9 BAB II LANDASAN TEORI A. Ketentuan Ekspor Komoditas Kayu Ketentuan mengenai ekspor kayu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/5/2008 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan,berikut produksi industri yang dilarang diekspor : 1. Bantalan Rel Kereta Api dari kayu; yaitu kayu yang digergaji atau dibelah membujur, irisan atau dikuliti, diketam atau tidak diampelas atau tidak dengan ketebalan, lebar dan panjang tidak dibatasi dari semua jenis kayu yang masuk dalam Pos Tarif HS.4406. 2. Kayu Gergajian; yaitu kayu yang digergaji atau dibelah memanjang, diiris atau dikuliti, tidak diketam, tidak diampelas, tidak end-jointed dengan ketebalan melebihi 6 mm yang masuk dalam Pos Tarif HS.4407. 3. Kayu bulat; yaitu bagian dari pohon yang dipotong menjadi batang atau batang-batang bebas cabang dan ranting, mempunyai ukuran diameter minimal 30 cm dan panjang tidak dibatasi dari semua jenis kayu; 4. Bahan baku serpih (BBS, kayu bundar atau kayu lainnya yang lazim digunakan untuk membuat kayu serpih sebagai bahan baku industry pulp atau 9 10 industry sejenis), ukuran diameter 29 cm ke bawah dan panjang tidak dibatasi dari semua jenis kayu yang masuk dalam Pos Tarif ex. HS 4403 s.d. 440. 5. Rotan mentah, rotan asalan, rotan WS (washed and sulphurized) dan rotan setengah jadi yang masuk dalam Pos Tarif ex. HS 1401.20. B. Surat Keterangan Asal (SKA) 1. Pengertian Surat Keterangan Asal (SKA) Surat Keterangan Asal adalah suatu keterangan yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan atau pejabat berwenang yang ditunjuk olehnya yang merupakan dokumen pentyerta barang yang diekspor dari wilayah Indonesia yang membuktikan bahwa barang tersebut berasal, dihasilkan, dan diolah di Indonesia. Dokumen ini digunakan untuk memperoleh fasilitas bea masuk maupun sebagai alat perhitungan quota (Wahyu dkk, 2007) Surat Keterangan Asal (“CertificateofOrigin”) adalah suatu dokumen yang berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian bilateral, regional dan multilateral serta ketentuan sepihak dari suatu negara tertentu wajib disertakan pada waktu barang ekspor dari Indonesia akan memasuki wilayah tertentu yang membuktikan bahwa barang tersebut berasal, dihasilkan dan diolah di Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa SKA dilandasi oleh kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah mitra dagang Indonesia yang dituangkan dalam perjanjian perdagangan bilateral, regional dan multilateral sehingga Indonesia sebagai anggota WTO terikat 11 dan wajib mematuhi seluruh isi kesepakatan. Indonesia juga wajib menaati persyaratan SKA yang ditentukan secara sepihak oleh Negara pengimpor, sebagai konsekuensinya apabila barang ekspor Indonesia tidak disertai dengan SKA yang disyaratkan oleh Negara tujuan ekspor Indonesia, maka negara pengimpor dapat menolak barang tersebut untuk SKA Non Preferensi atau tidak memberikan kemudahan berupa keringanan bea masuk untuk SKA Preferensi (Departemen Perdagangan, DirektoratJendral Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor, 2005). 2. Macam-macam SuratKerangan Asal(SKA) Surat Keterangan Asal dibagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut (Departemen Perdagangan, Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Fasilitasi Ekspordan Impor, 2005): a. Surat Keterangan Asal Preferensi atau Generalized System of Preference (GSP) adalah Surat Keterangan Asal yang berfungsi sebagai persyaratan dalam memperoleh preferensi barang yang disertakan pada barang ekspor tertentu untuk memperoleh fasilitas pembebasan sebagian atau seluruh bea masuk yang diberikan oleh suatu negara atau kelompok negara tertentu. b. Surat Keterangan Asal Non Preferensi atau Generalized System of Preference(GSP) adalah Surat Keterangan Asal yang berfungsi sebagai dokumen pengawasan dan atau dokumen penyerta asal barang yang disertakan pada barang ekspor untuk dapat memasuki suatu wilayah 12 negara tertentu. 3. Dasar hukum Surat Keterangan Asal (SKA) Pemerintah menerbitkan SKA setelah memperhatikan peranan SKA yang sangat bermanfaat bagi Indonesia yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan ekspor Indonesia dengan beberapa ketentuan,antaralain sebagai berikut (Departemen Perdagangan, Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor, 2005): a. Keputusan Presiden R. I Nomor: 58 tahun 1971 tentang penetapan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Keterangan Asal. Pada butir kedua dinyatakan : Menetapkan dan menunjuk Menteri Perdagangan atau pejabat setempat yang ditunjuk sebagai pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab untuk mengeluarkan Surat Keterangan Asal atas barang-barang ekspor Indonesia. b. Keputusan Menteri Perdagangan R.I Nomor: 17/M-DAG/KEP/9/2009 tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk barang eksporIndonesia. Keputusan Menteri Perdagangan R.I Nomor : 17/M-DAG/KEP/9/2009 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari KEPRES Nomor : 58 tahun 1971. c. Keputusan Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Nomor :03/DAGLU/KP/X/2005 tentang Ketentuan Pelaksanaan Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk barang ekspor Indonesia. Keputusan 13 Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Perdagangan R.I Nomor : 17/MDAG/KEP/9/2005 tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk ekspor barang tertentu. d. Keputusan Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Nomor :04/DAGLU/KP/X/2005 tentang Surat Keterangan Asal untuk barang ekspor Indonesia ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Perdagangan R.I Nomor :17/M-DAG/KEP/9/2005 tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk ekspor barang tertentu. C. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) 1. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 menjelaskan bahwa SVLK merupakan upaya soft approach yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan atas maraknya penebangan dan perdagangan kayu liar.SVLK merupakan pendekatan yang melengkapi upaya penindakan hukum (hard approach) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan soft approach perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak dan memiliki kredibilitas dalam implementasinya. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia, mengurangi praktek illegal logging dan perdagangan 14 illegal.Lebih dari itu SVLK juga menyiratkan komitmen dalam upaya serius dan konsisten memperbaiki tata kelola kepemerintahan kehutanan Indonesia.SVLK memiliki prinsip-prinsip perbaikan tata kelola lebih baik (governance), keterwakilan para pihak dalam pengembangan sistem maupun pemantauan (representativeness) serta transparansi (transparent) yaitu sistem terbuka untuk diawasi oleh semua pihak. Pasal 20 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 menjelaskan bahwa peraturan tersebut diundangkan pada 12 Juni 2009 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 September 2009. Namun, sampai saat ini SVLK belum 100% dimiliki oleh seluruh perusahaan furniture, padahal menurat Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 dijelaskan bahwa, setiap pemegang IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) dan IUI (Izin Usaha Industri) lanjutan wajib mendapatkan legalitas kayu. Sampai saat ini SVLK belum juga diberlakukan secara penuh karena mengingat masih banyaknya perusahaan yang belum atau tidak memiliki Sertifikasi SVLK. Bagi perusahaan yang belum memiliki SVLK, Pemerintah sudah menetapkan serta memutuskan sebuah sanksi administrasi seperti yang dituangkan dalam Permenhut Nomor P.17/MENHUT-II/2009.. Atas tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari 15 sumber yang legal. Sertifikasi merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internasional. Dalam hal ini, standar legalitas SVLK di terapkan di (Sudarwan, 2012:17) a. Hutan negara yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan Swasta, termasuk di dalamnya pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman. b. Hutan negara yang dikelola masyarakat, termasuk di dalamnya: Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Adat, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). c. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Industri lanjutan d. Hutan negara yang tidak berbasis Unit Mnajemen, termasuk di dalamnya pemegang Izin Pemanfaatan Kayu. e. Hutan hak/hutan rakyat/hutan milik dan areal non hutan. 2. Tujuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Seluruh industri diwajibkan menerapkan SVLK sesuai tujuan dari penerapan SVLK adalah (Sudarwan, 2012: 3) : a. Untuk memastikan bahwa setiap pemegang ijin atau pengelola hutan hak mematuhi dan melaksanakan semua perundang-undangan dan peraturan 16 terkait sektor kehutanan dalam setiap level aktifitasnya. Dengan demikian diharapkan pengelolaan hutan yang lestari diIndonesia dapat diwujudkan. b. Mempromosikan kayu legal melalui implementasi standar legalitas pada konsumen, pemasok, dan negara produsen. c. Penegakan hukum dan tata kelola kehutanan terhadap produk kayu. d. Mendorong sektor swasta untuk menerapkan kebijakan yang terkait dengan pasokan kayu legal. e. Trend dalam perdagangan internasional yang memerlukan bukti legalitas. f. Komitmen untuk memberantas illegal loging dan perdagangan kayu melalui pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan rakyat. g. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien, dan adil sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar. h. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia. i. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia. j. Menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya tinggi dan mendorong munculnya pembalakan liar. k. Mereduksi praktek pembalakan liar. 3. Kelembagaan Dalam Sistem Verifiksi Legalitas Kayu. (SVLK) Dalam penerapan SVLK tentu tidak terlepas dari pihak-pihak ataulembaga yang terkait didalamnya . Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) memiliki 17 beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah (Tim Kecil Pengembangan Kelembagaan Sistem VerifikasiLegalitas Kayu, 2008:2) : a. Badan Pelaksana, anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. b. Lembaga Akreditasi yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN), Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI), yaitu perusahaan berbadan hukum milik negara atau swasta yang diakreditasi oleh KAN untuk menilai kinerja atau verifikasi legalitas kayu guna mendapatkan sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Contoh : PT. Sucofindo (PERSERO telah diakreditasi KAN berdasarkan hasil rapat KAN COUNCIL tanggal 4 Juni 2010 dengan nomor akreditasi LVLK-002-IDN). c. Auditee yaitu pemegang izin atau unit manajemen yang dinilai oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) untuk mendapatkan sertifikat VLK. d. Lembaga Penyelesaian Keberatan, merupakan perwakilan dari unsurunsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. e. Lembaga Pemantau Independen (LPI) yaitu lembaga yang melakukan pemantauan terhadap proses sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Setiap lembaga yang terkait memiliki tugas dan fungsinya masingmasing, dimana lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Adanya berbagai pihak yang terlibat untuk membuktikan bahwa 18 sertifikasi yang dilakukan secara transparan dan dapat diketahui oleh berbagai pihak sehingga tidak muncul kecurigaan terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu yang bersangkutan. Dengan kondisi yang seperti ini akan membuat pasar nasional maupun internasional tidak memandang sebelah mata akan verifikasi yang dilakukan serta memberikan respon positif terhadap proses verifikasi. D. Illegal Loging 1. Pengertian Illegal Loging Salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan adalah pencuriankayu atau pembalakan kayu atau lebih dikenal dengan istilah illegal logging.Dalam UU kehutanan memang tidak disebutkan secara khusus istilah illegal logging sebagai suatu tindak pidana. Istilah illegal logging (Murhaini, 2011: 29) berasal daribahasa Inggris yaitu: Illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Dalam Black Law’s Dictionary kata illegal berarti forbidden by law, unlawful (dilarang menurut hukum atau tidak sah). Sedang kata Logging berasal dari kata log yang berarti batang kayu atau kayu gelondongan, dan kata logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Murhaini (2011: 29-30) menjelaskan pengertian secara gramatikal Illegal logging, “menebang kayu untuk kemudian membawa ketempat 19 gergajian yang dilakukan secara melanggar hukum, bertentangandengan hukum atau tidak sah menurut hukum. “ Murhaini (2011: 30) menjelaskan bahwa : 19 Istilah Illegal Logging diartikan sebagai penebangan kayu secara illegal atau tidak sah. Adapula yang mengartikan illegal logging dengan pembalakan kayu secara ilegal, yaitu meliputi semua kegiatan dibidang kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang bertentangan dengan hukum. Nurdjana (2008: 15) menjelaskan bahwa proses illegal Logging dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil illegal logging itu dicuci terlebih dahulu sebelum memasuki pasar yang legal. Hal ini berarti bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah illegal yang kemudian dilegalkan oleh pihak-pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga pada saat kayu tersebut memasuki pasar, akan sulit lagi diidentifikasi yang mana merupakan kayu illegal dan yang mana merupakan kayu legal. Berdasarkan beberapa pengertian illegal logging di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian illegal Logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku da dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan. Unsur Unsur Kejahatan illegal logging yaitu adanya suatu kegiatan, menebang kayu, 20 mengangkut kayu, pengolahan kayu, penjualan kayu, pembelian kayu, dapat merusak hutan, ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Pengertian Illegal Logging dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Kategori illegal logging menurut Pasal 50 adalah mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan EkosistemLeuser dantaman Nasional Tanjung Puting, illegal loging adalah penebangan kayu di kawasan hutan dengan tidak sah. 2. Pentingnya Pencegahan Illegal Loging Illegal Loging merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum di Indonesia karena dapat mengakibatkan rusaknya hutan yang ada dan semakin punahnya flora fauna yang ada di dalamnya. Ketatnya peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai penebangan kayu di hutan karena adanya pihak LSM luar negeri yang tidak setuju akan adanya perusakan hutan serta menuduh Indonesia sebagai negara yang tidak menjaga alamnya dengan membiarkan para pembalak liar mengambil dan merusak hutan tanpa 21 menanam kembali pohon yang ditebang serta melakukan reboisasi. Indonesia juga dituduh bahwa produk kayu yang dihasilkan menggunakan kayu illegal. 3. Cara Melakukan Illegal Loging Dalam praktek illegal loging ada 2 (dua) macam cara. Berikut kedua caranya, yaitu: a. Dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki. b. Melibatkan pencuri kayu di mana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang.