24 BAB II LANDASAN TEORI A. STRES 1. Definisi Stres Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap adanya tuntutan pada tubuh. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk menyesuaikan diri, dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu. Stres diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus bertahan. Setiap individu dalam hidupnya senantiasa menghadapi berbagai masalah yang tidak menyenangkan seperti yang dikatakan oleh Davis & Newstrom (1989), stres merupakan kondisi ketegangan yang terjadi pada emosi, fisik dan psikologis seseorang. Sesungguhnya stres merupakan reaksi individu dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Adanya stres dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam meghadapi lingkungan. Atkinson (2000), Universitas Sumatera Utara 25 menyebutkan stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1992). Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, dalam Santrock 2003). Menurut Hager (dalam Santrock 2003), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus, 1984). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Sarafino (2006), menyebutkan stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya. Universitas Sumatera Utara 26 Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye dalam Santrock, 2003). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu dalam meresponnya. 2. Penggolongan Stres Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya yaitu: a. Distress (stres negatif) Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat yang tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang Universitas Sumatera Utara 27 berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya. b. Eustress (stres positif) Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni. 3. Sumber-sumber Stres Sarafino (1994) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stressors) yang dapat terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut: 1. Sumber-sumber yang berasal dari individu Ada dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya penyakitAda dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya penyakit. Penyakit yang dideritaindividu menyebabkan tekanan biologis dan psikososial sehingga dapat menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yaang dialami individu terhadap penyakitnya dipengaruhi oleh faaktor usia dan keparahan penyakit yang dialaminya. Cara yang kedua adalah melalui terjadinya Universitas Sumatera Utara 28 konflik. Konflik merupaka sumber stres yang paling utama. Di dalam konflik individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat. 2. Sumber-sumber berasal dari keluarga Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 1994). 3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan. Stres yang diperoleh melalui pekerjaan contohnya dikarenakan: lingkungan fisik kerja, kontrol yang rendah terhadap pekrjaan yang diemban, kurangnya hubungan interpesonal dengan sesama rekan kerja, promosi jabatan, kehilangan pekerjaan, pensiaun dan lainnya (Sarafino, 1994). 4. Respon Terhadap Stres a. Aspek Biologis terhadap Stres Selye (dalam Sarafino, 2006) menyebutkan konsep yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. Universitas Sumatera Utara 29 Respon Tubuh terhadap stres (General Adaption Syndrome /GAS) yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1. Peningkatan alarm (alarm reaction), individu memasuki kondisi shock yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stres ada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan darah juga turun. Kemudian terjadi yang disebut dengan countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul ; korteks adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap alarm berlangsung singkat. 2. Perlawanan (resistance), dimana pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh hormon stress, tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres tetap ada, maka akan masuk ke tahap selanjutnya. 3. Kelelahan (exhausted), dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat, orang yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan ini, dan kerentanan terhadap penyakitpun meningkat. Menurut Selye tidak semua stres itu buruk, yang kemudian dia sebut dengan Eustress yaitu konsep Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres. Berkompetisi di suatu kejuaraan, menulis karangan, atau mengejar seseorang yang menarik membuat tubuh menghabiskan energi. Universitas Sumatera Utara 30 Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar mengetahui reaksi fisik manusia terhadap stres. Perlu juga mengetahui kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau penyebab stres muncul (Hobfoll dalam Santrock, 2003). b. Aspek Psikologis Terhadap Stres Sarafino (2006), menyebutkan 3 aspek psikologis terhadap stres yaitu: 1. Kognisi Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Cohen dkk dalam Sarafino, 2006). Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan deficit kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stressor. 2. Emosi Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat memengaruhi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, Scherer dalam Sarafino, 2006) reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino, 2006). Universitas Sumatera Utara 31 3. Perilaku Sosial Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006). Sedangkan Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu: 1. Aspek fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. 2. Aspek kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. 3. Aspek emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. 4. Aspek tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan. Universitas Sumatera Utara 32 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres a. Faktor Lingkungan Menurut Lazarus & Folkman (1984) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan pennyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992). Situasi, kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis ini disebut stressor (Beryy, 1998) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan inddividu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor. Lazarus & Cohen (dalam Berry, 1998) mengklasifikasikan stressor kedalam tiga kategori, yaitu: 1. Cataclysmic events Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam. 2. Personal stressors Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisi keluarga. 3. Background stressors Pertikaian atau permasalahn yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan. Universitas Sumatera Utara 33 b. Faktor-Faktor Psikologis Ada beberapa jenis-jenis stressor psikologis (dirangkum dari Folkman, 1984; Coleman, dkk, 1984 serta Rice, 1992) yaitu: 1. Tekanan (pressure) Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha ataumengubah sasarn tingkah laku. Tekana sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap imdividu. Tekanan pada beberapa kasusu tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive. 2. Frustasi Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang didinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi. 3. Konflik Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah : 1. Mendekat-mendekat (approach-approach conflict), terjadi bila individu harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama menarik. Universitas Sumatera Utara 34 Konflik mendekat/mendekat adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif. 2. Menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik, yang sebenarnya ingin dihindari keduanya, namun mereka harus memilih salah satunya. Pada banyak kasus, individu memilih untuk menunda mengambil keputusan dalam konflik menghindar/menghindar samap saat-saat terakhir. 3. Mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul dilema), biasanya individu merasa bimbang sebelum mengambil keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat, kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller dalam Santrock, 2003). Frustasi adalah situasi apapun dimana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan adalah dua hal yang terutama membuat frustasi. c. Faktor-Faktor Kepribadian Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern) adalah sekelompok karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah , dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Penelitian mengenai pola tingkah laku tipe A pada anak- Universitas Sumatera Utara 35 anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan pola tingkah laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung, ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock, 2003). d. Faktor-Faktor Kognitif Lazarus (1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Menurut pandangan Lazarus (dalam Santrock, 2003), berbagai kejadian dinilai dua langkah : a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi. b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Universitas Sumatera Utara 36 e. Faktor Usia Hurlock (1995) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaiatan dengan factor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Kumolohadi, 2001). 5. Dampak Stres pada Individu a. Dampak pada fisik Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) akibat meningkatnya tekanan darah yang merusakkan jantung dan pembuluh darah (arteri) serta meningkatnya kadar gula darah. Di paru dapat terjadi asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Jika terjadi hambatan fungsi pencernaan, dapat timbul penyakit seperti tukak/ulkus, kolitis (radang usus besar) dan diare kronik (menahun). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Sistem kekebalan tergangggu melalui berkurangnya kerja sel darah putih, sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Universitas Sumatera Utara 37 b. Dampak Emosional Karena pelepasan dan kekurangan norepinefrin (noradrenalin) yang kronis dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada gilirnnya malah menambah depresinya. Juga kecemasan yang berlebihan dan ketakutan sangat sering terjadi jika seseorang terus-menerus mempersepsikan adanya ancaman. Orang yang stres berkepanjangan akan menunjukkan sisnisme, kekakuan pendirian, sarkasme, dan iritabilitas (mudah tersinggung). c. Dampak pada Perilaku Sering terjadi perubahan perilaku akibat dorongan untuk mencari pelepasan; bertempur atau lari. Masalahnya, perilaku yang dipilih sering merugikan, misalnya "perilaku adiktif" (kecanduan) akibat usaha untuk meredakan atau melarikan diri dari stres yang menyakitkan. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal efeknya hanya berlangsung sementara dan akibat penggunaan jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Sayangnya, pikiran dapat menolak/menyangkal akibat jangka panjang itu untuk sekadar memenuhi kepuasan sesaat. Perilaku lainnya yang terlihat adalah menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut. Universitas Sumatera Utara 38 B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ia menambahkan bahwa PWB merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaanperasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. PWB dapat ditandai Universitas Sumatera Utara 39 dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995). Dapat dismipulkan bahwa psychological well-being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi. 2. Dimensi Psychological Well-Being Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu: a. Penerimaan diri (self-acceptance) Universitas Sumatera Utara 40 Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan PWB yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep PWB. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk Universitas Sumatera Utara 41 bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini. c. Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. d. Tujuan hidup (purpose in life) Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita Universitas Sumatera Utara 42 tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental. e. Perkembangan pribadi (personal growth) Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani. f. Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery) Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik Universitas Sumatera Utara 43 maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang, sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan PWB seseorang. a. Dukungan sosial Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Robinson (1991) juga mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan well-being seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. b. Ideologi Peran Jenis Kelamin Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan PWB seseorang. Ditemukan bahwa wanita (isteri) yang melaksanakan perannya secara tradisional mengalami beban peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang lebih modern dan wanita dengan peran tradisional ini mengalami gejalagejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie, Spence dkk, dalam Strong & Devault, 1989). Universitas Sumatera Utara 44 c. Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000). d. Jaringan sosial Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000). e. Religiusitas Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000). f. Kepribadian Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock, 1999; Ryff, 1995). C. ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Menurut Sayogyo (dalam Sudarta, Universitas Sumatera Utara 45 2001), peran wanita di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat luas (Wahyuni, 2005). Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias buruh tanpa upah. Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi yaitu menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan bahwa isteri yang bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak bekerja atau pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya keinginan mengaktualisasikan diri. Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah Universitas Sumatera Utara 46 sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan saraung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stres secara emosional, kognitif dan perilaku. Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga Universitas Sumatera Utara 47 dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga. Jadi dapat disimpulkan bahwa isteri karyawan perkebunan kelapa sawit adalah isteri yang suaminya bekerja sebagai karyawan di perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja di lapangan dengan tidak menerima upah. E. HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Isteri yang bekerja memegang banyak peran dan berbagai tuntutan yang memungkinkan terjadinya tekanan dan ketegangan. Terkadang, tekanan yang dihadapi dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan, tetapi sering juga merupakan masalah. isteri selain bekerja juga memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya. Stres yang dialami oleh wanita yang bekerja lebih besar dari pada yang dialami wanita yang tidak bekerja, sebab wanita yang bekerja memiliki stress yang khas seperti hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan, pekerjaan, isolasi sosial, diskriminasi serta adanya konflik peran ganda (Wolfman, 1989). Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan Universitas Sumatera Utara 48 yang sangat berat. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stress secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga. Witkil & Lanoil (1986), menyatakan bahwa wanita pekerja menderita stres yang lebih besar dibanding dengan pria pekerja atau pria dan wanita yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiologis wanita itu sendiri serta adanya konflik peran, yakni sebagai wanita yang bekerja, sebagai isteri, sebagai ibu dan sebagai anggota suatu perkumpulan tertentu. Wanita pekerja mengalami stres yang lebih besar karena harus menjalankan tugas ditempat kerja dan dirumah. Akibatnya, wanita tersebut menderita gejala-gejala pusing, sakit punggung, radang usus besar dan ketegangan pada masa pra menstruasi. Universitas Sumatera Utara 49 Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995). Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai lingkungan mereka mampu melihat peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis. Townsend et al (2000), menyatakan bahwa banyaknya peran yang dimiliki seorang wanita dihubungkan dengan semakin baiknya PWB wanita tersebut, namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif yang Universitas Sumatera Utara 50 akan memicu stress seperti berkurangnya kepuasan hidup, stress di lingkungan kerja bahkan munculnya symptom-simptom depresif. Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, terlihat adanya suatu benang merah antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit. F. HIPOTESIS PENELITIAN Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit. Universitas Sumatera Utara