Coinfection Koinfeksi HIV & Viral Hepatitis HIV & Hepatitis Virus a guide for clinical management pedoman untuk penatalaksanaan klinis R ED EV IT ISE IO D N Edited by Gregory Dore and Joe Sasadeusz Versi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Yayasan Spiritia Diterbitkan pertama kali pada 2003 oleh Australasian Society for HIV Medicine Inc. Locked Bag 5057, Darlinghurst, NSW 1300 Tel: 61 2 8204 0700 Fax: 61 2 9212 2382 Email: [email protected] Website: www.ashm.org.au ABN: 48 264 545 457 Dicetak ulang dengan revisi kecil 2005 Dicetak ulang dengan revisi kecil 2006 Redaksi: Gregory Dore, Joe Sasadeusz Redaksi eksekutif: Levinia Crooks Manager Program Pendidikan ASHM: Edward Reis Perancang dan indeks: McGill Design Group, 6 National Street, Rozelle NSW; www.mcgilldesigngroup.com Copy-edit: Mary Sinclair (2003 ed) Logistik terbitan: Levinia Crooks, Marina Carman; Vicky Fisher (2005, 2006 eds) Buku asli ISBN 1 920773 14 2 © Australasian Society for HIV Medicine Inc. 2006 Daftar isi Daftar isi .......................................................................................................................... 1 Prakata ............................................................................................................................ 2 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus ................................................................ 3 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis C ................................................... 13 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B .................................................... 20 Hepatotoksisitas terkait terapi antiretroviral: prediktor dan tatalaksana klinis ................ 28 Daftar istilah .................................................................................................................. 34 Acronim ......................................................................................................................... 35 Daftar obat ..................................................................................................................... 36 Prakata Munculnya terapi antiretroviral (ART) memberi rasa optimistis yang besar untuk orang yang hidup dengan HIV (Odha) dan dokternya. Harapan hidup yang lebih baik, risiko infeksi oportunistik yang lebih rendah, dan mutu hidup yang lebih baik menjadi kenyataan untuk kebanyakan orang yang hidup dengan HIV yang mempunyai akses luas pada pengobatan HIV yang lebih baik ini. Namun, perkembangan dalam penatalaksanaan klinis HIV disertai kerumitan terapeutik yang lebih tinggi dan munculnya morbiditas baru. Terkait dengan hal ini, koinfeksi HIV dan hepatitis virus serta hepatotoksisitas terkait ART menjadi masalah klinis yang mulai muncul. Prevalensi koinfeksi HIV dan hepatitis virus sangat berbeda-beda berdasarkan wilayah geografis dan demografi. Di Australia, hampir 20 persen Odha diperkirakan koinfeksi dengan hepatitis B kronis atau hepatitis C kronis. Negara lain, terutama negara dengan proporsi HIV terkait penggunaan narkoba suntikan yang lebih tinggi, mempunyai prevalensi koinfeksi lebih tinggi. Pemahaman riwayat alami koinfeksi HIV dan hepatitis virus mendasari penatalaksanaan klinis. Oleh karena ini, Bab 1 meliputi epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus, termasuk interaksi yang penting antara virus yang diangkut darah ini. Perkembangan penyakit hati yang lebih cepat pada orang koinfeksi HIV dan hepatitis C kronis, serta terapi antiviral hepatitis C yang semakin manjur mendasari anjuran mengenai penatalaksanaan klinis koinfeksi HIV dan hepatitis C yang diuraikan pada Bab 2. Walau terapi antiviral hepatitis C semakin baik, kemanjuran tetap di bawah optimal, terutama untuk orang dengan hepatitis C genotipe 1 dan mereka dengan kerusakan kekebalan yang berat. Interaksi antara terapi antiviral hepatitis C dan ART meningkatkan kesulitan dalam keputusan terapeutik. Oleh karena itu, diusulkan pengambilan strategi penatalaksanaan klinis berdasarkan penilaian prognosis HIV dan hepatitis C, serta kemungkinan ada tanggapan pada terapi antiviral hepatitis C. Beberapa terapi antiviral hepatitis B, di antaranya yang mempunyai kegiatan ganda terhadap HIV dan hepatitis B, baru dikenalkan atau dalam perkembangan. Kemajuan ini pada penatalaksanaan terapeutik hepatitis B pasti akan meningkatkan harapan untuk penatalaksanaan klinis koinfeksi HIV dan hepatitis B, seperti diuraikan pada Bab 3. Kegiatan ganda beberapa unsur ini seharusnya memperbaiki penanganan kedua infeksi virus kronis ini. Pencegahan dan penatalaksanaan toksisitas terkait ART tetap menjadi masalah besar dalam perawatan klinis untuk Odha. Hepatotoksisitas adalah unsur penting dari bidang penatalaksanaan klinis ini. Pada Bab 4, peninjauan terhadap penelitian mengenai hepatotoksisitas terkait ART dikajikan, termasuk kejadian dan prediktor peristiwa tersebut. Tambahannya, algoritme penatalaksanaan yang praktis disediakan. Edisi risalah yang direvisi ini termasuk kemajuan terapeutik, terutama yang di bidang koinfeksi hepatitis C dan HIV. Kami berharap risalah ini akan menyediakan alat untuk dokter HIV yang dapat memperbaiki kepercayaan diri dalam penatalaksanaan koinfeksi HIV dan hepatitis virus serta juga hepatotoksisistas terkait ART. Gregory Dore Joe Sasadeusz 2 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus Gail Matthews Clinical Project Leader in Viral Hepatitis, National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, The University of New South Wales, Darlinghurst NSW Gregory Dore Head of Viral Hepatitis Program, National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, The University of New South Wales, Darlinghurst NSW Pokok Kunci Ɣ Infeksi virus hepatitis B (HBV) maupun virus hepatitis C (HCV) adalah lebih lazim pada orang terinfeksi HIV dibandingkan masyarakat umum karena faktor risiko bersamaan untuk penularan virus tersebut. Pengguna narkoba suntikan terutama berisiko tinggi untuk koinfeksi HIVHCV. Ɣ Dalam rangkaian infeksi HBV dan HCV, koinfeksi dengan HIV menyebabkan kemungkinan lebih besar infeksi virus hepatitis menjadi kronis dan meningkatkan replikasi virus. Ɣ Bukti saat ini memberi kesan bahwa infeksi HIV mungkin berdampak negatif pada kelanjutan penyakit hati terkait HBV, walau alasannya tidak jelas. HBV tampaknya berdampak kecil pada kelanjutan penyakit HIV. Ɣ Infeksi HIV mempercepat penyakit hati terkait HCV dengan kelanjutan lebih cepat pada sirosis, penyakit hati dekompensasi dan munculnya karsinoma hepatoselular lebih dini. Ɣ Bukti mengenai dampak HCV pada kelanjutan HIV bertentangan, dengan hasil yang tidak konsisten dari penelitian kohort. Oleh karena itu, dibutuhkan pemantauan jangka panjang terhadap orang yang memakai terapi antiretroviral (ART). Ɣ Unsur antiretroviral berdampak kecil jangka panjang pada viremia HCV, walau ada yang mempunyai kegiatan anti-HBV yang bermakna. Ɣ Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit hati stadium akhir pada orang terinfeksi HIV meningkat; semua upaya harus dilakukan untuk mengetahui, membimbing dan mengobati secara sesuai mereka koinfeksi HBV atau HCV. 1 Pengantar Sekarang ada kesepakatan yang luas bahwa infeksi dengan virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV) akan menyumbang secara bermakna pada morbiditas dan mortalitas terus-menerus di antara orang terinfeksi HIV dalam beberapa tahun ke depan. Penelitian riwayat alami yang menyelidiki dampak HIV pada masa depan mereka dengan HBV dan HCV dan sebaliknya sudah memungkinkan pemahaman yang lebih besar mengenai saling interaksi antara virus ini. Pemahaman ini terutama penting sebagaimana pengobatan untuk infeksi HIV berkembang terus. Bab ini akan meninjau epidemiologi HIV dan koinfeksi hepatitis virus yang sudah tersedia, dan dampak koinfeksi pada kelanjutan penyakit. Prevalensi global Beban global infeksi HIV, HBV dan HCV adalah besar, dengan tumpang-tindih yang bermakna antara infeksi ini di wilayah geografis dan populasi yang paling terpengaruh. Pola perilaku berisiko dan kebersamaan dalam cara penularan mengakibatkan angka koinfeksi yang sangat amat tinggi dalam kelompok tertentu, terutama untuk koinfeksi HIV-HCV. Di Eropa, angka koinfeksi HIV-HCV menunjukkan perbedaan yang jelas berdasarkan wilayah geografis. Di kohort EuroSIDA dengan lebih dari 3.000 pasien, prevalensi koinfeksi HIV-HCV adalah 33 persen.1 Di daerah Eropa selatan, misalnya Spanyol dan Portugal, angka mungkin melebihi 50 persen,2 sementara di Eropa utara, angka jauh lebih rendah (10-37 persen).3,4,5 Perbedaan ini terutama terjadi karena proporsi infeksi HIV terkait penggunaan narkoba suntikan yang lebih tinggi di Eropa selatan. Perbedaan geografis juga terjadi di dalam negara tertentu. AS mempunyai beban koinfeksi yang bermakna dengan kurang Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 3 1 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus lebih 240.000 orang koinfeksi HIV-HCV (prevalensi 30 persen)6 tetapi angka ini sangat berbeda-beda dalam penelitian dari negara bagian yang berbeda.7 Sebuah penelitian dari New York memperkirakan seroprevalensi HCV adalah 40 persen pada orang terinfeksi HIV,8 sementara sebuah penelitian dari San Francisco memperkirakan prevalensi sebagai 16 persen.9 Seperti pada penelitian di Eropa, perbedaan dalam prevalensi HCV terkait dengan perbedaan proporsi kelompok berisiko tinggi misalnya pengguna narkoba suntikan dan orang dengan hemofilia dalam populasi yang ditelitikan. Di wilayah lain, pola serupa dilihat dengan angka prevalensi terutama ditentukan oleh faktor risiko. Di Manipur, India, 92 persen pengguna narkoba suntikan dengan HIV diperkirakan koinfeksi HCV.10 Di Malawi, dengan pola penularan HIV terutama adalah melalui heteroseks, prevalensi HCV (kurang lebih 16,5 persen) adalah serupa pada perempuan dengan atau tanpa HIV.11 Sebuah analisis retrospektif terhadap prevalensi HCV di penelitian CAESAR di bebagai negara (Kanada, Australia, Eropa, Afrika Selatan) menunjukkan angka keseluruhan 15,6 persen dengan prevalensi berkisar dari 1,9 persen di Afrika Selatan hingga 48,6 persen di Italia (Gambar 1.1).12 Gambar 1.1 Prevalensi koinfeksi berdasarkan negara: penelitian CAESAR 60 % koinfeksi HCV 50 40 30 20 10 Sumber: Amin J, Kaye M, Skidmore S, Pillay D, Cooper DA, Dore GJ. HIV and hepatitis C coinfection within the CAESAR study. HIV Medicine 2004;5:174 –179. 4 Italia Spanyol Swiss Prancis Swedia Kanada Portugal Inggris Australia Belgia Belanda Jerman Denmark Afrika Selatan 0 Di antara Odha, prevalensi infeksi HBV aktif tidak mencapai tingkat yang sama seperti HCV, tetapi tetap lebih tinggi secara bermakna dibandingkan masyarakat umum. Prevalensi HBsAg-positif umumnya berkisar 6-10 persen,5,13 dengan lebih sedikit perbedaan berdasarkan wilayah geografis dan faktor risiko penularan HIV dibandingkan dengan prevalensi HCV. Mekanisme yang melatarbelakangi risiko infeksi HBV yang lebih tinggi untuk Odha berhubungan dengan cara penularan melalui seks dan parenteral yang serupa. Prevalensi di Australia Pada akhir 2004, diperkirakan ada 14.840 Odha di Australia, sementara kurang lebih 194.000 orang hidup dengan infeksi hepatitis C kronis.14 Lebih lanjut diperkirakan 65.000 lagi terpajan pada HCV dengan mempunyai antibodi terhadap HCV tetapi tanpa bukti ada infeksi aktif. Prevalensi persis infeksi hepatitis B belum diketahui, dengan perkiraan terbaru memberi kesan bahwa antara 90.000 dan 160.000 orang di Australia sudah HBsAg-positif.15 Australian HIV Observational Database (AHOD) mengumpulkan informasi demografis mengenai Odha dari 24 tempat di seluruh Australia dan sampai sekarang melibatkan lebih dari 2.000 peserta.16 Tujuh puluh tujuh persen kohort ini sudah dites untuk HBsAg dan 82 persen untuk antibodi HCV. Prevalensi HBsAg adalah 6,3 persen sementara prevalensi antibodi HCV adalah 13,1 persen (prevalensi kohort keseluruhan adalah 4,8 persen dan 10,1 persen berturut-turut bila data kosong dianggap negatif). Dari peserta yang dites, 1,3 persen (1,0 persen dari kohort keseluruhan) dicatat sebagai positif untuk HIV, HBV dan HCV. Data prevalensi ini lebih tinggi secara bermakna dibandingkan data dari populasi Australia umum dan mencerminkan dampak kumulatif dari risiko pajanan yang bertumpang-tindih. Di antara pengguna narkoba suntikan di Australia, prevalensi HCV diperkirakan antara 50 persen dan 60 persen, sementara prevalensi infeksi HIV hanya 1 persen.17 Oleh karena itu, proporsi pengguna narkoba suntikan koinfeksi HIV-HCV juga tidak lebih dari 1 persen. Angka koinfeksi ini berbeda dengan negara lain misalnya AS dan Spanyol, dengan prevalensi koinfeksi di antara pengguna narkoba suntikan jauh lebih tinggi. Angka Australia yang rendah ini mencerminkan keberhasilan program Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis pengurangan dampak buruk Australia dalam membatasi penularan HIV dalam kelompok risiko ini. Prevalensi berdasarkan faktor risiko penularan HIV dan hepatitis virus HIV mempunyai jalur penularan yang sama seperti HCV dan HBV. HCV terutama menular secara parenteral melalui penggunaan narkoba suntikan dan produk darah yang tidak diskrining, dan HBV secara parenteral dan melalui hubungan seks. Kemungkinan penularan virus tergantung bukan hanya pada jalur pajanan tetapi juga pada jumlah cairan yang disuntik dan lamanya pajanan. Orang dengan hemofilia yang diberi transfusi dengan produk darah yang tidak disterilkan sebelum skrining dimulai sering terpajan pada jumlah virus hepatitis C yang besar. Oleh karena itu, angka infeksi HCV dalam kelompok ini dapat mencapai 80-90 persen dan hampir semua orang dengan hemofilia dan HIV juga terinfeksi HCV.18 Secara global, penggunaan narkoba suntikan tetap menjadi salah satu dari dua faktor risiko utama untuk infeksi HCV (yang kedua adalah suntikan tidak aman dalam sarana kesehatan), dan faktor risiko besar untuk infeksi HIV. Lamanya dan frekuensi penggunaan serta perilaku suntikan lain mempengaruhi kemungkinan koinfeksi secara bermakna. Pada penelitian terhadap pengguna narkoba suntikan dengan HIV, angka infeksi HCV berbeda-beda dari 40 persen7 sampai lebih dari 90 persen.1,19 Walau prevalensi HIV lebih rendah di antara pengguna narkoba sunitkan dan populasi lain dengan HCV,18 sebaiknya infeksi HIV selalu dicurigai. Penularan melalui seks mengakibatkan kebanyakan koinfeksi HIV-HBV dan sampai 77 persen laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dengan HIV mempunyai tanda adanya infeksi HBV kronis atau sudah sembuh.21 Namun berapa sering penularan HBV terjadi belum benar-benar jelas. Walaupun tidak menjadi jalur infeksi utama, penularan HCV melalui hubungan seks dapat terjadi dan mengakibatkan proporsi infeksi baru yang kecil. HCV terdeteksi dengan tingkat rendah dalam air mani.22 Faktor yang mungkin terkait dengan penularan HCV secara seksual termasuk banyak pasangan dan infeksi HIV.23-25 Beberapa penelitian menegaskan bahwa risiko Tabel 1.1 Prevalensi antibodi HCV pada orang terinfeksi HIV (%) Jumlah pasien Prevalensi keseluruhan CAESAR AHOD13 1604 15.,6 2086 13,1 Prevalensi berdasarkan faktor risiko penularan HIV IDU Produk darah LSL-IDU LSL Heteroseks 92,7 52,8 44,4 3,4 - 63,0 57,1 50,0 8,7 9,9 AHOD: Australian HIV Observational Database IDU: Pengguna narkoba sunitkan LSL: Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki Sumber: Amin J, Kaye M, Skidmore S, Pillay D, Cooper DA, Dore GJ. HIV and hepatitis C coinfection within the CAESAR study. HIV Medicine 2004;5:174 –179 penularan HCV antara pasangan seksual dalam hubungan stabil jangka panjang adalah rendah (<2 persen),26-28 walau risiko mungkin ditingkatkan oleh keberadaan infeksi HIV.23 Sudah dianggap9 tetapi belum terbukti bahwa risiko yang lebih tinggi ini terkait dengan tingkat viremia HCV yang lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV. Sebuah analisis retrospekitf terhadap prevalensi HCV di antara Odha yang terlibat dalam penelitian CAESAR baru dilakukan (Tabel 1.1) (Data yang belum diterbitkan dari National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, Australia). Angka koinfeksi berhubungan secara bermakna dengan faktor risiko penularan HIV: 92 persen pada pengguna narkoba suntikan heteroseks, 44 persen pada pengguna narkoba suntikan sekaligus LSL, dan hanya 3 persen pada LSL. Angka prevalensi HCV yang rendah ini pada LSL dengan HIV serupa dengan angka pada LSL tanpa HIV dan memberi kesan bahwa efisiensi penularan HCV melalui seks adalah rendah, bahkan pada Odha. Namun penelitian kohort membujur terhadap pasangan diskordan dan LSL dengan penilaian perilaku berisiko yang rinci dibutuhkan untuk mendefiniskan angka penularan seksual secara lebih jelas. Ketiga virus dapat menular dari ibu-ke-bayi. Kebanyakan negara melakukan imunisasi universal pada bayi tetapi hanya sedikit melakukan skrining HBV pada ibu sebelum melahirkan. Penularan HCV dari ibu-ke-bayi jarang terjadi, dengan hanya 3-5 persen bayi yang dilahirkan oleh ibu terinfeksi HCV tertular.30-32 Koinfeksi dengan HIV meningkatkan angka penularan HCV tiga sampai empat kali lipat,30,33 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 5 1 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus kemungkinan karena tingkat viremia yang lebih tinggi pada ibu.31 Bedah sesar dan menghindari penyusuan dianjurkan untuk ibu koinfeksi untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu-kebayi. Riwayat alami koinfeksi HIV dan hepatitis virus Dampak HIV pada viral load, penularan dan sifat kronis HIV-HBV Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan perkembangan tanggapan kekebalan yang kuat untuk memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis: hal ini dapat dicapai pada kebanyakan orang dewasa (>90 persen) yang tidak terinfeksi HIV. Namun, orang dewasa dengan HIV yang tertular HBV mempunyai kemungkinan pemulihan yang lebih rendah, dan kemungkinan ini terkait langsung dengan tingkat tekanan kekebalan pada saat tertular HBV.34 Karena jalur penularan HBV dan HIV serupa, ada prevalensi koinfeksi HIVHBV yang tinggi, terutama di antara LSL, dan tanda HBV sebelumnya atau baru dapat ditemukan dalam lebih dari 50 persen LSL dengan HIV.35 Reaktivasi HBV pada orang yang sebelumnya hilang HBsAg terdeteksi dapat dikaitkan dengan peningkatan pada tekanan kekebalan dalam konteks infeksi HIV.36,37 Orang dengan koinfeksi HIV-HBV yang belum diobati mengalami angka HBsAg/HbeAg-positif yang lebih tinggi dan tingkat DNA HBV yang lebih tinggi; namun mereka mempunyai tingkat transaminase yang lebih rendah dan kegiatan peradangan-nekro yang lebih rendah pada histologi dibandingkan orang yang hanya terinfeksi HBV.38,39 Walau tampaknya ada status Meta-analisis penelitian yang menunjukkan risiko relatif (RR) untuk penyakit hati dekompensasi (PHD) dan sirosis pada orang koinfeksi banding dengan orang HCV saja.54 Tabel 1.2 Penelitian Makris et al al 46 Jumlah pasien (HIV+/total) 55 Soto et Pol et al 60 Benhamou et al 59 Eyster et al 57 Telfer et al 56 Lesens et al 58 6 36/138 116/547 52/514 122/244 98/156 103/255 81/134 RR PHD (95% CI) 4,21 (0,96-18,41) RR sirosis (95% CI) 3,9 (1,4-10,8) 1,94 (0,92-4,1) 2,6 (1,1-5,9) 1,46 (0,76-2,83) toleransi kekebalan ini, perkembangan pada penyakit hati lanjut termasuk sirosis dan karsinoma hepatoselular kemungkinan dipercepat.40 HIV-HCV Setelah infeksi akut, kemungkinan terjadinya infeksi HCV kronis meningkat dari 60-70 persen pada orang tanpa HIV menjadi 80-90 persen pada Odha.41-42 Seperti koinfeksi HIV-HBV, orang koinfeksi HIV-HCV ditunjukkan mempunyai tingkat viremia yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan HCV saja43-45 dan di beberapa penelitian tingkat lebih tinggi ini terkait dengan tekanan kekebalan yang lebih lanjut.46 Tingkat viremia HCV yang tinggi kemungkinan mengakibatkan risiko penularan yang lebih tinggi dan penurunan pada keberhasilan terapi.47 Namun tidak mungkin bahwa viremia HCV yang lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HCV mengakibatkan angka perkembangan penyakit dan fibrosis yang lebih tinggi. Tidak ada hubungan antara jumlah HCV dan perkembangan fibrosis41,50 pada orang dengan HCV atau koinfeksi HIV-HCV. Dampak HIV pada perkembangan penyakit hati HIV-HBV Pada era sebelum ART, mortalitas dari penyebab lain terkait HIV dan populasi penelitian kecil menyebabkan kesulitan dalam mendefinisikan luasnya penyakit hati terkait HBV secara benar.49,50 Namun sebuah analisis baru mengenai kohort Multicentre AIDS Cohort Study (MACS) menunjukkan risiko mortalitas terkait hati yang lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HBV, terutama mereka dengan tingkat tekanan kekebalan yang paling besar.51 Pada penelitian ini terhadap 5.293 LSL, dengan 6 persen di antaranya HBsAg-positif dan 41 persen HIV-positif, mortalitas terkait hati adalah lebih dari delapan kali lipat lebih mungkin pada mereka koinfeksi HIV-HBV dibandingkan mereka dengan HIV saja dan hampir 19 kali lebih mungkin bila dibandingkan dengan mereka dengan HBV saja. Orang dengan nadir jumlah CD4 <100 berisiko tertinggi terhadap mortalitas terkait hati dan ada kecenderungan peningkatan pada mortalitas dalam tahun-tahun setelah ART tersedia. 3,2 (0,6-17) 21,4 (2,6-174,5) 7,4 (2,2-25,5) Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis HIV-HCV Ada bukti yang meyakinkan bahwa koinfeksi dengan HIV secara bermakna memperburuk prognosis penyakit hati terkait HCV. Hepatitis C kronis dapat mengarah ke sirosis, penyakit hati dekompensasi (PHD) dan karsinoma hepatoselular, semuanya dikaitkan dengan mortalitas tinggi. HIV tidak hanya meningkatkan kemungkinan infeksi kronis tetapi juga mempercepat perkembangan komplikasi di atas.5254 Sebuah meta-analisis baru yang menyelidiki risiko sirosis dan PHD pada orang koinfeksi HIV-HCV menemukan bahwa risiko relatif bergabung untuk kelanjutan pada sirosis histologis adalah 2,07 (95% CI:1.40-3.07) dan untuk PHD adalah 6,14 (95% CI: 2.86-13.20) dibandingkan orang dengan HCV saja (Tabel 1.2).55 Meta-analisis ini termasuk penelitian terhadap orang dengan hemofilia koinfeksi HIVHCV,57-59 orang terutama tertular melalui penggunaan narkoba suntikan60,61 dan populasi campuran.46,62 Faktor terkait dengan risiko perkembangan penyakit hati yang lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HCV termasuk penggunaan alkohol secara berat (>50 gram/hari), usia lebih tinggi waktu tertular HCV, jumlah CD4 yang rendah,60 perbedaan quasisecies lebih tinggi,63 dan infeksi HBV okulta.64 Pada penelitian Prancis baru, ada kesan bahwa terapi dengan ART yang mengandung PI dapat memperlambat perkembangan fibrosis, walau mekanisme yang melatarbelakangi efek ini belum ditentukan.65 Bukti baru mulai muncul bahwa perkembangan karsinoma hepatoselular dapat juga dipercepat pada orang koinfeksi HIV-HCV.66 Dampak ART pada perkembangan HBV-HCV Hepatotoksisistas dengan ART terjadi pada cukup banyak orang memulai terapi, dan risiko adalah dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi untuk mereka koinfeksi HBV atau HCV.4,67 Prevalensi, mekanisme dan penanganan hepatotoksisitas terkait ART dibahas pada Bab 4. Dengan pemulihan kekebalan yang efektif, beberapa orang dengan HBV kronis dapat membuat tanggapan kekebalan pada HBV yang mengalir dengan akibat ada flare pada hepatitis dan pemberantasan HBeAg dari serum.68 Dari sisi lain, bila serokonversi tidak terjadi, perkenalan imunologis yang lebih baik dapat mengakibatkan perburukan pada kegiatan peradangan-nekro dalam hati dan kelanjutan lebih cepat pada sirosis. Pemasukan 3TC, sejenis analog nukleosida yang bergiat terhadap HIV dan HBV, dalam banyak rejimen ART mengakibatkan angka serokonversi HBV yang kecil tetapi bermakna.69 Namun, perkembangan resistansi yang lebih tinggi oleh HBV sejalan dengan lamanya terapi membatasi pergunaan strategi ini pada jangka panjang.70 Penekanan sekarang dibidik pada perkembangan terapi kombinasi yang lebih efektif untuk mengobati koinfeksi HIV-HBV (lihat Bab 3). Beberapa penelitian menyelidiki dampak ART pada viremia HCV; hasilnya bertentangan. Kebanyakan penelitian tidak menemukan bukti untuk dampak oleh ART pada viremia HCV71-73 walau dua melaporkan peningkatan sementara yang bermakna setelah permulaan ART, disertai peningkatan pada transaminase dalam serum.74,75 Walau ada sedikit dampak langsung pada viremia HCV, permulaan ART kadang kala dilaporkan menyebakan pemberantasan HCV, diduga melalui mekanisme mediasi kekebalan.76 Keadaan ini tidak terjadi pada mayoritas orang dan, berbeda dengan HBV, pengobatan HCV tidak mungkin dapat dilakukan dengan unsur anti-HIV saja. Aspek penatalaksanaan klinis koinfeksi HIVHCV diliputi pada Bab 2. Dampak hepatitis virus pada perkembangan penyakit HIV HIV-HBV Interaksi antara HIV dan HBV dan dampak yang dihasilkannya pada perkembangan penyakit HIV sudah diperdebatkan. Sebelum tersedianya ART, beberapa penelitian memberi kesan bahwa keberadaan HBsAg dapat mempercepat perjalanan ke AIDS.77 Hal ini ditolak oleh penelitian lain yang menunjukkan tidak ada perbedaan pada waktu ke AIDS38 atau bertahan hidup lama setelah diagnosis AIDS78 pada mereka yang HBsAg-positif. Dua penelitian pengamatan besar baru menyelidiki masalah ini lebih lanjut. Pada kohort MACS di AS, keberadaan HBsAg pada orang terinfeksi HIV tidak berdampak pada perkembangan ke AIDS, kematian terkait AIDS, mortalitas keseluruhan atau tanggapan yang berhasil pada ART.79 Dalam AHOD, orang yang mulai ART dengan konfeksi HBV tidak lebih mungkin mengembangkan AIDS atau meninggal dibandingkan yang tidak koinfeksi HBV.14 Serupanya, tanggapan virologis pada ART dan peningkatan pada jumlah CD4 tidak terpengaruh oleh HBsAg. Oleh karena itu, hampir pasti koinfeksi HBV mempunyai sedikit dampak negatif pada perkembangan penyakit HIV. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 7 1 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus HIV-HCV Besarnya dampak infeksi HCV pada perkembangan penyakit HIV sulit diukur akibat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penemuan dari penelitian riwayat alami. Membandingkan orang koinfeksi HIV-HCV dengan mereka terinfeksi HIV diperumit oleh perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Populasi lebih berisiko tertular HCV misalnya mereka dengan hemofilia atau pengguna narkoba suntikan mempunyai perbedaan yang bermakna dalam ciri perilaku dan hasil,80 serta juga sikap dan pola kepatuhan pada ART,81 dibandingkan populasi dengan HIV saja. Bila perbedaan ini tidak dikontrol dengan baik, penemuan penelitian dapat sangat terpengaruh. Sebelum adanya ART, banyak penelitian membujur dan lintas-bagian tidak menunjukkan dampak yang bermakna oleh HCV pada perkembangan HIV82-84 sementara beberapa penelitian mampu menunjukkan perkembangan klinis pada AIDS yang lebih cepat pada orang dengan HCV.85-87 Lebih baru, dua penelitian kohort besar yang menyelidiki dampak HCV pada penerima ART melaporkan kesimpulan yang berbeda pada hasil terakit HIV. Pada Swiss HIV Cohort Study, risiko perkembangan ke AIDS atau kematian meningkat pada mereka koinfeksi HIV-HCV (hazard ratio 1.7; 95% CI: 1.26-2.30).4 Walau tanggapan virologis yang serupa, orang dengan HCV juga kurang mungkin mencapai peningkatan sedikitnya 50 pada jumlah CD4 satu tahun setelah mulai ART. Berbeda dengan data Swiss HIV Cohort Study, sebuah penelitian dari AS menunjukkan tidak ada perbedaan antara mereka yang HIV saja dan yang koinfeksi HIV-HCV bila dikaitkan dengan kejadian AIDS, kematian atau perubahan pada jumlah CD4 setelah beberapa waktu.88 Khususnya, peningkatan pada jumlah CD4 setelah ART tidak terpengaruh pada orang koinfeksi HIV-HCV. Penemuan dari penelitian AHOD mendukung kekurangan bukti untuk risiko lebih tinggi perkembangan penyakit HIV pada orang koinfeksi HIV-HCV, tetapi, seperti hasil dari Swiss HIV Cohort Study, mampu menunjukkan tanggapan jumlah CD4 yang sedikit lebih buruk setelah mulai ART pada mereka dengan HCV.16 mengakibatkan perubahan yang dramatis pada rangkaian morbiditas dan mortalitas terkait HIV. Harapan hidup Odha diperpanjang secara bermakna; akibatnya, kondisi kronis lain, terutama patologi terkait hati, menjadi semakin penting. Sebuah penelitian dari AS menunjukkan bahwa HCV adalah alasan utama kematian Odha, dengan penyakit hati stadium akhir menyumbang 50 persen kematian dalam tahun-tahun terakhir ini.89 Angka rawat inap dan kematian yang sama tinggi dilaporkan dari negara lain dengan angka koinfeksi yang tinggi misalnya Spanyol; di negara itu hepatitis virus kronis menjadi alasan utama kematian kelima pada Odha.90 Data dari penelitian kohort lain betentangan. Pada Swiss HIV Cohort Study, data mortalitias dianalisis untuk memperkirakan sumbangan relatif kematian terkait hati. Penyakit hati stadium akhir adalah penyebab hanya 0,52 persen kematian pada populasi koinfeksi HIV-HCV. Alasan penelitian ini dan penelitian lain40 tidak melaporkan peningkatan pada mortalitas karena hepatitis virus kronis mungkin adalah masa tindak lanjut yang kurang panjang, terutama karena riwayat alami infeksi HCV dan HBV adalah panjang. Seluruh dampak hepatitis virus pada morbiditas dan mortalitias terkait HIV masih belum dipahami. Kesimpulan Tetap ada keraguan mengenai dampak nyata koinfeksi dengan HIV dan HBV atau HCV pada perkembangan dan akhirnya infeksi virus ini. Keadaan ini terutama disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan penelitian riwayat alami yang akurat, khususnya di bidang pengobatan HIV yang terus-menerus berubah-ubah. Walau demikian, tampaknya mungkin keberadaan infeksi HIV, terutama bila dikaitakan dengan tekanan kekebalan yang bermakna, mempunyai dampak negatif pada perkembangan infeksi HBV dan HCV, dan menghasilkan peningkatan pada morbiditas dan mortalitas terkait hati dari kondisi misalnya sirosis dan karsinoma hepatoselular. Seberapa jauh dampak ini dapat dihindari tergantung pada keberhasilan pengobatan infeksi HIV dan perkenalan dan pengobatan infeksi HBV dan HCV secara dini. Sumbangan penyakit hati pada morbiditas dan mortalitas terkait HIV Ketersediaan ART yang lebih luas di negara yang kaya sumber daya sejak akhir 1990-an 8 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Stubbe L, Soriano V, Antunes F, et al. Hepatitis C in the EuroSIDA Cohort of European HIV-infected patients: prevalence and prognostic value. 12th World AIDS Conference, Geneva, Switzerland, 1998. Abstract 22261. Soriano V, Kirk O, Antunes F. The influence of hepatitis C on the prognosis of HIV: the EuroSIDA study. 13th International AIDS Conference, Durban, South Africa, 2000. Abstract ThOrB655. Greub G, Ledergerber B, Battegay M, et al. Clinical progression, survival, and immune recovery during antiretroviral therapy in patients with HIV-1 and hepatitis C virus coinfection: the Swiss HIV Cohort Study. Lancet 2000;356:1800–5. den Brinker M, Wit FW, Wertheim-van Dillen PM, et al. Hepatitis B and C virus co-infection and the risk for hepatotoxicity of highly active antiretroviral therapy in HIV-1 infection. AIDS 2000;14:2895– 902. Wit FW, Weverling GJ, Weel J, Jurriaans S, Lange JM. Incidence of and risk factors for severe hepatotoxicity associated with antiretroviral combination therapy. J.Infect.Dis. 2002;186:23–31. Sulkowski MS, Mast EE, Seeff LB, Thomas DL. Hepatitis C virus infection as an opportunistic disease in persons infected with human immunodeficiency virus. Clin.Infect.Dis. 2000;30 Suppl 1:S77–S84. Wright TL, Hollander H, Pu X, et al. Hepatitis C in HIV-infected patients with and without AIDS: prevalence and relationship to patient survival. Hepatology 1994;20:1152–5. Merrick ST, Sepkowitz KA, Boyle BA, et al. Seroprevalence of hepatitis C antibody and hepatitis B antigenaemia in a large urban HIV clinic. 12th World AIDS Conference, Geneva, Switzerland, 1998. Abstract 22263. Sherman KE, Rouster SD, Chung RT, Rajicic N. Hepatitis C virus prevalence among patients infected with Human Immunodeficiency Virus: a crosssectional analysis of the US adult AIDS Clinical Trials Group. Clin Infect Dis 2002;34:831– 7. 10. Saha MK, Chakrabarti S, Panda S, et al. Prevalence of HCV and HBV infection amongst HIV seropositive intravenous drug users and their non-injecting wives in Manipur, India. Indian J Med Res 2000;111:37–9. 11. Ahmed SD, Cuevas LE, Brabin BJ, et al. Seroprevalence of hepatitis B and C and HIV in Malawian pregnant women. J Infect 1998;37:248– 51. 12. Amin J, Kaye M, Skidmore S, Pillay D, Cooper DA, Dore GJ. HIV and hepatitis C coinfection within the CAESAR study. HIV Medicine 2004;5:174 –179. 14. 2005 Annual Surveillance Report, HIV/AIDS, viral hepatitis and sexually transmissible infections in Australia, edited by National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research 2005; 11-13 15. O’Sullivan BG, Gidding HF, Law M, Kaldor JM, Gilbert GL, Dore GJ. Estimates of chronic hepatitis B virus infection in Australia, 2000. Australian & New Zealand Journal of Public Health. 28(3):2126, 2004 Jun 16. Lincoln D, Petoumenos K, Dore G. HIV/HBV and HIV/HCV coinfection, and outcomes following highly actve antiretroviral treatment. HIV Medicine 2003. In press. 17. National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research. HIV/AIDS, viral hepatitis and sexually transmissible infections in Australia. Annual Surveillance Report 2001. Sydney: National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, The University of New South Wales, 200. 18. Troisi CL, Hollinger FB, Hoots WK, et al. A multicenter study of viral hepatitis in a United States hemophilic population. Blood 1993;81:412– 8. 19. Vogt RL, Richmond-Crum S, Diwan A. Hepatitis C virus infection in a human immunodeficiency viruspositive cohort in Hawaii. J Infect Dis 1997; 176:542–3. 20. Brau N, Bini EJ, Shahidi A, et al. Prevalence of hepatitis C and coinfection with HIV among United States veterans in the New York City metropolitan area. Am J Gastroenterol 2002;97:2071–8. 21. Francisci D, Baldelli F, Papili R, Stagni G, Pauluzzi S. Prevalence of HBV, HDV and HCV hepatitis markers in HIV-positive patients. Eur J Epidemiol 1995; 11:123–6. 22. Leruez-Ville M, Kunstmann JM, De Almeida M, Rouzioux C, Chaix ML. Detection of hepatitis C virus in the semen of infected men. Lancet 2000; 356:42–3. 23. Eyster ME, Alter HJ, Aledort LM, Quan S, Hatzakis A, Goedert JJ. Heterosexual co-transmission of hepatitis C virus (HCV) and human immunodeficiency virus (HIV). Ann Intern Med 1991;115:764–8. 24. Thomas DL, Zenilman JM, Alter HJ, et al. Sexual transmission of hepatitis C virus among patients attending sexually transmitted diseases clinics in Baltimore – an analysis of 309 sex partnerships. J Infect Dis 1995;171:768–75. 25. Alter MJ, Hadler SC, Judson FN, et al. Risk factors for acute non-A, non-B hepatitis in the United States and association with hepatitis C virus infection. J Am Med Assoc 1990;264:2231–5. 26. Gordon SC, Patel AH, Kulesza GW, Barnes RE, Silverman AL. Lack of evidence for the heterosexual transmission of hepatitis C. Am J Gastroenterol 1992;87:1849–51. 13. Ockenga J, Tillmann HL, Trautwein C, Stoll M, Manns MP, Schmidt RE. Hepatitis B and C in HIVinfected patients. Prevalence and prognostic value. J Hepatol 1997;27:18–24. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 9 1 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus 27. Brettler DB, Mannucci PM, Gringeri A, et al. The low risk of hepatitis C virus transmission among sexual partners of hepatitis C-infected hemophilic males: an international, multicenter study. Blood 1992; 80:540–3. 28. Osmond DH, Padian NS, Sheppard HW, Glass S, Shiboski SC, Reingold A. Risk factors for hepatitis C virus seropositivity in heterosexual couples. J Am Med Assoc 1993;269:361–5. 29. Hisada M, O’Brien TR, Rosenberg PS, Goedert JJ. Virus load and risk of heterosexual transmission of human immunodeficiency virus and hepatitis C virus by men with hemophilia. The Multicenter Hemophilia Cohort Study. J Infect Dis 2000;181:1475–8. 30. Thomas DL, Villano SA, Riester KA, et al. Perinatal transmission of hepatitis C virus from human immunodeficiency virus type 1-infected mothers. Women and Infants Transmission Study. J Infect Dis 1998;177:1480–8. 31. Granovsky MO, Minkoff HL, Tess BH, et al. Hepatitis C virus infection in the mothers and infants cohort study. Pediatrics 1998;102:355–9. 32. Conte D, Fraquelli M, Prati D, Colucci A, Minola E. Prevalence and clinical course of chronic hepatitis C virus (HCV) infection and rate of HCV vertical transmission in a cohort of 15,250 pregnant women. Hepatology 2000;31:751–5. 33. Gibb DM, Goodall RL, Dunn DT, et al. Mother-tochild transmission of hepatitis C virus: evidence for preventable peripartum transmission. Lancet 2000; 356:904–7. 34. Bodsworth NJ, Cooper DA, Donovan B. The influence of human immunodeficiency virus type 1 infection on the development of the hepatitis B virus carrier state. J Infect Dis 1991;163:1138–40. 42. Mehta SH, Cox A, Hoover DR, et al. Protection against persistence of hepatitis C. Lancet 2002; 359:1478–83. 43. Cribier B, Rey D, Schmitt C, Lang JM, Kirn A, StollKeller F. High hepatitis C viraemia and impaired antibody response in patients coinfected with HIV. AIDS 1995;9:1131–6. 44. Thomas DL, Shih JW, Alter HJ, Vlahov D, Cohn S, Hoover DR et al. Effect of human immunodeficiency virus on hepatitis C virus infection among injecting drug users. J Infect Dis 1996;174:690–5. 45. Sherman KE, O’Brien J, Gutierrez AG, Harrison S, Urdea M, Neuwald P et al. Quantitative evaluation of hepatitis C virus RNA in patients with concurrent human immunodeficiency virus infections. J Clin Microbiol 1993;31:2679–82. 46. Soto B, Sanchez-Quijano A, Rodrigo L, del Olmo JA, Garcia-Bengoechea M, Hernandez-Quero J et al. Human immunodeficiency virus infection modifies the natural history of chronic parenterallyacquired hepatitis C with an unusually rapid progression to cirrhosis. J Hepatol 1997;26:1–5. 47. Poynard T, McHutchison J, Goodman Z, Ling MH, Albrecht J. Is an “a la carte” combination interferon alfa-2b plus ribavirin regimen possible for the first line treatment in patients with chronic hepatitis C? The ALGOVIRC Project Group. Hepatology 2000; 31:211–8. 35. Petoumenos K. 2003. (Unpublished data). 48. Fanning L, Kenny E, Sheehan M, et al. Viral load and clinicopathological features of chronic hepatitis C (1b) in a homogeneous patient population. Hepatology 1999;29:904–7. 36. Vento S, di Perri G, Luzzati R, Cruciani M, Garofano T, Mengoli C et al. Clinical reactivation of hepatitis B in anti-HBs-positive patients with AIDS. Lancet 1989; 1:332–3. 49. Puoti M, Spinetti A, Ghezzi A, et al. Mortality for liver disease in patients with HIV infection: a cohort study. J Acquir Immune Defic Syndr 2000;24:211– 7. 37. Homann C, Krogsgaard K, Pedersen C, Andersson P, Nielsen JO. High incidence of hepatitis B infection and evolution of chronic hepatitis B infection in patients with advanced HIV infection. J Acquir Immune Defic Syndr 1991;4:416–20. 50. Mai AL, Yim C, O’Rourke K, Heathcote EJ. The interaction of human immunodeficiency virus infection and hepatitis B virus infection in infected homosexual men. J Clin Gastroenterol 1996;22:299–304. 38. Gilson RJ, Hawkins AE, Beecham MR, et al. Interactions between HIV and hepatitis B virus in homosexual men: effects on the natural history of infection. AIDS 1997;11:597–606. 51. Darby SC, Ewart DW, Giangrande PL, et al. Mortality from liver cancer and liver disease in haemophilic men and boys in UK given blood products contaminated with hepatitis C. UK Haemophilia Centre Directors’ Organisation. Lancet 1997; 350:1425–31. 39. Colin JF, Cazals-Hatem D, Loriot MA, et al. Influence of human immunodeficiency virus infection on chronic hepatitis B in homosexual men. Hepatology 1999; 29:1306–10. 40. Thio CL, Seaberg EC, Skolasky R Jr, et al. HIV-1, hepatitis B virus, and risk of liver-related mortality in the Multicenter Cohort Study (MACS). Lancet 2002; 360:1921–6. 10 41. Thomas DL, Astemborski J, Rai RM, et al. The natural history of hepatitis C virus infection: host, viral, and environmental factors. J Am Med Assoc 2000; 84:450–6. 52. Monga HK, Rodriguez-Barradas MC, Breaux K, et al. Hepatitis C virus infection-related morbidity and mortality among patients with human immunodeficiency virus infection. Clin Infect Dis 2001; 33:240–7. 53. Yee TT, Griffioen A, Sabin CA, Dusheiko G, Lee CA. The natural history of HCV in a cohort of haemophilic patients infected between 1961 and 1985. Gut 2000; 47:845–51. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 54. Graham CS, Baden LR, Yu E, et al. Influence of human immunodeficiency virus infection on the course of hepatitis C virus infection: a metaanalysis. Clin Infect Dis 2001;33:562–9. 55. Makris M, Preston FE, Rosendaal FR, Underwood JC, Rice KM, Triger DR. The natural history of chronic hepatitis C in haemophiliacs. Br J Haematol 1996; 94:746–52. 56. Telfer P, Sabin C, Devereux H, Scott F, Dusheiko G, Lee C. The progression of HCV-associated liver disease in a cohort of haemophilic patients. Br J Haematol 1994;87:555–61. 57. Eyster ME, Diamondstone LS, Lien JM, Ehmann WC, Quan S, Goedert JJ. Natural history of hepatitis C virus infection in multitransfused hemophiliacs: effect of coinfection with human immunodeficiency virus. The Multicenter Hemophilia Cohort Study. J Acquir Immune Defic Syndr 1993;6:602–10. 58. Lesens O, Deschenes M, Steben M, Belanger G, Tsoukas CM. Hepatitis C virus is related to progressive liver disease in human immunodeficiency virus-positive hemophiliacs and should be treated as an opportunistic infection. J Infect Dis 1999; 179:1254–8. 66. Sulkowski MS, Thomas DL, Chaisson RE, Moore RD. Hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy in adults infected with human immunodeficiency virus and the role of hepatitis C or B virus infection. J Am Med Assoc 2000;283:74– 80. 67. Carr A,.Cooper DA. Restoration of immunity to chronic hepatitis B infection in HIV- infected patient on protease inhibitor. Lancet 1997;349:995–6. 68. Dore GJ, Cooper DA, Barrett C, Goh LE, Thakrar B, Atkins M. Dual efficacy of lamivudine treatment in human immunodeficiency virus/hepatitis B viruscoinfected persons in a randomized, controlled study (CAESAR). The CAESAR Coordinating Committee. J Infect Dis 1999;180:607–13. 69. Benhamou Y, Bochet M, Thibault V, et al. Longterm incidence of hepatitis B virus resistance to lamivudine in human immunodeficiency virusinfected patients. Hepatology 1999;30:1302–6. 70. Rockstroh JK, Theisen A, Kaiser R, Sauerbruch T, Spengler U. Antiretroviral triple therapy decreases HIV viral load but does not alter hepatitis C virus (HCV) serum levels in HIV-HCV-co-infected haemophiliacs. AIDS 1998;12:829–30. 59. Benhamou Y, Bochet M, Di M, et al. Liver fibrosis progression in human immunodeficiency virus and hepatitis C virus coinfected patients. The Multivirc Group. Hepatology 1999;30:1054–8. 71. Garcia-Samaniego J, Bravo R, Castilla J, et al. Lack of benefit of protease inhibitors on HCV viraemia in HIV-infected patients. J Hepatol 1998;28:526–7. 60. Pol S, Lamorthe B, Thi NT, et al. Retrospective analysis of the impact of HIV infection and alcohol use on chronic hepatitis C in a large cohort of drug users. J Hepatol 1998;28:945–50. 72. Zylberberg H, Chaix ML, Rabian C, et al. Tritherapy for human immunodeficiency virus infection does not modify replication of hepatitis C virus in coinfected subjects. Clin Infect Dis 1998;26:1104–6. 61. Bierhoff E, Fischer HP, Willsch E, Rockstroh J, Spengler U, Brackmann HH et al. Liver histopathology in patients with concurrent chronic hepatitis C and HIV infection. Virchows Arch 1997; 430:271–7. 62. Eyster ME, Sherman KE, Goedert JJ, Katsoulidou A, Hatzakis A. Prevalence and changes in hepatitis C virus genotypes among multitransfused persons with hemophilia. The Multicenter Hemophilia Cohort Study. J Infect Dis 1999;179:1062–9. 63. Cacciola I, Pollicino T, Squadrito G, Cerenzia G, Orlando ME, Raimondo G. Occult hepatitis B virus infection in patients with chronic hepatitis C liver disease. N Engl J Med 1999;341:22–6. 64. Benhamou Y, Di Martino V, Bochet M, Colombet G, Thibault V, Liou A et al. Factors affecting liver fibrosis in human immunodeficiency virus-and hepatitis C virus-coinfected patients: impact of protease inhibitor therapy. Hepatology 2001;34:283–7. 65. Garcia-Samaniego J, Rodriguez M, Berenguer J, Rodriguez-Rosado R, Carbo J, Asensi V et al. Hepatocellular carcinoma in HIV-infected patients with chronic hepatitis C. Am J Gastroenterol 2001;96:179–83. 73. Rutschmann OT, Negro F, Hirschel B, Hadengue A, Anwar D, Perrin LH. Impact of treatment with human immunodeficiency virus (HIV) protease inhibitors on hepatitis C viraemia in patients coinfected with HIV. J Infect Dis 1998;177:783–5. 74. Vento S, Garofano T, Renzini C, Casali F, Ferraro T, Concia E. Enhancement of hepatitis C virus replication and liver damage in HIV- coinfected patients on antiretroviral combination therapy. AIDS 1998;12:116–7. 75. Fialaire P, Payan C, Vitour D, Chennebault JM, Loison J, Pichard E et al. Sustained disappearance of hepatitis C viraemia in patients receiving protease inhibitor treatment for human immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1999;180:574–5. 76. Eskild A, Magnus P, Petersen G, et al. Hepatitis B antibodies in HIV-infected homosexual men are associated with more rapid progression to AIDS. AIDS 1992;6:571–4. 77. Scharschmidt BF, Held MJ, Hollander HH, et al. Hepatitis B in patients with HIV infection: relationship to AIDS and patient survival. Ann Intern Med 1992; 117:837–8. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 11 1 Epidemiologi koinfeksi HIV dan hepatitis virus 78. Thio, CL, Seaberg, CL, Kingsley, L, Phair, J, Visscher, B, and Munoz, A. The role of hepatitis B virus in the progression of HIV and the response to highly active antiretroviral therapy (HAART). 15th International AIDS Conference, 2002. Abstract WePeB6016. 79. Prins M, Hernandez A, I, Brettle RP, et al. PreAIDS mortality from natural causes associated with HIV disease progression: evidence from the European Seroconverter Study among injecting drug users. AIDS 1997;11:1747–56. 80. Dorrucci M, Pezzotti P, Phillips AN, Alliegro MB, Rezza G. Antiretroviral treatment and progression to AIDS in HIV seroconverters from different risk groups. HIV Italian Seroconversion Study. AIDS 1997; 1:461–7. 81. Dorrucci M, Pezzotti P, Phillips AN, Lepri AC, Rezza G. Coinfection of hepatitis C virus with human immunodeficiency virus and progression to AIDS. Italian Seroconversion Study. J Infect Dis 1995; 172:1503–8. 82. Quan CM, Krajden M, Grigoriew GA, Salit IE. Hepatitis C virus infection in patients infected with the human immunodeficiency virus. Clin Infect Dis 1993; 17:117–9. 83. Staples CT, Jr., Rimland D, Dudas D. Hepatitis C in the HIV (human immunodeficiency virus) Atlanta V.A. (Veterans Affairs Medical Center) Cohort Study (HAVACS): the effect of coinfection on survival. Clin Infect Dis 1999;29:150–4. 84. Piroth L, Duong M, Quantin C, Abrahamowicz M, Michardiere R, Aho LS et al. Does hepatitis C virus co-infection accelerate clinical and immunological evolution of HIV-infected patients? AIDS 1998; 12:381–8. 85. Sabin CA, Telfer P, Phillips AN, Bhagani S, Lee CA. The association between hepatitis C virus genotype and human immunodeficiency virus disease progression in a cohort of hemophilic men. J Infect Dis 1997;175:164–8. 86. Daar ES, Lynn H, Donfield S, et al. Hepatitis C virus load is associated with human immunodeficiency virus type 1 disease progression in hemophiliacs. J Infect Dis 2001;183:589–95. 87. Sulkowski MS, Moore RD, Mehta SH, Chaisson RE, Thomas DL. Hepatitis C and progression of HIV disease. J Am Med Assoc 2002;288:199–206. 88. Bica I, McGovern B, Dhar R, Stone D, McGowan K, Scheib R et al. Increasing mortality due to endstage liver disease in patients with human immunodeficiency virus infection. Clin Infect Dis 2001; 32:492–7. 89. Soriano V, Garcia-Samaniego J, Valencia E, Rodriguez-Rosado R, Munoz F, Gonzalez-Lahoz J. Impact of chronic liver disease due to hepatitis viruses as cause of hospital admission and death in HIVinfected drug users. Eur J Epidemiol 1999; 15:1–4. 12 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis C Gregory Dore Head of Viral Hepatitis Program, National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, The University of New South Wales, Darlinghurst NSW Joe Sasadeusz Physician, Alfred Hospital, Prahran and Victorian Infectious Diseases Service, Royal Melbourne Hospital, Parkville, Victoria Pokok Kunci Ɣ Semua orang dengan HIV harus dites untuk virus hepatitis C (HCV); namun mereka dengan riwayat penggunaan narkoba suntikan atau tingkat transaminase yang tinggi paling mungkin terinfeksi. Ɣ Viral load HCV sebaiknya diukur untuk memastikan infeksi aktif pada semua orang dengan hasil tes antibodi HCV yang positif. Ɣ Analisis genotipe HCV akan membantu menentukan apakah mungkin akan ada tanggapan terhadap terapi antiviral. Ɣ Efek samping terapi antiviral HCV dan terapi antiretroviral HIV lebih berat pada orang koinfeksi HIV-HCV. Ɣ Efektivitas terapi antiviral HCV, terutama pada orang dengan genotipe 1, di bawah optimal. Strategi untuk menentukan urutan terapi HIV dan HCV berdasarkan risiko relatif HIV dan komplikasi terkait penyakit hati dibutuhkan. Pengantar Kejadian penyakit oportunistik terkait HIV yang menurun akibat terapi antiretroviral (ART) yang lebih baik mengubah tujuan penatalaksanaan HIV secara klinis menuju pencegahan dan pengobatan penyakit bersamaan, terutama penyakit hati. Perkembangan baru dalam terapi antiviral untuk virus hepatitis B (HBV) dan C (HCV)1-4 memberi kesempatan untuk penatalaksanaan hepatitis virus kronis secara lebih efektif pada Odha. Bab ini akan meliput penatalaksanaan klinis orang koinfeksi HIVHCV dan mengusulkan strategi terapeutik berdasarkan bukti saat ini. Interaksi virologis, epidemiologis dan klinis yang penting antara HIV dan HCV sudah digambarkan selama dasawarsa terakhir.5 Orang 2 koinfeksi HIV-HCV mengalami tingkat infeksi kronis yang lebih tinggi, viral load HCV yang lebih tinggi dan kelanjutan penyakit hati yang lebih cepat. Namun mulai muncul semakin banyak bukti bahwa pemulihan kekebalan melalui ART dapat memperlambat kelanjutan penyakit hati pada orang koinfeksi HIV-HCV.6 Walau kelanjutan penyakit HIV yang lebih cepat pada orang koinfeksi HIV-HCV juga ditunjukkan pada beberapa penelitian, hal ini dibuktikan salah pada yang lain (lihat Bab 1). Diagnosis dan penilaian infeksi HCV pada Odha Pola penularan HIV dan HCV yang serupa memberi kesan bahwa semua Odha sebaiknya diusulkan melakukan tes antibodi HCV. Namun, kelompok yang paling mungkin terinfeksi HCV adalah mereka: • yang pernah menyuntik narkoba; • yang menerima transfusi produk darah sebelum skrining dilakukan (1990 di Australia); • yang mempunyai tingkat transaminase (ALT, AST) yang tinggi dalam darah. Sebuah algoritme tes untuk Odha ditujukkan di Gambar 2.1. Odha, terutama mereka dengan jumlah CD4 yang rendah, mempunyai kepekaan yang lebih rendah pada tes antibodi HCV. Penilaian RNA HCV, dengan PCR atau cara lain, diusulkan bila hasil tes antibodi HCV adalah negatif tetapi ada kemungkinan yang cukup tinggi adanya infeksi HCV. Pada 20-30 persen kasus, infeksi HCV tidak mengakibatkan infeksi virus yang tetap.7 Oleh karena itu, indikasi lain untuk tes RNA HCV adalah untuk konfirmasi infeksi HCV kronis. Hasil negatif dari tes RNA HCV kualitatif – yang terbaik dilakukan dua kali – menunjukkan ketiadaan infeksi HCV aktif akut atau kronis. Infeksi HCV kronis adalah sangat mungkin pada orang yang antibodi HCV positif dengan tingkat transaminase dalam darah yang tinggi. Tes pada awal umumnya termasuk genotipe virus dan RNA HCV kuantitatif (viral load) karena ekektifitas terapi antiviral HCV terkait dengan kedua parameter tersebut.2,3,4 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 13 2 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis C Namun viral load HCV tidak mempunyai pola prognostik terkait kelanjutan penyakit (berbeda dengan viral load HIV), dan tidak harus dipantau terus-menerus. Alasan untuk tingkat transaminase yang tinggi dalam darah dan hasil tes RNA HCV negatif termasuk unsur ART yang hepatotoksik. Karena kebanyakan orang tidak bergejala pada saat tertular HCV, sebaiknya Odha yang terus berisiko melakukan tes antibodi HCV secara berkala (setiap 12 bulan). Semua orang didiagnosis dengan infeksi HCV yang baru menular (antibodi HCV positif dengan antibodi HCV negatif dalam masa dua tahun sebelumnya, atau hepatitis akut klinis dengan antibodi HCV atau PCR positif) sebaiknya dirujuk agar dinilai untuk terapi antiviral dini. Penting dicatat bahwa beberapa jangkitan HCV akut pernah dilaporkan di antara laki-laki HIV-positif yang berhubungan seks dengan lakilaki. Pada jangkitan ini, penularan seksual tampaknya bentuk penularan utama dengan prakek misalnya fisting (memasukkan kepalan tangan dalam dubur) dan penggunaan toy (mainan) berperan.8,9 Oleh karena itu, penting mempertimbangkan HCV sebagai diagnosis mungkin dalam populasi ini dan skrining untuk orang macam ini mungkin dapat dibenarkan. Penilaian lanjutan dan rujukan untuk mempertimbangkan terapi Penilaian lanjutan pada orang koinfeksi HIVHCV harus termasuk riwayat narkoba dan Gambar 2.1 Algoritme tes HCV untuk Odha positif ALT normal Antibodi HCV ALT abnormal atau pajanan risiko tinggi negatif ALT normal negatif HCV-RNA kuantitatif negatif Tiada bukti infeksi HCV aktif - Tes ulang bila bukti pajanan 14 positif ALT abnormal HCV-RNA kuantitatif + genotipe HCV positif Infeksi HCV aktif - Lihat penyelidikan lanjut & indikasi rujukan untuk biopsi hati Indikasi untuk biopsi hati Kategori orang koinfeksi HIV-HCV yang berikut sebaiknya diusulkan melakukan biopsi hati: Ɣ Tingkat ALT abnormal dan lamanya infeksi diperkirakan lebih dari 10 tahun Ɣ Tingkat ALT abnormal dan lamanya infeksi tidak diketahui, terutama pada orang berusia 35 tahun ke atas Ɣ Tingkat ALT normal tetapi ada bukit klinis penyakit hati kronis, mis. hepatomegali dan spider naevi Ɣ Genotipe/viral load HCV yang kurang menanggapi, terutama orang dengan genotipe 1 dan viral load tinggi alkohol, riwayat psikiatris, dan tes darah serta status vaksinasi untuk virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis B (HBV). Genotipe dan viral load HCV adalah penting untuk menentukan tanggapan yang mungkin pada terapi antiviral. Riwayat psikiatris terutama penting, karena mengalami tingkat depresi yang tinggi dengan terapi berdasarkan interferon, dengan begitu membentuk titik acuan dini sebelum terapi. Pada orang koinfeksi HIV-HCV, risiko penyakit hati yang berlanjut adalah relatif tinggi. Walau tidak wajib dilakukan biopsi hati sebagai persyaratan untuk memulai terapi HCV di Australia, penentuan stadium penyakit sebaiknya dipertimbangkan untuk mereka dengan infeksi HCV kronis yang dikonfirmasi serta tingkat transaminase yang tinggi. Terutama mereka yang diperkirakan sudah terinfeksi lebih dari sepuluh tahun sebaiknya didorong untuk melakukan biopsi hati. Selain tingkat ALT yang terus normal dikatikan dengan kelanjutan penyakit yang lamban, kaitan tingkat ALT dengan risiko fibrosis hati adalah lemah.10 Oleh karena itu, dalam kisaran abnormal, ALT tidak mempunyai tingkat prediksi stadium penyakit hati yang tinggi. Walaupun hasil tes antibodi yang negatif sebelumnya sering tidak tersedia, dan hepatitis akut bergejala jarang, penilaian faktor risiko HCV sering dapat membantu menentukan lamanya kemungkinan infeksi HCV. Contohnya, seorang antibodi HCV-positif dan mempunyai riwayat menyuntik selama dua tahun, 18 sampai 20 tahun sebelumnya tanpa faktor risiko lain boleh dianggap terinfeksi waktu itu. Anggapan itu dapat disesuaikan dengan kegiatan penyakit pada biopsi dan membantu pengambilan keputusan mengenai terapi. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Biopsi hati mungkin tidak begitu penting untuk pengambilan keputusan mengenai terapi untuk orang dengan koinfeksi HIV-HCV yang berikut: • mereka dengan angka tanggapan terhadap terapi yang lebih tinggi, terutama mereka dengan HCV genotipe 2 dan 3. Tanggapan terhadap terapi juga lebih tinggi secara bermakna di antara mereka dengan genotipe 1 dan viral load HCV yang rendah dibandingkan mereka dengan viral load yang tinggi; • mereka dengan lamanya infeksi HCV yang lebih singkat atau dengan tes fungsi hati yang tetap normal, karena penyakit hati secara dini tidak mungkin pada orang tersebut; • mereka yang ingin mulai terapi, tidak tergantung pada tingkat kerusakan pada hati. Dicabutnya keharusan untuk melakukan biopsi hati di Australia sebelum memulai terapi HCV berarti satu-satunya persyaratan utama untuk mendapatkan terapi di sana adalah konfirmasi adanya hepatitis C kronis – umumnya antibodi positif selama lebih dari enam bulan dengan adanya bukti infeksi HCV aktif sebagaimana ditentukan oleh tes RNA HCV kualitatif atau kuantitatif yang positif. Strategi terapeutik untuk orang koinfeksi HIV-hepatitis C Dalam keadaan saat ini dengan terapi HIV dan HCV yang berkembang cepat serta pengetahuan yang semakin berkembang mengenai koinfeksi HIV-HCV, proses pengambilan keputusan terapeutik untuk orang dengan koinfeksi HIVHCV dan dokternya adalah rumit. Beberapa faktor menambah kerumitannya: • Ada bukti bahwa pengenalan ART meningkatkan harapan hidup Odha, tetapi terapi ini dapat ditunda sampai perkembangan kekurangan kekebalan yang berlanjut; • HCV dalam rangkaian HIV melanjut lebih cepat pada komplikasi, baik sirosis maupun karsinoma hepatoselular (hepatocellular carcinoma/HCC); • Penurunan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit oportunistik terkait HIV meningkatkan proporsi morbiditas dan mortalitas tidak terkait HIV termasuk akibat penyakit hati lanjutan; • Uji coba klinis berskala besar yang memakai interferon pegilasi dan ribavirin menunjukkan angka tanggapan antiviral HCV yang lebih baik untuk orang koinfeksi HIV-HCV, serupa dengan angka yang dilihat pada orang hanya dengan HCV; • Angka tanggapan pada interferon pegilasi dan ribavirin pada orang koinfeksi HIV-HCV adalah 10-20 persen lebih rendah dibandingkan angka pada orang hanya dengan HCV, terutama dalam rangkaian kerusakan kekebalan yang lebih lanjut; • HCV mungkin mempengaruhi tanggapan kekebalan setelah pengenalan ART pada orang koinfeksi HIV-HCV; • Toksisitas mungkin meningkat pada orang koinfeksi HIV-HCV yang memakai ART bersamaan dengan interferon dan ribavirin. Pilihan terapeutik saat ini Perbaikan pada ART selama pertengahan 1990-an diikuti oleh perbaikan pada terapi antiviral HCV pada akhir 1990-an. Walau tidak langsung mempunyai tindakan antiviral yang manjur sebagai monoterapi, ribavirin, sebuah analog guanosin, bila digabung dengan interferon baku, menghasilkan angka tanggapan virologis yang terus-menerus (sustained virological response/SVR) kurang lebih 40 persen pada oarang dengan infeksi HCV. Penentu utama SVR ditunjukkan oleh genotipe HCV; angka 25-30 persen untuk genotipe 1 dan 60-70 persen untuk genotipe 2 dan 3 ditunjukkan dengan rejimen ini. Viral load HCV, usia, jenis kelamin dan kepatuhan pada terapi juga ditunjukkan mempengaruhi angka tanggapan.11,12 SVR (didefinisi sebagai ketiadaan HCV dalam darah enam bulan setelah terapi antiviral selesai) tampaknya serupa dengan pemberantasan virus keseluruhan (penyembuhan) dalam kebanyakan kasus, dan berhubungan dengan kemunduran fibrosis hati, walau ada sirosis.13 Angka ini diperperbaiki lebih lanjut selama tahun-tahun terakhir dengan laporan mengenai penelitian yang memakai interferon pegilasi dalam kombinasi dengan ribavirin, yang mencapai SVR keseluruhan 54-63 persen, meningkat menjadi 75-80 persen untuk infeksi genotipe 2 dan 3. Interferon pegilasi adalah bentuk yang bertindak lebih lama, dengan manfaat dapat dipakai sebagai suntikan subkutan mingguan dibandingkan tiga kali seminggu untuk interferon baku. Ribavirin dipakai melalui mulut dua kali sehari. Kombinasi interferon pegilasi dan ribavirin sekarang menjadi pengobatan baku untuk HCV kronis. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 15 2 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis C Penelitian terhadap koinfeksi HIV-HCV ketinggalan oleh penelitian pada populasi dengan hanya HCV, tetapi penemuan dari tiga penelitian penting yang menilai interferon pegilasi dengan ribavirin untuk koinfeksi HIV-HCV baru saja diterbitkan: penelitian APRICOT, penelitian RIBAVIC dan penelitian ACTG 5071.14-16 Semua penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa bentuk interferon pegilasi (PEG) dalam kombinasi dengan ribavirin (RBV) lebih baik dibandingkan interferon baku (IFN) dengan ribavirin. Penelitian APRICOT adalah uji coba berbagai pusat internasional yang melibatkan 860 pasien dan adalah satu-satunya penilitian pendaftaran yang dilakukan pada populasi pasien ini. Penelitian dirancang untuk membagi peserta dalam tiga kelompok untuk membandingkan PEG + RBV banding monoterapi PEG banding IFN + RBV yang baku, Penelitian ini mencapai angka SVR yang paling tinggi terlapor sampai saat ini pada pasien koinfeksi HIV-HCV, dengan PEG + RBV mencapai SVR 40 persen dibandingkan 12 persen untuk IFN + RBV dan 20 persen untuk monoterapi PEG. Penelitian APRICOT memakai interferon alfa-2a pegilasi (PEGASYS) 180µg dengan 800mg ribavirin selama 48 minggu.14 Pasien dengan infeksi genotipe 1 diobati dengan PEG + RBV mencapai SVR yang lebih rendah secara bermakna (29 persen) dibandingkan mereka dengan infeksi genotipe 2/3 (62 persen). Penelitian RIBAVIC Prancis adalah uji coba berbagai pusat yang melibatkan 412 pasien dan melakukan perbandingan antara interferon 2b (PEGINTRON) 1,5µg/kg/hari dan IFN baku keduanya dalam kombinasi dengan RBV 800mg/ hari. SVR untuk kelompok PEG + RBV dalam penelitian ini sekali lagi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok IFN + RBV (26 persen banding 18 persen).15 Penelitan ACTG 5071 AS adalah satu lagi uji coba berbagai pusat yang melibatkan 134 pasien yang dibagi secara acak pada dua kelompok: interferon pegilasi 2a (PEGASYS) 180µg/minggu banding IFN dengan memakai 6MU untuk 12 mingu diikuti oleh 3MU untuk 48 minggu terapi keseluruhan. Takaran RBV pada penelitian ini berkisar antara 600-1.000mg/hari. Pasien melakukan biopsi hati tambahan pada 24 minggu dan diteruskan pada penelitian bila mereka memenuhi perbaikan histologis yang ditentukan sebelumnya. SVR pada penelitian ini adalah 27 16 persen untuk kelompok PEG + RBV banding 12 persen untuk kelompok IFN + RBV.16 Angka SVR mungkin berbeda antara penelitian ini karena berbagai alasan. Populasi pasien adalah berbeda antara penelitian. Khususnya, proporsi pasien dengan sirosis, sebuah faktor yang berhubungan dengan angka SVR yang lebih rendah, adalah lebih tinggi pada penelitian RIBAVIC (39 persen) dibandingkan penelitian APRICOT (15 persen). Juga lebih banyak pasien di penelitian RIBAVIC menghentikan terapi secara dini dibandingkan mereka di penelitian APRICOT. Penelitian ACTG memakai takaran RBV yang lebih rendah, yang sekarang diketahui kurang efektif. Tambahan, kebutuhan untuk perbaikan histologis dalam penelitian ACTG mungkin menyebabkan penghentian terapi secara dini pada pasien yang pada akhirnya mungkin mencapai SVR. Dipertimbang bersama, penelitian ini jelas menunjukkan kemanjuran interferon pegilasi dalam terapi kombinasi dengan ribavirin yang lebih baik. Namun tanggapan pada terapi tetap di bawah optimal, terutama untuk mereka dengan HCV genotipe 1. Peningkatan toksisitas terapeutik dalam koinfeksi HIV-HCV Sebelumnya, satu pertimbangan utama mengenai terapi koinfeksi adalah keamanan rejimen terapi dan khususnya interaksi yang mungkin antara ART dan terapi HCV. Angka pemberhentian keseluruhan di penelitian ini pada kelompok PEG + RBV adalah: 25 persen untuk APRICOT, 42 persen untuk RIBAVIC dan 12 persen untuk ACTG. Penelitian APRICOT menunjukkan tidak ada perbedaan dalam angka pemberhentian atau efek samping berat antara kelompok. Lagi pula, pola dan angka efek samping yang dilaporkan adalah serupa antara ketiga kelompok. Data ini memberi kesan bahwa pola keamanan PEG serupa dengan IFN baku. Tambahan, tidak ada dampak negatif pada pengendalian HIV. Sebaliknya, kelompok PEG + RBV mencapai hampir 1 log penurunan pada viral load HIV pasien dengan viral load HIV terdeteksi pada awal. Hal ini menghilangkan ketakutan sebelumnya bahwa RBV dapat menghambat fosforilasi analog nukleosida misalnya AZT dan d4T, dengan akibat pengendalian HIV dihambat. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Walaupun ada kedua kepastian ini, tetap ada dua pengamatan waspada yang penting yang harus diperhatikan dari penelitian ini. Penelitian RIBAVIC melaporkan toksisitas mitokondria (didefinisikan oleh hiperlaktemia atau pankreatitis) pada 13 pasien. Hal ini terjadi pada 16 persen pasien yang memakai ddI, dan pada mereka risiko meningkat 18 kali lipat. Hal ini mungkin diakibatkan karena ribavirin membantu fosforilasi ddI, dengan demikian meningkatkan tingkat obat.17 Penemuan kedua yang penting adalah dekompensasi hati pada penelitian APRICOT. Hal ini terjadi pada 14 pasien dan menyebabkan enam kematian. Semua kasus ini terjadi pada pasien dengan sirosis dengan risiko 10,5 persen. Dengan penyelidikan kasus ini secara lebih dalam, penggunaan ddI juga muncul sebagai faktor risiko independen tetapi, berlawan dengan RIBAVIC, tidak ada kaitan dengan asidosis laktik. Kebanyakan pasien ini mempunyai skor Child’s Pugh 6 atau lebih pada awal, yang sedikitnya menunjukkan adanya dekompensasi hati. Data ini memberi kesan bahwa dibutuhkan seleksi pasien dan rejimen ART secara hati-hati. Pasien dengan sirosis dekompensasi sebaiknya tidak diobati dan ddI dihindari selama terapi HCV. Usulan saat ini adalah untuk memakai ddI dengan sangat hati-hati dalam kombinasi dengan ribavirin. Orang koinfeksi HIV-HCV yang mulai terapi kombinasi interferon dan ribavirin dan yang menerima ddI sebaiknya menggantinya dengan rejimen yang tidak mengandung ddI atau mengurangi takaran ddI bila rejimen lain tidak tersedia. Pemantauan ketat juga dibutuhkan untuk orang dengan sirosis setelah mulai terapi interferon dan ribavirin, termasuk tes koagulasi secara berkala, dan bila ada tanda dekompensasi hati, terapi dihentikan. Kekhawatiran mengenai peningkatan risiko toksisitas mitokondria pada orang koinfeksi HIV-HCV yang mulai terapi interferon dan ribavirin juga membuat pengukuran laktat secara berkala sebagai strategi yang masuk akal. Namun kasus asidosis laktik dapat muncul secara sangat cepat dan hiperlaktemia tidak selalu ditemukan sebelumnya pada pemantauan laktat berkala. Masalah ini juga menyoroti kebutuhan akan pengenal dan rujukan dini untuk pasien macam itu pada pusat spesialis agar mereka dapat ditangani lebih dini dalam perjalanan infeksi HCV, terutama sebelum munculnya sirosis, yang lebih mempengaruhi tanggapan terhadap terapi. Jumlah CD4 mutlak sering menurun selama terapi interferon dan hal ini terkait dengan leukopenia yang dipicu oleh interferon. Namun persentase CD4 umumnya stabil. Dampak stadium penyakit pada pengambilan keputusan mengenai terapi Satu strategi untuk menatalaksanakan infeksi HCV adalah untuk menunda terapi antiviral hingga ada tanda fibrosis hati yang berlanjut (biasanya stadium 2: fibrosis sedang). Pendekatan penundaan terapeutik ini mungkin tidak layak untuk orang koinfeksi HIV-HCV, dengan adanya perkembangan penyakit hati yang lebih cepat. Kemanjuran intervensi terapeutik HCV pada koinfeksi adalah paling tinggi saat fungsi kekebalan relatif baik. Masalah ini menimbulkan pertanyaan mengenai urutan terapi: apakah kedua virus yang diangkut darah ini sebaiknya diobati bersamaan atau terpisah, dan bila terpisah, virus mana dulu? Karena terapi HIV sekarang diusulkan waktu jumlah CD4 menurun di bawah 35018 dianggap masuk akal memakai ambang ini untuk menentukan prioritas terapeutik. Di bawah jumlah ini tanggapan dipengaruhi oleh penekanan kekebalan, jumlah CD4 menurun lagi dengan terapi dan terapi HIV menjadi prioritas. Di atas 350, fungsi kekebalan relatif kuat dan Gambar 2.2 Strategi terpeutik untuk penatalaksanaan koinfeksi HIV-HCV pada orang HCV RNA positif ALT Tetap normal Tinggi Tidak lagi menyelidiki Biopsi hati Ringan (Grade 1/Stadium 1 atau kurang) Sedang/Berat (Grade 2/Stadium 1 atau lebih) Mempertimbangkan terapi bila faktor mendukung (mis. HCV genotipe 2/3 + CD4 lebih tinggi) atau Ulangi biopsi setelah 3 tahun Terapi bila tidak ada kontraindikasi Interferon pegilasi + ribavirin selama 48 minggu Terapi bila ada lanjutan pada biopsi Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 17 2 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis C ketiadaan ART mengurangi kejadian hepatotoksisistas. Mana saja yang dimulai dulu, terapi HIV dan HCV sebaiknya bergiliran dengan tenggang waktu sedikitnya satu dan lebih baik dua bulan antaranya untuk meminimalkan toksisitas dan meningkatkan kepatuhan. Strategi terapeutik yang diusulkan untuk orang koinfeksi HIV-HCV diuraikan pada Gambar 2.2. Karena strategi ini berdasarkan stadium penyakit hati, biopsi hati tetap adalah unsur penting dalam proses pengambilan keputusan mengenai terapi untuk orang koinfeksi HIV-HCV. Namun menentukan stadium penyakit hati mungkin tidak sama penting untuk orang dengan pola terapi yang lebih baik (misalnya HCV genotipe 2/3 dengan jumlah CD4 yang lebih tinggi). Urutan terapi HIV dan HCV yang diusulkan diuraikan di Gambar 2.3. untuk orang koinfeksi HIV/HCV. Risiko lebih tinggi terhadap penyakit hati yang berlanjut pada Odha berarti faktor bersama lain untuk perkembangan penyakit menjadi semakin penting. Contohnya, seorang koinfeksi HIV-HCV yang juga pengguna alkohol secara berat berisiko jauh lebih tinggi terhadap penyakit hati berlanjut. Umumnya, orang koinfeksi HIV-HCV sebaiknya mengurangi penggunaan alkoholnya menjadi tidak lebih dari 20g (dua minuman baku) per hari dan berupaya bebas alkohol tiga hari seminggu. Dalam kasus fibrosis hati berat atau sirosis, sebaiknya berhenti total. Juga penting menyoroti bahwa orang yang memakai ART ditujukkan mempunyai bukan hanya mortalitas yang lebih baik secara keseluruhan, tetapi juga mortalitas terkait hati yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memakai ART.6 Tidak ada bukti yang memberi kesan bahwa penggunaan narkoba sendiri meningkatkan risiko penyakit hati berlanjut pada orang terinfeksi HCV. Justru, tidak ada kriteria khusus terkait alkohol dan narkoba untuk akses terapi antiviral HCV. Namun menghindari penggunaan narkoba berlebihan, terutama secara suntikan, tampaknya strategi yang layak untuk orang koinfeksi HIVHCV. Tampaknya dapat terjadi infeksi ulang setelah penyembuhan HCV dengan terapi, dan hal ini meningkatkan pentingnya pencegahan pajanan HCV pada orang yang terus menyuntik narkoba.20,21 Koinfeksi HIV-HCV dan penyakit hati dekompensasi Kesimpulan Gambar 2.3 Urutan diusulkan untuk terapi koinfeksi HIV-HCV Jumlah CD4 < 350 > 350 Obati HIV dulu Obati HCV dulu Obati HCV waktu jumlah CD4 optimal Orang dengan koinfeksi HIV-HCV dan dipastikan kegagalan hati sebaiknya tidak dimulai dengan terapi berdasarkan interferon karena ada risiko toksisitas dan dekompensasi hati lebih lanjut yang jauh lebih tinggi. Seorang dengan penyakit HIV yang stabil dan kegagalan hati terkait HCV sebaiknya dipertimbangkan untuk pencangkokan hati. Bukti saat ini memberi harapan akan ada hasil yang baik, terutama pada orang yang dapat menahan ART setelah pencangkokan.19 Masalah penatalaksanaan lain Penatalaksanaan hepatotoksisitas dan pilihan ART pada orang koinfeksi HIV-HCV dibahas pada Bab 4. Penggunaan narkoba dan alkohol adalah masalah penatalaksanaan lain yang besar 18 Prognosis yang jauh lebih baik untuk Odha, termasuk toksisitas lebih tinggi terkait dengan terapi yang rumit untuk menahan pengendalian replikasi HIV dan fungsi kekebalan, menyebabkan munculnya penyakit hati sebagai masalah penatalaksanaan klinis yang besar. Oleh karena cara penularan HIV dan HCV adalah serupa, Odha sebaiknya diberi konseling dan diusulkan untuk melakukan tes HCV. Untuk mereka dengan hepatitis kronis, hasil terapi yang lebih baik memberi kesempatan untuk pemberantasan HCV (penyembuhan). Penilaian kegiatan dan stadium penyakit hati akan tetap menjadi alat yang penting dalam pengambilan keputusan mengenai terapi, terutama untuk mereka dengan pola pengobatan yang kurang menguntungkan. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Ucapan terima kasih Dr. David Koorey, Mr. Paul Harvey dan Dr. Darren Russell memberi komentar yang berharga pada draf awal bab ini. Referensi 1 Torresi J, Locarnini S. Antiviral chemotherapy for the treatment of hepatitis B virus infections. Gastroenterology 2000;118(Suppl 1):S83–S103. 2 Manns MP, McHutchison JG, Gordon SC, et al. Peginterferon alfa-2b plus ribavirin compared with interferon alfa-2b plus ribavirin for initial treatment of chronic hepatitis C: a randomised trial. Lancet 2001;358:958–65 3 Fried MW, Shiffman ML, Reddy KR, et.al. Peginterferon alfa-2a plus ribavirin for chronic hepatitis C virus infection. N Engl J Med. 347(13):975-82, 2002 Sep 26 4 Hadziyannis SJ, Sette H Jr, Morgan TR, et.al PEGASYS International Study Group. Peginterferonalpha2a and ribavirin combination therapy in chronic hepatitis C: a randomized study of treatment duration and ribavirin dose. Ann Intern Med. 140(5):346-55, 2004 Mar 2 or 24 weeks versus interferon alpha 2b plus placebo for 48 weeks for treatment of chronic infection with hepatitis C virus. Lancet 1998; 352: 1426-32. 13 Shiratori Y, Imazeki F, Moriyama M, et al. Histological improvement of fibrosis in patients with hepatitis C who have sustained response to interferon therapy. Ann Intern Med 2000,132:517– 24. 14 Torriani FJ, Rodriguez-Torres M, Rockstroh JK, Lissen E et al. Peginterferon Alfa-2a plus Ribavirin for Chronic Hepatitis C Virus Infection in HIVInfected Patients. N Engl J Med, 2004; 351: 43850. 15 Perronne C, Carrat F, Bani-Sadr F et.al.. Final Results of ANRS HC02-RIBAVIC: A Randomized Controlled Trial of Pegylated-Interferon-alfa-2b plus Ribavirin vs Interferon-alfa-2b plus Ribavirin for the Initial Treatment of Chronic Hepatitis C in HIV Coinfected Patients. Abstract # 117LB. 11th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections. Feb 8-11 2004. San Francisco, CA 16 Chung RT, Andersen J, Volberding P, Robbins GK et al. Peginterferon Alfa-2a plus Ribavirin versus Interferon i. Alfa-2a plus Ribavirin for Chronic Hepatitis C in HIV-Coinfected Persons. N Engl J Med, ii. 2004; 351; 451-59. 5 Dore GJ, Cooper DA. The impact of HIV therapy on co-infection with hepatitis B and hepatitis C viruses. Curr Opin Infect Dis 2001;14:749–55. 17 Lafeuillade A, Hittinger G, Chadapaud S. Increased mitochondrial toxicity with ribavirin in HIV/HCV coinfection. Lancet 2001;357:280–1 6 Qurishi N, Kreuzberg C, Luchters G, et.al. Effect of antiretroviral therapy on liver-related mortality in patients with HIV and hepatitis C virus coinfection. Lancet. 2003, 362:1708-13. 18 Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. Department of Health and Human Services. 2004 7 Dore G. Natural history of hepatitis C virus infection. In: Hepatitis C: an Australian perspective. Crofts N, Dore GJ, Locarnini S, editors. Melbourne: IP Communications, 2001. p82–100. 8 9 Gilleece YC. Browne RE. Asboe D. et al. Transmission of hepatitis C virus among HIVpositive homosexual men and response to a 24week course of pegylated interferon and ribavirin. [Clinical Trial. Journal Article. Randomized Controlled Trial] Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes: JAIDS. 40(1):41-6, 2005 Sep 1. 19 Ragni MV, Belle SH, Im K, et.al.. Survival of human immunodeficiency virus-infected liver transplant recipients. J Infect Dis. 2003; 188:1412-20. 20 Asselah T, Vidaud D, Doloy A, et al. Second infection with a different hepatitis C virus genotype intravenous drug user during interferon therapy. Gut 2003; 52:900–2. 21 Dalgard O, Bjoro K, Hellum K, et al. Treatment of chronic hepatitis C in injecting drug users: 5 years’ follow-up. Eur Addict Res 2002; 8:45–9. Serpaggi J, Chaix ML, Batisse D, Dupont C, et al. Sexually transmitted acute infection with a clustered genotype 4 hepatitis C virus in HIV-1infected men and inefficacy of early antiviral therapy. JAIDS. 2006 ; 20: 233-240. 10 Danta M, Dore GJ, Henessy L, et al. Factors associated with severity of hepatic fibrosis in people with chronic hepatitis C infection. Med J Aust 2002;177:240–5. 11 McHutchinson JG, Gordon SC, Schiff ER et.al. Interferon alfa-2b alone or in combination with ribavirin as initial treatment for chronic hepatitic C. N Engl J Med, 1998; 339: 1485-92 12 Poynard T, Marcellin P, Lee SS et.al. Randomised trial of interferon alpha2b plus ribavrin for 48 weeks Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 19 3 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B Joe Sasadeusz Head of Medical Virology, Victorian Infectious Diseases Service, Royal Melbourne Hospital VIC Pokok Kunci Ɣ Infeksi virus hepatitis B (HBV) pada orang terinfeksi HIV dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitias yang bermakna. Ɣ Orang koinfeksi HIV-HBV mempunyai angka infeksi HBV kronis serta fibrosis dan sirosis hati yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan infeksi HBV sendiri. Ɣ Penatalaksanaan masing-masing infeksi virus diperumit oleh keberadaaan virus yang lain. Ɣ Keberadaan HBsAg harus mengindikasikan pemantauan viral load HBV, sebaiknya dengan PCR untuk menentukan tingkat yang bermakna. Ɣ Terapi HBV saat ini dibatasi oleh perkembangan resistansi terhadap obat dan angka HBeAg serokonversi yang rendah. Ɣ Permulaan terapi antiretroviral dapat mengakibatkan peradangan hati yang bermakna secara klinis (flare hati) dan dekompensasi hati. Ɣ Uji coba klinis lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan strategi terapeutik, terutama rejimen kombinasi optimal. Pengantar Diperkirakan kurang lebih 5 persen penduduk dunia, atau lebih dari 350 juta orang di seluruh dunia mempunyai infeksi virus hepatitis B (HBV) kronis. Wilayah sangat endemis infeksi HBV, misalnya Afrika sub-Sahara dan Asia, juga wilayah yang sangat terpengaruh oleh pandemi HIV.1 Kejadian infeksi baik HIV maupun HBV berhubungan dengan jalur penularan yang sama. Prevalensi infeksi HBV kronis pada orang dengan HIV berbeda terkait pola penularan epidemiologis, dan baru ini diperkirakan adalah 6 persen di Australia (lihat Bab 1). HBV tidak langsung sitopatik, dan patogenesis virus terutama dimediasi oleh kekebalan (immune-mediated). Perubahan peradangan-nekro (necroinflammatory) pada jaringan hati yang mencirikan HBV kronis adalah hasil dari 20 tanggapan kekebalan selular pada antigen virus.2 Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, tanggapan kekebalan yang lemah terhadap antigen HBV mengakibatkan penyakit peradangan hati dengan tingkat yang relatif rendah. Walau ada efek ini, kelanjutan penyakit hati melalui perkembangan fibrosis hati dipercepat pada orang dengan sistem kekebalah tubuh ditekan oleh HIV.2 Patogenesis penyakit hati kronis pada orang koinfeksi HIV-HBV, dan khususnya hubungan antara tekanan kekebalan dan kelanjutan penyakit, mempunyai implikasi penting untuk perkembangan strategi terapeutik antiretroviral. Diagnosis Semua Odha sebaiknya diskrining untuk infeksi HBV, pada awal dengan antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Bila HBsAg terdeteksi, keberadaan replikasi HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk DNA HBV (viral load). Tingkat DNA HBV berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan peradangan pemulihan kekebalan (flare hati). DNA HBV dapat dihitung oleh tes nonamplification (biasanya hybridisation) atau tes amplification (PCR atau branched DNA (bDNA)). Penting juga menentukan status antigen e HBV (HBeAg) karena tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status HBeAg. Anjuran saat ini mengusulkan bahwa, pada pasien HBeAg-positif, viral load >105 copy/mL bermakna secara klinis sementara pada pasien HBeAg-negatif, viral load >104 dianggap bermakna.1 Tes amplification misalnya PCR lebih dipilih dalam penilaian replikasi, terutama pada infeksi HbeAg-negatif, karena tes nonamplification hanya mempunyai sensitifitas 105 copy/mL. Kegagalan untuk sintesis HBeAg pada infeksi HBeAg-negatif disebabkan oleh keberadaan mutasi di bagian precore dan core promoter.1 Orang dengan tingkat DNA HBV yang sangat tinggi sebaiknya dinilai lebih lanjut dan dipertimbangkan untuk terapi antiviral. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Gambar 3.1 Anjuran algoritme penyelidikan untuk menilai HBV pada orang koinfeksi HIV Penilaian serologis awal: HBsAg/anti-HBc/anti-HBs HBsAg positif anti-HBs negatif HBsAg negatif anti-HBs negatif anti-HBc negatif HBeAg Antigen e negatif HBV Antigen e negatif HBV DNA HBV dengan PCR DNA HBV dengan PCR >105 copy/mL >104 copy/mL ALT normal ALT abnormal ALT normal Tanpa biopsi hati kecuali ada bukti penyakit hati lanjutan Biopsi hati Tanpa biopsi hati kecuali ada bukti penyakit hati lanjutan Semua orang HBsAg-positif harus melakukan tes fungsi hati berurutan untuk menenutukan apakah kegiatan peradangan-nekro yang bermakna ada atau muncul. Bila ada bukti biokimia adanya peradangan hati (didefinsi sebagai tingkat ALT di atas batas atas nilai normal (BANN)), biopsi hati umumnya dianjurkan untuk menentukan grade dan stadium penyakit (kecuali ada kontraindikasi kuat misalnya kelainan perdarahan). Biopsi hati adalah penting untul penatalaksanaan karena tindakan ini satu-satunya cara untuk menentukan tingkat fibrosis hati dan kegiatan peradangan-nekro, serta juga mampu mengesampingkan faktor lain yang menyumbang pada disfungsi hati, terutama toksisitas hati. Manifestasi klinis Koinfeksi HIV menghasilkan perubahan yang bermakna pada riwayat alami infeksi HBV.3-5 Infeksi HBV persisten adalah lebih umum pada Odha, dengan penelitian di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki terpajan pada HBV menunjukkan bukti adanya infeksi HBV kronis pada 25 persen6 orang dibandingkan dengan 3-5 persen pada mereka tanpa HIV.7,8 Secara jarang, reaktivasi infeksi HBV dapat terjadi pada rangkaian tekanan kekebalan lanjutan walau serokonversi menjadi antibodi permukaan Kebal Vaksinasi Penyelidikan lebih lanjut atau terapi HBV tidak diindikasi hepatitis B (HBsAb)-positif.9 Lagi pula, pada orang koinfeksi HIV-HBV, tingkat DNA HBV lebih tinggi secara bermakna, dan angka serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe adalah lebih rendah pada orang yang hanya terinfeksi HBV.4,9-11 Tingkat replikasi virus HBV yang tinggi dilihat pada orang koinfeksi HIV-HBV berhubungan dengan tingkat ALT yang lebih rendah secara bermakna4,9-11 dan biopsi hati biasanya menunjukkan kegiatan peradangannekro yang lebih rendah.4 Keadaan ini adalah konsisten dengan model luka-luka imunopatogenik infeksi HBV. Namun kelanjutan pada sirosis adalah lebih umum, yang menunjukkan fibrosis lanjut.4 Tidak jelas mengapa hal ini terjadi, dan mungkin ada kaitan dengan faktor misalnya tingkat replikasi HBV yang lebih tinggi, peradangan hati terkait dengan pemulihan kekebalan, toksisitas obat antiretroviral (ARV), disregulasi kekebalan yang menyebabkan fibrosis, atau patogenisitas langsung HBV yang lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HBV. Pada orang dengan kekebalan lemah, HBV dapat jarang melakukan dampak sitopatik langsung yang tidak dimediasi kekebalan, yang menghasilkan kondisi yang unik disebut sebagai fibrosing cholestatic hepatitis (FCH). FCH Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 21 3 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B berhubungan dengan tingkat DNA HBV yang sangat tinggi dan pernah diamati pada Odha.12 Ciri histologis FCH termasuk kekurangan infiltrat selular, saluran empedu yang proliferasi dan kerusakan kolestatik yang berkembang cepat dengan tingkat virus intraselular yang sangat tinggi, dengan hasil fibrosis lanjut dan dekompensasi hati. Kondisi ini menimbulkan mortalitas tinggi, walau pendekatan pengobatan baru lebih berhasil. Sudah ditetapkan bahwa HBV secara bermakna meningkatkan risiko hepatocellular carcinoma (HCC) primer.13 Walau angka HCC yang lebih tinggi belum diamati pada Odha, risiko kanker secara keseluruhan yang diketahui lebih tinggi pada populasi ini memberi kesan bahwa risikonya sedikitnya sama tinggi bila tidak lebih tinggi. Skrining berkala dengan USG lambang-usus dan protein alfa-fetoprotein setiap 6-12 bulan sangat dianjurkan. Berbeda dengan dampak HIV pada riwayat alam infeksi HBV kronis, dampak yang bermakna pada perjalanan klinis HIV belum ditemukan.14,15 Gambar menunjukkan bagaimana mulainya ART menyebabkan flare pada ALT yang jelas akibat pemulihan kekebalan dengan adanya tingkat DNA HBV yang tinggi Gambar 3.2 100,000 Viral load HIV 1,000 500 Jumlah CD4 100 ALT U/L 50 6000 DNA HBV pg/mL 0 0 AZT/3TC efavirenz dimulai 100 AZT/efavirenz dihentikan 3TC diteruskan Ditambah tenofovir * Terapi HBV hanya diindikasikan untuk orang dengan tingkat replikasi yang bermakna 22 Terapi anti-HBV Ada lima unsur terapeutik saat ini disetujui untuk pengobatan HBV kronis: interferon-alfa, 3TC, adefovir, tenofovir dan entecavir. Interferon-alfa Terapi interferon-alfa (aIFN) dapat menghasilkan serokonversi HBeAg dan dapat menyebabkan pemulihan pada 20-40 persen orang terinfeksi tunggal HBV kronis dengan sistem kekebalan yang sehat.16 Namun pengobatan pada orang yang juga terinfeksi HIV kurang efektif secara bermakna.17-19 Terutama, orang dengan tekanan kekebalan yang berat umumnya mengalami tanggapan yang lebih buruk pada terapi.20 Penelitian terhadap bentuk interferon yang bertindak lebih lama disebut sebagai interferon pegilasi (PEG) (lihat Bab 2) memberi kesan adanya hasil yang lebih baik terhadap pengobatan pada orang yang hanya terinfeksi HBV,21 dan dapat menawarkan manfaat untuk yang koinfeksi HIV walau hal ini belum diteliti dalam uji coba terkontrol secara acak. Namun, tampaknya masuk akal untuk mempertimbangkan terapi dengan aIFN atau PEG pada orang dengan fungsi kekebalan yang masih sehat (jumlah CD4 >500) yang belum memenuhi kriteria untuk mula ART. Obat seperti 3TC dapat dicadangkan, dengan menghindari resistansi pada HIV atau pun HBV. Bila interferon dipertimbangkan, biopsi hati penting karena orang dengan sirosis dapat dekompensasi akibat terapi. Adefovir dan entecavir mempunyai kegiatan anti-HBV yang manjur, dan dapat juga menawarkan pilihan terapeutik yang layak untuk orang koinfeksi HIV-HBV dan fungsi kekebalan yang sehat. (lihat Gambar 3.3). 3TC 1,500 Hari Penatalaksanaan 3TC (lamivudine) adalah analog nukleosida yang menekan replikasi HIV dan HBV dengan menghambat pekerjaan enzim reverse transcriptase virus.22,23 Pada orang hanya terinfeksi HBV, penurunan dalam viral load HBV dalam darah akibat terapi 3TC terkait dengan serokonversi HBeAg, fungsi hati kembali normal dan kegiatan histologis lebih baik pada kurang lebih 20 persen orang yang diobati. Sayangnya, efektifitas 3TC jangka panjang berkurang akibat perkembangan mutasi yang resistan terhadap HBV dan ketahanan Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis serokonversi HBeAg yang tampaknya berbedabeda.24 Resistansi pada 3TC berkembang akibat mutasi pada motif tyrosine-methionineaspartateaspartate (YMDD) dari domain katalitik di gen polymerase HBV. Kemanjuran 3TC terhadap HBV ditunjukkan pada Odha,35,25-27 namun resistansi terhadap HBV berkembang dalam kurang lebih 20 persen per tahun, dengan proyeksi 90 persen stelah empat tahun terapi 3TC.28 Frekuensi resistansi terhadap 3TC ini pada orang koinfeksi HIV-HBV adalah sedikit lebih tinggi dibandingkan orang hanya terinfeksi HBV. Terapi 3TC yang diperpanjang dan viral load HBV yang tinggi diketahui sebagai faktor risiko besar untuk perkembangan HBV yang resistan.28 Karena 3TC, bila dipakai sebagai bagian dari ART, dipakai seumur hidup oleh orang koinfeksi HIV-HBV, pasti monoterapi 3TV pada populasi ini akan menyebabkan resistansi. Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog nukleotida, yang terbukti manjur terhadap HBV dengan takaran 10mg sehari, dengan penurunan 4 log pada DNA HBV dalam plasma. Adefovir juga menghambat replikasi HBV yang resistan terhadap 3TC. Sebuah penelitian open-label yang melibatkan 35 orang dengan HIV dan HBV yang resistan terhadap 3TC melaporkan penurunan 4 log pada DNA HBV dalam serum setelah 48 minggu, sebanding dengan kegiatan antiviral pada orang tanpa HIV.29 Setelah dipantau selama empat tahun, 26 pasien ini yang memakai ADV terus-menerus tetap mencapai penurunan lagi pada viral load HBV tanpa munculnya mutasi terakit HBV atau HIV.30 Takaran adefovir lebih tinggi (30mg atau lebih sehari) berhubungan dengan nefrotoksisitas, yang jarang diamati dengan takaran 10mg sehari. Karena tidak bergiat terhadap HIV, adefovir dapat menjadi pilihan yang masuk akal untuk terapi pada orang yang belum membutuhkan ART walau tetap ada keprihatinan teoretis mengenai resistansi silang pada tenofovir (lihat di bawah). tipe virus yang mengandung mutasi gen polymerase terkait 3TC. Kemanjuran klinis ditunjukkan dalam dua subpenelitian bagian dari dua penelitian besar, berbagai negara, acak dan pendaftaran yang menilai TDF untuk mengobati HIV. Walau subpenelitian ini mempunyai jumlah sampel yang sangat kecil, mereka memberi dukungan prospektif, berdasarkan bukti yang berharga pada bukti retrospektif dan dalam tabung mengenai kemanjuran TDF yang sudah diterbitkan. Dua belas peserta, sepuluh yang memakai TDF dan dua plasebo memenuhi kriteria subpenelitian 907. Ada penurunan 4,9 log keseluruhan dalam DNA HBV setelah 24 minggu terapi pada pasien diobati dengan TDF. Lebih penting, penurunan pada DNA HBV adalah serupa, tanpa memperhatikan apakah virus sudah resistan terhadap 3TC atau masih tipe liar. Sebelas pasien memenuhi kriteria untuk penelitian 903; enam dibagi secara acak untuk menerima 3TC sendiri sebagai terapi aktif terhadap HBV sementara lima menerima 3TC + TDF. Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan pada DNA HBV setelah 48 minggu adalah lebih besar untuk pasien yang diobati dengan TDF + 3TC (4,7 log) dibandingkan pasien yang memakai 3TC sebagai satu-satunya unsur aktif terhadap HBV (3,0 log). Lebih penting lagi, hanya kelompok monoterapi 3TC menunjukkan bukti genotipe munculnya resistansi terhadp 3TC, yang terjadi pada empat dari lima peserta. Hal ini adalah kesan pertama bahwa terapi kombinasi dalam HBV dapat mencegah resistansi antiviral dalam cara yang serupa dengan HIV. Pada kedua subpenelitian tidak muncul resistansi genotipe terhadap TDF yang juga serupa dengan tingkat resistansi terhadap HBV yang sangat rendah dilihat dengan terapi adefovir.31 Penemuan yang menjanjikan ini ditindaklanjuti dengan penelitian prospektif secara acak berbagai pusat selama 48 minggu terhadap pasien koinfeksi HIV-HBV, yang membandingkan 3TC dengan TDF dan 3TC + TDF sebagai unsur ART untuk menilai kegiatan anti-HBV. Penelitian ini sedang berjalan. Tenofovir Entecavir Tenofovir disoproxil (TDF) juga analog nukleotida yang, seperti 3TC, mampu menghambat polymerase DNA HIV dan HBV. Obat ini juga menunjukkan kegiatan terhadap Entecavir adalah analog nukleosida yangberasal dari purin sudah menyelesaikan uji coba klinis fase III untuk pendaftaran terhadap infeksi HBV. Obat ini menunjukkan penurunan hampir 7 log dalam DNA HBV tanpa resistansi yang diamati Adefovir Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 23 3 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B selama 48 minggu pada pasien yang belum pernah diobati sebelumnya.32 Obat ini juga manjur terhadap HBV yang resistan terhadap 3TC, tetapi resistansi silang ditujukkan dalam tabung percobaan dengan HBV yang resistan terhadap 3TC.33,34 Penelitian pada orang koinfeksi HIVHBV akan segera dikeluarkan. Obat ini tidak bergiat terhadap HIV dan mungkin juga menjadi pilihan yang masuk akal untuk orang yang belum membutuhkan ART atau mereka yang mungkin bermasalah dengan pemulihan kekebalan, karena DNA HBV dapat dikurangi sebelum mulai ART penuh. Terapi kombinasi Peran 3TC, adefovir, tenofovir dan entecavir sebagai terapi kombinasi dengan atau tapa modulator kekebalan misalnya aIFN adalah menarik. Uji coba klinis terhadap kombinasi ini untuk menilai keamanan dan kemanjuran sedang dilakukan. Pemulihan kekebalan Pada orang koinfeksi HIV-HBV, pemulihan kekebalan setelah mulai ART dikaitkan dengan peningkatan akut pada tingkat ALT dalam serum yang disebut sebagai flare hati.35-37 Flare ini umumnya terjadi segera setelah mulai ART pada orang dengan viral load HBV yang tinggi sebelum diobati.35,38,39 Lagi pula, flare pemulihan telah dilaporkan terjadi walau dimasukkan unsur yang aktif terhadp HBV misalnya 3TC sebagai bagian dari rejimen ART awal akibat pemulihan kekebalan yang terjadi sebelum ada penurunan yang efektif pada DNA HBV.40 Peradangan hati terkait ART juga pernah dilaporkan dalam berbagai keadaan lain, termasuk reaktivasi infeksi HBV,35,41 perkembangan reistansi terhadap 3TC42 dan setelah berhenti penggunaan 3TC pada orang yang mengalami pemulihan kekebalan.43 Penting menilai status HBV sebelum mulai ART agar mengetahui orang berisiko flare hati. Orang dengan tingkat DNA HBV yang bermakna secara klinis (>104-105 copy/ml), terutama mereka dengan sirosis atau dengan jumlah CD4 nadir yang rendah, mungkin terutama berisiko dekompensasi hati dengan flare ini. Strategi yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk mengurangi risiko ini termasuk penggunaan terapi HBV dengan dua obat yang aktif, dengan tenofovir sebelum penambahan unsur ART ketiga setelah tingkat DNA HBV menurun menjadi tingkat yang tidak bermakna (mis. <105 copy/ml). Pendekatan lain yang mungkin akan segera tersedia adalah untuk memakai obat anti—HBV yang manjur yang tidak mempunyai kegiatan terhadap HIV pada awal sebelum mulai ART. Entacavir mempunyai potensi untuk ini, dan akan mengurangi kekhawatiran mengenai perkembangan resistansi oleh HIV sementara mengurangi tingkat DNA HBV. Setelah hal ini tercapai, ART penuh dengan obat aktif terhadap HBV dapat dimulai dengan aman. Penggunaan kortikosteroid dalam keadaan ini sangat kontroversial. Perhatian teoretis termasuk dampak obat tersebut yang diketahui meningkatkan replikasi HBV dan berpotensi Gambar 3.3 Algoritme penatalaksanaan Tidak ada indikasi untuk ART Mempertimbangkan: xInterferon1 x(PEG) x(Adefovir)2 x(Entecavir) 1 2 24 Tidak pada sirosis Child’s Pugh B Risiko teoretis resistansi silang Ada indikasi untuk ART xSirosis xCD4<200 xHBV >105 c/mL HBV resistan terhadap 3TC Konfirmasi dengan sequencing xTidak ada sirosis xCD4>200 Menambah TDF Entecavir sampai 5 DNA HBV <10 c/mL kemudian menambah ART termasuk TDF + 3TC atau FTC 3TC/FTC + TDF dalam ART Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis meningkatkan tekanan kekebalan yang sudah ada. Dari sisi lain, diketahui bahwa peradangan hati dimediasi oleh kekebalan dan ada laporan anekdot mengenai hasil yang baik dengan penggunaannya.44 Lagi pula, ada bukti baru dari penelitian retrospektif bahwa bila dipakai pada pasien dengan dekompensasi dalam sepuluh hari setelah mulai, mereka mengurangi angka mortalitas.45 Strategi untuk terapi Orang antiretroviral naif Pada orang yang belum pernah memakai ART, pemulihan kekebalan yang mengakibatkan peradangan hati setelah mulai ART dapat menyebabkan dekompensasi hati. Dekompensasi hati paling mungkin terjadi bila ada sirosis dan kerusakan lanjutan pada kekebalan. Entacavir menghasilkan penurunan yang sangat bermakna pada DNA HBV dengan pola reistansi yang sangat baik32 dan dapat dipakai untuk mengurangi DNA HBV sebelum ART penuh dimulai (lihat di bawah). Peran terapi kominasi anti-HBV pertama dengan 3TC dan tenofovir saat ini ditelitikan, walau kebanyakan pakar akan memakai kombinasi 3TC dan tenofovir untuk semua orang koinfeksi. Orang yang belum membutuhkan ART Orang yang tidak membutuhkan terapi HIV secara umum sebaiknya tidak menerima terapi untuk infeksi HBV yang juga memiliki kegiatan terhadap HIV; resistansi dini oleh HIV adalah mungkin, dengan mengakibatkan pembatasan pada pilihan terapeutik HIV. Dalam keadaan ini, terapi HBV sebaiknya terdiri dari interferon, adefovir atau entecavir. Orang dengan HBV yang resistan terhadap 3TC HBV yang resistan terhadap 3TC di antara orang koinfeksi HIV-HBV sering terjadi; HBV aktif sering tidak diketahui pada saat terapi HIV dimulai, dan 3TC adalah unsur yang umum dalam terapi HIV. Resistansi dicurigai pada seorang yang menerima terapi 3TC bila tingkat ALT tetap tinggi terkait dengan replikasi HBV tinggi. Resistansi harus dibedakan dari ketidakpatuhan dengan konformasi keberadaan mutasi klasik terkait dengan resistansi 3TC. Tes ini tersedia di laboratorium spesialis. Setelah mutasi klasik dikonformasi, pilihan terapeutik termasuk penambahan tenofovir, adefovir atau entecavir, semuanya terbukti mempunyai kegiatan terhadap HBV yang resistan terhadap HBV dalam rangkaian ini.29,46 Hepatotoksisistas antiretroviral Hepatotoksisistas berat terjadi pada sampai 10 persen20,34 orang yang mulai ART. Koinfeksi HBV adalah faktor risiko independen untuk perkembangan hepatotoksisitas terkait ART,47-48 dan angka pada orang dengan HIV dan koinfeksi HBV adalah kurang lebih tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang yang HBV-negatif. Walau semua unsur antiretroviral dikaitkan dengan fungsi hati yang abnormal, ritonavir takaran penuh dan nevirapine terutama dikaitkan dengan hepatotoksisistas berat46 dan oleh karena itu, obat ini sebaiknya dipakai dengan hati-hati pada orang koinfeksi HIV-HBV (lihat Bab 4). Kesimpulan Harapan hidup yang lebih baik untuk orang dengan HIV, bersamaan dengan hepatotoksisistas terkait ART dan perjalanan penyakit hati yang lebih cepat menyoroti kebutuhan akan menghadapi hasil hati pada orang koinfeksi HIVHBV. Tanggapan terapeutik pada monoterapi HBV, dengan interferon atau 3TC tetapi di bawah optimal. Unsur terapeutik baru diharapkan akan memberi kesempatan untuk mengembangkan strategi yang mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati. Ucapan terima kasih Associate Professor Stephen Locarnini, Dr Anne Mijch dan Dr Darren Russell memberi komentar yang berharga pada draf awal bab ini. Referensi 1. Lok AS, McMahon BJ. Chronic Hepatitis B: update of Recommendations Hepatology 2004 39(3):85761 2. Perrillo R. Acute flares in chronic hepatitis B: the natural and unnatural history of an immunologically mediated liver disease. Gastroenterology 2001;120:1009–22. 3. Chung R, Kinm A. HIV / Hepatitis B and C coinfection: pathogenic interactions, natural history and therapy. Antivir Chem Chemother 2001;12:73– 91. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 25 3 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dan virus hepatitis B 4. Colin J, Cazals-Hatem D, Loriot M, et al. Influence of human immunodeficiency virus infection on chronic hepatitis B in homosexual men. Hepatology 1999;29:1306–10. 19. Marcellin P, Boyer N, Colin J, et al. Recombinant Alpha Interferon for Chronic Hepatitis B in Anti-HIV Positive Patients Receiving Zidovudine. Gut 1993;Suppl:S106. 5. Horvath J, Raffanti S. Clinical aspects of the interactions between human immunodeficiency virus and the heterotropic viruses. Clin Infect Dis 1994;18:339–47. 6. Gatanaga H, Yasuoka A, Kikuchi Y, Tachikawa N, Oka S. Influence of prior HIV-1 infection on the development of chronic hepatitis B infection. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1997;19:237–9. 20. Chen D, Yim C, O’Rourke K, Krajden M, Wong D, J H. Long-term follow-up of a randomized trial of interferon therapy for chronic hepatitis B in a predominately homosexual male population. J Hepatol 1999;30:557–63. 7. Hyams K. Risks of chronicity following acute hepatitis B virus infection: a review. Clin Infect Dis 1995;20:992–1000. 8. Richards M, Lucas C, Gust I. Hepatitis in male homosexuals in Melbourne. Med J Aust 1983;2:474–5. 9. Bodsworth N, Cooper D, Donovan B. The influence of human immunodeficiency type 1 infection on the development of the hepatitis B carrier state. J Infect Dis 1991;163:1138–40. 10. Gilson R, Hawkins A, Beecham M, et al. Interactions between HIV and hepatitis B virus in homosexual men: effects on the natural history of infection. AIDS 1997;11:597–606. 11. Hadler S, Judson F, O’Malley P, Altman N, Penley K, Buchbinder S. Outcome of hepatitis B infection in homosexual men and its relationship to prior human immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1991;163:454–9. 12. Fang J, Wright T, Lau J. Fibrosing cholestatic hepatitis in a patient with human immunodeficiency virus and hepatitis B virus coinfection. Lancet 1993;342:1175. 13 Liang TJ, Jeffers LJ, Reddy KR, et.al. Viral pathogenesis of hepatocellular carcinoma in the United States. Hepatology 1993;18:1326–33. 14. Scharschmidt B, Held M, Hollander H, et al. Hepatitis B in patients with HIV infection: relationship to AIDS and patient survival. Ann Intern Med 1992;117:837–8. 15. Solomon R, Van Raden M, Kaslow R, et al. Association of hepatitis B surface antigen and core antibody with acquisition and manifestation of human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1). Am J Public Health 1990;80:1475–8. 21. Lau G, Piratvisuth T, Kang XL et.al. Peginterferon alfa-2a (40KD) (PEGASYS) monotherapy and in combination with lamivudine is more effective than lamivudine monotherapy in HBeAg –positive chronic hepatitis B: results from a large , multinational study. Abstract #20. 55th AASLD. October 29th –November 2nd 2004. Boston MA. 22. Coates J, Cammack N, Jenkinson H, et al. 2’,3’dideoxy-3’-thiacytidine is a potent, highly selective inhibitor of human immunodeficiency virus type 1 and type 2 replication in vitro. Antimicrob Agents Chemother 1992;36:733–9. 23. Doong S, Tsai C, Schinazi R, Liotta D, Cheng Y. Inhibition of the replication of hepatitis B virus in vitro by 2’,3’-dideoxy-3’-thiacytidine and related analogues. Proc Natl Acad Sci USA 1991;88:84959. 24. Leung N, Lai CL, Chang T, et al. Extended lamivudine treatment in patients with chronic hepatitis B enhances hepatitis B e antigen seroconversion rates: Results after 3 years of therapy. Hepatology 2001;33:1527–32. 25. Benhamou Y, Katlama C, Lunel F, et al. Effects of lamivudine on replication of hepatitis B virus in HIVinfected men. Ann Intern Med 1996;125:705– 12. 26. Dore G, Cooper D, Barrett C, Goh L, Thakrar, Atkins M. Dual efficacy of lamivudine treatment in human immunodeficiency virus/hepatitis B viruscoinfected persons in a randomized, controlled study (CAESAR). The CAESAR Coordinating Committee. J Infect Dis 1999;180:607–13. 27. Nagai K, Hosaka H, Kubo S, Nakamura N, Shinohara M, Nonaka S. Highly active antiretroviral therapy used to treat concurrent hepatitis and human immunodeficiency virus infections. J Gastroenterol 1999;34:275–81. 16. Di Biscegli A. Interferon therapy for chronic viral hepatitis. N Engl J Med 1994; 330:137-8. 28. Benhamou Y, Bochet M, Thibault V, et al. Longterm incidence of hepatitis B virus resistance to lamivudine in human immunodeficiency virusinfected patients. Hepatology 1999;30:1302–6. 17. McDonald J, Caruso L, Karayiannis P, Scully L, Harri J, Forster G. Diminished responsiveness of male homosexual chronic hepatitis B virus carriers with HTLV-III antibodies to recombinant alphainterferon. Hepatology 1987;7:719–723. 29. Benhamou Y, Bochet M, Thibault V, et al. Safety and efficacy of adefovir dipivoxil in patients coinfected with HIV-1 and lamivudine-resistant hepatitis B virus: an open label study. Lancet 2001;358:718–23. 18. Wong D, Cheung A, O’Rourke K, Naylor C, Detsky A, Heathcote J. Effect of alpha-interferon treatment in patients with hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis B. A meta-analysis. Ann Intern Med 1993;119:312–23. 26 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 30. Benhamou Y, Thibault V, Vig P, Valantin MA, Guyon P, Katlama C, Lu B, Currie G, Brosgart CL, Poynard T. Long term treatment with adefovir dipivoxil 10 mg (ADV) in patients with lamivudineresistant (LAM-R) HBV and HIV co-infection results in significant and sustained clinical improvement. Abstract #1329 XV Intl AIDS conference Bangkok July 11-16 2004 31 Dore GJ, Cooper DA, Pozniak AL, DeJesus E, Zhong L, Miller MD, Lu B, Cheng AK. Efficacy of tenofovir disoproxil fumarate in antiretroviral therapy -naïve and - experienced patients coinfected with HIV-1 and hepatitis B virus. Journal of Infectious Diseases: 189; 1185-1192. 32. Lai CL. Shouval D. Lok AS. Chang TT, et al. Cheinquer H.BEHoLD AI463027 Study Group. Entecavir versus lamivudine for patients with HBeAg-negative chronic hepatitis B. N Engl J Med. 354(10):1011-20, 2006, Chang TT. Gish RG. de Man R. Gadano A. BEHoLD AI463022 Study Group. A comparison of entecavir and lamivudine for HBeAg-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med. 354(10):1001-10, 2006) 33. Delaney W, Edwards R, Colledge D, et al. Crossresistance testing of antihepadnaviral compounds using novel hepatitis B virus baculoviruses encoding drug-resistant strains of hepatitis B virus. Antimicrob Agents Chemother 2001;45:1705–13 34. Ono S, Kato N, Shiratori Y, et al. The polymerase L528M mutation cooperates with nucleotide bindingsite mutations, increasing hepatitis B virus replication and drug resistance. J Clin Invest 2001;107:449–55. 35. Hoff J, Bani-Sadr F, Gassin M, Raffi P. Evaluation of chronic hepatitis B virus (HBV) infection in coinfected patients receiving lamivudine as a component of antihuman immunodeficiency virus regimens. Clin Infect Dis 2001;32:963–9. 36. Carr A, Cooper D. Restoration of immunity to chronic hepatitis B infection in HIV-infected patient on protease inhibitor. Lancet 1997;346:995–6. 37. Proia L, Ngui S, Kaur S, Kessler H, Trenholme G. Reactivation of hepatitis B in patients with human immunodeficiency virus infection treated with combination antiretroviral therapy. Am J Med 2000;108:249–51. 40. Drake A, Mijch A, Sasadeusz J. Immune Reconstitution Hepatitis in HIV and Hepatitis B Coinfection, Despite Lamivudine Therapy as Part of HAART. Clinical Infectious Diseases. 2004;39:129-13. 41. Manegold C, Hannoun C, Wywiol A, et al. Reactivation of hepatitis B virus replication accompanied by acute hepatitis in patients receiving highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2001;32:144–8. 42. Liaw Y, Chien R, Yeh C, Tsai S, Chu C. Acute exacerbation and hepatitis B virus clearance after emergence of YMDD motif mutation during lamivudine therapy. Hepatology 1999;30:567–72. 43. Bessesen M, Ives D, Condreay L, Lawrence S, Shermen R. Chronic active hepatitis B exacerbations in human immunodeficiency virusinfected patients following development of resistance to or withdrawal of lamivudine. Clin Infect Dis 1999;28:1032–5. 44. Masuhara M, Yagawa T, Aoyagi M et.al. HBVrelated fulminant hepatic failure: successful intensive medical therapy in a candidate for liver transplantation. J Gastroenterol. 2000; 36: 350-53. 45. Keiichi F, Osamu Y, Kojima H, et al. Importance of adequate immunosuppressive therapy for the recovery of patients with ‘life-threatening” severe exacerbation of chronic hepatitis B. World J Gastroenterol. 2005; 11 (8) : 1109-1114) 46. Sulkowski M, Thomas D, Mehta S, Chaisson R, Moore R. Hepatotoxicity associated with nevirapine or efavirenz-containing antiretroviral therapy: role of hepatitis C and B infections. Hepatology 2002;35:182–9. 47. Savès M, Vandentorren S, Daucourt V, et al. Severe hepatic cytolysis: incidence and risk factors in patients treated by antiretroviral combinations. Aquitaine Cohort, France, 1996-1998. AIDS 1999;13:F115–F121. 48. van Bommel F, Wunsche T, Schurmann D, Berg T. Tenofovir treatment in patients with lamivudineresistant hepatitis B mutants strongly affects viral replication. Hepatology. 2002;36:507– 8. 38. Savès M, Raffi F, Clevenbergh P, et al. Hepatitis B or hepatitis C virus infection is a risk factor for severe hepatocytolysis after initiation of a protease inhibitorcontaining antiretroviral regimen in human immunodeficiency virus-infected patients. Antimicrob Agents Chemother 2000;44:3451–5. 39. Sulkowski M, Thomas D, Chaisson R, Moor R. Hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy in adults infected with human immunodeficiency virus and the role of hepatitis C or B virus infection. J Am Med Assoc 2000;283:74– 80. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 27 4 Hepatotoksisitas terkait terapi antiretroviral: prediktor dan tatalaksana klinis Gregory Dore Head of Viral Hepatitis Program, National Centre in HIV Epidemiology and Clinical Research, The University of New South Wales, Darlinghurst NSW Pokok Kunci Ɣ Hepatotoksisitas dialami oleh 5-10 persen orang terinfeksi HIV pada 12 bulan pertama setelah mulai terapi antiretroviral (ART), dengan risiko terus-menerus pada tahun berikut. Ɣ Faktor risiko terbesar untuk hepatotoksisitas berat adalah hepatitis virus, tingkat ALT/AST yang tinggi pada awal, dan rejimen ART yang mengandung nevirapine atau ritonavir dosis tinggi. Ɣ Kebanyakan kasus hepatotoksisitas berat tidak berhubungan dengan perkembangan gejala hepatitis akut atau hasil buruk terkait penyakit hati yang lain, dan pulih dalam beberapa bulan. Ɣ ART sebaiknya dihentikan bila terjadi peningkatan grade 4 pada ALT/AST, hiperlaktatemia, gejala hepatitis akut, atau ciriciri hipersensitivitas obat. Pengantar Pencegahan dan penatalaksanaan terapi antiretroviral (ART) telah muncul sebagai masalah besar untuk pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.1,2 Hepatotoksisitas sudah digambarkan secara jelas sebagai unsur dari rangkaian luas toksisitas terkait ART.3-15 Peningkatan pada enzim hati dalam serum sudah digambarkan berhubungan dengan semua golongan utama ART,3-15 dengan beberapa mekanisme yang mendasarinya dikesankan: • toksisitas mitokondria berhubungan dengan beberapa analog nukleosida (NRTI); • reaksi hipersensitivitas berhubungan dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI); • sindrom pemulihan kekebalan berhubungan dengan hepatitis virus kronis yang mendasari. Bab ini akan menyampaikan peninjauan luas mengenai hepatotoksisitas terkait ART, termasuk kejadian dan prediktor, dan mengusulkan algoritme untuk penatalaksanaan klinisnya. 28 Definisi hepatotoksisitas berat Penelitian yang menyelidiki angka hepatotoksisitas memakai berbagai definisi kasus. Namun kebanyakan penelitian mendefinisikan peningkatan pada ALT dan AST sesuai dengan kriteria AIDS Clinical Trials Group.16 Kriteria AIDS Clinical Trials Group16 Grade 1: 1,25-2,5 kali batas atas nilai normal (x BANN); Grade 2: 2,6-5,0 x BANN;. Grade 3: 5,1-10 x BANN; Grade 4: > 10 x BANN. Hepatotoksisitas berat atau peningkatan pada enzim hati (liver enzyme elevation/LEE) telah didefinisikan sebagai peningkatan pada ALT dan AST menjadi Grade 3 dan Grade 4, atau, kadang kala hanya peningkatan menjadi Grade 4. Tambahan, beberapa penelitian memasukkan persyaratan untuk peningkatan mutlak pada ALT dan AST lebih dari 100 U/L dari awal untuk menghindari bias seleksi yang lebih memperhatikan orang dengan ALT dan AST tinggi pada awal. Kejadian dan prediktor hepatotoksisitas berat Banyak penelitian telah menyelidiki masalah hepatotoksisitas terkait ART (Table 4.1),4-15 terutama sejak ART mulai dipakai dengan kombinasi dua NRTI dan satu NNRTI atau satu atau lebih protease inhibitor (PI). Kebanyakan penelitian ini adalah penelitian kelompok retrospektif atau prospektif berdasarkan klinik, dengan kejadian hepatotoksisitas umumnya dinilai setelah permulaan rejimen ART baru. Perbedaan dalam populasi penelitian, definisi hepatotoksisitas, dan angka pemantauan klinis menghambat perbandingan antara penelitian; namun, pola luas hepatotoksisitas sudah muncul. Beberapa penemuan utama berhubungan dengan hepatotoksisitas termasuk: Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis • risiko kumulatif yang luas (1-30%), dengan kejadian rata-rata 5-10/100 pasien tahun (pt) selama 12 bulan pertama terapi; • koinfeksi dengan HBV atau HCV sebagai faktor risiko terkuat, dengan 3-5 kali peningkatan pada risiko di beberapa penelitian; • risiko lebih tinggi berhubungan dengan tingkat ALT dan AST yang tinggi pada awal; • risiko lebih tinggi berhubungan dengan rejimen kombinasi tiga atau lebih obat dibandingkan dengan rejimen dua NRTI; Tabel 4.1 • nevirapine dan ritonavir sebagai unsur ART yang paling sering dilibatkan; • risiko lebih tinggi pada 12 minggu awal terapi, terutama berhubungan dengan nevirapine; • risiko rendah terhadap hepatitis simptomatis, dan risiko sangat rendah terhadap hepatitis fulminan; • pemulihan hepatotoksisitas, umumnya dalam tiga bulan, dan sering walaupun ART diteruskan. Kejadian dan prediktor hepatotoksisitas berat setelah permulaan ART Penelitian Definisi hepatotoksisitas Peserta Rejimen antiretroviral Pemantauan Kejadian Waktu rata-rata hingga rata-rata hepatotoksisitas hepatotoksisitas (minggu) (minggu) Mulai ART 56 7,3/100 pt (5,5% pada 23 mengandung PI 6 bulan, 8,0% pada 12 bulan, 13,2% pada 24 bulan) Rejimen dua 52 5,7/100 pt (3,0% pada 36 NRTI 6 bulan, 4,8% pada 12 bulan, 12,7% pada 24 bulan) Mulai ART 65 18% 25 Peramal hepatotoksisitas Savès et al 1999 (Perancis) Grade 3 atau 4 ALT 748 Savès et al 1999 (Perancis) Grade 3 atau 4 ALT 1.249 RCT RTV/SQV +/- d4T NA 9% 12 Mulai rejimen ARV baru 24 (NA) 26 (PI) 10,4% (37/100 pt) 17 Mulai ART NA NA Mulai rejimen kombinasi ARV mengandung NVP Mulai ART 38 8% (berdasarkan estimasi K-M pada 24 bulan) 12,5% atau 13,1/100 pt HBV, ALT awal, rejimen mengandung d4T Rejimen mengandung RTV, CD4 naik > 50/mm3 HCV, HBV/HCV, ALT tinggi pada awal HCV, ALT awal, lama ARV sebelumnya 35 9% NA 1.325 ART mengandung PI NA NA 272 Mulai rejimen mengandung NNRTI 54 2,8% setelah 12 bulan, 3,7% setelah 24 bulan 1,1% 560 Mulai ART 156 8% NA Mulai ART mengandung PI Mulai ART mengandung NNRTI 56 Brinker et al 2000 (Belanda) Gisolf et al 2000 (Belanda) Sulkowski et al 2000 (USA) Grade 3 atau 4 ALT 394 atau AST + peningkatan 100 U/L Grade 3 atau 4 + 208 peningkatan 100 U/L Grade 3 atau 4 ALT 298 atau AST (87 NA, 211 PI) Monfataute et ALT > 200 U/L 1.255 2001 (Itali) Martinez et al ALT atau AST > 2001 peningkatan 3 x dari (Spanyol) awal 610 Nunez et al 2001 (Spanyol) Aceti et al 2002 (Itali) 222 Grade 3 atau 4 ALT atau AST atau 3.5 x awal (bila abnormal) Grade 3 atau 4 ALT Palmon et al 2002 (AS) Grade 3 atau 4 ALT atau AST & >5 x awal ALT/ AST bila tinggi Wit et al 2002 Grade 4 ALT atau (Belanda) AST + peningkatan 200 U/L Cooper et al Grade 3 atau 4 x 2002 (Kanada) Sulkowski et Grade 3 atau 4 x al 2002 (AS) ALT atau AST 66 HIV/HCV 568 (256 NVP, 312 EFV) 26% (PI tunggal) 19% (PI ganda) 45 (NVP) 15,6/100 pt (NVP) 37 (EFV) 8,0/100 pt (EFV) NA 14 HBV, HCV, ALT awal HBV, HCV HBV, HCV, ALT tinggi pada awal HCV, penggunaan alkohol tinggi, lebih tua HBV, HCV, rejimen mengandung RTV (6 bulan pertama) Nil NA HBV, HCV, ALT tinggi pada awal, belum pakai ARV, baru mulai NPV atau RTV, perempuan, berhenti 3TC (HBV) Nil 20 (NVP) 14 (EFV) HBV, HCV, PI bersama Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 29 4 Hepatotoksisitas terkait terapi antiretroviral: prediktor dan tatalaksana klinis Koinfeksi dengan virus hepatitis B atau virus hepatitis C Koinfeksi dengan HBV atau HCV berhubungan secara jelas dengan hepatotoksisitas.4-6,8-11,13,15 Sindrom pemulihan kekebalan pernah dikesankan sebagai mekanisme yang mendasari peningkatan pada risiko ini.22 Pernah diamati hubungan antara perubahan pada jumlah CD4 setelah pemulaan ART dan risiko hepatotoksisitas berat dalam beberapa penelitian,7 sebuah penemuan yang mendukung pemulihan kekebalan sebagai mekanisme penyebab. Alasan tambahan untuk risiko lebih tinggi berhubungan dengan koinfeksi hepatitis adalah karena peradangan hati sebelumnya yang dapat meningkatkan risiko toksisitas langsung dari unsur ART. Berhubungan dengan koinfeksi HBV, penghentian penggunaan 3TC pernah dikaitkan dengan hepatotoksisitas,13 dengan kambuhnya viremia HBV dan peradangan hati (hepatic flare) yang terkait sebagai mekanisme yang mungkin. Peristiwa seperti ini juga dapat terkait dengan dekompensasi hati pada orang dengan penyakit hati yang lebih lanjut. NNRTI Hepatotoksisitas sudah digambarkan dengan baik pada orang dengan HIV yang memakai rejimen yang mengandung NNRTI, terutama nevirapine.9,13,15 Meskipun kejadian hepatotoksisitas terkait nevirapine yang relatif tinggi pada beberapa penelitian, hepatitis simptomatis dan hasil klinis lain yang buruk jarang terjadi. Lagi pula, risiko hepatotoksisitas terkait nevirapine adalah rendah pada penelitian lain.10,12 Perbedaan dalam prevalensi faktor risiko lain, terutama koinfeksi HBV atau HCV, mungkin bertanggung jawab untuk penemuan yang berbeda-beda dari penelitian ini. Walaupun hepatotoksisitas terkait nevirapine tampaknya lebih umum pada 12 minggu pertama terapi, ciriciri lain hipersensitivitas obat, misalnya ruam, biasanya tidak terjadi, yang memberi kesan bahwa ada keterlibatan mekanisme patogenik lain. Meskipun risiko hepatitis fulminan terkait nevirapine adalah sangat rendah, ada kasus yang terdokumentasi berhubungan dengan rejimen profilaksis pascapajanan (PPP).17 Kasus hepatitis kolestatik – dengan gambaran bercampur transaminitis dan kolestasis hepatitis – pernah ditemukan terkait dengan nevirapine,18 dan tampaknya berhubungan dengan kolestatis yang langsung diakibatkan oleh obat. Peningkatan asimptomatis pada gamma glutamyl transferase 30 (GGT) relatif umum pada orang yang memakai rejimen ART yang mengandung nevirapine.19,20 Oleh karena itu, patogenesis hepatotoksisitas terkait NNRTI hampir pasti disebabkan oleh berbagai faktor, dengan toksisitas yang diakibatkan langsung oleh obat, pemulihan kekebalan dan keburukan hepatitis kronis yang mendasar semua adalah faktor yang mungkin menyumbang. Protease inhibitor Terapi PI, terutama dengan ritonavir, dihubungkan dengan hepatotoksisitas berat pada beberapa penelitian.7,11,13,15,21 Seperti dengan hepatotoksisitas terkait NNRTI, infeksi HCV kronis yang mendasar tampaknya meningkatkan risiko, sementara pemulihan kekebalan juga dikesankan sebagai mekanisme patogenik.22 Ritonavir adalah penghalang manjur terhadap sistem sitokrom P450, jadi kepekatan obat lain yang lebih tinggi mungkin menjadi faktor penyumbang pada hepatotoksisitas. Hubungan antara ritonavir dan hepatotoksisitas secara umum digambarkan dalam penelitian terapi dosis tinggi. Penggunaan baru ini dengan dosis ritonavir yang rendah atau boosting (pendorong) (100-200mg per hari) dengan PI kedua tampaknya tidak terkait dengan kejadian hepatotoksisitas yang tinggi.23,24 Dibandingkan dengan ritonavir, peningkatan pada ALT/AST tampaknya tidak umum terkait dengan indinavir. Sebaliknya, kasus hiperbilirubinemia tersendiri lebih umum terkait dengan terapi indinavir.11 Analog nukleosida (NRTI) Risiko hepatotoksisitas berat tampaknya relatif rendah berhubungan dengan NRTI. Kejadian hepatotoksisitas terkait dengan terapi kombinasi dua NRTI adalah lebih rendah dibandingkan dengan terapi kombinasi dua NRTI dan NNRTI20 dan rejimen ART yang mengandung NNRTI atau PI.4,7 Meskipun mengandung risiko hepatotoksisitas berat relatif rendah, NRTI memang dihubungkan dengan hasil buruk pada hati. Hasil buruk ini, termasuk kasus kegagalan hati, berhubungan dengan perkembangan steatohepatitis dan hiperlaktatemia, dan umumnya dianggap berasal dari toksisitas mitokondria.25-28 NRTI yang paling umum dikaitkan dengan steatohepatitis dan hiperlaktatemia adalah analog timidin, yaitu d4T dan ddI, walaupun kasus pernah dikaitkan dengan AZT. Gejala seperti kelesuan yang meningkat, Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis sakit perut, dan mual dan muntah dengan akibat yang tidak jelas, dapat menunjukkan tingkat laktat yang meningkat dalam darah. Hiperventilasi dan disfungsi saraf-otot biasanya menjadi tanda lanjut terkait dengan asidosis laktik. Toksisitas mitokondria tampaknya mekanisme mendasar baik steatohepatitis dan hiperlaktatemia simptomatik, namun gejala ini tidak selalu terjadi bersamaan. Tes fungsi hati dapat normal, bahkan pada kasus asidosis laktik terkait NRTI, dan tingkat laktat dapat normal walaupun adanya steatohepatitis berat.25-28 Risiko terus-menerus hepatotoksisitas berat setelah beberapa bulan pertama penggunaan ART, dan fase laten sebelum penampilan klinis kejadian buruk terkait toksisitas mitokondria, berarti pemantauan jangka lebih lama dibutuhkan untuk menilai secara penuh risiko hasil buruk pada hati terkait ART yang mengandung NRTI. Adalah mungkin bahwa hiperlaktatemia kronis tingkat rendah dapat berhubungan dengan kerusakan progresif pada hati, bahkan setelah penghentian ART.25 Penelitian lebih lanjut yang mencakup biopsi hati dan penilaian DNA mitokondria kuantitatif juga dibutuhkan agar lebih tepat menyelidiki patogenesis yang mendasari toksisitas jenis ini. • Hepatitis virus akut – hepatitis A, IgM/IgG, HBcAbIgM/sAg, HCV Ab/HCV RNA (bila serologi tidak diketahui atau negatif sebelumnya); • Penyebab virus lain – CMV IgM/IgG, EBV IgM/IgG, IgM/IgG toksoplasmosis, serologi sifilis; • Hepatitis autoimun – antibodi antinuklear, antibodi otot anti-smooth, antibodi antimitokondria, antibodi mikrosomal antihati ginjal; • Hepatitis alkohol – riwayat baru penggunaan alkohol yang berat; • Penggunaan narkoba – baik suntikan maupun nonsuntikan; • Toksisitas obat lain – terutama unsur antimikobakteri dan antikolesterol. Hepatitis virus dan penggunaan alkohol dan narkoba juga faktor yang dapat menyumbang pada peningkatan pada risiko hepatotoksisitas terkait ART. Penatalaksanaan dan pemantauan awal Gambar ini menguraikan algoritme untuk penatalaksanaan hepatotoksisitas berat. Umumnya, ART dapat dilanjutkan bila peningkatan ALT dan AST di bawah Grade 4 (> 10 x BANN) dan tidak ada gejala hepatitis akut. Penatalaksanaan hepatotoksisitas terkait ART Beberapa cirinya hepatotoksisitas terkait ART sebaiknya dipertimbangkan saat mengambil keputusan penatalaksanaan klinis. Pertama, hepatotoksisitas berat umumnya tidak simptomatis atau berhubungan dengan hasil buruk pada hati. Kedua, ALT/AST hampir selalu kembali pada tingkat normal atau awal, bahkan bila terapi dilanjutkan. Ketiga, kebanyakan unsur ART pernah dihubungkan dengan hepatotoksisitas berat. Keempat, ART biasanya dapat dihentikan sementara untuk sedikitnya beberapa bulan tanpa ada hasil buruk terkait dengan kelanjutan penyakit HIV. Penyampingan penyebab hepatitis akut atau kronis lain Walaupun kebanyakan kasus kejadian baru peningkatan tinggi pada ALT/AST pada orang yang memakai ART berhubungan dengan satu atau lebih unsur terapeutik ARV, penyebab hepatitis akut dan kronis yang lain harus dikesampingkan. Kondisi berikut sebaiknya dipertimbangkan, dengan penyelidikan sesuai: Gambar 4.1 Tatalaksana klinis hepatotoksisitas berat ALT/AST 5xBANN Ɣ Keluarkan penyebab hepatitis akut yang lain - HAV, HBV, HCV - Alkohol - Obat lain ALT/AST 10xBANN atau gejala atau hepatitis akut Berhenti ART Hepatotoksisitas berat Ɣ Selidiki tanda hipersensitivitas Ɣ Ukur tingkat laktat dalam darah ALT/AST 5-10xBANN + tidak bergejala ALT/AST >10xBANN atau gejala Mulai ART kembali saat ALT/AST <2-3xBANN Pantau ALT/AST setiap 3-4 minggu; Teruskan ART Rujuk untuk penyelidikan lanjut & mungkin biopsi hati bila: - ALT/AST tidak pulih dalam 3-6 bulan - hepatitis kronis (HBV, HCV) mendasar Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 31 4 Hepatotoksisitas terkait terapi antiretroviral: prediktor dan tatalaksana klinis Pemantauan tes fungsi hati sebaiknya dilakukan setiap 3-4 minggu hingga tingkat kembali menjelang normal atau awal. Indikasi untuk penghentian ART termasuk: • hepatitis simptomatis – anoreksia, mual, kelelahan, diare, sakit perut, kelesuan yang meningkat, ikterus; • hepatomegali lembut; • peningkatan pada ALT dan AST lebih dari 10 x BANN; • tanda hipersensitivitas obat – ruam, hipereosinofilia; • hiperlaktatemia – tingkat laktat di atas 3 mmol/L. Pada orang yang harus berhenti memakai ART, jangka waktu penghentian sementara terapi dapat sebagian dituntun oleh tingkat fungsi kekebalan, tetapi harus sedikitnya hingga tingkat ALT/AST menurun menjadi di bawah 2-3 x BANN dan gejala mereda. Penyelidikan lanjut pada peningkatan enzim hati Pada orang dengan peningkatan ALT dan AST di bawah 10 x BANN, tidak mempunyai ciri-ciri hiperlaktatemia atau hipersensitivitas obat, dan tidak ada gejala atau tanda hepatitis akut, ART dapat diteruskan dengan pemantauan tes fungsi hati setiap 3-4 minggu. Peningkatan lanjut pada ALT and AST (di atas 10 x BANN) dan perkembangan gejala akan memerlukan penghentian ART. Rujukan pada spesialis untuk penyelidikan lanjut dan mungkin biopsi hati diusulkan bila tidak ada pemulihan ALT dan AST (menjadi di bawah 2-3 x BANN) atau ada hepatitis virus kronis (HBV atau HCV) mendasar. Penyelidikan terhadap penyebab penyakit hati kronis yang lain dan ultrasound hati dapat dilakukan sebelum dirujuk. • ciri-ciri lain terkait – misalnya, bila hiperlaktatemia terjadi, d4T dan ddI tidak boleh dipakai lagi; • pilihan ART yang tinggal – mungkin harus mencoba memakai kembali bila pilihan terbatas. Mulai ART kembali, terutama bila memakai kembali unsur dari rejimen sebelumnya, harus dipantau dengan tes fungsi hati setiap 3-4 minggu sedikitnya untuk beberapa bulan pertama. Kesimpulan Walaupun hepatotoksisitas berat di antara orang yang memakai ART biasanya tidak berhubungan dengan hasil buruk pada hati, dibutuhkan pemantuan dan penyelidikan secara hati-hati terhadap berbagai faktor yang dapat menyumbang. Hubungan antara peningkatan pada ALT dan AST dan peningkatan pada mortalitas jangka menengah dalam penelitian baru29 adalah alasan lanjutan untuk memantau dan menyelidiki secara sesuai komorbiditas penyakit hati yang berpotensi pada orang terinfeksi HIV. Ucapan terima kasih Profesor Geoffrey Farrell dan Profesor Martyn French memberikan komentar yang berharga pada draft awal bab ini. Referensi 1. Powderly WG, Carr A. AIDS 2001. Clinical treatment. Overview. AIDS 2001;15(Suppl 5):S159–S160. 2. Carr A, Workman C, Smith DE, et al. Mitochondrial Toxicity (MITOX) Study Group. Abacavir substitution for nucleoside analogs in patients with HIV lipoatrophy: a randomized trial. J Am Med Assoc 2002;288:207–15. 3. Rodriguez-Rosado R, Garcia-Samaniego J, Soriano V. Hepatotoxicity after introduction of highly active antiretroviral therapy. AIDS 1998;12:1256. 4. Savès M, Vandentorren S, Daucourt V, et al. Severe hepatic cytolysis: incidence and risk factors in patients treated by antiretroviral combinations. Aquitaine Cohort, France, 1996-1998. AIDS 1999; 13:F115–F121. 5. den Brinker M, Wit WNM, Wertheim-van Dillen PME, et al. Hepatitis B and C virus co-infection and the risk for hepatotoxicity of highly active antiretroviral therapy in HIV-1 infection. AIDS 2000;14:2895–2902. Pilihan rejimen ART Bila hepatotoksisitas berat mendesak penghentian ART, pilihan rejimen untuk memulai lagi akan tergantung pada beberapa faktor: • penilaian kemungkinan ada hubungan dengan unsur ART tertentu – kemungkinan risiko meningkat dengan nevirapine atau ritonavir dosis tinggi; • keberadaan ciri-ciri hipersensitivitas obat – abacavir tidak boleh dimulai lagi setelah hipersensitivitas, dan unsur lain mungkin terkait dengan ruam kulit yang berat juga tidak boleh dipakai lagi; 32 Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 6. Gisolf EH, Dreezen C, Danner SA, Weel JLF, Weverling GJ, for the Prometheus Study Group. Risk factors for hepatotoxicity in HIV-1-infected patients receiving ritonavir and saquinavir with or without stavudine. CID 2000;31:1234–9. 7. Sulkowski MS, Thomas DL, Chaisson RE, Moore RD. Hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy in adults infected with human immunodeficiency virus and the role of hepatitis C or B virus infection. J Am Med Assoc 2000, 283:74–80. 8. 9. 19. Carr A, Vella S, de Jong MD, et al. A controlled trial of nevirapine plus zidovudine versus zidovudine alone in p24 antigenaemic HIV-infected patients. AIDS 1996; 10:635–41. 20. Montaner JSG, Reiss P, Vella S, et al. A randomized, double-blind trial comparing combinations of nevirapine, didanosine, and zidovudine for HIV infected patients – The INCAS Trial. J Am Med Assoc 1998; 279:930–7. 21. Arribas JR, Ibanez C, Ruiz-Antoran B, et al. Acute hepatitis in HIV-infected patients during ritonavir treatment. AIDS 1998;12:1722–4. Monforte Ade A, Bugarini R, Pezzotti P, et al. The ICONA (Italian Cohort of Naive for Antiretrovirals) Study Group. Low frequency of severe hepatotoxicity and association with HCV coinfection in HIV-positive patients treated with HAART. J AIDS 2001;28:114–23. 22. John M, Flexman J, French MA. Hepatitis C virusassociated hepatitis following treatment of HIV-infected patients with HIV protease inhibitors: an immune restoration disease? AIDS 1998;12:2289–93. Martinez E, Blanco JL, Arnaiz JA, et al. Hepatotoxicity in HIV-1-infected patients receiving nevirapine-containing antiretroviral therapy. AIDS 2001; 15:1261–8. 23. Murphy RL, Brun S, Hicks C, et al. ABT-378/ ritonavir plus stavudine and lamivudine for the treatment of antiretroviral-naïve adults with HIV-1 infection: 48 week results. AIDS 2001;15:1–9. 10. Nunez M, Lana R, Mendoza JL, Martin-Carbonero L, Soriano V. Risk factors for severe hepatic injury after introduction of highly active antiretroviral therapy. J AIDS 2001;27:426–31. 11. Aceti A, Pasquazzi C, Zechini B, De Bac C. The LIVERHAART Group. Hepatotoxicity development during antiretroviral therapy containing protease inhibitors in patients with HIV: the role of hepatitis B and C virus infection. J AIDS 2002;29:41–8. 12. Palmon R, Koo BC, Shoultz DA, Dieterich DT. Lack of hepatotoxicity associated with nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors. J AIDS 2002;29:340–5. 24. Vora S, Michon C, Junet C, et al. Switch from indinavir to ritonavir-indinavir regimen in patients treated with highly active antiretroviral therapy coinfected with hepatitis C is not associated with alteration of liver function tests. AIDS 2000;14:2795–7. 25. Carr A, Morey A, Mallon P, Williams D, Thorburn C. Fatal portal hypertension, liver failure, and mitochondrial dysfunction after HIV-1 nucleoside analogue-induced hepatitis and lactic acidaemia. Lancet 2001;357:1412–4. 13. Wit FW, Weverling GJ, Weel J, Jurriaans S, Lange JM. Incidence of and risk factors for severe hepatotoxicity associated with antiretroviral combination therapy. J Infect Dis 2002;186:23–31. 26. Lonergan JT, Behling C, Pfander H, Hassanein TI, Mathews WC. Hyperlactataemia and hepatic abnormalities in 10 human immunodeficiency virus-infected patients receiving nucleoside analogue combination regimens. CID 2000;31:162–6. 14. Cooper CL, Parbhakar MA, Angel JB. Hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy containing dual versus single protease inhibitors in individuals coinfected with hepatitis C virus and human immunodeficiency virus. CID 2002;34:1259–63. 27 Coghlan ME, Sommadossi J-P, Jhala NC, Many WJ, Saag MS, Johnson VA. Symptomatic lactic acidosis in hospitalized antiretroviral therapytreated patients with human immunodeficiency virus infection: a report of 12 cases. CID 2001;33:1914–21. 15. Sulkowski MS, Thomas DL, Mehta SH, Chaisson RE, Moore RD. Hepatotoxicity associated with nevirapine or efavirenz-containing antiretroviral therapy: role of hepatitis C and B infections. Hepatology 2002; 35:182–9. 28. Boubaker K, Flepp M, Sudre P, et al. Hyperlactataemia and antiretroviral therapy: The Swiss HIV Cohort Study. CID 2001;33:1931–7. 16. AIDS Clinical Trials Group criteria, division of AIDS. Table for grading severity of adult adverse experiences, August 1992. 17. Anonymous. From the Centers for Disease Control and Prevention. Serious adverse events attributed to nevirapine regimens for postexposure prophylaxis after HIV exposures—worldwide, 19972000. J Am Med Assoc 2001;285:402–3. 29. Lewden C, Raffi F, Cuzin L, et al. Factors associated with mortality in human immunodeficiency virus type 1-infected adults initiating protease inhibitor-containing therapy: role of education level and of early transaminase level elevation (APROCO-ANRS EP11 Study). J Infect Dis 2002;186:710–4. 18. Clarke S, Harrington P, Condon C, Kelleher D, Smith OP, Mulcahy F. Late onset hepatitis and prolonged deterioration in hepatic function associated with nevirapine therapy. Int J STD AIDS 2000;11:336–7. Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 33 Daftar istilah Alanine aminotransferase sebuah protein yang biasanya menunjukkan kerusakan hati bila ditemukan dalam darah dengan tingkat (ALT) tinggi. Juga dikenal sebagai SGPT Antibodi core HBV antibodi ditujukan melawan antigen core virus hepatitis B Antigen ‘e’ HBV sebuah protein terkait dengan replikasi virus hepatitis B secara cepat Antigen permukaan HBV (surface antigen) permulaan luar virust hepatitis B virus yang memicu tanggapan kekebalan ART terapi antiretroviral, dengan kombinasi tiga obat manjur atau lebih Asidosis laktik tingkat asam laktik yang sangat tinggi dalam darah Biopsi hati pengambilan sedikit jaringan hati utnuk diperiksa di bawah mikroskop Dekompensasi hati ketidakmampuan hati yang rusak untuk memenuhi fungsi minimum, dilihat sebagai mudah luka memar/perdarahan, penyimpanan cairan di perut (asites) dan karsinoma hepatoselular Diskordan pasangan dengan satu terinfeksi, satu tidak Fenotipe Organisme sendiri berbeda dengan kandungan genetik, yaitu genotipe Fibrosing cholestatic hepatitis (FCH) peradangan dan kerusakan pada hati yang mempengaruhi aliran empedu Fibrosis dibentuk jaringan rusak mengganti jaringan normal yang hilang akibat luka atau infeksi Genotipe bentuk genetik virus yang spesifik Hepatitis peradangan hati Hepatitis fulminant bentuk hepatitis yang berat dan cepat berkembang diikuti kematian sel hati dan kegagalan hati Hepatitis kolestatik Ikterus dengan statis empedu di saluran empedu dalam hati yang beradang; sering diakibatkan toksisitas obat Hepatitis virus kronis penyakit hati disebabkan oleh infeksi virus (mis. hepatitis B atau C) yang berlanjut lebih dari enam bulan Hepatomegali pembesaran hati Hepatotoksik mampu merusakkan atau menghancurkan sel hati Hiperbilirubinemia tingkat bilirubin yang tinggi dalam darah Hiperpeka tanggapan kekebalan yang berlebihan terhadap unsur asing Hyperlactataemia tingkat asam laktik yang tinggi dalam darah Interferon Pegilasi macam interferon yang mempunyai masa paro yang panjang dalam tubuh sehingga dapat disuntik hanya sekali seminggu Interferon-alfa modulatori kekebalan dipakai dalam terapi hepatitis virus kronis serta kanker tertentu Karsinoma hepatoselular tumor hati yang malignan primer paling umum terjadi. Sering disebut HCC 34 Leukopenia kekurangan sel darah putih dalam darah Nadir jumlah CD4 tingkat fungsi kekebalan yang paling rendah, umumnya sebelum mulai ART Parenteral dimasukkan secara subkutan, intravena atau cara lain tidak melalui saluran pencernaan Patogenesis virus cara virus menyebabkan penyakit Pemulihan kekebalan perbaikan dalam fungsi sistem kekebalan tubuh yang rusak Peradangan-nekro peradangan yang mengakibatkan kematian sel Polymerase chain reaction (PCR) teknik laboratorium yang meningkatkan bahan genetik virus samapi tingkat terdeteksi, agar dapat ditentukan apakah ada virus atau tidak Program pengurangan dampak buruk programs yang ditujukan untuk mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba pada pengguna dan masyarakat. Sering disebut harm reduction Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Protease inhibitor (PI) obat antiviral yang menghambat enzim protease dalam virus, dengan demikian menghambat replikasi virus Reinfeksi infeksi HCV ulang, umumnya pada orang dengan infeksi HCV yang tidak menjadi kronis Riwayat alami ilmu perkembangan alami dan hasil penyakit lambat laun Serokonversi perubahan dari natibodi negatif menjadi positif setelah pajanan Sindrom pemulihan kekebalan manifestasi infeksi oportunistik yang aneh setelah mulai ART, diakibatkan tanggapan berlebihan oleh sistem kekebalan tubuh yang mulai pulih Sirosis kerusakan yang luas pada hati, dengan distorsi arsitektur Steatohepatitis penyusupan lemak pada hat, terkait dengan peradangan Terapi kombinasi dua atau lebih obat dipakai bersamaan untuk mencapai dampak maksimal terhadap infeksi Tes genotipe HCV tes untuk menentukan genotipe virus hepatitis C (saat ini ada enam genotipe utama dan banyak sub-tipe) Toksisitas mitokondria keracunan pada sel yang merusakkan mekanisme pembuatan tenaga oleh sel Viremia terdapatnya virus di dalam aliran darah Acronim Ab antibodi HBeAg antigen e hepatitis B Ag antigen HBsAb antibodi permukaan hepatitis B AHOD Australian HIV Observational Database HBsAg antigen permukaan hepatitis B AIDS acquired immune deficiency syndrome HBV virus hepatitis B aIFN interferon-alfa HCC karsinoma hepatoselular ALT alanine aminotransferase HCV virus hepatitis C Anti-HBc antibodi terhadap antigen core hepatitis B HIV human immunodeficiency virus ART antiretroviral therapy IDU pengguna narkoba suntikan AST aspartate aminotransferase Ig immnoglobulln BANN batas atas nilai normal LEE tingkat enzim hati tinggi bDNA branched DNA LSL laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki CAESAR penelitian multipusat dilakukan di Kanada, Australia, Eropa, Afrika Selatan MACS Multicentre AIDS Cohort Study NNRTI non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor CMV sitomegalovirus NRTI DNA deoxyribonucleic acid nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (analog nukleosida/nukleotida) EBV virus Epstein Barr Odha orang dengan HIV/AIDS ETR tanggapan virologi pada akhir terapi PCR polymerase chain reaction EuroSIDA penelitian kohort besar terhadap Odha di Eropa PHD penyakit hati dekompensasi PI protease inhibitor FCH fibrosing cholestatic hepatitis RNA ribonucleic acid GGT gamma glutamyltransferase RR risiko relatif HAV virus hepatitis A SVR tanggapan virologi terus-menerus HBcAg antigen core hepatitis B US ACTG United States AIDS Clinical Trials Group Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis 35 Daftar obat 36 abacavir (ABA, ABC) interferon-alfa (aIFN) adefovir dipivoxil (ADV) lamivudine (3TC) didanosine (ddl) nevirapine (NVP) emtricitabine (FTC) ribavirin (RBV) entecavir ritonavir (RTV) indinavir (IDV) stavudine (d4T) interferon (IFN) tenofovir disoproxil fumarate (TDF) interferon pegilasi (PEG) zidovudine (AZT, ZDV) Koinfeksi: HIV dan Hepatitis Virus: pedoman untuk tatalaksana klinis Diterbitkan oleh Yayasan Spiritia © spiritia 2007 spiritia Jl. Johar Baru Utara V No. 17 Johar Baru Jakarta 10560 Telp: (021) 422-5163/8 Fax: (021) 4287 1866 E-mail: [email protected] Situs web: http://spiritia.or.id/ Oktober 2007