pengembangan produk perikanan sebagai strategi memperluas

advertisement
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
2.1.1 Definisi dan kriteria UKM
Definisi UKM memiliki berbagai batasan, yang didasarkan pada jumlah
pekerja dan harta yang dimiliki. Menurut Kotelnikov (2007), bahwa “SME’s are
usually that employ no more than 250 employees. The technical definition varies
from country to country. But is usually based on employment, assets, or
combinationof the two”. Keberadaan UKM merupakan unsur dominan dalam
kegiatan ekonomi di berbagai negara, namun kontribusi dalam pendapatan
nasional relatif kecil. Hal inilah yang menarik perhatian bagi keseluruhan pihak
yang berkepentingan untuk mendorong peran UKM lebih maju.
Pengertian UKM di Indonesia, sangat beragam sesuai dengan lembaga yang
memberikan batasan. Pengertian UKM dapat dilihat dari definisi yang diberikan
oleh lembaga-lembaga, antara lain:
1)
UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM)
(1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan
usaha perorangan. Kriteria usaha mikro sebagai berikut:
-
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta rupiah.
(2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha kecil
sebagai berikut:
-
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan
paling banyak 500 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
30
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai
dengan paling banyak 2.5 milyar rupiah.
(3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak
langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha menengah
sebagai berikut:
-
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan
paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2.5 milyar rupiah sampai
dengan paling banyak 50 milyar rupiah.
2)
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha
Menengah
(1) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai
dengan paling banyak 10 miliar rupiah, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha;
(2) Milik warga negara Indonesia;
(3) Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai dan berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha besar;
(4) Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum dan atau badan usaha berbadan hukum.
3)
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop dan
UKM, SK Menegkop dan UKM No: 23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang
Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan
Menengah)
Usaha Kecil (UK) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan
kekayaan bersih maksimal 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan
bangunan, penjualan tahunan maksimal 1 milyar rupiah.
31
Usaha Menengah (UM) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala menengah
dengan kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah tidak termasuk
tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal 10 milyar rupiah dan
milik warga negara Indonesia serta berdiri sendiri bukan merupakan anak
perusahaan sesuai dengan UndangUndang Republik Indonesia No 20 Tahun
2008 tentang Usaha Kecil.
4)
Badan Pusat Statistik (BPS)
Memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil
merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang,
sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga
kerja 20 s.d 99 orang.
5)
Departemen Perindustrian (Peraturan Menteri Perindustrian No. 78/M-IND/
PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil
dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One
Product-OVOP) di Sentra.
(1) Industri kecil adalah kegiatan industri dengan nilai investasi perusahaan
seluruhnya sampai dengan 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha;
(2) Industri menengah adalah kegiatan industri dengan nilai investasi
perusahaan seluruhnya di atas 200 juta rupiah sampai dengan paling
banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha.
6)
Departemen Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005
tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil)
(1) Usaha Mikro:
-
Usaha produktif milik keluarga atau perorangan warga negara
Indonesia;
-
Memiliki hasil penjualan paling banyak 100 juta rupiah per tahun.
(2) Usaha Kecil:
-
Usaha produktif milik warga negara Indonesia yang berbentuk badan
usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi;
32
-
Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
-
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil
penjualan paling banyak 1 milyar rupiah per tahun.
7)
Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang
Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah)
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah
usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan
Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi
dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak 100 juta
rupiah per tahun.
(2) Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria sebagai berikut:
-
memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 1 milyar rupiah;
-
milik warga negara Indonesia;
-
berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
-
berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
(3) Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut :
-
memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai
dengan paling banyak 10 milyar rupiah, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha;
-
milik warga negara Indonesia;
33
-
berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha besar;
-
berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak
berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum.
8)
Departemen Kelautan dan Perikanan (Permen KP No.18/MEN/2006 tanggal
14 Agustus 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan)
Perbedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan
parameter (Tabel 2).
(1) Omset adalah total volume produksi hasil olahan dikali harga satuan
dalam satu tahun (dalam rupiah);
(2) Aset adalah kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah yang
dikonversi dalam rupiah;
(3) Jumlah tenaga kerja adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam satu
unit usaha pengolahan ikan (UPI) selain pemilik, baik tenaga kerja tetap
maupun harian/borongan;
(4) Status hukum dan perijinan adalah legalitas yang diperoleh suatu unit
usaha pengolahan ikan, baik badan hukum maupun perizinan usaha lain;
(5) Penerapan teknologi adalah jenis dan tingkatan peralatan produksi yang
digunakan oleh unit usaha pengolahan perikanan:
-
manual yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha
pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan tenaga manusia;
-
semi mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha
pengolahan ikan yang sebagian menggunakan mesin;
-
mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha
pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan mesin.
(6) Teknis dan manajerial adalah kemampuan pengelolaan suatu unit usaha
dari aspek produksi pengolahan hasil perikanan untuk memenuhi kriteria
sertifikasi:
-
UPI yang belum memiliki SKP adalah UPI yang dalam operasional
usaha pengolahan ikan belum atau sudah menerapkan dan memenuhi
34
persyaratan kelayakan dasar, tetapi belum dilakukan penilikan oleh
petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh competent authority;
-
SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan yang menerangkan, bahwa UPI telah
memenuhi persyaratan kelayakan dasar yang ditentukan;
-
Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah
memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT.
-
Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah
memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT.
Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan
hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut:
(1) Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif
parameter skala usaha antara 20-44.
(2) Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memilki nilai kumulatif
parameter skala usaha antara 45-69.
(3) Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai
kumulatif parameter skala usaha antara 70-89.
(4) Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar memiliki nilai kumulatif
parameter skala usaha antara 90-100.
35
Tabel 2 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha
PARAMETER
BOBOT
(B)
INDIKATOR PARAMETER
< 100 juta/thn
100 juta - 1 M/thn
> 1 M - 3 M/thn
> 3 M - 5 M/thn
> 5 M/thn
SKALA
(S)
NILAI
(BXS)/5
1
2
3
4
5
5
10
15
20
25
Omset
25
-
Aset
20
- tidak dipisahkan dengan
kekayaan rumah tangga, < 100
juta
- 100 juta - 1 M
- >1M-5M
- > 5 M - 10 M
- > 10 M
1
4
2
3
4
5
8
12
16
20
1
2
3
4
5
4
8
12
16
20
Jumlah tenaga
kerja
20
-
< 10 orang
11 - 19 orang
20 - 49 orang
50 - 100 orang
> 100 orang
Status hukum
dan perijinan
10
- tidak berbadan hukum
- berbadan hukum
- berbadan hukum dan
mempunyai izin
1
3
5
2
6
10
Penerapan
teknologi
10
- manual
- semi mekanik
- mekanik
1
3
5
2
6
10
Teknis dan
manajerial
15
- belum memiliki SKP
- memiliki SKP
- memiliki SKP dan Sertifikat
PMMT/HACCP
1
3
5
3
9
15
Sumber: DKP ( 2006)
9)
Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional
Pengusaha mikro adalah pemilik atau pelaku kegiatan usaha skala mikro di
semua sektor ekonomi dengan kekayaan di luar tanah dan bangunan
maksimum 25 juta rupiah.
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing, didasarkan
pada aspek-aspek 1) jumlah tenaga kerja, 2) pendapatan, dan 3) jumlah aset.
Definisi dan kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing, sebagai berikut:
36
1)
World Bank
Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium
enterprise dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 300 orang,
pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta, dan jumlah aset hingga
sejumlah $ 15 juta, (2) small enterprise dengan kriteria jumlah karyawan
kurang dari 30 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, dan
jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta, dan (3) micro enterprise dengan kriteria
jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $
100 ribu, dan jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu.
2)
ADB
Usaha mikro adalah usaha-usaha non pertanian yang mempekerjakan kurang
dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga.
3)
USAID
Usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10
orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala
hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja.
Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas.
4)
European Commision
Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium-sized
enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 250 orang,
pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta, dan jumlah aset tidak melebihi
$ 50 juta, (2) small-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang
dari 50 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta, dan jumlah aset
tidak melebihi $ 13 juta, dan (3) micro-sized enterprise dengan kriteria
jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $
2 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 2 juta.
5)
Intenational Labour Organization (ILO)
Usaha mikro di negara berkembang mempunyai karakteristik, antara lain
usaha dengan maksimal 10 orang pekerja, berskala kecil, menggunakan
teknologi sederhana, aset minim, kemampuan manajerial rendah, dan tidak
membayar pajak.
37
6)
Singapura
Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki
minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed
productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
7)
Malaysia
Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki
jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75
orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2.5 juta.
Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu (1) small industry (SI) dengan kriteria
jumlah karyawan 5-50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M
$ 500 ribu, dan (2) medium industry (MI) dengan kriteria jumlah karyawan
50-75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
sampai M $ 2.5 juta.
8)
Jepang
Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam: (1) mining and manufacturing,
dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah US$2,5 juta; (2) wholesale, dengan kriteria jumlah
karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840
ribu; (3) retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau
jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu; dan (4) service, dengan kriteria
jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai
US$ 420 ribu.
9)
Korea Selatan
Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang jumlahnya di
bawah 300 orang dan jumlah asetnya kurang dari US$ 60 juta.
2.1.2 Jenis dan karakteristik dasar UKM
Menurut Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah,
jenis UKM di Indonesia secara garis besar dikelompokkan dalam 9 sektor yaitu:
1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
2) Pertambangan dan Penggalian
3) Industri Pengolahan
38
4) Listrik, Gas, dan Air Bersih
5) Bangunan/Konstruksi
6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7) Pengangkutan dan Komunikasi
8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
9) Jasa-jasa
Komparasi karakteristik dasar UKM antara negara Jepang, Taiwan, Korea
Selatan, Filipina, dan Indonesia (Tabel 3), hal inilah yang menyebabkan UKM di
Indonesia masih kalah bersaing dengan UKM di negara-negara lain.
Tabel 3 Perbandingan karakteristik dasar UKM antar negara
No
1
Negara
Jepang
Karakteristik UKM
-
2
Taiwan
-
3
Korea
Selatan
-
4
Filipina
-
5
Indonesia
-
Sebagai subkontraktor yang efisien dan handal bagi perusahaan yang
besar
Hasil learning process sebagai subkontraktor diperoleh kemampuan
teknis dalam proses produksi
Mempunyai efisiensi dan daya saing ekspor
Dikembangkan UKM yang sangat efisien dan berdaya saing tinggi
Pertumbuhan UKM disebabkan oleh kebijakan finansial melalui kredit
yang disalurkan
Mempunyai orientasi ekspor
UKM dijadikan sebagai sub-kontraktor chaebol (konglomerat raksasa)
sebagai kebijakan pemerintah
Mempunyai orientasi ekspor
Adanya persaingan inter nal
Mempunyai export zone
Mempunyai orientasi ekspor
Bahan baku lokal
Perubahan pola subkontrak menjadi original equipment manufacturing
(OEM)
Menuju industri yang high technology
Rendahnya kualitas sumber daya manusia
Masih lemahnya struktur kemitraan dengan usaha besar
Lemahnya quality control terhadap produk
Belum ada kejelasan standardisasi produk yang sesuai dengan keinginan
konsumen
Kesulitan dalam akses permodalan terutama dari sumber-sumber
keuangan yang formal
Pengetahuan tentang ekspor masih lemah
Lemahnya akses pemasaran
Keterbatasan teknologi, akibatnya rendahnya produktivitas, dan kualitas
produk
Keterbatasan bahan baku
Sumber: diolah dari berbagai sumber
39
2.2
Pengembangan UKM dengan Pendekatan Sentra (Clustering)
Definisi sentra berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No.23/Per/M.KUKM/XI/2005
tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan
Menengah:
1) Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana
terdapat
UKM
yang
menggunakan
bahan
baku/sarana
yang sama,
menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk
dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk
(entry point) dari upaya pengembangan klaster.
2) Klasifikasi sentra UKM adalah kegiatan menilai kinerja suatu sentra UKM
dalam suatu periode tertentu dengan kriteria dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia No.33.1/Kep/M.KUKM/IV/2003.
3) Sentra UKM unggulan adalah sentra UKM yang kegiatan usahanya
merupakan atau berkaitan dengan produk unggulan daerah, kapasitas dan
produktivitas usahanya berkembang, berperan dalam penyerapan tenaga kerja
dan merupakan prioritas untuk berkembang menjadi bagian integral dari
klaster.
4) Klaster adalah jaringan industri (industri inti yang menjadi fokus perhatian,
industri pemasok bahan baku, bahan pembantu dan asessori, dan industri
terkait yang menggunakan sumber daya yang sama dengan industri inti), pihak
atau lembaga yang menghasilkan teknologi, institusi yang berperan
menjembatani (misalnya konsultan) serta pembeli, yang saling terhubung
dalam rantai proses peningkatan nilai.
5) Klaster bisnis adalah klaster dimana bisnis sentra UKM unggulan telah
menjadi bagian integral industri inti, industri pemasok, dan atau industri
terkait.
Menurut DKP (2006), pengertian sentra industri pengolahan hasil perikanan
merupakan kumpulan dari beberapa unit pengolahan ikan (UPI) yang berada pada
posisi yang sama dalam mata rantai nilai. Definisi sentra industri pengolahan hasil
perikanan, merupakan pusat kegiatan UMKM pengolahan ikan di kawasan atau
40
lokasi tertentu dalam wadah kelembagaan usaha bersama yang dikelola secara
profesional.
Purwadarminta (2002) menyatakan bahwa sentra adalah tempat yang
terletak di tengah-tengah (bandar, dsb); titik pusat; pusat (kota, industri, pertanian,
dsb); sentral. UNIDO (2001) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi
perusahaan secara sektoral dan secara geografis yang memproduksi dan menjual
serangkaian produk-produk yang berhubungan, atau produk-produk yang saling
melengkapi, dan mereka menghadapi tantangan dan peluang yang sama.
Porter (2001) menggunakan istilah klaster untuk menunjukkan sekelompok
perusahaan yang saling terhubung (berdekatan secara geografis) dengan institusiinstitusi yang terkait dalam suatu bidang khusus, terhubung dengan kebersamaan
dan saling melengkapi. Porter percaya, bahwa hubungan di dalam klaster industri
lebih menguntungkan karena berdekatan. Berdasarkan definisi di atas, suatu
klaster industri dapat termasuk pemasok bahan baku dan input yang spesifik atau
perluasan ke hilir, ke pasar atau ke para eksportir.
Sebuah klaster menurut pengertian Porter (2002) juga termasuk lembaga
pemerintah, asosiasi bisnis, penyediaan jasa, dan lembaga lain yang mendukung
perusahaan-perusahaan klaster, di bidang-bidang seperti pelatihan atau penelitian
kejuruan lingkup geografis klaster sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja
atau jalan di daerah kota, sampai mencakup sebuah kecamatan atau provinsi.
Fujita dan Thiesse (2002) menyatakan bahwa fenomena sentra/kawasan
(clustering) muncul dari kajian geographical economics, dimana pengertian
cluster adalah lokasi yang memiliki nilai ekonomis, karena adanya aglomerasi
berbagai keterampilan yang saling terkait sehingga membentuk pola kerja sama
yang saling menguntungkan.
Kaitan dengan perkembangan UKM, kecenderungan pertumbuhan kawasan
UKM terjadi karena munculnya tesis flexible specialization yang ditulis dari
berbagai pengalaman di sentra-sentra bisnis di Eropa khususnya Italia. Dikatakan
bahwa pada saat industri besar di Eropa mengalami kelesuan, justru sentra UKM
berbasis tradisional di Italia mampu menghasilkan produk yang inovatif dan
mengembangkan jaringan pasar sampai antar negara.
41
Pengalaman ini menunjukkan UKM memiliki fleksibilitas bentuk produksi,
skala produksi, dan orientasi pasar. Kerja sama antar unit usaha mampu
memberikan kemampuan dan kecepatan mengisi pasar daripada usaha besar.
Perkembangan kawasan UKM di Indonesia, banyak terjadi secara alami.
Kebijakan kawasan UKM yang dirancang melalui pendekatan kemitraan, baru
dilakukan secara sistematis pada tahun 1974 dengan usulan program Pembinaan
dan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK) berpola hubungan bapak-anak angkat
(foster parent). Pola ini terjadi hubungan sub-ordinat antara pengusaha besar dan
kecil, namun demikian pengalaman menunjukkan, bahwa pola interaksi bapakanak angkat memberikan keberhasilan bagi UKM khususnya dalam hal
pemindahan pengetahuan.
Setelah berjalan selama 20 tahun, baru pada era reformasi dirancang
kebijakan kawasan UKM oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Sebuah “Strategi Industri Nasional” pada tahun 2001 yang menekankan skema
pemberdayaan UKM melalui pola kawasan dengan kerja sama yang sejajar antara
UKM dengan berbagai lembaga pemerintah, swasta, bisnis, dan perguruan tinggi.
Menurut Tambunan (2005), sebagian besar UKM di Indonesia berada pada
posisi sub-ordinat perusahaan besar yang menguasai bidang strategis industri
tertentu. Hal ini menjadikan modal pengetahuan, khususnya modal eksternal
menjadi semakin penting. Strategi pengembangan UKM dapat dilakukan dengan
kolaborasi kekuatan elemen-elemen yang mempengaruhi perkembangan bisnisnya
pada suatu tempat yang disebut dengan sistem kawasan (clustering).
Kawasan UKM terpadu merupakan salah satu proses pengembangan
ekonomi dengan metode mempersatukan berbagai kekuatan industri yang saling
berkaitan dalam suatu wilayah demikian dikemukakan dalam acuan dari OECD.
Porter (1998), diacu dalam Hofe dan Chen (2006) mendefinisikan clustering
sebagai “...geographically proximate group of interconnected enterprise and
associated insititution in particular field”. Tambunan (2005) memberikan acuan
pendekatan
pengembangan
industri
berbasis
kawasan
terpadu,
yaitu
pengembangan sentra-sentra industri UKM dalam suatu lingkup wilayah yang
berisi berbagai proses yang saling berkaitan seperti unit produksi, unit bahan
baku, sumber tenaga kerja, sumber permodalan, dan unit pemasaran.
42
Model pemberdayaan UKM melalui sistem kawasan dapat dibedakan secara
vertikal maupun horizontal. Pengertiannya adalah 1) Kawasan UKM dengan pola
integrasi vertikal mengacu kepada upaya untuk mendekatkan hubungan prosesproses bisnisnya. Suatu kawasan UKM terdapat kekuatan pemasok bahan baku,
pemasar, saluran distribusi, sumber tenaga kerja, dan sumber pembiayaan. Kerja
sama horizontal memberikan keuntungan skala ekonomis serta memungkinkan
efisiensi biaya produksi dan tenaga kerja (Tambunan 2005). Lingkup dalam
pengembangan pengetahuan, diperoleh proses pembelajaran bersama (collective
learning process) yang dapat menjadi tempat berlangsungnya transaksi ide yang
disebut dengan collective exchange and developed ideas dan mengelola
pengetahuan organisasi (ADB 2001), dan 2) Kawasan UKM dengan pola integrasi
horizontal mengacu kepada upaya untuk mengumpulkan bisnis UKM sejenis
dalam satu kawasan sehingga memudahkan pembinaan, pemberian bantuan teknis
dan permodalan, serta jaminan kebersinambungan bisnisnya.
Jenis pola usaha pada suatu kawasan UKM, terdapat berbagai jenis atau satu
jenis pola usaha. Jejaring horizontal memungkinkan penguatan bidang
permodalan dan penyerapan teknologi. Pembentukan sentra-sentra industri UKM
memberikan keuntungan pembinaan dan pengembangan, baik secara kelembagaan
UKM maupun personal pelaku bisnis.
Verhess dan Meulenberg (2004) mengemukakan bahwa kawasan sentra
UKM memungkinkan pengembangan jaringan kerja sama antar institusi bisnis,
publik, perguruan tinggi, dan perbankan (Gambar 6). Akibatnya, pelaku bisnis di
sentra UKM mendapatkan berbagai kemudahan yang berkaitan dengan
pembiayaan dan permodalan, produksi dan pemasaran, serta penerapan teknologi
(Chrisman & Mullan 2004). Berbagai hal yang digambarkan dalam konteks
pengembangan di sentra UKM, memberikan acuan perlunya pengelolaan
kolektivitas dan kolegalitas dalam kawasan UKM.
Pengembangan kawasan UKM berbasis kawasan terpadu banyak dijumpai
di Indonesia, hampir semua provinsi mengembangkan sentra UKM dalam upaya
membangun sektor bisnis non formal tersebut agar kompetitif. Secara teoritis,
sentra UKM memiliki kesempatan tumbuh lebih besar dibandingkan UKM yang
tidak berada di kawasan terpadu. Anglomerasi keterampilan, pengembangan
43
manajemen, sistem kualitas, dan permodalan menjadi alasan yang memudahkan
kawasan terpadu lebih mudah berkembang. Selain kolektivitas internal dan
eksternal, kawasan memiliki posisi penting dalam pengembangan kekuatan nilainilai strategis.
Lembaga
Pendukung
Perusahaan Besar
Perbankan dan
Keuangan
Pemerintah Pusat
dan Daerah
Klaster UKM dan
jaringan internal
klaster UKM
Pemasok Klaster
UKM
Lembaga Diklat
Teknis
Universitas
Konsultan Jasa
Bisnis
Sumber: Verhess dan Meulenberg (2004)
Gambar 6 Jaringan kelembagaan dalam klaster UKM di Indonesia.
2.3
Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang
Kerupuk ikan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2713-2009
adalah suatu produk makanan kering, yang dibuat dari tepung pati, daging ikan
dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan. Kerupuk udang menurut SNI No. 01-2714-2009 adalah hasil olahan
dari campuran yang terdiri dari udang segar, tepung tapioka, dan bahan-bahan lain
yang dicetak, dikukus, diiris, dan dikeringkan.
Kerupuk merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Kerupuk biasa
dikonsumsi sebagai makanan kecil, makanan selingan ataupun lauk pauk
walaupun dalam jumlah yang sedikit. Kerupuk dikenal oleh semua usia maupun
tingkat sosial masyarakat. Kerupuk mudah diperoleh di berbagai tempat baik di
warung, supermarket maupun restoran. Kerupuk dapat dibedakan berdasarkan
bahan baku dan cara pengolahannya.
44
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), alur proses pengolahan kerupuk
(Gambar
7)
meliputi:
penyiapan
bahan
baku,
penyiangan,
pencucian,
penggilingan, pembuatan adonan, pencampuran adonan, pelembutan adonan,
pencetakan,
pengukusan,
pendinginan,
pemotongan,
penjemuran,
sortir,
pengemasan, dan penyimpanan.
Ikan/udang dibersihkan, dibuang tulang dan kulitnya,
dicuci kemudian dihaluskan
Tepung tapioka, garam, gula, telur dicampur
Ikan dan bumbu dicampur hingga merata
Pendinginan
Adonan tepung tapioka (tepung tapioka
yang diberi air dingin)
Pemotongan
Pencetakan
Penjemuran
Pengukusan
Pengepakan
Sumber: Afrianto dan Liviawaty (2005)
Gambar 7 Alur proses pengolahan kerupuk.
Berdasarkan bahan bakunya, kerupuk dapat dibagi menjadi kerupuk ikan,
kerupuk udang, kerupuk bawang dan jenis kerupuk lainnya sesuai dengan bahan
dasar pembuatannya. Menurut cara pengolahannya kerupuk dikelompokan atas
kerupuk yang digoreng dan kerupuk yang dipanggang atau dibakar.
Kerupuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kerupuk yang bersumber
protein baik protein nabati atau hewani dan kerupuk yang tidak bersumber dari
protein. Menurut Sukirno (2006), terdapat bermacam-macam jenis kerupuk yang
pembuatannya menggunakan bahan baku yang berbeda-beda. Jenis kerupuk
seperti namanya: kerupuk ikan merupakan kerupuk yang berbahan baku ikan; dan
kerupuk udang merupakan kerupuk yang berbahan baku udang atau kerupuk yang
45
berbahan baku ikan dengan esence udang, karena bila menggunakan bahan baku
udang harganya mahal.
Jenis ikan yang biasa digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah ikan
remang, tenggiri, pipih, dan ikan lainnya. Bahan baku pembuatan kerupuk, selain
ikan atau udang juga menggunakan bahan baku tambahan yaitu tepung tapioka,
terigu, telur, dan lain-lain. Bumbu juga digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan
dan udang untuk menambah rasa lezat dan gurih, adapun bumbu yang digunakan
adalah garam, gula, bawang putih, dan MSG/vetsin. Bahan tambahan lain yang
juga digunakan, zat pewarna/pemutih untuk memberikan warna agar lebih
menarik serta ditambah bahan pengembang (baking powder).
2.4
Daya Saing atau Competitive Advantage
Daya saing atau 'kemampuan untuk besaing' tidak tumbuh dengan
sendirinya, kalaupun ada yang berusaha menumbuhkan hal itu tidak bisa
dilakukan secara perorangan. Menurut Imawan (2002), dalam menumbuhkan daya
saing perlu penataan secara terpola dengan format yang jelas dan khas.
Porter (1994), diacu dalam Sumiharjo (2008) menyebutkan bahwa istilah
daya saing sama dengan competitiveness atau competitive, sedangkan istilah
keunggulan bersaing sama dengan competitive advantage. Daya saing adalah
suatu konsep yang umum digunakan di dalam ekonomi, yang biasanya merujuk
kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan, dan
keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara.
Dalam dua dekade terakhir, seiring dengan semakin mengglobalnya
perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari
konsep kunci bagi perusahaan termasuk UKM, negara dan daerah untuk berhasil
dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Lengyel
2005, Marcovics 2005). Selanjutnya dengan memakai konsep daya saing, Man et
al. (2002) membuat suatu model konseptual untuk menghubungkan karakteristik
pemilik UKM dan kinerja jangka panjang perusahaan/UKM.
Model konseptual (Man et al. 2002) untuk daya saing UKM tersebut, terdiri
dari empat unsur yaitu (1) ruang lingkup daya saing perusahaan; (2) kapabilitas
organisasi dari perusahaan; (3) kompetensi pengusaha/pemilik usaha; dan (4)
46
kinerja. Hubungan antara kompetensi pengusaha/pemilik usaha dan tiga unsur
lainnya merupakan inti dari model tersebut, dimana hubungan tersebut merupakan
tiga tugas prinsip pengusaha yaitu (1) membentuk ruang lingkup daya saing; (2)
menciptakan kapabilitas organisasi; dan (3) menetapkan tujuan-tujuan dan cara
mencapainya.
Menurut hasil studi Man et al. (2002), ada tiga aspek penting yang
mempengaruhi daya saing UKM yaitu (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2)
lingkungan eksternal; dan (3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Menurut
Tambunan (2004), dalam aspek internal ada tiga hal yang paling penting yaitu (1)
SDM (pekerja dan pengusaha/pemilik usaha), (2) ketersediaan atau penguasaan
teknologi, dan (3) organisasi dan manajemen. Aspek eksternal yang menyangkut
kinerja perusahaan adalah volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi pasar
(melayani hanya pasar domestik atau juga pasar luar negeri), atau diversifikasi
pasar (terkonsentrasi pada pasar tertentu atau menyebar ke pasar di banyak
wilayah).
Menurut Roquebert et al. (1996) dan Makhija (2003), konsep daya saing
dapat ditinjau pada tiga tingkatan. Pertama, negara atau daerah. Kedua, industri
atau kelompok industri. Ketiga, perusahaan atau firm level yang terbagi dua, yaitu
1) pandangan berbasis pasar atau market based view (MBV); dan 2) pandangan
berbasis sumber daya atau resource based view (RBV). Perspektif MBV dan RBV
ini merujuk pada keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan.
Simplifikasi dari pengertian daya saing (McFetridge 1995) adalah seperti
ditunjukkan pada Gambar 8. Pemaknaan daya saing pada tiap tingkatan saling
terkait secara erat. Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya
saing tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai
kondisi dan faktor yang ada pada suatu industri, daerah atau negara membentuk
konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah
yang bersangkutan.
47
Negara/Daerah
 Beragam definisi ~ perbedaan keberterimaan (acceptability) oleh
berbagai kalangan (misalnya akademisi, praktisi, pe mbuat kebijakan)
 “Pembedaan” pada beragam tingkatan:
- Perusahaan (mikro): definisi yang paling “jelas”
- Industri (meso): walaupun beragam, umumnya dapat dipahami:
pergeseran perspektif pendekatan “sektoral” pendekatan “klaster
industri”
- Ekonomi (makro): dipandang sangat penting, walaupun masih sarat
perdebatan dan kritik (latar belakang teori)
Mikro~Perusahaan
Memiliki
pengertian
yang
berbeda,
tetapi saling
berkaitan
Meso~Industri
Makro~Ekonomi
“Konteks
Telaahan”
(Perbandingan)/
Dimensi Teritorial/
Spasial
Kemampuan suatu perusahaan mengatasi
perubahan dan persaingan pasar dalam
memperbesar dan mempertahankan
keuntungannya (profitabilitas), pangsa
pasar, dan atau ukuran bisnisnya (skala
usahanya)
Kemampuan suatu industri (agregasi
perusahaan ~ “sektoral” ~ “klaster
industri”) menghasilkan produktivitas yang
lebih tinggi dari industri pesaing asingnya
Kemampuan/daya tarik (attractiveness);
kemampuan membentuk/menawarkan
lingkungan paling produktif bagi bisnis,
menarik talented people, investasi, dan
mobile factors lain, dan kinerja
berkelanjutan
“Tingkatan
Analisis”/
Dimensi “Sektoral”
Sumber: McFetridge (1995)
Gambar 8 Simplifikasi pengertian daya saing.
2.4.1 Daya saing pada tingkat makro (daerah)
Daya saing (competitiveness) merupakan salah satu kata kunci yang lekat
dengan pembangunan ekonomi lokal/daerah. Daya saing daerah menjadi salah
satu isu utama dalam pembangunan daerah. Konsep daya saing umumnya
dikaitkan dengan kemampuan suatu perusahaan, kota, daerah, wilayah atau
Negara dalam mepertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif secara
berkelanjutan (Porter 2000).
Camagni (2002) mengungkapkan, bahwa daya saing daerah kini merupakan
salah satu isu sentral terutama dalam rangka mengamankan stabilitas
ketenagakerjaan, dan memanfaatkan integrasi eksternal (kecenderungan global).
Beberapa hal tentang daya saing daerah:
48

Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi
dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup
bagi warga/penduduknya (Malecki 1999).

Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa
yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat
memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau
kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja
yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal (European
Commission 1999).

Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota
konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan
bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah
yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh
aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada
peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat,
menghasilkan standar hidup yang tinggi, serta virtuous cycle dampak
pembelajaran (Charles dan Benneworth 2000).

Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing
(eksternal) dan menentukan peran produktifnya . . . . (Camagni 2002).

Daya saing perkotaan (urban competitiveness) merupakan kemampuan suatu
daerah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan produk-produknya
yang serupa dengan produk dari daerah-daerah perkotaan lainnya (Webster
dan Muller 2000).

Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai
pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap
terbuka pada persaingan domestik dan internasional (Abdullah et al. 2002).

Penentu daya saing daerah adalah ekonomi makro (kebijakan ekonomi pusat,
kebijakan daerah), ekonomi meso (kondisi sumber daya alam, infrastruktur
teknis, infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, kebijakan pemerintah
daerah), ekonomi mikro (terkait perusahaan: ukuran perusahaan, ruang
lingkup aktivitas usaha, strategi yang diterapkan oleh perusahaan, situasi
ekonomi perusahaan, implementasi inovasi; dan terkait masyarakat: mobilitas
49
pasar kerja, perpindahan penduduk, kualifikasi profesional dari masyarakat)
(McFetridge 1995).
Gardiner et al. (2004) membuat model piramida daya saing regional dengan
mencari hubungan beberapa faktor utama yang dapat membangun daya saing
regional, yaitu mencakup faktor-faktor input, output dan outcome. Konsep ini
diaplikasikan PPSK Bank Indonesia-LP3E FE Unpad (2008) dalam pemetaan
daya saing ekonomi daerah pada 434 kabupaten/kota. Kemampuan daya saing
kota yang dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) dan kinerja perekonomian
(output).
Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari lima indikator utama,
yaitu (1) lingkungan usaha produktif, (2) perekonomian daerah, (3) ketenagakerjaan dan sumber daya manusia, (4) infrastruktur, sumber daya alam dan
lingkungan, (5) perbankan dan lembaga keuangan. Kinerja perekonomian (output)
mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per
kapita. Target outcome dari daya saing daerah adalah pertumbuhan yang
berkelanjutan.
Selanjutnya, pengembangan semangat berkompetisi adalah hal yang tidak
bisa dihindari dalam praktek pemerintahan modern. Prinsip-prinsip tentang
pemerintahan (reinventing government) menurut Osborne dan Gaebler (1993)
sarat dengan pesan agar pemerintah menciptakan suasana kompetitif, tidak saja di
kalangan masyarakat, terlebih lagi harus diciptakan di kalangan para birokrat
penyelenggara pemerintahan. Kompetisi, dengan demikian, tidak hanya terjadi
antara pemerintah dengan organisasi non-pemerintah. Tak kalah pentingnya
kompetisi juga harus diciptakan di antara aparat pemerintah sendiri untuk
memaksimalkan tiga fungsi dasar pemerintahan, yakni: pelayanan, pengaturan,
dan pemberdayaan secara cepat, tepat, dan dekat kepada masyarakat.
Menurut Tjokrowinoto (1996) pelaksanaan program-program pembangunan
sebagai salah satu aktivitas utama pemerintahan, bergeser dari menciptakan
penguasaan (dependency creating) ke arah memberikan kuasa (empowering)
(Tabel 4). Perubahan itu, membuat posisi masyarakat berubah dari penonton
menjadi pelaku pembangunan.
50
Tabel 4 Pilihan peran pemerintah dalam pengembangan daya saing
Karakter
Dependency Creating
Empowering
Prakarsa
Pusat (ibukota negara)
Lokal (Desa, Kabupaten)
Titik awal
Rencana formal
Pemecahan masalah
Desain program
Statis, didominasi pakar
Hasil diskusi kelompok masyarakat
Teknologi
Hasil pengenalan
Asli (setempat)
Sumber dana
Dana dan teknisi pemerintah pusat
Rakyat dan SDA lokal
Kesalahan
Diabaikan
Diterima (embraced)
Organisasi pendukung
Dibina dari atas
Dibina dari bawah
Pertumbuhan
Cepat, mekanistik
Tahap demi tahap (organik)
Pembinaan personil
Prajabatan, pendidikan formal, didaktik
Berkesinambungan, berdasarkan pengalaman
lapangan, belajar dari kegiatan lapangan
Diorganisir oleh
Technical specialist
Tim interdisipliner
Kepemimpinan
Terbatas, berubah-ubah posisional
Individual, kuat, berkelanjutan
Analisis
Untuk membenarkan rencana dan
memenuhi persyaratan evaluasi
Untuk definisi masalah dan perbaikan program
Fokus manajemen
pemerintahan
Selesainya proyek pada waktu yang telah
ditentukan
Kelangsungan berfungsinya sistem dan
kelembagaan
Evaluasi
Eksternal, selang-seling, impact oriented
Diri sendiri, berkesinambungan, process
oriented
Sumber: Tjokrowinoto (1996)
Masyarakat sebagai pelaku tidak sekedar diharapkan mampu menciptakan
aktivitas dan peluang yang diciptakannya sendiri, tetapi diharapkan pula tumbuh
kebiasaan berkompetisi. Anggota masyarakat terbiasa untuk bersaing, sehingga
memudahkan daerah atau negara bersaing dengan daerah atau negara lain.
Dampak
dari
perubahan
ini,
terhadap
demokratisasi
penyelenggaraan
pemerintahan.
Secara empirik hampir mustahil menerapkan kompetisi bebas dalam
masyarakat, apalagi dalam masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari
situasi otoritarian ke arah situasi demokratis. Elemen-elemen yang ada dalam
masyarakat sesungguhnya tidak berada di titik yang sama, di garis start yang
sama, saat transisi mulai bergulir. Perlindungan pemerintah pusat atau daerah
dalam bentuk regulasi masih diperlukan dan dibenarkan, sejauh regulasi itu tidak
mengurangi "ruang bebas" yang dibutuhkan masyarakat serta melindungi mereka
dari praktek monopoli maupun oligopoli (Steiner & Steiner 1994).
Berdasarkan paparan pendapat Osborne dan Gaebler, Moeljarto, Steiner dan
Steiner dapat disimpulkan bahwa peningkatan daya saing satu daerah dimulai
51
dengan komitmen pemerintah pusat atau daerah untuk secara serius menciptakan
iklim persaingan di antara warga negara maupun antar aparatur pemerintah.
Pemerintah harus mengambil porsi sedikit mungkin dalam dinamika sosial, tetapi
efektif melindungi kepentingan yang paling mendasar dari masyarakat luas
(Imawan 2002).
2.4.2 Daya saing pada tataran meso (industri atau kelompok industri)
Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari teori David Ricardo
tentang keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin (HO) tentang teori perdagangan
internasional (international trade) dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga
tentang daya saing industri (OECD 1996). Hadi (2004), menurut teori David
Riracdo (cost comparative advantage atau labor efficiency) didasarkan pada nilai
tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa nilai atau harga
suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam yang diperlukan untuk
memproduksinya.
Menurut teori HO, suatu daerah atau negara akan melakukan perdagangan
dengan daerah atau negara lain disebabkan daerah atau negara tersebut memiliki
keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor
produksi Halwani (2005). Basis dari keunggulan komparatif yaitu faktor
endowment (kepemilikan faktor produksi di dalam suatu daerah atau negara), dan
faktor intensity (teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, labor
intensity atau capital intensity).
Kajian daya saing pada tingkat industri, berkembang dalam dua perspektif
arus utama. Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu “sektor”
industri atau aktivitas ekonomi tertentu. Pandangan kedua, meletakkan industri
dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks
rangkaian mata rantai nilai tambah.
Perspektif pertama, daya saing industri merupakan daya saing rata-rata dari
agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu. Sebagian besar ukuran daya
saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya, produktivitas) dapat dianalisis
pada tingkat industri. Pandangan “sektoral” demikian juga merupakan pendekatan
“klasik” yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor ekonomi. Kedua,
52
daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai nilai tambah yang umumnya terjadi
“lintas sektor.”
Tambunan (2002) menyatakan, bahwa faktor-faktor keunggulan kompetitif
yang harus dimiliki oleh setiap industri untuk dapat bersaing di pasar dunia antara
lain penguasaan teknologi dan peningkatan inovasi, kualitas serta mutu yang baik
dari barang yang dihasilkan, memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di
luar negeri yang baik, dan tingkat kewirausahaan (enterpreneurship) yang tinggi.
2.4.3 Daya saing pada tataran mikro (perusahaan-firm level)
Daya saing pada tataran mikro yaitu dimana perusahaan akan membuat
suatu dinding penghalang, agar pesaing tidak dapat meniru daya saing yang
dimilikinya. Adanya daya saing tersebut, sehingga perusahaan mampu meraih
keuntungan dan manfaat dari sumber daya yang dimiliki mereka (Barney 1991)
serta nilai yang lebih tinggi (value) daripada pesaingnya (Makhija 2003).
Perkembangan teori daya saing telah menyajikan dua mahzab besar yaitu
market based view (MBV) dan resources based view (RBV). Baik MBV maupun
RBV, keduanya mengarah pada penciptaan keunggulan bersaing agar organisasi
sukses menjadi value creation yang superior. Perspektif MBV yang didukung oleh
Porter, daya saing dibangun atas dasar market attractiveness. Cara pandang
kemampuan perusahaan dalam mengantisipasi pasar, merupakan hal yang
esensial.
Porter telah mengembangkan model lima kekuatan (five forces model) yang
dapat digunakan sebagai pijakan didalam mengevaluasi dan merancang strategi
bersaing. Ungkapan “think like your competitor’s decision makers” seakan
menjadi tugas intelijen organisasi agar tidak ketinggalan berita atas apa yang telah
dilakukan pesaing dan apa yang dituntut konsumen. Kompetisi dalam teori Porter
ini bisa dievaluasi melalui lima kekuatan persyaratan (bargaining) antara lain
potensi pendatang baru dan barang substitusi, potensi pemasok dan pembeli serta
kompetisi yang timbul dalam struktur industri.
Kompetensi bersaing bisnis dalam MBV, dibangun melalui cara pandang
outside-in perspective. Dinamika eksternal menjadi pijakan dalam merancang
strategi keunggulan bersaing. Model Porter didasarkan pada wawasan, bahwa
53
strategi perusahaan harus memenuhi peluang dan ancaman konteks lingkungan
eksternal organisasi. Strategi bersaing harus berdasar pada struktur industri dan
cara mereka mengelola perubahan. Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan
kompetitif yang membentuk setiap industri dan setiap pasar. Kekuatan ini
menentukan intensitas persaingan, profitabilitas dan daya tarik suatu industri.
Tujuan strategi perusahaan diarahkan untuk memodifikasi kekuatankekuatan kompetitif dengan cara dan teknik tertentu yang bisa meningkatkan
posisi organisasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari analisis atas lima
kekuatan tersebut manajemen dapat memutuskan bagaimana mempengaruhi atau
mengeksploitasi karakteristik tertentu dari industri mereka untuk dipertemukan
dengan peluang dan tantangan potensial. Selajutnya, bargaining power yang bisa
dilakukan perusahaan akan sangat menentukan posisi kompetitif perusahaan.
Porter dalam perspektif ini, mengusulkan tiga pilihan strategi generik (low
cost, differensiasi dan fokus) sebagai pijakan keunggulan bersaingnya. Alasan
strategi low cost adalah adanya pemikiran bahwa konsumen selalu mengharapkan
benefit yang lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan atau biaya yang telah
dikeluarkan. Alasan strategi diferensiasi adalah konsumen suka terhadap produk
yang unik dengan feature yang mampu memenuhi kebutuhannya, sedangkan
fokus ditujukan agar perusahaan mampu membangun core produk menyesuaikan
dengan dua pilihan strategi sebelumnya (fokus pada low cost atau fokus pada
diferensiasi).
Penerapan kedua pilihan strategi utama (low cost dan diferensiasi) memang
sangat sulit diterapkan secara bersamaan, umumnya kedua jenis strategi tersebut
akan bersifat mutually exclusive. Pilihan untuk diferensiasi terkait dengan inovasi,
sedangkan inovasi membutuhkan investasi baru yang berujung pengerahan modal
yang lebih besar yang bisa bertentangan dengan tujuan low cost. Sebenarnya tidak
akan masalah jika produk perusahaan adalah lebih mahal dibandingkan dengan
apa yang pesaing tawarkan. Asalkan perusahaan sudah membangun loyalitas,
kepercayaan dan persepsi kualitas dalam diri pelanggan.
Implikasi dari model seperti yang digambarkan diatas, akan menjadi
perubahan dalam kompetisi yang tidak didasarkan pada harga tetapi pada value
creation kepada pelanggan. Munculnya interdependensi antar kelima faktor
54
kekuatan kompetisi tersebut, membantu perusahaan dalam memahami struktur
industri dan sekaligus mengarahkan potensi persaingan menuju kompetisi secara
sehat. Implikasi model terhadap masa depan kompetisi perusahaan seperti yang
digambarkan di atas, juga akan mendorong perusahaan secara bertahap selalu
mencari mitra yang lebih menguntungkan. Peluang outsourcing, merger, franchise
dan bentuk kerja sama lain telah menjadi resources baru bagi perusahaan untuk
memperkuat
market
positition
agar
perusahaan
tetap
going
concern.
Selanjutnya, dalam konteks inilah kemampuan perusahaan dalam menggunakan
potensi bargaining akan memperkuat kemampuan bersaingnya.
Pemikiran Porter ini memang sangat powerfull digunakan sebagai pijakan
mendesain strategi kompetitif suatu perusahaan, meskipun dalam teori ini masih
sangat minim disinggung tentang pentingnya kapabilitas organisasi. Karya Porter
dalam buku Competitive Advantage tersebut, fokus bahasan hanya diarahkan pada
analisa industri dan kompetitor beserta beragam teknik menyikapi tantangan yang
ada pada masing masing kuadran life cycle perusahaan. Porter masih belum
menyinggung kapabilitas resources yang saat ini dipikirkan banyak organisasi
untuk dikembangkan secara berkelanjutan sebagai keunggulan bersaingnya.
Sumber daya atau resources organisasi sebagai komponen daya saing yang
tidak banyak disinggung dalam teori Porter ini, telah membuka peluang bagi
pemerhati masalah strategi bisnis untuk mengembangkan cara pandang RBV
dalam mendesain strategi bersaing. MBV yang didukung oleh Porter berpijak
pada market attractiveness memang masih menyisakan kelemahan, ketika
perusahaan hanya diorientasikan pada outside-in perspective. Artinya, kompetitor
juga bisa melakukan hal yang sama karena obyeknya relatif sama.
Beranjak dari celah tersebut, telah menggugah para pemikir strategi bisnis
untuk melakukan penguatan melalui inside-out perspective. Kompetensi khusus
seperti apa yang dimiliki organisasi menjadi dasar utama menciptakan keunggulan
bersaing. Cara pandang RBV seakan melengkapi cara pandang MBV yang
menekankan pentingnya kapabilitas internal dalam menciptakan distinctive
competencies, sebagai amunisi utama melakukan kompetisi di arena persaingan
pasar yang sangat attractive tersebut.
55
Perspektif RBV yang didukung oleh Barney dan Prahalad, keunggulan
bersaing dibangun melalui kompetensi khusus (distinctive competencies) yang
terbentuk melalui kapabilitas organisasi. Kapabilitas organisasi terbentuk dari
sumber daya yang dimiliki oleh organisasi baik tangible maupun intangible dan
juga sumber daya manusia. Perspektif RBV ini, strategi perusahaan adalah
mencetak pasar sebagai pelopor produk. Keunggulan atau kekuatan perusahaan,
sebagai penopong utama keunggulan bersaing melalui firm spesific factor yang
tidak bisa dimiliki oleh kompetior kepada pengguna. Inilah bentuk value creation,
yang pada akhirnya bisa menjadi andalan perusahaan memenangkan persaingan.
1)
Pandangan berbasis pasar (market based view)
Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa
teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparatif tidak
mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh
keunggulan daya saing/competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di
negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan
industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan
memperoleh CA karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat
dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta
pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai
nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi
kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif
melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau
kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan diamond model (DM) yang
terdiri dari empat determinan (faktor-faktor yang menentukan) national
competitive advantage (NCA). Empat atribut ini adalah factor conditions, demand
conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and
rivalry.
Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor
produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur.
Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh
dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage)
56
seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya)
memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.
Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap
berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti
ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini
didorong oeh adanya permintaan barang dan jasa berkualitas serta adanya
kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan.
Related and supporting industries, mengacu pada tersedianya serangkaian
dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan
dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada peningkatan daya saing
perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini
dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya
potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer
sehingga semakin meningkatkan market power.
Firm strategy, structure and rivalry, mengacu pada strategi dan struktur
yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada industri
tertentu. Faktor Strategi dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan
pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan,
sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluang dan
prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana
personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi, struktur
dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi
mendorong inovasi.
Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang
dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud,
bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki
memberikan
fasilitasi,
katalis,
dan
tantanan
bagi
industri.
Pemerintah
menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu.
Hal-hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa
subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor
conditions, serta menegakkan standar industri.
57
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitaan daya saing
yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik menstimulasi tumbuhnya
industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated)
yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga
mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan
antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung
negara dan sebaliknya.
Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam
persaingan yang ketat perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, harga yang
tinggi, produk dengan biaya yang rendah, dan bukan kedua-duanya. Berdasarkan
prinsip tersebut, maka Porter menyatakan ada tiga strategi generik yaitu
differentiation, overall cost leadership dan focus. Menurut Porter strategi
perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda-beda dan dalam
berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya
digunakan oleh perusahaan dalam bersaing, yaitu: spesialisasi, identifikasi merk,
dorongan versus tarikan, seleksi saluran, mutu produk, kepeloporan teknologis,
integrasi vertikal, posisi biaya, layanan, kebijakan harga, leverage, hubungan
dengan perusahaan induk, dan hubungan dengan pemerintah.
2)
Pandangan berbasis sumber daya (resource based view)
Dalam perspektif pandangan berbasis sumber daya (resource based view -
RBV), Wernerfelt (1984) mengembangkan teori keunggulan kompetitif (theory of
competitive advantage) berdasarkan sumber daya yang diperluas atau diperoleh
untuk mengimplementasikan strategi pemasaran produk. Teori dari Wernerfelt
tersebut merupakan pelengkap atau pengganda (dual) dari teori Porter (1980)
mengenai keunggulan bersaing berdasarkan posisi pemasaran produk perusahaan.
Martyn dan Ken (1999) menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan
merupakan penggunaan sumber daya yang memiliki nilai nyata (tangible) dan
tidak nyata (intangible). Intangible asset terdiri dari pengetahuan personal dari
individu dan pengetahuan kolektif pada struktur perusahaan, baik secara internal
maupun eksternal. Pengetahuan yang dimaksud secara nyata (tangible) berada
pada dinamika perusahaan, seperti rutinitas inovatif dan hasil, termasuk
reputasinya.
58
Setelah perusahaan memiliki distinctive capabilities, maka perusahaan akan
mencapai kompetensi inti (core competence). Kompetensi inti adalah pengetahuan
kolektif perusahaan tentang cara mengkoordinasikan beragam keterampilan dan
teknologi produksi yang dimiliki perusahaan (Prahalad & Hamel 1990).
Selanjutnya, menurut Barney dan Clark (2007), perusahaan yang memiliki
pandangan berbasis RBV harus memiliki sumber keunggulan kompetitif untuk
mencapai produk inti (core product). Sumber keunggulan kompetitif tersebut
meliputi (1) budaya (culture), (2) kepercayaan (trust), (3) sumber daya manusia
(human resources), dan (4) teknologi informasi (information technology).
Berbeda dengan pendapat Barney, Martin et al. (1983), diacu dalam Fitriati
2012) berpendapat tidak semua organisasi yang telah memiliki budaya dengan
ketiga atribut karakteristik di atas memiliki keunggulan bersaing yang
berkelanjutan. Budaya organisasi dengan tiga karakteristik di atas mungkin dapat
diterapkan secara efisien terhadap pegawai, pelanggan, dan pemasoknya dan
mungkin juga dapat gagal diterapkan (Deal & Kennedy 1982, diacu dalam Fitriati
2012).
Selanjutnya, Graig dan Grant (1993) mendefinisikan sebuah kemampuan
daya saing atau kompetensi merupakan sumber daya yang berasal dari sumber
daya nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible), termasuk finansial, fisik,
manusia, teknologi, reputasi, dan hubungan yang dimiliki oleh perusahaan.
Melengkapi pernyataan Graig dan Grant, Aaker (1989) mengungkapkan bahwa
adanya aset dan keterampilan dari sebuah perusahaan merupakan inti dari
manajemen stratejik. Hal tersebut perlu dikelola dan dikembangkan, sehingga
dapat menjadi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Martyn dan Ken (1999)
menyatakan, bahwa daya saing dapat digambarkan dengan adanya sesuatu yang
berbeda, spesifik, dan aset yang susah dicontoh dalam sebuah perusahaan,
sehingga dapat menghasilkan keunggulan bersaing dalam sebuah perusahaan.
Tambunan (2009) menyatakan daya saing sebuah perusahaan tercerminkan
dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Faktor-faktor
penentu daya saing perusahaan/UKM adalah keahlian atau tingkat pendidikan
pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan
manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi,
59
ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi, bahan
baku, dan lain-lain.
Menurut Tambunan (2008b), UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan
oleh (1) kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume
produksi,
(2)
pangsa
pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu
meningkat, (3) untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja
tetapi juga nasional, dan (4) untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di
satu negara tetapi juga banyak negara. Dalam mengukur daya saing UMKM
harus dibedakan antara daya saing dan daya saing perusahaan.
Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang
menghasilkan produk tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk
mengukur daya saing sebuah produk diantaranya (1) pangsa ekspor per tahun (%
dari jumlah ekspor), (2) pangsa pasar luar negeri per tahun (%), (3) laju
pertumbuhan ekspor per tahun (%), (4) pangsa pasar dalam negeri per tahun
(%), (5) laju pertumbuhan produksi per tahun (%), (6) nilai atau harga
produk, (7) diversifikasi pasar domestik, (8) diversifikasi pasar ekspor, dan (9)
kepuasan konsumen.
2.5
Soft System Methodology (SSM)
Soft systems methodology (SSM) diperkenalkan oleh Peter Checkland di
Universitas Lancaster, Inggris pada tahun 1981. SSM dikembangkan untuk
menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas
manusia, misalnya konflik (Martin et al. 2008). SSM merupakan kerangka kerja
(frame work) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi
dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Martin et al. 2008). Esensinya
adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara
mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005).
SSM merupakan sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti (siklik),
yang menggunakan model sistem aktivitas manusia. Model ini, dengan melibatkan
secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam situasi masalah melalui
persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan tindakan yang terarah
dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai aktor yang berbeda.
60
SSM menyediakan pendekatan yang koheren terhadap pemikiran kelompok dan
individual mengenai konteks, kompleksitas dan ambiguitas kebijakan (Chapman
2004).
SSM berparadigma interpretative (Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et
al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan
konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan
pengguna. SSM telah digunakan di banyak bidang dan konteks termasuk di
dalamnya manajemen perubahan, perencanaan sistem kesehatan dan medis,
perencanaan sistem informasi, manajemen sumber daya manusia, analisis sistem
logistik, dan pengembangan sistem pakar (Maqsood et al. 2001).
Beragamnya bidang pemanfaatan SSM menunjukkan handalnya pendekatan
ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas
interaksi manusia. Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal,
makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran SSM dalam
bidang manajemen.
SSM juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumber daya alam
dan lingkungan. Dalam bidang ini Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan
pendekatan SSM untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India.
Bunch
(2003)
menyatakan,
mampu
membuat
rekomendasi
pengelolaan
lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999), menganalisis dampak
lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Meskipun demikian menurut
Eriyatno (2003), Eriyatno dan Sofyar (2007), SSM masih jarang digunakan oleh
peneliti dan praktisi di Indonesia.
Pada awalnya pendekatan SSM ini terlihat sebagai alat pemodelan biasa,
tetapi setelah adanya pengembangan, pendekatan itu telah meningkat sebagai alat
pembelajaran dan alat pengembangan sebagai pembantu dalam mengartikan
masalah. SSM adalah sebuah metodologi untuk menganalisis dan pemodelan
sistem yang mengintegrasikan teknologi (hard sistem) dan human (soft sistem).
SSM adalah pendekatan untuk pemodelan proses di dalam organisasi dan
lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan,
dimana organisasi pembelajaran itu sendiri merupakan manajemen perubahan.
SSM adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem.
61
Pengembangan model sistem tersebut dilakukan dengan penggalian masalah yang
tidak terstruktur, mendiskusikan secara intensif dengan pihak terkait dan
melakukan penyelesaian masalah secara bersama.
Model SSM telah mengalami sejumlah revisi dan modifikasi selama 1981
hingga 1990, namun model original tujuh tahap merupakan model yang umum
digunakan dan akan digunakan dalam tulisan ini. Tujuh tahap tersebut merupakan
sejumlah ilustrasi yang disuling dari suatu proses iteratif sehingga dalam
prakteknya, proses dapat dimulai dari mana saja.
Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa SSM merupakan suatu
proses yang berlanjut namun tahapan-tahapan dalam SSM tidak bersifat kaku
sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dalam pelaksanaannya. Biasanya dalam
penggunaannya tidak terpaku, bahwa proses itu harus sekuensial maju, namun
gerakan setiap tahapan dalam SSM bisa maju atau mundur ke setiap tahapan
(Brocklesby 1995). Penelitian dapat dimulai pada setiap tahapan dengan interaksi
dan penelusuran ulang sebagai komponen penting (Maqsood et al. 2001).
Ketujuh tahapan tersebut menurut Checkland dan Poulter (2006) adalah:
Tahap I: Memahami situasi permasalahan tidak terstruktur
Tahap pertama problem situation considered problematic adalah tahap dimana
masalah terlihat tidak berstruktur dengan jelas, masalah tersebut begitu kompleks
ada begitu banyak messy didalamnya, masalah tersebut memiliki banyak
perspektif atau view.
Tahap II: Menyusun gambaran situasi permasalahan (rich picture)
Tahap kedua problem situation expressed, dalam tahap ini masalah telah
diungkapkan secara terstruktur melalui tiga analisis. Pertama adalah berupa
intervention analysis yaitu menentukan client (orang atau sekelompok orang yang
menyebabkan intervensi terjadi), problem solver atau partitioners (orang atau
sekelompok orang yang akan melakukan transformasi), problem owner (orang
atau sekelompok orang yang berkepentingan atau mendapat pengaruh dari
masalah maupun mendapat pengaruh dari penyelesaian masalah atas transformasi
yang nantinya dilakukan). Kedua adalah berupa social system analysis yaitu
menginvestigasi tiga hal penting dalam diri problem owner yaitu roles, norms dan
value.
Ketiga
adalah
berupa
political
systems
analysis
yaitu
untuk
62
menginvestigasi kuasa atau power yang ada dalam situasi tersebut, kekuasaan dari
problem owner seperti apa harus diketahui dengan jelas.
Tahap selanjutnya masih dalam tahap (2), akan menghasilkan rich picture yaitu
sebuah tahap dimana peneliti dan pembimbing sebagai problem solver
mendeskripsikan kompleksitas masalah yang ada (gambaran yang detail dan
kaya). Rich picture tersebut juga akan menjadi jalan awal bagi peneliti untuk
menentukan relevan system dalam persoalan tersebut.
Checkland dan Poulter (2006) menyatakan, bahwa gambar pada rich picture
menunjukkan hubungan dan penilaian, pencarian simbol untuk menyampaikan
‘perasaan’ mengenai situasi, dan mengindikasikan hubungan yang relevan dengan
solusi dari situasi permasalahan.
Gambaran yang detail dan kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang
mampu menjelaskan hubungan struktur dan proses organisasi dikaitkan kondisi
lingkungan (environment) organisasi. Struktur mencakup denah fisik, hierarki,
struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Proses
mencakup aktivitas dasar organisasi, seperti alokasi sumber daya, pelaksanaan
monitor dan kontrol. Hubungan antara struktur dan proses kemudian diwujudkan
dalam bentuk masalah, tugas-tugas dan elemen-elemen lingkungan yang dapat
dimengerti dengan mudah.
Tahap III: Menyusun definisi permasalahan (root definitions)
Tahap ketiga root definition of relevant purposeful activity systems, merupakan
tahap dimana peneliti akan membangun definisi akar permasalahan yang
mencakup pandangan tertentu terhadap situasi masalah sesuai dengan perspektif
yang relevan. Root definitions (RDs) ditulis berdasarkan semua informasi tentang
organisasi yang telah dikumpulkan, dieksplorasi, dan dibahas melalui tahapan
proses SSM sebelumnya. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan dalam
menyusun RDs menggunakan rumus umum PQR, yaitu mengerjakan P dengan Q
untuk mewujudkan R. Dimana PQR menjawab pertanyaan apa, bagaimana, dan
mengapa.
Selanjutnya, dalam tahap ini relevan sistem akan dikendalikan oleh CATWOE
(Tabel 5). CATWOE adalah C atau customers yaitu penerima manfaat dari proses
transformasi. A atau actors yaitu siapa yang melakukan transformasi. T atau
63
transformation process yaitu konversi dari input menjadi output. W atau
welltanschauung yaitu worldview yang membuat transformasi berarti dalam
konteks. O atau owners yaitu orang yang bisa menghentikan transformasi, dan E
atau environment constrains yaitu elemen di luar sistem yang mempengaruhi
proses transformasi.
Tabel 5 Analisis root definitions
C (Customer)
Who would be the victims/beneficiaries of the purposeful activity?
A (Actors)
Who would do the activities?
T (Transformation
Process)
What is the purposeful activity expressed as Input ------------------------------Transformation----------------------Output?
W (Weltanschauung)
What view of the world makes this definition meaningful?
O (Owner)
Who could stop this activity?
E (Environmental
Constraints)
What constraints in its environment does this system take as given?
Sumber: Checkland dan Poulter (2006)
Tiga kriteria bagaimana proses transformasi ini sebaiknya dilaksanakan sebagai
berikut:
-
efficacy (apakah langkah yang dilaksanakan (means) mendukung hasil akhir?)
-
efficiency (apakah sumber daya yang penting dan minimum diperhatikan?)
-
effectiveness (apakah proses transformasi dapat membantu mempertahankan
tujuan untuk jangka panjang dan ada kaitannya dengan output?)
Tahap IV: Membuat model konseptual
Tahap keempat conceptual models of the system (holons) named in the root
definition adalah tahap dimana peneliti akan membuat model konseptual yang
memaparkan bekerjanya sistem sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Sistem
dalam tahap ini, menggambarkan input dan output dalam transformasi yang
menjadi tujuan.
Model konseptual yang dibangun dalam tahapan ini tanpa merujuk pada fakta
lapangan (real world), tetapi dibangun dari ide/gagasan peneliti berdasarkan teori
yang digunakan (Nee 2003) dan aturan formal yang berlaku, sehingga gagasan
systems thinking menjadi penting dalam tahapan ini. Menurut Checkland, berpikir
serba sistem (systems thinking) didasari atas dua pasang gagasan, yaitu emergent
64
properties berpasangan dengan hierarchy (disebut juga layer structure dalam
Checkland dan Poulter 2006), dan communication berpasangan dengan control
(Checkland & Scholes 1990). Selanjutnya, dua pasang gagasan ini membutuhkan
sistem untuk keberlangsungan hidup sistem tersebut.
Checkland dan Poulter (2006) menyarankan, bahwa dalam pembuatan model
konseptual menggambarkan kegiatan sistem dimana elemen-elemen adalah kata
kerja aktif dan kata benda yang bisa diukur. Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan
root definition dan struktur kata kerja mengacu pada logic base (Checkland dan
Scholes 1990).
Tahap V: Membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan
Tahapan kelima comparison
of
models
and real
world
yaitu
tahap
membandingkan model konseptual yang dibuat dengan fakta lapangan. Selain
membuat matriks yang berguna dalam membandingkan, peneliti juga akan
melakukan diskusi dan debat ke berbagai pihak terkait, khususnya yang
menangani persoalan atau yang berkaitan dengan model tersebut.
Jackson (2003) menyatakan bahwa untuk menghasilkan perdebatan mengenai
perubahan yang meningkatkan situasi problematik, maka perlu dilakukan
komparasi antara model konseptual dan fakta lapangan
Checkland dan Poulter (2006) mengingatkan, bahwa tahap ini bukanlah
dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematik fakta lapangan
dibandingkan dengan model konseptual yang “sempurna”. Jadi, model konseptual
merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni
sementara fakta lapangan diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan di
dalam diri satu orang yang terus mengalami perubahan, baik perubahan lambat
maupun perubahan cepat.
Checkland dan Scholes (1990) mengungkapkan, empat cara untuk melakukan
perbandingan yaitu dengan diskusi formal, mempertanyakan secara formal,
menulis skenario berdasarkan pengoperasian model, dan mencoba untuk membuat
model fakta lapangan dalam struktur yang sama dengan model konseptual.
Tahap VI: Menentukan perubahan yang diinginkan
Tahap keenam changes, systematically desirable, culturally feasible yaitu tahap
dimana peneliti akan melakukan diskusi dan debat terhadap perubahan yang
65
diinginkan dengan berbagai pihak terkait. Perubahan tersebut secara teknik
merupakan sebuah kondisi yang semakin baik. Sedangkan perubahan yang
feasible adalah apakah secara budaya perubahan tersebut cocok. Perubahan
tersebut berupa 1) perubahan prosedur, 2) perubahan struktur, dan 3) perubahan
sikap dan budaya.
Checkland
dan
Poulter
(2006)
menyarankan,
tiga
aspek
yang
mesti
dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau perubahan
yaitu 1) perubahan yang berkaitan dengan struktur, 2) perubahan yang berkaitan
dengan proses atau prosedur, dan 3) perubahan yang berkaitan dengan sikap. Pada
tahap enam ini, dilakukan melalui diskusi diantara para pihak yang
berkepentingan
sehingga
dapat
diidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua
pihak.
Tahap VII: Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan
Tahap ketujuh action to improve the problem situation, yaitu melakukan aksi
dalam perbaikan yang dilakukan terhadap situasi masalah. Proses implementasi
ini mencakup sejumlah langkah 1) siapa yang akan bertanggungjawab dalam aksi,
2) dimana dan kapan aksi itu akan dilaksanakan, dan 3) bagaimana dengan time
table. Perubahan sikap dan perilaku dibutuhkan untuk menghasilkan pengaruh
terhadap sistem. Tahapan ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab untuk
memformulasikan konsep menjadi aksi nyata.
Tahap 1, tahap 2, dan tahap 5 termasuk dalam tahap pencarian (finding out),
tahap 3 dan tahap 4 termasuk dalam tahap berpikir sistem (system thinking), dan
terakhir tahap 6 dan tahap 7 termasuk dalam tahap mengambil tindakan (taking
action). Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu
diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. Secara singkat proses metode SSM
terlihat dalam Gambar 9.
66
1
7
Memahami situasi
permasalahan yang tidak
terstruktur
Melakukan langkah
tindakan untuk perbaikan
2
6
5
Menyusun situasi
permasalahan
(rich picture)
Menentukan perubahan
yang diinginkan
Membandingkan 4 & 2
Situasi fakta lapangan
Berpikir sistem
3
Menyusun definisi permasalahan
(root definitions)
4
Membuat model
konseptual
Sumber: Chekland dan Poulter (2006)
Gambar 9 Proses dasar SSM.
2.6
Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan
Menurut Barney (2007), keunggulan kompetitif yang berkelanjutan terjadi
pada level perusahaan atau tataran mikro. Pada konteks penelitian, fakta lapangan
(real word) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di
Indramayu bersifat kompleks, messy, dan menggambarkan sistem aktivitas
manusia (human activity systems). Berdasarkan kondisi tersebut, maka daya saing
UKM dalam penelitian ini menggunakan tiga tingkat yaitu tataran makro, meso,
dan mikro.
Nee (2005), mengganggap institusi makro melahirkan kepercayaan (trust)
dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya, melalui new institutionalisms in economy
and sociology (NIES) pada Gambar 10, Nee menjelaskan bagaimana institusi
berinteraksi dengan jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk mengarahkan
tindakan-tindakan ekonomi secara langsung.
NIES memiliki fokus untuk menjelaskan cara kerja keyakinan, norma, dan
institusi dalam kehidupan ekonomi. NIES juga hadir untuk menentukan dan
menjelaskan mekanisme sosial yang turut menentukan hubungan antara kelompok
67
sosial formal dan informal dalam struktur institusional yang dipantau dan
ditegakkan oleh organisasi dan negara. NIES telah memberikan kontribusi untuk
menjelaskan munculnya aturan resmi keinstitusian yang membentuk perilaku
ekonomi (Nee 2005).
Sumber: Nee (2005)
Gambar 10 Model dari NIES.
Model NIES menunjukkan mekanisme kausal yang beroperasi di kedua
arah, dari makro ke mikro dan mikro ke tingkat makro analisis (Nee 2005).
Mekanisme kausal penting dalam analisis ekonomi untuk menentukan struktur
insentif organisasi dan perusahaan, seperti halnya dalam peraturan yang mengatur
hak milik, pasar, dan perusahaan yang terintegrasi dengan aturan formal dan
informal di level meso (organisasi) dan level mikro (kelompok sosial dan
individu). Setiap tataran, memiliki analisis hubungan kausal yang berbeda dengan
institusi yang terkait di dalamnya.
2.6.1 Tataran Makro
The new institutionalism in economics and sociology menganalisis cara
hubungan interpersonal dalam perusahaan dan pasar berinteraksi dengan
pengaturan kelembagaan formal. Institusi tidak hanya mencakup kendala formal
68
dan informal yang menentukan struktur insentif, seperti yang didefinisikan oleh
North (1990). Pada dasarnya, institusi melibatkan aktor baik individu atau
organisasi, yang mengejar kepentingan nyata dalam institusional.
Menurut North (1990), sebuah institusi didefinisikan sebagai a system of
interelated informal and formal elements custom, shared beliefs, conventions,
norms, and rules governing social relationships within actors pursue and fix the
limits of legitimate interests. Institusi dapat meliputi struktur sosial yang
menyediakan saluran untuk tindakan kolektif dalam memfasilitasi dan mengatur
kepentingan aktor, serta menegakkan hubungan agen utama. Nee (2005)
menjelaskan bahwa perubahan institusional tidak hanya melibatkan pembaharuan
aturan formal, tetapi memerlukan penataan kembali kepentingan, norma, dan
kekuatan.
Nee (2005) menjelaskan bahwa lingkungan institusional (seperti aturan
regulasi formal yang dipantau dan ditegakkan oleh negara yang mengatur hak
milik, pasar dan perusahaan) dapat menjadi kendala pada perusahaan dalam
mekanisme pasar dan peraturan negara, sehingga hal tersebut akan membentuk
struktur insentif. NIES menggabungkan dan mengintegrasikan mekanisme
pengawasan dan penegakan hukum aturan formal dengan mekanisme pasar.
Mekanisme pasar skematis yang direpresentasikan oleh gambar tanda panah
ke bawah (lihat Gambar 10) dari lingkungan institusional meliputi pasar tenaga
kerja, pasar modal, bahan baku pasar material, dan sebagainya. Kerangka
institutional (institutional framework) meliputi aturan formal dari lingkungan
institusional dan aturan informal yang tertanam dalam hubungan sosial yang
sedang berlangsung, yang berinteraksi untuk membentuk perilaku ekonomi (Nee
2005).
2.6.2 Tataran Meso
Aspek lain dari New Institutional Economics (NIE) berfokus pada perjanjian
yang dibuat oleh individu-individu tertentu untuk mengatur hubungan mereka.
Williamson (1996) menyebut pengaturan kelembagaan tersebut sebagai tata kelola
lembaga (governance institution). Perusahaan, birokrasi, dan organisasi dianggap
69
sebagai sebuah tata kelola (governance), dimana dalam tata kelola terjadi
transaksi atau interaksi antara individu.
Transaksi dengan pihak luar dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan yang
tingkatannya lebih tinggi. Perubahan pada lingkungan kelembagaan berpengaruh
pada transaksi yang terjadi antara individu dalam tata kelola. Transaksi dalam
suatu tata kelola juga dipengaruhi oleh sifat individu yang cenderung oportunis
dan dibatasi rasionalitas yang ada.
Williamson (1994) mengatakan, bahwa tata kelola perusahaan berkaitan
dengan masalah oportunisme dan mengurangi risiko penyimpangan kinerja agen.
Berkaitan dengan oportunisme dan penyimpangan kinerja agen dalam organisasi,
konsep rent seeking dan opportunistic behavior dapat menjelaskan fenomena ini.
Rent seeker merupakan individu yang menggunakan undang-undang dan
peraturan pemerintah untuk mentransfer kekayaan (sewa) untuk diri mereka
sendiri (Johnsen 1991).
Sehubungan dengan teori kelembagaan, suatu kelembagaan dianggap dapat
mempengaruhi keberhasilan rent seeking. Becker (1983) mengajukan gagasan
mengenai teori kepentingan pribadi (private interest) berkaitan dengan konsep
rent seeking. Konsep rent seeking memiliki analisis penekanan pada insentif bagi
pihak swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan mencari sewa.
Terkait dengan perusahaan sebagai suatu organisasi non profit dalam level
meso, organisasi melalui tindakan kolektif melobi perubahan aturan formal yang
lebih sesuai dengan kepentingan organisasi (Nee 2005). Asosiasi dan pelobi
profesional dapat bertindak sebagai agen mewakili kepentingan individu di level
mikro.
Selanjutnya dalam pasar kompetitif, tekanan pada perusahaan-perusahaan
yang lolos dari proses seleksi memerlukan sebuah tindakan strategis, berbeda
dengan tekanan legitimasi pada orientasi organisasi non profit yang tergantung
pada pemerintah dalam hal sumber daya. Upaya organisasi mendapat legitimasi
sebagai penggerak yang mendorong konformitas dengan aturan kelembagaan dan
praktik melalui pemaksaan, normatif, dan mekanisme.
Legitimasi penting untuk perusahaan sebagai wujud dalam investasi
perusahaan dalam mempromosikan merek, nama pengakuan, reputasi untuk
70
keandalan dan kualitas layanan atau produk dan kebutuhan hukum pada negara
yang didorong oleh kepentingan kelangsungan hidup perusahaan dan profitabilitas
di pasar yang kompetitif. Bagi organisasi non profit, legitimasi merupakan modal
sosial (social capital) penting yang meningkatkan peluang untuk mengoptimalkan
akses ke sumber daya langka. Baik organisasi profit atau non profit, legitimasi
dapat dilihat sebagai kondisi yang memungkinkan organisasi untuk meningkatkan
peluang kelangsungan hidup mereka dan keuntungan yang terjamin di pasar
ekonomi dan politik.
2.6.3 Tataran Mikro
Granovetter (2005) dalam artikelnya “Economic Action Social Structure”
menunjukkan, bahwa aktor tidak akan berperilaku atau memutuskan tindakan
sebagai atom yang berada di luar konteks sosial. Tindakan aktor selalu bertujuan
yang embedded dengan konkrit dalam sistem relasi sosial yang sedang
berlangsung. Granovetter berpandangan bahwa hubungan sosial, daripada
pengaturan institusional atau moralitas umum (misalnya keyakinan bersama dan
norma), bertanggungjawab dalam produksi, kepercayaan dalam kehidupan
ekonomi.
Nee
(2005)
menjelaskan
model
kausal
dalam
NIES
dengan
mengintegrasikan temuan mikro berdasarkan rasionalitas sebagai konteks terikat,
dipengaruhi oleh hubungan sosial dan norma, dengan kerangka ekonomi
institusional. Berkaitan dengan spesifikasi mekanisme tingkat mikro, sosiologi
organisasi
menekankan
tindakan
organisasi
berorientasi
untuk
meniru,
menyesuaikan, dan decaupling. Selanjutnya, peraturan-peraturan dipantau dan
ditegakkan oleh negara, seperti halnya pada kerangka organisasi yang mendasari
struktur sosial dari lingkungan kelembagaan.
Nee (2005) mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal
dan informal pada setiap level kausal (mikro, meso, dan makro) berupa
lingkungan kebijakan (policy environment). Pada akhirnya, pendekatan NIES
telah membuka pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan kelembagaan pada
tiga tingkat (makro, meso, dan mikro) yang turut mempengaruhi perilaku
ekonomi.
71
2.7
Riset Tindakan (Action Research)
Menurut Creswell (2010) dalam kaitannya dengan strategi penelitian
kualitatif, mengkategorikan penelitian ini sebagai penelitian studi kasus riset
tindakan. Denzin dan Lincoln (2000) memasukkannya, pada jenis penelitian riset
tindakan. Riset tindakan, menawarkan berbagai fitur yang menyumbangkan alat
yang sangat kuat (powerful tool) bagi para peneliti yang tertarik dalam penelitian
mengenai kajian manusia, teknologi, informasi, dan sosial-budaya. Tidak seperti
pendekatan penelitian lainnya, seperti percobaan laboratorium, yang berjuang
untuk mempertahankan relevansinya terhadap fakta lapangan, “laboratorium” riset
tindakan adalah fakta lapangan (real world) itu sendiri.
Burns (2005) melakukan klasifikasi pada tiga jenis riset tindakan, yaitu 1)
riset tindakan teknis atau technical AR, 2) riset tindakan praktis atau practical AR,
dan 3) riset tindakan kritis atau critical AR (Tabel 6). Pelaksanaan dalam
penelitian riset tindakan dimulai dengan perencanaan, eksekusi (intervensi),
observasi, dan refleksi, sebelum akhirnya peneliti akan kembali membuat
perencanaan dan terlibat dalam siklus baru (Checkland 1991; Zuber-Skerrit 1991;
Dick 1993).
Perencanaan yang dibuat peneliti, secara tipikal, harus berkaitan dengan
masalah sosial atau praktis daripada berkaitan dengan pertanyaan teoretis
(Kemmis 1988). Peters dan Robinson (1984) menegaskan bahwa peneliti perlu
melampirkan pentingnya nilai, kepercayaan dan tujuan dari partisipan, karena
peneliti berupaya untuk mengubah realitas sosial menjadi lebih baik dalam
referensi kerangka yang bebas (emancipatory frame of reference).
Barton et al. (2009) menyatakan bahwa penelitian ilmiah (scientific
research) dan riset tindakan (action research) bukanlah pendekatan ilmu
pengetahuan yang saling berkompetisi satu sama lain, melainkan saling
melengkapi (complementary). Lebih lanjut lagi, Barton at al. (2009) menyatakan
bahwa riset tindakan dan positivis memainkan peran komplementer dalam
cakupan metode ilmiah dimana hipotesis diusulkan, diuji, dan ditindak sepanjang
proses logis yang dapat dijelaskan oleh referensi dalam membingkai (framing)
hipotesis pada konteks sistem terbuka dan tertutup. Namun Blum, diacu dalam
72
Barton et al. (2009) menyatakan bahwa desain dari metode ilmiah secara ideal
perlu dipengaruhi oleh tujuan sosial penelitian.
Tabel 6 Karakteristik utama pendekatan riset tindakan
Technical AR
Practical AR
Critical AR
Basis filosofi
Ilmu alamiah (natural
sciences)
Hermeneutics
Teori kritis (critical theory)
Sifat realitas
Dapat diukur
Berganda (multiple), holistik,
dibangun (constructed)
Interelasi dengan struktur
kekuatan sosial dan politik
Sifat masalah
Sudah dikenal
(problem-posing)
Ditentukan dalam konteks
(problem solving)
Ditentukan dalam konteks
hubungan untuk
memunculkan nilai
(problematising)
Status
pengetahuan
Terpisah, deduktif
Induktif, produksi teori,
Induktid, produksi teori,
emansipatori, dan parsipatori
Sifat
pemahaman
Kejadian dijelaskan
dalam bentuk sebab
nyata dan efek bersama
Kejadian digambarkan dalam
bentuk interaksi antara
konteks eksternal dengan
pemikiran individual
Kejadian dipahami dalam
bentuk politik, sosial, dan
hambatan ekonomi untuk
meningkatkan kondisi
Tujuan
penelitian
Menemukan “hukum”
dari realitas
Menemukan arti dari orangorang yang membuat
tindakan
Memahami apa yang
menghalangi demokratik dan
praktik yang sama
Hasil
perubahan
Perubahan bersifat
bebas nilai dan jangka
pendek
Perubahan bersifat terikat
nilai dan bergantung pada
keterlibatan individu
Perubahan bersifat relati nilai
dan mendorong mansipasi
terus menerus
Sumber: Burns (2005)
Kebutuhan akan hasil praktis, menempatkan riset tindakan dalam konteks
sosial dimana interaksi antara lingkungan “eksperimen” dan interaksi eksperimen
itu sendiri menempati peran kritis dan bernilai. Hal ini menunjukkan bahwa ada
interaksi antara peneliti, subjek, dan konteks.
Barton et al. (2009) menyatakan bahwa sebuah usaha telah diciptakan untuk
mengidentifikasikan seperangkat norma dan kriteria yang digunakan untuk
mendesain dan menilai riset tindakan, serta merepresentasikan riset tindakan
sebagai scientifically rigorous. Secara singkat, Barton et al. (2009) menyimpulkan
bahwa positivis (berkaitan dengan closed systems thinking) dan riset tindakan
(berkaitan dengan open systems thinking) bersifat esensial dan melengkapi
pendekatan ilmiah.
Barton et al. (2009) menyatakan bahwa riset tindakan berhubungan dengan
fase evaluasi dan abductive. Pembentukan fase abductive melibatkan teknik
73
brainstorming, mind-maps, analisis naratif, dan analisis kasus sebagai pendekatan
dalam mengekstratindakan persepsi stakeholder dalam situasi kompleks.
Tolbert (1974), diacu dalam Barton et al. (2009) mengajukan tujuh kriteria
riset tindakan. Pertama, pencarian nilai sosial yang dirangkai dalam sistem
terbuka/sosio-ekologi/konteks worldview. Kedua, proses logis dapat diidentifikasi
dengan mudah melalui mode kesimpulan (modes of inference) abductive,
deduktif, dan induktif. Ketiga, proses kelompok yang mengadopsi perspektif
ganda dan nilai pluralis baik sebagai pembatas yang bertentangan dengan perilaku
keliru (hedge against fallible behaviour) dan sebagai platform praktik etis.
Keempat, teknik evaluasi kritis yang melibatkan single, double, dan triple
loop learning. Kelima, basis operasional dalam pembelajaran dialektis. Sebagai
contoh, pembuatan perbandingan kritis antara bingkai sistem atau perspektif
berbeda. Keenam, pengawasan proses dalam siklus riset tindakan yang
menginformasikan
(secara
minor)
koreksi
yang
dapat
dibuat
dan
didokumentasikan. Ketujuh, kemungkinan bagi setiap tahap pertimbangan dalam
bentuk riset tindakan berulang.
Barton et al. (2009) memberikan komparasi antara riset tindakan dengan
penelitian positivis (Tabel 7). Barton et al. menyatakan, positivis tidak
mempunyai fase pengambilan tindakan (taking action) dalam dunia yang lebih
luas dan melakukan upaya untuk mengeluarkan kepentingan nilai ilmiah dan
kemungkinan dalam perubahan konteks.
Tabel 7 Komparasi riset tindakan dengan positivist science
Property
Positivist Science
Action Research
Systems frame
Closed
Open
Repeatability
Experimental result
Process
Conditionals on hypotheses
Known and controllable
Unknown and not controllable
Objectivity
Apparent indpedence of
Researcher but dependent
on The norms of peers
Triple loop learning evaluation;
dependent on values of the
community of inquiry
Dominant mode on inference
Deduction
Abdusction
Action based
No
Yes
Sumber: Barton et al. (2009b)
74
Menurut Lipton (2004) dalam kasus-kasus tertentu, ketika observer
menghadapi kepraktisan tindakan, positivis tidaklah cukup dan observer
menemukan diri mereka untuk mengambil tindakan, atau paling tidak
mengkontemplasikan hal tersebut pada basis “kesimpulan bagi penjelasan terbaik
(inference to the best explanation)”. Hipotesis terbaik dibentuk dan disesuaikan
dengan tindakan dalam konteks pengawasan, intervensi penyesuaian, dan
evaluasi. Menurut Barton et al. (2009), bagaimanapun positivis bersifat kritis
dalam menetapkan (establishing) hipotesis “terbaik”.
Fakta penting, bahwa harus menerima positivis hanya mengkonfirmasi
hipotesis dalam kondisi yang ketat (under strict conditions). Saat bertindak dalam
hipotesis pada konteks open system, harus menggunakan basis hipotesis dengan
penjelasan terbaik dan bertransisi dari area penelitian positivis ke area penelitian
riset tindakan.
Uchiyama (1999), mengkaji perbandingan antara positivist dan riset
tindakan dengan menggunakan skema PDS (plan, do, see - rencanakan, lakukan,
amati) (Tabel 8). Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis
(model “reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik
riset tindakan adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit
atau pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experiencebased-knowledge).
Tabel 8 Perbandingan antara paradigma positivism dengan riset tindakan
Positivism
SSM-based AR
Plan
Hypothesis
(The model of “reality”)
Experimental Design
A Omoi Moddel
A model relevant to “actuality”
Action Plan
Do
Observation
Collection Data
Carry out Action Plan
Learning by doing
See
Verification
Reflection in action
Kind of Knowledge
Scientific or Explicit
Knowledge
Tacit or Experience-based
knowledge
Standard of Validity
Repeatability
Recoverability
Sumber: Uchiyama (1999)
75
Paradigma positivism mengembangkan model “reality” sebagai hipotesis,
kemudian mendesain rencana eksperimental. Riset tindakan membentuk model
relevan bagi “actuality”, melalui akomodasi dan desain rencana tindakan
berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari perbedaan antara model
dan “reality” pada aspek “P”. Selanjutnya, pada aspek “D” positivism membawa
rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya, dan mengumpulkan data,
kemudian mencari apakah hipotesis benar (“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada
aspek “S”. Apabila hasil hipotesis “tidak” harus kembali ke fase “P” atau
menciptakan model baru “reality”, sedangkan hasil hipotesis “ya” maka dapat
mengkontribusikan
hipotesis
sebagai
pengetahuan
ilmiah
bagi
koleksi
pengetahuan manusia.
Riset tindakan membawa rencana tindakan dalam fakta lapangan oleh
peneliti sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian merefleksi tindakan pada
aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak, peneliti tetap dapat
memperoleh proses “belajar sambil melakukan learning by doing” sebagai
pembelajaran kedua,
dan kemudian
peneliti
dapat
menginternalisasikan
pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman (experiencebased-knowledge).
Lebih lanjut lagi, Uchiyama (1999) menyatakan bahwa riset tindakan
berbeda dengan paradigma positivism. Riset tindakan dipandang sebagai upaya
untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman (experience-based
knowledge) yang dapat diaplikasikan pada fakta lapangan melalui praktik oleh
peneliti itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian ini, Uchiyama mengkategorikan SSM
sebagai bagian dari riset tindakan.
Menilik latar belakang SSM, Checkland dan Poulter (2006) memaparkan
bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang
tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset
tindakan (action research). Uchiyama (1999) menjelaskan bahwa riset tindakan
memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses belajar sambil
melakukan (learning by doing).
Sebagai kajian riset tindakan, Checkland menitik beratkan SSM pada
problem situation bukan dari teori. Sebagai alat pemecahan masalah, SSM muncul
76
bukan sebagai alat menghasilkan teori dan alat menguji teori (Rose 1982). Sudut
filosofis dari metodologi (ontologi dan epistemologi) ditempatkan pada matriks
kuadran ‘interpretatif’ (Burell dan Morgan 1979). Menurut Rose (1982), SSM
berada pada penggunaan konsep sistem sebagai alat epistemologi mendapatkan
pengetahuan dunia.
Checkland (1981) mengatakan, “kita harus mengingatkan diri kita sendiri
bahwa terdapat perbedaan antara realitas kompleks dengan catatan kita pribadi
(sebagai peneliti) mengenai hal tersebut.” Checkland (1999) menjelaskan, bahwa
“hard systems thinking” berasumsi bahwa dunia yang dirasakan (perceived world)
terdiri dari holons, sedangkan “soft systems thinking” berasumsi bahwa
metodologi adalah proses investigasi (process of enquiry) sehingga menjadi
holons.
Rose (1982) menyatakan, bahwa model SSM dibedakan dari model sistem
konvensional lainnya (bentuk deskriptif dan normatif dari ‘sistem’). Investigasi
metodologi tidak diperoleh dari perspektif ontologi pada dunia sistemik, tetapi
dari konsep sistem epistemologi yang menstrukturkan pemikiran tentang dunia.
Berdasarkan perspektif riset tindakan, teori Kurt Lewin diacu dalam Barton
et al. (2009) telah mengalami berbagai inovasi dan perbaikan (refinements).
Masalah objektivitas telah dijelaskan oleh Argyris dan Schon (1989), melalui
konsep pembelajaran single dan double loop yang melibatkan refleksi terbuka.
Proses ini masih diperluas dengan dua cara yaitu 1) Flood dan Romm melalui
konsep pembelajaran triple loop, dan 2) Checkland dan Howell melalui konsep
struktur FMA dan kegunaannya dalam fase pembelajaran double loop.
Checkland dan Poulter (2006) memaparkan, bahwa SSM dikembangkan
menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial
pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan (action research).
Uchiyama (1999) menjelaskan, bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus
tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar sambil melakukan (learning by
doing)”.
Jenis penelitian ini, peneliti akan menerima kesulitan berupa ‘scientific’
experimental work. Kesulitan tersebut muncul karena situasi manusia yang unik,
selalu berubah setiap waktu, dan memunculkan berbagai paradigma yang
77
berlawanan. Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa peneliti riset
tindakan (action researcher) harus masuk ke dalam situasi manusia dan
mengambil tindakan dalam kegiatan tertentu, serta menggunakan pengalaman
tersebut sebagai objek penelitian. Peneliti harus menyatakan kerangka kerja
intelektual terlebih dahulu untuk memperoleh pemahaman mengenai pengalaman
yang diperolehnya. Kerangka kerja eksplisit akan membantu peneliti dalam
menggambarkan pengalaman risetnya dalam kerangka kerja yang terdefinisikan
dengan baik (well defined language of framework). Hal itu memungkinkan setiap
orang di luar penelitian untuk ‘menemukan kembali (recover)’ kerangka kerja
tersebut, untuk melihat apa yang telah dikerjakan dan bagaimana kesimpulan yang
dicapai.
Representasi proses riset tindakan yang sering digunakan, yaitu berupa
siklus tunggal (dengan kemungkinan pemakaian berulang-ulang) tidak peduli
apapun penggambaran riset tindakan yang digunakan (Baskerville & WoodHarper 1996; Susman & Evered 1978; Avison & Wood Harper 1991, diacu dalam
McKay dan Marshall 2001). Siklus ini dapat dilakukan melalui satu kali siklus
(mengacu pada Baskerville dan Harper 1998 sebagai riset tindakan linear dalam
McKay dan Marshall 2001) atau siklus tersebut dapat diulang dalam konteks yang
sama sehingga kepuasan hasil telah tercapai. Gambar 11 memperlihatkan terdapat
sejumlah kajian yang merepresentasi berbagai jenis proses riset tindakan (Kuadran
A: McKay 2000; Kuadran B: Susman dan Evered 1978; Kuadran C: Burns 1994;
Kuadran D: Checkland 1991, McKay dan Marshall 2001).
Berdasarkan penjelasan di atas, sebagain besar literatur tentang riset
tindakan mengartikan riset tindakan dalam konteks proses pembelajaran sambil
melaksanakan sesuatu (learning by doing) dan utamanya untuk keperluan
pemecahan masalah atau problem solving (Hardjosoekarto 2012). Kendatipun
demikian, menurut O’Brien (1998) proses pemecahan masalah dengan riset
tindakan ini dapat dibedakan dari proses pemecahan masalah dalam pengertian
sehari-hari, termasuk pemecahan masalah dalam konteks konsultansi dan praktik
professional yaitu dalam hal penekanannya pada studi saintifik (scientific study).
78
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 11 Representasi dari siklus action research.
Menurut Hardjosoekarto (2012), peneliti dalam suatu riset tindakan
melakukan kajian terhadap masalah yang akan dipecahkannya dengan cara yang
sistematik dan menjamin bahwa intervensi yang dilakukan dilandasi oleh
pertimbangan teoritis tertentu. Maknanya, proses pemecahan masalah di dalam
suatu organisasi dapat dibedakan antara pemecahan masalah yang berbasis riset
tindakan dengan pemecahan masalah yang tidak berbasis riset tindakan. Selain
didasarkan pada penahapan proses tertentu, pemecahan masalah yang berbasis
riset tindakan ini didasarkan juga pada pertimbangan teoritis tertentu.
Selanjutnya, untuk memfasilitasi penggunaan metode SSM dan pencarian
konten situasi, Checkland dan Poulter (2006) menawarkan aplikasi penggunaan
SSM dalam dua model yaitu SSM (p) untuk proses penggunaan SSM untuk
melakukan studi, dan SSM (c) untuk menangani penyelesaian isi situasi yang
bermasalah (Gambar 12). Senada dengan Checkland dan Poulter (2006), McKay
dan Marshall (2001) membagi SSM menjadi dua proses siklus ganda atau dual
cycle process, yaitu problem solving interest dan research interest (Gambar 13).
79
Gambar 12 Proses penggunaan SSM
Gambar 13 Riset tindakan yang dipandang sebagai proses siklus ganda (dual
cycle).
Pada penelitian yang berbasis problem solving interest (Gambar 14) pada
riset tindakan, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset
tindakan (action researcher) harus menyadari permasalahan fakta lapangan (real
world) yang salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide
penelitian. Setelah dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan
dan pencarian fakta. Peneliti harus mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan
konteks permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci pemangku
kepentingan dalam proses pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen
politik yang relevan. Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam
merencanakan strategi pemecahan masalah.
80
Perencanaan tersebut, nantinya diimplementasikan ke dalam beberapa
tahap
tindakan.
Selanjutnya,
implementasi
ini
harus
dimonitor
untuk
mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan. Pada
waktu tertentu, ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh
pemangku kepentingan maka peneliti keluar dari situasi tersebut atau
mengembangkan rencana tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap
konteks permasalahan.
Kajian riset tindakan yang berbasis research interest (Gambar 15), peneliti
harus memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa
yang ingin peneliti capai. Setelah mengidentifikasikan minat penelitiannya,
peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk mengklarifikasi dan
mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan. Peneliti menggunakan
kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat penelitiannya, kemudian
peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya.
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 14 Problem solving interest.
Selanjutnya,
peneliti
akan
Gambar 15 Research interest.
mengambil
tindakan
terkait
dengan
penelitiannya. Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian, dan
dievaluasi untuk melihat efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian.
Ketika pertanyaan penelitian terjawab atau kepuasan tercapai (dengan mengacu
pada teori yang digunakan), maka peneliti akan keluar dari setting penelitian.
81
Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian untuk mencari
penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian.
Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) menyatakan bahwa refleksi
pada F, MR, dan A dapat melahirkan pandangan baru yang tidak pernah
diantisipasi dalam pertanyaan penelitian sebelumnya (Gambar 16). Pada siklus
problem solving interest, McKay dan Marshall (2001) juga menyatakan bahwa
refleksi terhadap P menggunakan MPS dapat melahirkan experiential learning
mengenai P dan MPS.
Hal ini merupakan suatu pembelajaran yang didapat dari pengalaman yang
dilakukan, dimana terdapat aktivitas intervensi dan tindakan pada konteks fakta
lapangan, akan mendorong peneliti dan partisipan dalam experiential learning.
Pada siklus research interest, peneliti dapat merefleksikan F, A, dan MR, juga
akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah
ada, atau mendapatkan pertanyaan baru.
Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan pula bahwa
desain siklus research interest nantinya akan melahirkan pengetahuan baru untuk
dihasilkan (generated) pada A dan atau F. Selanjutnya, dengan merefleksikannya
kepada F, A, dan MR, siklus research interest juga akan dapat menghasilkan
pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan
pertanyaan baru.
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 16 Kerangka kerja riset tindakan.
82
2.8
Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan
Penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dilandasi oleh beberapa penelitian
sebelumnya. Beberapa penelitian memberikan acuan tentang pengembangan
UKM sentra, dan penelitian yang dilakukan dari perspektif daya saing, resourcesbased, soft system methodology, dan riset tindakan (action research).
Widjajani dan Yudoko (2008) melakukan kajian tentang keunggulan
kompetitif industri kecil dengan pendekatan berbasis sumber daya. Penelitian ini
merupakan penelitian proses strategi (strategy process research), yang meneliti
perilaku strategis manajer pemilik industri kecil dalam mengelola usahanya untuk
membangun keunggulan kompetitif dengan pendekatan berbasis sumber daya
(resource-based view atau RBV). Paradigma penelitian yang digunakan adalah
interpretatif-induktif-kualitatif
dengan
penggabungan
antara
soft
systems
methodology (SSM) dan grounded theory.
Hasil dari penelitian ini berupa model konseptual yang menggambarkan
proses industri kecil logam di industri kecil tradisional logam Kiara Condong
dalam membangun keunggulan kompetitifnya. Perilaku strategis yang ditemukan
pada penelitian ini terdiri dari empat model, yaitu model perilaku penentuan
strategi, model perilaku pelaksanaan produksi, model perilaku pelaksanaan litbang
dan inovasi, serta model perilaku pelaksanaan pemasaran.
Surminah et al. (2007) melakukan kajian tentang penggunaan soft systems
methodology (SSM) dalam kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan
industri. Kajian ini fokus pada penggunaan metodologi SSM dan menyajikan
ilustrasi proses dan luaran metodologi SSM dalam memahami kemitraan antara
lembaga litbang pemerintah dengan industri.
Kesimpulan yang didapatkan antara lain 1) SSM dapat dijadikan alternatif
pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi pada
litbang pemerintah seperti masalah kemitraan antara lembaga litbang pemerintah
dengan industri; dan 2) Penggunaan SSM dalam konteks kemitraan litbang
pemerintah dengan industri perlu memperhatikan masalah komunikasi, budaya
organisasi, peraturan yang berlaku di antara pihak yang terlibat untuk mengurangi
konflik dalam penggunaan metode ini.
83
Djamhari
(2006)
melakukan
kajian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perkembangan sentra UKM menjadi klaster dinamis. Faktor-faktor
yang secara tunggal atau berkombinasi, mempengaruhi daya hidup (viability)
klaster UKM adalah jejaring kemitraan, inovasi teknologi, modal SDM dan
kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke
pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi
pasar, akses terhadap layanan pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, dan
kepemimpinan.
Intensitas dan spektrum kekuatan variabel ini beragam, dan hal ini
dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal klaster itu sendiri. Pada kondisi
internal, faktor yang berpengaruh antara lain usia kematangan klaster, keragaman
usaha (homogeneity), tingkat resiko bisnis diantara UKM di dalamnya, dan
probabilitas pelaku usaha dalam klaster akan tetap berafiliasi dengan klasternya.
Faktor eksternal yang menonjol adalah faktor stabilitas ekonomi makro yang
mempengaruhi iklim usaha, kelangsungan order, dan pelaku baru (business new
entrants) yang memperburuk suasana persaingan pasar, dan last but not least,
adalah regulasi pemerintah.
Martin et al. (2008) melakukan kajian tentang penatakelolaan kawasan
hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak. Penelitian ini
bertujuan untuk mengembangkan pemahaman opini stakeholder yang berbeda
(terpencar) terhadap perubahan yang diinginkan dan memungkinkan, dengan
menggunakan metodologi sistem lunak/SSM (Soft System Methodology).
Kesimpulan yang didapatkan, bahwa 1) prinsip-prinsip SSM yang
dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik
yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media
pembelajaran
sosial
saling memahami,
sehingga
menghasilkan
langkah
penatakelolaan bagi blok agroforestri hutan penelitian benakat yang semula “tidak
terkelola”, dan 2) fase intervensi dalam tahapan SSM ini belum secara signifikan
mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi
konflik dalam masa depan tetap ada, namun berpeluang untuk dikelola setelah
terbukanya jalur komunikasi antarpihak melalui beragam aktivitas pengelolaan
bersama.
84
Absah
(2008)
melakukan
kajian
tentang
kompetensi
perusahaan.
Berdasarkan hasil kajian, bahwa perusahaan yang memiliki tim manajemen
dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi
inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain
yang tidak dapat melakukannya.
Kompetensi
superior
akan
memungkinkan
perusahaan
memperoleh
informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya, dengan
demikian perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi,
akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Perusahaan dengan kompetensi superior, dapat memperoleh keunggulan
bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya.
Selanjutnya
agar
dapat
mempertahankan
keunggulan
bersaing
tersebut,
kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka,
sulit ditiru, dan sulit digantikan.
Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu
kompetensi yang sulit ditiru, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya
yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang
dimiliki perusahaan akan menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi
kinerja superior.
Perusahaan dengan kompetensi yang bernilai dan langka akan menghasilkan
keunggulan bersaing yang lebih besar dibandingkan pesaingnya, yang selanjutnya
menghasilkan kinerja keuangan superior. Keunggulan bersaing dan kinerja yang
dihasilkan perusahaan merupakan konsekuensi dari sumber daya khusus dan
kompetensi yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perusahaan
harus memiliki kemampuan untuk mengkordinasikan sumber daya strategis
dengan baik, karena merupakan kunci dalam membangun kompetensi dan pada
akhirnya pencapaian kinerja yang tinggi.
Rahman (2006) melakukan kajian tentang kerangka dasar pembentukan
kebijakan UKM Indonesia. Kajian lebih diarahkan dan difokuskan pada upaya
untuk mengidentifikasi dasar-dasar penetapan kebijakan UKM Indonesia serta
kebijakan apa saja yang relevan, sesuai dengan hasil identifikasi tersebut.
85
Kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan
perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar
dalam pengembangan UKM, dalam bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang
akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari hari, yaitu kebijakan pada
tingkatan mikro (micro level policies), tingkatan makro (macro level policies) dan
tingkatan meso (meso level policies). Identifikasi kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut amat
diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritas/fokus kebijakan pengembangan
UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan
dan fakta serta kondisi riil yang terjadi pada UKM Indonesia.
Kesimpulan dan implikasi kebijakan yang didapatkan antara lain 1)
diperlukan pengembangan kebijakan UKM yang sesuai sifatnya, harus
berdasarkan pada fakta dan kondisi yang terjadi pada UKM; 2) memperhatikan
fakta-fakta yang terjadi pada UKM Indonesia, maka akan lebih relevan dan efektif
jika pada tahap awal prioritas/fokus kebijakan lebih diarahkan pada upaya
perkuatan kapasitas internal UKM dan peningkatan firm level competitiveness
UKM Indonesia atau dengan kata lain, penetapan kebijakan pada mikro level; 3)
pengembangan kebijakan UKM perlu dilakukan secara integral, dinamis dan
berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap
eksistensi UKM dalam perekonomian Indonesia.
Fitriati (2012) melakukan kajian tentang rekontruksi daya saing UMKM
berbasis soft systems methodology. Berdasarkan hasil kajian, bahwa penggunaan
framework NIES pada rekonstruksi daya saing UMKM dalam menjamin
tercapainya daya saing UMKM industri kreatif pada 1) tataran makro
menunjukkan besarnya peran state regulation dan market mechanism; 2) tataran
meso menunjukkan besarnya peran collective action serta monitoring and
enforcement; 3) tataran mikro menunjukkan adanya peran decoupling &
compliance, serta embeddedness pada pelaku usaha yang merupakan basis daya
saing di tataran mikro; dan 4) adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran
berupa interkonektivitas (interconnectivity) dan penjajaran (alignment) pada tiga
tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing.
86
Dalam konteks UMKM industri kreatif Kota Depok sebagai rujukan
penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan timbal balik
secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap
aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi
UMKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif
dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan
yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang
memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di
antara UMKM, yang difasilitasi melalui kelompok usaha atau asosiasi. Kedua,
hubungan timbal balik yang timbul secara bottom up (dari mikro ke meso ke
makro), dimana aspirasi UMKM yang disalurkan melalui asosiasi menjadi
masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan
kelembagaan (insitutional strengthening) dan kapasitas UMKM. Berkembangnya
sentra-sentra UMKM industri kreatif dengan komoditas unggulannya masingmasing juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan
pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung peningkatan daya saing
UMKM di sentra-sentra tersebut.
Hubungan timbal balik ini menunjukkan bahwa mekanisme decoupling,
compliance dan embeddedness dalam pengembangan daya saing UMKM. Untuk
UMKM industri kreatif di Kota Depok, hubungan timbal balik di antara tiga
tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan.
Puradinata
(2012)
melakukan
kajian
tentang
pembelajaran
interorganisasional dan penciptaan pengetahuan dalam pengembangan bioethanol
di Indonesia dengan pendekatan soft systems methodology. Penelitian ini
merupakan implementasi dari penelitian dual imperatives (McKay dan Maeshall
2001), mencakup research interest dan problem solving interest, yaitu riset
tindakan (action research) yang menggunakan soft system methodology (SSM).
Penelitian ini termasuk katagori SSM based action research, yang sesuai dengan
kategori theoritical research practice/business change practice dari Cronholm and
Goldkuhl (2003). Dalam penelitian ini dikaji bagaimana suatu organisasi bisnis
menyiapkan dirinya mengatasi berbagai masalah problematik yang dihadapinya.
87
Penelitian ini menyimpulkan bahwa efektivitas proses pembelajaran IGDI
(identification, generation, diffusion, and integration) dipengaruhi oleh faktor
keberhasilan yang terdiri dari motivasi, leadership, trust, kapasitas penyerapan,
kemampuan mengkombinasikan berbagai kapabilitas, kedekatan, dan teknologi
infromasi. Sedangkan untuk mengatasi masalah problematiknya PT. Medco
Ethanol Lampung harus mengadakan integrasi vertical ke arah hulu, agar
menjamin tersedianya bahan baku dalam waktu, harga, dan kualitas yang sesuai
standar, melalui penguasaan perkebunan. Sedangkan ke arah hilir perlu
memperluas konsumen melalui kerja sama erat dengan pemerintah, yang
diharapkan bisa memfasilitasi upaya peningkatan jumlah konsumen.
Secara
keseluruhan harus ada sinergi antara makro dan mikro untuk mencapai
keunggulan bersama.
Download