2 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 2.1.1 Definisi dan kriteria UKM Definisi UKM memiliki berbagai batasan, yang didasarkan pada jumlah pekerja dan harta yang dimiliki. Menurut Kotelnikov (2007), bahwa “SME’s are usually that employ no more than 250 employees. The technical definition varies from country to country. But is usually based on employment, assets, or combinationof the two”. Keberadaan UKM merupakan unsur dominan dalam kegiatan ekonomi di berbagai negara, namun kontribusi dalam pendapatan nasional relatif kecil. Hal inilah yang menarik perhatian bagi keseluruhan pihak yang berkepentingan untuk mendorong peran UKM lebih maju. Pengertian UKM di Indonesia, sangat beragam sesuai dengan lembaga yang memberikan batasan. Pengertian UKM dapat dilihat dari definisi yang diberikan oleh lembaga-lembaga, antara lain: 1) UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan. Kriteria usaha mikro sebagai berikut: - Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau - Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta rupiah. (2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha kecil sebagai berikut: - Memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 30 - Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2.5 milyar rupiah. (3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha menengah sebagai berikut: - Memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau - Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2.5 milyar rupiah sampai dengan paling banyak 50 milyar rupiah. 2) Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah (1) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 miliar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (2) Milik warga negara Indonesia; (3) Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai dan berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; (4) Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau badan usaha berbadan hukum. 3) Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop dan UKM, SK Menegkop dan UKM No: 23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah) Usaha Kecil (UK) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan kekayaan bersih maksimal 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal 1 milyar rupiah. 31 Usaha Menengah (UM) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala menengah dengan kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal 10 milyar rupiah dan milik warga negara Indonesia serta berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan sesuai dengan UndangUndang Republik Indonesia No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Kecil. 4) Badan Pusat Statistik (BPS) Memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d 99 orang. 5) Departemen Perindustrian (Peraturan Menteri Perindustrian No. 78/M-IND/ PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One Product-OVOP) di Sentra. (1) Industri kecil adalah kegiatan industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (2) Industri menengah adalah kegiatan industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 6) Departemen Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil) (1) Usaha Mikro: - Usaha produktif milik keluarga atau perorangan warga negara Indonesia; - Memiliki hasil penjualan paling banyak 100 juta rupiah per tahun. (2) Usaha Kecil: - Usaha produktif milik warga negara Indonesia yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi; 32 - Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; - Memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak 1 milyar rupiah per tahun. 7) Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak 100 juta rupiah per tahun. (2) Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut: - memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau - memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 1 milyar rupiah; - milik warga negara Indonesia; - berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; - berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. (3) Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut : - memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; - milik warga negara Indonesia; 33 - berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; - berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum. 8) Departemen Kelautan dan Perikanan (Permen KP No.18/MEN/2006 tanggal 14 Agustus 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan) Perbedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan parameter (Tabel 2). (1) Omset adalah total volume produksi hasil olahan dikali harga satuan dalam satu tahun (dalam rupiah); (2) Aset adalah kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah yang dikonversi dalam rupiah; (3) Jumlah tenaga kerja adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam satu unit usaha pengolahan ikan (UPI) selain pemilik, baik tenaga kerja tetap maupun harian/borongan; (4) Status hukum dan perijinan adalah legalitas yang diperoleh suatu unit usaha pengolahan ikan, baik badan hukum maupun perizinan usaha lain; (5) Penerapan teknologi adalah jenis dan tingkatan peralatan produksi yang digunakan oleh unit usaha pengolahan perikanan: - manual yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan tenaga manusia; - semi mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian menggunakan mesin; - mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan mesin. (6) Teknis dan manajerial adalah kemampuan pengelolaan suatu unit usaha dari aspek produksi pengolahan hasil perikanan untuk memenuhi kriteria sertifikasi: - UPI yang belum memiliki SKP adalah UPI yang dalam operasional usaha pengolahan ikan belum atau sudah menerapkan dan memenuhi 34 persyaratan kelayakan dasar, tetapi belum dilakukan penilikan oleh petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh competent authority; - SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan kelayakan dasar yang ditentukan; - Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT. - Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT. Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut: (1) Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44. (2) Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memilki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69. (3) Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89. (4) Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90-100. 35 Tabel 2 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha PARAMETER BOBOT (B) INDIKATOR PARAMETER < 100 juta/thn 100 juta - 1 M/thn > 1 M - 3 M/thn > 3 M - 5 M/thn > 5 M/thn SKALA (S) NILAI (BXS)/5 1 2 3 4 5 5 10 15 20 25 Omset 25 - Aset 20 - tidak dipisahkan dengan kekayaan rumah tangga, < 100 juta - 100 juta - 1 M - >1M-5M - > 5 M - 10 M - > 10 M 1 4 2 3 4 5 8 12 16 20 1 2 3 4 5 4 8 12 16 20 Jumlah tenaga kerja 20 - < 10 orang 11 - 19 orang 20 - 49 orang 50 - 100 orang > 100 orang Status hukum dan perijinan 10 - tidak berbadan hukum - berbadan hukum - berbadan hukum dan mempunyai izin 1 3 5 2 6 10 Penerapan teknologi 10 - manual - semi mekanik - mekanik 1 3 5 2 6 10 Teknis dan manajerial 15 - belum memiliki SKP - memiliki SKP - memiliki SKP dan Sertifikat PMMT/HACCP 1 3 5 3 9 15 Sumber: DKP ( 2006) 9) Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional Pengusaha mikro adalah pemilik atau pelaku kegiatan usaha skala mikro di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di luar tanah dan bangunan maksimum 25 juta rupiah. Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing, didasarkan pada aspek-aspek 1) jumlah tenaga kerja, 2) pendapatan, dan 3) jumlah aset. Definisi dan kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing, sebagai berikut: 36 1) World Bank Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium enterprise dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 300 orang, pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta, dan jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta, (2) small enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 30 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta, dan (3) micro enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, dan jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu. 2) ADB Usaha mikro adalah usaha-usaha non pertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga. 3) USAID Usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja. Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas. 4) European Commision Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 250 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 50 juta, (2) small-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 50 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 13 juta, dan (3) micro-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 2 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 2 juta. 5) Intenational Labour Organization (ILO) Usaha mikro di negara berkembang mempunyai karakteristik, antara lain usaha dengan maksimal 10 orang pekerja, berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, aset minim, kemampuan manajerial rendah, dan tidak membayar pajak. 37 6) Singapura Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta. 7) Malaysia Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2.5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu (1) small industry (SI) dengan kriteria jumlah karyawan 5-50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu, dan (2) medium industry (MI) dengan kriteria jumlah karyawan 50-75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu sampai M $ 2.5 juta. 8) Jepang Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam: (1) mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta; (2) wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu; (3) retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu; dan (4) service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu. 9) Korea Selatan Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang jumlahnya di bawah 300 orang dan jumlah asetnya kurang dari US$ 60 juta. 2.1.2 Jenis dan karakteristik dasar UKM Menurut Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jenis UKM di Indonesia secara garis besar dikelompokkan dalam 9 sektor yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan 38 4) Listrik, Gas, dan Air Bersih 5) Bangunan/Konstruksi 6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7) Pengangkutan dan Komunikasi 8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 9) Jasa-jasa Komparasi karakteristik dasar UKM antara negara Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia (Tabel 3), hal inilah yang menyebabkan UKM di Indonesia masih kalah bersaing dengan UKM di negara-negara lain. Tabel 3 Perbandingan karakteristik dasar UKM antar negara No 1 Negara Jepang Karakteristik UKM - 2 Taiwan - 3 Korea Selatan - 4 Filipina - 5 Indonesia - Sebagai subkontraktor yang efisien dan handal bagi perusahaan yang besar Hasil learning process sebagai subkontraktor diperoleh kemampuan teknis dalam proses produksi Mempunyai efisiensi dan daya saing ekspor Dikembangkan UKM yang sangat efisien dan berdaya saing tinggi Pertumbuhan UKM disebabkan oleh kebijakan finansial melalui kredit yang disalurkan Mempunyai orientasi ekspor UKM dijadikan sebagai sub-kontraktor chaebol (konglomerat raksasa) sebagai kebijakan pemerintah Mempunyai orientasi ekspor Adanya persaingan inter nal Mempunyai export zone Mempunyai orientasi ekspor Bahan baku lokal Perubahan pola subkontrak menjadi original equipment manufacturing (OEM) Menuju industri yang high technology Rendahnya kualitas sumber daya manusia Masih lemahnya struktur kemitraan dengan usaha besar Lemahnya quality control terhadap produk Belum ada kejelasan standardisasi produk yang sesuai dengan keinginan konsumen Kesulitan dalam akses permodalan terutama dari sumber-sumber keuangan yang formal Pengetahuan tentang ekspor masih lemah Lemahnya akses pemasaran Keterbatasan teknologi, akibatnya rendahnya produktivitas, dan kualitas produk Keterbatasan bahan baku Sumber: diolah dari berbagai sumber 39 2.2 Pengembangan UKM dengan Pendekatan Sentra (Clustering) Definisi sentra berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No.23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah: 1) Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster. 2) Klasifikasi sentra UKM adalah kegiatan menilai kinerja suatu sentra UKM dalam suatu periode tertentu dengan kriteria dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No.33.1/Kep/M.KUKM/IV/2003. 3) Sentra UKM unggulan adalah sentra UKM yang kegiatan usahanya merupakan atau berkaitan dengan produk unggulan daerah, kapasitas dan produktivitas usahanya berkembang, berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan merupakan prioritas untuk berkembang menjadi bagian integral dari klaster. 4) Klaster adalah jaringan industri (industri inti yang menjadi fokus perhatian, industri pemasok bahan baku, bahan pembantu dan asessori, dan industri terkait yang menggunakan sumber daya yang sama dengan industri inti), pihak atau lembaga yang menghasilkan teknologi, institusi yang berperan menjembatani (misalnya konsultan) serta pembeli, yang saling terhubung dalam rantai proses peningkatan nilai. 5) Klaster bisnis adalah klaster dimana bisnis sentra UKM unggulan telah menjadi bagian integral industri inti, industri pemasok, dan atau industri terkait. Menurut DKP (2006), pengertian sentra industri pengolahan hasil perikanan merupakan kumpulan dari beberapa unit pengolahan ikan (UPI) yang berada pada posisi yang sama dalam mata rantai nilai. Definisi sentra industri pengolahan hasil perikanan, merupakan pusat kegiatan UMKM pengolahan ikan di kawasan atau 40 lokasi tertentu dalam wadah kelembagaan usaha bersama yang dikelola secara profesional. Purwadarminta (2002) menyatakan bahwa sentra adalah tempat yang terletak di tengah-tengah (bandar, dsb); titik pusat; pusat (kota, industri, pertanian, dsb); sentral. UNIDO (2001) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi perusahaan secara sektoral dan secara geografis yang memproduksi dan menjual serangkaian produk-produk yang berhubungan, atau produk-produk yang saling melengkapi, dan mereka menghadapi tantangan dan peluang yang sama. Porter (2001) menggunakan istilah klaster untuk menunjukkan sekelompok perusahaan yang saling terhubung (berdekatan secara geografis) dengan institusiinstitusi yang terkait dalam suatu bidang khusus, terhubung dengan kebersamaan dan saling melengkapi. Porter percaya, bahwa hubungan di dalam klaster industri lebih menguntungkan karena berdekatan. Berdasarkan definisi di atas, suatu klaster industri dapat termasuk pemasok bahan baku dan input yang spesifik atau perluasan ke hilir, ke pasar atau ke para eksportir. Sebuah klaster menurut pengertian Porter (2002) juga termasuk lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, penyediaan jasa, dan lembaga lain yang mendukung perusahaan-perusahaan klaster, di bidang-bidang seperti pelatihan atau penelitian kejuruan lingkup geografis klaster sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja atau jalan di daerah kota, sampai mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Fujita dan Thiesse (2002) menyatakan bahwa fenomena sentra/kawasan (clustering) muncul dari kajian geographical economics, dimana pengertian cluster adalah lokasi yang memiliki nilai ekonomis, karena adanya aglomerasi berbagai keterampilan yang saling terkait sehingga membentuk pola kerja sama yang saling menguntungkan. Kaitan dengan perkembangan UKM, kecenderungan pertumbuhan kawasan UKM terjadi karena munculnya tesis flexible specialization yang ditulis dari berbagai pengalaman di sentra-sentra bisnis di Eropa khususnya Italia. Dikatakan bahwa pada saat industri besar di Eropa mengalami kelesuan, justru sentra UKM berbasis tradisional di Italia mampu menghasilkan produk yang inovatif dan mengembangkan jaringan pasar sampai antar negara. 41 Pengalaman ini menunjukkan UKM memiliki fleksibilitas bentuk produksi, skala produksi, dan orientasi pasar. Kerja sama antar unit usaha mampu memberikan kemampuan dan kecepatan mengisi pasar daripada usaha besar. Perkembangan kawasan UKM di Indonesia, banyak terjadi secara alami. Kebijakan kawasan UKM yang dirancang melalui pendekatan kemitraan, baru dilakukan secara sistematis pada tahun 1974 dengan usulan program Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK) berpola hubungan bapak-anak angkat (foster parent). Pola ini terjadi hubungan sub-ordinat antara pengusaha besar dan kecil, namun demikian pengalaman menunjukkan, bahwa pola interaksi bapakanak angkat memberikan keberhasilan bagi UKM khususnya dalam hal pemindahan pengetahuan. Setelah berjalan selama 20 tahun, baru pada era reformasi dirancang kebijakan kawasan UKM oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Sebuah “Strategi Industri Nasional” pada tahun 2001 yang menekankan skema pemberdayaan UKM melalui pola kawasan dengan kerja sama yang sejajar antara UKM dengan berbagai lembaga pemerintah, swasta, bisnis, dan perguruan tinggi. Menurut Tambunan (2005), sebagian besar UKM di Indonesia berada pada posisi sub-ordinat perusahaan besar yang menguasai bidang strategis industri tertentu. Hal ini menjadikan modal pengetahuan, khususnya modal eksternal menjadi semakin penting. Strategi pengembangan UKM dapat dilakukan dengan kolaborasi kekuatan elemen-elemen yang mempengaruhi perkembangan bisnisnya pada suatu tempat yang disebut dengan sistem kawasan (clustering). Kawasan UKM terpadu merupakan salah satu proses pengembangan ekonomi dengan metode mempersatukan berbagai kekuatan industri yang saling berkaitan dalam suatu wilayah demikian dikemukakan dalam acuan dari OECD. Porter (1998), diacu dalam Hofe dan Chen (2006) mendefinisikan clustering sebagai “...geographically proximate group of interconnected enterprise and associated insititution in particular field”. Tambunan (2005) memberikan acuan pendekatan pengembangan industri berbasis kawasan terpadu, yaitu pengembangan sentra-sentra industri UKM dalam suatu lingkup wilayah yang berisi berbagai proses yang saling berkaitan seperti unit produksi, unit bahan baku, sumber tenaga kerja, sumber permodalan, dan unit pemasaran. 42 Model pemberdayaan UKM melalui sistem kawasan dapat dibedakan secara vertikal maupun horizontal. Pengertiannya adalah 1) Kawasan UKM dengan pola integrasi vertikal mengacu kepada upaya untuk mendekatkan hubungan prosesproses bisnisnya. Suatu kawasan UKM terdapat kekuatan pemasok bahan baku, pemasar, saluran distribusi, sumber tenaga kerja, dan sumber pembiayaan. Kerja sama horizontal memberikan keuntungan skala ekonomis serta memungkinkan efisiensi biaya produksi dan tenaga kerja (Tambunan 2005). Lingkup dalam pengembangan pengetahuan, diperoleh proses pembelajaran bersama (collective learning process) yang dapat menjadi tempat berlangsungnya transaksi ide yang disebut dengan collective exchange and developed ideas dan mengelola pengetahuan organisasi (ADB 2001), dan 2) Kawasan UKM dengan pola integrasi horizontal mengacu kepada upaya untuk mengumpulkan bisnis UKM sejenis dalam satu kawasan sehingga memudahkan pembinaan, pemberian bantuan teknis dan permodalan, serta jaminan kebersinambungan bisnisnya. Jenis pola usaha pada suatu kawasan UKM, terdapat berbagai jenis atau satu jenis pola usaha. Jejaring horizontal memungkinkan penguatan bidang permodalan dan penyerapan teknologi. Pembentukan sentra-sentra industri UKM memberikan keuntungan pembinaan dan pengembangan, baik secara kelembagaan UKM maupun personal pelaku bisnis. Verhess dan Meulenberg (2004) mengemukakan bahwa kawasan sentra UKM memungkinkan pengembangan jaringan kerja sama antar institusi bisnis, publik, perguruan tinggi, dan perbankan (Gambar 6). Akibatnya, pelaku bisnis di sentra UKM mendapatkan berbagai kemudahan yang berkaitan dengan pembiayaan dan permodalan, produksi dan pemasaran, serta penerapan teknologi (Chrisman & Mullan 2004). Berbagai hal yang digambarkan dalam konteks pengembangan di sentra UKM, memberikan acuan perlunya pengelolaan kolektivitas dan kolegalitas dalam kawasan UKM. Pengembangan kawasan UKM berbasis kawasan terpadu banyak dijumpai di Indonesia, hampir semua provinsi mengembangkan sentra UKM dalam upaya membangun sektor bisnis non formal tersebut agar kompetitif. Secara teoritis, sentra UKM memiliki kesempatan tumbuh lebih besar dibandingkan UKM yang tidak berada di kawasan terpadu. Anglomerasi keterampilan, pengembangan 43 manajemen, sistem kualitas, dan permodalan menjadi alasan yang memudahkan kawasan terpadu lebih mudah berkembang. Selain kolektivitas internal dan eksternal, kawasan memiliki posisi penting dalam pengembangan kekuatan nilainilai strategis. Lembaga Pendukung Perusahaan Besar Perbankan dan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Klaster UKM dan jaringan internal klaster UKM Pemasok Klaster UKM Lembaga Diklat Teknis Universitas Konsultan Jasa Bisnis Sumber: Verhess dan Meulenberg (2004) Gambar 6 Jaringan kelembagaan dalam klaster UKM di Indonesia. 2.3 Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang Kerupuk ikan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2713-2009 adalah suatu produk makanan kering, yang dibuat dari tepung pati, daging ikan dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Kerupuk udang menurut SNI No. 01-2714-2009 adalah hasil olahan dari campuran yang terdiri dari udang segar, tepung tapioka, dan bahan-bahan lain yang dicetak, dikukus, diiris, dan dikeringkan. Kerupuk merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Kerupuk biasa dikonsumsi sebagai makanan kecil, makanan selingan ataupun lauk pauk walaupun dalam jumlah yang sedikit. Kerupuk dikenal oleh semua usia maupun tingkat sosial masyarakat. Kerupuk mudah diperoleh di berbagai tempat baik di warung, supermarket maupun restoran. Kerupuk dapat dibedakan berdasarkan bahan baku dan cara pengolahannya. 44 Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), alur proses pengolahan kerupuk (Gambar 7) meliputi: penyiapan bahan baku, penyiangan, pencucian, penggilingan, pembuatan adonan, pencampuran adonan, pelembutan adonan, pencetakan, pengukusan, pendinginan, pemotongan, penjemuran, sortir, pengemasan, dan penyimpanan. Ikan/udang dibersihkan, dibuang tulang dan kulitnya, dicuci kemudian dihaluskan Tepung tapioka, garam, gula, telur dicampur Ikan dan bumbu dicampur hingga merata Pendinginan Adonan tepung tapioka (tepung tapioka yang diberi air dingin) Pemotongan Pencetakan Penjemuran Pengukusan Pengepakan Sumber: Afrianto dan Liviawaty (2005) Gambar 7 Alur proses pengolahan kerupuk. Berdasarkan bahan bakunya, kerupuk dapat dibagi menjadi kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk bawang dan jenis kerupuk lainnya sesuai dengan bahan dasar pembuatannya. Menurut cara pengolahannya kerupuk dikelompokan atas kerupuk yang digoreng dan kerupuk yang dipanggang atau dibakar. Kerupuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kerupuk yang bersumber protein baik protein nabati atau hewani dan kerupuk yang tidak bersumber dari protein. Menurut Sukirno (2006), terdapat bermacam-macam jenis kerupuk yang pembuatannya menggunakan bahan baku yang berbeda-beda. Jenis kerupuk seperti namanya: kerupuk ikan merupakan kerupuk yang berbahan baku ikan; dan kerupuk udang merupakan kerupuk yang berbahan baku udang atau kerupuk yang 45 berbahan baku ikan dengan esence udang, karena bila menggunakan bahan baku udang harganya mahal. Jenis ikan yang biasa digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah ikan remang, tenggiri, pipih, dan ikan lainnya. Bahan baku pembuatan kerupuk, selain ikan atau udang juga menggunakan bahan baku tambahan yaitu tepung tapioka, terigu, telur, dan lain-lain. Bumbu juga digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang untuk menambah rasa lezat dan gurih, adapun bumbu yang digunakan adalah garam, gula, bawang putih, dan MSG/vetsin. Bahan tambahan lain yang juga digunakan, zat pewarna/pemutih untuk memberikan warna agar lebih menarik serta ditambah bahan pengembang (baking powder). 2.4 Daya Saing atau Competitive Advantage Daya saing atau 'kemampuan untuk besaing' tidak tumbuh dengan sendirinya, kalaupun ada yang berusaha menumbuhkan hal itu tidak bisa dilakukan secara perorangan. Menurut Imawan (2002), dalam menumbuhkan daya saing perlu penataan secara terpola dengan format yang jelas dan khas. Porter (1994), diacu dalam Sumiharjo (2008) menyebutkan bahwa istilah daya saing sama dengan competitiveness atau competitive, sedangkan istilah keunggulan bersaing sama dengan competitive advantage. Daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam ekonomi, yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan, dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara. Dalam dua dekade terakhir, seiring dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep kunci bagi perusahaan termasuk UKM, negara dan daerah untuk berhasil dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Lengyel 2005, Marcovics 2005). Selanjutnya dengan memakai konsep daya saing, Man et al. (2002) membuat suatu model konseptual untuk menghubungkan karakteristik pemilik UKM dan kinerja jangka panjang perusahaan/UKM. Model konseptual (Man et al. 2002) untuk daya saing UKM tersebut, terdiri dari empat unsur yaitu (1) ruang lingkup daya saing perusahaan; (2) kapabilitas organisasi dari perusahaan; (3) kompetensi pengusaha/pemilik usaha; dan (4) 46 kinerja. Hubungan antara kompetensi pengusaha/pemilik usaha dan tiga unsur lainnya merupakan inti dari model tersebut, dimana hubungan tersebut merupakan tiga tugas prinsip pengusaha yaitu (1) membentuk ruang lingkup daya saing; (2) menciptakan kapabilitas organisasi; dan (3) menetapkan tujuan-tujuan dan cara mencapainya. Menurut hasil studi Man et al. (2002), ada tiga aspek penting yang mempengaruhi daya saing UKM yaitu (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2) lingkungan eksternal; dan (3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Menurut Tambunan (2004), dalam aspek internal ada tiga hal yang paling penting yaitu (1) SDM (pekerja dan pengusaha/pemilik usaha), (2) ketersediaan atau penguasaan teknologi, dan (3) organisasi dan manajemen. Aspek eksternal yang menyangkut kinerja perusahaan adalah volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi pasar (melayani hanya pasar domestik atau juga pasar luar negeri), atau diversifikasi pasar (terkonsentrasi pada pasar tertentu atau menyebar ke pasar di banyak wilayah). Menurut Roquebert et al. (1996) dan Makhija (2003), konsep daya saing dapat ditinjau pada tiga tingkatan. Pertama, negara atau daerah. Kedua, industri atau kelompok industri. Ketiga, perusahaan atau firm level yang terbagi dua, yaitu 1) pandangan berbasis pasar atau market based view (MBV); dan 2) pandangan berbasis sumber daya atau resource based view (RBV). Perspektif MBV dan RBV ini merujuk pada keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan. Simplifikasi dari pengertian daya saing (McFetridge 1995) adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Pemaknaan daya saing pada tiap tingkatan saling terkait secara erat. Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai kondisi dan faktor yang ada pada suatu industri, daerah atau negara membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. 47 Negara/Daerah Beragam definisi ~ perbedaan keberterimaan (acceptability) oleh berbagai kalangan (misalnya akademisi, praktisi, pe mbuat kebijakan) “Pembedaan” pada beragam tingkatan: - Perusahaan (mikro): definisi yang paling “jelas” - Industri (meso): walaupun beragam, umumnya dapat dipahami: pergeseran perspektif pendekatan “sektoral” pendekatan “klaster industri” - Ekonomi (makro): dipandang sangat penting, walaupun masih sarat perdebatan dan kritik (latar belakang teori) Mikro~Perusahaan Memiliki pengertian yang berbeda, tetapi saling berkaitan Meso~Industri Makro~Ekonomi “Konteks Telaahan” (Perbandingan)/ Dimensi Teritorial/ Spasial Kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan atau ukuran bisnisnya (skala usahanya) Kemampuan suatu industri (agregasi perusahaan ~ “sektoral” ~ “klaster industri”) menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari industri pesaing asingnya Kemampuan/daya tarik (attractiveness); kemampuan membentuk/menawarkan lingkungan paling produktif bagi bisnis, menarik talented people, investasi, dan mobile factors lain, dan kinerja berkelanjutan “Tingkatan Analisis”/ Dimensi “Sektoral” Sumber: McFetridge (1995) Gambar 8 Simplifikasi pengertian daya saing. 2.4.1 Daya saing pada tingkat makro (daerah) Daya saing (competitiveness) merupakan salah satu kata kunci yang lekat dengan pembangunan ekonomi lokal/daerah. Daya saing daerah menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan daerah. Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan kemampuan suatu perusahaan, kota, daerah, wilayah atau Negara dalam mepertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif secara berkelanjutan (Porter 2000). Camagni (2002) mengungkapkan, bahwa daya saing daerah kini merupakan salah satu isu sentral terutama dalam rangka mengamankan stabilitas ketenagakerjaan, dan memanfaatkan integrasi eksternal (kecenderungan global). Beberapa hal tentang daya saing daerah: 48 Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya (Malecki 1999). Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal (European Commission 1999). Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat, menghasilkan standar hidup yang tinggi, serta virtuous cycle dampak pembelajaran (Charles dan Benneworth 2000). Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing (eksternal) dan menentukan peran produktifnya . . . . (Camagni 2002). Daya saing perkotaan (urban competitiveness) merupakan kemampuan suatu daerah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan produk-produknya yang serupa dengan produk dari daerah-daerah perkotaan lainnya (Webster dan Muller 2000). Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional (Abdullah et al. 2002). Penentu daya saing daerah adalah ekonomi makro (kebijakan ekonomi pusat, kebijakan daerah), ekonomi meso (kondisi sumber daya alam, infrastruktur teknis, infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, kebijakan pemerintah daerah), ekonomi mikro (terkait perusahaan: ukuran perusahaan, ruang lingkup aktivitas usaha, strategi yang diterapkan oleh perusahaan, situasi ekonomi perusahaan, implementasi inovasi; dan terkait masyarakat: mobilitas 49 pasar kerja, perpindahan penduduk, kualifikasi profesional dari masyarakat) (McFetridge 1995). Gardiner et al. (2004) membuat model piramida daya saing regional dengan mencari hubungan beberapa faktor utama yang dapat membangun daya saing regional, yaitu mencakup faktor-faktor input, output dan outcome. Konsep ini diaplikasikan PPSK Bank Indonesia-LP3E FE Unpad (2008) dalam pemetaan daya saing ekonomi daerah pada 434 kabupaten/kota. Kemampuan daya saing kota yang dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) dan kinerja perekonomian (output). Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari lima indikator utama, yaitu (1) lingkungan usaha produktif, (2) perekonomian daerah, (3) ketenagakerjaan dan sumber daya manusia, (4) infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, (5) perbankan dan lembaga keuangan. Kinerja perekonomian (output) mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per kapita. Target outcome dari daya saing daerah adalah pertumbuhan yang berkelanjutan. Selanjutnya, pengembangan semangat berkompetisi adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam praktek pemerintahan modern. Prinsip-prinsip tentang pemerintahan (reinventing government) menurut Osborne dan Gaebler (1993) sarat dengan pesan agar pemerintah menciptakan suasana kompetitif, tidak saja di kalangan masyarakat, terlebih lagi harus diciptakan di kalangan para birokrat penyelenggara pemerintahan. Kompetisi, dengan demikian, tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan organisasi non-pemerintah. Tak kalah pentingnya kompetisi juga harus diciptakan di antara aparat pemerintah sendiri untuk memaksimalkan tiga fungsi dasar pemerintahan, yakni: pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan secara cepat, tepat, dan dekat kepada masyarakat. Menurut Tjokrowinoto (1996) pelaksanaan program-program pembangunan sebagai salah satu aktivitas utama pemerintahan, bergeser dari menciptakan penguasaan (dependency creating) ke arah memberikan kuasa (empowering) (Tabel 4). Perubahan itu, membuat posisi masyarakat berubah dari penonton menjadi pelaku pembangunan. 50 Tabel 4 Pilihan peran pemerintah dalam pengembangan daya saing Karakter Dependency Creating Empowering Prakarsa Pusat (ibukota negara) Lokal (Desa, Kabupaten) Titik awal Rencana formal Pemecahan masalah Desain program Statis, didominasi pakar Hasil diskusi kelompok masyarakat Teknologi Hasil pengenalan Asli (setempat) Sumber dana Dana dan teknisi pemerintah pusat Rakyat dan SDA lokal Kesalahan Diabaikan Diterima (embraced) Organisasi pendukung Dibina dari atas Dibina dari bawah Pertumbuhan Cepat, mekanistik Tahap demi tahap (organik) Pembinaan personil Prajabatan, pendidikan formal, didaktik Berkesinambungan, berdasarkan pengalaman lapangan, belajar dari kegiatan lapangan Diorganisir oleh Technical specialist Tim interdisipliner Kepemimpinan Terbatas, berubah-ubah posisional Individual, kuat, berkelanjutan Analisis Untuk membenarkan rencana dan memenuhi persyaratan evaluasi Untuk definisi masalah dan perbaikan program Fokus manajemen pemerintahan Selesainya proyek pada waktu yang telah ditentukan Kelangsungan berfungsinya sistem dan kelembagaan Evaluasi Eksternal, selang-seling, impact oriented Diri sendiri, berkesinambungan, process oriented Sumber: Tjokrowinoto (1996) Masyarakat sebagai pelaku tidak sekedar diharapkan mampu menciptakan aktivitas dan peluang yang diciptakannya sendiri, tetapi diharapkan pula tumbuh kebiasaan berkompetisi. Anggota masyarakat terbiasa untuk bersaing, sehingga memudahkan daerah atau negara bersaing dengan daerah atau negara lain. Dampak dari perubahan ini, terhadap demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Secara empirik hampir mustahil menerapkan kompetisi bebas dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari situasi otoritarian ke arah situasi demokratis. Elemen-elemen yang ada dalam masyarakat sesungguhnya tidak berada di titik yang sama, di garis start yang sama, saat transisi mulai bergulir. Perlindungan pemerintah pusat atau daerah dalam bentuk regulasi masih diperlukan dan dibenarkan, sejauh regulasi itu tidak mengurangi "ruang bebas" yang dibutuhkan masyarakat serta melindungi mereka dari praktek monopoli maupun oligopoli (Steiner & Steiner 1994). Berdasarkan paparan pendapat Osborne dan Gaebler, Moeljarto, Steiner dan Steiner dapat disimpulkan bahwa peningkatan daya saing satu daerah dimulai 51 dengan komitmen pemerintah pusat atau daerah untuk secara serius menciptakan iklim persaingan di antara warga negara maupun antar aparatur pemerintah. Pemerintah harus mengambil porsi sedikit mungkin dalam dinamika sosial, tetapi efektif melindungi kepentingan yang paling mendasar dari masyarakat luas (Imawan 2002). 2.4.2 Daya saing pada tataran meso (industri atau kelompok industri) Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari teori David Ricardo tentang keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin (HO) tentang teori perdagangan internasional (international trade) dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga tentang daya saing industri (OECD 1996). Hadi (2004), menurut teori David Riracdo (cost comparative advantage atau labor efficiency) didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori HO, suatu daerah atau negara akan melakukan perdagangan dengan daerah atau negara lain disebabkan daerah atau negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi Halwani (2005). Basis dari keunggulan komparatif yaitu faktor endowment (kepemilikan faktor produksi di dalam suatu daerah atau negara), dan faktor intensity (teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, labor intensity atau capital intensity). Kajian daya saing pada tingkat industri, berkembang dalam dua perspektif arus utama. Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu “sektor” industri atau aktivitas ekonomi tertentu. Pandangan kedua, meletakkan industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks rangkaian mata rantai nilai tambah. Perspektif pertama, daya saing industri merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu. Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya, produktivitas) dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan “sektoral” demikian juga merupakan pendekatan “klasik” yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor ekonomi. Kedua, 52 daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai nilai tambah yang umumnya terjadi “lintas sektor.” Tambunan (2002) menyatakan, bahwa faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap industri untuk dapat bersaing di pasar dunia antara lain penguasaan teknologi dan peningkatan inovasi, kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan, memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik, dan tingkat kewirausahaan (enterpreneurship) yang tinggi. 2.4.3 Daya saing pada tataran mikro (perusahaan-firm level) Daya saing pada tataran mikro yaitu dimana perusahaan akan membuat suatu dinding penghalang, agar pesaing tidak dapat meniru daya saing yang dimilikinya. Adanya daya saing tersebut, sehingga perusahaan mampu meraih keuntungan dan manfaat dari sumber daya yang dimiliki mereka (Barney 1991) serta nilai yang lebih tinggi (value) daripada pesaingnya (Makhija 2003). Perkembangan teori daya saing telah menyajikan dua mahzab besar yaitu market based view (MBV) dan resources based view (RBV). Baik MBV maupun RBV, keduanya mengarah pada penciptaan keunggulan bersaing agar organisasi sukses menjadi value creation yang superior. Perspektif MBV yang didukung oleh Porter, daya saing dibangun atas dasar market attractiveness. Cara pandang kemampuan perusahaan dalam mengantisipasi pasar, merupakan hal yang esensial. Porter telah mengembangkan model lima kekuatan (five forces model) yang dapat digunakan sebagai pijakan didalam mengevaluasi dan merancang strategi bersaing. Ungkapan “think like your competitor’s decision makers” seakan menjadi tugas intelijen organisasi agar tidak ketinggalan berita atas apa yang telah dilakukan pesaing dan apa yang dituntut konsumen. Kompetisi dalam teori Porter ini bisa dievaluasi melalui lima kekuatan persyaratan (bargaining) antara lain potensi pendatang baru dan barang substitusi, potensi pemasok dan pembeli serta kompetisi yang timbul dalam struktur industri. Kompetensi bersaing bisnis dalam MBV, dibangun melalui cara pandang outside-in perspective. Dinamika eksternal menjadi pijakan dalam merancang strategi keunggulan bersaing. Model Porter didasarkan pada wawasan, bahwa 53 strategi perusahaan harus memenuhi peluang dan ancaman konteks lingkungan eksternal organisasi. Strategi bersaing harus berdasar pada struktur industri dan cara mereka mengelola perubahan. Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan kompetitif yang membentuk setiap industri dan setiap pasar. Kekuatan ini menentukan intensitas persaingan, profitabilitas dan daya tarik suatu industri. Tujuan strategi perusahaan diarahkan untuk memodifikasi kekuatankekuatan kompetitif dengan cara dan teknik tertentu yang bisa meningkatkan posisi organisasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari analisis atas lima kekuatan tersebut manajemen dapat memutuskan bagaimana mempengaruhi atau mengeksploitasi karakteristik tertentu dari industri mereka untuk dipertemukan dengan peluang dan tantangan potensial. Selajutnya, bargaining power yang bisa dilakukan perusahaan akan sangat menentukan posisi kompetitif perusahaan. Porter dalam perspektif ini, mengusulkan tiga pilihan strategi generik (low cost, differensiasi dan fokus) sebagai pijakan keunggulan bersaingnya. Alasan strategi low cost adalah adanya pemikiran bahwa konsumen selalu mengharapkan benefit yang lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan atau biaya yang telah dikeluarkan. Alasan strategi diferensiasi adalah konsumen suka terhadap produk yang unik dengan feature yang mampu memenuhi kebutuhannya, sedangkan fokus ditujukan agar perusahaan mampu membangun core produk menyesuaikan dengan dua pilihan strategi sebelumnya (fokus pada low cost atau fokus pada diferensiasi). Penerapan kedua pilihan strategi utama (low cost dan diferensiasi) memang sangat sulit diterapkan secara bersamaan, umumnya kedua jenis strategi tersebut akan bersifat mutually exclusive. Pilihan untuk diferensiasi terkait dengan inovasi, sedangkan inovasi membutuhkan investasi baru yang berujung pengerahan modal yang lebih besar yang bisa bertentangan dengan tujuan low cost. Sebenarnya tidak akan masalah jika produk perusahaan adalah lebih mahal dibandingkan dengan apa yang pesaing tawarkan. Asalkan perusahaan sudah membangun loyalitas, kepercayaan dan persepsi kualitas dalam diri pelanggan. Implikasi dari model seperti yang digambarkan diatas, akan menjadi perubahan dalam kompetisi yang tidak didasarkan pada harga tetapi pada value creation kepada pelanggan. Munculnya interdependensi antar kelima faktor 54 kekuatan kompetisi tersebut, membantu perusahaan dalam memahami struktur industri dan sekaligus mengarahkan potensi persaingan menuju kompetisi secara sehat. Implikasi model terhadap masa depan kompetisi perusahaan seperti yang digambarkan di atas, juga akan mendorong perusahaan secara bertahap selalu mencari mitra yang lebih menguntungkan. Peluang outsourcing, merger, franchise dan bentuk kerja sama lain telah menjadi resources baru bagi perusahaan untuk memperkuat market positition agar perusahaan tetap going concern. Selanjutnya, dalam konteks inilah kemampuan perusahaan dalam menggunakan potensi bargaining akan memperkuat kemampuan bersaingnya. Pemikiran Porter ini memang sangat powerfull digunakan sebagai pijakan mendesain strategi kompetitif suatu perusahaan, meskipun dalam teori ini masih sangat minim disinggung tentang pentingnya kapabilitas organisasi. Karya Porter dalam buku Competitive Advantage tersebut, fokus bahasan hanya diarahkan pada analisa industri dan kompetitor beserta beragam teknik menyikapi tantangan yang ada pada masing masing kuadran life cycle perusahaan. Porter masih belum menyinggung kapabilitas resources yang saat ini dipikirkan banyak organisasi untuk dikembangkan secara berkelanjutan sebagai keunggulan bersaingnya. Sumber daya atau resources organisasi sebagai komponen daya saing yang tidak banyak disinggung dalam teori Porter ini, telah membuka peluang bagi pemerhati masalah strategi bisnis untuk mengembangkan cara pandang RBV dalam mendesain strategi bersaing. MBV yang didukung oleh Porter berpijak pada market attractiveness memang masih menyisakan kelemahan, ketika perusahaan hanya diorientasikan pada outside-in perspective. Artinya, kompetitor juga bisa melakukan hal yang sama karena obyeknya relatif sama. Beranjak dari celah tersebut, telah menggugah para pemikir strategi bisnis untuk melakukan penguatan melalui inside-out perspective. Kompetensi khusus seperti apa yang dimiliki organisasi menjadi dasar utama menciptakan keunggulan bersaing. Cara pandang RBV seakan melengkapi cara pandang MBV yang menekankan pentingnya kapabilitas internal dalam menciptakan distinctive competencies, sebagai amunisi utama melakukan kompetisi di arena persaingan pasar yang sangat attractive tersebut. 55 Perspektif RBV yang didukung oleh Barney dan Prahalad, keunggulan bersaing dibangun melalui kompetensi khusus (distinctive competencies) yang terbentuk melalui kapabilitas organisasi. Kapabilitas organisasi terbentuk dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi baik tangible maupun intangible dan juga sumber daya manusia. Perspektif RBV ini, strategi perusahaan adalah mencetak pasar sebagai pelopor produk. Keunggulan atau kekuatan perusahaan, sebagai penopong utama keunggulan bersaing melalui firm spesific factor yang tidak bisa dimiliki oleh kompetior kepada pengguna. Inilah bentuk value creation, yang pada akhirnya bisa menjadi andalan perusahaan memenangkan persaingan. 1) Pandangan berbasis pasar (market based view) Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparatif tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing/competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh CA karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan diamond model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor-faktor yang menentukan) national competitive advantage (NCA). Empat atribut ini adalah factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry. Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage) 56 seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya) memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi. Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan. Related and supporting industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada peningkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power. Firm strategy, structure and rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada industri tertentu. Faktor Strategi dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluang dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi, struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi mendorong inovasi. Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu. Hal-hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions, serta menegakkan standar industri. 57 Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitaan daya saing yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik menstimulasi tumbuhnya industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung negara dan sebaliknya. Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam persaingan yang ketat perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, harga yang tinggi, produk dengan biaya yang rendah, dan bukan kedua-duanya. Berdasarkan prinsip tersebut, maka Porter menyatakan ada tiga strategi generik yaitu differentiation, overall cost leadership dan focus. Menurut Porter strategi perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda-beda dan dalam berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya digunakan oleh perusahaan dalam bersaing, yaitu: spesialisasi, identifikasi merk, dorongan versus tarikan, seleksi saluran, mutu produk, kepeloporan teknologis, integrasi vertikal, posisi biaya, layanan, kebijakan harga, leverage, hubungan dengan perusahaan induk, dan hubungan dengan pemerintah. 2) Pandangan berbasis sumber daya (resource based view) Dalam perspektif pandangan berbasis sumber daya (resource based view - RBV), Wernerfelt (1984) mengembangkan teori keunggulan kompetitif (theory of competitive advantage) berdasarkan sumber daya yang diperluas atau diperoleh untuk mengimplementasikan strategi pemasaran produk. Teori dari Wernerfelt tersebut merupakan pelengkap atau pengganda (dual) dari teori Porter (1980) mengenai keunggulan bersaing berdasarkan posisi pemasaran produk perusahaan. Martyn dan Ken (1999) menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan merupakan penggunaan sumber daya yang memiliki nilai nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Intangible asset terdiri dari pengetahuan personal dari individu dan pengetahuan kolektif pada struktur perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Pengetahuan yang dimaksud secara nyata (tangible) berada pada dinamika perusahaan, seperti rutinitas inovatif dan hasil, termasuk reputasinya. 58 Setelah perusahaan memiliki distinctive capabilities, maka perusahaan akan mencapai kompetensi inti (core competence). Kompetensi inti adalah pengetahuan kolektif perusahaan tentang cara mengkoordinasikan beragam keterampilan dan teknologi produksi yang dimiliki perusahaan (Prahalad & Hamel 1990). Selanjutnya, menurut Barney dan Clark (2007), perusahaan yang memiliki pandangan berbasis RBV harus memiliki sumber keunggulan kompetitif untuk mencapai produk inti (core product). Sumber keunggulan kompetitif tersebut meliputi (1) budaya (culture), (2) kepercayaan (trust), (3) sumber daya manusia (human resources), dan (4) teknologi informasi (information technology). Berbeda dengan pendapat Barney, Martin et al. (1983), diacu dalam Fitriati 2012) berpendapat tidak semua organisasi yang telah memiliki budaya dengan ketiga atribut karakteristik di atas memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Budaya organisasi dengan tiga karakteristik di atas mungkin dapat diterapkan secara efisien terhadap pegawai, pelanggan, dan pemasoknya dan mungkin juga dapat gagal diterapkan (Deal & Kennedy 1982, diacu dalam Fitriati 2012). Selanjutnya, Graig dan Grant (1993) mendefinisikan sebuah kemampuan daya saing atau kompetensi merupakan sumber daya yang berasal dari sumber daya nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible), termasuk finansial, fisik, manusia, teknologi, reputasi, dan hubungan yang dimiliki oleh perusahaan. Melengkapi pernyataan Graig dan Grant, Aaker (1989) mengungkapkan bahwa adanya aset dan keterampilan dari sebuah perusahaan merupakan inti dari manajemen stratejik. Hal tersebut perlu dikelola dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Martyn dan Ken (1999) menyatakan, bahwa daya saing dapat digambarkan dengan adanya sesuatu yang berbeda, spesifik, dan aset yang susah dicontoh dalam sebuah perusahaan, sehingga dapat menghasilkan keunggulan bersaing dalam sebuah perusahaan. Tambunan (2009) menyatakan daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Faktor-faktor penentu daya saing perusahaan/UKM adalah keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, 59 ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi, bahan baku, dan lain-lain. Menurut Tambunan (2008b), UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh (1) kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi, (2) pangsa pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu meningkat, (3) untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga nasional, dan (4) untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu negara tetapi juga banyak negara. Dalam mengukur daya saing UMKM harus dibedakan antara daya saing dan daya saing perusahaan. Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya (1) pangsa ekspor per tahun (% dari jumlah ekspor), (2) pangsa pasar luar negeri per tahun (%), (3) laju pertumbuhan ekspor per tahun (%), (4) pangsa pasar dalam negeri per tahun (%), (5) laju pertumbuhan produksi per tahun (%), (6) nilai atau harga produk, (7) diversifikasi pasar domestik, (8) diversifikasi pasar ekspor, dan (9) kepuasan konsumen. 2.5 Soft System Methodology (SSM) Soft systems methodology (SSM) diperkenalkan oleh Peter Checkland di Universitas Lancaster, Inggris pada tahun 1981. SSM dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik (Martin et al. 2008). SSM merupakan kerangka kerja (frame work) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Martin et al. 2008). Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005). SSM merupakan sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti (siklik), yang menggunakan model sistem aktivitas manusia. Model ini, dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam situasi masalah melalui persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan tindakan yang terarah dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai aktor yang berbeda. 60 SSM menyediakan pendekatan yang koheren terhadap pemikiran kelompok dan individual mengenai konteks, kompleksitas dan ambiguitas kebijakan (Chapman 2004). SSM berparadigma interpretative (Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan pengguna. SSM telah digunakan di banyak bidang dan konteks termasuk di dalamnya manajemen perubahan, perencanaan sistem kesehatan dan medis, perencanaan sistem informasi, manajemen sumber daya manusia, analisis sistem logistik, dan pengembangan sistem pakar (Maqsood et al. 2001). Beragamnya bidang pemanfaatan SSM menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran SSM dalam bidang manajemen. SSM juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Dalam bidang ini Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan pendekatan SSM untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch (2003) menyatakan, mampu membuat rekomendasi pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999), menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Meskipun demikian menurut Eriyatno (2003), Eriyatno dan Sofyar (2007), SSM masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia. Pada awalnya pendekatan SSM ini terlihat sebagai alat pemodelan biasa, tetapi setelah adanya pengembangan, pendekatan itu telah meningkat sebagai alat pembelajaran dan alat pengembangan sebagai pembantu dalam mengartikan masalah. SSM adalah sebuah metodologi untuk menganalisis dan pemodelan sistem yang mengintegrasikan teknologi (hard sistem) dan human (soft sistem). SSM adalah pendekatan untuk pemodelan proses di dalam organisasi dan lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan, dimana organisasi pembelajaran itu sendiri merupakan manajemen perubahan. SSM adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem. 61 Pengembangan model sistem tersebut dilakukan dengan penggalian masalah yang tidak terstruktur, mendiskusikan secara intensif dengan pihak terkait dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama. Model SSM telah mengalami sejumlah revisi dan modifikasi selama 1981 hingga 1990, namun model original tujuh tahap merupakan model yang umum digunakan dan akan digunakan dalam tulisan ini. Tujuh tahap tersebut merupakan sejumlah ilustrasi yang disuling dari suatu proses iteratif sehingga dalam prakteknya, proses dapat dimulai dari mana saja. Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa SSM merupakan suatu proses yang berlanjut namun tahapan-tahapan dalam SSM tidak bersifat kaku sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dalam pelaksanaannya. Biasanya dalam penggunaannya tidak terpaku, bahwa proses itu harus sekuensial maju, namun gerakan setiap tahapan dalam SSM bisa maju atau mundur ke setiap tahapan (Brocklesby 1995). Penelitian dapat dimulai pada setiap tahapan dengan interaksi dan penelusuran ulang sebagai komponen penting (Maqsood et al. 2001). Ketujuh tahapan tersebut menurut Checkland dan Poulter (2006) adalah: Tahap I: Memahami situasi permasalahan tidak terstruktur Tahap pertama problem situation considered problematic adalah tahap dimana masalah terlihat tidak berstruktur dengan jelas, masalah tersebut begitu kompleks ada begitu banyak messy didalamnya, masalah tersebut memiliki banyak perspektif atau view. Tahap II: Menyusun gambaran situasi permasalahan (rich picture) Tahap kedua problem situation expressed, dalam tahap ini masalah telah diungkapkan secara terstruktur melalui tiga analisis. Pertama adalah berupa intervention analysis yaitu menentukan client (orang atau sekelompok orang yang menyebabkan intervensi terjadi), problem solver atau partitioners (orang atau sekelompok orang yang akan melakukan transformasi), problem owner (orang atau sekelompok orang yang berkepentingan atau mendapat pengaruh dari masalah maupun mendapat pengaruh dari penyelesaian masalah atas transformasi yang nantinya dilakukan). Kedua adalah berupa social system analysis yaitu menginvestigasi tiga hal penting dalam diri problem owner yaitu roles, norms dan value. Ketiga adalah berupa political systems analysis yaitu untuk 62 menginvestigasi kuasa atau power yang ada dalam situasi tersebut, kekuasaan dari problem owner seperti apa harus diketahui dengan jelas. Tahap selanjutnya masih dalam tahap (2), akan menghasilkan rich picture yaitu sebuah tahap dimana peneliti dan pembimbing sebagai problem solver mendeskripsikan kompleksitas masalah yang ada (gambaran yang detail dan kaya). Rich picture tersebut juga akan menjadi jalan awal bagi peneliti untuk menentukan relevan system dalam persoalan tersebut. Checkland dan Poulter (2006) menyatakan, bahwa gambar pada rich picture menunjukkan hubungan dan penilaian, pencarian simbol untuk menyampaikan ‘perasaan’ mengenai situasi, dan mengindikasikan hubungan yang relevan dengan solusi dari situasi permasalahan. Gambaran yang detail dan kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang mampu menjelaskan hubungan struktur dan proses organisasi dikaitkan kondisi lingkungan (environment) organisasi. Struktur mencakup denah fisik, hierarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Proses mencakup aktivitas dasar organisasi, seperti alokasi sumber daya, pelaksanaan monitor dan kontrol. Hubungan antara struktur dan proses kemudian diwujudkan dalam bentuk masalah, tugas-tugas dan elemen-elemen lingkungan yang dapat dimengerti dengan mudah. Tahap III: Menyusun definisi permasalahan (root definitions) Tahap ketiga root definition of relevant purposeful activity systems, merupakan tahap dimana peneliti akan membangun definisi akar permasalahan yang mencakup pandangan tertentu terhadap situasi masalah sesuai dengan perspektif yang relevan. Root definitions (RDs) ditulis berdasarkan semua informasi tentang organisasi yang telah dikumpulkan, dieksplorasi, dan dibahas melalui tahapan proses SSM sebelumnya. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan dalam menyusun RDs menggunakan rumus umum PQR, yaitu mengerjakan P dengan Q untuk mewujudkan R. Dimana PQR menjawab pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa. Selanjutnya, dalam tahap ini relevan sistem akan dikendalikan oleh CATWOE (Tabel 5). CATWOE adalah C atau customers yaitu penerima manfaat dari proses transformasi. A atau actors yaitu siapa yang melakukan transformasi. T atau 63 transformation process yaitu konversi dari input menjadi output. W atau welltanschauung yaitu worldview yang membuat transformasi berarti dalam konteks. O atau owners yaitu orang yang bisa menghentikan transformasi, dan E atau environment constrains yaitu elemen di luar sistem yang mempengaruhi proses transformasi. Tabel 5 Analisis root definitions C (Customer) Who would be the victims/beneficiaries of the purposeful activity? A (Actors) Who would do the activities? T (Transformation Process) What is the purposeful activity expressed as Input ------------------------------Transformation----------------------Output? W (Weltanschauung) What view of the world makes this definition meaningful? O (Owner) Who could stop this activity? E (Environmental Constraints) What constraints in its environment does this system take as given? Sumber: Checkland dan Poulter (2006) Tiga kriteria bagaimana proses transformasi ini sebaiknya dilaksanakan sebagai berikut: - efficacy (apakah langkah yang dilaksanakan (means) mendukung hasil akhir?) - efficiency (apakah sumber daya yang penting dan minimum diperhatikan?) - effectiveness (apakah proses transformasi dapat membantu mempertahankan tujuan untuk jangka panjang dan ada kaitannya dengan output?) Tahap IV: Membuat model konseptual Tahap keempat conceptual models of the system (holons) named in the root definition adalah tahap dimana peneliti akan membuat model konseptual yang memaparkan bekerjanya sistem sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Sistem dalam tahap ini, menggambarkan input dan output dalam transformasi yang menjadi tujuan. Model konseptual yang dibangun dalam tahapan ini tanpa merujuk pada fakta lapangan (real world), tetapi dibangun dari ide/gagasan peneliti berdasarkan teori yang digunakan (Nee 2003) dan aturan formal yang berlaku, sehingga gagasan systems thinking menjadi penting dalam tahapan ini. Menurut Checkland, berpikir serba sistem (systems thinking) didasari atas dua pasang gagasan, yaitu emergent 64 properties berpasangan dengan hierarchy (disebut juga layer structure dalam Checkland dan Poulter 2006), dan communication berpasangan dengan control (Checkland & Scholes 1990). Selanjutnya, dua pasang gagasan ini membutuhkan sistem untuk keberlangsungan hidup sistem tersebut. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan, bahwa dalam pembuatan model konseptual menggambarkan kegiatan sistem dimana elemen-elemen adalah kata kerja aktif dan kata benda yang bisa diukur. Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan root definition dan struktur kata kerja mengacu pada logic base (Checkland dan Scholes 1990). Tahap V: Membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan Tahapan kelima comparison of models and real world yaitu tahap membandingkan model konseptual yang dibuat dengan fakta lapangan. Selain membuat matriks yang berguna dalam membandingkan, peneliti juga akan melakukan diskusi dan debat ke berbagai pihak terkait, khususnya yang menangani persoalan atau yang berkaitan dengan model tersebut. Jackson (2003) menyatakan bahwa untuk menghasilkan perdebatan mengenai perubahan yang meningkatkan situasi problematik, maka perlu dilakukan komparasi antara model konseptual dan fakta lapangan Checkland dan Poulter (2006) mengingatkan, bahwa tahap ini bukanlah dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematik fakta lapangan dibandingkan dengan model konseptual yang “sempurna”. Jadi, model konseptual merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni sementara fakta lapangan diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan di dalam diri satu orang yang terus mengalami perubahan, baik perubahan lambat maupun perubahan cepat. Checkland dan Scholes (1990) mengungkapkan, empat cara untuk melakukan perbandingan yaitu dengan diskusi formal, mempertanyakan secara formal, menulis skenario berdasarkan pengoperasian model, dan mencoba untuk membuat model fakta lapangan dalam struktur yang sama dengan model konseptual. Tahap VI: Menentukan perubahan yang diinginkan Tahap keenam changes, systematically desirable, culturally feasible yaitu tahap dimana peneliti akan melakukan diskusi dan debat terhadap perubahan yang 65 diinginkan dengan berbagai pihak terkait. Perubahan tersebut secara teknik merupakan sebuah kondisi yang semakin baik. Sedangkan perubahan yang feasible adalah apakah secara budaya perubahan tersebut cocok. Perubahan tersebut berupa 1) perubahan prosedur, 2) perubahan struktur, dan 3) perubahan sikap dan budaya. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan, tiga aspek yang mesti dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau perubahan yaitu 1) perubahan yang berkaitan dengan struktur, 2) perubahan yang berkaitan dengan proses atau prosedur, dan 3) perubahan yang berkaitan dengan sikap. Pada tahap enam ini, dilakukan melalui diskusi diantara para pihak yang berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua pihak. Tahap VII: Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan Tahap ketujuh action to improve the problem situation, yaitu melakukan aksi dalam perbaikan yang dilakukan terhadap situasi masalah. Proses implementasi ini mencakup sejumlah langkah 1) siapa yang akan bertanggungjawab dalam aksi, 2) dimana dan kapan aksi itu akan dilaksanakan, dan 3) bagaimana dengan time table. Perubahan sikap dan perilaku dibutuhkan untuk menghasilkan pengaruh terhadap sistem. Tahapan ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab untuk memformulasikan konsep menjadi aksi nyata. Tahap 1, tahap 2, dan tahap 5 termasuk dalam tahap pencarian (finding out), tahap 3 dan tahap 4 termasuk dalam tahap berpikir sistem (system thinking), dan terakhir tahap 6 dan tahap 7 termasuk dalam tahap mengambil tindakan (taking action). Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. Secara singkat proses metode SSM terlihat dalam Gambar 9. 66 1 7 Memahami situasi permasalahan yang tidak terstruktur Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan 2 6 5 Menyusun situasi permasalahan (rich picture) Menentukan perubahan yang diinginkan Membandingkan 4 & 2 Situasi fakta lapangan Berpikir sistem 3 Menyusun definisi permasalahan (root definitions) 4 Membuat model konseptual Sumber: Chekland dan Poulter (2006) Gambar 9 Proses dasar SSM. 2.6 Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan Menurut Barney (2007), keunggulan kompetitif yang berkelanjutan terjadi pada level perusahaan atau tataran mikro. Pada konteks penelitian, fakta lapangan (real word) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu bersifat kompleks, messy, dan menggambarkan sistem aktivitas manusia (human activity systems). Berdasarkan kondisi tersebut, maka daya saing UKM dalam penelitian ini menggunakan tiga tingkat yaitu tataran makro, meso, dan mikro. Nee (2005), mengganggap institusi makro melahirkan kepercayaan (trust) dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya, melalui new institutionalisms in economy and sociology (NIES) pada Gambar 10, Nee menjelaskan bagaimana institusi berinteraksi dengan jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk mengarahkan tindakan-tindakan ekonomi secara langsung. NIES memiliki fokus untuk menjelaskan cara kerja keyakinan, norma, dan institusi dalam kehidupan ekonomi. NIES juga hadir untuk menentukan dan menjelaskan mekanisme sosial yang turut menentukan hubungan antara kelompok 67 sosial formal dan informal dalam struktur institusional yang dipantau dan ditegakkan oleh organisasi dan negara. NIES telah memberikan kontribusi untuk menjelaskan munculnya aturan resmi keinstitusian yang membentuk perilaku ekonomi (Nee 2005). Sumber: Nee (2005) Gambar 10 Model dari NIES. Model NIES menunjukkan mekanisme kausal yang beroperasi di kedua arah, dari makro ke mikro dan mikro ke tingkat makro analisis (Nee 2005). Mekanisme kausal penting dalam analisis ekonomi untuk menentukan struktur insentif organisasi dan perusahaan, seperti halnya dalam peraturan yang mengatur hak milik, pasar, dan perusahaan yang terintegrasi dengan aturan formal dan informal di level meso (organisasi) dan level mikro (kelompok sosial dan individu). Setiap tataran, memiliki analisis hubungan kausal yang berbeda dengan institusi yang terkait di dalamnya. 2.6.1 Tataran Makro The new institutionalism in economics and sociology menganalisis cara hubungan interpersonal dalam perusahaan dan pasar berinteraksi dengan pengaturan kelembagaan formal. Institusi tidak hanya mencakup kendala formal 68 dan informal yang menentukan struktur insentif, seperti yang didefinisikan oleh North (1990). Pada dasarnya, institusi melibatkan aktor baik individu atau organisasi, yang mengejar kepentingan nyata dalam institusional. Menurut North (1990), sebuah institusi didefinisikan sebagai a system of interelated informal and formal elements custom, shared beliefs, conventions, norms, and rules governing social relationships within actors pursue and fix the limits of legitimate interests. Institusi dapat meliputi struktur sosial yang menyediakan saluran untuk tindakan kolektif dalam memfasilitasi dan mengatur kepentingan aktor, serta menegakkan hubungan agen utama. Nee (2005) menjelaskan bahwa perubahan institusional tidak hanya melibatkan pembaharuan aturan formal, tetapi memerlukan penataan kembali kepentingan, norma, dan kekuatan. Nee (2005) menjelaskan bahwa lingkungan institusional (seperti aturan regulasi formal yang dipantau dan ditegakkan oleh negara yang mengatur hak milik, pasar dan perusahaan) dapat menjadi kendala pada perusahaan dalam mekanisme pasar dan peraturan negara, sehingga hal tersebut akan membentuk struktur insentif. NIES menggabungkan dan mengintegrasikan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum aturan formal dengan mekanisme pasar. Mekanisme pasar skematis yang direpresentasikan oleh gambar tanda panah ke bawah (lihat Gambar 10) dari lingkungan institusional meliputi pasar tenaga kerja, pasar modal, bahan baku pasar material, dan sebagainya. Kerangka institutional (institutional framework) meliputi aturan formal dari lingkungan institusional dan aturan informal yang tertanam dalam hubungan sosial yang sedang berlangsung, yang berinteraksi untuk membentuk perilaku ekonomi (Nee 2005). 2.6.2 Tataran Meso Aspek lain dari New Institutional Economics (NIE) berfokus pada perjanjian yang dibuat oleh individu-individu tertentu untuk mengatur hubungan mereka. Williamson (1996) menyebut pengaturan kelembagaan tersebut sebagai tata kelola lembaga (governance institution). Perusahaan, birokrasi, dan organisasi dianggap 69 sebagai sebuah tata kelola (governance), dimana dalam tata kelola terjadi transaksi atau interaksi antara individu. Transaksi dengan pihak luar dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan yang tingkatannya lebih tinggi. Perubahan pada lingkungan kelembagaan berpengaruh pada transaksi yang terjadi antara individu dalam tata kelola. Transaksi dalam suatu tata kelola juga dipengaruhi oleh sifat individu yang cenderung oportunis dan dibatasi rasionalitas yang ada. Williamson (1994) mengatakan, bahwa tata kelola perusahaan berkaitan dengan masalah oportunisme dan mengurangi risiko penyimpangan kinerja agen. Berkaitan dengan oportunisme dan penyimpangan kinerja agen dalam organisasi, konsep rent seeking dan opportunistic behavior dapat menjelaskan fenomena ini. Rent seeker merupakan individu yang menggunakan undang-undang dan peraturan pemerintah untuk mentransfer kekayaan (sewa) untuk diri mereka sendiri (Johnsen 1991). Sehubungan dengan teori kelembagaan, suatu kelembagaan dianggap dapat mempengaruhi keberhasilan rent seeking. Becker (1983) mengajukan gagasan mengenai teori kepentingan pribadi (private interest) berkaitan dengan konsep rent seeking. Konsep rent seeking memiliki analisis penekanan pada insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan mencari sewa. Terkait dengan perusahaan sebagai suatu organisasi non profit dalam level meso, organisasi melalui tindakan kolektif melobi perubahan aturan formal yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi (Nee 2005). Asosiasi dan pelobi profesional dapat bertindak sebagai agen mewakili kepentingan individu di level mikro. Selanjutnya dalam pasar kompetitif, tekanan pada perusahaan-perusahaan yang lolos dari proses seleksi memerlukan sebuah tindakan strategis, berbeda dengan tekanan legitimasi pada orientasi organisasi non profit yang tergantung pada pemerintah dalam hal sumber daya. Upaya organisasi mendapat legitimasi sebagai penggerak yang mendorong konformitas dengan aturan kelembagaan dan praktik melalui pemaksaan, normatif, dan mekanisme. Legitimasi penting untuk perusahaan sebagai wujud dalam investasi perusahaan dalam mempromosikan merek, nama pengakuan, reputasi untuk 70 keandalan dan kualitas layanan atau produk dan kebutuhan hukum pada negara yang didorong oleh kepentingan kelangsungan hidup perusahaan dan profitabilitas di pasar yang kompetitif. Bagi organisasi non profit, legitimasi merupakan modal sosial (social capital) penting yang meningkatkan peluang untuk mengoptimalkan akses ke sumber daya langka. Baik organisasi profit atau non profit, legitimasi dapat dilihat sebagai kondisi yang memungkinkan organisasi untuk meningkatkan peluang kelangsungan hidup mereka dan keuntungan yang terjamin di pasar ekonomi dan politik. 2.6.3 Tataran Mikro Granovetter (2005) dalam artikelnya “Economic Action Social Structure” menunjukkan, bahwa aktor tidak akan berperilaku atau memutuskan tindakan sebagai atom yang berada di luar konteks sosial. Tindakan aktor selalu bertujuan yang embedded dengan konkrit dalam sistem relasi sosial yang sedang berlangsung. Granovetter berpandangan bahwa hubungan sosial, daripada pengaturan institusional atau moralitas umum (misalnya keyakinan bersama dan norma), bertanggungjawab dalam produksi, kepercayaan dalam kehidupan ekonomi. Nee (2005) menjelaskan model kausal dalam NIES dengan mengintegrasikan temuan mikro berdasarkan rasionalitas sebagai konteks terikat, dipengaruhi oleh hubungan sosial dan norma, dengan kerangka ekonomi institusional. Berkaitan dengan spesifikasi mekanisme tingkat mikro, sosiologi organisasi menekankan tindakan organisasi berorientasi untuk meniru, menyesuaikan, dan decaupling. Selanjutnya, peraturan-peraturan dipantau dan ditegakkan oleh negara, seperti halnya pada kerangka organisasi yang mendasari struktur sosial dari lingkungan kelembagaan. Nee (2005) mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal dan informal pada setiap level kausal (mikro, meso, dan makro) berupa lingkungan kebijakan (policy environment). Pada akhirnya, pendekatan NIES telah membuka pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan kelembagaan pada tiga tingkat (makro, meso, dan mikro) yang turut mempengaruhi perilaku ekonomi. 71 2.7 Riset Tindakan (Action Research) Menurut Creswell (2010) dalam kaitannya dengan strategi penelitian kualitatif, mengkategorikan penelitian ini sebagai penelitian studi kasus riset tindakan. Denzin dan Lincoln (2000) memasukkannya, pada jenis penelitian riset tindakan. Riset tindakan, menawarkan berbagai fitur yang menyumbangkan alat yang sangat kuat (powerful tool) bagi para peneliti yang tertarik dalam penelitian mengenai kajian manusia, teknologi, informasi, dan sosial-budaya. Tidak seperti pendekatan penelitian lainnya, seperti percobaan laboratorium, yang berjuang untuk mempertahankan relevansinya terhadap fakta lapangan, “laboratorium” riset tindakan adalah fakta lapangan (real world) itu sendiri. Burns (2005) melakukan klasifikasi pada tiga jenis riset tindakan, yaitu 1) riset tindakan teknis atau technical AR, 2) riset tindakan praktis atau practical AR, dan 3) riset tindakan kritis atau critical AR (Tabel 6). Pelaksanaan dalam penelitian riset tindakan dimulai dengan perencanaan, eksekusi (intervensi), observasi, dan refleksi, sebelum akhirnya peneliti akan kembali membuat perencanaan dan terlibat dalam siklus baru (Checkland 1991; Zuber-Skerrit 1991; Dick 1993). Perencanaan yang dibuat peneliti, secara tipikal, harus berkaitan dengan masalah sosial atau praktis daripada berkaitan dengan pertanyaan teoretis (Kemmis 1988). Peters dan Robinson (1984) menegaskan bahwa peneliti perlu melampirkan pentingnya nilai, kepercayaan dan tujuan dari partisipan, karena peneliti berupaya untuk mengubah realitas sosial menjadi lebih baik dalam referensi kerangka yang bebas (emancipatory frame of reference). Barton et al. (2009) menyatakan bahwa penelitian ilmiah (scientific research) dan riset tindakan (action research) bukanlah pendekatan ilmu pengetahuan yang saling berkompetisi satu sama lain, melainkan saling melengkapi (complementary). Lebih lanjut lagi, Barton at al. (2009) menyatakan bahwa riset tindakan dan positivis memainkan peran komplementer dalam cakupan metode ilmiah dimana hipotesis diusulkan, diuji, dan ditindak sepanjang proses logis yang dapat dijelaskan oleh referensi dalam membingkai (framing) hipotesis pada konteks sistem terbuka dan tertutup. Namun Blum, diacu dalam 72 Barton et al. (2009) menyatakan bahwa desain dari metode ilmiah secara ideal perlu dipengaruhi oleh tujuan sosial penelitian. Tabel 6 Karakteristik utama pendekatan riset tindakan Technical AR Practical AR Critical AR Basis filosofi Ilmu alamiah (natural sciences) Hermeneutics Teori kritis (critical theory) Sifat realitas Dapat diukur Berganda (multiple), holistik, dibangun (constructed) Interelasi dengan struktur kekuatan sosial dan politik Sifat masalah Sudah dikenal (problem-posing) Ditentukan dalam konteks (problem solving) Ditentukan dalam konteks hubungan untuk memunculkan nilai (problematising) Status pengetahuan Terpisah, deduktif Induktif, produksi teori, Induktid, produksi teori, emansipatori, dan parsipatori Sifat pemahaman Kejadian dijelaskan dalam bentuk sebab nyata dan efek bersama Kejadian digambarkan dalam bentuk interaksi antara konteks eksternal dengan pemikiran individual Kejadian dipahami dalam bentuk politik, sosial, dan hambatan ekonomi untuk meningkatkan kondisi Tujuan penelitian Menemukan “hukum” dari realitas Menemukan arti dari orangorang yang membuat tindakan Memahami apa yang menghalangi demokratik dan praktik yang sama Hasil perubahan Perubahan bersifat bebas nilai dan jangka pendek Perubahan bersifat terikat nilai dan bergantung pada keterlibatan individu Perubahan bersifat relati nilai dan mendorong mansipasi terus menerus Sumber: Burns (2005) Kebutuhan akan hasil praktis, menempatkan riset tindakan dalam konteks sosial dimana interaksi antara lingkungan “eksperimen” dan interaksi eksperimen itu sendiri menempati peran kritis dan bernilai. Hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara peneliti, subjek, dan konteks. Barton et al. (2009) menyatakan bahwa sebuah usaha telah diciptakan untuk mengidentifikasikan seperangkat norma dan kriteria yang digunakan untuk mendesain dan menilai riset tindakan, serta merepresentasikan riset tindakan sebagai scientifically rigorous. Secara singkat, Barton et al. (2009) menyimpulkan bahwa positivis (berkaitan dengan closed systems thinking) dan riset tindakan (berkaitan dengan open systems thinking) bersifat esensial dan melengkapi pendekatan ilmiah. Barton et al. (2009) menyatakan bahwa riset tindakan berhubungan dengan fase evaluasi dan abductive. Pembentukan fase abductive melibatkan teknik 73 brainstorming, mind-maps, analisis naratif, dan analisis kasus sebagai pendekatan dalam mengekstratindakan persepsi stakeholder dalam situasi kompleks. Tolbert (1974), diacu dalam Barton et al. (2009) mengajukan tujuh kriteria riset tindakan. Pertama, pencarian nilai sosial yang dirangkai dalam sistem terbuka/sosio-ekologi/konteks worldview. Kedua, proses logis dapat diidentifikasi dengan mudah melalui mode kesimpulan (modes of inference) abductive, deduktif, dan induktif. Ketiga, proses kelompok yang mengadopsi perspektif ganda dan nilai pluralis baik sebagai pembatas yang bertentangan dengan perilaku keliru (hedge against fallible behaviour) dan sebagai platform praktik etis. Keempat, teknik evaluasi kritis yang melibatkan single, double, dan triple loop learning. Kelima, basis operasional dalam pembelajaran dialektis. Sebagai contoh, pembuatan perbandingan kritis antara bingkai sistem atau perspektif berbeda. Keenam, pengawasan proses dalam siklus riset tindakan yang menginformasikan (secara minor) koreksi yang dapat dibuat dan didokumentasikan. Ketujuh, kemungkinan bagi setiap tahap pertimbangan dalam bentuk riset tindakan berulang. Barton et al. (2009) memberikan komparasi antara riset tindakan dengan penelitian positivis (Tabel 7). Barton et al. menyatakan, positivis tidak mempunyai fase pengambilan tindakan (taking action) dalam dunia yang lebih luas dan melakukan upaya untuk mengeluarkan kepentingan nilai ilmiah dan kemungkinan dalam perubahan konteks. Tabel 7 Komparasi riset tindakan dengan positivist science Property Positivist Science Action Research Systems frame Closed Open Repeatability Experimental result Process Conditionals on hypotheses Known and controllable Unknown and not controllable Objectivity Apparent indpedence of Researcher but dependent on The norms of peers Triple loop learning evaluation; dependent on values of the community of inquiry Dominant mode on inference Deduction Abdusction Action based No Yes Sumber: Barton et al. (2009b) 74 Menurut Lipton (2004) dalam kasus-kasus tertentu, ketika observer menghadapi kepraktisan tindakan, positivis tidaklah cukup dan observer menemukan diri mereka untuk mengambil tindakan, atau paling tidak mengkontemplasikan hal tersebut pada basis “kesimpulan bagi penjelasan terbaik (inference to the best explanation)”. Hipotesis terbaik dibentuk dan disesuaikan dengan tindakan dalam konteks pengawasan, intervensi penyesuaian, dan evaluasi. Menurut Barton et al. (2009), bagaimanapun positivis bersifat kritis dalam menetapkan (establishing) hipotesis “terbaik”. Fakta penting, bahwa harus menerima positivis hanya mengkonfirmasi hipotesis dalam kondisi yang ketat (under strict conditions). Saat bertindak dalam hipotesis pada konteks open system, harus menggunakan basis hipotesis dengan penjelasan terbaik dan bertransisi dari area penelitian positivis ke area penelitian riset tindakan. Uchiyama (1999), mengkaji perbandingan antara positivist dan riset tindakan dengan menggunakan skema PDS (plan, do, see - rencanakan, lakukan, amati) (Tabel 8). Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis (model “reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset tindakan adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experiencebased-knowledge). Tabel 8 Perbandingan antara paradigma positivism dengan riset tindakan Positivism SSM-based AR Plan Hypothesis (The model of “reality”) Experimental Design A Omoi Moddel A model relevant to “actuality” Action Plan Do Observation Collection Data Carry out Action Plan Learning by doing See Verification Reflection in action Kind of Knowledge Scientific or Explicit Knowledge Tacit or Experience-based knowledge Standard of Validity Repeatability Recoverability Sumber: Uchiyama (1999) 75 Paradigma positivism mengembangkan model “reality” sebagai hipotesis, kemudian mendesain rencana eksperimental. Riset tindakan membentuk model relevan bagi “actuality”, melalui akomodasi dan desain rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Selanjutnya, pada aspek “D” positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya, dan mengumpulkan data, kemudian mencari apakah hipotesis benar (“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada aspek “S”. Apabila hasil hipotesis “tidak” harus kembali ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”, sedangkan hasil hipotesis “ya” maka dapat mengkontribusikan hipotesis sebagai pengetahuan ilmiah bagi koleksi pengetahuan manusia. Riset tindakan membawa rencana tindakan dalam fakta lapangan oleh peneliti sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak, peneliti tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan learning by doing” sebagai pembelajaran kedua, dan kemudian peneliti dapat menginternalisasikan pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman (experiencebased-knowledge). Lebih lanjut lagi, Uchiyama (1999) menyatakan bahwa riset tindakan berbeda dengan paradigma positivism. Riset tindakan dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman (experience-based knowledge) yang dapat diaplikasikan pada fakta lapangan melalui praktik oleh peneliti itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian ini, Uchiyama mengkategorikan SSM sebagai bagian dari riset tindakan. Menilik latar belakang SSM, Checkland dan Poulter (2006) memaparkan bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan (action research). Uchiyama (1999) menjelaskan bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses belajar sambil melakukan (learning by doing). Sebagai kajian riset tindakan, Checkland menitik beratkan SSM pada problem situation bukan dari teori. Sebagai alat pemecahan masalah, SSM muncul 76 bukan sebagai alat menghasilkan teori dan alat menguji teori (Rose 1982). Sudut filosofis dari metodologi (ontologi dan epistemologi) ditempatkan pada matriks kuadran ‘interpretatif’ (Burell dan Morgan 1979). Menurut Rose (1982), SSM berada pada penggunaan konsep sistem sebagai alat epistemologi mendapatkan pengetahuan dunia. Checkland (1981) mengatakan, “kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa terdapat perbedaan antara realitas kompleks dengan catatan kita pribadi (sebagai peneliti) mengenai hal tersebut.” Checkland (1999) menjelaskan, bahwa “hard systems thinking” berasumsi bahwa dunia yang dirasakan (perceived world) terdiri dari holons, sedangkan “soft systems thinking” berasumsi bahwa metodologi adalah proses investigasi (process of enquiry) sehingga menjadi holons. Rose (1982) menyatakan, bahwa model SSM dibedakan dari model sistem konvensional lainnya (bentuk deskriptif dan normatif dari ‘sistem’). Investigasi metodologi tidak diperoleh dari perspektif ontologi pada dunia sistemik, tetapi dari konsep sistem epistemologi yang menstrukturkan pemikiran tentang dunia. Berdasarkan perspektif riset tindakan, teori Kurt Lewin diacu dalam Barton et al. (2009) telah mengalami berbagai inovasi dan perbaikan (refinements). Masalah objektivitas telah dijelaskan oleh Argyris dan Schon (1989), melalui konsep pembelajaran single dan double loop yang melibatkan refleksi terbuka. Proses ini masih diperluas dengan dua cara yaitu 1) Flood dan Romm melalui konsep pembelajaran triple loop, dan 2) Checkland dan Howell melalui konsep struktur FMA dan kegunaannya dalam fase pembelajaran double loop. Checkland dan Poulter (2006) memaparkan, bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan (action research). Uchiyama (1999) menjelaskan, bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar sambil melakukan (learning by doing)”. Jenis penelitian ini, peneliti akan menerima kesulitan berupa ‘scientific’ experimental work. Kesulitan tersebut muncul karena situasi manusia yang unik, selalu berubah setiap waktu, dan memunculkan berbagai paradigma yang 77 berlawanan. Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa peneliti riset tindakan (action researcher) harus masuk ke dalam situasi manusia dan mengambil tindakan dalam kegiatan tertentu, serta menggunakan pengalaman tersebut sebagai objek penelitian. Peneliti harus menyatakan kerangka kerja intelektual terlebih dahulu untuk memperoleh pemahaman mengenai pengalaman yang diperolehnya. Kerangka kerja eksplisit akan membantu peneliti dalam menggambarkan pengalaman risetnya dalam kerangka kerja yang terdefinisikan dengan baik (well defined language of framework). Hal itu memungkinkan setiap orang di luar penelitian untuk ‘menemukan kembali (recover)’ kerangka kerja tersebut, untuk melihat apa yang telah dikerjakan dan bagaimana kesimpulan yang dicapai. Representasi proses riset tindakan yang sering digunakan, yaitu berupa siklus tunggal (dengan kemungkinan pemakaian berulang-ulang) tidak peduli apapun penggambaran riset tindakan yang digunakan (Baskerville & WoodHarper 1996; Susman & Evered 1978; Avison & Wood Harper 1991, diacu dalam McKay dan Marshall 2001). Siklus ini dapat dilakukan melalui satu kali siklus (mengacu pada Baskerville dan Harper 1998 sebagai riset tindakan linear dalam McKay dan Marshall 2001) atau siklus tersebut dapat diulang dalam konteks yang sama sehingga kepuasan hasil telah tercapai. Gambar 11 memperlihatkan terdapat sejumlah kajian yang merepresentasi berbagai jenis proses riset tindakan (Kuadran A: McKay 2000; Kuadran B: Susman dan Evered 1978; Kuadran C: Burns 1994; Kuadran D: Checkland 1991, McKay dan Marshall 2001). Berdasarkan penjelasan di atas, sebagain besar literatur tentang riset tindakan mengartikan riset tindakan dalam konteks proses pembelajaran sambil melaksanakan sesuatu (learning by doing) dan utamanya untuk keperluan pemecahan masalah atau problem solving (Hardjosoekarto 2012). Kendatipun demikian, menurut O’Brien (1998) proses pemecahan masalah dengan riset tindakan ini dapat dibedakan dari proses pemecahan masalah dalam pengertian sehari-hari, termasuk pemecahan masalah dalam konteks konsultansi dan praktik professional yaitu dalam hal penekanannya pada studi saintifik (scientific study). 78 Sumber: McKay dan Marshall (2001) Gambar 11 Representasi dari siklus action research. Menurut Hardjosoekarto (2012), peneliti dalam suatu riset tindakan melakukan kajian terhadap masalah yang akan dipecahkannya dengan cara yang sistematik dan menjamin bahwa intervensi yang dilakukan dilandasi oleh pertimbangan teoritis tertentu. Maknanya, proses pemecahan masalah di dalam suatu organisasi dapat dibedakan antara pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan dengan pemecahan masalah yang tidak berbasis riset tindakan. Selain didasarkan pada penahapan proses tertentu, pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan ini didasarkan juga pada pertimbangan teoritis tertentu. Selanjutnya, untuk memfasilitasi penggunaan metode SSM dan pencarian konten situasi, Checkland dan Poulter (2006) menawarkan aplikasi penggunaan SSM dalam dua model yaitu SSM (p) untuk proses penggunaan SSM untuk melakukan studi, dan SSM (c) untuk menangani penyelesaian isi situasi yang bermasalah (Gambar 12). Senada dengan Checkland dan Poulter (2006), McKay dan Marshall (2001) membagi SSM menjadi dua proses siklus ganda atau dual cycle process, yaitu problem solving interest dan research interest (Gambar 13). 79 Gambar 12 Proses penggunaan SSM Gambar 13 Riset tindakan yang dipandang sebagai proses siklus ganda (dual cycle). Pada penelitian yang berbasis problem solving interest (Gambar 14) pada riset tindakan, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset tindakan (action researcher) harus menyadari permasalahan fakta lapangan (real world) yang salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta. Peneliti harus mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci pemangku kepentingan dalam proses pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan. Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan strategi pemecahan masalah. 80 Perencanaan tersebut, nantinya diimplementasikan ke dalam beberapa tahap tindakan. Selanjutnya, implementasi ini harus dimonitor untuk mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan. Pada waktu tertentu, ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh pemangku kepentingan maka peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan. Kajian riset tindakan yang berbasis research interest (Gambar 15), peneliti harus memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang ingin peneliti capai. Setelah mengidentifikasikan minat penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan. Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat penelitiannya, kemudian peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya. Sumber: McKay dan Marshall (2001) Gambar 14 Problem solving interest. Selanjutnya, peneliti akan Gambar 15 Research interest. mengambil tindakan terkait dengan penelitiannya. Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian, dan dievaluasi untuk melihat efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan penelitian terjawab atau kepuasan tercapai (dengan mengacu pada teori yang digunakan), maka peneliti akan keluar dari setting penelitian. 81 Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) menyatakan bahwa refleksi pada F, MR, dan A dapat melahirkan pandangan baru yang tidak pernah diantisipasi dalam pertanyaan penelitian sebelumnya (Gambar 16). Pada siklus problem solving interest, McKay dan Marshall (2001) juga menyatakan bahwa refleksi terhadap P menggunakan MPS dapat melahirkan experiential learning mengenai P dan MPS. Hal ini merupakan suatu pembelajaran yang didapat dari pengalaman yang dilakukan, dimana terdapat aktivitas intervensi dan tindakan pada konteks fakta lapangan, akan mendorong peneliti dan partisipan dalam experiential learning. Pada siklus research interest, peneliti dapat merefleksikan F, A, dan MR, juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan pula bahwa desain siklus research interest nantinya akan melahirkan pengetahuan baru untuk dihasilkan (generated) pada A dan atau F. Selanjutnya, dengan merefleksikannya kepada F, A, dan MR, siklus research interest juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru. Sumber: McKay dan Marshall (2001) Gambar 16 Kerangka kerja riset tindakan. 82 2.8 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan Penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dilandasi oleh beberapa penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian memberikan acuan tentang pengembangan UKM sentra, dan penelitian yang dilakukan dari perspektif daya saing, resourcesbased, soft system methodology, dan riset tindakan (action research). Widjajani dan Yudoko (2008) melakukan kajian tentang keunggulan kompetitif industri kecil dengan pendekatan berbasis sumber daya. Penelitian ini merupakan penelitian proses strategi (strategy process research), yang meneliti perilaku strategis manajer pemilik industri kecil dalam mengelola usahanya untuk membangun keunggulan kompetitif dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view atau RBV). Paradigma penelitian yang digunakan adalah interpretatif-induktif-kualitatif dengan penggabungan antara soft systems methodology (SSM) dan grounded theory. Hasil dari penelitian ini berupa model konseptual yang menggambarkan proses industri kecil logam di industri kecil tradisional logam Kiara Condong dalam membangun keunggulan kompetitifnya. Perilaku strategis yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari empat model, yaitu model perilaku penentuan strategi, model perilaku pelaksanaan produksi, model perilaku pelaksanaan litbang dan inovasi, serta model perilaku pelaksanaan pemasaran. Surminah et al. (2007) melakukan kajian tentang penggunaan soft systems methodology (SSM) dalam kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kajian ini fokus pada penggunaan metodologi SSM dan menyajikan ilustrasi proses dan luaran metodologi SSM dalam memahami kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kesimpulan yang didapatkan antara lain 1) SSM dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi pada litbang pemerintah seperti masalah kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri; dan 2) Penggunaan SSM dalam konteks kemitraan litbang pemerintah dengan industri perlu memperhatikan masalah komunikasi, budaya organisasi, peraturan yang berlaku di antara pihak yang terlibat untuk mengurangi konflik dalam penggunaan metode ini. 83 Djamhari (2006) melakukan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sentra UKM menjadi klaster dinamis. Faktor-faktor yang secara tunggal atau berkombinasi, mempengaruhi daya hidup (viability) klaster UKM adalah jejaring kemitraan, inovasi teknologi, modal SDM dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap layanan pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, dan kepemimpinan. Intensitas dan spektrum kekuatan variabel ini beragam, dan hal ini dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal klaster itu sendiri. Pada kondisi internal, faktor yang berpengaruh antara lain usia kematangan klaster, keragaman usaha (homogeneity), tingkat resiko bisnis diantara UKM di dalamnya, dan probabilitas pelaku usaha dalam klaster akan tetap berafiliasi dengan klasternya. Faktor eksternal yang menonjol adalah faktor stabilitas ekonomi makro yang mempengaruhi iklim usaha, kelangsungan order, dan pelaku baru (business new entrants) yang memperburuk suasana persaingan pasar, dan last but not least, adalah regulasi pemerintah. Martin et al. (2008) melakukan kajian tentang penatakelolaan kawasan hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman opini stakeholder yang berbeda (terpencar) terhadap perubahan yang diinginkan dan memungkinkan, dengan menggunakan metodologi sistem lunak/SSM (Soft System Methodology). Kesimpulan yang didapatkan, bahwa 1) prinsip-prinsip SSM yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah penatakelolaan bagi blok agroforestri hutan penelitian benakat yang semula “tidak terkelola”, dan 2) fase intervensi dalam tahapan SSM ini belum secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada, namun berpeluang untuk dikelola setelah terbukanya jalur komunikasi antarpihak melalui beragam aktivitas pengelolaan bersama. 84 Absah (2008) melakukan kajian tentang kompetensi perusahaan. Berdasarkan hasil kajian, bahwa perusahaan yang memiliki tim manajemen dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain yang tidak dapat melakukannya. Kompetensi superior akan memungkinkan perusahaan memperoleh informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya, dengan demikian perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi, akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Perusahaan dengan kompetensi superior, dapat memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya. Selanjutnya agar dapat mempertahankan keunggulan bersaing tersebut, kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan. Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu kompetensi yang sulit ditiru, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang dimiliki perusahaan akan menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi kinerja superior. Perusahaan dengan kompetensi yang bernilai dan langka akan menghasilkan keunggulan bersaing yang lebih besar dibandingkan pesaingnya, yang selanjutnya menghasilkan kinerja keuangan superior. Keunggulan bersaing dan kinerja yang dihasilkan perusahaan merupakan konsekuensi dari sumber daya khusus dan kompetensi yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan untuk mengkordinasikan sumber daya strategis dengan baik, karena merupakan kunci dalam membangun kompetensi dan pada akhirnya pencapaian kinerja yang tinggi. Rahman (2006) melakukan kajian tentang kerangka dasar pembentukan kebijakan UKM Indonesia. Kajian lebih diarahkan dan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi dasar-dasar penetapan kebijakan UKM Indonesia serta kebijakan apa saja yang relevan, sesuai dengan hasil identifikasi tersebut. 85 Kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar dalam pengembangan UKM, dalam bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari hari, yaitu kebijakan pada tingkatan mikro (micro level policies), tingkatan makro (macro level policies) dan tingkatan meso (meso level policies). Identifikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut amat diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritas/fokus kebijakan pengembangan UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta serta kondisi riil yang terjadi pada UKM Indonesia. Kesimpulan dan implikasi kebijakan yang didapatkan antara lain 1) diperlukan pengembangan kebijakan UKM yang sesuai sifatnya, harus berdasarkan pada fakta dan kondisi yang terjadi pada UKM; 2) memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada UKM Indonesia, maka akan lebih relevan dan efektif jika pada tahap awal prioritas/fokus kebijakan lebih diarahkan pada upaya perkuatan kapasitas internal UKM dan peningkatan firm level competitiveness UKM Indonesia atau dengan kata lain, penetapan kebijakan pada mikro level; 3) pengembangan kebijakan UKM perlu dilakukan secara integral, dinamis dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi UKM dalam perekonomian Indonesia. Fitriati (2012) melakukan kajian tentang rekontruksi daya saing UMKM berbasis soft systems methodology. Berdasarkan hasil kajian, bahwa penggunaan framework NIES pada rekonstruksi daya saing UMKM dalam menjamin tercapainya daya saing UMKM industri kreatif pada 1) tataran makro menunjukkan besarnya peran state regulation dan market mechanism; 2) tataran meso menunjukkan besarnya peran collective action serta monitoring and enforcement; 3) tataran mikro menunjukkan adanya peran decoupling & compliance, serta embeddedness pada pelaku usaha yang merupakan basis daya saing di tataran mikro; dan 4) adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran berupa interkonektivitas (interconnectivity) dan penjajaran (alignment) pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing. 86 Dalam konteks UMKM industri kreatif Kota Depok sebagai rujukan penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan timbal balik secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi UMKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UMKM, yang difasilitasi melalui kelompok usaha atau asosiasi. Kedua, hubungan timbal balik yang timbul secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UMKM yang disalurkan melalui asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan (insitutional strengthening) dan kapasitas UMKM. Berkembangnya sentra-sentra UMKM industri kreatif dengan komoditas unggulannya masingmasing juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung peningkatan daya saing UMKM di sentra-sentra tersebut. Hubungan timbal balik ini menunjukkan bahwa mekanisme decoupling, compliance dan embeddedness dalam pengembangan daya saing UMKM. Untuk UMKM industri kreatif di Kota Depok, hubungan timbal balik di antara tiga tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. Puradinata (2012) melakukan kajian tentang pembelajaran interorganisasional dan penciptaan pengetahuan dalam pengembangan bioethanol di Indonesia dengan pendekatan soft systems methodology. Penelitian ini merupakan implementasi dari penelitian dual imperatives (McKay dan Maeshall 2001), mencakup research interest dan problem solving interest, yaitu riset tindakan (action research) yang menggunakan soft system methodology (SSM). Penelitian ini termasuk katagori SSM based action research, yang sesuai dengan kategori theoritical research practice/business change practice dari Cronholm and Goldkuhl (2003). Dalam penelitian ini dikaji bagaimana suatu organisasi bisnis menyiapkan dirinya mengatasi berbagai masalah problematik yang dihadapinya. 87 Penelitian ini menyimpulkan bahwa efektivitas proses pembelajaran IGDI (identification, generation, diffusion, and integration) dipengaruhi oleh faktor keberhasilan yang terdiri dari motivasi, leadership, trust, kapasitas penyerapan, kemampuan mengkombinasikan berbagai kapabilitas, kedekatan, dan teknologi infromasi. Sedangkan untuk mengatasi masalah problematiknya PT. Medco Ethanol Lampung harus mengadakan integrasi vertical ke arah hulu, agar menjamin tersedianya bahan baku dalam waktu, harga, dan kualitas yang sesuai standar, melalui penguasaan perkebunan. Sedangkan ke arah hilir perlu memperluas konsumen melalui kerja sama erat dengan pemerintah, yang diharapkan bisa memfasilitasi upaya peningkatan jumlah konsumen. Secara keseluruhan harus ada sinergi antara makro dan mikro untuk mencapai keunggulan bersama.