hadiah maka dapat dikatakan memiliki fungsi sosial
dalam kehidupan masyarakat. Baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW
menurut riwayat para sahabatnya sering memberi atau menerima sesuatu
dalam bentuk hibah. Salah satunya diriwayatkan dalam dalam Hadist Riwayat
Bukhari yaitu :“Aisyah RA. Ia berkata :adalah Rasullullah SAW itu (sering)
menerima hadiah dan (sering pula) membalas hadiah.” Dan HR Bukhari yang
4
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Aditya Bakti, Bandung, hlm. 94. Hilman Hadikusuma, 1996, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu, Islam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.182. 5
4
meriwayatkan: “Beri memberilah (di antara) kamu, tentu karena itu
kamu akan saling kasih mengasihi.”
Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya dalam memberi dan menerima
hadiah tidak saja di antara sesama muslim tetapi juga dari atau kepada orang
lain yang berbeda agama, bahkan dengan orang musyrik sekalipun. Nabi
Muhammad SAW pernah menerima hadiah dari orang Kisra, dan beliau
pernah mengizinkan Umar bin Khattab untuk memberikan sebuah baju kepada
saudaranya yang masih musyrik di Mekah.6
Di dalam hukum Islam sifat pemberian itu bukan semata-mata “akad”
(janji) tetapi merupakan kenyataan, artinya setelah barang pemberian diterima
maka barang itu menjadi milik penerimanya. Apabila telah diterima maka
dilarang untuk ditarik kembali. Hadist Riwayat Bukhari-Muslim mengatakan:
“orang yang menarik kembali pemberiannya tak ubahnya seekor anjing yang
muntah kemudian menjilat kembali” kemudian hadist lain mengatakan pula
“tidak halal bagi seorang Muslim lelaki (telah memberi) sesuatu lalu
menariknya kembali kecuali bapak terhadap anaknya (HR Turmudzi dan Ibn
Hibban).7 Berdasarkan dalil-dalil yang dinyatakan tersebut di atas maka dapat
dicermati bahwa hibah merupakan suatu pemberian secara cuma-cuma kepada
orang lain sebagai bentuk saling kasih mengasihi sesama umat-Nya, dengan
larangan apabila telah diberikan tidak dapat ditarik kembali namun dengan
pengecualian hibah dari bapak kepada anaknya. Menurut Kompilasi Hukum
6
Endang Sri Wahyuni, 2009, “Pelaksanaan Pembatalan Hibah Tanah Oleh Pemberi Hibah di
Pengadilan Negeri Semarang”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 20. 7
Hilman Hadikuma, Op Cit, hlm. 183. 5
Islam Pasal 171 huruf (g) dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki. Di dalam masyarakat dapat terjadi si pemberi
hibah karena sangat sayangnya kepada anak angkat atau kepeduliannya
kepada orang lain dan kurangnya pemahaman kepada hukum Islam, sehingga
ada sebagian orang tua yang menghibahkan seluruh harta kekayaanya kepada
orang lain oleh sebab itu maka diatur batasannya pemberian hibah kepada
orang lain dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menjadi dasar hukum
positif di Indonesia secara tegas mengatur mengenai syarat dan pembatasan
hibah dengan menyebutkan bahwa “orang yang telah berumur 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya
sepertiga (1/3) dari harta kekayaannya kepada orang lain atau lembaga
dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.” Selanjutnya menurut Pasal 211
Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa hibah dari orang tua dapat
diperhitungkan sebagai warisan.
Dalam hukum Islam, yang dimaksud dengan hibah adalah harta
kekayaan seseorang yang diberikan kepada anak-anaknya atau orang lain pada
waktu ia masih hidup. Penghibahan kepada anak sering terjadi ketika anakanak mulai berdiri sendiri atau ketika anak-anak mereka mulai menikah dan
membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu dilakukan ketika si pemberi
hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari percekcokan yang
akan terjadi diantara anak-anaknya itu apabila ia telah meninggal dunia.
Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran
6
si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu
tiri, atau juga karena di kalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang
mungkin disangkal keanggotaannya sebagai ahli waris.8 Hibah orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi
atau kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia.9 Setelah orang tua
menghibahkan ini meninggal dilakukan pembagian harta warisan kepada ahli
warisnya, maka hibah tersebut akan diperhatikan serta diperhitungkan dengan
bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan,
sebaliknya apabila seseorang anak mendapatkan hibah atau pemberian semasa
hidup bapaknya, demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah
mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya maka anak ini
tidak lagi berhak atas harta yang lain yang dibagi-bagikan setelah bapaknya
meninggal dunia. Akan tetapi apabila harta yang diberikan kepada anaknya
dalam hibah belum cukup sebagai warisan maka ia akan mendapat tambahan
pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi. Dengan demikian terlihat
hubungan antara hibah dengan warisan, dimana hibah atau pemberian ini
dapat diperhitungkan sebagai warisan yang nantinya akan diterima setelah
meninggalnya orang tua.
Penghibahan yang merupakan pemberian cuma-cuma atau hadiah
dapat dikatakan sebagai sarana untuk memupuk tali/ ikatan pergaulan antar
sesama umat manusia karena dapat diberikan kepada siapapun tanpa
8
Tamakiran S dalam Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 132. 9
Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah Dan Korelasinya Dengan Kewarisan Dan
Pembatalan Hibah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jambi, Vol. 4, Nomor 1, 2013, hlm. 10-11. 7
memandang agama, hubungan darah dan ras sehingga hibah adalah bentuk
perbuatan dengan fungsi sosial sarana untuk memupuk tali atau ikatan
pergaulan antar sesama umat manusia. Seyogyanya kerukunan dan silaturahmi
dapat menjadi semakin erat dengan perbuatan hukum penghibahan akan tetapi
yang terjadi berlawanan dengan maksud dari adanya penghiban. Perbuatan
hukum penghibahan sering menjadi sebab terjadinya persengketaan ataupun
permasalahan, kasus penarikan atau pembatalan hibah merupakan kasus yang
sering terjadi.10
Penghibahan atas bidang tanah pelaksanaannya dilakukan melalui Akta
Hibah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian
berdasarkan akta hibah tersebut Kantor Pertanahan mengubah nama pemilik
hak atas tanah yang semula tercatat atas nama pemberi hibah diubah dicatat
menjadi atas nama penerima hibah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Disebutkan dalam Pasal 37 PP Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya yang hanya
dapat didaftarkan apabila melalui akta yang dibuat oleh PPAT.
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau bias disebut dengan PPAT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 37
tahun 1998 mengenai Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
10
Sihombing, 2005, Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 68. 8
“ Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah
atau hak milik ataas satuan Rumah Susun’.
Dari ketentuan ini jelas diatur pembuatan akta suatu perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah, salah satunya adalah perbuatan hukum hibah, adalah
menjadi kewenangan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah .
Pendaftaran hak dikarenakan adanya peralihan hak atas tanah melalui
akta hibah yang dibuat oleh PPAT Prosedur peralihan hak atas tanah
dikarenakan hibah membutuhkan adanya akta PPAT dan hal tersebut hanya
dapat terjadi ketika pemberi hibah dan penerima hibah masih hidup untuk
melaksanakan perbuatan hukum penghibahan. Akibat dari perbuatan hukum
tersebut disadari dan dikehendaki oleh kedua belah pihak. Berbeda dengan
adanya pendaftaran peralihan hak atas tanah karena peristiwa hukum berupa
pewarisan hak atas tanah. Pewarisan hak atas tanah terjadi apabila pemilik hak
atas tanah meninggal dunia dan kemudian ahli waris menggantikan kedudukan
dari pemilik hak atas tanah. Di dalam peristiwa hukum pewarisan hak atas
tanah tidak diperlukan adanya akta PPAT, ahli waris dapat mendaftarkan
haknya atas tanah tersebut ke Kantor Pertanahan sedemikian berdasarkan
Pasal 42 PP Nomor 24 tahun 1997.
Dengan latar belakang perbuatan hukum hibah sebagaimana diuraikan
diatas yang sangat erat hubungannya dengan pewarisan yang merupakan
peristiwa hukum yang dalam prakteknya sering menimbukan permasalahan
dan sengketa, dan problematika hukum lainnya, maka penulis berminat untuk
9
mengangkat permasalahan tersebut dalam tesis dengan judul “Pembatalan
Akta Hibah Dari Orang Tua Kepada Anaknya (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 492/K/AG/2014)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah
yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan yang dibangun oleh Hakim dalam
Putusan Mahkamah Agung dengan nomor registrasi 492/K/AG/2014
terhadap pembatalan akta hibah oleh orang tua kepada anaknya ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan Putusan Hakim tersebut terkait dengan
pembatalan Akta Hibah ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,
maka tujuan penulisan ini adalah :
1.
Untuk mengetahui dan selanjutnya mengkaji tentang dasar pemikiran
yang dibangun oleh hakim dalam putusan Mahkamah Agung dengan
nomor registrasi 492/K/AG/2014 terhadap pembatalan akta hibah oleh
orang tua terhadap anaknya.
2.
Untuk mengetahui dan selanjutnya mengkaji tentang pelaksanaan
putusan hakim terkait dengan pembatalan akta hibah.
10
D. Manfaat Penulisan
1.
Secara praktis, penulisan ini dapat memberikan wacana dan sumbangan
pemikiran, khususnya di bidang ilmu kenotariatan berkaitan dengan akta
hibah dari orang tua kepada anaknya, serta menambah wawasan dan
pengetahuan penulis.
2. Secara teoritis, dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat menjadi
bahan kajian ilmiah bagi akademisi, praktisi hukum serta masyarakat
luas berkaitan dengan pembatalan akta hibah dari orang tua kepada
anaknya
E. Keaslian Penulisan
Sepengetahuan penulis, dengan melakukan penelusuran di perpustakaan
Fakultas Hukum UGM, “Pembatalan Akta Hibah Dari Orang Tua kepada
Anaknya (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 492/K/AG/2014”
belum pernah dilakukan, namun berdasarkan penelusuran kepustakaan
tersebut terdapat beberapa hasil penulisan yang terkait dengan judul penulisan
ini yang antara lain sebagai berikut :
1.
Penolakan Permohonan Pembatalan Akta Hibah Karena Adanya Cacat
Hukum (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.
111/Pdt.G/2001/PN.Ska., Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
370/Pdt/2003/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung No. 2590
11
K/Pdt/2004). Ditulis oleh Ika Dyah Wijayanti dengan rumusan masalah
sebagai berikut:11
a.
Mengapa dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No. 370/Pdt/2003/PT.Smg., ditemukan adanya unsur cacat hukum
dalam akta hibah dan mengabulkan pembatalan akta hibah?
b.
Mengapa dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta
No. 111/Pdt.G/2001/PN.Ska. dan Putusan Mahkamah Agung No.
2590 K/Pdt/2004 menolak permohonan pembatalan akta hibah?
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan diperoleh kesimpulan
dari penulisan tersebut, yaitu:12
a.
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Semarang
Nomor
370/Pdt/2003/PT.Smg., menemukan adanya unsur cacat hukum
dalam akta hibah dan mengabulkan pembatalan akta hibah dengan
pertimbangan yaitu menurut majelis hakim bahwa Perjanjian Hibah
tersebut melanggar perjanjian Perjanjian Penggunaan Tanah dan
Perjanjian Pengelolaan SPBU. Hakim tidak menyebutkan secara
terperinci dan jelas mengenai kekhilafan yang dilakukan oleh Tuan
Edi Budi Hartanto dan mengenai pertimbangan hakim bahwa
Perjanjian Hibah melanggar Perjanjian Penggunaan Tanah dan
Perjanjian Pengelolaan SPBU hal tersebut telah dibantah oleh
Pemerintah Daerah Kota Surakarta dengan memberikan bukti berupa
11
Ika Dyah Wijayanti, 2014, “Penolakan Permohonan Pembatalan Akta Hibah Karena
Adanya Cacat Hukum (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.
111/Pdt.G/2001/PN.Ska”, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 370/Pdt/2003/PT.Smg dan
Putusan Mahkamah Agung No. 2590 K/Pdt/2004), Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 12
Ibid, hlm. 92. 12
fotokopi surat ijin peralihan hak guna bangunan dari Walikota
Kepala Daerah Tingkat II Surakarta, No. 593/247.
b.
Putusan Pengadilan Negeri Surakara 111/Pdt.G/2001/PN.Ska.
menolak permohonan pembatalan akta hibah dengan pertimbangan
bahwa Tuan Edi Budi Hartanto dalam persidangan mengajukan bukti
tertulis yang hanya berupa fotokopian surat-surat perjanjian tanpa
adanya legalisasi, tidak dibubuhi materai dan tanpa ditunjukan
aslinya kepada majelis hakim, menurut hakim alat bukti tersebut
tidak sah. Pertimbangan hakim hanya didasarkan pada Pasal 1888
KUH Perdata, hakim tidak mempertimbangkan alat bukti lain yaitu
fotokopi akta dari para tergugat dan kesaksian para tergugat. Putusan
Mahkamah Agung No. 2590 K/Pdt/2004, menolak permohonan
pembatalan akta hibah dengan pertimbangan bahwa majelis hakim
berpendapat bahwa tidak ada sengketa antara Tuan Edi Budi
Hartanto dengan Nyonya Rina Anggraini. Hibah tersebut dilakukan
pada saat Tuan Edi Budi Hartanto dan Nyonya Rina Anggraini
masih dalam ikatan suami-istri dan mengenai hibah kepada anakanak Tuan Edi Budi Hartanto, tidak dipermasalahkan oleh
Pemerintah Daerah Surakarta dan Pertamina.
Penulisan yang dilakukan oleh Saudara Ika Dyah Wijayanti
berbeda dengan penulisan yang dilakukan oleh penulis. Hal ini dapat
dilihat dari judul dan rumusan masalah yang diteliti oleh Saudara Ika
Dyah Wijayanti.
13
2.
Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Pembatalan Akta Hibah Yang
Ditolak
Melalui
Putusan
Pengadilan
Negeri
Sleman
Nomor
09/Pdt.G/2009/Pn.Slmn. Ditulis oleh Desi Ratnaningrum dengan
rumusan masalah sebagai berikut13:
a.
Mengapa Pengadilan Negeri Sleman dengan Putusan Nomor
09/Pdt.G/2009/PN.Slmn menolak Permohonan Pembatalan Akta
Hibah Nomor 10/2006?
b.
Apakah Putusan Pengadilan Negeri Sleman mengenai penolakan
terhadap Permohonan Pembatalan Akta Hibah Nomor 10/2006 telah
sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata?
c.
Bagaimanakah keabsahan Akta Hibah Nomor 10/2006 menurut
Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 09/Pdt.G/2009/PN.Slmn?
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan diperoleh kesimpulan
dari penulisan tersebut, yaitu:14
a.
Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 09/Pdt.G/2009/PN.Slmn
yang isinya menolak Permohonan Pembatalan Akta Hibah Nomor
10/2006, menurut hakim sebenarnya masih terbuka jalan untuk
menarik kembali hibah yang telah dilakukan penggugat, dengan
syarat apabila didapati alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1672 KUHPerdata dan Pasal 1688 KUHPerdata. Namun dari buktibukti yang diajukan penggugat, hakim tidak menemukan fakta yang
13
Desi Ratnaningrum, 2013, “Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Pembatalan Akta
Hibah Yang Ditolak Melalui Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 09/Pdt.G/2009/Pn.Slmn”,
Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 14
Ibid, hlm. 117. 14
dapat dipakai sebagai alasan/dasar untuk membatalkan hibah yang
telah dilakukan oleh penggugat selaku penghibah terhadap tergugat
selaku penerima hibah, oleh karena alasan/syarat sebagaimana
ditentukan dalam kedua pasal tersebut tidak ada/tidak ditemukan dan
menurut hakim gugatan tidak didukung dengan bukti yang
menguatkan dalil-dalilnya menurut hakim penggugat telah gagal
membuktikan dalilnya maka gugatan dinyatakan ditolak.
b.
Kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Sleman mengenai penolakan
terhadap Permohonan Pembatalan Akta Hibah Nomor 10/2006
dengan ketentuan dalam KUHPerdata yaitu telah sesuai dengan
menggunakan Pasal 1666 KUHPerdata, Pasal 1668 KUHPerdata,
Pasal 1672 KUHPerdata, dan Pasal 1688 KUHPerdata, bahwa pasalpasal tersebut terdapat dalam KUHPerdata Bab X Buku III tentang
Perikatan yang memuat substansi hukum penghibahan, yang terdiri
dari empat bagian berisi Pasal 1666-1693.
c.
Keabsahan Akta Hibah Nomor 10/2006 menurut Putusan Pengadilan
Negeri Sleman Nomor 09/Pdt.G/2009/PN.Slmn didasarkan dari
surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi yang diajukan
dipersidangan dan dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1666
KUHPerdata, Pasal 1672 KUHPerdata serta Pasal 1688 KUHPerdata
dan telah dapat dibuktikan perbuatan penghibahan tanah SHM 434
adalah sah.
Perbedaan dari penulisan di atas dengan penulisan yang disusun
oleh penulis selain dari perbedaan judul, rumusan masalah dan obyek
15
putusan yang dikaji adalah bahwa penulisan yang penulis susun mengkaji
dasar pemikiran yang dibangun oleh hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pembatalan akta hibah dari orang tua kepada anaknya dan
mengkaji tentang pelaksanaan putusan hakim terkait dengan pembatalan
akta hibah tersebut. Kedua penulisan tersebut diatas baru pada tahap
mengkaji dan menganalisis putusan dari hakim sedangkan pada penulisan
ini juga akan membahas terkait pelaksanaan putusan dari pembatalan
akta hibah dan akibat hukum putusan hakim tersebut terhadap
pembatalan akta hibah untuk anak-anak yang lain
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa karya ilmiah dalam
bentuk tesis ini adalah asli dan untuk pertama kalinya dibahas
berdasarkan perumusan masalah yang ada. Apabila tanpa sepengetahuan
Peneliti telah ada penelitian yang sejenis atau penelitian yang sama
dengan penelitian ini, maka penelitian ini diharapkan dapat saling
melengkapi dengan penelitian yang telah ada.
Download