UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat ISSN 1979 - 7168 IMPLEMENTASI “CONTINUOUS IMPROVEMENT MINDSET DANCHANGE MANAGEMENT” DALAM SUPPLY DAN DEMAND PARIWISATA DALAM ORGANISASI BISNIS DI INDONESIA Oleh; Otto Randa Payangan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Email : [email protected] Abstrak Keberhasilan dalam dunia usaha banyak ditentukan oleh peranan sumber daya manusia dalam mengambil keputusan-keputusan yang sifatnya stratejik khususnya yang berkaitan dengan investasi dan cara pandang pemimpin dalam mengimplementasikan continuous improvement mindset yang konsisten dalam setiap perubahan dan dinamika yang dihadapi oleh perusahaan. Disamping itu adanya dinamika lingkungan bisnis yang selalu berubah maka perusahaan harus siap melakukan change management yang dapat memberikan value yang menguntungkan bagi setiap stakeholders sehingga memberikan manfaat yang berartibagi kemajuan perusahaan itu sendiri dengan para pemegang sahamnya. Dalam perspektif continuous improvement mindset (CIM) dan change management (cm), factor Supply dan demand dalam pariwisata harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan /sustainable agar seluruh wisatawan baik mancanegara maupun domestic dapat merasakan value yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman sesuai dengan kemajuan organisasi bisnis industri pariwisata di Indonesia. Kata Kunci: peningkatan berkesinambungan, perubahan pengelolaan, pasokan dan permintaan pariwisata. Abstract The successful of business is largely determined by the role of human resources in strategic decisions making. Particularly, the decision making is closed related to the investment and perspective in theimplementationofthe Continuous Improvement Mindset in every changing and dynamics faced by the company. Moreover, the environmental business dynamics encouragesthe company to conduct a Change Management which provides abeneficial value for stakeholders. Furthermore, italso provides a significant benefit for the advancement of the company and the shareholders. In the perspective of Continuous Improvement Mindset (CIM) and Change Management (CM), Supply and Demand factorsin tourism have to be considered consistently and sustainablyin order to provide a significant value for both foreign and domestic tourists. Consequently, the tourism industry in Indonesia continuously increase based on the changing times. Keywords: continuous improvement mindset,change management, supply and demand tourism 75 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat ISSN 1979 - 7168 PENDAHULUAN Paradigma “Continuous Improvement Mindset” (CIM) Paradigma Continuous Improvement mengerahkan semua energi personel untuk melakukan improvement secara terus menerus terhadap proses dan sistem yang digunakan untuk menghasilkan Value bagi Customer. Oleh karena itu, Continuous Improvement memerlukan energi yang luar biasa besarnya dalam jangka waktu panjang, di mana manajer harus mampu membangkitkan komitmen tinggi seruluh personel perusahaan ke usaha proses dan sistem yang dapat menciptakan Value Adding bagi kepentingan Value bagi Customer.Usaha tersebut perlu dilandasi oleh Mindset yang semestinya agar unsur berkelanjutan dapat dipertahankan dalam jangka panjang.Pergeseran ke paradigma improvement berkelanjutan disebabkan oleh semakin turbulennya lingkungan bisnis dan semakin tajamnya persaingan yang dihadapi oleh perusahaan pada umumnya. Di dalam lingkungan bisnis yang demikian, Continuous Improvement, merupakan prasyarat untuk mempertahankan esksistensi perusahaan; bahkan Continuous Improvement tidak cukup, perusahaan harus melakukan Improvement lebih signifikan dan lebih cepat daripada Improvement yang dilakukan oleh pesaing untuk dapat bertahan hidup dan berkembang. Continuous Improvement Mindset, merupakan tenaga penggerak yang berkekuatan luar biasa untuk memacu perusahaan menjadi pemain yang diperhitungkan dengan memahami komponen yang membentuk Mindset tersebut, di mana manajemen puncak dapat merumuskan dan mengkomunikasikan paradigma Continuous Improvement, keyakinan dasar dan Nilai dasar yang berkaitan dengan paradigma tersebut. Di mana kenyatannya, improvement pun tidak cukup, untuk mendapatkan tempat berpijak, organisasi harus melaksanakan Improvement dengan tingkat kecepatan yang lebih tinggi dibanding dengan pesaing, (Greg Bounds, 2004).Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya perubahan atas perubahan itu sendiri baik secara dinamis, radikal, pesat, serta inovasi dalam menciptakan keungulan bersaing. Melalui Continuous Improvement Mindset, yang diwujudkan dalam proses sistem pengendalian manajemen, diharapkan dapat memberikan perubahan sebagai berikut : 1) Peningkatan Kualitas, Keandalan, Kecepatan, Kompetensi, Akuntabel dan Efisiensi Biaya; 2) Sistem Anggaran berbasis Aktifitas; 3) Sistem Pengelolaan berbasis Aktivitas. Perwujudan Continuous Improvement Mindset (CIM), meliputi : paradigma Continuous Improvement, Keyakinan dasar terhadap Improvement berkelanjutan, dan Nilai-nilai dasar yang melandasi Improvement berkelanjutan. Paradigma Improvement berkelanjutan perlu diwujudkan ke dalam keyakinan dasar yang kuat yang perlu ditanamankan kepada seluruh personel perusahaan, berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 76 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat 1. Harus mengetahui Fakta, artinya untuk mewujudkan Improvement , maka setiap personel perlu mengumpulkan dan menganalisis pelbagai fakta tentang : a) kondisi proses dan sistem yang digunakan untuk menghasilkan Customer Value, b) ke arah mana proses dan sistem ditingkatkan kualitasnya, c) kemajuan yang telah dicapai dalam meningkatkan proses dan sistem yang diinginkan; 2. Alasan dan Belajar, Alasan bahwa untuk menghasilkan Value adding bagi Customer, baik dalam proses dan sistem, maka kemudian digunakan sebagai pengetahuan bagi personal untuk bekerja lebih baik yaitu belajar dari fakta untuk melakukan Improvement, karenatanpa ada proses pembelajaran maka kita tidak akan menghasilkan yang terbaik bagi pelanggan kita. 3. Selalu ada cara yang lebih baik, Ide “selalu ada cara yang lebih baik” merupakan suatu komitmen tidak sekedar menjadi terbaik, namun lebih dari itu, untuk menjadi lebih baik, dan tidak pernah berhenti untuk mencapai yang lebih baik. Dalam paradigma Improvement yang berkelanjutan, terkandung keyakinan dasar bahwa tujuan karyawan adalah untuk mencapai tingkat kinerja yang selalu lebih baik. 4. kita harus selalu berusaha untuk sempurna, orang tidak akan pernah mencapai kesempurnaan tersebut (Neil H.Snyder, James D.Dowd, 1994) Sedangkan Nilai dasar (basic ISSN 1979 - 7168 value) untuk mewujudkan ContinuousImprovement harus ditanamkan ke dalam personal yang dapat menciptakan value yang cocok dengan paradigma tersebut, seperti : (1) Kejujuran, (2) kerendahan hati, (3) Kerja Keras, (4) Kesabaran, (5) Keterbukaan, (6) Keberanian, (Snyder, Dowd and Morse, 1994), sedangkan dalam pandangan paradigma Customer Value, Continuous Improvement, serta Organizational System, telah berubah secara mendasar tentang cara berpikir dan bertindak manajemen dalam bisnis. Paradigma Customer Value merupakan peta yang menggambarkan lingkungan bisnis yang di dalamnya Customer memegang kendali lingkungan bisnis. Oleh karena lingkungan bisnis digambarkan sebagai lingkungan yang kompetensinya tajam dan perubahannya telah berubah, maka paradigma yang pas dengan lingkungan tersebut adalah paradigma Continuous Improvement, yaitu suatu pandangan bahwa kelangsungan hidup perusahaan dan kemampuannya untuk tumbuh, sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan tersebut untuk secara berkelanjutan melakukan Improvement terhadap sistem dan proses yang digunakan untuk mengahasilkan Value bagi Customer. Sedangkan Organizational System, menekankan bahwa perusahaan diharapkan mampu mengahasilkan Value terbaik bagi Customer untuk dapat bertahan dan bertumbuh dalam lingkungan tersebut. Ford Motor Company, merupakan salah satu perusahaan otomotif terkemuka di Amerika, yang 77 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat secara terus menerus memperbaiki proses guna meningkatkan daya saing dalam industrinya, melalui program Keunggulan Kualitas Terpadu (Total Quality Excellence = TQE, sebagai salah satu program Ford yang menjadi landasan membangun dan menetapkan kebutuhan untuk meningkatkan proses, di mana menurut manajemen Ford : “ Semua pekerjaanyang dilakukan adalah bagian dari suatu proses yang menciptakan produk untuk pelanggan, sehingga keunggulan Kualitas berkelanjutan membutuhkan perbaikan proses terus-menerus”. Manajemen Ford memandang segala sesuatu yang dikerjakan dalam perusahaan adalah bagian dari proses, baik dalam metodemetode bisnis maupun sistem operasi. (Vincent Gaspersz, 2003) Secara konseptual, peningkatan proses adalah perluasan logis dari Mission, Values and Guiding Principles (MVGP) dan Total Quality Excellence (TQE), yangdapat diuraikan sebagai berikut : 1. “Our Mission is to Improve Continually our product and services to meet our Customers’ Needs..” 2. “Quality “First Priority” 3. “Customers are the Focus of everything we do...” 4. “Continuous Improvement is Essential to our Success...” 5. “Employee Involvement is our Way of Life...” (Vincent Gaspersz, 2003) Manajemen Perubahan ( Change of Management) Perubahan dapat terjadi pada diri kita maupun disekiling kita, ISSN 1979 - 7168 bahkan kadang-kadang kita tidak menyadari bahwa hal tersebut berlangsung. Perubahan berarti bahwa kita harus mengubah dalam cara mengerjakan atau berpikir tentang sesuatu yang dapat menjadi mahal dan sulit (Pasmore, 1994 : 34). Perubahan sudah menjadi fenomena global yang tidak bisa dibendung, seperti beberapa kejadian yang dihadapi organisasi antara lain : restrukturisasi, merger, divestasi, akuisisi, penurunan kesempatan kerja, ekspansi internasional, bahkan menurunkan kepala negara pada beberapa negara dibelahan muka bumi ini, termasuk pergantian direktur IMF, karena keterlibatan skandal beberapa waktu lalu, bahkan masalah korupsi yang makin subur di negara kita. Timbul pertanyaan “Mengapa sampai perubahan itu terjadi ?. Memahami Manajemen dan perubahan merupakan kebutuhan mutlak, namun tidak cukup. Persoalannya berikutnya adalah bagaimana perubahan tersebut harus dikelola. Oleh sebab itu, pemahaman tentang manajemen perubahan diperlukan agar kemungkinan keberhasilan suatu upaya perubahan diharapkan dapat lebih besar. Manajemen Perubahan adalah suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumberdaya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses tersebut, (Potts and LaMarsh, 2004:16). Manajemen perubahan ditujukan untuk memberikan solusi bisnis yang diperlukan dengan sukses dengan cara yang terorganisasi dan 78 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat dengan metode melalui pengelolaan dampak perubahan pada orang yang terlibat di dalamnya, (Wibowo,2006 ). Perubahan merupakan suatu fenomena yang pernah terjadi dalam kehidupan organisasi, meskipun banyak yang berpendapat bahwa kecepatan dan besaran perubahan telah meningkat secara signifikan beberapa tahun belakangan ini. Menurut Burnes, ( 2000 : 250), penelitian yang dilakukan The Institute of Management, tahun 1991 menunjukkan bahwa 90 % organisasi menjadi lebih ramping dan datar; dan pada tahun 1992 dilaporkan bahwa 80% manajer merespon dengan merestrukturisasi perusahaannya dalam lima tahun terakhir. Kemudian hasil survey selama setahun di Inggris pada perusahaan bisnis menunjukkan telah terjadi dampak negatif secara luas terhadap loyalitas pekerja, moral, motivasi, dan persepsi atas keamanan kerja. Oleh karena itu, terdapat kenyataan bahwa manajer mempunyai alasan yang kuat untuk khawatir terhadap perubahan organisasi, (Wibowo, 2006). Dalam pandangan Kaizen, Kai berarti “perubahan”, sedangkan Zen berarti “baik”. Jika digunakan dalam proses manajemen dan budaya bisnis, maka kata itu mempunyai arti : perbaikan terus menerus dan perlahan-lahan, diimplementasikan dengan keikutsertaan aktif dan komitmen dari semua karyawan apapun yang dilakukan oleh perusahaan, dan lebih cepat lagi lagi dalam cara pelaksanaannya. Kaizen sebagai suatu konsep bisnis berevolusi di Jepang dalam periode pasca perang ISSN 1979 - 7168 dan diterima hangat sebagai kunci utama bagi sukses dalam banyak industri di Jepang dan dunia Barat pun mengakuinya. ( Patricia Wellington, 1998 : 32) Faktor Pendorong Perubahan Lingkungan eksternal organisasi cenderung merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan, di sisi lain secara internal organisasi merasakan adanya kebutuhan akan perubahan. Oleh karena itu, setiap organisasi menghadapi pilihan antara berubah atau mati tertekan oleh kekuatan perubahan. Di antara para pakar ada yang menyebut bahwa faktor pendorong perubahan sebagai Kebutuhan akan Perubahan (Needs for Change/NFC, (Hussey, 2000 : 6; Kreitner dan Kinicki, 2001 : 659). Sementara itu, Robbins (2001 : 540) dan Geenberg and Baron (2003 : 593), menyebut sebagai “Kekuatan untuk Perubahan” (Strong for Change / SFC ). Terminologi tersebut mengandung makna bahwa kebutuhan akan perubahan (NFC), antara lain : 1) perubahan teknologi yang terus meningkat, 2) persaingan semakin intensif dan menjadi lebih global, 3) pelanggan semakin banyak tuntutannya, 4) profil demografis negara berubah, 5) privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut, 6) tuntutan pemegang saham akan value lebih banyak; sedangkan kekuatan akan perubahan (SFC) yang dimaksud adalah : pertama, Eksternal yaitu : 1) karakteristik demografis, 2) kemajuan teknologi, 3) perubahan pasar, 4) 79 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat tekanan sosial dan politik, kedua, Internal, yaitu : 1) masalah SDM, 2) perilaku/keputusan manajerial. Kotter, (1996), mengungkapkan delapan langkah perubahan, yaitu (1) membangun situasi perlunya perubahan, (2) membangun koalisi atau kelompok kerja untuk perubahan, (3) membangun visi dan strategi untuk perubahan, (4) mengomunikasikan visi perubahan ke semua pihak di dalam perusahaan atau organisasi, (5) melakukan perubahan melalui pemberdayaan, (6) menciptakan kemenangan atau hasil baik jangka pendek, (7) melakukan konsolidasi dan melanjutkan perubahan yang diperlukan, dan (8) menanamkan pendekatan-pendekatan baru tersebut dalam budaya kerja. Lebih lanjut, Kotter, mengungkapkan setidaknya ada tiga kemampuan yang dibutuhkan pemimpin perubahan, yaitu (1) kemampuan mendiagnosa kemungkinan-kemungkinan penolakan perubahan, (2) kemampuan menangani semua bentuk penolakan yang ada, serta (3) kemampuan memilih strategi untuk melakukan perubahan. Sedang Anderson, Dean dan Linda S. Ackerman Anderson, (2001), mengungkapkan sembilan langkah perubahan, yaitu (1) melakukan persiapan untuk melakukan perubahan, (2) membangun visi, menciptakan komitmen di seluruh kalangan di dalam organisasi, serta membangun kapasitas untuk perubahan, (3) mempelajari situasi saat ini dengan rinci, (4) memformulasikan kondisi apa yang diinginkan oleh perubahan, (5) menganalisis dampak dari ISSN 1979 - 7168 perubahan ini nantinya, (6) merencanakan dan mengorganisasikan perubahan, (7) melakukan perubahan, (8) menunjukkan dan merayakan kemenangan sebagai hasil perubahan, serta (9) mempelajari apa-apa yang penting selama perubahan berlangsung. Suatu upaya melakukan perubahan harus mempunyai arah yang jelas menuju pada kondisi yang diharapkan. Adapun tujuan perubahan menurut Robbins, (2001 : 152), di satu sisi untuk memperbaiki kemamuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan, di sisi lain mengupayakan perubahan perilaku karyawan. Komitment pada Perubahan Keberhasilan perubahan berakar pada Komitmen, di mana komitmen pada visi merupakan prasyarat untuk keberhasilan, terutama di antara orang yang memiliki peran kunci dalam membuat visi menjadi kenyataan, (Wibowo, 2006 : 317). Namun, sebelum mengimplementasikan perubahan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan ( Potts and LaMarsh, 2004 : 40), yaitu sebagi berikut : (1) bagaimana kita mengetahui adanya sesuatu yang salah pada keadaan sekarang ini ?; (2) aspek apa dari keadaan sekarang ini yang tidak dapat tetap sama ?; (3) seberapa serius masalahnya ? Langkah-langkah implementasi perubahan untuk membuat visi menjadi kenyataan, yaitu : (1) memastikan bahwa semua konsekuensi perubahan dapat dimengerti, (2) mengidentifikasi semua tindakan yang harus dilakukan untuk melakukan 80 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat perubahan,(3) membagikan tanggung jawab untuk berbagai tindakan yang harus dilakukan,(4) membangun prioritas berbagai tindakan, terutama apabila proses tidak dapat dilakukan pada waktunya, (5) mengusahakan anggaran yang diperlukan untuk menjamin rencana pelaksanaan, (6) menetapkan tim dan struktur yang diperlukan untuk implementasi rencana,(7) membagikan hak sumberdaya manusia terhadap tugas, (8) menetapkan tujuan untuk program perubahan, (9) mempertimbangkan kebijakan yang diperlukan untuk membuat proses implementasi berjalan, (Wibowo, 2006 : 319). Oleh karena itu, perubahan memerlukan pemimpin yang kompeten, visioner, berpikir stratejik, dan mampu untuk mengelola perubahan bersama bawahan. Potts and LaMarsh (2004 : 36), melihat perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju pada keadaan yang dinginkan di masa akan datang, di mana perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari sudut “Structure, Process, People dan Culture” Penyebab kegagalan perubahan, menurut Black and Gregersen, ( 2003 : 6 ), adalah sebagai berikut : (1) karena kegagalan melihat akan perlunya perubahan; (2) walaupun dapat melihat perlunya perubahan, tetapi sering gagal untuk bergerak untuk melakukan perubahan; (3) walaupun mampu melihat perubahan dan bergerak melakukan perubahan, tetapi gagal untuk menyelesaikan perubahan. ISSN 1979 - 7168 Oleh sebab itu, kebutuhan akan perubahan ( Needs for Change), lahir dari keberhasilan sebelumnya, karena keberhasilan adalah merupakan ukuran tentang melakukan sesuatu yang benar dan melakukan sesuatu dengan baik. Perubahan tersebut merupakan perubahan organisasional yang merupakan transformasi secara terencana atau tidak terencana di dalam struktur organisasi, teknologi, dan orang (Black and Gregersen, 2003 : 590 ). Dengan demikian, perubahan adalah membuat sesuatu menjadi berbeda ( Robbins, 2001:542). Supply dan Demand Pariwisata (Supply and Demand Tourism) Dalam industry pariwisata, penawaran meliputisemua produk yang dihasilkan oleh kelompok perusahaan termasuk produk yang dihasilkan oleh kelompok perusahaan termasuk dalam kelompok industry pariwisata yang akan ditawarkan kepadawisatawan, baik kepada mereka yang datang secara langsung, atau melalui perantara seperti travel Agent, BPW, atau Tour Operator lainnya, Yoeti (2003). Menurut Salah Wahab (1976), pada umumnya, penawaran pariwisata mencakup yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan yang real maupun yang potensial. Penawaran dalam pariwisata menunjukkan khasanah atraksi wisata alam dan buatan manusia, jasa-jasa maupun barang-barang yang akan menarik orang untuk mengunjungi suatu Negara tertentu. Penawaran pariwisata ditandai oleh 3 (tiga) ciri utama: 81 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat a. Merupakan “Penawaran Jasajasa”. Dengan demikian apa yang ditawarkan itu tidak mungkin ditimbun dan harus dimanfaatkan di mana produk itu berbeda. Dengan kata lain, mustahil mengangkutnya, dan oleh sebab itu produk tersebut berbeda dari produk-produk lain yang ditawarkan, dalam arti bahwa konsumen harus mendatangi apa yang ditawarkan itu untuk diteliti, b. Yang ditawarkan itu sifatnya kaku (Rigid) dalam arti bahwa dalam usaha pengadaannya untuk keperluan wisata, sulit sekali untuk mengubah sasaran penggunaannya di luar pariwisata, c. Karena pariwisata belum menjadi kebutuhan pokok manusia, maka penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang-barang dan jasa-jasa lainnya. Dalam hal ini “Hukum Substitusi” sangat kuat berlaku.Lohman dan Kaim (1999), menguraikan dalam “Tourism Framework ”bahwa faktor Supply dan Demand dari barang dan jasa dapat mempengaruhi perubahan reaksi terhadap industry kepariwisataan. Terdapat lima factor parasyarat dalam keparawisataan yang perlu diketahui sebagai suatu daerah tujuan wisata, yaitu : daya tarik, amenitas, atau fasilitas, Holloway, (1994) dan aksessiblitas dan kemampuan biro perjalanan memberikan motivasi untuk bepergian terhadap wisatawan, Lohmann et.,al., (1999). ISSN 1979 - 7168 Menurut Matheieson dan Wall, (1982) : mendefinisikan permintaan pariwisata merupakan sejumlah orang bepergian atau menginginkan perjalanan, atau menggunakan fasilitas pariwisata atau mendapatkan pelayanan pada daerah tujuan wisata (DTW). Dari sudut pandang kuantitatif, cukup masuk akal untuk berasumsi bahwa semakin besar jumlah penduduk Negara sumber wisatawan, semakin banyak tentunya jumlah wisatawan yang akan bepergian, seandainya faktor-faktor lain seperti kelebihan pendapatan,situasi politik tetap stabil. Tetapi ditinjau dari segidaerah tujuan wisata yang ada ,faktor-faktor lain seperti pendeknya jarak dan factor kemudahan pencapaian (accessibility) tetap akan sangat berpengaruh. Inilah gejala konsekuensi wisatawan kesuatu tempat tertentu, yang telah terbukti dari pengamatan dan studi-studi statistic mengenai lalulintas wisata selama beberapa tahun. Permintaan pariwisata terdiri atas 3 (tig) komponen, yaitu : (a) Permintaan yang efektif atau actual, adalah jumlah sebenarnya peserta pariwsata, mereka yang sesungguhnya melakukan perjalanan, hal ini merupakan bagian permintaan yang sangat umum dan mudah diukur dan kebanyakan statistik pariwisata merupakan permintaan yang efektif, (b) Permintaan Tersamar, yaitu masyarakat yang tidak bepergian untuk beberapa alasan. Permintaan tersamar dapat dibedakan menjadi : pertama, permintaan potensial mengarah pada mereka yang akan bepergian pada beberapa hari mendatang, jika mereka mengalami 82 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat keadaan perubahan, dan kedua jika dikarenakan terjadi perubahan lingkungan, seperti faktor keamanan, cuaca, iklim, dan isu terorisme, (c) Tidak ada Permintaan, tergolong bagi mereka yang tidak menginginkan bepergian. Pengkajian-pengkajian permintaan di berbagai pasaran wisata telah menunjukkan bahwa permintaan wisata menurut Salah Wahab (19976), ditandai dengan ciri-ciri khas tertentu, yaitu : Pertama, Kekenyalan (Elasticity), kekenyalan permintaan wisata berarti seberapa jauh tingkat kelenturannya terhadap perubahanperubahan struktur harga atau perubahan macam-macam keadaan ekonomi di pasaran. Titik awal munculnya permintaan wisata dengan keadaan ekonomi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan orang-orang memiliki kelebihan pendapatan dan lamanya hari-hari libur yang tetap dibayar. Karena pengeluaran wisata merupakan penyisihan sebagian anggaran pribadi dan keluarga, yang bersaing dengan barang-barang keperluan lainnya, seperti mobil baru, alat-alat rumah tangga atau bahkan untuk membeli rumah kedua di pegunungan, maka dapat dipahami mengapa permintaan wisata menunjukkan elastisitas langsung dengan jumlah pendapatan di satu pihak dengan biaya dipihak lain. Akibatnya, elastisitas permintaan ini sangat penting bagi para pejabat untuk pengambilan keputusan di negaranegara tujuan wisata, karena mereka harus mengetahui faktor korelasi antara suatu lonjakan harga dan suatu penurunan permintaan dan sebaliknya. ISSN 1979 - 7168 Kedua, Kepekaan (Sensitivity), permintaan wisata sangat peka terhadap kondisi social politik dan terhadap perubahan metode penjualan. Situasi politik ini terjadi baik pada sumber wisatawan maupun di Negara tujuan wisata yang menjadi factor penentu berwisata. Ketiga, Perluasan (Expansi), pengaruh ekonomi di Negara-negara sumber wisatawan yang memungkinkan semakin luas kesempatan bagi rakyatnya untuk turut serta dalam kegiatan wisata. Keempat, Musim (Season), baik Negara asal sumber wisatawan maupun dengan Negara tujuan atau DTW sering mengalami fluktuasi yang berlebihan. Adapun faktor-faktor penentu kecenderungan untuk melakukan suatu perjalanan sebagai sebuah alat ukur permintaan yang bermanfaat bagi suatu populasi. Kecenderungan untuk melakukan suatu perjalanan bagi sebagian jumlah penduduk akan meningkat dengan cirri-ciri sebagai berikut : a) Penghasilan, b) Tingkat urbanisasi, c) Tingkat Pendidikan, d) Tingkat mobilitas. Bagaimanapun, hal ini akan mengalami penurunan yang ditandai dengan cirri-ciri sebagai berikut : a) Jumlah anggota keluarga, b) Meningkatnya umur, c) Hubungan antar kecenderungan dalam melakukan suatu perjalanan dan cirri-ciri suatu jumlah penduduk. Pada saat keputusan telah diambil untuk melakukan suatu perjalanan, kemampuan untuk melakukan perjalanan dan tujuan perjalanan akan dipengaruhi oleh keterkaitan dari berbagai faktor. Hubungan tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, 83 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat ISSN 1979 - 7168 yaitu : Pertama, Kelompok gaya hidup, yang didalamnya termasuk penghasilan, pekerjaan, pemberian hak atas hiburan, pencapaian pendidikan dan mobilitas. Kedua, Kelompok Siklus Kehidupan, seperti umur, kondisi-kondisi keseharian seseorang mempengaruhi bentuk permintaan pariwisata. Bagaimanapun pariwisata masih merupakan sesuatu yang mewah yang belum dapat dicapai oleh sebagian besar penduduk di dunia, tidak hanya Negara miskin dan Negara berkembang tetapi juga beberapa Negara maju di dunia. Ada beberapa alas an yang bervariasi mengapa masyarakat tidak bepergian : a) Bepergian membutuhkan biaya yang besar. Batas pengahsilan tertentu sangat penting sebelum dapat memasuki pasar, b) Keterbatasan GAMBAR 1 Plant-Market Match Model Taylor (1980) waktu merupakan problem bagi individu-individu yang tidak dapat mengalokasikan waktu yang cukup untuk bepergian. Hal ini mungkin dengan alasan bisnis dan kelurga, c) Keterbatasan fisik merupakan alas an terbesar bagi masyarakat, untuk tidak bepergian, sakit jantung, menjadi penghalang utama untuk melakukan perjalanan wisata, d) Keadaan keluarga, d) Pembatasan pemerintah, seperti pengawasan mata uang asing dan visa sebagai penghalang nyata bagi beberapa Negara, e) Kurangnya minat, merupakan rintangan bagi individu. Taylor (1980) :menguraikansuatu model PlantMarket Match Model di dalamsistem “Perencanaan Pariwisata” (Tourism Planning) di bawah ini sebagai berikut Existing and Future Information Supply GIVEN Particular Market Segmen Demand Expenses Demand Essential Macro Level Information Macro Level Matching System GIVEN A Location and Desired Market Segment PRODUCE PRODUCES Locations with Rest Match Demand GIVEN Plant Improvements Required GIVEN Overall Market Requirements A Specified Area PRODUCES PRODUCE Overall Assessment of Plant Match Market Segments most likely to be attracted Essential Micro Level Information Specific Project Proposal Micro Level Matching System Market Share Analysis Financial Assessment of Investment Sumber : Taylor (1980) Impact on Region Economic Assessment 84 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat ISSN 1979 - 7168 Menurut A Loockwooddan S Medlik (2001: 286) menguraikan Framework Tourism abad 21, sebagai berikut: GAMBAR 2. TOURISM FRAMEWORK Economy -Spare time, T e C h n o L - Values,attitutes - Disposable income, Property, Health,Mobility Fashior,trends Motives,demands Sociodemography Culture background Working,living &Conditions S T Motivation to Ability to R sU C -Accomodation - Catering - Infrastructure - Services Features Amenities -Transport - Distribution Accessibilit y Travel Travel S o C I Attractiveness Demand Offer E T U T F R o g y -Landscape - Nature - Weather - Culture - History - man-made Communication I y e L Image Image T E R (re)action (re)action R Tourism E S U Demography Politics L Source t: A. Lockwood,et.al, 2001, ( Tourism and Hospitality in the 21 Century) Loockwood, menguraikan tourism framework dalam tiga tingkatan yaitu: struktur, filter (penyaringannya), dan hasil (result). Kemudian tingkatan tersebut dipengaruhi oleh pelbagai faktor antara lain : faktor ekonomi, society, politik, teknologi. Kesemuanya mempengaruhi supply dan demand, di mana hasil yang dicapai bergantung pada komunikasi (filtering)nya. Dalam perspektif Continuous Improvement Mindset (CIM) dan Change Management (CM) factor 85 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat supply dan demand dalam pariwisata harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan /sustainabel agar seluruh wisatawan baik mancanegara maupun domestic dapat merasakan value yang sesuai dengan tuntutan perubahanzaman sesuai dengan kemajuan organisasi bisnis industry pariwisata di Indonesia. Menurut Paul Peter dan Jerry C.Olson (1996), dalam uraian “American Marketing Association” bahwaperilaku konsumen adalah interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi perilaku, dan kejadian disekitar kita di mana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka”. Paling tidak ada tiga ide penting dalam definisi di atas, yaitu : (1) perilaku konsumen adalah dinamis, (2) hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian sekitar, (3) melibatkan pertukaran. Engel dan Black Well (1995) berpendapat bahwa perilaku konsumen adalah tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam suatu usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang dan jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakantindakan. Namun inti dari perilaku konsumen adalah pengambilan keputusan dalam pemilihan produk atau merek dan faktor yang menyebabkan konsumen memilih suatu produk (fisik) maupun jasa (non fisik). Wahab, (1992), menyatakan bahwa ada beberapa keinginan dan kebutuhan yang menjadi pokok dan berlaku untuk semua orang, namun ada ISSN 1979 - 7168 beberapa di antaranya bergantung pada jenis kelompok pembeli yang ingin ditarik oleh penjual, (tua-muda, orang kaya, rakyat biasa, individu, kelompok, gaji tinggi, gaji rendah, dan sebagainya). Kelompok-kelompok pembeli ini mempunyai perilaku yang berbeda dalam keinginan, kebutuhan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian. Kelompokkelompok pembeli ini dapat diketahui dengan melakukan penelitian segmentasi pasar. Berkaitan dengan perilaku wisatawan memutuskan untuk mengunjungi objek wisata budaya, terdapat tiga model perilaku wisatawan menurut Cooper, et.al,(1993) melalui tiga tahap, yaitu : (1) tahap awal perilaku wisatawan didominasi oleh pengaruh Distribusi, Periklanan, Promosi; (2) tahap Motivasi, menekankan pda Biro interview, Kelompok, Apperception test dan teknik proyektor lain; (3) Formative phase yang disediakan oleh textbook para ahli sangat tepat tepat sebagai landasan teoritis untuk penelitian produk wisata budaya. Kotler, (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen atau perilaku pembelian adalah faktor budaya, sosial, faktor pribadi dan faktor psikologis. Menurut John C Mowen, et al. (2000) ciri utama dari perilaku konsumen didasarkan pada riset perilaku konsumen melalui tiga perspektif riset sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku perolehan (akuisisi) konsumen ketiga perspektif itu adalah : (1) perspektif pengambilan keputusan (decision making 86 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat perspective), (2) perspektif pengalaman (experiential perspective), dan (3) perspektif pengaruh perilaku (behavioral influence perspective). Adapun pemahaman dari “perspektif pengambilan keputusan” menggambarkan seorang konsumen sedang melakukan serangkaian langkah-langkah tertentu pada saat melakukan pembelian. Langkahlangkah tersebut termasuk pengenalan masalah, mencari, evaluasi alternative, memilih dan evaluasi pasca perolehan. Akar dari pendekatan ini adalah pengalaman kognitif dan psikologi serta faktor-faktor ekonomi lainnya. “perspektif pengalaman”(experiential perspective) adalah bahwa untuk beberapa hal konsumen tidak melakukan pembelian sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang rasional, namun mereka membeli produk dan jasa tertentu untuk memperoleh kesenangan, menciptakan fantasi, atau perasaan emosi saja. Maksudnya pengklasifikasian berdasarkan perspektif pengalaman yang menyatakan bahwa pembelian akan dilakukan karena dorongan hati dan mencari variasi. Pencarian variasi ini terjadi ketika konsumen beralih ke merek lain dengan penyebab sederhana, yaitu karena mereka merasa bosan dengan merek lama dan tergoda oleh produk baru yang lain. Sedangkan “perspektif pengaruh perilaku”(behavioral influence perspective) mengasumsikan bahwa kekuatan lingkungan memaksa konsumen untuk melakukan pembelian tanpa harus terlebih dahulu membangun perasaan atau kepercayaan terhadap produk. Menurut ISSN 1979 - 7168 perspektif ini, konsumen tidak saja melalui proses pengambilan keputusan rasional, namun juga bergantung pada perasaan untuk membeli produk atau jasa tersebut. Sebagai gantinya, tindakan pembelian secara langsung merupakan hasil dari kekuatan lingkungan, seperti sarana promosi penjualan (seperti kontes), nilai-nilai budaya, lingkungan fisik, dan tekanan ekonomi. Menurut Chris Cooper, Jhon Fletcher, David Gilbert dan Stephen Wanhill (1993), dalam uraiannya mengatakan bahwa permintaan di bidang pariwisata pada tingkat individu dapat diperlakukan sebagai konsumsi yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang merupakan kombinasi dari kebutuhan dan keinginan, ketersediaan waktu dan uang, atau citra, persepsi dan sikap. Tujuannya adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu dalam pariwisata dan bersama-sama membentuk permintaan individu terhadap pariwisata. Menurut Philip Kotler, John Bowen,dan James Makens,(1999) menguraikan teknis mengukur dapat dilihat dari dimensi yang dikenal, yaitu ”AIO” ( Activities, Interest, Oponions). Beberapa perusahaan riset mengembangkan pengklassifikasian gaya hidup yang paling banyak dipakai adalah tipologi ”Values and Lifestyle” (VALS) dari SRI, yang orisinil diperkenalkan pada tahun 1978 dengan mengklassifikasikan konsumen dalam sembilan kelompok gaya hidup menurut apa yang ditujukan ke dalam (misalnya ”pengalaman”), dan yang ditujukan ke luar (misalnya, 87 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat ”pencapaian”, ”kepemilikan”) atau digerakkan oleh kebutuhan (”bertahan hidup”). Versi yang baru, yaitu VALS 2, mengklassifikasikan orang berdasarkan kecenderungan konsumsi seseorang, yaitu bagaimana ia menghabiskan waktu dan uangnya. VALS 2 membagi konsumen menjadi delapan kelompok berdasarkan dua dimensi utama, yaitu ”orientasi diri dan sumber daya”. Dimensi orientasi diri membuat tiga macam pendekatan membeli, yaitu pertama, konsumen yang berorientasi pada prinsip, yang membeli berdasarkan pandangan mengenai bagaimana keadaan dunia atau keadaan yang seharusnya, kedua, pembeli yang beorientasi pada status, yang mendasarkan pembelian pada tindakan dan opini orang lain, dan ketiga, pembeli yang berorientasi pada tindakan, yang digerakkan oleh keinginan akan aktivitas, variasi, dan pengambilan resiko. Kemudian konsumen dari setiap orientasi selanjutnya diklassifikasikan menjadi satu dari dua segmen sumberdaya, bergantung pada tinggi rendahnya pendapatan, pendidikan, kesehatan, kepercayaan diri, energi dan faktorfaktor lainnya. Gaya hidup tidak bersifat universal, melainkan bervariasi antar negara yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, McCann-Erickson London mendapatkan bahwa gaya hidup Inggris bersifat event guardians (tertarik pada perubahan), pontificators (tradisional), sangat terkait dengan Inggris, chameleons (mengikuti arus), dan sleepwalkers (puas menjadi orang yang kurang sukses). Jika dimanfaatkan dengan hati-hati, konsep ISSN 1979 - 7168 gaya hidup dapat membantu pemasar memahami perubahan nilai konsumen dan gaya hidup yang mempengaruhi perilaku pembeli. PENUTUP 1. Dalamperspektif Continuous Improvement Mindset (CIM) dan Change Management (CM) faktor Supply dan Demand dalam pariwisata harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan /sustainabel agar seluruh wisatawan baik mancanegara maupun domestic dapat merasakan value yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman sesuai dengan kemajuan organisasi bisnis industry pariwisata di Indonesia. 2. Dalam lingkungan bisnis global, customer memegang kendali bisnis, sehingga organisasi bisnis perlu didesain yang memungkinkan seluruh sumberdaya manusia diorientasikan ke pemuasan kebutuhan customer. Kendali bisnis yang telah bergeser ke tangan customer memaksa produsen untuk merekayasa ulang proses dan sistem yang dipakai oleh manajemen dalam mengorganisasi sumberdaya manusia agar mampu menghasilkan value bagi customer. Adanya pergeseran ini memaksa perusahaan untuk melakukan continuous improvement terhadap proses dan sistem yang dapat menciptakan keunggulan bersaing dari semua elemen produk dan jasa yang ditawarkan dari para pesaing. 88 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat 3. Melalui Continuous Improvement Mindset dapat diwujudkan sistem pengendalian manajemen berupa peningkatan kualitas, keandalannya, kecepatan, dan efisiensi biaya. Karena CIM, manajemen puncak dapat merumuskan dan mengkomunikasi kan paradigma tersebut melalui pendekatan sistem terhadap personal behavior dan operational behavior. 4. Manajemen perubahan ditujukan untuk memberikan solusi bisnis yang diperlukan dengan sukses melalui proses dan sistem yang terorganisasi dengan metode melalui pengelolaan dampak pada orang yang terlibat di dalamnya. 5. Di dalam implementasinya, penanganan perubahan harus dilakukan secara simultan, baik individu maupun secara organisasi yang terlibat di dalamnya melalui pendekatan sistem, melalui hubungan input, proses, dan output yang diharapkan. Tahapannya harus dilakukan dengan jelas, karena meninggalkan salah satu tahapan berarti membuka peluang ketidakberhasilan upaya perubahan. 6. Jika menginginkan perubahan kecil, garaplah perilaku anda. Jika menghendaki perubahan besar dan mendasar, garaplah mindset anda (Carol S.Dweck, 2007). DAFTAR PUSTAKA Anderson, Dean and Linda S Ackerman Anderson, Beyond Change Management.San ISSN 1979 - 7168 Fransisco : Jossey Bass, 2001. Black,J Steward and Hal B Gregersen. Leading Strategic Change.new Jersey : Pearson Eduacation,Inc.,2003. Burnes,Bernard.Managing Change.Essex-England : Pearson Education Limited, 2000. Greg Bounds, Beyond Total Quality Management : Toward the Emerging Paradigma, New York:McGraw-Hill Inc, 2004. Greenberg,Jerald and Robert A.Baron. Behavior in Organization.New Jersey: prentice Hall International,1997 --------------, Behavior in Organization.New Jersey: prentice Hall International,2003. Hussey,D E.How to Manage Organizational Change. London : Kogan Page Limited, 2000. Lockwood A, and Medlik S, 2001. Tourism and Hospitality in the 21th Century. 2001. sMathieson, A dan Wall,G. Tourism : Economic, Physical and Social Impacts. 1982 : London Longman. Michael Colenso. Kaizen Strategies for Improving Team Performance.Penerbit Financial Times Prentice Hall, how to accelerate team development and enhance team productivity, Kaizen Strategies Series, 2000. Potts,Rebecca and Jeanenne LaMarsh. Managing Change for Success.London : Duncan Baird Publishers, 2004 Palmer Ian, Richard D, Gib Akin. Managing Organizational Change.Boston : McGraw-Hill 89 UPPM Politeknik Pariwisata Makassar Unit Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Companies, Inc., 2009. Robbins, Stephen P.Organization Behavior. New Jersey : Prentice Hall International,Inc,2001. Sondang, Manajemen Abad 21. Penerbit Bumi Aksara, 2004. Snyder, Neil H, James D.Dowd,Jr.,Dianne Morse Houghton.Vision, Values, and Courage : Leadership for Quality Management.New York: The ISSN 1979 - 7168 Free Press,1994. Vincent Gaspersz, Total Quality Management. Edisi Ketiga Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003. Wibowo, Manajemen Perubahan. Edisi Ketiga,Penerbit PT.Raja Graffindo, Jakarta, 2011. Wellington Patricia. Kaizen Strategies for Customer Care.Kepedulian pada Pelanggan, 1998. 90